Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Jovi Andrea Bachtiar, S.H., Richardo Purba, S.H., Leonardo Satrio Wicaksono, S.H., Jultri Fernando Lumbantobing, S.H., Sayid Aziz Imam Mahdi, S.H., Alfian Huzhayya, S.H., Galang Brillian Putra, S.H., Faiz Abdullah Wafi, Titanio Hasangapan Giovanni Sibarani, Thomas Perdana D.D Sitindaon, Febry Indra Gunawan Sitorus, dan Yusuf Rahmat, S.Sos., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), Pasal 69A ayat (1), Pasal 69A ayat (4) UU KPK, Pasal 51A ayat (5) UU MK, dan Pasal 10 ayat (1) huruf d serta Pasal 23 ayat (1) huruf b UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas norma-norma Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2), UU KPK ternyata telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, tanggal 4 Mei 2021, Pukul 16.22 WIB, di mana dalam amar putusan perkara tersebut pasal-pasal a quo telah dinyatakan inkonstitusional. Oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap norma pasal-pasal tersebut harus dinyatakan tidak ada lagi dan/atau bukan lagi merupakan bagian dari UU KPK secara utuh. Dengan demikian terhadap permohonan para Pemohon yang berkenaan dengan inkonstitusional norma pasal-pasal dimaksud telah kehilangan objek. Sedangkan berkenaan dengan norma Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) UU KPK di samping tidak dimohonkan dalam “Petitum” permohonan para Pemohon, para Pemohon juga salah di dalam mengutip isi norma Pasal 12C ayat (1) UU KPK. Sebab yang dikutip oleh para Pemohon adalah isi norma Pasal 12C ayat (2) UU KPK. Oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 37A ayat (3) UU KPK. Sementara itu berkenaan dengan dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK, setelah dicermati Mahkamah, permohonan a quo tidak ada konsistensi antara Posita dan Petitum. Sebab, dalam Posita para Pemohon mempersoalkan inkonstitusionalitas Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK. Sedangkan dalam Petitum para Pemohon memohon agar Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (4) UU KPK dinyatakan inkonstitusional. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan a quo adalah kabur.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2), UU KPK adalah kehilangan objek.

[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK, di mana para Pemohon memohon agar Pasal 51A ayat (5) UU MK dimaknai tetap berlaku konstitusional sepanjang frasa “mengabulkan Permohonan Pemohon” dimaknai mencakup juga “mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian”. Sedangkan terhadap Pasal 57 ayat (3) UU MK apabila dirumuskan secara sederhana oleh Mahkamah, sesungguhnya yang diinginkan oleh para Pemohon adalah tetap berlaku konstitusional sepanjang dimaknai mencakup juga putusan dengan rumusan sebagai berikut:
a. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
b. menyatakan bahwa frasa “...” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tetap berlaku konstitusional sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
Terhadap permasalahan inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK yang dipersoalkan oleh para Pemohon tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama ternyata hal yang dimohonkan oleh para Pemohon sesungguhnya pada esensinya adalah bagian dari bunyi amar putusan yang sangat dimungkinkan dapat terjadi dengan mencakup sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon. Sebab amar putusan pada dasarnya adalah refleksi dari pertimbangan hukum. Terlebih hal yang berkaitan dengan pemaknaan sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon dalam Pasal 51A ayat (5) UU MK, yaitu “mengabulkan Permohonan pemohon untuk sebagian” adalah hal yang sudah sering dilakukan oleh Mahkamah dalam amar-amar putusannya. Sedangkan berkenaan dengan rumusan amar putusan sebagaimana yang diinginkan para Pemohon berkaitan dengan Pasal 57 ayat (3) UU MK hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi, namun demikian apabila Mahkamah mengikuti rumusan amar sebagaimana diinginkan para Pemohon, maka hal tersebut justru akan mempersempit pemaknaan rumusan amar putusan yang berkaitan dengan Pasal 57 ayat (3) UU MK itu sendiri. Sebab, apabila Mahkamah akan membuat rumusan amar putusan lain selain seperti yang dimohonkan para Pemohon harus dilakukan permohonan pengujian terlebih dahulu di Mahkamah Konstitusi terhadap norma Pasal 57 ayat (3) UU MK tersebut secara berulang-ulang, maka hal tersebut justru dapat terhalang dengan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), padahal secara substansial permohonannya dimungkinkan beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011, apabila dirumuskan secara sederhana oleh Mahkamah, yang diinginkan oleh para Pemohon adalah tetap berlaku konstitusional sepanjang dimaknai mencakup juga putusan dengan rumusan sebagai berikut:
a. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undangundang dimaksud bertentangan atau tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
b. menyatakan bahwa frasa “...” dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tetap berlaku konstitusional sepanjang “diartikan...” atau “tidak diartikan...”;
Terhadap permohonan para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 a quo, setelah Mahkamah mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, ternyata masih berkaitan erat dengan permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) UU MK yang telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Oleh karenanya sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap permohonan para Pemohon a quo juga tidak ada relevansinya untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Terlebih pada hakikatnya ketentuan norma Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 dapat bersifat fleksibel dalam arti frasa “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” yang dimaksudkan dalam norma a quo adalah menindaklanjuti semua jenis amar putusan Mahkamah Konstitusi yang berakibat, antara lain adanya perubahan ataupun pemberlakukan norma secara bersyarat serta ketiadaan sebuah norma karena dinyatakan inkonstitusional.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UU KPK adalah kehilangan objek. Sementara itu berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 51A ayat (5) huruf a dan huruf b dan Pasal 57 ayat (3) UU MK serta Pasal 10 ayat (1) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan berkenaan dengan Pasal 69A ayat (1) dan Pasal 69A ayat (4) UU KPK adalah kabur.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 104/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Charlie Wijaya, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 18 UU Pers

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 18 UU Pers dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 15 Desember 2020. Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK.

[3.3.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan terhadap permohonannyasebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 28 Desember 2020 dan telah pula dilakukan sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan pada tanggal 19 April 2021, pukul 10.00 WIB, namun dalam persidangan perbaikan permohonan tersebut Pemohon tidak hadir dan baru menyampaikan surat izin untuk tidak menghadiri sidang dimaksud dengan alasan ada anggota keluarga yang sakit. Adapun surat tersebut diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 April 2021 pukul 10.43 WIB melalui pesan Whatsapp.
[3.3.3] Bahwa ternyata Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama Pemohon
3. Uraian pasal tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi
4. Uraian tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
5. Alasan permohonan (posita)
6. Petitum

[3.3.4] Bahwa sistematika permohonan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Sub-paragraf [3.3.3] di atas tidak memenuhi sistematika permohonan Pengujian Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021), yang seharusnya terdiri dari:
1. Identitas Pemohon
2. Uraian yang jelas mengenai dasar permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon dan alasan permohonan pengujian yang diuraikan secara jelas dan rinci.
3. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan.

[3.3.5] Bahwa format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Sub-paragraf [3.3.3] selain tidak sesuai dengan format permohonan pengujian Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, juga sama sekali tidak menguraikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Pemohon tidak menguraikan mengenai inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon. Selain itu, dasar pengujian konstitusionalitas pasal dalam UU 40/1999 sebagaimana diuraikan dalam posita permohonan Pemohon, tidak ada hubungannya sama sekali dengan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon, sehingga hubungan antara posita dan petitum permohonan menjadi tidak jelas. Walaupun Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK, akan tetapi permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas. Terlebih lagi setelah Mahkamah memeriksa petitum angka 1 (satu) permohonan Pemohon ternyata hal yang diminta oleh Pemohon adalah terkait dengan kerugian yang dialami Pemohon yang lazimnya ada dalam gugatan perdata sedangkan untuk petitum angka 2 (dua) permohonan Pemohon, ternyata hal yang diminta oleh Pemohon adalah terkait dengan pengujian formil yaitu terkait dengan pembentukan Pasal 18 UU 40/1999 yang menurut Pemohon tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan Pemohon a quo kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Taufik Surya Dharma, memberikan kuasa kepada R.A. Made Damayanti Zoelva, S.H, dkk, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP

Pasal 28D ayat (1) karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli.
Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:
a. apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau
b. apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang;
[3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak.
Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan.
[3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983);
Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa,
“(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi atau perseorangan;
2) warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.”
Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa,
“(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
a. gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
b. honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
c. laba bruto usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
f. bunga;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
h. royalti;
i. sewa dari harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP.
Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif …”.
Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok …” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu;
[3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum;
[3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus);
Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara.
[3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenangwenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak.
Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation).
[3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum.
Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif.
Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda;
[3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang;
Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum.
Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya.
[3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak;
Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang-undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow, namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan;
Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak.
Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak;
[3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan.
Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud.
Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”;
[3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur:
“Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal: a. badan oleh pengurus; b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator; c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan; d. badan dalam likuidasi oleh likuidator; e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”.
Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena penguruslah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak.
Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo, terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator.
Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama-sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi;
[3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum.
[3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan (in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945.
Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut;
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 74/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Rizal Ramli dan Ir. Abdulrachim Kresno, yang memberikan kuasa kepada Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M., dkk., Advokat/Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Refly Harun & Patners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara seksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal kualifikasi subjek hukum para Pemohon sesuai dengan uraian dalam permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang relevan. Menurut Mahkamah, norma yang diajukan oleh para Pemohon adalah berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Para Pemohon mengaitkan hal tersebut dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional dalam memeroleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka pengusulan pasangan calon tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan melainkan ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian menurut Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dengan ketentuan Pasal 222 UU 7/2017, maka yang memiliki hak kerugian konstitusional menurut permohonan yang diajukan oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik. Namun pertanyaan berikutnya, partai politik manakah yang dianggap memiliki hak kerugian konstitusional terhadap Undang-Undang a quo?
Terhadap pertanyaan demikian, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud partai politik adalah pengertian partai politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) dan harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU 2/2011, secara kumulatif, yaitu:
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum;
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundangundangan;
c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e. rekening atas nama Partai Politik”.
Selain syarat-syarat yang ditentukan dalam UU 2/2011, partai politik tersebut harus memenuhi syarat untuk dapat ikut serta sebagai peserta pemilihan umum. Pasal 173 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017 mengatur mengenai persyaratan partai politik yang dapat ditetapkan untuk dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu mengenai syarat verifikasi, sehingga bagi partai politik yang telah terpenuhi persyaratannya selanjutnya ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Baik partai politik peserta pemilihan umum yang tidak berhasil atau bahkan berhasil menempatkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki suara yang signifikan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, dalam terminologi yang demikan, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, maka subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Hal ini telah secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

[3.6.1] Bahwa terkait dengan kualifikasi Pemohon I sebagai warga negara Indonesia yang berkeinginan mencalonkan diri dalam Pilpres Tahun 2024, meskipun Pemohon I mendalilkan beberapa kali mendapat dukungan publik dari beberapa partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan dimintakan untuk membayar sejumlah uang, namun tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa Pemohon I pernah dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden. Terlebih lagi Pemohon I tidak menjelaskan partai politik mana saja yang memberikan dukungan kepada Pemohon I dalam pemilihan Presiden Tahun 2009, apakah partai atau gabungan partai tersebut memiliki suara yang signifikan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Seandainya Pemohon I memang benar didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, dalam batas penalaran yang wajar, Pemohon I mestinya menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah atau menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan Pemohon I;
Berkenaan dengan argumentasi Pemohon I mengenai kerugian potensial yang terjadi ketika mendeklarasikan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden harus membayar sejumlah uang kepada partai politik tertentu, hal tersebut adalah persoalan yang tidak relevan karena dalam ketentuan norma a quo tidak ditemukan ketentuan dimaksud. Dengan demikian, Pemohon I tidak mengalami kerugian dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Apalagi klaim tersebut tidak didukung dengan bukti yang bisa meyakinkan Mahkamah. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.6.2] Bahwa terkait dengan kualifikasi Pemohon II sebagai perseorangan warga negara Indonesia selaku pemilih yang memiliki hak untuk memilih, Pemohon II harus membuktikan bahwa Pemohon benar-benar ikut serta dalam pemilihan umum sebagai pemilih dan telah menggunakan hak pilihnya yang dibuktikan dengan dokumen seperti kartu pemilih dan nama yang tercantum dalam Daftar Pemilih tetap (DPT). Jikapun bukti itu ada, quod non, berkenaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2014 berbeda dengan Pemilu Tahun 2019. Pada Pemilu Tahun 2014, pelaksanaan pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dalam waktu yang berbeda, sedangkan pada Pemilu Tahun 2019 pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dalam waktu yang bersamaan (pemilu serentak). Mekanisme dan sistem penentuan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Tahun 2014 berbeda dengan Pemilu Tahun 2019, di mana pada Pemilu Tahun 2014 pemilih belum mengetahui bahwa hasil pemilihan anggota legislatif akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sehingga berkenaan hal tersebut Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum bagi pemilih perseorangan, sedangkan hasil Pemilu Tahun 2019 pemilih telah mengetahui bahwa hasil pemilihan anggota legislatif tersebut akan dipakai untuk menentukan ambang batas dalam menentukan pengusungan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Tahun 2024. Berkenaan dengan kerugian Pemohon II, menurut Mahkamah, Pemohon II tidak memiliki kerugian konstitusional karena pada saat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu anggota legislatif tahun 2019 dianggap telah mengetahui bahwa hasil hak pilih Pemohon akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam Pemilu serentak tahun 2024;
Terkait dengan anggapan kerugian Pemohon II bahwa adanya potensi dalam ketentuan norma a quo yang menyebabkan Pemohon II tidak memiliki kebebasan memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang banyak adalah tidak beralasan karena norma tersebut tidak membatasi jumlah pasangan calon yang berhak mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden. Permasalahan berapa pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden tidaklah ditentukan oleh norma yang diajukan para Pemohon, sehingga hal demikian bukanlah permasalahan norma melainkan permasalahan implementasi atas norma dimaksud. Terlebih lagi, norma yang diajukan oleh para Pemohon tidak menghalangi para Pemohon untuk bebas memberikan suaranya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden manapun yang telah memenuhi syarat. Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh Pemohon II tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma a quo, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

PT. Visi Citra Mitra Mulia (dikenal dengan “Inews TV”) dan PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (dikenal dengan “RCTI”), dalam hal ini diwakili oleh M. Imam Nasef, S.H., M.H, Taufiq Akbar Kadir, S.H, dkk, para Advokat yang berkantor di “TKNP Lawfirm”, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon bukti surat/tulisan dan keterangan para ahli yang diajukan para Pemohon, dan kesimpulan para Pemohon; keterangan DPR; keterangan Presiden, keterangan ahli yang diajukan oleh Presiden, dan kesimpulan Presiden; keterangan, bukti surat/tulisan dan kesimpulan Pihak Terkait PT. Fidzkarana Cipta Media, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana telah terurai pada Paragraf [3.7]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa penyiaran dalam perkembangannya telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi yang strategis bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah. Terlebih lagi dalam perkembangan kekinian teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi dengan tuntutan yang semakin besar akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia karena informasi dianggap telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum diharapkan semakin mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut dengan kualitas siaran dan keterjangkauannya sejalan dengan sistem penyiaran nasional yang harus tetap menjaga integrasi nasional dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Sejalan dengan sistem penyiaran nasional tersebut maka penyelenggaraan penyiaran harus pula mampu menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial (vide Pasal 1 angka 10 UU 32/2002). Hal ini yang menjadi salah satu dasar menimbang dibentuknya UU 32/2002 yakni penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab karena siaran yang dipancarluaskan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas ini memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak.
Penyiaran dalam UU 32/2002 ditentukan sebagai kegiatan pemancarluasan siaran yang dilakukan dengan menggunakan spektrum frekuensi radio secara terestrial, kabel dan atau media lainnya, misalnya satelit, untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran (vide dasar “Menimbang” huruf e UU 32/2002). Prinsip keserentakan dan kebersamaan itu yang menunjukkan karakter komunikasi penyiaran secara doktriner bertipe synchronous, oleh karenanya komunikasinya bersifat real time karena berlangsung dalam waktu yang sama antara pengirim dan penerima siaran. Hal ini terlihat dalam sistem televisi free to air (vide Pasal 1 angka 4 UU 32/2002). Layanan penyiaran pun dibatasi yaitu hanya di televisi dan radio. Selanjutnya, dalam penyelenggaraan penyiaran harus dilakukan oleh lembaga penyiaran sebagai subjek hukum yang berbadan hukum. Lembaga tersebut untuk dapat melaksanakan kegiatan penyiarannya harus memeroleh izin terlebih dahulu. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan usaha penyiaran bersifat eksklusif. Adapun lembaga penyiaran yang dapat menyelenggarakan penyiaran adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) yang berbadan hukum Indonesia di mana bidang usahanya khusus di bidang penyiaran dengan wilayah layanannya dibatasi sesuai dengan izin yang diberikan (vide Pasal 1 angka 9, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 21, Pasal 25 UU 32/2002). Berkaitan dengan hal itu, kegiatan penyiaran oleh lembaga-lembaga penyiaran tersebut hanya dilakukan melalui infrastruktur yang dibangun dan/atau disediakan secara khusus untuk keperluan penyiaran. Dikarenakan penyiaran bersifat keserentakan dan bersamaan dalam siaran maka masyarakat hanya dapat memilih program siaran sesuai dengan program yang disediakan oleh lembaga penyiaran. Dengan demikian penyiaran bersifat one to many yakni penyalurannya bersifat masif didorong (push) dari suatu sumber (lembaga penyiaran) ke seluruh penjuru (pemirsa) secara serentak dan bersamaan waktunya (vide Pasal 1 angka 2 UU 32/2002). Artinya, masyarakat tidak dapat memilih waktu menonton program siaran karena penayangan program siaran sudah ditentukan oleh lembaga penyiaran yang bersifat satu kali dalam satu waktu (push service).
Bertalian dengan penyelenggaraan kegiatan penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran adalah dengan menggunakan spektrum frekuensi radio yakni gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan. Spektrum frekuensi ini diposisikan sebagai milik masyarakat atau ranah/domain publik karena merupakan bagian dari sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional. Oleh karena itu, pemanfaatan spektrum frekuensi radio harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sehingga penggunaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien (vide Pasal 1 angka 8 UU 32/2002). Sebagai konsekuensinya pengaturan penyiaran dilakukan secara ketat dan rigid agar dalam perkembangannya tetap dapat menjamin terpenuhinya hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi. Pengaturan yang demikian ini senyampang dengan dasar pemikiran dibentuknya UU 32/2002 yang menghendaki agar penyelenggaraan penyiaran harus: (1) mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum; (2) mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun pemerintah, termasuk hak asasi setiap individu/orang dengan menghormati dan tidak mengganggu hak individu/orang lain; (3) memerhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dalam skala nasional maupun internasional; dan (4) mampu mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran (vide Penjelasan Umum UU 32/2002).
Dalam konteks mewujudkan penyelenggaraan penyiaran dalam sistem penyiaran nasional maka diperlukan adanya sistem pengawasan penyiaran oleh kelembagaan independen yang melibatkan peran serta masyarakat yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar dalam penyelenggaraan penyiaran dapat dicegah terjadinya upaya konglemerasi sehingga isi siaran yang sampai pada masyarakat tidak dipengaruhi baik oleh pemerintah pusat, daerah, atau pemilik modal.
Dalam perkembangan penyelenggaraan penyiaran tidak dapat dipungkiri bahwa penyiaran saat ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis internet. Internet yang dimaksud adalah suatu sistem (arsitektur) jaringan komunikasi berbasis Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP) yang menghubungkan berbagai macam perangkat melalui jaringan telekomunikasi. Namun demikian, jaringan-jaringan komputer yang saling terhubung satu sama lain tersebut tidak bersifat serentak dan bersamaan dalam satu waktu saja karena prinsip teknis transmisi internet bersifat any to any, yaitu pihak manapun dapat mengirim dan/atau menerima/mengambil (pull) komunikasi tersebut dalam waktu kapanpun (vide Angka 5.1 Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016).
Dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis internet maka saat ini semakin marak dan eskalatif pemanfaatan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet yakni layanan OTT. Layanan OTT tersebut dapat diakses oleh pengguna layanan melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet sehingga dapat diterima sesuai dengan permintaan, pilihan atau kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, secara doktriner layanan OTT merupakan komunikasi tipe asynchronous, berlangsung dalam komunikasi yang termediasi komputer (computer mediated communication) Layanan tersebut tidak terbatas hanya audio atau video saja tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti comment/chat dan menggunakan perangkan apapun sepanjang terkoneksi dengan internet serta mempunyai aplikasi yang dibutuhkan. Penyelenggara layanan OTT dapat perseorangan atau badan hukum yang apabila menggunakan sistem elektronik dan menyelenggarakan layanannya di Indonesia maka wajib mendaftarkan sistem elektroniknya pada pemerintah. Lebih lanjut, lingkup teritorial layanan OTT sebagai bagian dari kegiatan ruang siber (cyber space) tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara karena dengan mudah dapat diakses kapan pun dan dari mana pun (vide Penjelasan Umum UU 11/2008). Dengan demikian, jika kegiatan layanan penyiaran dilakukanmelalui infrastruktur yang khusus untuk itu maka hal ini berbeda dengan kegiatanlayanan OTT yang bergerak di atas jaringan telekomunikasi denganmenggunakan protokol internet dan aplikasi untuk mengaksesnya serta infrastrukturnya tidak terbatas hanya untuk layanan audio visual semata. Oleh karena itu, bagi masyarakat pengguna layanan OTT dapat mengakses layanan/konten dari platform OTT, memilih konten yang diinginkannya, serta menentukan waktu dan durasi untuk menonton layanan yang diakses secara berulang-ulang (pull service). Oleh karena itu kegiatan penyaluran layanan OTT bersifat privat dan eksklusif yang hanya dapat dinikmati layanannya dengan menyediakan anggaran oleh penggunanya dengan cara berlangganan baik langganan konten atau berlangganan internet.
Dalam konteks penyediaan layanan berbasis internet ini dapat dibedakan antara layanan aplikasi melalui internet, layanan konten melalui internet, penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (layanan OTT). Ketiga hal ini pengertiannya masing-masing secara doktriner berbeda. Layanan aplikasi melalui internet adalah pemanfaatan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, dan daring percakapan (chatting), transaksi finansial dan komersial, penyimpanan dan pengambilan data, permainan (game), jejaring dan medi sosial, serta turunannya. Sedangkan, layanan konten melalui internet adalah penyediaan semua bentuk informasi digital yang terdiri dari tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet. Adapun pengertian penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (Over the Top) atau layanan OTT adalah penyediaan layanan aplikasi melalui internet dan/atau penyediaan layanan konten melalui internet (vide angka 5.1 Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016).
[3.13] Menimbang bahwa setelah mencermati uraian mengenai aspek-aspek terkait dengan penyiaran dan penyediaan layanan berbasis internet sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan rumusan pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 yang menurut para Pemohon inkonstitusional karena multitafsir apabila tidak diubah dan/atau ditambah pengertiannya dengan frasa “.…..dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”, dengan pertimbangan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah bagian dari Bab Ketentuan Umum. Jika merujuk pada sistematika pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Ketentuan Umum suatu undangundang pada dasarnya berisikan pengertian atau definisi yang akan menjadi rujukan keseluruhan substansi ayat, pasal atau bab suatu undang-undang (vide lampiran II UU 12/2011). Adapun unsur-unsur pokok definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 adalah: (1) kegiatannya berupa pemancarluasan; (2) menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel dan/atau media lainnya; (3) diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Unsur-unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karenanya suatu aktivitas baru dapat dikatakan sebagai penyiaran jika memenuhi ketiga unsur tersebut. Oleh karena itu, apabila dilakukan perubahan terhadap pengertian atau definisi dalam “Ketentuan Umum” maka konsekuensinya akan mengubah secara keseluruhan substansi undang-undang, in casu UU 32/2002. Terlebih lagi istilah penyiaran yang pengertiannya mendasarkan pada definisi Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 digunakan sebanyak 278 kali dalam UU a quo. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar dalil para Pemohon yang menyatakan dengan menambah norma dalam pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 tidak akan mengubah pasal-pasal UU a quo sulit untuk dipahami, baik dari sisi teknis pembentukan peraturan perundang-undangan maupun substansinya. Karena, memasukkan begitu saja penyelenggaraan penyiaran berbasis internet dalam rumusan pengertian atau definisi “penyiaran” sebagaimana didalilkan para Pemohon tanpa mengubah secara keseluruhan UU 32/2002 justru akan menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi layanan OTT pada prinsipnya memiliki karakter yang berbeda dengan penyelenggaraan penyiaran konvensional. Hal ini berarti tidak dapat menyamakan antara penyiaran dengan layanan OTT hanya dengan cara menambah rumusan pengertian atau definisi “Penyiaran” dengan frasa baru sebagaimana yang diminta para Pemohon, karena internet bukanlah media (transmisi) dalam pengertian pemancarluasan siaran dikarenakan dalam sistem komunikasi dasar pada sistem komunikasi terdiri atas pemancar (transmitter), media atau kanal, dan penerima. Sementara itu, jika dikaitkan dengan frasa “media lainnya” yang dimaksudkan dalam pengertian Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 adalah terestrial (media udara), kabel, dan satelit. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam penyelenggaraan penyiaran yang dilakukan oleh LPB (vide Pasal 26 UU 32/2002) di mana penyelenggaraannya ditujukan untuk penerimaan langsung oleh sistem penerima penyelenggara siaran berlangganan dan hanya ditransmisikan kepada pelanggan (vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan). Namun demikian, LPS dapat pula menyelenggarakan siarannya melalui sistem terestrial untuk klasifikasi penyiaran radio AM/MW, penyiaran radio FM, dan penyiaran televisi, di mana ketiga penyeleggaraannya dilakukan secara analog atau digital, serta penyiaran multipleksing. Sedangkan, penyelenggaraan penyiaran LPS dengan sistem satelit ditentukan untuk penyiaran radio dan televisi yang keduanya dilakukan secara analog atau digital, serta penyiaran multipleksing (vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta). Sementara itu, bagi LPK dalam menyelenggarakan penyiaran hanya melalui sistem terestrial dengan cakupan untuk penyiaran radio AM/MW, penyiaran radio FM dan penyiaran televisi, di mana ketiganya dilakukan secara analog dan digital (vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas). Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang menjabarkan ingkup media lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 dalam peraturan pelaksana maka media (transmisi) secara nirkabel pada pokoknya adalah satelit, bukan internet.
Internet dan penyiaran konvensional adalah dua hal yang berbeda karena dalam internet terjadi suatu keterhubungan berbagai perangkat yang berbeda dengan basis protokol TCP/IP, sedangkan penyiaran merupakan kegiatan pemancarluasan siaran namun keduanya menggunakan media dalam penyaluran atau pemancarluasannya akan tetapi media lainnya yang dimaksud dalam kegiatan penyiaran bukanlah internet. Dengan demikian, ketidaksamaan karakter antara penyiaran konvensional dengan penyiaran berbasis internet tersebut tidak berkorelasi dengan persoalan diskriminasi yang menurut para Pemohon disebabkan oleh adanya multitafsir pengertian atau definisi “Penyiaran”. Terlebih lagi, Mahkamah telah berulangkali menegaskan mengenai batasan pengertian diskriminasi misalnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUUIV/2006, bertanggal 12 April 2007 yang pada pokoknya menyatakan “…diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, kesatuan politik...”. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 unsur-unsurnya tidak bersifat multitafsir karena menjadi basis pengaturan penyiaran konvensional. Oleh karenanya, tidak relevan menggunakan dalil diskriminasi terhadap perbedaan antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT yang memang memiliki karakter berbeda. Sebaliknya, justru jika permohonan para Pemohon dikabulkan akan menimbulkan kerancuan antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT.
Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan pengertian atau definisi “Penyiaran” dalam Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 multitafsir yang menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan bentuk dikriminasi atas berlakunya norma pasal a quo sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa apabila penambahan rumusan pengertian atau definisi Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 tidak dikabulkan sebagaimana yang diminta para Pemohon akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan karena penyiaran berbasis internet tidak ada pengaturan pengawasannya sebagaimana halnya penyiaran yang diawasi oleh KPI secara ketat. Ihwal demikian ini juga menimbulkan perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antara penyiaran dan layanan OTT. Terhadap dalil para Pemohon tersebut sebagaimana pertimbangan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.13.1] di atas telah ternyata terdapat adanya perbedaan karakter antara penyiaran konvensional dengan layanan OTT. Dengan adanya perbedaan tersebut bukan berarti terjadi kekosongan hukum pengawasan untuk layanan OTT sebagaimana didalilkan para Pemohon karena pengawasan atau pengendalian terhadap konten layanan OTT yang ditransmisikan melalui sistem elektronik sejatinya tunduk pada ketentuan UU ITE. Dalam UU ITE telah ditentukan mekanisme pengawasan terhadap konten layanan OTT agar tetap sejalan dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945, Pemerintah, in casu Menteri Kominfo, memiliki kewenangan untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik (konten internet) yang muatannya melanggar hukum. Hal demikian dilakukan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat adanya penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum (vide Pasal 40 ayat (2), ayat (2a), ayat (2b) UU 19/2016). Bertolak pada ketentuan ini, penegakan hukum yang dilakukan atas pelanggaran konten layanan OTT tidak hanya ditekankan pada aspek represif (penindakan) sebagaimana dalil para Pemohon tetapi justru pada tindakan preventif (pencegahan) karena ketentuan Pasal 40 UU 19/2016 sebagai perubahan atas UU 11/2008 justru meletakkan dasar-dasar tindakan preventif dalam rangka melindungi kepentingan umum yang lebih luas guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis sesuai dengan prinsip negara hukum yang dimaktubkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sementara itu, pengawasan atas konten layanan OTT yang melanggar hukum merupakan bagian dari peran pemerintah dalam memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik agar dalam pemanfaatan teknologi tersebut benar-benar dilakukan berlandaskan atas asas kehati-hatian dan itikad baik (vide Pasal 90 huruf a UU 19/2016). Berkenaan dengan aspek pengawasan ini, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019) sebagai peraturan pelaksana UU ITE telah ditentukan lebih lanjut mengenai langkah-langkah melakukan pencegahan penyebarluasan dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang (konten elektronik yang ilegal). Dalam konteks inilah, pemerintah dapat melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap konten elektronik yang ilegal (vide Pasal 90 huruf c dan Pasal 95 PP 71/2019). Pemutusan akses tersebut dilakukan terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan klasifikasi: (1) melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dan (3) memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 96 PP 71/2019). Ihwal tata cara mengajukan permohonan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diatur pula dalam Pasal 97 PP 71/2019 bahwa masyarakat dapat mengajukan permohonan pemutusan akses tersebut kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Selanjutnya, Kemenkominfo atau lembaga terkait berkoordinasi dengan Menkominfo untuk melakukan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut. Selain masyarakat, aparat penegak hukum dapat meminta pemutusan akses, termasuk lembaga peradilan pun dapat memerintahkan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dengan diputusnya akses tersebut maka penyelenggara sistem elektronik yang mencakup penyelenggara jasa akses internet, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi, penyelenggara konten, dan penyelenggara tautan yang menyediakan jaringan lalu lintas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik wajib melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, sebagai bentuk dari penegakan sanksi administratif (vide Pasal 98 dan Pasal 100 PP 71/2019). Dengan adanya pengaturan sanksi administratif ini menunjukkan bahwa tidak ada persoalan kekosongan hukum pengawasan terhadap layanan OTT sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Selain sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada penyelenggara sistem elektronik, UU ITE juga menentukan bentuk sanksi pidana (ultimum remidium) kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman. Termasuk perbuatan yang dilarang dan diancam pidana adalah tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan/atau tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. (vide Pasal 28 dan Pasal 29 UU 11/2008). Apabila tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok. Pemberatan ini juga dikenakan kepada korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam UU 11/2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga (vide Pasal 52 ayat (1) dan ayat (4) UU 11/2008).
Selain pengawasan terhadap konten layanan OTT dilakukan berdasarkan UU ITE juga didasarkan pada berbagai undang-undang sektoral lainnya sesuai dengan konten layanan OTT yang dilanggar. Misalnya UU 36/1999 menentukan adanya larangan penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dengan menentukan kewajiban bagi penyelenggara jasa telekomunikasi memblokir konten-konten yang melanggar larangan tersebut setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum (vide Pasal 21 UU 36/1999). Tindakan ini dilakukan sejalan dengan asas yang melandasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi yang harus mendasarkan pada asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. Dalam kaitan dengan asas etika menghendaki agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan dan keterbukaan (vide Pasal 2 dan Penjelasan UU 36/1999).
Dengan demikian, penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT telah ternyata tidak hanya ditentukan dalam UU ITE dan UU 36/1999 tetapi juga didasarkan pada berbagai undang-undang sektoral lainnya yang berkorelasi dengan konten yang dilanggar sebagaimana telah ditentukan mekanisme penegakan hukumnya misalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU 44/2008), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU 28/2014), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU 7/2014), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU 40/1999). Dengan telah ditentukannya aspek penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT dalam UU ITE, UU 36/1999 dan berbagai undang-undang sektoral baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi pidana maka berlakunya Surat Edaran Menkominfo Nomor 3 Tahun 2016 yang substansinya mengatur larangan sebagaimana didalilkan para Pemohon adalah tidaklah dapat dibenarkan karena pengenaan sanksi sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia pengaturannya harus dituangkan dalam undang-undang sebagai wujud representasi kehendak rakyat. Dimuatnya aspek larangan dalam Surat Edaran tersebut yang menyatakan larangan bagi penyedia layanan OTT untuk menyediakan muatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menimbulkan konflik atau pertentangan antar kelompok, antar-suku, antar-agama, antar-ras, dan antargolongan (SARA), menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, kekerasan, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, merendahkan harkat dan martabat manusia, melanggar kesusilaan dan pornografi, perjudian, penghinaan, pemerasan atau ancaman, pencemaran nama baik, ucapan kebencian (hate speech), pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (vide angka 5.6 Surat Edaran Menkominfo Nomor 3/2016), pada pokoknya merupakan substansi yang telah diatur dalam UU ITE, UU 36/1999, dan berbagai undangundang sektoral sebagaimana diuraikan di atas. Apabila Surat Edaran tersebut sesuai dengan maksud dan tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada penyedia layanan OTT dan para penyelenggara telekomunikasi untuk menyiapkan diri dalam mematuhi regulasi penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (OTT) yang saat ini sedang disiapkan oleh Pemerintah c.q Kemenkominfo serta bertujuan untuk memberikan waktu yang memadai bagi para penyedia layanan OTT untuk menyiapkan segala sesuatunya, terkait dengan akan diberlakukannya regulasi penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet maka untuk maksud dan tujuan yang demikian tersebut seharusnya substansinya dituangkan dalam peraturan pelaksana undang-undang. Atau, jika pembentuk undang-undang hendak mengatur secara komprehensif substansi penyiaran konvensional dan layanan OTT termasuk perkembangan kekiniannya dalam suatu undang-undang maka hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang sangat dimungkinkan mengingat saat ini UU 32/2002 telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020- 2024 (vide Keputusan DPR Nomor 46/DPR-RI/I/2019-2020). Namun demikian, berkenaan dengan Surat Edaran a quo yang dipersoalkan oleh para Pemohon bukanlah merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan tidak adanya tindakan preventif terhadap layanan konten ilegal karena tidak diaturnya dalam UU 32/2002 sehingga meminta Mahkamah untuk mengubah pengertian atau definisi “Penyiaran” agar terhadap konten ilegal layanan OTT dapat dikenakan tindakan preventif merupakan dalil yang tidak berdasar. Oleh karena itu, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 sepanjang berkaitan dengan dalil para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Muhammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad, S.E.,M.M., dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Dr. Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk., Advokat dan Konsultan Hukum di Heru Widodo Law Office (HWL), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam pokok permohonan, para Pemohon juga mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah memprioritaskan pemeriksaan perkara sebelum tahapan pendaftaran dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Tahun 2020. Dengan demikian, secara tersirat, melalui permohonan provisi tersebut, para Pemohon sesungguhnya memohon kepada Mahkamah agar putusan permohonan a quo diputus sebelum atau paling lambat tanggal 9 Desember 2020.
Terhadap permohonan provisi tersebut, menurut Mahkamah pengujian undang-undang bukanlah bersifat adversarial dan bukan interpartes melainkan menguji keberlakuan norma atau ketentuan undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga negara dan tidak dibatasi oleh tenggat waktu tertentu. Oleh karena itu, pada dasarnya, pengajuan provisi yang dilandasi oleh alasan yang sifatnya untuk memenuhi kepentingan orang-seorang tidaklah tepat. Di samping alasan bahwa Mahkamah harus tunduk pada ketentuan hukum acara dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, dengan berlakunya norma a quo yang dimohonkan pengujian, para Pemohon terkhusus Pemohon I, sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak terhalangi hak konstitusionalnya untuk mendaftar sebagai calon dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Begitu pula dengan Pemohon II, dengan berlakunya norma a quo sama sekali tidak menghalanginya menjadi tim sukses dalam kontestasi dimaksud. Bahwa berdasarkan alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.9] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016, para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, frasa menjabat sebagai gubernur, bupati, walikota dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”,
2. Bahwa menurut para Pemohon, dalam satu periode masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah diisi oleh pasangan calon yang dipilih bersama-sama melalui proses politik untuk rentang waktu lima tahun. Namun, jabatan tersebut dapat pula diisi oleh Wakilnya dalam kondisi Gubernur, Bupati, Walikota berhalangan atau diberhentikan sementara atau tetap. Dengan demikian, terdapat dua subyek hukum yang memenuhi kriteria pernah “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” sebagaimana frasa yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016, yakni pertama: kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), dan kedua: wakil kepala daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota). Dengan demikian, jabatan kepala daerah yang dapat diisi oleh Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota karena kondisi penon-aktifan/pemberhentian kepala daerah di tengah jalan, dalam satu periode masa jabatan.
3. Bahwa menurut para Pemohon, dari perspektif tugas dan wewenang, tidak dibedakan antara tugas dan wewenang subjek hukum yang “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” dengan subjek hukum yang “menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota”, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014). Ketentuan Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU a quo menegaskan hal tersebut, bahwa kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah. Dalam hal wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah, in casu menjadi Pejabat Kepala Daerah, waktu pelaksanaan jabatannya dapat berlangsung lama, bergantung pada proses penahanan kepala daerah atau status berhalangan sementaranya kepala daerah.
4. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian, tidak memberikan rasa keadilan dan bertentangan dengan asas proporsionalitas, dalam hal Bupati H. Abdul Haris Nadjamuddin (pada contoh kasus ketatanegaraan di Kabupaten Bone Bolango 2010-2015) yang tidak sempat menjalankan wewenang sebagai Bupati, dihitung telah menjabat selama satu periode. Sebaliknya, Wakil Bupati Hamim Pou yang telah menjalankan wewenang sebagai Bupati secara penuh dalam lima tahun, tidak dikategorikan telah menjabat selama satu periode. Demikian pula, sama tidak adil dan tidak proporsionalnya dalam hal diterapkan pada contoh kasus Bupati A dan Wakil Bupati B Periode 2005-2010. Tidak adil manakala Bupati A yang hanya menjabat sebagai Bupati selama 6 bulan dihitung telah menjabat selama satu periode, sedangkan Wakil Bupati B yang menjalankan wewenang Bupati selama 4,5 tahun atau 4 tahun 6 bulan, tidak dikategorikan telah menjabat selama satu periode.
5. Bahwa menurut para Pemohon, berlakunya frasa dalam pasal yang dimohonkan uji materiil telah menciptakan perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar sesama pejabat yang mempunyai wewenang yang sama-sama sebagai kepala daerah, yang tidak senafas dengan maksud dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, norma yang memuat perlakuan yang tidak sama (unequal treatment), dikategorikan sebagai norma yang bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, yang di dalam pertimbangan hukumnya ditegaskan: “Mahkamah berkesimpulan syarat pengunduran diri bagi calon yang sedang menjabat (incumbent) sebagaimana diatur Pasal 58 huruf q UU 12/2008 menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; (iii) Selain itu, Pasal 58 huruf q UU 12/2008 juga mengandung ketentuan yang tidak proporsional dan rancu, baik dari segi formulasi maupun substansi, karena menimbulkan perlakuan yang tidak sama antarsesama pejabat negara dan mengakibatkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtson-zekerheid) sehingga permohonan Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 58 huruf q Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum untuk dikabulkan”.
6. Bahwa menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 berpotensi dijadikan ruang penyelundupan hukum, manakala ukuran untuk menghitung masa jabatan satu periode adalah menjabat sebagai kepala daerah saja. Maka, dalam hal terjadi pemberhentian kepala daerah di tengah jalan sebelum mencapai setengah masa jabatan, wakil kepala daerah menggunakan ruang penyelundupan hukum dengan cara sengaja mengulur-ulur waktu proses penetapan menjadi bupati pengganti. Padahal, bersamaan dengan saat kepala daerah diberhentikan sementara, secara hukum, saat itu pula wakil bupati menjalankan wewenang sebagai bupati.
7. Bahwa menurut para Pemohon, berlakunya norma pasal yang diuji tidak berkesesuaian dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu berkaitan dengan tafsir norma penghitungan masa jabatan. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-VI/2008 dan Nomor 22/PUU-VII/2009 untuk mengadili obyek permohonan yang berbeda, yakni atas berlakunya Pasal 58 huruf o UU 32/2004, namun putusan Hakim Konstitusi yang memberi tafsir tentang pembatasan masa jabatan dengan hitungan setengah atau lebih dari setengah dimaknai telah satu kali menjabat, sebagai putusan yang bersifat erga omnes, tetap relevan dan berlaku terhadap norma dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n undang-undang yang dimohonkan pengujian materiil.
8. Bahwa menurut para Pemohon, berdasarkan hal tersebut di atas maka pemaknaan atas frasa menjabat sebagai gubernur, bupati, walikota dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU a quo yang tidak meliputi pula atas makna menjadi pejabat gubernur, bupati, walikota, merupakan pemaknaan yang berbeda dengan prinsip-prinsip dalam kedua Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, tidak proporsional dan tidak berkeadilan, memberi perlakuan yang tidak sama (unequal treatment), sehingga telah dapat dikategorikan sebagai norma yang tidak sesuai, tidak sejalan dengan amanat konstitusi, dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, agar supaya pemaknaan atas frasa menjabat sebagai gubernur, bupati, walikota dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU a quo, tidak lagi bertentangan dengan UUD 1945, sesuai dengan asas proporsionalitas yang memenuhi rasa keadilan, serta memberikan perlakuan yang sama atau equal treatment kepada setiap warga negara, sehingga memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka ketentuan tersebut dimaknai “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota”.
9. Bahwa menurut para Pemohon, pemaknaan tersebut berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan, “Jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali periode masa jabatan”. Dengan demikian, para Pemohon memohon agar frasa “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota”.
[3.10] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua ahli yang bernama Dr. Yusdianto, S.H., M.H., dan Dr. Muhtadi, S.H., M.H., sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 21 September 2020 dan telah pula menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 17 November 2020. Adapun keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat baru diterima Mahkamah pada tanggal 17 November 2020 setelah sidang dinyatakan selesai dan para pihak telah menyerahkan kesimpulan sehingga keterangan tertulis dimaksud tidak dipertimbangkan. Mahkamah hanya mempertimbangkan keterangan lisan Dewan Perwakilan Rakyat yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 21 September 2020 sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 September 2020 dan telah disampaikan dalam persidangan pada tanggal 5 Oktober 2020 sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah meminta keterangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai pemberi keterangan, KPU telah menyampaikan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 21 September 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis setelah selesai persidangan pada hari yang sama. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, Pihak Terkait Hamim Pou telah menyampaikan keterangan yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 5 Oktober 2020 dan sekaligus mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-7 yang telah disahkan dalam persidangan pada tanggal 5 Oktober 2020. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Pihak Terkait Hamim Pou mengajukan dua ahli, yakni Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., dan Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, S.H., M.Hum. Keterangan Pihak Terkait dan keterangan ahli selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara.
[3.15] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang dipersoalkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa UU 10/2016 merupakan penyempurnaan dari UU 1/2015 dan UU 8/2015 di mana dalam kedua perubahan undang-undang tersebut, bab tentang persyaratan calon menjadi bagian yang mengalami perubahan antara lain sebagai berikut:
a. Pasal 7 UU 1/2015 menyatakan: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain;
p. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati dan penjabat Walikota;
b. Pasal 7 UU 8/2015 menyatakan: “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota;
p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon.
c. Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 menyatakan: “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;
o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama;
p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;
2. Bahwa secara keseluruhan pengaturan penyempurnaan persyaratan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 selain bertujuan agar lebih terciptanya kualitas gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, juga dimaksudkan untuk mendapatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas. Selain itu, perubahan dimaksud juga merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi ihwal syarat calon seperti kewajiban untuk menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bagi PNS, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Terlebih lagi, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk mengakomodir persyaratan terkait mantan terpidana dapat maju sebagai pasangan calon bila telah mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memeroleh kekuatan hukum dan dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana serta pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah jika hanya terdapat satu pasangan [vide Penjelasan Umum UU 10/2016];
3. Bahwa terkait dengan masalah masa jabatan kepala daerah yang menjadi bagian dalam persyaratan calon kepala daerah juga telah ada dan diatur dalam Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) yang menyatakan:
“Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara RI yang memenuhi syarat antara lain:
o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”
dalam perkembangannya persyaratan dimaksud pun telah pernah diajukan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Untuk menjawab isu konstitusional terkait masa jabatan dalam Pasal 58 huruf o UU 32/2004, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-VI/2008 telah memberikan pertimbangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa batasan jabatan kepala daerah dapat diimplementasikan berupa, yaitu: pembatasan dua kali berturut-turut dalam jabatan yang sama; atau pembatasan dua kali jabatan yang sama tidak berturut-turut; atau pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama di tempat yang berbeda. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 kembali memberikan pertimbangan berkaitan dengan penghitungan masa jabatan kepala daerah, yakni masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan. Dalam kedua putusan tersebut Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 58 huruf o UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak bertentangan dengan UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa setelah mengemukakan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon mengenai konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945.
[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 sebagai masalah utama dalam permohonan a quo tidak memberikan rasa keadilan, sehingga dinilai bertentangan dengan asas proporsionalitas, menciptakan perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar sesama pejabat yang mempunyai wewenang yang sama sehingga berpotensi dijadikan ruang penyelundupan hukum dengan cara sengaja mengulur-ulur waktu proses penetapan menjadi bupati pengganti sehingga dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa pada prinsipnya kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon berawal dari adanya kasus konkret terkait mekanisme penggantian kepala daerah in casu H. Abdul Haris Nadjamuddin yang menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Bone Bolango pada periode tahun 2010-2015. Pada saat itu, oleh karena H. Abdul Haris Nadjamuddin tersangkut perkara pidana sehingga diberhentikan sementara. Maka, secara administratif, untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang diberhentikan sementara, kewenangan kepala daerah dilaksanakan oleh wakil kepala daerah. Dalam kasus konkret di Kabupaten Bone Bolango periode tahun 2010-2015, wewenang Bupati dilaksanakan Wakil Bupati Hamim Pou (Pihak Terkait) sebagai Pejabat Bupati. Perkembangan selanjutnya, disebabkan Bupati H. Abdul Haris Nadjamuddin meninggal dunia pada tanggal 23 Desember 2012 maka Wakil Bupati Hamim Pou, yang sebelumnya sejak Bupati H. Abdul Haris Nadjamuddin menjadi tersangka diangkat sebagai Pejabat Bupati, ditetapkan menjadi Bupati Bone Bolango definitif dan dilantik oleh Gubernur Gorontalo pada tanggal 27 Mei 2013 atau hampir lima bulan setelah H. Abdul Haris Nadjamuddin meninggal dunia. Dengan penetapan Hamim Pou (Pihak Terkait) sebagai Bupati definitif berjarak sekitar lima bulan dari Bupati H. Abdul Haris Nadjamuddin berhalangan tetap (karena meninggal dunia) maka terhitung sejak tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan tanggal 17 September 2015 berakhirnya masa jabatan Bupati Kabupaten Bone Bolango Periode Tahun 2010-2015 sehingga Hamim Pou hanya menjalani masa jabatan selama dua tahun tiga bulan. Sementara itu, terdapat peristiwa konkret adanya jarak waktu sekitar lima bulan antara Bupati yang berhalangan tetap (karena meninggal dunia) dengan saat pelantikan sebagai Bupati definitif sehingga didalilkan oleh para Pemohon sebagai bentuk “penyelundupan hukum” karena ada indikasi pejabat Bupati dengan cara sengaja mengulur-ulur waktu proses penetapan dan/atau menjadi bupati pengganti, sehingga masa jabatan Wakil Bupati Hamim Pou sebagai Bupati Kabupaten Bone Bolango yang definitif menggantikan Bupati H. Abdul Haris Nadjamuddin menjadi kurang dari dua setengah tahun. Akibatnya, masa jabatan Hamin Pou selama dua tahun tiga bulan menjadi terhitung nol periode atau bukan satu periode sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009.
[3.17.2] Bahwa untuk menjawab dalil yang dikemukakan para Pemohon tersebut terlebih dahulu harus diletakkan dalam konstruksi norma ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang menyatakan warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota adalah yang memenuhi persyaratan:
huruf n menyatakan:
Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota.
Sekalipun Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 telah mengatur pembatasan periodesasi masa jabatan kepala daerah (baik Gubernur, Bupati maupun Walikota) adalah maksimal dua periode, secara normatif ketentuan dimaksud belum dapat menjawab perhitungan periodesasi masa jabatan kepala daerah yang tidak dapat menuntaskan masa jabatan sebelum berakhir masa jabatannya selama lima tahun. Pentingnya penentuan perhitungan dimaksud tidak hanya berkaitan dengan periode masa jabatan kepala daerah yang berhenti sebelum habis masa jabatannya, tetapi menyangkut pula penentuan periodesasi masa jabatan wakil kepala daerah yang melanjutkan sisa masa jabatan kepala daerah. Berkenaan dengan hal ini, dengan alasan, antara lain, agar adanya kepastian hukum penghitungan periodesasi masa jabatan wakil kepala daerah yang melanjutkan masa jabatan kepala daerah yang berhenti sebelum masa jabannya berakhir, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan ialah bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan. Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak;
Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan;
Dengan memahami secara saksama pertimbangan hukum di atas, substansi yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dipertimbangkan sedemikian rupa untuk memberikan kepastian hukum. Artinya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang menyatakan, “Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, harus dimaknai sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dimaksud.
[3.17.3] Bahwa berdasarkan pemaknaan tersebut, khususnya pertimbangan yang menyatakan, “Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga persoalan permohonan para Pemohon yang memohon agar frasa sebagaimana dimaksudkan dalam Petitum para Pemohon yang menyatakan, “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota” telah dijawab secara tegas dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat tidak terdapat masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo.
[3.17.4]Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon perihal adanya penyelundupan hukum berkenaan dengan kasus konkret yang dikemukakan oleh para Pemohon, dalil tersebut menurut Mahkamah adalah dalil yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk memberikan penilaian, mengingat penetapan seseorang yang diangkat menjadi pejabat Kepala Daerah yang menggantikan Kepala Daerah yang berhalangan tetap adalah merupakan ranah implementasi norma dan bukan terkait dengan inkonstitusionalitas norma. Terlebih lagi, karena norma Pasal 7 ayat (2) huruf n berkaitan dengan syarat pencalonan maka secara yuridis pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan atau upaya hukum kepada lembaga yang ditentukan oleh undang-undang.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Hj. Nurhasanah, SH., M.H, Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Si, Dr. Maryono, S.Kar., M.Hum, Prof. DR. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng, DR. Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M, Prof. Gede Sri Darma, D.B.A, Dra. Hj. Septina Primawati dan H. Khoerul Huda, S.T, M.M yang memberikan kuasa kepada Zul Armain Aziz, S.H., M.H. dkk, para Advokat pada Kantor Hukum Zul Armain Aziz & Associates , untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap 6 ayat (3) UU 40/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
2. Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
3. Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
4. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan UndangUndang”.



[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain.
Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu.
Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong (Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, halaman 265). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121).
Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan.
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945.

[3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3], khususnya baris terakhir menyatakan:
… Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama (mutual).
Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013).
Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“.
Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance) dengan memerintahkan pembentuk undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

[3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan.
Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act, Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960-Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang;

[3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara.
Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman (condemnatoir). Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan.
Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.


Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu:
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman (condemnatoir), sebagaimana diuraikan di atas.
Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan (constitutionalism justice delay) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945.
Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan sematamata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya.

