Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 81/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Dr. Fahru Bachmid,S.H.,M.H yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Viktor Santotso Tandiasa,S.H.,M.H., Agustiar,S.H., dan Nur Rizqi Khafifah,S.H., yang merupakan advokat dan konsultan hukum pada Firma Hukum ”VST and Partners, Advocates & Legal Consultants”, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa dalil utama permohonan a quo adalah agar norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 yang berbunyi “berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “selain dari yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo”. Permohonan Pemohon demikian, yaitu agar norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 dimaknai sebagaimana yang secara eksplisit tersurat dalam rumusan norma yang bersangkutan. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, permohonan a quo meminta penegasan agar tidak mengubah substansi yang telah diatur secara tegas dalam norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Dengan demikian, seandainya petitum Pemohon dikabulkan tidak akan mengubah esensi atau makna apapun norma a quo. Begitu pula sebaliknya apabila tidak dikabulkan oleh Mahkamah dengan sendirinya tidak akan mengubah esensi atau makna norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Dari perspektif interpretasi atau penafsiran hukum, suatu norma yang ditafsirkan sebagaimana rumusan eksplisitnya disebut sebagai penafsiran secara gramatikal atau penafsiran secara tata bahasa yang merujuk pada bahasa yang digunakan oleh pembentuk undang-undang. Penafsiran secara gramatikal adalah penafsiran yang paling utama dalam upaya memahami isi norma suatu undangundang. Apabila penafsiran secara gramatikal tidak mampu memberikan kejelasan, antara lain ketika terdapat norma yang ambigu, kabur, atau usang, barulah metode penafsiran lain dapat dipergunakan untuk membantu menemukan makna yang lebih sesuai. Bertolak dari konteks penafsiran demikian, norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 yang berbunyi “berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun” menurut Mahkamah adalah norma yang rumusannya telah terang, jelas dan tegas, sehingga tidak dimungkinkan untuk ditafsirkan lain selain yang termaktub dalam norma a quo.

[3.13] Menimbang bahwa meskipun secara maknawi tidak ada kemungkinan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 diberi penafsiran lain. Namun, Mahkamah dapat memahami kekhawatiran Pemohon karena sering diubahnya syarat usia minimal menjadi hakim konstitusi, sehingga menempatkan Pemohon (yang berkeinginan menjadi hakim konstitusi) dalam kondisi ketidakpastian terutama mengenai kapan Pemohon memenuhi syarat untuk mengajukan diri menjadi calon hakim konstitusi. Perubahan syarat usia demikian juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon jikalau Pemohon kelak terpilih menjadi hakim konstitusi, yaitu di tengah masa jabatan potensial akan tidak memenuhi syarat usia minimal karena ada perubahan aturan berupa kenaikan syarat usia minimal. Terkait dengan hal demikian, penting untuk menegaskan bahwa Mahkamah tidak ingin terjebak dalam conflict of interest dalam memutus perkara a quo;

[3.14] Menimbang bahwa selama ini telah menjadi pendirian Mahkamah, pada dasarnya penentuan batasan usia bagi jabatan tertentu, baik usia minimal maupun usia maksimal, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) atau wilayah pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Akan tetapi tentu saja kebijakan hukum terbuka bukanlah kebijakan yang seluas-luasnya atau sebebas-bebasnya karena kebijakan hukum terbuka tetap saja dapat dibatasi. Dalam hal ini, merujuk sejumlah yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, batasan suatu rumusan norma undang-undang yang berkategori kebijakan hukum terbuka harus memenuhi syarat, antara lain:
1) tidak bertentangan dengan atau tidak mencederai UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-VII/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XIII/2015);
2) bukan ketidakadilan yang intolerable (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008);
3) tidak bertentangan dengan hak politik (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 10/2008);
4) tidak dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUUVII/2009);
5) tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUUVII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-VII/2009);
6) tidak melanggar moralitas (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52- 59/PUU-VI/2008);

[3.15] Menimbang bahwa terkait dengan wacana perubahan UU MK, termasuk wacana perubahan yang berkaitan dengan syarat-syarat jabatan hakim konstitusi khususnya syarat usia minimal, usia pensiun, dan masa jabatan, Mahkamah menilai secara umum perubahan undang-undang merupakan sesuatu yang wajar karena hukum memang dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Perubahan hukum merupakan suatu yang niscaya demi tercapainya tujuan hukum, yaitu mengatur perihal lalu lintas hubungan antarmanusia demi melindungi kepentingan bersama. Oleh karena itu, dalam setiap upaya perubahan hukum harus selalu terkandung semangat untuk menciptakan kondisi yang lebih baik dibandingkan kondisi sebelumnya. Hal ini tidak lain karena hakikat perubahan hukum adalah mengubah, bahkan meniadakan atau mengganti tata aturan lama, untuk memunculkan tata aturan baru yang bermuara pada terciptanya kondisi baru yang lebih baik.
Berkenaan dengan hal tersebut, norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam kaitannya dengan perubahan hukum, in casu undang-undang, keberadaan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 antara lain menghendaki bahwa setiap perubahan hukum harus menjaga tegaknya kepastian hukum yang adil. Artinya, dalam setiap proses perubahan undang-undang maupun peraturan perundang-undangan, undangundang yang baru wajib menghargai, menjamin, serta menjaga status/kondisi terdahulu yang telah secara sah diraih/dicapai seseorang.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap permohonan a quo Mahkamah tidak menemukan persoalan sebagaimana yang dicontohkan dalam putusan-putusan di atas maka tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 karena merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undangundang. Bilamana pembentuk undang-undang benar akan mengubah undangundang yang sedang berlaku, termasuk perubahan UU MK, Mahkamah perlu menegaskan, setidaknya terdapat batasan atau rambu-rambu yang harus dijadikan pedoman oleh pembentuk undang-undang, yaitu antara lain perubahan undangundang tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang dimaksud. Khusus berkenaan dengan UU MK, terutama berkenaan dengan persyaratan usia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan Hakim Konstitusi yang sedang menjabat. Artinya bilamana pembentuk undangundang berkehendak untuk mengubah persyaratan, selain persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 termasuk perubahan masa jabatan (periodisasi), perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi Hakim Konstitusi yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah. Manakala ketentuan mengenai persyaratan dan masa jabatan diubah dan diberlakukan langsung kepada mereka yang sedang menjabat, maka dapat dikatakan perubahan demikian berdampak kepada yang sedang menjabat. Dalam kaitannya dengan dampak dari suatu perubahan undangundang yang demikian, UU 12/2011 telah menegaskan jaminan atau perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak perubahan ketentuan peraturan perundangundangan [vide Bagian C.4 angka 127 Lampiran II UU 12/2011]. Terlebih, apa yang dikhawatirkan Pemohon belum merupakan fakta hukum. Selain itu, apabila diletakkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, perubahan yang sering kali dilakukan, termasuk dengan mengubah syarat usia dan masa jabatan, jelas hal tersebut akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman dimaksud.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 apabila tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.18] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2023 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Inri Januar dalam hal ini memberikan kuasa kepada Eliadi Hulu, S.H. dan Oktoriusman Halawa, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 1 dalam Pasal 8 angka 1, Pasal 2 ayat (1) dalam Pasal 8 Angka 2 UU 4/2023

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 4/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujian oleh Pemohon berkaitan dengan dasar hukum serta fungsi, tugas, dan wewenang OJK. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, Pemohon berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen [vide bukti P-3 dan bukti P-4]. Pemohon menjelaskan memiliki hak konstitusional untuk memperoleh kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dibatasi dan dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal a quo disebabkan tidak dapat menjelaskan secara teoritis desain OJK. Selain sebagai dosen, Pemohon juga terdaftar sebagai nasabah bank yang apabila mengalami permasalahan terkait dengan mikroprudensial kemudian bank tersebut akan mempermasalahkan landasan hukum OJK karena Pasal 34 dalam Pasal 9 angka 19 UU 4/2023 telah dihapus.
[3.6.2] Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai dosen yang tidak dapat menjelaskan secara teoritis desain OJK, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan berdampak kepada mahasiswa yang diajar oleh Pemohon, menurut Mahkamah tidaklah menggambarkan kerugian hak konstitusional secara faktual atau potensial merugikan Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya norma yang diuji. Sebab, keberlakuan norma yang diuji sama sekali 36 tidak menghalangi Pemohon untuk menjalankan profesinya sebagai dosen. Sehingga, seandainyapun memang norma yang diuji benar sebagaimana didalilkan Pemohon, hal demikian bukanlah kerugian konstitusional Pemohon yang berprofesi sebagai dosen. Justru dengan berprofesi sebagai dosen, Pemohon dapat menjelaskan perkembangan OJK saat ini menjadi diskursus atau wacana bagi mahasiswa yang diajarnya.
[3.6.3] Bahwa mengenai kualifikasi Pemohon sebagai nasabah, sama dengan kualifikasi Pemohon sebagai dosen tidaklah menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya norma yang diuji. Sebab, keberlakuan norma yang diuji tidak menghalangi Pemohon untuk mendapatkan hakhak konstitusionalnya sebagai nasabah. Dalam hal sebagai nasabah, baik sebagai nasabah kreditur maupun nasabah debitur, telah terdapat perlindungan dan kepastian hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya undang-undang tentang perlindungan konsumen dan undang-undang tentang lembaga penjaminan simpanan serta undang-undang tentang perbankan itu sendiri. Sementara itu, oleh karena pengawasan mikroprudensial OJK berfokus pada kinerja individu lembaga jasa keuangan meliputi perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank, maka dalam batas penalaran yang wajar, menurut Mahkamah, ketidakpastian landasan hukum OJK yang dijelaskan Pemohon hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan anggapan kerugian konstitusional bagi lembaga jasa keuangan sebagai objek pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan yang merupakan fungsi, wewenang, dan tugas OJK. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berlakunya Pasal 1 angka 1 dalam Pasal 8 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) dalam Pasal 8 angka 2 UU 4/2023 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon. Dengan demikian, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat diterimaDalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Andi Redani Suryanata, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu

Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan untuk menjadi anggota DPD (Pasal 182 UU 7/2017) dan persyaratan menjadi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota [Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017], yang dinilai oleh Pemohon tidak membatasi berapa periode seseorang dapat menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tanpa adanya pembatasan dimaksud, persaingan antar calon untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota semakin ketat. Selain itu, sebagaimana diuraikan dalam permohonan, dominasi mereka yang mempunyai sumber daya kuat dikarenakan sudah lama menjabat akan mengurangi kesempatan Pemohon untuk mencalonkan diri di masa depan sebagaimana tertuang dalam Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017. Sebagai perorangan warga negara Indonesia [vide bukti P-3] yang berstatus sebagai mahasiswa [vide bukti P-3], menerangkan memiliki hak konstitusional, yang setelah menyelesaikan pendidikan bercita-cita menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota menganggap berlakunya norma pasal-pasal a quo menyebabkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

[3.6.2] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan syarat kerugian konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini Pemohon menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang, dalam hal ini norma Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017, menurut Mahkamah, diperlukan syarat yang bersifat imperative, yaitu anggapan kerugian konstitusional faktual atau setidak-tidaknya potensial kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya;

[3.6.3] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual adalah adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat konkret atau riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undangundang. Sedangkan, yang dimaksud dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum secara konkret atau riil dialami, namun suatu saat potensial dialami yang disebabkan oleh berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya telah bertumpu pada berlakunya norma undang-undang. Sekalipun kedua norma telah efektif berlaku, secara normatif, kedua norma yang diuji konstitusionalitasnya merupakan norma yang mengatur ihwal persyaratan untuk dapat mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota. Karena kedua norma dimaksud berkenaan dengan persyaratan, hal substansial yang harus dinilai oleh Mahkamah selanjutnya, adalah apakah dengan berlakunya persyaratan sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017 telah menyebabkan atau potensial menyebabkan Pemohon kehilangan kesempatan menjadi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota;

[3.6.4] Bahwa setelah Mahkamah mempelajari secara saksama norma dalam Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017, kedua norma dimaksud merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mencalonkan atau mengajukan diri sebagai calon anggota DPD atau diajukan sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Artinya, kedua norma dimaksud baru dapat dinilai telah merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon apabila kedua norma dimaksud menghalangi hak Pemohon untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Dengan membaca persyaratan yang termaktub dalam norma Pasal 182 UU 7/2017, norma a quo sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon untuk mengajukan diri sebagai calon anggota DPD. Begitu pula, norma Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017 tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk diajukan sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, syarat sebagaimana termaktub dalam Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017 merupakan syarat personal yang melekat pada individu yang akan mencalonkan diri atau diajukan sebagai calon;

[3.6.5] Bahwa oleh karena anggapan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial dengan berlakunya norma a quo, Pemohon telah terbukti tidak dapat memenuhi persyaratan adanya kerugian atau anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat imperatif. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 113/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Alvin Lim (Advokat), yang memberikan kuasa kepada Pestauli Saragih, S.H., M.H., Rizki Indra Permana S.H., M.H., La Ode Surya Alirman, S.H., Adi Gunawan S.H., M.H., Ali Amsar Lubis S.H., Rustina Haryati, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada LQ Indonesia Lawfirm, dalam hal ini untuk bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 16 dan Penjelasannya UU Advokat

Pasal 28C ayat (2), 28D ayat (1), 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU Advokat dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah ruang lingkup imunitas yang dimiliki oleh advokat dalam menjalankan tugas profesinya berdasarkan Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 tidak mencakup proses penyidikan sehingga bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Namun berkenaan dengan hal itu, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 16 UU 18/2003 yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Mei 2014 yang amarnya mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 16 UU 18/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Selanjutnya, norma Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 a quo juga kembali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVI/2018, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 Februari 2019 dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Mahkamah ternyata juga telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Oktober 2023. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.11] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:

Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UndangUndang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata terdapat dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon dengan permohonan sebelumnya karena dalam permohonan a quo, Pemohon lebih menitikberatkan pada ruang lingkup imunitas yang dimiliki oleh advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian sekaligus alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;
[3.12] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah imunitas yang dimiliki oleh advokat dalam menjalankan tugas profesinya berdasarkan Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 tidak mencakup proses penyidikan sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusionalitas tersebut, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kerangka konstitusionalitas imunitas advokat dalam menjalankan profesinya sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa sejak awal pembentukan negara Indonesia merdeka, gagasan tentang konstitusionalisme dan negara hukum telah disepakati sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termuat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ...”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia akan dijalankan berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) sebagai aturan hukum tertinggi. Selanjutnya, gagasan tersebut dirumuskan menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum maka segala aktivitas negara, baik penyelenggaraan negara maupun aktivitas warga negaranya, harus sesuai dengan aturan hukum yang secara konstitusional bersumber dari UUD 1945 dan berakar dari ideologi Pancasila. Secara doktriner, negara hukum Indonesia diwarnai baik oleh doktrin rechtsstaat maupun the rule of law, baik negara hukum formal maupun negara hukum material, yang selanjutnya diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi negara hukum Pancasila yang lebih memastikan bekerjanya sistem hukum sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral yang luhur bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar filsafat dan idelogi negara.
[3.12.2] Bahwa dalam perspektif the rule of law, salah satu prinsip yang harus ada dalam sebuah negara hukum adalah prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Prinsip demikian juga telah dirumuskan dalam konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan tersebut kemudian juga diletakkan sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara di mana menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memenuhi dan melindunginya sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pada dasarnya, persamaan di hadapan hukum berarti setiap individu, tanpa memandang status sosial, kekayaan, ras, jenis kelamin, atau karakteristik lainnya, tunduk pada hukum yang telah ditetapkan oleh negara dan memiliki hak serta perlindungan hukum yang sama. Tidak ada yang berada di atas hukum, dan tidak seorang pun seharusnya didiskriminasi atau diberikan perlakuan istimewa dalam hukum. Akan tetapi, Tom Bingham, seorang mantan Ketua Mahkamah Agung Inggris dan Wales dalam bukunya The Rule of Law (2010) memberikan pemaknaan lebih luas terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagai “The laws of the land should apply equally to all, save to the extent that objective differences justify differentiation.” Artinya, walaupun pada dasarnya hukum harus berlaku sama bagi setiap orang, akan tetapi dimungkinkan adanya perbedaan perlakuan di hadapan hukum asalkan perbedaan tersebut secara objektif dibenarkan oleh hukum. Gagasan ini menegaskan adanya pergeseran pemaknaan equality before the law dari “perspektif perlakuan” ke arah “perspektif perlindungan”. Dalam “perspektif perlakuan”, maka prinsip persamaan lebih ditafsirkan kepada perintah kepada negara/pemerintah untuk sama sekali tidak membedakan perlakuan dalam hukum antara warganya, tanpa memandang kondisi sosiologis dan antropologis warga negaranya. Berbeda halnya dengan “perspektif perlakuan” yang lebih memandang prinsip persamaan sebagai perintah kepada negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Sehingga dalam sebuah negara dengan masyarakat yang majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas), atau juga perlindungan dalam bentuk memberikan hak istimewa/eksklusif bagi sebagian kelompok orang dalam lingkup fungsi, profesi, hak dan kewenangannya, in casu advokat, sepanjang diatur dalam hukum positif. Dalam konteks demikian, adanya pembedaan perlakuan kepada profesi advokat, in casu pemberian hak imunitas, bukanlah merupakan tindakan diskriminatif yang mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya”. Karena dalam konteks ini, diskriminasi yang dilarang adalah pembedaan perlakuan yang dapat merugikan kelompok masyarakat lain.
[3.12.3] Bahwa penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum dalam negara hukum sangat berkaitan erat dengan kesempatan/akses untuk mendapatkan keadilan (access to justice) bagi setiap warga negara. United Nations and Development Programme (UNDP) memberikan definisi akses terhadap keadilan sebagai kemampuan seseorang (atau masyarakat) untuk mencari dan mendapatkan solusi melalui lembaga negara formal atau informal, dan selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Pengertian demikian membuat ruang lingkup akses terhadap keadilan menjadi luas, apalagi kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai HAM. Secara sederhana, khusus dalam proses penegakan hukum, ruang lingkup akses terhadap keadilan paling tidak meliputi beberapa hal, seperti akses untuk mendapatkan pendampingan dan/atau bantuan hukum, khususnya kepada mereka yang dalam posisi kurang diuntungkan; akses mendapatkan informasi yang transparan, jujur, dan adil; serta akses mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial). Terkait dengan bantuan hukum, berbagai instrumen peraturan perundangundangan mulai dari Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU 18/2003, hingga Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU 16/2011) sebenarnya telah memberikan dasar pengaturan yang sangat memadai bagi setiap warga negara, khususnya bagi masyarakat dengan kondisi kurang diuntungkan, untuk mendapatkan bantuan hukum berupa konsultasi, pendampingan, hingga pembelaan pada saat menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan hukum.
[3.12.4] Bahwa Pasal 1 angka 3 UU 16/2011 telah menentukan yang dimaksud dengan pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum. Lebih lanjut terkait dengan siapakah subjek pemberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud UU 16/2011 a quo, Mahkamah perlu merujuk pertimbangan Mahkamah pada Sub-paragraf [3.11.9] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 19 Desember 2013 sebagai berikut:

“Terhadap dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah, yang menjadi subjek yang mendapatkan jaminan perlindungan hukum dengan hak imunitas dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum ditujukan kepada baik pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum). Hal demikian adalah wajar agar baik advokat maupun bukan advokat dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran.”

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan di atas, maka yang dimaksud dengan subjek pemberi bantuan hukum adalah advokat maupun lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum. Selanjutnya, Pasal 1 angka 1 UU 18/2003 menentukan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 menyatakan, “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”. Berdasarkan pengertian tersebut maka advokat didefinisikan sebagai seorang professional yang memberikan jasa hukum berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, budaya, bahkan ideologi dari klien. Bahkan Universal Declaration On The Independence Of Justice (Montreall Declaration, 1983) menentukan tanggung jawab advokat untuk mendidik anggota masyarakat tentang prinsip-prinsip supremasi hukum, pentingnya kesadaran hukum, independensi peradilan dan profesi hukum serta untuk memberikan pemahaman kepada warga negara tentang hak dan kewajiban serta upaya hukum yang relevan dan tersedia. Dengan selalu berpegang pada prinsip kemanusiaan itulah yang kemudian menjadikan advokat sebagai sebuah profesi terhormat (officum nobile). Dalam sistem peradilan Indonesia, advokat memiliki peran penting karena diletakkan sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mewakili kepentingan masyarakat [vide Pasal 5 ayat (1) UU 18/2003]. Pada posisi demikian, profesi advokat memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara (polisi, jaksa, dan hakim) dengan masyarakat serta mengawasi bekerjanya sistem peradilan pidana sesuai dengan prinsip due process of law. Dengan pengertian, tugas, dan tanggung jawab profesi advokat demikianlah, keberadaan hak imunitas yang diberikan kepada advokat dalam menjalankan profesinya memiliki dasar rasionalitas dan takaran konstitusionalitas yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai ruang lingkup atas hak imunitas yang diberikan kepada advokat dalam menjalankan profesinya sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa pengaturan mengenai hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 dan Pasal 11 UU 11/2011, serta Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masing-masing selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

Pasal 11 UU 11/2011
Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundangundangan dan/atau Kode Etik Advokat.

Pasal 31 KUHP
Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, setidaknya terdapat 2 (dua) instrumen hukum internasional yang mengharuskan adanya imunitas bagi advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Article 16 Basic Principles On The Role of Lawyers (1990) serta Butir 8 dan Butir 11 International Bar Association (IBA) Standards for Independence of Legal Profession (1990) yang pada pokoknya menentukan pemerintah wajib menjadikan advokat dalam menjalankan tugas profesinya bebas dari segala bentuk intimidasi dan intervensi, termasuk tuntutan secara hukum serta tidak hanya kebal dari tuntutan hukum secara pidana dan perdata, tetapi juga administratif, ekonomi, intimidasi, dan lain sebagainya dalam melaksanakan tugas profesinya dalam membela dan memberi nasihat hukum kepada kliennya secara sah.
[3.13.2] Bahwa ketentuan yang mengatur mengenai hak imunitas advokat dalam menjalankan profesinya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUUXI/2013 menggunakan frasa “tidak dapat dituntut” yang kemudian oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 karena tidak mencakup juga proses hukum pidana pada tahap penyidikan oleh Polri. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat, hak imunitas yang diberikan oleh Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 adalah termasuk dalam alasan pembenar dalam doktrin hukum pidana yang menghapuskan sifat melawan hukum atas suatu perbuatan karena melaksanakan undang-undang (te uitvoering van een wettelijke voorschrift), in casu UU 18/2003 juncto UU 11/2011. Dalam kerangka demikian, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan delik, akan tetapi oleh karena sifat melawan hukumnya perbuatan dihapuskan, maka si pembuat tidak dapat dimintakan pertanggujawaban pidana. Artinya, dengan adanya alasan pembenar maka suatu perbuatan dilarang dianggap sebagai suatu perbuatan yang dapat dibenarkan sehingga tidak dapat dipidana, misalnya perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 31 KUHP. Dengan demikian, menurut Mahkamah, setiap langkah dan tindakan yang dilakukan oleh advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan adalah dapat dibenarkan secara hukum sepanjang dilakukan dengan iktikad baik.
[3.13.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup frasa “tidak dapat dituntut” dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah berpendapat, oleh karena setiap tindakan advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan klien di dalam maupun di luar persidangan yang dilakukan dengan iktikad baik adalah merupakan suatu perbuatan yang dapat dibenarkan maka tidak dapat dikenakan pidana. Artinya, pengertian frasa “tidak dapat dituntut” dalam pasal a quo mencakup seluruh tahapan dalam proses peradilan pidana, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan pada semua tingkatan, hingga pelaksanaan putusan. Apabila terdapat perbuatan yang dianggap memenuhi unsur sebagai sebuah perbuatan yang dilarang, maka terlebih dahulu akan dilakukan penyelidikan untuk menentukan perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau bukan. Dengan adanya hak imunitas advokat maka setiap tindakan atau perbuatan advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan klien di dalam maupun di luar persidangan sepanjang dilakukan dengan iktikad baik adalah merupakan suatu perbuatan yang dapat dibenarkan secara hukum dan bukan merupakan tindak pidana. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, apabila terdapat dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh advokat dalam menjalankan profesinya dengan iktikad baik maka seharusnya diberhentikan pada tahapan penyelidikan karena perbuatannya bukan merupakan tindak pidana dan tidak boleh dilanjutkan ke tingkat penyidikan, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan frasa “tidak dapat dituntut” dalam ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 karena tidak mencakup tahap penyidikan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan ketidakjelasan pengertian “iktikad baik” dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 telah mengakibatkan pembatasan bagi advokat terhadap akses keadilan untuk mendapatkan bantuan hukum dan memberikan pembelaan terhadap klien, sehingga apabila terdapat pelanggaran hukum oleh advokat yang dilakukan dengan iktikad tidak baik, maka harus diperiksa melalui DKOA. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa terkait dengan kewenangan DKOA untuk melakukan pemeriksaan etik terlebih dahulu terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh advokat, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan Mahkamah pada Sub-paragraf [3.13.3] dan Sub-paragraf [3.13.4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUXVI/2018, sebagai berikut:

[3.13.3] … Kode etik merupakan prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara sistematis. Kode Etik Advokat pada dasarnya merupakan sebuah etika atau norma-norma dasar yang menjadi acuan bagi seorang Advokat untuk bertindak dalam menjalankan tugas dalam kesehariannya. Sehingga iktikad baik yang dimaksud dalam kode etik advokat adalah berkaitan dengan niat baik yang dilakukan oleh Advokat ketika melakukan tugas profesinya. Sebagai contoh, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UU 18/2003 dan Pasal 4 huruf h Kode Etik Profesi Advokat dimana seorang Advokat tidak boleh menggunakan rahasia kliennya untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga, dan jika diketahui terdapat Advokat yang melanggar kode etik Advokat tersebut, maka berdasarkan Pasal 26 ayat (4) UU 18/2003 merupakan kewenangan DKOA untuk melakukan pengawasan, dan berdasarkan Pasal 26 ayat (5) UU 18/2003 DKOA berhak memeriksa serta mengadili pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara DKOA. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 26 ayat (6) UU 18/2003 dinyatakan, “Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana”. Dengan demikian telah jelas bahwa kewenangan DKOA hanya berkait dengan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi Advokat (Kode Etik Profesi Advokat), sehingga untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukum dalam kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana maupun perdata. Jika ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 diubah seperti rumusan petitum permohonan para Pemohon maka akan terjadi pertentangan dengan Pasal 26 UU 18/2003.
[3.13.4] … Berkaitan dengan dalil para Pemohon terkait hal tersebut, Mahkamah perlu membandingkan dengan profesi Jaksa ketika diduga melakukan tindak pelanggaran pidana maupun perbuatan melawan hukum perdata. Jaksa merupakan komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum dan dalam menjalankan profesinya memiliki kode etik profesi yang dalam institusi Kejaksaan dikenal dengan Kode Perilaku Jaksa (vide Peraturan Jaksa Agung Nomor PER014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, selanjutnya disebut Kode Perilaku Jaksa). Dalam Pasal 15 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) dinyatakan:
(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan sendirinya yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
Pasal 15 UU Kejaksaan tersebut telah menjelaskan bahwa ketika seorang Jaksa diduga telah melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum secara perdata maka dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Dalam hal ini bukanlah berarti proses hukum terhadap Jaksa tersebut terhenti dan menunggu izin dari Jaksa Agung sebagaimana disebutkan dalam permohonan para Pemohon. Lebih lanjut Pasal 12 Kode Perilaku Jaksa menyatakan, “Tindakan administratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar”, yang artinya proses hukum dapat berjalan secara bersamaan dengan proses pemeriksaan etik di Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana atau perdata dari seorang Jaksa merupakan dua hal yang berbeda untuk dinilai dan tidak harus menunggu salah satu proses pemeriksaan dari keduanya selesai lebih dulu.
Menurut Mahkamah, dalam konteks demikian, dalam posisi sebagai sesama penegak hukum, maka penanganan pelanggaran kode etik yang berlaku terhadap Jaksa seharusnya tidak berbeda dengan penanganan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat. Artinya, jika seorang Advokat dalam menjalankan profesinya diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum maka proses penegakan etik yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh DKOA tidak menghentikan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penegak hukum karena pemeriksaan yang dilakukan oleh DKOA tersebut merupakan proses penegakan etik yang berkait dengan pelaksanaan profesi. Adapun proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana yang diduga dilakukan oleh seorang advokat yang tetap harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dalam hal adanya dugaan perbuatan advokat yang merugikan secara keperdataan pihak lain termasuk dalam hal ini prinsipal (klien), maka penilaian iktikad baik menjadi kewenangan hakim perdata yang mengadili perkara yang bersangkutan.

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, yang juga telah dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Oktober 2023, jelas bahwa pendirian Mahkamah terkait dengan proses penegakan etik yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh DKOA tidak menghentikan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penegak hukum dan tetap harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, antara proses penegakan etik dan penegakan hukum terkait dengan adanya dugaan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh advokat dapat berjalan secara simultan maupun terpisah tidak dalam waktu yang bersamaan. Apapun proses penegakan yang berlangsung, semuanya tunduk pada asas praduga tidak bersalah sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) yang menyatakan, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maka, kewenangan DKOA adalah terkait dengan penegakan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi advokat (Kode Etik Profesi Advokat), sehingga dalam konteks memberikan penilaian terhadap “iktikad baik” yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh advokat (pidana maupun perdata) bukanlah merupakan kewenangan DKOA, akan tetapi merupakan kewenangan aparat penegak hukum lain (polisi, jaksa, dan hakim).
[3.14.2] Bahwa dalam konteks demikian, menurut Mahkamah, pemenuhan atas hak imunitas bagi advokat tidak bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh adanya “iktikad baik” yang didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 sebagai menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien. Hal demikian untuk menghindari postulat “impunitas continuum affectum tribuuit delinquendi” yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk sewenangwenang dan melakukan kejahatan. Pandangan Mahkamah demikian menegaskan kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XVI/2018, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2018 yang menyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi.” Oleh karena itu, terdapat 2 (dua) perspektif dalam memaknai iktikad baik dalam hak imunitas advokat, yaitu yang bersifat subjektif dan objektif. Iktikad baik yang bersifat objektif dalam hal ini adalah sebuah tindakan yang harus berpedoman pada norma hukum positif dan sosiologis atau pada apa yang dianggap patut oleh masyarakat. Sedangkan, dalam perspektif subjektif, lebih menekankan pada kejujuran dan sikap batin seorang advokat pada saat melakukan tugasnya sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Advokat adalah sebuah profesi mulia (officium nobile) sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya membutuhkan sebuah profesionalisme dan komitmen tinggi terhadap penegakan hukum. Profesi pada umumnya mengatur hak- hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang sebagaimana telah dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang juga menimbulkan kewajiban yang dibebankan pada dirinya sendiri (self-imposed). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dengan adanya hak imunitas yang diberikan kepada advokat maka timbul tanggung jawab besar yang harus diemban oleh advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum sekaligus untuk menjaga marwah profesi advokat sebagai officium nobile. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai ketidakjelasan pengertian “iktikad baik” dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 telah mengakibatkan pembatasan bagi advokat terhadap akses keadilan untuk mendapatkan bantuan hukum dan memberikan pembelaan terhadap klien, sehingga apabila terdapat pelanggaran hukum oleh advokat yang dilakukan dengan iktikad tidak baik, harus diperiksa melalui DKOA adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan ketiadaan penjelasan dari frasa “di luar persidangan”, dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 akan menghilangkan unsur keseimbangan dalam pemeriksaan perkara oleh para advokat untuk membela kepentingan klien, yang mana hal ini akan menutup semua saluran atau sarana bagi advokat untuk bersuara menyampaikan kritik, saran, masukan, dan/atau pendapat untuk dan atas nama kepentingan klien, khususnya dalam lingkup penyiaran serta tidak menutup kemungkinan akan memunculkan tekanan, ancaman, paksaan terhadap advokat yang kritis dan vokal menyuarakan persoalan hukum yang dihadapi klien. Terhadap dalil Pemohon demikian, Mahkamah berpendapat, apabila Mahkamah mengikuti alur berpikir dari Pemohon, justru malah akan mempersempit makna “di luar persidangan” yang secara umum diartikan sebagai proses penyelesaian non litigasi, yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau menggunakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Secara doktriner, cara penyelesaian non litigasi ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni arbitrase dan alternative dispute resolution (ADR) yang terbagi menjadi konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Selain itu, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa titik sentral dari hak imunitas advokat ini adalah bertumpu pada adanya iktikad baik dari advokat pada saat menjalankan tugas profesinya. Artinya, segala tindakan hukum di luar pengadilan seperti menyampaikan kritik, saran, masukan, dan/atau pendapat untuk dan atas nama kepentingan klien, khususnya dalam lingkup penyiaran juga harus dilakukan berdasarkan pada iktikad baik dari advokat sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat norma frasa “tidak dapat dituntut” dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 dan Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 telah ternyata tidak bertentangan dengan pemenuhan hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 114/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Leonardo Olefins Hamonangan, S.H. (karyawan swasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 531 KUHP dan Pasal 312 UU 22/2009

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 531 KUHP dan Pasal 312 UU 22/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan frasa “sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak ada menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya” dalam norma Pasal 531 KUHP dan frasa "tanpa alasan" dalam norma Pasal 312 UU 22/2009 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan, yakni frasa “sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak ada menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya” dalam norma Pasal 531 KUHP, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa frasa yang dikutip Pemohon tersebut tidak sama persis dengan bunyi dalam norma Pasal 531 KUHP yang dilampirkan dalam bukti permohonan, yakni bukti P-3, yang frasanya berbunyi, “tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain”. Sedangkan, dalam permohonannya pada halaman 5, 6, 8, 9, 10, 13, 14, dan 15, Pemohon menuliskan frasa “sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak ada menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya”. Terhadap fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak teliti mengutip frasa dalam norma Pasal 531 KUHP yang dimohonkan pengujian, sehingga menimbulkan ketidakpastian frasa manakah yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Namun demikian, Mahkamah dapat memahami yang dimaksudkan oleh Pemohon adalah frasa “tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain” dalam norma Pasal 531 KUHP. [3.10.2] Bahwa menurut Mahkamah, apabila frasa "tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain" dalam norma Pasal 531 KUHP, dihapuskan, maka pasal tersebut menjadi berbunyi "Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah", maka norma Pasal 531 KUHP tersebut justru akan mengalami perubahan makna. Hal ini berarti siapapun yang menyaksikan ada orang yang sedang menghadapi maut maka diancam pidana, bahkan jika orang yang menghadapi maut tersebut meninggal, maka siapapun yang menyaksikan meninggalnya orang tersebut dikenakan pidana denda atau kurungan; [3.10.3] Bahwa menurut Mahkamah, norma Pasal 531 KUHP tersebut justru memberikan makna bahwa siapapun yang melihat seseorang sedang menghadapi bahaya maut, maka orang yang melihat kejadian yang berbahaya akan menjurus ke arah orang yang terancam bahaya maut tersebut seharusnya memberikan pertolongan kepada orang dimaksud, namun dengan memastikan bahwa dirinya atau orang lain tidak menimbulkan bahaya dan tetap aman bagi dirinya dalam memberikan pertolongan. Artinya, keharusan memberi "pertolongan" dalam norma Pasal 531 KUHP merupakan makna yang esensial dan mendasar menurut kemanusiaan yang beradab, sehingga urgensi memberikan pertolongan dalam norma Pasal 531 KUHP merupakan suatu conditio sine qua non. Dalam kaitannya dengan "Good Samaritan Law", meskipun Indonesia tidak menganut “Good Samaritan Law” seperti di negara-negara yang diteliti oleh Pemohon dalam permohonannya, menurut Mahkamah esensi “pertolongan” dalam norma Pasal 531 KUHP memiliki intensi dan motif yang sama dengan "Good Samaritan Law", yaitu sama-sama menempatkan seseorang yang dalam/sedang menghadapi bahaya maut, yang menurut penalaran wajar, membutuhkan pertolongan. Artinya, norma Pasal 531 KUHP dan "Good Samaritan Law" sejatinya beranjak pada prinsip yang sama, yaitu adanya kepedulian pada keselamatan hidup manusia (le soin à la sécurité de la vie humaine), meskipun dapat dipahami terdapat perbedaan konseptual antara "Good Samaritan Law" dan rumusan norma Pasal 531 KUHP, baik dari aspek dorongan/hasrat untuk menolong dan implikasinya bagi penolong. Pada konsep "Good Samaritan Law", faktor dorongan/hasrat untuk menolong terletak pada diri orang yang menyaksikan atau dapat dikatakan bersifat volunter dan tidak ada ancaman sanksi jika tidak memberikan pertolongan karena semata-mata berangkat dari dasar sukarela. Sementara, pada norma Pasal 531 KUHP, tidak hanya atas dasar sukarela, namun lebih karena dorongan yang dilatari oleh adanya kewajiban hukum dan tampak lebih bersifat imperatif. Sehingga, sikap “abai” terhadap keharusan memberikan pertolongan ketika seseorang menyaksikan bahwa ada orang yang sedang membutuhkan pertolongan karena menghadapi maut, namun orang yang menyaksikan kejadian tersebut tidak memberi pertolongan maka dapat dikenakan ancaman sanksi pidana. Konstruksi hukum demikian, menunjukkan bahwa ketentuan dalam norma Pasal 531 KUHP terlihat lebih impresif daripada "Good Samaritan Law" dalam memaknai arti pertolongan bagi seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan karena menghadapi bahaya maut atau ancaman fisik yang dapat mematikan. Sehingga, adanya ancaman sanksi pidana dan sifat imperatif dari pertolongan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 531 KUHP merupakan wujud dari prinsip "beneficience dan nonmaleficence" yakni mendahulukan untuk mengatasi bahaya di satu sisi dan di sisi lain tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Ihwal ini juga sejalan dengan prinsip "primum non-nocere" (first, do no harm), yang dalam pemaknaan ini mengutamakan pertolongan dan tidak boleh menyakiti/merugikan orang lain. Dengan demikian, keharusan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam frasa norma Pasal 531 KUHP yang dimohonkan pengujiannya perlu dipertahankan eksistensinya agar masyarakat memiliki tanggung jawab sosial dan kemanusiaan (human and social responsibility) untuk menolong orang yang sedang menghadapi bahaya maut, terancam jiwanya dan/atau orang yang mengalami kecelakaan dalam lalu lintas. Pengutamaan demikian sejalan dengan prinsip sila kedua Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. [3.10.4] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil permohonan, yakni frasa “tanpa alasan” dalam norma Pasal 312 UU 22/2009, menurut Mahkamah, jika frasa tersebut dinegasikan justru mewajibkan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas wajib memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan, karena jika frasa “tanpa alasan” tersebut dihilangkan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon, maka norma Pasal 312 UU 22/2009 menjadi berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Artinya, setiap orang yang tidak menghentikan kendarannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan adanya kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian terdekat namun terlibat kecelakaan lalu lintas, patut dipidana tanpa perlu mengetahui alasannya mengapa orang tersebut tidak memberikan pertolongan atau tidak melaporkan terkait kejadian dimaksud pada kepolisian terdekat. Menurut Mahkamah, frasa "tanpa alasan" dalam konteks norma a quo memiliki implikasi yuridis yang serius, sebab akan dapat diketahui motif seseorang mengapa tidak memberikan pertolongan atau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas yang dialaminya, atau tidak menghentikan kendaraannya padahal yang bersangkutan terlibat kecelakaan lalu lintas merupakan elemen penting untuk diketahui oleh aparat kepolisian dalam rangka penegakan hukum lalu lintas khususnya dan hukum pidana pada umumnya. Oleh karena itu, frasa “tanpa alasan” tampak jelas merupakan bagian dari esensi norma Pasal 312 UU 22/2009, karena setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dan/atau setiap orang yang melihat terjadinya kecelakaan sudah sepatutnya menolong korban kecelakaan dan tidak boleh mengabaikan korban kecelakaan tanpa alasan yang patut/sah menurut hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap frasa "tanpa alasan" dalam konteks keberadaan norma a quo. Justru jika mengabaikan atau menghilangkan frasa "tanpa alasan" akan memutus hubungan antara perbuatan pidana dengan ancaman pidananya. Dengan demikian, keberadaan frasa “tanpa alasan” merupakan unsur penting dalam memahami keutuhan bangunan norma a quo dan tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam norma Pasal 312 UU 22/2009 dimaksud.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, frasa "tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain" dalam norma Pasal 531 KUHP dan frasa “tanpa alasan” dalam norma Pasal 312 UU 22/2009 telah ternyata tidak melanggar jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya;
[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 115/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1986 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Leonardo Olefin’s Hamonangan yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Hosnika Purba dkk, Advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum Hosnika Purba, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 KUHAP jo. Pasal 32 KUHAP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28G ayat (1), Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa sejalan dengan tujuan bernegara yang antara lain adalah untuk melindungi, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, maka antara lain dibutuhkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri [vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002)]. Oleh karena itu, tugas pokok dari Kepolisian sebagaimana termaktub dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 13 UU 2/2002 adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, Kepolisian negara bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yaitu meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia [vide Pasal 4 UU 2/2002];
[3.11.2] Bahwa menurut Pemohon, terkait dengan hak dan kewenangan polisi dalam melakukan pemeriksaan secara bebas dengan alasan mencurigai seseorang untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan, di mana polisi menggeledah secara paksa tanpa surat izin pengadilan atau tanpa ada yang tertangkap tangan, termasuk in casu pemeriksaan handphone. Berkenaan dengan hal tersebut, tambah Pemohon, polisi dapat dituntut telah melakukan penggeledahan yang tidak sah, sebab polisi tidak dapat seenaknya melakukan penggeledahan paksa tanpa didasari surat perintah pengadilan, perintah Penyidik, atau kecuali tertangkap tangan. Terhadap persoalan dimaksud, sesungguhnya secara substansial tidak berbeda dengan isu konstitusionalitas yang telah diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 Januari 2022. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa kewenangan aparat Kepolisian untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002, merupakan norma yang sama isinya dengan norma dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu mengatur wewenang penyelidik untuk melaksanakan tugas dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam konteks permohonan para Pemohon, aparat Kepolisian yang melakukan patroli terutama pada malam hari dengan melakukan pemeriksaan seseorang yang dicurigai sesungguhnya akan memberikan rasa aman dan perlindungan pada masyarakat. Keberadaan aparat Kepolisian di jalan pada malam hari diharapkan akan meningkatkan keamanan dan ketertiban wilayah, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dari orang-orang yang berniat jahat ataupun orang-orang yang mengganggu ketertiban umum. Namun, yang menjadi permasalahan pokok permohonan a quo adalah kegiatan aparat Kepolisian yang sedang melakukan tugas memberhentikan orang yang dicurigai di jalan dan melakukan pemeriksaan identitas tersebut direkam dan ditayangkan di media televisi atau media lainnya. kejahatan berat seperti narkoba dan prostitusi. Bagi sebagian orang, tayangan di media televisi dan media sosial yang menayangkan kegiatan aparat Kepolisian sangat menarik untuk disaksikan. Tingginya minat masyarakat menonton tayangan demikian juga dapat dipahami karena orang-orang yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum itu berhasil diamankan oleh aparat Kepolisian.
Bahwa bagi Kepolisian, penayangan aktivitas aparat Kepolisian di berbagai media selain bertujuan sebagai bentuk keterbukaan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanakan tugas penegakan hukum dari Kepolisian, juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat menggunakan tayangan dari aksi nyata, di mana masyarakat dapat mengetahui aturan-aturan yang ada, kejahatan yang seringkali terjadi di jalan, sehingga masyarakat dapat lebih peduli dan waspada dengan lingkungan sekitarnya. Tayangan-tayangan seperti ini sesungguhnya juga menjadi pengetahuan hukum terutama hukum pidana bagi masyarakat, yang diharapkan akan memberikan efek jera kepada pelaku yang tertangkap sedang melakukan hal yang melangar hukum ataupun mengganggu ketertiban umum. Selain itu, bagi masyarakat luas agar dapat lebih memperhatikan keluarga dan lingkungan sekitar sehingga menjauhi perilaku melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum;
Bahwa di pihak lain, media masa baik itu televisi dan platform digital yang bekerjasama dengan Kepolisian untuk menayangkan kegiatan Kepolisian memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, akurat dan benar kepada masyarakat. Namun sebaliknya, media masa dengan semua tayangannya dapat menjadi pembentuk opini masyarakat. Oleh karenanya, meskipun kemerdekaan pers dijamin oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU 40/1999), namun Pasal 5 UU 40/1999 membatasi kebebasan pers dengan kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
[3.10.2] Bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon tayangan kegiatan aparat Kepolisian yang memberhentikan orang yang dicurigai dengan melakukan tindakan yang melanggar kehormatan dan martabat seseorang, Mahkamah mendasarkan pada Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kehormatan, martabat, dan derajat manusia. Dalam suatu negara hukum, perlindungan terhadap kehormatan, martabat, derajat, serta nama baik seseorang harus dilindungi oleh hukum yang berlaku. Dalam hukum, berlaku asas praduga tak bersalah, yang dalam butir 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP dinyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeroleh kekuatan hukum tetap.” Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penerapan asas praduga tak bersalah seseorang harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan itulah yang menjadi objek pemeriksaan. Oleh karena itu, seseorang harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap.
Bahwa dalam konteks permohonan a quo, menurut Mahkamah setiap tayangan di media manapun yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas akan membentuk opini publik, karena memang itulah tugas media dan pers sebagaimana telah disebutkan pada Paragraf [3.10.1] di atas. Oleh karena itu, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa dengan tayangan tersebut persepsi penonton yang berasal dari berbagai kalangan akan terbentuk dan tidak bisa dibendung dan dibatasi, yang terkadang akan menyudutkan seseorang dan menimbulkan stigma yang tidak baik. Padahal orang yang diberhentikan di jalan yang ditayangkan di media belum tentu terbukti melakukan pelanggaran, sedangkan opini masyarakat telah terlanjur terbentuk. Di sinilah pentingnya penerapan asas praduga tak bersalah, di mana orang yang dicurigai dan diberhentikan petugas seharusnya diperlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun demikian, seandainyapun terjadi tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia saat aparat Kepolisian menjalankan kewenangannya yang diatur Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 dan kemudian ditayangkan di media, apakah dapat dikatakan norma a quo inkonstitusional karena tidak memberi batasan? Hal inilah yang menjadi persoalan utama yang harus dijawab.
[3.10.3] Bahwa untuk menjawab persoalan utama permohonan para Pemohon, maka Mahkamah akan melihat kembali pada norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 yang tidak dapat dilepaskan dengan norma Pasal 13 UU 2/2002 mengenai tugas pokok Kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Mahkamah sebagai sebuah norma, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 telah jelas rumusannya, dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda. Norma-norma yang mengatur tugas dan kewenangan demikian menurut Mahkamah tidaklah harus dijelaskan lebih lanjut karena sudah cukup jelas. Kewenangan memberhentikan orang yang dicurigai merupakan langkah awal dilakukannya pemeriksaan untuk menemukan tindak pidana atau pelanggaran hukum dalam suatu peristiwa. Kewenangan demikian, adalah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian di negara manapun.
Bahwa dengan tidak adanya batasan yang tersurat dalam norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 yang menyebutkan kalimat “untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta tidak melakukan perekaman atau pengambilan video yang bertujuan untuk ditayangkan di televisi dan/atau youtube dan/atau media lainnya tanpa izin dari orang yang diperiksa”, sebagaimana permintaan para Pemohon, bukan berarti norma a quo melanggar hak atas jaminan perlindungan harkat dan martabat apalagi merendahkan derajat manusia yang telah dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Batasan-batasan dari kewenangan a quo dalam teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana, yang tidak mungkin kesemuanya tertuang dalam undang-undang. Selain itu, semua kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 UU 2/2002 tetap tunduk pada batasan-batasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, dalam Pasal 19 ayat (1) UU 2/2002 diatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 34 UU 2/2002 juga menegaskan bahwa sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bahwa selain itu Kepolisian juga memiliki Standar Operasional Prosedur, aturan disiplin, dan Peraturan Kapolri dalam pelaksanaan tugas, di mana setiap aparat Kepolisian terikat pada semua peraturan tersebut, dan jika melanggar peraturan maka aparat yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkannya baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. Sebagai pedoman hidup Kepolisian juga memiliki Tri Brata dan Catur Prasatya yang merupakan sumber nilai Kode Etik Profesi Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga harus tercermin pada aparat Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komitmen untuk memperhatikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas Kepolisian disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 2/2002 pada pokoknya menyatakan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia sangat penting karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Selain itu, setiap anggota Kepolisian wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dan Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, aparat Kepolisian juga harus memerhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya antara lain KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian.
Bahwa selain kutipan pertimbangan hukum di atas, hal lain yang penting untuk ditegaskan adalah persoalan anggapan tidak adanya batasan kewenangan Kepolisian yang mengakibatkan tindakan merendahkan harkat dan martabat seseorang akibat diperlakukan semena-mena oleh petugas Kepolisian. Terhadap hal ini pun juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIX/2021 tersebut, khususnya dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.12], yang menyatakan sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa tidak adanya batasan kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 bukanlah menjadi penyebab oknum Kepolisian melakukan tindakan yang merendahkan martabat dan kehormatan orang lain. Persoalan yang para Pemohon dalilkan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi dari norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002. Persoalan implementasi norma terkait dengan tayangan kegiatan Kepolisian yang marak di media masa menurut Mahkamah telah memiliki batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, serta peraturan pelaksana lainnya. Oleh karena itu, baik aparat Kepolisian maupun media massa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya, agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 adalah norma yang konstitusional. Sehingga, kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan adanya tindakan merendahkan harkat dan martabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan kekhawatiran akan diperlakukan semena-mena sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, merupakan persoalan implementasi norma a quo, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma.
[3.11.3] Bahwa berdasarkan seluruh kutipan pertimbangan hukum di atas, terkait dengan kekhawatiran Pemohon telah terjawab karena persoalan sesungguhnya terletak pada tataran implementasi norma. Namun demikian, melalui pertimbangan hukum putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan kembali meskipun tidak terdapat adanya permasalahan konstitusionalitas norma, akan tetapi penting untuk diingatkan supaya anggota Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya agar selalu menjaga keseimbangan antara unsur profesionalitas dan integritas dengan tetap memerhatikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya dalam mengaktualisasikan ketentuan norma Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 UU 8/1981. Demikian pula halnya dengan warga masyarakat diharapkan selalu mendukung pelaksanaan tugas Kepolisian.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 122/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TETANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Asep Muhidin, S.H., M.H, Rahadian Pratama Mahpudin, S.H., CHCA, dkk yang merupakan Advokat dan Wiraswasta, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 50 ayat (1) UU MA dan Pasal 253 ayat (3) UU KUHAP

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU MA Jo. KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil-dalil permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa “hanya jika dipandang perlu” dalam norma Pasal 50 ayat (1) UU MA dan frasa ”jika dipandang perlu” dan kata ”dapat” dalam norma Pasal 253 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, isu konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon terhadap kedua norma pasal tersebut adalah proses pemeriksaan dalam persidangan di Mahkamah Agung yang tidak dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan Mahkamah Agung tidak mendengar sendiri keterangan para pihak, para saksi, terdakwa atau penuntut umum untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Terlebih lagi, Putusan Mahkamah Agung tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Bahwa untuk menjawab isu tersebut, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan Mahkamah sebelumnya mengenai pengujian konstitusionalitas norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVIII/2020, yang mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.12] …Sebagai puncak peradilan di lingkungan MA, MA merupakan peradilan tingkat terakhir bagi semua lingkungan peradilan, yaitu mulai dari peradilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding, sebagai pengadilan judex factie, sampai dengan kasasi kepada MA sebagai peradilan judex juris. Bahwa makna judex factie adalah majelis hakim memeriksa fakta, sedangkan judex juris adalah majelis hakim memeriksa penerapan hukum. Dalam sistem peradilan di Indonesia, judex factie dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara pengambilan keputusan dalam bentuk putusan. Sistem peradilan di lingkungan MA terdiri atas peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding, dan peradilan tingkat kasasi. Peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding adalah judex factie yang memiliki kewenangan, yaitu memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara serta menentukan fakta-fakta dari suatu perkara tersebut, sedangkan peradilan tingkat kasasi, MA sebagai judex juris hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut. Peradilan tingkat pertama adalah peradilan yang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan peradilan tingkat banding adalah peradilan yang menerima, memeriksa, dan mengadili perkara yang diputus peradilan tingkat pertama. Peradilan tingkat banding di samping memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada juga memeriksa aspek hukumnya. Sementara itu, peradilan tingkat kasasi, MA tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Dalam hal ini, judex juris hanya memeriksa interpretasi, konstruksi, dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah diterapkan judex factie. Upaya hukum kasasi merupakan hak bukan kewajiban dan pengajuan permohonan kasasi merupakan upaya hukum biasa. Tujuan utama pengajuan permohonan kasasi, antara lain sebagai koreksi terhadap kesalahan penerapan hukum peradilan di tingkat bawah.
…menurut Mahkamah, MA merupakan peradilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sebagai peradilan tingkat terakhir semua lingkungan peradilan di MA, MA memeriksa dan mengadili penerapan hukum (judex juris) yang berbeda dengan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Peradilan tingkat pertama sebagai judex factie harus dimaknai bahwa majelis hakim memeriksa fakta, begitu juga dengan peradilan tingkat banding di mana majelis hakim hanya memeriksa fakta dan aspek hukumnya. Dalam sistem peradilan di Indonesia, judex factie dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan berdasarkan cara pengambilan keputusan dalam bentuk putusan. MA dalam memeriksa dan mengadili perkara baik dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali dalam proses mengambil putusan tetap mendasarkan pada fakta dan hukum sebagaimana termuat dalam berkas perkara. Secara substansial dengan kewenangan MA sebagaimana diatur dalam undang-undang diharapkan akan tercipta adanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan hukum, karena seharusnya dalam setiap putusan pengadilan sudah terkandung tentang adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat. MA sebagai puncak peradilan mempunyai fungsi mengadili dengan memeriksa hukum (judex juris) menurut peraturan perundang-undangan.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, sistem peradilan di Indonesia mengenal tiga jenis tingkatan, yakni Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan MA. Terhadap tingkatan peradilan tersebut terdapat dua jenis kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara, yakni kewenangan mengadili perkara berdasarkan fakta persidangan (judex factie), yaitu kewenangan yang dimilki oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding dan kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris), yaitu kewenangan yang dimiliki oleh MA. Adapun secara terminologi yang dimaksudkan dengan peradilan yang mengadili berdasarkan fakta hukum (judex factie) adalah kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding untuk memeriksa para pihak dengan menggali fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sementara itu kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris) adalah kewenangan peradilan (MA) yang berkaitan perkara kasasi dengan memeriksa penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim atau majelis hakim dari putusan peradilan tingkat pertama (PN) dan tingkat banding (PT).
Dengan demikian menjadi kehilangan relevansi dan esensi, apabila Pemohon menghendaki persidangan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali harus atau setidak-tidaknya dilakukan dengan cara memanggil para pihak dengan mengulang kembali menggali fakta-fakta hukum, sebagaimana yang telah dilakukan oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Di samping praktik tersebut akan mengingkari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Namun demikian, meskipun kewenangan hakim tingkat kasasi dan peninjauan kembali dibatasi untuk menilai berkaitan dengan penerapan hukum dan hanya mendasarkan surat-surat semata, namun dalam hal-hal tertentu jika hakim kasasi memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara yang sedang ditangani, maka hakim kasasi dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan kepada peradilan tingkat banding atau peradilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut untuk melakukan pemeriksaan pada persidangan dengan mendengar para pihak atau para saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum (vide Pasal 50 ayat (1) UU Mahkamah Agung).
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah jelas, pilihan undang-undang dengan tetap melekatkan kewenangan hakim kasasi untuk mengadili perkara yang diajukan dengan mendasarkan pemeriksaan pada surat-surat dan hanya dalam keadaan yang eksepsional saja dan karena keperluan yang urgen menghendaki maka dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi ataupun memerintahkan peradilan tingkat pertama atau peradilan tingkat banding untuk itu. Namun seandainyapun hakim kasasi mendengar sendiri para pihak dan saksi-saksi, hal tersebut terbatas dalam perspektif untuk menambah keyakinan hakim kasasi terhadap penilaian hasil pemeriksaan surat-surat (berkas) sebagai hakim yang mengadili penerapan hukum (judex juris). Hal demikian bukan berarti menggeser kewenangan MA menjalankan fungsi sebagai hakim yang menilai fakta persidangan (judex factie).
Bahwa sebagai penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan dalil Pemohon yang menghendaki dalam mengadili perkara peninjauan kembali, MA juga harus melaksanakan sidang dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah pemeriksaan perkara peninjauan kembali yang kewenangannya dimiliki oleh MA, meskipun sifat dari tingkatannya adalah sebagai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, namun hal ini bukan berarti MA melaksanakan fungsi sebagai peradilan yang memeriksa fakta-fakta hukum sebagaimana halnya dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding (judex factie), namun tetap saja MA menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai peradilan yang memeriksa penerapan hukum. Sebab, dalam memeriksa perkara peninjauan kembali MA memeriksa perkara yang bersifat lanjutan, yaitu perkara yang berasal dari peradilan di semua tingkatan sekalipun telah berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian selain memeriksa alasan peninjauan kembali karena adanya bukti baru (novum) atau alasan lainnya, pemeriksaan yang dilakukan hakim peninjauan kembali hanya terbatas memeriksa surat saja, yaitu berkas perkara, khususnya memori dan kontra memori peninjauan kembali. Sedangkan dalam hal memeriksa perkara peninjauan kembali dengan alasan adanya bukti baru (novum), maka bukti baru yang dibenarkan hanya terbatas pada surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan (vide Pasal 67 huruf b UU Mahkamah Agung) dan terhadap penemuan surat-surat bukti tersebut setelah diserahkan oleh pemohon peninjauan kembali kepada peradilan tingkat pertama yang memeriksa perkara tersebut. Dan selanjutnya oleh peradilan tingkat pertama yang menerima permohonan peninjauan kembali tersebut dilakukan penyumpahan terhadap pihak yang menemukan bukti baru tersebut pada persidangan yang terbuka untuk umum, untuk selanjutnya berkas permohonan peninjauan kembali a quo diserahkan kepada MA untuk dilakukan pemeriksaan.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang menghendaki agar persidangan perkara peninjauan kembali di MA dengan dihadiri para pihak dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Terlebih Mahkamah tidak dapat menerima alasan Pemohon yang berpendapat pemeriksaan perkara peninjauan kembali dapat menghasilkan validitas di dalam memeriksa bukti baru (novum) apabila diverifikasi oleh para pihak dan publik. Sementara kewajiban hadir di persidangan perkara peninjauan kembali selain berdampak adanya beban biaya yang sangat berat bagi pencari keadilan yang harus hadir di MA, juga akan berdampak semakin menumpuknya jumlah perkara dan terhambatnya penyelesaian perkara di MA. Bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan, pemeriksaan persidangan perkara pada peradilan tingkat banding untuk dilakukan dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Mahkamah berpendapat, bahwa keinginan Pemohon sebagaimana yang didalilkan tersebut, sebenarnya telah terakomodir dalam norma undang-undang yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding, maupun praktik yang telah dilakukan di Indonesia selama ini. Sebagaimana diuraikan dan dibenarkan Pemohon dalam permohonannya, bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang berlaku untuk Wilayah Jawa dan Madura dan secara mutatis mutandis berlaku untuk daerah Indonesia lainnya, di mana norma tersebut pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pengadilan tinggi dengan menegaskan bahwa, “Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga Hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi.” Oleh karenanya dalam pemeriksaan perkara banding esensi mendasar adalah melakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diputus oleh peradilan tingkat pertama dengan memeriksa fakta-fakta dan aspek hukumnya. Dengan demikian oleh karena pada dasarnya hanya melakukan pemeriksaan ulang maka sepanjang pemeriksaan fakta-fakta dan aspek hukumnya dengan memeriksa surat-surat dipandang telah cukup untuk diambil putusan, sehingga tidak ada relevansinya lagi untuk melakukan pemeriksaan perkara dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi. Namun demikian apabila keperluan demi keadilan, undang-undang telah memberikan instrumen dengan memberikan pilihan kepada hakim tingkat banding untuk dapat melaksanakan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas, tanpa mewajibkan pada pemeriksaan peradilan tingkat banding dengan menghadirkan para pihak dan saksi-saksi jika telah dipandang cukup oleh hakim banding yang bersangkutan dan telah dapat memutus perkara secara adil maka tidak ada urgensi untuk mengakomodir dalil Pemohon yang berkaitan dengan mewajibkan pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi. Terlebih hal tersebut justru akan mengingkari asas peradilan, cepat dan biaya ringan, sebagaimana juga yang diinginkan Pemohon berkaitan dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Selanjutnya dengan berdasar pada kutipan pertimbangan hukum tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas norma Pasal 50 ayat (1) UU MA pada pokoknya adalah sama, sehingga pertimbangan hukum di atas secara mutatis mutandis berlaku untuk menilai isu konstitusionalitas permohonan a quo. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan tidak ada permasalahan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, sehingga norma pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa meskipun norma Pasal 50 ayat (1) UU MA tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma, namun penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terhadap proses pemeriksaan perkara dan persidangan di Mahkamah Agung, Mahkamah berpendirian, sebagai pengadilan judex juris, Mahkamah Agung tidak mewajibkan para pihak, penuntut umum, terdakwa dan saksi-saksi untuk hadir dalam pemeriksaan perkara kasasi dan peninjuan kembali. Apabila Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan para pihak dan saksi-saksi dalam perkara perdata maupun penuntut umum, terdakwa dan saksi-saksi dalam perkara pidana untuk memeriksa perkara secara pendelegasian yang sesungguhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung, hal tersebut sesungguhnya merefleksikan asas peradilan cepat dan biaya ringan, bukan berarti Mahkamah Agung melaksanakan fungsi sebagai judex facti.
[3.12.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil permohonan, yakni frasa “hanya jika dipandang perlu” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “wajib” dalam norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, menurut Mahkamah, kehendak Pemohon tersebut justru tidak sinkron dan menimbulkan inkonsistensi karena di satu sisi mewajibkan Mahkamah Agung untuk mendengar secara langsung keterangan para pihak, saksi, penuntut umum, atau terdakwa. Namun di sisi lain, Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tinggi Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi, sebagaimana tertulis dalam petitum permohonan [vide perbaikan permohonan Perkara Nomor 122/PUU-XXI/2023, hlm. 28]. Adanya frasa “wajib” dan “atau memerintahkan” dalam petitum permohonan dimaksud justru mengaburkan permohonan itu sendiri. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon terhadap norma Pasal 50 ayat (1) UU MA adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa terhadap isu konstitusionalitas norma Pasal 253 ayat (3) KUHAP, terutama frasa “jika dipandang perlu” dan kata ”dapat”, menurut Mahkamah, isu konstitusionalitas norma pasal tersebut adalah sama dengan norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, di mana Mahkamah telah mempertimbangkannya pada Paragraf [3.12] di atas. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah terhadap norma Pasal 50 ayat (1) UU MA berlaku pula terhadap norma Pasal 253 ayat (3) KUHAP, sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut.
[3.14] Menimbang bahwa berkaitan dengan sidang pengucapan putusan Mahkamah Agung, menurut Mahkamah, untuk memudahkan masyarakat menjangkau dan mendapat keadilan (access to court and access to justice), Mahkamah Agung perlu membuka akses kepada para pihak, terutama pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Agung. Terlebih lagi, Pasal 40 ayat (2) UU MA menentukan bahwa “Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Jika tidak, maka Putusan Mahkamah Agung batal menurut hukum sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (2) UU MA. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, Mahkamah Agung dapat memberikan kesempatan kepada para pihak, terutama pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Agung, untuk menghadiri persidangan putusan secara daring tanpa perlu mendatangi gedung Mahkamah Agung.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, frasa “hanya jika dipandang perlu” dalam Pasal 50 ayat (1) UU MA, serta frasa “jika dipandang perlu” dan kata “dapat” dalam Pasal 253 ayat (3) KUHAP telah ternyata tidak melanggar persamaan kedudukan di dalam hukum dan tidak pula melanggar jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 126/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Muhammad Hafidz untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 56 ayat (3) UU MK

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa “dikabulkan” dalam Pasal 56 ayat (3) UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada Paragraf [3.10] di atas, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon apakah ganti kerugian dan rehabilitasi dapat diterapkan pada perkara pengujian materil di Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan dalil a quo, Mahkamah perlu mengemukakan bahwa Pasal 10 ayat (1) UU MK memberikan wewenang kepada Mahkamah, antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan ini, maka putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final berarti, Pertama, secara langsung memperoleh kekuatan hukum; kedua, karena telah memperoleh kekuatan hukum, maka putusan tersebut memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak yang berperkar; Ketiga, Mahkamah konstitusi sebagai pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak upaya hukum lain yang dapat ditempuh, berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan memperoleh kekuatan mengikat.
Berkenaan dengan hal di atas, pasal 51 UU MK mengatur tentang hak konstitusional yang dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang, di mana kerugian tersebut dapat berasal dari pembentuk undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/atau kerugian yang berasal dari materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa kerugian hak konstitusional yang dianggap merugikan Pemohon bukan semata berasal dari kasus konkret yang dialaminya, melainkan karena adanya norma yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sehingga kerugian konstitusional tersebut tidak bersifat privat dan dapat dialami oleh seluruh warga negara Indonesia.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat erga omnes. Artinya, putusan tersebut mengikuti tidak hanya terhadap Pemohon saja akan tetapi seluruh warga negara Indonesia, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat diberlakukan terhadap perkara-perkara privat, terlebih menuntut negara untuk memberikan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada pihak tertentu saja. Disamping itu, Pasal 56 ayat (3) UU MK juga sudah jelas dan tegas (expressis verbis) sehingga tidak memerlukan tafsir lain. Adapun keinginan Pemohon untuk memberikan makna baru pada kata “dikabulkan” dalam Pasal a quo, justru akan mempersempit makna dari norma tersebut, karena norma a quo berlaku untuk semua perkara bukan hanya perkara tertentu saja, termasuk, in casu, hanya berkaitan dengan ganti rugi.
Sekalipun terhadap persoalan konstitusi Pemohon yang khawatir jika putusan Mahkamah Konstitusi diputus melewati tenggang waktu pengajuan permohonan ke PHI akan merugikan haknya sebagai pekerja dalam menerima uang kompensasi pesangaon. Hal tersebut haruslah dilihat dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, sehingga harus dipahami bahwa kerugian tersebut juga dapat berlaku terhadap pekerja manapun selain Pemohon, sehingga jika permohonan dikabulkan oleh Mahkamah, maka sesungguhnya tidak menghilangkan hak-hak keperdataan Pemohon. Adapun kerugian Pemohon saat tidak menerima uang kompensasi pesangaon, hal demikian lebih menitikberatkan kepada persoalan implementasi. Artinya, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dapat berlaku pada pemohon saat itu, namun karena sifatnya yang erga omnes maka berlaku pada pihak lain. Tidak diterimanya kompensasi pesangon tersebut bukan merupakan kerugian hak konstitusional, tetapi merupakan kerugian yang bersifat privat, sehingga dalam hal ini, terdapat mekanisme lain untuk mengajukan upaya ganti rugi dan/atau rehabilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil sebagaimana yang Pemohon uraikan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menilai menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap kata “dikabulkan” dalam norma Pasal 56 ayat (3) UU MK justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian kata “dikabulkan” dalam norma Pasal 56 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 128/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Muhammad Syeh Sultan, A Fahrur Rozi, dan Tri Rahma Dona, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017

Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk memeriksa dan memutus permohonan sebelum masa kampanye Pemilu 2024 yakni pada hari Selasa, tanggal 28 November 2023 dan memberikan putusan guna menunda pemberlakuan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dengan anotasi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 [Sic!] hingga adanya putusan akhir terhadap permohonan a quo.
Terhadap alasan permohonan provisi para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah oleh karena terhadap pokok perkara a quo akan diputus tanpa dilanjutkan kepada sidang berikutnya dengan agenda pembuktian yang mendengarkan keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 54 UU MK sehingga tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan permohonan provisi para Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak dapat diterima.

Dalam Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkaitan dengan objek permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo, yaitu pengujian terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dengan anotasi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 [Sic!], menurut Mahkamah, permohonan demikian adalah permohonan yang tidak lazim diajukan ke Mahkamah Konstitusi karena menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi hanya sebagai sebuah anotasi terhadap ketentuan suatu norma undang-undang yang telah diberikan pemaknaan oleh Mahkamah. Hal demikian, menurut Mahkamah merupakan suatu pemahaman yang keliru terhadap kekuatan mengikat dan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, hal tersebut berarti Putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Sementara itu, suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap berarti juga telah memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Adapun dalam hal pengujian undang-undang, pengujian dilakukan terhadap suatu norma yang abstrak dan berlaku umum meskipun dasar permohonan yang digunakan adalah kerugian hak konstitusional seorang/sekelompok orang, namun hak konstitusional tersebut sesungguhnya merupakan keterwakilan hak konstitusional seluruh warga negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah bersifat final akan mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara;
Bahwa dalam permohonan ini, setelah Mahkamah mencermati secara saksama, Mahkamah dapat memahami apa sesungguhnya yang dimaksudkan oleh para Pemohon dalam permohonannya yaitu pengujian terhadap ketentuan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2023.
[3.13.2] Bahwa terhadap permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon yang pada pokoknya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu” dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023 adalah bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang penting untuk mengutip pokok-pokok pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama yang didalilkan dalam permohonan a quo, yaitu apakah Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h bertentangan dengan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa untuk dapat menentukan ada atau tidaknya pertentangan norma dalam batang tubuh dengan penjelasan suatu norma, menurut Mahkamah, perlu dipahami terlebih dahulu substansi norma yang terkandung dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagai norma pokok dan kemudian dipersandingkan dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Persandingan tersebut dapat dilakukan baik dari sisi materi atau substansi maupun dari sisi teknik perumusan suatu penjelasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah menentukan salah satu kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam kampanye, baik oleh pelaksana, peserta, maupun tim kampanye. Larangan tersebut berupa menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk kampanye.
Secara historis, norma serupa sebelumnya telah diatur juga dalam Pasal 86 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 8/2012) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Penjelasan atas ketentuan norma Pasal 86 ayat (1) huruf h UU 8/2012 ternyata sama dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Lebih lanjut, dijelaskan pula dalam UU 8/2012 yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” pada ketentuan ini adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Sedangkan, sanksi bagi pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 299 UU 8/2012].
Selanjutnya, materi norma yang sama diatur pula dalam Pasal 84 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Namun dalam penjelasan hanya dijelaskan mengenai maksud ”tempat pendidikan” adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 270 UU 10/2008 ditegaskan ancaman pidananya jika melanggar larangan kampanye dimaksud, berupa pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 270 UU 10/2008].
Sebelum UU 10/2008, ternyata norma larangan dimaksud juga telah diatur dalam Pasal 74 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003) yang menyatakan, “Dalam kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Dengan penjelasan hanya untuk tempat pendidikan, dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu serta tidak menganggu proses belajar mengajar. Sekalipun terdapat pengecualiannya namun ditentukan pula sanksi yang dikenakan atas pelanggaran dimaksud yakni: peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye Pemilu melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan; atau penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain [vide Pasal 76 ayat (2) UU 12/2003]. Sedangkan, terkait dengan ancaman pidana atas pelanggaran penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan tersebut adalah berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) [vide Pasal 138 ayat (2) UU 12/2003]. Jika ditelusuri lebih jauh, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999), juga memuat norma larangan kampanye yang serupa, namun hanya terbatas pada larangan untuk menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah [vide Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999]. Ditegaskan pula dalam Penjelasannya bahwa adanya larangan ini dimaksudkan agar kampanye dapat berjalan dengan bebas, lancar, aman, tertib, serta tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa [vide Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU 3/1999]. Sebagai undang-undang yang dihasilkan di era awal reformasi yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu tahun 1999 rumusannya lebih singkat dibandingkan dengan undang-undang pemilu lainnya, bahkan tidak terdapat pengaturan sanksi pidana yang lengkap atas pelanggaran larangan Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999.
[3.15.2] Bahwa berdasarkan telaahan historis pengaturan larangan kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan telah diatur, paling tidak sejak era reformasi. Bahkan, telah pula diatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atas larangan tersebut. Namun, jika dicermati secara saksama norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang mengutip kembali norma Pasal 299 UU 8/2012 yang sama-sama menentukan larangan bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Bahkan, terhadap larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tersebut ditentukan sanksi yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 521 UU 7/2017]. Ketentuan pidana ini pun mengutip kembali rumusan yang diatur dalam Pasal 299 UU 8/2012. Masalahnya, apakah sanksi pidana tersebut dapat diterapkan secara efektif karena dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ditentukan adanya unsur pengecualian atas norma larangan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Selanjutnya, dijelaskan pula yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
[3.15.3] Bahwa berkenaan dengan adanya pengecualian dalam Penjelasan suatu undang-undang di luar norma pokok yang telah ditentukan, penting bagi Mahkamah untuk merujuk ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat dalam butir 176 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan (UU 12/2011). Ketentuan teknis tersebut telah memberikan panduan atau pedoman dalam merumuskan penjelasan, pengertian dan sekaligus fungsi penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Tidak hanya itu, butir 178 Lampiran II UU 12/2011 juga telah menentukan bahwa “penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam kaitan ini, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” telah menimbulkan kondisi pertentangan dengan materi muatan atau norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Misalnya, apabila dipelajari secara cermat frasa “dapat digunakan jika” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, secara leksikal frasa dimaksud mengandung pengertian pembolehan atas otoritas atau hak untuk melakukan sesuatu secara terbatas, padahal batas atau syarat tersebut telah ditentukan sebagai sebuah larangan. Oleh karena itu, apabila diletakkan dalam pemahaman materi pokoknya yang sifatnya memberikan larangan atau pembatasan untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintahan, tempat ibadah dan tempat pendidikan maka materi Penjelasan a quo sepanjang frasa yang dimohonkan para Pemohon adalah mengandung makna adanya pengecualian daripada sebagai sebuah penjelasan yang merupakan interpretasi resmi mengenai arti, ruang lingkup, dan implikasi dari materi norma pokok yang dijelaskannya. Frasa yang dimohonkan tersebut berbeda dengan penjelasan perihal yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi”.
Dalam konteks materi muatan suatu peraturan perundang-undangan, antara norma larangan dengan pengecualian sebenarnya mengandung maksud mengesampingkan norma pokoknya karena adanya sebuah klausa atau pernyataan yang mengaitkan pelaksanaan suatu norma dengan terjadinya suatu peristiwa atau kondisi tertentu pada waktu atau batas waktu tertentu di luar peristiwa atau kondisi pokok yang dikehendaki dalam norma larangan. Kedua kondisi tersebut sebenarnya adalah seimbang dan masing masing seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah materi muatan dari norma pokok, bukan merupakan esensi penjelasan suatu norma. Materi muatan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagaimana telah diuraikan pada Sub paragraf [3.15.1] dan Sub-paragraf [3.15.2] di atas secara jelas dan tegas melarang pelaksanaan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Terlebih, telah ditentukan pula sanksi pidana penjara dan/atau denda yang dijatuhkan bagi pihak-pihak yang melanggar larangan tersebut, di mana berpotensi ketentuan sanksi tersebut sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu, apabila terhadap norma yang memuat pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 a quo masih atau tetap diperlukan, seharusnya hal tersebut dimuat dalam batang tubuh UU 7/2017 sebagai norma tersendiri yang mengecualikan atas hal-hal yang dilarang selama kampanye, bukan diletakkan pada bagian Penjelasan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”, dengan penekanan pada anak frasa “dapat digunakan jika” justru menimbulkan ambiguitas dalam memahami dan menerapkan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang dalam pelaksanaannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, perihal perumusan norma pengecualian tersebut seharusnya diletakkan sebagai bagian norma batang tubuh UU 7/2017 karena merupakan bagian dari pengecualian atas larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan. Namun, karena kedua tempat tersebut dilarang sehingga Mahkamah perlu memasukkan sebagian dari pengecualian sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Pemuatan ke dalam norma pokok tersebut didasarkan pada ketentuan UU 12/2011, di mana penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, terlebih lagi jika penjelasan tersebut bertentangan dengan norma pokok. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, penting untuk memasukkan sebagian dari esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye. Oleh karena terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, meskipun inskontitusionalitas norma Pasal a quo tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun karena norma a quo berkaitan erat dengan penjelasan yang akan dinyatakan dalam amar putusan adalah inkonstitusional, maka untuk kepentingan kampanye pemilu, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Dengan demikian, terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 selengkapnya akan dimaknai sebagaimana dalam amar Putusan a quo.

[3.13.3] Bahwa setelah mencermati seluruh uraian pertimbangan hukum putusan di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 karena dalam pertimbangan hukum putusan tersebut telah mempertimbangkan secara yuridis dan menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh para Pemohon khususnya terkait dengan larangan dan pengecualian untuk melakukan kampanye pemilu di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Dalam hal ini, perlu Mahkamah tegaskan kembali bahwa Mahkamah tidak membentuk suatu norma baru terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU XXI/2023 sehingga Mahkamah dapat dianggap sebagai positive legislature. Adapun Mahkamah berpendapat sebagaimana dinyatakan dalam Sub-paragraf [3.15.3] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023, bahwa Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” mengandung makna adanya pengecualian terhadap materi muatan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, frasa tersebut berisi rumusan norma yang posisinya seimbang dengan materi muatan dari norma pokok yang terdapat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dan tidak dapat dikategorikan sebagai materi dari Penjelasan suatu norma yang berfungsi memberikan interpretasi resmi mengenai arti, ruang lingkup, dan implikasi maupun uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dari materi norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagaimana diatur dalam butir 176 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga tidak menyebabkan ambiguitas, Mahkamah kemudian perlu menempatkan frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 pada tempat yang seharusnya yaitu sebagai bagian dari materi muatan norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dengan mengecualikan frasa tempat ibadah. Pengecualian terhadap frasa tempat ibadah karena menurut Mahkamah, tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama, sehingga menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye politik berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama, sebagaimana ditegaskan dalam Paragraf [3.13] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang menyatakan sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa salah satu tempat yang oleh Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 dilarang digunakan untuk tempat kampanye adalah tempat ibadah. Dalam konteks ini, penting untuk menghormati sensitivitas dan nilai nilai budaya, agama, dan kebebasan beragama dalam konteks kampanye pemilu. Meskipun kampanye politik adalah bagian penting dari proses demokrasi, namun harus diatur batasan-batasan sedemikian rupa agar tidak merusak keharmonisan dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Tempat ibadah memiliki makna dan nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat beragama. Menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama. Terlebih lagi, apabila diletakkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang semakin mudah terprovokasi dan cepat bereaksi pada isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas, etnis, dan agama tanpa merujuk dan menilai fakta yang objektif berpotensi memperdalam polarisasi politik di tengah banyaknya narasi dan opini yang berbeda terhadap fakta yang sama yang dapat bermuara pada melemahnya kohesi sosial. Dalam hal ini, pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk berkampanye tidaklah berarti adanya pemisahan antara agama dengan institusi negara, namun lebih kepada proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan ranah di luar agama dalam masyarakat terutama untuk masalah yang memiliki nilai politik praktis yang sangat tinggi.

[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa kampanye di tempat pendidikan akan menimbulkan perpecahan dan polarisasi serta hilangnya marwah dan nilai luhur pendidikan sehingga bertentangan dengan Pasal 31 ayat (5) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terkait dengan kampanye pemilu di tempat pendidikan. Menurut Mahkamah, kampanye pemilu di tempat pendidikan adalah tepat jika ditujukan bagi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi yaitu jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perguruan tinggi. Selain merupakan sumber potensial dari keberadaan pemilih pemula, perguruan tinggi juga merupakan simbol pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban, tempat terkonsentrasinya orang-orang yang terdidik dan terpelajar, serta merupakan pusat energi dan kemampuan untuk melakukan langkah pencegahan yang antisipatif terhadap paham radikal dan intoleran. Oleh karena fungsi perguruan tinggi yang sangat strategis tersebut, menurut Mahkamah, perguruan tinggi melalui civitas akademika memiliki kemampuan besar dalam mengupayakan pendidikan politik serta partisipasi politik bagi masyarakat yang dilaksanakan melalui kampanye pemilu.
Bahwa kampanye pemilu di perguruan tinggi dapat membuka kebebasan berbicara, berekspresi, dan mengemukakan pendapat bagi civitas akademika dan merupakan tempat yang tepat dalam menguji visi, misi, program dan/atau citra diri para peserta pemilu, sehingga peserta pemilu kemudian akan mendapatkan ide dan gagasan baru yang merupakan hasil dari diskusi ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan dan penelitian guna perbaikan dan perubahan pembangunan. Perguruan tinggi juga merupakan tempat berkembangnya kebebasan mimbar akademik yang dapat menciptakan dialog antara peserta pemilu untuk membahas sejauh mana program-program yang ditawarkannya dapat dengan mudah diterapkan setelah memenangkan pemilu. Kampanye pemilu di perguruan tinggi dapat juga membantu perguruan tinggi mencapai tujuannya untuk menciptakan dan menyebarluaskan pengetahuan serta memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Bagi mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika dan merupakan pemilih pemula, kampanye pemilu dapat memberikan informasi tentang rekam jejak, visi, misi, dan program kandidat peserta pemilu sehingga dapat menjadi dasar keputusan untuk menentukan pilihan yang terbaik berdasarkan hati nurani pada saat menggunakan hak suara dalam pemilu. Meskipun demikian, kampanye pemilu yang diselenggarakan di perguruan tinggi perlu disesuaikan dengan pembatasan pembatasan sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023. Pengaturan pembatasan demikian diperlukan agar kampanye pemilu tersebut tidak berubah menjadi kampanye politik yang menimbulkan perpecahan dan polarisasi civitas akademika yang berakhir dengan pelanggaran pemilu.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, tidak melanggar asas pemilihan umum serta tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai agama, maupun persatuan bangsa sebagaimana dijamin oleh Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 137/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Farid Muhamad Faza, Rahman, Fahrul Kurniawan, Marcellino Ananta Surya Timur, Muhammad Iqbal Kholidin, Syahrul Iswandi, Wahyu Wicaksono Djiwandono, Abdullah Ariansyah, Yogi Atma Setiawan, Komang Dananta Praptawan, dan Andi Redani Suryanata, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

keseluruhan norma dalam UU 2/2012.

Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 2/2012 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu beberapa hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa dalam permohonan, para Pemohon mempersoalkan mengenai UU 2/2012 yang berkaitan erat dengan kepemilikan tanah maupun aset lainnya, namun para Pemohon tidak dapat menunjukkan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon memiliki sebidang tanah atau aset di Rempang [vide Risalah Persidangan Nomor 137/PUU-XXI/2023, tanggal 6 November 2023, hlm. 17 s.d. 18];
[3.3.2] Bahwa berkenaan dengan alasan-alasan permohonan (posita), setelah Mahkamah membaca secara saksama, telah ternyata pada bagian posita permohonan, para Pemohon menghendaki UU 2/2012 bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon di dalam posita tersebut hanya menguraikan pertentangan norma Pasal 1 angka 8, Pasal 2 huruf g, Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012 terhadap UUD 1945 tanpa menjelaskan norma lainnya dalam UU 2/2012 bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana mestinya. Selain itu, peristiwa yang dijelaskan secara panjang lebar adalah terkait dengan penertiban oleh aparat pada saat terjadi unjuk rasa warga Rempang. Meskipun penting untuk diuraikan, akan tetapi hal tersebut menunjukkan tidak fokusnya permohonan. Tidak hanya itu, para Pemohon dalam positanya juga banyak mempertentangkan antara norma yang terdapat dalam UU 2/2012 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), menurut para Pemohon UU 2/2012 tidak mengakomodir beberapa kaidah dalam UUPA.
[3.3.3] Bahwa pada bagian petitum, in casu dalam provisi, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menghentikan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City. Adapun pada bagian petitum dalam pokok perkara, memohon agar keseluruhan UU 2/2012 dinyatakan inkonstitusional serta memohon agar menghentikan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City.
[3.3.4] Bahwa berdasarkan Pasal 30 UU MK menyatakan, Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. ...
Pasal 31 UU MK menyatakan,
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. ...;
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan
c. Hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) ...
Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan,
(1) ...;
(2) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. ...;
b. Uraian yang jelas mengenai:
1. ...;
2. Kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. Alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
c. ...;
d. Petitum, yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;
Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pasal 74 PMK 2/2021 menyatakan, Mahkamah dapat menyatakan Permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena:
a. Adanya ketidaksesuaian antara dalil Permohonan dalam posita dengan petitum;
b. Dalil tidak terdapat dalam posita tetapi ada dalam petitum atau sebaliknya;
c. Adanya permintaan Pemohon dalam petitum yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya dan tidak memberikan pilihan alternatif.

[3.3.5] Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan dalam Sub-paragraf [3.3.1] sampai dengan Sub-paragraf [3.3.3] di atas, apabila dikaitkan antara posita dan petitum, menurut Mahkamah, terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan petitum. Terhadap alasan-alasan permohonan (posita) yang tidak bersesuaian dengan petitum para Pemohon, serta adanya permohonan para Pemohon untuk menghentikan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City yang merupakan petitum yang tidak lazim jika dimohonkan pada bagian petitum dalam pokok perkara. Terlebih, petitum a quo sudah dimohonkan dalam petitum provisi, sehingga menjadikan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur).
Andaipun dengan menggunakan asas ex aequo et bono, argumentasi para Pemohon sebagaimana dikemukakan dalam bagian posita juga tidak jelas, mengingat tidak satupun dalil para Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah, karena argumentasi para Pemohon tidak disusun secara terstruktur dan sistematis sebagai sebuah bangunan argumentasi yang kokoh dan memperkuat petitum.
Para Pemohon mengemukakan beberapa pasal dalam UU 2/2012 bermasalah, antara lain pasal yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat, konsultasi publik dan musyawarah, perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dan hilangnya hak masyarakat dalam mekanisme pelaporan keberatan. Namun, para Pemohon di dalam permohonannya tidak menguraikan pertentangan keseluruhan norma UU 2/2012 terhadap UUD 1945 sebagaimana dimohonkan dalam Petitum. Posita tersebut juga tidak dielaborasi menjadi persoalan inkonstitusionalitas norma sebagai karakter pokok dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Andaipun, terdapat uraian yang tersirat sebagai upaya membangun argumentasi yuridis normatif, namun argumentasi dimaksud masih bersifat sumir dan tidak meyakinkan sebagai argumentasi konstitusional. Hal demikian menjadikan permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021.
Selain itu, petitum para Pemohon untuk menyatakan bahwa keseluruhan UU 2/2012 adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena para Pemohon tidak dapat menjelaskan persoalan inkonstitusionalitas keseluruhan norma pasal dalam UU a quo. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, jika petitum para Pemohon dikabulkan justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum dimaksud adalah hilangnya landasan yuridis terkait dengan pengadaan lahan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas maka Mahkamah berpendapat, oleh karena kedudukan hukum, pokok permohonan, dan petitum tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena kedudukan hukum, posita, dan petitum permohonan para Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur), maka tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon kabur, sehingga berkenaan dengan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.6] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 139/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 27A ayat (2) UU MK

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 27A ayat (2) UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. …
c. bahwa terhadap perkara a quo Mahkamah telah menjadwalkan untuk persidangan Pendahuluan pada tanggal 1 November 2023 dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon, namun persidangan tidak dilaksanakan karena Pemohon yang merupakan advokat tidak menggunakan toga sebagaimana mestinya;
d. bahwa Mahkamah kembali menjadwalkan Persidangan Pendahuluan pada tanggal 8 November 2023, namun Pemohon tidak hadir dalam persidangan hanya menyapaikan surat bertanggal 8 November 2023 yang pada pokoknya memohon agar Perkara 139/PUU-XXI/2023 digugurkan dengan pertimbangan agar kemudian hari Pemohon dapat mengajukan kembali permohonannya apabila Majelis Kehormatan Mahkaah Konstitusi yang permanen tidak segera dibentuk;
e. bahwa pada tanggal 9 November 2023 Mahkamah Konstitusi menerima Surat Pemohon bertanggal 9 November 2023 yang pada pokoknya menarik kembali Perkara 139/PUU-XXI/2023 dengan pertimbangan kepercayaan Pemohon pada Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru terpilih akan segera membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang bersifat permanen;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 15 November 2023 telah, berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 139/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo, sedangkan berkaitan dengan permohonan Pemohon untuk mengugurkan Perkara 139/PUU-XXI/2023, tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawarahan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 142/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Ferdy, S.H. (karyawan swasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 515 UU 7/2017

Pasal 28 dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 515 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut perihal kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mahkamah telah menerima permohonan Pemohon bertanggal 27 Oktober 2023 perihal permohonan pengujian norma Pasal 515 UU 7/2017 terhadap UUD 1945 pada tanggal 27 Oktober 2023 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah;
2. Permohonan Pemohon a quo telah diperiksa dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada hari Kamis, tanggal 9 November 2023 pukul 14.30 WIB (vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 9 November 2023);
3. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan dimaksud, Majelis Panel memberikan nasihat kepada Pemohon perihal permohonan Pemohon. Dalam persidangan tersebut, Majelis Panel Mahkamah memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan Pemohon yang akan diperiksa pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan Pemohon;
4. Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon pada hari Kamis, tanggal 23 November 2023, pukul 8.30 WIB. Namun, Pemohon tidak hadir dalam persidangan dimaksud karena alasan sakit dengan mengirimkan pesan melalui pesan singkat (WhatsApp) yang diterima oleh Juru Panggil Mahkamah dan Surat Rekomendasi Istirahat bertanggal 23 November 2023. Selain itu Pemohon juga tidak menyampaikan Perbaikan Permohonan Pemohon.
Berdasarkan hal-hal di atas, oleh karena Pemohon tidak mengajukan perbaikan permohonan, dengan merujuk ketentuan Pasal 46 ayat (4) PMK 2/2021 maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan awal, yaitu permohonan Pemohon bertanggal 27 Oktober 2023 perihal Permohonan Pengujian norma Pasal 515 UU 7/2017 terhadap UUD 1945 sebagaimana telah diregistrasi oleh Mahkamah dengan Registrasi Nomor 142/PUU-XXI/2023.

[3.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan awal Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
Bahwa Pemohon dalam uraian kedudukan hukumnya menjelaskan memiliki kerugian hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” (Bukti P-2 salinan UUD 1945). Selain itu, Pemohon juga menjelaskan Alasan Permohonan Pemohon dengan judul “Dalil-dalil alasan permohonan Pemohon di bawah ini memberikan penjelasan adanya hubungan antara kerugian konstitusional potensional di masa akan datang dengan diberlakukannya Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.”
Setelah Mahkamah mencermati secara seksama dalil permohonan Pemohon berikut alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, menurut Mahkamah Bukti P-2 yang diajukan oleh Pemohon, berupa Salinan UUD 1945 adalah UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan. Sehingga, pasal yang digunakan oleh Pemohon untuk menjelaskan adanya anggapan kerugian hak konstitusional sekaligus juga dijadikan sebagai dasar pengujian norma Pasal 515 UU 7/2017, yaitu Pasal 28F UUD 1945 tidak ditemukan dalam Salinan UUD 1945 yang digunakan sebagai bukti Pemohon. Terhadap dalil dan bukti yang diajukan oleh Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil Pemohon dimaksud tidak dapat dibuktikan dengan bukti yang benar.
Bahwa selain itu, Pemohon dalam menjelaskan atau menguraikan antara alasan permohonan (posita) tidak sinkron dengan petitum yang dimohonkan oleh Pemohon kepada Mahkamah sebagaimana dinyatakan pada Petitum permohonan angka 1. Dalam menguraikan alasan permohonannya, Pemohon menjelaskan menguji norma Pasal 515 UU 7/2017 yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilihan umum tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)” terhadap UUD 1945 secara bersyarat. Namun, setelah Mahkamah mencermati secara seksama Petitum permohonan Pemohon pada angka 1, tidak ditemukan adanya perubahan atau perbedaan rumusan norma dimaksud sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, yaitu “Menyatakan norma Pasal 515 UU 7/2017 bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitusional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilihan umum tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).” Pemaknaan norma Pasal 515 UU 7/2017 yang dimohonkan Pemohon ini sama dengan rumusan norma aslinya. Dengan demikian menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas dan tidak dapat dipahami adanya ketersambungan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan apa yang dimohonkan (petitum) oleh Pemohon, sehingga menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Oleh karena itu, berkenaan dengan kedudukan hukum dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan.
[3.5] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Untuk Seluruhnya) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 141/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM SEBAGAIMANA TELAH DIMAKNAI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Brahma Aryana untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon, yang menyatakan ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena dalam proses pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo telah terjadi pelanggaran etik sebagaimana dipertimbangkan dan disimpulkan oleh Putusan MKMK, yaitu Putusan MKMK 2/2023. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, di mana terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga norma selengkapnya menjadi: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Oleh karena itu, berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan putusan badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum, maka terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 secara yuridis dan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah norma sebagaimana yang telah dilakukan pemaknaan oleh Mahkamah tersebut. Oleh karena itu, permasalahan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung persoalan inkonstitusionalitas ataukah tidak, jika dikaitkan dengan adanya Putusan MKMK 2/2023 dan ketentuan Pasal 17 UU 48/2009, Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK, serta Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021.
[3.13.2] Bahwa terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati bagian pertimbangan Putusan MKMK Nomor 2/2023, halaman 358, yang menyatakan:
“Namun demikian, Putusan 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah berlaku secara hukum (de jure). Dalam hal ini, Majelis Kehormatan harus dan tetap menjunjung tinggi prinsip res judicata pro veritate habitur dan tidak boleh memberi komentar bahkan menilai substansi putusan dimaksud oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.”
Dari pertimbangan Putusan MKMK dimaksud, telah membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK tidak sedikitpun memberikan penilaian bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum, tetapi justru menegaskan bahwa Putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat. Oleh karena itu, hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009, adanya Putusan MKMK pada bagian kesimpulan pada halaman 380, yang menyatakan:
1. Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUUXXI/2023.
2. Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.
3. …
Hal tersebut juga membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK telah berpendirian, penilaian sah atau tidak sahnya putusan yang disebabkan adanya pelanggaran kode etik khususnya berkaitan dengan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009, tidak dapat diterapkan untuk menilai putusan dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi termasuk, in casu menilai sah atau tidak sahnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
[3.13.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan konsekuensi yuridis dari pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.13.2] di atas, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sejalan dengan pendirian MKMK dalam Putusannya Nomor 2/2023 tersebut. Oleh karena itu, jika menurut Pemohon adanya putusan MKMK yang menyatakan oleh karena salah satu Hakim Konstitusi telah terbukti melanggar etik dan berkesimpulan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009 dan Putusan MKMK No. 2/2023, ketentuan Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK serta Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak serta merta dapat dibenarkan.
[3.13.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana pada Sub-paragraf [3.13.3] di atas, oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon dan dengan pertimbangan sebagaimana pendirian Mahkamah pada sebagian besar putusan-putusan sebelumnya yang berpendirian pada umumnya berkenaan dengan penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, terhadap persoalan dalam permohonan a quo-pun, Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai dan merumuskannya.
[3.14] Menimbang bahwa berkaitan dengan pendirian di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan beberapa hal berkenaan dengan batas usia dan alternatif untuk memenuhi syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana substansi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan norma asli Pasal 169 huruf q UU 7/2017 maupun norma baru karena pemaknaan bersyarat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, setidaknya terdapat 3 (tiga) isu pokok terkait dengan batas syarat usia minimal 40 (empat puluh) tahun untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Pertama, ada keinginan untuk menurunkan batas usia menjadi lebih rendah dari 40 (empat puluh) tahun. Bahkan, terdapat pula keinginan atau diskursus lain perihal batas usia tersebut, yaitu menentukan batas usia maksimal untuk menjadi syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Kedua, batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat disepadankan (dialternatifkan) dengan jabatan publik (public official) yang pernah dijabat/yang sedang dijabat seseorang yang akan dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden. Ketiga, batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat disepadankan (dialternatifkan) dengan jabatan yang pernah atau sedang diduduki yang dipilih melalui pemilihan umum (elected official).
Berkenaan dengan ketiga alternatif tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1.1] Bahwa secara konstitusional, UUD 1945 tidak mencantumkan perihal syarat batas usia minimum menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Apabila diletakkan dalam norma konstitusi, berkenaan dengan syarat calon presiden dan calon wakil presiden, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil Presiden”. Perihal adanya kemungkinan untuk membuat atau menambah persyaratan lain, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Artinya, selain persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, syarat-syarat lain terbuka untuk diatur dengan undang-undang, termasuk dalam hal ini syarat batasan minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Sekalipun tidak dicantumkan secara expressis verbis dalam UUD 1945, persyaratan batas usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden pernah menjadi salah satu pembahasan dalam perubahan UUD 1945. Sekalipun menjadi salah satu masalah yang dibahas, batasan usia minimal disepakati untuk tidak diatur, sehingga diserahkan menjadi materi yang tunduk pada delegasi Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Apabila diletakkan dalam konteks perbandingan, pilihan untuk tidak mengatur secara expressis verbis dalam konstitusi adalah pilihan yang dapat diterima secara universal. Dalam hal ini, merujuk konstitusi negara lain, pada satu sisi, sejumlah negara mencantumkan syarat batasan usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dalam konstitusinya masing-masing. Sementara di sisi lain, sejumlah negara tidak mengatur batasan minimal dimaksud dalam konstitusinya. Berkenaan dengan batas usia minimal tersebut, apabila merujuk pada pengaturan dalam undang-undang setelah perubahan UUD 1945, ketika pengaturan pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih terpisah dengan pengaturan pemilihan umum anggota legislatif, yaitu pada Pemilihan Umum 2004, 2009, dan 2014 diatur batas minimum menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun. Namun, ketika pengaturan pemilihan umum presiden dan wakil presiden disatukan dengan pemilihan umum anggota legislatif dalam rezim pemilihan umum serentak antara pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang dimulai pada tahun 2019, persyaratan usia calon presiden dan calon wakil presiden dinaikkan menjadi paling rendah berusia 40 (empat puluh) tahun. Merujuk pada bentangan empirik tersebut, batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden terbuka “disesuaikan” dengan kebutuhan dinamika bernegara sepanjang penyesuaian dengan dinamika tersebut diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan penjelasan di atas, Mahkamah dapat memahami jika banyak kalangan menghendaki perubahan, termasuk untuk menurunkan, batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Misalnya, bagi yang menghendaki penurunan batas usia minimal, terdapat banyak varian batas usia minimal yang dikehendaki, seperti minimal 35 (tiga puluh lima) tahun, 30 (tiga puluh) tahun, 25 (dua puluh lima) tahun, 21 (dua puluh satu) tahun, bahkan terdapat pula keinginan dengan batas minimal 17 (tujuh belas) tahun atau lebih rendah sepanjang telah menikah sesuai dengan syarat minimal pengguna hak untuk memilih. Dengan banyaknya varian dimaksud yang disertai berbagai macam argumentasi yang melingkupinya, Mahkamah tidak dapat dan tidak mungkin akan menentukan batasan usia minimal yang mana yang dapat dikatakan konstitusional untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Oleh karena itu, perubahan batasan usia minimal termasuk kemungkinan menentukan batasan usia maksimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya.
[3.14.1.2] Bahwa berkenaan dengan batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat disepadankan (dialternatifkan) dengan jabatan publik (public official) atau penyelenggara negara yang pernah/sedang dijabat seseorang untuk dicalonkan sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Berkenaan dengan hal ini, setelah Mahkamah membaca berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa pengertian perihal “pejabat negara” atau “penyelenggara negara”. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999); dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU 40/2008) memberikan pengertian Penyelenggara Negara merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 1 angka 1 UU 40/2008). Sementara itu, Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menentukan Pejabat negara, yaitu presiden dan wakil presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; menteri dan jabatan setingkat menteri; kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang;
Berdasarkan pengertian dan pengelompokan di atas, pejabat negara atau penyelenggara negara melingkupi pengertian yang begitu luas. Artinya, menerima posisi sebagai pejabat negara atau penyelenggara negara disepadankan dengan batas usia 40 (empat puluh) tahun sebagai batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam hal ini, Mahkamah dapat memahami keinginan untuk menyepadankan atau membuat alternatif syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, karena terlalu luasnya pengertian pejabat negara atau penyelenggara negara yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, pembentuk undang-undang dapat membuat atau menentukan secara definitif pejabat negara atau penyelenggara negara yang mana saja yang dapat dialternatifkan atau disepadankan untuk menggantikan batas usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
[3.14.1.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan syarat batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dapat disepadankan atau dialternatifkan dengan jabatan yang pernah atau sedang diduduki yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official). Secara yuridis, menyepadankan atau membuat alternatif dengan batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun syarat calon presiden dan calon wakil presiden telah diterima Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Bahkan, terkait dengan keberlakuan pemaknaan baru dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, meskipun terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) sejumlah Hakim Konstitusi, sesuai dengan Pasal 47 UU MK, sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, pemaknaan baru tersebut ditegaskan dalam Paragraf [3.4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XXI/2023 dan Paragraf [3.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut selesai diucapkan. Terlebih lagi, setelah pengucapan tersebut telah terdapat peristiwa hukum baru, yaitu penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024.
Sekalipun telah terdapat pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, jika diperlukan, pembentuk undang-undang tetap memiliki wewenang untuk merevisi atau menyesuaikan lebih lanjut terkait dengan elected official tersebut untuk kemudian disejajarkan atau dialternatifkan dengan batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Penyesuaian tersebut menjadi wajar agar posisi atau jabatan presiden dan wakil presiden memiliki kesepadanan yang tidak begitu jauh dengan elected official yang akan disejajarkan dengan jabatan presiden dan wakil presiden. Sebab, jabatan Presiden merupakan jabatan tertinggi kekuasaan pemerintahan negara (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), penting dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional dengan sistem presidensial. Selain itu, posisi Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Secara konstitusional, kekuasaan Presiden diatur dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Beberapa hal yang menjadi kekuasaan Presiden, yakni: Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 5 ayat (1) UUD 1945]; Presiden menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 ayat (2) UUD 1945]; Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD 1945); Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 ayat (1) UUD 1945]; Presiden menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD 1945); Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 UUD 1945); Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi [Pasal 14 ayat (1) UUD 1945]; Presiden memberi amnesti dan abolisi [Pasal 14 ayat (2) UUD 1945]; Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain (Pasal 15 UUD 1945); Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan (Pasal 16 UUD 1945); Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 UUD 1945).
Berkenaan dengan kewenangan di atas, dalam menjalankan tugas sebagai presiden, apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya, presiden digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya [Pasal 8 ayat (1) UUD 1945]. Oleh karena itu, jabatan wakil presiden pun menjadi jabatan pokok, penting, dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional yang menganut sistem presidensial. Mengingat sebegitu pokok, penting, dan strategisnya jabatan presiden dan wakil presiden, maka syarat untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden harus lah benar-benar sesuai dengan bobot jabatannya. Meskipun tidak ada jabatan yang sepadan dengan jabatan presiden, namun setidaknya mesti dicari jabatan yang levelnya tidak jauh jaraknya dengan jabatan presiden yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official). Misalnya, pembentuk undang-undang dapat mempertimbangkan jabatan gubernur sebagai alternatif untuk disepadankan dengan syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Terlebih, provinsi ibarat sebuah miniatur negara dalam skala yang lebih rendah. Setiap provinsi memiliki wilayah (geografis), penduduk (demografis), dan pemerintahan daerah dalam hal ini gubernur bersama dewan perwakilan rakyat daerah provinsi. Bahkan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menentukan secara jelas ihwal level dan tingkatan daerah dari yang terbesar hingga yang terkecil, yakni dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian turun ke tingkat provinsi dan selanjutnya kabupaten/kota.
Oleh karena adanya hierarki dalam jenjang pemerintahan tersebut, syarat batas usia untuk menjadi presiden, gubernur, bupati/walikota pun dibuat secara berjenjang. Untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yakni berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun (Pasal 169 huruf q UU 7/2017), calon gubernur/wakil gubernur berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun, dan calon bupati/wakil bupati serta calon walikota/wakil walikota berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun [Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang]. Desain politik hukum pembentuk undang-undang membuat tingkatan batas usia seperti ini boleh jadi dimaksudkan untuk mengakomodir apabila ada kemungkinan seseorang menjalani jenjang karier sebagai kepala daerah dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yakni kota, kabupaten, dan provinsi. Artinya, saat seseorang yang menjadi bupati atau walikota di usia 25 (dua puluh lima) tahun maka dalam waktu 1 (satu) periode kepemimpinannya sebagai bupati atau walikota ia sudah berusia 30 (tiga puluh) tahun, sehingga dalam waktu hanya satu periode ia dapat mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur. Setelah 2 (dua) periode menjadi Gubernur, ia dapat mengikuti kontestasi pemilihan Presiden. Jenjang dan tahapan karier seperti ini penting untuk dibangun agar memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam memimpin suatu daerah dengan beragam permasalahannya, sehingga diharapkan tatkala seorang kepala daerah menaikan level status kepemimpinannya pada tingkat yang lebih tinggi, ia sudah sangat siap dan matang. Misal, seseorang yang semula menjabat gubernur kemudian mencalonkan diri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
Di sisi lain, tantangan sebagai presiden dan wakil presiden, lebih rumit dan kompleks di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, multi-etnik, dan multikultur dengan segudang permasalahan baik dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Terlebih lagi, dalam menghadapi tantangan global yang cepat berubah. Oleh karena itu, sosok calon presiden dan calon wakil presiden haruslah figur yang matang secara emosional, kompeten secara fisik maupun mental, dan intelek dalam pemikiran serta haruslah figur yang dapat menjadi katalisator pemersatu bangsa. Oleh karena itu, jika diperlukan perubahan terhadap rumusan alternatif syarat batas usia minimal menjadi calon presiden atau calon wakil presiden maka berdasarkan penalaran yang wajar adalah dapat dipilih pernah menjabat sebagai gubernur yang persyaratannya kemudian ditentukan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, upaya menyesuaikan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, atau upaya menyepadankan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara (public official), dan termasuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan jabatan yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official) masih tetap merupakan dan berada di ranah pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan, dalam hal pembentuk undang-undang akan menyesuaikan dengan semua pilihan tersebut, perubahan atas UU 7/2017 diberlakukan untuk Pemilihan Umum 2029 dan pemilihan umum setelahnya. Oleh karena itu, ke depan, jika pembentuk undang-undang akan melakukan perubahan terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 agar merujuk pada kriteria pembatasan-pembatasan tersebut.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak bertentangan dengan perlindungan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menyatakan Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 108/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2023

Zico Leonardo Djagardo Simanjutak, S.H. yang memberikan kuasa kepada Deddy Rizaldy Arwin Gommo, S.H, dkk, Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 16 UU Advokat

Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 16 UU Advokat dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10.5] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 inkonstitusional apabila tidak menambahkan pengertian maksud “di luar sidang pengadilan adalah segala tindakan hukum lain untuk kepentingan klien, termasuk juga pemberitaan dan rilis pers terkait perkara,” sebagaimana petitum a quo. Terhadap dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Mei 2014, yang telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.19] ... Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 18/2003 menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien [vide Pasal 1 angka 2 UU 18/2003]. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
[3.20] …
Berdasarkan hal tersebut, yang tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan itikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan adalah Pemberi Bantuan Hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat dengan tujuan agar Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran;
[3.21] …Dengan demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, bersamaan dengan itu dimaksudkan pula untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan;
[3.10.6] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya adalah berkenaan dengan apa yang dimaksud dengan di luar sidang pengadilan adalah unsur tindakan yang dipergunakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU 18/2003, dan telah pula ditegaskan dalam Putusan a quo, maka penambahan penjelasan atas Pasal 16 UU 18/2003 justru menimbulkan ketidakjelasan terhadap substansi UU 18/2003. Terlebih, dalam UU a quo telah menegaskan bahwa Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Advokat juga diberi kebebasan dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 14 dan Pasal 15 UU 18/2003]. Artinya, apapun tindakan yang dilakukan oleh Advokat untuk kepentingan kliennya sepanjang hal tersebut dilakukan sesuai dengan kode etik advokat dan peraturan perundang-undangan, maka Advokat mendapatkan perlindungan hukum atas tindakan tersebut. Sehingga, apabila dalil permohonan Pemohon a quo diakomodir dengan hanya memaknai menjadi “di luar sidang pengadilan adalah segala tindakan hukum lain untuk kepentingan klien, termasuk juga pemberitaan dan rilis pers terkait perkara”, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena di satu sisi tidak memberikan batasan, sementara di sisi lain menghendaki adanya pembatasan termasuk ihwal yang dimohonkan Pemohon.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena esensi permohonan Pemohon berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 pada prinsipnya mengenai pengertian “iktikad baik” dan “sidang pengadilan dan di luar sidang pengadilan” yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pengujian konstitusionalitas norma Pasal 16 UU 18/2003 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 yang telah dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018 maka pertimbangan hukum kedua putusan tersebut, mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Oleh karena itu, Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 telah ternyata tidak melanggar kekuasaan kehakiman yang merdeka, perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 123/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2023

M. Samosir Pakpahan, S.H., M.H. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 77 huruf a KUHAP

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 77 huruf a KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
[3.3.1] Bahwa terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda memeriksa pokok permohonan pada hari Selasa, 10 Oktober 2023 yang dihadiri oleh Pemohon Prinsipal beserta kuasa hukumnya. Dalam persidangan tersebut, pada pokoknya Panel Hakim memberikan nasihat kepada Pemohon terkait dengan permohonan a quo, antara lain, agar Pemohon:
1. menyusun permohonan sesuai dengan sistematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang [PMK 2/2021];
2. memperbaiki objek permohonan yakni pengujian Pasal 77 ayat (1) KUHAP karena setelah Mahkamah mencermati, pasal tersebut tidak terdapat dalam KUHAP. Adapun Pasal 77 yang terdapat dalam KUHAP adalah Pasal 77 huruf a yang mengatur antara lain, sah dan tidaknya penangkapan dan penahanan, sedangkan huruf b mengatur tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Terkait dengan hal tersebut, apabila Pemohon hendak mengajukan pengujian terhadap Pasal 77 huruf a KUHAP, terhadap hal itupun Pemohon harus mengaitkan Pasal 77 huruf a KUHAP tersebut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang amarnya, antara lain, memperluas objek praperadilan termasuk penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan. Sehingga, Pasal 77 huruf a KUHAP telah mengalami perubahan makna berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut. Oleh karenanya bagian perihal dalam permohonan Pemohon perlu disesuaikan, begitu pula selanjutnya ketika Pemohon menguraikan Pasal 77 huruf a KUHAP harus selalu dilekatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimaksud;
3. memperbaiki petitum dengan menyesuaikan apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Pemohon, apakah pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) ataukah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat).
[vide Risalah Persidangan Perkara Nomor 123/PUU-XXI/2023, tanggal 10 Oktober 2023];
[3.3.2] Bahwa selanjutnya, Mahkamah telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti, pada hari Senin, tanggal 23 Oktober 2023. Dalam persidangan tersebut, Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan yang telah diperbaiki sesuai dengan nasihat Panel Hakim pada persidangan sebelumnya, antara lain, terkait dengan bagian perihal, penambahan dasar hukum pada kewenangan Mahkamah, perbaikan pada uraian kedudukan hukum Pemohon dan alasan permohonan (posita), serta hal-hal yang dimohonkan (petitum). Terhadap perbaikan permohonan tersebut, setelah Mahkamah mencermati, Pemohon benar telah mengubah objek permohonan menjadi Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, Pemohon tidak menguraikan Pasal 77 huruf a KUHAP dimaksud yang telah dimaknai sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 April 2015. Sehingga, Pasal 77 huruf a KUHAP yang diajukan untuk dilakukan pengujian masih merupakan Pasal 77 huruf a KUHAP asli atau norma sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya telah mengubah atau memperluas makna norma Pasal 77 huruf a KUHAP tersebut.
Lebih lanjut, pada bagian objek permohonan yang menguraikan alasanalasan permohonan (posita), Pemohon juga tidak mengaitkan norma Pasal 77 huruf a KUHAP dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (vide permohonan Pemohon halaman 7 dan halaman 9). Demikian halnya pada bagian petitum, Pemohon juga telah melakukan perubahan, yang awalnya terdiri dari 4 (empat) angka menjadi 3 (tiga) angka. Namun, setelah dicermati oleh Mahkamah ternyata pada petitum angka 2 (dua), Pemohon tidak memohon agar Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 ataupun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, melainkan Pemohon hanya memohon Pasal 77 huruf a KUHAP tetap berlaku dan dimaknai dan mengatur adanya tenggang waktu 14 hari terhitung setelah terbitnya surat penetapan penangkapan, penetapan penahanan, penetapan penghentian penyidikan dan penuntutan, serta penetapan tersangka, penetapan penggeledahan, penetapan penyitaan sampai upaya hukum praperadilan. Di samping itu, Pemohon juga tidak melekatkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 pada penyebutan norma Pasal 77 huruf a KUHAP. Penyusunan petitum dan tata cara penyebutan norma yang demikian, selain tidak sesuai dengan sistematika penyusunan petitum permohonan yang ditentukan dalam Pasal 10 PMK 2/2021, juga telah menimbulkan ketidakjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimohonkan oleh Pemohon untuk diputus dalam permohonannya.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.4] Menimbang bahwa terhadap berkas perkara dan alat bukti yang disampaikan Pemohon setelah pelaksanaan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan pada tanggal 23 Oktober 2023, oleh karena permohonan Pemohon dinyatakan tidak jelas atau kabur (obscuur) maka berkas perkara dan alat bukti dimaksud tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karenapermohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.6] Menimbang bahwa terhadap hal-hal selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 136/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENCALONAN PESERTA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2023

Yunus Nuryanto, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 ayat (17) PKPU 22/2018

UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian ketentuan a quo dalam permohonan perkara 136/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. …
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara 2 Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 136/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 136.136/PUU/TAP.MK/Panel/10/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 136/PUU-XXI/2023, bertanggal 10 Oktober 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 136.136/PUU/TAP.MK/HS/10/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 136/PUU-XXI/2023, bertanggal 10 Oktober 2023;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 24 Oktober 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memenuhi syarat formil permohonan dan memperbaiki permohonannya. Selanjutnya, Panel Hakim memberikan nasihat perihal isu konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon yaitu, keinginan Pemohon berkenaan dengan adanya calon Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari perseorangan. Terhadap isu konstitusional dimaksud, objek permohonan Pemohon adalah berkenaan dengan norma dalam UUD 1945. Selain itu, pengujian terhadap objek permohonan lain, yaitu PKPU 22/2018, juga harus dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah, karena kedua objek yang dimohonkan pengujian bukan merupakan kewenangan Mahkamah [vide Risalah 3 Sidang Perkara Nomor 136/PUU-XXI/2023, tanggal 24 Oktober 2023];
d. bahwa pada sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 24 Oktober 2023 di atas, Pemohon setelah mendengar nasihat dari Panel Hakim, menyatakan tidak mengetahui bahwa objek permohonan yang dimohonkan oleh Pemohon, bukan menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 136/PUU-XXI/2023, tanggal 24 Oktober 2023]. Oleh karena hal tersebut, Pemohon menyatakan menarik kembali permohonan a quo;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, RPH pada tanggal 24 Oktober 2023 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 136/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 120/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP SIDANG LUAR BIASA MPR REPUBLIK INDONESIA ATAS DUGAAN PELANGGARAN PIDANA OLEH PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA / 23-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1) , Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 28 Agustus 2023, dari perorangan Warga Negara Indonesia bernama Meidiantoni, S.E., M.M., yang beralamat di Villa Citra Blok BB 14 RT 007/RW 000, Jagabaya III Way Halim, Bandar Lampung yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 113/PUU/PAN.MK/ AP3/08/2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 120/PUU-XXI/2023 pada tanggal 14 September 2023, perihal permohonan pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terhadap Sidang Luar Biasa MPR Republik Indonesia atas Dugaan Pelanggaran Pidana Oleh Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 120/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 120.120/PUU/TAP.MK/Panel/09/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 120/PUU-XXI/2023, bertanggal 14 September 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 120.120/PUU/TAP.MK/HS/9/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa Perkara Nomor 120/PUU-XXI/2023, bertanggal 14 September 2023;
c. bahwa sebelum pelaksanaan sidang Panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah Konstitusi telah menerima surat elektronik (email) dari Pemohon, bertanggal 27 September 2023, perihal surat penarikan/pencabutan seluruh Permohonan Uji Materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 Sesuai Daftar Permohonan pada Pokok Isi Surat, yang pada pokoknya mengajukan penarikan/pencabutan terhadap permohonan Nomor 120/PUU-XXI/2023;
d. bahwa untuk menindaklanjuti surat permohonan penarikan kembali sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 09.00 WIB, dengan agenda untuk mengonfirmasi permohonan penarikan kembali yang diajukan oleh Pemohon. Dalam sidang dimaksud Majelis Panel mengklarifikasi perihal penarikan dimaksud dan Pemohon membenarkan ihwal penarikan permohonannya;
e. bahwa pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 12.21 WIB, Mahkamah menerima kembali surat elektronik (email) dari Pemohon mengenai Penarikan/Pencabutan Perkara Nomor 120/PUU-XXI/2023 sesuai dengan nasihat Majelis Panel Hakim pada sidang konfirmasi sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 120/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 121/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. (ASN), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman

Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 12.21 WIB Mahkamah menerima kembali surat elektronik dari Pemohon 3 mengenai Penarikan/Pencabutan Perkara Nomor 125/PUUXXI/2023 sesuai dengan nasihat majelis Panel Hakim pada sidang konfirmasi sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas;
b. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
c. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 125/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 125/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. (ASN), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 10 UU PTUN

Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

a. bahwa pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 12.21 WIB Mahkamah menerima kembali surat elektronik dari Pemohon 3 mengenai Penarikan/Pencabutan Perkara Nomor 125/PUUXXI/2023 sesuai dengan nasihat majelis Panel Hakim pada sidang konfirmasi sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas;
b. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
c. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 125/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 133/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. (ASN) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 35A dan Pasal 35B UU MK

Pasal 24A ayat (2) dan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 35A dan Pasal 35B UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 12.21 WIB Mahkamah menerima surat elektronik mengenai Penarikan/Pencabutan Perkara Nomor 133/PUU-XXI/2023 sesuai dengan nasihat Majelis Panel pada sidang konfirmasi sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas;
b. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
c. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 133/PUUXXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

-

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan berkaitan dengan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, dimana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentanggan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, terlepas dalam Putusan a quo terdapat hakim konstitusi yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan (Vide Pasal 47 UU MK), bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan Pemohon. Dengan demikian terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak memenuhi, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan Kedudukan Hukum Pemohon dan Pokok Permohonan.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kehilangan objek.
[3.6] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Diputus Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 96/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Riko Andi Sinaga selaku wiraswasta, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Purgatorio Siahaan S.H., dkk., kesemuanya adalah para Advokat dan Penasihat Hukum serta Advokat Magang pada Kantor Hariara Morality Law Office, dalam hal ini bertindak baik bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU 7/2017dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan berkaitan dengan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, di mana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, terlepas dalam Putusan a quo terdapat hakim konstitusi yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK], bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan Pemohon. Dengan demikian, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak memenuhi, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan Kedudukan Hukum Pemohon dan Pokok Permohonan.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kehilangan objek.
[3.6] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Rio Saputro, S.H., Wiwit Ariyanto, S.H., dan Rahayu Fatika Sari, S.H., dalam hal ini memberikan kuasa kepada Halim Yeverson Rambe, S.H., dkk, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 169 huruf d dan huruf q UU 7/2017

Pasal 6 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf d dan huruf q UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah pemaknaan terhadap norma Pasal 169 huruf d dan huruf q UU 7/2017 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sebagaimana termaktub dalam Petitum permohonan a quo;
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.11] tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan para Pemohon yaitu pemaknaan terhadap Pasal 169 huruf d UU 7/2017 yaitu pada frasa “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya”. Menurut para Pemohon, frasa dalam norma tersebut tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai tindak pidana berat lainnya yang ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih lanjut, frasa “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya” menimbulkan kekaburan norma sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 7A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalil a quo, tidak dapat dilepaskan dari esensi yang terkandung di dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 secara keseluruhan, di mana norma pasal tersebut secara lengkap mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden yang harus memenuhi larangan “tidak pernah menghianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya”. Meskipun dalam petitum para Pemohon menghendaki adanya perluasan makna ketentuan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 dengan menambahkan frasa “tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi”, maka hal ini di samping menjadikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 menjadi redundant yang berdampak pada adanya pengulangan makna yang memiliki kecenderungan adanya keragu-raguan, dan juga justru dapat mempersempit cakupan norma dasar yang secara natural terdapat dalam Pasal 169 huruf d UU 7/2017 dimaksud. Sebab, dalam frasa “tindak pidana berat lainnya” dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 sesungguhnya telah mencakup makna yang sangat luas, yaitu semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang dimaksudkan oleh para Pemohon agar dimasukkan dalam perluasan pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017, sebagaimana petitum permohonan para Pemohon. Dengan demikian, mengakomodir apa yang menjadi keinginan para Pemohon dengan cara memperluas pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 menurut Mahkamah justru dapat melemahkan kepastian hukum yang sudah ada dan melekat pada norma yang bersangkutan. Terlebih, apabila dicermati lebih jauh dalil-dalil permohonan para Pemohon, khususnya berkenaan dengan keinginan untuk memasukkan atau menambahkan jenis tindak pidana berat sebagaimana dalam petitum permohonannya, tanpa memberikan penegasan apakah jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan cukup dengan adanya anggapan, asumsi, dugaan, telah ada penyelidikan, penyidikan atau bahkan telah ada putusan pengadilan yang telah berkuatan tetap, hal ini berakibat akan menambah kerumitan tersendiri pada waktu akan menerapkan norma hukum yang bersangkutan. Terhadap hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa seandainyapun yang diinginkan para Pemohon jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan untuk dimasukkan dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 seyogianya hal tersebut harus telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini penting karena apabila keinginan para Pemohon dikabulkan maka justru akan berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan dalil para Pemohon perihal pemaknaan terhadap Pasal 169 huruf d UU 7/2017 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 7A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagaimana termaktub dalam Petitum permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak mengatur adanya syarat batasan usia maksimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, sehingga hak konstitusional para Pemohon untuk dapat memiliki presiden dan wakil presiden yang produktif, energik, serta sehat secara rohani dan jasmani, setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan menimbulkan kerugian konstitusional apabila presiden dan wakil presiden yang terpilih dari hasil pemilihan umum yang memiliki usia lebih dari 70 tahun.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh permohonan para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan berkaitan dengan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dimana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertanggal 16 Oktober 2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Bahwa dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi



Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, namun oleh karena telah dikabulkannya sebagian dari substansi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, sehingga rumusan Pasal a quo yang berbunyi “ berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”; dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, maka sesungguhnya terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat adalah sebagaimana pemaknaan yang telah dinyatakan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan tidak lagi sebagaimana norma yang dijadikan objek dalam permohonan a quo.
Oleh karena itu, terlepas dalam Putusan a quo terdapat hakim konstitusi yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK], bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan para Pemohon. Dengan demikian, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, dalil para Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.

DISSENTING OPINION

Dissenting Opinion Hakim Suhartoyo
[6.1] Menimbang bahwa berkaitan dengan Putusan Nomor 102/PUU-XXI/2023, saya Suhartoyo, Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion), dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 serta Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dimana saya tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada para Pemohon dengan alasan bahwa para Pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden, sehingga Pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya. Oleh karena itu, pendapat berbeda (Dissenting Opinion) saya dalam perkara a quo pun, tetap merujuk pada pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang saya jadikan rujukan dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pertimbangan hukumnya antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon dalam Pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, sebagai Pemohon I, Anthony Winza Probowo, SH., LL.M, sebagai Pemohon II, Danik Eka Rahmaningtyas, S. Psi, sebagai Pemohon III, Dedek Prayudi, B.A., M. Sc, sebagai Pemohon IV dan Mikhail Gorbachev Dom, S.Si., M.SI. sebagai Pemohon V, tidak dapat dilepaskan dari filosofi yang terkandung di dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 secara keseluruhan. Oleh karena itu, berkenaan dengan subjek hukum yang menjadi adressat dalam norma Pasal a quo adalah berkaitan dengan keterpenuhan syarat formal seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Bahwa oleh karena itu, apabila dicermati ketentuan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 UU 7/2017 diletakkan pada Bab II tentang peserta dan persyaratan mengikuti Pemilu dan pada Bagian Kesatu tentang persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Dengan demikian pada hakikatnya persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah merupakan persyaratan yang melekat pada diri subjek hukum yang bersangkutan yang belum dapat dikaitkan dengan persyaratan lainnya, misalnya berkaitan dengan tata cara pengusulan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, serta tata cara penentuan, pengusulan dan penetapan sebagaimana diantaranya yang dimaksudkan dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017, yang masing- masing menyatakan :
Pasal 221:
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik

Pasal 222:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya
3. Bahwa dengan mencermati adanya unsur pemisah antara esensi syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 dengan norma diantaranya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan norma Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017, maka sesungguhnya ketentuan-ketentuan dimaksud telah membuktikan bahwa filosofi dan esensi yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 adalah benar hanya diperuntukan untuk subjek hukum yang bersifat privat guna dapat terpenuhinya syarat formal untuk selanjutnya dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, ketika seseorang yang pada dirinya bukan sebagai subjek hukum yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, maka sesungguhnya subjek hukum dimaksud tidak dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169 UU 7/2017 a quo.
4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, terhadap permohonan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang pada pokoknya memohonkan inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain adalah permohonan yang didasarkan pada tidak adanya hubungan hukum antara para Pemohon dalam perkara a quo dengan subjek hukum yang dikehendaki dalam petitum permohonannya. dengan kata lain, tidak adanya hubungan kausalitas antara hak konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan putusan Mahkamah Konstitusin Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU- V/2007 tanggal 20 September 2007. Dengan demikian terhadap para Pemohon tidak terdapat adanya anggapan kerugian baik aktual maupun potensial dan oleh karena itu terhadap para Pemohon tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan a quo dan oleh karenanya seharusnya Mahkamah menegaskan permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima
Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) pada perkara 29/PUU-XXI/2023 sebagaimana tersebut di atas terhadap Pemohon dalam permohonan a quo pun saya berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo “menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”.

Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 serta Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana tersebut di atas, terhadap Pemohon dalam permohonan a quo pun saya berpendapat pada Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo sepanjang berkaitan dengan pengujian norma Pasal 169 huruf d dan huruf q UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang berkenaan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf d dan huruf q UU 7/2017.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 104/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Gulfino Guevarrato yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Donny Tri Istiqomah, S.H., M.H., dkk, Advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum “DNLAW”, untuk selanjutnya disebutsebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017

Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah memaknai Pasal 169 huruf n UU 7/2017, dari sebelumnya rumusan Pasal a quo menyatakan, “belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, untuk ditambahkan maknanya dengan, “atau belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama”, sehingga Pasal 169 huruf n UU 7/2017 dimaknai, “belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, atau belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama.”
Permintaan pemaknaan sebagaimana diuraikan Pemohon demikian, menurut Mahkamah ternyata bukan sekadar memberikan makna baru atas rumusan norma tertentu, in casu norma dalam Pasal 169 huruf n UU 7/2017, melainkan permintaan agar memunculkan/membuat norma baru yang secara substansial (kategoris) tidak berkaitan langsung dengan norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017. Di sini, menurut Mahkamah istilah yang lebih tepat bagi permohonan Pemohon adalah permohonan agar Mahkamah membuat norma baru dan sekaligus memohon untuk menambahkan persyaratan baru, dan bukan “sekadar” memaknai atau pun memberi makna baru.
[3.11.2] Bahwa syarat pencalonan menjadi Presiden atau Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n UU 7/2017, yaitu “belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, pada dasarnya merujuk pada rumusan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak dua kali masa jabatan, atau dua periode masa jabatan, dalam jabatan yang sama.
Norma yang oleh Pasal 7 UUD 1945 ditujukan sebagai pembatasan masa jabatan, oleh Pasal 169 UU 7/2017 diambil alih kemudian dikonversi/diubah menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh calon presiden dan calon wakil presiden. Dengan kata lain, seseorang yang sudah pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dilarang untuk maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Perihal pembatasan masa jabatan yang demikian, Mahkamah telah mengadili dan memutus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 28 Februari 2023.
Dari sisi perumusan/pembentukan undang-undang, isi/makna norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 demikian menurut Mahkamah sudah cukup jelas dan tegas. Sehingga, manakala Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan makna tambahan (yang sama sekali baru dan tidak berkaitan dengan makna dari rumusan aslinya), yaitu mengenai pembatasan frekuensi/jumlah pencalonan maksimal 2 (dua) kali, permintaan demikian tidak saja membuat makna baru atas norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 namun juga menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.11.3] Bahwa selain itu, Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan terdahulu, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, telah mengambil sikap untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi pembatasan-pembatasan bagi warga negara Indonesia yang ingin menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, Pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat tertentu yang jika dikabulkan akan membatasi atau mengurangi derajat kebebasan warga negara Indonesia untuk maju sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden.
Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon yang meminta agar Pasal 169 huruf n UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, atau belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama”, adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan pengujian inkonstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan bahwa objek permohonan a quo tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, di mana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, terlepas dalam Putusan a quo terdapat hakim konstitusi yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK], bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan Pemohon. Dengan demikian, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon sepanjang Pasal 169 huruf n UU 7/2017 tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan terhadap permohonan Pemohon sepanjang Pasal 169 huruf q UU 7/2017, menurut Mahkamah kehilangan objek.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dissenting Opinion Hakim Suhartoyo
[6.1] Menimbang bahwa berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-XXI/2023 saya Suhartoyo, Hakim Konstitusi, memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion), dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: Bahwa sebagaimana pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 di mana saya tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada para Pemohon dengan alasan bahwa para Pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan angsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden, sehingga Pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya. Oleh karena itu, pendapat berbeda (Dissenting Opinion) saya dalam perkara a quo pun, tetap merujuk pada pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang saya jadikan rujukan dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 yang pertimbangan hukumnya antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon dalam Pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, sebagai Pemohon I; Anthony Winza Probowo, SH., LL.M, sebagai Pemohon II; Danik Eka Rahmaningtyas, S.Psi., sebagai Pemohon III; Dedek Prayudi, B.A., M.Sc., sebagai Pemohon IV; dan Mikhail Gorbachev Dom, S.Si., M.Si., sebagai Pemohon V, tidak dapat dilepaskan dari filosofi yang terkandung di dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 secara keseluruhan. Oleh karena itu, berkenaan dengan subjek hukum yang menjadi adressat dalam norma Pasal a quo adalah berkaitan dengan keterpenuhan syarat formal seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Bahwa oleh karena itu, apabila dicermati ketentuan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 UU 7/2017 diletakkan pada Bab II tentang peserta dan persyaratan mengikuti Pemilu dan pada Bagian Kesatu tentang persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Dengan demikian pada hakikatnya persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah merupakan persyaratan yang melekat pada diri subjek hukum yang bersangkutan yang belum dapat dikaitkan dengan persyaratan lainnya, misalnya berkaitan dengan tata cara pengusulan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, serta tata cara penentuan, pengusulan dan penetapan sebagaimana diantaranya yang dimaksudkan dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017, yang masing-masing menyatakan:
Pasal 221:
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Pasal 222:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya
3. Bahwa dengan mencermati adanya unsur pemisah antara esensi syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 dengan norma di antaranya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan norma Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017, maka sesungguhnya ketentuan-ketentuan dimaksud telah membuktikan bahwa filosofi dan esensi yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 adalah benar hanya diperuntukkan untuk subjek hukum yang bersifat privat guna dapat terpenuhinya syarat formal untuk selanjutnya dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, ketika seseorang yang pada dirinya bukan sebagai subjek hukum yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, maka sesungguhnya subjek hukum dimaksud tidak dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169 UU 7/2017 a quo.
4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, terhadap permohonan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang pada pokoknya memohonkan inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain adalah permohonan yang didasarkan pada tidak adanya hubungan hukum antara para Pemohon dalam perkara a quo dengan subjek hukum yang dikehendaki dalam petitum permohonannya. Dengan kata lain, tidak adanya hubungan kausalitas antara hak konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan putusan Mahkamah Konstitusin Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Dengan demikian terhadap para Pemohon tidak terdapat adanya anggapan kerugian baik aktual maupun potensial dan oleh karena itu terhadap para Pemohon tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan a quo dan oleh karenanya seharusnya Mahkamah menegaskan permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) pada perkara 29/PUU-XXI/2023 sebagaimana tersebut di atas terhadap Pemohon dalam permohonan a quo pun saya berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo “menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima“.
Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 sebagaimana tersebut di atas, terhadap Pemohon dalam permohonan a quo pun saya berpendapat pada Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo sepanjang berkaitan dengan pengujian norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 107/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Rudy Hartono S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf d dan huruf q UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan berkaitan dengan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, di mana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertanggal 16 Oktober 2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, terlepas dalam Putusan a quo terdapat hakim konstitusi yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK], bukan lagi sebagaimana termaktub dalam permohonan Permohon. Dengan demikian, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonsistensi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan Kedudukan Hukum Pemohon dan Pokok Permohonan.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kehilangan objek.
[3.6] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 118/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Lisa Corintina, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 19 ayat (2) huruf c UU 21/2008

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 21/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 31 Agustus 2023, yang diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia bernama Lisa Corintina, beralamat di Jalan P. Antasari GG. Waru I, Nomor 33 LK IIII, RT.011/RW.000, Kelurahan Kali Balau Kencana, Kecamatan Kedamaian, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 September 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 116/PUU/PAN.MK/AP3/09/2023, bertanggal 11 September 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 11 September 2023 dengan Nomor 118/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 118/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 118.118/ PUU/TAP.MK/Panel/09/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 118/PUU-XXI/2023, bertanggal 11 September 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 118.118/PUU/TAP.MK/HS/9/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 118/PUU-XXI/2023, bertanggal 11 September 2023;
c. bahwa terhadap permohonan tersebut, berdasarkan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 5 Oktober 2023 dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan dan Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK serta memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. bahwa pada tanggal 17 Oktober 2023, Mahkamah menerima surat elektronik Pemohon perihal Penarikan Permohonan Pengujian Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Perkara No. 118/PUU-XXI/2023, yang pada pokoknya mengajukan penarikan kembali atau pencabutan permohonan Nomor 118/PUU-XXI/2023;
e. bahwa untuk menindaklanjuti surat permohonan penarikan kembali sebagaimana di atas, Mahkamah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 18 Oktober 2023, pukul 09.05 WIB, dengan agenda untuk mengonfirmasi permohonan penarikan kembali yang diajukan oleh Pemohon. Dalam sidang dimaksud Majelis Panel mengklarifikasi perihal penarikan dimaksud dan Pemohon membenarkan ihwal penarikan permohonannya;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 18 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 118/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 119/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 96 UU 13/2022

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 96 UU 13/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 28 Agustus 2023, yang diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia bernama Meidiantoni, S.E., M.M., beralamat di Villa Citra Blok BB 14 RT 007 RW 000, Jagabaya III Way Halim, Bandar Lampung, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 119/PUU/PAN.MK/AP3/08/2023, bertanggal 13 September 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 14 September 2023 dengan Nomor 119/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 119/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 119.119/ PUU/TAP.MK/Panel/09/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 119/PUU XXI/2023, bertanggal 14 September 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 119.119/PUU/TAP.MK/HS/9/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 119/PUU-XXI/2023, bertanggal 14 September 2023;
c. bahwa pada tanggal 27 September 2023 Mahkamah menerima surat elektronik Pemohon perihal surat penarikan/pencabutan seluruh Permohonan Uji Materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 Sesuai Daftar Permohonan pada Pokok Isi Surat, yang pada pokoknya mengajukan penarikan/pencabutan permohonan Nomor 119/PUU-XXI/2023;
d. bahwa untuk menindaklanjuti surat permohonan penarikan kembali sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 09.00 WIB, dengan agenda untuk mengonfirmasi permohonan penarikan kembali yang diajukan oleh Pemohon. Dalam sidang dimaksud Majelis Panel mengklarifikasi perihal penarikan dimaksud dan Pemohon membenarkan ihwal penarikan permohonannya;
e. bahwa pada tanggal 2 Oktober 2023, pukul 12.21 WIB Mahkamah menerima surat elektronik mengenai Penarikan/Pencabutan Perkara Nomor 119/PUU-XXI/2023;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 4 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 119/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo selaku Ketua Umum dan Dea Tunggaesti selaku Sekretaris Jenderal untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon I, Anthony Winza Probowo, S.H., LL.M untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon II, Danik Eka Rahmaningtyas, S. Psi. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon III, Dedek Prayudi, B.A., M.Sc. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV dan Mikhail Gorbachev Dom, S.SI, M.SI., warga negara Indonesia, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V.
Yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Francine Widjojo, S.H., M..H., dkk yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Partai Solidaritas Indonesia (LBH PSI), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 6A ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa untuk menjawab dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah merunut terlebih dahulu pengaturan tentang syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945, berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) hingga pemilihan umum pertama di bawah rezim Orde Baru pada tahun 1971. Dalam kaitan ini, telah ternyata dalam UUD 1945 yang disusun oleh para pendiri negara tidak mengatur perihal batas minimum usia untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum Perubahan UUD 1945 berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (TAP MPR II/1973). Berkenaan dengan syarat orang Indonesia asli telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sedangkan, selain mengatur perihal syarat orang Indonesia asli tersebut untuk Presiden dan Wakil Presiden, mengenai batas usia untuk dapat dipilih oleh MPR sebagai Presiden dan wakil Presiden telah berusia 40 (empat puluh) tahun diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b TAP MPR II/1973. Selanjutnya, berdasarkan Konsiderans Menimbang huruf b, karena TAP MPR II/1973 dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan demokrasi maka TAP MPR II/1973 diganti dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/1999 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (TAP MPR VI/1999). Sekalipun terjadi pergantian, berkenaan dengan syarat usia minimal Presiden dan Wakil Presiden tidak mengalami perubahan pengaturan, yakni orang Indonesia asli yang telah berusia berusia 40 (empat puluh) tahun [vide Pasal 1 ayat (1) huruf b TAP MPR VI/1999].
Bahwa setelah perubahan UUD 1945, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden untuk pertama kalinya dilaksanakan secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004. Untuk itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 UUD 1945 sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan, pembentuk undang-undang menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 23/2003) sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004. Berkenaan dengan syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, norma Pasal 6 huruf q UU 23/2003 menyatakan calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus memenuhi syarat berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Dalam perkembangannya, UU 23/2003 diganti dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dan tahun 2014. Dalam kaitan ini, pengaturan persyaratan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak mengalami perubahan. Norma Pasal 5 huruf o UU 42/2008 menyatakan, berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Pengaturan mengenai syarat minimum usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden baru mengalami perubahan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, karena dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 ditentukan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden salah satunya berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.

[3.18.2] Bahwa para Pemohon dalam mendalilkan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menyatakan norma tersebut bertentangan dengan original intent UUD 1945. Terhadap dalil a quo, penting pula bagi Mahkamah untuk melacak risalah perdebatan dalam pembahasan perubahan UUD 1945, terutama perdebatan sekitar persyaratan Presiden sebagaimana tertuang dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002”, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I, Penerbit: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (2010)”.
Bahwa persyaratan Presiden yang mengkaitkan dengan usia mengemuka pertama kali pada Rapat PAH I BP MPR Ke-19, 23 Februari 2000, dengan agenda Dengar Pendapat dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Anton Reinhart dari UKI mengemukakan:
“Kemudian perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 40 tahun dan telah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal dalam negara Republik Indonesia.” [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 142].
Masih dalam rangkaian agenda dengar pendapat, pada Rapat PAH I Ke26, tanggal 3 Maret 2000, Irma Alamsyah dari Kowani mengusulkan agar syarat Presiden telah berumur minimal 40 tahun. Dalam usia tersebut, baik pria maupun wanita dianggap sudah cukup matang dalam kepemimpinan, baik dari segi fisik maupun pikiran [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 156].
Berikutnya, pada Rapat PAH I Ke-34, tanggal 24 Mei 2000, dengan agenda membahas usulan Fraksi, F-PDIP melalui juru bicaranya, Soewarno, mengusulkan:
.. “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya tiga puluh lima tahun.” Bukan empat puluh, sekurang-kurangnya [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 159].
Berbeda dengan pendapat F-PDIP, F-PBB melalui juru bicaranya, Hamdan Zoelva, menyampaikan usulan agar syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden minimal berusia 40 tahun [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 161]. Selanjutnya, F-UG melalui juru bicaranya, Soedijarto sepakat dengan usulan Tim Ahli yang salah satunya menyatakan Presiden dan Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya 40 tahun [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 165]. Sementara itu, Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyampaikan persoalan batasan usia sekurang-kurangnya 40 tahun menurutnya harus dicermati ulang, apakah persyaratan tersebut harus diatur dalam UUD atau cukup diatur di dalam undangundang saja [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 166].
Pembicara selanjutnya Affandi dari F-TNI/Polri memaparkan syarat keadaan diri termasuk syarat usia Presiden diatur dengan undang-undang, sebagai berikut:
… Apabila kelak kemudian hari kemungkinan di dalam dinamika ada perubahan misalnya tentang umur tadi dengan kemajuan kita mungkin barangkali sedini mungkin orang itu dimungkinkan untuk mendapat pengalaman maturitas yang tinggi, mungkin lebih dini lagi, atau mungkin mortalitasnya makin panjang, umur makin panjang juga, usia efektif makin makmur. Ini perubahan akan lebih mudah apabila ditingkat undangundang, bukan di Undang-Undang Dasar ... [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 178].

Penolakan terhadap pencantuman batasan usia di dalam UUD disampaikan kembali oleh Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP. Menurutnya tidak ada dasar yang menjamin bahwa dalam usia tertentu semua orang sudah mempunyai kematangan dalam memimpin [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 180]. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Rosnaniar dari F-PG yang menyampaikan antara lain:
… Sedangkan usia 40 tahun dan juga tentang ada tindakan-tindakan pidana, itu menurut saya juga dapat dicantumkan dalam undang-undang. [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 185].
Selanjutnya Andi Najmi Fuadi dari F-KB juga mengutarakan pendapatnya mengenai masalah usia sebagai berikut:
Ya, misalkan masalah usia. Siapa yang bisa menjamin bahwa persyaratan 40 tahun itu sesuatu patokan waktu yang sangat ideal, belum tentu. Bahwa Amerika yang mencantumkan persyaratan-persyaratan seperti tadi itu dalam Undang-Undang Dasar-nya, ternyata tidak bisa melampaui itu. Belum tentu Indonesia seperti Amerika. Bisa jadi Indonesia dalam 20 tahun ternyata seorang yang 35 tahun bisa mencalonkan diri sebagai Presiden memenuhi persyaratan yang diatur atau diminta, hanya karena umurnya kurang dua bulan dia tidak bisa menjadi Presiden. Ini kan saya kira suatu yang tidak fair juga kita. Oleh karena itu saya berpendapat persyaratan-persyaratan ini harus diatur dalam undang-undang organic [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 198].
Pada akhirnya, PAH BP MPR menyepakati dua alternatif yang kemudian dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, pada tanggal 23 Oktober 2001. Berikut kedua alternatif tersebut:
Pasal 6 Alternatif satu: Ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Ayat (2), Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Alternatif dua: Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain karena kehendaknya sendiri, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah dijatuhi hukum pidana dan mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 205].
Selanjutnya, kedua alternatif tersebut dimusyawarahkan dalam rapat Komisi A. Pada Rapat Sidang Komisi A ke-2, tanggal 5 November 2001, setelah semua fraksi menyampaikan pandangannya, Slamet Effendy Yusuf selaku ketua rapat mengatakan sebagai berikut:
… minus PDKB yang tidak ada wakilnya pada saat ini maka semua fraksi sudah menyatakan penilaiannya. Dan dari pandangan-pandangan yang ada maka kita segera mengetahui bahwa, yang berkaitan dengan syaratsyarat calon Presiden ada banyak pendapat, tetapi kemudian ada usulan mengenai formula baru, yang saya kira bisa kita kembangkan mengenai hal itu [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 214].
Pembahasan selanjutnya dilanjutkan pada Rapat Komisi A Ke-5 MPR, tanggal 8 November 2001 yang menghasilkan rancangan yang telah dirumuskan oleh tim perumus. Berkenaan dengan hal itu, Jakob Tobing selaku Ketua Komisi A mengatakan sebagai berikut:
Jadi di sini yang menjadi syarat itu adalah masalah kewarganegaraan, kemudian tidak pernah mengkhianati negara, kemudian mampu secara rohani dan jasmani untuk menjadi Presiden. Ketentuan dan syarat-syarat selanjutnya, itu diatur dengan atau dalam undang-undang. [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 215-216].
Rumusan tersebut kemudian disampaikan pada Rapat Paripurna ST MPR 2001 Ke-6, tanggal 8 November 2001 dan disahkan menjadi salah satu materi perubahan ketiga UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 6 UUD 1945 diubah menjadi: (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dan (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, persoalan batas usia Presiden termasuk persoalan yang pengaturannya dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yakni untuk diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan penelusuran dan pelacakan kembali secara saksama risalah perubahan UUD 1945 di atas, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR pada waktu itu berpendapat usia minimal Presiden adalah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, dengan alasan antara lain persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, sehingga jangan sampai karena persoalan usia padahal telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam UUD, tidak dapat mendaftar diri sebagai Presiden maka pengubah UUD bersepakat untuk penentuan persoalan usia diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, penentuan usia minimal Presiden dan Wakil Presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon perihal Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan dengan konvensi ketatatanegaraan dengan mengambil praktik jabatan kepala pemerintahan pernah diberikan kepada Sutan Sjahrir yang pada saat itu berusia 36 (tiga puluh enam) tahun, menurut Mahkamah juga tidak tepat. Karena, hal tersebut dilakukan tidak secara berkelanjutan, sehingga tidak dapat dianggap dan dikategorikan sebagai kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) yang dapat diterima dan diakui dalam praktik penyelenggaraan negara. Apalagi dalam hal ini pengangkatan sebagai perdana menteri merupakan praktik dalam sistem pemerintahan parlementer, sedangkan para Pemohon mempersoalkan batas usia minimal bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial.
Bahwa dalil para Pemohon berikutnya menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 berpotensi melanggar kelembagaan triumvirate. Berkenaan dengan dalil tersebut, menurut Mahkamah, ketika Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan yang secara bersama-sama menempati posisi triumvirate menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden karena Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan maka kedudukan menteri-menteri triumvirate bukanlah sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang definitif namun hanya sebagai pelaksana tugas kepresidenan sampai dengan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dalam sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 8 ayat (3) UUD 1945].
Dengan demikian, tidak terdapat korelasi mengaitkan batas minimal usia Presiden dan Wakil Presiden dengan ketiadaan pengaturan batas usia minimal menteri karena hal ihwal berkenaan dengan menteri menjadi hak prerogratif Presiden dan secara konstitusional menteri-menteri yang menempati posisi triumvirate kedudukannya tetap sebagai menteri. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan dengan original intent perubahan UUD 1945 dan tidak sejalan dengan konvensi ketatanegaraan serta berpotensi melanggar kelembagaan triumvirate adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengaturan persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden, penting pula bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007, pertimbangan hukum Mahkamah perihal persyaratan batas minimum usia calon kepala daerah antara lain sebagai berikut:
“…yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 juga tidak beralasan;”
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Oktober 2010, terkait dengan batas usia minimal dan maksimal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“…Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimal untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan karakteristik kebutuhan jabatan masing-masing;”
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Oktober 2011 berkenaan dengan persyaratan usia minimal hakim konstitusi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“… bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum;”
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Januari 2013, berkenaan dengan batas usia pensiun hakim Ad Hoc yang tidak sama di berbagai pengadilan, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“… UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang…”
Berdasarkan pertimbangan hukum putusan-putusan di atas, perihal persyaratan batas usia untuk menduduki jabatan publik sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Meskipun demikian bukan berarti pengaturan persyaratan batas usia bagi pejabat publik tidak dapat dinilai konstitusionalitasnya. Dalam kaitan ini, Mahkamah telah memberikan pengecualian meskipun suatu norma merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun dapat menjadi persoalan konstitusionalitas dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III-2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Mei 2005 terkait dengan dukungan minimal persyaratan pencalonan kepala daerah, Mahkamah berpendirian bahwa sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010-PUU-III-2005, hlm. 30];
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Februari 2009, Mahkamah berpendirian bahwa produk legal policy pembentuk undang-undang tidak dapat dibatalkan, kecuali jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah berikut ini:
”... bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.”
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, Mahkamah berpendirian oleh karena UUD 1945 tidak menentukan batas usia tertentu untuk menduduki semua jabatan sehingga merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang yang dapat mengubah batas usia dimaksud sesuai dengan tuntutan perkembangan. Apapun pilihannya tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang pada pokoknya tidak menimbulkan problematika kelembagaan, yaitu tidak dapat dilaksanakan, menyebabkan kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian konstitusionalitas bagi warga negara [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XI/2013, hlm. 31].
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 Mei 2023, Mahkamah berpendirian meskipun berkaitan dengan usia minimal dan usia maksimal pengisian jabatan publik tidak secara eksplisit bertentangan dengan konstitusi, namun bila secara implisit normanya menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya terkait dengan yang pernah atau sedang menjabat dan mempunyai track record yang baik berkaitan dengan integritas [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, hlm. 108].

[3.20] Menimbang bahwa selanjutnya dalam kaitannya dengan perkara a quo, apakah terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mengecualikan norma persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang meskipun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun merupakan persoalan konstitusional, sehingga penentuannya tidak diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, pengaturan persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, termasuk mengenai batas usia minimal sebagaimana telah diuraikan dalam risalah pembahasan persyaratan Presiden dalam Sub-Paragraf [3.18.2] di atas, di mana telah disepakati oleh pengubah UUD bahwa ihwal persyaratan dimasukkan dalam bagian materi yang akan diatur dengan undang-undang [vide Pasal 6 ayat (2) UUD 1945]. Sehingga, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan materi undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pilihan pengaturan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Kedua, jika norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 didalilkan para Pemohon bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sebab diskriminatif terhadap warga negara Indonesia yang berusia kurang dari 40 (empat puluh) tahun maka dengan menggunakan logika yang sama, dalam batas penalaran yang wajar, menurunkannya menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun tentu dapat juga dinilai merupakan bentuk pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi bagi yang berusia di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun atau batasanbatasan usia tertentu di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun, terutama bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih, yaitu warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin [vide Pasal 198 ayat (1) UU 7/2017]. Oleh karena itu, dalam hal ini, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Selain itu, jika Mahkamah menentukannya maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, norma pengaturan persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam perkembangannya sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-Paragraf [3.18.1] di atas berbeda-beda pengaturannya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari waktu ke waktu terutama sejak dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Sebelum perubahan UUD 1945 atau pada waktu dipilih MPR, syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan harus telah berusia 40 (empat puluh tahun), sedangkan setelah perubahan UUD 1945 untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, tahun 2009, dan tahun 2014 ditentukan sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019, syarat usia bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan menjadi paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, terlepas dari perbedaan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam beberapa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pilihan kebijakan lembaga yang berwenang menentukan batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak pernah menimbulkan problematika kelembagaan kepresidenan. Artinya, pemilihan umum calon Presiden dan calon Wakil Presiden tetap dapat dilaksanakan, tidak terjadi kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga kepresidenan hingga menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Keempat, tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat dipersamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Dalam hal ini, misalnya tidak dapat dipersamakan dengan persyaratan batas minimal usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perubahan norma batas minimal usia calon pimpinan KPK telah ternyata menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif terhadap seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, sehingga Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 memberi alternatif persyaratan lain, yakni “atau berpengalaman” dengan mempertimbangkan bahwa subyek dan jabatan yang akan diikuti dalam proses seleksi nantinya berada dalam jabatan yang sama. Oleh karenanya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Mahkamah memutuskan secara alternatif tanpa mengubah ketentuan syarat usia yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga tidak dapat dikatakan sebagai norma yang bersifat diskriminatif sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena norma yang bersifat diskriminatif adalah apabila norma tersebut membuat perlakuan berbeda yang semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan perkembangan pengaturan persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden, original intent terhadap Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta putusan-putusan Mahkamah terkait dengan batas usia bagi jabatan publik, persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Bagi Mahkamah yang penting penentuan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak boleh menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara yang dalam penalaran wajar potensial diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal tersebut, keinginan DPR dan Presiden sebagaimana tersurat dalam keterangannya mengharapkan agar tolok ukur batasan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden disesuaikan dengan dinamika perkembangan usia produktif, menurut Mahkamah hal demikian menjadi ranah kewenangan DPR dan Presiden untuk membahas dan memutuskannya dalam pembentukan undang-undang. Terlebih lagi, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang, dalam hal ini batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden termasuk syarat yang ditentukan oleh undangundang. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sepenuhnya merupakan ranah pembentuk undangundang untuk menentukannya. Oleh karena itu, dalil permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sepanjang tidak dimaknai “berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun” telah ternyata tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Partai Garuda yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda) dan Yohanna Murtika (Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda), yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Desmihardi, S.H., M.H., dkk., yang tergabung dalam Tim Advokat Kantor Hukum MAD & Partners untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden di bawah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 16 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa selanjutnya dalam kaitannya dengan perkara a quo, apakah terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mengecualikan norma persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang meskipun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun merupakan persoalan konstitusional, sehingga penentuannya tidak diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, pengaturan persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, termasuk mengenai batas usia minimal sebagaimana telah diuraikan risalah pembahasan persyaratan Presiden dalam Sub-Paragraf [3.18.2] di atas, di mana telah disepakati oleh pengubah UUD bahwa ihwal persyaratan dimasukkan dalam bagian materi yang akan diatur dengan undang-undang [vide Pasal 6 ayat (2) UUD 1945]. Sehingga, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan materi undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pilihan pengaturan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Kedua, jika norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 didalilkan para Pemohon bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sebab diskriminatif terhadap warga negara Indonesia yang berusia kurang dari 40 (empat puluh) tahun maka dengan menggunakan logika yang sama, dalam batas penalaran yang wajar, menurunkannya menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun tentu dapat juga dinilai merupakan bentuk pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi bagi yang berusia di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun atau batasan-batasan usia tertentu di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun, terutama bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih, yaitu warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin [vide Pasal 198 ayat (1) UU 7/2017]. Oleh karena itu, dalam hal ini, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Selain itu, jika Mahkamah menentukannya maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, norma pengaturan persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam perkembangannya sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-Paragraf [3.18.1] di atas berbeda-beda pengaturannya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari waktu ke waktu terutama sejak dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Sebelum perubahan UUD 1945 atau pada waktu dipilih MPR, syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan harus telah berusia 40 (empat puluh tahun), sedangkan setelah perubahan UUD 1945 untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, tahun 2009, dan tahun 2014 ditentukan sekurangkurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019, syarat usia bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan menjadi paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, terlepas dari perbedaan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam beberapa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pilihan kebijakan lembaga yang berwenang menentukan batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak pernah menimbulkan problematika kelembagaan kepresidenan. Artinya, pemilihan umum calon Presiden dan calon Wakil Presiden tetap dapat dilaksanakan, tidak terjadi kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga kepresidenan hingga menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Keempat, tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat dipersamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Dalam hal ini, misalnya tidak dapat dipersamakan dengan persyaratan batas minimal usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perubahan norma batas minimal usia calon pimpinan KPK telah ternyata menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif terhadap seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, sehingga Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 memberi alternatif persyaratan lain, yakni “atau berpengalaman” dengan mempertimbangkan bahwa subyek dan jabatan yang akan diikuti dalam proses seleksi nantinya berada dalam jabatan yang sama. Oleh karenanya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUUXX/2022, Mahkamah memutuskan secara alternatif tanpa mengubah ketentuan syarat usia yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga tidak dapat dikatakan sebagai norma yang bersifat diskriminatif sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena norma yang bersifat diskriminatif adalah apabila norma tersebut membuat perlakuan berbeda yang semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan perkembangan pengaturan persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden, original intent terhadap Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta putusan-putusan Mahkamah terkait dengan batas usia bagi jabatan publik, persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Bagi Mahkamah yang penting penentuan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak boleh menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara yang dalam penalaran wajar potensial diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal tersebut, keinginan DPR dan Presiden sebagaimana tersurat dalam keterangannya mengharapkan agar tolok ukur batasan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden disesuaikan dengan dinamika perkembangan usia produktif, menurut Mahkamah hal demikian menjadi ranah kewenangan DPR dan Presiden untuk membahas dan memutuskannya dalam pembentukan undangundang. Terlebih lagi, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan syaratsyarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undangundang, dalam hal ini batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden termasuk syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sepenuhnya merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Oleh karena itu, dalil permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023, antara lain terkait batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023 di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan “memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara” seharusnya menjadi pengecualian persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan pengertian penyelenggara negara, terdapat sejumlah pengaturan dalam beberapa undang-undang, sebagai berikut:
Pertama, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/1999) mendefinisikan penyelenggara negara sama dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara Negara menurut UU 28/1999 meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang dimaksud dengan pejabat lainnya dalam Penjelasan UU a quo misalnya Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Kedua, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mendefiniskan penyelenggara negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apatur Sipil Negara menggunakan istilah pejabat negara yaitu, Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; Gubernur dan wakil gubernur; Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan pengaturan di beberapa undang-undang di atas baik dari pengertian maupun jenis penyelenggara negara sangat beragam, namun demikian bukan berarti tidak dapat dibedakan. Salah satu cara membedakannya yakni dilihat dari bagaimana jabatan tersebut diisi. Terdapat beberapa penyelenggara negara yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials) seperti presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati, serta anggota lembaga perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Selain itu, terdapat pula penyelenggara negara yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan diangkat atau ditunjuk (appointed officials) oleh presiden, seperti menteri serta penyelenggara negara yang proses pengisiannya melibatkan presiden dan DPR, seperti komisioner beberapa lembaga negara. Dengan demikian, tidak semua penyelenggara negara dapat dipersamakan karena adanya perbedaan salah satunya berkenaan dengan cara pengisian jabatan tersebut.

[3.14.2] Bahwa apabila dihubungkan dengan permohonan Pemohon, persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dikecualikan bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara justru akan menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Karena, jenis penyelenggara negara sangat beragam, dan sebagai jabatan puncak/tertinggi kekuasaan eksekutif maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden memiliki karakteristik berbeda bahkan tanggung jawab lebih besar dibandingkan dengan penyelenggara negara lainnya. Dengan tidak memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama menurut Mahkamah bukanlah suatu bentuk diskriminasi. Terlebih lagi permohonan Pemohon tidak membedakan jabatan yang dipilih dan diangkat, namun hanya menyatakan bagi penyelenggara negara tanpa kecuali, sehingga apabila disamakan justru akan menimbulkan ketidakadilan.
Bahwa dengan beragamnya jenis/karakteristik penyelenggara negara seperti diuraikan di atas, Mahkamah harus membatasi dirinya untuk tidak menentukan jabatan penyelenggara negara mana saja yang dapat menjadi konversi dari batasan usia minimal untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Terlebih lagi konversi dimaksud dapat dipandang sebagai upaya untuk mensiasati batasan usia minimal dimaksud yang telah sejak lama dinilai sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Dengan demikian, upaya konversi yang dimohonkan oleh Pemohon harus pula diserahkan kepada pembentuk undangundang, sehingga Mahkamah konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, termasuk Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 29/PUU-XXI/20023 yang diucapkan sebelumnya.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dikecualikan bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara” telah ternyata tidak melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Erman Safar (Wali Kota Bukit Tinggi Periode 2021-2024), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan Periode 2021-2026), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026), Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto Periode 2021-2026). Dalam hal ini memberikan kuasa kepada M. Maulana Bungaran, S.H., M.H. dan Munatshir Mustaman, S.H., M.H., para advokat dari Kantor Hukum Bungaran & Co. dalam hal ini bertindak baik bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Erman Safar (Wali Kota Bukit Tinggi Periode 2021-2024), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan Periode 2021-2026), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026), Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto Periode 2021-2026). Dalam hal ini memberikan kuasa kepada M. Maulana Bungaran, S.H., M.H. dan Munatshir Mustaman, S.H., M.H., para advokat dari Kantor Hukum Bungaran & Co. dalam hal ini bertindak baik bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU Pemilu

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Arkaan Wahyu Re A, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian ketentuan dalam UU 7/2017 melalui permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa selanjutnya sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok Permohonan, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal sebagai berikut:
Bahwa Pemohon mengajukan Permohonan bertanggal 03 Agustus 2023 dan diterima Mahkamah pada tanggal 04 Agustus 2023 untuk kemudian dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi sebagai perkara nomor 91/PUU-XXI/2023. Terhadap perkara tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pendahuluan dengan agenda memeriksa Permohonan Pemohon pada tanggal 07 September 2023 dan persidangan pendahuluan berikutnya dengan agenda memeriksa perbaikan Permohonan Pemohon pada tanggal 20 September 2023, selanjutnya pada tanggal 29 September 2023 Mahkamah menerima Permohonan pencabutan perkara melalui surat bertanggal 26 September 2023 yang ditandatangani oleh para kuasa hukum Pemohon, dan pada tanggal 30 September 2023 Mahkamah kemudian menerima surat permohonan pembatalan pencabutan Perkara melalui surat tertanggal 29 September 2023. Terhadap hal tersebut, berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim, Mahkamah menugaskan kembali panel perkara a quo untuk melakukan persidangan pendahuluan dengan agenda konfirmasi terhadap permohonan Pemohon, yang kemudian dilaksanakan pada tanggal 03 Oktober 2023. Berdasarkan sidang konfirmasi tersebut diperoleh kejelasan dan kepastian bahwa perkara a quo tetap dimintakan untuk dilanjutkan oleh Pemohon [vide Risalah Persidangan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, tanggal 03 Oktober 2023, hlm. 9]. Dengan demikian, Mahkamah harus mengesampingkan permohonan pencabutan perkara a quo dan selanjutnya akan mempertimbangkan permohonan Pemohon.

[3.4] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan berkaitan dengan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan sebelumnya, di mana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertanggal 16 Oktober 2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Bahwa dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Namun, oleh karena telah dikabulkannya sebagian dari substansi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, sehingga rumusan Pasal a quo yang berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”; dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, maka sesungguhnya terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat adalah sebagaimana pemaknaan yang telah dinyatakan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan tidak lagi sebagaimana norma yang dijadikan objek dalam permohonan a quo. Dengan demikian, terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK]. Sehingga, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, permohonan Pemohon telah kehilangan objek.

[3.5] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan Kedudukan Hukum Pemohon dan Pokok Permohonan.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kehilangan objek.