[3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan:
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”;
1.2. Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”;
2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk UndangUndang tentang Asuransi Usaha Bersama (Mutual Insurance). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang.
Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
a. Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama (mutual) lagi di Indonesia.
b. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
c. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
d. Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan UndangUndang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi.
Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya.
Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3], terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong (legacy) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama (mutual), sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan UndangUndang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah.

[3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama (mutual insurance).

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Hj. Rosmanindar, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Mohammad Yusuf Hasibuan, S.H., Irfandi S.H., dan Afandi Arief Harahap S.H., yang tergabung dalam Kantor Advokat Mohammad Yusuf Hasibuan & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 6 UU 4/1996

Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6 UU 4/1996 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 6 UU 4/1996 Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara. Pada pokoknya Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena Pasal 6 UU 4/1996 mengatur bahwa kreditor berhak menjual objek hak tanggungan untuk melunasi piutang dalam hal debitor cidera janji, sementara di sisi lain Pasal 6 UU 4/1996 tidak mengatur peralihan harta (termasuk utang) dari debitor kepada ahli warisnya, sehingga Pemohon sebagai ahli waris merasa kehilangan harta warisan dari debitor;
Berdasarkan argumentasi tersebut Pemohon dalam petitum permohonannya memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.8] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK mengingat pengujian terhadap pasal a quo pernah dilakukan di Mahkamah dalam Perkara Nomor 70/PUU-VIII/2010.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
“(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Adapun Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/2005) mengatur:
“(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) diatas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.”
Bahwa perkara yang sedang diadili Mahkamah ini adalah mengenai pengujian Pasal 6 UU 4/1996. Pasal dimaksud pernah diuji sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-VIII/2010, bertanggal 21 Desember 2011, diajukan oleh Advokat bernama Uung Gunawan yang memohonkan pengujian konstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 mengenai parate executie terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang diputus oleh Mahkamah dengan amar “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”.
Adapun Perkara yang sedang diadili Mahkamah ini, meskipun juga menguji konstitusionalitas Pasal 6 UU 4/1996, namun tidak langsung mengenai parate executie melainkan mengenai perpindahan hak dari debitor kepada ahli warisnya dan dasar pengujian yang dipergunakan Pemohon bukan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 melainkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut, yaitu adanya perbedaan dasar pengujian serta alasan yang berbeda, maka permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK 6/2005, dan dengan demikian permohonan a quo dapat diajukan kembali dan selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon berkenaan dengan norma a quo;
[3.9] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-11;
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, dengan berlandaskan pada Pasal 54 UU MK, oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK;
[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati permohonan tertulis yang diajukan Pemohon serta mendengarkan penjelasan lisan dalam persidangan, Mahkamah berpendapat bahwa permasalahan yang dihadapi Pemohon adalah adanya anggapan Pemohon bahwa ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 telah mengakibatkan hilang atau terhalangnya pemenuhan hak ahli waris dari seorang debitor yang telah meninggal;
[3.12] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 pada intinya mengatur mengenai penjualan objek hak tanggungan oleh kreditor ketika debitor tidak melunasi pinjamannya. Secara umum menurut Mahkamah ketentuan tersebut, serta ketentuan mengenai hak tanggungan pada umumnya, merupakan pelengkap (accessoir) dari perjanjian perikatan atau perjanjian keperdataan biasa terutama perjanjian utang-piutang atau kredit. Dengan demikian ketentuan Pasal 6 a quo harus dipahami sebagai bagian dari perikatan perdata yang menjadi induknya.
Bahwa perikatan perdata itu sendiri adalah suatu perikatan/kontrak yang pada prinsipnya mengikat hanya bagi pihak-pihak yang bersepakat akan perikatan dimaksud baik secara lisan maupun tertulis (dalam bentuk menandatangani dokumen perjanjian). Di sisi lain dapat dipahami bahwa perikatan perdata tidak mengikat bagi pihak yang tidak terlibat atau tidak mengetahui adanya perikatan perdata dimaksud. Pertanggungjawaban atas suatu perikatan/perjanjian tidak dapat dibebankan kepada pihak yang tidak mengetahui adanya perjanjian dimaksud, kecuali pihak tersebut secara sukarela melibatkan diri dalam pemenuhan isi perikatan/perjanjian dimaksud.
Bahwa isi perikatan/perjanjian selalu berupa kewajiban yang berpasangan dengan hak, yaitu kewajiban salah satu pihak merupakan hak bagi pihak yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Perikatan/perjanjian adalah perimbangan antara prestasi yang kemudian mengharuskan adanya tindakan kontra-prestasi dari pihak yang memperoleh prestasi.
[3.13] Menimbang bahwa dalam kaitannya antara perjanjian kredit dengan dengan pewarisan, terdapat pertanyaan yang harus dijawab lebih dahulu oleh Mahkamah apakah utang dapat atau boleh diwariskan.
Bahwa selama ini dikenal beberapa skema hukum mengenai pengalihan suatu perikatan utang-piutang kepada pihak lain. Tiga yang lazim di antara beberapa skema pengalihan tersebut adalah cessie, subrogasi, dan novasi. Ketiga skema pengalihan ini pada dasarnya adalah pengalihan hak kreditor (in casu adalah piutang yang memunculkan hak tagih).
[3.13.1] Bahwa secara sederhana cessie dipahami sebagai suatu perikatan/perjanjian pengalihan piutang dari kreditor lama kepada kreditor baru. Subrogasi adalah pengalihan piutang dari kreditor lama kepada kreditor baru, yang dilakukan dengan cara pihak ketiga melunasi utang debitor kepada kreditor lama sehingga menghapus perikatan/perjanjian utang-piutang yang lama, kemudian dibuat perjanjian utang-piutang baru antara debitor lama dengan pihak ketiga yang dalam hal ini menjadi kreditor baru. Adapun novasi adalah hapusnya perikatan utang-piutang karena kesepakatan antara debitor dan kreditor, kemudian kedua pihak menyusun perikatan baru sebagai pengganti perikatan utang-piutang yang telah hapus.
Bahwa dari sisi kreditor, ketiga bentuk pengalihan tersebut dapat dikatakan merupakan suatu pengalihan kewajiban debitor atau pengalihan utang. Substansi skema cessie maupun subrogasi, dari perspektif kreditor lama, dapat juga dipahami sebagai beralihnya utang dari debitor lama kepada debitor baru, di mana selanjutnya debitor baru ini bertindak sebagai kreditor baru terhadap debitor lama.
[3.13.2] Bahwa sifat pengalihan utang adalah pilihan, di mana pihak yang akan mengambil alih utang debitor berada dalam posisi bebas untuk memilih/menentukan apakah dia akan mengambil alih utang debitor atau tidak. Kebebasan memilih yang demikian dilandasi oleh pemahaman atau pengetahuan yang cukup mengenai risiko pengambilalihan utang (borgtocht) yang pada akhirnya akan menempatkan pihak pengambil alih ini sebagai debitor baru terhadap kreditor.
Bahwa menurut Mahkamah, kebebasan memilih menjadi hal penting dalam memahami skema peralihan utang-piutang. Pentingnya kebebasan memilih dilandasi pada situasi bahwa piutang memberikan pada pemegangnya suatu hak untuk menagih, hak untuk mendapat prestasi, atau hak untuk memperoleh kenikmatan tertentu. Sementara itu utang adalah sesuatu hal yang berlawanan, yaitu suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu, kewajiban untuk memberikan prestasi tertentu, bahkan dapat dikatakan utang adalah suatu nestapa bagi pihak yang mengembannya.
Bahwa kebebasan memilih yang dilandasi kesadaran atau pengetahuan demikian tidak selalu terjadi dalam skema pewarisan. Hal inilah yang menurut Mahkamah secara prinsip membedakan antara konsep peralihan hak atau kewajiban dalam perikatan utang-piutang dengan konsep peralihan hak atau kewajiban dalam suatu hubungan waris-mewaris.
[3.14] Menimbang bahwa mengenai pewarisan utang (pewarisan yang objek warisnya berupa utang atau kewajiban tertentu) hukum perdata positif Indonesia mengatur sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa dari perspektif Hukum Islam, suatu objek hukum berupa kewajiban (in casu utang) secara umum bukan merupakan objek waris. Dengan kata lain objek waris haruslah berupa suatu hak/kenikmatan tertentu. Objek waris tidak boleh berupa kewajiban yang memberatkan ahli waris. Hal demikian bertolak dari prinsip dasar bahwa manusia hanya menanggung akibat dari suatu peristiwa yang dia lakukan sendiri, dan tidak wajib menanggung akibat dari suatu peristiwa yang tidak dia lakukan maupun turut terlibat di dalamnya. Dalam hal seseorang meninggal dunia, ahli waris mempunyai kewajiban menyelesaikan utang pewaris yang meninggal dunia tersebut, namun penyelesaian atau pembayaran ini menggunakan harta peninggalan pewaris dan hanya sebatas nilai harta pewaris yang ditinggalkan. Ketentuan fiqh demikian kemudian dituangkan dalam Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: … b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang; … (2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”.
[3.14.2] Bahwa dari perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang berlaku untuk warga negara Indonesia selain yang menundukkan diri pada Hukum Islam, berlaku prinsip bahwa objek waris adalah kesatuan aktiva dan pasiva, hak dan kewajiban, atau piutang maupun utang. KUH Perdata membedakan akibat hukum bagi ahli waris yang menerima warisan secara murni dan di sisi lain ahli waris yang menerima warisan secara beneficier. Ketentuan dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1318, Pasal 123, dan Pasal 1100, pada pokoknya mengatur bahwa suatu perjanjian berlaku mengikat pula bagi ahli waris, dan karenanya ketika orang yang berutang (debitor) meninggal dunia maka utangnya akan menjadi tanggung jawab ahli warisnya. Adapun KUH Perdata dalam konteks pewarisan memberikan pilihan kepada ahli waris untuk menerima atau tidak menerima pewarisan. Pilihan demikian diatur antara lain dalam Pasal 1045, Pasal 1057, Pasal 1062, dan Pasal 1023, yang pada pokoknya mengatur bahwa seseorang tidak wajib menerima warisan yang diberikan kepadanya. Seseorang dimaksud boleh memperhitungkan konsekuensi peralihan harta waris bagi dirinya dan kemudian secara bebas memutuskan untuk menerima atau menolak. Bahkan Pasal 1032 KUH Perdata mengatur bahwa dalam hal ahli waris menerima waris secara beneficier (yaitu hak istimewa untuk melakukan pencatatan), ahli waris tersebut hanya menanggung/membayar utang-utang pewaris sebatas dapat dicukupi oleh harta warisan.
[3.15] Menimbang bahwa dari dua perspektif hukum waris demikian, yaitu perspektif Hukum Islam dan perspektif KUH Perdata, Mahkamah berpendapat suatu perikatan atau perjanjian kontraktual pada dasarnya tidak mengikat pihak ketiga yang tidak melibatkan diri dalam suatu perjanjian kontraktual, atau setidaknya pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk menolak terlibat dalam suatu perjanjian kontraktual yang dibuat tanpa pengetahuan/persetujuan darinya.
Bahwa dalam kaitannya dengan pewarisan, Mahkamah berpendapat suatu perikatan utang-piutang antara debitor dengan kreditor tidak mutlak mengikat ahli waris debitor. Secara a contrario dapat dikatakan keberadaan ahli waris (setelah debitor meninggal) tidak menjadikan ahli waris tersebut secara otomatis dan mutlak sebagai debitor baru yang menggantikan kedudukan debitor yang telah meninggal. Hal demikian bergantung pada pilihan hukum perdata masing-masing Warga Negara Indonesia, apakah menundukkan diri pada Hukum Islam atau menundukkan diri pada KUH Perdata, yang mana dalam perkara a quo kedua ketentuan waris dimaksud bukan merupakan objek pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan oleh Pemohon.
Bahwa berdasarkan prinsip seseorang tidak akan dibebani tanggung jawab atas suatu peristiwa yang dia tidak melakukan, terlibat di dalamnya, dan menyetujui, maka peralihan mutlak status kepemilikan sesuatu dari pewaris kepada ahli waris hanya terjadi dalam hal kepemilikan tersebut menimbulkan prestasi bagi ahli waris. Peralihan mutlak status kepemilikan dari pewaris kepada ahli waris yang menimbulkan kewajiban, in casu peralihan utang, menurut Mahkamah berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena memunculkan kewajiban/beban yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh ahli waris.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah berpendapat seharusnya ada ketentuan yang komprehensif mengatur pelaksanaan eksekusi hak tanggungan ketika debitor dalam suatu perjanjian utang-piutang yang dilekati hak tanggungan telah meninggal dunia sebelum dapat menyelesaikan kewajibannya, di mana debitor tersebut mempunyai ahli waris. Ketentuan demikian secara adil harus mempertimbangkan pula kultur berhukum Indonesia, di mana dalam lapangan hukum perdata terdapat keragaman pengaturan mengenai waris.
Bahwa hal demikian menurut Mahkamah tidak lain demi memberikan penghormatan atau memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang dengan itikad baik menundukkan dirinya dalam suatu perikatan, yaitu kreditor maupun debitor (yang kemudian menjadi pewaris);
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan setelah debitor (H. Mardi Can) meninggal dunia telah terjadi pencairan asuransi untuk pelunasan kredit debitor dimaksud, namun kreditor tetap melakukan penjualan objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UU 4/1996 melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung. Akan tetapi terhadap dalil tersebut Pemohon tidak menjelaskan maupun membuktikan lebih lanjut mengenai terjadinya pencairan asuransi demikian;
Bahwa terhadap peristiwa yang dialami Pemohon, Mahkamah menilai hal demikian bersifat kasuistis yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Dengan kata lain Mahkamah berpandangan permasalahan demikian merupakan permasalahan implementasi/penerapan norma undang-undang, yang penyelesaiannya bukan merupakan kewenangan Mahkamah;
[3.18] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 6 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan landasan hukum agar terjadi penggantian debitor oleh ahli warisnya dan/atau peralihan objek hak tanggungan dari debitor yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Pemohon berpendapat bahwa hak untuk menggantikan debitor, terutama bagi ahli waris debitor bersangkutan, telah terhalangi oleh keberadaan Pasal 6 UU 4/1996.
Bahwa terhadap dalil demikian, Mahkamah berpendapat apabila Pemohon menginginkan adanya pengaturan mengenai hak-hak ahli waris atas harta pewaris yang dijadikan objek hak tanggungan sebagai jaminan utang kepada kreditor, tidaklah serta-merta ketentuan demikian dapat tercipta dengan menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketiadaan ketentuan dalam UU 4/1996 yang mengatur mengenai peralihan objek waris dalam kaitannya dengan hak tanggungan seolah-olah merupakan kekosongan hukum, namun sebenarnya tersedia pengaturannya dalam lapangan Hukum Perdata Islam maupun dalam KUH Perdata. Seandainya Pemohon menilai ketentuan dimaksud tidak mencukupi kebutuhan hukum Pemohon, secara hukum dimungkinkan adanya pembentukan hukum baru oleh Pembentuk Undang-Undang. Atau, jika Pemohon menilai norma dalam Hukum Perdata Islam maupun KUH Perdata bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon dapat mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dimaksud.
[3.19] Menimbang bahwa menurut Mahkamah Pasal 6 UU 4/1996 berlaku umum kepada semua debitor yang cedera janji, baik debitor yang masih hidup maupun debitor yang meninggal dunia dengan atau tanpa ahli waris. Ketentuan a quo mengatur mengenai eksekusi hak tanggungan, yang ketentuan ini dimaksudkan sebagai perlindungan hukum dan pemberian kepastian hukum bagi kreditor akan terlunasinya piutang kreditor. Ketentuan a quo sama sekali tidak mengatur, atau melarang, mengenai peralihan utang dari debitor kepada pihak lain, atau kepada ahli waris dalam hal debitor meninggal dunia.
Bahwa berdasarkan pertimbangan demikian Mahkamah menilai dalil Pemohon yang menghubungkan ketentuan eksekusi hak tanggungan dengan terhalangnya Pemohon untuk mewarisi utang (dan segala kewajiban hukum) debitor adalah tidak berdasar. Dalam pandangan Mahkamah, apabila ketentuan Pasal 6 UU 4/1996 dihilangkan justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang lain;
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Ardian Aldiano yang dalam hal ini diwakili oleh Singgih Tomi Gumilang, S.H., Rudhy Wedhasmara, S.H., M.H., Joko Sutrisno, S.H., dan Totok Surya, S.H., para Advokat pada Sitomgum & Co. | Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika

Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 111 ayat (2) sepanjang kata ‘pohon’ dan Pasal 114 ayat (2) sepanjang kata ‘pohon’ sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa yang menjadi permasalahan konstitusionalitas dalam Permohonan a quo adalah apakah benar rumusan kata ‘pohon’ yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) tidak memberikan kepastian hukum yang adil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain dari itu, secara lebih spesifik apakah kata ‘pohon’ dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009 harus ditafsirkan sebagaimana pengertian ‘pohon’ yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 UU 18/2013. Terhadap permasalahan konstitusionalitas norma yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut di atas, menurut Mahkamah di dalam mempertimbangkan rumusan kata ‘pohon’ yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009, tidak dapat dipisahkan dan harus memperhatikan pengertian kata ‘pohon’ dari beberapa sumber dan pendapat ahli sebagai berikut: Pertama, arti kata ‘pohon’ menurut KBBI: pohon/po·hon/ n (1) tumbuhan yang berbatang keras dan besar; pokok kayu: -- asam; -- mangga; (2) bagian yang permulaan atau yang dianggap dasar; pangkal; (3) asal mula; pokok sebab. Kedua, pengertian pohon menurut ahli botani bernama Baker dalam bukunya berjudul Prinsip-Prinsip Silvikultur, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987 menyatakan, “pohon merupakan tumbuhan berkayu yang mempunyai satu batang dan memiliki bentuk yang jelas dengan tinggi tidak kurang dari 8 kaki (2,438 meter)”. Ketiga, menurut Dengler, pohon diartikan sebagai suatu tumbuhan yang memiliki akar, batang, dan daun yang jelas dengan tinggi minimal 5 meter. Keempat, pengertian pohon menurut Kepmenhut 353/Kpts-II/1986 adalah tumbuh-tumbuhan berkayu yang memiliki batang setinggi dada 10 sentimeter atau lebih. Kelima, pohon yang dalam bahasa Inggris disebut tree, menurut kamus Bahasa Inggris Merriam-Webster diartikan sebagai a. tanaman tahunan berkayu yang memiliki batang utama tunggal yang memanjang, umumnya dengan sedikit atau tidak ada cabang di bagian bawahnya; b. semak atau herba yang memiliki bentuk menyerupai pohon dalam pertumbuhan atau penampilannya. Keenam, pengertian pohon menurut Pasal 1 angka 14 UU 18/2013 adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 meter di atas permukaan tanah.
Bahwa dengan mendasarkan pada definisi pohon di atas, dapat ditarik kesamaan bahwa yang dimaksud dengan pohon adalah tumbuhan berkayu, yang memiliki bentuk yang jelas yaitu memiliki akar, batang dan daun yang jelas ataupun tumbuhan yang memiliki bentuk yang menyerupai pohon dalam pertumbuhan atau penampilannya. Sedangkan terkait dengan klasifikasi ketinggian pohon berdasarkan rumusan definisi yang diberikan oleh para ahli botani, Kepmenhut maupun oleh UU 18/2013 ternyata adalah berbeda-beda. Hal ini dikarenakan tidak adanya ukuran yang pasti untuk dapat menggambarkan klasifikasi ketinggian yang sama persis antara satu pohon dengan pohon lainnya. Selain itu, pengklasifikasian terhadap tinggi pohon dapat terjadi karena kebutuhan dan relevansi secara kontekstual dari perumus definisi tersebut. Lebih lanjut pengertian pohon sebagaimana terdapat dalam UU 18/2013 harus dinyatakan demikian karena undang-undang ini mengatur terkait dengan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang mana salah satu fokus utama pengaturannya adalah pencegahan pembalakan liar terhadap hasil hutan kayu berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan atau kayu pacakan. Hasil hutan kayu yang dimaksud dalam UU 18/2013 adalah kayu yang berasal dari pohon yang memiliki definisi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 14 UU 18/2013.
Sementara itu secara universal, pengertian pohon yang dikenal oleh masyarakat luas adalah tumbuhan yang memiliki struktur dari pucuk, daun, ranting, dahan, bunga, buah, batang serta akar di mana batang memiliki kekerasan tertentu. Pemahaman terhadap beberapa pemaknaan pohon yang berkembang di masyarakat, meski seringkali secara keilmuan tumbuhan tidak sesuai dengan pengklasifikasian tumbuhan namun tetap digunakan dan tidak ada kerancuan pemahaman atau penafsiran lain termasuk persepsi terhadap tumbuhan dimaksud. Sebagai contoh, masyarakat menyebut tanaman pisang dengan sebutan ‘pohon pisang’ meskipun secara pembagian klasifikasi tumbuhan tanaman pisang tidak masuk dalam kategori ‘pohon’ karena batang tanaman pisang bukanlah batang sejati yang berkayu, namun tidak ada suatu keraguanpun apabila menyebutkan batang pohon pisang maka yang dimaksud adalah batang berbentuk bulat silindris dan berlapis-lapis serta mengandung banyak air. Pemahaman seperti ini, dalam ilmu botani dikenal dengan istilah ‘pohon semu’, namun tetap saja merupakan bagian dari kualifikasi pohon pada umumnya.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya penggunaan kata pohon dalam rumusan Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009 terhadap tanaman Narkotika Golongan I, lebih menekankan kepada pemahaman terhadap penggambaran atau persepsi suatu tumbuhan berkayu yang memiliki akar, batang, daun, bunga, biji maupun buah yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Hal demikian dikarenakan masih banyak masyarakat yang lebih mengenal kata pohon dibandingkan dengan kata perdu dalam mengklasifikasikan suatu tanaman berkayu yang penampakan fisiknya memiliki akar, batang, daun, bunga, biji maupun buah meskipun tanaman tersebut tidak memenuhi ukuran ketinggian tertentu dari sebuah pohon sebagaimana didefinisikan oleh para ahli botani. Bahwa tanaman Narkotika Golongan I yang meliputi tanaman Papaver Somniferum L, tanaman koka, dan tanaman ganja (Lampiran I UU 35/2009) merupakan tanaman yang batangnya berkayu yang penampakan fisiknya memiliki akar, batang, daun, bunga, dan buah. Sedangkan tinggi dari tanaman Narkotika Golongan I berkisar dari 1 (satu) meter hingga maksimal 6 (enam) meter, misalnya untuk tanaman ganja atau yang dikenal dengan nama latin cannabis sativa (UNODC, Recommended Methods For The Identification And Analysis Of Cannabis And Cannabis Products, Manual for Use by National Drug Analysis, New York, 2019). Oleh karena itu dengan mendasarkan pada ciri-ciri, baik secara taksonomi maupun morfologi dari tanaman Narkotika Golongan I, maka perumusan kata pohon sebagaimana yang terdapat dalam UU 18/2013 tidak dapat diterapkan untuk mengklasifikasikan tanaman jenis ini, karena tanaman Narkotika Golongan I tidak memenuhi rumusan memiliki batang berkayu yang dapat tumbuh mencapai ukuran diameter 10 sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 meter di atas permukaan tanah ataupun diartikan sebagai tumbuhan berkayu yang mempunyai akar, batang, dan tajuk yang jelas dengan tinggi minimum 5 meter sebagaimana yang dikehendaki dan didalilkan Pemohon dalam permohonannya.
Bahwa dengan uraian argumentasi tersebut di atas, maka apabila Mahkamah mengakomodir permohonan Pemohon untuk mengadopsi pengertian ‘pohon’ dalam Pasal 1 angka 14 UU 18/2013 sama dengan kata ‘pohon’ dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009 justru akan menimbulkan kerancuan atau ketidakjelasan pemahaman terhadap tanaman Narkotika Golongan I itu sendiri. Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Bab III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa bahasa peraturan perundang-undangan tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dan berbeda dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Terlebih berkaitan dengan pengertian ‘pohon’ dalam tanaman Narkotika Golongan I yang secara terminologi dibawa ke dalam pemaknaan yang lebih sederhana, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari semangat negara untuk memberantas tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang amat membahayakan generasi bangsa, di mana di dalamnya diperlukan langkah-langkah luar biasa salah satunya adalah kemudahan regulasi dan aspek penerapannya, termasuk salah satunya adalah UU 35/2009. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, telah jelas ternyata bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata ‘pohon’ dalam ketentuan Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan perlunya penafsiran kata ‘pohon’ dalam ketentuan Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009 sebagaimana pengertian pohon dalam UU 18/2013 maupun ditafsirkan sebagai tumbuhan berkayu yang mempunyai akar, batang, dan tajuk yang jelas dengan tinggi minimum 5 meter tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa permasalahan selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah kata ‘pohon’ dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009 menurut Pemohon telah menciptakan adanya disparitas hukum pidana narkotika. Terhadap hal demikian, Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa negara yang berdasarkan atas hukum pada dasarnya memberikan kebebasan dan independensi kepada hakim dalam mengadili suatu perkara termasuk dalam hal ini perkara pidana, serta tidak boleh adanya intervensi dari pihak manapun dalam memutuskan perkara. Pengertian disparitas secara universal adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Meskipun demikian, disparitas dalam perspektif putusan hakim dalam mengadili perkara pidana merupakan diskresi yang dimiliki hakim dalam memutus, yang mana tidak dapat dilepaskan dari perumusan unsur-unsur dari norma dan ancaman pidana dalam delik pidana yang bersangkutan. Di samping hal tersebut, faktor-faktor mendasar lainnya yang menjadi pertimbangan hakim di dalam mengadili perkara adalah fakta-fakta hukum dari hasil pembuktian yang ada serta keyakinan dan pemahaman hakim terhadap peristiwa atau nilai-nilai keadilan yang terjadi dan terbukti dalam persidangan, termasuk penilaian terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan masing-masing terdakwa yang secara otorisasi diperoleh dari hasil penilaian hakim setelah mempertimbangkan dari perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis. Sementara itu, UU 35/2009 sendiri telah memberikan batas minimum dan maksimum ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, baik terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pengedar, pengguna, atau pencandu narkotika. Dalam upaya melakukan pemberantasan terhadap pengedaran narkotika, Indonesia menggunakan sarana penghukuman pidana, siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap UU 35/2009 pada dasarnya akan mendapatkan hukuman yang maksimal dan setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, sesuai dengan salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk memberikan rasa takut kepada calon pengguna narkoba agar tidak melanggar hukum (deterrent effect)

[3.13.2] Bahwa di samping uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.13.1] tersebut di atas, penting ditegaskan juga, dalam mengadili suatu perkara hakim secara universal akan melakukan tahapan masing-masing, mengkonstatir (menemukan peristiwanya), mengkualifisir (menilai peristiwa yang terjadi) dan mengkonstituir (menemukan/menentukan hukumnya), oleh karena putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada akhirnya adalah putusan yang sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan, masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penggunaan kata pohon dalam Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) telah menyebabkan terjadinya disparitas hukum pidana narkotika adalah kesimpulan yang sumir dan tidak berdasar. Terlebih, banyak faktor penentu yang menjadikan putusan hakim mempunyai strafmaat (berat ringannya masa pemidanaan) yang berbeda-beda, karena di samping hal tersebut sangat dipengaruhi oleh hal-hal sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, hal lain yang bersifat fundamental adalah dikarenakan perbedaan karakter perkara antara yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu perbedaan jenis dan berat ringannya masa pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak serta-merta dapat dikatakan adanya disparitas, baik dalam hukum pidana pada umumnya maupun dalam hukum pidana narkotika pada khususnya, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan telah terjadinya disparitas hukum pidana narkotika yang dikarenakan tidak terdapatnya penafsiran kata ‘pohon’ dalam ketentuan Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 114 ayat (2) UU 35/2009 sebagaimana pengertian pohon dalam UU 18/2013 maupun ditafsirkan sebagai tumbuhan berkayu yang mempunyai akar, batang, dan tajuk yang jelas dengan tinggi minimum 5 meter tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Dewantari Handayani, Amriyati Amin, S.H., M.H., Martina Nasution, Nugroho Suryaningrat, dan Irma Shandara Santy, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Saiful Anam, S.H., M.H., dkk, para Advokat dan Konsultan Hukum pada “Saiful Anam & Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa permohonan para Pemohon bertolak pada kasus konkret yang dialaminya sebagaimana uraian di atas yang menyebabkan para Pemohon menginginkan posisinya disamakan dengan Kreditor Preferen atau Kreditor Separatis dengan cara menguji konstitusionalitas norma Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 ke Mahkamah;

[3.6.2] Bahwa kasus konkret yang dialami para Pemohon sampai dengan adanya putusan pengadilan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa pengembang Apartemen Antasari 45 dalam keadaan pailit dan menempatkan para Pemohon dalam posisi sebagai Kreditor Konkuren (vide bukti P-12) maka penyelesaian permasalahan yang dihadapinya dengan pengembang Apartemen Antasari 45 telah diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang tidak ada kaitannya dengan Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004. Karena, Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 adalah ketentuan yang mengatur mengenai Kreditor Separatis atau kreditor pemegang hak jaminan (secured creditor) yang memeroleh hak atas pelunasan piutang lebih dahulu (Kreditor Preferen) karena secara hukum menguasai langsung jaminan kebendaannya. Hal ini jelas berbeda dengan Kreditor Konkuren sebagaimana status para Pemohon yang tidak mempunyai hak untuk menguasai jaminan berupa benda, oleh karenanya penyelesaian permasalahan yang dialaminya sebagai Kreditor Konkuren dilakukan setelah kewajiban terhadap kreditor lain (Kreditor Separatis atau Kreditor Preferen) diberikan. Terlebih lagi, Kreditor Separatis tidak terkena dampak akibat adanya putusan pernyataan pailit debitor. Artinya, hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seolah-olah tidak ada kepailitan debitor karena kreditor golongan ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan. Dengan demikian, dalam hubungan dengan aset-aset yang dijadikan jaminan, kedudukan Kreditor Separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditor yang diistimewakan lainnya.
[3.6.3] Bahwa para Pemohon sesungguhnya pada awalnya bukanlah merupakan Kreditor Konkuren, melainkan sebagai konsumen atau pembeli unit Apartemen Antasari 45 yang saat ini sedang menghadapi permasalahan dengan pihak pengembang apartemen yang telah dinyatakan pailit. Oleh karenanya berdasarkan putusan pailit tersebut para Pemohon statusnya dipersamakan dengan Kreditor Konkuren sehingga dengan demikian tidak dapat memaksakan dirinya untuk menjadi Kreditor Separatis atau Kreditor Preferen dengan cara menguji Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 dengan alasan seolah-olah para Pemohon dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Kerugian yang dialami oleh para Pemohon sebagai konsumen tidak berkorelasi dengan berlakunya norma Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 sehingga penyelesaiannya bukanlah melalui pengujian konstitusionalitas norma tetapi melalui upaya hukum yang lain atau memposisikan diri tetap sebagai Kreditor Konkuren. Oleh karena itu, tidak terdapat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara keberlakuan Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 dengan kerugian yang diderita oleh para Pemohon berkaitan dengan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusionalnya, baik aktual maupun potensial yang dialaminya dengan berlakunya Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004. Oleh karenanya, para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Afiliasi Konstruksi dan Instalasi Indonesia (Aklindo) yang diwakili Andi Amir Husry, S.E., M.S. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arco Misen Ujung, S.H., dkk, Advokat/Konsultan Hukum pada Law Office Chasea Ujung & Associates, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 105 UU Jasa Konstruksi

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Jasa Konstruksi dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, mengenai kedudukan hukum serta dikaitkan dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 105 UU 2/2017 terhadap UUD 1945 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 207/PAN.MK/2020 bertanggal 19 Oktober 2020 dan diregistrasi pada tanggal 27 Oktober 2020 dengan Nomor 93/PUU-XVIII/2020 serta perbaikan permohonan yang diterima pada tanggal 27 November 2020;

2. Bahwa Pemohon menjelaskan sebagai badan hukum berbentuk perkumpulan bernama Afiliasi Konstruksi dan Instalasi Indonesia (AKLINDO) yang didirikan pada tanggal 23 Agustus 2005 berdasarkan Akta Nomor 63 yang dibuat oleh Notaris Sri Ismiyati, S.H., dan telah didaftarkan pada Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri dalam Surat Keterangan Terdaftar Nomor 01-00000/0042/D.III.4/II/2012 bertanggal 17 Februari 2012 dan kemudian melakukan penyesuaian terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AKLINDO tahun 2019 berdasarkan Akta Notaris Nomor 47 yang dibuat oleh Notaris Hestyani Hassan, S.H., M.K.N., bertanggal 30 Maret 2020 [vide bukti P-6]. Selanjutnya Perkumpulan AKLINDO juga mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0004070.AH.01.07. Tahun 2020 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Afiliasi Konstruksi dan Instalasi Indonesia yang juga dalam lampirannya menetapkan susunan organ perkumpulan AKLINDO terdiri dari Pengurus (Dr. Andi Amir Husry, MS sebagai Ketua Umum, Ir. H. Taufik Bachroen sebagai Sekretaris Jenderal, Asmara Jaya sebagai Bendahara) dan Pengawas (H. Amiruddin sebagai Ketua, Hendro Pratomo sebagai Wakil) [vide bukti P-7];
3. Bahwa dalam Bab X, Pasal 36 Anggaran Dasar AKLINDO disebutkan susunan struktur organisasi dan personalia pengurus pusat periode 2016-2021 yang diantaranya menyatakan susunan Dewan Pengurus Harian terdiri dari Ketua Umum yaitu Dr. Andi Husry, S.E., M.S., kemudian dalam Bab IV Anggaran Rumah Tangga tentang tugas dan wewenang dewan pengurus, Pasal 15 terkait dengan tugas dan wewenang dewan pengurus pusat Aklindo menyatakan, “Tugas dan wewenang DPP sebagai berikut: 1). Menyelenggarakan Munas, Munasus, Munaslub, Rakernas, Rapimnas dan rapat-rapat DPH, DPL, dan rapat-rapat dengan Dewan Pertimbangan, Dewan Penasehat, dan Dewan Kode Etik, 2). Menjabarkan dan melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dan rapat sebagaimana tersebut dalam ayat (1), … 7). Mengadakan kerjasama dengan mitra kerja baik Instansi Pemerintah maupun Instansi swasta dan Badan-badan, lembaga lainnya di dalam dan di luar negeri yang terkait dalam rangka tercapainya tujuan Perkumpulan” [vide bukti P-6];

4. Bahwa dalam kapasitas sebagai Badan Hukum Privat, Pemohon memiliki kewajiban menjelaskan siapa secara hukum yang dapat mewakili perkumpulan untuk dapat bertindak untuk dan atas nama perkumpulan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berkenaan dengan hal ini, setelah memeriksa permohonan dan bukti-bukti yang diajukan, baik dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga (AD/ART), Mahkamah tidak menemukan perihal siapa yang berhak mewakili Aklindo untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan termasuk dalam mengajukan permohonan a quo. Satu-satunya yang dapat ditemukan adalah Pasal 15 AD/ART sebagaimana dikemukakan di atas. Namun ketentuan tersebut sama sekali tidak dapat dan tidak cukup untuk menjelaskan perihal siapa yang dapat mewakili Aklindo baik di dalam maupun di luar pengadilan termasuk dalam mengajukan permohonan a quo. Berkenaan dengan pihak yang dapat mewakili Aklindo, baik di dalam maupun di luar pengadilan termasuk dalam mengajukan permohonan a quo, Mahkamah dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 16 November 2020 telah memberikan nasihat agar Pemohon menerangkan dan menjelaskan siapa yang berhak mewakili Aklindo baik ke dalam maupun ke luar pengadilan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 93/PUU-XVIII/2020, hlm. 7]. Terkait dengan nasihat yang disampaikan dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tersebut, dalam Perbaikan Permohonan Pemohon mengemukakan bahwa pengujian konstitusionalitas norma Pasal 105 UU 2/2017 diajukan berdasarkan hasil rapat dan musyawarah DPP Aklindo. Namun setelah Mahkamah telusuri, ternyata tidak terdapat alat bukti yang dapat menguatkan amanat kepada Ketua Umum Aklindo untuk mewakili badan hukum ini untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Ahmad Amin, S.ST., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU 14/2005

Pasal 4 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 14/2005 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3.2] Bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 November 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 8 Desember 2020 dan Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Posita, dan Petitum;

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak memeroleh kenaikan gaji karena anggarannya digunakan untuk tunjangan profesi dan tunjangan khusus bagi guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan bagi profesor. Dalam menjelaskan ihwal kerugian hak konstitusionalnya Pemohon antara lain mengemukakan:
“…ketentuan a quo Pemohon menganggap tidak adanya kedaulatan Presiden dalam menjalankan Pemerintahan, yaitu dalam melaksanakan kekuasaan keuangan negara dan managemen kepegawaian ASN. Ketentuan a quo memerintahkan kepada Pemerintah untuk memberikan tunjangan profesi dan khusus kepada Guru dan Dosen sebesar satu kali gaji pokok dan tunjangan kehormatan kepada Profesor sebesar dua kali gaji pokok. Ketentuan sejak 2005 ini telah mengintervensi hak Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan keuangan negara untuk merencanakan dan melaksanakan pengelolaan keuangan periodik tahunan.”
Penjelasan dimaksud sama sekali tidak menjelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian tetapi sebaliknya justru mendalilkan adanya ketidakpastian hukum kewenangan antarlembaga tinggi negara yang menetapkan besaran anggaran dimaksud. Apabila dikaitkan dengan kewajiban menjelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon sebagai salah satu syarat formal yang harus dikemukakan Pemohon, sesungguhnya dalam kapasitas apa Pemohon menjelaskan keberadaan norma yang dimohonkan pengujian telah mengintervensi hak Presiden dan sekaligus merugikan hak konstitusional Presiden dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, merujuk norma yang diuji konstitusionalitasnya, yaitu norma dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU 14/2005 yang dimohonkan, sebagaimana dimaktubkan dalam Petitum, yaitu: “dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitusional) sepanjang memenuhi syarat tidak ada kewajiban atau perintah kepada Presiden atas ketetapan besaran belanja keuangan negara sehingga frasa “setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok atau “setara 2 (dua) kali gaji pokok” pada pasal dan ayat tersebut adalah tidak berkekuatan hukum mengikat” adalah kehendak yang saling bertentangan. Pada satu sisi, Pemohon menghendaki norma-norma a quo adalah konstitusional bersyarat, dan sisi lain memohon agar norma-norma a quo adalah bertentangan dengan UUD 1945. Tidak hanya pertentangan itu, jikalau Pemohon menghendaki frasa “setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok” dan “setara 2 (dua) kali gaji pokok” diberikan pemaknaan baru, mestinya dikemukakan perumusan makna baru yang dikehendaki Pemohon sehingga norma tersebut menjadi konstitusional sesuai dengan penalaran Pemohon. Namun dalam Posita Pemohon sama sekali tidak mengemukakan rumusan baru terhadap frasa “setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok atau “setara 2 (dua) kali gaji pokok” tetapi justru menghendaki Presiden tidak berkewajiban untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU 14/2005;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Suhardi, S.H., dan Linda Yendrawati Puspa, S.H., yang memberikan Kuasa kepada Ferdian Sutanto, S.H., dkk, para advokat dan konsultan hukum pada Kantor Hukum Persahabatan Advocate Kebijakan Publik & Hukum, Masyarakat Indonesia, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 87 huruf b UU MK

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 huruf b UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan para Pemohon sebagai berikut:

[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 19 November 2020. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Majelis Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan para Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK Nomor 6/PMK/2005);

[3.3.2] Bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30 November 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 15 Desember 2020 dan para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum;

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan para Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama berkenaan dengan posita dan petitum permohonan para Pemohon, Mahkamah menemukan fakta bahwa di dalam pokok permohonan sama sekali tidak menguraikan argumentasi atau alasan berkenaan dengan pentingnya syarat sebagaimana yang para Pemohon tentukan di dalam petitum permohonan yaitu,

“… uji kelayakan serta pengawasan dalam kesehatan jasmani dan rohani dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara objektif”. Para Pemohon pada pokoknya hanya menjelaskan bahwa para Pemohon adalah advokat dan berpotensi menjadi hakim konstitusi seperti halnya mantan hakim konstitusi Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar, tanpa menguraikan lebih lanjut argumentasi mengenai alasan pentingnya dilakukan uji kelayakan dan pengawasan dalam kesehatan jasmani dan rohani, serta alasan mengapa hal tersebut perlu dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali. Selain itu, Mahkamah juga melihat adanya kerancuan dan redundansi dari petitum permohonan sehingga sulit dipahami oleh Mahkamah pemaknaan konstitusional apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para Pemohon. Mahkamah semakin sulit memahami ketika di satu sisi menghendaki: “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Dengan ketentuan memenuhi uji kelayakan serta Pengawasan dalam Kesehatan Jasmani dan Rohani dilakukan setiap (5) lima tahun sekali, oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi secara Objektif”, sementara di sisi lain para Pemohon menghendaki kembali pemaknaan secara konstitusional bersyarat
terhadap petitum yang sama.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, karena terdapat ketidaktersambungan antara posita dan petitum, serta adanya kerancuan dan redundansi dalam petitum maka berakibat permohonan a quo menjadi tidak jelas (kabur).

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan permohonan para Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-01-2021

Alamsyah Panggabean, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 UU 39/1999

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 39/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan permohonan Pemohon selebihnya sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 23 November 2020. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/PMK/2005). Dalam sidang tersebut, Panel Hakim telah menyatakan bahwa Pemohon dapat menyampaikan perbaikan permohonan ke Mahkamah selambat-lambatnya pada tanggal 7 Desember 2020, yaitu 14 (empat belas) hari sejak sidang pemeriksaan pendahuluan sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK.

2. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Desember 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 16 Desember 2020. Perbaikan permohonan Pemohon tersebut memuat sistematika: Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum.

3. Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada angka 2 di atas pada dasarnya telah memenuhi format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama telah ternyata uraian masing-masing bagian sistematika tersebut tidak memenuhi syarat formal permohonan, sebagai berikut:
a. pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak atas pekerjaan dan pengembangan diri dengan keikutsertaan Pemohon untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara karena tidak ditetapkan sebagai anggota DPRD Padang Lawas Periode Tahun 2019-2024;
b. pada bagian alasan permohonan, Pemohon menyatakan frasa “secara pribadi” dalam Pasal 15 UU 39/1999 adalah konstitusional [vide permohonan hlm. 11 dan hlm. 15-16]. Bahkan menurut Pemohon norma hukum yang termuat dalam Pasal 15 UU 39/1999 adalah norma hukum yang sangat jelas [vide permohonan hlm. 13]. Namun demikian dalam pernyataan selanjutnya Pemohon menyatakan frasa “secara kolektif” dalam Pasal 15 UU 39/1999 bertentangan dengan UUD 1945 tanpa menguraikan argumentasi lebih lanjut pertentangan antara frasa tersebut dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang menjadi salah satu dasar pengujian yang digunakan [vide permohonan hlm. 13]. Bahkan pada bagian akhir pokok permohonan Pemohon justru menyatakan frasa “secara pribadi” yang sebelumnya dinyatakan konstitusional menjadi inkonstitusional dan dengan memberikan penafsiran terhadap frasa tersebut [vide permohonan hlm. 17]. Dengan demikian, selain tidak diuraikannya argumentasi yang memadai mengenai inkonstitusionalitas norma yang diuji, juga terdapat ketidakjelasan dan inkonsistensi dalam posita permohonan Pemohon;
c. pada bagian petitum, angka 2 petitum permohonan yang meminta frasa “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya secara kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya” dalam Pasal 15 UU 39/1999 bertentangan dengan UUD 1945 menjadi tidak konsisten pula dengan posita permohonan yang di bagian akhir meminta penafsiran frasa “secara pribadi” dalam Pasal 15 UU 39/1999 harus diartikan sebagai Peraturan Pemerintah dan untuk pertama kalinya pengaturan mengenai penetapan Pemohon sebagai anggota dalam Pemerintahan Daerah Kabupaten Padang Lawas, ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Lagi pula, petitum angka 2 tersebut jika dikabulkan justru menjadikan Pasal 15 UU 39/1999 menjadi tidak jelas maknanya karena dalam norma pasal a quo hanya tersisa frasa “pribadi maupun”, sehingga dengan petitum yang demikian menjadi kontradiktif dan inkonsistensi dengan posita permohonan Pemohon;

Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK.

[3.4] Menimbang bahwa terlepas dari permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah perlu menegaskan andaikata yang diinginkan Pemohon adalah mengenai penetapan keanggotaan DPRD Kabupaten Padang Lawas Periode Tahun 2019-2024 yang tidak mengikutsertakan Pemohon sebagaimana didalilkan Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan, panel hakim telah menasihatkan dan sekaligus mengingatkan bahwa Mahkamah bukanlah tempat untuk menentukan seseorang dapat menjadi anggota DPRD sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon. Terlebih lagi, persoalan yang dikemukakan Pemohon tersebut tidak berhubungan dengan konstitusionalitas Pasal 15 UU 39/1999 yang justru memberikan jaminan pengembangan diri bagi setiap orang termasuk Pemohon untuk ikut serta membangun masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945;

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 99/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 17-12-2020

Joshua Michael Djami yang dalam hal ini diwakili oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H, dan Dora Nina Lumban Gaol, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.1] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan yang diajukan oleh kuasa hukum dalam permohonan aquo, Mahkamah terlebih dahulu perlumengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah menerima permohonan Perkara bertanggal 5 November 2020 dan telah dilakukan registrasi dengan Nomor 99/PUU-XVIII/2020, tertanggal 9 November 2020, yang diajukan oleh kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dan Dora Nina Lumban Gaol, S.H., dengan perihal pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa terhadap permohonan tersebut, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) menyatakan, “(1) sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan; (2) dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari;
3. Bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU MK sebagaimana diuraikan pada angka 2 tersebut, Mahkamah telah menetapkan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 26 November 2020, pukul 13.00 WIB, yang pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dimaksud dihadiri oleh kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dan Dora Nina Lumban Gaol, S.H., bahwa dalam persidangan tersebut, sebelum memberikan kesempatan kepada kuasa hukum untuk menyampaikan pokok-pokok permohonannya, Mahkamah setelah mempelajari berkas permohonan termasuk mencermati objek pengujian sebagaimana yang tercantum di dalam surat kuasa yang diberikan kepada para kuasa hukum maupun yang ada dalam permohonan, Mahkamah mendapatkan adanya perbedaan antara objek pengujian yang terdapat dalam permohonan dengan objek pengujian yang tercantum di dalam surat kuasa. Di dalam permohonan, substansi norma yang dimohonkan pengujian adalah Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan di dalam Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Oktober 2020 prinsipal (pemberi kuasa) memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Cipta Kerja (vide surat kuasa terlampir dalam permohonan).
4. Bahwa terhadap adanya perbedaan objek pengujian sebagaimana diuraikan pada angka 3 tersebut, Mahkamah pada persidangan pendahuluan telah meminta klarifikasi kepada kuasa hukum dan para kuasa hukum telah secara tegas membenarkan akan fakta tersebut. Oleh karena itu dengan adanya fakta hukum dimaksud, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa oleh karena pada esensinya surat kuasa secara universal adalah pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain untuk mewakili pihak yang memberi wewenang dalam urusan tertentu. Lebih lanjut dalam hal surat kuasa tersebut bersifat khusus, sebagaimana jenis surat kuasa khusus yang diberikan oleh prinsipal (pemberi kuasa) kepada para kuasa hukum dalam permohonan a quo, maka pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebihyang secara tegas disebutkan secara limitatif dalam surat kuasa dimaksud, termasuk tindakan-tindakan yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa (vide Pasal 1975 KUHPerdata).
5. Bahwa dengan adanya fakta hukum dan berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan pada angka 4 tersebut di atas, maka terhadap adanya perbedaan objek pengujian sebagaimana yang terdapat dalam permohonan dengan surat kuasa, Mahkamah berpendapat para kuasa hukum tidak mempunyai wewenang untuk menyampaikan permohonan yang akan disampaikannya di depan persidangan. Sebab, pada hakikatnya tidak ada hubungan hukum antara prinsipal (pemberi kuasa) dengan permohonan yang diajukan oleh para kuasa hukum yang mendalilkan menerima kuasa untuk mewakili kepentingan prinsipal (pemberi kuasa) dalam mengajukan permohonan tersebut dan oleh karenanya Mahkamah pada persidangan pendahuluan tidak memberi kesempatan kepada kuasa hukum untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan (vide risalah sidang tanggal 26 November 2020).
6. Bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana yang telah diuraikan pada angka 4 tersebut di atas, oleh karena surat kuasa merupakan dasar bagi kuasa hukum untuk mengajukan permohonan yang mewakili kepentingan prinsipal (pemberi kuasa), maka terhadap Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Oktober 2020 yang terlampir dalam permohonan a quo harus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan dasar bagi kuasa hukum untuk mewakili kepentingan pemberi kuasadalam permohonan a quo. Mahkamah juga berpendapat bahwa oleh karena antara permohonan dan surat kuasa adalah satu kesatuan yang utuh di dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, maka dengan adanya inkonsistensi mengenai objek pengujian antara yang ada di dalam permohonan dengan surat kuasa tersebut dan dengan pertimbangan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU 48/2009), permohonan a quo tidak relevan lagi untuk dilakukan persidangan lebih lanjut.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan aquo adalah tidak jelas (kabur).

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan adalah tidak jelas (kabur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan dan hal-hal lainnya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 89/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 17-12-2020

Yok Sagita sebagai Karyawan Swasta yang memberikan kuasa kepada Ari J.C. Pasaribu, S.H., M.Kn., dkk. dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum AJC Pasaribu & Associates, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 55 UU PPHI

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 55 UU PPHI dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah mengenai inkonstitusionalitas kata “khusus” dalam Pasal 55 UU 2/2004 manakala tidak dimaknai menjadi:
1. bahwa “Kata khusus bukanlah sebagai pengaturan khusus untuk membatasi permohonan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial”;
2. bahwa “Kata khusus yang dimaksudkan untuk membatasi permohonan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial adalah tidak sesuai dengan norma Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang menempatkan UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional”;

[3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-31;

[3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, Mahkamah menemukan isu konstitusional yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah kata “khusus” dalam Pasal 55 UU 2/2004 yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, karena sifat “khusus” dari Pengadilan Hubungan Industrial tersebut yang meniadakan upaya hukum peninjauan kembali.
Bahwa setelah mencermati lebih lanjut dalil permohonan Pemohon, terutama pada bagian posita dan petitum permohonan, Mahkamah menemukan permasalahan bahwa pasal yang dimohonkan pengujian sesungguhnya hanya merupakan ketentuan mengenai klasifikasi atau pembagian dari lembaga peradilan sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU 48/2009, yang menyatakan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan, Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. Kemudian Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 tersebut menyatakan, yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Selain kekhususan itu, penyelesaian perkaranya pun menggunakan hukum acara yang bersifat khusus, karena menganut prinsip penyelesaian perkara secara cepat (speedy trial). Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 55 UU 2/2004 telah jelas pula menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Dengan demikian jelaslah bahwa Pasal 55 UU 2/2004 hanya merupakan pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak perlu dimaknai lain selain yang telah ditentukan dalam norma a quo (expressis verbis). Dengan demikian, menurut Mahkamah, adalah tidak tepat apabila norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 55 UU 2/2004.
Adapun kerugian konstitusional yang telah Pemohon alami yang menurut Pemohon dikarenakan oleh berlakunya Pasal 55 UU 2/2004, menurut Mahkamah, sesungguhnya persoalan tersebut berkaitan erat dengan Pasal 56 dan Pasal 57 UU 2/2004, dan Mahkamah telah pula menimbang berkenaan dengan pengujian kedua pasal a quo, yaitu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XVII/2019, bertanggal 23 September 2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVII/2019, bertanggal 23 Oktober 2019. Kemudian Mahkamah akan menegaskan kembali di dalam pertimbangan putusan ini, yaitu mengutip Paragraf [3.10.5] dan Paragraf [3.10.6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XVII/2019:

[3.10.5] Bahwa Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah untuk kedua kali menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) menyatakan,
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan di atas agar sejalan dengan asas penyelesaian perkara cepat, tepat, adil dan murah dalam perselisihan hubungan industrial, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2018 yang pada angka II. Rumusan Hukum Kamar Perdata, bagian B. Perdata Khusus mengenai Pengadilan Hubungan Industrial, angka 3 menyatakan,
Upaya hukum perkara Perselisihan Hubungan Industrial, Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat diajukan kasasi sebagai upaya hukum terakhir sesuai Pasal 56, Pasal 57, Pasal 109, dan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali;
[3.10.6] Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 34 UU MA yang memungkinkan dilakukannya Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun tidak boleh diartikan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali. Pengaturan dalam Pasal 34 UU MA tersebut adalah pengaturan yang bersifat umum (lex generalis) yang harus dimaknai bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sepanjang ketentuan umum tersebut tidak dikecualikan oleh ketentuan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis), baik karena sifat perkaranya maupun karena syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat diajukannya Peninjauan Kembali. Dalam konteks demikian, Pasal 56 UU PPHI merupakan bentuk norma hukum spesialis dari Pasal 34 UU MA. Kekhususan demikian diberikan dengan pertimbangan agar penyelesaian perkara hubungan industrial ditujukan untuk menjamin terlaksananya asas cepat, tepat, adil, dan murah. Sehingga dengan meniadakan tahapan Peninjauan Kembali maka diharapkan tidak terganggunya proses produksi pada suatu perusahaan yang mempekerjakan karyawan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata bahwa sesungguhnya yang meniadakan upaya hukum Peninjauan Kembali bukanlah SEMA melainkan sifat perkara maupun syarat-syarat untuk dapat diajukannya Peninjauan Kembali yang diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum.