[3.7] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Melisa Mylitiachristi Tarandung, S.H., yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Irwan Gustaf Lalegit, S.H., yang berprofesi sebagai Advokat dari Kantor Advokat “Irwan Lalegit & Rekan”, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 17, Pasal 28C ayat (1), 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan berkaitan dengan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUUXXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan sebelumnya, dimana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertanggal 16 Oktober 2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Bahwa dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, namun oleh karena telah dikabulkannya sebagian dari substansi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, sehingga rumusan Pasal a quo yang berbunyi “ berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”; dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, maka sesungguhnya terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat adalah sebagaimana pemaknaan yang telah dinyatakan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan tidak lagi sebagaimana norma yang dijadikan objek dalam permohonan a quo. Dengan demikian, terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK]. Sehingga terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, permohonan Pemohon telah kehilangan objek.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan Kedudukan Hukum Pemohon dan Pokok Permohonan.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kehilangan objek.
[3.6] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 105/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Sofianto Soetono, S.H., dan Imam Hermanda, S.H. yang untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 6 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 19 Agustus 2023, dari perseorangan Warga Negara Indonesia bernama Sofianto Soetono, S.H., dan Imam Hermanda, S.H., yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Agustus 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 102/PUU/PAN.MK/AP3/08/2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 105/PUU-XXI/2023 pada tanggal 28 Agustus 2023, perihal permohonan Pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 105/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 105.105/PUU/ TAP.MK/Panel/08/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023, bertanggal 28 Agustus 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 105.105/PUU/TAP.MK/HS/8/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa perkara Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023, bertanggal 28 Agustus 2023;
c. bahwa terhadap permohonan tersebut, berdasarkan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 20 September 2023 dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan dan Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK serta memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. bahwa sebelum pelaksanaan sidang Panel dengan acara pemeriksaan perbaikan permohonan para Pemohon, Mahkamah Konstitusi telah menerima surat elektronik (email) dari para Pemohon, bertanggal 3 Oktober 2023, perihal Pencabutan Permohonan Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 dengan alasan yang pada pokoknya sebagaimana tersebut dalam surat pencabutan a quo;
e. bahwa pada tanggal 3 Oktober 2023, Mahkamah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara pemeriksaan perbaikan permohonan para Pemohon sekaligus melakukan konfirmasi kepada para Pemohon perihal pencabutan dimaksud, namun para Pemohon tidak hadir dalam persidangan tersebut padahal sudah dipanggil secara patut;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut sebagaimana dikemukakan dalam huruf d di atas, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, "Pemohon dapat menarik bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut sebagaimana dikemukakan dalam huruf d di atas, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, "Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 10 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 105/PUU- XXI/2023 beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 109/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Meidiantoni (ASN) untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 68 ayat (3), Pasal 68 ayat (4), dan Pasal 128 ayat (1) UU 1/2023

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah pada tanggal 27 September 2023, telah menerima email bertanggal 27 September 2023 dari Pemohon yang pada pokoknya Pemohon menarik kembali atau mencabut permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perkara Nomor 109/PUU-XXI/2023. Selanjutnya perihal penarikan permohonan tersebut, Mahkamah pada hari Senin, tanggal 2 Oktober 2023, pukul 09.00 WIB telah menjadwalkan sidang Panel untuk melakukan konfirmasi penarikan perkara a quo. Pada Sidang Panel tersebut setelah Mahkamah melakukan klarifikasi kepada Pemohon berkaitan dengan surat penarikan atau pencabutan permohonan perkara a quo. Pemohon menyampaikan adalah benar Pemohon mengajukan penarikan kembali terhadap permohonan a quo dikarenakan permohonan tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
b. bahwa terhadap penarikan kembali atau pencabutan permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”, dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan, “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 4 Oktober 2023 telah berkesimpulan bahwa penarikan kembali atau pencabutan permohonan Nomor 109/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam e-BRPK dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 111/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. Aparatur Sipil Negara (ASN), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

a. …
b. bahwa pada hari Rabu, tanggal 27 September 2023, Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon bertanggal 27 September 2023 melalui email perihal penarikan/pencabutan permohonan Perkara Nomor 111/PUU-XXI/2023;
c. bahwa untuk menindaklanjuti perihal surat penarikan/pencabutan perkara a quo, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan panel dengan agenda konfirmasi penarikan permohonan pada hari Senin, tanggal 2 Oktober 2023. Dalam persidangan tersebut, Majelis Panel telah mengklarifikasi perihal penarikan dimaksud dan Pemohon membenarkan ihwal penarikan permohonannya;
d. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 4 Oktober 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 111/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 112/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. (ASN DJP Kementerian Keuangan),untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 10, Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Perasuransian dan Pasal 4 ayat (1) huruf n UU HPP

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 10, Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Perasuransian dan Pasal 4 ayat (1) huruf n UU HPP P dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 13 Agustus 2023, yang diajukan oleh perseorangan Warga Negara Indonesia yang bernama Meidiantoni, S.E., M.M., beralamat di Villa Citra Blok BB 14 RT 007 RW 000, Jagabaya III Way Halim, Bandar Lampung, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 99/PUU/PAN.MK/AP3/ 08/2023, bertanggal 13 Agustus 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 4 September 2023 dengan Nomor 112/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 112/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 112.112/PUU/TAP.MK/Panel/09/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 112/PUU-XXI/2023, bertanggal 4 September 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 112.112/PUU/TAP.MK/HS/09/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 112/PUU-XXI/2023, bertanggal 4 September 2023;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 27 September 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. bahwa selanjutnya, Mahkamah telah menerima surat penarikan/pencabutan terhadap Perkara Nomor 112/PUUXXI/2023 bertanggal 27 September 2023 yang diajukan oleh Pemohon, perihal Penarikan Kembali Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa pada tanggal 2 Oktober 2023, Mahkamah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara konfirmasi penarikan permohonan, selanjutnya Majelis Hakim Panel telah menerima konfirmasi dari Pemohon yang membenarkan adanya penarikan permohonan a quo, dengan alasan yang pada pokoknya sebagaimana tersebut dalam surat penarikan a quo;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 4 Oktober 2023 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 112/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 02-10-2023

Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, dkk (121 Pemohon) untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

pengujian formil UU 6/2023

pengujian formil UU 6/2023

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 6/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan persetujuan UU 6/2023 oleh DPR tidak dalam masa persidangan berikutnya setelah Perppu 2/2022 ditetapkan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait “persidangan yang berikut” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 2 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang- undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang- undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang- undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, yakni mempersoalkan terkait “persidangan yang berikut”. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil para Pemohon berkenaan dengan proses persetujuan UU 6/2023 oleh DPR tidak dalam masa persidangan berikutnya setelah Perppu 2/2022 ditetapkan, sehingga proses persetujuan DPR terhadap Perppu 2/2022 bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 6/2023 merupakan bentuk nyata persekutuan pembangkangan Pemerintah dan DPR terhadap perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan telah menjatuhkan Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.2] Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan menerbitkan perppu. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, dalam sub- Paragraf [3.20.3] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.20.3] Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan a quo, Mahkamah pada pokoknya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk segera membentuk (i) landasan hukum baku yang dijadikan pedoman pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law serta kemudian (ii) memperbaiki tata cara pembentukan UU 11/2020 dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan, yaitu sampai dengan tanggal 25 November 2023. Dalam menindaklanjuti putusan a quo, pembentuk undang-undang selanjutnya melakukan revisi terhadap UU 12/2011 dengan menerbitkan UU 13/2022 yang di dalamnya mengatur mengenai metode omnibus dan berlaku sejak tanggal 16 Juni 2022. Selanjutnya pada tanggal 30 Desember 2022, Presiden menetapkan Perppu 2/2022 yang di dalamnya memuat perbaikan atas kesalahan penulisan dan kutipan dalam merujuk pasal yang sifatnya tidak substansial, sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Kemudian Perppu 2/2022 diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan menjadi undang-undang dan setelah menempuh rangkaian proses pembentukan, pada tanggal 31 Maret 2023 diundangkanlah UU 6/2023 yang merupakan hasil revisi pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Dengan mencermati sequence waktu tersebut, maka menurut Mahkamah, kedua hal yang diamanatkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020 telah dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang sebagai adressat putusan a quo, yaitu membentuk landasan hukum metode omnibus dan memperbaiki tata cara pembentukan UU 11/2020 sebelum jangka waktu 2 (dua) tahun berakhir.
[3.15.3] Bahwa persoalan selanjutnya yang disampaikan oleh para Pemohon adalah terkait dengan metode revisi UU 11/2020 dengan menggunakan bentuk hukum perppu. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, perppu merupakan kewenangan konstitusional dan eksklusif yang melekat pada jabatan Presiden. Meskipun kewenangan konstitusional Presiden, namun kewenangan menerbitkan perppu tetap terdapat syarat konstitusional yang harus diperhatikan oleh Presiden dalam menggunakan kewenangan konstitusionalnya yaitu adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.14.1] di atas. Artinya, norma konstitusi memang memberikan pilihan kebijakan hukum (diskresi) kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (presidential leadership legal policy) apakah akan menggunakan perppu atau tidak dalam merevisi UU 11/2020. Apabila langkah yang diambil Presiden adalah dengan menggunakan perppu, maka penilaian subjektivitas Presiden terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa, selanjutnya harus mendapatkan persetujuan DPR. Persetujuan DPR tersebut adalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasarkan fakta dalam persidangan, terungkap bahwa pertimbangan Presiden untuk mengambil langkah dengan menetapkan Perppu 2/2022 dilakukan terlebih dahulu untuk merevisi UU 11/2020 adalah karena terjadinya krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang menerpa dunia termasuk Indonesia dan tidak diketahui kapan berakhirnya [vide keterangan tertulis DPR hlm. 11 dan keterangan Ahli Presiden dalam persidangan tanggal 23 Agustus 2023]. Sementara di sisi lain juga harus melakukan ikhtiar untuk mempertahankan performa perekonomian negara agar tidak jatuh sebagaimana negara-negara lainnya, sehingga perlu bauran kebijakan yang antisipatif dan solutif sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan UU 11/2020 [vide keterangan tertulis Presiden hlm. 17]. Latar belakang demikian kemudian menjadikan perbaikan UU 11/2020 tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara luar biasa melalui penerbitan perppu oleh Presiden. Dalam hal perbaikan UU 11/2020 dilakukan dengan membuat undang-undang secara biasa (as usual), maka momentum antisipasi atas dampak krisis global yang tidak menentu dan berubah secara cepat, serta kepastian hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat hilang atau setidak-tidaknya berkurang, sehingga upaya pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis akan terlambat dan ujungnya berisiko bagi perekonomian negara. Hal demikian justru malah akan membawa Indonesia ke dalam situasi krisis dalam negeri yang akan berdampak terjadinya penurunan tingkat perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu, serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akibat selanjutnya dapat menimbulkan masalah sosial dan politik. Bahkan situasi tersebut juga akan berdampak langsung tidak hanya pada kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan kelompok masyarakat rentan lainnya karena mereka akan berhadapan langsung dengan dampak ketidakpastian situasi global, tetapi juga pada investor yang merasakan urgensi dalam mencari kepastian hukum untuk mengevaluasi kembali peluang investasi mereka di Indonesia setelah masa sulit yang panjang pasca Covid-19. Selain itu, untuk menghindari timbulnya stagnasi pemerintahan setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan terlebih dahulu pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta pengambilan kebijakan yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan antisipasi terhadap situasi dan kondisi tersebut.
[3.15.4] Bahwa pertimbangan Presiden dalam menetapkan Perppu 2/2022 tersebut kemudian telah dilakukan fungsi pengawasan dan penilaian (review) oleh DPR dan telah menempuh rangkaian proses pembentukan undang-undang di DPR hingga akhirnya mendapatkan persetujuan melalui UU 6/2023 yang merupakan bentuk akhir dari revisi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Oleh karenanya, Mahkamah menilai, penetapan Perppu 2/2022 a quo merupakan pilihan kebijakan hukum Presiden (presidential leadership legal policy) yang sesuai dengan konstitusi dan merupakan satu kesatuan rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi terhadap UU 11/2020 yang pada akhirnya berujung pada diundangkannya UU 6/2023 sebagai hasil akhir perubahan terhadap UU 11/2020 sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 11 UU 12/2011, kedudukan perppu adalah sederajat dengan undang- undang dan materi muatan perppu sama dengan materi muatan undang- undang. Artinya, perbaikan terhadap UU 11/2020 yang dituangkan ke dalam bentuk hukum Perppu 2/2022 yang kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi UU 6/2023 adalah memiliki kedudukan dan materi muatan yang sama dengan perbaikan dalam bentuk undang-undang, karena pilihan bentuk hukum, apakah dalam bentuk undang-undang atau perppu adalah domain pembentuk undang-undang dan pada dasarnya telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, menurut Mahkamah, tidak terdapat pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum karena proses pembahasan perppu yang menjadi undang-undang justru merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sekaligus memberikan kepastian hukum dalam negara hukum yang demokratis. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan dengan menerbitkan perppu adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan para Pemohon adalah berkenaan dengan adanya pembangkangan Pemerintah dan DPR terhadap perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dengan menerbitkan Perppu 2/2022, pada hakikatnya sama dengan apa yang telah dipertimbangkan sebelumnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil permohonan para Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembangkangan DPR dan Presiden terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu 2/2022 yang disetujui oleh DPR sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan telah menjatuhkan Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa para Pemohon mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Februari 2010. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, pasca perubahan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan oleh MPR semata, melainkan dilaksanakan menurut undang-undang dasar [vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945], sehingga kekuasaan negara dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat terdistribusi kepada masing- masing cabang kekuasaan lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lain berdasarkan prinsip “checks and balances” sesuai dengan fungsinya masing-masing yang mengacu pada tujuan negara yang termuat dalam konstitusi. Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara, sehingga diperlukan proses legislative review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang- undang atau ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang. Artinya, ketika sebuah perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang. Sehingga, ruang penilaian terhadap parameter kegentingan yang memaksa hanya ada di DPR dan telah selesai ketika DPR memberikan persetujuannya. Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022 [vide Konsiderans Menimbang huruf f Perppu 2/2022], hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil permohonan para Pemohon yang mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan para Pemohon adalah berkenaan dengan penetapan Perppu 2/2022 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yang pada intinya tidak berbeda dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU- XXI/2023 sebagaimana yang telah diucapkan sebelumnya, maka pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil permohonan para Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan tidak terpenuhinya syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam penetapan Perppu 2/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14], Paragraf [3.15], dan Paragraf [3.16] di atas, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Terhadap perkara a quo, keempat Hakim Konstitusi tersebut tetap memiliki pendapat yang sama sebagaimana dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, para Pemohon menggabungkan permohonan pengujian formil dan materiil. Sementara itu, Mahkamah telah mengeluarkan ketetapan yang pada pokoknya memisahkan pemeriksaan pengujian formil dan pengujian materiil, serta menunda pemeriksaan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Nomor 40/PUU- XXI/2023, Nomor 39/PUU-XXI/2023, dan Nomor 49/PUU-XXI/2023 tentang Pemisahan Pemeriksaan Permohonan Pengujian Formil dan Materiil, Serta Penundaan Pemeriksaan Permohonan Pengujian Materiil. Oleh karena pengujian formil dalam permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum, maka pemeriksaan pengujian materiil akan segera dilanjutkan.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 02-10-2023

Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam hal ini diwakili oleh Elly Rosita Silaban (Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI) dan Dedi Hardianto (Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional KSBSI), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

pengujian formil UU 6/2023

pengujian formil UU 6/2023

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 6/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan persetujuan UU 6/2023 oleh DPR tidak dalam masa persidangan berikutnya setelah Perppu 2/2022 ditetapkan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait “persidangan yang berikut” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 2 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang- undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang- undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang- undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, yakni mempersoalkan terkait “persidangan yang berikut”. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan a quo.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan UU 6/2023 baru mendapat persetujuan DPR dalam masa sidang ke-2 (dua) setelah Perppu 2/2022 ditetapkan, sehingga Pengesahan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengambilan keputusan persetujuan DPR atas RUU tentang Penetapan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022 –2023, yang dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2023 tidak memenuhi jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat (kuorum);
Terhadap dalil tersebut, Pemohon mengajukan alat bukti P-12 untuk menguatkan dalilnya yaitu, rekaman rapat paripurna yang menurut Pemohon merupakan rekaman Rapat Paripurna DPR RI tanggal 21 Maret 2023 yang disiarkan melalui TV Parlemen dan menunjukkan rapat paripurna dimaksud dengan memperlihatkan rapat paripurna hanya dihadiri oleh sejumlah 285 anggota DPR RI dengan keterangan hadir sejumlah 75 anggota DPR RI secara fisik, hadir sejumlah 210 anggota DPR RI secara virtual, dan sejumlah 95 anggota DPR RI izin. Terhadap dalil yang dikemukakan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk memeriksa bukti lampiran secara saksama baik yang disampaikan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh DPR, in casu Laporan Kehadiran Anggota Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kepala Bagian Persidangan Paripurna, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2023. Setelah mencermati dengan saksama, ditemukan fakta hukum bahwa kehadiran yang tercatat pada Laporan Kehadiran Anggota Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Selasa 21 Maret 2023 tersebut adalah sejumlah 111 anggota DPR RI hadir secara fisik, sejumlah 237 anggota DPR RI hadir secara virtual, dan sejumlah 155 anggota DPR RI izin [vide lampiran 7 Keterangan DPR RI]. Sehingga, didapati sejumlah 348 anggota DPR RI hadir baik secara fisik maupun virtual dalam rapat paripurna pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2023, dengan agenda yang di antaranya adalah berkenaan dengan Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Dalam keterangannya, DPR menyatakan jumlah final penghitungan kehadiran sidang-sidang paripurna DPR RI, merupakan kewenangan dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI, selaku unit kerja yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan jumlah kehadiran anggota DPR RI dalam persidangan paripurna di DPR RI. Sehubungan dengan hal tersebut, kewenangan Setjen DPR RI dalam melakukan penghitungan jumlah kehadiran anggota DPR RI dalam sidang diatur dalam Pasal 279 ayat (3) dan ayat (7) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR RI 1/2020) yang menyatakan:
“(3) Ketidakhadiran Anggota dalam rapat harus mendapat izin dari Pimpinan Fraksi dan diberitahukan secara tertulis dengan disertai alasan, serta disampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR;
(4).....;
(5) dst;
(7) Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Bahwa berkenaan dengan hasil akhir penghitungan jumlah kehadiran anggota DPR RI dalam sidang, selanjutnya dilaporkan secara periodik kepada pimpinan Fraksi, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 280 Tatib DPR RI 1/2020. Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, menurut Mahkamah perhitungan jumlah akhir kehadiran anggota DPR RI yang memenuhi jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat (kuorum) merupakan suatu keharusan. Oleh karenanya, pelaksanaan konfirmasi dan verifikasi keabsahan dari anggota DPR RI secara periodik melalui Setjen DPR RI, merupakan wujud sikap kehati-hatian yang perlu dilakukan guna mencegah terjadinya potensi pelanggaran terhadap Tatib DPR RI 1/2020, khususnya berkenaan dengan kuorum. Selain itu, tidak terdapat bukti lain yang diajukan oleh Pemohon berkenaan adanya keberatan maupun interupsi dari para peserta rapat yang hadir baik secara fisik maupun virtual berkenaan dengan jumlah anggota DPR RI yang tidak memenuhi kuorum dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 21 Maret 2023 tersebut. Adapun, dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang telah disepakati oleh 7 (tujuh) Fraksi dan ada 2 (dua) Fraksi yang menyatakan tidak setuju, yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam hal ini, keberatan tersebut hanya berkenaan dengan persetujuan tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa rapat paripurna dengan agenda Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang tidak terpenuhinya syarat kuorum untuk mengesahkan RUU a quo. Terlebih, berdasarkan ketentuan Tatib DPR RI 1/2020 Pasal 313 ayat (1) yang pada pokoknya pengambilan keputusan suara terbanyak adalah sah apabila dihadiri oleh anggota dan unsur Fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (1) dan disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Anggota yang hadir. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan jumlah anggota yang tercatat hadir oleh Setjen DPR RI dalam kegiatan rapat paripurna Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang berjumlah 348 anggota DPR RI dan dikurangi dengan jumlah 2 (dua) Fraksi yang keberatan yaitu, Fraksi Demokrat sejumlah 31 anggota dan Fraksi PKS sejumlah 30 anggota maka, total Anggota DPR RI yang menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang adalah sejumlah 285 Anggota DPR RI, sehingga tetap memenuhi kuorum karena Keputusan suara terbanyak adalah sah apabila dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi serta disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Anggota yang hadir [vide Pasal 313 ayat (1) Tatib DPR RI 1/2020]. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon mengenai pengambilan keputusan persetujuan DPR atas RUU tentang Penetapan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022–2023, yang dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2023 tidak memenuhi jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat (kuorum) adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, serta asas kejelasan rumusan, sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf c, dan huruf f, UU 12/2011, Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam hal pengujian formil pembentukan undang-undang pada umumnya berbeda dengan pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu. Sementara itu, Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan serta asas kejelasan rumusan. Oleh karena UU 6/2023 adalah undang-undang yang berasal dari perppu dan pengujian permohonan a quo adalah pengujian formil, sedangkan dalil Pemohon adalah berkenaan dengan pengujian materiil, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang berkenaan dengan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas keterbukaan karena minimnya keterlibatan partisipasi masyarakat termasuk Pemohon. Bahwa berkaitan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah memberikan penilaiannya terkait “pemenuhan asas keterbukaan dalam UU 6/2023” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011, yang telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, yang telah diucapkan sebelumnya, khususnya dalam pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15.5] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, berdasarkan kerangka hukum pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, sebuah perppu yang telah ditetapkan oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar tetap memiliki daya keberlakuan sebagai undang-undang. Pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR tersebut adalah dalam bentuk RUU. Namun demikian, walaupun dengan bentuk RUU (yang sama dengan undang-undang biasa), RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang memiliki karakter yang berbeda dengan RUU biasa, seperti mekanisme tahapan serta jangka waktu sebagaimana yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Karakter khusus dari RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut juga menyebabkan tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi mengikat secara absolut. Misalnya, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 telah menentukan pengertian dari asas keterbukaan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu tidak menempuh semua tahapan sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 a quo. Terlebih lagi, aspek kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat dalam penerbitan perppu menyebabkan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki keterbatasan/limitasi waktu sehingga menurut penalaran yang wajar, perlu ada pembedaan antara undang-undang yang berasal dari perppu dengan undang-undang biasa, termasuk dalam hal pelaksanaan prinsip meaningful participation. Oleh karena itu, proses persetujuan RUU penetapan perppu menjadi undang-undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena adanya situasi kegentingan yang memaksa sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat. Meskipun demikian, dalam proses pembahasan RUU penetapan Perppu menjadi UU tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, namun DPR wajib memberikan infromasi kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dan memberi masukan, seperti melalui aplikasi sistem informasi yang ada dalam laman resmi DPR.
[3.15.6] Bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan kemudian diakomodir dalam norma Pasal 96 UU 13/2022 dimaksudkan agar tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, pembentuk undang-undang memiliki kewajiban untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan kepada semua pihak, khususnya pihak yang terdampak dan yang berkepentingan atas pilihan kebijakan yang diambil atau ditetapkan tidak dapat diterapkan dalam hal pilihan kebijakan berupa perppu. Oleh karenanya, dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan, terlebih pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan. Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum.
Setelah membaca secara saksama pertimbangan hukum tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, oleh karena isu konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam permohonan a quo, pada intinya tidak berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana yang telah diucapkan sebelumnya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum terhadap dalil Pemohon dalam permohonan a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas keterbukaan karena minimnya keterlibatan partisipasi masyarakat termasuk Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.17] di atas, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Terhadap perkara a quo, keempat Hakim Konstitusi tersebut tetap memiliki pendapat yang sama sebagaimana dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 02-10-2023

Serikat Petani Indonesia (SPI) dan lain sebagainya yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Janses E. Sihaloho, dkk, Advokat, Konsultan Hukum, dan Pembela Hak-Hak Konstitusional yang tergabung dalam TIM ADVOKASI GUGAT OMNIBUS LAW, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil UU 6/2023

pengujian formil UU 6/2023

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 6/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang diucapkan sebelumnya dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 2 Oktober 2023, dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa para Pemohon mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Februari 2010. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, pasca perubahan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan oleh MPR semata, melainkan dilaksanakan menurut undang-undang dasar [vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945], sehingga kekuasaan negara dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat terdistribusi kepada masing-masing cabang kekuasaan lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lain berdasarkan prinsip “checks and balances” sesuai dengan fungsinya masing-masing yang mengacu pada tujuan negara yang termuat dalam konstitusi. Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara, sehingga diperlukan proses legislative review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang-undang atau ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang. Artinya, ketika sebuah perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang. Sehingga, ruang penilaian terhadap parameter kegentingan yang memaksa hanya ada di DPR dan telah selesai ketika DPR memberikan persetujuannya. Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022 [vide Konsiderans Menimbang huruf f Perppu 2/2022], hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil permohonan para Pemohon yang mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan para Pemohon adalah berkenaan dengan penetapan Perppu 2/2022 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, maka pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil para Pemohon a quo.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi persyaratan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah memberikan pandangannya terkait “persidangan yang berikut” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.2] Bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikatnya sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Terlebih, esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 yakni mempersoalkan terkait “persidangan yang berikut”. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan a quo.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai Pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi persyaratan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan UU 6/2023 bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa berkenaan dengan isu anggapan penetapan Perppu 2/2022 yang kemudian ditetapkan menjadi UU 6/2023 tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.2] Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan menerbitkan perppu. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, dalam sub-Paragraf [3.20.3] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.20.3] Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan a quo, Mahkamah pada pokoknya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk segera membentuk (i) landasan hukum baku yang dijadikan pedoman pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law serta kemudian (ii) memperbaiki tata cara pembentukan UU 11/2020 dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan, yaitu sampai dengan tanggal 25 November 2023. Dalam menindaklanjuti putusan a quo, pembentuk undang-undang selanjutnya melakukan revisi terhadap UU 12/2011 dengan menerbitkan UU 13/2022 yang di dalamnya mengatur mengenai metode omnibus dan berlaku sejak tanggal 16 Juni 2022. Selanjutnya pada tanggal 30 Desember 2022, Presiden menetapkan Perppu 2/2022 yang di dalamnya memuat perbaikan atas kesalahan penulisan dan kutipan dalam merujuk pasal yang sifatnya tidak substansial, sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Kemudian Perppu 2/2022 diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan menjadi undang-undang dan setelah menempuh rangkaian proses pembentukan, pada tanggal 31 Maret 2023 diundangkanlah UU 6/2023 yang merupakan hasil revisi pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Dengan mencermati sequence waktu tersebut, maka menurut Mahkamah, kedua hal yang diamanatkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang sebagai adressat putusan a quo, yaitu membentuk landasan hukum metode omnibus dan memperbaiki tata cara pembentukan UU 11/2020 sebelum jangka waktu 2 (dua) tahun berakhir.
[3.15.3] Bahwa persoalan selanjutnya yang disampaikan oleh para Pemohon adalah terkait dengan metode revisi UU 11/2020 dengan menggunakan bentuk hukum perppu. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, perppu merupakan kewenangan konstitusional dan eksklusif yang melekat pada jabatan Presiden. Meskipun kewenangan konstitusional Presiden, namun kewenangan menerbitkan perppu tetap terdapat syarat konstitusional yang harus diperhatikan oleh Presiden dalam menggunakan kewenangan konstitusionalnya yaitu adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.14.1] di atas. Artinya, norma konstitusi memang memberikan pilihan kebijakan hukum (diskresi) kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (presidential leadership legal policy) apakah akan menggunakan perppu atau tidak dalam merevisi UU 11/2020. Apabila langkah yang diambil Presiden adalah dengan menggunakan perppu, maka penilaian subjektivitas Presiden terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa, selanjutnya harus mendapatkan persetujuan DPR. Persetujuan DPR tersebut adalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasarkan fakta dalam persidangan, terungkap bahwa pertimbangan Presiden untuk mengambil langkah dengan menetapkan Perppu 2/2022 dilakukan terlebih dahulu untuk merevisi UU 11/2020 adalah karena terjadinya krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang menerpa dunia termasuk Indonesia dan tidak diketahui kapan berakhirnya [vide keterangan tertulis DPR hlm. 11 dan keterangan Ahli Presiden dalam persidangan tanggal 23Agustus 2023]. Sementara di sisi lain juga harus melakukan ikhtiar untuk mempertahankan performa perekonomian negara agar tidak jatuh sebagaimana negara-negara lainnya, sehingga perlu bauran kebijakan yang antisipatif dan solutif sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan UU 11/2020 [vide keterangan tertulis Presiden hlm. 17]. Latar belakang demikian kemudian menjadikan perbaikan UU 11/2020 tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara luar biasa melalui penerbitan perppu oleh Presiden. Dalam hal perbaikan UU 11/2020 dilakukan dengan membuat undang-undang secara biasa (as usual), maka momentum antisipasi atas dampak krisis global yang tidak menentu dan berubah secara cepat, serta kepastian hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat hilang atau setidak-tidaknya berkurang, sehingga upaya pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis akan terlambat dan ujungnya berisiko bagi perekonomian negara. Hal demikian justru malah akan membawa Indonesia ke dalam situasi krisis dalam negeri yang akan berdampak terjadinya penurunan tingkat perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu, serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akibat selanjutnya dapat menimbulkan masalah sosial dan politik. Bahkan situasi tersebut juga akan berdampak langsung tidak hanya pada kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan kelompok masyarakat rentan lainnya karena mereka akan berhadapan langsung dengan dampak ketidakpastian situasi global, tetapi juga pada investor yang merasakan urgensi dalam mencari kepastian hukum untuk mengevaluasi kembali peluang investasi mereka di Indonesia setelah masa sulit yang panjang pasca Covid-19. Selain itu, untuk menghindari timbulnya stagnasi pemerintahan setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan terlebih dahulu pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta pengambilan kebijakan yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan antisipasi terhadap situasi dan kondisi tersebut.
[3.15.4] Bahwa pertimbangan Presiden dalam menetapkan Perppu 2/2022 tersebut kemudian telah dilakukan fungsi pengawasan dan penilaian (review) oleh DPR dan telah menempuh rangkaian proses pembentukan undang-undang di DPR hingga akhirnya mendapatkan persetujuan melalui UU 6/2023 yang merupakan bentuk akhir dari revisi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Oleh karenanya, Mahkamah menilai, penetapan Perppu 2/2022 a quo merupakan pilihan kebijakan hukum Presiden (presidential leadership legal policy) yang sesuai dengan konstitusi dan merupakan satu kesatuan rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi terhadap UU 11/2020 yang pada akhirnya berujung pada diundangkannya UU 6/2023 sebagai hasil akhir perubahan terhadap UU 11/2020 sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 11 UU 12/2011, kedudukan perppu adalah sederajat dengan undang-undang dan materi muatan perppu sama dengan materi muatan undang-undang. Artinya, perbaikan terhadap UU 11/2020 yang dituangkan ke dalam bentuk hukum Perppu 2/2022 yang kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi UU 6/2023 adalah memiliki kedudukan dan materi muatan yang sama dengan perbaikan dalam bentuk undang-undang, karena pilihan bentuk hukum, apakah dalam bentuk undang-undang atau perppu adalah domain pembentuk undang-undang dan pada dasarnya telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, menurut Mahkamah, tidak terdapat pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum karena proses pembahasan perppu yang menjadi undang-undang justru merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sekaligus memberikan kepastian hukum dalam negara hukum yang demokratis. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan dengan menerbitkan perppu adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan para Pemohon adalah berkenaan dengan ketidaksesuaian antara penetapan UU 6/2023 dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil para Pemohon a quo.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai UU 6/2023 bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14], Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] di atas, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Terhadap perkara a quo, keempat Hakim Konstitusi tersebut tetap memiliki pendapat yang sama sebagaimana dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 02-10-2023

Partai Buruh yang diwakili oleh Ir. H. Said Iqbal, M.E (Presiden) dan Ferri Nuzarli, S.E., S.H. (Sekretaris Jenderal), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Said Salahudin, M.H., dkk. selaku kuasa hukum/advokat yang tergabung dalam Tim Hukum Partai Buruh, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian formil UU 6/2023

pengujian formil UU 6/2023

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap argumentasi Pemohon dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli Pemohon, dan Presiden, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis Pemohon dan Presiden, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon.
[3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak sesuai dengan syarat formil yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU 13/2022. Terhadap dalil a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa syarat formil yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52
UU 13/2022 berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah syarat yang mengatur mengenai limitasi waktu penetapan undang-undang. Isu konstitusional yang didalilkan Pemohon berkaitan dengan norma ini adalah bahwa penetapan UU 6/2023 tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang ditetapkan oleh Presiden harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut
dan harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Berkenaan dengan isu tersebut dalam proses pembentukan UU 6/2023, Mahkamah telah menilai dan mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 2 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo
adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR
dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.2] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan syarat yang diatur oleh Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU 13/2022 maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan penetapan UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan penetapan UU 6/2023 tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa para Pemohon mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Februari 2010. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, pasca perubahan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan oleh MPR semata, melainkan dilaksanakan menurut undang-undang dasar [vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945], sehingga kekuasaan negara dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat terdistribusi kepada masing-masing cabang kekuasaan lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lain berdasarkan prinsip “checks and balances” sesuai dengan fungsinya masing-masing yang mengacu pada tujuan negara yang termuat dalam konstitusi. Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara, sehingga diperlukan proses legislative review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang-undang atau ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang. Artinya, ketika sebuah perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang. Sehingga, ruang penilaian terhadap parameter kegentingan yang memaksa hanya ada di DPR dan telah selesai ketika DPR memberikan persetujuannya. Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022 [vide Konsiderans Menimbang huruf f Perppu 2/2022], hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil permohonan para Pemohon yang mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15.2] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan tidak terpenuhinya syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam penetapan UU 6/2023 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selain itu, menurut Pemohon pembentukan UU 6/2023 tidak sesuai dengan syarat partisipasi yang bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 a quo. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa berkenaan dengan isu anggapan penetapan Perppu 2/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU 6/2023 tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah telah menilai dan mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.3] Bahwa persoalan selanjutnya yang disampaikan oleh para Pemohon adalah terkait dengan metode revisi UU 11/2020 dengan menggunakan bentuk hukum perppu. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, perppu merupakan kewenangan konstitusional dan eksklusif yang melekat pada jabatan Presiden. Meskipun kewenangan konstitusional Presiden, namun kewenangan menerbitkan perppu tetap terdapat syarat konstitusional yang harus diperhatikan oleh Presiden dalam menggunakan kewenangan konstitusionalnya yaitu adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.14.1] di atas. Artinya, norma konstitusi memang memberikan pilihan kebijakan hukum (diskresi) kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (presidential leadership legal policy) apakah akan menggunakan perppu atau tidak dalam merevisi UU 11/2020. Apabila langkah yang diambil Presiden adalah dengan menggunakan perppu, maka penilaian subjektivitas Presiden terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa, selanjutnya harus mendapatkan persetujuan DPR. Persetujuan DPR tersebut adalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasarkan fakta dalam persidangan, terungkap bahwa pertimbangan Presiden untuk mengambil langkah dengan menetapkan Perppu 2/2022 dilakukan terlebih dahulu untuk merevisi UU 11/2020 adalah karena terjadinya krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang menerpa dunia termasuk Indonesia dan tidak diketahui kapan berakhirnya [vide keterangan tertulis DPR hlm. 11 dan keterangan Ahli Presiden dalam persidangan tanggal 23 Agustus 2023]. Sementara di sisi lain juga harus melakukan ikhtiar untuk mempertahankan performa perekonomian negara agar tidak jatuh sebagaimana negara-negara lainnya, sehingga perlu bauran kebijakan yang antisipatif dan solutif sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan UU 11/2020 [vide keterangan tertulis Presiden hlm. 17]. Latar belakang demikian kemudian menjadikan perbaikan UU 11/2020 tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara luar biasa melalui penerbitan perppu oleh Presiden. Dalam hal perbaikan UU 11/2020 dilakukan dengan membuat undang-undang secara biasa (as usual), maka momentum antisipasi atas dampak krisis global yang tidak menentu dan berubah secara cepat, serta kepastian hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat hilang atau setidak-tidaknya berkurang, sehingga upaya pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis akan terlambat dan ujungnya berisiko bagi perekonomian negara. Hal demikian justru malah akan membawa Indonesia ke dalam situasi krisis dalam negeri yang akan berdampak terjadinya penurunan tingkat perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu, serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akibat selanjutnya dapat menimbulkan masalah sosial dan politik. Bahkan situasi tersebut juga akan berdampak langsung tidak hanya pada kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan kelompok masyarakat rentan lainnya karena mereka akan berhadapan langsung dengan dampak ketidakpastian situasi global, tetapi juga pada investor yang merasakan urgensi dalam mencari kepastian hukum untuk mengevaluasi kembali peluang investasi mereka di Indonesia setelah masa sulit yang panjang pasca Covid-19. Selain itu, untuk menghindari timbulnya stagnasi pemerintahan setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan terlebih dahulu pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta pengambilan kebijakan yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan antisipasi terhadap situasi dan kondisi tersebut.
[3.15.4] Bahwa pertimbangan Presiden dalam menetapkan Perppu 2/2022 tersebut kemudian telah dilakukan fungsi pengawasan dan penilaian (review) oleh DPR dan telah menempuh rangkaian proses pembentukan undang-undang di DPR hingga akhirnya mendapatkan persetujuan melalui UU 6/2023 yang merupakan bentuk akhir dari revisi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Oleh karenanya, Mahkamah menilai, penetapan Perppu 2/2022 a quo merupakan pilihan kebijakan hukum Presiden (presidential leadership legal policy) yang sesuai dengan konstitusi dan merupakan satu kesatuan rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi terhadap UU 11/2020 yang pada akhirnya berujung pada diundangkannya UU 6/2023 sebagai hasil akhir perubahan terhadap UU 11/2020 sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020. Terlebih, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 11 UU 12/2011, kedudukan perppu adalah sederajat dengan undang-undang dan materi muatan perppu sama dengan materi muatan undang-undang. Artinya, perbaikan terhadap UU 11/2020 yang dituangkan ke dalam bentuk hukum Perppu 2/2022 yang kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi UU 6/2023 adalah memiliki kedudukan dan materi muatan yang sama dengan perbaikan dalam bentuk undang-undang, karena pilihan bentuk hukum, apakah dalam bentuk undang-undang atau perppu adalah domain pembentuk undang-undang dan pada dasarnya telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, menurut Mahkamah, tidak terdapat pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum karena proses pembahasan perppu yang menjadi undang-undang justru merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sekaligus memberikan kepastian hukum dalam negara hukum yang demokratis. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan dengan menerbitkan perppu adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan ketidaksesuaian antara penetapan UU 6/2023 dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka pertimbangan pada Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketidaksesuaian antara penetapan UU 6/2023 dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon bahwa pembentukan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.5] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, berdasarkan kerangka hukum pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, sebuah perppu yang telah ditetapkan oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar tetap memiliki daya keberlakuan sebagai undang-undang. Pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR tersebut adalah dalam bentuk RUU. Namun demikian, walaupun dengan bentuk RUU (yang sama dengan undang-undang biasa), RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang memiliki karakter yang berbeda dengan RUU biasa, seperti mekanisme tahapan serta jangka waktu sebagaimana yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Karakter khusus dari RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut juga menyebabkan tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi mengikat secara absolut. Misalnya, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 telah menentukan pengertian dari asas keterbukaan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu tidak menempuh semua tahapan sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 a quo. Terlebih lagi, aspek kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat dalam penerbitan perppu menyebabkan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki keterbatasan/limitasi waktu sehingga menurut penalaran yang wajar, perlu ada pembedaan antara undang-undang yang berasal dari perppu dengan undang-undang biasa, termasuk dalam hal pelaksanaan prinsip meaningful participation. Oleh karena itu, proses persetujuan RUU penetapan perppu menjadi undang-undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena adanya situasi kegentingan yang memaksa sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat. Meskipun demikian, dalam proses pembahasan RUU penetapan Perppu menjadi UU tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, namun DPR wajib memberikan infromasi kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dan memberi masukan, seperti melalui aplikasi sistem informasi yang ada dalam laman resmi DPR.
[3.15.6] Bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan kemudian diakomodir dalam norma Pasal 96 UU 13/2022 dimaksudkan agar tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, pembentuk undang-undang memiliki kewajiban untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan kepada semua pihak, khususnya pihak yang terdampak dan yang berkepentingan atas pilihan kebijakan yang diambil atau ditetapkan tidak dapat diterapkan dalam hal pilihan kebijakan berupa perppu. Oleh karenanya, dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan, terlebih pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan. Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.4] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu
konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation), maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan tidak terpenuhinya syarat partisipasi masyarakat yang bermakna dalam penetapan UU 6/2023 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai penetapan UU 6/2023 tidak sesuai dengan Pasal 42A UU 13/2022 karena menurut Pemohon, undang-undang a quo tidak ditetapkan dalam dokumen perencanaan padahal menggunakan metode omnibus, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut;
[3.17.1] Bahwa Pasal 42A UU 13/2022 pada pokoknya menyatakan penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Pemohon beranggapan pembentukan UU 6/2023 tidak melalui proses tersebut sehingga menyalahi prosedur pembentukan undang-undang. Untuk menjawab permasalahan ini, maka perlu dipahami terlebih dahulu latar belakang pembentukan UU 6/2023 a quo. UU 6/2023 pada dasarnya bukan merupakan undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan proses atau prosedur yang biasa, karena undang-undang a quo merupakan produk undang-undang yang berasal dari RUU penetapan Perppu menjadi undang-undang, sehingga latar belakang pembentukan UU 6/2023 tidak dapat dilepaskan dari pembentukan Perppu 2/2022 yang disahkan oleh undang-undang tersebut. Latar belakang dari pembentukan Perppu tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah sebagaimana pertimbangan di atas dan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang juga telah dikutip pada Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas. Dari pertimbangan tersebut telah disimpulkan bahwa penetapan Perppu 2/2022 yang kemudian menjadi UU 6/2023 menurut DPR telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Dengan perkataan lain DPR telah memberikan penilaian mengenai keterpenuhan syarat tersebut sehingga anggapan Pemohon mengenai pembentukan undang-undang a quo tidak memenuhi kriteria kegentingan yang memaksa telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.2] Bahwa penegasan mengenai penetapan Perppu 2/2022 yang kemudian disahkan menjadi UU 6/2023 dianggap memenuhi syarat kegentingan memaksa adalah penting untuk menjawab persoalan apakah pembentukan UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 42A UU 13/2022. Lahirnya perppu memang tidak melalui tahapan perencanaan, sebab perppu dibuat jika dan hanya jika terdapat unsur kegentingan yang memaksa yang secara faktual tidak setiap saat unsur tersebut ada. Dengan demikian, undang-undang yang merupakan produk hukum penetapan perppu menjadi undang-undang pun tidak akan dicantumkan dalam dokumen perencanaan sebagaimana diatur oleh Pasal 42A UU 13/2022. Hal ini berbeda halnya dengan undang-undang biasa yang harus direncanakan terlebih dahulu dalam program legislasi nasional. Pokok permasalahan yang disampaikan Pemohon berkenaan dengan hal ini lebih relevan untuk pembentukan undang-undang dengan prosedur biasa, sedangkan UU 6/2023 dibentuk sebagai produk yang melalui proses pengesahan perppu menjadi undang-undang, yaitu Perppu 2/2022 di mana keterpenuhan syarat kegentingan memaksa dari perppu tersebut telah dinilai dan disetujui oleh DPR. Sedangkan, berkenaan dengan metode undang-undang omnibus, menurut Mahkamah, baik UUD 1945 maupun UU 13/2022 tidak mengatur mengenai batasan materi apa saja atau bentuk undang-undang apa saja yang tidak dapat dibuat dalam bentuk perppu. Pasal 7 dan Pasal 11 UU 12/2011 juga menegaskan bahwa perppu baik dari segi kedudukannya maupun dari segi materi muatannya sederajat dengan undang-undang. Pembentukan perppu dan materi apa saja yang akan diatur dalam perppu tersebut merupakan hak prerogatif Presiden dalam rangka menghadapi dan menyikapi adanya kondisi kegentingan yang memaksa. Sepanjang syarat kegentingan yang memaksa tersebut telah dinilai dan disetujui oleh DPR, maka perppu tersebut kemudian harus disahkan sebagai undang-undang. Adapun mengenai substansi atau isi dari perppu yang telah disahkan menjadi undang-undang tersebut tetap merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya dalam penerapan kewenangan pengujian terhadap materi undang-undang atau pengujian materil norma undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah memandang bahwa pembentukan UU 6/2023 tidak seharusnya mengikuti syarat tercantumnya RUU dalam dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A UU 13/2022. Hal ini bukanlah pelanggaran terhadap prinsip negara hukum dan tidak melanggar perwujudan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil Pemohon a quo mengenai anggapan penetapan UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 42A UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14], Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] di atas, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Terhadap perkara a quo, keempat Hakim Konstitusi tersebut tetap memiliki pendapat yang sama sebagaimana dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Formil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 02-10-2023

Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dra. Wigati Ningsih, S.H., LL.M., dkk untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

pengujian formil UU 6/2023

pengujian formil UU 6/2023

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 6/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon di atas, terhadap pengujian formil UU 6/2023 sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo, terdapat beberapa perkara lain yang sedang diperiksa oleh Mahkamah dengan objek pengujian konstitusionalitas yang sama, yaitu dalam Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023, Nomor 41/PUU-XXI/2023, Nomor 46/PUU-XXI/2023, dan Nomor 50/PUU-XXI/2023. Setelah mencermati dengan saksama dalil permohonan pemohon di masing-masing perkara tersebut, Mahkamah menilai, perkara a quo memiliki dalil-dalil yang lebih banyak sebagaimana telah diuraikan di atas. Sementara itu, untuk perkara yang lain terdapat dalil-dalil yang secara substansi pada pokoknya memiliki kesamaan uji formil dengan perkara a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, sepanjang terhadap dalil permohonan yang sama dan saling berkaitan maka pertimbangan hukum Mahkamah dalam perkara a quo akan dijadikan rujukan dalam perkara-perkara yang lain. Sedangkan terhadap dalil yang berbeda untuk perkara yang lain, akan dipertimbangkan sesuai dengan dalilnya pada masing-masing perkara. Dengan demikian, Mahkamah mempertimbangkan untuk menjatuhkan putusan terlebih dahulu terhadap perkara a quo.
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 pada tanggal 21 Maret 2023 adalah dilakukan di luar Masa Sidang III DPR RI Tahun 2022/2023, yaitu pada tanggal 10 Januari 2023 sampai dengan 16 Februari 2023, yang merupakan masa sidang berikutnya untuk mengesahkan Perppu 2/2022 menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelum menjawab dalil para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah perlu mempertimbangkan pengaturan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dalam konstitusi karena secara historis, lahirnya UU 6/2023 merupakan hasil dari persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Perppu 2/2022. Pengaturan terkait perppu dalam konstitusi termuat dalam norma Pasal 22 UUD 1945 yang merupakan bagian dari BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan menjadi salah satu norma yang tidak mengalami perubahan dalam proses perubahan konstitusi tahun 1999 – 2002.
Dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional bagi Presiden untuk menetapkan perppu, ketika terjadi hal ihwal kegentingan yang memaksa. Berdasarkan ketentuan tersebut, Presiden berhak menetapkan perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa menjadi syarat absolut untuk lahirnya sebuah perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam prakteknya dapat berwujud, antara lain, di bidang kesehatan, keamanan, dan perekonomian, baik lingkup nasional maupun global, dan sebagainya yang menurut penilaian subjektif Presiden dapat menimbulkan krisis atau berakibat buruk pada sendi-sendi kehidupan bernegara yang dapat menghambat upaya negara untuk memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian, tanpa hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut, Presiden tidak boleh menetapkan perppu. Oleh karena perppu merupakan instrumen bagi Presiden dalam rangka memberikan respon cepat untuk menanggapi situasi dan kondisi yang sulit yang berpotensi krisis, maka dalam kaitan dengan emergency governance is executive governance, pemerintah atau eksekutif tidak tunduk pada kekuasaan lain dalam proses penetapan perppu (unbound executive). Meskipun kewenangan menetapkan perppu merupakan kewenangan eksklusif Presiden, namun sesuai dengan kerangka negara hukum demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum, terhadap penetapan perppu yang ditetapkan berdasarkan penilaian atas hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut, mekanisme checks and balances berdasarkan prinsip pembagian/pemisahan kekuasaan tetap berlaku sehingga perppu yang ditetapkan harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. DPR dalam hal ini menjalankan fungsi ex post approval atas perppu untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas perppu. Proses ini merupakan wujud dari fungsi pengawasan dan menunjukkan berjalannya mekanisme checks and balances yang telah diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Pasal 22 UUD 1945 tersebut merupakan salah satu pasal yang tidak mengalami perubahan sekalipun norma Pasal 22 a quo telah diwacanakan untuk dilakukan perubahan. Berdasarkan hasil penelusuran Mahkamah dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, khususnya pada Jilid 2 Buku III tentang Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan, justru pembahasan terkait dengan perppu menjadi sangat intens dan mendalam karena menyangkut eksistensi perppu itu sendiri dalam konstitusi yang tergambar dalam pandangan-pandangan anggota MPR, antara lain, sebagai berikut:
...
Dengan demikian, meskipun perppu diletakkan sebagai hak prerogatif Presiden, pengaturan mengenai dasar kewenangan, kondisi (kegentingan atau kemendesakan), serta tata cara membuat perppu dalam hukum positif, terutama konstitusi sebagai hukum tertinggi, menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah negara hukum yang demokratis berdasarkan konstitusi. Walaupun sifatnya yang fleksibel, bahkan dapat ditengarai sebagai sebuah tindakan “out of the box” yang dibenarkan oleh konstitusi karena diletakkan dalam bingkai hak prerogatif Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945. Meskipun demikian, terdapat satu syarat mutlak yang harus dipastikan terjadi dalam hal Presiden hendak menggunakan instrumen hukum perppu dalam mengatasi atau mengantisipasi persoalan ketatanegaraan yaitu haruslah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Apa dan bagaimana batas-batas atau parameter hal ihwal kegentingan yang memaksa itu? Mahkamah telah memberikan rambu-rambu sebagai tafsir konstitusional atas frasa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Februari 2010. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menegaskan pada bagian pertimbangan hukum dalam Paragraf [3.10] yang menyatakan perppu diperlukan apabila: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam sejarahnya, perppu pertama kali diajukan pengujian (secara materiil) di Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2009 yaitu dalam Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945. Meskipun Mahkamah telah memutus perkara tersebut dengan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard/N.O) dengan alasan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), namun Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa perppu dapat menimbulkan ketentuan yang daya ikat serta keberlakuannya sama dengan undang-undang. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk menguji perppu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR. Dalam putusan ini, Mahkamah menafsirkan Pasal 22 UUD 1945 mengenai “kegentingan yang memaksa” serta kewenangan Mahkamah untuk menguji perppu. Sehingga, seluruh putusan Mahkamah terkait perppu merujuk pada putusan ini. Selanjutnya, Mahkamah dalam perkembangannya juga menerima pengujian formil terhadap perppu. Misalnya dalam Perkara Nomor 91/PUU-XI/2013 dan Perkara Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian formil dan materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dalam pengujian perppu lainnya, Mahkamah pernah menguji konstitusionalitas Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mahkamah menggabungkan delapan permohonan dalam satu putusan dengan alasan kedelapan permohonan tersebut memiliki substansi yang sama dan dalil-dalil serta pembuktiannya saling berkaitan yakni Putusan Nomor 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014. Namun Mahkamah tidak sampai menilai pokok permohonan, sebab permohonan ini kehilangan objek karena sudah diterima dalam Rapat Paripurna DPR, sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonannya tidak lagi dipertimbangkan.
Dalam pengujian perppu sebagaimana diuraikan di atas, nampak jelas bahwa perppu memiliki limitasi keberlakuan sampai dengan telah mendapat persetujuan atau tidak mendapat persetujuan dari DPR. Meskipun perppu menimbulkan norma hukum yang berlaku seketika saat perppu tersebut ditetapkan, di mana kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang, namun perppu harus ditindaklanjuti oleh DPR, sebagaimana adressat norma Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
[3.14.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas proses persetujuan atas RUU tentang Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi UU 6/2023, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hubungan antara bentuk, karakter, dan kerangka hukum sebuah undang-undang dengan undang-undang yang berasal dari perppu, karena menurut Mahkamah, dikotomisasi antara keduanya akan menentukan nilai konstitusionalitas formal atau prosedural pembentukan masing-masing undang-undang tersebut. Secara konseptual, undang-undang sebagaimana yang dipahami sebagai “wet in formele zin” merupakan sebuah produk hukum yang dibentuk oleh parlemen dan pemerintah. Berdasarkan pengertian tersebut kemudian dalam hal kewenangan pembentukannya oleh konstitusi diletakkan sebagai kekuasaan DPR [vide Pasal 20 ayat (1) UUD 1945], di mana setiap materi muatannya dibahas bersama DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama [vide Pasal 20 ayat (2) UUD 1945]. Kerangka hukum konstitusional demikian, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 13/2022). Norma Pasal 1 angka 3 UU 12/2011 menentukan bahwa Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, maka pembentukan undang-undang (formal) terikat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi asas kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan [vide Pasal 5 UU 12/2011]. Selanjutnya, terkait dengan materi muatan norma yang harus diatur dalam undang-undang, meliputi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945, perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat [vide Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011]. Selain itu, proses pembentukan suatu undang-undang harus memenuhi rangkaian tahapan yang terdiri dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Sekalipun materi muatan perppu sama dengan materi muatan undang-undang [vide Pasal 11 UU 12/2011], pada hakikatnya antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip. Undang-undang harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden sebelum disahkan dan diundangkan, sedangkan perppu oleh karena adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan perppu dan langsung diundangkan, di mana persetujuan (approval) dari DPR tersebut adalah setelah perppu tersebut berlaku. Konsekuensi dari syarat kegentingan yang memaksa, maka tahapan dalam pembentukan sebuah RUU (yang terdiri dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan) tidak dapat diberlakukan terhadap perppu. Demikian pula baik dalam penetapan perppu maupun dalam proses persetujuan di DPR, tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena situasi kegentingan yang memaksa, sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat.
[3.14.3] Bahwa secara konseptual, perundang-undangan yang dikenal dalam konstitusi (UUD 1945) menganut konsep undang-undang dalam arti materiil (wet in materiale zin) dan undang-undang dalam arti formil (wet in formale zin). Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap peraturan yang menurut isinya mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh lembaga/pejabat yang berwenang, sedangkan undang-undang dalam arti formil adalah peraturan yang menurut bentuk dan prosedurnya ditetapkan dan disebut sebagai undang-undang yang mempunyai derajat dan kekuatan hukum mengikat setiap orang secara umum. Dalam konteks sistem perundang-undangan, perppu merupakan undang-undang dalam arti materiil. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 7 dan Pasal 11 UU 12/2011 yang menegaskan bahwa perppu baik dari segi kedudukannya maupun dari segi materi muatannya sederajat dengan undang-undang. Artinya, sistem perundang-undangan dalam UUD 1945 mengenal 3 (tiga) jenis undang-undang (wet in materiale zin) yaitu undang-undang (biasa), undang-undang (berasal dari perppu), dan perppu. Terkait dengan undang-undang yang berasal dari perppu harus mendapat persetujuan DPR. Undang-undang demikian tentu tidak dapat dilepaskan dari karakter perppu yang menjadi substansi materi muatannya. Pengaturan konstitusional terkait dengan undang-undang yang berasal dari perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa penerbitan perppu adalah kewenangan Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, selanjutnya perppu tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, dan apabila tidak mendapatkan persetujuan DPR maka perppu tersebut harus dicabut. Di samping pengaturan dalam konstitusi dimaksud, pada Bab V tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 UU 12/2011 yang secara umum mengatur dua tahapan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, yaitu tahap pengajuan dan tahap persetujuan. Selanjutnya, Pasal 71 ayat (1) UU 12/2011 menentukan mekanisme pembahasan undang-undang yang berasal dari perppu disamakan dengan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU). Artinya, mekanismenya dipersamakan dengan mekanisme pembahasan RUU biasa yang diajukan oleh Presiden atau DPR, termasuk dalam hal waktu dimulainya pembahasan [vide Pasal 50 UU 12/2011] serta adanya dua tingkat pembahasan yang terdiri dari Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II sebagaimana diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 70 UU 12/2011. Sebelum itu, dalam Pasal 43 ayat (4) angka 2 UU 12/2011 yang merupakan bagian dari Bab V tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan juga menentukan yang pada pokoknya, khusus untuk RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tidak perlu disertai dengan naskah akademik. Berdasarkan kerangka hukum tersebut maka rangkaian tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu adalah hanya terdiri dari tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan, dan pengundangan, tanpa tahap perencanaan sebagaimana tahapan pada undang-undang biasa. Selain perbedaan tahapan proses pembentukannya, perbedaan selanjutnya adalah terkait dengan sifat kemendesakan (emergency) dan sementara (temporary) yang merupakan karakter dari sebuah perppu. Kedua sifat tersebut sangat berkaitan erat dengan jangka waktu dan jenis undang-undang, baik dalam proses pembentukannya, maupun keberlakuannya yang tentu juga membedakan substansi dari masing-masing tahapan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu.
[3.14.4] Bahwa terkait dengan jangka waktu dalam proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, adressat-nya ditujukan kepada DPR dan menitikberatkan pengaturan pada persetujuan di DPR. Sedangkan adressat Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 ditujukan kepada Presiden dan menitikberatkan pada pengaturan terkait pengajuan RUU penetapan perppu yang diajukan Presiden kepada DPR yang selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945
“Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.”
Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.”

Meskipun kedua norma pasal di atas memiliki penekanan berbeda dalam proses pembentukan menjadi undang-undang, namun keduanya sama-sama menggunakan frasa “persidangan yang berikut” sebagai tenggang waktu berakhirnya masing-masing tahapan yang diatur. Terkait dengan tahapan pengajuan, Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 menentukan bahwa yang dimaksud dengan persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan. Artinya, pengaturan dalam Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 harus dimaknai sebagai batas waktu maksimal bagi Presiden untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang sehingga Presiden sebenarnya memiliki ruang waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dapat bersamaan dengan waktu penetapan perppu, namun dapat juga sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Sedangkan tafsir “persidangan yang berikut” pada tahapan persetujuan sebagaimana Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021, khususnya pada bagian akhir sub-Paragraf [3.16.2] yang menyatakan sebagai berikut:
“Bahwa terhadap fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, frasa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 haruslah dimaknai apabila Perpu itu diajukan pada masa reses DPR. Sehingga jika Perpu diajukan pada rentang waktu pelaksanaan masa sidang DPR sebagaimana diatur dalam Tatib DPR 2020 maka frasa “persidangan yang berikut” harus diartikan sebagai persidangan pengambilan keputusan oleh DPR seketika setelah Perpu ditetapkan oleh Presiden dan diajukan kepada DPR. Artinya, meskipun Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada saat masa sidang DPR sedang berjalan (bukan masa reses), maka DPR haruslah memberikan penilaian terhadap RUU Penetapan Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan tersebut. Adapun jika Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada masa reses maka DPR harus memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir. Hal demikian penting mengingat esensi diterbitkannya Perpu adalah karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagai syarat absolut. Sehingga semakin panjang jangka waktu DPR memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan Perpu yang diajukan Presiden, hal tersebut akan menghilangkan esensi diterbitkannya Perpu dimaksud. Terlebih lagi, adanya pengaturan mengenai waktu bagi DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan terbitnya Perpu, lebih memberikan jaminan kepastian hukum baik terhadap keabsahan maupun sifat keberlangsungan Perpu, mengingat Perpu dibentuk berdasarkan adanya hal ihwal kegentingan memaksa, yang dalam hal ini adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya mengancam kesehatan namun juga keselamatan dan perekonomian nasional. Sehingga, diperlukan langkah antisipatif sebagai upaya bersama guna menghadapi pandemi tersebut.”
Berdasarkan putusan a quo, maka dalam hal jangka waktu pembahasan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan pada masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir jika diajukan oleh Presiden pada masa reses. Dengan kerangka hukum yang demikian, maka jangka waktu pengajuan RUU oleh Presiden kepada DPR adalah maksimal pada masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan yang sekaligus menandakan dimulainya jangka waktu tahapan pembahasan sampai dengan tahapan persetujuan yang harus selesai dalam 1 (satu) masa sidang yang sedang berjalan karena dalam putusan a quo tidak dibedakan jangka waktu antara penetapan perppu dengan pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR dalam bentuk RUU. Sebagai contoh, apabila sebuah perppu ditetapkan oleh Presiden pada masa sidang I DPR, maka RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut dapat diajukan oleh Presiden kepada DPR pada masa sidang I atau maksimal pada masa sidang II DPR. Setelah DPR menerima secara resmi dokumen RUU tentang penetapan perppu menjadi undang- undang, selanjutnya dalam masa sidang DPR yang sedang berjalan tersebut dilakukan tahapan pembahasan, baik pembicaraan tingkat I sampai dengan tingkat II dalam sidang paripurna, dan dilanjutkan pada tahapan persetujuan untuk diambil keputusan menyetujui atau tidak menyetujui RUU tersebut menjadi undang-undang. Sehingga apabila RUU dimaksud diajukan oleh Presiden pada masa sidang I DPR, maka persetujuan DPR seketika itu juga ditentukan pada masa sidang I DPR. Begitu pula halnya apabila RUU diajukan oleh Presiden pada masa sidang II DPR, maka persetujuan DPR seketika itu juga ditentukan pada masa sidang II DPR. Konstruksi demikian menunjukkan bahwa maksimal waktu yang disediakan untuk sebuah proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu hanya melibatkan 2 (dua) kali masa sidang DPR.
[3.14.5] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan Mahkamah dalam putusan a quo, Mahkamah memandang penting untuk mempertimbangkan peristiwa, situasi dan kondisi riil yang secara relevan dapat mempengaruhi proses pembentukan suatu undang-undang yang berasal dari perppu. Namun sebelum mempertimbangkan hal tersebut, Mahkamah terlebih dahulu menguraikan fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023, berdasarkan waktu adalah sebagai berikut:
1. Perppu 2/2022 diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841. Pengundangan tersebut bertepatan dengan tenggang waktu Masa Persidangan II DPR, yang dimulai dari tanggal 1 November 2022 sampai dengan tanggal 9 Januari 2023.
2. Pada tanggal 9 Januari 2023, Presiden menyampaikan Surat Nomor: R-01/Pres/01/2023 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja kepada DPR, bertepatan dengan berakhirnya Masa Persidangan II DPR yang diterima oleh DPR pada tanggal 9 Januari 2023.
3. Pada tanggal 14 Februari 2023, bertepatan dengan Masa Persidangan III DPR yang dimulai pada tanggal 10 Januari 2023 sampai dengan tanggal 13 Maret 2023, Rapat Badan Musyawarah DPR RI menugaskan Badan Legislasi DPR RI sebagai Alat Kelengkapan yang membahas RUU berdasarkan Surat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor T/157/PW.01/02/2023 perihal Penugasan untuk membahas RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
4. Untuk menindaklanjuti surat tersebut, Badan Legislasi DPR RI mulai melakukan pembahasan dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah dan DPD RI dalam rangka Pembahasan RUU a quo dengan agenda Penjelasan Pemerintah atas Perppu 2/2022 serta melakukan Rapat Pleno dengan agenda rapat dengar pendapat umum dengan narasumber/pakar dari unsur akademisi pada tanggal 14 Februari 2023.
5. Pada tanggal 15 Februari 2023 Badan Legislasi DPR RI melaksanakan pembahasan dalam Rapat Panja RUU a quo, untuk dimintakan persetujuan dari Anggota Panja.
6. Pada tanggal 15 Februari 2023 Badan Legislasi DPR RI melaksanakan Rapat Kerja dengan Pemerintah dengan agenda pembicaraan tingkat I dan memutuskan bahwa RUU a quo disetujui untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II, yaitu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Pengambilan keputusan dalam pembicaraan tingkat I diambil setelah mendengar pendapat 9 (sembilan) fraksi di DPR RI, yang di dalamnya terdapat 7 (tujuh) fraksi yang menyetujui dan 2 (dua) fraksi yang menolak.
7. Pada tanggal 21 Maret 2023, bertepatan dengan Masa Persidangan IV DPR yang dimulai pada tanggal 14 Maret 2023 sampai dengan tanggal 15 Mei 2023, dilaksanakan Rapat Paripurna dengan salah satu agenda yaitu Pembicaraan Tingkat II RUU a quo. Dalam rapat tersebut, secara resmi disetujui RUU tentang penetapan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang. Tercatat terdapat 7 (tujuh) fraksi yang menyetujui dan 2 (dua) fraksi yang menolak untuk menyetujui Perppu 2/2022 menjadi undang-undang.
8. Pada tanggal 31 Maret 2023, Pemerintah menindaklanjuti dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang sebagaimana termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856.
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, kemudian dikaitkan dengan kerangka hukum pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu sebagaimana diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.3] di atas, para Pemohon kemudian mendalilkan bahwa persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang dilakukan di luar atau melebihi tenggang waktu maksimal diberikannya persetujuan oleh DPR, yaitu seharusnya pada Masa Sidang III DPR Tahun 2022/2023.
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan memaksa dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa para Pemohon mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Februari 2010. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, pasca perubahan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan oleh MPR semata, melainkan dilaksanakan menurut undang-undang dasar [vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945], sehingga kekuasaan negara dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat terdistribusi kepada masing-masing cabang kekuasaan lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lain berdasarkan prinsip “checks and balances” sesuai dengan fungsinya masing-masing yang mengacu pada tujuan negara yang termuat dalam konstitusi. Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara, sehingga diperlukan proses review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang-undang atau ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang. Artinya, ketika sebuah perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang. Sehingga, ruang penilaian terhadap parameter kegentingan yang memaksa hanya ada di DPR dan telah selesai ketika DPR memberikan persetujuannya. Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022 [vide Konsiderans Menimbang huruf f Perppu 2/2022], hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil permohonan para Pemohon yang mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.2] Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan menerbitkan perppu. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, dalam sub-Paragraf [3.20.3] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.20.3] Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan a quo, Mahkamah pada pokoknya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk segera membentuk (i) landasan hukum baku yang dijadikan pedoman pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law serta kemudian (ii) memperbaiki tata cara pembentukan UU 11/2020 dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan, yaitu sampai dengan tanggal 25 November 2023. Dalam menindaklanjuti putusan a quo, pembentuk undang-undang selanjutnya melakukan revisi terhadap UU 12/2011 dengan menerbitkan UU 13/2022 yang di dalamnya mengatur mengenai metode omnibus dan berlaku sejak tanggal 16 Juni 2022. Selanjutnya pada tanggal 30 Desember 2022, Presiden menetapkan Perppu 2/2022 yang di dalamnya memuat perbaikan atas kesalahan penulisan dan kutipan dalam merujuk pasal yang sifatnya tidak substansial, sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Kemudian Perppu 2/2022 diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan menjadi undang-undang dan setelah menempuh rangkaian proses pembentukan, pada tanggal 31 Maret 2023 diundangkanlah UU 6/2023 yang merupakan hasil revisi pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Dengan mencermati sequence waktu tersebut, maka menurut Mahkamah, kedua hal yang diamanatkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang sebagai adressat putusan a quo, yaitu membentuk landasan hukum metode omnibus dan memperbaiki tata cara pembentukan UU 11/2020 sebelum jangka waktu 2 (dua) tahun berakhir.
[3.15.3] Bahwa persoalan selanjutnya yang disampaikan oleh para Pemohon adalah terkait dengan metode revisi UU 11/2020 dengan menggunakan bentuk hukum perppu. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, perppu merupakan kewenangan konstitusional dan eksklusif yang melekat pada jabatan Presiden. Meskipun kewenangan konstitusional Presiden, namun kewenangan menerbitkan perppu tetap terdapat syarat konstitusional yang harus diperhatikan oleh Presiden dalam menggunakan kewenangan konstitusionalnya yaitu adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.14.1] di atas. Artinya, norma konstitusi memang memberikan pilihan kebijakan hukum (diskresi) kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (presidential leadership legal policy) apakah akan menggunakan perppu atau tidak dalam merevisi UU 11/2020. Apabila langkah yang diambil Presiden adalah dengan menggunakan perppu, maka penilaian subjektivitas Presiden terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa, selanjutnya harus mendapatkan persetujuan DPR. Persetujuan DPR tersebut adalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasarkan fakta dalam persidangan, terungkap bahwa pertimbangan Presiden untuk mengambil langkah dengan menetapkan Perppu 2/2022 dilakukan terlebih dahulu untuk merevisi UU 11/2020 adalah karena terjadinya krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang menerpa dunia termasuk Indonesia dan tidak diketahui kapan berakhirnya [vide keterangan tertulis DPR hlm. 11 dan keterangan Ahli Presiden dalam persidangan tanggal 23 Agustus 2023]. Sementara di sisi lain juga harus melakukan ikhtiar untuk mempertahankan performa perekonomian negara agar tidak jatuh sebagaimana negara-negara lainnya, sehingga perlu bauran kebijakan yang antisipatif dan solutif sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan UU 11/2020 [vide keterangan tertulis Presiden hlm. 17]. Latar belakang demikian kemudian menjadikan perbaikan UU 11/2020 tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara luar biasa melalui penerbitan perppu oleh Presiden. Dalam hal perbaikan UU 11/2020 dilakukan dengan membuat undang-undang secara biasa (as usual), maka momentum antisipasi atas dampak krisis global yang tidak menentu dan berubah secara cepat, serta kepastian hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat hilang atau setidak-tidaknya berkurang, sehingga upaya pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis akan terlambat dan ujungnya berisiko bagi perekonomian negara. Hal demikian justru malah akan membawa Indonesia ke dalam situasi krisis dalam negeri yang akan berdampak terjadinya penurunan tingkat perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu, serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akibat selanjutnya dapat menimbulkan masalah sosial dan politik. Bahkan situasi tersebut juga akan berdampak langsung tidak hanya pada kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan kelompok masyarakat rentan lainnya karena mereka akan berhadapan langsung dengan dampak ketidakpastian situasi global, tetapi juga pada investor yang merasakan urgensi dalam mencari kepastian hukum untuk mengevaluasi kembali peluang investasi mereka di Indonesia setelah masa sulit yang panjang pasca Covid-19. Selain itu, untuk menghindari timbulnya stagnasi pemerintahan setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan terlebih dahulu pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta pengambilan kebijakan yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan antisipasi terhadap situasi dan kondisi tersebut.
[3.15.4] Bahwa pertimbangan Presiden dalam menetapkan Perppu 2/2022 tersebut kemudian telah dilakukan fungsi pengawasan dan penilaian (review) oleh DPR dan telah menempuh rangkaian proses pembentukan undang-undang di DPR hingga akhirnya mendapatkan persetujuan melalui UU 6/2023 yang merupakan bentuk akhir dari revisi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Oleh karenanya, Mahkamah menilai, penetapan Perppu 2/2022 a quo merupakan pilihan kebijakan hukum Presiden (presidential leadership legal policy) yang sesuai dengan konstitusi dan merupakan satu kesatuan rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi terhadap UU 11/2020 yang pada akhirnya berujung pada diundangkannya UU 6/2023 sebagai hasil akhir perubahan terhadap UU 11/2020 sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 11 UU 12/2011, kedudukan perppu adalah sederajat dengan undang-undang dan materi muatan perppu sama dengan materi muatan undang- undang. Artinya, perbaikan terhadap UU 11/2020 yang dituangkan ke dalam bentuk hukum Perppu 2/2022 yang kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi UU 6/2023 adalah memiliki kedudukan dan materi muatan yang sama dengan perbaikan dalam bentuk undang-undang, karena pilihan bentuk hukum, apakah dalam bentuk undang-undang atau perppu adalah domain pembentuk undang-undang dan pada dasarnya telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, menurut Mahkamah, tidak terdapat pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum karena proses pembahasan perppu yang menjadi undang-undang justru merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sekaligus memberikan kepastian hukum dalam negara hukum yang demokratis. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan dengan menerbitkan perppu adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.5] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, berdasarkan kerangka hukum pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, sebuah perppu yang telah ditetapkan oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar tetap memiliki daya keberlakuan sebagai undang- undang. Pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR tersebut adalah dalam bentuk RUU. Namun demikian, walaupun dengan bentuk RUU (yang sama dengan undang-undang biasa), RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang memiliki karakter yang berbeda dengan RUU biasa, seperti mekanisme tahapan serta jangka waktu sebagaimana yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Karakter khusus dari RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut juga menyebabkan tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi mengikat secara absolut. Misalnya, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 telah menentukan pengertian dari asas keterbukaan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas- luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang- undangan. Padahal, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu tidak menempuh semua tahapan sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 a quo. Terlebih lagi, aspek kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat dalam penerbitan perppu menyebabkan proses pembentukan undang- undang yang berasal dari perppu memiliki keterbatasan/limitasi waktu sehingga menurut penalaran yang wajar, perlu ada pembedaan antara undang-undang yang berasal dari perppu dengan undang-undang biasa, termasuk dalam hal pelaksanaan prinsip meaningful participation. Oleh karena itu, proses persetujuan RUU penetapan perppu menjadi undang-undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena adanya situasi kegentingan yang memaksa sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat. Meskipun demikian, dalam proses pembahasan RUU penetapan Perppu menjadi UU tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, namun DPR wajib memberikan informasi kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dan memberi masukan, seperti melalui aplikasi sistem informasi yang ada dalam laman resmi DPR.
[3.15.6] Bahwa partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan kemudian diakomodir dalam norma Pasal 96 UU 13/2022 dimaksudkan agar tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang- undangan. Dalam konteks demikian, pembentuk undang-undang memiliki kewajiban untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan kepada semua pihak, khususnya pihak yang terdampak dan yang berkepentingan atas pilihan kebijakan yang diambil atau ditetapkan tidak dapat diterapkan dalam hal pilihan kebijakan berupa perppu. Oleh karenanya, dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan, terlebih pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan. Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum.
...
[3.16.1] Bahwa perppu yang diletakkan sebagai pengaturan luar biasa (extraordinary rules) yang dimiliki Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan negara, merupakan sebuah instrumen khusus yang disediakan oleh konstitusi untuk menghadapi ancaman dan mengatasi krisis baik yang faktual maupun potensial yang dapat terjadi sewaktu-waktu dan tidak selalu dapat diramalkan. Terminologi “luar biasa” tersebut mengandung pengertian dalam keadaan yang biasa atau normal, keberadaan instrumen ini tidak lazim dari tatanan umum yang berlaku sehingga hanya dapat digunakan pada kondisi luar biasa yang mengandung unsur kemendesakan (emergency) dan sementara (temporary). Keberadaan perppu dalam konstitusi diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang merupakan bagian dari Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat yang secara gramatikal, sebenarnya merupakan sebuah peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam norma Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan bagian dari Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah, namun secara materiil bukan ditujukan untuk menjalankan undang-undang melainkan sebagai pengganti undang-undang. Konsep perppu dalam konstitusi demikian, menunjukkan bahwa meskipun perppu merupakan bagian dari kewenangan Presiden (eksekutif), namun tetap menjadi bagian dari kekuasaan membentuk undang-undang (legislasi) yang harus diajukan kepada DPR (legislatif) dalam kedudukannya menjalankan fungsi pengawasan oleh DPR. Oleh sebab itu, persoalan hukumnya bukan terletak pada bentuk hukum peraturan pemerintah, melainkan pada substansi atau isinya, yaitu sebagai pengganti undang-undang (wet in materiale zin).
[3.16.2] Bahwa executive heavy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem pemerintahan di mana kecenderungan penggunaan kekuasaan atau otoritas eksekutif, terutama presiden atau kepala pemerintahan, memiliki pengaruh dan kendali yang kuat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Dalam kondisi tersebut, eksekutif biasanya memiliki wewenang yang lebih besar dibandingkan dengan cabang-cabang kekuasaan pemerintahan lainnya, seperti legislatif dan yudikatif. ...
[3.16.3] Bahwa secara konseptual, dalam kondisi riil tatanan global di mana dunia mengalami perubahan yang sangat cepat dan tidak dapat diperkirakan, disertai keadaan yang penuh ketidakpastian dan peristiwa yang kompleks yang diikuti informasi yang penuh ambiguitas yang sulit untuk diprediksi dampak yang akan ditimbulkan di masa mendatang yang disebut dengan volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA), hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah menciptakan kepastian guna melawan ketidakpastian dan ambiguitas yang menjadi karakteristik VUCA supaya tidak terjadi stagnasi pemerintahan. Dalam konteks demikian, berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh pemerintah, keputusan untuk menerbitkan Perppu 2/2022 dilatarbelakangi kondisi geopolitik dan perekonomian global yang penuh ketidakjelasan yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah (Presiden) dalam menjawab kondisi perekonomian global saat ini dan proyeksi perekonomian global ke depannya, termasuk ketidakjelasan dan ketidakpastian terkait performa perekonomian Indonesia untuk dapat ditingkatkan setidak-tidaknya performa untuk mempertahankan yang telah dicapai. Latar belakang demikian juga telah diterima dan disetujui oleh DPR setelah melalui proses pembahasan RUU tentang penetapan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang sehingga lahirlah UU 6/2023. Dalam keterangan DPR, proses pembahasan RUU penetapan perppu menjadi undang-undang pada tingkat I juga melibatkan Dewan Perwakilan Daerah [vide keterangan tertulis DPR hlm.17]. Meskipun dalam praktiknya, sebuah perppu disetujui atau tidak oleh DPR, secara umum, adalah tergantung sejauh mana konfigurasi politik fraksi-fraksi di DPR, fraksi-fraksi yang tidak mendukung Pemerintah cenderung pada posisi tidak setuju, kecuali kondisi yang demikian dinamis seperti pada saat pembahasan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak disetujui oleh DPR. UU 6/2023 telah melalui berbagai rangkaian proses yang tidak hanya melalui subjektifitas Presiden an sich, tetapi juga telah melalui hasil penilaian objektif Presiden dan disetujui oleh DPR. Oleh karena itu, model legislasi dalam pembentukan perppu menjadi undang-undang demikian masih dalam lingkup kekuasaan membentuk undang-undang (DPR), sehingga menurut Mahkamah, asumsi executive-heavy dan otoriter dalam proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu merupakan asumsi para Pemohon belaka, tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di era demokrasi konstitusional dewasa ini. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan model legislasi UU 6/2023 telah mengembalikan proses pembentukan undang-undang yang executive-heavy dan otoriter seperti zaman orde baru adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas terkait dengan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu dan untuk memberikan kepastian hukum yang adil, memahami dinamika dan konteks persidangan di DPR, jenis dan karakter undang-undang yang menjadi lampiran dalam dokumen pengajuan perppu serta menurut penalaran yang wajar, penting bagi Mahkamah untuk menentukan tenggang waktu persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terdapat sejumlah pilihan waktu guna memaknai frasa “persidangan yang berikut” yang penerapannya dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu: (1) masa sidang DPR pada saat perppu diajukan oleh Presiden kepada DPR; (2) masa sidang pertama DPR setelah perppu diajukan oleh Presiden kepada DPR; (3) masa sidang pertama setelah berakhirnya tenggang waktu maksimal pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR. Penetapan tenggang waktu ini adalah semata-mata untuk menciptakan tertib hukum dalam hal persetujuan RUU yang berasal dari perppu dalam kerangka negara hukum yang demokratis berdasarkan konstitusi dan tidak mengurangi aspek kegentingan, kemendesakan, dan kesementaraan dari keberlakuan suatu perppu yang merupakan ciri khusus dari perppu itu sendiri. DPR dalam memberikan persetujuan perppu hendaknya juga mengedepankan prinsip itikad baik dalam proses dan tidak bersifat membuang-buang waktu (wasting time). Oleh karena itu, terhadap 3 (tiga) pilihan waktu atas pemaknaan frasa “persidangan yang berikut” tersebut, menurut Mahkamah, seyogianya diakomodir dalam undang- undang terkait bab khusus mengenai tata cara persetujuan RUU yang berasal dari perppu dan/atau oleh DPR dalam peraturan tata tertib (tatib) DPR yang khusus mengatur tentang tata cara pemberian persetujuan DPR atas RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dengan memedomani pertimbangan hukum dalam putusan ini. Jika pilihan waktu frasa “persidangan yang berikut” sebagaimana diuraikan di atas telah dinormakan dalam undang-undang dan/atau tatib DPR, maka Mahkamah dapat menggunakan aturan tersebut sebagai bagian dari parameter konstitusionalitas dalam menilai proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu. Selain itu, dalam upaya memenuhi asas keterbukaan dalam rangka meaningful participation dalam proses pembentukan perundang-undangan pada umumnya, tidak termasuk undang-undang yang berasal dari perppu, DPR perlu mengembangkan sistem informasi pembentukan peraturan perundang- undangan, seperti SIMAS PUU, in casu aplikasi-aplikasi informasi yang terdapat dalam laman resmi DPR yang hendaknya dikelola secara lebih lengkap dan terintegrasi dengan laman kementerian/lembaga terkait untuk menjamin mutu pengelolaan dan mutu materi yang tersedia dalam aplikasi atau sistem informasi dimaksud, serta dapat diakses oleh publik sebagai wadah pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan membuka ruang partisipasi yang bermakna bagi stakeholders lembaga pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) serta publik pada umumnya.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 02-10-2023

Hite Badenggan Lumbantorua dan Marson Lumbanbatu yang untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 6 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 7 Agustus 2023, yang diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia bernama Hite Badenggan Lumbantoruan dan Marson Lumbanbatu yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Agustus 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 91/PUU.MK/AP3/08/2023, bertanggal 21 Agustus 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 21 Agustus 2023 dengan Nomor 100/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 100/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 100.100/ PUU/TAP.MK/Panel/08/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 100/PUU- XXI/2023, bertanggal 21 Agustus 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 100.100/PUU/TAP.MK/HS/08/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 100/PUU-XXI/2023, bertanggal 21 Agustus 2023;

c. Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 13 September 2023 dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan dan Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. Bahwa pada hari Selasa, 26 September 2023, Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan persidangan Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda untuk mendengarkan perbaikan permohonan, namun sebelum sidang berlangsung para Pemohon menyampaikan Surat Permohonan Pencabutan Perkara, bertanggal 25 September 2023. Kemudian Majelis Panel mengklarifikasi perihal penarikan dimaksud dan para Pemohon membenarkan ihwal penarikan permohonannya;
e. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 26 September 2023, pukul 14.00 WIB, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 100/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan Salinan berkas permohonan kepada para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA SERTA LAGU KEBANGSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

dr. Ludjiono (pensiunan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo) yang selanjutnya disebut Pemohon.

BAB III UU 24/2009.

Pasal 27 ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan (2), Pasal 36, dan Pasal 36C UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap BAB III UU 24/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa terhadap permohonan Pemohon a quo, Mahkamah telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa pokok permohonan pada tanggal 30 Agustus 2023. Dalam persidangan tersebut, dengan mendasarkan pada Pasal 39 UU MK, Panel Hakim memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan, yaitu kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, pokok permohonan (posita), dan hal-hal yang dimohonkan (petitum) sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Selain itu, Panel Hakim memberikan nasihat lebih lanjut berkenaan dengan permohonan yang dapat diajukan kembali sepanjang memiliki dasar pengujian atau alasan yang berbeda [vide Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021].
[3.3.2] Bahwa selanjutnya pada tanggal 11 September 2023, Pemohon telah menyampaikan perbaikan permohonan kepada Mahkamah dan telah diperiksa dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan pada tanggal 12 September 2023. Dalam perbaikan permohonan tersebut, meskipun Pemohon telah menyusun permohonan sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana PMK 2/2021, namun Pemohon tidak juga menguraikan dengan jelas, antara lain, mengenai kerugian konstitusional Pemohon yang dikaitkan dengan berlakunya norma yang diajukan pengujian, alasan permohonan Pemohon sehingga dapat diajukan kembali, serta dasar dan alasan bahwa norma yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan norma yang terdapat dalam UUD 1945.
Lebih lanjut, pada bagian petitum, Pemohon hanya memohon kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonan judicial review/uji materi Bab III Bahasa Negara UU 24/2009 tentang BBLNLK yang tanpa pasal bentuk simbol negara yang berbunyi “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia berbentuk Bahasa lisan dan Bahasa tulis serta Aksara negara ialah Aksara Indonesia” terhadap UUD 1945. Susunan petitum dimaksud tidaklah sesuai dengan susunan petitum yang lazim dalam suatu permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 10 PMK 2/2021]. Kemudian, masih terkait dengan petitum tersebut, Pemohon melalui surat yang diterima Mahkamah pada tanggal 15 September 2023, menjelaskan tentang petitum dalam permohonan a quo, yaitu:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NKRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Terhadap penjelasan tersebut, oleh karena surat dimaksud diterima setelah pelaksanaan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan pada tanggal 12 September 2023 sehingga tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.5] Menimbang bahwa terhadap hal-hal selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 89/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

Harry Pratama (Karyawan Honorer), selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 34 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Administrasi Kependudukan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

a. …
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada 4 September 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam perkara Pengujian Undang-Udang, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan a quo;
d. bahwa pada tanggal 15 September 2023 Pemohon telah mengirimkan pesan melalui aplikasi berkirim pesan (WhatsApp) kepada Juru Panggil Mahkamah yang pada pokoknya menyatakan Pemohon tidak akan melanjutkan uji materiil undang-undang a quo dan meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan atau menggugurkan permohonan a quo , Selanjutnya pada hari Senin, tanggal 18 September 2023, Mahkamah telah menjadwalkan sidang Panel dengan agenda Perbaikan Permohonan untuk memeriksa perbaikan permohonan dan mengesahkan alat bukti. Namun, hingga persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, Pemohon tidak hadir. Oleh karena itu, dengan adanya pesan (WhatsApp) kepada Juru Panggil Mahkamah, Mahkamah menilai Pemohon menarik kembali permohonan a quo;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 21 tanggal September 2023 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 89/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 99/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

Dian Leonaro Benny (karyawan swasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (3) UU 16/2019 serta Pasal 1 angka 1 UU 35/2014

Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 16/2019 dan UU 35/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 99/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 99.99/ PUU/TAP.MK/Panel/08/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 99/PUU- XXI/2023, bertanggal 21 Agustus 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 99.99/PUU/TAP.MK/HS/8/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 99/PUU-XXI/2023, bertanggal 21 Agustus 2023;

c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 13 September 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan a quo.
d. Bahwa Mahkamah pada hari Rabu, 20 September 2023, telah menerima surat elektronik (e-mail) bertanggal 20 September 2023 dari Pemohon yang pada pokoknya Pemohon menarik kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 99/PUU-XXI/2023 dengan alasan untuk lebih mematangkan substansi hukum permohonan a quo. Selanjutnya, perihal penarikan permohonan tersebut, Mahkamah pada hari Kamis, tanggal 21 September 2023, pukul 12.30 WIB telah menjadwalkan sidang Panel untuk melakukan konfirmasi penarikan perkara a quo. Namun, hingga persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, Pemohon tidak hadir;
e. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 September 2023 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 99/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan a quo;
g. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan Salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

Muhamamad Yusuf Mansur dan Muhammad Fauzan untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon

Pasal 6 serta Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UUD NRI Tahun 1945 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
e. bahwa pada tanggal 21 September 2023, Mahkamah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara konfirmasi penarikan permohonan Pemohon guna meminta konfirmasi kepada para Pemohon perihal pencabutan dimaksud, selanjutnya Majelis Hakim Panel telah menerima konfirmasi dari 3 para Pemohon yang membenarkan penarikan permohonan a quo, dengan alasan yang pada pokoknya sebagaimana tersebut dalam surat pencabutan a quo;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 September 2023, telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 101/PUUXXI/2023 beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 110/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2022 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARATAHUN ANGGARAN 2023 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

Meidiantoni, S.E., M.M. untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8 dan Pasal 54 UU 28/2022.

Pasal Pasal 20A ayat (1), 23 ayat (1), 23A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 28/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 13 Agustus 2023, yang diajukan oleh perseorangan Warga Negara Indonesia bernama Meidiantoni, S,E.,M.M, yang beralamat di Villa Citra Blok BB 14 RT 007/RW 000 Jagabaya III Way Halim Bandar Lampung, berdasarkan Akta Pengajuan Pemohonan Nomor 97/PUU/PAN.MK/AP3/08/2023, bertanggal 21 Agustus 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 4 September 2023 dengan Nomor 110/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2023 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada pokoknya Pemohon agar Anggaran Tahunan Bank Indonesia dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2023 dalam rangka menciptakan tertib administrasi;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terkahir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 110/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 110.110/PUIU/TAP.MK/PANEL/09/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 110/PUU-XXI/2023, bertanggal 4 September 2023
2) Ketetapan Ketua Panel Mahkamah Konstitusi Nomor 110.110/PUIU/TAP.MK/PANEL/09/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 110/PUU-XXI/2023, bertanggal 20 September 2023.
c. bahwa Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, tanggal 18 September 2023, telah menerima surat bertanggal 13 September 2023 dari Pemohon yang pada Pokoknya Pemohon menarik/mencabut kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2023 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perkara Nomor 110/PUU-XXI/2023. Selanjutnya perihal penarikan permohonan tersebut telah dikonfirmasi Mahkamah kepada Pemohon secara lisan dalam persidangan dengan agenda konfirmasi penarikan kembali yang dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 21 September 2023 dan Pemohon membenarkan ihwal penarikan tersebut.
d. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 September 2023, Mahakamah telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 110/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
f. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Paniter Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENODAAN AGAMA J.O UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

Rega Felix (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 serta Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), dan Penjelasan 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012

Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 1/PNPS/1965 Jo. UU 12/2012 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Permohonan Provisi
[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.10] di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa “yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan” dalam Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1);
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh perihal frasa “yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan” dalam Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 bertentangan dengan UUD 1945, penting bagi Mahkamah untuk mengutip terlebih dahulu norma Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang selengkapnya menyatakan:
“Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 a quo dirumuskan penjelasan yang selengkapnya menyatakan:
“Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum diatas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain. Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini. Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya”.
Bahwa sekalipun UU 1/PNPS/1965 ditetapkan jauh sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011), namun tetap relevan menggunakan UU 12/2011 untuk memahami fungsi penjelasan suatu undang-undang. Berdasarkan UU 12/2011 ditentukan bahwa penjelasan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksudnya [vide Lampiran II angka 176 UU 12/2011]. Untuk memahami Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 tidak dapat dilepaskan dari esensi norma pokoknya, in casu Pasal 156a yang merupakan perubahan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa." Dalam Posita Permohonan, telah ternyata Pemohon tidak mengaitkan antara norma pokok tersebut yang merupakan ketentuan pidana dengan penjelasan. Pemohon lebih banyak mendalilkan kekhawatirannya sebagai seorang akademisi yang menyampaikan pendapat atau kata-kata yang berbeda dengan tafsir otoritas agama yang diakui umum. Oleh karenanya, menurut Pemohon dengan adanya frasa “yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan,” dalam Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 akan mudah menjerat seseorang dalam ranah pidana. Sebab, penegak hukum akan concern pada konteks “kata-kata” terlebih dahulu bukan pada konteks tempus dan locus tatkala “kata-kata” tersebut disampaikan, misalnya di lembaga pendidikan atau ilmu pengetahuan sehingga akan gugur pidananya, karena aparat penegak hukum hanya menggunakan parameter “kata-kata” sudah dapat menjadi alasan untuk menjerat secara pidana. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa dalam memaknai Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pokok yang menjadi ancaman pidana sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 dimaksud, yang telah menegaskan keterkaitan dengan ketentuan norma Pasal 156a KUHP. Oleh karena itu, adanya frasa “mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan” adalah ditujukan sebagai bentuk pengecualian apabila perbuatan/tindakan tersebut dilakukan, misalnya di lembaga pendidikan atau ilmu pengetahuan yang merupakan forum untuk menguji suatu hipotesis yang kebenarannya masih perlu diuji secara ilmiah bukan dari perspektif ilmu hukum pada umumnya, in casu hukum pidana. Dengan demikian tidak relevan adanya asumsi atau anggapan dari Pemohon sebagai bentuk kekhawatiran bahwa frasa “kata-kata” dapat menjadi modus aparat penegak hukum sebagai norma yang bersifat elastis dan berpotensi untuk menjerat pidana bagi pelaku yang menggunakan forum tersebut. Di samping pertimbangan hukum dimaksud, Mahkamah juga berpendapat bahwa mempersoalkan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 tanpa menyertakan pengujian konstitusionalitas terhadap Batang Tubuh Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 adalah suatu pengujian konstitusionalitas yang tidak utuh atau tidak komprehensif, sebab ketentuan norma Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang menjadi satu kesatuan dengan ketentuan norma Pasal 156a KUHP adalah ketentuan pidana yang terdiri dari unsur-unsur delik pidana. Sementara itu, frasa “mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan” dalam Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 adalah bagian dari uraian unsur-unsur delik pidana dimaksud. Dengan demikian, terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 dan frasa “yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan” dalam Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh Pemohon tidak secara utuh atau tidak komprehensif dalam menguji Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yaitu tidak menyertakan pengujian Batang Tubuh Pasal a quo menjadikan permohonan Pemohon sepanjang berkaitan dengan pengujian Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 adalah tidak jelas atau kabur.
[3.11.2] Bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan berkenaan dengan pemaknaan norma dalam Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum a quo;
Terhadap dalil Pemohon a quo, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh pokok permohonan, Mahkamah perlu menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan agar Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Bahwa berkenaan dengan hal di atas, Pemohon dalam permohonannya telah secara jelas menyatakan, “secara eksplisit sulit melihat pertentangan konstitusional frasa “nilai agama” dalam Pasal 6 huruf b UU 12/2012 serta frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 karena secara tekstual dan eksplisit tidak ada pertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD 1945 yang termanifestasi dalam Konsiderans Menimbang dan Penjelasan Umum UU 12/2012”. Namun, Pemohon menyatakan “wajar jika terdapat tafsir konstitusional karena makna frasa “nilai agama” dalam Pasal 6 huruf b UU 12/2012 serta frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 dapat dimaknai dengan ancaman dan tanggung jawab pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU 1/PNPS/1965” karena adanya ketidakjelasan Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 dan pemaknaan frasa “nilai agama” dan frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam penjelasan dan norma yang dimohonkan pengujiannya.
Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Konsiderans Menimbang, mengingat, ketentuan umum, bagian ayat, pasal, dan penjelasan. Dalam kaitan ini, Konsiderans Menimbang huruf a UU 12/2012 sebagai landasan pengaturan keseluruhan norma dalam UU a quo telah menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dalam konsideran menimbang atau frasa “nilai agama” dalam norma yang didalilkan Pemohon, merupakan frasa yang sesungguhnya bermuara pada Pancasila sebagai nilai ideologis bangsa Indonesia. Nilai tersebut mengkonseptualisasikan nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) yang merupakan sumber etika dan spiritualitas yang melandasi etik kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan “agama” dan “negara” dan bukan pula yang menggunakan satu agama tertentu untuk dijadikan dasar bernegara tetapi mensinergikan berbagai agama dan keyakinan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang memiliki keberagaman agama dan keyakinan maka negara harus dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama. Oleh karenanya, dengan adanya frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” tidak dimaksudkan untuk membatasi hak-hak individu sehingga mudah untuk dikriminalisasi karena adanya Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965, sebagaimana yang Pemohon khawatirkan. Dalam kaitan ini, tidak ada korelasi antara frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” dengan Penjelasan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965. Oleh karena itu, jika Petitum Pemohon yang meminta kepada Mahkamah untuk memaknai Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 dikabulkan menjadi “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi sivitas akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat dalam rangka proses pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah”, justru hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat individu untuk berekspresi secara bertanggung jawab. Terlebih lagi, Penjelasan Pasal 3 huruf g UU 12/2012 yang Pemohon persoalkan tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pengaturan asas-asas pendidikan tinggi yang bersifat kumulatif yang meliputi; kebenaran ilmiah, penakaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan, dan keterjangkauan [vide Pasal 3 UU 12/2012]. Berkaitan dengan penjelasan “asas tanggung jawab” dinyatakan bahwa “Sivitas Akademika melaksanakan Tridharma serta mewujudkan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan/atau otonomi keilmuan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan”. Frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama” merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Konsiderans Menimbang huruf a UU 12/2012 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karenanya, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama”. Frasa tersebut memberikan pembatasan yang bersifat umum bagi sivitas akademika dalam rangka menjunjung tinggi, tidak hanya nilai-nilai agama, tetapi juga persatuan bangsa serta peraturan perundang-undangan. Pembatasan demikian tidaklah bertentangan dengan hak asasi manusia, karena merupakan hal yang diperlukan dalam negara yang berlandaskan ideologi Pancasila. Dalam hal ini, jika dicermati berbagai undang-undang, tidak hanya UU 12/2012 yang menggunakan frasa dimaksud. Sebab, undang-undang lainnya, antara lain dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU 14/2005) menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika” [vide Pasal 20 huruf d UU 14/2005] dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (UU 33/2009) menyatakan, “Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa” [vide Pasal 5 UU 33/2009], di mana ketentuan tersebut juga menggunakan frasa yang serupa dengan yang dipersoalkan oleh Pemohon yaitu frasa “menjunjung tinggi nilai-nilai agama”.
Menurut Mahkamah, sebagai seorang akademisi, Pemohon telah mendapat hak atas kepastian hukum untuk mendapatkan kemerdekaan berpikir dan hati nurani serta untuk menyatakan pikiran, sikap, dan mengeluarkan pendapat untuk memajukan dirinya dan untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara demi kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia melalui lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan tanpa dibayangi ancaman ketakutan sebagai hak konstitusional bagi sivitas akademika. Negara telah memberikan kerangka yang jelas kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional yang tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pemaknaan norma dalam Pasal 6 huruf b, Pasal 8 ayat (2), Penjelasan Pasal 3 huruf g, dan Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU 12/2012 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum a quo adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2023 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-09-2023

Leonardo Siahaan, S.H. untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas

Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Sisdiknas dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pemaknaan terhadap Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan melarang penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan”, sebagaimana termaktub dalam Petitum permohonan a quo;
[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.10] tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon dimaksud tidak dapat dilepaskan dari esensi materi muatan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 yang menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Materi muatan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 merupakan pelaksanaan dari Pembukaan UUD 1945. Ketentuan norma dimaksud tidak dapat dipisahkan dari “Dasar Mengingat” UU 20/2003 yang menjadi roh terbentuknya norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 tersebut. Di samping itu, secara hierarki Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu UUD 1945 juga mengamanatkan kepada Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, sistem pendidikan nasional diharapkan mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (vide Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 20/2003);
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut, apabila dicermati, Pemohon menghendaki agar ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 perlu dimaknai supaya tidak menimbulkan diskriminasi dalam penerimaan siswa baru dengan menggunakan sistem zonasi. Terhadap keinginan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sistem zonasi adalah salah satu cara penerimaan peserta didik baru yang menggunakan pembatasan wilayah yang dikaitkan minimal dan daya tampung sekolah. Oleh karena itu, apapun pilihan sistem dalam penerimaan peserta didik baru, termasuk dengan menggunakan cara lain seperti jalur afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan/atau prestasi [vide Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan] adalah hanya sebuah metode di dalam penatalaksanaan dari sebuah sistem penerimaan peserta didik baru. Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 dimaksud, menurut Mahkamah sesungguhnya dalil Pemohon tidak terdapat keterkaitan dengan isu konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003. Sebab, ketentuan dalam norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 telah memerintahkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih jauh karena permasalahan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003. Dengan demikian, menurut Mahkamah norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 telah sejalan dengan semangat dan tujuan negara sebagaimana dinyatakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon perihal ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan jika yang dipersoalkan Pemohon itu benar, hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003. Oleh karena itu, dalil Pemohon perihal pemaknaan terhadap Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagaimana termaktub dalam Petitum permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 82/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-09-2023

Almizan Ulfa, SE., M.Sc., pensiunan Peneliti Utama Aparatur Sipil Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 96 ayat (6), Pasal 96 ayat (8), dan Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022

alinea keempat pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28I ayat (2), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 13/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, pada intinya persoalan konstitusionalitas norma yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah: 1) apakah partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 harus bersifat wajib bukan bersifat opsional; 2) apakah penjelasan pembentuk peraturan perundang-undangan kepada masyarakat atas hasil pembahasan masukan masyarakat yang diatur dalam Pasal 96 ayat (8) UU 13/2022 perlu diberikan batas waktu; 3) apakah pengaturan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat yang diamanatkan oleh Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022 untuk diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden perlu diberikan batas waktu penerbitannya. Terhadap persoalan yang didalilkan Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa keterlibatan masyarakat dalam bernegara menjadi penanda kehidupan berdemokrasi di suatu negara. Prinsip kedaulatan yang berada di tangan rakyat sebagai bentuk demokrasinya negara Indonesia ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Salah satu bentuk implementasi prinsip tersebut dengan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari pengambilan kebijakan sampai pembentukan peraturan perundang-undangan. Adanya partisipasi masyarakat menjadi syarat utama dari terwujudnya pemerintahan yang demokratis. Konstitusi Indonesia juga telah menjamin hak partisipasi masyarakat dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, di mana masyarakat diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat dan negara.
[3.10.2] Bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari salah satu asas yang harus menjadi dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas dimaksud adalah asas keterbukaan sebagaimana hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), di mana terhadap Penjelasan asas dimaksud telah diubah melalui Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022 yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan) [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022].
[3.10.3] Bahwa jika dicermati secara historis pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, telah ternyata sebelumnya sudah pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004), namun dengan substansi yang masih sumir. Oleh karena itu, kemudian diubah dan dilengkapi pengaturannya dengan Pasal 96 UU 12/2011 yang selengkapnya menyatakan:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020, yang diputus dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 November 2021, ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 dilakukan perubahan secara menyeluruh, sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam Konsideran Menimbang huruf b UU 13/2022, yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan diterbitkannya UU 13/2022 adalah untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Kemudian pada Bagian Penjelasan Umum UU 13/2022 dinyatakan juga bahwa UU 13/2022 merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Hal ini sejalan dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020, di antaranya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.8] … Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan undang-undang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingankepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undangundang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
Sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pengaturan partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU 13/2022 telah diperluas menjadi pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, akses masyarakat terhadap naskah akademik dipermudah, ketersediaan informasi kepada masyarakat tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, kegiatan konsultasi publik yang kemudian akan jadi bahan pertimbangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan adanya kesempatan bagi masyarakat untuk mendapat penjelasan dari pembentuk undang-undang mengenai hasil pembahasan masukan dari masyarakat, serta ketentuan lebih lanjut tentang partisipasi masyarakat akan diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden. Artinya, sekalipun sudah dituangkan dalam Pasal 96 UU 13/2022, tidak berarti substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020 menjadi kehilangan relevansinya untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan;
[3.10.4] Bahwa terkait dengan dalil permohonan Pemohon yang mempersoalkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 harusnya bersifat wajib bukan bersifat opsional, menurut Mahkamah dalam memahami norma a quo tidaklah bisa dipisahkan dari norma pada ayat-ayat lain dalam Pasal 96 UU 13/2022, termasuk pasal terkait lainnya dalam UU 12/2011. Sebagai sebuah pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, norma Pasal 96 ayat (1) UU 13/2022 telah menentukan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan. Kata “berhak” dalam norma dimaksud harus dimaknai sebagai “kewajiban” bagi pembentuk peraturan perundang-undangan untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk, mekanisme, dan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat sesuai dengan makna asas keterbukaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 berikut Penjelasannya (dalam UU 13/2022). Oleh karena itu, masyarakat pun seharusnya berperan aktif memperjuangkan keterlibatannya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU a quo adalah dengan memberikan masukan, pengaturan demikian juga telah diatur dalam UU 12/2011, hanya saja dalam UU 13/2022 diperluas menjadi pada semua tahapan. Jika merujuk pada UU 12/2011 tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan [vide Pasal 1 angka 1 UU 12/2011]. Merujuk pada tahapan tersebut, tahapan yang paling penting untuk mendapatkan masukan masyarakat adalah pada tahapan perencanaan, pembahasan dan penyusunan. Hak masyarakat untuk memberi masukan yang diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU 13/2022 kemudian dijabarkan pelaksanaannya pada ayat-ayat selanjutnya, yaitu mengenai cara penyampaian hak yang dapat dilakukan melalui daring dan/atau luring [Pasal 96 ayat (2) UU 13/2022], mengenai pembatasan siapa yang dimaksud sebagai masyarakat yang dapat memberi masukan, in casu orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan [Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022]. Selain itu, ditentukan pula kemudahaan akses terhadap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan [Pasal 96 ayat (4) UU 13/2022]. Terkait dengan pelaksanaan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, pembentuk peraturan perundang-undangan juga menginformasikan kepada masyarakat atas pembentukan peraturan perundang-undangan dimaksud [Pasal 96 ayat (5) UU 13/2022]. Sedangkan terkait dengan Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 yang dimohonkan pengujian, memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk “dapat” melakukan kegiatan konsultasi publik melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. seminar, lokakarya, diskusi; dan atau d. kegiatan konsultasi publik lainnya. Dalam konteks ini, kata “dapat” yang dipersoalkan Pemohon adalah berkenaan dengan jenis kegiatan dalam melakukan konsultasi publik bukan berkaitan dengan syarat imperatif adanya partisipasi masyarakat sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Pasal 96 ayat (1) UU 13/2022. Jika dicermati secara saksama, kegiatan konsultasi publik tersebut tidak terbatas sifatnya karena pembentuk undang-undang ternyata masih memberikan ruang lain, selain yang telah ditentukan sepanjang kegiatan tersebut merupakan pengejawantahan konsultasi publik. Kegiatan konsultasi publik ini kemudian dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan [Pasal 96 ayat (7) UU 13/2022], yang kemudian hasil pembahasannya akan dijelaskan kepada masyarakat sebagai wujud dari pelaksanaan right to be explained [Pasal 96 ayat (8) UU 13/2022]. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU 13/2022 menurut Mahkamah sudah cukup memadai karena pembentuk undang-undang tidak mungkin menentukan secara rigid hal-hal yang lebih teknis dalam sebuah undang-undang. Oleh karena itu, Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022 mengamanatkan kepada masing-masing lembaga pengusul rancangan undang-undang untuk mengatur lebih teknis ihwal partisipasi publik dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.
Bahwa Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 yang Pemohon mohonkan untuk ditafsirkan menjadi suatu kegiatan yang wajib, menurut Mahkamah akan menimbulkan akibat hukum. Kata wajib akan memiliki konsekuensi adanya sanksi jika tidak dilaksanakan. Ihwal demikian telah dengan tegas ditentukan dalam UU 12/2011 bahwa “Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi” [vide Lampiran II angka 268 UU 12/2011]. Jika petitum Pemohon dikabulkan, jelas hal tersebut tidak sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan karena norma yang dirumuskan dengan kata “wajib” harus diikuti dengan sanksi. Namun demikian, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa kata “dapat” yang dipersoalkan oleh Pemohon berkenaan dengan Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 adalah mengatur berbagai jenis kegiatan untuk melakukan konsultasi publik yang sifatnya tidak limitatif. Oleh karenanya, pengaturan demikian sudah tepat karena masih terbuka kemungkinan dilakukannya kegiatan-kegiatan lain dalam pelaksanaan konsultasi publik sebagai bagian dari kewajiban adanya partisipasi masyarakat.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 sehingga dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.10.5] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan Pemohon yang mempermasalahkan norma Pasal 96 ayat (8) UU 13/2022 terkait dengan penjelasan pembentuk peraturan perundang-undangan kepada masyarakat atas hasil pembahasan masukan masyarakat harus menjadi hal yang bersifat wajib, bukan opsional dan perlu diberikan batas waktu selambat-lambatnya satu minggu terhitung sejak masukan dimaksud diterima oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah norma demikian justru telah mengatur lebih jauh jika dibandingkan dengan pengaturan partisipasi publik yang diatur sebelumnya dalam UU 12/2011.
Bahwa perluasan makna yang Pemohon mohonkan dalam petitumnya dengan membatasi waktu dalam memberikan penjelasan kepada publik, yaitu satu minggu terhitung sejak masukan dimaksud diterima oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah tidak akan memberikan kepastian hukum, namun justru sebaliknya kontraproduktif dengan upaya partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengaturan yang lebih teknis mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Mahkamah, tidak tepat jika diatur dalam undang-undang sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.
Bahwa sedangkan terkait kata “dapat” dalam Pasal 96 ayat (8) UU 13/2022 a quo, sebagaimana telah Mahkamah jelaskan pada Sub-paragraf [3.10.4] di atas, kata “dapat” dalam konteks a quo tidak boleh dimaknai bahwa norma a quo telah menghapus hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 96 ayat (1) UU 13/2022. Karena hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan telah dijamin oleh UUD 1945, yang ditegaskan kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diatur pula dalam Pasal 96 ayat (1) UU 13/2022.
Bahwa dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 96 ayat (8) UU 13/2022, sehingga dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.10.6] Bahwa terkait dengan dalil permohonan Pemohon yang meminta pengaturan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat yang diamanatkan oleh Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022 untuk diatur dalam peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden dengan diberikan batas waktu penerbitannya, menurut Mahkamah dalil demikian yang kemudian dituangkan dalam petitum merupakan dalil dan petitum yang tidak lazim. Terlebih, bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk menetapkan ketentuan yang bersifat eksekutorial atas berlakunya suatu ketentuan pelaksana dari suatu undang-undang. Oleh karena alasan Pemohon tidak jelas (obscuur) maka menurut Mahkamah dalil permohonan a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah terkait Pasal 96 ayat (6) dan ayat (8) UU 13/2022 telah ternyata tidak melanggar prinsip kedaulatan rakyat, tidak menimbulkan persoalan konstitusionalitas norma, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan pemerintahan, perlakuan yang diskriminatif dan tidak melanggar hak untuk memajukan diri sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum. Terhadap dalil dan petitum terkait Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022 menurut Mahkamah merupakan dalil dan petitum yang tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-09-2023

Arifin Purwanto, S.H. (Advokat) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 85 UU 22/2009

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 85 UU 22/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12.1] Menimbang bahwa Bahwa lalu lintas dan angkutan jalan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan perannya agar dapat mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan. Dalam konteks inilah, UU 22/2009 mewajibkan bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya. Pengujian dan penerbitan SIM merupakan bagian dari bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas yang diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia [vide Pasal 7 ayat (2) huruf e, Pasal 12 dan Pasal 77 UU 22/2009].
Berkenaan dengan bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi di atas maka SIM memiliki beberapa fungsi, di antaranya untuk mengetahui kompetensi mengemudi, kemudian berfungsi sebagai registrasi pengemudi kendaraan bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap pengemudi, dan sebagai sumber data pada registrasi pengemudi yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian [vide Pasal 86 UU 22/2009]. Berkenaan dengan fungsi tersebut, penggunaan SIM memiliki jangka waktu berlaku, yaitu selama 5 (lima) tahun yang kemudian dapat diperpanjang karena dalam penerbitan SIM terdapat unsur kompetensi mengemudi, di mana masyarakat harus memenuhi persyaratan administrasi, usia, kesehatan jasmani maupun rohani, serta dinyatakan lulus melalui proses pengujian. Dalam kaitan ini, selain kepolisian diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIM, juga diberikan kewenangan untuk memberikan tanda atau data terhadap SIM milik pengemudi jika pengemudi melakukan pelanggaran tindak pidana lalu lintas. Kewenangan tersebut dapat berupa menahan sementara atau mencabut SIM sementara sebelum diputus oleh pengadilan [vide Pasal 89 ayat (1) dan ayat (2) UU 22/2009].
[3.12.2] Bahwa jika dirunut historis pengaturan penerbitan SIM telah diatur sejak masih dalam bentuk Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86, yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (UU 7/1951), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (UU 3/1965), dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 14/1992) di mana dalam masing-masing undang-undang tersebut menentukan bahwa setiap pengendara kendaraan bermotor wajib memiliki SIM.
Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama, pengaturan mengenai jangka waktu masa berlakunya SIM tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang yang telah disebutkan di atas. Pengaturan jangka waktu berlaku SIM diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c UU 3/1965), salah satunya tercantum dalam Pasal 214 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (PP 44/1993), yang menyatakan, “Surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dan Pasal 212 berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang”. Artinya, UU 22/2009 merupakan undang-undang yang pertama kali menentukan secara eksplisit mengenai jangka waktu berlakunya SIM, in casu Pasal 85 ayat (2) UU 22/2009. Pengaturan lebih lanjut mengenai jangka waktu berlakunya SIM ditentukan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi (Perkapolri 9/2012), yang kemudian diubah dengan Perkapolri Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi (Perkapolri 5/2021) yang kemudian diubah lagi dengan Perkapolri Nomor 2 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi (Perkapolri 2/2023). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perkapolri dimaksud, pengaturan masa berlaku SIM selama 5 (lima) tahun telah diperhitungkan dalam rangka memastikan kelayakan mengemudi seseorang yang mencakup aspek kesehatan fisik dan kesehatan kejiwaan demi keselamatan berlalu-lintas. Oleh karena itu, jika SIM diberlakukan seumur hidup tanpa adanya pemeriksaan kelayakan seseorang dalam mengemudikan kendaraan bermotor, akan memperbesar ancaman risiko keselamatan di jalan [vide keterangan DPR, poin c, hlm. 16]. Risiko dimaksud tidak hanya terjadi bagi diri pengemudi kendaraan bermotor sendiri tetapi juga dapat berisiko bagi orang lain di jalan.
Berkaitan dengan jangka waktu berlakunya SIM di tiap-tiap negara juga berbeda, misalnya di Prancis sebagai salah satu negara yang dicontohkan oleh Pemohon juga tidak menerapkan jangka waktu berlakunya SIM seumur hidup karena izin mengemudi di Prancis yang disebut dengan Permis de Conduire, dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: Permis A yang diperuntukkan bagi pengendara sepeda motor, yang terdiri atas beberapa kategori, yaitu: (a) Permis AM (untuk pengendara yang berumur minimal 16 tahun dan dipergunakan untuk mengendarai sepeda motor kecil yang berpedal; (b) Permis A1 (untuk pengendara sepeda motor yang mempunyai kapasitas mesin dari 120cc-125cc); (c) Permis B1 (untuk pengendara kendaraan ringan beroda empat); dan (d) Permis A2 (untuk pengendara sepeda motor yang berumur minimal 18 tahun). Sedangkan, Permis B, diperuntukkan bagi pengendara mobil dengan berat maksimum 3500 kg dan maksimum 8 penumpang. Permis BE diperuntukkan bagi pengendara mobil dengan berat maksimum 3500 kg dan gandengan seberat maksimum 3500 kg. SIM ini hanya diperuntukkan bagi pengendara yang berumur minimal 18 tahun. Adapun Permis C dan Permis D, diperuntukkan bagi pengendara mobil berukuran medium dan besar, sedangkan Permis D diperuntukkan bagi pengendara bis kecil dan bis. Mengenai masa berlakunya izin mengemudi di Prancis adalah selama 15 (lima belas) tahun dan untuk memperpanjang masa berlakunya diperlukan proses dan pemenuhan syarat tertentu. Sedangkan, bagi seorang pengemudi yang telah berumur 70 tahun tidak diwajibkan untuk memperpanjang permis de conduire-nya. [vide Keterangan Presiden, hlm. 14 dan Keterangan Pihak Terkait, hlm. 45]
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya, Mahkamah akan menjawab dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas jangka waktu berlakunya SIM dalam norma Pasal 85 ayat (2) UU 22/2009 karena menurut Pemohon norma tersebut melanggar prinsip negara hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena terdapat perlakuan berbeda bagi sebagian orang dalam menerima pelayanan penerbitan SIM sehingga hal ini melanggar prinsip perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan adanya pelanggaran terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan karena jangka waktu berlakunya SIM selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Menurut Mahkamah, pengaturan mengenai jangka waktu masa berlaku SIM telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, in casu UU 22/2009, dan karena hal ini dituangkan pengaturannya dalam undang-undang sehingga dengan sendirinya berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia, tanpa ada pengecualiannya. Oleh karenanya, sepanjang ketentuan tersebut diberlakukan sama terhadap seluruh warga negara maka tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional sebagaimana didalilkan Pemohon. Pemahaman yang serupa juga berlaku dalam memahami dan menerapkan apa yang dimaksud dalam norma Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah dengan ditetapkannya jangka waktu tertentu atas berlakunya SIM bukanlah aturan yang menimbulkan pelanggaran atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan tidak menimbulkan perlakuan diskriminatif. Terlebih, berkenaan dengan perlakuan diskriminatif yang didalilkan Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali putusan-putusan terkait dengan diskriminasi yang sesungguhnya telah diberi batasan oleh Mahkamah, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2006 yang dikutip kembali antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 November 2017, di antaranya menyatakan bahwa:
“Diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya [vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia]...”
Berkenaan dengan kutipan Putusan di atas maka terkait dalil Pemohon yang menyatakan terdapat perlakuan berbeda bagi sebagian orang dalam menerima pelayanan penerbitan SIM, menurut Mahkamah hal ini merupakan persoalan pada tataran implementasi, bukan merupakan pelanggaran terhadap norma yang akan menimbulkan kerugian hak konstitusional. Dengan demikian, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 maka tidak terdapat alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk membatalkan atau memaknai norma Pasal 85 ayat (2) UU 22/2009 sebagaimana petitum Pemohon.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya SIM diberlakukan seumur hidup, seperti halnya KTP, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa bertalian dengan dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU 23/2006), yang dimaksud dengan KTP adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun kemudian dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan, telah dilakukan penyesuaian atau perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam UU 23/2006 melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU 24/2013). Salah satu perubahannya adalah mengenai pengertian KTP karena KTP yang digunakan oleh masyarakat adalah KTP elektronik (KTP-el) yaitu Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi dengan chip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana. Penerapan KTP-el yang saat ini dilaksanakan merupakan bagian dari upaya untuk mempercepat serta mendukung akurasi terbangunnya database kependudukan di kabupaten/kota, provinsi maupun database kependudukan secara nasional. Dengan penerapan KTP-el maka setiap penduduk tidak dimungkinkan lagi dapat memiliki KTP-el lebih dari satu dan/atau dipalsukan KTP-elnya, karena dalam KTP-el telah memuat kode keamanan dan rekaman elektronik data penduduk yang antara lain berupa iris mata maupun sidik jari penduduk [vide Pasal I angka 1 dalam Pasal 1 dan Penjelasan Umum UU 24/2013]. Dengan adanya perubahan jenis KTP ini berubah juga jangka waktu pemberlakuan KTP bagi warga negara Indonesia menjadi berlaku seumur hidup, kecuali untuk orang asing masa berlakunya disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap [vide Pasal 64 ayat (7) UU 24/2013].
[3.14.2] Bahwa lebih lanjut, KTP-el merupakan salah satu bentuk dokumen kependudukan yang wajib dimiliki oleh masyarakat, kriteria masyarakat yang wajib memiliki KTP-el adalah penduduk warga negara indonesia yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap. Bagi anak yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun tidak menggunakan KTP-el sebagai bukti identitas diri melainkan menggunakan Kartu Identitas Anak yang penerbitannya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak.
Bahwa di dalam KTP-el memuat data kependudukan, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el. Dalam hal KTP-el yang telah berlaku seumur hidup tersebut, terjadi perubahan data kependudukannya, misalnya rusak atau hilang, maka masyarakat memiliki kewajiban untuk melaporkannya agar dilakukan perubahan ataupun penggantian dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (9) UU 24/2013 yaitu “Dalam hal KTP-el rusak atau hilang, Penduduk pemilik KTP-el wajib melapor kepada Instansi Pelaksana melalui camat atau lurah/kepala desa paling lambat 14 (empat belas) hari dan melengkapi surat pernyataan penyebab terjadinya rusak atau hilang”.
[3.14.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dalil Pemohon yang meminta agar masa berlaku SIM sama dengan KTP (KTP-el), menurut Mahkamah antara dokumen SIM dan KTP memiliki perbedaan fungsi karena SIM adalah salah satu bentuk dokumen yang berbentuk kartu elektronik atau bentuk lainnya yang wajib dimiliki setiap orang namun SIM hanya diwajibkan bagi setiap orang yang akan mengemudikan kendaraan bermotor, di mana untuk mendapatkannya calon pengemudi tersebut harus memiliki kompetensi dalam mengemudi sesuai dengan jenis SIM yang dimohonkan, dan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan seperti usia, kesehatan serta lulus ujian praktik dan tertulis dalam mengemudi yang kesemua persyaratan ini diatur dalam Pasal 81 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU 22/2009 yaitu:
(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: identitas diri berupa
a. Kartu Tanda Penduduk;
b. pengisian formulir permohonan; dan
c. rumusan sidik jari.
(4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan
b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.
(5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ujian teori;
b. ujian praktik; dan/atau
c. ujian keterampilan melalui simulator.
Selain itu, telah ditentukan pula dalam Pasal 86 ayat (2) dan ayat (3) UU 22/2009 bahwa SIM berfungsi sebagai registrasi pengemudi kendaraan bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap pengemudi dan data pada registrasi pengemudi yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian. Sementara itu, KTP-el berfungsi sebagai identitas kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[3.14.4] Bahwa berdasarkan uraian di atas menurut Mahkamah, meskipun antara KTP-el dan SIM adalah sama-sama dokumen yang memuat mengenai identitas, namun memiliki fungsi yang berbeda. Dalam hal ini, KTP-el adalah dokumen kependudukan yang kepemilikannya diwajibkan kepada semua warga Negara Indonesia, sedangkan SIM merupakan dokumen surat izin dalam mengemudi kendaraan bermotor, dan tidak semua warga negara Indonesia diwajibkan untuk memilikinya, karena yang wajib memilikinya hanya orang-orang yang akan mengendarai kendaraaan bermotor dan yang telah memenuhi persyaratan penerbitan SIM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena perbedaan tersebut, masa berlaku KTP-el adalah seumur hidup karena dalam penggunaannya KTP-el tidak memerlukan evaluasi terhadap kompetensi pemilik KTP-el, kecuali jika ada perubahan data, hilang atau rusak maka pemilik KTP-el memiliki kewajiban untuk melaporkan dan memperbaharuinya atau menggantinya. Berbeda halnya dengan SIM, dalam penggunaannya SIM sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kompetensi seseorang yang berkaitan erat dengan keselamatan dalam berlalu lintas sehingga diperlukan proses evaluasi dalam penerbitannya. Oleh karena kedua dokumen tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda maka tidak mungkin menyamakan sesuatu yang memang berbeda termasuk terhadap jangka waktu pemberlakuannya.
[3.14.5] Bahwa sementara itu, berkaitan dengan batas waktu 5 tahun sebagai jangka waktu berlakunya SIM telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang karena diperlukannya fase untuk melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kondisi kesehatan jasmani dan rohani serta kompetensi atau keterampilan pengemudi dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, sejauh ini masa berlaku 5 (lima) tahun tersebut dinilai cukup beralasan (reasonable) untuk melakukan evaluasi terhadap perubahan yang dapat terjadi pada pemegang SIM. Dalam batas penalaran yang wajar, kemungkinan terjadinya perubahan pada kondisi kesehatan jasmani dan rohani pemegang SIM dapat berpengaruh pada kompetensi atau keterampilan yang bersangkutan dalam mengemudi kendaraan bermotor [vide Risalah Persidangan Perkara Nomor 42/PUU-XXI/2023 tanggal 10 Juli 2023, hlm. 4-5]. Perubahan tersebut dapat terjadi pada kemampuan penglihatan, pendengaran, fungsi gerak, kemampuan kognitif, psikomotorik, dan/atau kepribadian pemegang SIM yang semuanya akan berdampak pada kemampuan pengemudi mengemudikan kendaraan bermotor dan berlalu lintas di jalan sesuai dengan jenis SIM yang dimilikinya. Terlebih, dalam rentang waktu 5 (lima) tahun juga terbuka kemungkinan terjadinya perubahan pada identitas pemegang SIM seperti nama, wajah, alamat, dan bahkan sidik jari. Hal ini sejalan dengan kondisi masyarakat modern yang di antaranya ditandai oleh tingkat mobilitas sosial dan geografis yang tinggi sehingga dapat menyebabkan juga perubahan pada aspek-aspek identitas tersebut. Perpanjangan SIM dalam rentang waktu 5 tahun sangat fungsional untuk memperbaharui data pemegang SIM yang berguna dalam mendukung kepentingan aparat penegak hukum dalam melakukan penelusuran keberadaan pemegang SIM dan keluarganya jika terjadi kecelakaan lalu lintas atau terlibat tindak pidana lalu lintas atau tindak pidana pada umumnya. Selain itu, pentingnya dilakukan evaluasi dalam masa perpanjangan SIM karena pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan jasmani dan rohani setiap 5 (lima) tahun sekali mengandung nilai sosial bahwa keselamatan pemegang SIM serta orang lain yang ada di ruang jalan wajib dihormati dan dijaga [vide keterangan Tambahan Presiden, hlm. 6-7]. Hal ini termasuk aspek yang membedakan antara pemilik KTP yang diberikan untuk seumur hidup dengan pemegang SIM. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya SIM diberlakukan seumur hidup, seperti halnya KTP adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa terkait dengan evaluasi dalam proses penerbitan dan perpanjangan masa berlaku SIM pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari upaya mengukur tingkat kompetensi, kemampuan dan juga kesehatan pemegang SIM sejalan dengan fungsi SIM sebagai bukti kompetensi [vide Pasal 86 ayat (1) UU 22/2009]. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU 22/2009 yang didalilkan Pemohon menggunakan frasa “dapat diperpanjang”, yang selengkapnya menyatakan, “SIM berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang”, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011), pengertian kata “dapat” adalah untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga [vide Lampiran II Angka 267 UU 12/2011]. Oleh karena itu, kata “dapat” dalam ketentuan a quo merupakan salah satu mekanisme yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengetahui perkembangan kompetensi pengemudi yang bisa saja menurun baik terhadap kesehatan jasmani maupun rohani, sehingga perlu dievaluasi sebelum memutuskan sesuai dengan diskresi kewenangannya apakah pemegang SIM tersebut dapat diperpanjang atau tidak permohonan SIM nya.
Bahwa mekanisme evaluasi dalam proses perpanjangan masa berlaku SIM juga merupakan upaya untuk membangun budaya tertib berlalu lintas sehingga dapat mencegah kecelakaan berlalu lintas yang dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek pelaku dan aspek usia. Kecelakaan yang terjadi akibat aspek pelaku tercatat antara 71 persen sampai dengan 79 persen pelakunya adalah pengemudi kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM dan jika dikaitkan dengan usia, mayoritas pelaku kecelakaan adalah pada rentang usia 22-29 tahun dengan persentasi 17 persen sampai dengan 20 persen apabila dibandingkan dengan usia pelaku kecelakaan pada rentang usia lain. Oleh karena itu, evaluasi kompetensi melalui perpanjangan SIM sangat diperlukan karena merupakan salah satu faktor penurun tingkat fatalitas kecelakaan dengan memastikan melalui proses penerbitan termasuk perpanjangan SIM bahwa pemegang SIM masih memiliki kompetensi dan kesehatan untuk mengemudikan kendaraan bermotor. Dengan efektifnya evaluasi terhadap pemegang SIM akan dapat mencegah kecelakaan dan mengurangi tingkat fatalitas korban kecelakaan.
Bahwa dalam kaitan ini dapat dipahami terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil disebabkan oleh banyak faktor, di mana faktor pertama yang paling dominan, yaitu sebanyak 61 persen disebabkan oleh faktor manusia. Contohnya, pengemudi yang mengalami kelelahan namun memaksakan tetap mengemudi, adanya ketidakstabilan ketika menghadapi lalu lintas yang semakin padat dan macet, mempunyai penyakit tertentu yang menyebabkan konsentrasi terganggu, terpengaruh oleh minuman alkohol dan obat-obatan tertentu, dan ketidakpahaman mengenai tata cara dan etika berlalu lintas karena tidak memiliki SIM. Faktor kedua adalah ketersediaan prasarana dan lingkungan, yaitu sebesar 30 persen. Hal ini terkait dengan kondisi jalan dan lingkungan sekitar ruang jalan yang mencakup jalan bergelombang atau rusak, jalan yang licin, jalan berkelok-kelok, turunan atau tanjakan, lingkungan yang berkabut atau tempat binatang yang menyeberang. Faktor ketiga adalah kendaraan bermotor yang tidak layak, yaitu sebesar 9 persen [vide Risalah Persidangan Perkara Nomor 42/PUU-XXI/2023 tanggal 25 Juli 2023, hlm. 15-17].
Dalam kaitan dengan faktor tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan agar Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan evaluasi terhadap pemegang SIM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Pasal 77 UU 22/2009 mewajibkan semua orang yang mengendarai kendaraan bermotor harus memiliki SIM. Oleh karenanya, menjadi tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk lebih intens dalam mengedukasi masyarakat agar mentaati aturan tersebut, bahwa kepemilikan SIM bukan sekedar sebatas surat izin mengemudi namun lebih dari itu karena ada kompetensi dan faktor-faktor yang dinilai penting terkait kelayakan seseorang mengendarai kendaraan bermotor. Termasuk dalam hal ini juga, mengedukasi masyarakat agar tidak menggunakan kendaraan bermotor bagi yang tidak atau belum memiliki SIM, khususnya anak-anak yang masih di bawah umur agar dapat mengurangi potensi terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Berkaitan dengan berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mendekatkan pelayanan SIM kepada warga masyarakat, di antaranya melalui pelayanan SIM Online, pelayanan SIM keliling atau gerai pelayanan SIM, pelayanan perpanjangan SIM secara online dengan menggunakan aplikasi SINAR, pelayanan ujian teori melalui penggunaan aplikasi Electronic Audio Visual Integrated System atau E-AVIS, pelayanan tes kesehatan jasmani dan rohani secara online melalui aplikasi e-rikkes, pelayanan ujian praktik melalui penggunaan aplikasi E-Drive, terhadap berbagai inovasi dimaksud tetap harus menjamin tingkat validitas kompetensi atau keterampilan dan kesehatan pengemudi. Namun demikian, khusus bagi petugas yang memberikan layanan penerbitan SIM juga harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional dengan cara menjaga integritas dan memberikan pelayanan secara optimal, bukan justru menjadikan evaluasi dimaksud sebagai formalitas dan untuk mencari pendapatan sebagaimana yang selama ini kerap dikeluhkan oleh sebagian masyarakat. Selain itu, sejalan dengan fungsi SIM sebagai bagian dari identifikasi dan registrasi, penting dilakukan penguatan integrasi data Dukcapil yang menjadikan NIK sebagai basis data SIM. Termasuk di dalamnya melakukan penguatan kualitas identifikasi SIM berbasis teknologi yang mampu mengungkap data pelanggaran atau kejahatan dengan cepat dan akurat. Dengan demikian, adanya beban pembiayaan dalam proses penerbitan dan perpanjangan SIM yang merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan kualitas penerbitan SIM yang berdampak pada penurunan fatalitas kecelakaan berlalu lintas. Hal ini sesungguhnya merupakan bagian dari tujuan hukum, termasuk tujuan dibentuknya UU 22/2009 untuk sarana merekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, khususnya dalam berlalu lintas.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 85 ayat (2) UU 22/2009 telah ternyata tidak melanggar prinsip negara hukum, hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif yang dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-09-2023

Partai Buruh yang diwakili oleh Said Iqbal selaku Presiden Partai dan Ferri Nuzarli selaku Sekretaris Jenderal, Mahardhikka Prakasha Shatya, Wiratno Hadi dalam hal ini diwakili oleh Alghiffari Aqsa, S.H., dkk., kesemuanya adalah Advokat dan Advokat Magang pada AMAR Law Firm & Public Interest Law Office (AMAR) dan Themis Indonesia Law Firm, yang selanjutnya disebut para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Tim Kuasa DPR RI yang didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma yang terdapat dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang rumusannya sebagai berikut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, terhadap Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
2. Bahwa Pemohon I menerangkan kualifikasinya sebagai Partai Politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024 yang dalam permohonan a quo diwakili oleh Presiden Partai dan Sekretaris Jenderal.
3. Bahwa Pemohon I adalah partai politik peserta Pemilihan Umum 2024 yang telah lolos proses verifikasi partai politik dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan sesuai Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tanggal 14 Desember 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024 [vide Bukti P-7] dan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 519 Tahun 2022 tanggal 14 Desember 2022 tentang Penetapan Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024 [vide Bukti P-8].
4. Bahwa menurut Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b Anggaran Dasar Partai Buruh [vide Bukti P-4], Komite Eksekutif di tingkat pusat merupakan pimpinan tertinggi Partai Buruh yang dipimpin oleh Presiden dan Sekretaris Jenderal. Selanjutnya, dalam Pasal 32 ayat (1) Anggaran Rumah Tangga Partai Buruh [vide Bukti P-4] juga ditentukan bahwa Presiden bersama Sekretaris Jenderal berwenang menandatangani seluruh surat-menyurat Partai Buruh, baik ke dalam maupun keluar.
5. Bahwa menurut Pemohon I, dirinya dirugikan dalam pemberlakuan syarat ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, karena Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi Pasal 222 UU 7/2017 tidak ada yang mencerminkan, memperjuangkan, atau memiliki tujuan yang sejalan dengan perjuangan dan gagasan Pemohon I.
6. Bahwa menurut Pemohon I, keberadaan ambang batas pencalonan presiden membuat Partai Buruh menjadi terkunci untuk bisa mendukung pasangan calon presiden karena hampir semua koalisi partai politik yang ada di DPR saat ini merupakan partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja yang ditentang oleh Pemohon I.
7. Bahwa menurut Pemohon II, dirinya pernah ditunjuk oleh Partai Buruh untuk menjadi bakal calon legislatif DPR-RI untuk Pemilihan Umum 2024 nantinya dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Tengah [vide Bukti P-17], tetapi ditolak oleh Pemohon II karena sistem pemilihan umum dengan ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 saat ini tidak bisa menghasilkan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang menolak UU Cipta Kerja dan berpihak pada kepentingan rakyat [vide Bukti P-15].
8. Bahwa menurut Pemohon II, dirinya mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon anggota legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024. Pemohon II juga berpotensi mengalami kerugian nantinya, apabila warga dalam dapil, pendukung, dan calon konstituen Pemohon II akan menanyakan apa yang menyebabkan Partai Buruh bergabung dengan koalisi gabungan partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja.
9. Bahwa menurut Pemohon III, dirinya juga ditunjuk oleh Partai Buruh untuk menjadi bakal calon anggota legislatif DPR-RI dari dapil Kalimantan Selatan II [vide Bukti P-17]. Pemohon III membatalkan niatnya menjadi bakal calon anggota legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024 [vide Bukti P-16] karena ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 akan memaksa Partai Buruh bergabung dengan koalisi gabungan partai politik jika ingin mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Sementara dengan tujuan ideologis dari Partai Buruh yang menolak UU Cipta Kerja, tidak mungkin bagi Partai Buruh untuk berkoalisi dengan partai-partai yang dapat mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
10. Bahwa menurut Pemohon III, dirinya mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024.
[3.6] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum para Pemohon a quo, Mahkamah perlu mengaitkan dengan petitum para Pemohon dalam permohonannya yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 dimaknai, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU dan/atau Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki perolehan suara paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat mengusulkan sendiri pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap adanya petitum para Pemohon demikian dan dikaitkan dengan kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum para Pemohon dalam perkara pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.6.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, mempertimbangkan bahwa, “... pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan”;
[3.6.2] Bahwa selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, Mahkamah telah pula memutus perihal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 yang diajukan oleh Pemohon Partai Politik yaitu, antara lain, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022. Mahkamah dalam putusan sebelumnya, memberikan kedudukan hukum kepada partai politik sebagai pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 karena pemohon tersebut adalah partai politik yang mempermasalahkan perihal jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Demikian pula terhadap Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Januari 2018, yaitu Partai Islam Damai Aman (IDAMAN), Mahkamah juga memberikan kedudukan hukum meskipun partai tersebut tidak mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya pada saat mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, namun yang dipersoalkannya pada saat itu adalah mengenai besaran ambang batas, dan bukan mengenai pengusulan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden. Adapun Pemohon I dalam perkara a quo tidak mempermasalahkan jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan memohon kepada Mahkamah agar dirinya sebagai partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat turut serta mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3.6.3] Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, adalah dimaksudkan untuk mengatur jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, oleh karena Pemohon I adalah partai politik yang tidak mengikuti pemilihan umum pada Pemilu sebelumnya, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU 7/2017 adalah diberlakukan terhadap partai politik yang telah mengikuti Pemilu anggota DPR sebelumnya dan telah memperoleh dukungan suara tertentu, maka menurut Mahkamah, batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon I.
[3.6.4] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon II dan Pemohon III yang dalam perkara a quo mengkualifikasikan dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menurutnya mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum Tahun 2024. Selain itu, Pemohon II dan Pemohon III juga menyebutkan bahwa dirinya sejak lama telah berpartisipasi untuk demokrasi dan terdaftar sebagai pemilih untuk Pemilihan Umum tahun 2024. Terhadap kedudukan hukum Pemohon II dan Pemohon III yang merupakan perseorangan warga negara tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Februari 2022, telah menegaskan pendiriannya terkait dengan pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 sebagai berikut:
[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pecalonan presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu, menjadi jelas pendirian Mahkamah terkait dengan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, tidak terdapat bukti yang meyakinkan Mahkamah apakah Pemohon II dan Pemohon III merupakan perseorangan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024. Berkenaan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai kedudukan hukum perseorangan warga negara yang mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menyatakan seharusnya Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada perseorangan warga negara Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah, Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III (selanjutnya disebut para Pemohon) tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Meskipun demikian, tanpa bermaksud mempertimbangkan pokok permohonan, menurut Mahkamah sekalipun para Pemohon dalam petitumnya tidak meminta mengubah besaran ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) yang telah diputus oleh Mahkamah sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy), namun meminta kepada Mahkamah agar partai politik yang tidak mengikuti pemilihan umum pada Pemilu sebelumnya tetap dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam kaitan ini Mahkamah tetap dalam pendiriannya bahwa ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menentukan persyaratan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah dengan mendasarkan pada perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, di mana ihwal demikian tidaklah berarti menghalangi hak konstitusional para Pemohon sebagai partai politik untuk turut serta mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang setelah Pemilu 2024, karena para Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
[3.9] Menimbang bahwa tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra tetap pada pendiriannya sebagaimana pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan-putusan sebelumnya.
[3.10] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-08-2023

Risky Kuniawan, S.H. (Mahasiswa), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Albert Ola Masan Setiawan Muda dan Otniel Raja Maruli Situmorang, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (1b) UU Partai Politik

Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1b) UU Partai Politik dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu berkenaan dengan permohonan yang diajukan oleh Pemohon, sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa setelah Mahkamah mempelajari secara saksama permohonan a quo telah ternyata Pemohon di dalam permohonannya menguji Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 yang merupakan bagian dari Bab II mengenai Pembentukan Partai Politik (vide Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik), sehingga sangatlah tidak tepat jika dikaitkan dengan isu yang dipersoalkan oleh Pemohon yaitu berkenaan dengan pembatasan masa jabatan ketua umum Partai Politik, karena norma Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 mengatur tentang larangan rangkap jabatan bagi pendiri dan pengurus partai politik sebagai anggota partai lain. Selain itu, jika dihubungkan dengan Petitum permohonan yang memohon agar Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan Partai Politik, terutama Ketua Umum Partai Politik atau sebutan lainnya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, serta Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain”, Petitum Pemohon yang demikian tidak sesuai karena penambahan frasa “Pimpinan Partai Politik, terutama Ketua Umum Partai Politik atau sebutan lainnya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut…”, sebagaimana yang dimohonkan Pemohon untuk dimuat di depan norma Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011. Hal demikian, menurut Mahkamah justru akan menghilangkan makna sesungguhnya dari keberadaan norma a quo, karena frasa yang dimohonkan agar ditambahkan ke dalam Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 dan bunyi sesungguhnya Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 tersebut merupakan dua hal yang berbeda. Di mana, penambahan frasa yang dimohonkan tersebut berkenaan dengan pembatasan masa jabatan ketua umum Partai Politik, sedangkan bunyi asli dari Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 berkenaan dengan larangan rangkap jabatan bagi pendiri dan pengurus partai politik sebagai anggota partai politik lain. Oleh karena itu, kedua hal tersebut tidak dapat serta-merta digabung untuk dijadikan sebagai satu pemaknaan dari norma Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telat ternyata terdapat fakta hukum adanya ketidaktepatan substansi yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon, seharusnya Pemohon menguji bagian norma yang terdapat dalam Bab IX tentang Kepengurusan, namun yang dimohonkan pengujian adalah bagian dari Bab II tentang Pembentukan Partai Politik. Dengan demikian, pasal yang dimohonkan pengujian menjadi tidak tepat, sehingga mengakibatkan petitum yang dimohonkan oleh Pemohon juga menjadi tidak jelas.
[3.6.2] Bahwa adapun berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagaimana yang telah diuraikan dalam Paragraf [3.5] di atas. Pemohon pada pokoknya menguraikan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya berkenaan dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan Ketua Umum Partai Golkar, sehingga Pemohon yang menargetkan kursi Pimpinan Partai Politik, terutama Ketua Umum menjadi terhambat. Berkenaan dengan kedudukan hukum, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Juli 2023, Paragraf [3.8], yang pada pokoknya sebagai berikut:
“"… walaupun Pemohon IV menyatakan diri sebagai anggota partai politik yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) [vide bukti P-5], yang membuat Pemohon IV memiliki kualifikasi sebagai anggota partai politik. Namun, Pemohon IV tidak dapat menyertakan bukti sebagai pengurus dari Partai Nasdem. Terlebih lagi, fakta hukum yang terungkap di persidangan, Pemohon IV tidak pernah menggunakan haknya untuk menyalurkan aspirasi kepada partai politiknya berkenaan dengan keinginan Pemohon IV untuk melakukan pembatasan periodisasi dan masa jabatan ketua umum atau sebutan lainnya pada saat musyawarah nasional atau sebutan lainnya dalam perubahan AD dan ART partai Nasdem [vide risalah persidangan Perkara Nomor 69/PUU-XXI/2023, tanggal 25 Juli 2023, hlm. 15]. Di samping itu, sekalipun Pemohon IV adalah anggota partai politik namun Pemohon IV tidak dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa yang bersangkutan adalah pengurus partai politik dan/atau anggota yang ..mempunyai hak memilih dan/atau dipilih sebagai ketua umum sebagaimana diatur dalam AD/ART atau peraturan lain dari partai politik yang bersangkutan. Jikapun dalam ketentuan Pasal 3 huruf a ART Partai Nasdem [vide bukti P-8] mengatur hak anggota yang salah satunya memilih dan dipilih, namun hal tersebut tidak secara eksplisit dalam konteks pemilihan ketua umum partai politik. Oleh karena itu, Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.


Berdasarkan pertimbangan hukum putusan tersebut telah jelas, oleh karena terhadap permohonan a quo pun juga berkenaan dengan masa jabatan pimpinan (ketua umum) partai politik maka sebagaimana pertimbangan hukum tersebut, pihak yang dapat memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo adalah Pengurus partai politik dan/atau anggota yang mempunyai hak memilih dan/atau dipilih sebagai ketua umum sebagaimana diatur dalam AD/ART atau peraturan lain dari partai politik yang bersangkutan. Dengan demikian, kedudukan hukum Pemohon sebagai perorangan warga negara dalam mengajukan permohonan a quo tidaklah secara serta-merta dapat dikatakan mewakili aspirasi partainya. Terlebih, Pemohon bukanlah pengurus partai dan baru beberapa bulan bergabung menjadi anggota Partai Golkar, serta belum pernah mengikuti atau menjadi peserta Munas Partai Golkar sebagaimana yang diatur dalam AD dan ART Partai Golkar Pasal 39 ayat (2) huruf b angka romawi iv, yaitu untuk memilih dan menetapkan Ketua Umum. Adapun berkenaan dengan pembatasan masa jabatan baik Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Kecamatan, Pimpinan Desa/Kelurahan sesungguhnya telah diatur dalam AD dan ART Partai Golkar dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27, yaitu dibatasi selama 5 (lima) tahun sejak ditetapkan, [vide Lampiran Permohonan Pemohon, AD dan ART Keputusan Musyawarah Nasional X Partai Golongan Karya Tahun 2019 Nomor VIII/MUNAS-X/GOLKAR/2019]. Oleh karena itu, sesungguhnya hal yang dianggap Pemohon menghambat hak konstitusionalnya untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar hanyalah merupakan kekhawatiran semata, di mana kekhawatiran tersebut bukanlah merupakan kerugian hak konstitusional, sehingga tidak terdapat adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara hak konstitusional yang dimiliki Pemohon dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagai salah satu syarat adanya kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan-putusan selanjutnya. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa oleh karena norma yang dimohonkan pengujian tidak tepat dan tidak memiliki hubungan dengan isu sebagaimana yang Pemohon persoalkan, sehingga berakibat tidak jelasnya petitum yang dimohonkan, maka tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Andaipun permohonan Pemohon tidak kabur, quod non, telah ternyata Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-08-2023

Mahmudi (Sekretaris Desa), selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Pasal 51 huruf g UU Desa

Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 51 huruf g UU Desa dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan a quo, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan oleh Pemohon, telah ternyata yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 51 huruf g UU 6/2014 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 karena tidak memberikan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul melalui partisipasi dalam organisasi partai politik serta tidak memberikan hak untuk memajukan diri sebagai pengurus partai politik untuk mewujudkan tujuan partai politik sebagaimana dimaksud dalam UU Parpol. Terhadap dalil Pemohon a quo, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang artinya hukum sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat. Kekuasaan negara dan organ negara berdasarkan pada konstitusi dan hukum serta menolak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power). Supremasi hukum, asas persamaan perlakuan di muka hukum dan pemerintahan (equality before the law), dan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi merupakan prinsip yang menjadi unsur penting setiap negara hukum. Hak asasi manusia merupakan unsur utama yang harus dilindungi dan dikembangkan dalam negara hukum. Negara dalam hal ini harus mampu memberikan jaminan, perlindungan, dan pengembangan hak asasi manusia dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul merupakan hak dasar dalam negara hukum dan demokratis yang berkedaulatan rakyat serta dijamin dalam konstitusi yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Secara konstitusional, Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Lebih lanjut, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian, UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression) bagi setiap orang. Secara internasional pun, Pasal 20 Universal Declaration of Human Rights dan Pasal 21 Covenant on Civil and Political Rights telah memberikan jaminan bagi setiap orang untuk memiliki hak bebas dan merdeka dalam berserikat dan berkumpul.
Jika dikaitkan dengan realisasi dari pemikiran filosofis, kemerdekaan berserikat dan berkumpul pada hakikatnya merupakan hak dasar bahwa manusia sejatinya bebas dan tidak dikekang. Ketika orang melakukan kegiatan berkumpul untuk melaksanakan kegiatan berserikat tentunya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Penyampaian pikiran di muka umum merupakan unsur adanya partisipasi politik masyarakat yang dapat diterjemahkan sebagai dukungan terbuka terhadap kepentingan politik tertentu. Dengan demikian, kemerdekaan berserikat dan berkumpul merupakan bentuk pengejawantahan kedaulatan rakyat demokrasi dalam pelaksanaan hak asasi manusia di negara hukum.
Penjabaran dari amanat konstitusi terkait hak untuk berserikat dan berkumpul kemudian diwujudkan salah satunya dalam pembentukan partai politik yang merupakan bagian dari pilar demokratis dalam sistem politik Indonesia [vide Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011)]. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai salah satu lembaga demokrasi, partai politik berfungsi mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat, menyalurkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan negara, serta membina dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi. Dengan demikian, diperlukan jaminan dari negara bagi setiap warga negara untuk memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan negara melalui partai politik.
[3.10.2] Bahwa secara konstitusional dalam pelaksanaannya hak asasi manusia boleh dibatasi, namun pembatasan ini hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu dan memenuhi kaidah tertentu juga. Ketentuan Pasal 28J UUD 1945 telah memberikan legitimasi kepada negara melalui pembentuk undang-undang untuk melakukan pembatasan terhadap penggunaan hak dan kebebasan setiap orang dalam undang-undang. Pembatasan ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin serta menghormati hak dan kebebasan orang lain, dan demi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Terdapat suatu kecenderungan yang sama dari negara hukum yang demokratis terkait dengan pembatasan terhadap hak asasi manusia yaitu bahwa pembatasan terhadap hak tersebut tidak hanya berlaku dalam keadaan darurat tetapi juga dalam keadaan normal, seperti untuk memelihara ketertiban umum, melindungi kepentingan negara dan/atau pemerintahan, mencegah kemerosotan moral masyarakat atau publik, mencegah timbulnya dorongan melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum dan lain sebagainya.
Secara doktriner terdapat dua rasionalitas mengapa diperlukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) yaitu pertama, pembatasan hak asasi didasarkan pada adanya pengakuan bahwa sebagian besar HAM tidak bersifat mutlak, melainkan mencerminkan keseimbangan antara kepentingan individual dan kepentingan umum. Kedua, untuk mengatasi konflik antar hak, misalnya hak berekspresi yang harus dibatasi karena adanya penghormatan atas hak privasi seseorang, sehingga hak yang satu dapat dibatasi demi memberikan ruang bagi terlaksananya hak lainnya. Beberapa hak secara internasional telah disepakati menjadi hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun bahkan dalam keadaan darurat perang sekalipun. Hak-hak tersebut dikenal dengan non derogable rights yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) Covenant on Civil and Political Rights. Adapun non derogable rights tersebut meliputi hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara karena semata-mata tidak dapat memenuhi kewajiban kontraknya, hak untuk tidak dihukum berdasarkan hukum yang berlaku surut, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, hak atas bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama. Dalam konstitusi berkaitan dengan non derogable rights telah diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Meskipun demikian, norma Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 [vide Putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya Nomor 065/PUU-II/2004, Nomor 2-3/PUU-V/2007].
Bahwa berkenaan dengan adanya larangan terhadap kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa untuk merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik sebagaimana diatur dalam UU 6/2014, ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus yang melekat sebagai perlindungan terhadap pengaturan pokok dalam UU 6/2014 (lex specialis). Sedangkan, pengaturan mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul dalam UU 2/2011 yang memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia melalui wadah partai politik merupakan pengaturan yang bersifat umum (lex generalis) karena berlaku bagi setiap orang sepanjang telah memenuhi persyaratan tertentu dan tanpa membedakan jabatan serta kedudukan sosialnya. Sesuai dengan asas dalam hukum yang menyatakan lex specialis derogate legi generalis, yaitu ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum, sehingga pembatasan/larangan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa untuk menjadi pengurus partai politik bukan merupakan perlakuan diskriminasi dan sewenang-wenang terhadap jabatan tersebut.
[3.11] Menimbang bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 51 huruf g UU 6/2014 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon yaitu apakah ketentuan norma a quo melanggar kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan bagi perangkat desa sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Pasal 1 angka 2 UU 6/2014]. Pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala desa sebagai pimpinan pemerintahan desa mempunyai kekuasaan tertinggi di tingkat desa dan berperan penting terhadap jalannya pemerintahan desa menuju kesejahteraan masyarakat. Kepala desa merupakan jabatan yang sangat dihormati di kalangan masyarakat desa karena selain sebagai pemimpin desa, kepala desa juga merupakan elite lokal yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat desa. Oleh karena itu, kepala desa merupakan jabatan strategis sebagai penggerak politik masyarakat.
Keberadaan perangkat desa yang juga diserahi tugas di bidang administrasi termasuk memiliki posisi penting sebagai aparatur pemerintahan yang paling bawah. Perangkat desa merupakan salah satu organ pemerintah desa selain kepala desa yang kedudukannya berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU 6/2014 merupakan pembantu kepala desa dalam menjalankan fungsi pemerintahan desa. Meskipun kedudukannya sebagai pembantu kepala desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, namun UU 6/2014 telah menempatkan perangkat desa di posisi yang sangat penting dalam pemerintahan desa karena selain menyandang atribut dan simbol-simbol yang diberikan negara, perangkat desa juga menjalankan tugas-tugas negara. Meskipun pengangkatan perangkat desa sangat tergantung kepada kepala desa sebagai pihak yang berkepentingan langsung, namun kewenangan yang melekat pada jabatan ini diatur sedemikian rupa agar personal yang terpilih sebagai perangkat desa benar-benar mampu menjalankan tugasnya. Selain itu, baik pengangkatan maupun pemberhentian perangkat desa harus dikonsultasikan oleh kepala desa kepada Camat atas nama Bupati/Walikota untuk memperoleh rekomendasi [vide Pasal 49 ayat (2) dan Pasal 53 ayat (3) UU 6/2014].
Sebagai pembantu kepala desa, perangkat desa akan terlibat secara langsung dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dari kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU 6/2014 misalnya, penyelenggaraan Pemerintahan Desa, memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa, menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa juga menetapkan peraturan desa. Sebagai bagian dari lembaga pemerintahan di kabupaten yang berhubungan langsung dengan masyarakat, baik kepala desa maupun perangkat desa akan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya kedudukan perangkat desa sangat strategis sehingga diharapkan dapat diisi oleh orang-orang yang bukan saja profesional dan berintegritas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, namun juga merupakan pribadi yang dapat diterima, dipercaya dan dihormati sebagai pamong desa, serta memperoleh legitimasi dari masyarakat desa dalam menjalankan pemerintahan desa untuk membawa masyarakat desa ke arah terwujudnya kesejahteraan, ketertiban, dan kemajuan desa. Oleh karena itu, dalam membantu kepala desa melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut dibutuhkan adanya independensi, profesionalitas, dan ketidakberpihakan (netralitas) dari perangkat desa khususnya dalam memberikan pelayanan publik.
[3.11.2] Bahwa netralitas merupakan asas yang sangat penting dalam penyelenggaraan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan yang diemban setiap pegawai pemerintah, maupun pejabat pemerintah atau pejabat negara agar dapat menjalankan tugasnya secara profesional. Netralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak atau bebas, maksudnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus bebas dari kepentingan, intervensi, bebas dari pengaruh, adil, objektif, dan tidak memihak. Adapun netralitas politik dimaksudkan tidak terlibat dan tidak memihak terhadap kepentingan partai politik tertentu. Dalam upaya menjaga netralitas jabatan, baik kepala desa dan perangkat desa harus lepas dari pengaruh partai politik dalam rangka menjamin persatuan dan kesatuan serta menjamin keberlangsungan pelayanan publik tetap terselenggara dengan baik melalui pemusatan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan kepada mereka.
Berkenaan dengan hal di atas, sebagai konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan perangkat desa sebagai pembantu kepala desa, sudah seharusnya terdapat pengaturan terhadap netralitas politik yaitu berupa larangan untuk menjadi pengurus partai politik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 huruf g UU 6/2014. Keterlibatan perangkat desa dalam kepengurusan suatu partai politik akan menyebabkan munculnya berbagai permasalahan dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan desa. Besarnya kemungkinan terjadi keberpihakan dari perangkat desa terhadap partai politik yang dinaunginya kemudian dapat dimanifestasikan dalam pembentukan kebijakan dan penggunaan anggaran desa. Hal demikian sangat berpotensi menimbulkan kecemburuan yang menyebabkan perpecahan antar perangkat desa sehingga pada akhirnya akan berdampak pada pengabaian terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri.
Bahwa dalam menjalankan pemerintahan desa dibutuhkan pemangku jabatan yang netral serta bebas dari pengaruh kepentingan politik tertentu sehingga harus diatur tersendiri adanya pembatasan keterlibatan politik bagi kepala desa maupun perangkat desa sebatas keterlibatan dalam menjadi pengurus suatu partai politik agar dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap memusatkan perhatian kepada pelayanan publik demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa. Hal demikian tidak dapat diartikan sebagai bentuk penghilangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah partai politik bagi kepala desa, perangkat desa, maupun anggota badan permusyawaratan desa, namun pembatasan tersebut dikarenakan terdapatnya kepentingan publik yang lebih besar dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, pembatasan tersebut tidak bersifat mutlak, karena baik kepala desa, perangkat desa maupun anggota badan permusyawaratan desa masih dapat menggunakan hak politiknya untuk memberikan suaranya dalam pemilu. Di samping itu, secara normatif sesuai dengan asas hukum, UU 6/2014 merupakan lex specialis sedangkan UU Parpol merupakan lex generalis. Oleh karena itu, ketentuan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generalis), sehingga adanya pembatasan/larangan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa menjadi pengurus partai politik bukan merupakan perlakuan diskriminasi terhadap jabatan tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan telah terjadi pelanggaran terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul karena dilarangnya perangkat desa menjadi pengurus partai politik sebagaimana terdapat dalam ketentuan norma Pasal 51 huruf g UU 6/2014 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 51 huruf g UU 6/2014 telah ternyata memberikan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta memberikan hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 75/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-08-2023

Muhammad Helmi Fharozi (Dosen), E.Ramos Petege (Karyawan Swasta) dan Leonardus O. Magai (Direktur Eksekutif Progressive Democracy Watcg (Prodewa)/Aktivis) dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dkk para Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 2 ayat (1b) UU Partai Politik

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1b) UU Partai Politik dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh berkenaan dengan Kedudukan Hukum para Pemohon dan Pokok Permohonan, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, khususnya pada bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) yang pada intinya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011, “Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pendiri dan Pengurus Partai Politik dilarang merangkap jabatan sebagai anggota partai politik lain, dan Pengurus Partai Politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut”. Terhadap petitum a quo, setelah Mahkamah mencermati telah ternyata Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 merupakan bagian dari Bab II mengenai Pembentukan Partai Politik. Sementara itu, persoalan yang diminta oleh para Pemohon merupakan bagian dari Bab IX mengenai Kepengurusan. Apabila Mahkamah mengikuti keinginan para Pemohon untuk memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011, pemaknaan baru tersebut bukan merupakan bagian dari norma yang mengatur tentang pembentukan partai politik. Seandainya pemaknaan baru yang dimohonkan tersebut dimuat dalam Bab II, disadari atau tidak, hal demikian akan mengubah struktur dan substansi yang diatur dalam Bab II. Pemaknaan baru tersebut semakin sulit untuk dibenarkan karena para Pemohon menghendaki agar pengurus partai politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Hal demikian menunjukkan adanya pertentangan antara alasan-alasan mengajukan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan (petitum), sebagaimana hubungan antara posita dan petitum yang diatur dalam Pasal 74 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas (kabur).
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang, oleh karena permohonan para Pemohon kabur, berkenaan dengan kedudukan hukum para Pemohon, pokok permohonan, serta hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 74/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-08-2023

Osea Petege (Wiraswasta), memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H.,dkk, Tim Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Leo & Partners,selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 18A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 karena penyelenggaraan seleksi anggota KPU hanya dititikberatkan pada segi administratif belaka dengan tidak memperhatikan persoalan pengetahuan dan kondisi moral calon Anggota KPU. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa norma yang termaktub dalam Bab VIIB UUD 1945 tentang Pemilihan Umum, pada pokoknya telah memberikan kerangka dasar penyelenggaraan pemilu dengan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu, in casu KPU, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai prinsip dan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah. Untuk dapat menjalankan proses pemilu sesuai dengan asas-asas yang ditentukan dalam UUD 1945, diperlukan penyelenggara pemilu yang adil, transparan, dan kompeten agar dapat memastikan terselenggaranya pemilu yang demokratis. Terkait dengan hal ini, prinsip-prinsip yang mengatur proses seleksi penyelenggara pemilu memilki peran krusial agar dapat menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari perintah konstitusi tersebut, norma Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) UU 7/2017 telah mengatur prinsip yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan seleksi calon Anggota KPU pada setiap jenjang yang dilakukan oleh Tim Seleksi, yaitu keterbukaan dan partisipatif. Lebih lanjut, UU 7/2017 memberikan penjelasan yang dimaksud dengan "melibatkan partisipasi masyarakat” adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan tanggapan dan masukan secara tertulis terhadap calon anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota [vide Penjelasan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) UU 7/2017].
[3.10.2] Bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) UU 7/2017, Pemohon memohon agar norma pasal a quo perlu dilengkapi dengan menambahkan syarat adil, objektif, independen, dan profesional, melalui proses tes tertulis, tes psikologi yang terkomputerisasi, tes kesehatan, dan wawancara yang dapat diakses, serta diketahui masyarakat. Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah penting untuk dipahami secara komprehensif rumusan norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya yang sesungguhnya telah mengatur mengenai syarat dan tahapan proses seleksi. Norma pasal-pasal a quo selain mengatur prinsip pelaksanaan proses seleksi yang dilakukan oleh tim seleksi, juga mengatur aspek teknis yang berkaitan dengan tahapan kegiatan seleksi, misalnya tes tertulis, tes psikologi, dan tes kesehatan [vide Pasal 23, Pasal 28, dan Pasal 32 UU 7/2017].
[3.10.3] Bahwa kekhawatiran Pemohon mengenai tidak terlaksananya tahapan kegiatan seleksi sesuai dengan prinsip keterbukaan dan partisipatif sebenarnya telah terakomodir secara komprehensif dalam UU 7/2017 yang mengatur mengenai tahapan kegiatan tim seleksi sebagaimana ketentuan norma Pasal 23 ayat (3) untuk tingkat KPU RI, Pasal 28 ayat (3) untuk tingkat KPU Provinsi, dan Pasal 32 ayat (3) untuk tingkat KPU Kabupaten/Kota. Ketiga ketentuan yang mengatur mengenai tahapan kegiatan tim seleksi pada masing-masing tingkatan KPU tersebut telah secara jelas dan rigid menentukan tahapan yang tidak hanya dititikberatkan pada segi administratif belaka. Dalam kaitan ini, untuk seleksi Anggota KPU, Pasal 23 ayat (3) UU 7/2017 menentukan tahapan, antara lain, (i) melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetahuan dan kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta pengetahuan mengenai pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian; (ii) melakukan tes psikologi; (iii) mengumumkan melalui media massa lokal daftar nama bakal calon anggota KPU yang lulus seleksi tertulis dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat; dan (iv) melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi penyelenggaraan Pemilu dan melakukan klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat. Bahkan dalam praktik, penelusuran rekam jejak (track record) calon dilakukan secara lebih luas dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan institusi atau lembaga yang relevan. Dengan skala yang sedikit berbeda, masing-masing tahapan tersebut berlaku juga untuk proses seleksi calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota [vide Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 32 ayat (3) UU 7/2017]. Bahkan, untuk seleksi anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota, seluruh rangkaian tahapan kegiatan mulai pendaftaran, penelitian administratif, tes tertulis, psikologi, kesehatan, hingga wawancara tersebut juga dijabarkan secara lebih teknis dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota (PKPU 4/2023). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PKPU 4/2023, PKPU tersebut merupakan amanat ketentuan Pasal 27 ayat (7) dan Pasal 31 ayat (8) UU 7/2017, di mana tidak hanya soal pengetahuan kepemiluan yang digali dari proses seleksi calon anggota KPU, melainkan juga meliputi aspek-aspek lain, seperti aspek moral, independensi, serta kemampuan calon untuk menghadapi tekanan dan ritme pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu juga menjadi bagian dari penilaian tim seleksi.
[3.10.4] Bahwa PKPU 4/2023 sebagai pengaturan yang lebih teknis mengatur tentang seleksi calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota juga telah menentukan substansi materi uji kelayakan dan kepatuhan yang meliputi: (a) integritas dan independensi; (b) pengetahuan mengenai kepemiluan; (c) wawasan kebangsaan; (d) kepemimpinan; (e) kemampuan komunikasi; dan (f) klarifikasi masukan dan tanggapan masyarakat [vide Pasal 38 ayat (2) PKPU 4/2023]. Artinya, ketentuan dimaksud menentukan proses seleksi calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, tidak hanya dititikberatkan pada segi administratif belaka sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Lebih lanjut, dalam rangka menerapkan asas keterbukaan dan partisipatif dalam proses seleksinya, telah diatur pula ketentuan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat menyampaikan laporan tertulis kepada KPU apabila terdapat dugaan pelanggaran dalam setiap tahapan proses seleksi [vide Pasal 43 ayat (1) PKPU 4/2023]. Sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat tersebut, diatur pula mengenai kewenangan KPU untuk dapat memberikan sanksi peringatan kepada anggota Tim Seleksi yang melakukan pelanggaran, termasuk di dalamnya diberi kewenangan untuk memberhentikan anggota Tim Seleksi yang melakukan pelanggaran tersebut dan mengangkat anggota Tim Seleksi yang baru [vide Pasal 45 PKPU 4/2023].
Berkaitan dengan uraian di atas, untuk memahami prinsip pelaksanaan seleksi calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, tidak dapat hanya dibaca dan dipahami secara parsial, melainkan harus dibaca dan dipahami secara komprehensif dan kontekstual. Berdasarkan pemahaman tersebut maka menurut Mahkamah, petitum Pemohon yang meminta agar Mahkamah menambahkan frasa “adil, objektif, independen, dan profesional melalui proses tes tertulis, tes psikologi yang terkomputerisasi, tes kesehatan, dan wawancara yang dapat diakses, dan diketahui oleh masyarakat” dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) UU 7/2017, sesungguhnya telah diakomodir dalam UU 7/2017, khususnya terkait dengan pengaturan mengenai seleksi calon Anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang digunakan sebagai pedoman pada setiap tahapan seleksi di masing-masing tingkatan/jenjang KPU dengan mendasarkan pada prinsip keterbukaan dan partisipatif.
[3.11] Menimbang bahwa lebih lanjut Pemohon juga mendalilkan Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 karena norma dalam pasal-pasal a quo tidak mengakomodir prinsip desentralisasi serta prinsip kesetaraan dan kesamaan kesempatan yang adil dalam berpartisipasi pada jabatan pemerintahan daerah, khususnya untuk menjadi Anggota KPU Kabupaten/Kota. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa salah satu esensi pengaturan pemilu dalam Bab VIIB UUD 1945 adalah ditetapkannya institusi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [vide Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Keberadaan KPU dalam Bab VIIB UUD 1945 tersebut, didasari pada kebutuhan akan sebuah institusi KPU yang permanen dan independen guna menyelenggarakan transformasi kedaulatan rakyat melalui pemilu. Namun demikian, konstitusi hanya memberikan dasar pengaturan perihal institusi penyelenggara pemilu haruslah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, sedangkan untuk pengaturan lebih lanjut yang bersifat teknis, baik menyangkut nama, struktur, keanggotaan dan mekanisme kerjanya akan diatur dalam undang-undang, termasuk juga terkait pengertian dari sifat nasional, tetap, dan mandiri yang dilekatkan pada komisi pemilihan umum. Namun, jika ditelusuri kembali proses pembahasan perubahan UUD 1945, terkait dengan pengertian sifat nasional, tetap, dan mandiri, telah ternyata sebagian besar pembahasan lebih tertuju pada sifat kemandirian, sedangkan ihwal sifat nasional dan tetap, relatif tidak dibahas berkepanjangan. Dalam kaitan ini, dapat dilihat pandangan beberapa perwakilan fraksi dalam membahas materi sifat nasional dan tetap [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, hlm. 509 - 588], sebagai berikut:
Pandangan dari F-PPP yang disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin:
“Nah Ayat (5) ini menurut saya memang mendasar adanya kalimat yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Jadi kalau Tim Ahli hanya terbatas pada Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum dan KPU-nya ini juga dengan huruf besar seakan-akan sudah menunjuk institusi tertentu, padahal Undang-Undang Dasar ini sebaik kita tidak langsung menunjuk institusi. Jadi rumusan Badan Pekerja saya pikir ini lebih baik selain adanya penambahan bersifat nasional. Karena nasional ini menurut saya penting meskipun nanti di daerah akan ada Komisi seperti itu tapi itu merupakan perwakilan saja, sifatnya harus nasional. Jadi itu yang penting tetap dan mandiri.”

Pandangan dari F-PDIP yang disampaikan oleh I Dewa Gede Palguna:
“Saya ingin memberi catatan khusus mengenai Ayat (5) yang tadi banyak yang memberikan komentar. Mengapa rumusan di Badan Pekerja itu menjadi lebih pasti kalau bagi kita semua sesungguhnya, kata “nasional” di situ menjadi penting karena dia adalah mencerminkan bahwa yang berdaulat itu adalah negara kesatuan gitu di seluruh ini. Ini lah bedanya dengan konsep federasi karena pada konsep federasi sesungguhnya mengapa di daerah itu ada pemilihan yang tersendiri, yang pemilihan yang bersifat state itu karena memang “dia” kedaulatannya pada dasarnya ada di negara-negara bagian itu. Nah, sebagian dari itu lah yang diserahkan kepada pemerintah federasi. Jadi ini justru untuk menekankan kaitannya bukan hanya sekedar apa, tetapi ini memang berkaitan langsung dengan konsep dasar yang sudah kita sepakati semula yaitu konsep negara kesatuan itu. Nah, sedangkan kata “tetap” itu menjadi penting juga karena bahwa kalau tidak salah kecuali ada pemikiran lain, badan yang kita inginkan itu ada lah badan yang bersifat permanen bukan yang bersifat ad hoc yang diperlukan sewaktu- waktu.”

Pandangan dari F-TNI/Polri yang disampaikan oleh Affandi:
“Kemudian Ayat (5), kami memilih yang dirumuskan oleh Badan Pekerja, Pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Ini nasional penting sekali, penekanan nasional ini, pelaksanaan secara nasional, keseragaman semua, bersifat tetap lembaganya dan mandiri tidak diintervensi oleh pihak apapun yang berkepentingan dalam penyelenggaraan Pemilu itu.”

Pandangan dari F-PG yang disampaikan oleh Rosnaniar:
“Kemudian Ayat (5), ini masalah nasional, tetap, dan mandiri. Memang kita semua mempunyai alasan, kalau nasional kita cantumkan itu kita masih berpegang kepada memperkuat negara kesatuan. Tetap di sini saya juga mungkin ada pemahaman “tetap” di dalam nama atau “tetap” di dalam institusi. Kalau tetap di dalam nama pemilihan, Komisi Pemilihan Umum dengan huruf besar.”

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat perbedaan pendapat yang signifikan terkait dengan sifat nasional dan tetap karena semua pendapat mengarah pada satu kesepakatan, yaitu lembaga yang akan menjalankan fungsi menyelenggarakan pemilu di Indonesia harus bersifat (i) nasional, yaitu mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai perwujudan dari bentuk negara kesatuan serta (ii) institusinya bersifat tetap atau permanen yang akan menjalankan tugasnya secara berkesinambungan.
[3.11.2] Bahwa terkait dengan sifat kemandirian KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, Mahkamah telah beberapa kali memberikan tafsir konstitusional dalam beberapa putusan terdahulu. Tafsir mengenai sifat kemandirian KPU tersebut salah satunya dapat dilihat pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 22 Maret 2005, halaman 112 sebagai berikut:
“Terhadap permohonan Para Pemohon mengenai Pasal 57 ayat (1) sepanjang menyangkut anak kalimat, “... yang bertanggung jawab kepada DPRD”, Mahkamah berpendapat bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). Maksud UUD 1945 tersebut, tidak mungkin dicapai apabila KPUD sebagai penyelenggara Pilkada langsung ditentukan harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sebab, DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah terdiri atas unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pilkada langsung tersebut. Oleh karena itu KPUD harus bertanggungjawab kepada publik bukan kepada DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda.”

Lebih lanjut, tafsir konstitusional terkait dengan kemandirian KPU juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada Sub-paragraf [3.9.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 10 Juli 2017, sebagai berikut:
“Sifat mandiri yang dilekatkan kepada KPU mencakup kemandirian institusional, fungsional, dan personal. Mandiri secara institusional berarti, secara kelembagaan KPU berdiri sendiri dan terbebas dari ketergantungan pada lembaga atau infrastruktur politik lainnya. Sementara mandiri secara fungsional bermakna bahwa dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan Pemilu, KPU bebas dari intervensi pihak dan kelompok manapun. Dalam menjalankan fungsi membentuk peraturan pelaksana maupun dalam melaksanakan tahap demi tahap penyelenggaraan Pemilu, KPU bebas dari tekanan maupun pengaruh pihak manapun. Sementara mandiri secara personal bermakna bahwa setiap anggota lembaga penyelenggara Pemilu haruslah orang-orang yang terbebas dari keanggotaan yang bersifat partisan. Kemandirian secara institusional, fungsional maupun personal merupakan satu kesatuan makna dari sifat mandiri yang dilekatkan pada KPU sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.”

Berdasarkan kutipan kedua putusan tersebut, tafsir konstitusional terkait dengan sifat kemandirian KPU yang dikehendaki oleh UUD 1945 meliputi aspek institusional, fungsional, dan personal. Aspek institusional menekankan bahwa penyelenggara pemilu tidak tunduk dan bebas dari ketergantungan pihak manapun. Aspek fungsional lebih menekankan pada kebebasan dari intervensi pihak atau lembaga lain. Sedangkan aspek personal lebih menghendaki penyelenggara pemilu yang bersifat non partisan dan tidak memihak.
[3.11.3] Bahwa berkenaan dengan hubungan antara KPU dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, UU 7/2017 telah menentukan bentuk, ruang lingkup, kedudukan, susunan, keanggotaan, tugas, wewenang dan kewajiban serta mekanisme kerja komisi pemilihan umum. Dalam hal ini, Pasal 6 UU 7/2017 menentukan KPU terdiri atas: a. KPU; b. KPU Provinsi; c. KPU Kabupaten/Kota; d. PPK; e. PPS; f. PPLN; g. KPPS; dan h. KPPSLN. Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (1) UU 7/2017 menentukan wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan mekanisme atau tata kerja KPU diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU 7/2017 yang menentukan bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis, termasuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan sifat hierarkis tersebut, struktur organisasi komisi pemilihan umum didesain dalam bentuk hierarki atau berjenjang. Jika dikaitkan dengan sistem birokrasi, kekuasaan, tanggung jawab, dan kewenangan diatur berdasarkan tingkatan posisi atau jabatan dalam suatu organisasi. Walaupun dalam implementasinya seringkali dikaitkan dengan sifat sentralistik, namun sejatinya sifat hierarkis memiliki perbedaan karakter mendasar dengan model birokrasi sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika dikaitkan dengan pengorganisasian KPU, menurut Mahkamah desain hierarkis antara KPU RI, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU 7/2017, menunjukkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab masing-masing jenjang (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Masing-masing jenjang atau tingkatan tersebut merupakan penyelenggara pemilu di masing-masing tingkatan yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya, dalam menyelenggarakan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota diberikan kewenangan penuh. Namun demikian, secara hierarkis KPU RI diberikan kewenangan oleh UU 7/2017 untuk menyusun tata kelola dan mekanisme kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, termasuk mengangkat, membina, dan memberhentikan Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota, dan Anggota PPLN, agar terwujud satu kesatuan sistem penyelenggaraan pemilu [vide Pasal 13 huruf i UU 7/2017].
[3.11.4] Bahwa dalam hal ini, Mahkamah dapat memahami maksud dan tujuan permohonan Pemohon yang mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU 7/2017 dengan mendasarkan pada argumentasi pemenuhan prinsip desentralisasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 UUD 1945, di mana menurut Pemohon pengorganisasian KPU sampai di daerah semestinya mengikuti prinsip desentralisasi tersebut sehingga terdapat kesetaraan. Terkait dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan, pola pengorganisasian KPU tidak bisa dan tidak boleh dipersamakan dengan pola pengorganisasian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang didesain bersifat mandiri namun terikat dalam garis hierarki hingga KPU RI. Terlebih lagi, dalam institusi KPU terdapat sifat nasional. Hal ini dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan pemilu terdapat satu kesatuan sistem. Oleh karena itu, kewenangan KPU RI untuk membentuk tim seleksi anggota KPU, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat dilepaskan dari desain hierarkis sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU 7/2017.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU 7/2017 tidaklah menimbulkan persoalan konstitusionalitas. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) sebagai berikut:
[6.1] Bahwa dalam kaitannya dengan permohonan pengujian Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017), saya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, berpendapat bahwa permohonan dimaksud hendaknya dilanjutkan ke persidangan pleno untuk pendalaman, namun karena perkara a quo tidak dilanjutkan ke persidangan pleno, maka saya berpendapat permohonan a quo hendaknya dikabulkan untuk sebagian (partially granted).
Sebelum menjelaskan alasan/argumentasi hukum terkait pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) ini, perlu saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1 Pemohon menguji ketentuan norma Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:

2 Bahwa Pemohon merupakan perseorangan Warga Negara Indonesia yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai tahun 2012. Pemohon dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal dalam UU 7/2017, khususnya berkaitan dengan pemilihan dan penentuan anggota KPU. Ketentuan-ketentuan a quo menyebabkan peluang keterpilihan Pemohon sebagai unsur daerah yang memahami dan mengetahui kondisi penyelenggaraan pemilu di daerah menjadi sulit karena seluruh mekanisme pencalonan, pemilihan, dan penetapan dilakukan dilakukan oleh Tim Seleksi dari KPU Pusat. Selain itu, hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh calon-calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang profesional dan independen juga telah dirugikan dengan sistem yang dibentuk berdasarkan pasal-pasal a quo. Sehingga, menurut hemat saya, berdasarkan kriteria kedudukan hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, Pemohon memiliki kedudukan hukum sekurang-kurangnya potensial, dan jelas mengalami kerugian sebagai akibat berlakunya norma a quo serta memiliki hubungan sebab-akibat (causal-verband), serta dalam batas penalaran yang wajar, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
3 Menurut hemat saya, terdapat isu yang potensial untuk dapat didalami lebih lanjut yaitu terkait tata kelola rekrutmen komisioner KPU di daerah, khususnya pada 2 (dua) isu pokok yaitu (1) peran dan proporsi KPU Provinsi dalam rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota penting untuk dikukuhkan dalam norma UU, sebagai wujud penerapan prinsip desentralisasi serta prinsip kesetaraan dan kesamaan kesempatan yang adil, dan (2) urgensi prinsip terbuka, adil, objektif, independen, dan professional dalam tata Kelola rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota.
4 Bahwa Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menegaskan pula Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan ini menjadi dasar konstitusional dalam menentukan prinsip desentraliasasi yang memberi kewenangan dan kemandirian daerah dalam mengatur urusannya sendiri berdasarkan prinsip otonomi daerah. Sehingga, diberikannya dasar konstitusional ini seyogianya dapat dijadikan sebagai momentum bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan secara menyeluruh dalam berbagai aspek, terutama aspek tata kelola rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota.
5 KPU tetap bersifat nasional dan hirarkhis, namun khusus terkait dengan rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota seharusnya menerapkan pendekatan desentralisasi terbatas dalam penentuan panitia seleksi anggota KPU Kabupaten/Kota. Rekrutmen dimaksud tetap menjadi kewenangan KPU yang dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan KPU Provinsi dalam penentuan anggota tim seleksi yang dibentuk oleh KPU. Secara prinsip, keterlibatan KPU Provinsi tersebut dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada putera puteri daerah yang memiliki pengetahuan lebih mendalam mengenai daerahnya masing-masing baik kondisi sosial, ekonomi, kultural maupun geografis untuk berperan lebih besar dalam pembangunan daerah dengan tetap berdasarkan pada prinsip tata Kelola rekrutmen yang terbuka, adil, objektif, independen, dan profesional. Secara konstitusional, koordinasi KPU dengan KPU Provinsi untuk melakukan rekrutmen anggota KPU kabupaten/Kota juga sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Meskipun dalam proses rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota tentu saja terdapat koordinasi antara KPU dengan KPU Provinsi, namun koordinasi tidak saja sebatas pada pelaksanaan rekrutmen namun seharusnya juga terjadi pada tataran penentuan komposisi tim seleksi yang memberi porsi lebih besar ditentukan oleh KPU Provinsi. Hal demikian tidaklah mendegradasi posisi KPU Pusat yang bersifat nasional dan hierarkis.
6 keberadaan penyelenggara pemilu in casu KPU yang kompeten dan berintentegritas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keseluruhan kualitas proses penyelenggaraan pemilu. Sehingga penting untuk memberikan perhatian khusus terhadap seleksi anggota KPU khususnya KPU di daerah. Proses seleksi anggota KPU di daerah menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan proses pemilu berkeadilan dan transparan di daerah-daerah yang menjadi simpul persatuan dalam NKRI. Prinsip-prinsip tata kelola yang baik khususnya dalam proses rekrutmen anggota KPU Kabupaten/Kota, secara norma akan jauh lebih impresif jika prinsip-prinsip yang dikehendaki pemohon yaitu prinsip terbuka, adil, objektif, independen, dan profesional, serta tidak ada kontradiksi norma jika prinsip-prinsip tersebut dimasukkan (insert) ke dalam norma a quo, justru akan menjadi pedoman yang lebih baik (good governance) dalam tata kelola dan hubungan sinergis antara KPU Pusat dan KPU Provinsi, serta KPU Kabupaten/Kota.
7 Bahwa berdasarkan pertimbangan dan kerangka pikir di atas, sekali lagi, meskipun permohonan a quo tidak masuk ke tahap persidangan pleno, menurut hemat saya, permohonan a quo hendaknya dikabulkan untuk sebagian (partially granted).