Bahwa meskipun Mahkamah telah berpendapat sebagaimana dikutip di atas, namun setelah mencermati petitum Pemohon, menurut Mahkamah, rumusan petitum yang memohon dua tafsir berbeda terhadap satu kata yang sama yaitu “khusus”, sedangkan Majelis Hakim Panel telah pula menanyakan kepada Pemohon berkenaan dengan Petitum a quo pada sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan, dan menurut Pemohon kedua petitum tersebut adalah petitum yang berbeda. Namun oleh karena tidak terdapat kata “atau” di antara kedua petitum (petitum alternatif) hal tersebut justru memunculkan pertentangan di antara keduanya sehingga menimbulkan ketidakjelasan perihal apa yang sesungguhnya dimohonkan oleh Pemohon.
Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, bahwa ketidaktepatan pasal yang dimohonkan pengujian dan ketidakjelasan petitum yang demikian mengarahkan Mahkamah untuk menyatakan bahwa permohonan Pemohon adalah kabur.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena permohonan Pemohon kabur yaitu terdapat ketidaktepatan norma yang dimohonkan pengujian dan ketidakjelasan petitum, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUNGAI PENUH DI PROVINSI JAMBI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

H. Jarizal Hatmi, S.E., Drs. Amri Swarta, M.M., Drs. H. Zainun Manaf, Eliyusnadi, S.Kom., M.Si. DPT., Hj. Mor Anita, S.E., M.M., Pahruddin Kasim, S.H., M.H., Dr. H. Rasidin, M.Ag., Satria Gunawan, Nopantri, S.P., M.Si., Dr. H. Adirozal, M.Si., Edminuddin, S.E., M.H., Yuldi Herman, S.E., M.Si., dan Ir. Boy Edwar, M.M. yang memberikan kuasa kepada Dr. Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk, para Advokat pada Kantor Heru Widodo Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 13 ayat (7) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 13 ayat (7) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa setelah mencermati uraian pembentukan daerah otonomi baru sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.13] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 13 ayat (7) huruf a UU 25/2008, yang menurut para Pemohon telah menimbulkan kerugian bagi kabupaten induk, in casu Kabupaten Kerinci apabila kata “dan/atau” dalam frasa “dan/atau dimanfaatkan” tidak dimaknai: ”yang dimanfaatkan”. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk mengutip secara utuh ketentuan Pasal 13 UU 25/2008 yang menyatakan:
(1) Bupati Kerinci bersama Penjabat Walikota Sungai Penuh menginventarisasi, mengatur, dan melaksanakan pemindahan personel, penyerahan aset, serta dokumen kepada Pemerintah Kota Sungai Penuh.
(2) Pemindahan personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak pelantikan penjabat walikota.
(3) Penyerahan aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan penjabat walikota.
(4) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya diperlukan oleh Kota Sungai Penuh.
(5) Pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen kepada Kota Sungai Penuh difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Gubernur Jambi.
(6) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selama belum ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Sungai Penuh dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja dari asal satuan kerja personel yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
a. barang milik/dikuasai yang bergerak dan tidak bergerak dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh yang berada dalam wilayah Kota Sungai Penuh;
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Kerinci yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Sungai Penuh;
c. utang piutang Kabupaten Kerinci yang kegunaannya untuk Kota Sungai Penuh; dan
d. dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Sungai Penuh.
(8) Apabila penyerahan dan pemindahan aset serta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dilaksanakan oleh Bupati Kerinci, Gubernur Jambi selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya.
(9) Pelaksanaan pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur Jambi kepada Menteri Dalam Negeri.
Persoalan aset barang bergerak dan tidak bergerak yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Sungai Penuh yang semula berada dalam wilayah Kabupaten Kerinci yang diserahkan kepada Kota Sungai Penuh bukan merupakan persoalan yang muncul setelah UU 25/2008 diberlakukan. Sebagaimana uraian pada Paragraf [3.13] di atas proses pengusulan pembentukan daerah dilakukan secara berjenjang dengan mempertimbangkan segala hal ihwal yang diperlukan untuk pembentukan tersebut dan untuk daerah induknya. Oleh karenanya, persoalan aset pun telah dipertimbangkan ketika Bupati Kabupaten Kerinci dan DPRD Kabupaten Kerinci menetapkan Keputusan tentang Persetujuan Pembentukan Kota Sungai Penuh di mana dalam Keputusan tersebut telah memuat penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang dituangkan dalam dokumen bukti kepemilikan aset Kabupaten Kerinci. Selain itu disepakti pula masalah personil dan hutang piutang Kabupaten Kerinci, yang akan dimanfaatkan atau menjadi beban calon Kota Sungai Penuh. Terhadap aset Kabupaten Kerinci berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan wilayah calon Kota Sungai Penuh wajib diserahkan seluruhnya kepada calon Kota Sungai Penuh, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon Kota Sungai Penuh.
Berkenaan dengan riwayat proses pembentukan Kota Sungai Penuh yang dilakukan secara berjenjang tersebut pada pokoknya telah dituangkan juga dalam Penjelasan Umum UU 25/2008 yang menyatakan:
Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kerinci Nomor 21 Tahun 2005 tanggal 10 Maret 2005 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Kerinci Menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Otonom Sungai Penuh, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 09 Tahun 2006 tanggal 13 April 2006 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Kerinci menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Otonom Sungai Penuh, Surat Bupati Kerinci Nomor 100/1112/Pem&Otda tanggal 29 April 2006 perihal Mohon Persetujuan Pemekaran Kabupaten Kerinci dan Pembentukan Kota Sungai Penuh, Surat Bupati Kerinci Nomor 100/2075/Pem&Otda tanggal 22 Juli 2006 perihal Mohon Rekomendasi Persetujuan Pemekaran Kabupaten Kerinci menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Otonom Sungai Penuh, Surat Bupati Kerinci Nomor 100/0104/Pem&Otda tanggal 1 Agustus 2006 perihal Mohon Persetujuan Pemekaran Kabupaten Kerinci menjadi Kabupaten Kerinci dan Pembentukan Kota Sungai Penuh, Surat Pernyataan Bupati Kerinci Nomor 100/2341/Pemotda tanggal 12 Agustus 2006 tentang Bantuan Dana pada Kota Sungai Penuh, Surat Bupati Kerinci Nomor 100/2711/Pem & Otda tanggal 21 September 2006 perihal Usul Pemekaran Kabupaten Kerinci dan Pembentukan Kota Sungai Penuh, Keputusan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi Nomor 9 Tahun 2006 tanggal 3 Juli 2006 tentang Persetujuan DPRD Provinsi Jambi atas Pemekaran Kabupaten Kerinci menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Otonom Sungai Penuh, Surat Usulan Gubernur Jambi Kepada Mendagri Nomor 100/3884/Pemotda tanggal 1 September 2006 tentang Usul Pemekaran Kabupaten Kerinci dan Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi, Keputusan Bupati Kerinci Nomor 135.7/Kep.31/2007 tanggal 10 Maret 2007 tentang Penetapan Lokasi Calon Ibukota Kabupaten Kerinci, Keputusan Bupati Kerinci Nomor 135.7/Kep.236/2007 tanggal 16 Juni 2007 tentang Persetujuan Nama Kota, Ibukota, dan Cakupan Wilayah Calon Kota sebagai Pemekaran dari Kabupaten Kerinci, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 7 Tahun 2007 tanggal 10 Maret 2007 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Calon Ibukota Kabupaten Kerinci, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 8 Tahun 2008 tanggal 2 April 2008 tentang Pemberian Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Kerinci bagi Calon Kota Sungai Penuh, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 2 April 2008 tentang Persetujuan Nama Kota, Ibukota, dan Cakupan Wilayah Calon Kota sebagai Pemekaran dari Kabupaten Kerinci, Keputusan Bupati Kerinci Nomor 135/Kep.295/2008 tanggal 2 Juni 2008 tentang Persetujuan Pengalokasian Dana Bantuan Pemerintah Kabupaten Kerinci kepada Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk Penyelenggaraan Pemerintah dan Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah yang Pertama bagi Kota Sungai Penuh, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 15 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang Pemberian Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Kerinci bagi Calon Kota Sungai Penuh, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi Nomor 09/PIM/2008 tanggal 23 Juni 2008 tentang Persetujuan Dukungan Dana dalam APBD Provinsi Jambi untuk Penyelenggaraan Pemerintahan dan Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah bagi Kota Sungai Penuh, dan Surat Gubernur Jambi Nomor 900/471/Pemotda tanggal 23 Juni 2008 tentang Perihal Dukungan Dana Pemerintah Provinsi Jambi bagi Calon Kota Sungai Penuh.
Bertolak pada uraian di atas, proses penyerahan aset Kabupaten Kerinci telah dilakukan sebagaimana amanat UU 32/2004 dan PP 78/2007. Oleh karenanya sesuai dengan amanat Pasal 13 ayat (3) UU 25/2008 penyerahan aset dan dokumen Kabupaten Kerinci dilakukan paling lambat lima tahun sejak pelantikan penjabat Walikota Sungai Penuh. Tujuannya agar tercapai dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan sehingga segera dapat digunakan pegawai, tanah, gedung perkantoran dan perlengkapannya serta fasilitas pelayanan umum yang telah ada selama ini dalam pelaksanaan tugas pemerintahan Kabupaten Kerinci dalam Wilayah Kota Sungai Penuh. Penyerahan aset tersebut adalah merupakan tindakan hukum untuk merealisasikan amanat UU 25/2008 (vide Penjelasan UU 25/2008). Apabila proses yang telah disepakati bersama sebagaimana dituangkan dalam berbagai dokumen yang selanjutnya dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU 25/2008, namun tidak direalisasikan oleh Kabupaten Kerinci maka menjadi tanggung jawab Gubernur Jambi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah untuk menyelesaikannya (vide Pasal 13 ayat (8) UU 25/2008). Dengan demikian proses Pembentukan Kota Sungai Penuh telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan oleh karenanya dalil para Pemohon yang mempersoalkan adanya ketidakpastian hukum merupakan dalil yang tidak berdasar.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas telah tampak jelas dan terang tidak ada persoalan konstitusionalitas atas kata “dan/atau” dalam frasa “dan/atau dimanfaatkan” dalam norma Pasal 13 ayat (7) huruf a UU 25/2008. Oleh karenanya dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon juga mendalilkan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, UU 25/2008 sesuai dengan judulnya adalah UU tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh, wilayah kota yang tadinya belum ada untuk selanjutnya diadakan/dibentuk guna meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta dapat meningkatkan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah (vide konsideran Menimbang huruf c UU 25/2008). Oleh karenanya UU a quo hanya menentukan hak Kota Sungai Penuh untuk mendapatkan alokasi dana perimbangan sesuai dengan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Bahkan bertolak pada proses awal pembentukan calon Kota Sungai Penuh, Pemerintah Kabupaten Kerinci telah menyatakan kesanggupannya memberikan hibah berupa uang untuk menunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kota Sungai Penuh sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) dalam jangka waktu tiga tahun, pada tahun pertama sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), pada tahun kedua sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah), dan pada tahun ketiga sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta untuk pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh pertama kali sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (vide Pasal 15 ayat (1) UU 25/2008). Demikian pula Pemerintah Provinsi Jambi telah sanggup memberikan bantuan dana untuk menunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kota Sungai Penuh sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) setiap tahun selama tiga tahun berturut-turut serta untuk pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh pertama kali sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (vide Pasal 15 ayat (2) UU 25/2008).
Terhadap kesanggupan Pemerintah Kabupaten Kerinci tersebut telah dituangkan dalam dokumen berupa Keputusan Bupati Kerinci Nomor 135/Kep.295/2008 tanggal 2 Juni 2008 tentang Persetujuan Pengalokasian Dana Bantuan Pemerintah Kabupaten Kerinci kepada Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk Penyelenggaraan Pemerintah dan Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah yang Pertama bagi Kota Sungai Penuh, Keputusan DPRD Kabupaten Kerinci Nomor 15 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang Pemberian Dukungan Dana dalam APBD Kabupaten Kerinci bagi Calon Kota Sungai Penuh, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi Jambi Nomor 09/PIM/2008 tanggal 23 Juni 2008 tentang Persetujuan Dukungan Dana dalam APBD Provinsi Jambi untuk Penyelenggaraan Pemerintahan dan Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah bagi Kota Sungai Penuh, dan Surat Gubernur Jambi Nomor 900/471/Pemotda tanggal 23 Juni 2008 tentang Perihal Dukungan Dana Pemerintah Provinsi Jambi bagi Calon Kota Sungai Penuh (vide Penjelasan Umum UU 25/2008).
Dengan demikian pengaturan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008 pada prinsipnya merupakan realisasi tujuan dana perimbangan yakni untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah, serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah. Kota Sungai Penuh sebagai daerah otonom baru memerlukan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan kemudahan dalam pelayanan masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dengan adanya ketentuan norma pasal a quo Kota Sungai Penuh dapat segera mewujudkan tujuan-tujuan tersebut di atas. Sementara itu, bagi Kabupaten Kerinci tanpa harus meminta pemaknaan rumusan norma Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008 pada prinsipnya sebagai daerah otonom yang melaksanakan fungsi pemerintahan dan tugas-tugas pembantuan sudah pasti memeroleh alokasi dana perimbangan sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU 32/2004 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah; b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah”. Demikian pula dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyatakan dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran, daerah induk, daerah yang terkena dampak pemekaran, serta daerah lainnya yang prasarana pemerintahnya belum layak dan memadai, sejak tahun 2010 sampai dengan 2015 Pemerintah telah mengalokasikan DAK prasarana Pemerintahan daerah dalam APBN. Dalam kaitan ini, Kabupaten Kerinci telah mendapatkan alokasi dana berupa: DAK Prasarana Pemerintahan Daerah sebesar Rp4.591.420.000,00 (empat milyar lima ratus sembilan puluh satu juta empat ratus dua puluh ribu rupiah) pada tahun 2015 (vide Lampiran Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2015 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015). Selain DAK Prasarana Pemerintahan Daerah, Kabupaten Kerinci juga mendapatkan Dana Perimbangan dan Dana Insentif Daerah tahun 2018, 2019, 2020 (vide Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN TA 2020, Peraturan Presiden Nomor 129 Tahun 2018 tentang Rincian APBN TA 2019, Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian APBN TA 2018). Dengan adanya DAK dan Dana Insentif Daerah maka Kabupaten Kerinci memiliki ruang fiskal yang cukup untuk membangun kembali sarana dan prasarana, termasuk aset-aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Sungai Penuh. Dengan demikian persoalan yang dihadapi Kabupaten Kerinci sebagai kabupaten induk yang membutuhkan dana untuk pengadaan dan pembebasan lahan calon ibukota baru serta pembangunan infrastruktur merupakan hal yang berkaitan dengan skema pembiayaan pembangunan ibukota baru, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma karena proses yang dilakukan untuk pembentukan tersebut telah didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dalil para Pemohon yang mempermasalahkan adanya ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif merupakan dalil yang tidak mendasar pula.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008 inkonstitusional adalah juga tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 13 ayat (7) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008, sebelum sampai pada kesimpulan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] dan Paragraf [3.7] di atas, maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah terhadap substansi atau norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon.

[3.16.1] Bahwa Pemohon I. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX dalam kualifikasinya masing-masing sebagai perseorangan warga negara Indonesia, sekalipun Pemohon IV dan Pemohon V menerangkan dirinya sebagai mantan anggota DPRD Kabupaten Kerinci Periode 2014-2019 dan Pemohon VI Periode 2004-2008, serta Pemohon VIII menyatakan sebagai Ketua DPD KNPI Daerah Kerinci Periode 2019- 2022 tetapi tidak dalam kapasitas mewakili organisasi, serta Pemohon IX menerangkan dirinya sebagai pelaku sejarah dalam pelepasan aset. Dalam kualifikasinya tersebut masing-masing Pemohon telah menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya atas kepastian hukum dengan berlakunya norma Pasal 13 ayat (7) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008. Namun oleh karena substansi permohonan a quo berkaitan dengan persoalan penyerahan aset daerah dan dana alokasi khusus daerah, yang menurut Mahkamah persoalan demikian berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjadi urusan pemerintahan daerah dan bukan langsung berkenaan dengan persoalan kerugian hak konstitusional perseorangan warga negara.
Berkenaan dengan hal di atas, Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 70/PUU-XII/2014, bertanggal 6 November 2014 telah menetapkan bahwa untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang mewakili kepentingan daerah di hadapan Mahkamah haruslah pemerintahan daerah. Dengan demikian Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX, meskipun menganggap dirinya memiliki kepedulian terhadap Kabupetan Kerinci, namun tetap tidak dapat mewakili Kabupaten Kerinci. Oleh karenanya menurut Mahkamah, Pemohon I. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.16.2] Bahwa Pemohon X sebagai Bupati Kerinci Periode 2019-2024 dan Pemohon XI, Pemohon XII, dan Pemohon XIII sebagai Ketua dan Wakil Ketua DPRD Periode 2019-2024 yang bertindak selaku Pimpinan DPRD Kabupaten Kerinci, bersama-sama mengkualifikasikan dirinya sebagai Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci.
Sebagaimana pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.16.1] di atas, bahwa yang bisa mewakili daerah untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan urusan pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah itu sendiri, dalam hal ini Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintahan daerah yang mewakili kepentingan daerah, sebelumnya antara lain telah pernah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, bertanggal 13 Oktober 2016 dalam pertimbangannya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
“...apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.”

Lebih lanjut dalam Putusan a quo Mahkamah berpendapat bahwa
“...bukanlah berarti kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) atau DPRD (DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) secara sendiri- sendiri sama sekali tidak dapat mengajukan permohonan pengujian UU Pemda. Kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) atau DPRD (DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) secara sendiri-sendiri tetap dapat mengajukan permohonan pengujian UU Pemda sepanjang ketentuan yang dipersoalkan konstitusionalitasnya adalah ketentuan yang berkenaan dengan hak dan/atau kewenangannya masing-masing di luar kewenangan yang dipegang secara bersama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan daerah”.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 ini menegaskan bahwa terhadap persoalan yang kewenangannya dipegang secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pihak yang dirugikan dengan berlakunya UU terkait dengan daerah adalah Pemerintahan Daerah. Selain itu juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah sebagai satu kesatuan dengan DPRD. Penegasan mengenai hal ini pun termaktub dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Selain itu, Pasal 57 UU 23/2014 juga menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Atas dasar itu maka yang dapat mengajukan permohonan mewakili daerah adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk pemerintahan daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
Selanjutnya, menurut Mahkamah norma Pasal 13 ayat (7) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008 yang dimohonkan pengujiannya ini terkait dengan urusan pemerintahan daerah yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh kepala daerah dan DPRD, sehingga yang dapat mengajukan permohonan pengujian ketentuan dimaksud adalah Bupati Kabupaten Kerinci bersama-sama dengan DPRD Kabupaten Kerinci sebagai satu kesatuan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci.
Berkenaan dengan persoalan ini, pada saat Persidangan Pendahuluan tanggal 16 Januari 2020 (vide Berita Acara Persidangan Perkara 3/PUU-XVIII/2020 tanggal 16 Januari 2020), Majelis Panel Hakim sudah memberikan nasihat kepada para Pemohon mengenai kedudukan hukum para Pemohon. Menurut Majelis Panel Hakim, persoalan pokok dalam permohonan para Pemohon berkenaan langsung dengan pemerintahan daerah, yaitu DPRD dan kepala daerah. Sementara permohonan awal para Pemohon diajukan oleh individu-individu yang pernah menjadi bagian dari pemerintah daerah. Ketika itu, Majelis Panel juga sudah mengingatkan para Pemohon untuk melihat kembali putusan-putusan Mahkamah terdahulu menyangkut pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan persoalan daerah. Majelis Hakim dalam persidangan a quo juga mempertanyakan, apakah sebelum mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah, pernah ada pembahasan antara DPRD dengan kepala daerah terkait persoalan penyerahan aset kepada Kota Sungai Penuh. Namun demikian, para Pemohon dalam perbaikan permohonannya hanya menambahkan Bupati Kabupaten Kerinci sebagai Pemohon X dan Ketua DPRD Kabupaten Kerinci sebagai Pemohon XI dan dua orang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci masing-masing sebagai Pemohon XII dan Pemohon XIII. Dalam Perbaikan permohonan para Pemohon, pada bagian identitas Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, dan Pemohon XIII, ditempatkan sebagai subjek hukum yang terpisah bukan sebagai satu kesatuan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci. Demikian juga dalam surat kuasa tambahan yang disampaikan para Pemohon, masing-masing bertanggal 21 Januari 2020, Surat Kuasa Khusus untuk Pemohon X (Bupati) terpisah dengan Surat Kuasa Khusus untuk Pemohon XI sampai dengan Pemohon XIII (pimpinan DPRD). Meskipun surat kuasa yang demikian tidak salah, namun seharusnya Bupati dan DPRD dalam permohonan yang demikian harus terrepresentasikan sebagai subjek hukum satu Pemohon, in casu Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci;
Jika Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang ke Mahkamah maka khusus untuk DPRD, harus dibuktikan berdasarkan hasil Rapat Paripurna DPRD yang menyetujui pengajuan permohonan pengujian UU 25/2008 ke Mahkamah. Hal ini sebagaimana pendirian Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU- XIII/2015, tanggal 5 April 2017;
Sebelumnya, saat Persidangan Pendahuluan tanggal 16 Januari 2020 (vide Berita Acara Persidangan Perkara 3/PUU-XVIII/2020 tanggal 16 Januari 2020), Majelis Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon dan menanyakan ada tidaknya Rapat Paripurna DPRD yang membahas persoalan hukum yang dimohonkan a quo. Sementara permohonan para Pemohon saat itu diajukan oleh individu-individu yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan daerah (mantan anggota DPRD), bukan pemerintahan daerah yaitu DPRD dan kepala daerah;
Kemudian dalam Persidangan Pendahuluan dengan agenda memeriksa Perbaikan permohonan, tanggal 6 Februari 2020 (vide Berita Acara Persidangan Perkara 3/PUU-XVIII/2020 tanggal 5 Februari 2020) Majelis Panel kembali menanyakan mengenai bukti Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kerinci, karena dalam perbaikan permohonan para Pemohon hanya menambahkan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci sebagai tambahan Pemohon, tanpa menyertakan bukti adanya Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kerinci;
Pada tanggal 6 Februari 2020, Kepaniteraan Mahkamah menerima bukti P-37 yang diajukan oleh para Pemohon berupa Keputusan Rapat Bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci dan Pimpinan DPRD Kabupaten Kerinci bertanggal 21 Januari 2020 (vide bukti P-37). Dalam bukti dimaksud dijelaskan bahwa Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci menyampaikan pandangan yang sama dengan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kerinci untuk bersama-sama atas nama Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci menjadi Pemohon pada perkara pengujian undang-undang yang sudah diajukan oleh Jarizal Hatmi, dan melengkapi kedudukan hukum para Pemohon. Terhadap bukti surat dimaksud Mahkamah menilai bukti tersebut hanya menjelaskan kesepakatan Bupati dan Wakil Bupati dengan beberapa pimpinan DPRD, bukti demikian menurut Mahkamah tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa permohonan pengujian benar diajukan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci. Karena sebagaimana disebutkan di atas, Mahkamah mensyaratkan adanya Rapat Paripurna DPRD untuk membuktikan bahwa pengajuan permohonan ke Mahkamah benar dikehendaki oleh mayoritas anggota DPRD, bukan hanya pimpinan DPRD. Yang kemudian hasil Rapat Paripurna tersebut diwujudkan dalam pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah bersama-sama dengan kepala daerah sebagai subjek hukum yang merepresentasikan satu Pemohon yaitu Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci;
Selanjutnya, para Pemohon mengajukan bukti P-41 berupa Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kerinci bersama-sama dengan Bupati Kabupaten Kerinci. Namun Rapat Paripurna tersebut diadakan pada tanggal 18 Maret 2020, saat Persidangan Pleno Pemeriksaan Permohonan Pemohon sudah dilaksanakan. Terhadap bukti P-41 tersebut Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU- XVI/2018, bertanggal 13 Maret 2019, menguatkan kembali pendiriannya bahwa untuk mengajukan permohonan pengujian norma Undang-Undang yang berkaitan dengan hak dan kewenangan daerah, DPRD harus mendapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna sebelum permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya Mahkamah tidak mempertimbangkan bukti P-41 dimaksud;
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas menurut Mahkamah Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII dan Pemohon XIII tidak dapat dikatakan sebagai bersama-sama mengajukan permohonan a quo sebagai satu kesatuan pemerintahan daerah sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemerintahan daerah, in casu Pemerintahan Daerah Kabupaten Kerinci. Terlebih lagi para Pemohon tidak dapat menyertakan bukti adanya Rapat Paripurna DPRD yang dilakukan sebelum diajukannya permohonan ke Mahkamah, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII dan Pemohon XIII tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 13 ayat (7) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) UU 25/2008, quod non, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

H. Sunaryo, H.S dan Zarkasi yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. Muhammad Junaidi, S.HI, M.H. dan Khikmah, S.H yang tergabung dalam Junaidi & Partner yang untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017

Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi kepada Mahkamah yang pada pokoknya meminta Mahkamah menerbitkan putusan sela sebelum menjatuhkan putusan akhir, menunda pelaksanaan berlakunya pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Bukti P-21yang lahirnya pencabutan izin tersebut disandarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017, sampai adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi terhadap pokok permohonan Pemohon dengan alasan yang pada pokoknya agar ada jaminan kepastian hukum atas kewenangan yang telah diberikan melalui perizinan sebelumnya. Menurut para Pemohon hal ini perlu agar dimungkinkan tanggung jawab yang harus dijalankan kepada Tenaga Kerja Indonesia yang seyogyanya sudah siap diberangkatkan oleh perusahaan para Pemohon dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang cukup untuk melakukan penundaan keberlakuan norma a quo yang berimplikasi pada penundaan berlakunya pencabutan izin perusahaan para Pemohon. Terlebih, terhadap pokok permohonan dalam perkara a quo belum dipertimbangkan. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat tidak dapat dibenarkan secara hukum untuk menunda keberlakuan norma dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo. Dengan demikian permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan ditolak.

Dalam Pokok Permohonan
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “Deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memenuhi rasa keadilan. Terhadap dalil tersebut, para Pemohon ternyata tidak memohon mengenai angka dari deposito yang harus disetorkan, namun dari petitum permohonannya yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah agar norma tersebut dapat dimaknai dalam bentuk Jaminan Bank (Bank Garansi Oleh Bank Manapun) yang nilainyapaling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan oleh pihak bank sesuai dengan permintaan pemerintah. Terhadap hal tersebut, maka permasalahan yang dikemukakan para Pemohon tersebut sesungguhnya adalah meminta agar setoran uang dalam bentuk deposito seharusnya ditafsirkan dalam bentuk Jaminan Bank, dan bank pemerintah ditafsirkan menjadi “Bank Manapun”. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penting bagi Mahkamah untuk menguraikan apa sebetulnya tujuan dari syarat tersebut menurut undang-undang a quo. Latar belakang filosofis dari syarat tersebut pada pokoknya telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XVII/2019, yang diucapkan sebelumnya pada tanggal 25 November 2020 yang antara lain mempertimbangkan:
“...a. Bahwa jumlah modal disetor dan jumlah deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo, di satu sisi dapat dipahami sebagai beban bagi P3MI untuk mendapatkan SIP3MI, padahal apabila dicermati secara saksama filosofi dan semangat dari UU 18/2017 adalah untuk lebih memberikan jaminan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, regulasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan menaikkan modal yang disetor dan deposito setoran ke bank pemerintah merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan krediblitas P3MI sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dengan melihat fakta hukum terjadinya berbagai kasus yang dialami oleh para PMI yang selalu diawali dengan adanya kelalaian P3MIdalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik pada saat dimulainya proses rekrutmen PMI hingga sampai pekerja migran selesai bekerja, maka kenaikan modal yang disetor dan setoran deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo adalah sebagai sebuah keniscayaan yang memang harus dilakukan seiring berubahnya nilai mata uang dan juga yang lebih utama adalah sebagai upaya untuk meningkatkan marwah PMI yang dalam hal ini juga diwakili oleh P3MI sebagai partner dari Pemerintah dalam pelaksanaan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, P3MI yang mendapatkan SIP3MI haruslah P3MI yang bukan hanya profesional dan bonafide tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
b. Bahwa syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 dimaksudkan agar P3MI sebagai pelaksana penempatan PMI dapat secara sungguh-sungguh membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional yang berpengaruh terhadap realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya syarat tersebut dimaksudkan pula sebagai upaya untuk mencegah pendirian perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh. Terlebih lagi, apabila hal tersebut dikaitkan dengan objek usaha penempatan PMI adalah manusia dengan segala harkat dan martabatnya, maka persyaratan demikian merupakan bentuk lain dari upaya perlindungan terhadap PMI. Lebih lanjut, menurut Mahkamah, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU 18/2017 justru bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, akan tetapi kepastian berusahadan perlindungan hukum baik untuk P3MI, mitra P3MI, calon PMI dan/atau PMI, maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan PMI secara komprehensif..
....e. Bahwa ketentuan pasal yang dimohonkan pengujiannya merupakan aturan yang bersifat umum yang berlaku bagi semua P3MI dan syarat tersebut bersifat fleksibel sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (3) UU 18/2017 yang menyatakan “Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditinjau kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri”. Selain itu, ketentuan pasal a quo juga telah sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, “Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Tambah lagi, ketentuan besaran modal disetor dan setoran deposito bagi P3MI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah pilihan kebijakan untuk menaikan modal disetor dan setoran deposito dengan jumlah tertentu tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XVII/2019, tanggal 25 November 2020, paragraf [3.16])

Pertimbangan tersebut di atas merupakan sikap Mahkamah mengenai konstitusionalitas syarat yang ditentukan oleh Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017. Oleh karenanya terhadap pasal a quo Mahkamah telah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas norma.
Selanjutnya berkenaan dengan petitum para Pemohon mengenai bentuk penyetoran yang seharusnya dapat berbentuk bank garansi di bank manapun, menurut Mahkamah apabila hal tersebut dikabulkan justru potensial menciptakan ketidakpastian hukum dan sekaligus berpotensi mengurangi peran pemerintah dalam menciptakan akuntabilitas dan bonafiditas dari P3MI yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan para pekerja migran. Tentunya tanpa kepastian hukum dan bonafiditas tersebut, akan menimbulkan keraguan mengenai profesionalitas P3MI dan dalam jangka panjang justru membahayakan keselamatan pekerja migran. Menurut Mahkamah, karena sifat pekerjaan dan usaha dari P3MI yang bersifat lintas negara, penggunaan bank pemerintah adalah pilihan yang tepat, karena tidak semua bank, atau dalam diksi para Pemohon “Bank Manapun” dapat memberikan jaminan bonafiditas perusahaan, apalagi untuk kepentingan PMI yang berada di negara lain. Terlebih terhadap bank pemerintah terdapat jaminan keamanan dan kemudahan akses dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada PMI. Para Pemohon membandingkan syarat ini dengan syarat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mensyaratkan salah satunya agar Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan perusahaan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank. Menurut Mahkamah perbandingan tersebut adalah tidak tepat, karena bidang usaha P3MI dengan perusahaan PIHK dan perusahaan PPIU adalah bidang usaha yang sangat berbeda dan memiliki implikasi yang sangat berbeda pula. Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU PPMI justru bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, akan tetapi kepastian berusaha dan perlindungan hukum baik untuk P3MI, mitra P3MI, calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia, maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan Pekerja Migran Indonesia secara komprehensif. Dengan demikian dalil para Pemohon bahwa frasa “Deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b UU 18/2017 menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Anwar Hafid, dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Refly Harus, S.H., M.H., LL.M, dkk Advokat/Konsultan Hukum pada kantor Refly Harun & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pilkada Perubahan Kedua dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah mempercepat proses penyelesaian perkara mengingat permohonan a quo terkait dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020. Di mana, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 para Pemohon akan memulai Tahapan Pendaftaran Pasangan Calon pada tanggal 28 Agustus 2020 sampai dengan 3 September 2020.
Terhadap Permohonan Provisi para Pemohon tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya dikarenakan tidak terdapat alasan yang signifikan akan mengganggu pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 yang mengharuskan Mahkamah mengadili dan memutus perkara a quo sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon. Terlebih lagi, bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD pilihan politik untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah telah diperhitungkan risikonya termasuk risiko yang harus diterima berkenaan dengan konsekuensi berlakunya norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam Pokok Permohonan
...
[3.16] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan para Pemohon, keterangan ahli para Pemohon, kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden dan kesimpulan Presiden, keterangan Pihak Terkait, keterangan ahli Pihak Terkait, serta kesimpulan Pihak Terkait, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.16.1] Bahwa terkait dengan keharusan bagi anggota legislatif untuk mengundurkan diri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016, Mahkamah telah mempertimbangkan mengenai hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, tanggal 8 Juli 2015, dalam Paragraf [3.20] sampai dengan Paragraf [3.24], khususnya Paragraf [3.23] dan Paragraf [3.24] Mahkamah menyatakan:
Paragraf [3.23]
… Dikatakan tidak proporsional (dan karenanya tidak adil) karena terhadap proses yang sama dan untuk jabatan yang sama terdapat sekelompok warga negara yang hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yaitu dalam hal ini warga negara yang berstatus sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD. Alasan pembentuk Undang-Undang bahwa jabatan DPR, DPD, dan DPRD adalah bersifat kolektif kolegial, sehingga jika terdapat anggota DPR, DPD, atau DPRD mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak menggangu pelaksanaan tugas dan fungsinya, tidaklah cukup untuk dijadikan alasan pembedaan perlakuan tersebut. Sebab orang serta-merta dapat bertanya, bagaimana jika yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah Pimpinan DPR, atau Pimpinan DPD, atau Pimpinan DPRD, atau bahkan Pimpinan alat kelengkapan DPR, DPD atau DPRD? Bukankah hal itu akan menimbulkan pengaruh terhadap tugas dan fungsinya? Sebab, paling tidak, jika nantinya yang bersangkutan terpilih, hal itu akan berakibat dilakukannya proses pemilihan kembali untuk mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh yang bersangkutan. Dengan demikian, persoalannya bukanlah kolektif kolegial atau bukan, tetapi menyangkut tanggung jawab dan amanah yang telah diberikan oleh masyarakat kepada yang bersangkutan....”

Paragraf [3.24]
“… Dengan demikian, Pasal 7 huruf s UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang frasa “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dalam Pasal tersebut tidak diartikan “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah …”

[3.16.2] Bahwa selanjutnya terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 oleh pembentuk undang-undang telah disesuaikan pada UU 10/2016 yaitu dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016. Terkait dengan isu keharusan mengundurkan diri anggota legislatif saat akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah Mahkamah telah mempertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017, tanggal 28 November 2017.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan seharusnya tidak ada perbedaan antara jabatan anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan jabatan kepala daerah karena merupakan kesatuan rumpun jabatan, yaitu “jabatan politik”. Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, tanggal 8 Juli 2015 yang dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017, tanggal 28 November 2017, bahwa persoalannya menurut Mahkamah adalah bukanlah masalah kolektif kolegial semata, tetapi menyangkut tanggung jawab dan amanah yang telah diberikan oleh masyarakat kepada yang bersangkutan. Pemilih yang telah memilih para Pemohon untuk menjadi wakilnya telah menerima tanggung jawab dan amanah sebagai anggota DPR dan DPRD, sehingga ketika anggota DPR dan DPRD yang terpilih dan duduk sebagai anggota dewan yang secara pribadi kemudian memilih untuk menjadi kepala daerah maka secara sadar telah melepaskan tanggung jawab dan amanah sebagai anggota dewan untuk kemudian memilih mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang berarti memiliki tanggung jawab dan amanah yang secara hukum mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda meskipun merupakan rumpun yang sama. Oleh karena itu menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.17.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan jabatan anggota legislatif dan jabatan menteri merupakan jabatan dalam rumpun yang sama yaitu jabatan politik sehingga adanya perbedaan antara kedua jabatan tersebut ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah telah bertentangan dengan UUD 1945 dengan menggunakan dasar pemikiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XI/2013, tanggal 3 Januari 2014. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah perlu mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XI/2013 sebagaimana terdapat dalam dalil para Pemohon:
“...Jabatan menteri adalah jabatan politik yang eksistensinya sangat bergantung pada Presiden, sepanjang Presiden memerlukan menteri yang bersangkutan dapat dipertahankan atau sebaliknya. Berbeda dengan jabatan lain seperti bupati yang dipilih secara demokratis, eksistensinya bergantung pada yang bersangkutan. Berbeda pula dengan pejabat BUMN yan terikat pada aturan disiplin di lingkungan BUMN dan pemegang saham“

Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah yang dikutip di atas, meski jabatan menteri sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon berada dalam rumpun jabatan politik, namun eksistensi posisi menteri tergantung pada Presiden dan bukan jabatan yang dipilih oleh rakyat (elected official). Berbeda dengan menteri, jabatan anggota legislatif adalah merupakan jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected official). Dengan demikian, meski sama-sama berada dalam rumpun jabatan politik, sebagaimana didalilkan para Pemohon, namun dalam banyak hal terdapat perbedaan di antara kedua jabatan dimaksud. Artinya, menggunakan dalil rumpun jabatan sebagai alasan sehingga anggota legislatif yang akan mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah tidak perlu mengundurkan diri menjadi tidak relevan. Apalagi, jabatan menteri bukan jabatan politik yang harus bertanggung jawab kepada pemilih (konstituen) sebagaimana pertanggungjawaban anggota lembaga legislatif sebagai elected official yang tidak boleh terputus karena hendak menggapai jabatan lain. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, alasan para Pemohon yang menghendaki dipersamakan perlakuan antara anggota legislatif dengan menteri yang tidak dipersyaratkan mengundurkan diri apabila mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.17.3] Bahwa para Pemohon mendalilkan anggota legislatif memiliki mekanisme kontrol baik yang bersifat internal maupun eksternal dari Mahkamah Partai Politik, Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan masyarakat, sehingga tidak lantas menjadikan anggota legislatif dapat menyalahgunakan kewenangannya oleh karenanya keharusan anggota legislatif untuk mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan tidak relevan lagi. Menurut Mahkamah, norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 dibentuk berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUUXIII/2015, tanggal 8 Juli 2015. Di mana dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa berhenti ketika memenuhi syarat sebagai calon yang ditetapkan oleh KPU/KIP karena menyangkut tanggung jawab dan amanah yang telah diberikan oleh masyarakat kepada yang bersangkutan. Oleh karena itu, larangan tersebut tidak semata karena adanya kemungkinan penyalahgunaan wewenang dimaksud, namun menurut Mahkamah menyangkut tanggung jawab dan amanah yang diberikan oleh masyarakat yang telah memilihnya. Artinya, pengunduran diri setelah ditetapkan sebagai calon yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh KPU/KIP adalah memenuhi rasa keadilan dari semua rumpun jabatan ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah;

[3.17.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan syarat “mengundurkan diri” ini dapat diterapkan hanya pada jabatan alat kelengkapan dewan tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan pengunduran diri hanya diterapkan pada jabatan alat kelengkapan dewan tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif, justru mengabaikan prinsip keadilan dan kesamaan setiap orang yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, tanggal 8 Juli 2015 yang dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017 memberikan kesempatan yang sama untuk semua rumpun jabatan politik ketika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka harus mengundurkan diri ketika telah ditetapkan sebagai calon yang memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP. Oleh karenanya, ketika para Pemohon menginginkan hanya diterapkan pada jabatan alat kelengkapan dewan tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif justru hal tersebut merupakan tindakan yang diskriminatif, karena memperlakukan berbeda untuk hal yang sama yaitu mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.17.5] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUUVIII/2010, tanggal 15 Desember 2010 telah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
[3.19.4] Bahwa menurut Mahkamah hak konstitusional dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, adalah jaminan konstitusional terhadap setiap orang yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosio-kultural masyarakat secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat atau yang dikenal dengan hak atas affirmative action. Menurut Mahkamah, tidak ada suatu keadaan yang spesifik untuk memberlakukan affirmative action kepada Pemohon;

Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dalam keadaan yang spesifik untuk diberlakukan affirmative action karena posisi para Pemohon bukan orang atau kelompok orang yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosio-kultural masyarakat secara terus-menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat. Selain itu, frasa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus” dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 harus dibaca sebagai satu-kesatuan dan frasa tersebut sama sekali tidak boleh dilepaskan dari frasa “untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dengan cara membaca yang demikian, semakin jelas tidak ada suatu keadaan yang spesifik pun yang dapat membenarkan para Pemohon untuk berlindung di balik alasan konstitusional sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa secara prinsip dalil-dalil para Pemohon tidaklah jauh berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya yang telah pernah diputus sebelumnya, Mahkamah perlu menegaskan kembali norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 yang dimohonkan oleh para Pemohon merupakan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, sehingga Mahkamah merasa perlu menyatakan dan sekaligus menegaskan kembali bahwa tidak relevan lagi untuk mempersoalkan norma a quo. Selain itu, Mahkamah tidak memiliki alasan yang mendasar untuk berubah atau bergeser dari pertimbangan dan pendapat hukum putusan-putusan Mahkamah sebelumnya. Oleh karena itu, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

dr. Mahesa Paranadipa Maykel, MH (Ketua Umum), dr. Eva Sri Diana, Sp.P FISR (Dokter), dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT. (Dokter) dr. Ayu (Dokter), dr. Aisyah (Dokter), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjutak, S.H., dkk., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular dan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 9 ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular dan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, meskipun Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum, namun Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V (selanjutnya disebut para Pemohon) memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan.
Dalam Provisi
[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memeriksa perkara dengan sangat prioritas dan juga supaya Mahkamah segera memerintahkan pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun pegawai kesehatan, yang sedang berjuang melawan COVID-19 di lapangan. Adapun alasan para Pemohon pada pokoknya bahwa dalam masa pandemi COVID-19 sangat dibutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar untuk melawan penyebaran virus tersebut, seperti alat pelindung diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun pegawai fasilitas kesehatan yang saat ini masih banyak terjadi kekurangan sebagaimana dialami dan dijabarkan oleh para Pemohon. Langka dan mahalnya alat pelindung diri sangat berdampak karena konsekuensinya adalah para tenaga medis, tenaga kesehatan, maupun pegawai fasilitas kesehatan yang merawat pasien COVID-19 dapat terkena COVID-19, dan tidak menutup kemungkinan, menjadi gugur. Permohonan provisi para Pemohon meminta Mahkamah untuk melakukan pemeriksaan prioritas serta memerintahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera menciptakan regulasi dan melaksanakan kebijakan sebagaimana disebutkan para Pemohon dalam petitum provisinya. Permintaan provisi para Pemohon ini mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009 yang mengabulkan putusan sela (provisi) dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa terhadap permohonan provisi a quo, menurut Mahkamah, alasan permohonan provisi yang diajukan para Pemohon tidaklah serta-merta dapat dikabulkan dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Nomor 133/PUU-VII/2009 karena setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan-alasan para Pemohon (vide permohonan hlm. 9-11) dan petitum dalam provisi telah ternyata tidak terdapat alasan-alasan yang signifikan mengharuskan Mahkamah mengabulkan provisi. Terlebih lagi bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk memerintahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera menciptakan regulasi dan melaksanakan kebijakan sebagaimana disebutkan para Pemohon dalam petitum provisinya. Oleh karena itu, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dan oleh karenanya harus dinyatakan ditolak.

Dalam Pokok Permohonan
[3.9] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 serta Pasal 6 UU 6/2018, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan para Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut para Pemohon, menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan alat perlindungan diri (APD) bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan wabah penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat sebagai perlindungan hukum yang adil serta menjadi tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak sebagaimana amanat pasal 28D ayat (1) dan pasal 34 ayat (3) UUD 1945;
2. Bahwa menurut para Pemohon, insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan wabah penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat, juga santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur, merupakan suatu kewajiban sebagai perlindungan hukum yang adil dan penghidupan yang layak sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa menurut para Pemohon, menjadi kewajiban Pemerintah sesuai Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 untuk menyediakan sumberdaya pemeriksaan penyakit bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit melalui alur pemeriksaan yang cepat dan dapat diakses oleh tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan penyakit tersebut
4. Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan:
a. Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.”;
b. Frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” pada Pasal 6 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai termasuk juga:
a. Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
b. Insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
c. Santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur ketika menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
d. Sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui alur pemeriksaan yang cepat.
[3.10] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, dan mengajukan dua orang ahli atas nama Qurrata Ayuni, S.H., MCDR dan Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc. serta dua orang saksi atas nama Zainal Muttaqin dan Radofik yang semuanya telah didengar dan dibaca keterangannya dalam sidang tanggal 26 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 15 September 2020 dan Mahkamah telah membaca keterangan tambahan DPR yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 22 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Presiden dalam persidangan pada tanggal 11 Agustus 2020 dan Mahkamah telah membaca keterangan tambahan Presiden yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 11 September 2020. Mahkamah juga telah mendengar keterangan saksi yang diajukan Presiden atas nama dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, dr. Trisa Wahyuni Putri, M.Kes, dan Retna Nurdani, S.Kep dalam persidangan tanggal 15 September 2020. Selain itu, Mahkamah juga telah memeriksa dan membaca bukti Presiden bertanda bukti T-1 sampai dengan bukti T-5 yang disampaikan beserta Kesimpulan Presiden dan diterima di Kepaniteraan tanggal 23 September 2020. (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara);
[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, masalah dan sekaligus pertanyaan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar kata “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “wajib” dan apakah frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 inkonstitusional bilamana tidak dimaknai: “termasuk juga: a. Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; b. Insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; c. Santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur ketika menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; dan d. Sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui alur pemeriksaan yang cepat”;
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 inkonstitusional apabila tidak dimaknai menjadi kata “wajib” dalam kaitan dengan pemberian penghargaan atas risiko upaya penanggulangan wabah. Terhadap dalil para Pemohon tersebut penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu keterkaitan norma pasal yang dimohonkan pengujiannya dengan norma-norma pasal lainnya sehingga dapat dinilai apakah sesungguhnya terdapat persoalan konstitusionalitas norma. Pertama, berkaitan dengan pengertian wabah penyakit menular yang merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (vide Pasal 1 huruf a UU 4/1984). Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut, keberadaan UU 4/1984 tidak secara spesifik dibuat untuk penanggulangan penyakit menular tertentu, namun dibentuk sebagai dasar hukum penanggulangan berbagai jenis wabah penyakit sepanjang kondisinya memenuhi syarat Pasal 1 huruf a tersebut. Kedua, berkenaan dengan lingkup upaya penanggulangan wabah, UU a quo menentukannya dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu: a. penyelidikan epidimiologis, b. pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina, c. pencegahan dan pengebalan, d. pemusnahan penyebab penyakit, e. penanganan jenazah akibat wabah, f. penyuluhan kepada masyarakat, dan g. upaya penanggulangan lainnya. Dengan disebutkannya “upaya penanggulangan lainnya” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf g UU a quo menunjukkan bahwa upaya penanggulangan wabah mencakup bidang yang amat luas atau tidak limitatif, di mana kondisi pandemi COVID-19 termasuk di dalamnya.