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-08-2023

Hasanuddin Rahman Daeng Naja, S.H., M.Hum., M.Kn (Anggota Badan Wakaf Indonesia) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 56 UU Wakaf

Pasal 7, Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara lurung dan virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 56 UU Wakaf dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah pengaturan masa jabatan anggota BWI dalam norma Pasal 56 UU 41/2004 bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Dalam mempermasalahkan konstitusionalitas norma a quo Pemohon memperhadapkannya dengan masa jabatan anggota KPK yang telah diputus oleh Mahkamah dan masa jabatan lembaga yang serumpun dengan BWI, in casu BAZNAS dan BPKH. Terhadap dalil Pemohon a quo, sebelum Mahkamah menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa lembaga wakaf merupakan pranata keagamaan yang sangat penting bagi kehidupan umat yang memiliki harta benda untuk menentukan harta benda tersebut dapat dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dalam kaitan ini, UU 41/2004 telah menentukan harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Dengan mencermati jangkauan peruntukan harta benda wakaf tersebut maka dapat dikatakan wakaf memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. Untuk mengatur secara jelas perbuatan hukum wakaf tersebut maka wajib ada pencatatan yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf, didaftarkan serta diumumkan pelaksanaannya sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UU 41/2004 dan peraturan pelaksananya. Oleh karena itu, dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional agar tujuan dan fungsi wakaf dapat diwujudkan secara optimal maka dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) [vide Konsiderans Menimbang huruf a dan Penjelasan Umum UU 41/2004].
[3.10.2] Bahwa UU 41/2004 telah menentukan pranata keagamaan BWI sebagai lembaga independen [vide Pasal 1 angka 7 UU 41/2004] yang pengaturannya serumpun dengan pranata keagamaan lainnya, yaitu undang-undang yang mengatur perihal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional dan undang-undang yang mengatur perihal Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang melakukan pengelolaan keuangan haji sebagai lembaga yang mandiri. Penegasan demikian telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU 23/2011) bahwa BAZNAS merupakan lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Adapun masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan [vide Pasal 5 dan Pasal 9 UU 23/2011]. Rumusan yang sama ditentukan pula bagi kelembagaan BPKH bahwa BPKH bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Adapun masa jabatan anggota badan pelaksana BPKH diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya [vide Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU 34/2014)]. Sementara itu, jika dikaitkan dengan kelembagaan KPK ditentukan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019].
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan keberadaan lembaga-lembaga tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa pembentukan lembaga, badan, atau organ oleh negara atau pemerintah sejatinya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan bernegara yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan perdamaian dunia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap lembaga, badan atau organ baik yang telah termaktub dalam UUD 1945 maupun yang dibentuk melalui undang-undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang pada dasarnya kedudukan dan keberadaannya adalah penting (importance) sepanjang berfungsi dengan baik dan efektif. Dalam kaitan ini, terhadap lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945 diposisikan sebagai organ negara utama (main state organ), yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan demi tercapainya tujuan negara. Sementara itu, untuk lembaga negara yang pembentukannya melalui undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang selain menjalankan fungsi pemerintahan juga lembaga yang menjalankan fungsi perbantuan atau menjalankan fungsi penunjang terhadap lembaga negara utama (auxiliary state organ). Dalam praktik, istilah yang digunakan untuk penyebutan auxiliary organ dapat berupa komisi atau badan. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah telah menegaskan dalam Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanggal 8 Februari 2018, bahwa:
Dengan kata lain, lembaga-lembaga negara penunjang tersebut dibentuk dengan tetap berdasar pada fungsi lembaga negara utama yang menjalankan tiga fungsi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Artinya, baik pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dimungkinkan muncul lembaga penunjang untuk mendukung kompleksitas fungsi lembaga utama. Tujuan pembentukannya jelas, yakni dalam rangka efektifitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga utama tersebut
Sementara itu, dalam kaitan dengan lembaga independen, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terdapat beberapa lembaga independen yang menjalankan fungsi penting berkaitan dengan tugas lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945. Artinya, lembaga independen itu dapat disetarakan dengan lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945, karena merupakan lembaga yang dinilai penting secara konstitusional (constitutional importance), seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan lain sebagainya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2015]. Bahkan, terkait dengan KPK, Mahkamah dalam beberapa putusannya dengan tegas menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara independen yang termasuk dalam constitutional importance [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 19 Desember 2006, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Oktober 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 Mei 2023].
[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama yang didalilkan Pemohon berkenaan dengan telah terjadi diskriminasi terhadap kelembagaan BWI karena masa jabatan anggotanya tidak sama (setara) jika diperhadapkan dengan lembaga serumpun, yaitu BAZNAS dan BPKH yang masa jabatan anggotanya adalah 5 (lima) tahun serta KPK yang telah diputus oleh Mahkamah masa jabatan anggota KPK adalah 5 (lima) tahun. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa wakaf dalam hal ini merupakan instrumen penting yang tidak hanya bertujuan menyediakan sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi memajukan kesejahteraan umum. Sehingga, untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf demi melindungi harta benda wakaf maka diperlukan lembaga/badan yang dapat melaksanakan tugas-tugas berkaitan dengan perwakafan, yaitu BWI. Pembentukan BWI tersebut tercantum dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 47 dan Pasal 49 ayat (1) UU 41/2004 yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 7 UU 41/2004
Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Pasal 47 UU 41/2004
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
(2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya.

Pasal 49 ayat (1) UU 41/2004
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas wewenang:
a melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
b melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Dengan merujuk pada Pasal 1 angka 7, Pasal 47 dan Pasal 49 ayat (1) UU 41/2004 tersebut telah jelas bahwa BWI dibentuk secara khusus untuk melaksanakan kegiatan perwakafan sesuai dengan prinsip syariah. BWI dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen dan berkoordinasi dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
[3.11.2] Bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya, BWI memiliki anggota yang proses rekrutmennya diatur dalam Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2004, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 55 (1) UU 41/2004
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2004
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.

Berdasarkan Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2004 maka dapat diketahui bahwa proses pengangkatan dan pemberhentian anggota BWI dilakukan oleh Presiden. Namun, untuk proses pengangkatan anggota BWI yang pertama kali diusulkan oleh Menteri kepada Presiden dan pengangkatan untuk selanjutnya diusulkan oleh BWI, di mana pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan tersebut ditentukan oleh BWI sendiri dalam Peraturan BWI [vide Pasal 55 ayat (3) UU 41/2004].
[3.11.3] Bahwa dengan mencermati secara komprehensif UU 41/2004, dapat dikemukakan bahwa BWI dibentuk berdasarkan undang-undang yaitu UU 41/2004, merupakan lembaga yang bersifat independen dalam melaksanakan tugas penting pemerintahan hanya di bidang perwakafan, dan proses rekrutmen anggota lembaga/badan melalui proses rekrutmen anggota dan/atau pimpinannya dilakukan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, keberadaan BWI adalah penting secara institusional dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, khususnya di bidang perwakafan sesuai dengan tujuan, tugas, fungsi dan kewenangan yang telah ditentukan dalam UU 41/2004.
[3.11.4] Bahwa lebih lanjut terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan BWI memiliki kesamaan dengan salah satu lembaga independen, yaitu KPK sehingga sudah sepatutnya periode masa jabatan bagi anggota BWI mendapatkan perlakuan yang sama dengan KPK sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Menurut Mahkamah, ihwal tersebut tidak dapat dikomparasikan begitu saja sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Meskipun BWI oleh UU 41/2004 disebut sebagai lembaga independen [vide Pasal 1 angka 7 UU 41/2004] dan KPK juga merupakan lembaga independen, namun tugas, fungsi, dan wewenang KPK tidak dapat disetarakan dengan BWI karena KPK menjalankan fungsi yang berkaitan langsung dengan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, khususnya sebagai lembaga penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi. Artinya, KPK termasuk lembaga constitutional importance sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan isu diskriminasi karena adanya perbedaan masa jabatan anggota BWI yang tidak 5 (lima) tahun sebagaimana lembaga serumpun yaitu BAZNAS dan BPKH, serta meminta penyetaraan sebagaimana masa jabatan KPK yang telah diputus oleh Mahkamah menjadi 5 (lima) tahun [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022]. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali putusan-putusan terkait dengan diskriminasi yang sesungguhnya telah diberi batasan oleh Mahkamah, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2006 yang dikutip kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 November 2017 di antaranya menyatakan bahwa:
Diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya [vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia]. Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Article 2 International Covenant on Civil and Political Rights menyatakan, “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya “ (Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status). Mahkamah dalam putusan tersebut menegaskan bahwa benar dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi. Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUUII/2004 bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan. Dalam putusan lainnya yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.

Berkenaan dengan kutipan putusan di atas, adanya perbedaan masa jabatan keanggotaan BWI dengan BAZNAS dan BPKH menurut Mahkamah, baik BWI maupun BAZNAS dan BPKH merupakan lembaga yang secara kelembagaan penting dibentuk karena tujuan, tugas, fungsi dan kewenangan lembaga tersebut tidak dapat dilakukan oleh main state organ atau auxiliary state organ yang telah ada. Oleh karena itu, untuk menentukan berapa lama masa jabatan anggota dari lembaga yang dibentuk, sepenuhnya merupakan kewenangan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing lembaga, badan atau organ yang bersangkutan dalam peraturan pembentukannya. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma karena adanya perbedaan masa jabatan anggota di BWI dengan anggota di BAZNAS dan BPKH. Sebab, perbedaan tersebut tidak didasarkan pada alasan “agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa atau keyakinan politik”, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 56 UU 41/2004 bersifat diskriminatif tidak beralasan menurut hukum; Sementara itu, terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan hak Pemohon yang tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena masa jabatannya tidak 5 (lima) tahun, tidak ada kaitannya dengan Pasal 56 UU 41/2004 karena perbedaan masa jabatan keanggotaan di ketiga lembaga tersebut (BWI, BAZNAS, dan BPKH) tidak menghalangi setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, juga tidak membatasi pengabdian kepada negara dalam mengembangkan perwakafan nasional. Menurut Mahkamah, pengaturan tenggang waktu masa jabatan sejatinya tidak berkorelasi dengan tinggi-rendahnya tingkat kedudukan suatu lembaga, badan, atau organ, serta tidak berkaitan dengan kuantitas dan kualitas pengabdian kepada negara, sehingga tidak menghalangi setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Justru dengan adanya perbedaan tersebut memberikan pilihan kepada warga negara Indonesia tentang kepastian hukum untuk menentukan berapa lama dirinya dalam pemerintahan dalam rangka menjalankan fungsi yang telah ditentukan. Perbedaan masa jabatan di setiap lembaga seperti BWI, BAZNAS, dan BPKH tidak serta-merta dapat diartikan melanggar hak konstitusional warga negara atau bertentangan dengan UUD 1945 karena hal tersebut ditentukan sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, berdasarkan kebutuhan pengaturan masing-masing lembaga. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo yang menyatakan Pasal 56 UU 41/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berkenaan dengan Pasal 56 UU 41/2004 tidak bersifat diskriminatif sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-08-2023

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang diwakili oleh Boyamin Bin Saiman (Koordinator dan Pendiri MAKI) dan Komaryono (Deputi dan Pendiri MAKI) serta Christopus Harno, dalam hal ini memberi kuasa kepada a Rizky Dwi Cahyo Putra, S.H., Marselinus Edwin Hardian, S.H., dan Syarif Ja’far Shadeek, S.H., M.Kn., para advokat di kantor Advokat Boyamin Saiman Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 34 UU 30/2002

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 34 UU 30/2002 Jo. Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya keberlakuan norma Pasal 34 UU 30/2002 sebagaimana telah dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 juga bagi pimpinan KPK saat ini, maka kekhawatiran para Pemohon apabila Keputusan Presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi berakhir pada tanggal 20 Desember 2024 dapat dibatalkan, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum terhadap segala tindakan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK, menurut Mahkamah tidak beralasan. Jika benar Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini sampai dengan tanggal 20 Desember 2024 sebagaimana didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah Presiden sebagai addressat putusan Mahkamah telah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Artinya, Presiden telah benar dan saksama memahami bahwa putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, dapat saja Mahkamah memberikan perintah (judicial order) di bagian pertimbangan hukum atau dapat juga pertimbangan hukum Mahkamah menimbulkan konsekuensi yuridis yang juga harus ditindaklanjuti oleh addressat putusan Mahkamah. Dalam konteks perkara a quo, oleh karena dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah untuk menjawab masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada tanggal 20 Desember 2023, sedangkan dalam amar putusan masa jabatan pimpinan dimaknai menjadi 5 (lima) tahun maka sebagai konsekuensi yuridis, sebelum berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK saat ini (existing), dalam hal Presiden belum menerbitkan surat keputusan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini sampai dengan tanggal 20 Desember 2024 maka seharusnya Presiden segera menerbitkan Surat Keputusan dimaksud. Sehingga, pimpinan KPK yang saat ini menjabat mendapatkan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan sebagaimana diperintahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Demikian pula halnya bagi masyarakat juga memperoleh kepastian hukum sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai pimpinan KPK saat ini tidak berprestasi, melanggar kode etik, dan nampak terpengaruh oleh kekuasaan politik sehingga tidak perlu diperpanjang masa jabatannya, bukan persoalan inkonstitusional norma sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Adapun mengenai dalil para Pemohon jika norma a quo diberlakukan pada periode kepemimpinan KPK saat ini maka pimpinan KPK yang akan datang beriringan dengan periode Presiden dan DPR sehingga tujuan menjadikan KPK independen tidak tercapai, menurut Mahkamah desain konstitusional penilaian dalam sistem rekrutmen pimpinan KPK tidak boleh dilakukan 2 (dua) kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama menimbulkan konsekuensi logis periodisasi atau masa jabatan pimpinan KPK beriringan dengan periode Presiden dan DPR, sebagaimana dipahami juga oleh para Pemohon. Namun demikian hal tersebut menurut Mahkamah tidak serta-merta menjadikan independensi KPK tidak tercapai. Independensi dimulai dari sistem seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan bahwa penilaian dalam sistem rekrutmen pimpinan KPK tidak boleh dilakukan 2 (dua) kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Karena, selain menyebabkan perlakuan yang berbeda dengan lembaga negara lainnya yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance, juga berpotensi tidak memengaruhi independensi pimpinan KPK dan beban psikologis serta benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Dalam konteks Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama dimaksud, tidaklah harus terkait dengan orang yang memegang jabatan melainkan didasarkan pada periodisasi kelembagaan Presiden dan DPR.
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 34 UU 30/2002 sebagaimana telah diubah oleh Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “ketentuan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun berlaku untuk kepemimpinan periode berikutnya", menurut Mahkamah merupakan petitum yang ambigu, bahkan tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada kepastian berkaitan dengan periode berikutnya dimaksud. Rumusan petitum “kepemimpinan periode berikutnya” tidak jelas waktunya dan dapat dimaknai kapan saja, sementara itu dalam posita permohonan disebutkan periode 2023-2028, sehingga dapat dinilai terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum permohonan oleh karenanya permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur. Namun demikian, seandainya permohonan para Pemohon tidak kabur, quod non, terhadap pokok permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak oleh Hakim Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-08-2023

Jovi Andrea Bachtiar, S.H., yang memberikan kuasa kepada Welly Anggara, S.H.,M.H., dkk yang kesemuanya merupakan advokat dan/atau konsultan hukum pada kantor hukum IDK & Partners Law Office, selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 3 dan Pasal 20 UU 11/2021 dan Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 UU 16/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 3 dan Pasal 20 UU 11/2021 dan Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 UU 16/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon sebagaimana tertuang dalam Paragraf [3.7] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum perihal kedudukan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 1 angka 2 UU 11/2021. Terhadap permasalahan konstitusionalitas norma yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 merupakan bagian dari Ketentuan Umum dalam UU 11/2021 yang di dalamnya memuat antara lain batasan pengertian atau definisi dari istilah Penuntut Umum yang akan digunakan secara berulang-ulang dalam pasal dan beberapa pasal selanjutnya [vide Lampiran II Angka 102 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022]. Oleh karena itu, apabila dilakukan perubahan terhadap Ketentuan Umum suatu undang-undang haruslah dilakukan secara saksama dengan mempertimbangkan dampaknya bagi keberlakukan pasal-pasal selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan batasan pengertian atau definisi yang telah ditetapkan dalam Ketentuan Umum agar tidak menimbulkan kerancuan bagi pasal-pasal yang merujuk pada batasan pengertian tersebut, in casu pengertian Penuntut Umum.
Bahwa dalam kaitan dengan Permohonan Pemohon yang meminta untuk menambahkan frasa “Jaksa Agung” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021, menurut Mahkamah substansi yang diatur dalam Pasal a quo terkait dengan subjek serta batasan kewenangan dalam melakukan tindakan penuntutan secara umum yaitu ditujukan bagi Jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan. Sedangkan, tugas dan wewenang Jaksa Agung telah diatur secara tersendiri dalam Pasal 35 UU 11/2021. Oleh karena itu, menambahkan frasa Jaksa Agung dalam rumusan batasan pengertian “Penuntut Umum” dalam norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 justru akan menimbulkan kerancuan pengertian Penuntut Umum itu sendiri terutama jika diterapkan bagi pasal-pasal berikutnya yang pada akhirnya justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Sedangkan, kewenangan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi sebagaimana termuat dalam norma Pasal 18 ayat (1) UU 11/2021 merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung secara ex-officio berdasarkan jabatannya sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang akan menjadi pengendali pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan Kejaksaan dalam bidang penuntutan [vide Pasal 18 ayat (4) UU 11/2021]. Oleh karena kedudukan tersebut, jabatan Jaksa Agung ditetapkan statusnya sebagai Pejabat Negara, bukan pegawai negeri sipil [vide Pasal 19 ayat (1) UU 16/2004] sebagaimana Pemohon mengaitkan dalilnya dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 11/2021. Sekalipun, Jaksa Agung tersebut awalnya adalah jaksa karier yang berstatus pegawai negeri sipil (jabatan fungsional), namun apabila yang bersangkutan diangkat oleh Presiden sebagai Jaksa Agung maka statusnya sebagai pegawai negeri sipil justru harus diberhentikan sementara sepanjang yang bersangkutan belum memasuki batas usia pensiun [vide Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara]. Sementara itu, berkaitan dengan Jaksa Agung yang tidak berstatus sebagai PNS atau bukan dari internal Kejaksaan, kewenangan penuntutan tetap melekat kepada jabatan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Oleh karenanya, tidak terdapat persoalan ketidaksesuaian norma dalam Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 jika dikaitkan dengan norma Pasal 1 angka 2 dan Pasal 18 ayat (1) UU 11/2021. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 1 angka 3 UU 11/2021 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan Penuntut Umum adalah Jaksa Agung dan/atau Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan UndangUndang adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 yang menyatakan, “Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, menurut Pemohon hal tersebut dapat mengganggu independensi lembaga Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya karena tidak terdapatnya mekanisme checks and balances dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden. Oleh karenanya, Pemohon memohon agar Mahkamah memaknai norma yang dimohonkan a quo dengan “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa Mahkamah pernah memutus terkait jabatan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 22 September 2010 dengan Amar Putusan sebagai berikut:
5. AMAR PUTUSAN,
Mengadili,
Dalam Provisi:
• Menolak permohonan Provisi Pemohon;
Dalam Pokok Permohonan:
• Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
• Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
• Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;
• Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Berdasarkan Putusan a quo, Mahkamah pada bagian pertimbangan hukum Paragraf [3.24] menegaskan bahwa Kejaksaan adalah badan pemerintahan, dengan demikian pimpinannya juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan, dan ditafsirkan bahwa yang dimaksud badan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Pertimbangan hukum dalam Paragraf a quo memberikan konsekuensi bahwa sebagai bagian dari pemerintahan, Kejaksaan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Presiden memiliki hak konstitusional untuk pengangkatan dan pemberhentian pimpinan tertinggi institusi Kejaksaan yaitu Jaksa Agung. Putusan a quo selanjutnya ditindaklanjuti oleh pembentuk Undang-Undang dengan mengubah norma Pasal 22 ayat (1) UU 16/2004 yang memasukkan pengaturan Jaksa Agung diberhentikan dari jabatannya karena berakhirnya masa jabatan Presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan [vide Pasal 22 ayat (1) huruf d dan huruf e UU 11/2021]. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung adalah anggota kabinet yang pengangkatan dan pemberhentiannya tergantung pada Presiden sebagaimana halnya menterimenteri dalam kabinet.
[3.16.2] Bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung tersebut merupakan bagian dari hak konstitusional Presiden yang dikenal dengan hak prerogatif, di mana secara doktriner diterjemahkan sebagai hak yang istimewa yang bersifat mandiri dan diberikan oleh konstitusi dalam lingkup kekuasaan pemerintahan. Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam UUD 1945, namun hak prerogatif Presiden dalam pembahasan perubahan UUD 1945 disetujui oleh hampir semua fraksi dengan batasan yaitu tetap dibatasi oleh mekanisme checks and balances dalam rangka untuk membatasi besarnya dominasi dan peran seorang Presiden. Mekanisme checks (kontrol) dimaksud adalah adanya suatu pengawasan antara satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya, sedangkan mekanisme balances (penyeimbang) dimaksudkan agar masing-masing cabang kekuasaan memiliki proporsi kewenangan yang seimbang, dalam arti tidak ada yang memiliki kekuasaan yang mutlak (absolut) atau melampaui kekuasaan lembaga negara lainnya. Tujuan diterapkannya mekanisme dimaksud adalah untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang ataupun sebuah institusi ataupun untuk menghindari terpusatnya kekuasaan pada seseorang atau suatu institusi. Hal ini sejalan pula dengan salah satu tujuan perubahan UUD 1945 yang menghendaki dianutnya mekanisme checks and balances yang bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara yang berlangsung sebelum perubahan UUD 1945 sehingga dapat terwujud tata kelola bernegara yang demokratis dan modern, melalui pembagian kekuasaan, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi yang lebih transparan. Salah satu wujud mekanisme checks and balances adalah adanya fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah yang dilakukan dengan berbagai mekanisme yaitu dalam hal ini DPR dibekali dengan empat hak: (1) hak interpelasi; (2) hak angket; (3) hak menyatakan pendapat; (4) hak anggota DPR mengajukan pertanyaan. Hak ini dilakukan oleh DPR dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang antara lain melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah [vide Pasal 73 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 2/2018)]. Terlebih lagi, Pasal 74 UU 2/2018 juga telah memuat pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, sebagai berikut:
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada setiap orang melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.
(2) Setiap orang wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal yang mengabaikan atau melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat negara atau pejabat Pemerintah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan
(4) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara yang berada dalam lingkup kekuasaan Presiden atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR.
(5) Dalam hal yang mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan hukum, warga negara, atau penduduk, DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk memberikan sanksi.
Frasa “setiap orang” yang dimaksud dalam ketentuan tersebut juga telah dijelaskan dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 73 UU 2/2018 yang berkelindan dengan Pasal 74 UU a quo adalah orang perseorangan atau badan hukum atau pejabat negara atau pejabat pemerintah [vide Penjelasan Pasal 73 ayat (1) UU 2/2018]. Artinya, sekalipun yang bersangkutan adalah pejabat negara yang apabila tidak melaksanakan rekomendasi DPR maka DPR dapat mengenakan sanksi dan melakukan pemanggilan paksa bagi pihak-pihak yang tidak bersedia menghadiri panggilan DPR [vide Penjelasan Umum UU 2/2018]. Dalam kaitan ini, DPR in casu Komisi III DPR, memiliki kewenangan untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Kejaksaan Agung dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Oleh karenanya, Presiden dalam mengangkat Jaksa Agung pun tentu tidak akan secara asal menentukan orang, yang dikhawatirkan oleh Pemohon adalah orang yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang penegakan hukum. Bahkan, dalam konteks ini seharusnya sebelum mengangkat Jaksa Agung, Presiden telah mempertimbangkan tidak hanya dari aspek penegakan hukum melainkan juga menilai secara komprehensif dari segala aspek agar Jaksa Agung yang akan diangkat tersebut benar-benar dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan.
Bahwa dengan dilaksanakannya fungsi pengawasan DPR melalui hakhak yang dimilikinya, tentu akan berdampak bagi kinerja pemerintahan (Presiden) jika dalam rekomendasi DPR, Jaksa Agung yang merupakan bagian dari kabinet pemerintahan dinilai tidak dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara optimal sebagaimana yang ditentukan dalam UU Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena yang dikhawatirkan Pemohon atas pengangkatan, termasuk juga pemberhentian Jaksa Agung, sesungguhnya adalah karena tidak adanya mekanisme checks and balances, maka dalil Pemohon mengenai perlu adanya persetujuan DPR dalam proses pengangkatan, termasuk juga pemberhentian Jaksa Agung, menjadi tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan mengingat mekanisme checks and balances sesungguhnya telah berjalan secara terus menerus dalam hubungan kelembagaan antara Presiden dan DPR. Sehingga, dalam pengangkatan Jaksa Agung pun Presiden senantiasa mempertimbangkan kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas calon Jaksa Agung. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 19 ayat (2) UU 16/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas norma Pasal 20 UU 11/2021 yang menurut Pemohon norma tersebut harus juga mencakup syarat lulus Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ); berstatus sebagai Jaksa aktif atau Pensiunan Jaksa berpangkat jabatan terakhir paling rendah Jaksa Utama (IV/e); dan tidak pernah dan tidak sedang terdaftar sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa jabatan Jaksa Agung merupakan jabatan profesional yang mempunyai karakteristik khas serta memerlukan pengetahuan hukum yang baik dan keahlian khusus. Sebab, selain sebagai penuntut umum tertinggi, Jaksa Agung juga menjadi penasihat hukum negara ketika negara menghadapi permasalahan hukum yang berkaitan dengan kepentingan negara, kepentingan umum, maupun kepentingan hukum. Selain itu, seorang Jaksa Agung juga harus memiliki keahlian manajerial dalam memimpin dan mengkoordinir penegak hukum lainnya dalam upaya penegakan hukum karena hal ini terkait dengan fungsi Kejaksaan dalam segala lini pelaksanaan peradilan yaitu bidang pidana, perdata, tata usaha negara termasuk sebagai kuasa Presiden dalam beracara di Mahkamah. Oleh karena itu, Jaksa Agung haruslah orang yang berintegritas, memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi. Artinya, sekalipun Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden tetapi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya harus terbebas dari intervensi pihak manapun. Sebab, Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani [vide Konsiderans Menimbang huruf c dan Penjelasan Umum UU 16/2004].
Berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan diperlukannya syarat-syarat tambahan untuk menjadi Jaksa Agung, menurut Mahkamah akan menciptakan proses rekrutmen Jaksa Agung secara tertutup maksudnya adalah jabatan Jaksa Agung tidak dapat diisi oleh seseorang yang berasal dari luar institusi Kejaksaan yang memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas. Hal demikian selain justru tidak memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk mengabdikan diri pada institusi Kejaksaan, juga telah membatasi hak prerogatif Presiden dalam menentukan siapa yang akan membantunya dalam melaksanakan tugas negara khususnya di bidang penuntutan. Meskipun demikian, Mahkamah sependapat dengan keterangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai Pemberi Keterangan yang diminta oleh Mahkamah, yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang Jaksa Agung mempunyai peran sentral dan strategis dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan hukum yang memiliki kompleksitas tinggi sehingga seorang Jaksa Agung tidak cukup hanya mempunyai latar belakang pendidikan sebagai sarjana hukum, namun membutuhkan kemampuan teknis dan penguasaan manajerial, anatomi kelembagaan serta memahami atau mempunyai pengalaman dalam penanganan penyelesaian perkara [vide keterangan Pemberi Keterangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia bertanggal 19 Juni 2023 halaman 29]. Adapun dalam keterangan tambahannya, Kejaksaan Agung Republik Indonesia memberikan jawaban atas pertanyaan Hakim Konstitusi yang pada pokoknya menyatakan seorang Jaksa Agung yang memiliki latar belakang Jaksa karier akan memberikan nilai lebih karena telah memiliki pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pengetahuan teknis penyelesaian permasalahan hukum baik di bidang pidana, perdata, dan tata usaha negara, maupun intelijen serta dalam hal pengalaman manajerial dan anatomi kelembagaan, sehingga dapat segera beradaptasi dalam pelaksanaan tugas-tugas seorang Jaksa Agung. Sedangkan, terhadap Jaksa Agung yang bukan berasal dari Jaksa karier, dari sisi kelembagaan Jaksa Agung yang terpilih mempunyai supporting system dari unsur pembantu pimpinan yaitu Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda sesuai dengan pembidangannya, sehingga Jaksa Agung yang bersangkutan dapat segera beradaptasi dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
[3.17.2] Bahwa dalam konteks permohonan a quo perlu dibedakan persyaratan yang didalilkan Pemohon adalah dalam kaitan dengan syarat seseorang yang akan diangkat menjadi Jaksa sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional sehingga perlu menempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman agar dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang dapat terbentuk menjadi jaksa yang profesional. Termasuk salah satu pendidikan tersebut adalah calon Jaksa harus lulus PPPJ [vide Pasal 9 ayat (2) UU 11/2021]. Dengan demikian, bagi Jaksa karier yang kemudian diangkat oleh Presiden menjadi Jaksa Agung maka dengan sendirinya yang bersangkutan telah melaksanakan seluruh persyaratan jenjang pendidikan dimaksud. Namun, dalam hal Presiden mengangkat Jaksa Agung di luar karier atau non karier, bukan berarti orang tersebut tidak profesional karena jika hal tersebut terjadi justru akan merugikan kinerja Kejaksaan Agung, yang notabene juga kinerja Presiden. Sebab, Jaksa Agung yang diangkat tersebut merupakan pejabat negara yang memiliki tanggung jawab tertinggi atas Kejaksaan yang dipimpinnya, termasuk mengendalikan tugas, wewenang Kejaksaan dan tugas lain yang diberikan oleh negara sebagaimana ihwal demikian telah dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.16.2]. Artinya, syarat-syarat yang menurut Pemohon “dibebankan” hanya kepada Jaksa, sesungguhnya juga merupakan bagian dari tanggung jawab Jaksa Agung, apakah yang berasal dari internal atau di luar Kejaksaan, untuk membentuk Jaksa yang profesional dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Selain itu, berkaitan dengan syarat kepangkatan yang didalilkan Pemohon, telah menjadi bagian dari pertimbangan Mahkamah di atas bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara sehingga terhadap pengangkatannya tidak berlaku ketentuan golongan pangkat. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon mengenai penambahan syarat tidak pernah dan tidak sedang terdaftar sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik karena berkelindan dengan pasal lain yang didalilkan Pemohon maka sekaligus akan dipertimbangkan di bawah ini. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, kekhawatiran Pemohon atas tidak profesionalnya Jaksa Agung yang diangkat dengan tidak memenuhi syarat lulus PPPJ, bukan sebagai Jaksa aktif atau Pensiunan Jaksa berpangkat jabatan terakhir paling rendah Jaksa Utama (IV/e) adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas norma Pasal 21 UU 16/2004 yang perlu menambahkan syarat berupa larangan bagi Jaksa Agung untuk merangkap jabatan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa jabatan Jaksa Agung memiliki peran strategis dalam penegakan hukum karena bersinggungan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman sehingga menuntut hadirnya seorang Jaksa Agung yang dapat menjadi pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan. Oleh karena Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman maka terhadap fungsinya tersebut harus dilaksanakan secara merdeka. Merdeka atau mandiri berarti adanya kebebasan bagi Jaksa Agung dari intervensi dan pengaruh seseorang, suatu kekuasaan pemerintah, partai politik dan pihak manapun dalam pengambilan keputusan serta kebijakan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan ketentuan undang-undang. Dengan adanya kemandirian tersebut dapat dijamin terpenuhinya hak-hak warga negara atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam proses peradilan pidana [vide Penjelasan Umum UU 11/2021].
Bahwa untuk menjamin kemandirian Kejaksaan, ditinjau dari sisi rekrutmen, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung proses seleksi/pengangkatan. Salah satu sistem rekrutmen yang dapat ditempuh adalah dengan membatasi keterlibatan pimpinan Kejaksaan, in casu Jaksa Agung, dari berbagai kepentingan partai politik. Oleh karena itu, pembatasan Jaksa Agung dari menjadi anggota suatu partai politik merupakan hal yang penting yang harus dipertimbangkan oleh Presiden sehingga fungsi penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam kaitan ini, apabila Jaksa Agung merupakan bagian dari partai politik maka batas waktu yang dipandang layak atau patut bagi Jaksa Agung yang akan diangkat, untuk terputus hubungannya dengan partai politik yang diikutinya minimal 5 (lima) tahun sebelum Jaksa Agung tersebut diangkat oleh Presiden. Ihwal pertimbangan demikian tidaklah mengurangi hak prerogatif Presiden karena dimaksudkan untuk menjaga independensi kedudukan lembaga Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya dalam upaya memperkuat penegakan hukum, yang merupakan bagian penting dari program kerja Presiden. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menghendaki adanya persyaratan tidak pernah dan tidak sedang terdaftar sebagai anggota dan/atau pengurus partai politik dalam ketentuan Pasal 20 UU 11/2021 dan Pasal 21 UU 16/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 1 angka 3 dan Pasal 20 UU 11/2021 serta Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 UU 16/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta tidak melanggar kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-08-2023

Leon Maulana Mirza Pasha dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., untul selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 5 ayat (3) huruf b dan e, Pasal 7 ayat (2) huruf b dan e, Pasal 64 ayat (4) dan (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan (3), Pasal 71 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 75, Pasal 87 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Pasal 88, Pasal 280, dan Pasal 288 ayat (1) UU LLAJ

Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat (3) huruf b dan e, Pasal 7 ayat (2) huruf b dan e, Pasal 64 ayat (4) dan (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan (3), Pasal 71 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 75, Pasal 87 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Pasal 88, Pasal 280, dan Pasal 288 ayat (1) UU LLAJ dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.4.1] Bahwa setelah Mahkamah mempelajari secara saksama pokok Permohonan Pemohon telah ternyata terdapat beberapa hal yang tidak jelas karena Pemohon tidak menguraikan mengenai ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, terkait pasal-pasal yang pernah diuji dalam perkara yang telah diputus oleh Mahkamah, bahwa terhadap beberapa pasal yang diajukan pernah diputus oleh Mahkamah yaitu terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf e dan Pasal 71 ayat (1) UU 22/2009, dalam Perkara Nomor 43/PUU-VIII/2010 yang telah diputus dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 16 Juni 2011, walaupun telah diputus namun Mahkamah belum pernah menilai konstitusionalitas norma a quo karena permohonan a quo dinyatakan tidak dapat diterima. Sementara itu, terhadap Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 87 ayat (2), serta Pasal 88 UU 22/2009, Mahkamah telah menilai konstitusionalitas norma a quo, dalam Perkara Nomor 89/PUU-XIII/2015. Terhadap hal ini telah dikonfirmasi kepada Pemohon pada saat Sidang Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 8 Agustus 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 73/PUU-XXI/2023, Selasa, tanggal 8 Agustus 2023, hlm. 6-7] dan Pemohon tetap pada pendiriannya. Menurut Mahkamah, ketika Pemohon mengajukan pengujian pasal-pasal pada suatu undang-undang yang pernah diajukan sebelumnya, Pemohon seharusnya dapat menjelaskan bahwa pasal-pasal tersebut diajukan kembali dengan dasar pengujian atau alasan permohonan yang berbeda tanpa terhalang ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021.

[3.4.2] Bahwa pada bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) pada permohonan a quo, petitum Pemohon tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian materiil undang-undang. Ketidakjelasan petitum Pemohon terletak pada tidak dijelaskannya siapa atau lembaga mana yang memiliki kewenangan konstitusional dalam penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi. Oleh karena tidak disebutkan secara jelas kementerian mana yang menurut Pemohon paling tepat dalam menangani hal tersebut, maka apabila permohonan Pemohon dikabulkan, akan berakibat terjadinya ketidakpastian hukum ihwal lembaga mana yang akan menangani penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi.

[3.4.3] Bahwa terhadap rumusan petitum Angka 22 yang dimohonkan Pemohon agar Mahkamah ”Menyatakan keseluruhan petitum diatas berlaku secara mutatis mutandis kepada peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan”, adalah rumusan petitum tambahan yang baru dimasukkan pada saat perbaikan permohonan. Menurut Mahkamah rumusan petitum a quo adalah rumusan petitum yang juga tidak mengandung kepastian hukum, karena Mahkamah hanya berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada Pemohon pada saat Sidang Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 8 Agustus 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 73/PUU-XXI/2023, Selasa, tanggal 8 Agustus 2023, hlm. 5, 7-8] dan Pemohon tetap pada pendiriannya.

[3.5] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak menguraikan perihal ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dan konstruksi perumusan petitum-petitum sebagaimana dimaksud pada Sub-paragraf [3.4.2] dan Sub-paragraf [3.4.3], tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon, oleh karena Pemohon tidak dapat menjelaskan adanya hubungan kausalitas antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan Pemohon adalah kabur.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dan Arkaan Wahyu Re A. yang memberikan kuasa kepada Utomo Kurniawan, S.H., dkk, selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7.2] Bahwa terhadap sistematika Perbaikan Permohonan para Pemohon, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah memeriksa secara saksama bagian alasan-alasan permohonan (posita) permohonan a quo dan petitum para Pemohon, Mahkamah menemukan fakta bahwa undang-undang yang dimohonkan pengujiannya adalah UU 16/2004. Sedangkan, petitum yang dimohonkan oleh para Pemohon kepada Mahkamah adalah kata “korupsi” pada Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "korupsi termasuk kolusi dan nepotisme”. Padahal, kata “Korupsi” yang dimohonkan para Pemohon dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 adalah bagian dari judul atau nama Undang-Undang yang pada pokoknya menyatakan “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU 20/2001) jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002)”. Artinya, undang-undang yang disebut dalam penjelasan tersebut hanya merupakan contoh kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, kolusi dan nepotisme yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya adalah substansi yang tidak bersesuaian dengan judul dan batasan cakupan materi tindak pidana yang diatur dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 dan UU 30/2002. Terlebih, dalam positanya para Pemohon tidak menerangkan bahwa terdapat ketentuan yang mengatur tentang unsur-unsur pidana dari kata kolusi dan nepotisme.
[3.7.3] Bahwa lebih lanjut, petitum yang dimohonkan para Pemohon merupakan rumusan petitum yang tidak lazim karena nomenklatur dalam nama atau judul undang-undang pada prinsipnya haruslah menggambarkan isi dari undang-undangnya, sebagaimana hal ini diatur dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), Bagian Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, di mana pada angka 3 menyatakan, “Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan”. Oleh karenanya, jika permohonan dikabulkan, maka nama UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam batas penalaran yang wajar menjadi UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Demikian juga dengan UU 30/2002 menjadi tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Padahal, isi dari kedua undang-undang a quo sama sekali tidak membahas mengenai substansi tindak pidana kolusi dan nepotisme. Dengan menambahkan frasa “kolusi dan nepotisme” dalam nama atau judul UU 31/1999 dan UU 30/2002 menyebabkan ketidakjelasan undang-undang a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permintaan para Pemohon dalam petitumnya tidak bersesuaian dengan posita yang didalilkan. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak jelas atau kabur.
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena adanya ketidaksesuaian antara posita yang didalilkan dengan petitum yang dimohonkan dalam permohonan, serta petitum para Pemohon yang tidak jelas maka menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur). Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para Pemohon lebih lanjut. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Eliadi Hulu, S.H., Saiful Halim, S.H., dr. Andreas Laurencius, Daniel Heri Pasaribu, S.H., dalam hal ini memberikan kuasa kepada Leonardo Siahaan, S.H., dan Nikita Johanie, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian 23 ayat (1) UU Partai Politik dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian penjelasan para Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, Pemohon I dan Pemohon II adalah perorangan warga Negara Indonesia. Pemohon II juga tergabung dalam organisasi dan menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) periode 2021-2023 namun bukan organisasi partai politik. Selain itu, kedua Pemohon memiliki keinginan untuk bergabung dalam organisasi partai politik, namun belum ada langkah-langkah yang konkret terkait dengan keinginan dimaksud. Dalam kaitannya dengan pengujian undang-undang a quo, norma undang-undang yang menjadi objek permohonan a quo adalah Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011 yang merupakan ketentuan berkenaan dengan pergantian struktur kepengurusan partai politik yang didasarkan pada AD dan ART partai politik. Dengan kata lain, pemilihan pengurus partai politik di setiap tingkatan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan di dalam AD dan ART partai politik. Dalam konteks ini, menurut Mahkamah, terhadap kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II tidak secara jelas dan rinci menguraikan kualifikasinya dalam kaitannya ihwal anggapan potensi kerugian hak konstitusional yang timbul karena berlakunya norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011. Di samping itu, Pemohon I dan Pemohon II juga tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak diketemukan adanya keterkaitan atau hubungan secara langsung kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II sebagai perorangan warga Negara Indonesia yang ingin bergabung menjadi anggota salah satu partai politik dengan keberlakuan norma Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011. Bahkan, sekiranya kualifikasi Pemohon I dan Pemohon II ditemukan langkah-langkah konkret untuk menjadi anggota partai politik-quod non-, hal ini belum cukup juga menggambarkan adanya keterpenuhan syarat kualifikasi tersebut. Terlebih, jika dikaitkan dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional sebagai refleksi hubungan sebab akibat yang harus tampak dalam kualifikasi para pemohon sebagaimana dimaksudkan dalam 5 (lima) syarat kerugian konstitusional dalam Paragraf [3.4] di atas. Dengan demikian, baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo;

[3.7] Menimbang bahwa terhadap Pemohon III, setelah Mahkamah mencermati permohonan dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon III dalam menerangkan kualifikasinya, telah ternyata Mahkamah hanya menemukan bukti berupa fotokopi Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Nomor: SKEP45/DPP/GOLKAR/VIII/2021 tentang Pengesahan Komposisi dan Personalia Badan Penanggulangan Bencana DPP Partai Golkar Masa Bakti 2019-2024 (Hasil Perubahan) [vide bukti P-4]. Selain itu, fakta hukum yang terungkap di persidangan, Pemohon III tidak dapat menunjukkan kartu anggota sebagai bukti keanggotaan dari partai Golkar [vide risalah persidangan Perkara Nomor 69/PUU-XXI/2023, tanggal 25 Juli 2023, hlm. 13]. Artinya, Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Nomor: SKEP-45/DPP/GOLKAR/VIII/2021 tidak cukup untuk membuktikan bahwa Pemohon III adalah anggota apalagi pengurus partai Golkar. Terlebih lagi, nama yang tercantum dalam SK dimaksud berbeda dengan nama yang dicantumkan Pemohon dalam permohonan a quo dan KTP Pemohon III. Dengan demikian, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan bahwa Pemohon III adalah anggota partai politik apalagi pengurus partai politik. Sehingga, Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pemohon IV, walaupun Pemohon IV menyatakan diri sebagai anggota partai politik yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) [vide bukti P-5], yang membuat Pemohon IV memiliki kualifikasi sebagai anggota partai politik. Namun, Pemohon IV tidak dapat menyertakan bukti sebagai pengurus dari Partai Nasdem. Terlebih lagi, fakta hukum yang terungkap di persidangan, Pemohon IV tidak pernah menggunakan haknya untuk menyalurkan aspirasi kepada partai politiknya berkenaan dengan keinginan Pemohon IV untuk melakukan pembatasan periodisasi dan masa jabatan ketua umum atau sebutan lainnya pada saat musyawarah nasional atau sebutan lainnya dalam perubahan AD dan ART partai Nasdem [vide risalah persidangan Perkara Nomor 69/PUU-XXI/2023, tanggal 25 Juli 2023, hlm. 15]. Di samping itu, sekalipun Pemohon IV adalah anggota partai politik namun Pemohon IV tidak dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa yang bersangkutan adalah pengurus partai politik dan/atau anggota yang mempunyai hak memilih dan/atau dipilih sebagai ketua umum sebagaimana diatur dalam AD/ART atau peraturan lain dari partai politik yang bersangkutan. Jikapun dalam ketentuan Pasal 3 huruf a ART Partai Nasdem [vide bukti P-8] mengatur hak anggota yang salah satunya memilih dan dipilih, namun hal tersebut tidak secara eksplisit dalam konteks pemilihan ketua umum partai politik. Oleh karena itu, Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV (selanjutnya disebut para Pemohon) tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.10] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

[3.11] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Dr. H. Marion, S.H., M.H. (advokat), untuk sselanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 UU 31/1999

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU LLAJ dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada tanggal 5 Juli 2023, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021;
[3.3.2] Bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana diterima Mahkamah pada tanggal 12 Juli 2023 dan tanggal 17 Juli 2023, yang pada pokoknya substansi kedua permohonan a quo adalah sama, serta telah diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 24 Juli 2023. Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Alasan-Alasan Permohonan, dan Petitum;
[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Sub-paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, namun pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 21 UU 31/1999. Uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tugas dan fungsinya antara lain sebagai pembentuk dan pembuat undang-undang. Adapun DPR dalam menjalankan tugas, fungsi, dan perannya yang diisi oleh sumber daya manusia dianggap terdapat kecenderungan untuk melakukan penyimpangan terhadap produknya. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai institusi/lembaga hukum yang mampu melakukan penilaian terhadap hasil produk legislasi DPR. Selain itu, Pemohon belum menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas berlakunya UU 31/1999 yang dimohonkan pengujian dan yang dianggap merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku Advokat yang berkaitan dengan pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon;
Selain itu, pada bagian alasan-alasan permohonan (posita), Pemohon sama sekali tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon lebih fokus menguraikan masalah konkret yang dialami oleh saudara Dr. Stefanus Roy Rening, S.H., M.H. selaku Advokat yang ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan dalam perkara korupsi dengan tersangka atau terdakwa saudara Lukas Enembe (Gubernur Provinsi Papua Non Aktif), sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian tidak ada relevansinya bagi Mahkamah untuk menilainya.
Selanjutnya permintaan Pemohon sebagaimana termaktub dalam petitum, sekalipun telah diberi nasihat oleh Majelis Panel, dapat ditemukan Petitum angka 2, “Menyatakan Pasal 21 UU.RI.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut Menabrak Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 31 Jo Pasal 16 UU.RI.No.18 Tahun 2003 tentang Advokat Indonesia Negara Hukum, Bertentangan bukan hanya dengan pasal 28D ayat (1) melainkan juga Bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) dan ayat (4) dan ayat (5) Jo Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan Petitum angka 3, “Menyatakan Pasal 21 UU.RI.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Yang Mengikat Khusus Terhadap Advokat sebagai Status Penegak Hukum Yang Setara atau Sejajar Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya di Indonesia Negara Hukum”. Menurut Mahkamah, rumusan kedua petitum a quo adalah rumusan petitum yang tidak lazim. Karena, di satu sisi Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 21 UU 31/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sementara di sisi lain, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 21 UU 31/1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Dalam batas penalaran yang wajar, rumusan kedua petitum tersebut saling bertentangan satu sama lainnya dan Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya secara bersamaan. Petitum yang demikian hanya dapat dibenarkan sepanjang satu sama lainnya dirumuskan secara alternatif.
Terlebih lagi, ditemukan Petitum angka 4, “Menyatakan Advokat Sebagai Profesi Terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan Profesinya Berada dibawah Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang dan Kode Etik, memiliki Kebebasan yang didasarkan kepada Kehormatan dan Kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan”, Petitum angka 5, “Menyatakan Profesi Advokat adalah Selaku Penegak Hukum Yang Sejajar Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya harus Saling Menghargai antara Sesama Penegak Hukum lainnya”, Petitum angka 6, “Menyatakan Advokat Tidak Boleh Ditetapkan Secara Langsung oleh APH KPK atau Penegak Hukum Lainnya yang Sejajar atau Setara Sebagai Tersangka Subyek Pidana Sebelum Terlebih Dahulu (Lex Pra evia) Dikenakan Tindakan oleh Keputusan Dewan Kehormatan Profesi Advokat sebagaimamestinya Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Indonesia Negara Hukum”, dan Petitum angka 7, “Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya Tiga Puluh hari Kerja Sejak Putusan Diucapkan”. Seluruh rumusan petitum tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian undang-undang. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada Pemohon pada saat sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 24 Juli 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 64/PUU-XXI/2023, Senin, tanggal 24 Juli 2023, hlm. 11-12] dan Pemohon tetap pada pendiriannya. Secara formal, petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021;

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena adanya ketidakjelasan kedudukan hukum, posita yang tidak relevan, serta petitum tidak lazim sehingga menyebabkan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Dengan demikian, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.5] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil, hal-hal lain, dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Utari Sulistiowati dan Edwin Dwiyana yang memberikan kuasa kepada Dr. Ahmad Yani, S.H., M.H. dkk, Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Masyumi, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon

Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUH Perdata

Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUH Perdata dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6.3] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon yang beragama Islam, menurut para Pemohon, objek permohonan a quo adalah jelas merugikan hak-hak konstitusional dalam menjalankan agama sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh para Pemohon. Berkenaan dengan hal dimaksud, Mahkamah dalam persidangan pendahuluan yang telah dilaksanakan pada hari Selasa, 4 Juli 2023 dengan agenda memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang dihadiri oleh kuasa hukum para Pemohon; Majelis Hakim telah memberikan nasihat untuk perbaikan permohonan yang salah satunya agar dalam bagian kedudukan hukum para Pemohon, dapat dijelaskan lebih cermat apakah para Pemohon mengalami kerugian hak konstitusional secara potensial atau aktual dengan berlakunya pasal-pasal a quo. Lebih lanjut, nasihat Majelis Hakim menegaskan, bahwa para Pemohon yang beragama Islam, pengaturan di bidang ekonomi, perbankan, dan lain-lain sudah diakomodasi oleh negara, yakni dengan dibangunnya perekonomian syariah dan bank syariah yang bersifat lex specialis. Artinya jika Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya degan berlakunya praktik perbankan konvensional yang sifatnya umum, dengan menerapkan prinsip-prnsip hubungan hukum keperdataan secara murni, maka dengan telah tersedianya praktik perbankan non konvensional, salah satunya perbankan syariah, para Pemohon yang notabene beragama Islam dapat memilih model pinjam-meminjam yang tidak didasarkan pada pengenaan bunga/interst. Terlebih, pada hakikatnya hubungan pinjam-meminjam didasarkan pada prinsip atau asas kebebasan berkontrak. Sehingga, jika ada pihak yang berkeberatan dengan klausula perjanjian yang mengenakan bunga/interst, pihak dimaksud dapat menghindarinya. Dalam praktik, sistem perbankan Indonesia telah menyediakan dua jalur atau alternatif, yaitu melalui model perbankan konvensional dan melalui model perbankan syariah. Jika keberatan dengan sistem perbankan konvensional, termasuk in casu, para Pemohon dapat menggunakan sistem perbankan syariah.
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, adalah menjadi tidak tepat jika para Pemohon mengatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan menggunakan model perbankan konvensional, karena para Pemohon dapat menggunakan pilihan hukum yang lain, yaitu perbankan syariah. Penjelasan perihal kerugian hak konstitusional tersebut, baru dapat terjadi jika para Pemohon tidak disediakan pilihan hukum lain untuk menampung kepentingan transaksi perbankan lainnya. Dengan adanya pilihan hukum lain, anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUH Perdata adalah tidak beralasan menurut hukum. Sehingga, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.
[3.9] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 62/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Elly Engelbert Lasut (Bupati Kapubaten Kepulauan Talaud) dan Moktar Arunde Parapaga (Wakil Bupati Kapubaten Kepulauan Talaud) dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk., kesemuanya para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Kantor IHZA & IHZA Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016

Pasal 18 ayat (4), ayat (5), dan ayat (7) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, masalah pokok yang harus dipertimbangkan dan dinilai konstitusionalitasnya adalah norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), ayat (5), dan ayat (7) UUD 1945, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo menggunakan parameter “tahun pemilihan”, in casu tahun 2018, sebagai basis penghitungan masa jabatan kepala daerah. Padahal, menurut Pemohon, perhitungan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara efektif dimulai sejak pelantikan, bukan merujuk pada tahun dilaksanakannya pemilihan, karena secara faktual waktu pelantikan dapat berbeda dengan “tahun pemilihan”;
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan masalah pokok dalam Paragraf [3.11] di atas, penting bagi Mahkamah untuk mengemukakan beberapa hal berikut:
[3.12.1] Bahwa berkaitan dengan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, sebagai bagian dari norma Pasal 201 UU Pilkada, yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon, terutama perihal penghitungan dan/atau penentuan masa jabatan kepala daerah, secara sistematis norma a quo berada dalam Bab XXVI Ketentuan Peralihan. Sebagai Ketentuan Peralihan, norma transisi tersebut pertama kalinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang kemudian menjadi Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Setelah itu, UU 1/2015 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU 1/2015 (UU 8/2015), termasuk mengubah Pasal 201. Terakhir, UU 8/2015 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 (UU Pilkada), di mana salah satu substansi yang diubah adalah norma Pasal 201.
[3.12.2] Bahwa sebagai norma transisi, substansi Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” memiliki keterkaitan dengan norma dalam Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada terutama berkenaan dengan frasa “tahun pemilihan 2018” dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dan frasa “memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan” dalam Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada. Dalam hal ini, norma Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.” Dalam hal ini, norma Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada merupakan norma umum dalam menentukan dan menghitung masa jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
[3.12.3] Bahwa perumusan norma dalam Bab XXVI perihal Ketentuan Peralihan UU Pilkada tidak dapat dilepaskan dari penataan ulang jadwal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi penyelenggaraan pemilihan secara serentak yang untuk pertama kali akan dilaksanakan pada tahun 2024. Sebagai bagian skenario dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (8) UU Pilkada mengatur sebagai berikut:
(1) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.
(2) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017.
(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.
(4) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018.
(5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
(6) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.
(7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
(8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
[3.12.4] Bahwa berkenaan dengan perumusan norma yang termaktub dalam Bab XXVI perihal Ketentuan Peralihan dimaksud, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2022, in casu sub-Paragraf [3.13.3] antara lain mempertimbangkan desain pemilihan kepala daerah serentak telah disusun berupa penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, dan tahun 2020. Desain 4 (empat) gelombang tersebut merupakan transisi menuju penyelenggaraan pemilihan serentak secara nasional pada bulan November 2024. Ihwal norma transisi ini, Angka 127 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara”. Bahkan, berkenaan dengan norma transisi menuju penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024, dalam Sub-Paragraf [3.12.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dipertimbangkan antara lain sebagai berikut:
… penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[3.12.5] Bahwa berkenaan dengan salah satu tujuan aturan peralihan sebagaimana termaktub dalam Angka 127 Lampiran II UU 12/2011, yaitu tujuan “memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan”, bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terdampak pengurangan masa jabatan telah diatur kompensasi yang akan diterima. Ihwal ini, norma Pasal 202 UU 8/2015 tentang Perubahan Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang pada pokoknya menyatakan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak sampai menjabat 1 (satu) periode akibat norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”;
[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan keberadaan norma Pasal 201, termasuk Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon yang pada intinya menghendaki norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan” sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa secara normatif, norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada merupakan bagian dari 4 (empat) gelombang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam masa transisi menuju penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024. Sebagaimana diketahui, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah masa transisi tahun 2018, pemilihan serentak diselenggarakan di 171 (seratus tujuh puluh satu) daerah, yaitu untuk memilih 17 (tujuh belas) gubernur/wakil gubernur, 115 (seratus lima belas) bupati/wakil bupati, serta 39 (tiga puluh sembilan) walikota/wakil walikota. Artinya, proses pemilihan Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati, merupakan salah satu dari 171 (seratus tujuh puluh satu) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018;
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan kasus konkret yang dialami Pemohon, yaitu sekalipun dipilih dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018, sebagaimana dikemukakan di awal permohonan, Pemohon baru dilantik atau diambil sumpahnya sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 26 Februari 2020. Karena bentangan fakta tersebut, Pemohon menghendaki agar frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dalam norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dimaknai menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”. Sebagaimana dijelaskan dalam permohonan Pemohon, “hasil pemilihan tahun” tidak dapat dijadikan pegangan yang sah karena hanya menyangkut 2 (dua) hal, yakni pengumuman hasil perolehan suara pasangan calon peserta pemilihan; dan pengumuman hasil pasangan calon peserta pemilihan yang terpilih. Ditambahkan Pemohon, hasil pemilihan tidak terkait dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal ini, masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah berkaitan dengan peristiwa pelantikan [vide Perbaikan Permohonan, hlm. 14-15];
[3.13.3] Bahwa apabila dibaca dan dimaknai secara utuh norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dikaitkan dengan keberadaannya sebagai norma peralihan atau norma transisi (transitional provision), menurut Mahkamah, frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” merupakan bagian yang paling esensial dari keseluruhan norma dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo. Sebagai norma transisi, memberikan pemaknaan baru terhadap frasa tersebut menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan” potensial menimbulkan implikasi yang tidak sederhana terhadap pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah lain yang diselenggarakan pada tahun 2018. Sebagaimana telah dipertimbangkan pada sub-Paragraf [3.13.1] di atas, pada tahun 2018 terdapat 171 (seratus tujuh puluh satu) daerah yang telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara serentak. Dalam batas penalaran yang wajar, selain hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud, terdapat 170 (seratus tujuh puluh) kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mendasarkan pada pengaturan masa transisinya kepada norma yang diatur dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada. Artinya, sebagai ketentuan peralihan, bilamana frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dimaknai menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”, selain menghilangkan arti atau makna Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo sebagai norma transisi, makna baru yang dimohonkan Pemohon sekaligus akan menghilangkan keberadaannya sebagai norma penghubung dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024. Berangkat dari semangat politik hukum penyerentakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, menurut Mahkamah, periodisasi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harus dimaknai penuh selama 5 (lima) tahun. Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pilkada yang mengatur masa jabatan pasangan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun seperti, antara lain diatur dalam Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada, dapat dikesampingkan oleh ketentuan transisi dalam norma Pasal 201 UU Pilkada;
[3.13.4] Bahwa sebagai norma transisi yang disusun secara spesifik guna mewadahi hasil pemilihan kepala daerah tahun 2018 dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024, memaknai frasa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” menjadi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan” dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap 170 (seratus tujuh puluh) kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih pada tahun 2018. Dalam hal ini, sebagai sebuah norma undang-undang, Pasal 201 UU Pilkada, khususnya Pasal 201 ayat (5), merupakan norma yang berlaku dan mengikat semua kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya pasangan kepala daerah lain selain Pemohon dalam perkara ini juga diatur dan tunduk pada ketentuan a quo. Dengan demikian, perubahan atas ketentuan tersebut juga akan berdampak pada pasangan kepala daerah lain selain Pemohon;
[3.13.5] Bahwa selain menimbulkan persoalan sebagaimana dipertimbangkan dalam sub-Paragraf [3.13.3] dan sub-Paragraf [3.13.4] di atas, memaknai frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”, akan mengubah norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menjadi norma umum. Selain tidak lagi secara spesifik mengantisipasi transisi hasil pemilihan tahun 2018, pemaknaan demikian juga berpotensi menimbulkan implikasi yang tidak sederhana atas norma-norma lain dalam Pasal 201 UU Pilkada, termasuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilaksanakan pada masa transisi tahun 2020. Terlebih lagi, peristiwa konkret yang dialami oleh Pemohon berkenaan dengan tertundanya jadwal pelantikan adalah merupakan persoalan implementasi norma;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian dalam Paragraf [3.12] dan Paragraf [3.13] di atas, pilihan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak tentunya akan berpengaruh pada masa jabatan. Pengaruh demikian antara lain terdapat masa jabatan kepala daerah yang dikurangi. Bahkan sebagai bagian dari skenario untuk menuju titik awal dilakukan pemilihan serentak secara nasional pada tahun 2024, dapat saja memunculkan kekosongan jabatan kepala daerah karena jarak antara selesainya jabatan kepala daerah dengan pelaksanaan pemilihan serentak terlalu singkat, sehingga jabatan kepala daerah diisi oleh penjabat, yaitu seseorang yang ditunjuk menjadi kepala daerah tanpa melalui pemilihan. Artinya, pengurangan masa jabatan dan penunjukan penjabat kepala daerah, merupakan upaya sekaligus akibat hukum yang tidak dapat dihindarkan manakala dikehendaki penyerentakan pemilihan (dan sekaligus penyerentakan periodisasi masa jabatan) dari kondisi yang sebelumnya tidak serentak;
[3.15] Menimbang bahwa sekalipun Mahkamah menyadari peristiwa pelantikan merupakan titik permulaan untuk menghitung masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun ketika Pemohon memohon kepada Mahkamah agar memaknai frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dalam norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”, pemaknaan demikian tidak hanya dapat merusak konstruksi norma transisi dalam Pasal 201 ayat (5), tetapi juga dapat merusak konstruksi norma transisi dalam Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya;
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-07-2023

dr. Gede Eka Rusdi Antara, dr. Made Adhi Keswara, dr. I Gede Sutawan yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Advokat/Konsultan hukum kesehatan pada Firma Hukum VST and Partners, Advocates & Legal Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Praktik Kedokteran dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti surat/tulisan, ahli dan saksi, serta kesimpulan yang diajukan, keterangan DPR, keterangan Presiden beserta alat-alat bukti surat/tulisan, ahli dan saksi serta kesimpulan yang diajukan, keterangan IDI, keterangan MKDKI, dan keterangan KKI, sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

[3.15] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu berkenaan dengan pengujian norma frasa “mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan frasa “mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon.
Selanjutnya, setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, dalam Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun dalam perkara a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Kemudian berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, dalam Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 beralasan Keputusan MKDKI bersifat rekomendasi dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana. Sedangkan, alasan konstitusional dalam Perkara a quo adalah Keputusan MKDKI bersifat rekomendasi dan dapat diajukan keberatan kepada KKI.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 dengan dasar pengujian Perkara a quo, yaitu dalam Perkara a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 dengan Perkara a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, secara formal permohonan a quo dapat diajukan kembali.

[3.16] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan frasa “mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 dapat diajukan kembali berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, 205 Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma pasal tersebut.

[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan terhadap Keputusan MKDKI yang bersifat rekomendasi seharusnya dapat dilakukan keberatan oleh teradu dan/atau dapat dikoreksi oleh KKI, in casu membuka peluang bagi teradu untuk melakukan keberatan atas Keputusan MKDKI tersebut kepada KKI. Terlebih lagi, terdapat proses pemeriksaan yang tidak transparan bagi para pihak, tidak berkeadilan, tidak memenuhi due process of law, serta tidak mengedepankan asas presumption of innocence. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa sebelum menjawab dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu ihwal penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar dalam penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi [vide Konsideran menimbang huruf c UU 29/2004]. Penyelenggaraan praktik kedokteran yang demikian ini menjadi penting karena terkait langsung dengan pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat dan mutu layanan sehingga kepada dokter atau dokter gigi diwajibkan untuk mengikuti standar pelayanan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. Oleh karena salah satu pelayanan kesehatan berkaitan dengan melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia maka landasan utama yang diperlukan bagi seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan profesinya adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimilikinya. Dalam konteks ini, UU 29/2004 mewajibkan di antaranya setiap dokter atau dokter gigi untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran dan kedokteran gigi secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh organisasi profesi [vide Pasal 28 UU 29/2004]. Selain kewajiban tersebut, diwajibkan pula bagi setiap dokter atau dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran untuk memiliki surat tanda registrasi dokter atau dokter gigi yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang berlaku selama 5 (lima) tahun yang diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun dengan tetap memenuhi persyaratan [vide Pasal 29 UU 29/2004]. Di samping surat tanda registrasi, diwajibkan pula bagi setiap dokter atau dokter gigi untuk memiliki surat izin praktik serta kewajiban lainnya yang berkaitan dengan pemberian pelayanan [vide Pasal 36, Pasal 37, dan Bagian Ketiga UU 29/2004].

[3.17.2] Bahwa berkaitan dengan berbagai kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap dokter atau dokter gigi maka dibentuk kelembagaan yang bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). MKDKI memiliki kewenangan menegakkan disiplin dokter atau dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran yang telah ditentukan dalam berbagai aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Pentingnya penegakan disiplin ini adalah untuk melindungi masyarakat dari tindakan dokter atau dokter gigi yang tidak kompeten; meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan sekaligus juga untuk menjaga kehormatan profesi dokter atau dokter gigi. Oleh karena itu, secara kelembagaan, MKDKI diberi kewenangan untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksinya [vide Pasal 1 angka 14 UU 29/2004]. Ihwal demikian juga telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023 yang menyatakan:
[3.11.1] “Bahwa MKDKI merupakan sebuah lembaga otonom yang independen dari KKI dan bertanggung jawab kepada KKI yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan disiplin profesi dokter dan dokter gigi di Indonesia [vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU 29/2004]. MKDKI dibentuk untuk melaksanakan salah satu tugas dari KKI yaitu melakukan proses pembinaan dan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi, memastikan apakah standar profesi yang telah dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar, termasuk mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi hingga menentukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut [vide Pasal 1 angka 14 UU 29/2004]. Dengan demikian, domain atau yurisdiksi MKDKI adalah penegakan disiplin profesi yakni penegakan atas aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI diawali dengan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter gigi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi dokter atau dokter gigi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengadu [vide Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014]. 207 Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat (pasien), menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta menjaga kehormatan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Walaupun MKDKI bertanggung jawab kepada KKI, namun agar dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai penerima layanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan, MKDKI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (3) UU 29/2004]. Pengaturan demikian dimaksudkan untuk menjaga indepedensi MKDKI.”

Berdasarkan kutipan putusan di atas, Mahkamah menegaskan bahwa MKDKI merupakan lembaga yang otonom dari KKI yang berkarakter independen sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Keputusan MKDKI yang berisikan penjatuhan sanksi disiplin terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan pelanggaran disiplin profesi disampaikan kepada KKI untuk mendapatkan penetapan pelaksanaan atas sanksi disiplin tersebut. Pentingnya penegakan atas pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi dilakukan karena profesi tersebut merupakan profesi yang memiliki keluhuran dengan tugas utama memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan yang dijamin pula dalam UUD 1945 [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Oleh karena itu, disiplin dokter atau dokter gigi yang telah ditentukan oleh organisasi profesi dilarang untuk dilanggar.

[3.17.3] Bahwa dalam kaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, UU 29/2004 telah mengklasifikasi dan mengatur alur pengaduannya sebagai berikut:
1. Pelanggaran oleh dokter atau dokter gigi dapat berupa i) pelanggaran etika, ii) pelanggaran disiplin profesi, dan/atau iii) pelanggaran hukum;
2. Pengaduan terhadap pelanggaran disiplin profesi diperiksa dan diputus oleh MKDKI [vide Pasal 64 dan Pasal 67];
3. Pengaduan terhadap pelanggaran kode etik profesi diteruskan oleh MKDKI kepada organisasi profesi [vide Pasal 68];
4. Pelanggaran terhadap norma hukum pidana dapat dilaporkan kepada kepolisian atau kejaksaan [vide Pasal 66 ayat (3)];
5. Pelanggaran terhadap norma hukum perdata dapat digugat ke pengadilan [vide Pasal 66 ayat (3)];
Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan KKI, sesuai dengan amanat UU 29/2004, Peraturan KKI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi [Perkonsil 4/2011] telah menentukan secara garis besar 3 (tiga) kelompok pelanggaran disiplin profesi, yaitu pelanggaran karena melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten, tidak dilaksanakan dengan baik tugas dan tanggung jawab profesi sebagai dokter atau dokter gigi pada pasien; dokter atau dokter gigi berperilaku tercela sehingga merusak martabat dan kehormatan profesinya. Lebih lanjut, telah ditentukan pula 28 bentuk pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi [vide Pasal 3 Perkonsil 4/2011]. Dalam kaitan inilah MKDKI bertugas menerima pengaduan, memeriksa, dan memutus kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi yang telah ditentukan di atas yang diajukan oleh pengadu [vide Pasal 64 huruf a UU 29/ 2004].

[3.17.4] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Keputusan MKDKI dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 bersifat rekomendasi yang dapat dilakukan upaya keberatan ke KKI. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah perlu mengutip kembali secara utuh Pasal 69 UU 29/2004 yang merupakan bagian dari ketentuan yang mengatur ihwal “Keputusan”, menyatakan:

Pasal 69 UU 29/2004:
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Bahwa Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 pada dasarnya mengatur sifat Keputusan MKDKI yang langsung mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI. Walaupun dalam norma Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 tidak disebutkan bahwa Keputusan MKDKI mengikat pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota yang menerbitkan surat izin praktik namun dikarenakan surat izin praktik baru dapat diterbitkan apabila dokter atau dokter gigi telah memperoleh surat tanda registrasi, di mana jika surat tanda registrasi tersebut dicabut maka surat izin praktik pun menjadi tidak berlaku [vide Pasal 38 UU 29/2004]. Oleh karenanya keberadaan surat izin praktik tersebut pada prinsipnya terikat dengan keberlakuan surat tanda registrasi. Jika dikaitkan dengan Pasal 69 ayat (2) UU 29/2004, Keputusan MKDKI dapat berupa pernyataan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Dalam kaitan ini MKDKI merupakan “organ” KKI yang ditetapkan oleh UU 29/2004 sebagai lembaga yang otonom dan independen yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi [vide Pasal 1 angka 14 dan Pasal 55 UU 29/2004]. Berdasarkan pertimbangan di atas, apabila Keputusan MKDKI ditafsirkan hanya bersifat “rekomendasi” sebagaimana petitum para Pemohon, hal tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para pihak, in casu pengadu karena tidak terdapat sanksi disiplin yang jelas yang diberikan terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi dalam melakukan praktik kedokteran, misalnya telah menyebabkan hilangnya nyawa pasien. Lebih dari itu, Keputusan MKDKI akan bertentangan dengan tujuan pengaturan praktik kedokteran yang telah menentukan larangan bagi dokter atau dokter gigi melanggar disiplin profesi. Dalam hal diduga ada pelanggaran dan diadukan kepada MKDKI maka MKDKI lah sebagai organ/lembaga dari KKI yang berwenang memeriksa dan memutus ada tidaknya pelanggaran disiplin dimaksud agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien; mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi [vide Pasal 3 UU 29/2004]. Oleh karena itu, Keputusan MKDKI dirumuskan sebagai keputusan yang mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI.

[3.17.5] Bahwa mengenai dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 menyebabkan para Pemohon sebagai pihak teradu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat melakukan keberatan terhadap Keputusan MKDKI karena keputusannya langsung mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI. Untuk menjawab dalil para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mengaitkannya dengan keberlakuan Pasal 70 UU 29/2004 yang pada pokoknya menyatakan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan kasus, pengaduan, pemeriksaan dan pemberian Keputusan MKDKI diatur dengan Peraturan KKI. Sebagai pelaksanaan Pasal 70 UU 29/2004 dan tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas peraturan KKI, berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 50 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan Dokter Gigi (Perkonsil 50/2017) telah ditentukan penanganan pengaduan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi, mulai dari menerima pengaduan, memeriksa, mendengar keterangan pihak pengadu, pihak teradu, saksi dan ahli, sampai dengan menetapkan sanksi dalam Keputusan MKDKI yang harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Oleh karena itu, terhadap penanganan aduan, MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) yang anggotanya berasal dari MKDKI yang khusus untuk memeriksa dan memutus satu kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi dengan tidak menghilangkan kesempatan teradu untuk didengar dan dipertimbangkan dalam proses pemeriksaan pengaduan oleh MKDKI. Seluruh tahapan-tahapan pemeriksaan disiplin bagi dokter atau dokter gigi yang diatur dalam Perkonsil 50/2017 memberikan ruang bagi seluruh pihak yang terkait untuk didengar dan diperiksa keterangannya tanpa ada keberpihakan maupun intervensi dari pihak manapun, sesuai dengan sifat independensi dari MKDKI [vide Pasal 55 ayat (3) UU 29/2004 jo. Pasal 3 ayat (3) Perkonsil 50/2017]. Sebelum proses sidang pemeriksaan pihak teradu dinyatakan ditutup, kepada teradu masih diberi hak untuk menyampaikan tanggapan akhir dan melampirkan dokumen pendukung pada saat penyampaian tanggapan akhir. Dalam kaitan ini dibuka ruang untuk dilakukannya pemeriksaan ulang teradu jika teradu menemukan dokumen yang bersifat menentukan di mana pada waktu pemeriksaan teradu dokumen tersebut belum ditemukan. Selain itu, untuk memutus apakah teradu bersalah atau tidak juga harus didasarkan pada paling sedikit 3 (tiga) alat bukti yang sah dan keyakinan MPD [vide Pasal 73, Pasal 74, dan Pasal 75 Perkonsil 50/2017]. Artinya, apabila tidak ada pelanggaran disiplin yang dilakukan teradu maka MPD akan menjatuhkan putusan teradu tidak bersalah atau sebaliknya jika terbukti ada pelanggaran, teradu dinyatakan bersalah.
Bahwa sebagaimana norma Pasal 69 ayat (3) UU 29/2004 sanksi disiplin yang dapat diberikan oleh MKDKI dalam hal teradu dinyatakan bersalah dapat berupa: pemberian peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Dalam kaitan ini, MKDKI menerbitkan Keputusan MKDKI atas setiap putusan yang telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum kepada Ketua KKI paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pengucapan/pembacaan putusan tersebut. Dalam hal teradu dinyatakan tidak bersalah, KKI menerbitkan Surat Keputusan tersebut dan menyerahkan Salinan Keputusan MKDKI kepada teradu. Sebaliknya dalam hal teradu bersalah, KKI akan menerbitkan Surat Keputusan untuk melaksanakan Keputusan MKDKI yang dilampiri dengan Salinan Keputusan MKDKI yang ditandatangani oleh Ketua Konsil Kedokteran atau Ketua Konsil Kedokteran Gigi sesuai dengan disiplin keilmuan teradu. Sesuai dengan maksud Pasal 69 ayat (3) UU 29/2004, terhadap Surat Keputusan KKI beserta Salinan Keputusan MKDKI disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya keputusan dimaksud kepada teradu, fasilitas pelayanan kesehatan, dan seluruh pihak-pihak terkait yaitu dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota yang menerbitkan surat izin praktik teradu, institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi tempat pelaksanaan sanksi, termasuk organisasi profesi di tingkat pusat dan cabang, dan Kementerian Kesehatan [vide Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4) Perkonsil 50/2017]. Sementara itu, bagi Pihak Pengadu yang menginginkan Salinan putusan MPD hanya dapat dilakukan dengan cara mengajukan permintaan tertulis kepada KKI. Apabila diperlukan adanya legalisasi atas putusan MPD tersebut maka Sekretaris KKI atau yang mendapat mandat dari KKI akan membubuhkan tanda tangan dan stempel yang menyatakan salinan tersebut sesuai dengan aslinya [vide Pasal 87 Perkonsil 50/2017].
Bahwa berkenaan dengan penjatuhan sanksi disiplin dokter atau dokter gigi yang berupa rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, adanya penyebutan sanksi disiplin ini adalah rekomendasi, namun penggunaan diksi “rekomendasi” tersebut tidak mungkin digunakan untuk mengganti kata “mengikat” atas Keputusan MKDKI sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon. Karena, jika hal tersebut dikabulkan Mahkamah justru akan menyebabkan Keputusan MKDKI tidak dapat dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tujuan penegakan disiplin dokter atau doker gigi, di mana dalam proses pemeriksaan yang dilakukan MPD telah ternyata teradu (dokter atau dokter gigi) terbukti bersalah melanggar aturan dan/atau penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti oleh dokter atau dokter gigi [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Hal ini berbeda maknanya dengan kata “rekomendasi” Keputusan MKDKI yang berupa pencabutan surat tanda registrasi karena hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan UU 29/2004 yang menentukan kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan juga mencabut surat tanda registrasi adalah KKI [vide Pasal 8 huruf b UU 29/2004]. Sebagai konsekuensi logis dan yuridis dari dicabutnya surat tanda registrasi maka surat izin praktik teradu menjadi tidak berlaku. Lebih lanjut, berkenaan dengan penjatuhan sanksi disiplin berupa kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi [vide Pasal 69 ayat (3) huruf c UU 29/2004], MPD dalam menjatuhkan sanksi memuat sekaligus jenis pendidikan atau pelatihan yang harus dijalani oleh pihak teradu sesuai dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter atau dokter gigi.
Bahwa oleh karena MKDKI cq MPD hanya berwenang memeriksa dan memutus penegakan disiplin dokter atau dokter gigi, maka untuk pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan tersebut dilakukan oleh KKI yang dalam hal ini berkoordinasi dengan stakeholders terkait, pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi profesi sesuai dengan fungsi dan tugasnya masingmasing. Oleh karena itu, seluruh sanksi disiplin sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 ayat (3) UU 29/2004 yang dijatuhkan oleh MKDKI adalah mengikat dokter, dokter gigi yang terkena keputusan dan juga mengikat KKI karena pada prinsipnya KKI yang akan melaksanakan Keputusan MKDKI (eksekusi) hingga mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut, termasuk melakukan pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang terkena sanksi disiplin. Terlebih lagi, KKI juga berwenang melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi karena melanggar ketentuan etika profesi [vide Pasal 8 huruf g UU 29/2004]. Dengan demikian, Keputusan MKDKI yang mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI bertujuan untuk menegakkan disiplin dokter atau dokter gigi dalam rangka melindungi masyarakat atas tindakan dokter atau dokter gigi yang tidak kompeten.