Oleh karena upaya penanggulangan wabah penyakit menular ini berdampak besar bagi petugas tertentu yang terlibat dalam upaya tersebut maka Pasal 9 UU 4/1984 menghendaki agar para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggungnya. Petugas tertentu yang dimaksud yaitu setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah, sedangkan jenis penghargaan yang diberikan dapat berupa materi dan/atau bentuk lain (vide Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984). Namun demikian UU a quo tidak menentukan perihal teknis pemberian penghargaan ini karena pengaturannya dimandatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sehingga menjadi dasar kewenangan bagi pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana mengenai upaya penanggulangan wabah penyakit menular tersebut.
Sebagai bentuk pelaksanaan atas dasar amanat tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (PP 40/1991). Substansi yang berkaitan dengan amanat penghargaan termaktub dalam Pasal 29 PP 40/1991 yang pada pokoknya mengatur materi yang serupa dengan ketentuan Pasal 9 UU 4/1984 bahwa (1) Kepada petugas tertentu yang telah melakukan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan; (2) Penghargaan tersebut ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Demikian pula halnya dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (1) PP a quo secara substantif serupa dengan apa yang telah termaktub dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 bahwa “yang dimaksud dengan petugas tertentu adalah setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan penanggulangan wabah. Sedangkan, penghargaan yang diberikan dapat berupa uang dan/atau bentuk lain”. Dengan kata lain, substansi PP a quo hanya menegaskan kembali muatan UU dan selanjutnya memberikan sub-delegasi pengaturannya kepada ketentuan yang lebih rendah yakni keputusan menteri. Adanya pendelegasian tersebut dikarenakan luasnya cakupan UU 4/1984 sehingga pembuat kebijakan diberikan keleluasan atau fleksibilitas untuk membuat aturan pelaksana sesuai dengan karakteristik atau dampak dari wabah yang tengah dihadapi.
Fleksibilitas tersebut kemudian tampak ketika negara harus berhadapan dengan pandemi COVID-19 yang dampaknya sangat besar, terutama terhadap keselamatan petugas yang bertugas dalam upaya penanggulangan wabah. Dengan menggunakan UU 4/1984 sebagai landasan hukum, pemerintah mengeluarkan berbagai aturan pelaksana yang spesifik dibentuk untuk menghadapi dampak pandemi COVID-19 yang merupakan ketentuan sub-delegasi dari UU 4/1984 a quo. Di antara aturan-aturan tersebut yakni Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/menkes/329/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019/Covid-19, bertanggal 30 Juni 2020 (Kepmenkes 01.07/menkes/329/ 2020). Selanjutnya, dalam waktu yang sangat singkat, Kepmenkes 01.07/menkes/ 329/2020 mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi yang berkembang sehingga dikeluarkan Kepmenkes Nomor 01.07/menkes/447/2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/menkes/ 329/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019/Covid-19, bertanggal 23 Juli 2020 (Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020). Lebih lanjut, dalam rangka memberikan kejelasan pengelolaan alokasi insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19 telah diterbitkan pula Keputusan Menteri Keuangan Nomor 15/KM.7/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Rincian Alokasi Dana Cadangan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tambahan Gelombang III Tahun Anggaran 2020. Alokasi dana yang dimaksud oleh ketentuan tersebut, salah satunya diperuntukan bagi insentif tenaga kesehatan daerah yang dialokasikan untuk bulan Maret sampai dengan Mei 2020. Insentif ini diberikan sebagai bentuk penghargaan negara atas risiko yang harus ditanggung oleh tenaga kesehatan yang terlibat dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19, di mana COVID-19 merupakan bagian dari wabah penyakit menular. Sementara itu, risiko yang harus ditanggung petugas dalam upaya penanggulangan wabah ini sangat tinggi karena tingginya tingkat berjangkitnya penyakit sehingga penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan wilayah tertentu serta menimbulkan malapetaka, misalnya kematian dalam jumlah yang besar.
Tidak hanya dalam bentuk insentif, penghargaan tersebut diwujudkan pula dalam bentuk santunan kematian. Dalam kaitan dengan mekanisme penyalurannya ditentukan secara bertahap setelah daerah menyampaikan laporan realisasi pembayaran insentif tenaga kesehatan tahap pertama paling sedikit menunjukkan realisasi 60%. Alokasi yang dimaksud masih diberikan sampai dengan bulan Desember 2020 dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020).
Berkenaan dengan siapa saja tenaga kesehatan yang memeroleh insentif tersebut telah ditentukan dalam Pasal 9 UU 4/1984, yaitu petugas tertentu, mereka baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau berwenang dalam melaksanakan penanggulangan wabah (vide Penjelasan Pasal 9 UU 4/1984). Dalam kaitan ini, Menteri Kesehatan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan wabah telah menentukan pula kriteria tenaga kesehatan yang menerima insentif yakni dokter spesialis, dokter, dokter gigi, bidan, perawat, dan tenaga medis lainnya, termasuk juga dokter yang mengikuti penugasan khusus residen, dokter yang mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia, dokter yang mengikuti Pendayagunaan Dokter Spesialis, tenaga kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, dan relawan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang terlibat dalam penanganan COVID-19 yang diusulkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan tempat penugasan (vide Bab II huruf B lampiran Kepmenkes 01.07/menkes/329/2020). Pemberian insentif tersebut tetap dilanjutkan atau tidak dihentikan meskipun ada di antara petugas kesehatan tersebut yang terpapar COVID-19 dan harus dikarantina. Selain mendapat insentif, diberikan pula santunan kematian dalam hal ada petugas yang terlibat dalam penanganan COVID-19 yang meninggal dunia. Adapun ihwal besaran insentif dan mekanisme pemberiannya untuk setiap petugas yang terlibat dalam penanganan COVID-19 telah termaktub dengan jelas dalam Lampiran Kepmenkes 01.07/menkes/447/2020. Hal tersebut telah menunjukkan adanya pengutamaan dalam pemberian penghargaan dalam penanggulangan pandemi COVID-19. Selain itu, dalam rangka memutus mata rantai meluasnya sebaran COVID-19, tanpa membebani masyarakat yang terpapar wabah penyakit tersebut, pemerintah telah menyiapkan rumah sakit darurat atau rumah sakit yang dikhususkan untuk pasien COVID-19 yang keseluruhan biaya penyelenggaraannya ditanggung oleh negara.
Berkenaan dengan penghargaan kepada petugas yang mengalami risiko dalam penanggulangan wabah penyakit menular, telah ternyata Pasal 9 UU 4/1984 bukanlah satu-satunya undang-undang yang dijadikan dasar hukum untuk memberikan penghargaan tersebut. Sebagai wujud bentuk lain selain uang yang diberikan kepada petugas tertentu yang menanggung risiko atas upaya penanggulangan wabah, dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU 20/2009) negara memberikan penghargaan dalam bentuk tanda jasa bagi petugas kesehatan yang gugur dalam upayanya menanggulangi pandemi COVID-19. Selanjutnya, penghargaan tersebut diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 119/TK/Tahun 2020 tentang Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Jasa, yang ditetapkan tanggal 6 November 2020.
Keseluruhan aturan tersebut di atas pada prinsipnya bertujuan untuk menjamin bahwa pelaksanaan penanggulangan wabah dilaksanakan sesuai dengan amanat Konstitusi, yaitu sesuai dengan hak warga negara atas lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 serta tanggung jawab negara atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Jika semua aturan ini dilaksanakan dengan memedomani prinsip konstitusional tersebut, maka sesungguhnya Pasal 9 UU 4/1984 dan berbagai aturan pelaksana tersebut telah cukup menjadi dasar hukum untuk menjamin para tenaga kesehatan termasuk para Pemohon mendapatkan penghargaan yang layak atas upayanya menanggulangi dampak pandemi COVID-19.
Berdasarkan uraian di atas, maka terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan tidak adanya kejelasan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang menanggulangi pandemi COVID-19 karena tidak dirumuskannya norma Pasal 9 UU 4/1984 dengan kata “wajib” sehingga menjadi “wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya”, merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah ternyata amanat Pasal 9 UU 4/1984 meskipun dirumuskan dengan kata “dapat” telah direalisasikan melalui berbagai regulasi dalam rangka memberikan penghargaan berupa jaminan insentif dan santuan kematian, bahkan penghargaan Bintang Jasa. Terlebih lagi, secara doktriner penggunaan kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan karena operator norma tidak selalu dirumuskan dengan kata wajib, di mana norma wajib berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan dan apabila tidak dipenuhi kewajiban tersebut dikenakan sanksi. Sementara itu, norma “dapat” mengandung sifat diskresioner (vide angka 267 dan angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Karena sifat diskresioner tersebut maka norma “dapat” dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya, in casu, risiko yang harus ditanggung petugas kesehatan tertentu dalam upaya menanggulangi wabah penyakit menular. Dengan mencermati begitu luasnya cakupan dari UU 4/1984, yaitu berkenaan dengan jenis wabah yang dihadapi, dampak dari wabah, jenis kegiatan yang dapat termasuk di dalam upaya penanggulangan wabah, siapa saja yang termasuk petugas yang melakukan upaya penanggulangan wabah, serta bentuk penghargaan yang dapat diberikan, maka sudah tepat jika diksi yang digunakan dalam norma a quo menggunakan kata “dapat”. Bertransformasinya makna “dapat” menjadi “wajib” dalam implementasinya ditentukan oleh banyak faktor, dan untuk undang-undang yang cakupannya begitu luas, seperti halnya UU 4/1984, peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah yang spesifik mengatur kondisi tertentu sudah cukup untuk menjadi dasar kapan dan di mana kata “dapat” tersebut dapat diimplementasikan menjadi “wajib”. Bagaimanapun juga selama peraturan ini mengikat pemerintah serta aparat di dalamnya untuk melaksanakannya maka sesungguhnya dengan sendirinya penghargaan kepada petugas yang terdampak pandemi COVID-19 telah menjadi prioritas dengan didasarkan pada aturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU a quo.
Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh para Pemohon di mana tidak adanya kepastian terhadap ada atau tidaknya penghargaan yang berhak didapatkan oleh para Pemohon selaku petugas kesehatan yang mengalami risiko dalam upaya penanggulangan wabah pandemi COVID-19 sesungguhnya merupakan persoalan implementasi norma. Terlepas dari persoalan tersebut, pembentuk undang-undang telah memasukkan revisi UU 4/1984 dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024, oleh karenanya perlu diprioritaskan revisi tersebut sehingga dapat terbentuk undang-undang penanggulangan wabah penyakit menular yang jangkauan pengaturannya lebih komprehensif.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai termasuk juga: (1) Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (2) Insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (3) Santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur ketika menangani penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; (4) Sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui alur pemeriksaan yang cepat.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut penting bagi Mahkamah untuk mengutip secara utuh ketentuan pasal a quo yang menyatakan “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Dalam penjelasan ketentuan pasal a quo dinyatakan “Cukup jelas”. Namun demikian, jika dicermati secara saksama keberadaan Pasal 6 UU 6/2018 tidaklah berdiri sendiri karena penjabaran lebih lanjut ketentuan Pasal 6 UU a quo termasuk frasa yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diatur lebih komprehensif dalam Bab IX UU a quo dengan judul “SUMBER DAYA KEKARANTINAAN KESEHATAN” yang pengaturannya termaktub dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 78 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 71
Sumber daya dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan meliputi:
a. fasilitas dan perbekalan Kekarantinaan Kesehatan;
b. Pejabat Karantina Kesehatan;
c. penelitian dan pengembangan; dan
d. pendanaan.
Pasal 72
(1) Fasilitas dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan meliputi:
a. peralatan deteksi dan respons cepat;
b. ruang
b. ruang wawancara atau observasi;
c. ruang diagnosis;
d. asrama karantina kesehatan;
e. ruang isolasi;
f. rumah sakit rujukan;
g. laboratorium rujukan; dan
h.transportasi evakuasi penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain berfungsi dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan juga sebagai sarana pendidikan dan pelatihan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kekarantinaan Kesehatan.
(3) Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekaran kesehatan lainnya yang diperlukan.
Pasal 73
Pejabat Karantina Kesehatan merupakan pejabat fungsional di bidang kesehatan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi di bidang Kekarantinaan Kesehatan serta ditugaskan di instansi Kekarantinaan Kesehatan di pintu Masuk dan di wilayah.
Pasal 74
Perekrutan Pejabat penyelenggaraan Karantina Kesehatan dalam Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Pasal 75
(1) Pemerintah Pusat mengatur penempatan Pejabat Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
(2) Pemerintah Daerah mengatur penempatan Pejabat Karantina Kesehatan di wilayah dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
(3) Dalam menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan, Pejabat Karantina Kesehatan berwenang:
a. melakukan tindakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
b. menetapkan tindakan Kekarantinaan Kesehatan;
c. menerbitkan surat rekomendasi deportasi atau penundaan keberangkatan kepada instansi yang berwenang; dan
d. menerbitkan surat rekomendasi kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan karantina di wilayah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 76
(1) Pejabat Karantina Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berhak mendapatkan:
a. pelindungan hukum;
b. pelindungan kesehatan dari risiko kerusakan organ; dan
c. keselamatan jiwa.
(2) Setiap Pejabat Karantina Kesehatan yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugasnya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap Pejabat Karantina Kesehatan berhak mendapat pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sepanjang sesuai dengan standar prosedur operasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
(1) Penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk menapis dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang dipergunakan dalam rangka penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 78
a. Pendanaan kegiatan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau masyarakat.
b. Pendanaan kegiatan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk pada Alat Angkut di luar situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia dibebankan pada pemilik Alat Angkut.
c. Pendanaan mengenai pelaksanaan tindakan penyehatan yang dimohonkan pengelola Alat Angkut menjadi tanggung jawab pemohon dan merupakan penerimaan negara.
Bertolak dari ketentuan pasal-pasal di atas, berkaitan dengan permintaan para Pemohon agar Mahkamah memaknai frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 menjadi “Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis” telah ternyata apa yang diminta oleh para pemohon tersebut telah terakomodasi pengaturannya dalam ketentuan Pasal 72 ayat (3) UU 6/2018 karena Alat Pelindung Diri yang dimaksud adalah bagian dari alat kesehatan yang merupakan bagian dari Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan, bukan bagian dari fasilitas kesehatan sebagaimana yang didalikan oleh para Pemohon. Oleh karenanya apabila Petitum para Pemohon dikabulkan berkenaan dengan pemaknaan frasa “ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU 6/2018 dimaknai menjadi ketersediaan alat pelindung diri, insentif bagi tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis dan sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat, hal tersebut justru akan mempersempit serta menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya redundancy dengan pengaturan yang sudah termaktub dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 78 khususnya Pasal 72 ayat (3) UU a quo. Terlebih lagi, jika petitum para Pemohon tersebut dikabulkan justru akan menimbulkan kerugian di masyarakat secara luas karena berdampak pada ketidakmaksimalan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat karena pemerintah menjadi tidak berkewajiban lagi untuk menyediakan fasilitas kekarantinaan kesehatan misalnya rumah sakit, sediaan farmasi misalnya obat-obatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, padahal hal demikian menjadi tanggungjawab negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian tujuan ditetapkannya UU 6/2018 tidaklah mungkin dapat tercapai yakni: mencegah, menangkal, dan melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat, serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan, karena menjadi terbatasnya lingkup pengertian ketersediaan sumber daya yang diperlukan.
Dengan demikian, persoalan ketidaktersediaan Alat Pelindung Diri secara merata untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan di tengah kondisi masa pandemi COVID-19 saat ini sebagaimana didalilkan para Pemohon sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian dan keprihatinan para Pemohon dan siapapun yang harus menjadi catatan khusus bagi Pemerintah. Namun demikian persoalan tersebut tidaklah berkorelasi dengan anggapan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU 6/2018. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 6 UU 6/2018 tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI)/General Insurance Association of Indonesia yang diwakili oleh Dadang Sukresna selaku Ketua Dewan Pengurus Pusat, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya R.A. Made Damayanti Zoelva, S.H., dkk yang tergabung dalam Zoelva & Partners Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship;
[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019, usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28).
Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal-hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat.
Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransidengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya.
Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannyadi Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero.
Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond. Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964.
Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi denganlini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini.
[3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee” [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)];
Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11,angka 12,dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan (obligee/kreditur) dan pihak yang dijamin (principal/debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin (surety) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata).
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon.
Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014.
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut.
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Slamet Iswanto dan Maul Gani, S.E., dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Erdin Tahirm S.H., dkk yang tergabung dalam Tim Advokasi Rakyat Pemerhati Buruh (TAR-PB), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 42 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)

Pasal 5 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 42 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 13/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 21 Juli 2020, dari Slamet Iswanto dan Maul Gani, S.E berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 26 Juni 2020 dan Surat Kuasa Khusus (Tambahan), bertanggal 3 Agustus 2020 memberi kuasa kepada Erdin Tahir, S.H., M.H., Hidayat, S.H., Irwan, S.H., Muhammad Nazar, S.H., Agung Prabowo, S.H., Yopta Eka Saputra Tanwir, S.H., Meky Yadi Saputra B., S.H., dan Janitra Jaya Negara, S.H., Advokat dan Advokat Magang yang tergabung dalam Tim Advokasi Rakyat Pemerhati Buruh (TAR-PB) yang berdomisil di Jalan Belimbing, Nomor 1, Kelurahan Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Juli 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 66/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 23 Juli 2020, perihal permohonan pengujian Pasal 42 ayat (4) terkait frasa “jabatan tertentu” dan frasa “waktu tertentu”, Pasal 42 ayat (5), serta Pasal 42 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK). Terhadap Permohonan Nomor 66/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 155/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 66/PUU-XVIII/2020, bertanggal 23 Juli 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 159/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 66/PUU-XVIII/2020, bertanggal 23 Juli 2020;
c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah Konstitusi telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 12 Agustus 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan para Pemohon pada tanggal 7 September 2020;

e. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Pleno Pemeriksaan Persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden pada tanggal 13 Oktober 2020;

f. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Tim Advokasi Rakyat Pemerhati Buruh (TAR-PB), bertanggal 3 November 2020, perihal Penarikan Kembali Permohonan Pengujian Undang-Undang Dalam Perkara Nomor 66/PUUXVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada pokoknya menegaskan bahwa dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), di mana telah mengubah beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk mengubah ketentuan Pasal 42 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam Perkara a quo (vide Surat Kuasa para Pemohon bertanggal 3 November 2020);

g. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”;

h. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 4 November 2020 telah menyetujui pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 66/PUU-XVIII/2020 sehingga pencabutan atau penarikan kembali permohonan a quo adalah beralasan menurut hukum;

i. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali dan oleh karenanya memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Sidik, SHI., Rivaldi, SH., dan Erwin Edison, SH yang selanjutnya dalam hal ini untuk bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama disebut sebagai Para Pemohon

Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengujikan UU 13/2019 secara formil dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa terdapat cacat prosedur dalam tahap perencanaan dan tahap penyusunan UU 13/2019;
2. Bahwa dalam perubahan pada ketentuan Pasal 15 UU 13/2019 mengenai jumlah pemimpin MPR menyebabkan pembengkakan penggunaan anggaran negara karena Pimpinan MPR memperoleh hak atas keuangan dan administratif.

-

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 13/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) telah menerima permohonan bertanggal 22 Oktober 2019, yang diajukan oleh Sidik, SHI., Rivaldi, SH., dan Erwin Edison, SH., yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 22 Oktober 2019 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 1 November 2019 dengan Nomor 66/PUU-XVII/2019 mengenai Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 66/PUU-XVII/2019 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 184/TAP.MK/2019 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 66/PUU-XVII/2019, bertanggal 1 November 2019;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 187/TAP.MK/2019 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 66/PUU-XVII/2019, bertanggal 1 November 2019;

c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 11 November 2019 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa Mahkamah telah menerima perbaikan permohonan para Pemohon pada tanggal 22 November 2019 dan selanjutnya Mahkamah pada tanggal 25 November 2019 telah menyelenggarakan sidang panel dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan para Pemohon dan mengesahkan alat bukti Pemohon yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15;

e. Bahwa pada tanggal 8 Januari 2020 Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Pleno dengan agenda pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang dihadiri oleh para Pemohon dan kuasa Presiden, tanpa dihadiri DPR. Dalam persidangan tersebut DPR menyampaikan secara tertulis dan Presiden menyampaikan secara langsung di depan persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa DPR dan Presiden belum siap menyampaikan Keterangan dan memohon kepada Mahkamah agar memberikan kesempatan kepada DPR dan Presiden untuk menyampaikan keterangan pada sidang berikutnya;

f. Bahwa pada tanggal 22 Januari 2020 Mahkamah kembali menyelenggarakan Sidang Pleno dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden;

g. Bahwa Mahkamah telah menerima surat dari para Pemohon bertanggal 3 November 2020, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 November 2020 yang pada pokoknya para Pemohon menyatakan menarik atau mencabut kembali permohonannya;

h. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

i. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf h di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 4 November 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 66/PUU-XVII/2019 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 78/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2009 TENTANG POS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

PT.POS INDONESIA (Persero) dan Harry Setya Putra, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Tegar Yusuf A.N, S.H., M.H, Widat S.H, M.H., dan Farid Ramdani, S.H., M.H, Para Advokat yang tergabung pada Kantor Advokat Asa Putuhena Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 1 angka 2, Pasal 4, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (5), Pasal 51, Pasal 1 angka 8 dan Pasal 29 ayat (2) UU Pos

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 2, Pasal 4, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (5), Pasal 51, Pasal 1 angka 8 dan Pasal 29 ayat (2) UU Pos dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan dalam Paragraf [3.12.1] dan Paragraf [3.12.2] di atas, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa hak privasi merupakan salah satu hak yang paling mendasar bagi setiap orang karena merupakan nilai kunci yang menyokong martabat manusia dan nilai-nilai penting lainnya dalam lingkup hak atas kebebasan pribadi, seperti kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara. Oleh karenanya, hak ini dilindungi oleh berbagai instrumen hukum, baik instrumen hukum internasional maupun nasional. Terkait dengan perlindungan atas hak privasi dalam instrumen hukum internasional misalnya, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dalam pengujian UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya dalam Paragraf [3.15.3] yang menyatakan sebagai berikut:

“[3.15.3] Bahwa masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, dapat disimak dari Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 17 dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 UDHR:
“Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguanganguan atau pelanggaran seperti ini”.



Pasal 17 ICCPR:
1. “Tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya”.
2. “Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut”

Pasal 19 ICCPR:
1. “Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu”;
2. “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya”;
3. “Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 Pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk:
(a) menghormati hak atau nama baik orang lain;
(b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat;”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dilihat betapa masyarakat internasional sadar betul akan pentingnya penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, termasuk di dalamnya hak atas diri pribadi, in casu hak atas privasi. Hal demikian merupakan bentuk reaksi logis atas pengalaman ketertindasan yang kemudian memberikan pembelajaran dan kepekaan bagi pembebasan umat manusia sehingga melahirkan gelombang demokratisasi yang berdampingan dengan kesadaran akan hak-hak asasi manusia. Namun demikian, hal yang perlu digarisbawahi kemudian adalah dalam ketentuan tersebut juga nampak kedewasaan masyarakat internasional yang melahirkan kesadaran dan tanggung jawab akan perlunya pembatasan terhadap pelaksanaan perlindungan atas hak asasi manusia. Keberadaan pembatasan tersebut tentu tidak dimaksudkan untuk mengurangi esensi perlindungan pemenuhan, dan penghormatan atas hak asasi manusia namun justru dalam kerangka melindungi pelaksanaan hak asasi itu sendiri. Karena, apabila keamanan nasional atau ketertiban umum tidak dapat dicapai dalam suatu kehidupan bernegara, maka perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak asasi justru malah akan mengalami kemunduran dan sulit untuk ditegakkan.

[3.13.2] Bahwa di Indonesia sendiri, prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antar manusia tersebut juga menjadi salah satu yang menjiwai falsafah bangsa kita, yaitu Pancasila. Dalam hal ini, sila kedua dari Pancasila pada hakikatnya mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan yang universal. Kemudian atas dasar tersebut, demi tegaknya persamaan kemanusiaan dalam pergaulan nasional dan antar bangsa, kata kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila tersebut lalu dilekati sifat adil sekaligus beradab. Hal demikian menjadikan pedoman kepada segenap bangsa Indonesia bahwa dalam pelaksanaan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan atas nilainilai kemanusiaan yang tercermin dalam hak asasi warga negara tersebut harus dilakukan secara proporsional dengan memerhatikan sikap empati, solidaritas, kepedulian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah bentuk aktualisasi nilai kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat yang gotong-royong untuk mencapai tujuan bersama yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Hal demikian kemudian menjadi pedoman dalam perumusan pasal-pasal tentang jaminan perlindungan hak warga negara dan sekaligus mendasari adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut yang diatur dalam Bab XA UUD 1945.

[3.13.3] Bahwa hak privasi di Indonesia juga merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Selain itu, jaminan terhadap hak atas privasi juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU 39/1999 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.” Selain itu, diatur juga dalam Pasal 30 UU 39/1999 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.” Berdasarkan pengaturan, baik dalam UUD 1945 maupun UU 39/1999 tersebut, maka negara dalam hal ini pemerintah memikul tanggung jawab besar untuk melindungi hak atas privasi warga negara termasuk juga melindungi dari segala bentuk ancaman terhadap kehidupan pribadinya yang terdiri dari seperangkat hak warga negara yang berkenaan dengan perlindungan terhadap urusan pribadi, keluarga, nama baik, dan termasuk juga dalam hal berkorespondensi in casu surat menyurat. Namun demikian, negara juga dapat membatasi pelaksanaan atas pemenuhan hak tersebut dengan mangacu pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang juga memberikan pedoman bahwa pembatasan yang dilakukan harus memenuhi syarat, antara lain, (i) dituangkan dalam materi muatan undang-undang; (ii) dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain; (iii) memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; (iv) tidak diskriminatif; dan (v) tidak menghambat atau menghilangkan secara tidak sah hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

[3.13.4] Bahwa untuk melihat ada atau tidaknya pengaturan mengenai jaminan atas hak privasi warga negara in casu kerahasiaan isi surat dalam UU 38/2009 yang dipersoalkan oleh Pemohon II, menurut Mahkamah, adalah harus dengan membaca UU 38/2009 secara utuh dan komprehensif. Secara umum pengaturan mengenai perlindungan atas jaminan kerahasiaan kiriman, termasuk surat, dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 2 huruf h UU 38/2009 yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” adalah isi kiriman pos tidak boleh diketahui oleh orang lain, dan Penyelenggara Pos menjaga kerahasiaan atas kiriman pos yang dijamin berdasarkan undang-undang”. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam beberapa pasal dalam UU 38/2009, antara lain, dalam Pasal 27 ayat (2) UU 38/2009 yang menentukan bahwa pengguna layanan pos berhak atas jaminan kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman. Hak yang diberikan kepada pengguna layanan pos tersebut berkorelasi dengan Pasal 30 UU 38/2009 yang menentukan bahwa penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman. Pengaturan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan kiriman tersebut diperkuat lagi dengan penerapan sanksi terhadap bentuk pelanggarannya, baik sanksi administratif untuk badan usaha penyelenggara pos (vide Pasal 40 UU 38/2009) maupun sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak tidak menjaga kerahasiaan kiriman (vide Pasal 46 UU 38/2009). Frasa “setiap orang” dalam pasal a quo, berlaku untuk siapa saja, baik pihak dalam badan usaha penyelenggaraan pos maupun pihak-pihak lain yang terkait pada keseluruhan kegiatan pengelolaan dan penatausahaan layanan pos. Oleh karena itu, menurut Mahkamah UU 38/2009 telah memberikan perlindungan atas hak privasi warga negara, in casu kerahasiaan isi surat secara proporsional sesuai dengan Konstitusi.

[3.13.5] Bahwa terkait dengan pengaturan mengenai hak penyelenggara pos untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman sebagaimana ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU 38/2009, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan salah satu upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dari potensi kiriman yang dapat membahayakan barang kiriman lainnya, lingkungan atau keselamatan orang. Misalnya kiriman yang di dalamnya terdapat narkotika, psikotropika, dan obat-obat terlarang lainnya atau barang yang melanggar kesusilaan yang diselipkan dalam kiriman berbentuk surat. Dalam rangka demikian, setiap penyelenggara pos harus diberikan kewenangan untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman dengan tujuan untuk memastikan tidak ada barang terlarang di dalamnya, bukan bertujuan membaca isi dari surat yang dikirimkan. Terlebih lagi, pelaksanaan hak penyelenggara pos untuk membuka dan/atau memeriksa kiriman tersebut harus dilakukan di hadapan pengguna layanan pos sehingga proses tersebut juga mendapatkan perhatian dan pegawasan langsung dari kedua belah pihak. Oleh karenanya, menurut Mahkamah pengaturan yang demikian telah jelas dan tidak melanggar hak konstitusi warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon II adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Benidiktus Papa, Karlianus Poasa, S.H., Felix Martuah Purba, S.H., Oktavianus Alfianus Aha, S.T., Alboin Cristoveri Samosir, S.H., dan Servarius Sarti Jemorang, S.Pd., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 35 ayat (1) dan frasa “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020

Pasal 18 ayat (2), Pasal 18A ayat (1), Paasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 22 September 2020, yang diajukan oleh Benidiktus Papa, Karlianus Poasa S.H., Felix Martuah Purba, S.H., Oktavianus Alfianus Aha, S.T., Alboin Cristoveri Samosir, S.H., dan Servasius Sarti Jemorang, S.Pd. yang beralamat di Jalan Dr. Sam Ratulangi Nomor 1 Menteng, Jakarta Pusat, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 September 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 28 September 2020 dengan Nomor 80/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 80/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 194/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 80/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 September 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 195/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 80/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 September 2020;

c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 6 Oktober 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 21 Oktober 2020. Dalam persidangan dimaksud, para Pemohon menyatakan menarik permohonannya yang kemudian dilengkapi dengan surat bertanggal 9 November 2020, perihal Pencabutan Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

f. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 3 November 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 80/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Riyono, Mukhamad Syamsul Bachtiar dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Eko Sumantri dan Sarwono , untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan

Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

Bahwa terhadap Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, namun sebelum lebih lanjut mempertimbangkan Kedudukan Hukum dan Pokok Permohonan, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 154 huruf c UU 13/2003 terhadap UUD 1945, namun pada tanggal 2 November 2020 Presiden Republik Indonesia mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573, yang selanjutnya disebut UU 11/2020). UU 11/2020 a quo menghapus beberapa ketentuan dari beberapa undang-undang, di antaranya pada BAB IV tentang Ketenagakerjaan, Bagian Kedua, Pasal 81 UU 11/2020 menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 81
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) diubah sebagai berikut:
1. …
41. Pasal 154 dihapus
42….dst.
[3.3.2] Bahwa dengan diundangkannya UU 11/2020 yang menghapus Pasal 154 huruf c UU 13/2003, maka norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon sudah tidak lagi diatur dalam UU yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon a quo telah kehilangan objek;
[3.4] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon kehilangan objek, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 82/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Pina Aprilianti yang diwakili oleh kuasa hukumnya Vidya Dewi, S.SI, S,H, dkk, Advokat/Konsultan Hukum dan calon advokat pada Lokataru, Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia,, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 8 UU Pornografi

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 8 UU Pornografi dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon sebagaimana dalam Paragraf [3.7] di atas, maka permasalahan konstitusionalitas yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah (1) apakah norma Pasal 8 telah diatur dalam norma Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 dan (2) apakah norma Pasal 8 UU 44/2008 tidak melindungi hak warga negara khususnya perempuan. Namun sebelum menjawab permasalah tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa globalisasi telah membawa budaya dan nilai yang memengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat, khususnya di Indonesia. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Banjir informasi dan budaya baru yang dibawa oleh arus teknologi informasi tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku di suatu masyarakat. Oleh karena itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi serta makin mudahnya akses terhadap internet, telah membuka mata semua orang untuk melakukan berbagai upaya meredam dampak negatif dari kemajuan teknologi tersebut, salah satunya adalah penyebarluasan konten yang mengandung pornografi. Sasaran dari pornografi ini adalah perusakan terhadap karakter serta moral terutama generasi muda penerus bangsa. Ekses yang dirasakan tentu bersifat abstrak sebab isi dan wujud konkretnya tidak dapat ditentukan (wujud konkretnya sangat banyak bahkan tidak terbatas atau wujud perbuatannya baru dapat diketahui pada saat perbuatan itu telah terjadi secara sempurna). Padahal, sejarah jatuh bangunnya bangsa-bangsa dan peradaban telah memberi pelajaran bahwa perkembangan suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter, etos dan etika sosial bangsa yang bersangkutan. Krisis karakter dan moralitas yang melanda suatu bangsa dapat mengarah pada kemerosotan moral bangsa yang bersangkutan. Maka dari itu, negara harus hadir untuk melindungi dan menyelamatkan warganya khususnya generasi muda penerus bangsa. Negara harus menegaskan bahwa pornografi tidak dapat ditolerir untuk diberi kebebasan dalam ruang sosial masyarakat, terlebih lagi masyarakat Indonesia yang religius. Hal ini penting, sebab negara tidak boleh melakukan pembiaran yang disebabkan oleh pandangan bahwa hak asasi membolehkan segala individu warga negara untuk melakukan apa saja tanpa menghiraukan pandangan publik lainnya yang juga memiliki hak untuk tidak terlanggar kenyamanannya, hak untuk menjaga keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
[3.11.2] Bahwa terkait dengan keberadaan UU 44/2008 secara umum, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 10-17- 23/PUU-VII/2009, hlm. 381 yang menyatakan:
“Bahwa UU Pornografi dibentuk dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama, memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.”
Oleh karena itu, keberadaan UU 44/2008 ini harus dibaca sebagai salah satu upaya negara untuk melindungi warga negaranya, khususnya para generasi muda dari bahaya pornografi. Sebagai sebuah kesatuan sistem penegakan hukum yang terpadu, maka penegakan hukum atas UU 44/2008 ini harus dibarengi dengan upaya dari pemerintah melalui penguatan fungsi pengawasan di sektor hulu dengan melakukan pemblokiran situs yang mengandung pornografi serta penyensoran terhadap konten di media, baik pada media televisi maupun radio yang memuat/menyiarkan pornografi secara massif dan konsisten. Selain itu, penguatan literasi yang terkait dengan pemahaman yang benar berkaitan dengan pornografi bagi para remaja khususnya, melalui berbagai media, baik elektronik maupun cetak juga harus terus dilakukan. Peran serta masyarakat melalui lingkungan keluarga untuk lebih peduli dan aktif melakukan pencegahan terhadap pornografi dengan cara memberikan pemahaman yang benar dan komprehensif serta menanamkan budaya malu sehingga dapat membantu semua pihak memiliki kepribadian yang sehat secara psikis dan fisik, juga menjadi faktor penting keberhasilan bangsa ini dalam memerangi pornografi. Berbagai upaya persuasif tersebut diharapkan menjadi upaya nyata mencegah pornografi masuk ke dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Dalam konteks demikian, maka dalam mensikapi tentang tindak pidana pornografi, semua pihak harus memiliki persepsi yang sama mengenai efek negatif dari pornografi.
[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 8 UU 44/2008 sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan norma Pasal 8 UU 44/2008 telah diatur dalam norma Pasal 4 UU 44/2008. Mengenai dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, apabila dipahami secara saksama norma Pasal 8 UU 44/2008 mengandung unsur, yaitu (i) subjektif adalah setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuannya; dan (ii) objektif yaitu menjadi objek atau model pornografi. Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka pasal a quo dimaksudkan untuk memidanakan setiap orang yang secara sengaja menjadi objek atau model pornografi. Hal demikian berbeda dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 di mana unsur objektifnya yaitu perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak. Pada norma Pasal 4 UU 44/2008 ditujukan kepada subjek (setiap orang) yang secara aktif melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dijelaskan pada unsur objektif dari pasal a quo. Meskipun dalam Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tidak mencantumkan unsur dengan sengaja dalam rumusannya, namun sesungguhnya juga merupakan delik yang harus ada niat untuk melakukan kesengajaan. Secara teoritik unsur sengaja diperoleh secara terselubung atau diam dalam unsur perbuatan sebagaimana yang dianut dalam wetboek van strafrecht (WvS) Belanda, bahwa semua tindak pidana yang tidak mencatumkan unsur sengaja sebenarnya tindak pidana tersebut diperlukan adanya niat kesengajaan, dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana sengaja, begitupula pada semua rumusan delik dalam UU 44/2008, kecuali dalam norma atau rumusan delik yang bersangkutan secara tegas menyebutkan sebagai delik kulpa. Hal yang menjadi perbedaan antara unsur kesengajaan dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 8 UU 44/2008 adalah dalam Pasal 8 UU 44/2008 secara tegas disebutkan adanya kesengajaan atau atas persetujuan. Hal ini berarti bahwa inisiatif timbulnya kehendak,“dengan sengaja” berbeda dari “atas persetujuannya”. Inisiatif timbulnya kehendak dalam kesalahan dengan sengaja sejak semula berasal dari pelaku sendiri. Sedangkan dalam unsur kesalahan terletak atas persetujuannya, di mana inisiatif timbul dari kehendak untuk menjadi objek atau model pornografi berasal dari orang lain. Inilah yang membedakan unsur kesengajaan dalam Pasal 8 dengan delik lainnya dalam UU 44/2008. Namun kedua unsur tersebut menjadi prasyarat terpenuhinya delik pada norma Pasal 8 UU 44/2008. Selain itu, ancaman pidana yang dikenakan di antara kedua pasal tersebut juga berbeda, setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 diancam dengan pidana penjara minimal 6 bulan dan paling lama 12 tahun (vide Pasal 29 UU 44/2008), sedangkan setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 8 UU 44/2008 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (vide Pasal 34 UU 44/2008). Jadi dalam UU 44/2008, tidak hanya subjek yang secara aktif memproduksi hingga menyediakan pornografi yang dipidana, melainkan orang yang dengan sengaja menjadi objek atau model juga dipidana berdasarkan Pasal 8 UU 44/2008. Dalam praktiknya, apabila kedua perbuatan pidana tersebut terjadi dalam satu rangkaian peristiwa hukum yang sama maka untuk pelaku yang menjadi objek atau model dapat dikenakan pasal terkait penyertaan sebagaimana ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau terhadap pelaku dapat dipersangkakan dengan pelanggaran pasal yang di “juncto” kan. Sehingga menurut Mahkamah, telah jelas perbedaan pengaturan norma dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 8 UU 44/2008 tersebut.
[3.12.2] Bahwa Penjelasan Pasal 8 UU 44/2008 telah mengatur secara tegas mengenai pengecualian berlakunya Pasal 8 UU 44/2008 yaitu apabila terdapat pemaksaan dengan ancaman atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain maka pelaku tidak dipidana. Tentu terhadap adanya paksaan atau ancaman atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain tersebut harus dapat dibuktikan mulai dari proses penyelidikan oleh aparat kepolisian dengan selalu menerapkan asas akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa sebagai subjek dan bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Demikian juga pada saat pemeriksaan persidangan oleh Hakim di lingkungan peradilan umum yang juga mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, apabila norma Pasal 8 UU 44/2008 tersebut dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, hal tersebut justru akan kontraproduktif dengan semangat untuk memberantas pornografi di Indonesia dan justru akan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi setiap orang yang dalam posisi mendapatkan paksaan atau ancaman atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain.
[3.12.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon perihal adanya kontradiksi/pertentangan antara norma yang satu dengan yang lainnya dalam UU 44/2008, khususnya Penjelasan norma Pasal 4 UU 44/2008, yang dimaksud “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Sedangkan dalam norma Pasal 8 UU 44/2008 mengatur setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi, bahkan (dilarang juga) jika itu untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Oleh karena itu menurut Pemohon secara logika sangat tidak masuk akal ada dua norma yang berlaku secara bertentangan dalam satu undang-undang, yang membolehkan dan sekaligus tidak membolehkan membuat dokumentasi (sebagai bentuk kebebasan ekspresi) hanya untuk dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri. Di samping itu menurut Pemohon seluruh unsur dalam norma Pasal 8 UU 44/2008 telah terdapat dalam norma Pasal 4 UU 44/2008, di mana larangan memproduksi dan membuat secara otomatis ada objek dan modelnya. (vide dalil Pemohon hlm. 17 pada angka 27 dan angka 28). Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut di atas, di samping pendirian Mahkamah telah dipertimbangkan sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.12.1] dan Paragraf [3.12.2], penting bagi Mahkamah menegaskan juga, bahwa di dalam memahami setiap norma dari undang-undang pornografi tidak dapat dimaknai secara parsial, mengingat dalam perspektif untuk menyatakan seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap salah satu norma dari pasal yang mengandung larangan dan sanksi dari undang-undang a quo, tidak dapat dilepaskan dari akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Artinya membuat konten pornografi sepanjang untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri tidak serta merta menjadi hal yang dapat diduga melanggar pidana, kalau hal tersebut tidak dilengkapi dengan adanya pelanggaran unsur dalam delik lain yang kemudian menjadi rangkaian perbuatan pidana (voortgezette delict) yang dapat memenuhi unsur delik dari norma pasal pornografi yang secara kumulatif berakibat konten yang dibuat tersebut dapat diakses publik, bahkan berdampak menjadi konsumsi umum. Hal ini sejalan dengan pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-VIII/2010, tanggal 26 April 2011 yang menyatakan sependapat dengan dalil permohonan Pemohon dalam perkara tersebut, bahwa pembuatan pornografi untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri tidaklah dilarang, sebagaimana hal tersebut juga dikutip oleh Pemohon dan menjadi bagian yang didalilkan dalam permohonan a quo. Oleh karena itu tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, menurut Mahkamah penerapan norma Pasal 8 UU 44/2008 tidak dapat dipahami semata- mata hanya unsur setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi yang berdiri sendiri (zelfstandige delict), akan tetapi seharusnya dimulai setelah ada unsur delik lain dari UU 44/2008 yang harus melengkapi dan menjadi satu kesatuan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap norma Pasal 8 UU 44/2008.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 8 UU 44/2008 tetap diperlukan dan harus dinyatakan konstitusional. Sebab, pasal a quo merupakan norma yang melengkapi norma pasal yang lainnya atau dengan kata lain, norma pasal tersebut diperlukan untuk saling mendukung di dalam membuktikan adanya dugaan tindak pidana pornografi, sesuai dengan semangat negara di dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pornografi.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan adanya pertentangan antara norma Pasal 4 dengan Pasal 8 UU 44/2008 tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa permasalahan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah norma Pasal 8 UU 44/2008 tidak melindungi hak warga negara khususnya perempuan. Terhadap hal demikian, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa hukum pada dasarnya adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah roh yang merupakan perwujudan hukum, sehingga supremasi hukum adalah roh dari prinsip keadilan, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, keadilan dalam hukum dapat dicapai jika negara dapat mengakui, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya. Kewajiban negara tersebut merupakan aktualisasi prinsip kesamaan dan kesederajatan yang merupakan salah satu spirit falsafah bernegara, yaitu Pancasila. Dalam hal ini, sila kedua dari Pancasila pada hakikatnya mencerminkan kesadaran seluruh bangsa Indonesia untuk menegakkan persamaan kemanusiaan dalam pergaulan nasional dan antar bangsa secara adil sekaligus beradab. Hal demikian menjadi pedoman bagi segenap bangsa Indonesia bahwa dalam pelaksanaan penghormatan dan perlindungan atas nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam hak asasi warga negara harus dilakukan secara proporsional. Itulah yang kemudian menentukan paradigma bangsa terhadap pemenuhan hak asasi warga negara di Indonesia, karena manusia Indonesia berdasarkan Pancasila tidak hanya merupakan manusia individu, melainkan juga manusia gotong-royong dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu dalam konteks pornografi, maka negara harus senantiasa berdiri di depan pintu hak privasi warga negara untuk menjamin pemenuhan hak asasi warga negaranya di satu sisi, dan di sisi lain menjamin terlaksananya kewajiban asasi warga negara sebagai konsekuensi logis dalam kehidupan sosial dan bernegara yang sesuai dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras, golongan, maupun jenis kelamin (gender).
[3.13.2] Bahwa untuk melihat ada atau tidaknya jaminan perlindungan atas hak warga negara khususnya perempuan dalam Pasal 8 UU 44/2008 maka harus dilihat rumusan norma dalam pasal a quo. Pasal 8 UU 44/2008 menggunakan frasa “setiap orang” yang artinya merujuk pada siapa saja yang secara hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban, tentu dikecualikan sebagai subjek tindak pidana adalah orang yang menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa serta anak-anak yang belum cukup umur. Mengenai frasa “setiap orang” Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.13] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XVII/2019 bertanggal 23 Oktober 2019 yang menyatakan sebagai berikut:
Bahwa frasa “setiap orang” memiliki kesamaan arti dengan “seluruh orang”, di mana makna kata “setiap” atau “seluruh” sudah jelas dan menurut Mahkamah tidak perlu dijelaskan. Adapun arti/maksud kata “orang” menurut KBBI adalah “manusia (dalam arti khusus); manusia (ganti diri ketiga yang tidak tentu); dirinya sendiri; kata penggolong untuk manusia; anak buah (bawahan); rakyat (dari suatu negara); manusia yang berasal dari atau tinggal di suatu daerah (desa, kota, negara, dan sebagainya); suku bangsa; manusia lain; bukan diri sendiri; bukan kaum (golongan, kerabat) sendiri; karena (sebenarnya)”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bahwa penggunaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 8 UU 44/2008 tidaklah mengandung bias perlindungan gender, dalam hal ini tidak hanya ditujukan bagi jenis kelamin tertentu. Dalam konteks perlindungan terhadap perempuan, UU 44/2008 sebenarnya telah tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan dari dibentuknya UU a quo adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan (vide Pasal 3 huruf d UU 44/2008). Hal demikian merupakan bentuk respon negara untuk mengatasi fenomena di masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai sasaran utama dalam banyak kasus asusila. Hadirnya UU 44/2008 adalah untuk melindungi semua orang tanpa mengenal jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, terlepas dari kasus konkret yang dialami Pemohon karena hal tersebut merupakan persoalan yang berkaitan dengan penerapan norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma, menurut Mahkamah, perlu menjadi perhatian bahwa dalam menerapkan UU 44/2008, termasuk juga Pasal 8 UU 44/2008, para penegak hukum harus lebih cermat dan hati-hati ketika menetapkan status pelaku atau korban tindak pidana pornografi. Terlebih, sebagaimana telah juga dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.12.3], penerapan norma Pasal 8 UU 44/2008 juga harus dikaitkan dengan unsur norma lain dari undang-undang a quo, agar dapat diperoleh fakta hukum yang komperehensif bahwa pelaku yang diduga melakukan tindak pidana pornografi telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana pornografi yang disangkakan. Di samping pertimbangan hukum di atas, selama ini Mahkamah selalu berpendirian, bahwa terhadap norma yang mengatur sanksi pemidanaan dalam sebuah undang-undang, menjadi kewenangan yang merupakan bagian kebijakan hukum (criminal policy) pembentuk undang-undang. Sebab, hal yang berkaitan dengan perampasan kemerdekaan atau pembatasan hak asasi warga negara diperlukan representasi dari kehendak rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 8 UU 44/2008 tidak melindungi hak warga negara khususnya perempuan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 83/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Wenro Haloho, S.H. yang memberikan Kuasa kepada Zico Leonard Simanjuntak S.H., dan Dora Nina Lumban Gaol, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat

Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pokok permohonan a quo pernah diajukan permohonan pengujian maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK Nomor 06/PMK/2005), untuk dapat dilakukan pengujian kembali.

Bahwa Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam perkara Nomor 019/PUU-I/2003 yang telah diputus pada tanggal 18 Oktober 2004, perkara Nomor 84/PUU-XIII/2015 yang telah diputus pada tanggal 7 Desember 2015, dan perkara Nomor 79/PUU-XVI/2018 yang telah diputus pada tanggal 26 November 2018. Substansi dalam permohonan Nomor 019/PUU-I/2003 adalah mengenai batas usia minimal untuk menjadi advokat, sedangkan substansi dalam permohonan Nomor 84/PUU-XIII/2015 adalah mengenai tidak diaturnya batas usia maksimal bagi calon advokat. Adapun permohonan Nomor 79/PUU-XVI/2018 telah diputus tidak dapat diterima dengan alasan Pemohon pada saat mengajukan permohonan telah memenuhi persyaratan usia untuk menjadi advokat ketika dirinya menyelesaikan magang selama dua tahun terus-menerus, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 mengenai batas usia minimal untuk menjadi advokat.

Bahwa dengan uraian di atas, dari ketiga putusan Mahkamah tersebut, substansi yang memiliki kesamaan dengan permohonan Pemohon a quo adalah permohonan Nomor 019/PUU-I/2003 mengenai batas usia minimal untuk menjadi advokat yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 dengan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, dalam permohonan a quo Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sehingga jika dibandingkan dengan permohonan Nomor 019/PUU-I/2003 terdapat dasar pengujian baru yang berbeda dengan permohonan a quo yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya terlepas dari substansi permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 dapat diajukan kembali.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, meskipun Pemohon mendalilkan permohonan a quo berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya, namun sesungguhnya substansi alasan permohonan Pemohon yang dijadikan dasar permohonan adalah sama dengan perkara Nomor 019/PUU-I/2003 yang telah diputus Mahkamah yaitu berkenaan dengan usia minimal untuk menjadi advokat. Oleh karena itu, Mahkamah mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019/PUU-I/2003 (hlm. 25 sampai dengan hlm. 26), bertanggal 18 Oktober 2004 dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“... Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan semacam itu dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pembatasan usia semacam itu telah lazim diadakan dalam undang-undang, misalnya penentuan usia minimum 35 tahun untuk calon Presiden/Wakil Presiden, untuk melakukan pernikahan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria, 21 tahun untuk mendirikan parpol, 17 tahun untuk menjadi pemilih. Mahkamah pun menganggap wajar dan patut, jika ditentukan usia minimal 25 tahun bagi advokat, mengingat bahwa untuk menjadi advokat seseorang harus memiliki kematangan emosional (psikologis) selain kemampuan di bidang akademik. Lagipula untuk memantapkan kemampuannya seorang advokat perlu dilengkapi dengan pengalaman dan praktek di lapangan untuk memadukan dan menyempurnakan pengetahuan teoritis yang telah diperolehnya di lembaga pendidikan. Pemberian pengetahuan praktis dan tambahan pengalaman itu dilakukan dalam masa pemagangan yang memerlukan waktu beberapa tahun.
Menimbang, bahwa Mahkamah berpendapat bahwa lulusan S-1 Fakultas Hukum yang berusia 20 atau 21 tahun merupakan sesuatu yang sangat jarang, sedangkan usia lulusan S-1 Fakultas Hukum pada umumnya lebih tua dari usia tersebut. Ketentuan hukum pada dasarnya menggunakan tolok ukur dan merujuk kepada sesuatu yang berlaku umum, tidak pada sesuatu yang sangat jarang”.
(Catatan: batas usia melakukan pernikahan bagi perempuan telah dilakukan perubahan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017)

Bahwa dengan demikian, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019/PUU-I/2003 mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 karena menurut Pemohon Pasal a quo secara tidak langsung menimbulkan pengangguran bagi sarjana hukum yang lulus dan menyelesaikan magang di usia yang belum mencapai 25 (dua puluh lima) tahun, sehingga menutup akses pekerjaan dan penghidupan yang layak. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, kondisi menyelesaikan magang di usia sebelum 25 (dua puluh lima) tahun justru menjadi keuntungan tersendiri bagi calon advokat jika dipergunakan dengan sebaikbaiknya. Masa tunggu sebelum diangkat menjadi advokat dapat dimanfaatkan oleh calon advokat dengan memperpanjang masa magangnya ataupun menggunakan waktu tersebut dengan pelatihan lainnya yang mendukung kesiapannya menjadi advokat. Lagipula magang bukanlah berarti tidak bekerja, karena magang yang dijalani oleh calon advokat dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya [vide Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU 18/2003], mengingat advokat adalah suatu profesi dan bukanlah sekadar pekerjaan semata. Dengan demikian, dalil Pemohon bahwa Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, tidaklah beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena menurut Pemohon pasal a quo menimbulkan diskriminasi bagi sarjana hukum yang telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) namun belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun padahal memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk menjadi seorang advokat. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah dalam putusannya telah menegaskan bahwa diskriminasi adalah memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUV/2007, bertanggal 22 Februari 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013]. Peraturan yang bersifat diskriminatif adalah apabila peraturan itu membuat perlakuan berbeda semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya sebagaimana dimaksud oleh pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XV/2017, bertanggal 12 Desember 2017]. Menurut Mahkamah, adanya syarat minimal untuk menjadi advokat yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bukanlah suatu bentuk diskriminasi karena penentuan usia tersebut tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik. Adanya syarat usia minimal tersebut justru ditujukan untuk menjamin agar seorang advokat memiliki kematangan emosional atau psikologis, selain kemampuan di bidang akademik. Oleh karena itu dalil Pemohon bahwa Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa terlepas dari alasan permohonan yang dikemukakan Pemohon, petitum Pemohon yang memohon agar “Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, justru akan menyebabkan tidak adanya pengaturan mengenai batas usia minimal untuk dapat menjadi advokat. Padahal sebagaimana
dikemukakan di atas dan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, batasan usia minimal tersebut diperlukan seperti batasan minimal usia bagi profesi penegak hukum lainnya dalam kerangka adanya kesetaraan kemampuan dalam criminal justice system.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 83/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERHADAP TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Dewan Pengurus Pusat Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (DPP ASPATAKI) yang memberikan kuasa kepada Wilman Malau, SH., MH., dkk., para Advokat dan Konsultan Hukum pada Law Office Wilman Malau & Partners (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b), dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU 18/2017

Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b), dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU 18/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam pokok permohonan, Pemohon juga mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 82 huruf a serta Pasal 85 huruf a UU 18/2017 ditunda berlakunya sampai dengan perkara ini telah diputuskan Mahkamah. Terhadap permohonan provisi Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang cukup untuk melakukan penundaan keberlakuan norma a quo. Terlebih terhadap pokok permohonan dalam perkara a quo belum dipertimbangkan. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat tidak dapat dibenarkan secara hukum untuk menunda keberlakuan norma dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo.
Bahwa berdasarkan alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan ditolak.

Dalam Pokok Permohonan
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa isu konstitusionalitas Pekerja Migran Indonesia yang sebelumnya dikenal dengan nama Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi salah satu isu yang sering diajukan permohonan pengujian undang-undangnya ke Mahkamah sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU 39/2004). Menurut catatan Mahkamah setidaknya ada sembilan perkara yang terkait dengan pengujian UU 39/2004 yang telah diputus oleh Mahkamah yang berkaitan dengan isu Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Berkaitan dengan tingginya animo masyarakat dalam menguji pengaturan Tenaga Kerja Indonesia di Luar negeri mendorong negara untuk hadir dalam upaya memberikan jaminan perlindungan pekerja migran sehingga harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan haknya untuk bekerja sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan instrumen hukum internasional, dapat dijaga sebagaimana halnya juga menjaga harkat dan martabat Bangsa Indonesia.
Bahwa hadirnya negara dalam memberikan jaminan perlindungan tersebut di atas sejalan dengan salah satu kewajiban negara yakni memberikan perlindungan terhadap warga negara dan kepentingannya. Kewajiban demikian secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain, berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia....” Kewajiban negara untuk melindungi warga negara dan kepentingannya itu kini telah diterima dan telah berlaku sebagai prinsip universal sebagaimana tercermin dalam berbagai ketentuan hukum internasional, baik yang berupa hukum kebiasaan maupun hukum internasional tertulis, misalnya ketentuan Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relation), yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan Dan Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan. Pasal 3 ayat (1) huruf b Konvensi dimaksud dengan tegas menyatakan bahwa salah satu tugas perwakilan diplomatik adalah “melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum internasional” (protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its nationals, within the limits permitted by international law). Ihwal kewajiban negara dalam memberikan perlidungan kepada warga negaranya yang berada di luar negeri juga diatur dalam ketentuan mengenai hubungan luar negeri (vide Bab V Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri).
Bahwa dalam upaya negara Indonesia untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri juga telah dipertegas dengan keikusertaan Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 September 2004 di New York dengan menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak- Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) tanpa reservasi. Penandatanganan tersebut menunjukkan kesungguhan Negara Indonesia untuk melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota keluarganya. Hal ini sejalan pula dengan tujuan Konvensi yakni untuk menetapkan standar-standar yang menciptakan suatu model bagi hukum serta prosedur administrasi dan peradilan masing-masing negara pihak. Terobosan utama Konvensi ini adalah bahwa orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan anggota keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan Konvensi, berhak untuk menikmati hak asasi manusia, apapun status hukumnya. Adapun substansi pokok yang termaktub dalam Konvensi berkenaan dengan hak-hak setiap pekerja migran dan anggota keluarganya yang memiliki hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang, hak diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan kesehatan, hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya, dan hak untuk transfer pendapatan. Termasuk hak-hak tambahan bagi para pekerja migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu (pekerja lintas batas, pekerja musiman, pekerja keliling, pekerja proyek, dan pekerja mandiri). Oleh karenanya, sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Konvensi tersebut Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap tenaga kerja dengan maksud untuk semakin meningkatkan upaya perlindungan pekerja migran Indonesia (vide Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers And Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya).
Bahwa pembentukan UU 18/2017 yang menggantikan UU 39/2004 merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara dan juga mengimplementasikan tujuan Konvensi. Oleh karena itu, terhadap pengaturan penempatan dan pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dalam UU 39/2004 dipandang belum memadai sehingga perlu diganti untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Negara memandang wajib membenahi keseluruhan sistem perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan harga diri sebagai bangsa mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja, sehingga penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan mengikutsertakan masyarakat (vide Konsideran “Menimbang” huruf e dan huruf f UU 18/2017). Dengan demikian akan dapat diwujudkan tujuan perlindungan baik terhadap calon maupun Pekerja Migran Indonesia yaitu terjaminnya pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan Pekerja Migran Indonesia serta terjaminnya pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya. Perlindungan tersebut mencakup perlindungan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja, yang dalam pelaksanaannya perlu diawasi dan dilakukan penegakkan hukum manakala terjadi pelanggaran atas jaminan perlindungan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon mengenai konstitusionalitas pasal-pasal UU 18/2017 yang dimohonkan untuk diuji terhadap UUD 1945.

[3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 18/2017 mengenai kewajiban memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp5.000.000.000.- (lima miliar rupiah) dan menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1.500.000.000.- (satu miliar lima ratus juta rupiah) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa jumlah modal disetor dan jumlah deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo, di satu sisi dapat dipahami sebagai beban bagi P3MI untuk mendapatkan SIP3MI, padahal apabila dicermati secara saksama filosofi dan semangat dari UU 18/2017 adalah untuk lebih memberikan jaminan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, regulasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan menaikkan modal yang disetor dan deposito setoran ke bank pemerintah merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan krediblitas P3MI sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dengan melihat fakta hukum terjadinya berbagai kasus yang dialami oleh para PMI yang selalu diawali dengan adanya kelalaian P3MI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik pada saat dimulainya proses rekrutmen PMI hingga sampai pekerja migran selesai bekerja, maka kenaikan modal yang disetor dan setoran deposito sebagaimana diatur dalam pasal a quo adalah sebagai sebuah keniscayaan yang memang harus dilakukan seiring berubahnya nilai mata uang dan juga yang lebih utama adalah sebagai upaya untuk meningkatkan marwah PMI yang dalam hal ini juga diwakili oleh P3MI sebagai partner dari Pemerintah dalam pelaksanaan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Menurut Mahkamah, P3MI yang mendapatkan SIP3MI haruslah P3MI yang bukan hanya profesional dan bonafide tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
b. Bahwa syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 dimaksudkan agar P3MI sebagai pelaksana penempatan PMI dapat secara sungguh-sungguh membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional yang berpengaruh terhadap realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya syarat tersebut dimaksudkan pula sebagai upaya untuk mencegah pendirian perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh. Terlebih lagi, apabila hal tersebut dikaitkan dengan objek usaha penempatan PMI adalah manusia dengan segala harkat dan martabatnya, maka persyaratan demikian merupakan bentuk lain dari upaya perlindungan terhadap PMI. Lebih lanjut, menurut Mahkamah, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 UU 18/2017 justru bukan saja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, akan tetapi kepastian berusaha dan perlindungan hukum baik untuk P3MI, mitra P3MI, calon PMI dan/atau PMI, maupun pemerintah yang saling terkait dan sama-sama bertanggung jawab dalam rangka perlindungan PMI secara komprehensif.
c. Bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara modal disetor dan setoran deposito dengan “asas kebersamaan” bagi P3MI dan PMI sebagaimana didalilkan oleh Pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 oleh karena ketentuan pasal a quo mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh setiap P3MI yang ingin mengirimkan PMI ke luar negeri. Menurut Mahkamah, penegasan tentang asas kebersamaan dalam Pasal 33 ayat (4) juga harus selalu disandingkan dengan “efisiensi berkeadilan” oleh karena asas kebersamaan dan efisiensi berkeadilan dalam Pasal 33 ayat (4) jelas menunjukkan keberpihakan pada keselarasan menuju kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan kesejahteraan orang-seorang saja.
d. Bahwa terkait dengan nomenklatur “Bank Pemerintah” yang diatur dalam pasal a quo yang juga dipermasalahkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah ketentuan a quo tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma, terlebih lagi Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik apa sesungguhnya kerugian yang dialami akibat adanya penggunaan istilah bank pemerintah tersebut. Faktanya nomenklatur “Bank Pemerintah” juga telah ada dalam UU 39/2004, di mana Pemohon telah pula menyetorkan uang dalam bentuk deposito kepada Bank Pemerintah dimaksud.
e. Bahwa ketentuan pasal yang dimohonkan pengujiannya merupakan aturan yang bersifat umum yang berlaku bagi semua P3MI dan syarat tersebut bersifat fleksibel sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (3) UU 18/2017 yang menyatakan “Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditinjau kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri”. Selain itu, ketentuan pasal a quo juga telah sejalan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, “Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Terlebih lagi, ketentuan besaran modal disetor dan setoran deposito bagi P3MI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah pilihan kebijakan untuk menaikan modal disetor dan setoran deposito dengan jumlah tertentu tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata- nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.
f. Bahwa sebagaimana petitum Pemohon agar syarat dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b dikenakan hanya kepada perusahaan yang baru berdiri, menurut Mahkamah hal tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.
Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 18/2017 tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa frasa “setiap orang” dalam ketentuan pidana berarti berlaku kepada siapa saja yang melanggar ketentuan pidana tersebut, baik perorangan termasuk kelompok orang maupun badan hukum. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017, berlaku bagi siapa saja yang melanggar ketentuan pasal a quo. Selain itu, penulisan frasa "setiap orang" juga dimaksudkan untuk menindak orang-orang yang terlibat dalam kegiatan penempatan PMI yang melanggar ketentuan pidana. Menurut Mahkamah perumusan frasa "setiap orang" sudah tepat karena berdasarkan doktrin vicarious liability apabila badan hukum melakukan tindak pidana, maka bukan badan hukum yang dikenakan tindak pidana melainkan orang yang menjalankan badan hukum tersebut. Tambah lagi, pasal a quo yang mengatur tentang larangan dan juga sanksi pidana yang diberlakukan bukan hanya untuk orang tetapi juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum yang ikut bertanggung jawab dalam penempatan PMI yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas perbuatan hukum yang dapat menimbulkan kerugian. Hal tersebut semakin menegaskan adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
b. Bahwa hal lain yang juga menjadi penting dan harus diperhatikan oleh Pemohon adalah meskipun argumentasi yang didalilkan oleh Pemohon yang terkait dengan pasal a quo berkaitan erat dengan masalah praktik penerapan hukum di lapangan, sehingga hal tersebut tidak terkait langsung dengan masalah konstitusionalitas, menurut Mahkamah pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa dengan berlakunya pasal terkait sanksi pidana yang diatur dalam bab ketentuan pidana yang terkesan tidak adil dan seolah-olah hanya P3MI saja yang akan terkena sanksi pidana adalah pandangan yang keliru. Menurut Mahkamah dengan berubahnya regulasi pengurusan perizinan yang lebih menitikberatkan pada perlindungan PMI dengan sistem yang terpadu dan satu atap maka pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam pasal a quo bukan hanya dititikberatkan kepada P3MI sebagai pelaksana penempatan PMI di luar negeri tetap juga seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan PMI di luar negeri baik orang perseorangan maupun korporasi. Menurut Mahkamah seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan PMI mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3MI, mitra usaha, pemberi kerja, pejabat terkait, harus memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi PMI sehingga seluruh PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta segala perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Dalam konteks ini, pengawasan mencakup perlindungan baik sebelum bekerja, selama bekerja, maupun setelah bekerja. Sementara itu, penegakan hukum meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana. Dengan demikian menurut Mahkamah hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
c. Bahwa tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap PMI juga terlihat dalam perubahan regulasi tentang persyaratan bagi calon PMI yang akan ditempatkan di luar negeri. Dalam UU 18/2017 persyaratan tersebut diatur lebih detail, berlapis dan bersifat kumulatif. Setidaknya ada dua persyaratan dokumen yang sangat penting yang wajib dipenuhi oleh calon PMI yang akan ditempatkan di luar negeri yakni dokumen Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia dan dokumen Perjanjian Kerja [vide Pasal 13 UU 18/2017]. Begitupun dengan syarat untuk mendapatkan SIP2MI bagi P3MI yang juga harus memiliki dokumen Perjanjian Kerja Sama penempatan, surat permintaan Pekerja Migran Indonesia dari Pemberi Kerja, rancangan Perjanjian Penempatan dan rancangan Perjanjian Kerja [vide Pasal 59 UU 18/2017]. Menurut Mahkamah, pengaturan dalam Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017 tidak dapat dilepaskan dari adanya upaya perlindungan terhadap PMI dalam sistem perlindungan (sebelum bekerja, selama bekerja, dan sesudah bekerja) di mana seluruh stakeholder saling berkaitan satu dengan lainnya yang bertujuan memberikan perlindungan secara maksimal kepada para calon PMI dan juga PMI. Hal tersebut menandakan bahwa sebenarnya tidak ada perlakuan berbeda dalam hal penegakan hukum apabila terjadi tindakan yang merendahkan harkat dan martabat PMI seperti apa yang didalilkan oleh Pemohon. Pengaturan ketentuan pidana dalam UU a quo telah secara nyata diberlakukan untuk setiap orang baik orang perseorangan dan/atau korporasi. Selain itu, menurut Mahkamah dengan adanya jaminan dari Pemerintah bahwa dalam pelaksanaan penempatan PMI, Pemerintah akan melakukan kerja sama luar negeri dan melakukan koordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar negeri serta melakukan kerja sama antara Pemerintah dengan negara tujuan penempatan maka kekhawatiran bahwa mitra usaha atau agency yang menempatkan PMI di luar negeri tidak akan terkena sanksi pidana sehingga menyebabkan tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi PMI menjadi terbantahkan.
d. Bahwa sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan- putusannya terdahulu terkait dengan ketentuan yang menyangkut kebijakan pemidanaan (criminal policy) Mahkamah berpendirian bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Sebab, berkenaan dengan pemidanaan yang esensinya berkaitan dengan pembatasan hak asasi manusia harus melibatkan atau merepresentasikan kehendak rakyat.
Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017 tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2020

Zakarias Horota, Agustinus R. Kambuaya dan Elias Patege yang memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., dan Firda Reza Atariq dan dicabut serta digantikan dengan JUnaidy Rizaldy Roringkon, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap Pasal 65 UU Ciptaker

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil dan materiil terhadap Pasal 65 UU Ciptaker dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 20 Oktober 2020, yang diajukan oleh Zakarias Horota, Agustinus R. Kambuaya, dan Elias Patege yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 13 Oktober 2020 memberi kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., Firda Reza Atariq, dan Juhaidy Rizaldy Roringkon yang melalui surat bertanggal 21 Oktober 2020 Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dan Firda Reza Atariq menyatakan mencabut kuasanya, dan kemudian berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 19 Oktober 2020 para Pemohon memberi kuasa kepada Juhaidy Rizaldy Roringkon, Himas Muhammady I. El Hakim, S.H., dan Virga Dwi Efendi, S.H. yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Oktober 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 27 Oktober 2020 dengan Nomor 95/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 95/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 226/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 95/PUU-XVIII/2020, bertanggal 27 Oktober 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 233/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 95/PUU-XVIII/2020, bertanggal 27 Oktober 2020;

c. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat pencabutan permohonan dari kuasa para Pemohon bertanggal 9 November 2020, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 November 2020;

d. Bahwa pada Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 12 November 2020, Mahkamah mengonfirmasi mengenai surat pencabutan permohonan tersebut kepada para Pemohon dan kuasa para Pemohon membenarkan mengenai pencabutan permohonan tersebut;

e. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

f. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 16 November 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 95/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 62/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Koko Koharudin, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya E’et Susita, S.H., M.Sc., dkk, Advokat dan Paralegal di LBH Bhijak IKADIN Jogjakarta

Pasal 18 ayat (1) UU 24/2011

Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.11] Menimbang bahwa Pasal 18, di mana ayat (1)-nya dimohonkan pengujian oleh Pemohon, terdiri dari dua ayat yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

“(1) Pemerintah mendaftarkan penerima Bantuan Iuran dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS.
(2) Penerima Bantuan Iuran wajib memberikan data mengenai diri sendiri dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada Pemerintah untuk disampaikan kepada BPJS.”

Ketentuan lain dalam UU a quo yang mempunyai kaitan langsung dengan ketentuan kepesertaan penerima Bantuan Iuran pada Pasal 18 ayat (1) adalah sebagai berikut:
1. Pasal 1 angka 7 yang menyatakan, “Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial”;
2. Pasal 19 ayat (4) yang menyatakan, “Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran kepada BPJS”; serta
3. Pasal 19 ayat (5) huruf a yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan Presiden; dan …”.

Selain beberapa ketentuan dimaksud, di dalam UU 24/2011 tidak ditemukan lagi ketentuan yang relevan dengan pendaftaran calon peserta BPJS penerima Bantuan Iuran, terutama ketentuan mengenai tata cara pendaftaran calon peserta BPJS penerima bantuan.

[3.12] Menimbang bahwa permasalahan yang dihadapi Pemohon muncul manakala UU a quo tidak mengatur atau menjelaskan tata cara pendaftaran calon peserta BPJS dengan kriteria PBI, sehingga Pemohon merasa terhalang hak konstitusionalnya untuk memperoleh jaminan sosial in casu jaminan layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, isu konstitusional yang dihadapi Pemohon adalah ketiadaan pengaturan dalam UU a quo mengenai pendaftaran calon peserta BPJS PBI, sementara telah jelas bahwa Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 memberikan perlindungan/jaminan hukum bahwa semua warga negara berhak memperoleh jaminan sosial, yang menurut Mahkamah hak atas jaminan sosial demikian meliputi pula jaminan kesehatan dalam bentuk kepesertaan dalam BPJS Kesehatan;

Bahwa norma Pasal 18 ayat (1) UU 24/2011 menurut Mahkamah merupakan pengejawantahan semangat jaminan sosial yang diamanatkan oleh Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Tindakan hukum Pemerintah yang mendaftarkan PBI dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU 24/2011 tidak dapat diartikan lain selain diikuti dengan pembiayaan atau pembayaran iuran peserta bersangkutan. Hal demikian ternyata telah pula diatur dalam Pasal 19 ayat (4) UU 24/2011;

Kesesuaian antara norma UU yang dimohonkan pengujian dengan norma UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian menurut Mahkamah seharusnya dapat menjawab persoalan konstitusionalitas norma yang dikemukakan dalam permohonan a quo. Namun terdapat satu pertanyaan lanjutan terkait isu konstitusionalitas tersebut, yaitu apakah jika di dalam UU a quo tidak terdapat norma yang mengatur tata cara pendaftaran calon peserta BPJS PBI, lantas hal demikian mengakibatkan Pasal 18 ayat (1) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945.

[3.13] Menimbang bahwa kewenangan Mahkamah adalah menguji norma undang-undang terhadap UUD 1945. Kewenangan tersebut tegas dicantumkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …”. Perluasan makna terhadap objek pengujian berupa undang-undang hanya diberlakukan Mahkamah kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dengan alasan Perpu mempunyai materi hukum dan kekuatan berlaku setara dengan Undang-Undang [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010]. Artinya, selain norma undang-undang, norma Perpu juga merupakan objek pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, sementara norma peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bukan merupakan objek pengujian Mahkamah Konstitusi;

Seandainya makna suatu norma undang-undang tidak cukup jelas, apakah Mahkamah dalam upaya interpretasi boleh merujuk pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terutama yang menjadi peraturan pelaksana bagi undang-undang a quo yang sedang diuji. Rujukan kepada peraturan pelaksana undang-undang yang sedang diuji dapat memunculkan anggapan bahwa konstitusionalitas suatu undang-undang digantungkan kepada peraturan yang lebih rendah dari undang-undang a quo. Anggapan demikian tidak sepenuhnya salah jika norma suatu undang-undang, dengan penalaran wajar, sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945 namun kemudian dinyatakan tidak bertentangan dengan alasan peraturan pelaksana undang-undang tersebut bersesuaian dengan norma UUD 1945;

Menurut Mahkamah, upaya memahami suatu undang-undang dengan cara mengaitkan dengan peraturan pelaksana undang-undang tersebut, dan tanpa bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana yang dimaksudkan, maka hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang, antara lain, norma undang-undang yang sedang diuji tidak mengatur hal yang dimohonkan namun dalam penalaran wajar ketentuan dimaksud tidak menyimpangi norma UUD 1945, atau dengan istilah lain isu konstitusionalitas undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah mengenai ketiadaan atau ketidakjelasan pengaturan; dan undang-undang a quo memerintahkan pengaturan lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

[3.14] Menimbang bahwa dalam perkara a quo menurut Mahkamah kondisi sebagaimana dinyatakan dalam Paragraf [3.13] di atas telah terpenuhi. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pasal 18 ayat (1) UU 24/2011 yang dimohonkan pengujian telah terbukti tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu UU 24/2011 memang tidak mengatur tata cara pendaftaran bagi calon peserta BPJS PBI, namun memerintahkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya;
Pelaksanaan lebih lanjut UU 24/2011 telah diatur dalam beberapa peraturan pelaksana, dua di antaranya adalah Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 82/2018), dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2019 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Permensos 21/2019);

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 18 ayat (1) UU 24/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

R.M. Punto Wibisono, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. Bahrul Ilmu Yakup, S.H., M.H., dkk Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Bahru Ilmi Yakup &Partners, Palembang International Law Office

Pasal 51 ayat (1) UU Peradilan Umum, Pasal 50 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), dan Pasal 70 ayat (2) UU MA, dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.12] Menimbang bahwa sebelum lebih lanjut mempertimbangkan inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana dikemukakan di atas, penting bagi Mahkamah untuk mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa UUD 1945 menegaskan, Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut, antara lain menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan dalam UUD 1945 juga menegaskan bahwa Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Sebagai puncak peradilan di lingkungan MA, MA merupakan peradilan tingkat terakhir bagi semua lingkungan peradilan, yaitu mulai dari peradilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding, sebagai pengadilan judex factie, sampai dengan kasasi kepada MA sebagai peradilan judex juris. Bahwa makna judex factie adalah majelis hakim memeriksa fakta, sedangkan judex juris adalah majelis hakim memeriksa penerapan hukum. Dalam sistem peradilan di Indonesia, judex factie dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara pengambilan keputusan dalam bentuk putusan. Sistem peradilan di lingkungan MA terdiri atas peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding, dan peradilan tingkat kasasi. Peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding adalah judex factie yang memiliki kewenangan, yaitu memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara serta menentukan fakta-fakta dari suatu perkara tersebut, sedangkan peradilan tingkat kasasi, MA sebagai judex juris hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut. Peradilan tingkat pertama adalah peradilan yang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan peradilan tingkat banding adalah peradilan yang menerima, memeriksa, dan mengadili perkara yang diputus peradilan tingkat pertama. Peradilan tingkat banding di samping memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada juga memeriksa aspek hukumnya. Sementara itu, peradilan tingkat kasasi, MA tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Dalam hal ini, judex juris hanya memeriksa interpretasi, konstruksi, dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah diterapkan judex factie. Upaya hukum kasasi merupakan hak bukan kewajiban dan pengajuan permohonan kasasi merupakan upaya hukum biasa. Tujuan utama pengajuan permohonan kasasi, antara lain sebagai koreksi terhadap kesalahan penerapan hukum peradilan di tingkat bawah.

[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikankan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa Pemohon mendalilkan proses pemeriksaan dalam persidangan “banding”, “kasasi”, dan “peninjauan kembali” yang tidak dilakukan dengan dihadiri oleh para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, peradilan tingkat banding merupakan judex factie yang berkewajiban memeriksa dan mengadili fakta dalam suatu perkara secara cermat dan benar dalam rangka menemukan kebenaran yang harus ditegakkan sesuai dengan perintah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Demikian halnya proses persidangan dalam perkara kasasi dan peninjauan kembali sangat urgen dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Terlebih dalam perkara peninjauan kembali, memeriksa bukti baru (novum) yang validitasnya akan semakin teruji bila diverifikasi oleh para pihak dan publik.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, MA merupakan peradilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sebagai peradilan tingkat terakhir semua lingkungan peradilan di MA, MA memeriksa dan mengadili penerapan hukum (judex juris) yang berbeda dengan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Peradilan tingkat pertama sebagai judex factie harus dimaknai bahwa majelis hakim memeriksa fakta, begitu juga dengan peradilan tingkat banding di mana majelis hakim hanya memeriksa fakta dan aspek hukumnya. Dalam sistem peradilan di Indonesia, judex factie dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan berdasarkan cara pengambilan keputusan dalam bentuk putusan. MA dalam memeriksa dan mengadili perkara baik dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali dalam proses mengambil putusan tetap mendasarkan pada fakta dan hukum sebagaimana termuat dalam berkas perkara. Secara substansial dengan kewenangan MA sebagaimana diatur dalam undangundang diharapkan akan tercipta adanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan hukum, karena seharusnya dalam setiap putusan pengadilan sudah terkandung tentang adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat. MA sebagai puncak peradilan mempunyai fungsi mengadili dengan memeriksa hukum (judex juris) menurut peraturan perundang-undangan.

Bahwa MA dan peradilan di bawahnya dalam menjalankan kekuasaannya, yaitu memeriksa perkara yang menjadi kewenangannya dilakukan secara terbuka untuk umum. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
(1) “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain;
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.”

Bahwa selain pertimbangan hukum tersebut di atas, hal yang sangat fundamental penting dipertimbangkan adalah esensi adanya sistem peradilan Indonesia yang dilakukan secara berjenjang. Tujuan dari sistem tersebut dimaksudkan agar ada koreksi atas putusan peradilan pada tingkat di bawah oleh peradilan yang ada di atasnya. Di samping alasan tersebut, ada argumen yang kuat dengan diterapkannya peradilan yang bertingkat di Indonesia yaitu, untuk mengantisipasi kekurangan dan kekhilafan hakim sebagai manusia dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kekurangan dan kekhilafan yang dimaksud di sini adalah kekurangan atau ketidakcermatan, ketidakbenaran, serta ketidakadilan yang mungkin saja terdapat dalam putusan hakim. Hal ini dikarenakan manusia tidak ada yang sempurna, termasuk hakim itu sendiri. Oleh karenanya dengan diterapkannya peradilan yang bertingkat ini, apabila warga negara sebagai pencari keadilan (justiciabelen) merasa bahwa putusan hakim atau majelis hakim yang dirasakan, tidak adil maka pencari keadilan masih mempunyai kesempatan untuk mencari dan memperjuangkan di dalam mendapatkan putusan yang seadil-adilnya dengan melakukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi/di atasnya.

Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, sistem peradilan di Indonesia mengenal tiga jenis tingkatan, yakni Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan MA. Terhadap tingkatan peradilan tersebut terdapat dua jenis kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara, yakni kewenangan mengadili perkara berdasarkan fakta persidangan (judex factie), yaitu kewenangan yang dimilki oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding dan kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris), yaitu kewenangan yang dimiliki oleh MA. Adapun secara terminologi yang dimaksudkan dengan peradilan yang mengadili berdasarkan fakta hukum (judex factie) adalah kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding untuk memeriksa para pihak dengan menggali fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sementara itu kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris) adalah kewenangan peradilan (MA) yang berkaitan perkara kasasi dengan memeriksa penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim atau majelis hakim dari putusan peradilan tingkat pertama (PN) dan tingkat banding (PT).

Dengan demikian menjadi kehilangan relevansi dan esensi, apabila Pemohon menghendaki persidangan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali harus atau setidak-tidaknya dilakukan dengan cara memanggil para pihak dengan mengulang kembali menggali fakta-fakta hukum, sebagaimana yang telah dilakukan oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Di samping praktik tersebut akan mengingkari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Namun demikian, meskipun kewenangan hakim tingkat kasasi dan peninjauan kembali dibatasi untuk menilai berkaitan dengan penerapan hukum dan hanya mendasarkan surat-surat semata, namun dalam hal-hal tertentu jika hakim kasasi memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara yang sedang ditangani, maka hakim kasasi dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan kepada peradilan tingkat banding atau peradilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut untuk melakukan pemeriksaan pada persidangan dengan mendengar para pihak atau para saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum (vide Pasal 50 ayat (1) UU Mahkamah Agung).

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah jelas, pilihan undang-undang dengan tetap melekatkan kewenangan hakim kasasi untuk mengadili perkara yang diajukan dengan mendasarkan pemeriksaan pada surat-surat dan hanya dalam keadaan yang eksepsional saja dan karena keperluan yang urgen menghendaki maka dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi ataupun memerintahkan peradilan tingkat pertama atau peradilan tingkat banding untuk itu. Namun seandainyapun hakim kasasi mendengar sendiri para pihak dan saksi-saksi, hal tersebut terbatas dalam perspektif untuk menambah keyakinan hakim kasasi terhadap penilaian hasil pemeriksaan surat-surat (berkas) sebagai hakim yang mengadili penerapan hukum (judex juris). Hal demikian bukan berarti menggeser kewenangan MA menjalankan fungsi sebagai hakim yang menilai fakta persidangan (judex factie).

Bahwa sebagai penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan dalil Pemohon yang menghendaki dalam mengadili perkara peninjauan kembali, MA juga harus melaksanakan sidang dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah pemeriksaan perkara peninjauan kembali yang kewenangannya dimiliki oleh MA, meskipun sifat dari tingkatannya adalah sebagai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, namun hal ini bukan berarti MA melaksanakan fungsi sebagai peradilan yang memeriksa fakta-fakta hukum sebagaimana halnya dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding (judex factie), namun tetap saja MA menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai peradilan yang memeriksa penerapan hukum. Sebab, dalam memeriksa perkara peninjauan kembali MA memeriksa perkara yang bersifat lanjutan, yaitu perkara yang berasal dari peradilan di semua tingkatan sekalipun telah berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian selain memeriksa alasan peninjauan kembali karena adanya bukti baru (novum) atau alasan lainnya, pemeriksaan yang dilakukan hakim peninjauan kembali hanya terbatas memeriksa surat saja, yaitu berkas perkara, khususnya memori dan kontra memori peninjauan kembali. Sedangkan dalam hal memeriksa perkara peninjauan kembali dengan alasan adanya bukti baru (novum), maka bukti baru yang dibenarkan hanya terbatas pada surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan (vide Pasal 67 huruf b UU Mahkamah Agung) dan terhadap penemuan surat-surat bukti tersebut setelah diserahkan oleh pemohon peninjauan kembali kepada peradilan tingkat pertama yang memeriksa perkara tersebut. Dan selanjutnya oleh peradilan tingkat pertama yang menerima permohonan peninjauan kembali tersebut dilakukan penyumpahan terhadap pihak yang menemukan bukti baru tersebut pada persidangan yang terbuka untuk umum, untuk selanjutnya berkas permohonan peninjauan kembali a quo diserahkan kepada MA untuk dilakukan pemeriksaan.

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang menghendaki agar persidangan perkara peninjauan kembali di MA dengan dihadiri para pihak dalam persidangan yang 42 terbuka untuk umum. Terlebih Mahkamah tidak dapat menerima alasan Pemohon yang berpendapat pemeriksaan perkara peninjauan kembali dapat menghasilkan validitas di dalam memeriksa bukti baru (novum) apabila diverifikasi oleh para pihak dan publik. Sementara kewajiban hadir di persidangan perkara peninjauan kembali selain berdampak adanya beban biaya yang sangat berat bagi pencari keadilan yang harus hadir di MA, juga akan berdampak semakin menumpuknya jumlah perkara dan terhambatnya penyelesaian perkara di MA. Bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan, pemeriksaan persidangan perkara pada peradilan tingkat banding untuk dilakukan dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Mahkamah berpendapat, bahwa keinginan Pemohon sebagaimana yang didalilkan tersebut, sebenarnya telah terakomodir dalam norma undang-undang yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding, maupun praktik yang telah dilakukan di Indonesia selama ini. Sebagaimana diuraikan dan dibenarkan Pemohon dalam permohonannya, bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang berlaku untuk Wilayah Jawa dan Madura dan secara mutatis mutandis berlaku untuk daerah Indonesia lainnya, di mana norma tersebut pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pengadilan tinggi dengan menegaskan bahwa, “Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga Hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi.” Oleh karenanya dalam pemeriksaan perkara banding esensi mendasar adalah melakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diputus oleh peradilan tingkat pertama dengan memeriksa fakta-fakta dan aspek hukumnya.
Dengan demikian oleh karena pada dasarnya hanya melakukan pemeriksaan ulang maka sepanjang pemeriksaan fakta-fakta dan aspek hukumnya dengan memeriksa surat-surat dipandang telah cukup untuk diambil putusan, sehingga tidak ada relevansinya lagi untuk melakukan pemeriksaan perkara dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi. Namun demikian apabila keperluan demi keadilan, undang-undang telah memberikan instrumen dengan memberikan pilihan kepada hakim tingkat banding untuk dapat melaksanakan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum.

Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas, tanpa mewajibkan pada pemeriksaan peradilan tingkat banding dengan menghadirkan para pihak dan saksi-saksi jika telah dipandang cukup oleh hakim banding yang bersangkutan dan telah dapat memutus perkara secara adil maka tidak ada urgensi untuk mengakomodir dalil Pemohon yang berkaitan dengan mewajibkan pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi. Terlebih hal tersebut justru akan mengingkari asas peradilan, cepat dan biaya ringan, sebagaimana juga yang diinginkan Pemohon berkaitan dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 51 ayat (1) UU Peradilan Umum serta Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (2) UU Mahkamah Agung, adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13.2] Bahwa Pemohon lebih lanjut mendalilkan dalam perkara perdata tidak dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali lebih dari satu kali manakala ditemukan adanya keadaan baru atau novum. Menurut Pemohon norma a quo telah memperlakukan Pemohon selaku pihak dalam perkara perdata secara diskriminatif. Sebab, norma Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut telah membatasi hak Pemohon sebagai pihak dalam perkara perdata untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali, sementara dalam perkara pidana diberikan hak konstitusional untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali lebih dari sekali.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah telah berulang kali memberikan penegasan melalui pertimbangan hukum terkait dengan norma peninjauan kembali dalam perkara perdata dalam beberapa putusan, diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XIV/2016, tanggal 26 Juli 2017;
“Dengan merujuk pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat apabila dibuka keleluasaan untuk mengajukan peninjauan kembali lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana maka akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Keadaan demikian bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya) serta justru menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan (justice seeker). Terlebih lagi apabila tidak dibatasi adanya peninjauan kembali dalam perkara selain pidana justru potensial digunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian perkara dengan mencari-cari novum baru yang tujuannya untuk menunda pelaksanaan eksekusi. Jika hal ini yang terjadi maka dapat dipastikan pemberian rasa keadilan bagi para pencari keadilan dalam perkara selain pidana akan menjadi ancaman yang serius, sebab keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus ketidakadilan yang justru bertentangan dengan UUD 1945.

Berbeda halnya dengan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang tujuannya adalah untuk mencari kebenaran materiil serta perlindungan HAM dari kesewenang-wenangan negara terutama yang menyangkut hak hidup dan hak-hak fundamental lainnya, sehingga Mahkamah melalui Putusan a quo menegaskan bahwa untuk perkara pidana harus ada perlakuan yang berbeda dengan peninjauan kembali bagi perkara lainnya. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah berpendapat, pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali dalam perkara selain pidana, termasuk perkara perdata, sebagaimana yang diatur Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah konstitusional”. (vide Paragraf [3.12]).

Selain putusan di atas, juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUUXV/2017, tanggal 20 September 2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVI/2018, tanggal 30 Oktober 2018;
Bahwa meskipun pada permohonan a quo Pemohon memberikan penekanan alasan yang berbeda, yaitu manakala ditemukan bukti baru (novum), agar dapat dibuka pemeriksaan peninjauan kembali lebih dari satu kali. Terhadap alasan yang berbeda tersebut, menurut Mahkamah bukti baru yang dimaksudkan Pemohon dapat saja ditemukan secara berulang artinya tidak hanya satu kali pemohon peninjauan kembali berdalih menemukan bukti baru tersebut. Oleh karena itu seandainya akan dibuka pemeriksaan peninjauan kembali lebih dari satu kali dengan alasan ditemukannya bukti baru maka sangat dimungkinkan akan terjadi pemohon peninjauan kembali berusaha untuk mengajukan alasan peninjauan kembali secara berulang-ulang. Hal demikianlah sesungguhnya yang menjadi kekhawatiran Mahkamah sebagaimana dituangkan dalam putusanputusan di atas, bahwa peninjauan kembali lebih dari satu kali akan menjauhkan dari asas keadilan dan kepastian hukum. Terlebih lagi terhadap permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dengan alasan ditemukannya bukti baru (novum) batas waktunya berbeda dengan alasan-alasan lainnya untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali, yaitu lebih lama karena kadaluwarsanya 180 (seratus delapan puluh) hari dihitung sejak ditemukannya bukti baru (novum) tersebut, bukan sejak putusan perkara yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum tetap dan putusan telah diberitahukan kepada para pihak secara sah dan patut. (vide Pasal 67 huruf b dan Pasal 69 huruf b UU Mahkamah Agung).

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dan dikaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang berkenaan dengan peninjauan kembali dalam perkara perdata, Mahkamah berpendapat belum terdapat alasan yang dapat menggeser pendirian Mahkamah, bahwa terhadap permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara perdata dapat dilakukan lebih dari satu kali dan justru melalui putusan ini Mahkamah menegaskan kembali, masalah konstitusionalitas norma Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan kehakiman berkaitan dengan peninjauan kembali dalam perkara perdata dianggap selesai dan tidak lagi menjadi persoalan yang berlarut larut.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Dr. Ibnu Sina Chandranegara S.H.,M.H, Auliya Khasanofa S.H.,M.H dan Kexia Goutama, dalam hal ini diwakili oleh Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H, dkk, Advokat pada Y&V Law Office untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006, para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa para Pemohon membuka argumentasi dalam dalil permohonannya dengan terlebih dahulu menguraikan secara ringkas mengenai kewenangan BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan Lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara beserta dasar hukum kewenangannya;
2. Bahwa selanjutnya para Pemohon menguraikan mengenai kewenangan BPK dalam hal melakukan PDTT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang menurut para Pemohon memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh “oknum” BPK dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bahwa menurut para Pemohon kewenangan PDTT yang dimiliki oleh BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 merupakan kewenangan pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja sebagaimana dinyatakan dalam huruf B angka 3 pada bagian Penjelasan UU 15/2004 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 karena merupakan bentuk penambahan kewenangan yang telah diatur secara limitatif dalam ketentuan norma Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan mengenai PDTT juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana menjadi prinsip utama dalam negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) karena tidak memiliki kejelasan makna PDTT maupun ketentuan yang menjadi batasan dapat dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
4. Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
[3.9] ...
[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar PDTT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, terutama apabila dilekatkan dalam konteks memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh persoalan dimaksud, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa sebagai hukum dasar, UUD 1945 telah mengatur sedemikian rupa tujuan yang hendak dicapai dengan membentuk negara Indonesia. Dalam hal ini, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Guna mencapai tujuan dimaksud, keuangan negara merupakan salah satu faktor penting yang diatur dalam UUD 1945. Berkenaan dengan hal itu, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karena itu, salah satu perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk pengelolaan keuangan negara, adalah pelaksanaan pembangunan yang tepat sasaran dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggung jawab guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Berangkat dari hal tersebut, kehadiran lembaga pemeriksa keuangan negara menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana halnya hukum dasar negaranegara yang menempatkan makna penting pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan akuntabel, UUD 1945 pun telah mengatur keberadaan badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, serta terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
[3.14.2] Bahwa aturan pokok yang mengatur mengenai perlunya dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta untuk mewujudkan pengelolaan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Ihwal pengelolaan dimaksud, diktum menimbang huruf a UU 15/2004 menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lebih lanjut, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud, perlu dilakukan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan mandiri. Tidak hanya dalam UU 15/2004, semangat yang sama dipertegas kembali dalam diktum menimbang huruf a dan huruf b UU 15/2006 yang menyatakan: a. bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
[3.14.3] Bahwa dari aturan tersebut sudah jelas tujuan utama dari dibentuknya BPK adalah untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka untuk mendorong pengelolaan keuangan negara guna mencapai tujuan negara dengan melakukan pemeriksaan yang berkualitas melalui proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional sesuai standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Artinya, BPK merupakan garda terdepan dalam mengawasi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dengan mengawal jalannya keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide Pasal 6 UU 15/2006).
[3.14.4] Bahwa sebagaimana diatur dalam UU 15/2004, luas lingkup pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas. Adapun PDTT adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja (vide Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006);
[3.14.5] Bahwa apabila diletakkan dalam konteks pemeriksaan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, PDTT berupa pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang belum diketahui dan tidak tercakup saat pemeriksaan keuangan. Adapun pemeriksaan investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara. Dengan demikian, kewenangan PDTT dimaksudkan memberi ruang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan secara lebih menyeluruh dan mendalam terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, yang mungkin belum ditemukan adanya kesalahan dan penyimpangan keuangan negara melalui pemeriksaan keuangan, yang dikenal dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) maupun melalui Pemeriksaan Kinerja. Melalui PDTT, BPK antara lain dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara dan/atau bahkan unsur pidana.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, merujuk Penjelasan UU 15/2004, “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT), adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dapat dilakukan untuk memperjelas pembuktian ada atau tidaknya penyalahgunaan keuangan negara atau tindak pidana korupsi guna menelisik kemungkinan adanya kerugian keuangan negara (state loss), maka dalam batas penalaran yang wajar, PDTT menjadi lebih fleksibel. Karena, tidak ada kriteria yang jelas dan transparan yang dapat diketahui oleh institusi/lembaga yang diperiksa, dibandingkan dengan “pemeriksaan keuangan” dan “pemeriksaan kinerja”. Oleh karenanya, menjadi dapat dipahami jika terdapat pandangan bahwa fleksibilitas tersebut membuka ruang kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh BPK dalam melaksanakan tugasnya. Kemungkinan tersebut pun dikemukakan para Pemohon dalam permohonan a quo. Terlebih lagi, ditambahkan para Pemohon, terdapat fakta sejumlah instansi yang telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) masih memungkinkan dilakukan PDTT. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena opini WTP dimaksud hanyalah mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan sesuai dengan pengungkapan yang diatur dalam SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. Artinya, WTP bukanlah menjadi predikat pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada institusi/lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar. Oleh karena itu pemberian opini WTP atas laporan keuangan kepada suatu institusi/lembaga tidak menutup kemungkinan dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga tersebut apabila dari hasil pemeriksaan keuangan atau dari hasil pemeriksaan kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara.
[3.16] Menimbang bahwa kemungkinan sebagaimana dikemukakan di atas pun telah disadari oleh pembentuk undang-undang, sehingga untuk melakukan PDTT, BPK diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan melalui Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (PBPK 1/2017). Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memerhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. Namun demikian, karena PDTT merupakan pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan adanya indikasi terjadinya kerugian negara dengan tujuan pemeriksaan untuk menemukan fakta dan bukti adanya indikasi terjadinya kerugian negara, maka standar pemeriksaan sebagaimana dikemukakan di atas dirasakan masih belum cukup. Dalam hal ini, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) atau kesalahan dalam menggunakan wewenang (misuse of power) dalam pengelolaan keuangan negara, Mahkamah perlu menekankan bahwa kemungkinan untuk bisa dilakukannya PDTT terhadap suatu institusi/lembaga harus didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga dan tidak diputuskan oleh orang per orang baik oleh auditor maupun oleh seorang anggota BPK tetapi melalui mekanisme yang harus diputuskan oleh BPK sebagai suatu lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih lagi, putusan secara institusional tersebut harus diambil untuk PDTT bagi institusi/lembaga yang telah diberikan status opini WTP oleh BPK. Dengan keputusan demikian, pada satu sisi, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP dan, di sisi lain, status opini tertinggi tersebut tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. Sehingga dengan demikian, sebagai salah satu bentuk pemeriksaan yang dimiliki BPK dapat dilaksanakan untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
[3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keberadaan PDTT sebagai salah satu bentuk pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara dan sebelum sampai pada kesimpulan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] dan Paragraf [3.7] di atas, maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah terhadap substansi atau norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen pada perguruan tinggi (Pemohon I dan Pemohon II) dan bergabung dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA), serta yang berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) apakah menderita kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, yang menjadi lingkup pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka mengawal jalannya keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide UU 15/2004 dan UU 15/2006). Apabila dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan BPK tersebut sudah jelas adalah institusi/lembaga yang mengelola keuangan negara yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Sedangkan, bila dilihat dari profesi/status para Pemohon yaitu dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa yang tidak berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang merupakan ruang lingkup pemeriksaan BPK sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang berprofesi/berstatus sebagai dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 yang dimohonkan pengujian. Sementara itu berkaitan dengan Pemohon I dan Pemohon II yang menerangkan dirinya sebagai pembayar pajak, menurut Mahkamah, hal tersebut justru PDTT memberikan perlindungan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai pembayar pajak dan hal ini semakin menguatkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya norma a quo.
[3.17.2] Bahwa dari uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, yang nyatanyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah institusi/lembaga yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara sebagai ruang lingkup pemeriksaan BPK. Dengan demikian, dalam kualifikasi para Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi dan Mahasiswa, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga para Pemohon dalam kualifikasi ini, tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan a quo.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, telah ternyata bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar. Oleh karena itu permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Kamal Barok, S.H., M.H, Nurul Fadhilah, Erika Rovita Maharani, S.H, Melita Kristin BR Meilala, Helli Nurcahyo, SH., LL.M dan M. Suprio Pratomo yang memberikan kuasa kepada Misbahuddin Gasma, S.H., M.H. dkk, para Advokat pada Kantor Hukum GASMA & Co Advocates, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU 5/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya menyatakan adanya pertentangan antara frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 sehingga menyebabkan kebuntuan dalam pengaturan kelembagaan dan kepegawaian sekretariat KPPU. Hal ini menimbulkan pemahaman bahwa undang-undang hanya mengamanatkan kepada Komisi untuk mengatur kelembagaan dan kepegawaian sekretariat KPPU.
Berkaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 116/PUU-XII/2014, bertanggal 4 Agustus 2015, Paragraf [3.15] huruf c menyatakan:
“Kesekretariatan suatu lembaga atau institusi negara dalam cabang kekuasaan negara mana pun (legislatif, eksekutif, yudikatif) perannya adalah sebagai birokrasi pendukung bagi lembaga atau institusi yang bersangkutan. Keberadaannya merupakan keniscayaan karena kesekretariatan adalah ibarat mesin yang akan menggerakkan lembaga atau institusi itu dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya namun ia bukanlah pihak yang akan melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang lembaga atau institusi yang bersangkutan...”

Bahwa sejalan dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, sekretariat KPPU merupakan unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas KPPU yang susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur berdasarkan keputusan Komisi. Oleh karena itu, adanya keinginan para Pemohon yang meminta agar sekretariat KPPU dimaksud ditafsirkan sebagai sekretariat jenderal, menurut Mahkamah, dalam menentukan pembentukan unit organisasi sekretariat jenderal, diperlukan kajian yang mendalam dari segala sisi yang dikaitkan dengan fungsi, tugas, dan wewenang KPPU, karena pada dasarnya pembentukan sekretariat jenderal memiliki konsekuensi yang luas, bukan hanya terkait dengan anggaran, yang dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi juga mengakibatkan ruang lingkup kewenangan organisasi menjadi lebih besar.
Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon yakni dengan meningkatkan status kesekretariatan jenderal pada KPPU, quod non, hal tersebut sama halnya memaksa Mahkamah harus melakukan analisa tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat terkait dengan kesekretariatan-jenderal KPPU, namun sesungguhnya hal tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah. Selain itu, Mahkamah juga tidak dapat menggambarkan konsekuensi anggaran atau biaya yang akan dikeluarkan oleh negara jika permohonan para Pemohon dikabulkan. Dengan kata lain, hal ini menegaskan bahwa permasalahan kesekretariatan KPPU akan ditingkatkan menjadi kesekretariatan jenderal ataukah bukan, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya, melainkan menjadi kewenangan pemerintah dan lembaga terkait untuk menentukannya. Oleh karena itu, setelah secara kelembagaan kesekretariatan dapat ditingkatkan menjadi sekretariat jenderal maka hal tersebut baru mempunyai korelasi dengan peraturan yang mengaturnya, apakah tetap diatur dengan keputusan presiden ataukah dengan peraturan presiden, penyesuaian tersebut sangat tergantung pada sifat dan kebutuhan kelembagaannya.
Bahwa penegasan berkenaan penentuan status kelembagaan kesekretariatan KPPU yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah, sesungguhnya juga dipahami oleh para Pemohon sebagaimana disampaikan para Pemohon dalam salah satu dalil permohonannya yang menyatakan penyempurnaan UU 5/1999 merupakan wilayah kewenangan pembentuk undangundang, oleh karena itu para Pemohon memohon agar Mahkamah setidaktidaknya dapat memberikan landasan konstitusional sebagai arah penyempurnaan UU 5/1999, sehingga rancangan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masuk dalam daftar prolegnas rancangan undang-undang prioritas dan segera dilaksanakan (vide permohonan para Pemohon hlm. 28, huruf e). Terhadap hal tersebut, Mahkamah dapat memahami bahwa oleh karena penyempurnaan UU 5/1999 dapat juga merupakan bagian penegasan terhadap kedudukan dan kewenangan kelembagaan kesekretariatan KPPU maka dengan mempertimbangkan, bahwa lembaga KPPU dibentuk dengan tujuan untuk mencegah dan menindak adanya praktik monopoli dan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia, KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden seperti yang disebutkan pada Pasal 30 UU 5/1999, dan ditambah dalam perjalanannya selama ini KPPU mampu menjawab tantangan untuk mengawal penerapan UU 5/1999 dan mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di berbagai sektor perekonomian Indonesia. Maka, melalui putusan ini Mahkamah penting menegaskan status kelembagaan KPPU, apabila memiliki urgensi dan telah dilakukan pengkajian yang komprehensif serta telah disesuaikan dengan kebutuhan kewenangan, ruang lingkup tugas dan fungsinya, dapat saja disesuaikan dan tidak menjadi penghalang KPPU untuk berkembang menjadi lembaga yang sesuai dengan kebutuhan.
Dengan demikian berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon berkaitan kata “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “sekretariat jenderal sebagaimana sekretariat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945" tidaklah beralasan menurut hukum.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Joshua Michael Djami, memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dan Almas Rioga Pasca Pratama, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.1] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon secara keseluruhan, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 30 September 2020. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/PMK/2005). Dalam sidang tersebut, Panel Hakim telah menyatakan bahwa Pemohon dapat menyampaikan perbaikan permohonan ke Mahkamah selambat-lambatnya pada tanggal 13 Oktober 2020, yaitu 14 (empat belas) hari sejak sidang pemeriksaan pendahuluan sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK;
2. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Oktober 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 14 Oktober 2020. Perbaikan permohonan Pemohon tersebut memuat sistematika: Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pasal Yang Diujikan dan Model Petitum, Pokok Perkara, Kedudukan Hukum Pemohon Dan Kepentingan Konstitusional Pemohon, Permohonan Tidak Ne Bis In Idem Dan Sebagai Upaya Melindungi Hak Konstitusional Pemohon, Alasan Mengajukan Permohonan, dan Petitum;
3. Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada angka 2 di atas pada dasarnya telah memenuhi format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama telah ternyata terdapat kesalahan dalam penulisan kutipan pasal yang menjadi objek pengujian. Pemohon dalam hal ini menyatakan norma yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 akan tetapi yang dikutip ternyata merupakan materi muatan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 [vide permohonan Pemohon hlm. 3];
4. Bahwa selain kesalahan kutipan tersebut di atas, permohonan Pemohon tidak konsisten menyebutkan secara tegas mengenai objek permohonannya. Pada bagian perihal permohonan Pemohon hanya menyebutkan pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, namun pada kedudukan hukum dan alasan permohonan/posita, uraian pada kedua bagian tersebut dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang telah memaknai Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999. Adapun pada bagian petitum permohonan Pemohon menyebutkan kedua objek permohonan secara alternatif yakni Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebelum ada putusan Mahkamah atau Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019. Dengan adanya inkonsistensi tersebut maka dalam batas penalaran yang wajar objek permohonan Pemohon menjadi tidak jelas. Seharusnya terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang telah diputus Mahkamah maka penyebutannya ditambahkan dengan pemaknaan sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonan a quo sebagaimana dinasihatkan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, seyogyanya secara tegas dan konsisten menyebutkan Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah kabur.
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon dan hal-hal lain.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Krisman Dedi Awi Janul Fonataba, S. Sos., dan Darius Nawipa dalam hal ini diwakili oleh Habel Rumbiak, S. H., SpN., dan Ivan Robert Kairupan, S.H. Advokat dan Konsultan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Kamasan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 21/2001

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 21/2001 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat/tulisan dan keterangan para ahli yang diajukan Pemohon, dan kesimpulan Pemohon; keterangan DPR; keterangan Presiden; keterangan para ahli yang dihadirkan Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon yang berkenaan dengan frasa “partai politik” pada Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 21/2001, sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa otonomi khusus Provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang) diberikan berdasarkan UU 21/2001. Pemberian status otonomi khusus bagi Papua merupakan pelaksanaan amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, yang menyatakan mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang [vide Bab IV huruf G angka 2]. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan otonomi khusus melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memerhatikan aspirasi masyarakat selambat-lambatnya 1 Mei 2010. Di samping kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di atas, otonomi khusus Provinsi Papua termasuk Provinsi Papua Barat yang diberikan berdasarkan UU 21/2001 juga merupakan amanat pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian pemberian otonomi khusus bagi Papua merupakan bagian dari pengakuan negara terhadap bentuk kekhususan suatu daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 21/2001 antara lain sebagai berikut:

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan…

[3.13.2] Bahwa suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan daerah tersebut terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak dapat disamakan dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, terdapat latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata sehingga diperlukan kekhususan dari daerah yang bersangkutan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dalam penentuan jenis dan ruang lingkup kekhususan yang didasarkan pada latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata yang mengharuskan diberikan kekhususan kepada suatu daerah adalah bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya kekhususan bagi daerah yang bersangkutan [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VII/2010 bertanggal 2 Maret 2011]. Dalam konteks Papua yakni antara lain dengan mengingat bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Konsiderans “Menimbang” huruf h UU 21/2001].

[3.13.3] Bahwa berdasarkan latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata Papua maka pembentuk Undang-Undang melalui UU 21/2001 memberikan kekhususan kepada Papua seperti dalam bidang pemerintahan dan politik yang mencakup antara lain:
1. Adanya Majelis Rakyat Papua (MRP), yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan umat beragama [Pasal 5 ayat (2) UU 21/2001];
2. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) merupakan nomenklatur yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu DPRD provinsi. Demikian pula terdapat perbedaan perekrutan anggota DPRP, yakni sebagian anggotanya diangkat, sedangkan sebagian lainnya dipilih melalui pemilihan umum [Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001];
3. Adanya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) di samping Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang ini;
4. Perbedaan nomenklatur, yakni adanya distrik yang pada dasarnya adalah kecamatan di provinsi lain [Pasal 3 ayat (2) UU 21/2001];
5. Calon gubernur dan calon wakil gubernur harus orang asli Papua [Pasal 12 huruf a UU 21/2001].