[3.17.6] Bahwa mengenai dalil para Pemohon yang menyatakan proses pemeriksaan di MPD (Majelis Pemeriksa Disiplin) tidak berkeadilan, tidak memenuhi “due process of law”, serta tidak mengedepankan asas “presumption of innocence”. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa MKDKI yang tidak serta merta dapat dipersamakan dengan lembaga penegak hukum dalam arti formal yang mempunyai kewenangan pro justitia sehingga harus menerapkan due process of law, termasuk menerapkan asas presumption of innocence. MKDKI merupakan penegak disiplin kedokteran yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Oleh karena itu, proses yang dilakukan oleh MKDKI lebih berfokus pada due process of ethics daripada due process of law.
Due process of law mengacu pada prinsip hukum yang menjamin perlakuan yang adil dan prosedural dalam sistem peradilan yang formal. Prinsip ini melibatkan hak-hak seperti pemberitahuan, pendengaran yang adil, persidangan terbuka, dan kesempatan untuk membela diri. Namun, proses yang diikuti oleh MKDKI didasarkan pada aturan dan norma etika profesi kedokteran, yang dapat berbeda dengan prosedur hukum formal. Oleh karena berkaitan dengan penegakan disiplin dokter atau dokter gigi maka proses pemeriksaannya pun tertutup untuk umum kecuali pada sidang pembacaan putusan MPD. Hanya untuk perkara tertentu yang memiliki kompleksitas tinggi atau mendapat perhatian masyarakat luas yang dapat diajukan untuk dibahas dalam pleno MKDKI apabila hal tersebut dianggap perlu dan diusulkan oleh mayoritas anggota MPD [vide Pasal 12 Perkonsil 50/2017].
Dalam konteks MKDKI, due process of ethics sesungguhnya juga menerapkan prosedur yang adil, kebebasan berbicara, dan kesempatan untuk memberikan tanggapan atau pembelaan dalam proses pemeriksaan. Meskipun tidak terikat pada prinsip due process of law yang ketat, MKDKI tetap harus menjalankan prosesnya dengan transparan dan berkeadilan, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada disiplin kedokteran yang berlaku dalam praktik kedokteran sehingga tujuan menegakkan disiplin dokter atau dokter gigi dimaksud dapat terwujud yakni terlindunginya masyarakat dari tindakan yang dilakukan dokter atau dokter gigi yang tidak kompeten; meningkatnya mutu pelayanan kesehatan, dan yang terpokok adalah terjaganya kehormatan profesi kedokteran. Perwujudan hal ini merupakan bagian dari upaya menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Sekalipun dirumuskan dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 bahwa Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI, tidak berarti penegakan disiplin dokter oleh MKDKI menyebabkan hilangnya hak-hak dokter atau dokter gigi untuk membela dirinya karena pengaturan mekanisme atau tata cara penanganan pengaduan disiplin dokter atau dokter gigi didesain dengan memberikan ruang keseimbangan hak antara pengadu dan teradu. Bahkan teradu tetap diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan akhir hingga mengajukan dokumen baru sebelum putusan dijatuhkan. Dalam kaitan ini, Ketentuan Peralihan Perkonsil 50/2017 juga menegaskan bahwa pada saat Perkonsil 50/2017 mulai berlaku, pemeriksaan Pengaduan yang telah mencapai tahap pemberian kesempatan kepada Teradu untuk mengajukan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 32 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi (Perkonsil 32/2015), tetap diberlakukan sesuai dengan ketentuan Perkonsil dimaksud sampai sidang pembacaan putusan MPD [vide Pasal 92 Perkonsil 50/2017]. Walaupun mekanisme keberatan sebagaimana yang ditentukan dalam Perkonsil 32/2015 tidak diatur lagi dalam Perkonsil 50/2017 namun esensi dari keberatan dimaksud telah terabsorpsi/terserap dalam pengaturan mengenai tanggapan akhir atau pembelaan yang diberikan kepada teradu. Bahkan, teradu pun dapat meminta untuk dilakukannya pemeriksaan ulang berdasarkan dokumen pendukung yang diajukannya. Oleh karenanya dalil para Pemohon yang mempersoalkan tidak adanya “keberatan” yang dapat dilakukan oleh pihak teradu telah ternyata tidaklah benar karena pihak teradu tetap diberi kesempatan sebelum pengambilan keputusan dalam sidang MPD untuk menyampaikan tanggapan akhir atau pembelaan dengan menyertakan dokumen pendukung yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan ulang. Namun, hal tersebut tetap dilakukan mekanismenya di MKDKI, in casu MPD, sebagai organ/lembaga yang dibentuk KKI, khusus untuk menegakkan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Sementara itu, apabila yang dimaksudkan oleh para Pemohon adalah keberatan yang berkenaan dengan Keputusan MKDKI, hal tersebut tidaklah relevan untuk diakomodir, karena KKI merupakan lembaga yang menjalankan Keputusan MKDKI dan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai substansi Keputusan MKDKI dan sekaligus menjalankan asas contrarius actus.
Lebih lanjut berkenaan dengan Surat Keputusan yang telah diterbitkan oleh KKI perihal sanksi disiplin dokter atau dokter gigi dapat pula dilakukan upaya hukum ke lembaga peradilan yang berwenang, in casu tata usaha negara. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 5 UU 29/2004 yang pada pokoknya menyatakan KKI berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia di mana dalam menjalankan tugasnya, KKI memiliki fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis (Pasal 6 UU 29/2004). Fungsi dimaksud sejalan dengan fungsi pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). Lebih lanjut, jika dikorelasikan dengan keberadaan keanggotaan KKI yang ditetapkan oleh Presiden atas usul menteri [vide Pasal 4 ayat (3) UU 29/2004], di mana mengenai hak keuangan dan fasilitas KKI telah ditentukan dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2022 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Bagi Pimpinan dan Anggota Konsil Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Perpres 58/2022). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres dimaksud, dalam Perpres 58/2022 telah ditentukan Pimpinan dan Anggota KKI diberikan hak keuangan dan fasilitas, serta biaya perjalanan dinas, di mana untuk Ketua KKI setara dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, sedangkan untuk Wakil Ketua KKI, Ketua Konsil Kedokteran, Ketua Konsil Kedokteran Gigi, Anggota KKI, Ketua MKDKI, Wakil Ketua MKDKI, Sekretaris MKDKI, dan Anggota MKDKI setara dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan [vide Pasal 2 dan Pasal 5 Perpres 58/2022]. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka keputusan KKI dapat diposisikan sebagai keputusan Badan Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam UU 30/2014. Oleh karena itu, keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh KKI merupakan Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut sebagai Keputusan Badan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang dapat menjadi objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Terlebih lagi, berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, sudah cukup banyak dokter, pasien, atau keluarga pasien yang mengajukan gugatan terhadap Keputusan KKI kepada PTUN. Bahkan, terdapat sejumlah gugatan yang dikabulkan [vide keterangan tertulis tambahan KKI].
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 karena tidak adanya keberatan yang dapat diajukan ke KKI sebab Keputusan MKDKI bersifat mengikat adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma frasa “mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima atau ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMERINTAH DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-07-2023

Johannes Rettob, S.Sos., M.M. yang memberi kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Harseto Setyadi Rajah, S.H., Melani Aulia Putri Jassinta, S.H., Alfian Akbar Balyanan, S.H., Nur Rizqi Khafifah, S.H., para Advokat dan Konsultan Hukum di Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultans, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 83 ayat (1) UU Pemda

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 83 ayat (1) UU Pemda dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk mendahulukan proses pemeriksaan dan memberikan putusan sela guna menunda pemberlakuan ketentuan norma pasal a quo terhadap Pemohon yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status Penangguhan Penahanan sampai adanya putusan Pengadilan Negeri Jayapura atas permohonan Kejati Papua a quo yang berkekuatan hukum tetap, dengan alasan untuk menjaga kondusifitas, mencegah terjadinya kerugian Pemohon yang lebih besar lagi dan tetap menjamin keberlangsungan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat serta agar tidak terabaikannya hak masyarakat Kabupaten Mimika.
Terhadap alasan permohonan provisi Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat adversarial dan bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau bukan merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga negara dan tanpa dibatasi oleh tenggat waktu tertentu. Mahkamah juga tidak menemukan alasan yang cukup untuk menunda keberlakuan norma a quo. Dalam hal ini, Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan undangundang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalam perkara a quo tidak dapat dibenarkan untuk menunda keberlakuan norma yang dimohonkan pengujian. Terlebih, terhadap permohonan a quo meskipun terdapat ketentuan Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak memerlukan penyelenggaraan sidang untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Sehingga, tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan permohonan provisi Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan a quo, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan oleh Pemohon, telah ternyata yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 yang menurut Pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta tidak memberikan perlindungan atas kehormatan dan martabat bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah ataupun Plt. Kepala Daerah yang sedang menjabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “dikecualikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status penangguhan penahanan”. Terhadap masalah konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa pengaturan terkait dengan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah terus mengalami perbaikan. Tujuan perbaikan dimaksud antara lain adalah menjadikan kinerja kepala daerah/wakil kepala daerah menjadi lebih profesional sehingga mampu memberikan kemajuan bagi daerah yang dipimpinnya. Secara normatif, dalam UU 23/2014, pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 89 UU 23/2014. Dengan maksud membuat keseimbangan, selain mengatur pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah, baik pemberhentian tetap maupun pemberhentian sementara, Undang-Undang a quo juga mengatur tentang rehabilitasi serta pengaktifan kembali kepala daerah/wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara apabila dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

[3.11.2] Bahwa berkenaan dengan ketentuan tentang pemberhentian sementara bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana merupakan pengaturan yang dapat dinilai bersifat antisipatif karena terkait dengan keberlangsungan jalannya pemerintahan daerah. Bagaimanapun, dalam batas penalaran yang wajar, kinerja pemerintahan daerah potensial akan terganggu jika kepala daerah/wakil kepala daerah yang menjabat berada dalam status hukum tersangka atau terdakwa tetap melaksanakan tugas dan wewenang sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2006, menegaskan pemberhentian sementara merupakan realisasi dari prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Lebih jauh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 a quo halaman 39-40 mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa tindakan pemberhentian sementara terhadap pejabat publik, khususnya pejabat tata usaha negara, yang didakwa melakukan tindak pidana adalah penting untuk mendukung bekerjanya due process of law guna mencegah pejabat yang bersangkutan melalui jabatannya mempengaruhi proses pemeriksaan atau tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya. Atau sebaliknya, mencegah penegak hukum terpengaruh oleh jabatan terdakwa sebagai kepala daerah dalam budaya hukum yang bersifat ewuh pakewuh. Dengan demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, dengan adanya pemberhentian sementara terhadap seorang kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut, setiap orang secara langsung dapat melihat bahwa siapa pun yang melakukan tindak pidana atau kejahatan maka terhadapnya akan berlaku proses hukum yang sama, dalam arti bahwa jabatan yang dipegang seseorang tidak boleh menghambat atau menghalangi proses pertanggungjawaban pidana orang itu apabila ia didakwa melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena jabatan tertentu yang dipegang seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, menurut penalaran yang wajar, dapat menghambat jalannya proses peradilan pidana terhadap orang yang bersangkutan – yang dikenal sebagai obstruction of justice – maka demi tegaknya prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) harus ada langkah hukum untuk meniadakan hambatan tersebut. Dalam kaitan dengan permohonan a quo, tindakan administratif berupa pemberhentian sementara seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang didakwa melakukan suatu tindakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda justru merupakan langkah hukum untuk meniadakan potensi obstruction of justice tersebut.

[3.11.3] Bahwa pemberhentian sementara terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksudkan dalam norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 menggambarkan bagaimana hukum tata usaha negara dan hukum pidana bekerja dalam mengantisipasi kemungkinan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan kepala daerah/wakil kepala daerah. Berfungsinya 2 (dua) bidang hukum tersebut pun telah dipertimbangkan dalam halaman 38 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 yang menyatakan sebagai berikut:
Sementara itu, yang dirumuskan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, adalah keadaan yang menggambarkan bekerjanya dua proses dari dua bidang hukum yang berbeda namun berhubungan, yaitu proses hukum tata usaha negara dalam bentuk tindakan administratif (administrative treatment) berupa pemberhentian sementara terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, dan proses hukum pidana yaitu dituntutnya pejabat tata usaha negara tersebut dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu. Untuk adanya proses hukum yang disebut terdahulu, yaitu tindakan administratif pemberhentian sementara, dipersyaratkan adanya proses hukum yang disebut belakangan, yaitu telah dituntutnya seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu.
Dengan merujuk pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 tersebut, terhadap perkara a quo, perlu Mahkamah tegaskan, pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah merupakan tindakan administratif hukum tata usaha negara yang berjalan setelah bekerjanya proses hukum pidana terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah. Selain itu, syarat pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah adalah setelah suatu perkara diregistrasi di pengadilan. Hal demikian, sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 83 ayat (2) UU 23/2014 yang menyatakan, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”. Sedangkan, terkait dengan ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penahanan terhadap seseorang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, ataupun hakim yang dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Sehingga, penahanan baru dapat dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu berupa syarat sahnya penahanan (rechtsvaardigheid) dan perlunya penahanan (noodzakelijkheid).
Sementara itu, secara doktriner, sahnya penahanan bersifat objektif dan mutlak yaitu sepanjang terpenuhinya syarat yang ditentukan di dalam undangundang tentang tindak pidana yang tersangkanya dapat dilakukan penahanan, sedangkan makna mutlak berarti pasti yang artinya tidak dapat diatur sendiri oleh penegak hukum. Sementara syarat lain adalah penahanan bersifat relatif/subjektif yang berarti tindakan penahanan merupakan pilihan dan bergantung pada penilaian pejabat yang akan melakukan penahanan kapankah suatu penahanan diperlukan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal a quo tidak dapat menghentikan bekerjanya proses hukum tata usaha negara berupa pemberhentian sementara karena ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah bukan merupakan unsur yang menentukan dikenainya tindakan administratif pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo.

[3.12] Menimbang bahwa Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan Pasal 83 ayat (1) dengan mengecualikan kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status penangguhan penahanan. Permohonan Pemohon tersebut telah ternyata menghilangkan esensi utama dari Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 yaitu ketentuan terkait pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana. Dengan hilangnya esensi dan tujuan dari pengaturan dalam norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 menurut Mahkamah, hal demikian akan menyebabkan rusaknya konstruksi dari norma Pasal a quo, padahal ketentuan terkait Pasal a quo berkaitan erat dengan rumusan dari norma pasal-pasal berikutnya. Sehingga, menghilangkan esensi pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah yang melakukan tindak kejahatan pidana sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 akan merusak tatanan norma serta menghilangkan jaminan kepastian hukum dalam penanganan kasus hukum bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 telah ternyata memberikan kepastian hukum yang adil dan memberikan perlindungan atas kehormatan dan martabat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-07-2023

Partai Berkarya yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono selaku Ketua Umum DPP Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya dalam hal ini memberikan kuasa kepada Erizal, S.H. dan Rahman Kurniansyah, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu

Pasal 7, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan telah berpotensi merugikan atau menghambat hak konstitusional Pemohon dalam mengusulkan pasangan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.

[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusional di atas, setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7], Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n dan norma Pasal 227 huruf i UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Juni 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Juni 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 November 2022, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.12] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:

Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, telah ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, adalah Pasal 7, Pasal 28C ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang sebagian dasar pengujian tersebut belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Pasal 6A ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (Perkara 36/PUU-XVI/2018), Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 (Perkara 40/PUU-XVI/2018), Pasal 7, Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945 (Perkara 101/PUU-XVI/2022), Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (Perkara 117/PUU-XX/2022), Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (Perkara 4/PUU-XXI/2023). Dengan demikian, tanpa harus memeriksa lebih jauh alasan-alasan yang berbeda dengan semua permohonan sebelumnya, adanya dasar pengujian yang berbeda tersebut telah terang dan cukup bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon dapat diajukan kembali.

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo;

[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan Pemohon, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah, yaitu apakah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak memberikan hak untuk memajukan diri secara kolektif dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 28C ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap isu tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa isu berkenaan dengan syarat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden, in casu syarat sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 telah pernah diputus oleh Mahkamah. Berkenaan dengan kedua norma tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dalam Sub-paragraf [3.19.3] mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.

Selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, dalam Sub-paragraf [3.12.1] juga telah menegaskan pertimbangan Mahkamah di atas, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya tidak jauh berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan Mahkamah tidak atau belum memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional;

Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum putusan-putusan di atas, Mahkamah pada prinsipnya telah menegaskan berkenaan dengan pembatasan masa jabatan Presiden. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa konstitusi telah memberikan batasan yang tegas mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui Pasal 7 UUD 1945, di mana Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan penerapan secara langsung dari prinsip pembatasan yang dianut oleh Pasal 7 UUD 1945 a quo. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai ketidakpastian hukum yang diakibatkan norma Pasal 169 huruf n dan norma Pasal 227 huruf i UU 7/2017, menurut Mahkamah apabila mengikuti penafsiran Pemohon mengenai norma a quo sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon, maka hal tersebut akan membuka kemungkinan adanya situasi di mana seseorang yang telah pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) masa jabatan dipilih sebagai Wakil Presiden. Hal ini akan menimbulkan persoalan konstitusional tatkala Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 harus diterapkan. Dalam hal ini, norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 pada intinya mengatur dan sekaligus memerintahkan jikalau terjadi peristiwa Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Presiden digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam kondisi di mana Wakil Presiden tersebut merupakan seseorang yang pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) masa jabatan, maka tidak terhindarkan munculnya situasi di mana jikalau terjadi peristiwa sebagaimana dimaksudkan oleh norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 maka menjadi kewajiban konstitusional bagi Wakil Presiden tersebut untuk diangkat sebagai Presiden. Jikalau kondisi tersebut terjadi, maka Wakil Presiden yang sebelumnya pernah menjadi Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan/periode akan menjadi Presiden untuk masa jabatan ketiga. Pada satu sisi, situasi ini justru akan menimbulkan pelanggaran prinsip pembatasan dalam konstitusi yang diatur oleh Pasal 7 UUD 1945, sementara di sisi lain apabila Wakil Presiden tersebut tidak diangkat sebagai Presiden, jelas-jelas melanggar kewajiban konstitusional sehingga bertentangan dengan norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945. Sebagai pemaknaan dan sekaligus penafsiran terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang dirumuskan oleh norma undang-undang, norma yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mampu mencegah permasalahan konstitusional tersebut. Alasan Pemohon untuk membedakan konsekuensi konstitusional antara Presiden yang dipilih dengan Presiden yang diangkat karena menggantikan Presiden yang berhalangan tetap justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak terhadap ketidakpastian konstitusionalitas pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden serta terhadap legitimasi Presiden tersebut. Dengan demikian, dalil Pemohon bahwa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.3] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 menyebabkan terhalangnya hak Pemohon untuk memajukan diri secara kolektif sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah hak-hak tersebut apabila dikaitkan dengan hak untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden tetap harus tunduk pada pembatasan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sepanjang pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, maka tidak dapat dikatakan bahwa pembatasan tersebut telah melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya dalam hal ini hak untuk memajukan diri secara kolektif maupun hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Norma a quo yang mengatur mengenai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana telah diputus isu konstitusionalitasnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan telah ditegaskan kembali oleh Mahkamah pada Sub-paragraf [3.14.1] dan [3.14.2] di atas adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, pembatasan yang diimplementasikan oleh Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bukanlah pembatasan yang inkonstitusional karena merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak melanggar hak-hak sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak melanggar hak untuk memajukan diri secara kolektif, tidak bertentangan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-06-2023

Leonardo Siahaan, S.H disebut sebagai Pemohon

Pasal 251 KUHD

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan a quo beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil permohonan Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa berkenaan dengan sistematika permohonan dalam perbaikan permohonan yang diajukan oleh Pemohon, berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU MK yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan sebagai berikut:
(1) ...
(2) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. ...;
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
c. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu:
1. ...;
2. Dst
d. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1. mengabulkan permohonan Pemohon;
2. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;
atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[3.7.2] Bahwa terhadap sistematika Perbaikan Permohonan dimaksud, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) pada permohonan a quo, petitum Pemohon tersebut saling bertentangan antara satu dengan lainnya atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian materiil undang-undang. Terhadap hal tersebut, dalam persidangan pada tanggal 12 Juni 2023, sekalipun bukan merupakan agenda untuk memberikan nasihat, namun oleh karena terdapat fakta ihwal ketidaklaziman petitum Pemohon, Mahkamah tetap memberikan nasihat untuk memperbaiki petitum agar sesuai dengan petitum yang berlaku di Mahkamah Konstitusi [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 52/PUU-XXI/2023, Senin, tanggal 12 Juni 2023, hlm. 5-7]. Dalam kaitan ini, petitum angka 2 menyatakan, “Menyatakan Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, dan petitum angka 3 menyatakan, “Menyatakan Pasal 251 KUHD terhadap frasa ‘sehingga perjanjian itu tidak akan ditiadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal’ bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘sehingga perjanjian pertanggungan batal berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau berdasarkan putusan pengadilan”. Berkenaan dengan fakta tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa rumusan kedua petitum a quo adalah rumusan petitum yang tidak lazim. Karena, di satu sisi, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sementara itu di sisi lain, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Dalam batas penalaran yang wajar, rumusan kedua petitum tersebut saling bertentangan satu sama lainnya dan Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya secara bersamaan. Petitum yang demikian hanya dapat dibenarkan sepanjang satu sama lainnya dirumuskan secara alternatif. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas maka Mahkamah berpendapat, oleh karena petitum Pemohon tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena petitum Pemohon tidak jelas atau kabur sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.9] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-06-2023

Muhammad Helmi Fahrozi, dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Aldo Pratama Amry Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 2/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan para Pemohon, sebagai berikut.
[3.3.1] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan (I) pada hari Selasa, tanggal 30 Mei 2023 dengan dihadiri oleh kuasa para Pemohon atas nama Aldo Pratama Amry. Dalam persidangan tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim memberikan nasihat kepada para Pemohon terkait dengan permohonan a quo dan menyampaikan kepada para Pemohon mengenai batas waktu penyampaian perbaikan permohonan, yaitu pada hari Senin, tanggal 12 Juni 2023 [vide Risalah Persidangan Perkara Nomor 53/PUU-XXI/2023, tanggal 30 Mei 2023]. Namun, hingga batas waktu maksimal yang ditentukan tersebut, para Pemohon tidak menyerahkan perbaikan permohonan a quo;
[3.3.2] Bahwa selanjutnya, Mahkamah telah menjadwalkan sidang Pemeriksaan Pendahuluan (II) pada hari Senin, tanggal 12 Juni 2023 untuk memeriksa perbaikan permohonan dan mengesahkan alat bukti. Namun, hingga persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, para Pemohon tidak hadir. Bersamaan dengan agenda persidangan perbaikan permohonan dimaksud, melalui pesan singkat (WhatsApp) kepada Juru Panggil Mahkamah, kuasa para Pemohon menyampaikan bahwa dikarenakan adanya kendala teknis, yaitu beberapa berkas dari Papua belum tiba sehingga para Pemohon tidak dapat menghadiri persidangan dan meminta kepada Mahkamah agar permohonan a quo digugurkan. Terhadap fakta hukum tersebut, sesuai ketentuan hukum acara, semestinya permohonan a quo masih tetap dapat dilanjutkan karena Mahkamah dapat menggunakan permohonan awal [vide Pasal 46 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang]. Namun, karena adanya permohonan para Pemohon untuk menggugurkan permohonan a quo, Mahkamah menilai para Pemohon tidak serius dalam mengajukan permohonan a quo. Oleh karenanya, permohonan para Pemohon tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon tidak dapat diterima maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 120/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-06-2023

Bahrain, S.H., M.H. dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia atau dikenal dengan Centre For Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) yang diwakili oleh Moch. Luqman Hakim dan Maula Dzikril Hakim, dalam hal ini diwakili oleh Rusdiansyah, S.H., M.H., dkk., kesemuanya adalah para Advokat/Calon Advokat/Advokat Magang pada Kantor Hukum Rusdiansyah & Partners, yang selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum, keterangan ahli Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan Pemohon dan Presiden sebagaimana selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon;
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 bertentangan dengan konstitusi karena periodisasi masa jabatan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak mempertimbangkan adanya tahapan penyelenggaraan pemilu sehingga berpotensi menghambat penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karena itu, menurut Pemohon, masa jabatan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang berakhir bersamaan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu harus diperpanjang sampai dengan selesainya tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024.
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, Mahkamah akan menguraikan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Negara Indonesia pertama kali menyelenggarakan Pemilu pada Tahun 1955 di bawah sistem demokrasi parlementer dengan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Pemilu Tahun 1955 diselenggarakan untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Penyelenggara Pemilu pada Pemilu Tahun 1955 terdiri atas Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat pusat yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan Panitia Pemilihan (PP) di tingkat provinsi yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Lebih lanjut, terdapat pula Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) di tingkat kabupaten, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kecamatan, dan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP) di tingkat desa yang mana pengangkatan dan pemberhentian anggotanya dilaksanakan oleh pejabat atau kepala pemerintahan daerah yang berwenang dengan mengatasnamakan Menteri Dalam Negeri. Adapun PPI dan PP diangkat selama empat tahun sedangkan PPK tingkat kabupaten diangkat untuk waktu yang ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri [vide Pasal 17, Pasal 20 sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat];
[3.14.2] Bahwa pada masa orde baru, Pemilu diselenggarakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 oleh Lembaga Pemilihan Umum sebagai badan penyelenggara pemilu yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dengan struktur organisasi penyelenggara terdiri atas Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat Pusat, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) untuk tingkat provinsi, dan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) untuk tingkat kabupaten/kota. Berkenaan dengan pengangkatan dan pemberhentian anggotanya, dapat dijelaskan secara umum bahwa anggota PPI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri. Di samping itu, anggota-anggota PPD I dan PPD II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I. Adapun PPI bekerja hingga selambat-lambatnya satu tahun setelah pemungutan suara diadakan. Sedangkan PPD I dan PPD II bekerja hingga selambat-lambatnya enam bulan setelah pemungutan suara diadakan [vide Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat];
[3.14.3] Bahwa pasca berakhirnya orde baru, pada tahun 1999, Lembaga Pemilihan Umum dibubarkan dan diganti dengan Komisi Pemilihan Umum dan struktur di bawahnya [vide Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum]. Selanjutnya, pada awal era reformasi, negara Indonesia memandang penting untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan memasukkan ketentuan lebih lanjut mengenai asas penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu, suatu komisi pemilihan umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu, beserta ketentuan lainnya mengenai pemilu sebagaimana yang telah dimuat dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [vide Pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD 1945];
[3.14.4] Bahwa dalam rangka penataan sistem kepemiluan sesuai konstitusi, filosofi keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan demokrasi konstitusional dan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Januari 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 26 Februari 2020, menegaskan bahwa prinsip keserentakan Pemilu merupakan wujud penguatan Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 terhadap penyelenggaran pemilu. Dengan penegasan tersebut, penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, penyelenggaraan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta penyelenggaraan pemilu untuk memilih kepala daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang pada awalnya diselenggarakan secara terpisah, menjadi dilaksanakan secara serentak.
[3.15] Menimbang bahwa setelah memperhatikan secara saksama hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua norma konstitusi di atas sejatinya menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democratic state), di mana terdapat dua faktor esensial, yaitu adanya kebutuhan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat di satu pihak, serta kebutuhan melindungi kepentingan masyarakat umum dan kebutuhan menjaga hak dan kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur yang melekat pada konsep negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi berdasarkan atas hukum;
Bahwa konsekuensi dianutnya negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut Mahkamah, tidak hanya mengandung makna bahwa proses pembentukan hukum dan materi muatannya (in casu undang-undang) harus mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi, juga berarti bahwa praktik demokrasi harus tunduk pada prinsip negara hukum yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (constitution as supreme law). Sebagai negara yang mengakui kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia menganut prinsip konstitusionalisme yang tidak saja memberi arah atau panduan konstitusional dalam menentukan bentuk dan penyelenggaraan pemerintahan, namun juga menjadi leitstar dan pedoman moralitas konstitusi dalam kelindan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, serta pembentukan dan penegakan hukum di berbagai bidang termasuk di bidang politik khususnya di bidang kepemiluan;
Dalam kaitan ihwal di atas, menurut Mahkamah, prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum menjadi prinsip utama dalam penyelenggaraan pemilihan umum hendaknya tidak terdistorsi dalam proses pengisian jabatan penyelenggara pemilihan umum. Prinsip tersebut seharusnya tidak saja lebih impresif tetapi juga harus merefleksikan dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu. Meskipun dalam penerapannya acapkali menimbulkan perbedaan persepsi sehingga berbeda dalam implementasinya karena harus diberi batas yang jelas bahwa penyelenggaraan pemilu tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi basic norm dan merupakan panduan moralitas konstitusi dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip tersebut bekerja secara kolaboratif, sinergis, dan tidak dapat menegasikan satu sama lain karena prinsip tersebut sejatinya sama-sama menjunjung tinggi hak konstitusional warga negara yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of human being);
[3.15.2] Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas melalui partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta berkala yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu, guna dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang pemilu yang menjadi landasan dan dasar bagi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Penyelenggaraan pemilu oleh KPU untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD, serta untuk memilih Kepala Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota secara mandiri yang dalam pelaksanaan kewenangannya tanpa campur tangan pihak manapun sehingga penyelenggaraan pemilu dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Hal ini sebagai bentuk perwujudan kemandirian penyelenggara pemilu, sehingga rakyat dalam memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD, serta memilih baik Presiden dan Wakil Presiden maupun kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan keinginan rakyat sendiri yang diharapkan mampu membawa aspirasi rakyat sebagai pemilih;
Bahwa berkenaan dengan hal di atas, ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan penyelenggaraan pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Terkait dengan ketentuan tersebut dengan merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU 22/2007), yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Maret 2010, menegaskan, “bahwa untuk menjamin terselenggara dan terwujudnya pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, serta yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.” Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2022, serta putusan lainnya yang pada pokoknya menegaskan “…DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara.“ Dengan demikian, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak saja dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga termasuk oleh sebuah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu;
Terkait dengan penyelenggara pemilu, in casu KPU, secara struktural, di dalam kelembagaan KPU terdapat struktur yang bersifat permanen dan bersifat temporer (ad hoc). KPU secara struktur kelembagaan terdiri dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang bersifat permanen, serta didukung struktur kelembagaan yang bersifat temporer (ad hoc) yang terdiri dari PPK, PPS, KPPS, dan Pantarlih pada Pemilu di dalam negeri sedangkan PPLN, KPPSLN, dan Pantarlih LN pada Pemilu di luar negeri [vide Pasal 13 UU 7/2017]. Selanjutnya, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPU dilengkapi dengan Sekretariat Jenderal KPU; KPU Provinsi dilengkapi dengan Sekretariat KPU Provinsi; dan KPU Kabupaten/Kota dilengkapi dengan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, in casu KPU, seharusnya menyelenggarakan pemilu dengan menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tanpa perlu terganggu dengan pengaturan masa jabatan penyelenggara pemilu.
[3.16] Menimbang bahwa setelah uraian sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang mempersoalkan ketentuan norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 secara langsung maupun tidak langsung potensial mengganggu jalannya tahapan pemilu dan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu (rekrutmen) anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota, sehingga apabila tetap dilaksanakan potensial tidak terwujud pemilu yang jujur dan adil serta mandiri yang secara kondisional bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945.
Berkenan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Untuk menghasilkan pemilu yang berintegritas (electoral integrity) dapat dilaksanakan dengan menciptakan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu yang ideal, yang dibutuhkan terkait dengan mekanisme seleksi penyelenggara, yang mencakup regulasi yang mendasarinya, implementasi, dan evaluasi terhadap mekanisme yang diterapkan;
[3.16.2] Bahwa terhadap hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menyampaikan prinsip profesionalitas penyelenggara pemilu sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Juli 2018, sebagai berikut:
“[3.10.1.1] …
Bahwa kemandirian atau independensi penyelenggara Pemilu juga ditopang oleh aspek imparsialitas dan profesionalitas orang-orang yang diangkat sebagai penyelenggara Pemilu. Dua aspek tersebut akan sangat menentukan bagaimana kemandirian lembaga penyelenggara pemilu dijaga dan ditegakkan. Pada saat yang sama, keduanya juga sangat menentukan bagaimana Pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan.
Bahwa secara konseptual, profesionalitas merupakan salah satu dari 11 prinsip Pemilu berkeadilan yang dirumuskan oleh The United Nations Democracy Fund (UNDEF), di mana prinsip profesionalitas diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu mensyaratkan pengetahuan teknis bagi penyelenggara Pemilu yang mumpuni dan memiliki kompetensi untuk menjelaskan proses atau tahapan Pemilu. Artinya, untuk menjadi penyelenggara, seseorang haruslah memiliki pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Selain itu, beban kerja yang seimbang juga menjadi bagian penting agar kerja-kerja profesional penyelenggara dapat dilakukan secara optimal terutama untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Dalam pengertian demikian, betapapun bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari penyelenggara Pemilu namun bilamana dibebani dengan pekerjaan secara tidak seimbang atau beban yang berlebihan (overload), penyelenggara Pemilu akan sulit untuk bekerja secara profesional. Bagaimanapun, sesuatu yang dapat mengurangi profesionalitas penyelenggara secara langsung juga akan berpengaruh terhadap terwujud atau tidaknya Pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 di atas, anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diwajibkan untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilu secara profesional demi mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih, UU 7/2017 telah menentukan prinsip yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilu, in casu KPU, yaitu prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien [vide Pasal 3 UU 7/2017]. Menurut Mahkamah, penyelenggaraan pemilu dilaksanakan tidak hanya memperhatikan prinsip-prinsip pemilu yang baik tersebut di atas, namun juga harus dilakukan secara terencana dan berdasarkan wewenang penyelenggara pemilu, in casu KPU, yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga penyelenggaraan pemilu khususnya proses seleksi anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota tidak mengganggu tahapan pemilu yang telah ditentukan;
[3.16.3] Bahwa terkait dengan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu, telah diatur dalam UU 7/2017, dalam UU tersebut ditentukan bahwa seleksi untuk anggota KPU, dilaksanakan oleh tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang anggota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen), yang terdiri dari: (a) 3 (tiga) orang unsur pemerintah; (b) 4 (empat) orang unsur akademisi; dan (c) 4 (empat) orang unsur masyarakat. Proses seleksi dilaksanakan terhitung paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya keanggotaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (3), dan ayat (8) UU 7/2017;
Bahwa mekanisme seleksi keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilakukan dengan membentuk tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada setiap provinsi, di mana KPU diberikan kewenangan penuh oleh UU 7/2017 untuk mengatur mengenai tata cara pembentukan Tim Seleksi [vide Pasal 27 UU 7/2017]. Tim seleksi calon anggota KPU Provinsi dan calon anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan tokoh masyarakat yang memiliki integritas [vide Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (3) UU 7/2017];
Selanjutnya, UU 7/2017 mensyaratkan agar anggota tim seleksi calon anggota KPU Provinsi dan calon anggota KPU Kabupaten/Kota dilarang mencalonkan diri sebagai calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota [vide Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 31 ayat (5) UU 7/2017]. Terlebih, tanpa bermaksud menilai legalitas produk hukum pelaksanaan undang-undang, perlu ditegaskan bahwa calon anggota tim seleksi tidak sedang menjabat sebagai penyelenggara pemilu dan pemilihan [vide Pasal 7 huruf c Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota jo. Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut PKPU 4/2023];
Bahwa berdasarkan ketentuan norma Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 32 ayat (3) UU 7/2017, tim seleksi melaksanakan sepuluh tahapan kegiatan dalam proses pemilihan calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sebagai berikut:
Pasal 28 ayat (3) UU 7/2017:
“Untuk memilih calon anggota KPU provinsi, tim seleksi melakukan tahapan kegiatan:
a. mengumumkan pendaftaran bakal calon anggota KPU Provinsi melalui media massa lokal;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota KPU provinsi;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Provinsi;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Provinsi;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetahuan dan kesetiaan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika serta pengetahuan mengenai pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian;
f. melakukan serangkaian tes psikologi;
g. mengumumkan melalui media massa lokal daftar nama bakal calon anggota KPU provinsi yang lulus seleksi tertulis dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
h. melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi Penyelenggaraan Pemilu dan melakukan klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat;
i. menetapkan nama calon anggota KPU provinsi sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU provinsi yang berakhir masa jabatannya dalam rapat pleno; dan
j. menyampaikan nama calon anggota KPU provinsi sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU provinsi yang berakhir masa jabatannya kepada KPU.”
Pasal 32 ayat (3) UU 7/2017:
“Untuk memilih calon anggota KPU Kabupaten/Kota, tim seleksi melakukan tahapan kegiatan:
a. mengumumkan pendaftaran bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota melalui media massa lokal;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Kabupaten/ Kota;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetahuan dan kesetiaan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika serta pengetahuan mengenai pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian;
f. melakukan tes psikologi;
g. mengumumkan melalui media massa lokal daftar nama bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang lulus seleksi tertulis dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
h. melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi Penyelenggaraan Pemilu dan melakukan klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat;
i. menetapkan nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatan-nya dalam rapat pleno; dan
j. menyampaikan nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatannya kepada KPU.”
Bahwa setelah pelaksanaan seluruh tahapan di atas oleh tim seleksi, KPU kemudian bertugas untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diajukan oleh tim seleksi. Setelah itu, KPU akan menetapkan sejumlah nama calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota terpilih berdasarkan peringkat [vide Pasal 30 dan Pasal 34 UU 7/2017];
Bahwa terhadap pembagian tugas antara KPU dan tim seleksi dalam proses seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tersebut, Mahkamah menilai bahwa sebagian besar tugas yang ada dalam tahapan seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh tim seleksi yang keanggotaannya tidak berasal dari unsur KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dalam tahap seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, KPU masih mempunyai tugas untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, KPU masih dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dalam tahapan penyelenggaraan pemilu sekalipun adanya seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di saat yang bersamaan dikarenakan adanya porsi tugas dalam proses seleksi yang lebih besar yang dimiliki oleh tim seleksi yang berasal dari luar unsur KPU. Hal itu juga ditegaskan dalam keterangan Pihak Terkait KPU mengenai tahapan seleksi dan pembagian tugas antara tim seleksi dan KPU dalam proses seleksi [vide Keterangan Pihak Terkait KPU, tertanggal 21 Februari 2023, angka 6 sampai dengan angka 9, hlm. 4-5]. Dengan demikian, berdasarkan penalaran yang wajar, tahapan penyelenggaraan pemilu tidak akan terganggu sekalipun dilakukan proses seleksi keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan secara bersamaan dengan seleksi calon anggota KPU dimaksud sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon.
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan keberlakuan ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 memberikan ketidakpastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak Pemohon untuk terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan demokratis, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Berkaitan dengan dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu merupakan salah satu institusi demokratis yang menentukan legalitas dan legitimasi terpilihnya pemimpin dan wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan asas pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penyelenggaraan pemilu menuntut kapabilitas, profesionalitas, dan integritas dari penyelenggara pemilu, in casu KPU, dalam menjalankan tugasnya baik sebagai penyelenggara pemilu tetap (KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota) maupun sebagai penyelenggara pemilu bersifat ad hoc (PPK, PPS, dan KPPS). Pemilu yang berkualitas dapat terlaksana, salah satunya dengan integritas dan kemandirian penyelenggara pemilu melalui tahapan pelaksanaan pemilu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun tahapan dimaksud sebagaimana telah diatur dalam Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, sebagai berikut:
Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017:
“Tahapan Penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu;
b. pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih;
c. pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu;
d. penetapan Peserta Pemilu;
e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f. pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
g. masa Kampanye Pemilu;
h. Masa Tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil Pemilu; dan
k. pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
[3.17.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terkait ketentuan periodisasi masa jabatan anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dalam norma Pasal 10 ayat (9) yang memberikan ketidakpastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak-hak Pemohon, menurut Mahkamah norma Pasal 10 ayat (9) yang sedang diujikan konstitusionalitasnya oleh Pemohon, perlu dipahami norma a quo tidak hanya sebagai dasar hukum pengaturan mengenai masa jabatan keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota pada Pemilu 2024, melainkan juga telah berlaku dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan penyelenggaraan pemilu-pemilu di masa yang akan datang. Artinya, apabila pasal a quo ditafsirkan sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, maka secara yuridis ketentuan pasal a quo hanya dapat digunakan untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2024, dan tidak dapat digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu di masa yang akan datang;
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, keberadaan norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 merupakan salah satu wujud kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang sejatinya menjamin adanya pengakuan terhadap kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Artinya, penyelenggara pemilu, in casu KPU, seharusnya tetap menyelenggarakan Pemilu dengan menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat, kepastian dan perlindungan hukum secara transparan dan akuntabel.
[3.18] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan rekrutmen penyelenggara pemilu, in casu anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota, juga harus mulai dibangun agar dapat dilakukan secara serentak, di luar tahapan Pemilu dan Pemilihan, sehingga tidak mengganggu jalannya tahapan Pemilu dan Pemilihan. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden didesain secara serentak sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan putusan-putusan lainnya yang menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak. Terkait hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pada Paragraf [3.17], hlm. 83-84, menegaskan sebagai berikut:
“… Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan. Menurut Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur ketatanegaraan dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk menghindari penafsiran yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis.”
Selanjutnya, dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, menegaskan sebagai berikut:
“2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.”
[3.18.2] Bahwa penyelenggaraan pemilu didesain untuk dilaksanakan secara serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak. Terkait hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, pada Paragraf [3.16], hlm. 323-324, menegaskan sebagai berikut:
[3.16] Menimbang bahwa merujuk pada pertimbangan di atas, sebagai bagian dari penguatan sistem pemerintahan presidensial, pemilihan umum serentak dengan cara menyerentakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih terbuka kemungkinan ditinjau dan ditata kembali. Peninjauan dan penataan demikian dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintahan presidensial, yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan demikian, baik secara doktriner maupun praktik, didasarkan pada basis argumentasi bahwa keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial;
Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;

Bahwa sekalipun Mahkamah telah menyatakan beberapa alternatif model keserentakan penyelenggaraan pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, pilihan salah satu model keserentakan pemilu tersebut diserahkan kepada pembentuk undang-undang guna dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Namun, pada faktanya pembentuk undang-undang sampai sejauh ini belum melakukan revisi atas UU 7/2017. Karena fakta tersebut, segala desain hukum kepemiluan masih menggunakan model yang diatur dalam UU 7/2017 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, termasuk dalam hal ini, belum diikuti dengan pengisian secara bersamaan seluruh anggota penyelenggara pemilu terutama penyelenggara pemilu di daerah. Oleh karena itu, dalam konteks permohonan a quo, seharusnya KPU menyesuaikan pemilihan anggota KPU provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota sehingga sesuai dengan desain penyelenggaraan pemilu secara serentak. Namun, karena tahapan penyelenggaraan pemilu telah berjalan dan bahkan sebagian anggota KPU di daerah telah terpilih sesuai dengan akhir masa jabatan masing-masing, sehingga tidak memungkinkan dilakukan proses pengisian jabatan anggota penyelenggara pemilu di daerah secara serentak;
[3.19] Menimbang bahwa sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang telah ditegaskan kembali dalam Paragraf [3.18] di atas, secara hukum, pemilu secara serentak merupakan pilihan yang tidak dapat dihindari. Bahkan, secara faktual pemilu secara serentak tersebut telah dimulai sejak penyelenggaraan Pemilu 2019, dan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 keserentakan dilaksanakan juga dengan pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, agar makna keserentakan dimaksud tidak hanya dimaknai keserentakan dalam pemungutan suara namun juga keserentakan semua unsur penting dalam tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu dimaksud. Salah satu, unsur penting dalam tahapan penyelenggaraan pemilu adalah pengisian penyelenggara pemilu. Oleh karena telah diadopsinya model pemilu secara serentak, sehingga tidak ada pilihan lain selain melakukan pengisian penyelenggara pemilu secara serentak. Namun demikian, oleh karena permohonan pengujian diajukan oleh Pemohon ketika tahapan penyelenggaraan pemilu telah dimulai, sehingga pengisian penyelenggara pemilu di daerah secara serentak tidak mungkin dilaksanakan pada pemilu secara serentak tahun 2024. Dengan telah dimulainya tahapan tersebut, menjadi tidak relevan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan penyelenggara pemilu di beberapa daerah.
[3.20] Menimbang bahwa dalam hal pembentuk undang-undang melakukan penyesuaian terhadap UU 7/2017, beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk menyesuaikan rekrutmen penyelenggara pemilu dengan prinsip keserentakan penyelenggaraan pemilu, antara lain: (1) rekrutmen penyelenggara pemilu harus dilakukan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilu; (2) rekrutmen hendaknya didesain dengan lebih baik, sehingga menghasilkan penyelenggara pemilu yang mampu melaksanakan atau mewujudkan asas-asas penyelenggaraan pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, proses rekrutmen dapat menghasilkan penyelenggara pemilu yang berkompeten serta memiliki integritas dan mampu menjaga independensi terhadap semua peserta pemilu; (3) penyelenggara pemilu dibekali secara memadai melalui pelatihan, workshop, dan/atau bimbingan teknis pelaksanaan tugas kepemiluan yang dilaksanakan sebagai penyelenggara dalam pemilihan umum secara serentak.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-06-2023

Mohamad Anwar, S.H., M.H. dalam hal ini diwakili oleh Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk., kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Tim Advokat Pengawal Profesi Advokat, yang selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 509 UU 1/2023

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara langsung oleh Tim Kuasa dengan didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 509 UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang pidana pemberian keterangan yang tidak sebenarnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 509 UU 1/2023. Pemohon dalam hal ini berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3] dan juga berprofesi sebagai advokat [vide bukti P-4]. Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan juga menerangkan memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal a quo;
[3.6.2] Bahwa norma Pasal yang diajukan pengujian a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, UU a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun permohonan Pemohon diajukan pada tanggal 26 April 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Mei 2023, sehingga pada saat permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Undang-Undang yang diajukan pengujiannya belum berlaku;
[3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh Pemohon, telah ternyata hak konstitusional Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, Pasal 509 yang terdapat dalam UU 1/2023 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada Pemohon.
[3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan, yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah berlakunya norma undang-undang. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian mengakibatkan UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif.
[3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, sebagaimana di antaranya telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XXI/2023, yang kesemuanya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023. Dalam hal ini, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013. Sebab, Pemohon dalam permohonannya menjelaskan bahwa permohonan yang diajukan tidak nebis in idem (dapat diajukan kembali) dan ketentuan norma Pasal 509 UU 1/2023 tidak prematur dan dapat diuji, juga mengaitkan dengan putusan tersebut, di mana dalam putusan dimaksud Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana.
[3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut, adanya pendirian demikian juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada Pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum Pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda.
[3.6.7] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun demikian, seandainyapun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 509 UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan yang prematur.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.
[3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-06-2023

M. Jamil (Wiraswasta), untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 491 angka 1 KUHP

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara langsung oleh Tim Kuasa dengan didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 491 angka 1 KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 15 April 2023, yang diajukan oleh M. Jamil, yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 April 2023 memberi kuasa kepada Risky Kurniawan dan Albert Ola Masan Setiawan Muda yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 April 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 42/PUU/PAN.MK/AP3/04/2023, bertanggal 2 Mei 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 3 Mei 2023 dengan Nomor 48/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 48/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 48.478/PUU/TAP.MK/Panel/05/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 48/PUU-XXI/2023, bertanggal 3 Mei 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 48.48/PUU/TAP.MK/HS/5/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 48/PUU-XXI/2023, bertanggal 3 Mei 2023;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 17 Mei 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, termasuk memperbaiki Surat Kuasa dalam permohonan a quo [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 48/PUU-XXI/2023, tanggal 17 Mei 2023];
d. bahwa sebelum pelaksanaan sidang Panel dengan acara pemeriksaan perbaikan permohonan Pemohon, Mahkamah telah menerima surat dari Pemohon, bertanggal 21 Mei 2023, perihal Penarikan Kembali Permohonan Pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa pada tanggal 30 Mei 2023, Mahkamah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon guna meminta konfirmasi kepada Pemohon perihal pencabutan dimaksud, selanjutnya Majelis Hakim Panel telah menerima konfirmasi dari Pemohon yang membenarkan penarikan permohonan a quo, dengan alasan yang pada pokoknya sebagaimana tersebut dalam surat pencabutan a quo;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Juni 2023 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 48/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 114/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-06-2023

Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Sururudin, S.H., L.LM, dkk, para advokat dan penasihat hukum dari kantor hukum DIN LAW GROUP, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara langsung oleh Tim Kuasa dengan didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil-dalil para Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut para Pemohon, sistem proporsional dengan daftar terbuka dapat membahayakan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, karena sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka dianggap membuka ruang bagi seseorang untuk berusaha menjadi populer, menimbulkan kebebasan tanpa batas, dan merusak ideologi bernegara;
2. Bahwa menurut para Pemohon, meskipun Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 tidak disebutkan apakah pemilihan umum dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka atau tertutup, namun sejarah pemilihan umum dari tahun 1955 sampai 2004 pemilihan umum dilakukan dengan sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilihan umum saat itu berjalan dengan baik dan menghasilkan proses demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan kebersamaan masyarakat melalui saluran partai politik.
3. Bahwa menurut para Pemohon, dengan adanya Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017 telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi dan pengurus partai politik. Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut harus dibatalkan untuk mengembalikan perintah konstitusi bahwa peserta pemilihan umum calon anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, menegaskan calon anggota DPR/DPRD adalah utusan partai politik, dan meningkatkan semangat untuk menjadi pengurus partai politik.
4. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menempatkan pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dengan peranan partai politik sebagai pesertanya, sehingga masuk dalam sistem representasi kepartaian bukan dengan mengarahkan pada mandat bebas, yakni wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya.
5. Bahwa menurut para Pemohon, model penetapan calon anggota DPR dan DPRD menurut Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 menganut model sistem proporsional dengan daftar terbuka, sebagai konsekuensi logisnya lahirlah Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017. Sistem ini telah menggeser makna peserta pemilihan umum dari partai politik menjadi perseorangan. Sebab, dalam penentuan calon terpilih, partai politik telah kehilangan kedaulatan. Sistem “proporsional terbuka/suara terbanyak perseorangan” pada pokoknya telah menempatkan individu sebagai “peserta pemilihan umum sebenarnya”. Oleh karenanya sudah tidak ada bedanya pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dengan pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pesertanya adalah calon perseorangan atau wakil dari provinsi. Dengan demikian, menurut para Pemohon, sistem pemilihan umum proporsional berbasis suara terbanyak telah dibajak oleh calon anggota DPR/DPRD pragmatis yang hanya bermodalkan “populer dan menjual diri” tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur partai politik, serta tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
6. Bahwa menurut para Pemohon, hak konstitusional terhadap “kepastian hukum yang adil” menekankan pada konsistennya struktur-struktur ketatanegaraan agar konstitusi dijalankan. Sementara itu, Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menekankan pada partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, bangunan ketatanegaraan menghendaki sistem proporsional dengan daftar tertutup yang memberikan keleluasaan kepada partai politik. Sedangkan, sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik, dan telah mengenyampingkan peranan partai politik di dalam sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum.
7. Bahwa menurut para Pemohon, sistem proporsional dengan daftar terbuka menyebabkan:
i. kerumitan dalam pelaksanaan pemilihan umum, bukan hanya kepada pemilih namun juga bagi penyelenggara pemilihan umum;
ii. peningkatan penggunaan anggaran negara yang sangat besar namun tidak berkorelasi dengan kualitas anggota DPR dan DPRD yang terpilih;
iii. politik uang (money politics) dan mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Penentuan caleg terpilih berdasarkan jumlah nilai suara terbanyak, telah menjadikan pemilihan umum anggota DPR/DPRD sebagai “perang terbuka” antarcalon dan antarpartai politik serta bahkan antarcalon intra partai politik, sehingga menjadikan pemilihan umum sebagai “pasar bebas” kompetisi politik yang sangat rentan terhadap konflik sosial dan masifnya politik uang;
iv. pelemahan pelembagaan partai politik karena yang menentukan terpilihnya bukan melalui kampanye yang diorganisir oleh partai politik melainkan karena mengkampanyekan diri sendiri;
v. masalah multidimensi, seperti masalah psikologi calon anggota DPR/DPRD yang gagal dan timbulnya konflik internal antar anggota partai politik.
8. Bahwa menurut para Pemohon, sistem proporsional dengan daftar terbuka juga menyebabkan calon anggota legislatif perempuan kurang mendapatkan kursi, karena kuota 30% (tiga puluh per seratus) perempuan dalam daftar calon tetap di surat suara dan setiap tiga daftar calon terdapat satu calon anggota legislatif perempuan (zipper system) tidak berguna, sebab calon anggota legislatif dipilih berdasarkan suara terbanyak, dan bukan dengan nomor urut.
9. Bahwa menurut para Pemohon, permohonan ini memiliki kaitan erat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang selama ini telah digunakan sebagai acuan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Apabila dikaitkan dengan perspektif living constitution maka hal tersebut tentunya dapat saja diubah guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Karena, sistem pemilihan umum harus adaptif dan responsif terhadap hal-hal baru sejalan dengan pengalaman bangsa yang terus berkembang.
10. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 168 ayat (2) khususnya kata “terbuka” dan tindak lanjut operasionalnya yaitu pada frasa “jumlah nilai terbanyak” dalam Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3), serta penempatan nama calon legislatif pada Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, dan Pasal 386 ayat (2) huruf b UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang tidak pernah menyebutkan pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dilakukan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
11. Bahwa berdasarkan dalil-dalil di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan:
i. kata “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
ii. kata “proporsional” pada Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sistem proporsional tertutup”;
iii. frasa “nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan” pada Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 berbunyi, “Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik”;
iv. frasa “dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” pada Pasal 353 ayat (1) huruf b UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 353 ayat (1) huruf b UU 7/2017 berbunyi, “Pemberian suara untuk Pemilu dilakukan dengan cara: mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik”;
v. frasa “dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berada pada kolom yang disediakan” pada Pasal 386 ayat (2) huruf b UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 386 ayat (2) huruf b UU 7/2017 berbunyi, “Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila: tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik”;
vi. frasa “jumlah nilai terbanyak” pada Pasal 420 huruf c UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut”;
vii. Pasal 420 huruf d UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
viii. frasa “ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masingmasing calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara” pada Pasal 422 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 422 UU 7/2017 berbunyi, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan”;
ix. frasa “berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya” pada Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017 berbunyi, “Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut”;
[3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.9.1] Bahwa terhadap keterangan DPR yang di dalamnya terdapat pandangan berbeda yang disampaikan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Mahkamah mempertimbangkan pemberi keterangan dalam perkara pengujian undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah lembaga negara. DPR merupakan salah satu lembaga negara, dalam hal ini sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah, DPR secara kelembagaan dapat diminta oleh Mahkamah untuk memberi keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Mahkamah. Dengan demikian, keterangan DPR sejatinya merupakan keterangan yang diberikan lembaga perwakilan rakyat sebagai satu kesatuan pandangan lembaga, bukan pandangan fraksi. Karena, pada dasarnya materi keterangan DPR berkaitan dengan kesepakatan DPR pada waktu membentuk suatu undang-undang termasuk di dalamnya materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang ternyata di kemudian hari diajukan pengujiannya ke Mahkamah, sehingga sudah sepantasnya tidak ada perbedaan pandangan. Berdasarkan hal tersebut, sepanjang perbedaan pandangan dari F-PDIP dalam keterangan DPR, lebih merupakan persoalan internal lembaga DPR, sehingga yang akan Mahkamah pertimbangkan adalah keterangan DPR secara kelembagaan.
[3.9.2] Bahwa terhadap adanya keberatan dari beberapa Pihak Terkait mengenai indikasi perbedaan tanda tangan pada permohonan dan perbaikan permohonan para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan seharusnya keberatan tersebut disampaikan sejak awal dalam keterangan Pihak Terkait karena hal tersebut merupakan bagian dari permohonan yang dapat ditanggapi oleh Pihak Terkait. Namun demikian, faktanya beberapa Pihak Terkait mengajukan keberatan setelah menyampaikan keterangannya, sehingga menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempermasalahkan hal tersebut ke Mahkamah. Hal tersebut bukan berarti Mahkamah memperbolehkan adanya perbedaan tanda tangan permohonan dan perbaikan permohonan, namun menurut Mahkamah kesempatan untuk mempersoalkannya seharusnya digunakan bersama-sama dengan pemberian keterangan terhadap permohonan para Pemohon. Sehingga, oleh karena tidak disampaikan bersamaan dengan keterangan terhadap permohonan para Pemohon maka persoalan tersebut menurut Mahkamah lebih tepat diselesaikan oleh organisasi advokat kuasa hukum para Pemohon. Terlebih, berdasarkan pencermatan Mahkamah, tidak terdapat adanya bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah terkait dengan perbedaan tanda tangan dimaksud. Berdasarkan hal tersebut, keberatan terhadap perbedaan tanda tangan dalam permohonan dan perbaikan permohonan para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

[3.10] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-28 dan mengajukan 4 (empat) orang ahli bernama Fritz Edward Siregar dan Agus Riwanto yang menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 29 Maret 2023 dan telah didengar keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 5 April 2023 serta Hafid Abbas dan Mada Sukmajati yang menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 10 April 2023 dan telah didengar keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 12 April 2023. Para Pemohon juga telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 30 Mei 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.11] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 24 Januari 2023 dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2023 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis tambahan yang diterima Mahkamah pada tanggal 23 Februari 2023. DPR juga telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 6 Juni 2023, namun tidak dipertimbangkan karena telah melewati batas waktu penyampaian kesimpulan yakni pada tanggal 31 Mei 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.12] Menimbang bahwa Presiden telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 16 Januari 2023 dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2023. Presiden juga telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 31 Mei 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 17 Januari 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

Putusan Mahkamah ini meniadakan standar ganda dalam penetapan calon anggota lembaga perwakilan terpilih yang semula didasarkan pada nomor urut dan suara terbanyak, menjadi hanya berdasarkan pada suara terbanyak saja. Putusan ini jelas telah memenuhi rasa keadilan di masyarakat sebab usaha setiap calon anggota legislatif berbanding lurus dengan apa yang diperolehnya kemudian. Berbeda dengan sistem nomor urut yang penetapan calon terpilihnya didasarkan pada urutan yang telah ditentukan oleh partai politik.
Namun demikian, di sisi lain, penetapan calon anggota lembaga perwakilan berdasarkan pada suara terbanyak, disadari atau tidak telah membangun ikatan emosional antara pemilih dengan wakilnya di Parlemen secara personal. Hal ini lah yang memicu kekhawatiran akan mengendurnya kepercayaan masyarakat kepada peran partai politik. Bahkan memicu semakin melemahnya peran partai politik. Sebab, narasi yang seolah dibangun adalah mengikat hubungan emosional antara calon anggota lembaga perwakilan dengan pemilihnya, bukan membangun hubungan emosional antara partai politik dengan pemilihnya. Hal ini merupakan salah satu efek negatif pemilihan dengan sistem proporsional terbuka. Oleh karena itu, N.W. Barber dalam tulisannya berjudul, “Populist Leaders and Political Parties” yang dipublikasikan di dalam German Law Journal (2019), 20. pp.129-140., menyoroti melemahnya peran partai politik karena popularitas, dalam hal ini tentu saja popularitas calon anggota legislatif. Menurut N.W. Barber,”The absence of a well-functioning party system might contribute to the rise of populism, whilst a decaying party system may become vulnerable to its temptations”. (Ketiadaan sistem partai yang berfungsi dengan baik dapat berkontribusi kebangkitan populisme, sementara sistem partai yang membusuk mungkin menjadi rentan terhadap godaannya).
Menurut hasil survey yang dirilis Indikator Politik Indonesia pada 4 Maret 2022, dari 12 (dua belas) institusi demokrasi, partai politik berada di posisi terbawah dengan tingkat kepercayaan publik hanya 54% (lima puluh empat persen). Bahkan menurut Burhanudin Muhtadi sebagaimana dikutip oleh kompas.com, partai politik memiliki tingkat kepercayaan paling rendah. (https://nasional.kompas.com/read/ 2022/04/03/19371471/survei-indikator-kepercayaan-publik-terhadap-partai-politikrendah?page=all).

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tingkat kepercayaan publik kepada partai politik mengalami penurunan, yakni:
1. Korupsi. Hingga saat ini korupsi masih menjadi permasalahan yang sering dikaitkan dengan partai politik. Korupsi yang acapkali kali dilakukan oleh pejabat pemerintah atau politisi telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
2. Janji tidak terpenuhi. Salah satu yang ditawarkan oleh partai politik pada saat kampanye adalah program kerja dan janji politiknya. Oleh karena itu, tatkala partai politik tidak mampu atau tidak mau memenuhi janji-janji kampanye mereka setelah terpilih, hal ini dapat menyebabkan kekecewaan dan menurunkan kepercayaan publik.
3. Kegagalan dalam menyelesaikan masalah. Partai politik sebagai sarana demokrasi dituntut untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti pengangguran, kemiskinan, atau ketidakadilan sosial, maka kepercayaan terhadap partai tersebut bisa menurun.
4. Konflik kepentingan. Hal yang acapkali ditunjukan oleh partai politik kepada publik, yakni seringkali partai politik terlihat lebih peduli terhadap kepentingan pribadi atau kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini tentu saja berpotensi merusak kepercayaan publik dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap tujuan partai politik.
5. Kurangnya prinsip demokrasi dan transparansi. Ketika partai politik tidak menerapkan prinsip demokrasi dalam pengelolaan partai dan kurang transparan dalam pengambilan keputusan, pendanaan kampanye, atau tindakan politik lainnya, hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan dan merusak kepercayaan masyarakat.
6. Skandal dan perilaku buruk politisi. Perilaku buruk, termasuk skandal pribadi, penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan tidak etis oleh politisi, bisa mengurangi kepercayaan terhadap partai politik yang mereka wakili.
7. Perbedaan ideologi dan kepentingan. Masyarakat yang memiliki beragam pandangan politik dan kepentingan mungkin merasa bahwa partai politik tidak mewakili atau tidak memperhatikan aspirasi dan kebutuhan mereka secara memadai.
Padahal peran partai politik dalam negara demokrasi bersifat penting dan strategis karena berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana mengelola konflik, sarana melakukan kontrol politik, dan sarana partisipasi politik sebagaimana telah diuraikan di atas. Sementara itu, mengusung sistem pemilu ke arah proporsional tertutup bukan lah merupakan solusi yang tepat karena berpotensi membeli kucing dalam karung dan hanya memindahkan perilaku politik transaksional antara calon anggota legislatif dengan partai politik pengusung.

[6.4] Menimbang bahwa gagasan yang ditawarkan untuk memperbaiki sistem Pemilu ke depan adalah mengusung sistem proporsional terbuka terbatas, yakni dengan memperbaiki berbagai kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem proporsional terbuka dan mengambil kelebihan-kelebihannya dan mengambil kelebihan-kelebihan yang ada pada sistem proporsional tertutup.

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas
Isu hukum mengenai sistem Pemilu merupakan Kebijakan Hukum Terbuka (Opened Legal Policy), namun tidak berarti hal tersebut menghalangi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya. Oleh karena itu, kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dapat dinilai konstitusionalitasnya apabila bertentangan dengan moralitas, bertentangan dengan rasionalitas, menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), dilakukan dengan sewenang-wenang dan bertentangan dengan UUD 1945.
Setelah 5 (lima) kali menyelenggarakan Pemilu, diperlukan evaluasi, perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah 4 (empat) kali diterapkan, yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. Peralihan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan. Sebab, dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat, adanya potensi konflik yang tajam dalam masyarakat yang berbeda pilihan, terutama diantara masing-masing calon anggota legislatif dan tim suksesnya dalam satu partai yang sama atau konflik internal antar calon anggota legislatif dalam satu partai harus berakhir di Mahkamah Konstitusi karena tidak dapat diselesaikan oleh partainya. Persaingan pun amat liberal. Berdasarkan berita yang dirilis Fadli Ramadhanil, Perludem, pada 2019 ada 14 partai yang mengajukan sengketa internal dengan rincian 94 perkara merupakan sengketa internal dari 261 permohonan keseluruhan. Artinya, sebanyak 36% perkara didominasi sengketa internal (https://news.detik.com/berita/d-4624748/perludem-14-parpol-gugatkonflik-internal-ke-mk-gerindra-terbanyak). Hal ini menjadi penanda banyaknya caleg yang tidak siap kalah dan hanya siap menang. Hal yang ironis dalam pelaksanaan kontestasi pemilu legislatif. Padahal seharusnya Pemilu harus dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas dan karakter demokrasi kita, yakni demokrasi Pancasila.
Dalam hal ini Mahkamah sependapat dengan ahli Mada Sukmajati yang mendasarkan peralihan sistem pemilu dari proporsional terbuka perlu dilakukan karena beberapa hal, yaitu, pertama, sistem proporsional daftar terbuka telah mendorong fenomena pilihan personal (personal vote) dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal pasca pemilu karena fokus pemilih adalah pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik. Kedua, dari sisi efisiensi anggaran, waktu dan tenaga, sistem pemilu tersebut juga lebih sesuai. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh keterangan tertulis pihak terkait, yaitu KPU.
Namun demikian, perubahan harus lah menggabungkan hal-hal yang baik yang ada di dalam sistem proporsional terbuka dan hal-hal yang baik yang ada pada sistem proporsional tertutup dengan konsepsi prismatis, sehingga diperoleh sistem pemilu yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Gagasan yang ditawarkan adalah melalui sistem Pemilu proporsional terbuka terbatas.
Sementara itu, terdapat beberapa alternatif dalam penetapan calon terpilih berdasarkan sistem Pemilu proporsional terbuka terbatas, yakni:
1. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara. Namun, penentuan dan penetapan calon terpilih didasarkan pada daulat partai dengan sistem nomor urut, khusus bagi penentuan kuota 30% perempuan dan berdasarkan pada suara terbanyak bagi calon anggota legislatif lainnya. Sehingga calon anggota legislatif perempuan ditempatkan di nomor urut kecil. Dengan begitu, partai politik memiliki peranan yang penting dan menentukan dalam memilih calon anggota legislatif berkualitas dan masyarakatpun tetap dapat berkontribusi untuk menjaga kualitas calon anggota legislatif.
2. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara berdasarkan nomor urut. Namun penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut yang disusun berdasarkan hasil seleksi yang objektif, partisipatif, transparan dan akuntabel dengan memerhatikan pada nilai potensi, jiwa kepemimpinan, integritas, kerjasama, komunikasi, komitmen kualitas dan perekat bangsa.
3. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara berdasarkan nomor urut. Namun mekanisme yang digunakan seperti pola penentuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2004, yakni nama calon yang mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih. Sementara itu, nama calon yang tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Dengan begitu, pola ini tetap memberi ruang bagi masyarakat dalam menentukan wakilnya sepanjang mencapai angka BPP, dan tetap memberikan ruang bagi partai politik menentukan calonnya apabila tidak memenuhi angka BPP.
Selain ketiga varian di atas, ada pula varian lainnya, yakni penerapan sistem proporsional tertutup dapat diberlakukan hanya untuk memilih calon anggota DPR RI, sedangkan calon anggota DPRD Provinsi Kabupaten/Kota dipilih berdasarkan sistem proporsional terbuka.
Tiga alternatif penetapan calon anggota legislatif di atas merupakan opsi bagi penentuan calon anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka terbatas. Sementara varian keempat penetapan sistem proporsional tertutup dan terbuka secara bersamaan, namun level penerapannya dibedakan. Opsi-opsi yang nantinya dipilih diserahkan kepada legal policy pembentuk undang-undang. Selain itu, untuk menghindari kesan adanya oligarki dan politik transaksional dalam penentuan calon anggota legislatif oleh partai politik diperlukan beberapa hal, yakni:
1. Perlunya demokratisasi di dalam struktur partai politik, sehingga pola rekrutmen dan seleksi para calon anggota DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara yang objektif, partisipatif, akuntabel, dan transparan.
2. Diperlukan pula penguatan kaderisasi partai politik melalui pendidikan kader yang berjenjang selama minimal 3 (tiga) tahun untuk calon anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan 5 (lima) tahun untuk calon anggota DPR RI sehingga calon anggota legislatif yang terpilih betul-betul diusulkan dari proses kaderisasi yang matang. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari adanya fenomena “kutu loncat” dalam setiap pencalonan anggota DPR/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga kader-kader partai politik dapat menyerap ideologi partai dengan baik. Dengan demikian nantinya akan terpilih anggota legislatif yang benar-benar berasal dari kader-kader terbaik yang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat secara umum dan dapat menjalankan tugas sebagai legislator yang handal.
Berkaitan dengan perubahan posisi dan standing Mahkamah dari Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, meskipun perkara a quo hanya berkaitan dengan suatu hal yang bersifat parsial dalam UU Pemilu, khususnya hanya berkaitan dengan penetapan calon anggota legislatif terpilih, namun menurut saya, penting untuk menjelaskan perubahan posisi dan standing Mahkamah dalam beberapa kasus terdahulu, yaitu:
1. Dalam perkara Pemilu Serentak (Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dilakukan secara serentak telah mengubah posisi dan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden yang dilakukan secara terpisah merupakan konvensi ketatanegaraan oleh karenanya dinilai konstitusional).
2. Dalam perkara verifikasi Partai Politik (Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Partai Politik yang lolos Parliementary Threeshold dan memiliki perwakilan di DPR RI tidak perlu dilakukan verifikasi faktual telah mengubah posisi dan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 53/PUUXV/2017 yang menyatakan semua partai politik harus dilakukan verifikasi administrasi dan faktual).
3. Dalam perkara penghitungan hitung cepat (quick count) (Putusan Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang menilai bahwa ketentuan pidana bagi pihak yang mengumumkan hasil quick count pada masa tenang tidak bertentangan dengan UUD 1945 telah mengubah posisi dan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 yang membatalkan pasal mengenai ketentuan pidana bagi siapa saja yang mengumumkan hasil quick count pada masa tenang).
Perubahan pendirian dan posisi Mahkamah bukan lah menunjukan inkonsistensi Mahkamah terhadap putusannya sendiri. Namun, perubahan dimaksud merupakan upaya Mahkamah agar hukum itu dapat memenuhi kebutuhan manusia dan agar mewujudkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution) yang adaptif dan peka terhadap perkembangan zaman dan perubahan masyarakat. Apalagi Indonesia bukan lah negara yang menganut tradisi hukum common law yang tunduk pada doktrin stare decicis atau the binding force presedent. Meskipun di negara-negara yang menganut doktrin stare decicis seperti Amerika dan Inggris tidak pula menerapkan secara mutlak doktrin ini. Misal, Mahkamah Agung Amerika Serikat yang semula berpendapat bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas warna kulit tidaklah bertentangan dengan Konstitusi sepanjang dilaksanakan berdasarkan prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama), sebagaimana diputus dalam kasus Plessy v. Fergusson (1896), kemudian berubah dengan menyatakan bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit adalah bertentangan dengan Konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam putusannya pada kasus Brown v. Board of Education (1954). Demikian pula ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam permasalahan hak untuk didampingi penasihat hukum bagi seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dalam proses peradilan. Semula, dalam kasus Betts v. Brady (1942), Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendirian bahwa penolakan pengadilan negara bagian untuk menyediakan penasihat hukum bagi terdakwa yang tidak mampu tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Namun, melalui putusannya dalam kasus Gideon v. Wainwright (1963), Mahkamah Agung mengubah pendiriannya dan berpendapat sebaliknya, yaitu seseorang yang tidak mampu yang didakwa melakukan tindak pidana namun tanpa didampingi penasihat hukum adalah bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusanputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan (vide Putusan Nomor 24/PUUXVII/2019).
Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. Menimbang dari keseluruhan uraian pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-06-2023

Arifin Purwanto, S.H., selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara langsung oleh Tim Kuasa dengan didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU LLAJ dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7.2] Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya tetap tidak menguraikan secara jelas permasalahan konstitusionalitas yang dihadapinya dalam kaitannya dengan berlakunya norma Pasal 70 ayat (2) UU 22/2009, walaupun telah diberikan nasihat oleh Majelis Panel dalam Sidang Pendahuluan [vide Risalah Sidang Pendahuluan tanggal 11 Mei 2023]. Pemohon hanya menguraikan permasalahan konkret yang dialaminya berkenaan dengan proses, bentuk teknis STNKB dan TNKB, serta masa berlakunya sehingga Mahkamah tidak dapat menilai ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya;
[3.7.3] Bahwa selain masalah sebagaimana termaktub dalam Sub-paragraf di atas, Pemohon dalam Petitum angka 2 memohon kepada Mahkamah agar ‘Menyatakan frasa “berlaku selama 5 tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun” dalam Pasal 70 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 96 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “berlaku selama 5 tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun” tidak dimaknai “berlaku selamanya dan tidak perlu dimintakan pengesahan setiap tahun”.’ Namun, Pemohon sama sekali tidak menyatakan adanya pertentangan antara norma yang dimohonkan pengujiannya dengan UUD 1945. Padahal untuk dapat menilai suatu pasal dan/atau ayat undang-undang dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, terlebih dahulu pasal dan/atau ayat tersebut harus terbukti dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, dalam Petitum angka 3 Pemohon memohon agar Mahkamah “Menyatakan STNKB masa berlakunya selamanya, dibuat STNKB yang baru menjadi sebagai berikut:
1) Nomor Seri STNKB dibuat sama dengan Nomor Seri KTP/NIK KTP;
2) Sebelah kiri STNKB ada foto pemilik kendaraan, nama dan no hp/WA;
3) Nopol kendaraan pada STNKB diambilkan 6 angka pada NIK yang dimulai dari angka ke 7 sampai 12 yang meliputi 2 angka dari bulan, tanggal, dan tahun kelahiran pemegang KTP sebab 6 angka tersebut yang ada di NIK KTP setiap orang tidak ada yang sama, walaupun suami istri, satu keluarga/satu KK;
4) Ada foto kendaraan tampak depan pada sebelah kanan STNKB pemilik kendaraan tersebut;
5) Untuk nopol huruf depan adalah sesuai wilayah hukum pemilik kendaraan, sedang satu huruf di belakang menunjukkan pemilik kendaraan tersebut di kota/kabupaten mana (contoh: AE …A) pemilik kendaraan adalah orang Kota Madiun (AE …B) pemilik kendaraan adalah orang Kab. Madiun (AE …C) pemilik kendaraan adalah orang Kab. Ngawi, dan seterusnya;
6) Pada STNKB ada tulisan berlaku selamanya dan kendaraan ke …;
7) Apabila STNKB tersebut rusak/hilang maka pemilik bisa lapor kepada samsat terdekat untuk dicetak karena semua samsat satu Indonesia sudah terintegrasi secara online.”
Demikian pula dalam Petitum angka 4 Pemohon juga memohon agar Mahkamah “Menyatakan TNKB masa berlakunya selamanya, dibuat TNKB yang baru menjadi:
1) Nama pemilik untuk kendaraan pribadi dan PT atau PO untuk kendaraan niaga;
2) Nopol kendaraan pada TNKB diambilkan 6 angka pada NIK yang dimulai dari angka ke 7 sampai 12 yang meliputi 2 angka dari bulan, tanggal, dan tahun kelahiran pemegang KTP sebab 6 angka tersebut yang ada di NIK KTP setiap orang tidak ada yang sama, walaupun suami istri, satu keluarga/satu KK;
3) Untuk nopol huruf depan adalah sesuai wilayah hukum pemilik kendaraan, sedang satu huruf di belakang menunjukkan pemilik kendaraan tersebut di Kota/Kabupaten mana (contoh: AE …A) pemilik kendaraan adalah orang Kota Madiun (AE …B) pemilik kendaraan adalah orang Kab. Madiun (AE …C) pemilik kendaraan adalah orang Kab. Ngawi, dan seterusnya;
4) Di bawah Nopol diberi tulisan “Kendaraan ke…”;
5) Nopol dibuat dengan dasar warna hitam dan tulisan huruf serta angka warna putih;
6) Untuk ukuran TNKB/Plat Nomor sesuai dengan yang sudah berlaku selama ini.”
Menurut Mahkamah, seluruh rumusan petitum Pemohon tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian undang-undang. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada Pemohon pada saat sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 25 Mei 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 43/PUU-XXI/2023, tanggal 25 Mei 2023, hlm. 7] dan Pemohon tetap pada pendiriannya. Oleh karena itu, secara formal, petitum yang demikian tidak sesuai dengan rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
[3.8.] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena adanya ketidakjelasan petitum atau setidak-tidaknya petitum Pemohon merupakan hal yang tidak lazim maka menyebabkan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut;
[3.9] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil, hal-hal lain, dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-06-2023

Albert Ola Masan Setiawan Muda (Mahasiswa) dan Andrew Chua (Mahasiswa) yang memberikan kuasa kepada Risky Kurniawan yang merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Internasional Batam, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 96 ayat (6) UU Pembentukan PUU

Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara langsung oleh Tim Kuasa dengan didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 96 ayat (6), UU Pembentukan PUU dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 10 April 2023, yang diajukan oleh Albert Ola Masan Setiawan Muda dan Andrew Chua yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 April 2023 memberi kuasa kepada Risky Kurniawan, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 April 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 37/PUU/PAN.MK/AP3/04/2023, bertanggal 12 April 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 17 April 2023 dengan Nomor 44/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara 2 Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 44/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan: 1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 44.44/ PUU/TAP.MK/Panel/04/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 44/PUUXXI/2023, bertanggal 17 April 2023; 2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 44.44/PUU/TAP.MK/HS/4/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 44/PUU-XXI/2023, bertanggal 17 April 2023;
c. bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 11 Mei 2023 dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 23 Mei 2023, telah menerima surat elektronik (email) bertanggal 21 Mei 2023 dari para Pemohon yang pada pokoknya para Pemohon menarik/mencabut kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perkara Nomor 44/PUU-XXI/2023. Selanjutnya, perihal penarikan permohonan tersebut telah dikonfirmasi Mahkamah kepada para Pemohon/kuasanya secara lisan dalam persidangan dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan untuk memeriksa perbaikan permohonan yang dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 29 Mei 2023 dan para Pemohon membenarkan ihwal penarikan dimaksud;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Juni 2023 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 44/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

M. Yasin Djamaludin, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Janses E. Sihaloho, S.H. dkk, kesemuanya adalah Advokat dan Asisten Advokat pada Sihaloho & CO. Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 82 ayat (1) huruf d UU Hukum Acara Pidana

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.9] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 yang pada pokoknya mengatur mengenai praperadilan, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Februari 2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Oktober 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 9 November 2016, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;
[3.10] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
Pasal 60 UU MK
(1) “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”;
(2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”;
(2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, dalam perkara a quo pada pokoknya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar frasa “maka permintaan tersebut gugur” dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”permintaan praperadilan tetap dilanjutkan sampai adanya putusan dengan menangguhkan pemeriksaan pokok perkara”. Hal ini tidak dimohonkan dalam permohonan-permohonan sebelumnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti surat bertanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-9.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa isu konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon adalah gugurnya permohonan praperadilan karena perkaranya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, sehingga proses pemeriksaan praperadilan tersebut tidak dilanjutkan karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.12.2] Bahwa untuk menjawab isu tersebut, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu untuk mengutip kembali pertimbangan Mahkamah dalam putusan Mahkamah sebelumnya mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, yakni dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, yang mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.12.1] … adalah logis bahwa proses praperadilan sudah semestinya berakhir atau gugur ketika pemeriksaan telah memasuki pokok perkara atau telah memasuki tahapan persidangan. Selain itu, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 a quo juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan, yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan praperadilan.
Menimbang bahwa, dalam praktik, ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah perbedaan penafsiran demikian bukanlah semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma sebab perbedaan penafsiran itu lahir sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam rumusan norma itu sendiri, dalam hal ini pengertian tentang “perkara mulai diperiksa” yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan. Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok perkara di pengadilan negeri. Dalam praktik ternyata tidak ada keseragaman penafsiran di kalangan para hakim praperadilan mengenai hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan perkara pokok sudah mulai disidangkan.
Bahwa hakikat dari perkara permohonan praperadilan adalah untuk menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 UU 8/1981 dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015 yang dalam pertimbangannya pada pokoknya menyatakan, “...penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya....Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum” [vide Putusan Mahkamah nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, halaman 105-106]. Selanjutnya amar putusan Mahkamah tersebut kemudian menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a UU 8/1981 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, sehingga tidaklah adil apabila ada perkara permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena berkas perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c UU 8/1981]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 telah nyata-nyata multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Menurut Mahkamah, penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981.”

Selanjutnya terhadap pertimbangan tersebut, Mahkamah telah menjatuhkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”. Oleh karena itu, dengan adanya putusan tersebut, Mahkamah telah menegaskan penafsiran batas waktu yang dimaksud oleh norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, yaitu permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan terlepas dari apapun agenda dalam sidang pertama tersebut.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana di atas, menurut Mahkamah, terhadap praperadilan, Mahkamah telah memiliki pendirian sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Pendirian Mahkamah dimaksud diperkuat kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018, sebagaimana dinyatakan dalam Pertimbangan Hukum Paragraf [3.13]:
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP tidak beralasan menurut hukum dan oleh karena itu permohonan Pemohon selebihnya agar ketentuan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP secara mutatis mutandis dinyatakan inkonstitusional karena merupakan akibat dikabulkannya permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP kehilangan relevansinya untuk dipertimbangkan. Dengan kata lain, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, Mahkamah tetap berpendirian sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015”.
Dengan demikian, substansi permohonan Pemohon pada prinsipnya bertentangan dengan pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018. Sekalipun Pemohon mendalilkan memiliki alasan yang berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya, namun apabila permohonan Pemohon dikabulkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena fungsi lembaga praperadilan pada dasarnya untuk mengontrol pelaksanaan kewenangan upaya-upaya paksa (pro justitia) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum sebelum pokok perkara diperiksa oleh pengadilan. Oleh karena itu, pemeriksaan praperadilan dibatasi waktu 7 (tujuh) hari sebagai wujud dari peradilan cepat (speedy trial), dengan maksud untuk mendapatkan kepastian hukum atas pokok perkara.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil permohonan Pemohon yang menyatakan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, bertentangan dengan kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MAATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Victor Santoso Tandiasa, S.H., M.H. (Advokat), selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah frasa “gangguan lainnya” dalam rumusan Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan konstitusi karena bersifat multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa UUD 1945 dalam BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 22E ayat (1) telah menentukan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (jurdil) setiap lima tahun sekali. Ketentuan tersebut kemudian menjadi pedoman atau asas yang harus dipenuhi dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Oleh karenanya, kerangka hukum Pemilu harus benar-benar mampu menerjemahkan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang telah ditetapkan dalam konstitusi tersebut, tidak hanya terbatas pada asas luber dan jurdil, namun juga dalam hal ini adalah prinsip periodik dalam pelaksanaannya, yaitu diselenggarakan setiap lima tahun sekali atau secara reguler. Secara filosofis, prinsip periodik atau reguler tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak warga negara agar dapat menentukan kembali siapa pemimpin yang dianggap mampu menjalankan pemerintahan selanjutnya dengan baik melalui pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam konteks demikian, pemilu berfungsi sebagai sarana pengejawantahan prinsip kedaulatan rakyat untuk memilih siapa yang akan memegang jabatan-jabatan publik atau pemerintahan. Dengan pemilu pula, rakyat dapat mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya dan membentuk serta menjalankan pemerintahan berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[3.10.2] Bahwa berkenaan dengan diskursus penentuan siklus lima tahun sekali dalam rapat pembahasan perubahan UUD 1945 mengenai Pemilu, diwarnai oleh munculnya pandangan ihwal adanya potensi pelaksanaan Pemilu yang dipercepat atau diperlambat karena adanya suatu keadaan tertentu yang mengakibatkan pelaksanaan Pemilu bergeser dari siklus lima tahun sebagaimana dapat dilihat kembali dalam beberapa pemaparan pandangan sebagai berikut:
Pandangan Andi Najmi Fuady dari F-KB [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku V mengenai Bab Pemilihan Umum, halaman 580]:
“Pimpinan dan teman-teman Anggota PAH I yang saya hormati. Menarik sekali diskusi kita pagi hari ini karena ini langsung menyangkut pada pembicaraan tentang pesta demokrasi rakyat yang sudah kita alami berkalikali, kalau istilahnya Pak Soedijarto tadi ada risetnya. Kemudian muncul berbagai pendapat, baik mulai kegelisahan, kekhawatiran, dan antisipasi-antisipasi yang lain, mulai dari bagaimana kalau Pemilunya ternyata maju, bagaimana Pemilunya mundur, Pemilu sela. Kemudian penyelenggaranya KPU-nya seperti apa? Barangkali kekhawatiran-kekhawatiran itu semuanya bisa terakomodir pada Ayat (6), yang kebetulan rancangan Badan Pekerja maupun Tim Ahli itu tidak ada perbedaan. Namun demikian semangat pada perdebatan ini semuanya itu menjadi penting karena harus diketahui oleh generasi kita yang akan datang, pasal tentang Pemilu yang secara eksplisit. Kemudian bisa saja nanti ada sesuatu yang menjadi interpretative ini akan bisa dipahami dipelajari ketika seseorang itu membaca naskah perdebatan ini apa semangat dari pasal itu akan tercermin. Itu yang menjadi perdebatan pasal demi pasal menjadi sangat berarti dan harus dilakukan.”

Pandangan Afandi dari F-TNI/Polri [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku V mengenai Bab Pemilihan Umum, halaman 583]:
“Kemudian mengapa lima tahun sekali fixed term, sudah jelaskan Bapak-Bapak yang terdahulu sebagai zero rolling plan secara nasional itu harus ada. Kalau sampai terjadi atau perlu terpaksa terjadi Pemilu sela toh hal yang lain itu kan diatur di dalam undang-undang bisa, dan hal ini berkenaan dengan Presiden dan Wakil Presiden sudah diatur terdahulu lex specialis tadi.”

Pandangan Frans F.H. Matrutty dari F-PDIP [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku V mengenai Bab Pemilihan Umum, halaman 589]:
“Yang kedua, mengenai masa tenggang waktu untuk tiap kali kita melakukan pemilihan umum. Saya kira sudah tepat itu lima tahun, mungkin perlu di voorziening diprediksi ke depan bahwa bisa terjadi pemilihan umum dipercepat, bisa terjadi juga pemilihan umum lambat. Dipercepat kita sudah alami. Diperlambat itu pernah terjadi tetapi tidak disengaja, tapi misalnya diperlambat apa, menjadi lambat itu karena force major seperti bencana alam yang menyangkut lebih dari 50% wilayah ini, itu total tak bisa dilaksanakan pemilihan tepat pada waktunya. Itu kita harus melihat yang ini suatu force major dan menurut hemat saya ini jangan dimasukan di dalam rumusan ini, tapi dimasukan di dalam undang-undang yang menyangkut Pemilu sebagai lex specialis-nya itu.”

Berdasarkan pandangan dalam rapat pembahasan perubahan UUD 1945 di atas, menurut Mahkamah, penyusun perubahan UUD 1945 pada pokoknya menghendaki bahwa prinsip periodik dalam pelaksanaan pemilu setiap lima tahun (regularity) harus ditetapkan dalam UUD 1945, sedangkan berkaitan dengan adanya situasi dan kondisi tertentu yang dapat memengaruhi pelaksanaan periodisasi lima tahunan (flexibility) tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang tentang Pemilu.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amanat konstitusi tersebut, selanjutnya pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang Pemilu telah merumuskan norma tentang Pemilu susulan dan Pemilu lanjutan, sebagaimana yang sedang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Jika ditelusuri pengaturan mengenai kedua hal tersebut, telah ternyata perumusan norma pada Bab XIV tentang Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan dalam UU 7/2017 berasal dari rumusan norma pada undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 8/2012) sebagaimana diatur dalam Pasal 230 sampai dengan Pasal 232 UU 8/2012. Bahkan, jauh sebelumnya, ketentuan mengenai Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003), yaitu dalam Pasal 118 dan Pasal 119 UU 12/2003. Selain itu, pengaturan mengenai Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan juga pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 23/2003), yaitu dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 74 UU 23/2003. Namun berbeda halnya dengan pengaturan mengenai alasan atau syarat dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dalam UU 7/2017 dan UU 8/2012, perumusan norma mengenai syarat dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dalam UU 12/2003 dan UU 23/2003 belum menggunakan frasa “gangguan lainnya” yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74 ayat (1) UU 23/2003:
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan dan/atau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan dilakukan apabila di sebagian atau seluruh wilayah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan.