Dengan demikian berdasarkan kekhususan tersebut tidak terdapat materi muatan yang mengatur mengenai pembentukan partai politik lokal di Papua sebagaimana di Provinsi Aceh sebagai salah satu kekhususan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU 11/2006);

[3.13.4] Bahwa jika Pasal 28 UU 21/2001 dibaca secara keseluruhan, sebenarnya kekhususan mengenai partai politik di Papua berkenaan dengan rekrutmen yang memrioritaskan orang asli Papua [vide Pasal 28 ayat (3) UU 21/2001] dan wajib meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua [vide Pasal 28 ayat (4) UU 21/2001]. Berbeda dengan Aceh, meskipun diberi kekhususan pembentukan partai politik lokal, akan tetapi dalam hal mekanisme seleksi dan rekrutmen partai politik dilakukan secara mandiri oleh partai politik. Jadi, meskipun kedua daerah tersebut diberikan kekhususan namun jenis dan ruang lingkup kekhususan tidak harus selalu sama. Perbedaan tersebut didasarkan pada latar belakang dan kebutuhan nyata dari masing-masing daerah yang diberi status otonomi khusus oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian Pasal a quo tidak dapat dikatakan bersifat diskriminatif karena memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.

Selain itu, dengan kekhususan dalam hal rekrutmen politik oleh partai politik nasional yang memrioritaskan masyarakat asli Papua dan mewajibkan meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua sesuai dengan semangat otonomi khusus Papua yang menekankan peran penting bagi orang-orang asli Papua dan menempatkan orang asli Papua sebagai subjek utama, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 21/2001. Lagi pula, melalui partai politik nasional keterlibatan orang asli Papua di tingkat politik nasional lebih terjamin karena kaderisasi tidak terbatas di tingkat lokal dan karir politik memungkinkan sampai di tingkat nasional, sehingga aspirasi atau kepentingan terkait dengan Papua lebih mudah tersalurkan. Dengan demikian meskipun tidak diberikan kekhususan untuk membentuk partai politik lokal namun dengan adanya ketentuan untuk memrioritaskan orang asli Papua dan kewajiban untuk meminta pertimbangan Majelis Rakyat Papua dalam rekrutmen politik oleh partai politik nasional lebih memberikan jaminan pengembangan sumber daya manusia di bidang politik bagi orang asli Papua pada khususnya dan penduduk Papua pada umumnya. Berdasarkan hal tersebut keberadaan Pasal a quo sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, akan tetapi justru memberikan kekhususan kepada orang asli Papua pada khususnya dan penduduk Papua pada umumnya untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui partai politik nasional.

[3.13.5] Bahwa untuk lebih memahami latar belakang pengaturan partai politik dalam UU 21/2001 tidak dapat dilepaskan dari proses pembahasannya yang berawal dari Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (RUU Otsus Papua) yang diinisiasi oleh DPR. Dalam RUU tersebut, salah satu aspek materi yang dibahas yakni aspek representasi politik, yakni bahwa penduduk Papua adalah sama seperti semua penduduk Indonesia yang telah dewasa, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dapat membentuk partai politik. Bab VII tentang Partai Politik, Pasal 24 RUU Otsus Papua menyatakan sebagai berikut [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 60]:
(1) Penduduk Provinsi Papua berhak membentuk Partai Politik;
(2) Tata cara pembentukan Partai Politik dan keikutsertaan dalam Pemilihan Umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(3) Rekrutmen politik yang dilakukan oleh Partai Politik di Provinsi Papua harus memprioritaskan masyarakat asli Papua;
(4) Partai Politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen partainya masing-masing;

Terhadap rancangan di atas, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum ke-2 dengan Pakar pada 28 Juli 2001, Ryaas Rasyid mengemukakan agar ketentuan dalam rancangan Pasal 24 ayat (1) RUU Otsus Papua perihal “penduduk Provinsi Papua berhak membentuk partai politik” diperjelas, apakah diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah atau melalui revisi undang-undang mengenai partai politik [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 198]. Selengkapnya pendapat tersebut sebagai berikut:

… Pandangan saya pemilu lokal ini cita-cita saya dulu, dulu kan saya mengatakan bahwa pemilu tidak harus sama di tingkat daerah dengan nasional tapi ditolak oleh DPR yang lama. Nah, sekarang saya senang kalau diperjelas apakah pemilu di Irian mengikuti jadwal pemilu nasional atau punya jadwal sendiri. Apalagi di sini ada kewenangan keikutsertaan partai politik lokal berarti harus ada undang-undang lagi yang mengatur eksistensi partai politik lokal yang menyempal undang-undang partai yang ada sekarang yang mengharuskan sekian provinsi dari seluruh Indonesia bisa pemilu dan seterusnya. Jadi ini sebaiknya diperjelas ketentuan mengenai partai politik lokal, apakah diatur lebih lanjut dalam peraturan dasar atau peraturan pemerintah lebih lanjut atau revisi undang-undang mengenai partai politik kita dan juga mengenai jadwal pemilu di daerah provinsi Irian.

Terhadap pendapat pakar di atas, Paturungi Parawansa dari F-PG menanyakan plus minus partai politik lokal, sebagai berikut [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 224]:
… juga mengenai kemungkinan adanya Partai Politik lokal di Provinsi Papua nanti, saya kira juga secara hati nurani menganggap bahwa partai politik lokal itu bagus saja diadakan walaupun di dalam RUU kita itu dalam undangundang itu tidak mengenalnya tetapi saya kira ke depan ini, mengapa tidak kita membangun suatu partai politik lokal di samping ada partai politik nasional yang menjadi pertanyaan saya itu menurut kajian Prof. Ryaas sepanjang melakukan comprehensive study dengan bacaan-bacaan maupun pengalamannya di lain-lain negara, apakah ada plus minus dari adanya partai lokal di suatu daerah katakanlah seperti Provinsi Irian Jaya.

Terhadap pertanyaan di atas, Ryaas Rasyid menyampaikan penjelasan sebagai berikut. [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 251- 252]
… Kemudian mengenai Partai Politik Lokal, nah ini juga apa plus minusnya. Saya tidak ingin bertanya kepada kawan-kawan dari Irian ini, sebab Partai Politik Lokal itu akan membatasi proses kaderisasi mereka, lalu mereka akan terikat hanya pada isu-isu lokal, karier Politiknya juga tidak bisa berkembang, karena tidak mungkin masuk ke DPR misalnya saja, atau menjadi wakil ke MPR, itu sulit sekali. Karena persentasinya tentu akan terbatas sekali, dan saya pikir perlu dipikirkan kembali sejauh mana sih kita punya keperluan atas Politik Lokal, apakah saudara perlu punya nama? kalau soal program, kan itu bisa dimainkan oleh Partai-partai setempat dengan Program setempat begitu, jadi itu juga merupakan satu yang sangat penting, oleh karena saya khawatir Partai Politik Lokal itu tidak terlalu banyak memberikan kontribusi bagi pengembangan Sumber Daya Manusia Irian, seandainya Partai Politik dunia Bapak masih di situ bahkan, bukan bikin Partai Lokal begitu, seandainya ada ya, soalnya ini Irian tidak bisa melihat dirinya ke dalam dia harus melihat keluar, Bapak sudah bilang bahwa di situ beberapa pasal itu mau berunding dengan luar negeri, kerja sama Luar negeri, perdagangan, ekonomi dan segala macam.

Mengapa itu direspon dengan Partai Politik Lokal, saya kira itu sesuatu yang tidak konsisten. Toh perjuangan untuk kepentingan lokal sudah ada Dewan Adat, sudah ada LSM-LSM, dan susah juga mendudukkannya dalam konteks nasional, apa perlunya begitu? Jadi saya kira ini bisa dipikirkan kembali karena menyangkut kaderisasi Partai dan juga persiapan Pemimpinpemimpin Irian di masa depan, dan kalau dia cuma kader Partai Lokal tidak mungkin dia dibayar untuk menjadi Menteri di Jakarta, bisa saja begitu, seluruh bisnis, seluruh kader ini hanya berkutat pada isu-isu lokal. Bagaimana dia bisa menjadi Duta Besar misalnya saja, kan ini kita masih mengharapkan begitu, dan terus terang saya masih konsen dengan itu, saya punya satu teori, orang Irian dengan orang Aceh itu mengapa kadangkadang mau berontak, kadang-kadang tidak puas, itu sebenarnya mereka tidak menikmati Indonesia, dan mereka tidak menikmati Indonesia seperti halnya lain-lain, sebagaimana orang Dayak, dia tidak merasa menjadi bagian Indonesia yang besar itu, berapa banyak orang Irian yang menjadi Pejabat di Jakarta, Depdagri tidak pernah ada, sampai hari ini selama sejarah, jadi staf ahli juga tidak, jadi dia itu mungkin satu dua orang, satu pun juga tidak ada sekarang malah, yang diatur seluruh Depdagri, Departemen Perdagangan, Departemen mana ada nggak orang Irian menjadi Pejabat di Sulawesi, di Sumatera Utara, tidak ada kan, orang Aceh juga sama, sehingga dia gampang sekali di provokasi atau tiba-tiba dia minta Indonesia kok saya belum menjadi bagian yang tidak menikmati begitu, paling ini dari orang Makassar, orang Batak, orang Padang kan menikmati semua, dimana-mana ada kan, jadi Indonesia itu menjadi penting sekali buat mereka, nah ini perlu kita pikirkan, kaderasasi Bapak itu, supaya lebar kemana-mana begitu dan ktemulah dengan pemikiran yang hanya Irian untuk Irian begitu, dan malah ini menjadi satu beban jangka panjang kalau menurut saya.

Pembahasan mengenai partai politik di Papua mengemuka kembali dalam Rapat Dengar Pendapat Umum ke-3 dengan Tim Asistensi Pemda Provinsi Irian Jaya pada 3 September 2001. Muhammad Musa’ad (Anggota Tim Asistensi) menyampaikan pembentukan partai politik merupakan salah satu kekhususan [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 273]. Selengkapnya sebagai berikut:

… ada satu hal yang perlu saya sampaikan bahwa di samping partai-partai politik yang telah ada, kita juga memberikan peluang untuk dibentuknya partai politik lokal, ini sesuatu yang baru. Tetapi kalau kita mengkaji Undang-Undang tentang Parpol dan kemudian kita mencoba untuk memprediksi ke depan dengan menggunakan sistem distrik maka kami yakin bahwa sebenarnya pembentukan parpol bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Ketiga kita menggunakan sistem distrik misalnya, maka setiap orang bisa mencalonkan diri menjadi anggota Dewan untuk dipilih oleh masyarakat. Apa lagi ada sekelompok orang yang membentuk parpol. Ini adalah sesuatu yang memang berbeda dengan undang-undang yang telah ada. Tetapi saya mengajak kita sekalian untuk mencoba menyampaikan tali sejak awal menangkap suasana kebatinan, dan ini adalah kekhususan-kekhususan yang coba kita ke depankan. Kalau kemudian kita tidak bisa menampilkan kekhususan, maka saya yakini bersama bahwa kita tidak bisa menyelesaikan problem yang ada di rakyat Papua.

Sebelum rapat dengan Tim Asistensi berakhir, Ferry Mursyidan Baldan dari F-PG menyampaikan ada beberapa hal yang perlu didalami lagi dengan pendampingan Tim Asistensi, di antaranya sebagai berikut [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 296]:

… itu juga kita perlu memerlukan satu argumen pendalaman kemudian urgensi partai politik lokal dengan kewenangan-kewenangannya dalam kaitan dan hubungannya dengan Partai Politik secara nasional…

Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Tim Asistensi Pemda Provinsi Irian Jaya berlanjut keesokan harinya pada 4 September 2001. Dalam RDPU ini, kembali Muhammad Musa’ad (Anggota Tim Asistensi) menyampaikan bahwa pembentukan partai politik di Papua tidak berarti tidak mengakui partai politik nasional [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 332]. Selengkapnya sebagai berikut:

Persoalan yang kemudian muncul, apakah dengan pembentukan partai politik lokal, kemudian kita tidak mengakui partai politik nasional, jawabannya adalah tidak. Partai politik lokal adalah merupakan salah satu wujud dari partisipasi politik dan mempunyai kedudukan yang sama dengan partai politik nasional di lingkup provinsi Papua. Partai politik lokal bisa saja melakukan afiliasi dengan partai politik nasional yang platform-nya sama, sehingga aspirasi lokal ini ketika diangkat pada tingkat nasional itu bisa terakomodir di partai-partai tertentu yang dianggap mempunyai platform yang sama. Oleh karena itu maka dalam konteks ini sebenarnya tidak ada persoalan, tidak ada perbedaan antara partai nasional dan partai produk lokal.

Pembahasan RUU Otsus Papua selanjutnya dibawa dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus). Dalam Rapat Kerja Pansus dengan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada 10 Oktober 2001, pembentukan partai politik di Papua ikut disinggung. Dalam Rapat Kerja tersebut, Marthina Meheu Wally dari FPG meminta hak diberikan kepada penduduk adalah membentuk partai nasional di daerah, bukan partai lokal [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua hlm. 704]. Berikut ini selengkapnya:

Dan hal lain yang ingin saya sampaikan di sini awalnya kita meminta partai lokal tetap di sini dengan jelas dijelaskan bahwa penduduk Provinsi Papua berhak membentuk partai politik bukan partai lokal. Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini kan berbicara kesempatan pembangunan bangsa kita bukan bangsa orang lain dan seterusnya ke bawah. Saya tidak perlu menjelaskan karena tadi Pak Alex sudah menjelaskan mengapa demikian dan kondisi nil di daerah memang demikian. Mereka memanfaatkan keluguan dan kelabilan masyarakat banyak orang memanfaatkan sebaik mungkin.

Sedangkan Partai Demokrasi Kasih Bangsa di Jayapura memang pemilihnya orang awam Irian tetapi yang duduk di sana bukan orang Irian, itu persoalan. Mengapa? Karena mereka memanfaatkan keluguan orang Irian sebaik mungkin. Oleh sebab itu kami meminta dalam rancangan ini bahwa penduduk Provinsi kami berhak membentuk partai nasional di daerah. Itu bukan partai lokal itu partai nasional, itu persoalan pertama. Mengapa persoalan ini timbul teman-teman sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Oleh sebab itu kami minta kalau bisa ini ditanggapi serius, beri tempat yang layak bagi mereka untuk ikut berkiprah di dunia politik, terima kasih.

Sementara itu, Anthonius Rahail dari F-KKI memberi catatan dengan tidak disebutkannya partai lokal dalam RUU Otsus sebagai berikut [vide Risalah Proses Pembahasan RUU Otsus Papua, hlm. 705):

Dengan demikian kami tidak menyebutkan partai politik lokal di dalam RUU ini. Tetapi sepanjang kebutuhan masyarakat seperti tadi disampaikan oleh teman-teman, kami mengharapkan sekali tanggapan positif dari Pemerintah agar di dalam revisi undang-undang politik di depan sudah ada pemikiran mengenai partai politik lokal. Ini juga berkenaan dengan HAM dan demokrasi yang sekarang menjadi tren daripada dunia, tidak ada salahnya kalau lebih awal kita merespon ini. Sehingga ke depan kita tetap berada dalam suasana yang kompetitif ketika kita berbicara pengembangan HAM dan demokrasi yang memang melekat di dalam kehidupan partai politik sebagaimana tadi disampaikan oleh teman-teman.

Berdasarkan risalah pembahasan RUU Otsus Papua tersebut di atas, istilah “partai politik lokal” sebagai pemaknaan dari frasa “partai politik” dalam RUU a quo memang benar pernah muncul tetapi pendapat tersebut dikemukakan oleh salah seorang anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua. Apabila ditelusuri lebih jauh, yang bersangkutan konsisten menyebut istilah “partai politik lokal” selama proses pembahasan. Namun demikian, apabila dibaca secara saksama pendapat yang dikemukakan sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam Pansus RUU Otsus Papua, frasa “partai politik” dimaksud bukanlah partai politik dalam pengertian “partai politik lokal”. Misalnya pendapat Marthina Meheu Wally dari F-PG secara eksplisit menyatakan “meminta dalam rancangan RUU Otsus Papua agar memberi hak kepada penduduk provinsi Papua membentuk partai politik nasional daerah”. Dengan demikian, yang dimaksudkan Marthina Meheu Wally bukanlah pembentukan partai politik lokal. Begitu pula Anthonius Rahail dari F-KKI secara tegas menyatakan dalam RUU Otsus Papua partainya tidak menyebut frasa “partai politik” sebagai partai politik lokal. Oleh karena itu, Anthonius Rahail menambahkan pula, agar gagasan “partai politik” dalam RUU Otsus Papua dimaksud ditampung dalam revisi undang-undang partai politik.

Akhirnya, setelah melewati serangkaian tahapan, hasil pembahasan Pansus RUU Otsus Papua dilaporkan kepada rapat paripurna dalam rangka pengambilan keputusan atas RUU Otsus Papua pada 22 Oktober 2001. Pimpinan Pansus RUU Otsus Papua melaporkan hasil pembahasan RUU Otsus Papua, pendapat akhir fraksi-fraksi, dan sambutan Pemerintah terhadap pengambilan keputusan atas RUU Otsus Papua, disetujui RUU Otsus Papua menjadi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Terkait pengaturan partai politik di Provinsi Papua diatur dalam Bab VII Partai Politik Pasal 28 menyatakan sebagai berikut:

(1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik;
(2) Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(3) Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua;
(4) Partai Politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen partainya masing-masing.

Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, terdapat pergeseran substantif pola perumusan norma dari “Penduduk Provinsi Papua berhak membentuk partai politik” menjadi “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik”. Secara normatif, perubahan kata “berhak” menjadi kata “dapat” mengakibatkan pola perumusan norma dimaksud bergeser dari sesuatu yang dekat dengan sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif. Perubahan pola perumusan norma tersebut tetap mempertahankan konstruksi norma Pasal 28 ayat (2) yang menyatakan “tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam batas penalaran yang wajar, frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28 ayat (2) a quo tidaklah menggambarkan dan menunjukkan karakter sebagai sebuah partai politik lokal. Dengan demikian, pengaturan partai politik di Papua sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU 21/2001 bukanlah dimaksudkan sebagai partai politik lokal. Sebab, pengaturan partai politik dalam UU 21/2001 tidak secara tegas dikatakan dan sekaligus dimaknai sebagai partai politik lokal. Bahkan, bilamana hendak dibandingkan dengan UU 11/2006, keberadaan partai politik lokal disebut secara eksplisit dalam Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU 11/2006. Tidak hanya penyebutan tersebut, UU 11/2006 pun menguraikan secara terperinci ihwal partai politik lokal dalam satu bab khusus, yaitu Bab XI Pasal 75 sampai dengan Pasal 95 UU 11/2006, yang mengatur mulai dari Pembentukan; Asas, Tujuan, dan Fungsi; Hak dan Kewajiban; Larangan; Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; Keuangan; Sanksi; Persyaratan Mengikuti Pemilu Anggota DPRA/DPRK, Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota; dan Pengawasan terhadap partai politik lokal. Artinya, jikalau pembentuk undang-undang bermaksud frasa “partai politik” dalam UU 21/2001 sebagai partai politik lokal, maka pengaturannya akan dilakukan secara terperinci berkenaan dengan segala sesuatu yang terkait dengan partai politik lokal. Selain itu, sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.13.3] di atas, partai politik lokal memang tidak termasuk sebagai bentuk kekhususan yang diberikan UU 21/2001 dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa frasa “partai politik” dalam Pasal 28 UU 21/2001 adalah partai politik lokal. Namun, dalam posisi sebagai salah satu daerah yang diberi status otonomi khusus, dalam hal apabila terdapat kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang partai politik pada masa mendatang, pembentuk undang-undang dapat saja memberikan pengaturan khusus pengelolaan partai politik di Papua yang memungkinkan warga negara yang merupakan penduduk Papua memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat mengelola partai politik nasional yang berada di Papua. Bahkan, sebagai bagian dari demokratisasi partai politik, pengaturan khusus dimaksud dapat menjadi model percontohan desentralisasi pengelolaan partai politik nasional di daerah. Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan lebih luas untuk terlibat mengelola partai politik akan memberikan ruang lebih luas kepada warga negara penduduk Papua untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang merupakan hasil kontestasi politik yang melibatkan partai politik. Namun demikian, jika pembentukan partai politik lokal akan dijadikan sebagai bagian dari kekhususan Papua, pembentuk undang-undang dapat melakukan dengan cara merevisi UU 21/2001 sepanjang penentuannya diberikan sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan nyata Papua serta tetap dimaksudkan sebagai bagian dari menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 21/2001 adalah konstitusional secara bersyarat sepanjang dimaknai sebagai “Partai Politik Lokal” sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP) yang dalam hal ini diwakili oleh Johan Syafaat Mahanani selaku Ketua dan Almas Tsaqibbirru RE A selaku Sekretaris yang memberikan kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H, dkk advokat pada kantor hukum “Kartika law firm”, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2020

Alinea ke-4, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 6/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas nya dalam permohonan a quo adalah Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 6/2020 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 6/2020
(1) Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1).
(2) Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
2. Bahwa Pemohon dalam uraiannya menyatakan diri sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang didirikan atas dasar kepedulian dan dalam rangka turut serta mewujudkan pemilu yang demokratis di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 6 Akta Pendirian Nomor 15 tanggal 13 Desember 2019 yang dibuat di hadapan Eret Hartanto, S.H., Notaris dan PPAT di Kota Surakarta, yang merupakan Anggaran Dasar dari Pemohon disebutkan: “Lembaga ini bertujuan untuk mengemban apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia khususnya dalam membela dan memperjuangkan hak sipil dan politik warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam pemungutan suara.”
3. Bahwa Pemohon dalam uraiannya menyatakan telah melakukan berbagai macam kegiatan yang dilakukan secara terus menerus. Sebagaimana dijelaskan Pemohon bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh Pemohon sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Akta Pendirian Nomor 15 tanggal 13 Desember 2019 adalah sebagai berikut:
1) Memberikan layanan informasi dan pengetahuan hukum dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan memperjuangkan hak sipil dan politik warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam Pemungutan suara;
2) Membantu warga masyarakat dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan khususnya dalam membela dan memperjuangkan warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam pemungutan suara, melakukan pendampingan atau mewakili terkait dengan upaya penyelesaian sengketa Pemilu melalui Mediasi, Arbitrase, Konsiliasi, dan/atau dengan cara proses hukum;
3) Mengajukan upaya hukum Pra Peradilan, Judicial Review, Gugatan Perdata, Gugatan Tata Usaha Negara, dan atau upaya hukum lainnya terkait dengan hal-hal yang menjadi sengketa dalam pemilu di masyarakat melalui jalur pengadilan terkait dengan perkara-perkara dalam upaya 29 khususnya dalam membela dan memperjuangkan warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam Pemungutan suara dalam hal penegakan hukum dan hal lain terkait dengan hak-hak konsumen secara mandiri dalam kedudukannya sebagai Pihak Ketiga yang berkepentingan;
4) Melakukan kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan khususnya dalam membela dan memperjuangkan warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam pemungutan suara;
5) Melakukan pengawasan bersama Pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan khususnya dalam membela dan memperjuangkan warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam pemungutan suara.
4. Bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (5) Anggaran Dasar Pemohon tersebut disebutkan: “Pengurus harian dalam hal ini Ketua, yang jika berhalangan atau tidak ada diwakili oleh Wakil Ketua, mewakili Badan Pengurus, dan karena itu mewakili lembaga baik di dalam maupun di luar Pengadilan, tentang segala hal dan segala kejadian dengan hak untuk melakukan segala tindakan dan perbuatan dengan pengecualian untuk …”.
5. Bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Anggaran Dasar Pemohon telah diangkat dan ditetapkan Johan Syafaat Mahanani sebagai Ketua dan Almas Tsaqibbirru RE A sebagai Sekretaris. Dengan demikian menurut Pemohon kedua orang tersebut berhak mewakili Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo. lanjut dengan keputusan Presiden (ayat 10).

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, norma yang diajukan oleh Pemohon adalah berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, di mana menurut Pemohon, pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut berkaitan erat dengan aktivitas dan kegiatan Pemohon sebagai lembaga sebagaimana diuraikan Pemohon di atas dan dibuktikan dengan Akte pendirian dan Anggaran Dasar (bukti P-1). Terhadap hal tersebut, untuk membuktikan adanya keterkaitan antara norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon dan lebih jauh untuk meyakinkan Mahkamah bahwa terdapat kerugian konstitusional atau setidaknya 30 potensi kerugian konstitusional terhadap Pemohon berkenaan dengan berlakunya norma a quo, Pemohon tidak cukup hanya dengan menjelaskan tujuan dari pembentukan organisasi, tetapi harus pula dapat menyampaikan contoh konkret aktivitas atau kegiatan Pemohon sebagai Lembaga berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma yang diajukan (vide pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, bertanggal 27 Agustus 2020, Paragraf [3.14]). Keharusan tersebut telah pula dinasihatkan oleh Makamah dalam persidangan pendahuluan (vide Risalah Sidang Perkara 69/PUU-XVIII/2020 tanggal 8 September 2020, hlm. 29). Namun setelah dibaca secara saksama uraian Pemohon mengenai kedudukan hukum dan seluruh alat bukti yang dilampirkan oleh Pemohon, tidak terdapat uraian maupun bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas dalam norma yang diajukan pengujiannya. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa Pemohon sebagai Lembaga telah secara aktif berkegiatan di bidang yang berkaitan dengan norma yang diajukan pengujian. Dengan demikian Pemohon tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG KEPROTOKOLAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Abu Bakar yang diwakili oleh kuasa hukumnya M. Maulana Bungaran, S.H., M.H., Munathsir Mustaman, S.H., dan Dwi Ratri Mahanani, S.H., Advokat yang tergabung pada Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m, UU Keprotokolan

Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU 9/2010, yang rumusan selengkapnya menyatakan:
(1) Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik Indonesia ditentukan dengan urutan:
…….
e. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
…….
m. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
2. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam Pemilihan Legislatif 2019 dan sekaligus juga menerangkan anggapan kerugian konstitutional yang Pemohon perjuangkan dalam permohonan a quo bersumber dan identik dengan hak konstitusional seluruh pemilih di Indonesia;
3. Bahwa menurut Pemohon, Pimpinan DPR harus selalu terjaga kehormatan dan keluhuran martabatnya sehingga dari sisi keprotokolan untuk acara kenegaraan atau acara resmi Pimpinan DPR harus diberi tata tempat yang sama. Namun UU 9/2010 mengatur tata tempat yang membedakan antar Pimpinan DPR. Adanya ketidaksamaan hak keprotokolan antar Pimpinan DPR ini telah merusak sifat kolektif kolegial Pimpinan DPR sehingga membahayakan dan merugikan institusi DPR. Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU 9/2010 yang menjadi objek pengujian permohonan a quo, tidak menjelaskan tata tempat untuk Pimpinan DPR sehingga menimbulkan ketidakjelasan mengenai posisi tata tempat Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi. Menurut Pemohon pada praktiknya tata tempat Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi terpisah-pisah antara Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR. Terkadang Wakil Ketua DPR justru ditempatkan di belakang menteri, padahal Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR sama-sama berstatus Pimpinan DPR yang bertugas secara kolektif dan kolegial, yaitu menjalankan kewenangan dan mengambil keputusan secara bersama dalam posisi yang setara. Ketentuan ini menodai kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga tinggi negara. Bahwa berdasarkan hal-hal yang sudah diuraikan di atas, menurut Pemohon telah terjadi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon selaku pemilih anggota DPR yaitu terlanggarnya prinsip kerja kolektif dan kolegial dan rusaknya kehormatan dan keluhuran martabat DPR yang mana merupakan hak Pemohon untuk memilih anggota DPR berdasarkan konstitusi, yang apabila permohonan dikabulkan, maka tidak ada lagi ketidakjelasan tata letak Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi, dan tidak ada lagi pelanggaran prinsip kerja kolektif dan kolegial dan kerusakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR, serta tidak akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon;
4. Bahwa berkaitan dengan permohonan Pemohon, Mahkamah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 10 September 2020, berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim karena kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/ PMK/2005);
5. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 23 September 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 24 September 2020. Dalam sidang perbaikan permohonan, Pemohon prinsipal atau kuasa hukum Pemohon yang menandatangani permohonan tidak hadir tetapi menghadirkan kuasa hukum tambahan atas nama Dwi Ratri Mahanani, S.H., yang mana baik dalam permohonan awal maupun dalam perbaikan permohonan tidak turut menandatangani permohonan dimaksud, sehingga Mahkamah menerima perbaikan permohonan dan mensahkan alat bukti Pemohon yang disampaikan dalam permohonan awal, namun isi dari perbaikan permohonan tidak dapat disampaikan oleh kuasa hukum karena ada keraguan atas penunjukan kuasa hukum tambahan untuk menyampaikan perbaikan permohonan dalam persidangan;
6. Bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 5 Oktober 2020 dengan agenda untuk mengonfirmasi penambahan kuasa hukum. Pemohon prinsipal tidak hadir tetapi dihadiri oleh kuasa hukum Pemohon yang menandatangani permohonan awal dan perbaikan permohonan serta dihadiri juga oleh kuasa hukum tambahan yang tidak menandatangani permohonan dan Mahkamah memberikan kesempatan kepada kuasa hukum Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan [vide Risalah Sidang tanggal 5 Oktober 2020];
7. Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon telah sesuai dengan sistematika permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama uraian ihwal kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas kualifikasinya sebagai Pemohon [vide Pasal 51 ayat (1) UU MK]. Sebab, selain Pemohon mengkualifikasikan dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak sebagai pemilih, Pemohon juga memosisikan diri seolah-olah mewakili kepentingan seluruh pemilih di Indonesia dengan menyatakannya sebagai persoalan konstitusional yang “bersumber dan identik dengan hak konstitutional seluruh pemilih di Indonesia”. Oleh karenanya menjadi tidak jelas dalam kualifikasi apa sesungguhnya Pemohon memosisikan kedudukan hukumnya dalam menjelaskan anggapan perihal kerugian konstitusionalnya;
8. Bahwa sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, seseorang tidak serta-merta dapat mewakili orang atau pihak lain tanpa didasari surat kuasa khusus untuk itu [vide Pasal 43 UU MK], kecuali bagi orang tua yang bertindak untuk kepentingan anaknya yang belum memenuhi syarat kecakapan bertindak dalam hukum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUUXIV/2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2018]. Berbeda halnya jika Pemohon secara tegas menjelaskan kualifikasinya hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia. Andaipun Pemohon mengkualifikasikan diri sebagai perseorangan, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perihal anggapan kerugian konstitusionalnya dan hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional tersebut dengan norma yang dimohonkan pengujiannya yang substansinya berkenaan dengan tata tempat bagi Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi di ibukota negara Republik Indonesia;
9. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2019 TENTANG SUMBER DAYA AIR TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Agus Wibawa, Dewanto Wicaksono SE, MM., Prihatin Suryo Kuncoro dan Andy Wijaya yang memberikan kuasa khusus kepada Ari Lazuardi, S.H., dkk., advokat dan pengacara publik pada Tim Pembela Kedaulatan Energi Untuk Rakyat, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 huruf c UU SDA

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 huruf c UU SDA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] …
1. …
Bahwa, berdasarkan uraian para Pemohon tentang kualifikasinya maupun anggapan kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat:
a. Mahkamah tidak melihat adanya korelasi langsung antara kepentingan para Pemohon (in casu Serikat Pekerja) dengan mekanisme pengenaan Pajak Permukaan Air (PPA) dan Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA). Sebab, jika dihubungkan dengan anggapan kerugian konstitusional para pemohon yaitu, dengan dibebankannya BJPSDA pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), hal tersebut akan menambah beban pengeluaran dari PLTA, yang mengakibatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) menjadi naik dan dapat melampaui BPP sumber energi listrik lainnya di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sehingga oleh karenanya PLTA menjadi tidak menarik lagi untuk dikembangkan dan akhirnya berdampak secara langsung pada bisnis PLTA yang tidak lagi menjadi kompetitif dan menarik investor. Kemudian pada akhirnya akan merugikan hak konstitusional para Pemohon, yaitu kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak karena perusahaan tempat kerja anggota para Pemohon tidak lagi dapat mempekerjakan pekerja di unit PLTA dan karena listrik sebagai kebutuhan pokok dan mendasar akan mengalami kenaikan tarif listrik;
b. Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat antara BJPSDA dan PPA dengan anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon. Sebab, dalam kaitan ini berlaku asas hukum “tidak ada kepentingan, tidak ada gugatan” (point d’interest point d’action, zonder belang geen rechtsingang) terlebih para Pemohon tidak mampu menunjukkan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah pihak yang dirugikan sebagaimana disebutkan dalam permohonan para Pemohon. Bahkan, seandainya pun pernyataan para Pemohon itu benar, tanpa bermaksud menilai lebih jauh konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan dua jenis pembebanan biaya sebagaimana yang dijelaskan oleh para Pemohon, yaitu PPA dan BJPSDA. Menurut Mahkamah, PPA berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 28/2009) adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan, dan Pasal 1 angka 18 menyatakan, air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) UU 28/2009 menentukan bahwa objek dari PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Kemudian Pasal 21 ayat (2) UU 28/2009 pada pokoknya mengecualikan dari pengenaan objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan, pertanian dan perikanan rakyat dengan tetap memperhatikan lingkungan dan peraturan perundang-undangan, dan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 15/PRT/M/2017 tentang Tata Cara Penghitungan Besaran Nilai Perolehan Air Permukaan, mengategorikan pengguna air dilihat dari 7 (tujuh) jenis kegiatan atau kegiatan usaha yang dikenakan PAP yaitu, 1. sosial, 2. perusahaan non-niaga, 3. niaga atau perdagangan atau jasa, 4. Industri atau penunjang produksi, 5. Pertanian termasuk perkebunan, peternakan, dan perikanan, 6. Tenaga listrik (pembangkit listrik tenaga air), dan 7. Pertambangan. Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan sumber daya air untuk tenaga listrik sebagaimana usaha di tempat para Pemohon bekerja termasuk bagian dari pemanfaatan air permukaan di luar untuk keperluan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (2) UU 28/2009, sehingga wajib untuk dikenakan PAP.
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan BJPSDA sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 UU 17/2019 adalah biaya yang dikenakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan kepada pengguna Sumber Daya Air yang dipergunakan untuk pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Bahwa melalui BJPSDA inilah pemerintah dapat melakukan konservasi terhadap sumber daya air di Indonesia. Dengan demikian secara ekonomi, semakin banyak pemanfaat sumber daya air yang membayar BJPSDA, maka semakin besar biaya yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sumber daya air, sehingga akan memberikan tingkat layanan yang lebih baik. Namun demikian, pembayaran BJPSDA adalah menjadi kewajiban perusahan (in casu PT PJB dan PT IP) yang tidak ada relevansinya dengan kepentingan para Pemohon;
c. Bahwa diterimanya kedudukan hukum Serikat Pekerja di beberapa putusan Mahkamah sebelumnya, sebagaimana yang telah para Pemohon uraikan tidak serta-merta menjadikan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, karena pada dasarnya pemberian kedudukan hukum oleh Mahkamah kepada pemohon/para pemohon sangat tergantung dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah terang dan tidak ada keraguan bagi Mahkamah bahwa pada diri para Pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang diuraikan dengan berlakunya norma Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 UU 17/2019 yang dimohonkan pengujian.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, oleh karena itu, Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Viktor Santoso Tandiasa, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Yohanes Mahatma Pambudianto, S.H., advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 23 UU 39/2008

Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 23 UU 39/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
]3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, Pemohon pada pokoknya hanya menguraikan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya terhadap implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 oleh Pemerintah. Padahal norma yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon adalah Pasal 23 UU 39/2008, namun Pemohon hanya mengedepankan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menurut Pemohon pada pokoknya wakil menteri dilarang rangkap jabatan. Menurut Mahkamah, uraian anggapan kerugian konstitusional Pemohon tersebut tidak secara spesifik dan aktual ataupun setidak-tidaknya berpotensi karena berlakunya ketentuan norma Pasal 23 UU 39/2008. Pemohon hanya menguraikan kerugian secara umum atas keberlakuan pasal a quo namun tidak secara jelas dan rinci menguraikan kerugian sesungguhnya yang dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 23 UU 39/2008 dengan kerugian yang dialami oleh Pemohon berkaitan dengan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Terkait dengan uraian Pemohon yang menyatakan sebagai influencer yang kerap kali memberikan pemahaman konstitusional kepada masyarakat melalui Youtube dan media sosial lainya, menurut Mahkamah, Pemohon tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Pemohon memiliki kedudukan hukum apabila dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya norma pasal yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status Pemohon sebagai influencer dan memang menunjukkan kerugian yang nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dengan demikian tidak diperoleh adanya hubungan kausalitas antara uraian anggapan kerugian yang dijelaskan oleh Pemohon dengan pasal yang dimohonkan pengujian.
[3.7] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum Pemohon yang mengajukan permohonan pengujian UU 39/2008 telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 151/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya menyatakan permohonan yang dimohonkan pengujian adalah undang-undang mengenai organ pemerintah, in casu UU 39/2008 yang di dalamnya mengatur mengenai kedudukan dan urusan pemerintah, tugas, fungsi dan susunan organisasi, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian, pengangkatan dan pemberhentian, hubungan fungsional kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian, dan hubungan kementerian dengan pemerintah daerah. Materi muatan pasal-pasal dalam UU 39/2008 tersebut mengikat penyelenggara negara/organ pemerintah baik di pusat ataupun di daerah dan sama sekali tidak mengikat warga negara pada umumnya. Namun demikian, bukan berarti UU 39/2008 tidak dapat dipersoalkan pengujian konstitusionalitasnya oleh warga negara. UU 39/2008 tetap dapat dipersoalkan pengujian konstitusioniltasnya sepanjang warga negara yang bersangkutan memiliki kepentingan hukum langsung maupun tidak langsung dengan UU 39/2008. Sementara itu, menurut Mahkamah, Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Constitutional Lawyer, pegiat/aktivis, dan influencer tidak mempunyai kepentingan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dengan materi muatan UU 39/2008 khususnya terhadap pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-10-2020

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang memberikan kuasa kepada Bayu Segara, S.H. dan Denny Fajar Setiadi, S.H., Advokat pada Kantor Fajar & Segara Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

mengajukan pengujian terhadap kata “kerugian” sepanjang tidak dimaknai “tidak termasuk honorarium advokat” di dalam Pasal 1365 KUH Perdata

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 1365 KUH Perdata dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa kerugian dalam hukum perdata dapat timbul karena wanprestasi atau dapat pula timbul karena perbuatan melawan hukum. Kerugian dalam wanprestasi terjadi karena keadaan di mana kreditur maupun debitur tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati kedua pihak. Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan, “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Artinya, suatu wanprestasi tidak akan terjadi jika tidak ada suatu perjanjian yang mendahuluinya.
Bahwa adapun perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum perdata adalah timbul karena perintah undang-undang maupun timbul karena perbuatan orang, sehingga dengan perkataan lain, seseorang dapat disebut telah melakukan perbuatan melawan hukum meskipun sebelumnya tidak ada perjanjian antara kedua belah pihak sepanjang memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dari ketentuan Pasal a quo perbuatan melawan hukum dapat ditarik unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Perbuatan melawan hukum; 2) Timbulnya kerugian; 3) Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian; dan 4) Kesalahan pada pelaku.
Bahwa dari unsur-unsur tersebut di atas, unsur yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut adalah “hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian”, sehingga harus dibuktikan adanya hubungan yang bersebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang terjadi.
[3.12] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo yang perlu dijawab adalah apakah kerugian membayar jasa advokat dari Penggugat atau Tergugat dalam menghadapi perkara perdata di pengadilan dapat dibebankan kepada pihak lawan dengan alasan bahwa kerugian membayar jasa advokat tersebut adalah merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak lawan.
Bahwa selanjutnya perlu dijelaskan tentang perbuatan apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum karena penafsirannya telah mengalami perkembangan doktrin di mana sebelum tahun 1919, perbuatan melawan hukum itu ditafsirkan secara sempit yaitu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja sebagaimana aliran legisme yang menganggap bahwa hukum hanyalah apa yang tercantum dalam undang-undang. Namun setelah tahun 1919 telah terjadi perluasan penafsiran perbuatan melawan hukum yang unsurunsurnya di antaranya adalah: 1) mengganggu hak orang lain; 2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 3) bertentangan dengan kesusilaan; 4) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain.
Bahwa dengan berkembangnya penafsiran perbuatan melawan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas maka dalam menentukan perbuatan seseorang, in casu mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mempertahankan haknya adalah menjadi ranah hakim pengadilan perdata yang memeriksa perkara tersebut yang dapat menilainya apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum atau tidak.
[3.13] Menimbang bahwa dalam praktik beracara di pengadilan yang berlaku hingga sekarang ini bahwa seseorang yang beracara di persidangan perdata tidak diwajibkan menggunakan jasa advokat (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUU-XV/2017, bertanggal 14 Desember 2017). Dalam hal perkara perdata di mana prinsipal diwakili oleh advokat maka dalam keadaan demikian menjadi pertanyaan apakah biaya jasa advokat yang dibayarkan oleh seseorang tersebut dapat ditafsirkan sebagai kerugian yang diakibatkan perbuatan pihak lawan maka penilaian demikian pun adalah tetap menjadi ranah penilaian hakim untuk menetapkannya apakah kerugian tersebut mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lawan berperkara.
Bahwa kerugian yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata dapat berupa kerugian materiil maupun immateriil, namun dalam suatu perkara perdata, penilaian kerugian tersebut tergantung pada pembuktian para pihak serta penilaian hakim yang memeriksa perkara tersebut, demikian pula dalam menentukan apakah honorarium advokat termasuk sebagai kerugian akibat yang dapat dilekatkan karena adanya perbuatan melawan hukum atau tidak.
[3.14] Menimbang bahwa penggunaan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai dalil gugatan merupakan kebebasan atau hak bagi siapa pun yang mengajukan gugatan, termasuk dalam hal ini akan menggunakan jasa advokat atau tidak hal tersebut adalah ranah privat atau perdata, sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata. Perihal dikabulkan atau tidak dikabulkannya gugatan yang mendalilkan Pasal 1365 KUH Perdata, termasuk penilaian kerugian yang dialami penggugat dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata, hal tersebut merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara tersebut sesuai dengan penilaian hakim setelah melalui proses pemeriksaan persidangan ataupun dapat pula dengan mempertimbangkan putusan terdahulu atau yurisprudensi. Bahkan Pemohon sendiri dalam dalil permohonannya pun menyebutkan telah ada putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi yaitu dalam Putusan Nomor 3557 K/Pdt/2015, bertanggal 29 Maret 2016, yang dalam diktumnya menyatakan, “Biaya Advokat adalah tanggung jawab dan kewajiban yang sudah disepakati Penggugat sendiri, sehingga tidak tepat bila dibebankan kepada para Tergugat. Lagi pula tidak ada keharusan bagi Penggugat untuk menggunakan jasa Pengacara/Advokat karena Penggugat dapat mengajukan gugatan sendiri ke Pengadilan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian ganti kerugian yang dapat dituntut dan dikabulkan dalam perkara perdata adalah merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara tersebut, setelah mempertimbangkan dalil-dalil gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat serta bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan. Adapun persoalan perkara konkret yang dialami Pemohon yang dituntut ganti kerugian atas biaya honorarium jasa advokat, menurut Mahkamah, merupakan persoalan yang berkaitan dengan penerapan norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2020

Asosiasi Advokat Konstitusi, dkk untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (4) UU Minerba

Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (4) UU Minerba dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas dan rinci apa sesungguhnya kerugian konstitusional yang menurut anggapannya dialami dengan berlakunya ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (4) UU 3/2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai perkumpulan yang berbentuk badan hukum perdata (AAK), perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai dosen, advokat, serta perseorangan warga negara Indonesia yang sedang menekuni hukum pertambangan, tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Sebab, Pemohon yang memiliki hubungan hukum secara langsung atas berlakunya norma tersebut di antaranya adalah pemerintahan daerah, in casu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah karena norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon tersebut merupakan bagian dari urusan daerah. Serta subyek hukum lainnya yang mempunyai keterkaitan langsung dengan perijinan pertambangan mineral dan batubara. Dalam hal Pemohon adalah pemerintahan Daerah maka yang dapat menjadi Pemohon adalah kepala daerah bersama-sama dengan DPRD. Terkait dengan unsur DPRD yang diwakili oleh ketua dan para wakil ketua harus berdasarkan hasil rapat paripurna DPRD yang dibuktikan dengan Berita Acara Rapat Paripurna DPRD. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2020

Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang diwakili oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Dr. H. Erzaldi Rosman, S.E., M.M.) dan Pimpinan DPRD Kepulauan Bangka Belitung (Didit Srigusjaya, S.H., M.H.; Hendra Apolo, S.T., M.Si.; H. Muhhamad Amin, S.T. dan Amri Cahyadi, S.T.) yang memberikan kuasa kepada Dharma Sutomo H., S.H., M.H. dkk, para Advokat pada Kantor Hukum Dharma Sutomo & Rekan, yang selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian materiil terhadap Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40, Pasal 48 huruf a dan huruf b, Pasal 67, Pasal 100A, Pasal 122, Pasal 140, Pasal 151, Pasal 169B ayat (5) huruf g, Pasal 173B dan pasal-pasal lainnya UU 3/2020.

Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40, Pasal 48 huruf a dan huruf b, Pasal 67, Pasal 100A, Pasal 122, Pasal 140, Pasal 151, Pasal 169B ayat (5) huruf g, Pasal 173B, dan pasal-pasal lainnya UU 3/2020, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum para Pemohon dan permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40, Pasal 48 huruf a dan huruf b, Pasal 67, Pasal 100A, Pasal 122, Pasal 140, Pasal 151, Pasal 169B ayat (5) huruf g, Pasal 173B, dan pasal-pasal lainnya sepanjang dimaknai “menghapus/mengubah kewenangan Pemerintah Daerah provinsi” UU 3/2020;
2. Bahwa setelah Mahkamah menyandingkan antara bukti Para Pemohon [vide bukti P-2] dengan Salinan UU 3/2020 sebagaimana diperoleh Mahkamah dari Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum (JDIH) Sekretariat Negara, terdapat perbedaan di antara keduanya yaitu, pada Salinan UU 3/2020 sebagaimana diperoleh Mahkamah dari JDIH Sekretariat Negara tidak terdapat ketentuan Pasal 100A dan Pasal 169B ayat (5) huruf g sebagaimana dimohonkan Para Pemohon. Lebih lanjut, Para Pemohon juga tidak menguraikan isi pasal yang dimaksudkan tersebut dalam permohonan sehingga Mahkamah tidak dapat memahami pasal yang dimaksudkan oleh Para Pemohon;
3. Bahwa dalam permohonan, Para Pemohon mencantumkan frasa “pasal-pasal yang lainnya sepanjang dimaknai menghapus/mengubah kewenangan pemerintah daerah provinsi” tanpa menguraikan lebih lanjut pasal berapa yang dimaksud oleh Para Pemohon;
4. Bahwa dalam petitum permohonan angka 3, Para Pemohon meminta Mahkamah untuk “Menyatakan, seluruh ketentuan Pasal–Pasal Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 03 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Batubara yang menghapus, merubah dan mencabut kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Gubernur “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya”, tanpa menguraikan lebih lanjut pasal berapa yang dimaksud oleh Para Pemohon tersebut;
5. Bahwa Para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan untuk mengembalikan pasal-pasal UU 3/2020 yang diuji kepada keadaan semula yakni sebelum perubahan UU 3/2020 sebagaimana petitum angka 4. Terhadap petitum demikian hanya mungkin dipertimbangkan dan dipenuhi oleh Mahkamah sepanjang yang dimohonkan tersebut jelas dan berimplikasi kepada terjadinya kekosongan hukum.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut pada Paragraf [3.3] di atas, menurut Mahkamah, permohonan Para Pemohon tidak jelas (kabur).

[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun oleh karena permohonan Para Pemohon tidak jelas (kabur), Mahkamah tidak mempertimbangkan Kedudukan Hukum Para Pemohon dan permohonan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2020

Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Solo Peduli Pemilu (PWSPP) yang diwakili oleh Johan Syafaat Mahanani dan Almas Tsaqibirru RE A, Tresno Subagyo, Johan Syafaat Mahanani, dan Almas Tsaqibirru RE A yang memberikan Kuasa kepada Dr. Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada

Alinea ke 4, Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 3 Agustus 2020, yang diajukan oleh Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP) yang diwakili oleh Johan Syafaat Mahanani dan Almas Tsaqibbirru RE, A, dan perseorangan atas nama Tresno Subagyo, Johan Syafaat Mahanani, Almas Tsaqibbirru RE, A, yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 30 Juli 2020 memberi kuasa kepada Arif Sahudi, S.H.,M.H., Sigit N. Sudibyanto, S.H.,M.H., Utomo Kurniawan, S.H., Dwi Nurdiansyah Santoso, S.H., Georgius Limart Siahaan, S.H., seluruhnya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) yang beralamat di Jalan Solo-Baki Nomor 50, Kwarasan, Grogol, Sukoharjo, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Agustus 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 19 Agustus 2020 dengan Nomor 70/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 70/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 167/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020, bertanggal 19 Agustus 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 169/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020, bertanggal 19 Agustus 2020;

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 8 September 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat pencabutan permohonan dari para Pemohon Nomor 111/PBH-PEKA/IX/2020/Ska, bertanggal 17 September 2020, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 melalui surat elektronik (e-mail) dan surat fisiknya baru diterima pada tanggal 21 September 2020;

e. bahwa pada Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 21 September 2020, Mahkamah mengonfirmasi mengenai surat pencabutan permohonan tersebut kepada para Pemohon dan kuasa para Pemohon membenarkan mengenai pencabutan permohonan tersebut;

f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 22 September 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 70/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2020

Muhammad Anis Zhafran Al Anwary, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012

Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), 28F, dan 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan pendahuluan pada tanggal 15 Juli 2020, dalam persidangan dimaksud Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK, telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK, serta dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/2005), yang pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan diajukan oleh Pemohon dengan memuat uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan, dan alasan permohonan pengujian yang dijelaskan secara jelas dan rinci. Dalam persidangan dimaksud, Majelis Panel juga telah menyampaikan bahwa Pemohon dapat memperbaiki permohonannya dan disampaikan kepada Mahkamah paling lambat pada tanggal 28 Juli 2020, yaitu 14 hari sejak persidangan Pemeriksaan Pendahuluan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK;
2. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Juli 2020, yang kemudian diperiksa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada tanggal 19 Agustus 2020;
3. Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon Mahkamah menilai permohonan Pemohon sebagai berikut:
a. Terdapat ketidaksesuaian antara posita permohonan Pemohon dengan petitum permohonannya. Dalam menguraikan alasan permohonannya Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 telah menyebabkan adanya diskriminasi akademik karena tidak memberikan hak kebebasan mimbar akademik kepada mahasiswa, namun terbatas hanya kepada profesor dan/atau dosen. Sehingga membatasi kebebasan mahasiswa menyampaikan pikiran, pendapat, dan informasi berbasis akademik yang dikuasainya, dan karenanya telah mendiskreditkan kemampuan mahasiswa untuk mempertanggungjawabkan pikiran, pendapat, dan informasi yang berbasis akademik;
Tuntutan Pemohon agar mahasiswa juga mendapatkan hak kebebasan mimbar akademik sebagaimana profesor dan/atau dosen yang diuraikan dalam positanya tersebut tidak bersesuaian dengan petitum Pemohon yang meminta agar mahasiswa dapat menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya, namun tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah. Selengkapnya petitum Pemohon sebagai berikut:
Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 konstitusional bersyarat “sepanjang dimaknai mahasiswa menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya dengan tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah”.

Menurut Mahkamah, petitum Pemohon demikian tidak bersesuaian dengan uraian alasan-alasan permohonan Pemohon (posita). Pemohon dalam positanya menganggap mahasiswa tidak boleh didiskriminasi atau dibedakan dengan profesor dan/atau dosen, namun dalam petitum meminta agar mahasiswa dalam membuat pernyataan secara terbuka harus tetap berada di bawah naungan profesor dan/atau dosen. Oleh karena itu, dengan sendirinya Pemohon menyadari bahwa ada ketidaksetaraan antara mahasiswa dengan profesor dan/atau dosen.
Selain itu pemaknaan yang Pemohon mohonkan dalam petitumnya menurut Mahkamah sudah merupakan praktik yang dilakukan selama ini yang sejalan dengan makna Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012. Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau dosen, namun bukan berarti mahasiswa tidak dapat memiliki hak berpendapat dalam sebuah forum mimbar akademik. Hak berpendapat dari mahasiswa dalam sebuah mimbar akademik tetap berada di bawah naungan profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dalam rumpun dan cabang ilmunya. Dengan demikian, pemaknaan yang Pemohon minta dalam petitumnya sesungguhnya sudah merupakan praktik yang lazim terjadi di perguruan tinggi.
Ketidaksesuaian antara posita dan petitum ini menurut Mahkamah telah menimbulkan ketidakjelasan atau kabur, sehingga Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan Pemohon.

b. Pada bagian petitum Pemohon yang telah disebutkan di atas, Pemohon meminta Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mahasiswa menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya dengan tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah. Untuk menilai petitum Pemohon, Mahkamah mendasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf d PMK 6/2005 yang menegaskan bahwa hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf d PMK 6/2005, yaitu:
- mengabulkan permohonan Pemohon;
- menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
- menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun dalam petitum permohonannya, ternyata Pemohon tidak mencantumkan pernyataan bahwa Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 “bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” sebagaimana dikehendaki dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d PMK 6/2005 di atas. Penegasan adanya pertentangan dengan UUD 1945 dan pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ini penting mengingat pengujian norma undang-undang terhadap UUD 1945 dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah untuk dikabulkan apabila dalam permohonannya jelas ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma yang dimohonkan pengujian. Dalam pengujian undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK, adanya pertentangan antara norma undang-undang dengan UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian merupakan alasan utama diajukannya permohonan, yang selanjutnya pertentangan tersebut diuraikan dalam posita permohonan. Namun oleh karena dalam petitum permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formal ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf d PMK 6/2005 sebagai pelaksana UU MK, sehingga menurut Mahkamah petitum permohonan Pemohon a quo tidak jelas atau kabur.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah kabur, karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 78/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2020

PT. Nadira Intermedia Nusantara yang diwakili oleh Jemy Penton (Direktur Utama) dan Rahadi P. Asyad (Direktur), dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Muhammad Zen Al Faqih, S.H., S.S., M.Si, dkk, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 32 ayat (1) UU ITE dan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 32 ayat (1) UU ITE dan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.16] Menimbang bahwa sebelum menjawab masalah pokok tersebut, berkaitan dengan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 angka 9 UU 32/2002, “Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang undangan yang berlaku”. Khusus LPB, Pasal 25 ayat (1) UU 32/2002 pada intinya
menyatakan LPB hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan terlebih dulu wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan. Selain itu, dalam menyelenggarakan siaran, sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002, lembaga penyiaran berlangganan diharuskan menyediakan paling sedikit sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS.
Bahwa keharusan menyediakan paling sedikit sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS merupakan keharusan menyediakan ruang siar. Keharusan dimaksud tidak mencakup makna bahwa program dari LPP dan LPS dapat disiarkan oleh LPB sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, keharusan menyediakan ruang siar dalam kanal saluran yang dimiliki LPB merupakan suatu hal yang terpisah dengan hak untuk menyiarkan siaran lembaga penyiaran lainnya.
Bahwa sebagai dua hal yang terpisah, maka izin penyelenggaraan penyiaran yang telah diperoleh tidak serta merta juga memberi hak kepada LPB untuk menyiarkan program dari LPP dan LPS lainnya tanpa terlebih dahulu memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Ihwal ini, izin penyiaran merupakan hak yang diberikan kepada lembaga penyiaran, baik LPP, LPS, Lembaga Penyiaran Komunitas, maupun LPB sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU 32/2002, untuk menyelenggarakan siaran, hak tersebut tidak termasuk atau tidak mencakup hak untuk menyiarkan program siaran milik pihak lain tanpa memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa relasi antara norma terkait izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada LPB dengan norma yang mengatur kewajiban LPB menyiarkan siaran milik lembaga penyiaran lainnya juga dapat dijelaskan dari aspek subjek yang memikul hak dan kewajiban dalam pelaksanaan norma hukum dimaksud. Secara teoritik dipahami bahwa norma-norma yang menetapkan kewajiban dan hak antar perorangan dikenal sebagai hukum privat, sedangkan norma yang menetapkan hak dan kewajiban negara di satu pihak dengan perorangan atau badan hukum privat di pihak lain disebut sebagai hukum publik. Secara doktriner dipahami, hukum yang mengatur kepentingan perseorangan dan kepentingan negara yang dalam kedudukannya bukan sebagai penguasa, adalah hukum privat. Sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur/melindungi kepentingan-kepentingan negara sebagai penguasa. Dalam pengertian tersebut, hukum publik mengatur kepentingan umum atau publik, sedangkan hukum privat mengatur kepentingan khusus atau privat. Sekalipun demikian, sangat mungkin dan bisa saja hukum publik maupun hukum privat berkelindan mengatur suatu kepentingan umum.
Bahwa dengan konstruksi pemahaman yang demikian, pengaturan terkait izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan oleh negara kepada LPB merupakan hubungan hukum antara negara dengan perseorangan atau badan hukum privat. Pada ranah ini, penerima izin penyelenggaraan penyiaran memikul hak dan kewajiban dalam hubungan dengan negara. Pemberian izin dimaksud memiliki konsekuensi, salah satunya, keharusan bagi penerima izin untuk menyediakan paling sedikit sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS. Artinya, penyediaan sepuluh per seratus kapasitas kanal saluran merupakan kewajiban yang muncul dalam relasi hukum antara penerima izin dengan negara sebagai pemberi izin yang berada dalam lapangan hukum publik.
Bahwa adapun siaran milik LPP atau LPS yang mesti disalurkan oleh LPB dalam kanal saluran yang ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002 memunculkan hubungan hukum antara LPB dengan LPP atau
LPS sebagai pemilik hak siar. Hubungan tersebut berupa hubungan hukum antar orang-perorangan atau antar badan hukum privat, sehingga hal tersebut masuk dalam ranah hukum privat. Sebagai ranah hukum privat, hubungan hukum dimaksud menimbulkan hak dan kewajiban antara dua orang atau badan hukum privat yang berbeda. Bagi LPB, menyalurkan program dari LPP atau LPS dalam rangka memenuhi kewajibannya kepada negara sesuai Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002. Pada saat yang sama, LPB memikul kewajiban untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan dari pihak pemilik hak siar ketika hendak menyalurkan program siaran dari LPP atau LPS. Sehubungan dengan itu, LPP atau LPS berhak untuk memberikan izin atas hak siar yang dimilikinya. Tanpa izin, LPB dapat dikualifikasi telah melanggar kewajiban hukumnya dalam hubungan dengan pemegang hak siar.
Kedua, bahwa dalam Pasal 25 ayat (1) UU 28/2014 diatur salah satu jenis hak terkait Hak Cipta, yaitu hak ekonomi lembaga penyiaran. Kemudian, berdasarkan norma dalam Pasal 25 ayat (2) UU 28/2014, hak ekonomi lembaga meliputi hak melaksanakan sendiri, memberi izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan, yaitu: (i) penyiaran ulang siaran, (ii) komunikasi siaran, (iii) fiksasi siaran; dan/atau (iv) penggandaan fiksasi siaran. Esensi pengaturan hak tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap produk lembaga penyiaran, khususnya yang berkaitan dengan hak ekonomi. Oleh karenanya, setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten lembaga penyiaran.
Bahwa terkait hal tersebut, siaran yang diproduksi dan/atau dimiliki oleh sebuah lembaga penyiaran tidak boleh disiarkan oleh pihak lain jika tidak atau belum mendapatkan izin dari pemegang hak siaran a quo. Pihak-pihak lain yang hendak melakukan siaran ulang baik dalam bentuk melakukan proses komputerisasi dengan menggandakan siaran maupun dalam bentuk meneruskan siaran (rebroadcasting) haruslah atas seizin pemilik hak siar. Konsep jaminan hak yang diatur dalam UU 28/2014 harus dipahami dalam kerangka bahwa negara memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak ekonomi lembaga penyiaran sebagai bagian dari hak yang terkait dengan hak cipta. Hal mana, perlindungan dimaksud diwujudkan dalam bentuk bahwa siaran yang dimiliki haknya oleh sebuah lembaga penyiaran tidak serta merta dapat disiarkan lembaga lainnya tanpa seizin lembaga penyiaran pemegang hak siar.
Ketiga, bahwa dalam Bab VII Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 UU 11/2008 mengatur perihal “Perbuatan Yang Dilarang”. Khusus norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 mengatur perihal larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik tanpa hak.
Bahwa berdasarkan rumusan dan substansi yang diatur, norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 secara jelas ditujukan untuk melarang suatu perbuatan tertentu yang berdampak pelanggaran terhadap hak orang lain. Norma a quo tidak lain dimaksudkan agar negara memberikan perlindungan terhadap hak seseorang atas informasi atau dokumen elektronik yang dimilikinya. Hal mana, terhadap informasi atau dokumen dimaksud tidak boleh ditransmisikan oleh pihak lain secara tanpa hak atau tanpa seizin pemilik informasi atau dokumen elektronik dimaksud.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon ihwal norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 dan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap Pemohon karena di satu sisi Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun, antara lain, melakukan transmisi. Sementara itu, di sisi lain, sebagai LPB, Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002 memberikan kewajiban untuk menyediakan paling sedikit sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS. Ketidakpastian hukum tersebut terjadi karena norma Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 melarang pihak lain untuk melakukan penyiaran ulang siaran. Dalam hal ini, setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran lembaga penyiaran. Menurut Pemohon, larangan demikian juga berlaku bagi LPB yang telah memperoleh IPP. Adapun ketidakpastian dalam arti ketidakharmonisan norma yang didalilkan oleh Pemohon adalah terkait dengan Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008.
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menilai terdapat ketidakjelasan dan/atau ketidaklengkapan rumusan norma Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014, mestinya dipahami bahwa suatu rumusan norma dalam satu pasal harus dibaca sebagai satu kesatuan maksud, berikut dengan semangat yang terdapat di balik norma dimaksud. Artinya, rumusan norma mesti dibaca secara utuh sehingga maksudnya dapat dipahami secara komprehensif. Dalam hal ini, siaran ulang sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 tidak hanya dipahami sebatas kegiatan menggandakan dan menyiarkan kembali suatu siaran yang telah disiarkan, melainkan mencakup pula kegiatan merelai siaran atau menayangkan secara bersamaan sebuah siaran yang diproduksi atau dimiliki lembaga penyiaran lain. Tindakan merelai siaran sebagai bagian dari penyiaran ulang (rebroadcasting) merupakan definisi yang digunakan secara internasional, in casu Pasal 3 huruf g International Convention For The Protection Of Performers, Producer of Phonograms, and Broadcasting Organization, merupakan Lampiran TRIPs Agreement, yang menyatakan bahwa rebroadcasting means simultaneous broadcast by one broadcasting organization of the broadcast of another broadcasting organization”.
Bahwa lebih jauh, tujuan dibentuknya undang-undang a quo untuk memberikan perlindungan terhadap hak ekonomi lembaga penyiaran sebagaimana dimaksudkan Pasal 25 ayat (1) UU 28/2014. Apabila negara tidak memberikan perlindungan terhadap hak ekonomi, dalam batas penalaran yang wajar, hal demikian justru akan menimbulkan implikasi berupa ketidakpastian hukum dalam kerangka perlindungan hak cipta dan hak yang terkait hak cipta yang dimiliki lembaga penyiaran. Sebab hak ekonomi melekat pada hak cipta. Artinya, hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran yang dimiliki tidak akan terlindungi jika lembaga penyiaran lainnya dengan alasan telah memiliki IPP secara tanpa izin dapat menyiarkan kembali siaran yang dimilikinya. Dalam konteks itu, meskipun setiap orang berhak, antara lain, menyampaikan informasi yang dalam konteks norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 adalah mentransmisikan, orang tersebut harus memahami bahwa informasi yang hendak ditransmisikan kepada masyarakat luas adalah hak milik atau hak cipta orang lain, maka orang tersebut wajib menghargai hak milik atau hak cipta orang lain itu. Dalam hal ini, adanya hak untuk mentransmisikan merupakan parameter objektif dalam menentukan sejauh mana orang lain dapat melakukan transmisi informasi dan/atau dokumen elektronik.
Bahwa pertanyaan selanjutnya, apakah dengan dasar IPP yang diberikan oleh Negara kepada LPB kemudian serta merta dapat menyiarkan hak siar/hak cipta dari LPP atau LPS dengan dasar untuk memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002 menyediakan paling sedikit sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS dapat dilakukan tanpa memerlukan izin lembaga penyiaran tersebut. Ihwal ini, UU 32/2002 memang mengatur tentang penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, akan tetapi aturan tersebut tidak secara serta merta diartikan bahwa LPB secara bebas menyiarkan program dari LPP dan LPS karena dalam UU 32/2002 juga ditentukan mengenai hak siar (vide Pasal 43 UU 32/2002), yaitu hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya (vide Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 32/2002). Bahkan ketentuan terkait dengan keharusan hak siar tersebut dinyatakan dengan tegas dalam IPP masing-masing LPB. Sehubungan dengan penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, UU 32/2002 sudah memberikan solusi, sebagaimana dimaktubkan ketentuan Pasal 41 UU 32/2002 yang menyatakan, “Antar-lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini”. Frasa “bekerja sama” dalam Pasal 41 UU 32/2002 bermakna adanya perjanjian untuk bekerja sama antara LPP dan LPS dengan LPB. Sehingga dalam batas penalaran yang wajar, menurut Mahkamah, UU 32/2002 telah memberi rambu yang jelas mengenai hal yang harus dilakukan oleh lembaga penyiaran, khususnya kewajiban bagi LPB dalam memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002 untuk menyiarkan paling sedikit sepuluh per seratus program LPP dan LPS.
Di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 1 angka 1 UU 28/2014). Oleh karena itu, sifat hak eksklusif terhadap pemegang hak cipta tersebut memberikan kebebasan di dalam melaksanakan haknya tersebut. Sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan/menggunakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta yang bersangkutan. Dengan kata lain, siapapun tanpa kecuali dilarang menggunakan hak cipta orang lain tanpa persetujuan pemilik atau pemegang hak cipta dimaksud. Dengan alasan tersebut semakin jelas bahwa norma Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 melarang penyiaran ulang siaran sepanjang materinya mengandung hak cipta orang lain, harus seizin pemegang “hak cipta” yang bersangkutan.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon sepanjang bahwa norma Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum sepanjang tidak dimaknai “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a penyiaran ulang siaran; tidak termasuk LPB yang merelai siaran LPP dan LPS sesuai izin dari Negara” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa selanjutnya perihal dalil Pemohon yang menilai terdapat ketidakpastian hukum dalam makna ketidakharmonisan norma Pasal 32 ayat (1)
UU 11/2008 dalam kaitannya dengan keharusan LPB untuk menyediakan sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002, harus dipahami bahwa setiap norma undang-undang haruslah ditempatkan secara proporsional dan sesuai dengan maksud masing-masing norma yang bersangkutan.
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, keharusan LPB memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002 adalah berkenaan dengan penyediaan kapasitas kanal dan bukanlah keharusan untuk merelai program siaran dari lembaga penyiaran lainnya. Keharusan menyediakan kapasitas kanal merupakan kewajiban menyediakan ruang siaran sebagai LPB, sedangkan pengisian program siaran berkenaan dengan isi saluran. Ketika LPB telah memenuhi keharusan menyediakan kapasitas kanal saluran minimal sepuluh per seratus untuk menyalurkan program LPP dan LPS, maka pada saat itu LPB dimaksud telah menunaikan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002. Pada saat LPB tersebut hendak mengisi saluran dimaksud dengan program siaran milik LPP atau LPS, maka LPB terikat pada ketentuan jaminan hak siaran yang dimiliki LPP dan LPS sebagaimana dimuat dalam UU 28/2014. Dalam hal hak tersebut dilanggar, tindakan tersebut tunduk pada larangan dan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008.
Bahwa dari aspek rumusan norma, Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 juga telah dirumuskan secara jelas, hal mana perbuatan yang dilarang adalah melakukan transmisi informasi/dokumen elektronik milik orang lain secara tanpa hak. Dalam kaitannya dengan UU 32/2002 dan UU 28/2014, mentransmisikan siaran milik orang lain dilarang sepanjang dilakukan secara tanpa hak. Jika dilakukan dengan seizin yang berhak, dalam arti dilakukan selain pemilik hak siar, perbuatan dimaksud tidak dapat dikenai ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008. Dalam konteks ini, norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 hanya ditujukan untuk tindakan yang dilakukan tanpa hak, sehingga norma ini sama sekali tidak menyebabkan penyaluran program siaran milik LPP dan LPS oleh LPB tidak diancam pidana sepanjang dilakukan dengan cara menghormati hak ekonomi lembaga penyiaran yang dilindungi oleh UU 28/2014.
Bahwa lebih lanjut apabila dicermati permohonan Pemohon berkaitan dengan norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008, termaktub rumusan yang berisikan unsur-unsur delik pidana. Terhadap hal demikian, Mahkamah dalam beberapa putusan sebelumnya telah berpendirian bahwa terkait rumusan norma yang berisi unsur-unsur delik menjadi kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy) yang merupakan bagian dari politik hukum pidana.
Bahwa berdasarkan konstruksi hukum sebagaimana dijelaskan di atas, Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 sama sekali tidak dapat dikualifikasi telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Justru sebaliknya, norma a quo menjadi norma dalam rangka memberi jaminan terhadap perlindungan hak siar sebagai hak ekonomi lembaga penyiaran yang berada dalam ranah hukum privat dari tindakan atau upaya mentransmisikannya secara tanpa hak. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, hukum privat mengatur kepentingan khusus termasuk mengatur hak ekonomi lembaga penyiaran. Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 telah menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan menurut hukum.
Kedua, bahwa terkait dalil pemohon ihwal Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 dan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 telah menyebabkan terlanggarnya hak Pemohon untuk menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Sebagai hukum dasar, Pasal 28F UUD 1945 memberikan jaminan dan perlindungan terhadap setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia. Meskipun demikian, jaminan hak atas informasi tersebut tidak dimaksudkan setiap orang juga bebas menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi yang merupakan milik pihak lain. Dalam arti, hak untuk menyampaikan informasi tetap tunduk pada pembatasan sebagai penghormatan dan perlindungan terhadap hak seseorang untuk memiliki, menguasai informasi tertentu yang merupakan hak ciptanya. Secara konstitusional, pembatasan yang demikian juga merupakan bentuk perlindungan yang dijamin UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Bahwa dengan menggunakan pertimbangan di atas, keberadaan Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 dan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 sama sekali tidak menutup hak seseorang untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Norma a quo justru mengatur bagaimana hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hukum, di mana informasi tertentu yang merupakan milik publik atau milik swasta tetap dapat disampaikan oleh pihak lain sepanjang mendapatkan izin pihak pemegang hak dimaksud. Dengan demikian, norma UU a quo hanya mengatur hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka melindungi pihak lain yang memiliki hak hukum menguasai informasi tertentu sebagai hak ciptanya. Oleh karena itu, Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 sebab hak memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dapat dilakukan oleh LPB setelah mendapat izin dari pemilik hak siar. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik kecuali LPB yang menyediakan dan menyalurkan siaran LPP dan LPS sesuai izin dari Negara” bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora, Sujad, Dr. Umar Ma’ruf, S.H., CN., M.Hum, Jalal Umaruddin, H. Susanto Rahardjo, Febrian Candra Widya Atmaja dan Exi Agus Wijaya yang memberikan kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H. dkk, para Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Advokat “Kartika Law Firm”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004

Pembukaan UUD NRI Alinea ke-4 dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Kabupaten/Kota adalah termasuk dalam Wilayah Kerja (WK) penghasil yang mempunyai cadangan sumber daya alam tersebut” karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 19 ayat (2) huruf b dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon, sebagai berikut:

[3.3.1] Menimbang bahwa Pemohon I dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan yang menjadi pengurus badan hukum berupa lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang memprakarsai, memfasilitasi, dan mengembangkan terwujudnya pembagian dana bagi hasil migas Blok Cepu bagi daerah Kabupaten Blora dan mendorong tumbuhnya perhatian, partisipasi, dan komitmen masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program-program pemerintah di perkumpulan guna meningkatkan martabat bangsa dan negara melalui pembagian dana bagi hasil migas yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Akta Notaris Nomor 48, Akta Pendirian Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora yang telah terdaftar di kantor Notaris Elizabeth Estiningsih, S.H., bertanggal 08 Agustus 2019 [vide Lampiran 1 permohonan para Pemohon];

[3.3.2] Menimbang bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, dan Pemohon VII, dalam permohonan a quo menerangkan kualifikasinya sebagai warga negara Indonesia, beranggapan hak konstitusional para Pemohon dengan tidak didapatkannya Dana Bagi Hasil dari Blok Cepu untuk Kabupaten Blora yang masuk dalam Wilayah Kerja, sedangkan Kabupaten Banyuwangi [Sic!] yang bukan masuk dalam Wilayah Kerja justru mendapatkan bagian dari Dana Bagi Hasil Blok Cepu dengan perbandingan antara Blora dengan Bojonegoro sangat berbeda jauh, karena Dana Bagi Hasil yang diperoleh Bojonegoro dari Blok Cepu sangat besar dari tahun 2016 serta selalu mengalami peningkatan hingga di tahun 2019, Dana Bagi Hasil yang diperoleh Bojonegoro sebesar 2,7 Triliun yang berkontribusi sangat besar untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan Dana Bagi Hasil khusus dari Blok Cepu yang diperoleh Kabupaten Blora adalah 0 (nol) rupiah, oleh karenanya secara potensial dirugikan dengan berlakunya norma pasal-pasal yang diajukan pengujian [vide permohonan para Pemohon halaman 10];

[3.3.3] Menimbang bahwa berkaitan dengan permohonan para Pemohon Mahkamah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 11 Agustus 2020, berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim karena kewajibannya telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan para Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/PMK/2005);

[3.3.4] Menimbang bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 24 Agustus 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020. Dalam perbaikan permohonannya, para Pemohon telah menguraikan sistematika: Judul, Identitas Para Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Para Pemohon, Norma-norma yang Diajukan Untuk Diuji, Alasan Permohonan, dan Petitum;


[3.3.5] Menimbang bahwa para Pemohon prinsipal dalam Surat Kuasa Khusus memberi kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H., Sigit Nugroho Sudibyanto, S.H., M.H., Georgius Limart Siahaan, S.H., Mohammad Arnaz, S.H., Utomo Kurniawan, S.H., dan Dwi Nurdiansyah Santoso, S.H., akan tetapi atas nama kuasa Mohammad Arnaz, S.H. dalam permohonan awal maupun pemohonan perbaikan tidak pernah turut menandatangani permohonan dimaksud, sehingga Mahkamah mengesampingkan kuasa hukum atas nama Mohammad Arnaz, S.H. dalam permohonan a quo;

Bahwa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, berkaitan dengan kedudukan hukum, para Pemohon menyatakan bahwa atas nama Georgius Limart Siahaan, S.H. dalam hal ini bertindak sebagai kuasa hukum dianggap tidak sebagai kuasa lagi karena tidak menandatangani surat perbaikan permohonan dan untuk Pemohon VIII dan Pemohon IX dianggap tidak sebagai Pemohon lagi karena menarik diri sebagai Pemohon [vide Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Nomor 63/PUU-XVIII/2020, bertanggal 3 September 2020];

[3.3.6] Menimbang bahwa sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 3 September 2020, para Pemohon juga meminta kepada Panel Hakim untuk melaksanakan sidang perbaikan permohonan kedua dengan alasan sebagian Pemohon belum menjelaskan kerugian konstitusional untuk mengajukan permohonan. Namun, Panel Hakim menyatakan bahwa dalam hukum acara Mahkamah tidak dikenal sidang perbaikan kedua kecuali Mahkamah memandang perlu untuk melaksanakan sidang pemeriksaan perbaikan tambahan untuk meminta klarifikasi terhadap hal-hal tertentu yang bersifat khusus dan dianggap perlu [vide Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Nomor 63/PUU-XVIII/2020, bertanggal 3 September 2020];

[3.3.7] Menimbang bahwa meskipun format perbaikan permohonan para Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.4], Paragraf [3.3.5], dan Paragraf [3.3.6] pada dasarnya telah memuat format suatu permohonan pengujian undangundang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan para Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, bahwa pokok permohonan a quo adalah mengenai norma dalam UU 33/2004 yang mengatur persentase pembagian Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak dan Gas Bumi kepada kabupaten/kota penghasil. Menurut para Pemohon, aturan ini menyebabkan kerugian hak konstitusional berupa hak untuk mendapatkan manfaat dari penggunaan kekayaan alam yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan tidak mencerminkan adanya kesatuan ekonomi nasional dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Blora yang tidak mendapatkan Dana Bagi Hasil secara maksimal dari Blok Cepu, yang berpengaruh terhadap anggaran pendidikan, kebutuhan akan listrik, dan pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana yang lambat dan terbatas bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Blora.

Terhadap uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum para Pemohon, menurut Mahkamah, norma Pasal 19 ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b, dan Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 33/2004 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon adalah norma yang mengatur mengenai hak daerah, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan norma a quo bahwa “Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dibagi dengan rincian: a… b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil…” dan Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f angka 2 dibagi dengan rincian: a… b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil…”. Daerah yang dimaksud dalam ketentuan ini dapat berarti daerah kabupaten/kota. Oleh karena hal ini merupakan hak daerah, lebih khusus lagi adalah hak pemerintah kabupaten/kota, maka yang seharusnya dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma a quo adalah pemerintah kabupaten/kota, bukan perorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama).

Berdasarkan uraian di atas, oleh karena substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, apabila berkenaan dengan hak tersebut terdapat norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan hak pemerintah daerah telah diputuskan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, bertanggal 21 Februari 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, bertanggal 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XIII/2015, bertanggal 11 Januari 2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUUXVI/2018, bertanggal 24 Januari 2019. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUUXIII/2015, hlm. 59].

Sementara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUUXVI/2018, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Walaupun permohonan pengujian dalam putusan-putusan Mahkamah di atas bukan terkait dengan norma dalam UU 33/2004 tetapi terkait dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (in casu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut UU 23/2014) namun secara substansi adalah menyangkut hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah, sehingga terlepas dari soal apakah yang dipersoalkan itu adalah UU 23/2014 ataupun UU 33/2004 sepanjang menyangkut hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah maka yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian adalah pemerintahan daerah. Urusan-urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah baik berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, atau tugas pembantuan tidak akan dpat dilaksanakan tanpa diikuti dengan pembagian keuangan pusat dan daerah. Hal ini pun dapat dipahami dari Konsiderans “Menimbang” huruf c UU 33/2004 yang menyatakan “untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Perbantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUU-XVI/2018, hlm. 46-47].
Dengan demikian, oleh karena substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan pembagian dana bagi hasil di mana persoalan dana bagi hasil tersebut merupakan hak daerah sehingga merupakan bagian dari persoalan hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah. Oleh karena itu, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Pemerintah Daerah, bukan orang perorangan, kelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat [vide Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.4] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Drs. Channy Oberlin Aritonang, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 14, Pasal 184 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

UUD NRI Tahun 1945 tanpa menyebutkan yang dijadikan batu uji.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon antara lain permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 1 angka 14 dan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209, selanjutnya disebut KUHAP) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai permohonan Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 22 Juli 2020. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/PMK/2005). Dalam sidang tersebut, Panel Hakim telah menyatakan bahwa Pemohon dapat menyampaikan perbaikan permohonan ke Mahkamah selambat-lambatnya pada tanggal 4 Agustus 2020, yaitu 14 (empat belas) hari sejak sidang pemeriksaan pendahuluan sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK.
2. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Agustus 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 24 Agustus 2020. Perbaikan permohonan Pemohon tersebut memuat sistematika: Identitas Pemohon, Pokok Perkara, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum.
3. Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada angka 2 di atas pada dasarnya telah memenuhi format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama telah ternyata uraian masing-masing bagian sistematika tersebut tidak memenuhi syarat formal permohonan, sebagai berikut:
a. pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang telah melaporkan penipuan makelar/calo penerimaan pegawai namun dihentikan penyidikannya. Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang tidak ada relevansinya dengan norma yang diajukan, yakni keterangan saksi-saksi Pemohon terkait dengan penipuan yang diduga dialami Pemohon;
b. pada bagian alasan permohonan, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Bahkan dalam permohonannya Pemohon tidak menyebutkan dasar pengujian yang digunakan. Permohonan Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang dialami Pemohon tanpa adanya argumentasi konstitusional mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian;
c. pada bagian petitum permohonan, Pemohon hanya meminta agar permohonan Pemohon uji materi diterima tanpa menyebutkan agar pasal atau norma yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam petitum lainnya Pemohon justru meminta agar mencabut penghentian penyidikan dan mengabulkan praperadilan yang jelas-jelas tidak berhubungan dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah tidak dapat mempertimbangkan petitum a quo.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah kabur karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK.

[3.4] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Dr. Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. yang diwakili oleh kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk., Advokat yang tergabung pada Y&V LAW OFFICE, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

dan ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak

Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal kedudukan hukum Pemohon. Namun, sebelumnya Mahkamah akan menguraikan hal-hal yang menjadi alasan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, sebagai berikut:

1. …
6. ….
Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 6 di atas, Mahkamah mempertimbangkan perihal kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon menjelaskan sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia yang bertugas di Kamar Tata Usaha Negara sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung (Bukti P.9), yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung dalam pencatatan jalannya persidangan, melakukan pencatatan berkas perkara yang diterima dari Panitera Muda Tim, mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan, menyampaikan putusan yang telah selesai diketik untuk diteliti dan diperiksa atau dikoreksi oleh Hakim Agung pembaca pertama, dan melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim. Lebih lanjut, menurut Pemohon, dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan Pengadilan Pajak, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada Kementerian Keuangan, hal ini mengakibatkan tidak terbangunnya sistem pembinaan dan koordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Selain itu, menurut Pemohon, hal tersebut menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung dan tentunya kondisi tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara yang mengerjakan konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan serta melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim;

b. Bahwa terhadap penjelasan Pemohon sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, penting bagi Mahkamah untuk menilai apakah Pemohon memenuhi unsur/syarat sebagai subjek hukum yang dapat dikualifikasikan sebagai Pemohon yang dirugikan hak konstitusionalnya;

c. Bahwa penegasan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut diperlukan, oleh karena sebagai Pemohon di samping memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, juga harus memenuhi syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007. Oleh karena itu dalam Perkara a quo Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perihal kualifikasi subjek hukum Pemohon dan anggapan kerugian konstitusional yang dijelaskan Pemohon;

d. Bahwa berkaitan dengan status Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, menurut Mahkamah status Pemohon tersebut tidak berkaitan langsung dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Pemohon sebagai Hakim Yustisial maupun Panitera Pengganti di Mahkamah Agung. Sebab Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, baik yang bersifat aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon. Terlebih apabila anggapan kerugian konstitusional tersebut dikaitkan dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian.

e. Bahwa benar Pemohon adalah Hakim yustisial dan Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, namun saat ini Pemohon bukanlah subjek hukum yang secara langsung terhambat dalam melaksanakan fungsinya yang membutuhkan kemandirian hakim, khususnya mengaktualisasikan independensinya dalam mengambil putusan terhadap perkara-perkara perpajakan, sehingga memengaruhi dan bahkan dapat menciderai rasa keadilan yang diakibatkan belum adanya sistem satu atap terhadap Pengadilan Pajak (one roof system). Di samping itu Pemohon adalah juga bukan subjek hukum yang secara langsung terkena dampak adanya sistem pembinaan Pengadilan Pajak di bawah Kementerian Keuangan yang dapat berpengaruh terhadap independensi pengadilan pajak di dalam melaksanakan fungsi yudisialnya. Oleh karena itu dengan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah tetap tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon tersebut yang bersifat spesifik, baik aktual maupun potensial yang dapat terjadi pada diri Pemohon dan hal tersebut berkorelasi dengan berlakunya norma dari pasalpasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.

f. Bahwa terhadap penjelasan Pemohon pernah memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 28/PUU-IX/2011 perihal pengujian Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 37/PUU-X/2012 perihal Pengujian Pasal 25 ayat (6) UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Mahkamah berpendapat, bahwa terhadap pemohon yang pernah memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian undangundang di Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta dapat memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian dalam perkara lain. Sebab, kedudukan hukum yang dimiliki pemohon tergantung terpenuhi atau tidaknya kualifikasi subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan juga harus terpenuhinya syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, di mana kedua syarat tersebut harus dipenuhi karena bersifat kumulatif.

g. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maka terhadap anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dipersyaratkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, antara subjek hukum dan syarat-syarat kerugian konstitusional merupakan persyaratan yang bersifat kumulatif yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam Permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) yang diwakili oleh Kurniawan Adi Nugroho, S.H., dkk, para advokat/konsultan hukum Boyamin Saiman Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Para Pemohon.

Para Pemohon dalam permohonannya mengujikan UU Covid-19 secara Formil dan ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU Covid-19

Pasal 1 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 2/2020 secara Formil dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 secara materiil dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 18 Mei 2020, yang diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI); Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997; Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI); Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI); Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA), yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 18 Mei 2020 memberi kuasa kepada Kurniawan Adi Nugroho, S.H., Rudy Marjono, S.H., Rizky Dwi Cahyo Putra, S.H., Lefrand Othniel Kindangen, S.H., Syarif Jafar Shadeek, S.H., Muzakki Dwi Ibnu, S.H., Agus Slamet, S.H., Munasir, S.H., Slamet Riyadi, S.H., Sumarno, S.H., seluruhnya adalah para advokat dan advokat magang/konsultan hukum, yang berdomisili di Kantor Advokat Boyamin Saiman Law Firm, yang beralamat di Jalan Budi Swadaya Nomor 43, RT. 015/RW. 04, Kemanggisan, Jakarta Barat, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Mei 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 9 Juni 2020 dengan Nomor 38/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang dan Pengujian Materiil terhadap Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 38/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 98/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 38/PUU-XVIII/2020, bertanggal 9 Juni 2020;
2) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 131/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 38/PUU-XVIII/2020, bertanggal 8 Juli 2020;
3)Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 103/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 38/PUU-XVIII/2020, bertanggal 9 Juni 2020;

c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada tanggal 18 Juni 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 8 Juli 2020;

e. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 27 Agustus 2020 dengan agenda untuk mengonfirmasi perihal kebenaran dokumen, dan ternyata para Pemohon membenarkan pencermatan Hakim Panel berkenaan dengan adanya dugaan perbedaan tanda tangan penerima kuasa yang ada pada surat kuasa dengan tanda tangan pada permohonan sehingga kuasa para Pemohon dalam persidangan dimaksud menyatakan mencabut permohonan a quo [vide Risalah Sidang tanggal 27 Agustus 2020];

f. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

g. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 31 Agustus 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 38/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Alamsyah Panggabean, yang selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 15 UU HAM

Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 UU HAM dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886, selanjutnya disebut UU HAM) terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Setelah mencermati dokumen permohonan awal dan permohonan perbaikan, serta mendengar keterangan Pemohon dalam dua sidang pendahuluan, Mahkamah memperoleh keterangan bahwa Pemohon mengajukan pengujian Pasal 15 UU 39/1999. Namun demikian, hal yang dipermasalahkan Pemohon dalam bagian awal alasan-alasan permohonan (posita) adalah mengenai pembentukan Kabupaten Padang Lawas yang dilandaskan pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Di Provinsi Sumatera Utara (UU 38/2007).
Secara lebih spesifik Pemohon mempermasalahkan pengisian anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas yang dilakukan melalui penetapan karena merupakan pengisian pertama. Terkait hal tersebut Pemohon tidak menjelaskan bagian mana dari mekanisme pengisian keanggotaan DPRD Kabupaten Padang Lawas yang merugikan hak konstitusionalitas Pemohon. Di sisi lain, pada permohonan yang sama, Pemohon mengajukan permohonan ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia “supaya diberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, agar ditetapkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas” (vide permohonan hlm. 19).
Selanjutnya Pemohon menghubungkan ketentuan mengenai pengisian keanggotaan DPRD Kabupaten Padang Lawas yang diatur dalam UU 38/2007 tersebut dengan UU 39/1999 terutama frasa “secara pribadi” dalam Pasal 15 UU 39/1999. Pemohon berpendapat frasa “secara pribadi” dalam Pasal 15 UU 39/1999 bertentangan dengan frasa “secara kolektif” dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Menurut Pemohon frasa “secara pribadi” dalam Pasal 15 UU 39/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “secara kolektif”, namun Pemohon tidak memberikan argumentasi lebih lanjut di mana letak pertentangan antara frasa “secara pribadi” a quo dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Hal demikian menurut Mahkamah tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang.
Ketiadaan argumentasi yang memadai dari Pemohon mengenai inkonstitusionalitas frasa “secara pribadi” dalam Pasal 15 UU 39/1999, serta tidak dijelaskannya pula hubungan antara frasa tersebut dengan uraian Pemohon mengenai UU 38/2007, menurut Mahkamah mengakibatkan permohonan Pemohon tidak dapat dipahami. Oleh karenanya, berdasarkan hal demikian Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kabur;
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut pada Paragraf [3.2] dan Paragraf [3.3], dalam putusan ini Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Ignatius Supriyadi, S.H., LLM untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4) UU MD3

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4) UU MD3 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 20 Desember 2019 dari Ignatius Supriyadi, SH., LLM., beralamat di Kantor Hukum WNA Supriyadi, Citi Hub, Level 3, Sentra Bisnis Artha Gading D-3 Jalan Boulevard Artha Gading, Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Desember 2019 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 1/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 6 Januari 2020, perihal Permohonan Pengujian Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 1/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 1/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Nomor 1/PUUX-VIII/2020, bertanggal 6 Januari 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 4/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Untuk Memeriksa Perkara Nomor 1/PUU-XVIII/2020 , bertanggal 7 Januari 2020;

c. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 14 Januari 2020 dan sidang untuk memeriksa perbaikan permohonan pada tanggal 13 Februari 2020;

d. Bahwa Pemohon telah menyampaikan surat bertanggal 13 Agustus 2020 yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi perihal penarikan kembali (pencabutan) atas permohonan pengujian Materiil dalam perkara Nomor 1/PUU-XVIII/2020;

e. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengagendakan Sidang Pleno untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah pada tanggal 19 Agustus 2020, namun dalam sidang yang telah diagendakan tersebut oleh karena telah ada penarikan permohonan dari Pemohon sebagaimana dimaksud dalam huruf d sehingga sidang pleno dimaksud hanya untuk mengonfirmasi perihal penarikan permohonan Pemohon. Ternyata, Pemohon membenarkan penarikan tersebut;

f. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali;

g. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 19 Agustus 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 1/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Prof. Dr. H.R. Abdussalam dan Samsudin, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Andi Lala, S.H., dkk Advokat, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 109 ayat (2) UU 8/1981

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 109 ayat (2) UU 8/1981 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] …
Bahwa sebelum Mahkamah memberikan penilaian kedudukan hukum kedua Pemohon tersebut di atas, Mahkamah perlu terlebih dahulu memberikan penilaian mengenai kedudukan hukum Pemohon II terkait dengan tidak memenuhi syarat sahnya surat kuasa, karena setelah dicermati surat kuasa yang diajukan Pemohon II adalah surat kuasa yang diberikan bukan untuk beracara di Mahkamah Konstitusi [vide Surat Kuasa Pemohon II NO.SK.024/A-PH/ANP/2019 bertanggal 21 November 2019]. Di samping itu, Pemohon II juga tidak hadir langsung di dalam persidangan Mahkamah. Meskipun pada akhirnya Pemohon II menyusulkan surat kuasa baru untuk beracara di Mahkamah Konstitusi [vide Surat Kuasa Pemohon II NO.SK.027/A-PH/ANP/2020 bertanggal 20 Juli 2020], namun surat kuasa yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 Juli 2020, telah melewati tenggang waktu untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan yang ditentukan paling lambat 14 (empat belas) hari, yaitu pada tanggal 15 Juli 2020, sehingga surat kuasa dimaksud tidak dapat dipertimbangkan.

Bahwa mengenai kedudukan hukum Pemohon I sebagaimana diuraikan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil Pemohon I perihal inkonstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, Pemohon I telah menguraikan secara spesifik hak konstitusionalnya yang oleh Pemohon I dianggap dirugikan karena berlakunya Pasal 109 ayat (2) KUHAP, di mana telah terlihat pula hubungan kausalitas anggapan Pemohon I perihal kerugian hak konstitusional dimaksud dengan norma Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang dimohonkan pengujian, sehingga jika permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak lagi terjadi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terhadap Pemohon II tidak dapat diberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Sedangkan Pemohon I (untuk selanjutnya disebut Pemohon), Mahkamah berpendapat, memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.7] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut persoalan konstitusionalitas norma yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai petitum permohonan Pemohon. Pada petitum angka 2, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 109 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pada petitum angka 3, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi Pasal 109 ayat (2) KUHAP diganti menjadi materi “sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik diberi waktu 3 (tiga) bulan menyelesaikan melakukan penyidikan sampai penyusunan berkas perkara hasil penyidikan”. Pemohon dalam petitum angka 3 lebih lanjut meminta materi dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”, menjadi materi yang ditambahkan ayat dalam Pasal 102 KUHAP menjadi ayat (4) dalam Pasal 102 KUHAP, dengan menambah materi, “dan korban/pelapor”. Dengan demikian materi Pasal 102 ayat (4) KUHAP, menyebutkan “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan korban/pelapor”.

Terkait dengan petitum tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati, telah ternyata kedua petitum tersebut bersifat kumulatif dan antara petitum satu dengan petitum lainnya adalah bertentangan/kontradiktif. Di satu sisi meminta Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sementara di sisi lain meminta Pasal a quo diubah/diganti, sehingga keduanya tidak mungkin diajukan dalam satu kesatuan petitum yang bersifat kumulatif, karena hal demikian akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, dalam hal permohonan Pemohon dikabulkan. Dengan petitum yang meminta Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka menimbulkan konsekuensi hukum bahwa Pasal a quo menjadi batal/dihapus, sedangkan dengan petitum yang meminta Pasal a quo diubah/diganti menimbulkan konsekuensi hukum bahwa Pasal a quo masih ada dengan tambahan rumusan sebagaimana diminta oleh Pemohon dan memindahkannya menjadi materi muatan pasal lain [Pasal 102 ayat (4) KUHAP], sedangkan Pasal a quo diganti dengan redaksi baru sebagaimana yang dirumuskan oleh Pemohon. Oleh karena itu, seharusnya salah satu petitumnya menjadi petitum yang bersifat alternatif. Dengan adanya kontradiksi petitum permohonan dimaksud berakibat terjadinya inkonsistensi antara posita yang lebih banyak menguraikan persoalan implementasi norma a quo dengan petitum permohonan tersebut. Dalam batas penalaran yang wajar, permohonan demikian menjadi kabur (obscuur).

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, oleh karena terdapat kontradiksi antar petitum permohonan serta inkonsistensi antara posita dan petitum sehingga permohonan Pemohon tersebut menjadi kabur, dan Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Aristides Verissimo de Sousa Mota, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 7 dan Pasal 11 UU MA

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 dan Pasal 11 UU MA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun demikian sebelum mempertimbangkan lebih lanjut kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai permohonan Pemohon dan hal-hal lain sebagai berikut:

1. Bahwa terkait dengan perkara a quo, Mahkamah telah menyelenggarakan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung dan Pihak Terkait Ikatan Hakim Indonesia, keterangan Pihak Terkait Komisi Yudisial, dan keterangan Pihak Terkait Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut Mahkamah, alasan diselenggarakannya pemeriksaan persidangan tersebut dikarenakan isu permohonan Pemohon diperlukan pendalaman terutama apabila isu dimaksud dijadikan dasar bagi Mahkamah untuk mendapatkan pemahaman mengenai kedudukan dan masa jabatan hakim agung yang berkaitan dengan kedudukan dan masa jabatan hakim konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Oleh karenanya, dengan pertimbangan alasan tersebut di atas, terlepas dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat formal permohonan yang diajukan Pemohon a quo menurut Mahkamah terdapat urgensi untuk mendengarkan keterangan-keterangan para pihak dimaksud melalui pemeriksaan persidangan tersebut;

2. Bahwa terkait dengan permohonan, setelah Mahkamah menyelenggarakan pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud di atas dan kemudian mencermati kembali permohonan Pemohon secara saksama telah ternyata terdapat inkonsistensi dan kontradiksi antara posita permohonan dengan petitum permohonan. Pada posita permohonan, Pemohon menguraikan masa jabatan hakim agung yang menurut Pemohon seharusnya dibatasi lima tahun dan maksimal hakim agung hanya menjabat selama dua periode (sepuluh tahun) [vide permohonan halaman 7]. Akan tetapi, pada petitum permohonan justru meminta ketentuan Pasal 7 dan Pasal 11 UU 3/2009 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga jika petitum yang demikian dikabulkan justru akan menimbulkan kekosongan hukum karena ketiadaan pengaturan mengenai syarat-syarat untuk diangkat menjadi hakim agung dan alasan-alasan pemberhentiannya;

3. Bahwa selain itu, inkonsistensi dan kontradiksi juga terdapat pada bagian kedudukan hukum dan posita permohonan. Pada bagian kedudukan hukum Pemohon menyatakan mempunyai hak untuk mengajukan permohonan a quo [vide permohonan halaman 4], namun pada bagian posita permohonan Pemohon menyatakan tidak mengalami kerugian materiil dengan adanya Pasal 7 dan Pasal 11 UU 3/2009 [vide permohonan halaman 10]. Padahal, kerugian hak konstitusional harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi;

4. Bahwa terkait dengan permohonan agar diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono), menurut Mahkamah hal demikian tidaklah tepat untuk dikabulkan karena akan melebihi dari hal-hal yang tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitumnya. Terlebih lagi permohonan agar diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) hanya diberikan terhadap permohonan yang dapat dipahami dan beralasan menurut hukum; Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah kabur.

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Deddy Rizaldy Arwin Gommo, dkk yang berjumlah 7 Pemohon, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 31 ayat (4) UU 3/2009

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 31 ayat (4) UU 3/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan para Pemohon sebagai berikut:

[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 22 Juni 2020. Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan para Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK Nomor 6/PMK/2005);

[3.3.2] Bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 6 Juli 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 9 Juli 2020 dan para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum;

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan para Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama berkenaan dengan undang-undang yang para Pemohon mohonkan pengujian, Mahkamah menemukan fakta terdapat perubahan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Di mana, pada permohonan awal para Pemohon menguji Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU 5/2004), sedangkan pada perbaikan permohonan, para Pemohon menguji Pasal 31 ayat (4) UU 3/2009.
Perubahan undang-undang yang dimohonkan pengujian, menurut para Pemohon didasarkan atas nasihat Majelis Hakim pada persidangan pendahuluan [vide risalah persidangan tanggal 9 Juli 2020, halaman 21], padahal Majelis Hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan tanggal 22 Juni 2020 menyarankan agar menuliskan undang-undang yang dimohonkan pengujian secara lengkap agar penulisan peraturan perundang-undangan dipenuhi dalam permohonan para Pemohon [vide risalah persidangan tanggal 22 Juni 2020, halaman 13]. Para Pemohon di dalam perbaikan permohonan hanya mencantumkan undang-undang perubahan yang terakhir yaitu UU 3/2009, padahal sesungguhnya norma yang diuji konstitusionalitasnya adalah Pasal 31 ayat (4) yang terdapat dalam UU 5/2004. Berdasarkan Lampiran II angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penulisan peraturan perundang-undangan yang seharusnya yaitu pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sehingga menurut Mahkamah terdapat kesalahan dalam penulisan undang-undang yang dimohonkan pengujian yang mengakibatkan permohonan para Pemohon menjadi kabur;
Seandainya pun yang ditulis dalam perbaikan permohonan adalah benar, quod non, para Pemohon tidak secara jelas menguraikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Para Pemohon lebih banyak menguraikan implementasi norma perihal berlakunya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 64/2020) yang menaikan iuran kesehatan, dan menurut para Pemohon kenaikan tersebut terjadi karena adanya norma Pasal 31 ayat (4) UU 3/2009 [sic!]. Menurut Mahkamah, kenaikan yang terjadi pada iuran kesehatan tidak serta-merta dapat mengubah tafsir konstitusionalitas Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 menjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon, karena Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 berlaku untuk semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian di Mahkamah Agung, dengan kata lain bukan hanya berlaku terhadap Perpres 64/2020 saja;
Selain itu, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan para Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan tersebut bersifat final dan tidak boleh diundangkan kembali”, karena terhadap putusan judicial review di Mahkamah Agung, Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 sudah menentukan apabila norma yang dimohonkan pengujian dinyatakan tidak sah sudah secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, yang artinya sudah tidak dapat diberlakukan kembali, terlepas setelah putusan tersebut dibentuk peraturan yang baru yang memiliki pokok permasalahan yang serupa maka hal tersebut adalah persoalan lain yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang berbeda.
Oleh karena petitum para Pemohon sudah sejalan dengan maksud norma Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 maka tidak perlu tafsir lain yang justru dapat menimbulkan ketidakjelasan. Dengan demikian membuktikan bahwa terhadap norma a quo tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas serta telah memberikan kepastian hukum.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan permohonan para Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Prof. DR. M. Sirajuddin Syamsuddin, dkk sebanyak 57 pemohon, yang diwakili oleh Prof. DR. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. dkk, Advokat dan Konsultan Hukum, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

mengujikan UU 2/2020 secara formil dan Pasal 2 ayat (1) Huruf a Angka 1, Angka 2, dan Angka 3, Pasal 27, dan Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 secara materiil.

Bahwa UU 2/2020 dianggap para Pemohon tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan Lampiran UU 2/2020 dianggap para Pemohon bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2), Pasal 22D ayat (2), 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 2/2020 dan Lampiran UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 1 Juli 2020, yang diajukan oleh Prof. Dr. M Sirajuddin Syamsuddin, dkk, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 1 Juli 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 7 Juli 2020 dengan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang dan Pengujian Materil Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 125/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, bertanggal 7 Juli 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 132/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, bertanggal 7 Juli 2020;
c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 15 Juli 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 18 Agustus 2020;

e. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat pencabutan permohonan dari para Pemohon bertanggal 19 Agustus 2020 perihal pencabutan permohonan, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Agustus 2020;
f. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 24 Agustus 2020 dengan agenda untuk mengonfirmasi perihal pencabutan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf e. Ternyata, para Pemohon membenarkan pencabutan tersebut;
g. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
h. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 24 Agustus 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Bayu Segara, S.H., dan Novan Lailathul Rizky yang diwakili oleh kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk, Advokat/Konsultan Hukum, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 10 UU 39/2008

Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 10 UU 39/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permasalahan konstitusional tersebut, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 UU 39/2008 telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 10 UU 39/2008 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011 dan telah diputus pada tanggal 5 Juni 2012. Dalam permohonan Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011 dasar pengujiannya adalah Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, sementara dasar pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011 adalah mengenai keberadaan dan keberlakuan Pasal 10 UU 39/2008 beserta penjelasannya yang menutup hak warga negara Indonesia yang bukan pejabat karir atau PNS untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan khususnya menjadi wakil menteri, sementara alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah penegakan konstitusionalisme berdasarkan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU- XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Bahwa adanya perbedaan dasar pengujian maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan permohonan a quo, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 dapat diajukan kembali.

[3.12] Bahwa setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama alasan-alasan permohonan, para Pemohon menyatakan pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.12] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 tidaklah keliru (vide permohonan halaman 14, poin 8). Namun, para Pemohon menafsirkan bahwa jika mengacu pada pendapat Mahkamah di dalam putusan- putusan Mahkamah Konstitusi lainnya maka Pasal 10 UU 39/2008 bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon tidak konsisten. Di satu sisi, para Pemohon mengakui dan membenarkan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap norma yang diujikan, sedangkan di sisi lain para Pemohon meminta Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali pertimbangan hukum tersebut karena adanya pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, bertanggal 19 Mei 2014, pada Paragraf [3.12.5], halaman 58, yang mengutip pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014, Paragraf [3.20] alinea kedua, yang menyatakan:
Selain itu, dalam rangka menjaga sistem ketatanegaraan yang menyangkut hubungan antar lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, Mahkamah harus menggunakan pendekatan yang rigid sejauh UUD 1945 telah mengatur secara jelas kewenangan atributif masing- masing lembaga tersebut. Dalam hal ini Mahkamah terpaksa harus melakukan penafsiran atas ketentuan yang mengatur sebuah lembaga Negara maka Mahkamah harus menerapkan penafsiran original inten, tekstual dan gramatikal yang komprehensif yang tidak boleh menyimpang dari apa yang telah secara jelas tersurat dalam UUD 1945 termasuk juga ketentuan tentang kewenangan lembaga Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945. Apabila Mahkamah tidak membatasi dirinya dengan penafsiran secara rigid tetapi melakukan penafsiran secara sangat bebas terhadap ketentuan yang mengatur tentang lembaga negara dalam UUD 1945, sama artinya Mahkamah telah membiarkan pembentuk Undang-Undang untuk mengambil peran pembentuk UUD 1945 dan akan menjadi sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan manakala Presiden didukung oleh kekuatan mayoritas DPR, atau bahkan Mahkamah sendiri yang mengambil alih fungsi pembentuk UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945 melalui putusan-putusannya.