Pasal 119 ayat (1) UU 12/2003
Pemilu Lanjutan dan atau Pemilu Susulan dilakukan apabila di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Perumusan norma dengan menggunakan frasa “gangguan lainnya” baru pertama kali digunakan dalam rumusan norma Pasal 230 ayat (1) dan Pasal 231 ayat (1) UU 8/2012, di mana rumusannya ternyata sama persis atau tidak mengalami perubahan sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah memahami maksud baik dari Pemohon yang menginginkan syarat untuk dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan bersifat rigid agar tidak mudah ditafsirkan secara sewenang-wenang. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa untuk memahami suatu norma undang-undang tidak dapat hanya dilihat secara parsial, tetapi harus secara komprehensif sebagaimana halnya norma Pasal 431 dan Pasal 432 UU 7/2017 yang merupakan bagian dari Bab XIV yang mengatur mengenai Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan. Pemilu lanjutan yang dimaksud adalah Pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan [vide Penjelasan Pasal 431 ayat (1) UU 7/2017], sedangkan yang dimaksud dengan Pemilu Susulan adalah pemilu untuk melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat dilaksanakan [vide Penjelasan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017]. Dalam kaitan ini, penyelenggaraan Pemilu sejatinya telah ditentukan sesuai dengan tahapannya. Bahkan, UU 7/2017 juga menentukan penyelenggara pemilu berkewajiban untuk melaksanakan tahapan tersebut sesuai dengan waktunya [vide, antara lain, Pasal 14 huruf a UU 7/2017]. Oleh karena itu, pada pokoknya Pasal 431 UU 7/2017 menentukan apabila terdapat peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya sehingga mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan maka 26 dilakukan pemilu lanjutan yang dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilu yang terhenti tersebut. Sedangkan, dalam hal di sebagian atau seluruh NKRI terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan yang dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu. Oleh karenanya, sekalipun telah dinyatakan sebab-sebab pemilu yang terhenti atau pemilu yang tidak dapat dilaksanakan dalam norma pasal yang dimohonkan pengujiannya karena telah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya, namun UU a quo tidak memperinci jenis masing-masing peristiwa atau serangkaian peristiwa baik berupa kerusuhan, gangguan keamanan, maupun bencana alam. Berkenaan dengan hal ini, jika Mahkamah merujuk, misalnya pada UU 24/2007 telah ternyata untuk kategori bencana alam pun tidak ditentukan secara sangat rigid karena bencana alam yang dimaksudkan dalam UU 24/2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor [vide Pasal 1 angka1 UU 24/2007]. Demikian pula halnya dengan kategori bencana nonalam tidak disebutkan secara rigid karena yang dimaksud dengan bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam, antara lain, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit [vide Pasal 1 angka 2 UU 24/2007]. Oleh karenanya, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas frasa “antara lain” dalam norma Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU 24/2007 a quo, adanya frasa “antara lain” dimaksud merupakan bentuk pengaturan yang ditujukan untuk mengantisipasi apabila dikemudian hari terdapat jenis-jenis peristiwa atau rangkaian peristiwa yang tidak secara tegas disebutkan dalam kategori/jenis bencana alam atau bencana nonalam. Dengan demikian, adanya frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 juga merupakan bentuk pengaturan yang dimaksudkan untuk mengantisipasi apabila di luar kategori kerusuhan, gangguan keamanan, maupun bencana alam terdapat peristiwa atau rangkaian peristiwa lain yang dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu yang tidak terakomodasi dalam ketiga kategori/jenis tersebut, sehingga perlu diantisipasi supaya jangan sampai terjadi tahapan pemilu menjadi terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
[3.12.2] Bahwa untuk melaksanakan pemilu lanjutan atau pemilu susulan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan agar penyelenggaraan pemilu tetap berjalan kembali mengikuti tahapan yang telah ditentukan. Dalam kaitan ini terlebih dahulu dilakukan penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu oleh KPU sesuai dengan tingkatan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang menyebabkan tahapan pemilu terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan, yaitu oleh: (a) KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa; (b) KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan; (c) KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau (d) KPU atas usul KPU Provinsi apabila pelaksanaan Pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi [vide Pasal 433 UU 7/2017]. Dalam hal peristiwa atau rangkaian peristiwa tersebut tingkatannya ternyata lebih luas lagi sehingga Pemilu terhenti tahapannya dan tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah provinsi dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, maka penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU [vide Pasal 433 ayat (3) UU 7/2017]. Dengan demikian, telah terang benderang pengaturan dalam norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 mengenai ihwal apa saja yang menyebabkan tahapan pemilu terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan tidak hanya karena adanya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam namun juga jika terjadi gangguan lainnya. Frasa “gangguan lainnya” dimaksud harus dipahami manakala tahapan pemilu menjadi terhenti atau tahapan pemilu menjadi tidak dapat dilaksanakan karena adanya peristiwa atau rangkaian peristiwa yang tidak terakomodasi dalam pengertian kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, serta bukan “gangguan lainnya” yang dapat dipolitisasi atau direkayasa untuk kepentingan tertentu sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa penggunaan frasa “gangguan lainnya”, baik dalam Pasal 230 ayat (1) dan Pasal 231 ayat (1) UU 8/2012, maupun dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017, menurut Mahkamah, merupakan bentuk antisipasi pembentuk undang-undang yang juga bertujuan untuk memperluas ruang lingkup atau cakupan atas situasi dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan terjadinya, namun dapat memengaruhi pelaksanaan Pemilu sehingga perlu dilakukan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan. Antisipasi pengaturan demikian adalah dalam rangka melindungi penyelenggaraan Pemilu termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Oleh karena itu, permohonan Pemohon yang memohon agar frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 dimaknai hanya “bencana nonalam dan bencana sosial”, menurut Mahkamah, justru akan membatasi ruang lingkup peristiwa atau rangkaian peristiwa kedaruratan atau gangguan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan karena tidak dapat diprediksi bentuk serta kapan terjadinya. Hal demikian juga justru akan bertentangan dengan sifat ideal materi perundang-undangan yang seyogyanya dapat menjangkau perkembangan kebutuhan hukum di masa yang akan datang dalam perspektif perlindungan hak konstitusional pemilih. Dengan demikian, secara a contrario, adanya penambahan frasa “gangguan lainnya” telah menjadikan ruang lingkup keadaan darurat yang menjadi syarat untuk dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan tidak hanya terbatas pada adanya kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, melainkan juga keadaan darurat lainnya yang belum ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sepanjang bukan gangguan yang merupakan bentuk politisasi atau rekayasa untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, dengan mempertahankan norma frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 tidak berarti menimbulkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilu, tetapi justru mengakomodir keinginan atau tujuan permohonan Pemohon yang sebenarnya menginginkan agar pemilu tetap dapat dilaksanakan dengan meneruskan tahapan yang terhenti atau melaksanakan tahapan yang tidak dapat dilaksanakan melalui skema pemilu lanjutan atau pemilu susulan.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat norma frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017, telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menghilangkan jaminan perlindungan hak pilih yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Asep Muhidin, S.H. (Wiraswasta/Advokat) dan Rahadian Pratama Mahpudin, S.H. (Wiraswasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 80 UU 8/1981

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU 8/1981 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas frasa “penghentian penyidikan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali.

Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Sebelumnya Pasal 80 UU 8/1981 pernah diajukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Januari 2013 dengan amar putusan ditolak serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 21 Mei 2013, yang amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon.

Dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan Nomor 76/PUU- X/2012 adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, sementara itu untuk permohonan Nomor 98/PUU-X/2012 menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, sedangkan permohonan para Pemohon a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga semua dasar pengujian yang digunakan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo telah digunakan dalam permohonan sebelumnya. Namun demikian, ketiga permohonan ternyata memiliki alasan permohonan yang berbeda. Permohonan Nomor 76/PUU-X/2012 meminta Mahkamah untuk mempersempit makna frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981, sedangkan permohonan Nomor 98/PUU-X/2012 meminta Mahkamah untuk memperluas makna frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 UU 8/1981. Berbeda dengan dua permohonan sebelumnya, permohonan para Pemohon a quo dalam positanya menguraikan alasan-alasan agar Mahkamah memperluas makna frasa “penghentian penyidikan” dengan menafsirkan agar penghentian penyidikan dimaknai termasuk apabila aparat penegak hukum tidak melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan sejak laporan dugaan tindak pidana korupsi disampaikan sampai dengan jangka waktu 1 tahun. Dengan demikian, meskipun norma Pasal 80 UU 8/1981 telah pernah diuji dengan dasar pengujian yang sama, namun karena terdapat alasan permohonan yang berbeda, maka terlepas dari apakah secara substansi permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 permohonan pengujian norma Pasal 80 UU 8/1981 dapat diajukan kembali.

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian Pasal 80 UU 8/1981 dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai pokok permohonan para Pemohon mengenai konstitusionalitas frasa “penghentian penyidikan” dalam Pasal 80 UU 8/1981.

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, inti permohonan a quo adalah frasa “penghentian penyidikan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon yang mengajukan gugatan praperadilan atas tidak ditindaklanjutinya laporan kepada aparat penegak hukum, in casu Kejaksaan, jika tidak dimaknai “termasuk penghentian penyidikan apabila aparat penegak hukum tidak melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan sejak laporan dugaan tindak pidana korupsi disampaikan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun.” Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa norma Pasal 80 UU 8/1981 yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon adalah norma yang terdapat dalam Bagian Kesatu tentang Praperadilan pada Bab X tentang Wewenang Pengadilan untuk Mengadili dalam UU 8/1981. Sehingga, norma Pasal 80 UU 8/1981 menjadi bagian dari pengaturan mengenai wewenang pengadilan untuk mengadili perkara praperadilan. Pada bagian Ketentuan Umum UU 8/1981 telah diatur pengertian mengenai praperadilan yaitu dalam Pasal 1 angka 10 UU 8/1981 bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;
Selanjutnya Putusan Mahkamah Konstiutusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 April 2015, memperluas kewenangan praperadilan yaitu termasuk juga untuk memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Bahwa frasa “penghentian penyidikan” yang diuji konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo, merupakan bagian dari proses penyidikan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU 8/1981 yang menyatakan bahwa “dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”. Dengan demikian, terdapat tiga batasan di mana penyidik dapat menghentikan penyidikan sebagaimana disebut dalam Pasal 109 UU 8/1981, yaitu 1) jika tidak terdapat cukup bukti, 2) peristiwa yang menjadi objek penyidikan bukan merupakan tindak pidana, dan 3) penyidikan dihentikan demi hukum. Dalam petitum permohonan para Pemohon meminta Mahkamah untuk memperluas batasan penghentian penyidikan, yaitu termasuk penghentian penyidikan apabila aparat penegak hukum tidak melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan sejak laporan dugaan tindak pidana korupsi disampaikan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun.

[3.12.2] Bahwa dari petitum yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mencoba memahami apa sesungguhnya yang para Pemohon kehendaki. Karena jika mengaitkan antara permohonan praperadilan yang para Pemohon ajukan, yang bermula dari laporan para Pemohon yang tidak ditindaklanjuti, dikaitkan dengan petitum para Pemohon yang meminta perluasan makna penghentian penyidikan, dapat dipahami bahwa pengujian Pasal 80 UU 8/1981 merupakan upaya hukum lanjutan para Pemohon agar laporannya dapat ditindaklanjuti. Namun demikian, laporan para Pemohon yang menjadi akar persoalan permohonan a quo, belum sampai pada tahapan penyidikan, sehingga jika petitum permohonan para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah, maka tidak akan berpengaruh apapun pada laporan yang para Pemohon ajukan. Kalaupun laporan tersebut sudah sampai pada tahap penyidikan, quod non, lalu Mahkamah mengabulkan permohonan a quo dan laporan yang tidak ditindaklanjuti tersebut ditetapkan penyidikannya dihentikan karena tidak ditindaklanjuti selama lebih dari satu tahun (sebagaimana petitum permohonan para Pemohon), maka upaya para Pemohon untuk mendapatkan keadilan dengan mengajukan laporan tindak pidana korupsi justru tidak akan terwujud karena penyidikannya terhenti. Selain itu, Pasal 80 UU 8/1981 hanya mengatur mengenai siapa yang berhak mengajukan permohonan praperadilan yang objek pemeriksaannya mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Dalam hal ini, Pasal 80 UU 8/1981 tidak mengatur substansi penghentian penyidikan yang hendak diperluas maknanya oleh para Pemohon. Sedangkan, pengaturan penghentian penyidikan yang dimaksud para Pemohon telah jelas secara khusus diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU 8/1981;

[3.12.3] Bahwa perluasan makna yang para Pemohon mohonkan dalam petitumnya, dengan memberi batasan waktu 1 tahun bagi proses penyidikan dan jika tidak maka akan dinyatakan sebagai sebuah penghentian penyidikan, menurut Mahkamah tidak akan memberikan kepastian hukum sebagaimana yang para Pemohon kehendaki, namun justru sebaliknya kontraproduktif terhadap upaya penegakan hukum, terlebih khusus bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana kasus yang para Pemohon laporkan. Mengungkap kasus tindak pidana korupsi bukan merupakan hal mudah, apalagi jika bukan kasus tertangkap tangan, namun dari laporan masyarakat. Untuk menemukan bukti permulaan yang cukup dari laporan tindak pidana korupsi tidaklah mudah, karena itulah UU Tipikor mengamanatkan agar masyarakat ikut berperan serta membantu penegak hukum dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi [vide Pasal 41 UU Tipikor]. Jika dalam proses pencarian bukti awal telah memakan waktu lebih dari satu tahun, lalu penyidikannya dihentikan, maka perjuangan pemberantasan korupsi akan menjadi sia-sia;

[3.12.4] Bahwa oleh karena terhadap kewajiban aparat untuk segera menindaklanjuti laporan masyarakat sudah diatur dalam Pasal 106 UU 8/1981, yaitu bahwa bagi penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan, maka untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana yang para Pemohon kehendaki, masyarakat dalam hal ini para Pemohon dapat mendorong ditingkatkannya keterbukaan informasi atas laporan yang diajukan. Jika seseorang warga masyarakat melaporkan lalu sampai dengan jangka waktu yang lama tidak ditindaklanjuti, pelapor berhak menerima informasi sampai sejauh mana laporannya telah ditindaklanjuti. Jika ada kekurangan dalam pelaporannya pelapor pun berhak mengetahui dan melengkapi sehingga perkara dapat bergulir ke tahap selanjutnya. Demikian halnya, aparat penegak hukum pun harus secara berkala menyampaikan kepada masyarakat/pelapor mengenai tindak lanjut atas laporan masyarakat dimaksud.

[3.12.5] Bahwa dengan demikian persoalan hukum yang para Pemohon dalilkan menurut Mahkamah bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 80 UU 8/1981 terutama dalam frasa “penghentian penyidikan”. Norma dalam Pasal 80 UU 8/1981 mengatur mengenai siapa yang berhak mengajukan praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan secara substansi telah diperiksa oleh Mahkamah dan diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana iuraikan frasa “penghentian penyidikan” dalam Pasal 80 UU 8/1981 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Suryadin untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Pasal 92 ayat (2) huruc dan d dan Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 92 ayat (2) huruf c dan d dan Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo dapat diajukan kembali, setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan Pemohon, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa berkaitan dengan norma yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya adalah mengenai inkonstitusionalitas norma yang mengatur jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dan anggota Panwaslu Kecamatan serta norma yang mengatur mengenai syarat domisili anggota Bawaslu Kabupaten/Kota secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum Permohonan Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU XVII/2018, yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2019 yang dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.14.1] sampai dengan Sub-paragraf [3.14.3] serta Paragraf [3.16] sampai dengan Paragraf [3.18] menyatakan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon perihal penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang sebagai pilihan kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena hanya mendasarkan pada faktor perbedaan geografis, menurut Mahkamah, perlu dicermati bahwa suatu kebijakan hukum merupakan ranah kebebasan pembentuk undang-undang, sehingga ketika suatu kebijakan hukum yang berisi norma yang tidak dimuat secara eksplisit dalam UUD 1945 ditetapkan maka tidak serta merta hal itu dapat dinilai tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan Konstitusi. Batasan sebuah kebijakan yang dibentuk merupakan kebijakan hukum terbuka adalah kesesuaiannya dengan moralitas, rasionalitas, dan tidak mengandung ketidakadilan yang intolerable. Dengan demikian, sepanjang kebijakan hukum terbuka dimaksud tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan tidak mengandung ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi maka kebijakan hukum dimaksud tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang merupakan bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Apabila kebijakan hukum tersebut hendak diuji maka pertanyaannya adalah apakah penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang merupakan sebuah kebijakan yang rasional dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu kabupaten/kota.
[3.14.2] Bahwa selanjutnya apakah kebijakan pembentuk undang-undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang bertentangan dengan moralitas. Dalam hal ini Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran moralitas apapun dari kebijakan demikian. Tidak ada ukuran atau standar moral apapun yang dilanggar atau terganggu oleh kebijakan hukum demikian, baik jika moralitas dimaksud semata-mata sebagai kebaikan (goodness) maupun kebenaran (rightness) maupun jika moralitas dimaksud dikaitkan dengan kepantasan (properness) dan ketidakpantasan (improperness). [3.14.3] Bahwa kemudian apakah kebijakan pembentuk undang undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang mengandung ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Dalam hal ini pun Mahkamah tidak melihat adanya keadaan demikan. Bahkan jika dilihat semata-mata dari kepentingan (atau tepatnya) keinginan para Pemohon, pun Mahkamah tidak melihat adanya ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dimaksud. Artinya, tidak terakomodasinya kepentingan atau keinginan para Pemohon oleh kebijakan pembentuk undang-undang dalam kasus a quo dengan berlakunya norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu beserta penjelasan dan lampirannya tidaklah menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
[3.16] Menimbang bahwa, lebih jauh, secara faktual, penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota sesungguhnya bukan menyangkut teknis pelaksanaan, melainkan lebih pada tugas penyelesaian masalah hukum pemilu yang muncul. Artinya, tanpa penambahan jumlah anggota sekalipun, Bawaslu kabupaten/kota masih dapat menjalankan tugasnya secara maksimal. Setidaknya hal itu didasarkan pada dua alasan, pertama, dalam melakukan pengawasan, Bawaslu kabupaten/kota memiliki perangkat pengawas kecamatan sampai dengan pengawas lapangan; dan kedua, peran serta masyarakat dalam mengawasi pemilu juga akan turut meringankan beban kerja pengawasan yang dimiliki Bawaslu kabupaten/kota. Berdasarkan UU Pemilu, masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi dalam pemilu, termasuk mengawasi pemilu dan melaporkan dugaan-dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu di semua tingkatan. Dalam konteks ini, pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Bawaslu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Bawaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Dengan demikian, dalam konteks beban kerja penegakan hukum, bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan secara berlebihan. Sebab, terjadinya masalah-masalah hukum sangat bergantung pada kemampuan KPU termasuk KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan tahapan pemilu secara profesional dan juga faktor kesadaran hukum setiap pemangku kepentingan dalam pemilu. Dalam konteks ini, beban kerja penegakan hukum bukan sesuatu yang selalu dipastikan terjadi dalam setiap tahapan pemilu. Oleh karena itu, penambahan tugas untuk penegakan hukum pemilu tidak dapat dianggap sebagai beban berat yang mengharuskan dilakukan perubahan kebijakan dengan menjadikan jumlah anggota Bawaslu secara sama lima orang untuk semua kabupaten/kota. Namun demikian, kekhawatiran para Pemohon perihal keterbatasan personil dalam penanganan sengketa, terutama berkenaan dengan persyaratan kuorum dalam pengambilan putusan, hal demikian dapat diantisipasi dengan cara menguatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Bahkan kekhawatiran tersebut dapat diatasi dengan cara berkoordinasi dan melibatkan Bawaslu secara berjenjang [vide Pasal 89 ayat (3) UU Pemilu].
[3.17] Menimbang bahwa dalam kaitan dengan penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota terkait dengan kewenangan penyelesaian sengketa proses dan penyelesaian masalah hukum pemilu lainnya yang juga telah terjawab dengan kebijakan pembentuk undang-undang yaitu dengan menjadikan Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (4) UU Pemilu. Padahal, dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya, Bawaslu kabupaten/kota tidaklah bersifat tetap. Dengan kebijakan pembentukan undang-undang yang memosisikan Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap, hal ini dapat dinilai sebagai penguatan mendasar atas kelembagaan Bawaslu kabupaten/kota. Oleh karena itu, Bawaslu kabupaten/kota diberikan kewenangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai lembaga yang bersifat tetap sehingga sifat tetap tersebut sebanding dengan penambahan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota dengan jumlah personil yang disesuaikan dengan kriteria yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hal ini, kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu tidak dapat dinilai sebagai beban kerja baru bagi Bawaslu kabupaten/kota melainkan sebagai konsekuensi ditetapkannya Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap.
[3.18] Menimbang bahwa selain berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah apabila dilihat dari sejarah kebijakan penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota, yaitu ketika Bawaslu kabupaten/kota masih menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Pasal 72 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu hanya mengatur jumlah anggota Panwaslu adalah tiga orang. Kebijakan jumlah anggota dimaksud juga didasarkan atas beban kerja sesuai dengan tugas dan wewenang yang ditentukan undang-undang. Artinya, ketika Bawaslu kabupaten/kota dijadikan lembaga yang bersifat tetap, pembentuk undang-undang menyesuaikan komposisi keanggotaannya yaitu tidak lagi berjumlah tiga orang untuk seluruh kabupaten/ kota, melainkan kabupaten/kota tertentu yang memenuhi syarat memiliki anggota sebanyak lima orang. Sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja dimaksud, kebijakan tersebut dapat diterima dan dinilai sebagai kebijakan hukum yang rasional dan proporsional. Sebab, semakin banyak jumlah penduduk dan semakin luas wilayahnya maka tugas pengawasan dan peluang terjadinya masalah hukum pemilu makin banyak, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, bagi kabupaten/kota yang jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah daerah kecamatannya besar menjadi masuk akal jika anggota Bawaslunya berjumlah lima orang. Sebaliknya, bagi kabupaten/kota yang jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah daerah kecamatannya kecil [vide Penjelasan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu], menjadi masuk akal pula jika anggota Bawaslunya berjumlah tiga orang. Dengan demikian, kebijakan terkait kelembagaan dan komposisi anggota Bawaslu di tingkat kabupaten/kota dapat dinilai sebagai bagian dari agenda setting rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing lembaga.
[3.13.2] Bahwa meskipun Pemohon dalam permohonannya mengungkapkan Permohonan yang diajukan Pemohon, in casu adalah mengenai jumlah anggota Panwaslu Kecamatan, namun demikian dalam alasan permohonannya dan Petitum angka (2), Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 yang mengatur mengenai jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 di atas, ternyata pertimbangan tersebut telah dapat menjawab semua dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 yang esensinya sama yakni memohon agar jumlah anggota Bawaslu yang berjumlah 3 (tiga) orang di beberapa kabupaten/kota ditambah 2 (dua) orang sehingga jumlahnya menjadi 5 (lima) orang. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum putusan a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.3] Bahwa selain norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017, Pemohon juga mempermasalahkan ketentuan mengenai jumlah anggota komisioner Panwaslu Kecamatan yang diatur dalam Pasal 92 ayat (2) huruf d UU 7/2017 dengan alasan yang pada pokoknya: jumlah anggota Panwaslu Kecamatan yang hanya 3 (tiga) orang ketika harus mengawasi kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang personilnya sebanyak 5 (lima) orang akan mengakibatkan tugas pokok Panwaslu Kecamatan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, Pemohon menambahkan, Panwaslu yang notabene tugasnya mengawasi pekerjaan PPK yang sangat teknis penuh dengan risiko karena berhubungan langsung dengan masyarakat. Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, substansi pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU XVII/2018 antara lain menyatakan:
… pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Bawaslu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Bawaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Dengan demikian, dalam konteks beban kerja penegakan hukum, bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan secara berlebihan. Sebab, terjadinya masalah-masalah hukum sangat bergantung pada kemampuan KPU termasuk KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan tahapan pemilu secara profesional dan juga faktor kesadaran hukum setiap pemangku kepentingan dalam pemilu. Dalam konteks ini, beban kerja penegakan hukum bukan sesuatu yang selalu dipastikan terjadi dalam setiap tahapan pemilu. Oleh karena itu, penambahan tugas untuk penegakan hukum pemilu tidak dapat dianggap sebagai beban berat yang mengharuskan dilakukan perubahan kebijakan dengan menjadikan jumlah anggota Bawaslu secara sama lima orang untuk semua kabupaten/kota. Namun demikian, kekhawatiran para Pemohon perihal keterbatasan personil dalam penanganan sengketa, terutama berkenaan dengan persyaratan kuorum dalam pengambilan putusan, hal demikian dapat diantisipasi dengan cara menguatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Bahkan kekhawatiran tersebut dapat diatasi dengan cara berkoordinasi dan melibatkan Bawaslu secara berjenjang... [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018, paragraf (3.16)]
Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 di atas, bagaimana pun, pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Panwaslu Kecamatan pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Panwaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Artinya, Panwaslu dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum dapat dikatakan elemen inti karena akan dibantu oleh masyarakat dan peserta Pemilu. Selain itu, jikalau dibandingkan luas wilayah yang menjadi jangkauan pengawasan Panwaslu yang hanya merupakan bagian dari wilayah kabupaten/kota, anggota Panwaslu yang terdiri dari 3 (tiga) orang tentu saja cukup memadai untuk menjalankan tugas tugas pengawasan penyelenggaraan pemilu di kecamatan. Terlebih lagi, bilamana jumlah anggota Panwaslu kecamatan ditambah 2 (dua) orang sehingga jumlahnya menjadi 5 (lima) orang, jumlah tersebut menjadi tidak logis karena dengan tetap dipertahankan dan dinyatakan tetap konstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota dalam norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 adalah tetap 3 (tiga) atau 5 (lima) orang [vide Lampiran II UU 7/2017]. Artinya, seandainya dalil permohonan dikabulkan, quod non, di beberapa kabupaten/kota jumlah anggota Panwaslu kecamatan akan melebihi jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon untuk menyatakan frasa “3 (tiga) orang” dalam Pasal 92 ayat (2) huruf d beserta penjelasan dan lampiran UU 7/2017, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan mengenai inkonstitusionalitas secara bersyarat Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 karena tidak mengatur mengenai syarat domisili calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan dan Desa, dan Calon Anggota Pengawas TPS. Menurut Pemohon, tanpa adanya ketentuan tersebut, norma a quo menjadi kabur atau tidak jelas. Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa oleh karena kinerja penyelenggara pemilu adalah bekerja penuh waktu yaitu 24 (dua puluh empat) jam sesuai dengan sumpah jabatan dan tentu saja penyelenggara harus benar-benar memahami kondisi daerah setempat baik secara geografis maupun sosiologis masyarakat setempat. Terhadap dalil a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 adalah norma yang mengatur mengenai salah satu syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu Provinsi, dan calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, di mana undang-undang mensyaratkan agar calon anggota Bawaslu Provinsi haruslah berdomisili di provinsi tempat Bawaslu Provinsi tersebut akan bertugas dan calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota haruslah berdomisili di kabupaten/kota tempat Bawaslu Kabupaten/Kota tersebut akan bertugas. Ketentuan ini tidak mengatur mengenai syarat domisili calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS. Menurut Mahkamah, tidak diaturnya syarat domisili ini tidak serta merta berpotensi menimbulkan ketidakjelasan norma sebagaimana didalilkan Pemohon. Tanpa adanya syarat ini, maka secara terang benderang telah dapat dipahami bahwa setiap warga negara sepanjang telah memenuhi syarat lainnya yang ditentukan dalam Pasal 117 ayat (1) UU 7/2017 berhak menjadi calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS. Artinya, meskipun tidak diatur berdomisli di kecamatan dan kelurahan/desa, syarat domisili di Kabupaten/Kota sudah cukup mewadahi syarat anggota Panwaslu kecamatan dan kelurahan/desa sepanjang calon tersebut berdomisili di kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah kecamatan dan kelurahan/desa/dusun dimaksud. Dalam penalaran yang wajar, cakupan wilayah administrasi kecamatan, kelurahan/desa dan TPS berada dalam cakupan wilayah kabupaten/kota, sehingga tidak perlu menambah persyaratan sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Terlebih lagi, syarat yang terdapat pada Pasal 117 ayat (1) UU 7/2017 telah cukup mempersempit kriteria warga negara yang dapat menjadi anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa serta TPS. Setiap calon anggota Panwaslu haruslah memenuhi kriteria usia (huruf b), integritas (huruf d), kemampuan dan keahlian (huruf e), pendidikan (huruf f), kemampuan jasmani dan rohani (huruf h), bukan anggota partai politik (huruf i), bukan ASN, pejabat politik atau pejabat BUMN (huruf j), tidak pernah dipidana (huruf l), dan tidak dalam ikatan perkawinan dengan penyelenggara Pemilu (huruf o). Berlakunya serangkaian syarat tersebut telah mempersempit pilihan dalam menentukan calon anggota pengawas kecamatan, kelurahan/desa dan Pengawas TPS yang memiliki kapasitas. Tidak diberlakukannya syarat domisili untuk pengawas di tingkatan ini bertujuan untuk memberikan pilihan yang lebih luas mengenai siapa saja yang dapat menjadi calon pengawas. Apabila syarat domisili sebagaimana didalilkan Pemohon diberlakukan untuk calon anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa dan TPS, maka terdapat potensi proses rekrutmen Panwaslu di tingkatan tersebut tidak dapat terlaksana karena terhambat oleh kondisi sumber daya yang terbatas.
[3.14.2] Bahwa sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan sebelumnya, tugas pengawasan Pemilu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata mata dijalankan Bawaslu, Panwaslu, dan pengawas TPS sebagai elemen inti melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Pelaksanaan tugas pengawasan pun dapat dilakukan secara terkoordinir dan berjenjang sehingga persoalan beban pengawasan, baik geografis maupun sosiologis tidak sepenuhnya menjadi faktor penghambat dalam pengawasan Pemilu. Dengan pertimbangan demikian, maka dalil Pemohon bahwa anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS haruslah orang yang memahami kondisi daerah setempat baik secara geografis maupun sosiologis tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan untuk membatasi syarat domisili calon anggota Panwaslu a quo. Berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 secara bersyarat adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 92 ayat (1) huruf c dan huruf d serta Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 tidak bertentangan dengan asas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menimbulkan perlakuan diskriminatif sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Leonardo Siahaan, S.H. dan Ricky Donny Lamhot Marpaung, S.H. yang selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP

Pasal Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1 Bahwa para Pemohon menerangkan dirinya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (vide Bukti P-1);
2 Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP (UU 1/2023) yang secara redaksional selengkapnya menyatakan:
Pasal 100 ayat (1)
“(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.”

Pasal 237 huruf c
“Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang:

c. menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.”

Pasal 256
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
3 Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu:
Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 28D ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
4 Bahwa menurut para Pemohon hak konstitusional tersebut berpotensi dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 100 ayat (1) KUHP (UU 1/2023) karena ketentuan baru a quo, yaitu pidana mati dengan masa percobaan 10 (sepuluh) 29 tahun akan membuat hukuman mati kehilangan efek jera bagi para calon pelaku pidana.
Sementara ketentuan dalam Pasal 237 huruf c KUHP (UU 1/2023) menurut para Pemohon telah membatasi hak warga negara untuk menggunakan lambang negara, apalagi rumusan demikian sebelumnya telah diatur sebagai norma Pasal 57 huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang norma Pasal 57 huruf d a quo telah dibatalkan oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013.
Adapun Pasal 256 KUHP (UU 1/2023) menurut para Pemohon akan menghambat masyarakat dalam melakukan demonstrasi sebagai sarana penyampaian kekecewaan masyarakat kepada negara.
5. Bahwa setelah mencermati uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dan alat bukti yang diajukan, Mahkamah menilai para Pemohon memang benar Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan Bukti P-1 berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk.
6. Bahwa terkait dengan hak konstitusional para Pemohon, Mahkamah menilai Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan hak konstitusional bagi para Pemohon. Namun adanya landasan hak konstitusional demikian tidak secara langsung membuktikan adanya anggapan kerugian dan/atau potensi kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa berkenaan dengan anggapan kerugian dan/atau potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon, sebagaimana dalam Paragraf [3.4] telah dijelaskan Mahkamah bahwa “kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional” dalam konteks terpenuhinya kedudukan hukum para Pemohon harus memenuhi lima syarat yang antara lain berupa syarat “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian”. Sebab, anggapan kerugian konstitusional yang dirugikan tersebut harus bersifat kausalitas (sebab-akibat), yaitu anggapan kerugian konstitusional tersebut muncul karena disebabkan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Norma undang-undang yang menjadi objek permohonan a quo adalah Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP (UU 1/2023). Adapun KUHP dimaksud adalah KUHP baru sebagai penyebutan lain dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang pembentukannya ditujukan sebagai pengganti dari KUHP “lama” yang saat ini masih berlaku. Selanjutnya, terhadap KUHP baru atau UU 1/2023 telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Namun demikian dalam Pasal 624 BAB XXXVII mengenai Ketentuan Penutup dinyatakan bahwa UU a quo atau KUHP a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan kata lain, KUHP a quo baru akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026.
Berkaitan dengan keberlakuan KUHP (UU 1/2023) dimaksud telah dipertimbangkan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XXI/2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XXI/2023, yang semuanya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023.
Dengan uraian fakta hukum di atas, oleh karena permohonan para Pemohon dalam perkara a quo diajukan pada tanggal 28 Maret 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 April 2023, serta perbaikan permohonannnya diterima pada tanggal 26 April 2023 (vide Paragraf [2.1] Putusan a quo), sehingga pada saat permohonan ini diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, terdapat fakta bahwa UU a quo atau KUHP (UU 1/2023) a quo yang dimohonkan pengujian secara hukum belum berlaku. Dengan demikian, unsur syarat adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang dan unsur adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian belum terpenuhi karena belum berlakunya undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon mengenai anggapan kerugian dan/atau anggapan potensi kerugian yang dialami para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya merupakan dalil yang terlalu dini (prematur).
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun para Pemohon memiliki hak konstitusional terkait isi norma KUHP (UU 1/2023) yang dimohonkan pengujian namun karena norma KUHP tersebut belum berlaku maka para Pemohon tidak memenuhi syarat “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut yang oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian”. Dengan tidak dipenuhinya syarat tersebut maka Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun demikian, seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP (UU 1/2023) merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur.

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum terkait anggapan kerugian dan/atau potensi kerugian atas hak konstitusionalnya, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.

[3.7] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditarik Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

H. Irnensif, S.H., M.H., Dr. Zulhadi Savitri Noor, S.H., M.H, Wilmar Ambarita, S.H., M.Si., I Wayan Dana Aryantha, S.H., Made Putrinigsih, S.H., Mangatur Hutauruk, S.H., M.H.; Zairida, S.H., M.Hum.; Eko Kuntadi, S.H. yang seluruhnya berprofesi sebagai Jaksa Pegawai Negeri Sipil pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultans, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 40A UU 11/2021

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU MK dan UU 11/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Permohonan Provisi
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan provisi para Pemohon yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan
menunda berlakunya Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 tanggal 20 Desember 2022, bertanggal 17 Maret 2023 (selanjutnya disebut SEJA 1/2023) dan
Keputusan Jaksa Agung Nomor 87 Tahun 2023 tentang Pencabutan dan Pembatalan Keputusan Jaksa Agung tentang Pemberian Kenaikan Pangkat Pengabdian, Pemberhentian dan Pemberian Pensiun Pegawai Negeri Sipil yang mencapai Batas Usia Pensiun serta Pemindahan Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia, bertanggal 20 Maret 2023 (selanjutnya disebut KEPJA 87/2023), sampai adanya putusan akhir perkara a quo.
Terhadap permohonan provisi a quo, menurut Mahkamah, dalam konteks pengujian undang-undang hal tersebut bukanlah ranah kewenangan Mahkamah untuk menyatakan membatalkan ataupun menunda keberlakuan suatu keputusan
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang bersifat konkret,
individual, dan final. Kewenangan demikian telah ditentukan berdasarkan peraturan perundangan-undangan tentang kekuasaan kehakiman yaitu menjadi kewenangan lembaga peradilan lain. Terlebih, terhadap permohonan a quo meskipun terdapat ketentuan Pasal 54 UU MK, namun Mahkamah berpendapat tidak memerlukan penyelenggaraan sidang untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak yang dimaksud dalam permohonan a quo. Sehingga, tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon berkenaan dengan berlakunya ketentuan-ketentuan yang dimohonkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan norma Pasal 47 UU MK, serta Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUUXX/2022, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil permohonan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil para Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut para Pemohon, terhadap Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK belum pernah dilakukan pengujian yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang dalam Putusannya mengubah atau memaknai Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK tersebut. Adapun terhadap pengujian Pasal 40A UU 11/2021 pernah diajukan permohonan pengujian dengan Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 yang menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sementara dalam Pengujian perkara a quo, menurut para Pemohon, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945;
2. Bahwa menurut para Pemohon, putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku prospektif tidak bermanfaat untuk memulihkan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual yang telah terjadi atau dialami oleh para Pemohon sebelum perkara diputus oleh Mahkamah Konstitusi, terlebih lagi kerugian konstitusional tersebut sudah terjadi sebelum perkara tersebut diajukan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi.
3. Bahwa menurut para Pemohon, untuk dapat memaksimalkan peran Mahkamah Konstitusi dalam memberikan perlindungan hak konstitusional kepada Warga Negara, maka Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK haruslah dimaknai sifat final dan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku terhadap peristiwa/hubungan hukum yang telah terjadi pada pemohon/warga negara yang mengalami kerugian konstitusional secara aktual sebelum putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, yang dimuat dalam amar Putusan.
4. Bahwa menurut para Pemohon, apabila tidak dimaknai sebagaimana tersebut di atas, maka Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK menjadi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 karena tidak memberikan jaminan perlindungan atas hak konstitusional, menimbulkan perlakuan yang berbeda, tidak adanya jaminan kepastian hukum, serta merampas harkat dan martabat warga negara yang mengalami kerugian secara aktual.
5. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 telah menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap sesama jaksa yang diberhentikan pada usia 62 tahun sebelum UU 11/2021 diundangkan atau diberhentikan pada usia 60 tahun setelah UU 11/2021 diundangkan, walaupun hanya berbeda 1 hari.
6. Bahwa menurut para Pemohon, berdasarkan SEJA 1/2023 dan KEPJA 87/2023 terdapat 25 Jaksa yang surat keputusan pensiunnya dicabut dan dibatalkan karena 25 Jaksa tersebut genap berusia 60 tahun setelah Putusan Sela Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 sehingga 25 Jaksa tersebut mendapat perlindungan atas hak konstitusionalnya yakni tidak jadi diberhentikan dengan hormat pada usia 60 tahun namun tetap pensiun pada usia 62 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004. Artinya, 25 jaksa tersebut telah mendapatkan perlakuan yang sama yakni diberhentikan dengan hormat pada usia 62 tahun, sama dengan jaksa yang berusia 60 tahun sebelum UU 11/2021 diundangkan yakni diberhentikan pada usia 62 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004.
7. Bahwa menurut para Pemohon, ironisnya, terdapat jauh lebih banyak jaksa yakni 116 jaksa yang justru tidak mendapatkan perlindungan hak konstitusionalnya karena telah diberhentikan dengan hormat pada usia 60 tahun setelah UU 11/2021 diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021 hingga tanggal 10 Oktober 2022 sebelum Putusan Sela Nomor 70-PS/PUUXX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022.
8. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 yang menjadi dasar terbitnya SEJA 1/2023 dan KEPJA 87/2023 menyebabkan terjadinya diskriminasi atau perlakuan berbeda antara 25 jaksa yang mendapatkan jaminan masa pensiun pada usia 62 tahun dengan 116 Jaksa yang tetap diberhentikan dengan hormat pada usia 60 tahun.
9. Bahwa menurut para Pemohon oleh karena pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 tidak dibarengi dengan rumusan pemaknaan dalam amar putusannya yang secara tegas memberlakukan ketentuan Pasal 12 huruf c dalam UU 16/2004 terhitung sejak UU 11/2021 diundangkan yakni 31 Desember 2021 hingga 5 tahun ke depan sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan hukumnya, maka mengakibatkan tidak terlindunginya hak-hak konstitusional 116 Jaksa yang memasuki usia pensiun 60 tahun per tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 10 Oktober 2022.
10. Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan norma Pasal 47 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat sejak diucapkan, kecuali Mahkamah dalam amar putusan menentukan lain”; serta Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diberlakukan 5 (lima) tahun sejak UU 11/2021 diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021”.

[3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-47, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara.

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas dan sebagaimana telah dipertimbangkan juga dalam menjawab permohonan provisi para Pemohon pada Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan norma Pasal 47 UU MK, serta Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali.

Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Berkenaan dengan hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan para Pemohon, terhadap pengujian Pasal 40A UU 11/2021 pernah diajukan permohonan pengujian dengan Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022. Pada Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022 telah diputus oleh Mahkamah yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2022 dengan amar putusannya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena permohonan para Pemohon adalah kabur. Adapun dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, dalam permohonan a quo, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, terdapat dasar pengujian dalam permohonan a quo yang tidak menjadi dasar dalam pengujian perkara Nomor 70/PUU-XX/2022, yaitu Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalildalil permohonan para Pemohon, terdapat pasal yang diujikan sama yakni Pasal40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, namun permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang berbeda, selain itu juga para Pemohon mengajukan permohonan pengujian pasal lain yaitu Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK dan norma Pasal 47 UU MK. Terlebih lagi, terhadap permohonan pengujian Pasal 40A UU 11/2021 sebelumnya yaitu dalam Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil (permohonan para Pemohon kabur). Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak, secara formal permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021.

[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo dapat diajukan kembali, maka setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan para Pemohon, dan mempertimbangkan argumentasi para Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dan norma Pasal 47 UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 karena menimbulkan perlakuan yang berbeda, tidak memberikan jaminan perlindungan, tidak adanya jaminan kepastian hukum, serta dapat merampas harkat dan martabat warga negara yang mengalami kerugian secara aktual. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah Konstitusi khususnya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi didesain oleh konstitusi sebagai lembaga peradilan independen yang secara struktur kelembagaan tidak ada badan peradilan lainnya baik di bawah maupun di atasnya. Pengertian putusan tingkat pertama dan terakhir pada Mahkamah Konstitusi adalah dimaksudkan sebagai putusan pengadilan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan tidak mengenal adanya stelsel peradilan secara berjenjang seperti banding dan kasasi di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah tidak mengenal mekanisme upaya hukum lain terhadap putusannya, sehingga menjadikan putusannya bersifat final dan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Bahwa secara doktriner telah menjadi pengetahuan umum suatu putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) adalah memperole kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapa ditempuh. Hal tersebut secara hukum dipertegas pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pelaksanaan amanat konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 47 UU MK menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Selain itu, Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”. Pasal 47 UU MK dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK tersebut merupakan dasar hukum bagi Mahkamah dalam memutus perkara yang menjadi kewenangannya. Dalam pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang, adanya Pasal 47 UU MK dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK justru memberikan kepastian hukum bagi masyarakat terhadap keberlakuan suatu norma undang-undang. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 47 UU MK memberikan penegasan bahwa putusan Mahkamah pada prinsipnya bersifat prospektif yang berlaku ke depan sejak selesai diucapkan. Oleh karenanya, ketentuan suatu pasal dalam undang-undang yang berlaku sejak dimuat dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia akan tetap berlaku sebagaimana mestinya sepanjang tidak diubah oleh undang-undang terbaru atau sepanjang tidak ada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan atau menunda keberlakuan penjelasan atau norma pasal undang-undang tersebut. Dengan demikian, dalil para Pemohon perihal Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK dan norma Pasal 47 UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan mengenai Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, telah menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap sesama jaksa yang diberhentikan pada usia 62 tahun sebelum UU 11/2021 diundangkan dan yang diberhentikan pada usia 60 tahun setelah UU 11/202 diundangkan. Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 40A UU 11/2021 dimaknai kembali menjadi “diberlakukan 5 (lima) tahun sejak UU 11/2021 diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021”. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, pada pokoknya Mahkamah telah mempertimbangkan dan memutus perihal konstitusionalitas norma Pasal 40A UU 11/2021 a quo dalam Putusan Sela Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 yang amar putusannya masing-masing sebagai berikut.
Bahwa dalam amar Putusan Sela Nomor 70-PS/PUU-XX/2022, Mahkamah menyatakan:

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir:
1. Mengabulkan permohonan provisi para Pemohon;
2. Menyatakan menunda berlakunya Pasal 40A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) berlaku sejak putusan ini diucapkan.

Bahwa dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 Mahkamah menyatakan:
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Dalam Provisi
Menyatakan sah Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 70-PS/PUUXX/2022 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 11 Oktober 2022.

Dalam Pokok Permohonan
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 40A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan batas usia pensiun jaksa yang diatur dalam ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 diberlakukan 5 tahun (lima) tahun sejak putusan Mahkamah a quo diucapkan”;
3. Menyatakan tetap berlaku ketentuan batas usia pensiun dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) selama 5 (lima) tahun ke depan;
4. 4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
5. Menolak permohonan para Pemohon selain dan selebihnya.

Berkenaan dengan Putusan-Putusan dimaksud, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali hal-hal sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, Mahkamah pada pokoknya telah mempertimbangkan perihal diperlukannya waktu yang cukup agar pelaksanaan aturan peralihan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 40A UU 11/2021 dapat dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain, pelaksanaan ketentuan peralihan Pasal 40A UU 11/2021 tidak boleh diberlakukan seketika, karena tidak memberikan perlindungan hukum terhadap jaksa yang terdampak karena harus pensiun secara tiba-tiba. Mahkamah menilai adalah adil apabila pemberlakuan ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 baru diberlakukan 5 (lima) tahun sejak UU 11/2021 diundangkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 pada pokoknya menegaskan kembali amar Putusan Sela Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 yang telah menyatakan menunda berlakunya Pasal 40A UU 11/2021. Dengan adanya penundaan tersebut maka Pasal 12 huruf c UU 16/2004 masih tetap berlaku sebagaimana sebelum adanya ketentuan peralihan dalam Pasal 40A UU 11/2021. Dalam kaitan ini, UU 11/2021 diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021 yang artinya mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2021. Dengan demikian, pemberhentian jaksa yang sejak tanggal 31 Desember 2021 berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih adalah tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam UU 16/2004. Dengan pendirian Mahkamah demikian, maka sejak tanggal 31 Desember 2021 bagi jaksa yang telah berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih dengan sendirinya akan pensiun secara bervariasi sesuai dengan capaian usianya masing-masing dengan maksimal usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun berdasarkan Pasal 12 huruf c UU 16/2004. Hal tersebut berlaku hingga 5 (lima) tahun ke depan sejak UU 11/2021 diundangkan. Dengan demikian amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 pada angka 2 bahwa “Ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan batas usia pensiun jaksa yang diatur dalam ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 diberlakukan 5 tahun (lima) tahun sejak putusan Mahkamah a quo diucapkan” adalah untuk memberikan penegasan secara declaratoir bahwa Pasal 40A juncto Pasal 12 huruf c UU 11/2021 ditunda pemberlakuannya agar UU 11/2021 berlaku secara berkesinambungan sejak diundangkan.
Bahwa dalam kaitan ini, tidak ada alasan pula bagi Mahkamah untuk memberlakukan putusan dalam perkara a quo secara surut (retroaktif) sebagaimana dalil para Pemohon, karena dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUUXX/2022 yang telah memaknai Pasal 40A UU 11/2021 tidak ada lagi ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Pasal 40A UU 11/2021 tersebut.

[3.14.2] Bahwa adapun berkaitan dengan pemaknaan Pasal 40A UU 11/2021 yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 yang dimohonkan para Pemohon untuk dimaknai kembali menjadi “diberlakukan 5 (lima) tahun sejak UU 11/2021 diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021”, menurut Mahkamah, menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan kembali, karena dengan mendasarkan pada uraian pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.14.1] di atas maka dengan sendirinya pemberhentian jaksa yang sejak tanggal 31 Desember 2021 berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih adalah tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam UU 16/2004 yaitu tetap akan pensiun secara bervariasi sesuai dengan capaian usianya masing-masing dengan maksimal usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun berdasarkan Pasal 12 huruf c UU 16/2004 hingga 5 (lima) tahun sejak UU 11/2021 diundangkan sebagaimana ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon bahwa Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap sesama jaksa bukan lagi merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan implementasi putusan Mahkamah. Oleh karena itu, dalil para Pemohon perihal Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, yang menurut para Pemohon menjadi dasar terbitnya SEJA 1/2023 dan KEPJA 87/2023 yang telah menimbulkan kerugian bagi para Pemohon, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan konkret dan penerapan putusan Mahkamah sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilai legalitasnya. Meskipun demikian, Mahkamah perlu mengingatkan kembali bahwa implementasi dari suatu pasal dalam undang-undang, terlebih yang telah dimaknai oleh Mahkamah, haruslah dilaksanakan sesuai dengan muatan ketentuan dalam pasal tersebut atau pemaknaan Mahkamah. Dalam suatu hierarki norma, tidak seharusnya peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah menganulir ataupun mengesampingkan peraturan perundangundangan yang ada di atasnya termasuk norma undang-undang yang telah dimaknai dalam suatu putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, penerapan Pasal 40A UU 11/2021 haruslah berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 dan putusan a quo.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, norma Pasal 47 UU MK, dan Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana keberlakuannya telah ditunda dalam Putusan Sela Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 serta telah dikuatkan dan dinyatakan sah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, telah ternyata tidak bersifat diskriminatif, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak menghilangkan jaminan perlindungan, serta tidak merampas harkat dan martabat warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Heriyansyah, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Hendrawarman, S.H., M. Si., dkk, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 23/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 38.38/PUU/TAP.MK/Panel/04/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023, bertanggal 11 April 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 38.38/PUU/TAP.MK/HS/4/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023, bertanggal 11 April 2023;
b Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 3 Mei 2023 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang- Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, termasuk melengkapi nama Kuasa Hukum dalam permohonan Pemohon karena Surat Kuasa Pemohon bertanggal 23 April 2023, yang diterima Mahkamah pada tanggal 3 Mei 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023, tanggal 3 Mei 2023].
c Bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon pada tanggal 17 Mei 2023. Dalam persidangan dimaksud Pemohon menyatakan menarik kembali Permohonan Nomor 38/PUU-XXI/2023 dengan alasan permohonan a quo bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Selanjutnya, setelah penyelenggaran sidang dimaksud, pada hari yang sama, Mahkamah menerima Surat Nomor 018/BANA/V/2023 perihal Permohonan Penarikan Kembali Pengujian Undang-Undang (PUU) bertanggal 16 Mei 2023.
d Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 22 Mei 2023 telah mengabulkan dan menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.
e Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 111/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Gunawan A. Tauda, S.H., LL. M dan Abdul Kadir Bubu, S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Guru dan Dosen dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa untuk melaksanakan amanat UUD 1945 khususnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan merupakan upaya paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan dimaksud, Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya ditujukan dalam rangka mengukuhkan sistem pendidikan nasional, namun lebih jauh dari itu, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian dari misi berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pembangunan pendidikan dilaksanakan sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, sistem pendidikan nasional juga diselenggarakan dengan tujuan untuk memastikan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab [vide Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional], sehingga dibutuhkan profesionalisme guru dan dosen dan kompetensi yang mumpuni. Dengan demikian, khusus berkenaan dengan dosen, profesionalisme dosen merupakan syarat yang harus dipenuhi (conditio sine qua non) bagi dosen sebagai tenaga pendidik yang menjalankan tugas profesionalnya dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi;
Keberadaan dosen sebagai tenaga pendidik merupakan salah satu jaminan kualitas dan akuntabilitas pendidikan yang diharapkan mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Peran penting tersebut membutuhkan pemberdayaan dan peningkatan mutu dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional [vide Pasal 45 UU 14/2005].
Dalam kaitan dengan tantangan dan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global yang semakin kompleks dibutuhkan pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Seluruh aktivitas akademik di kampus bertanggung jawab untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam hal ini, Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi “bintang pemandu” (Leitstern) tidak hanya bagi civitas academica perguruan tinggi, tetapi juga menjadi pendorong peran serta bagi seluruh stakeholders perguruan tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi harus dilaksanakan oleh dosen yang profesional. Seorang dosen yang profesional akan dapat melaksanakan tugas akademiknya dengan baik sehingga dapat memberikan dampak positif dan kontribusi yang konstruktif bagi kemajuan peserta didik, perkembangan perguruan tinggi, dan kemaslahatan masyarakat.
Dosen sebagai pendidik profesional, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan berkewajiban: (a) melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; (b) merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (c) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (d) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (e) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (f) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa [vide Pasal 60 UU 14/2005];
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan tugas keprofesionalan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2022 telah pula mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.13.1] Bahwa keberadaan UU 14/2005 tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU 12/2012). Hal demikian sejalan dengan keberadaan dosen dalam mengemban fungsi, peran, dan kedudukan strategis dalam pembangunan nasional, khususnya bidang pendidikan. Peran strategis tersebut sejatinya merupakan bagian dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, terutama tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional, memiliki peran yang sangat signifikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memerhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan sesuai dengan nilai-nilai luhur dalam Pancasila. Selain itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dan tantangan global yang makin mengutamakan basis ilmu pengetahuan maka pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategisnya dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia [vide Penjelasan Umum UU 12/2012).
[3.13.2] Bahwa dalam menghadapi tantangan dimaksud, dituntut kehadiran dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan yang memiliki tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Pengakuan dosen sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Oleh karena itu, dosen diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan oleh satuan pendidikan tinggi tempat dosen bertugas serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional [vide Pasal 45 UU 14/2005].
[3.13] Menimbang bahwa setelah memperhatikan secara saksama hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” dalam norma Pasal 51 ayat (1) UU 14/2005 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pemaknaannya mencakup dosen yang diberi tugas belajar”. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa keberadaan dosen dalam sistem pendidikan nasional memegang peranan yang sangat penting dan menjadi katalisator bagi bekerjanya institusi perguruan tinggi serta segala aspek yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang menjadi produk perguruan tinggi. Dalam kaitan ini, dosen seharusnya didorong untuk meningkatkan dan memajukan kompetensi serta profesionalitasnya. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat [vide Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi]. Sehubungan dengan hal tersebut, dosen tidak saja wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, namun juga dituntut untuk memiliki kemampuan personal untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik dosen dimaksud diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahliannya [vide Pasal 46 ayat (1) UU 14/2005];
[3.13.2] Bahwa dengan demikian, dalam kaitan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena frasa dimaksud tidak jelas, tidak pasti, dan tidak tertentu pemaknaannya, dan tidak mencerminkan kepastian hukum yang adil, serta potensial menyebabkan ketiadaan perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap para Pemohon dan dosen-dosen yang sedang atau akan menempuh studi lanjut, in casu studi doktoral, baik di perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri, sehingga dapat menyebabkan perbedaan penafsiran (multi-tafsir) tentang makna tugas keprofesionalan dosen oleh pemangku kebijakan. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami para Pemohon dan menilai legalitas Surat Kepala Biro Kepegawaian Departemen Pendidikan Nasional Nomor 23327/A4.5/KP/2009, terhadap seorang dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik dan telah memperoleh tunjangan profesi dosen, kemudian melanjutkan pendidikan dengan status tugas belajar, maka selama melaksanakan tugas belajar tersebut, tunjangan profesi dosen dihentikan pembayarannya untuk sementara sebagaimana halnya dengan tunjangan jabatan fungsional. Terlebih lagi, para Pemohon dalam menguraikan argumentasi konstitusionalitas norma Pasal 51 ayat (1) UU 14/2005, hanya memahami norma dimaksud secara parsial atau tidak membacanya secara utuh/komprehensif dalam kaitan dengan norma lainnya dalam UU a quo. Untuk memahami norma Pasal 51 ayat (1) UU a quo tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan norma Pasal 52 UU a quo. Dalam Pasal 52 ayat (1) UU a quo, yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU a quo meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Meskipun Pasal 52 ayat (1) UU 14/2005 ditujukan dalam kaitan dengan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU a quo, yaitu terkait dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, namun permohonan para Pemohon yang mempersoalkan frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” tidak dapat dilepaskan dari isu tentang penghasilan bagi dosen yang melaksanakan tugas belajar. Sehingga, pemaknaan Pasal 51 ayat (1) UU a quo berkaitan dengan persoalan penghasilan bagi dosen yang melaksanakan tugas belajar sebagaimana dimaksud dalam UU a quo yang secara normatif telah mengakomodir berbagai jenis penghasilan baik bagi dosen yang tidak tugas belajar maupun bagi dosen yang melaksanakan tugas profesional dalam rangka tugas belajar;
Apabila yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah tidak dilanjutkannya pembayaran tunjangan profesi dosen yang sedang melaksanakan tugas belajar, UU a quo telah mengatur mengenai hak dosen dalam menjalankan tugas keprofesionalannya yaitu berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Di mana, ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen tersebut diatur melalui peraturan teknis di bawahnya. Lebih lanjut, dalam perumusan norma Pasal 51 ayat (1) UU a quo sama sekali tidak diatur mengenai penghentian tunjangan profesi dosen, justru secara normatif pasal a quo memberikan dasar hukum untuk menjamin para dosen tetap memperoleh hak keuangannya yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya telah memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Lebih-lebih lagi, ternyata tunjangan fungsional dosen tetap dibayarkan sehingga pemenuhan hak keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU a quo tetap terjamin serta diperlakukan sama dan berkeadilan. Terkait hal ini, baik pembayaran tunjangan profesi dosen selama 6 (enam) bulan dan tunjangan fungsional dosen bagi dosen tugas belajar, tetap dibayarkan. Bahkan bagi dosen tugas belajar, mendapatkan tunjangan tugas belajar baik berupa beasiswa dari kementerian/lembaga pemberi beasiswa ataupun beasiswa dari perguruan tinggi masing-masing, yang dalam peraturan perundang-undangan disebut tunjangan tugas belajar dan/atau biaya tugas belajar;
Secara konkret, tunjangan profesi yang dihentikan yang dialami oleh para Pemohon, tidak serta merta dihentikan. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Pasal 30 huruf d Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 466, (Permenpan 17/2013), tunjangan profesi bagi dosen tugas belajar baru dihentikan setelah dosen yang bersangkutan menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan secara terus menerus. Dengan demikian, terhitung mulai bulan ketujuh tunjangan profesi dihentikan. Tunjangan profesi dihentikan bukan karena tugas belajar semata tetapi juga karena sebab lain seperti diberhentikan sementara dari PNS, ditugaskan secara penuh di luar jabatan akademik dosen, menjalani cuti di luar tanggungan negara [vide Pasal 30 Permenpan 17/2013]. Lebih lanjut, sebagaimana perintah UU 14/2005, pengaturan mengenai hak dosen khususnya terkait dengan hak keuangan dosen dalam melaksanakan tugas belajar diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan teknis di bawah UU a quo. Selanjutnya, bagi dosen yang telah menyelesaikan pendidikan dimaksud, tunjangan profesi dosen yang sebelumnya hanya diberikan selama 6 (enam) bulan akan dibayar setelah diaktifkan kembali ke dalam jabatan akademik dosen [vide Pasal 31 ayat (4) Permenpan 17/2013]. Dengan demikian, dosen yang telah menyelesaikan tugas belajar dan aktif kembali menjalankan profesi akademisnya, dibayarkan kembali tunjangan profesi dosen (sertifikasi dosen);
Berkenaan dengan persoalan pada tataran implementasi norma yang dimohonkan pengujian, di mana terdapat perbedaan perlakuan antar perguruan tinggi, baik di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian/lembaga lain yang memberikan atau memfasilitasi pendidikan lanjutan berupa tugas belajar, menurut Mahkamah, seharusnya dilakukan secara terkoordinasi dan sinkronisasi kebijakan, sehingga merata dan diperlakukan sama di seluruh kementerian/lembaga terkait, dengan mengedepankan kelancaran dan efektifitas tugas belajar dan kesejahteraan dosen tugas belajar sehingga dosen yang bersangkutan dapat menyelesaikan pendidikan lanjutan tepat waktu dengan hasil yang optimal. Di samping itu, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dengan memanfaatkan platform atau sistem informasi terintegrasi yang dikelola dengan baik dan benar-benar berfungsi sesuai peruntukannya. Sistem informasi tersebut tidak hanya selesai dibuat tetapi juga dijaga, diawasi, dan dijamin mutunya sehingga menjadi instrumen dalam mendorong perlakuan yang sama dalam upaya meningkatkan profesionalisme dosen. Selain itu, untuk mengoptimalkan kemampuan tenaga akademik dalam melaksanakan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, dosen tidak seharusnya dibebani tugas administrasi yang berlebihan, sehingga dosen lebih fokus dalam mengembangkan kemampuan akademiknya dengan optimal dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, Mahkamah menyatakan, dalil para Pemohon merupakan persoalan implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 51 ayat (1) UU 14/2005 telah ternyata tidak bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak menimbulkan diskriminasi hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Dr. Hasrul Buarmona, S.H., M.H., Siti Badriyah, S.H, dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H. dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., M.H., Advokat yang tergabung dalam kantor Hukum VST and Partners, Advocates and Legal Consultants, selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pembentukan Perppu 2/2022

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil Perppu 2/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Permohonan Provisi
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan provisi para Pemohon yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk memberikan putusan sela dengan menyatakan menunda pemberlakuan Perppu 2/2022 sampai adanya putusan akhir agar selama Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, Perppu 2/2022 tidak dapat ditetapkan menjadi undang-undang oleh DPR, sehingga proses pengujian formil Perppu 2/2022 oleh para Pemohon tidak menjadi kehilangan objek. Terhadap permohonan provisi a quo, menurut Mahkamah, kewajiban DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang telah ditetapkan oleh Presiden merupakan kewajiban konstitusional DPR yang diberikan oleh UUD 1945 sebagaimana telah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan provisi untuk menunda pemberlakuan Perppu 2/2022, sama artinya dengan Mahkamah menghilangkan kewajiban konstitusional DPR yang justru akan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pokok permohonan
[3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, tambahan keterangan DPR, keterangan Presiden, tambahan keterangan Presiden, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, namun sebelum mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa terkait dengan permohonan a quo, DPR dalam Rapat Paripurna pada tanggal 21 Maret 2023 telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, Presiden pada tanggal 31 Maret 2023 telah mengesahkan dan mengundangkan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856).
[3.17.2] Bahwa berkenaan dengan fakta tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 6 April 2023 untuk menanyakan sikap para Pemohon terkait dengan hal sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.17.1]. Dalam hal ini, para Pemohon menyerahkan keputusan kepada Mahkamah. Atas dasar fakta tersebut, Mahkamah pada hari itu juga langsung mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim dan berpendapat bahwa sebagai salah satu bentuk hukum, Perppu 2/2022 telah berubah menjadi undang-undang, sehingga perppu yang menjadi objek permohonan para Pemohon telah berubah menjadi UU 6/2023. Dengan demikian, permohonan para Pemohon telah kehilangan objek.
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditarik Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban selaku Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI, dan Dedi Hardianto selaku Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional KSBSI dalam hal ini memberikan kuasa kepada Harris Manalu, S.H., dkk., advokat yang berkantor Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH KSBSI), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Perppu 2/2022 dianggap Pemohon tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan undang-undang sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil Perppu 2/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam hal ini diwakili oleh Elly Rosita Silaban selaku Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI, dan Dedi Hardianto selaku Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional KSBSI yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 Januari 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 3/PUU/PAN.MK/AP3/01/2023, bertanggal 10 Januari 2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 11 Januari 2023 dengan Nomor 6/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 6/PUU-XXI/2023 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 6.6/ PUU/TAP.MK/Panel/01/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023, bertanggal 13 Januari 2023;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 6.6/PUU/TAP.MK/HS/1/2023 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023, bertanggal 11 Januari 2023;
c. Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan sebagai berikut: 1) pada tanggal 19 Januari 2023, 2) pada tanggal 2 Februari 2023, 3) pada tanggal 20 Februari 2023, 4) pada tanggal 9 Maret 2023, 5) pada tanggal 27 Maret 2023 dan 6) pada tanggal 6 April 2023.
d. bahwa Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, tanggal 3 April 2023, telah menerima surat bertanggal 3 April 2023 dari Pemohon yang pada pokoknya Pemohon menarik/mencabut kembali permohonan pengujian formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena objek permohonan Pemohon yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disahkan dan diundangkan menjadi undang-undang, selanjutnya perihal penarikan permohonan tersebut telah dikonfirmasi Mahkamah kepada Pemohon secara lisan di dalam persidangan tanggal 6 April 2023;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 6 April 2023 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f diatas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, yang diwakili oleh Baso Rukman Abdul Jihad (Ketua Umum) dan Lilis Mahmudah (Sekretaris Umum), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang diwakili oleh Wiwit Widuri, S.H., M.H. (Ketua Umum) dan Gatot Subroto (Sekretaris Umum), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang diwakili oleh Dedi Sudarajat (Ketua Umum) dan Moch. Edi Priyanto (Sekretaris Umum),Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin- Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang diwakili oleh Arif Minardi (Ketua Umum) dan Ir Idrus (Sekretaris Umum), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang diwakili oleh Moh. Jumhur Hidayat (Ketua Umum) dan Muhammad Asrul Ramadhan Ramadhan, S.H., M.M, Federasi Serikat Pekerja Pekerja Listrik Tanah Air (PELITA) Mandiri Kalimantan Barat, yang diwakili oleh M. Bustanul Ulum (Ketua Umum) dan Firlandie, A.Md (Sekretaris Jenderal), Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan, yang diwakili oleh Achmad Mundji (Ketua Umum) dan Saadi (Sekretaris Umum), Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia, yang diwakili oleh Stefanus Willa Faradian Purwoko (Presiden) dan M. Taat Badarudin (Sekretaris Jenderal), Gabungan Serikat Buruh Indonesia, yang diwakili oleh Rudi Hartono B Daman (Ketua Umum) dan Emelia Yanti Mala Dewi Siahaan (Sekretaris Jenderal), Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia, yang diwakili oleh Wahidin (Presiden) dan Ajat Sudrajat (Sekretaris Jenderal), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang diwakili oleh Moh. Jumhur Hidayat (Ketua Umum) dan Arif Minardi (Sekretaris Jenderal), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, yang diwakili oleh Wahidin (Presiden) dan Zulkhair (Sekretaris Jenderal), Serikat Buruh Sejahtera Independen'92, yang diwakili oleh Sunarti (Ketua) dan Asep Djamaludin (Sekretaris), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dkk, kesemuanya para Advokat dan Konsultan Hukum pada Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil Perppu Cipta Kerja

Pasal 22 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1) Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil Perppu Cipta Kerja dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan pokok permohonan, para Pemohon pada dasarnya mendalilkan bahwa proses pembentukan Perppu 2/2022 tidak memenuhi ketentuan hal ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 (cacat formil/cacat prosedur) karena terdapat pelanggaran pelanggaran yang dilakukan secara terang benderang dan secara nyata diketahui oleh publik. Selain itu, terdapat cacat yang nyata dalam proses pembentukan Perppu 2/2022 bahkan selain cacat formil juga bermasalah secara materiil;
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan, Mahkamah perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pada tanggal 14 Februari 2023, Mahkamah telah melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk mendengarkan penjelasan mengenai materi permohonan para Pemohon dan dalam persidangan tersebut, Mahkamah telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan nasihat atas permohonan yang diajukan oleh para Pemohon. Kemudian pada tanggal 27 Februari 2023, Mahkamah telah melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda mendengarkan penjelasan perbaikan permohonan para Pemohon. Selanjutnya Mahkamah melaksanakan sidang pleno dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden pada tanggal 28 Maret 2023, namun oleh karena pihak Presiden dan/atau yang mewakili menyatakan belum siap memberikan keterangannya dalam persidangan maka Presiden dan/atau yang mewakili memohon kepada Mahkamah untuk menunda sidang pleno tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 14/PUU-XXI/2023 pada tanggal 28 Maret 2023]. Kemudian atas permohonan penundaan sidang tersebut, Mahkamah menjadwalkan sidang pleno dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden menjadi tanggal 11 April 2023, yang selanjutnya dengan konfirmasi para pihak, pelaksanaan persidangan pleno tersebut dimajukan menjadi tanggal 6 April 2023.
[3.12.2] Bahwa DPR dalam Rapat Paripurna pada tanggal 21 Maret 2023 telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, Presiden pada tanggal 31 Maret 2023 telah mengesahkan dan mengundangkan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856, selanjutnya disebut UU 6/2023) [vide Bukti PK-1].
[3.12.3] Bahwa berkenaan dengan fakta tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 6 April 2023 untuk menanyakan sikap para Pemohon terkait dengan hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12.2]. Dalam Pemeriksaan Persidangan perkara a quo tersebut, kuasa hukum para 85 Pemohon memohon untuk tetap melanjutkan pemeriksaan perkara a quo meskipun Perppu 2/2022 yang dimohonkan pengujian disahkan oleh Presiden menjadi UU 6/2023, dengan alasan pada pokoknya menurut Pemohon, substansi permohonan masih ada dan tetap menjadi persoalan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 14/PUU-XXI/2023, tanggal 6 April 2023]. Atas dasar fakta tersebut, Mahkamah pada hari itu juga langsung mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim dan berpendapat bahwa sebagai salah satu bentuk hukum Perppu 2/2022 telah berubah menjadi undang-undang sehingga Perppu 2/2022 yang menjadi objek permohonan para Pemohon sudah tidak ada lagi karena telah berubah menjadi UU 6/2023. Dengan demikian, permohonan para Pemohon telah kehilangan objek. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka menurut Mahkamah Permohonan para Pemohon sudah tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya.
[3.13] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Rega Felix untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014 dan Pasal 48 angka 19 dan Pasal 48 angka 20 Perppu 2/2022

Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 33/2014 dan Perppu 2/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 48 angka 19 Perppu 2/2022 yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) UU 33/2014 serta norma Pasal 48 angka 20 Perppu 2/2022 yang memuat penambahan norma Pasal 33A ayat (1) UU 33/2014, telah ternyata Perppu 2/2022 telah disetujui dan ditetapkan menjadi undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara RI Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6856 (UU 6/2023).

[3.12] Menimbang bahwa dengan adanya perubahan status hukum Perppu 2/2022 telah disetujui dan disahkan menjadi UU 6/2023, secara normatif, objek yang dimohonkan, in casu norma Pasal 48 angka 19 dan Pasal 48 angka 20 Perppu 2/2022 telah kehilangan bentuk hukumnya sebagai produk hukum yang dapat dinilai konstitusionalitasnya oleh Mahkamah. Oleh karena itu, terhadap permohonan yang berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 48 angka 19 Perppu 2/2022 dan Pasal 48 angka 20 Perppu 2/2022 harus dinyatakan telah kehilangan objek.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan norma Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014 yang menyatakan, “Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan”, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari norma Pasal 33 ayat (2) UU 33/2014 yang telah diubah dalam Perppu 2/2022 dan kemudian ditetapkan menjadi UU 6/2023, sehingga keberadaan Pasal 33 ayat (2) merupakan suatu syarat mutlak (conditio sine qua non) diberlakukannya ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014. Namun demikian, oleh karena norma Pasal 33 ayat (2) telah diubah dengan Perppu 2/2022 dan dalam perkembangannya Perppu a quo telah disetujui dan disahkan menjadi UU 6/2023 yang menyebabkan pengujian terhadap Perppu dimaksud telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak dapat menilai secara komprehensif perihal konstitusionalitas norma Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014. Dalam batas penalaran yang wajar, hal demikian terjadi yaitu pada satu sisi penilaian terhadap konstitusionalitas norma Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014 hanya mungkin dilakukan secara komprehensif dinilai bersama-sama dengan norma Pasal 33 ayat (2) Perppu 2/2022 karena kedua norma tersebut saling berkaitan. Sementara di sisi lain, Perppu 2/2022 telah kehilangan objek. Dengan demikian, karena Perppu 2/2022 telah kehilangan objek, menurut Mahkamah dalil Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas norma Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014 menjadi kabur atau setidak-tidaknya prematur.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena norma Pasal 48 angka 19 Perppu 2/2022 dan Pasal 48 angka 20 Perppu 2/2022 telah kehilangan objek dan penilaian terhadap norma Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014 menjadi kabur atau setidak-tidaknya prematur, Mahkamah belum dapat menilai pertentangan norma-norma yang diuji konstitusionalitasnya dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 29 ayat (1) serta ayat (2) UUD 1945.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Nandang Rakhmat Gumilar, S.H., Bayu Alhafizh Nurhuda, S.AP., Achmad Rizki Zulfikar, S.Pd., Muhammad Alfian, S.E., Sofyan Hadimawan, S.E., yang dalmam hal ini memberikan kuasa kepada Muhammad Iqbal Sumarlan Putra, S.H., M.H., dkk, advokat yang berdomisili pada Kantor Hukum “IQBAL SUMARLAN PUTRA LAW OFFICE” untuk selanjutnya baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa berkaitan dengan norma yang dipersoalkan para Pemohon pada pokoknya adalah mengenai inkonstitusionalitas norma yang mengatur batas usia minimal konsiliator perselisihan hubungan industrial dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 secara bersyarat sebagaimana yang termaktub dalam Petitum Permohonan para Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa dalam mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004, para Pemohon mengaitkannya dengan adanya disparitas pengaturan syarat usia untuk menjadi konsiliator dengan mediator, sehingga menurut para Pemohon hal tersebut melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Terhadap persoalan ini, menurut Mahkamah adanya pelanggaran terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan terjadi manakala warga negara tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak sama serta tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Dalam rangka melaksanakan ketentuan konstitusi yang menjamin tetap diberikannya kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan. Dalam kaitan ini ketentuan peraturan perundang-undangan, in casu UU 2/2004 telah menetapkan sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar seseorang berhak dan dapat diberikan kepercayaan untuk menjabat dalam posisi atau jabatan tertentu. Sepanjang syarat-syarat tersebut diberlakukan sama terhadap seluruh warga negara dalam suatu posisi atau jabatan tertentu maka tidak terjadi pelanggaran terhadap prinsip konstitusi dimaksud. Dalam hal ini, adanya pengaturan yang berbeda mengenai syarat antara konsiliator dan mediator sebagaimana diungkapkan para Pemohon tidak serta merta dapat dikatakan sebagai perbedaan dalam persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Pemahaman yang serupa juga berlaku dalam memahami dan menerapkan apa yang dimaksud dengan perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Suatu aturan dapat dikatakan menerapkan perlakuan diskriminatif apabila terdapat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik. Dengan didasarkan pada pertimbangan tersebut pula, maka adanya pembedaan pengaturan syarat antara konsiliator dan mediator di mana untuk mediator tidak dinyatakan batasan usia minimalnya bukanlah aturan yang menimbulkan pelanggaran atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Terlebih lagi, keduanya memiliki tugas yang berbeda dari sumber daya yang berbeda sehingga tidak mungkin menyamakan sesuatu yang memang berbeda.
Dalam kaitan ini, pembentuk undang-undang berhak menentukan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara berhak menduduki suatu posisi atau jabatan tertentu sepanjang syarat-syarat tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Penentuan syarat batas usia minimal konsiliator sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat apa saja yang menurut penalaran yang wajar perlu diterapkan agar seseorang dapat diangkat sebagai konsiliator. Hal yang sama berlaku pula terhadap penentuan syarat untuk memperoleh jabatan lain sebagaimana ditentukan dalam UU 2/2004 a quo, di antaranya syarat untuk menjadi mediator dan arbiter. Oleh karena itu, pembedaan syarat untuk menjadi konsiliator dengan mediator merupakan penerapan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), di mana UUD 1945 tidak mengatur dan membatasi mengenai syarat tersebut dan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang sesuai dengan karakter dan kebutuhan dari jabatan dimaksud. Dengan demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, pembedaan syarat antara konsiliator dan mediator bukanlah pembedaan yang diskriminatif dan bukan pula pembedaan yang bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, sehingga tidak ada alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk membatalkan atau memaknai norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 sebagaimana petitum para Pemohon.
Selain itu, perlu pula dipahami bahwa syarat untuk menjadi konsiliator sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU 2/2004 merupakan syarat yang keberlakuannya bersifat kumulatif. Rumusan syarat pada norma tersebut menggunakan kata-kata “harus memenuhi” yang berarti keseluruhan syarat pada norma tersebut, mulai dari huruf a sampai dengan huruf i haruslah dipenuhi tanpa pengecualian. Hal ini sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundangundangan yang diatur dalam Angka 269 LAMPIRAN II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011), yang pada pokoknya menyatakan bahwa kata “harus” dalam suatu norma digunakan untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memeroleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut. Dengan demikian, pengecualian sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam rumusan konstitusionalitas bersyarat pada Petitum angka (2) permohonan para Pemohon apabila dikabulkan justru akan bertentangan dengan keharusan dan sifat kumulatif syarat a quo serta akan menimbulkan ketidakjelasan rumusan norma dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, permohonan a quo haruslah dinyatakan tidak beralasan.
Berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai anggapan bahwa berlakunya Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 menimbulkan disparitas persyaratan antara konsiliator dengan mediator dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut para Pemohon juga mendalilkan mengenai berlakunya syarat usia minimal 45 (empat puluh lima) tahun berpotensi menghilangkan kesempatan untuk diangkat menjadi konsiliator dan mendapatkan hak honorarium bagi setiap calon konsiliator yang berusia di bawah 45 (empat puluh lima) tahun tetapi telah memenuhi persyaratan lainnya dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i UU 2/2004 dan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Permenaker Nomor 10 Tahun 2005. Menurut Mahkamah, hak untuk mendapatkan honorarium bukan merupakan hak absolut yang melekat pada warga negara, melainkan pada profesi warga negara. Hak honorarium yang dimaksud oleh para Pemohon tersebut merupakan hak yang melekat dengan jabatan konsiliator itu sendiri, di mana tanpa diangkat sebagai konsiliator, maka dengan sendirinya seorang warga negara tidak memiliki hak terhadap honorarium tersebut. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.11.1] di atas, oleh karena berlakunya syarat batas usia minimal konsiliator tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka dengan sendirinya tidak diangkatnya para Pemohon sebagai konsiliator bukan merupakan pelanggaran hak konstitusional warga negara termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan minimnya jumlah konsiliator hubungan industrial sehingga terdapat urgensi untuk segera melakukan rekrutmen konsiliator dengan mengecualikan syarat umur minimal, menurut Mahkamah persoalan tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Sedikitnya jumlah konsiliator tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan syarat usia atau syarat lain sebagaimana diatur dalam norma Pasal 19 UU 2/2004, terlebih persyaratan untuk menjadi konsiliator bersifat kumulatif. Dipenuhinya syarat tertentu tidak dapat menegasikan syarat yang lain karena merupakan satu kesatuan syarat yang harus dipenuhi sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.11.1]. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan konsiliator dalam penerapan UU 2/2004 tidak ada relevansinya dengan konstitusionalitas syarat batas usia minimal konsiliator, sehingga tidak tepat apabila fakta tersebut dijadikan alasan untuk membatalkan atau menyatakan norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 inkonstitusional.
Adapun mengenai persoalan faktual yang dialami oleh para Pemohon, di mana para Pemohon telah diundang dan ditugaskan untuk mengikuti semua tahapan rekrutmen calon konsiliator, walaupun faktanya usia para Pemohon belum memenuhi syarat yang ditentukan oleh norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004, sehingga para Pemohon tidak dapat diangkat dan tidak diberi legitimasi sebagai konsiliator merupakan persoalan implementasi atau penerapan norma, bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Dalam hal ini seharusnya pihak yang memberikan sosialisasi, mengundang dan menugaskan para Pemohon telah memberikan informasi yang tepat sebelum para Pemohon menjalani proses rekrutmen sebagai calon konsiliator mengenai seluruh persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2004. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 telah menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP KEP SPSI), Dewan Pimpinan Nasional Federasi Serikat Pekerja Indonesia (DPN FSPI), Pimpinan Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ’98 (PP PPMI ’98), Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi (DPP FSP PARIWISATA REFORMASI), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi, dan Umum (FSP KEP) KSPI, Serikat Pekerja Aqua Group (SPAG), Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (DPP SP PLN), Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI), dan Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Ari Lazuardi, S.H., M.H., dkk, Advokat yang tergabung dalam GERAKAN KESEJAHTERAAN NASIONAL (GEKANAS) TOLAK PERPPU CIPTA KERJA, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

proses penetapan Perppu 2/2022 yang tidak sejalan dengan konstitusi

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Perppu 2/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa pada tanggal 22 Februari 2023, Mahkamah telah melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk mendengarkan penjelasan mengenai materi permohonan para Pemohon dan dalam persidangan tersebut, Mahkamah telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan nasihat atas permohonan yang diajukan oleh para Pemohon. Kemudian pada tanggal 7 Maret 2023, Mahkamah telah melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda mendengarkan penjelasan perbaikan permohonan para Pemohon. Selanjutnya Mahkamah melaksanakan sidang pleno dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden pada tanggal 28 Maret 2023, namun oleh karena pihak Presiden dan/atau yang mewakili menyatakan belum siap memberikan keterangannya dalam persidangan maka Presiden dan/atau yang mewakili memohon kepada Mahkamah untuk menunda sidang pleno tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 22/PUU- XXI/2023 pada tanggal 28 Maret 2023]. Kemudian atas permohonan penundaan sidang tersebut, Mahkamah menjadwalkan sidang pleno dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden menjadi tanggal 11 April 2023, yang selanjutnya dengan konfirmasi para pihak, pelaksanaan persidangan pleno tersebut dimajukan menjadi tanggal 6 April 2023.
[3.10.2] Bahwa DPR dalam Rapat Paripurna pada tanggal 21 Maret 2023 telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, Presiden pada tanggal 31 Maret 2023 telah mengesahkan dan mengundangkan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, T ambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856, selanjutnya disebut UU 6/2023) [vide Bukti PK-1].
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan fakta tersebut, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan pada tanggal 6 April 2023 untuk menanyakan sikap para Pemohon terkait dengan hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10.2]. Dalam hal ini, para Pemohon menyerahkan keputusan kepada Mahkamah. Atas dasar fakta tersebut, Mahkamah pada hari itu juga langsung mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim dan berpendapat bahwa sebagai salah satu bentuk hukum Perppu 2/2022 telah berubah menjadi undang-undang sehingga Perppu 2/2022 yang menjadi objek permohonan para Pemohon sudah tidak ada lagi karena telah berubah menjadi UU 6/2023. Dengan demikian, permohonan para Pemohon telah kehilangan objek.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon telah kehilangan objek maka pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan.
[3.12] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Risky Kurniawan dan Michael Munthe, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 491 angka 1 KUHP

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa permohonan para Pemohon bertolak pada kondisi tempat tinggal para Pemohon yang marak berkeliaran ODGJ. Sebagai mahasiswa hukum, para Pemohon berniat untuk melakukan penelitian mengenai ODGJ. Namun, para Pemohon merasa terancam dan takut apabila dijadikan tersangka akibat berlakunya Pasal 491 angka 1 KUHP. Selain itu, para Pemohon merasa tidak bebas untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
[3.6.2] Bahwa para Pemohon sama sekali tidak menjelaskan bukti yang dapat menunjukkan banyaknya ODGJ yang berkeliaran di tempat tinggal mereka. Terlebih lagi, para Pemohon juga tidak dapat menunjukkan atau membuktikan dirinya pernah diganggu oleh ODGJ. Selain itu, para Pemohon hanya menjelaskan bahwa dirinya hendak melakukan penelitian tentang ODGJ, namun para Pemohon tidak menjelaskan kepentingan para Pemohon terhadap penelitian tersebut dalam kaitannya dengan ODGJ. Para Pemohon juga tidak menjelaskan memiliki keluarga atau sanak saudara yang menderita gangguan kejiwaan. Di sisi lain, para Pemohon hanya menjelaskan kekhawatirannya apabila diganggu oleh ODGJ dan khawatir diancam pidana karena disangka tidak menjaga ODGJ, namun para Pemohon tidak menjelaskan secara detail bagaimana hal tersebut secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial dapat terjadi menurut penalaran yang wajar;
[3.6.3] Bahwa Pasal 491 angka 1 KUHP ditujukan kepada pihak yang berkewajiban menjaga ODGJ, yang menurut Staatsblad 1897 nomor 54, keluarga dekat diwajibkan menjaga ODGJ sebagai kewajiban moral dan bukan kewajiban hukum, sedangkan menurut Pasal 80 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, yang bertanggung jawab melakukan penjagaan ODGJ adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sementara itu, para Pemohon tidak menjelaskan hubungan dirinya dengan ODGJ karena tidak termasuk pihak yang wajib menjaga ODGJ . Dengan demikian, norma a quo tidak ditujukan kepada para Pemohon, sehingga para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional atas berlakunya pasal dimaksud;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mampu menjelaskan atau menguraikan kerugian atau potensi kerugian hak konstitusional yang dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 491 angka 1 KUHP yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Sebab, norma a quo justru memberikan perlindungan kepada masyarakat agar tidak terancam oleh ODGJ, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Untuk Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Hartono, S.H, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Singgih Tomi Gumilang, S.H., M.H, dkk, Advokat yang tergabung dalam kantor Hukum SITOMGUM Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Pasal 30C huruf h dan Penjelasannya adalah pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 30 dan Pasal 31 dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 16/2004) yakni pada angka 27 dalam BAB III tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan, di mana dalam UU 16/2004 tidak diatur kewenangan Jaksa untuk melakukan PK namun Kejaksaan, in casu Jaksa Agung telah diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf d yang menyatakan, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: ... d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”.
Selain itu, salah satu alasan yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UU 16/2004 adalah adanya perkembangan kebutuhan hukum termasuk beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi Kejaksaan, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 13 Oktober 2010 yang memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk menarik barang cetakan dalam rangka pengawasan harus dilakukan melalui pengujian di sidang pengadilan [vide Penjelasan Umum UU 11/2021].
Bahwa terkait dengan tambahan kewenangan Jaksa untuk melakukan upaya hukum PK sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30C huruf h UU 11/2021, Mahkamah Konstitusi telah memutus Perkara Nomor 16/PUU-VI/2008 yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2008 yang dalam pertimbangan hukumnya telah mempertimbangkan terkait dengan isu konstitusionalitas PK, yakni pada Paragraf [3.22] sebagai berikut:
“ ... bahwa terhadap pendapat sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah, DPR dan yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 109 PK/Pid/2007 tentang perlunya hak yang sama diberikan untuk mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, bukan hanya kepada terpidana atau ahli warisnya, melainkan juga kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk terpenuhinya "kepastian hukum yang adil", maka Mahkamah berpendapat bahwa aturan yang limitatif dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP harus dilihat dari paradigma perlindungan HAM berhadapan dengan kekuasaan negara. Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi, "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung". Pasal yang limitatif dalam pemberian hak mengajukan PK tersebut merupakan upaya hukum luar biasa, di mana pencari keadilan masih dimungkinkan untuk mendapat keadilan, walaupun upaya hukum biasa telah ditempuh. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP memberikan batasan terhadap putusan apa saja yang mungkin untuk diajukan PK. Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK, kecuali terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslaag van rechtsvervolging). Pertanyaan timbul apakah Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan PK jika dilihat dari rumusan Pasal 263 ayat (1). Memang Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan PK, karena falsafah yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi terdakwa, untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dalam proses peradilan yang dihadapinya. Memang ada kemungkinan kesalahan dalam putusan pembebasan terdakwa atau ditemukannya bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan terdakwa, seandainya bukti tersebut diperoleh sebelumnya. Namun, proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan PK tersebut dibatasi hanya bagi terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup. Jikalau benar bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang limitatif tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat karena terjadinya pergeseran paradigma yang dianut, maka ketentuan hukum dalam Pasal 263 ayat (1) tersebutlah yang harus diubah dan disesuaikan terlebih dahulu dengan kesadaran hukum baru yang berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui proses legislasi”;
Selain dalam Perkara Nomor 16/PUU-VI/2008, terkait dengan isu konstitusionalitas PK, Mahkamah Konstitusi juga telah memutus dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 12 Mei 2016 yang dalam pertimbangan hukumnya pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
“ ... Bahwa dalam praktik, acapkali terjadi kesalahan dalam penjatuhan putusan yang disebabkan oleh kekeliruan dalam hal fakta hukumnya (feitelijke dwaling) maupun kekeliruan dalam hal hukumnya sendiri (dwaling omtrent het recht). Kesalahan dalam penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat pencari keadilan dan negara. Sepanjang masih dalam ruang lingkup upaya hukum biasa, terhadap kesalahan demikian, baik terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi. Namun terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya ada dua upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan yaitu, Kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum atau Peninjauan Kembali yang merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya;
Jika putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu adalah putusan yang oleh terpidana atau ahli warisnya dirasa merugikan terpidana karena terpidana ataupun ahli warisnya merasa bahwa negara telah salah mempidana seseorang yang sesungguhnya tidak bersalah atau memberatkan terpidana, maka lembaga Peninjauan Kembali bisa menjadi upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana ataupun ahli warisnya [vide Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981], dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 263 ayat (2) UU 8/1981;
Dengan demikian sistem hukum pidana yang dibangun oleh UU 8/1981 telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terpidana maupun kepada Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan negara untuk melakukan upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum ataupun putusan pemidanaan yang dinilai oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat, maka Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan banding atau kasasi, sedangkan terhadap putusan pemidanaan yang dinilai oleh terpidana atau ahli warisnya tidak memberikan rasa keadilan kepada pihaknya, maka dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali;
Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Dari rumusan Pasal 263 ayat (1) UU 8/1981 tersebut, menurut Mahkamah, ada empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal dimaksud, yaitu:
1. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak);
2. Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum;
3. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;
4. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan;
Selain itu, dalam pertimbangan hukum Perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah juga menjelaskan tentang filosofi PK sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.11] sebagai berikut:
“... bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh negara berdasarkan putusan hakim, oleh karena itu hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yang dinamakan dengan Peninjauan Kembali. Dengan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali ditujukan untuk kepentingan terpidana guna melakukan upaya hukum luar biasa, bukan kepentingan negara maupun kepentingan korban. Sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh terpidana, maka subjek yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya, sedangkan objek dari pengajuan Peninjauan Kembali adalah putusan yang menyatakan perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana. Oleh karena itu, sebagai sebuah konsep upaya hukum bagi kepentingan terpidana yang merasa tidak puas terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidaklah termasuk ke dalam objek pengajuan Peninjauan Kembali, karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pastilah menguntungkan terpidana;
Pranata Peninjauan Kembali diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini ditiadakan maka lembaga Peninjauan Kembali akan kehilangan maknanya atau menjadi tidak berarti;
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya harus pula dipandang sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara, karena dalam hal ini seorang terpidana yang harus berhadapan dengan kekuasaan negara yang begitu kuat. Lembaga Peninjauan Kembali sebagai salah satu bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia yang menjiwai kebijakan sistem peradilan pidana Indonesia”.
Hal lain yang juga ditegaskan kembali oleh Mahkamah dalam putusan Perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 berkenaan dengan konstitusionalitas PK yakni terkait dengan penegasan Mahkamah dalam Perkara Nomor 16/PUU-VI/2008 sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai berikut:
“... dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-VI/2008 di atas telah jelas bahwa hak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Jika Jaksa/Penuntut Umum melakukan Peninjauan Kembali, padahal sebelumnya telah mengajukan kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan;
Ketika Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum diterima, maka sesungguhnya telah terjadi dua pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali itu sendiri, yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek Peninjauan Kembali. Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang-Undang adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara itu, dikatakan ada pelanggaran terhadap objek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan objek Peninjauan Kembali”.
Bahwa pertimbangan hukum dalam Perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 tersebut menegaskan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Selain itu, penting Bagi Mahkamah untuk menegaskan apabila ada pemaknaan yang berbeda terhadap norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP a quo justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikan norma tersebut inkonstitusional.
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon bahwa Pasal 30C
huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 yang telah memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terlebih lagi, menurut Pemohon adanya fakta bahwa dalam perkara pidana yang telah dijalani oleh Pemohon, Kejaksaan telah mengajukan PK meskipun Pemohon telah dinyatakan bebas berdasarkan putusan PK yang telah diajukan oleh Pemohon sehingga hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, menurut Pemohon, pengajuan PK yang dilakukan oleh Kejaksaan tersebut juga didasarkan atas penuntutan yang berlaku surut karena PK diajukan Jaksa sebelumnya atas putusan PK dari Mahkamah Agung yang membebaskan terpidana dan telah diputus pada tanggal 15 September 2021. Sedangkan, norma pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021 sehingga materi muatan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yakni hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.12] di atas, Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 adalah pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 30 dan Pasal 31 dalam UU 16/2004 yakni pada angka 27 dalam BAB III tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan. Sebelumnya dalam UU 16/2004 tidak diatur kewenangan Jaksa untuk melakukan PK. Namun, dalam Pasal 35 huruf d UU 16/2004 yang menyatakan, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: ... d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”, Kejaksaan, in casu Jaksa Agung telah diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan kasasi.
Menurut Mahkamah dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta Penjelasannya dalam UU 11/2021 berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut. Menurut Mahkamah, penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Terlebih lagi, adanya fakta bahwa terkait dengan isu konstitusionalitas PK telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008 yang kemudian dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Paragraf [3.12] di atas. Menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada putusan tersebut seharusnya pembentuk undang-undang memahami benar bahwa dengan menyisipkan tambahan kewenangan kepada Kejaksaan untuk mengajukan PK akan berdampak terhadap terlanggarnya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
[3.14] Menimbang bahwa secara substansi norma Pasal 30C huruf h UU 11/2021 yang memberikan tambahan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK tidak sejalan dengan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK melainkan hanya terpidana atau ahli warisnya.
[3.15] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 sebagaimana diuraikan di atas dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada kedua putusan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan kembali perihal empat landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas tersurat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu: 1) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak); 2) Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; 3) Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya; 4) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.
Oleh karena itu, berkenaan dengan norma Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah. Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum sehingga Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Tedy Romansah, S.H. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Mohammad Yusuf Hasibuan, S.H., dkk, advokat pada kantor Advokat Irfandi, Mohammad, Afandi & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE

Pasal 28D ayat (1), 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan a quo beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, maka sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil permohonan Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa berkenaan dengan sistematika permohonan dalam perbaikan permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan sebagai berikut:
(1) ...
(2) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. ...;
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
c. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu:
1. ...;
2. dst
d. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1. mengabulkan permohonan Pemohon;
2. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia; atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono).
[3.7.2] Bahwa terhadap sistematika Perbaikan Permohonan dimaksud, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama bagian alasanalasan permohonan (posita) permohonan a quo, Pemohon tidak menguraikan alasan atau argumentasi hukum mengapa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Pemohon lebih banyak menguraikan mengenai Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk memproses segala tindak pidana yang berhubungan dengan Pasal a quo. Selain menimbulkan ketidakjelasan, uraian permohonan Pemohon tersebut juga menimbulkan ketidakkonsistenan antara posita dengan petitum Pemohon.
[3.7.3] Bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon, Mahkamah dalam persidangan pada tanggal 16 Maret 2023, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan telah memberikan nasihat kepada Pemohon agar mempertimbangkan petitum yang tepat guna mencegah kekosongan hukum [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XXI/2023, Kamis, tanggal 16 Maret 2023, hlm. 12 dan hlm. 17]. Dalam hal ini, setelah dinasihati Majelis Panel, ditemukan petitum angka 2 “Menyatakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana yang telah diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 5952) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai oleh Keputusan Bersama Menteri Komunikasi Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elekronik huruf K BAGIAN Implementasi yang menyatakan bahwa ‘BUKAN MERUPAKAN DELIK PENGHINAAN DAN ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM HAL KONTEN DISEBARKAN MELALUI SARANA GRUP PERCAKAPAN YANG BERSIFAT TERTUTUP ATAU TERBATAS SEPERTI GRUP PERCAKAPAN KELUARGA, KELOMPOK PERTEMANAN AKRAB, KELOMPOK PROFESI, GRUP KANTOR ATAU INTITUSI PENDIDIKAN’ Dan huruf d menyatakan bahwa Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum Aparat Penegak Hukum memproses pengaduan dan /atau pencemaran nama baik UU ITE’ dan petitum angka 3 “Menyatakan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana yang telah diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 5952) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai oleh Keputusan Bersama Menteri Komunikasi Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan transaksi elekronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik huruf K BAGIAN Implementasi Yang menyatakan bahwa ‘BUKAN MERUPAKAN DELIK PENGHINAAN DAN ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM HAL KONTEN DISEBARKAN MELALUI SARANA GRUP PERCAKAPAN YANG BERSIFAT TERTUTUP ATAU TERBATAS SEPERTI GRUP PERCAKAPAN KELUARGA, KELOMPOK PERTEMANAN AKRAB, KELOMPOK PROFESI, GRUP KANTOR ATAU INTITUSI PENDIDIKAN’ Dan huruf d menyatakan bahwa Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum Aparat Penegak Hukum memproses pengaduan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE”. Seluruh rumusan petitum tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian undang-undang. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada Pemohon pada saat sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 29 Maret 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XXI/2023, Rabu, tanggal 29 Maret 2023, hlm. 9] dan Pemohon tetap pada pendiriannya. Secara formal, petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena adanya ketidakkonsistenan antara posita dan petitum serta petitum tidak lazim sehingga menyebabkan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.9] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil, hal-hal lain, dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 89/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memberikan kuasa kepada Usman Hamid, S.H., M.Phil, dkk, kuasa hukum dan/atau advokat yang tergabung dalam Tim Universitas Hak Asasi Manusia (U-HAM), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000

Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian ketentuan UU 26/2000 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa perkembangan pengaturan mengenai HAM dalam konstitusi di Indonesia mengalami dinamika sejak pembahasan rancangan undang-undang dasar dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, jauh sebelum adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Kesepakatan yang diambil pada akhirnya menerima hak warga negara untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar secara terbatas dan akan diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Selain itu, konsep yang digunakan adalah “hak warga negara” (citizen rights) bukan “hak asasi manusia” (individual human rights). Penggunaan konsep “hak warga negara” tersebut berarti secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia oleh karena ia lahir sebagai manusia. Selanjutnya, pada saat berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 di dalamnya memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh berlakunya DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948. Oleh karenanya, Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang HAM dalam Bagian V sebanyak 27 pasal, sedangkan UUDS 1950 juga mengaturnya dalam Bagian V yang terdiri atas 28 pasal. Diskursus mengenai HAM muncul kembali pada sidang konstituante, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, yang relatif lebih menerima HAM dalam pengertian natural rights dan menyepakati 24 jenis HAM yang nantinya akan disusun dalam satu Bab di konstitusi yang baru. Namun, ketika konstituante belum berhasil menyepakati konstitusi baru, berdasarkan Keppres Nomor 150 Tahun 1959 bertanggal 5 Juli 1959 (Dekrit Presiden), Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan menyatakan UUD 1945 berlaku kembali. Dengan pemberlakuan tersebut, ketentuan tentang hak warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 pun berlaku kembali. Perubahan signifikan mengenai pengaturan HAM dalam konstitusi baru terjadi seiring dengan tuntutan reformasi dan perubahan UUD 1945. Dalam perubahan UUD 1945 tahun 1999-2000, dihasilkan Bab khusus yang mengatur mengenai HAM yang memperluas Pasal 28 UUD 1945 yang semula hanya terdiri atas satu pasal dan satu ayat, menjadi beberapa pasal dan ayat, mulai dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945.
[3.14.2] Bahwa secara kategoris, jaminan HAM dalam UUD 1945 hasil perubahan mencakup hak sosial-politik, hak kultural dan ekonomi, hak kolektif, hak atas lingkungan hidup, hak atas pembangunan dan lain sebagainya yang tersebar dalam sejumlah pasal, tidak terbatas pada pengaturan dalam BAB XA tentang HAM. Pada umumnya, perumusan hak dalam UUD 1945 dirumuskan dengan menggunakan frasa “setiap orang berhak” (individual human rights) dan hanya beberapa hak yang dirumuskan sebagai hak warga negara, misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (3) UUD 1945], hak dalam usaha pertahanan dan keamanan negara [vide Pasal 30 ayat (1) UUD 1945], dan hak memperoleh pendidikan [vide Pasal 31 ayat (1) UUD 1945]. Perbedaan perumusan tersebut memiliki konsekuensi dalam implementasinya. Perumusan hak konstitusional sebagai individual human rights dapat memberikan peluang untuk dijamin dan ditegakkan dalam konteks prinsip universalitas HAM, tidak seperti pemenuhan hak warga negara yang hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan (bukan sebagai hak semua orang). Namun demikian, meskipun dirumuskan sebagai individual human rights, menurut Mahkamah, pelaksanaan hak tersebut sangat terkait dengan hubungan konstitusional (constitutional and political relations) antara pemegang hak dengan konstitusi dan negara. Artinya, pelaksanaan HAM yang telah dirumuskan dalam konstitusi secara kontekstual sangat berkaitan dengan yurisdiksi suatu negara. Menurut Mahkamah, terkait dengan politik hukum HAM di Indonesia, tidak hanya sekadar berpijak pada prinsip universalisme HAM, namun tetap menjaga keberlakuan sosial-budaya berdasarkan prinsip partikularisme yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan pemenuhan HAM tetap harus diletakkan dalam koridor perlindungan terhadap kepentingan nasional tiap negara sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi masing-masing negara. Dengan demikian, meskipun rumusan HAM dalam UUD 1945 memuat frasa “setiap orang”, maka tidak secara otomatis menimbulkan tanggung jawab aktif bagi negara (pemerintah) Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia tiap individu yang bukan warga negaranya.
[3.14.3] Bahwa terkait dengan digunakannya frasa “setiap orang” pada rumusan mengenai hak-hak konstitusional dalam Bab XA UUD 1945 yang tidak mengenal adanya pembedaan antara hak asasi seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing, sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman apabila dilepaskan dari konteks perlindungan dan penegakan HAM yang menjadi tanggung jawab suatu negara. Karena, hal demikian secara otomatis dapat diartikan memberikan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk berperan secara aktif dalam memberikan perlindungan kepada warga negara asing. Meskipun perumusan frasa “setiap orang” dalam UUD 1945 dapat diartikan hak asasi tidak hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia, tetapi juga termasuk warga negara asing yang dijamin dan dilindungi oleh sistem hukum dan peradilan Indonesia, namun tidak berarti dalam sistem hukum Indonesia berlaku secara otomatis bahwa setiap orang harus diperlakukan dan mendapatkan hak yang sama tanpa mempertimbangkan status kewarganegaraannya. Sebagai contoh, adanya perjanjian internasional antar negara yang bersifat bilateral yang mengatur tentang perlindungan terhadap warga negara dari negara lain membuktikan bahwa terdapat adanya pembedaan hak antara warga negara sendiri dengan warga negara asing tergantung pada yurisdiksi masing-masing negara. Oleh sebab itu, bukanlah merupakan hal yang dilarang apabila dalam praktik pelaksanaan atau pemenuhan HAM dapat terhalang oleh ketentuan prosedural hukum acara yang hanya memberi akses peradilan nasional kepada warga negaranya, sepanjang hal tersebut telah ditetapkan dalam hukum positif di negara tersebut.
[3.14.4] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan isu mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tidak dapat dilepaskan pula dari isu politik. Dalam kaitan ini, Indonesia telah memiliki komitmen sebagai bentuk tanggung jawab dalam melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang tetap harus berpedoman pada prinsip hubungan luar negeri dan politik luar negeri yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yaitu prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Berkenaan dengan hal tersebut, Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU 37/1999) telah memberikan pengertian yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia. Selain itu, juga secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara yang dimaksud dengan diabdikan untuk kepentingan nasional adalah politik luar negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Pengertian “bebas aktif” a quo juga sebangun dengan pandangan Soekarno yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” sebagai berikut:
“... Sebab kita tidak netral, kita tidak penonton-kosong daripada kejadian-kejadian di dunia ini, kita tidak tanpa prinsip, kita tidak tanpa pendirian. Kita menjalankan politik bebas itu tidak sekadar secara ”cuci tangan”, tidak sekadar secara defensif, tidak sekadar secara apologetis. Kita aktif, kita berprinsip, kita berpendirian! Prinsip kita ialah terang Pancasila, pendirian kita ialah aktif menuju kepada perdamaian dan kesejahteraan dunia, aktif menuju kepada persahabatan segala bangsa, aktif menuju kepada lenyapnya exploitation de l’homme par l’homme, aktif menentang dan menghantam segala macam imperialisme dan kolonialisme di mana pun ia berada,"
Oleh karena itu, pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan langkah kebijakan yang akan ditempuh dalam relasi internasional dengan negara lain, termasuk juga yang berkaitan dengan isu penegakan HAM. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan segala aspek yang terkait dengan risiko atau dampak yang akan timbul sebagai ekses dari kebijakan politik luar negeri yang diambil, baik dari aspek hukum, politik, sosial maupun ekonomi. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konsepsi ketahanan nasional dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia [vide Penjelasan Pasal 2 UU 37/1999]. Menurut Mahkamah, konsep ketahanan nasional dimaksud setidaknya dapat dioperasionalkan dalam bentuk: (i) ketahanan yang menyangkut wilayah, warga negara, dan sistem politik termasuk di dalamnya politik global yang sedang terjadi; (ii) ketahanan ekonomi yang menyangkut kerja sama antarnegara dalam ekonomi global yang berdampak positif bagi negaranya; serta (iii) ketahanan ideologi yang berkaitan dengan cara negara untuk menjaga Pancasila dari ancaman ideologi negara lain.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 yang menurut dalil para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon memohon agar frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam norma Pasal 5 UU 26/2000 dinyatakan inkonstitusional agar dapat diberlakukan yurisdiksi universal di Indonesia. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana Pembukaan UUD 1945. Menurut para Pemohon, hal demikian bertujuan agar para pelaku pelanggaran HAM dari negara mana pun yang memasuki teritorial Indonesia dapat diancam dan diadili oleh Pengadilan HAM Indonesia, termasuk dalam hal ini kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Myanmar. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa dalam kaitan dengan dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah menegaskan latar belakang pembentukan UU 26/2000 yang tidak dapat dilepaskan dari “peran” masyarakat internasional kepada pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pendirian pengadilan HAM ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasionalnya dengan memaksimalkan mekanisme hukum nasional dalam menangani pelanggaran HAM di dalam negerinya (exhaustion of local remedies). Hal demikian ditujukan agar mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk mengadili warga negara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran HAM yang berat karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati peran pengadilan nasional suatu negara. Jika Pengadilan HAM pada saat itu tidak dibentuk, telah terdapat upaya Internasional untuk mendorong dibentuknya International Criminal Tribunal for East Timor (ICTET) yang akan mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat, seperti pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa dan pembumihangusan yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia. Bahkan sebelumnya, melalui resolusi komisi tinggi PBB tahun 1999 dibentuk International Commission of Inquiry on East Timor (ICIET), untuk melakukan penyelidika atas kemungkinan adanya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Timor Timur. Dalam kaitan ini, laporan ICIET memperlihatkan (i) adanya bukti-bukti pelanggaran atas hak-hak asasi dan hukum humaniter internasional dan merekomendasikan perlunya dibentuk mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dan (ii) merekomendasikan dibentuknya tribunal di tingkat internasional. Kedua hal tersebut kemudian sangat mempengaruhi diterbitkannya Resolusi Nomor 1264 Tahun 1999 oleh Dewan Keamanan PBB yang isinya mengecam pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur dan meminta para pelaku mempertanggungjawabkan tindakannya di muka pengadilan. Menyikapi resolusi tersebut dan demi melindungi kepentingan nasional yang lebih besar, maka pemerintah Indonesia menyetujui untuk dibentuk Pengadilan HAM dengan mengundangkan UU 26/2000 pada tanggal 23 November 2000 sebagai pelaksanaan dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) dan sekaligus menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang pada saat itu tidak disetujui oleh DPR menjadi undang-undang karena dinilai masih kurang memadai [vide Konsideran Menimbang huruf c UU 26/2000].
[3.15.2] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 5 UU 26/2000 yang pada pokoknya mengatur mengenai lingkup kewenangan (yurisdiksi) Pengadilan HAM mengandung dua hal, yaitu pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan oleh warga negara Indonesia (personal jurisdiction) dan di luar batas teritorial wilayah negara Indonesia (territorial jusrisdiction). Berdasarkan pencermatan secara saksama terkait dengan risalah pembahasan RUU Pengadilan HAM dan pandangan umum masing-masing fraksi serta rapat kerja Pemerintah dan Pansus RUU Pengadilan HAM dalam proses pembentukan UU 26/2000, pembahasan mengenai rumusan personal jurisdiction yang ditujukan kepada warga negara manapun (WNI dan WNA), sangatlah sumir. Pembahasan terkait personal jurisdiction untuk warga negara asing pernah disampaikan oleh I Ketut Bagiada dari Fraksi PDIP sebagaimana juga disampaikan dalam keterangan DPR yang menyatakan sebagai berikut:
“Ketika orang asing di satu wilayah negara lain melakukan pelanggaran HAM berat selain di Indonesia, kemudian kita menginginkan agar di lndonesia pun bisa dihukum masalah itu atau ditangani masalah hukum, persoalan sekarang itu bagaimana kalau kita bisa melakukan tindakan pengadilan azas resiprositas yang bersangkutan, sedangkan bukti-bukti awal di daerah atau negara lain itu persoalan yang barangkali mungkin menjadi suatu pemikiran pula agar persoalan Pelanggaran HAM di mana pun terjadi bisa ditangani secara maksimal.“

Namun, hingga berakhirnya pembahasan dan disampaikannya pendapat akhir masing-masing fraksi dalam sidang paripurna, Mahkamah tidak menemukan bukti adanya pembahasan lebih lanjut terkait hal tersebut hingga kemudian pada akhirnya UU 26/2000 disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 6 November 2000. Dengan demikian, pada saat itu pembentuk undang-undang memang hanya ingin mengakomodir personal jurisdiction yang hanya ditujukan kepada warga negara Indonesia, tidak termasuk warga negara asing.
[3.16] Menimbang bahwa pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan menghilangkan frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam norma Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 sebagaimana petitum para Pemohon dapat dikatakan UU 26/2000 telah menerapkan prinsip yurisdiksi universal sehingga dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM oleh warga negara manapun. Terlebih jika pelaku pelanggaran HAM dari negara mana pun tersebut memasuki teritorial Indonesia maka dapat diancam dan diadili oleh Pengadilan HAM Indonesia, termasuk dalam hal ini kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Myanmar sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa dengan merujuk pada Prinsip 1 angka 1 dalam The Princeton Principles on Universal Jurisdiction (Princeton Principles) telah dinyatakan pengertian yurisdiksi universal merupakan kewenangan untuk mengadili suatu kejahatan yang didasarkan semata-mata pada sifat dari kejahatan tersebut, tanpa memandang di mana kejahatan tersebut dilakukan, kewarganegaraan tersangka atau pelaku yang dihukum, atau adanya hubungan lain dengan negara yang menjalankan kewenangan tersebut. Kejahatan yang dapat diberlakukan yurisdiksi universal adalah the serious crimes under international law meliputi: pembajakan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan penyiksaan [vide Prinsip 2 angka 1 Princeton Principles] serta terorisme [Pasal 404 Restatement (Third) of The Foreign Relations Law of United States]. Konsep yurisdiksi universal ini berpijak pada adanya anggapan bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan bagi seluruh umat manusia, dan merupakan kehendak bersama untuk menumpas kejahatan tersebut, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
[3.16.2] Bahwa pembahasan mengenai yurisdiksi selalu berkelindan dengan kedaulatan dan otoritas suatu negara. Dalam hal ini, setiap negara yang berdaulat pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaan pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal, setiap negara memiliki otoritas mengatur tindakan-tindakan dalam wilayahnya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan nasional yang harus dilindungi. Dalam konteks yurisdiksi universal, maka kepentingan yang harus dilindungi adalah kepentingan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya tanpa perlu adanya titik pertautan antara negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan (justice beyond borders). Dalam pengertian demikian, adanya kesadaran serta kerja sama dari berbagai negara menjadi pijakan penting untuk melaksanakan yurisdiksi universal karena, jika tidak, dapat disalahartikan sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara lain. Dalam konteks ini, terdapat hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu dominannya muatan politik dalam pelaksanaan yurisdiksi universal karena terkait dengan willingness dari suatu negara untuk merelakan warga negaranya diadili oleh negara lain. Misalnya terkait dengan salah satu tujuan dari yurisdiksi universal yaitu agar suatu negara tidak memberikan tempat yang aman (no safe haven) bagi para pelaku pelanggaran HAM yang berat, juga bersifat sangat politis walaupun prosesnya melalui persidangan (hukum). Hal demikian juga akan berpengaruh terhadap hubungan diplomatik antar negara, di mana di dalamnya terdapat kerja sama ekonomi, sosial-politik, dan juga keamanan. Inilah salah satu isu hukum penting yang harus dipertimbangkan sebelum mengadopsi dan menerapkan yurisdiksi universal [vide keterangan Ahli Hikmahanto Juwana dalam persidangan tanggal 14 Maret 2023]. Dalam batas penalaran yang wajar, belum tentu suatu negara akan merelakan warga negaranya untuk diadili oleh negara lain. Kemudian adanya pembebasan dari suatu hukuman (impunity) yang diberikan kepada warga negara tertentu juga akan menghalangi proses hukum terkait dengan kebutuhan bukti-bukti dan kehadiran tersangka dalam persidangan, meskipun peradilan bisa dilaksanakan secara in absentia untuk perkara-perkara tertentu. Belum lagi dihadapkan pada tantangan terkait model hukum acara dalam melakukan penuntutan dan pemeriksaan terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat yang kemungkinan akan sangat berbeda perlakuan dan penerapannya antara satu negara dengan negara lain. Padahal jaminan 165 perlindungan terhadap hak-hak pelaku pelanggaran HAM yang berat yang juga harus tetap diberikan ruang dan ditegakkan dalam hukum. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu pengkajian yang komprehensif oleh pemerintah (negara), in casu pembentuk undang-undang untuk menentukan mengenai pilihan politik dan kedudukan negara Indonesia dalam tatanan masyarakat internasional serta infrastruktur hukum yang harus disediakan sebelum menerapkan yurisdiksi universal, terutama untuk memberlakukan yurisdiksi universal dalam mengadili pelanggaran HAM yang berat terhadap pelaku yang bukan warga negara Indonesia.

[3.16.3] Bahwa untuk mengakomodasi yurisdiksi universal dalam penegakan hukum terkait pelanggaran HAM yang berat, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar hukum, seperti politik, sosial budaya dan ekonomi. Oleh karenanya, dalam memperjuangkan penegakan hukum di bidang HAM Internasional tidak bisa hanya berorientasi pada dihukumnya pelaku pelanggaran HAM yang berat, tetapi juga tetap harus memperhatikan dampaknya terhadap kepentingan nasional suatu negara. Oleh karena itu, otoritas suatu negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan investigasi dapat melakukan penilaian apakah yurisdiksi universal akan memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap akses keadilan dan juga kepentingan negara. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap misalnya dengan konsensus internasional terhadap seberapa berat suatu kejahatan, keinginan dari korban ataupun komunitas korban untuk mengakses keadilan, risiko bahaya apabila suatu kejahatan tidak dituntut di lokasi di mana pelaku berada, ketersediaan bukti-bukti, perlindungan terhadap saksi dan korban, serta dampak terhadap kedudukan dan juga reputasi negara yang melakukan penuntutan dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penuntutan [vide keterangan Ahli Devika Hovel dalam persidangan tanggal 8 Februari 2023]. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, yurisdiksi universal bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, tetapi harus diseimbangkan dengan kewajiban internasional dan juga kepentingan-kepentingan lainnya dari suatu negara, sehingga suatu negara dapat menolak melaksanakan yurisdiksi universal apabila tidak dimungkinkan oleh dinamika politik, sosial dan ekonomi secara global atau kebutuhan dan kepentingan lainnya (rapidly changing situation). Di satu sisi, terlebih lagi apabila hal tersebut berpotensi mengganggu kepentingan nasional dari suatu negara, dan di sisi lain juga belum tentu dapat secara efektif memberikan rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM yang berat.

[3.16.4] Bahwa berdasarkan uraian mengenai tantangan, potensi, dan dampak yang ditimbulkan dari penerapan yurisdiksi universal oleh suatu negara, maka menurut Mahkamah, penerapan yurisdiksi universal bukanlah satu-satunya forum untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat lintas negara karena adanya potensi disalahartikan sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara yang malah akan menimbulkan permasalahan lain dalam hubungan diplomatik antar negara dan memengaruhi kredibilitas suatu negara dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila yurisdiksi universal diselenggarakan di tingkat kawasan/regional karena kedekatan dengan tempat terjadinya kejahatan serta ketersediaan barang bukti sehingga akan memudahkan untuk melakukan pengaturan-pengaturan antarpihak [vide keterangan Ahli Cheah W.L yang disampaikan dalam persidangan tanggal 8 Februari 2023]. Dalam kaitan ini, menarik forum penyelesaian pelanggaran HAM yang berat lintas negara pada tingkat regional akan lebih memberikan kepastian mengenai tanggung jawab negara yang timbul berdasarkan sebuah perjanjian internasional tanpa ada intervensi terhadap yurisdiksi suatu negara. Ketika negara-negara bersepakat untuk menundukkan diri dalam sebuah perjanjian, tidak ada lagi anggapan atau penilaian adanya perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Dengan kesepakatan demikian, setiap negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dan terikat pada pengaturan yang telah disepakati bersama. Dalam kaitan ini, pengaturan mengenai mekanisme pengadilan atau hukum acara sampai dengan model pemidanaan pelaku adalah merupakan kesepakatan dari masing-masing negara dalam suatu kawasan melalui sebuah perjanjian internasional.

Berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa dengan menghilangkan frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 agar UU 26/2000 dapat menerapkan prinsip yurisdiksi universal sehingga Pengadilan HAM Indonesia dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh warga negara manapun adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan adanya fakta yang terungkap dalam persidangan terkait asas universal dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru), di mana para Pemohon mengaitkan antara asas universal dalam Pasal 6 KUHP (baru) 167 tersebut dengan inkonstitusionalitas norma frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan pendirian mengenai KUHP (baru) tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, yang diikuti oleh putusan-putusan selanjutnya sebagai berikut:
[3.6.3] “…Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh Pemohon, telah ternyata hak konstitusional Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada Pemohon.

[3.6.7] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun demikian, seandainyapun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan huruf b UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan yang premature”.

Berdasarkan kutipan putusan a quo, ketentuan Pasal 6 KUHP (baru) yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam kaitan dengan inkonstitusionalitas norma frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 yang tidak menerapkan yurisdiksi universal, merupakan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Seandainyapun KUHP telah berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat, quad non, menurut Mahkamah, pengaturan mengenai asas universal dalam KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 6 KUHP (baru) merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk melindungi kepentingan 168 hukum nasional dan/atau kepentingan hukum negara lain yang sebelumnya juga telah diatur dalam norma Pasal 4 ayat (2) KUHP yang masih berlaku (lama).
[3.17.1] Bahwa rumusan Pasal 6 KUHP (baru) menyatakan, “Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak Pidana dalam UndangUndang.” Pengaturan pasal a quo tidak dapat dilepaskan dari kerangka politik hukum penyusunan KUHP dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 [vide Penjelasan Umum KUHP (baru) alinea ketiga]. Perumusan Pasal 6 KUHP (baru) merupakan upaya rekodifikasi atas berbagai ketentuan pidana dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP berdasarkan konvensi internasional yang telah disahkan oleh Indonesia, seperti konvensi internasional mengenai uang palsu, konvensi internasional mengenai laut bebas dan hukum laut yang di dalamnya mengatur tindak pidana pembajakan laut, dan sebagainya [vide Penjelasan Pasal 6 KUHP (baru)]. Oleh karena itu, Pasal 6 KUHP (baru) a quo menjadi dasar keberlakuan (legalitas) suatu tindak pidana yang berasal atau berlandaskan pada konvensi internasional sepanjang tindak pidana tersebut telah ditetapkan atau diatur dalam KUHP. Namun demikian, keberlakuan Pasal 6 KUHP (baru) a quo tidak dapat serta merta dijadikan dasar perluasan kewenangan dilakukannya penuntutan pelanggaran HAM yang berat oleh Pengadilan HAM Indonesia. Dengan demikian, menjadi jelas adanya perbedaan konteks antara asas universal dalam Pasal 6 KUHP (baru) sebagai dasar keberlakuan hukum pidana umum dan penerapan yurisdiksi universal untuk memperluas ruang lingkup dan kewenangan pengadilan HAM di Indonesia.
[3.17.2] Bahwa terlebih lagi, keberlakuan asas universal dalam Pasal 6 KUHP (baru) juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 9 KUHP (baru) yang menyatakan, “Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan menurut perjanjian internasional yang berlaku”. Berkenaan dengan apa yang dipersoalkan para Pemohon, telah pula dijelaskan dalam KUHP (baru) bahwa dimasukkannya esensi tindak pidana khusus dalam perumusan KUHP (baru) tidak menghilangkan sifat kekhususannya dengan pengaturan yang dinyatakan:
“Dengan sistem perumusan Tindak Pidana di atas, untuk Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, Tindak Pidana narkotika dikelompokkan dalam 1 (satu) bab tersendiri yang dinamai "Bab Tindak Pidana Khusus". Penempatan dalam bab tersendiri tersebut didasarkan pada karakteristik khusus, yaitu:
a. dampak viktimisasinya (Korbannya) besar;
b. sering bersifat transnasional terorganisasi (Transnational Organized Crime);
c. pengaturan acara pidananya bersifat khusus;
d. sering menyimpang dari asas umum hukum pidana materiel;
e. adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus (misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia);
f. didukung oleh berbagai konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi; dan
g. merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan tercela dan sangat dikutuk oleh masyarakat (strong people condemnation).
Dengan pengaturan "Bab Tindak Pidana Khusus" tersebut, kewenangan yang telah ada pada lembaga penegak hukum tidak berkurang dan tetap berwenang menangani Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, dan Tindak Pidana narkotika [vide Penjelasan Umum KUHP]”.

Dengan demikian, pelanggaran HAM yang berat merupakan tindak pidana khusus yang masih tetap tunduk pada UU 26/2000. Hal ini telah ditegaskan pula dalam Pasal 620 KUHP (baru) yang menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Bab tentang Tindak Pidana Khusus dalam UndangUndang ini dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang masing-masing.” Dengan demikian, UU 26/2000 tetap merupakan UU yang mengatur tindak pidana khusus untuk Tindak Pidana Berat Terhadap Hak Asasi Manusia, sehingga pelaksanaan penegakan hukum atas pelaku pelanggaran HAM yang berat tetap didasarkan pada UU 26/2000. Terlebih lagi, pembentukan UU 26/2000 memang tidak didesain dengan dimaksudkan menganut prinsip yurisdiksi universal sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.15.2] di atas.

[3.18] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas norma frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 yang dikaitkan oleh para Pemohon dengan konflik yang terjadi di Myanmar yang menimbulkan pelanggaran HAM yang berat bagi etnis Rohingya, Mahkamah juga tidak dapat menutup mata terhadap permasalahan/konflik tersebut dan mengapresiasi kepedulian yang dilakukan para Pemohon dalam mendorong penegakan HAM atas pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Myanmar. Terhadap hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk turut serta secara aktif dalam menyelesaikan persoalan tersebut, baik dengan pola diplomasi Government to Government maupun dengan menyuarakan dalam forum yang lebih besar. Pemerintah Indonesia juga membangun kamp pengungsian dan memasok kebutuhan logistik serta obat-obatan bagi para pengungsi Rohingya yang singgah di wilayah NKRI serta secara nyata membangun Rumah Sakit Indonesia di Myaung Bwe. Upaya Indonesia tersebut, dilakukan dengan senantiasa mendorong keterlibatan negara-negara anggota ASEAN dalam upaya penyelesaian konflik di Myanmar serta mendorong partisipasi aktif negara-negara tetangga sebagai bentuk ikut serta menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 telah ternyata tidak bertentangan dengan hak untuk hidup, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di hadapan hukum serta tidak menimbulkan diskriminasi hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 108/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2022 TENTANG PELINDUNGAN DATA PRIBADI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Leonardo Siahaan, S.H., yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 4, Pasal 2 ayat 2, dan Pasal 19 UU 27/2022

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 27/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil yang dikemukakan Pemohon dalam permohonannya, terdapat dua hal pokok persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah. Pertama, Pemohon mempersoalkan mengenai norma Pasal 1 angka 4 dan Pasal 19 UU 27/2022 di mana kedua norma a quo tidak mengatur mengenai keterlibatan badan hukum dalam melakukan pemrosesan data pribadi atau pengendali data pribadi. Kedua, Pemohon mempersoalkan mengenai norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 menurut Pemohon norma a quo mengecualikan perlindungan terhadap pemrosesan data pribadi oleh perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga. Lebih lanjut, menurut Pemohon, norma Pasal 1 angka 4, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 19 UU 27/2022 bertentangan dengan hak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dua hal pokok persoalan konstitusional dalam dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan selengkapnya sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa norma Pasal 1 angka 4 dan Pasal 19 UU 27/2022 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon apabila dicermati oleh Mahkamah adalah mengatur hal yang sama, yaitu pengertian mengenai subjek hukum yang diklasifikasikan sebagai pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi. Bahwa yang dimaksud dengan pengendali data pribadi dalam Pasal 1 angka 4 UU 27/2022 adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan data pribadi. Lebih lanjut dijelaskan, norma Pasal 1 angka 4 UU 27/2022 merupakan norma yang termaktub dalam Bab I Ketentuan Umum, di mana hal-hal yang tercantum dalam ketentuan umum mengatur mengenai pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi dan/atau hal-hal lain yang bersifat umum yang akan diatur dalam pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan sebagaimana diatur dalam UU a quo. Demikian pula yang dimaksud dengan pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 UU 27/2022 adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional. Bahwa norma Pasal 19 UU 27/2022 ini merupakan norma yang terdapat dalam Bab VI yang mengatur mengenai kewajiban pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi dalam pemrosesan data pribadi.
Bahwa dalam Bab I Ketentuan Umum UU 27/2022 diatur mengenai definisi siapa saja yang dapat menjadi subjek hukum sebagaimana yang dimaksud dengan setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional dengan uraian, sebagai berikut: bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi [vide Pasal 1 angka 7 UU 27/2022], dan yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum [vide Pasal 1 angka 8 UU 27/2022]. Selanjutnya, yang dimaksud dengan badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri [vide Pasal 1 angka 9 UU 27/2022]. Sementara itu, yang dimaksud dengan Organisasi Internasional adalah organisasi yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional [vide Pasal 1 angka 10 UU 27/2022].
Bahwa berdasarkan uraian fakta hukum di atas, maka selanjutnya apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 19 UU 27/2022 tidak mengatur mengenai keterlibatan badan hukum dalam melakukan pemrosesan data pribadi atau pengendali data pribadi, menurut Mahkamah subjek hukum yang turut berperan dalam pengendali dan pemroses data pribadi yang berbentuk badan hukum seperti yang dimaksudkan oleh Pemohon sesungguhnya telah tercakup dalam definisi “Setiap Orang” pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 UU 27/2022. Di mana, dalam definisi “Setiap Orang” tersebut mencakup korporasi yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 8 UU 27/2022, bahwa dalam ketentuan tersebut telah ditegaskan, korporasi dapat berbentuk badan hukum. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan norma tersebut korporasi yang berbentuk badan hukum dapat ditunjuk sebagai Pengendali Data Pribadi atau Prosesor Data Pribadi.
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas pemrosesan data pribadi dan menunjukkan pertanggung jawaban dalam pemenuhan kewajiban pelaksanaan prinsip perlindungan pribadi dan dalam hal Pengendali Data Pribadi menunjuk Prosesor Data Pribadi, dan selanjutnya Prosesor Data Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi berdasarkan perintah Pengendali Data Pribadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, jika Pemohon memperhatikan secara saksama, UU 27/2022 ternyata telah memberikan kesempatan kepada badan hukum untuk dapat bertindak sebagai pengendali data pribadi. Terlebih, dalam ketentuan norma Pasal 48 UU 27/2022 diatur pula tentang mekanisme jika Pengendali Data Pribadi yang berbentuk badan hukum ketika sedang menangani pemrosesan data pribadi atas subjek data pribadi dengan melakukan penggabungan, pemisahan, pengambilalihan, peleburan, atau pembubaran badan hukum maka badan hukum tersebut memiliki kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan pengalihan Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi. Oleh karena itu, fakta hukum a quo membuktikan, UU 27/2022 telah melibatkan badan hukum sebagai salah satu subjek hukum yang dapat menjadi pengendali data pribadi, sehingga hal ini menegaskan bahwa berkaitan dengan dalil Pemohon tidak dilibatkannya badan hukum sebagai Pengendali data Pribadi dan hal tersebut melanggar hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak dapat dibuktikan. Terlebih, apabila permohonan Pemohon agar Pasal 1 angka 4 UU 27/2022 dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka hal ini justru akan berpengaruh pada struktur UU 27/2022 secara keseluruhan. Dalam hal ini, publik akan kehilangan norma yang mengatur siapa saja yang dapat menjadi subjek hukum untuk bertindak sebagai Pengendali Data Pribadi, yang memiliki kewajiban untuk melindungi data pribadi dan tentu saja hal ini akan berdampak juga terhadap ketentuan Pasal 19 dan pasal lainnya yang ada dalam UU 27/2022.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 4 dan Pasal 19 UU 27/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 yang dimohonkan oleh Pemohon yang menyatakan, “Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pemrosesan Data Pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga”. Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 tidak memberikan perlindungan terhadap pemrosesan data pribadi dalam kegiatan bisnis yang dilakukan di rumah, khususnya dengan maraknya bisnis e-commerce sehingga banyak kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pribadi atau rumah tangga serta tidak ada perlindungan atau lemahnya perlindungan terhadap data pribadi orang perseorangan di dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga.
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, pelindungan data pribadi merupakan salah satu bentuk pelindungan terhadap hak asasi manusia, hal ini disebabkan dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan manusia saling terhubung tanpa mengenal batas wilayah negara. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mengakibatkan data pribadi seseorang dapat dengan mudah dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihak yang lain tanpa sepengetahuan Subjek Data Pribadi yang bersangkutan, oleh karena itu hal yang demikian dapat mengancam hak konstitusional Subjek Data Pribadi yang bersangkutan. Hal tersebut relevan dengan alasan bahwa Pelindungan Data Pribadi diperlukan karena keprihatinan akan pelanggaran terhadap Data Pribadi yang dapat dialami oleh setiap orang dan/atau badan hukum yang bermuara pada terlanggarnya hak asasi. Dengan demikian, perumusan aturan tentang Pelindungan Data Pribadi sangat diperlukan, karena adanya kebutuhan untuk melindungi hak individu di dalam masyarakat sehubungan dengan pemrosesan Data Pribadi baik yang dilakukan secara elektronik dan nonelektronik menggunakan perangkat olah data. Sehingga, pelindungan yang memadai dan komprehensif atas Data Pribadi akan mampu memberikan kepercayaan dan pelindungan masyarakat, di samping mampu menyediakan dan memberikan Data Pribadi yang diperlukan untuk berbagai kepentingan masyarakat, tanpa disalahgunakan atau melanggar hak pribadi yang bersifat privat.
Bahwa berdasarkan salah satu pertimbangan ratio legis di atas lahirlah UU 27/2022 a quo, yang sejatinya Undang-Undang ini memuat ketentuan-ketentuan antara lain standar Pelindungan Data Pribadi secara umum, baik yang diproses sebagian atau keseluruhan dengan cara elektronik dan nonelektronik, di mana masing-masing sektor dapat menerapkan Pelindungan Data Pribadi sesuai karakteristik sektor masing-masing. Namun, secara universal Pengaturan Data Pribadi mempunyai tujuan yang sama, yaitu antara lain melindungi dan menjamin hak dasar warga negara terkait dengan pelindungan diri pribadi, menjamin masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari Korporasi, Badan Publik, Pemerintah, dan Organisasi Internasional mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan industri teknologi informasi dan komunikasi, serta mendukung peningkatan daya saing industri dalam negeri [vide Penjelasan Umum UU 27/2022].
Bahwa berkaitan dengan dalil Pemohon yang juga mempersoalkan pengecualian yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 di mana ketentuan norma tersebut menegaskan, bahwa Undang-Undang a quo tidak berlaku untuk pemrosesan Data Pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa dalam memahami maksud dari norma tersebut harus dipahami terlebih dahulu maksud dari pemrosesan Data Pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga. Menurut Mahkamah, pemrosesan Data Pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga adalah suatu bentuk kegiatan pemrosesan Data Pribadi yang hanya dilakukan dalam kegiatan pribadi dengan kata lain kegiatan tersebut dikategorikan sebagai kegiatan dalam ranah privat yang tentu saja kegiatan pemrosesan data tersebut bersifat non-komersial. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai kasus yang dialami oleh Pemohon jika hal tersebut benar ada, kegiatan pemrosesan data pribadi dilakukan seperti yang didalilkan oleh Pemohon yaitu kegiatan pemrosesan data pribadi terhadap kegiatan bisnis atau e-commerce walaupun kegiatan tersebut adalah kegiatan pribadi atau rumah tangga dan kegiatan tersebut dilakukan di rumah, namun terhadap kegiatan pemrosesan data pribadi seperti ini tidak dapat dikecualikan sebagaimana diatur norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022, melainkan termasuk kegiatan yang sudah termaktub dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 27/2022. Dengan demikian, kegiatan pemrosesan data pribadi tersebut harus memenuhi syarat-syarat dan tunduk serta patuh pada semua ketentuan dan kewajiban yang diatur dalam UU 27/2022.
Bahwa demikian halnya dengan argumentasi Pemohon, norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 menyebabkan hilangnya pelindungan terhadap data pribadi orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, justru dengan keberadaan norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022, memberikan pelindungan terhadap kegiatan-kegiatan yang hanya dilakukan dalam lingkup pribadi atau keluarga atau dengan kata lain merupakan ranah privat. Norma a quo memberikan pelindungan hak privasi sebagai orang perseorangan dalam menggunakan data pribadi untuk terbatas pada tujuan pribadi ataupun rumah tangga yang tidak perlu mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam UU 27/2022, seperti ketentuan mengenai pemenuhan prinsip pemrosesan data pribadi, dasar hukum dalam pemrosesan data pribadi, beserta kewajiban dan hal-hal lain yang bersifat membebani kegiatan pribadi atau rumah tangga, kecuali jika kegiatan pribadi atau rumah tangga tersebut ternyata disalahgunakan untuk kegiatan profit oriented (e-commerce), maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU 27/2022. Oleh karenanya menurut Mahkamah, norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 telah memberikan pelindungan kepada pemrosesan data pribadi yang dilakukan oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga, dan menurut Mahkamah hal ini tidak melanggar hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, pelindungan dan kepastian hukum yang dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Apabila permohonan Pemohon agar Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka hal ini justru akan menghilangkan pelindungan terhadap Data Pribadi sebagai hak privasi yang dimiliki oleh pemilik data, di samping akan menghilangkan batasan atau terminologi tentang Pengendali Data beserta unsur-unsur subjek hukumnya. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) UU 27/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 1 angka 4, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 19 UU 27/2022 telah ternyata tidak menimbulkan hilangnya hak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang 120 adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Oleh karena itu, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 110/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2022 TENTANG PELINDUNGAN DATA PRIBADI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-04-2023

Dian Leonardo Benny,SH., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022

Pasal 28D ayat (1), 28E ayat (3), dan 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan Presiden, keterangan ahli yang diajukan oleh Presiden dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, dan kesimpulan Presiden sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 bertentangan dengan UUD 1945, karena menurut Pemohon telah menyebabkan adanya atau setidak-tidaknya berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan terlanggarnya hak perlindungan diri pribadi.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, sebelum lebih lanjut mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah menguraikan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umum UU 27/2022 yang pada pokoknya salah satu alasan mengapa UU 27/2022 diperlukan adalah oleh karena begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sehingga ada potensi subjek data pribadi akan dapat disalahgunakan dengan mudah yang berdampak pada terlanggarnya hak konstitusional warga negara. Pembentukan UU a quo juga didasarkan atas adanya pelindungan terhadap hak konstitusional diri pribadi bagi seluruh warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 sehingga UU 27/2022 menjadi salah satu upaya maksimal dari negara untuk melindungi seluruh masyarakat dari adanya potensi penyalahgunaan data pribadi.
Selain itu, dalam Penjelasan Umum UU a quo juga diuraikan bahwa adanya pengaturan tersebut juga bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara hak individu dan hak masyarakat yang diwakili kepentingannya oleh negara sehingga adanya pengaturan tentang Pelindungan Data Pribadi tersebut akan memberikan kontribusi yang besar terhadap terciptanya ketertiban dan kemajuan dalam masyarakat informasi.
Bahwa UU 27/2022 juga telah mengatur secara rigid perihal adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi subjek pemilik data pribadi, pengendali data pribadi serta prosesor data pribadi sehingga akan meminimalisir adanya potensi ketidakadilan baik bagi masyarakat sebagai pemilik data pribadi ataupun bagi pengendali dan prosesor data pribadi. Meskipun begitu, apabila dalam pelaksanaannya ternyata ada sengketa yang merugikan salah satu pihak, in casu subjek data pribadi, maka UU a quo juga telah menyediakan media penyelesaian sengketa melalui arbitrase, pengadilan ataupun lembaga penyelesaian sengketa alternatif.
[3.14] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 yang didalilkan Pemohon, sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 tidak secara terang dan jelas menjelaskan secara pasti dan akurat mengenai yang dimaksud dengan “kepentingan pertahanan dan keamanan nasional” sehingga berpotensi menjadi pasal yang multitafsir dan bermasalah di kemudian hari dan dapat digunakan sebagai justifikasi untuk mengecualikan hak-hak subjek data pribadi. Selain itu, menurut Pemohon, adanya hak-hak Subjek Data Pribadi yang dikecualikan dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut justru dapat menjadi celah bagi Pengendali Data Pribadi untuk mengecualikan hak Subjek Data Pribadi dengan dalih untuk melaksanakan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional sehingga pada akhirnya Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 atau setidak-tidaknya secara alternatif materi muatan Pasal 15 ayat (1) huruf a dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan "kepentingan pertahanan dan keamanan nasional" adalah kepentingan yang berkaitan dengan upaya untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman”.
[3.14.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, norma pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon yakni Pasal 15 ayat (1) huruf a yang menyatakan, “(1) Hak-hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk: a. kepentingan pertahanan dan keamanan nasional”.
Bahwa menurut Mahkamah, norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 termuat dalam Bab IV tentang Hak Subjek Data Pribadi, di mana dalam bab tersebut setidaknya ada 9 (sembilan) pasal yang mengatur tentang hak subjek pribadi seperti hak untuk mengakhiri pemrosesan, menghapus, dan/atau memusnahkan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hak menarik kembali persetujuan pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya yang telah diberikan kepada Pengendali Data Pribadi, hak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan hak lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, termasuk Pasal 15 UU a quo yang merupakan pasal pengecualian
Bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil Pemohon tentang adanya pengecualian terhadap hak yang diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) apabila dicermati bukan hanya untuk hal terkait kepentingan pertahanan dan keamanan nasional sebagaimana diatur dalam huruf a saja, akan tetapi juga untuk kepentingan proses penegakan hukum, kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara, kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan juga untuk kepentingan statistik dan penelitian ilmiah. Menurut Mahkamah kelima hal pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU 27/2022 tersebut merupakan unsur-unsur yang saling berhubungan erat dan bahkan tidak dapat dipisahkan serta saling melengkapi dalam penerapan atau pelaksanaan atas UU 27/2022. Di samping itu, apabila dicermati lebih lanjut, alasan untuk “kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara” dapat dikatakan sebagai rumah besar yang menaungi dan harus ditopang oleh unsur-unsur yang lainnya, sehingga secara universal unsur “kepentingan umum dalam penyelenggaraan negara” dapat dikatakan tidak tampak ada batasnya sepanjang dalam perspektif penyelenggaraan negara dalam memberikan pelindungan kepentingan seluruh warga negara. Oleh karena itu, dalam konteks demi kepentigan umum, in casu juga kepentingan negara, tidak dapat dipisahkan dan menjadi pengejawantahan dari asas kepentingan umum sebagaimana yang menjadi salah satu asas dalam penyelengaraan UU 27/2022 yang juga merupakan bagian dari asas yang diatur dalam Pasal 3 UU a quo. Terlebih, menurut Mahkamah, asas kepentingan umum mempunyai fungsi fundamental karena dalam mengimplementasikan Pelindungan Data Pribadi harus memperhatikan kepentingan umum atau masyarakat secara luas. Hal demikian, selaras dengan apa yang dijelaskan secara eksplisit dalam Penjelasan Pasal 3 huruf c UU 27/2022 yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan "asas kepentingan umum" adalah bahwa dalam Pelindungan Data Pribadi harus memperhatikan kepentingan umum atau masyarakat secara luas. Kepentingan umum tersebut antara lain kepentingan penyelenggaraan negara dan pertahanan dan keamanan nasional”.
[3.14.3] Bahwa dengan demikian sekalipun tidak ada batasan secara tegas akan terminologi kepentingan pertahanan dan keamanan nasional, maka dengan mencermati relevansi dan koherensi sebagai suatu norma yang utuh dari unsur kepentingan pertahanan dan keamanan nasional yang sesungguhnya mempunyai muara yang sama yakni untuk memberikan pelindungan kepada kepentingan seluruh warga negara, dan hal tersebut sebenarnya telah tercakup dalam unsur kepentingan umum dalam penyelenggaraan negara. Terlebih apabila dikaitkan dengan asas kepentingan umum, oleh karena itu, hal yang dipersoalkan oleh Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan relevansi dan koherensi dimaksud. Sebab, apabila pembatasan pengertian kepentingan pertahanan dan keamanan nasional dibatasi secara rigid sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum alternatif Pemohon, maka hal tersebut di samping akan mempersempit makna kepentingan pertahanan dan keamanan nasional itu sendiri dan juga akan membatasi jangkauan pengertian kepentingan umum baik dalam penyelenggaraan negara maupun fungsinya sebagai asas atau landasan dari UU 27/2022. Demikian halnya apabila norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 dinyatakan inkonstitusional sebagaimana juga yang dimohonkan oleh Pemohon, maka hal tersebut justru akan berakibat terjadinya kekosongan hukum terutama berkaitan pengaturan mengenai pengecualian akan hak subjek data pribadi yang dapat diajukan keberatan padahal kepentingan umum termasuk pertahanan dan keamanan nasional memerlukan.

[3.15] Menimbang bahwa menurut Mahkamah adanya kekhawatiran dari Pemohon perihal norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 akan dapat dipergunakan sebagai justifikasi semata untuk kepentingan lain dengan mengecualikan hak-hak subjek data pribadi dan dapat menjadi celah bagi Pengendali Data Pribadi untuk mengecualikan hak Subjek Data Pribadi dengan dalih untuk melaksanakan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional adalah sebagai argumentasi yang tidak berdasar, karena sebagaimana telah dijelaskan dalam Paragraf [3.13] bahwa UU a quo telah mengatur secara rigid perihal adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi subjek pemilik data pribadi, pengendali data pribadi serta prosesor data pribadi sehingga akan meminimalisir adanya potensi ketidakadilan.
Terlebih lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU 27/2022 yang menyatakan bahwa Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan hanya dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-Undang. Di samping itu, Subjek Data Pribadi diberi hak untuk mendapatkan informasi tentang kejelasan identitas, dasar kepentingan hukum, tujuan permintaan dan penggunaan Data Pribadi dan akuntabilitas pihak yang meminta Data Pribadi (vide Pasal 5 UU 27/2022), di mana hal ini membuktikan bahwa penggunaan Data Pribadi yang dikecualikan adalah benar-benar tetap menghormati hak asasi warga negara atau Subjek Data Pribadi yang bersangkutan. Dengan demikian, pengecualian sebagaimana yang diamanatkan dalam norma Pasal 15 ayat (1) UU 27/2022 adalah hal yang diperlukan dan jika dicermati jenis-jenis pengecualian yang diatur dalam norma a quo sejatinya adalah bentuk pelaksanaan dan penjabaran dari unsur kepentingan umum.
Dengan demikian, menurut Mahkamah pengecualian sebagaimana diatur dalam norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 berkaitan dengan tujuan ataupun pemrosesan data pribadi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan nasional telah sejalan dengan asas kepentingan umum, di mana pemrosesan Data Pribadi oleh negara hanya digunakan untuk melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, hal paling utama adalah pembatasan ataupun pengecualian a quo dimungkinkan sepanjang diimbangi juga dengan adanya jaminan pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta dalam upaya untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 27/2022 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak melanggar hak diri pribadi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Dr. Umar Husin, S.H., M.H., CLA., Zentoni, S.H., M.H.E. , Sahat Tambunan, S.H., M.H., Paulus Djawa, S.H., dalam hal ini memberikan kuasa kepada Donny Tri Istiqomah, S.H., M.H., Parlin Soni H. Nainggolan, S.H., M.H., Vonny Lukito, S.E., S.H., M.Kn., Andhika DC, S.H., dan Asgar Hasrat Sjarfi, S.H., M.H., CLA. kesemuanya adalah advokat dan konsultan hukum yang tergabung pada Law Firm “Donny-Soni & Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon

Pasal 55 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 55 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa berkenaan dengan sistematika permohonan dalam perbaikan permohonan yang diajukan oleh para Pemohon. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan sebagai berikut:
(1) ...
(2) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. ...;
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
c. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), yaitu:
1. . ...;
2. dst
d. petitum, yang memuat hal-hal yang diminta untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1 mengabulkan permohonan Pemohon;
2 menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3 memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia;
atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[3.7.2] Bahwa terhadap sistematika Perbaikan Permohonan dimaksud, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) pada permohonan a quo, petitum para Pemohon tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian materiil undang-undang. Padahal, Mahkamah dalam persidangan pada tanggal 08 Februari 2023, dengan agenda Pemeriksan Pendahuluan telah memberikan nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki petitum sesuai dengan format petitum yang berlaku di Mahkamah Konstitusi [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 11/PUU-XXI/2023, Rabu, tanggal 8 Februari 2023, hlm. 7-8]. Dalam kaitan ini, petitum angka 2 “menyatakan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) konstitusional sepanjang diubah dengan frasa kalimat: dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59 ketentuan ini tidak berlaku bagi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55” dan petitum angka 3 “menyatakan Pasal 55 ayat (1) kontitusional sepanjang diubah dengan frasa kalimat: dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 59, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Seluruh rumusan petitum tersebut adalah tidak lazim. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena petitum para Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para Pemohon lebih lanjut.
[3.9] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Moch. Ojat Sudrajat S. (Wiraswasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU Pers dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999, Pemohon mengemukakan dalil-dalil sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut Pemohon, dalam menjalankan fungsinya sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999, seharusnya Dewan Pers hanya menerima permasalahan pemberitaan pers/kasus pers yang diadukan oleh masyarakat yang dirugikan dengan pemberitaan pers dengan syarat dilakukan oleh wartawan dan perusahaan pers yang memenuhi syarat ketentuan UU 40/1999 dan Peraturan Dewan Pers, yaitu perusahaan pers yang terdata di Dewan Pers, untuk meminta Hak Jawab atau Hak Koreksi sebagai bentuk reward atau keistimewaan bagi media yang perusahaannya terdata di Dewan Pers;
2. Bahwa menurut Pemohon, adanya frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999, seakanakan mewajibkan kepada masyarakat jika terjadi sengketa pemberitaan atau kasus pers walaupun termasuk delik pers harus diselesaikan di Dewan Pers sebagaimana yang dialami Pemohon walaupun yang melakukan adalah media yang perusahaan persnya tidak terdata di Dewan Pers. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers Nomor 01/PeraturanDP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers;
3. Bahwa menurut Pemohon, apabila frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 dimaknai “semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers” dan penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers dengan menggunakan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka tidak heran jika saat ini marak pemberitaan pers yang berisi berita-berita yang mengandung pemberitaan jahat yang dapat dikategorikan sebagai delik pers. Delik-delik tersebut yaitu: delik penghinaan/pencemaran nama baik, fitnah, delik penyebaran kebencian, dan delik kesusilaan/pornografi dan juga marak nuansa berita sepihak yang cenderung memojokkan pihak-pihak yang diberitakan bahkan di dalam pemberitaannya mengandung unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana;
4. Bahwa menurut Pemohon, apabila ada media yang perusahaan persnya dan/atau wartawannya tidak terdata di Dewan Pers dapat dikategorikan pemberitaannya sama dengan media sosial, akan tetapi ketika terjadi sengketa pemberitaan/kasus pers, tetap ditangani oleh Dewan Pers, karena berlindung pada Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 dan penyelesaiannya “harus diselesaikan” dengan Hak Jawab atau Hak Koreksi, tanpa dapat menggunakan hak untuk melakukan gugatan perdata ataupun pidana. Hal ini telah menimbulkan diskriminasi hukum karena berbeda jika dilakukan oleh orang yang bukan berprofesi wartawan atau bukan perusahaan yang bergerak di bidang pers dan mengunggah tulisan yang dapat dikategorikan pemberitaan dan dilakukan di media sosial/media online, maka atas pemberitaan yang ditulisnya apabila hoax, atau mencemarkan nama baik dapat dilakukan pelaporan ke pihak kepolisian dengan menggunakan UU ITE dan lainnya;
5. Bahwa menurut Pemohon, frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 harus ditinjau keberlakuannya dan harus dibatasi apabila terkait dengan kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers yang dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers; dan “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” yang mengandung unsur-unsur delik pers;
6. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk “menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 terhadap frasa, “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”;

[3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6.
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas, makaMahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK.
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan inkonstitusionalitas frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang dimaknai “semua pemberitaan pers, termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”;
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menjawab dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa pembentukan UU 40/1999 merupakan bagian dari pelaksanaan reformasi yang menghendaki adanya jaminan kemerdekaan pers. Dengan adanya jaminan tersebut diharapkan pers memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi yang juga penting guna mewujudkan hak asasi manusia yang pada saat reformasi tersebut dijamin melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (Tap MPR). Dalam Tap MPR dimaksud antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan norma Pasal 19 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah” [vide Penjelasan Umum UU 40/1999]. Ketentuan dalam Tap MPR tersebut juga termuat dalam UUD 1945, yakni Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, dan hasil perubahan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Secara substansial UU 40/1999 menghendaki kelembagaan, struktur, keanggotaan, dan kegiatan Dewan Pers disesuaikan dengan semangat reformasi. Dalam kaitan ini, ditegaskan peran dan fungsi Dewan Pers adalah memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers agar masingmasing organisasi pers tidak membentuk peraturan secara sendiri-sendiri sehingga berpotensi bertentangan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Agustus 2022]. Oleh karena itu, adanya fungsi pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 sekalipun akan diatur dalam Peraturan Dewan Pers maka pengaturan tersebut diharapkan tetap dapat menjamin kemerdekaan pers.
Adanya jaminan tersebut yang juga menjadi dasar dibentuknya Dewan Pers sebagaimana ditegaskan dalam UU 40/1999 yaitu untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional [vide Pasal 15 ayat (1) UU 40/1999]. Tujuan tersebut dapat dicapai antara lain dengan adanya peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dalam pelaksanaan fungsi Dewan Pers. Untuk menjamin independensi dan kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat maka dalam penerapannya berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Oleh karenanya dalam penyusunan peraturan di bidang pers pun mengacu pada prinsip-prinsip dimaksud. Dalam kaitan dengan Pasal 15 UU 40/1999 pada pokoknya mengatur seluruh fungsi Dewan Pers agar dapat melaksanakan tujuannya. Salah satunya adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers [vide Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999].
Bahwa untuk menyeimbangkan antara kemerdekaan pers agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam UU 40/1999, UU a quo juga memberikan jaminan adanya peran serta masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan berupa: a) melakukan pemantauan dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; dan b) menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Bahkan, untuk mewujudkan peran serta masyarakat tersebut dapat dibentuk lembaga pemantau media atau media watch [vide Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan UU 40/1999]. Oleh karena itu, terkait dengan kasus pers sebagai bagian dari karya jurnalistik dan/atau kegiatan jurnalistik oleh wartawan dan perusahaan pers disampaikan melalui hak jawab atau hak koreksi. Hak jawab dimaksud adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain [vide Pasal 1 angka 11 dan angka 12 UU 40/1999].
[3.11.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan kemerdekaan pers sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUUXIX/2021 telah pula mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.15] ... Landasan konstitusional pers di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 haruslah dijamin.

Meskipun UU 40/1999 telah menjamin kemerdekaan pers serta penerapan self regulation, namun kini justru muncul kecenderungan pers yang terlalu bebas. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengingatkan kembali bahwa pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi secara bertanggung jawab. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Selain itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik [vide Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999]. Semangat reformasi pers di Indonesia menghendaki pers mampu bersuara untuk kepentingan rakyat dalam negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, bukan pers yang bebas sebebas-bebasnya sebagaimana pers di negara-negara yang menganut paham individualistik-liberalistik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memeroleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Pers nasional juga diharapkan berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [vide konsiderans Menimbang UU 40/1999].
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 apabila dimaknai “semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang dimohonkan pengujiannya tidak dapat dipisahkan dari norma-norma lainnya. Dalam kaitan ini, norma a quo berkelindan dengan fungsi Dewan Pers lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UU 40/1999 yang pada pokoknya menyatakan fungsi Dewan Pers adalah mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Secara substansial, ketentuan pasal a quo telah mengakomodir hal yang sesungguhnya dimohonkan oleh Pemohon, yang mempersoalkan konstitusionalitas fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Fungsi ini juga merupakan bagian dari upaya Dewan Pers mewujudkan ketentuan peran serta masyarakat yang juga dijamin dalam Pasal 17 UU 40/1999 di mana salah satu kegiatan masyarakat dimaksud dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Bahkan, dalam rangka pemantauan tersebut masyarakat dapat membentuk lembaga organisasi pemantau media (media watch) [vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Penjelasan UU 40/1999]. Dalam konteks ini, hak masyarakat memantau pemberitaan pers tersebut merupakan bagian dari fungsi kontrol yang dilakukan melalui kegiatan yang dapat menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Karena, UU 40/1999 telah memberikan jaminan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran [vide Pasal 4 ayat (2) UU 40/1999]. Oleh karenanya dalam melaksanakan fungsi kontrol publik tersebut, masyarakat dapat mengusulkan dan memberikan saran kepada Dewan Pers agar dapat menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional [vide Pasal 17 ayat (2) huruf b UU 40/1999]. Pemantauan atau kontrol publik penting untuk dilakukan sebagai wujud membangun keseimbangan dengan kewajiban pers nasional yang memberitakan peristiwa dan opini kepada publik dengan tetap menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Dalam negara yang berlandaskan nilai-nilai ideologi Pancasila adanya penghormatan terhadap hal-hal tersebut merupakan rambu-rambu penting dalam pemberitaan sehingga tetap terjamin keberadaban kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, berkaitan dengan norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo dijelaskan lebih lanjut bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut [vide Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999];
[3.12.2] Bahwa dalam kaitan dengan pertimbangan hukum di atas menjadi penting untuk menegaskan mengenai arti fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dalam konteks ini, terkait dengan pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan maka untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya tersebut di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak yakni hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya [vide Pasal 1 angka 10 dan Pasal 4 ayat (4) UU 40/1999]. Oleh karena itu, berkaitan dengan fungsi Dewan Pers dalam memberikan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat tersebut pun dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Hak jawab dan hak koreksi dimaksud sesungguhnya merupakan bagian dari kontrol publik yang dijamin oleh UU 40/1999 [vide Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU 40/1999]. Oleh karenanya, menjadi bagian kewajiban pers untuk melayaninya yakni melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan [vide Pasal 1 angka 13 UU 40/1999];
Bahwa dalam kaitan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang dianggap Pemohon sebagai dasar berlindungnya Dewan Pers menyelesaikan sengketa pemberitaan/kasus pers dengan hak jawab atau hak koreksi tanpa dapat menggunakan hak untuk melakukan gugatan perdata ataupun pidana walaupun yang melakukan adalah media yang perusahaan persnya tidak terdata di Dewan Pers sehingga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers. Hal tersebut juga menurut Pemohon menimbulkan diskriminasi hukum karena berbeda jika dilakukan oleh orang yang bukan berprofesi wartawan atau bukan perusahaan yang bergerak di bidang pers yang mengunggah tulisan/pemberitaan di media sosial/media online, maka atas pemberitaan tersebut, apabila hoax atau mencemarkan nama baik, dapat dilakukan pelaporan ke pihak kepolisian dengan menggunakan UU ITE. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan menilai legalitas Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/VII/2017, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga Mahkamah tidak berwenang menilainya. Terlebih lagi, Pemohon dalam menguraikan argumentasi konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 telah keliru, karena hanya memahami norma dimaksud secara parsial atau tidak membacanya secara utuh/komprehensif dalam kaitan dengan norma-norma lainnya. Apabila yang dipersoalkan oleh Pemohon semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers sudah diatur tersendiri dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu pada Pasal 18 UU 40/1999. Lebih lanjut, apabila yang dipersoalkan termasuk perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers, rumusan norma tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma Pasal 1 angka 2 UU 40/1999, yang menyatakan, “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Dengan demikian, yang dimaksud dengan perusahaan pers sudah secara jelas diuraikan dalam Ketentuan Umum UU 40/1999. Lebih lanjut, menjadi fungsi Dewan Pers untuk mendata perusahaan pers dimaksud [vide Pasal 15 ayat (2) huruf g UU 40/1999];
Bahwa apabila norma dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 dimaknai sebagaimana petitum Pemohon maka yang akan terjadi justru kebebasan berkomunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah harus terdata di Dewan Pers, dan hal tersebut akan mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Terlebih jika dicermati petitum permohonan, Pemohon justru menghendaki ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa, “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dimaknai “semua pemberitaan pers, termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”. Dengan demikian, hal itu menunjukkan justru Pemohon menegaskan bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas norma di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 telah ternyata tidak terdapat pertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak menimbulkan diskriminasi hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dan Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Eliadi Hulu, S.H., Saiful Salim, S.H., M.Andrean Saefudin, S.H., Meky Yadi Saputra. B, S.H., Gino Septian Manatap, Rizky Gunawan Taniloton, Salmen Jaindru Purba, Deshandra Yusuf Siswaan Atmadja, S.H., Subadria Nuka, S.H., Randika Fitrah Darmawan, S.H., M.H., Andi Takdir Palaguna, S.H., M.H., dan Hayirul R, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon I Mahkamah menemukan fakta dalam UU 6/2014 yang diakses oleh Mahkamah melalui laman peraturan.go.id pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, pada bagian Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 tidak terdapat Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 sebagaimana didalilkan Pemohon I. Adapun Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 seutuhnya adalah:
“Yang dimaksud dengan “terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun. Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” [vide Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495]
Berkenaan dengan substansi Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 di atas, Pemohon I justru secara berulang kali menyebutkan Penjelasan Pasal 39 a quo dalam dua ayat, yaitu Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 sebagaimana penyebutan tersebut terdapat mulai dari bagian perihal permohonan, posita hingga petitum. Bahkan, dalam petitum angka 4 dan angka 5, Pemohon I meminta kepada 5 Mahkamah untuk memaknai Penjelasan Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 [vide petitum angka 4] dan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 [vide petitum angka 5] bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara bersyarat. Terhadap petitum angka 4 dan angka 5 dimaksud dikaitkan pula dengan alat bukti yang diajukan Pemohon I berupa UU 6/2014 [vide bukti P-1], Mahkamah juga tidak menemukan ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 sebagaimana yang didalilkan Pemohon I. Sehingga, menurut Mahkamah, petitum angka 4 dan angka 5 dalam permohonan Pemohon I adalah tidak jelas atau kabur (obscuur). Seandainyapun petitum dimaksud adalah terkait dengan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 tanpa mencantumkan ayat, quod non, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Mahkamah telah memberikan tafsir terhadap Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 sebagaimana termaktub dalam amar angka 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 September 2021 yang menyatakan:
“Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. Sehingga Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) yang semula berbunyi “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” menjadi selengkapnya berbunyi “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undangundang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, petitum permohonan Pemohon I angka 4 dan angka 5 tidak jelas atau kabur (obscuur). Seandainyapun dalil Pemohon I tidak kabur, quod non, Mahkamah telah berpendirian terkait dengan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 yang menurut Mahkamah hingga saat ini belum ada alasan kuat untuk mengubah pendirian Mahkamah dimaksud.

[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya, Mahkamah akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan Pemohon I berkenaan dengan pengujian norma Pasal 39 UU 6/2014. Namun demikian, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil pokok permohonan Pemohon I berkenaan dengan pengujian norma Pasal 39 UU 6/2014, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon I berkaitan dengan ketentuan keberlakuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.

Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 pernah diajukan sebelumnya dan telah
diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2022, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon. Adapun terhadap Pasal 39 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 telah pula dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021.
Selanjutnya, setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, dalam Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dalam Perkara Nomor 42/PUUXIX/2021 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Kemudian berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, dalam Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 menyatakan pembatasan masa jabatan beralasan karena tidak mencukupi bagi kepala desa dalam melaksanakan visi dan misinya sehingga seharusnya masa jabatan kepala desa ditentukan sendiri oleh desa sesuai dengan adat istiadat desa. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 adalah mengenai cara penghitungan periodisasi masa jabatan kepala desa yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sedangkan alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah perlunya pembatasan masa jabatan kepala desa menjadi 5 (lima) tahun dengan periodisasi masa jabatan 2 (dua) kali sama seperti masa jabatan presiden dan kepala daerah.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam permohonan Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 dengan dasar pengujian permohonan a quo, yaitu dalam permohonan a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon I beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, secara formal permohonan a quo dapat diajukan kembali.

[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon I berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 sepanjang berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma pasal tersebut lebih lanjut.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon I berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pembatasan kekuasaan merupakan prinsip pokok yang harus dihadirkan dalam penyelenggaraan negara untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan serta dalam rangka melindungi hak asasi manusia. Secara hakiki UUD 1945 menganut prinsip pembatasan kekuasan termasuk di dalamnya pembatasan terhadap periodisasi masa jabatan alat-alat kelengkapan negara. Salah satu bentuk pembatasan kekuasaan ialah berlakunya ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal demikian dikarenakan Presiden adalah jabatan tunggal pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan.
Bahwa berkenaan dengan pembatasan masa jabatan publik pada umumnya, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja. Dalam hal ini, jabatan kepala desa tidak diatur dalam UUD 1945 melainkan diatur dalam undang-undang. Salah satu alasan pembedaan pengaturan demikian tidak terlepas dari kekhasan pemerintahan desa dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Berkaitan dengan pembatasan masa jabatan kepala desa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 adalah selama 6 (enam) tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. Dengan kata lain, seseorang dapat menjabat sebagai kepala desa paling lama 18 (delapan belas) tahun. Dalam batas penalaran yang wajar, pembatasan demikian tidak hanya sebatas dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat desa, tetapi juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021].
[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya, masa jabatan kepala desa mengalami dinamika perubahan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU 5/1979) sampai dengan UU 6/2014. Dinamika perkembangan masa jabatan kepala desa dimaksud telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021 Paragraf [3.11] yang menyatakan:
Bahwa pemerintahan desa merupakan bentuk administrasi pemerintahan paling bawah dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya, sistem dan bentuk pemerintah desa, termasuk pengisian jabatan kepala desa mengalami perubahan pengaturan sejak Indonesia merdeka hingga pengaturan dalam UU 6/2014. Jika diikuti pengaturan tentang pemerintahan desa pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU 5/1979), pembentuk undang-undang telah mengatur pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa. Dalam hal ini, Pasal 7 UU 5/1979 mengatur masa jabatan kepala desa adalah 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Artinya, seseorang hanya dapat menjadi kepala desa maksimal 2 (dua) periode dengan total masa jabatan seorang kepala desa maksimal adalah 16 (enam belas) tahun. Ketentuan dalam UU 5/1979 dapat dinilai sebagai bentuk perkembangan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (UU 19/1965) yang sama sekali tidak mengatur perihal pembatasan periodesasi masa jabatan kepala desa. Perihal masa jabatan, Pasal 9 ayat (2) UU 19/1965 hanya mengatur masa jabatan kepala desa paling lama 8 (delapan) tahun, tanpa diikuti dengan ketentuan dapat dipilih kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 5/1979;
Bahwa sejak reformasi, pengaturan pemerintahan desa digabung dengan pemerintahan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999). Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, ketentuan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan”. Kemudian, Penjelasan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat”. Sekalipun Penjelasan tersebut seolah-olah “membuka” katub prinsip pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan, namun dengan digantinya UU 22/1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) maka dapat dipastikan tidak ada kepala desa yang memegang jabatannya melebihi 10 (sepuluh) tahun. Terlebih lagi, dalam masa transisi dari UU 22/1999 ke UU 32/2004, ditentukan bahwa kepala desa yang sedang menjabat pada saat mulai berlakunya UU 32/2004 tetap menjalankan tugas sampai habis masa jabatannya [vide Pasal 236 ayat (2) UU 32/2004]. Selanjutnya, UU 32/2004 mengatur masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa sebagaimana termaktub dalam Pasal 204 UU 32/2004 yang menyatakan, “Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Norma a quo telah menentukan pembatasan masa jabatan kepala desa selama 6 (enam) tahun dan maksimal dua kali periode masa jabatan, sehingga seseorang tidak akan melebihi waktu 12 (dua belas) tahun menjadi kepala desa. Meskipun demikian, pembatasan yang ditentukan Pasal 204 a quo dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan peraturan daerah [vide Penjelasan Pasal 204 UU 32/2004]. Artinya, pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa dapat tidak sama dengan pembatasan yang telah ditentukan dalam Pasal 204 UU 32/2004 sepanjang memenuhi klausul “kesatuan masyarakat hukum adat masih hidup yang ditentukan dalam perda”.
Bahwa sebagai unit pemerintahan terbawah, dengan adanya pergantian UU 32/2004, pengaturan Pemerintahan Desa tidak lagi digabung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), tetapi diatur terpisah dalam UU 6/2014. Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, Pasal 39 UU 6/2014 menyatakan kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Dalam hal ini, bila seseorang telah dilantik sebagai kepala desa kemudian mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya, maka dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014]. Sedangkan berkaitan dengan frasa “secara berturut-turut” dan frasa “atau tidak secara berturut-turut” dijelaskan bahwa, “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014].”

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, dinamika perubahan pada pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sangatlah tergantung pada faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat. Dengan kata lain, apabila suatu saat pembentuk undang-undang berpendirian bahwa dengan memerhatikan perkembangan masyarakat terdapat kebutuhan untuk membatasi masa jabatan kepala desa, termasuk dengan menentukan periodisasi masa jabatan yang mungkin saja berbeda dengan ketentuan sebelumnya, hal itu tidaklah serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang oleh UUD 1945. Termasuk juga apabila terdapat pembedaan mengenai jangka waktu kepala desa menjabat dengan masa jabatan publik lainnya, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk mempersamakan antara masa jabatan kepala desa dengan masa jabatan publik lainnya, termasuk dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden serta masa jabatan kepala daerah.
Dengan demikian, dalil Pemohon I berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan telah memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil permohonan Pemohon I adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-03-2023

Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang diwakili oleh Gede Pasek Suardika (Ketua Umum) dan Sri Mulyono (Sekretaris Jenderal), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rio Ramabaskara, S.H., M.H., dkk yang tergabung dalam Tim Advokat Kebangkitan Nusantara, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum Pemohon a quo, Mahkamah perlu mengaitkan dengan petitum Pemohon dalam permohonannya yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 dimaknai “Persyaratan pengusulan pasangan calon tidak diberlakukan bagi partai politik peserta pemilu yang belum pernah mengikuti pemilu periode sebelumnya”. Terhadap adanya petitum Pemohon demikian dan dikaitkan dengan kedudukan hukum Pemohon, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon dalam perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.6.2] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, mempertimbangkan bahwa, “... pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan”;
[3.6.2] Bahwa selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, Mahkamah telah pula memutus perihal pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 yang diajukan oleh Pemohon Partai Politik yaitu, antara lain, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022. Mahkamah dalam putusan sebelumnya tersebut memberikan kedudukan hukum kepada partai politik sebagai pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 karena pemohon tersebut adalah partai politik yang mempermasalahkan perihal jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Demikian pula terhadap Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Januari 2018, yaitu Partai Islam Damai Aman (IDAMAN), Mahkamah juga memberikan kedudukan hukum meskipun partai tersebut belum pernah mengikuti Pemilu pada saat mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, namunyang dipersoalkannya pada saat itu adalah mengenai ambang batas, dan bukan mengenai pengusulan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden. Adapun Pemohon a quo tidak mempermasalahkan jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan memohon kepada Mahkamah agar dirinya sebagai partai politik peserta Pemilu yang belum pernah mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat turut serta mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, Pemohon sebagai partai politik yang belum pernah sebagai peserta Pemilu belumlah teruji akseptabilitas dan kualitas partai politik yang bersangkutan atas penilaian masyarakat dan hal ini tidak terlepas atau berpengaruh terhadap kualitas calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang diusulkannya.
[3.6.3] Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, adalah dimaksudkan untuk mengatur jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, oleh karena Pemohon adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilihan Umum pada Pemilu sebelumnya dan baru menjadi partai politik peserta yang akan mengikuti Pemilihan Umum pada Tahun 2024, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU 7/2017 adalah diberlakukan terhadap partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah memperoleh dukungan suara tertentu, maka menurut Mahkamah, batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon. Dalam kaitan dengan hal ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo telah mengajukan dissenting opinion sebagaimana pendiriannya pada putusan-putusan sebelumnya.
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Meskipun demikian, tanpa bermaksud mempertimbangkan pokok permohonan, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menentukan persyaratan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan mendasarkan pada perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, tidaklah berarti menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru untuk turut serta mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang setelah Pemilu 2024, karena Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 Selanjutnya →