Bahwa setelah membaca dengan saksama pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah tidak ada pertentangan dengan pertimbangan Mahkamah dalam putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 khususnya Paragraf [3.12.2] dan Paragraf [3.13] yang pada pokoknya menegaskan bahwa dalam rangka melaksanakan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas tercantum dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena pengangkatan wakil menteri boleh dilakukan oleh Presiden terlepas dari soal diatur atau tidak diatur di dalam UU 39/2008, sebab Presiden yang mengangkat wakil menteri adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 [vide Pasal 4 ayat (1) UUD 1945].

[3.13] Menimbang bahwa terhadap Pasal 10 UU 39/2008 yang menjadi objek permohonan a quo Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan telah menjatuhkan putusan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011, bertanggal 5 Juni 2012, dengan amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dalam perkara dimaksud dengan pertimbangan, antara lain:

[3.12] Menimbang, bahwa menurut Mahkamah, UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan konstitusi pengangkatan wakil menteri itu adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuanketentuan lain di dalam UUD 1945. Menurut Mahkamah, baik diatur maupun tidak diatur di dalam Undang-Undang, pengangkatan wakil menteri sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan Presiden sehingga, dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. Hal tersebut berarti bahwa bisa saja sesuatu yang tidak disebut secara tegas di dalam UUD 1945 kemudian diatur dalam Undang- Undang, sepanjang hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.12.1] UUD 1945 juga tidak menentukan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata pemerintahan kita sudah ada kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum perkara pidana;

[3.12.2] Dalam rangka melaksanakan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Adapun mengenai biaya yang dikeluarkan untuk suatu jabatan atau suatu lembaga yang oleh Pemohon dianggap sebagai pemborosan keuangan negara, tidak boleh dinilai sebagai kerugian semata, sebab selain kerugian finansial ada juga keuntungan dan manfaatnya untuk bangsa dan negara. Sebagai salah satu contoh, biaya yang dikeluarkan untuk pegawai lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, biaya pembuatan gedung, biaya untuk para narapidana atau tahanan, semua itu tidak boleh dinilai dari pengeluaran yang dianggap kerugian negara sebab hal tersebut dilakukan dalam rangka penegakan salah satu aspek negara hukum, dalam hal ini penjatuhan pidana terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Apalagi bukan tidak mungkin adanya wakil menteri itu bisa turut mengawasi penggunaan anggaran agar tidak terjadi pemborosan dan berbagai korupsi;

[3.13] Menimbang, oleh karena pengangkatan wakil menteri itu boleh dilakukan oleh Presiden, terlepas dari soal diatur atau tidak diatur dalam Undang-Undang, maka mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa, sebab Presiden yang mengangkat wakil menteri adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar [vide Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) UUD 1945]; Bahwa Pasal 10 UU 39/2008 yang menyatakan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”, merupakan ketentuan khusus dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo yang tidak mencantumkan wakil menteri dalam susunan organisasi Kementerian. Oleh karena Undang-Undang tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus” maka menurut Mahkamah hal tersebut menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya sebelum mengangkat wakil menteri. Presiden-lah yang menilai seberapa berat beban kerja sehingga memerlukan pengangkatan wakil menteri. Begitu pula jika beban kerja dianggap sudah tidak memerlukan wakil menteri, Presiden berwenang juga memberhentikan wakil menteri tersebut. Berkembangnya masyarakat baik dari sudut pertambahan penduduk, ekonomi, pendidikan, kesehatan di satu pihak dan kemampuan Negara untuk memenuhi harapan masyarakat terutama di bidang ekonomi serta keamanan di lain pihak akan menimbulkan ledakan harapan masyarakat dan kebutuhan masyarakat sendiri. Misalnya di bidang ekonomi semakin meningkatnya daya beli rakyat untuk membeli mobil semakin diperlukan infrastruktur jalan yang memadai untuk berkendaraan secara nyaman. Jika harapan tersebut tidak terpenuhi maka hal ini akan menimbulkan frustrasi masyarakat dan akan menjadi beban negara yang akan membahayakan posisi politis pemerintah. Padahal kecepatan memenuhi harapan masyarakat oleh negara seringkali tidak sebanding dengan pertumbuhan harapan masyarakat untuk dipenuhi kebutuhannya. Keadaaan ekonomi dunia menunjukkan bahwa negara- negara maju (seperti Eropa dan Amerika Serikat) saat ini menghadapi resesi ekonomi yang sangat mungkin mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Krisis minyak yang dialami Indonesia dapat menambah beban hutang negara untuk menutup defisit anggaran belanja negara. Oleh sebab itu, kewenangan Presiden mengangkat wakil menteri dalam rangka menangani beban kerja yang semakin berat tidak bertentangan dengan konstitusi jika dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Dengan demikian, Pasal 10 UU 39/2008 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas;

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah menegaskan bahwa persoalan konstitusionalitas norma Pasal 10 UU 39/2008 telah selesai dan tidak terdapat alasan baru yang dapat mengubah pendirian Mahkamah dimaksud. Oleh karena itu terhadap dalil-dalil para Pemohon yang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 39/2008 tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.
Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan perihal fakta yang dikemukakan oleh para Pemohon mengenai tidak adanya larangan rangkap jabatan wakil menteri yang mengakibatkan seorang wakil menteri dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta. Terhadap fakta demikian, sekalipun wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, oleh karena pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri, maka wakil menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri. Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu.

[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan pokok permohonan di atas dan sebelum sampai pada kesimpulan berkenaan dengan permohonan a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti-bukti yang dapat mendukung alasan kerugian konstitusional Pemohon I sebagai warga negara Indonesia yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), khususnya bukti-bukti yang berkaitan dengan kajian atau kegiatan yang telah dilakukan berkenaan langsung dengan jabatan menteri dan/atau wakil menteri sebagai bagian dari kajian konstitusi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pemohon I tidak dapat bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Sementara itu, Pemohon II sebagai aktivis mahasiswa maupun sebagai pemilih dalam pemilu, tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian konstitusionalnya dengan berlakunya norma Pasal 10 UU 39/2008, sehingga tidak diperoleh adanya hubungan kausalitas antara anggapan kerugian yang dijelaskan oleh Pemohon II dengan norma yang dimohonkan pengujian, baik secara aktual maupun potensial. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pemohon II juga tidak dapat bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 10 UU 39/2008, quod non, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XVIII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BERSERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Inri Januar, Oktoriusman Halawa dan Eliadi Hulu, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip Hak Tanggungan, sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain [vide Pasal 1 ayat (1) UU Hak Tanggungan]. Secara universal perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutang. Adapun sifat accessoir mengandung arti perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang tergantung pada perjanjian pokoknya, yang dalam hal ini termasuk perjanjian yang berkaitan dengan Hak Tanggungan. Lebih lanjut dalam konteks perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian accessoir yang dimaksudkan adalah perjanjian pinjam-meminjam atau utang piutang, yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan, dengan tujuan agar perjanjian accessoir tersebut dapat menjamin keamanan kreditor;
Berkenaan dengan sifat accessoir yang berkaitan dengan hak tanggungan ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah menyatakan:
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya;
2. Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada;
3. Hak Tanggungan selalu melekat asas spesialitas dan publisitas yang dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
4. Hak Tanggungan memberi kemudahan dan kepastian di dalam pelaksanaan eksekusinya;
Lebih lanjut secara doktriner dan universal dapat dijelaskan, bahwa selain sebagai jaminan kebendaan, Hak Tanggungan selain mempunyai ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas, juga mempunyai sifat-sifat sebagai hak kebendaan yang selalu melekat, yaitu:
1. Sifat Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi atau dengan kata lain Hak Tanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Hak Tanggungan, yang selanjutnya membawa konsekuensi yuridis, bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Oleh karenanya dengan telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Dengan demikian, meskipun telah ada pelunasan sebagian dari hutang debitor tidak menyebabkan terbebasnya dari sebagian objek Hak Tanggungan;
2. Hak Tanggungan mengandung sifat royal parsial sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan yang merupakan penyimpangan dari sifat Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi;
3. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapa pun berada. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang menyatakan, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji;
4. Hak Tanggungan mempunyai sifat bertingkat (terdapat perintah yang lebih tinggi di antara kreditor pemegang Hak Tanggungan). Dengan sifat ini, maka pemberi jaminan atau pemilik benda yang menjadi objek Hak Tanggungan masih mempunyai kewenangan untuk dapat membebankan lagi benda yang sama yang telah menjadi objek Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu lainnya, sehingga akan terdapat peringkat kreditor pemegang Hak Tanggungan;
5. Hak Tanggungan membebani hak atas tanah tertentu (asas spesialisitas) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 juncto Pasal 8 UU Hak Tanggungan. Asas spesialisitas ini mengharuskan bahwa Hak Tanggungan hanya membebani hak atas tanah tertentu saja dan secara spesifik uraian mengenai objek dari Hak Tanggungan itu dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);
6. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas), artinya pemberian Hak Tanggungan harus atau wajib diumumkan atau didaftarkan, sehingga pemberian Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui secara terbuka oleh pihak ketiga dan terdapat kemungkinan mengikat pula terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT. Hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan dengan atau tanpa disertai dengan janji- janji tertentu, bila disertai dengan janji, maka hal itu dicantumkan di dalam APHT;

[3.11.2] Bahwa selain defenisi, asas, ciri-ciri, serta sifat-sifat Hak Tanggungan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11.1] tersebut di atas, secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Artinya, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dengan demikian, kreditor dalam hal ini memiliki hak privilege sebagai konsekuensi “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan tersebut. Selain itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, Hak Tanggungan menurut sifatnya juga merupakan perjanjian ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga Hak Tanggungan menjadi hapus karena hukum, apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya menjadi hapus. Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.

[3.12] Menimbang bahwa setelah mencermati prinsip-prinsip Hak Tanggungan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11.1] dan [3.11.2] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan, yang menurut para Pemohon memberikan hak kepada kreditor untuk melaksanakan eksekusi langsung terhadap benda jaminan Hak Tanggungan. Adapun hak yang dimaksudkan adalah hak yang melekat pada kreditor, sebagaimana diatur dalam norma Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan yang dapat melaksanakan eksekusi dengan cara parate eksekusi (menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan) atau pelaksanaan titel eksekutorial, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama, salah satu dalil para Pemohon adalah mempersoalkan substansi yang berkaitan dengan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan adalah inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai ”terhadap jaminan Hak Tanggungan yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi), karena debitor mengalami keadaan memaksa (overmacht/force majeure), maka debitor diberi hak untuk membuktikannya di pengadilan, sebelum eksekusi hak tanggungan dilakukan”. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, apabila dicermati dan dikaitkan dengan sifat dan prinsip-prinsip Hak Tanggungan yang melekat pada Hak Tanggungan tersebut, maka dapat ditemukan bahwa sifat dan prinsip-prinsip Hak Tanggungan tersebut baik secara filosofis maupun doktriner telah diadopsi menjadi undang-undang dan hal tersebut menjadi salah satu karakteristik yang membedakan dengan jenis jaminan hak kebendaan yang lainnya. Oleh karena masing-masing jaminan hak kebendaan mempunyai sifat dan prinsip yang berbeda, maka hal demikian membawa konskuensi Mahkamah harus benar-benar cermat di dalam mempertimbangkan substansi dari permohonan para Pemohon a quo, sehingga tidak boleh bergeser dari karakteristik jaminan Hak Tanggungan;
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, hakikat sesungguhnya yang diinginkan para Pemohon adalah adanya syarat tambahan berkaitan dengan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, dengan syarat yang pada pokoknya apabila tidak diperjanjikan tentang kesepakatan “cidera janji”, maka eksekusi terhadap Hak Tanggungan tersebut tidak dapat serta merta dilaksanakan dan harus dibuktikan terlebih dahulu debitor telah melakukan “cidera janji” karena adanya keadaan yang memaksa (overmacht/force majeure) di pengadilan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, sebelum menjawab isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu, bahwa secara universal Hak Tanggungan adalah salah satu jenis jaminan kebendaan yang bersumber dari adanya perjanjian. Dengan demikian konsekuensi yuridisnya, maka para pihak terikat dengan substansi yang telah dituangkan dalam klausul- klausul perjanjian, termasuk segala hal yang tidak terbatas dapat dimasukkan dalam materi perjanjian, sepanjang tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum, dan tidak melanggar undang-undang. Oleh karena itu dalam perspektif perjanjian jaminan Hak Tanggungan, esensi yang mendasar adalah pihak debitor telah sepakat untuk menyerahkan benda berupa tanah miliknya kepada kreditor sebagai jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan, sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Namun lazimnya dalam sebuah perjanjian tentunya diikuti dengan syarat-syarat lain yang melengkapi perjanjian dimaksud secara utuh yang menyesuaikan dengan ciri dan sifat dari obyek perjanjian itu sendiri. Dalam konteks jaminan Hak Tanggungan tentunya perjanjian dimaksud menyesuaikan dengan ciri, sifat, dan karakteristik jaminan Hak Tanggungan pada umumnya, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang;
Bahwa selanjutnya, terhadap keadaan yang memaksa (overmacht/force majeure) yang tidak dimasukkan dalam klausul perjanjian dan kemudian dapat dijadikan alasan untuk ditundanya eksekusi dari obyek Hak Tanggungan serta harus dibuktikan terlebih dahulu “cidera janji” tersebut di pengadilan, sebagaimana dalil para Pemohon, Mahkamah dalam hal ini mempertimbangkan lebih lanjut, sebagaimana uraian di bawah ini;

[3.12.2] Bahwa secara doktriner sebuah perjanjian tidak dapat dipenuhi oleh salah satu pihak karena adanya kelalaian dan keadaan yang memaksa (overmacht/force majeure). Demikian halnya dalam perjanjian jaminan Hak Tanggungan tidak dapat dipenuhi perjanjian dikarenakan debitor lalai atau adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure). Secara terminologi dan dalam perspektif Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitor karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian. Dari pengertian keadaan yang memaksa (overmacht/force majeure) tersebut, elemen yang mendasar adalah keadaan atau peristiwa yang menyebabkan keadaan memaksa (overmacht/force majeure) yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian. Oleh karena itu berkaitan dengan dalil para Pemohon yang berargumentasi meskipun keadaan memaksa (overmacht/force majeure) tidak dimasukkan dalam klausul perjanjian, maka debitor yang “cidera janji” karena keadaan memaksa (overmacht/force majeure) harus dibuktikan di pengadilan. Terhadap hal tersebut, keadaan memaksa adalah keadaan yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian. Oleh karena itu sesuatu yang wajar, apabila dalam sebuah perjanjian tidak mencantumkan jenis atau keadaan yang memaksa (overmacht/force majeure) dalam bagian klausul perjanjian pada waktu dibuat, meskipun hal ini tidak menutup kemungkinan dalam perjanjian-perjanjian tertentu juga ada yang mencantumkan antisipasi akan klausul keadaan memaksa dimaksud dalam bagian klausul perjanjiannya;
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan uraian fakta tersebut, terlepas dimasukkan atau tidaknya dalam klausul perjanjian tentang keadaan memaksa tersebut, Mahkamah berpendapat tidak menghilangkan hak konstitusional debitor, dalam hal ini, sebagaimana didalilkan para Pemohon, untuk membuktikan terlebih dahulu, baik pada tahap musyawarah dengan kreditor (non-litigasi) maupun pada proses peradilan dalam hal debitor menggunakan upaya hukum perlawanan/gugatan. Sebab, pada hakikatnya siapapun dapat mendalilkan suatu hak atau peristiwa, sebagaimana ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata, yang menyatakan: “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”;
[3.12.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, sebenarnya tanpa harus mengubah konstruksi dan/atau dengan pemaknaan secara bersyarat terhadap norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan, khususnya terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” untuk diberlakukan secara bersyarat dengan pemaknaan ”terhadap jaminan Hak Tanggungan yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi), karena debitor mengalami keadaan memaksa (overmacht/force majeure), sebenarnya debitor oleh undang-undang telah dijamin haknya untuk membuktikan, baik pada tahap musyawarah (non-litigasi) maupun upaya hukum perlawanan/gugatan di pengadilan sebelum eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan menggunakan instrumen Pasal 1865 KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan demikian telah jelas, bahwa apabila debitor merasa mengalami adanya peristiwa atau keadaan yang bersifat memaksa (overmacht/force majeure) dan hal tersebut diyakini sebagai alasan tidak dapat memenuhinya kewajiban yang ada dalam perjanjian, meskipun tidak dimasukkan dalam klausul perjanjian, maka undang-undang menjamin kepada siapapun untuk membuktikan, baik pada tahap musyawarah (non-litigasi) maupun melalui upaya hukum perlawanan/gugatan;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, sesungguhnya telah jelas pula, bahwa norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan a quo tidak menghilangkan hak konstitusional debitor. Sebab, unsur-unsur yang menjadi sifat dan ciri dalam Hak Tanggungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan karakteristik yang melekat dalam Hak Tanggungan adalah merupakan syarat formal yang bersifat fundamental dan absolut Hak Tanggungan. Sementara itu, pemberlakuan pemaknaan secara bersyarat pada frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang diinginkan oleh para Pemohon adalah syarat yang bersifat tambahan yang berada dalam ruang lingkup implementasi yang dapat diakomodir dalam bingkai kebebasan berkontrak yang menjadi salah satu syarat ”kesepakatan” sahnya sebuah perjanjian. Artinya, ada atau tidak adanya kesepakatan antara debitor dengan kreditor tentang adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) di dalam perjanjian, sesungguhnya tidak mengurangi hak konstitusional debitor untuk menempuh upaya hukum dengan mengajukan perlawanan atau gugatan di pengadilan dengan mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) dan hal tersebut sekaligus dapat menjadi dasar/alasan kreditor, atau eksekusi yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang untuk menunda pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan dimaksud;
Bahwa dengan argumentasi Mahkamah demikian, akan memperjelas, bahwa kekhawatiran para Pemohon dan debitor pada umumnya, dapat diakomodir dalam tataran implementasi untuk dimasukkan ke dalam substansi kesepakatan sebelum para pihak membuat perjanjian. Sebab dengan menambahkan klausul dalam syarat-syarat perjanjian dan sepanjang telah disepakati oleh para pihak, yang merupakan bentuk aktualisasi prinsip kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian [vide Pasal 1320 KUH Perdata], maka sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang- undang [vide Pasal 1337 KUH Perdata], perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya atau dengan kata lain perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya [asas pacta sunt servanda, vide Pasal 1338 KUH Perdata]. Dengan demikian, apabila ada persoalan yang muncul kemudian dan demi kepastian hukum, maka para pihak yang merasa dirugikan haknya dapat menyelesaikan persoalan tersebut hingga sampai pengadilan yang ruang lingkupnya luas di dalam menyelesaikan sengketa perdata. Sehingga dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, sebelum ada rencana pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan para pihak khususnya debitor dapat mendapatkan kepastian dan keadilan hukum dengan penyelesaian baik musyawarah hingga upaya hukum perlawanan/gugatan untuk mendapat putusan pengadilan sebelum eksekusi Hak tanggungan dilaksanakan. Demikian halnya apabila debitor dengan kreditor tidak membuat klausul keadaan memaksa (overmacht/force majeure) sebagai salah satu klausul dalam perjanjian, bukan berarti debitor kehilangan haknya untuk mendapatkan kesempatan menggunakan haknya tersebut hingga mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan. Dengan demikian proses “pembelaan diri” dari debitor tersebut, terlebih apabila hingga sampai pada upaya hukum perlawanan/gugatan, maka hal tersebut sekaligus dapat menjadi dasar untuk ditundanya pelaksanaan eksekusi oleh kreditor, termasuk yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang;
Bahwa di samping argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, sebenarnya dalam tataran empirik, sekalipun perjanjian antara debitor dengan kreditor tidak memperjanjikan secara khusus tentang keadaan memaksa (overmacht/force majeure), lembaga yang akan melakukan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan, baik oleh kreditor yang akan melakukan “parate eksekusi” (menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum maupun yang meminta bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang), akan selalu menggunakan mekanisme tahapan-tahapan yang bukan serta-merta kreditor menggunakan kewenangan tunggalnya untuk melaksanakan eksekusi dengan mengabaikan hak-hak debitor. Dengan kata lain, secara faktual apabila kreditor akan menggunakan haknya untuk melaksanakan eksekusi langsung terhadap benda jaminan Hak Tanggungan yang dapat dilaksanakan dengan cara “parate eksekusi”, harus melewati proses yang berisi tahapan-tahapan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, seperti halnya melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau pelelangan melalui kantor lelang. Dan, di sanalah tahapan-tahapan itu akan dimulai, di antaranya seperti teguran/peringatan (aanmaning), kemudian tahapan sita eksekusi dan lain-lain yang setiap tahapan itulah debitor dan kreditor mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai kesepakatan terhadap adanya persoalan yang ada, termasuk apabila debitor mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure), dapat menjadi alasan untuk ditundanya eksekusi terhadap jaminan Hak Tanggungan, hingga debitor dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan;
Selanjutnya dapat dijelaskan juga, selain cara eksekusi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, sesungguhnya pelelangan terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan juga dapat dilakukan secara di bawah tangan sepanjang disepakati kreditor dan debitor, jika dengan cara tersebut dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak [vide Pasal 20 ayat (2) UU Hak Tanggungan], meskipun pilihan lelang dengan cara terakhir ini tidak berkaitan langsung dengan adanya sengketa dengan alasan adanya cidera janji yang disebabkan karena keadaan memaksa (overmacht/force majeure);
Bahwa dengan uraian penjelasan di atas, maka akan tampak jelas eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditor dengan cara parate eksekusi, baik yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6, maupun yang berkaitan dengan Pasal 14 ayat (3), serta Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan, menunjukkan bahwa kreditor pemegang obyek Hak Tanggungan tidak dapat secara sewenang-wenang melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan tanpa melibatkan pihak lain. Terlebih dalam setiap tahapan, debitor selalu dilibatkan terutama pada tahap awal sebelum dilaksanakanya eksekusi, di mana debitor akan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk melakukan “pembelaan diri” sebelum pada akhirnya akan dilakukan eksekusi baik melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang;
Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana ditegaskan di atas, kekhawatiran para Pemohon atau debitor dengan tidak adanya pemaknaan yang mengatur kewenangan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor atau dengan cara parate eksekusi, yang dapat merugikan kepentingan debitor apabila frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, diberlakukan secara bersyarat, sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan. Terlebih dengan uraian pertimbangan tersebut, sekaligus juga memperjelas, bahwa persoalan kontitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, sesungguhnya bukan terletak pada konstitusionalitas norma dari Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan. Namun, persoalan sebenarnya terletak pada upaya antisipasi akan penerapan klausul perjanjian yang dibuat debitor dengan kreditor, dengan merujuk prinsip kebebasan berkontrak [vide Pasal 1320 KUH Perdata] dan prinsip perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya [asas pacta sunt servanda, vide Pasal 1338 KUH Perdata]. Di samping upaya hukum maksimal yang dapat dipilih oleh debitor sekalipun tidak diperjanjikan, dengan mendasarkan pada Pasal 1865 KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas;
Bahwa sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan, berkaitan dengan dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan dalil para Pemohon yang mengaitkan permohonan a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yaitu perihal pengujian norma Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), yang menurut para Pemohon tepat dijadikan rujukan untuk memaknai yang sama frasa “cidera janji” dalam dalam permohonan a quo dengan frasa “cidera janji” dalam permohonan yang berkaitan UU Fidusia. Terhadap argumentasi para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat terdapat perbedaan yang fundamental antara sifat dari lembaga jaminan Fidusia dengan Hak Tanggungan. Dari perbedaan yang mendasar tersebutlah kemudian membawa konsekuensi secara yuridis di dalam memaknai secara substansial terhadap frasa “cidera janji” pada masing-masing lembaga jaminan kebendaan tersebut. Bahwa perbedaan kedua lembaga jaminan kebendaan tersebut dapat dilihat dari frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, yang melekat pada Hak Fidusia dan Hak Tanggungan. Dalam lembaga jaminan dengan Hak Fidusia terdapat sifat yang melekat, yaitu adanya penyerahan hak kepemilikan benda yang menjadi obyek jaminan oleh debitor kepada kreditor dan hal ini yang menjadi alasan krusial kreditor dapat mengambil dan melakukan eksekusi sendiri setiap saat tanpa mempertimbangkan tempat dan waktu, yang acapkali menimbulkan kesewenang-wenangan. Hal ini sangat berbeda dengan sifat Hak Tanggungan yang secara hak kepemilikan dari benda yang menjadi obyek jaminan tetap berada di tangan pihak debitor termasuk status kepemilikannya. Sehingga pada waktu akan dilakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi jaminan dalam Hak Tanggungan, kreditor selalu memerhatikan tahapan-tahapan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan dapat melibatkan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang. Bahkan, dalam hal ada kesepakatan antara debitor dan kreditor, maka dapat dilakukan lelang di bawah tangan, guna mendapatkan harga dari nilai jaminan yang tertinggi, dengan tujuan hal tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak. Di samping itu, apabila debitor mempermasalahkan “cidera janji” yang dialaminya dengan alasan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) pada pengadilan perdata, maka proses perkara tersebut dapat menjadi alasan untuk menunda dilaksanakannya eksekusi terhadap jaminan Hak Tanggungan. Oleh karenanya dalil para Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 haruslah dikesampingkan;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.12.4] Bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan, dengan alasan frasa “cidera janji” pada norma a quo, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “debitor tidak melaksanakan kewajiban perikatan dan adanya unsur kesalahan dari debitor”. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama, hal yang dipersoalkan para Pemohon, pada esensinya tidak jauh berbeda bahkan berkaitan erat dengan dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan, sebagaimana telah didalilkan sebelumnya oleh para Pemohon. Bahkan para Pemohon dalam dalil permohonannya menyebutkan tindakan kreditor melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi) yang merupakan tindakan sewenang-wenang adalah akibat adanya Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan [vide posita para Pemohon angka 12 hal. 15];
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah oleh karena frasa “cidera janji” yang berkaitan dengan debitor tidak dapat memenuhi kewajiban, seperti yang telah diperjanjikan dengan kreditor dikarenakan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure), sebagaimana telah dipertimbangkan dalam uraian pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.1], Paragraf [3.12.2], dan Paragraf [3.12.3], di mana hal tersebut bukan berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma, akan tetapi berkaitan erat dengan persoalan pemaknaan yang sesungguhnya bisa diakomodir dalam klausul perjanjian antara debitor dengan kreditor pada saat terjadi kesepakatan pengikatan Hak Tanggungan. Sebab, sebagaimana telah diuraikan pada pertimbangan hukum sebelumnya, secara universal sebuah perjanjian adalah dapat dibuat berdasarkan kebebasan berkontrak sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, serta tidak melanggar hukum [vide Pasal 1337 KUH Perdata]. Dengan demikian apabila pada dalil yang kedua ini para Pemohon meminta agar frasa “cidera janji” harus dimaknai “debitor tidak melaksanakan kewajiban perikatan dan adanya unsur kesalahan dari debitor” sebagaimana Petitum permohonan para Pemohon pada angka 2, meskipun pada dalil para Pemohon tidak secara tegas harus terlebih dahulu dibuktikan di pengadilan ataukah tidak, namun sesungguhnya pilihan untuk mendapatkan kepastian hukum adanya “cidera janji” harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan ataukah tidak, tergantung pada langkah hukum yang diambil oleh debitor. Sebab, apabila kesalahan debitor adanya “cidera janji” sudah diakui secara sukarela oleh debitor ataupun dapat dibuktikan tanpa putusan pengadilan dan debitor tidak mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan, maka eksekusi Hak Tanggungan tersebut dapat dilaksanakan karena tidak adanya persoalan hukum yang menghalangi. Sementara itu apabila terhadap rencana eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan ditemukan adanya persoalan hukum yang sedang berjalan, maka kreditor atau eksekusi yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang seharusnya ditunda terlebih dahulu pelaksanaan eksekusi lelang dimaksud. Dengan demikian, telah jelas bahwa kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak serta merta dapat menggunakan kewenangan tunggalnya untuk melakukan eksekusi, apabila masih ada persoalan hukum yang berkaitan dengan jaminan Hak Tanggungan yang diajukan oleh debitor, hingga telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tentang telah adanya “cidera janji” atau setidak-tidaknya terbukti adanya kelalaian atau kesalahan debitor karena tidak memenuhi kewajiban sesuai yang diperjanjikan;
Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut, sebenarnya tampak jelas dalil para Pemohon pada Petitum angka 2 yang berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan, tidak berbeda atau setidak-tidaknya masih berkaitan erat dengan dalil para Pemohon pada Petitum angka 1 yang berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan. Kejelasan dimaksud dapat ditarik dari esensi mendasar yang dipersoalkan oleh para Pemohon terhadap inkonstitusionalitas kedua norma pasal tersebut adalah untuk dapat dilakukannya eksekusi Hak Tanggungan oleh kreditor harus dibuktikan kesalahan debitor, khususnya telah adanya “cidera janji” yang disebabkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) yang dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan, meskipun tidak diperjanjikan dalam perikatan dan adanya fakta debitor tidak melaksanakan kewajiban perikatan dan adanya unsur kesalahan debitor. Di mana keduanya adalah bentuk keberatan para Pemohon yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan a quo dalam upaya untuk memperkuat dalilnya berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan. Terhadap keduanya Mahkamah telah mempertimbangkan sebagaimana terurai pada Paragraf [3.12.1], Paragraf [3.12.2], dan Paragraf [3.12.3] tersebut di atas. Bahkan sesungguhnya dalam tataran empirik hal tersebut akan dipertimbangkan oleh kreditor, khususnya ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang untuk menunda pelaksanakan eksekusi. Namun demikian pilihan untuk menunggu adanya putusan pengadilan sangat tergantung ada atau tidaknya perlawanan/gugatan yang diajukan oleh debitor di pengadilan. Oleh karena itu ketika debitor mengajukan perlawan/gugatan, maka sudah jelas ketua pengadilan dan/atau kantor lelang akan menunda eksekusi dimaksud. Kalaupun eksekusi tetap dilaksanakan, padahal terhadap perkara yang bersangkutan masih ada persoalan hukum, maka hal tersebut merupakan persoalan yang berkaitan dengan penerapan norma dan bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan inkontitusionalitas norma Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan ini pun juga tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Para Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAIMANA DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Gunawan Simangunsong, dkk untuk selanjutnya disebut para Pemohon.

Pasal 29 UU ITE dan Pasal 45B ayat (4) UU ITE

Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 29 UU ITE dan Pasal 45B UU ITE Perubahan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 30 Juni 2020, yang diajukan oleh Gunawan Simangunsong, Russel Butarbutar, Benny Irfan Siahaan, Muhammad Arsjad Yusuf, Nurharis Wijaya, Efer Koritelu, dan Sarah Febrina, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Juni 2020 serta dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 2 Juli 2020 dengan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 123/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Nomor 50/PUU- XVIII/2020, bertanggal 2 Juli 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 124/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 50/PUU-XVIII/2020, bertanggal 2 Juli 2020;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 13 Juli 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
d. bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Panel Pendahuluan untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 18 Agustus 2020 dan para Pemohon setelah sidang panel perbaikan permohonan tersebut mengajukan surat bertanggal 18 Agustus 2020, perihal Pencabutan Permohonan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 dengan alasan adanya ketidaksesuaian antara posita dan petitum atau adanya perbaikan menyeluruh dari substansi permohonan;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 19 Agustus 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-08-2020

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Fadli Ramadhanil S.H., M.H., Titi Anggraini, S.H., M.H., Catherine Natali, S.H., M.H., Heroik Mutaqin Pratama, S.I.P., untuk selanjutnya disebut Pemohon

Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

10.Bahwa setelah mencermati alat bukti yang diajukan Pemohon, terutama bukti P-3 berupa salinan Akta Pendirian Yayasan Perludem bertanggal 15 November 2011, Mahkamah menemukan ketentuan Pasal 16 ayat (5) dan Pasal 18 yang masing-masing menyatakan:

Pasal 16 ayat (5)
“Pengurus berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan dalam segala kejadian, dengan pembatasan terhadap hal-hal sebagai berikut: …”

Pasal 18
“(1) Ketua Umum bersama dengan salah seorang anggota Pengurus lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama Pengurus serta mewakili Yayasan; (2) Dalam hal Ketua Umum tidak hadir atau berhalangan karena sebab apapun juga, hal tersebut tidak perlu diberitahukan kepada pihak ketiga, maka seorang Ketua lainnya bersama-sama dengan Sekretaris Umum atau apabila Sekretaris Umum tidak hadir atau berhalangan karena sebab apapun juga, hal tersebut tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga, seorang Ketua lainnya bersamasama dengan seorang Sekretaris lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama Pengurus serta mewakili Yayasan; …”

11.Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah menilai pengurus yang berhak mewakili Yayasan Perludem dalam berperkara di hadapan Mahkamah adalah:
a.Ketua Umum bersama dengan salah seorang pengurus; atau
b.Ketua lain bersama dengan Sekretaris Umum; atau
c.Ketua lain bersama Sekretaris lain.

12.Bahwa berdasarkan bukti P-7 dan penjelasan Pemohon dalam persidangan, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa Pemohon sebagai Yayasan diwakili oleh Bendahara dan Sekretaris, dan bukan diwakili oleh dua pengurus sebagaimana dimaksud dan diuraikan pada pertimbangan hukum angka 10 dan angka 11 di atas;

13.Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai Surat Kuasa Pengurus Yayasan Perludem No: 110/SK-Perludem/VII/2020, bertanggal 10 Juli 2020 (bukti P-7), tidak memenuhi syarat pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 18 Akta Pendirian Yayasan Perludem. Seharusnya berdasarkan Pasal 18 Akta Pendirian Yayasan Perludem, pihak yang berhak mewakili Pemohon adalah Ketua Umum/Ketua bersama dengan seorang Pengurus lainnya. Namun dalam surat kuasa Pemohon posisinya berkebalikan, yaitu pihak yang mewakili Pemohon adalah Bendahara dan Sekretaris, sementara Ketua justru ditempatkan sebagai pihak yang diberi kuasa. Mahkamah berpendapat Surat Kuasa Pengurus Yayasan Perludem No: 110/SK-Perludem/VII/2020, bertanggal 10 Juli 2020, adalah tidak sesuai dengan Akta Pendirian Yayasan Perludem sehingga pihak yang mendalilkan diri sebagai kuasa hukum tidak berhak mewakili Pemohon.

14.Bahwa dengan demikian Surat Kuasa bertanggal 11 Juli 2020 sebagaimana dimaksud pada angka 6 di atas, karena disusun dengan mendasarkan diri pada status hukum yang terbentuk oleh Surat Kuasa Pengurus Yayasan Perludem No: 110/SK-Perludem/VII/2020 bertanggal 10 Juli 2020, harus pula dinyatakan tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan dasar bagi Pemohon untuk mewakilkan kepentingannya dalam permohonan a quo;

15.Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, pemberian kuasa dari Pemohon kepada kuasa hukum yang demikian berakibat hukum terhadap Pemohon harus dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Runik Erwanto, S.H. dan Singgih Tomi Gumilang, S.H. yang memberikan kuasa kepada Muhammad Sholeh, S.H. dkk, para Advokat pada Kantor Sholeh and Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 55 ayat (1) sepanjang kata “orang” UU 6/2018

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 55 ayat (1) sepanjang kata “orang” UU 6/2018 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama terhadap uraian mengenai kedudukan hukum para Pemohon, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas dan rinci apa sesungguhnya kerugian konstitusional yang menurut anggapannya dialami karena berlakunya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018 sepanjang kata “orang”, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah yang melaksanakan karantina wilayah. Para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai advokat tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma a quo. Sebab, yang seharusnya memiliki hubungan hukum secara langsung atas berlakunya norma tersebut adalah orang yang wilayahnya memberlakukan karantina wilayah sedangkan wilayah tempat tinggal para Pemohon tidak memberlakukan karantina wilayah melainkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) [vide perbaikan permohonan halaman 4, poin 6-7].

[3.8] Menimbang bahwa di dalam pokok permohonan para Pemohon menguraikan bahwa akibat diberlakukannya PSBB khususnya di DKI Jakarta menyebabkan adanya pelarangan penggunaan transportasi udara, hal ini membuat para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat [vide perbaikan permohonan halaman 10, poin 23]. Setelah dicermati secara saksama, para Pemohon tidak menguraikan kerugian konstitusional sebagai advokat di dalam menangani perkara di dalam uraian perbaikan permohonan pada bagian kedudukan hukum.

[3.9] Menimbang bahwa terkait dengan pernyataan para Pemohon yang menyatakan para Pemohon adalah pembayar pajak (taxpayer) dan karenanya memiliki hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (taxpayer) tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (taxpayer) yang memang menunjukkan adanya kerugian yang nyata. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam perkembangannya melalui putusan-putusannya telah menegaskan pendiriannya bahwa terhadap pembayar pajak (taxpayer) hanya dapat diberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik sehingga merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan jelas dengan berlakunya Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVIII/2020). Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama uraian para Pemohon mengenai kerugian konstitusionalnya sebagai taxpayer, telah ternyata para Pemohon tidak dapat menguraikan alasan kerugian konstitusional dimaksud secara spesifik dan nyata terhadap berlakunya norma yang dimohonkan pengujiannya.

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018 sepanjang kata “orang”. Bahkan seandainya pun uraian para Pemohon dalam permohonannya dianggap sebagai uraian terhadap kerugian konstitusional, quod non, para Pemohon juga tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon yang spesifik dengan berlakunya norma a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Ki Gendeng Pamungkas yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk yang tergabung pada Andita’s Law Firm yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 225 ayat (1), Pasal 226 ayat (1), Pasal 230 ayat (2), Pasal 231 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 234 ayat (1), Pasal 237 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 238 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 269 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 427 ayat (4) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 225 ayat (1), Pasal 226 ayat (1), Pasal 230 ayat (2), Pasal 231 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 234 ayat (1), Pasal 237 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 238 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 269 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 427 ayat (4) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 9 Mei 2020 dari Ki Gendeng Pamungkas, yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 8 Mei 2020 memberi kuasa kepada: Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., H. Elvan Games, S.H., Ananta Rangkugo, S.H., Hendri Badiri Siahaan, S.H., Julianta Sembiring, S.H., Nikson Aron Siahaan, S.H. dan Suta Widhya, S.H., yang tergabung pada Andita’s Law Firm, beralamat di 88@Kasablanka Tower A, Lantai 18, Jalan Kasablanka Kav-88, Jakarta Selatan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 35/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 19 Mei 2020, perihal Permohonan Pengujian Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 225 ayat (1), Pasal 226 ayat (1), Pasal 230 ayat (2), Pasal 231 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 234, Pasal 237 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 238 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 269 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 427 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 35/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 91/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 35/PUU-XVIII/2020, bertanggal 19 Mei 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 95/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 35/PUU-XVIII/2020, bertanggal 19 Mei 2020;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 16 Juni 2020. Sebelum memberikan nasihat terhadap permohonan Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU MK, Panel Hakim terlebih dahulu meminta penjelasan dan kepastian perihal berita terkait dengan meninggalnya seorang warga negara bernama Ki Gendeng Pamungkas. Berkenaan dengan hal tersebut, Panel Hakim meminta penjelasan dan kepastian kepada kuasa hukum Pemohon, apakah Ki Gendeng Pamungkas yang diberitakan tersebut adalah orang yang sama dengan Pemohon Prinsipal yang diwakili oleh kuasa hukum. Namun kuasa hukum menjelaskan bahwa yang meninggal dunia adalah Iman Santoso bukan Ki Gendeng Pamungkas, Pemohon Prinsipal. Panel Hakim meminta kepada kuasa Pemohon untuk memastikan kebenaran informasi tersebut dan disampaikan kepada Panel Hakim pada Sidang Panel dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon. Kemudian Panel Hakim memberikan nasihat berkenaan dengan permohonan Pemohon;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 6 Juli 2020. Pada Sidang Panel tersebut, Panel Hakim meminta kembali kebenaran informasi tentang berita meninggalnya Ki Gendeng Pamungkas, namun kuasa hukum tidak dapat memberikan informasi kepastian tentang berita dimaksud tetapi kuasa Pemohon menyerahkan Surat Kematian Nomor 474.3/69- TGL, atas nama Iman Santoso, kepada Panel Hakim. Panel Hakim meragukan surat keterangan yang diserahkan kuasa Pemohon. Oleh karena itu, untuk meyakinkan kebenaran informasi dimaksud, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada tanggal 6 Juli 2020 memerintahkan Panel Hakim untuk menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 13 Juli 2020 dengan agenda menghadirkan Pemohon Prinsipal, Ki Gendeng Pamungkas;
e. bahwa sebelum penyelenggaraan Persidangan Pendahuluan Tambahan sebagaimana dimaksud huruf d di atas, Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Kuasa Pemohon bertanggal 8 Juli 2020 Nomor 10/ALF-KGP/PUU/0720 perihal Permohonan Pencabutan PUU Nomor 35/PUU-XVIII/2020, yang diterima pada tanggal 9 Juli 2020, dengan alasan Kuasa Hukum Pemohon telah mendapatkan kepastian mengenai meninggalnya Pemohon Prinsipal, Ki Gendeng Pamungkas (vide Surat Permohonan Pencabutan);
f. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan dengan agenda untuk mendengarkan keterangan dari Pemohon Prinsipal, Ki Gendeng Pamungkas, pada tanggal 13 Juli 2020, dan Kuasa Hukum Pemohon membenarkan bahwa Ki Gendeng Pamungkas telah meninggal dunia pada tanggal 6 Juni 2020, sehingga Kuasa Hukum Pemohon tetap mencabut permohonannya;
g. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali;
h. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 13 Juli 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 35/PUU-XVIII/2020 beralasan menurut hukum dan permohonan Pemohon tidak dapat diajukan kembali serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP) dalam hal ini diwakili oleh Johan Syafaat Mahanani selaku Ketua dan Almas Tsaqibbirru RE A selaku Sekretaris yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H. dkk, Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Kartika Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2)

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.


Bahwa terhadap pengujian Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perpu 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 8 Juni 2020 dari Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP), yang diwakili oleh Johan Syafaat Mahanani dan Almas Tsaqibbirru RE A, berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 4 Juni 2020 memberi kuasa kepada Arif Sahudi, S.H., M.H., Sigit N. Sudibyanto, S.H., M.H., Utomo Kurniawan, S.H., Dwi Nurdiansyah Santoso, S.H., Georgius Limart Siahaan, S.H., dan Broma Manunggal Bilhaq, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Advokat “Kartika Law Firm” yang beralamat di Jalan Solo – Baki Nomor 50, Kwarasan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 8 Juni 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 44/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 17 Juni 2020, perihal permohonan pengujian Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 44/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 111/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 44/PUU-XVIII/2020, bertanggal 17 Juni 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 113/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 44/PUU-XVIII/2020, bertanggal 17 Juni 2020;

c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 24 Juni 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa setelah Panel Hakim memberikan nasihat pada sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan, Pemohon di dalam persidangan pada tanggal 14 Juli 2020 menyatakan menarik permohonan bertanggal 8 Juni 2020 perihal permohonan pengujian Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, dengan alasan antara lain “bahwa Komisi II DPR Republik Indonesia telah menyetujui terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang, sehingga permohonan yang diajukan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 44/PUU-XVIII/2020 menjadi kehilangan objek yang diuji” (vide Surat Kuasa Pemohon bertanggal 02 Juli 2020 perihal Pencabutan Permohonan Pengujian Undang-Undang Dalam Perkara Nomor 44/PUU-XVIII/2020);

e. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali;

f. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 15 Juli 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 44/PUU-XVIII/2020 beralasan menurut hukum dan permohonan tidak dapat diajukan kembali serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Nelly Rosa Yulhiana, yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Ir. Tonin Tachta Singarimbun S.H., dkk, advokat yang berkantor di kantor Andita’s Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946

Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara yang berpotensi akan mengalami kriminalisasi. Mahkamah tidak meyakini bahwa Pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya pasal tersebut karena yang dijadikan bukti oleh Pemohon hanya KTP yang menunjukan bahwa Pemohon adalah berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga atau mengurus rumah tangga [vide bukti P-1 KTP Pemohon]. Mahkamah tidak menemukan bukti lain yang menunjukan bahwa Pemohon adalah aktivis yang secara aktif melakukan berbagai kegiatan, sedangkan bukti lain yang diajukan oleh Pemohon [vide bukti P-2 s.d. P-11] sama sekali tidak dapat membuktikan aktivitas Pemohon sebagai aktivis sebagaimana yang dijelaskan Pemohon dalam persidangan.
Terlebih lagi, permohonan Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai adanya kausalitas (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma. Akan tetapi Pemohon dalam permohonannya justru lebih banyak menguraikan argumentasi terkait dengan berita bohong dan aktivis yang sebenarnya hal tersebut merupakan bagian dari kasus konkret yang dialami oleh suami Pemohon yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam argumentasi Pemohon baik dalam uraian kedudukan hukum ataupun posita.
Berkenaan dengan hal di atas, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 9 Juni 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan mengapa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 9 Juni 2020], akan tetapi permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas.

Selain itu, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal- pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan “secara bersyarat” dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan yang demikian adalah kabur;

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Aristides Verissimo de Sousa Mota, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 10, Pasal 4 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15 dan Pasal 19 UU TNI.

Pasal 10 UUD NRI 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU TNI dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada Paragraf [3.5] dikaitkan dengan Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami baik aktual maupun potensial berkaitan dengan norma-norma yang dimohonkan pengujian. Pemohon hanya menjelaskan bahwa sebagai warga negara Indonesia dirinya berhak untuk memberikan pendapat atas hal-hal yang dinilai Pemohon tidak sejalan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, meskipun setiap warga negara bebas menyatakan pendapat sebagaimana didalilkan Pemohon, namun dalam mengajukan permohonan ke Mahkamah, Pemohon harus memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah, sehingga dalam permohonannya Pemohon harus terlebih dahulu menjelaskan kerugian konstitusionalnya dan kerugian dimaksud harus terkait dengan norma yang dimohonkan pengujian. Dalam permohonannya Pemohon lebih banyak menguraikan ketentuan dalam UU a quo yang terkait dengan peran, fungsi dan tugas TNI tanpa menjelaskan pertentangannya dengan norma UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian. Terlebih lagi Mahkamah mengalami kesulitan dalam memahami anggapan kerugian konstitusional Pemohon ketika dikaitkan dengan potensi kerugian dalam pemilu selanjutnya [vide permohonan halaman 5 poin c].Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam Persidangan Pendahuluan tanggal 18 Mei 2020 Majelis Panel telah memberi nasihat kepada Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukum sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Namun dalam perbaikan permohonan, Pemohon masih belum dapat menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat khusus atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Pemohon juga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya UU a quo; Bahwa oleh karena Pemohon tidak dapat menguraikan anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dipersyaratkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.4] di atas, maka Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Tiuridah Silitonga, S.T., M.M., Indrawan Susilo Prabowoadi, S.H., M.H., Nurhidayat, S. Sos., dan Mohammad Fadli, S.H.,

Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. …;
6. Bahwa sebagaimana diterangkan dalam Permohonan a quo, hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang, in casu UU Pilkada. Dengan berlakunya Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5) dan Pasal 134 ayat (6) serta Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum yang apabila kata “hari” yang dimaksud dalam ketentuan pasal a quo merupakan “hari kalender” sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 28 UU Pilkada. Hari kalender memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan hari kerja, yang mana untuk hari kerja tidak dihitung termasuk hari Sabtu dan hari Minggu serta hari libur nasional. Hal ini berbeda dengan tenggang waktu hari kalender yang lebih sedikit karena hari Sabtu dan hari Minggu serta hari libur nasional termasuk bagian yang dihitung. Maka hal itu akan merugikan hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
7. Bahwa selain itu, berkenaan dengan jangka waktu tindak lanjut temuan dan laporan pelanggaran berdasarkan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada, waktu yang diberikan untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran pemilihan, menentukan “paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”. Sementara berdasarkan Pasal 454 ayat (7) UU Pemilu, waktu yang diberikan untuk menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu, menentukan “paling lama 7 (tujuh) hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”. Perbedaan jangka waktu tindak lanjut penanganan pelanggaran antara UU Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terlihat sangat signifikan dan berpotensi mengurangi kualitas dalam tataran pelaksanaan penanganan pelanggaran pemilihan. Maka hal itu akan merugikan hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
8. Bahwa menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada, waktu keterangan tambahan mengenai tindak lanjut laporan pelanggaran pemilihan, menentukan “paling lama 2 (dua) hari”. Sementara berdasarkan Pasal 454 ayat (8) UU Pemilu, waktu keterangan tambahan mengenai tindak lanjut temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu, menentukan “paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”. Perbedaan pengaturan jangka waktu di atas terlihat signifikan dan berpotensi mengurangi kualitas dalam tataran pelaksanaan penanganan pelanggaran pemilihan, maka hal itu akan merugikan hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 8 di atas, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya dalil para Pemohon perihal pertentangan norma, khususnya Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, para Pemohon telah menguraikan secara spesifik dan adanya hubungan kausalitas bahwa berlakunya ketentuan Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada telah merugikan atau potensial merugikan para Pemohon. Oleh karena itu, para Pemohon telah dapat menerangkan anggapan kerugian atau setidak-tidaknya kerugian potensial yang dialami atau yang akan dialami para Pemohon dengan berlakunya Pasal 134 ayat (4), Pasal 134 ayat (5), Pasal 134 ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang diajukan permohonan pengujian konstitusionalitasnya. Sehingga dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan para Pemohon.

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa permohonan Provisi para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menjadikan perkara a quo sebagai prioritas agar dapat diputuskan sebelum dilaksanakannya tahapan pencocokan dan penelitian daftar pemilih dan/atau setidak-tidaknya sebelum tahapan verifikasi faktual syarat dukungan pasangan calon perseorangan di tingkat desa/kelurahan. Terhadap alasan permohonan provisi para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah oleh karena tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah telah diubah sebagai konsekuensi perubahan jadwal pemungutan suara berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka alasan permohonan Provisi dimaksud tidak relavan lagi untuk dipertimbangkan, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada, para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, waktu proses penanganan pelanggaran dalam UU Pilkada, dapat menggangu performa Bawaslu, khususnya Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mewujudkan penegakan hukum pemilihan yang optimal. Keadaan inilah yang mendorong para Pemohon mengambil inisiatif untuk mengusulkan pengujian materiil terhadap ketentuan kata “hari” dalam Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada. Berkenaan dengan ketentuan kata “hari”, UU Pilkada masih mendefinisikannya sebagai “hari kalender” sebagaimana tertulis dalam ketentuan Pasal 1 angka 28. Bagi para Pemohon, definisi kata “hari” akan menimbulkan permasalahan terutama dalam upaya penanganan pelanggaraan dan/atau penyelesaian sengketa pemilihan yang menjadi tidak berkualitas karena tidak dapat dilakukan secara lebih komperhensif dan lebih optimal;
2. Bahwa menurut para Pemohon, waktu “hari kalender” dihitung secara hari normal, yaitu termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari libur nasional, di mana penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa tidak dapat dilakukan secara komprehensif dan lebih optimal karena institusi pihak terkait memiliki hari kerja sebagai patokan sehingga akan berakibat turunnya kualitas proses penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu kata “hari” di dalam ketentuan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) serta Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada dinilai bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
3. Bahwa para Pemohon juga mengajukan pengujian konstitusionalitas terhadap jangka waktu tindak lanjut laporan pelanggaran yang telah dikaji dan terbukti kebenarannya. Berdasarkan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada, tindak lanjut terhadap laporan ditentukan “paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”. Sementara itu, Pasal 454 ayat (7) UU Pemilu menentukan “paling lama 7 (tujuh) hari setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”. Ditambah lagi, jangka waktu bagi pengawas pemilu untuk meminta keterangan tambahan dari pelapor, Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada menentukan “paling lama 2 (dua) hari”. Sementara Pasal 454 ayat (8) UU Pemilu justru menentukan paling lama “14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”;
4. Menurut para Pemohon, perbedaan limitatif waktu tindak lanjut penanganan pelanggaran tersebut akan menimbulkan permasalahan terutama dalam upaya penanganan pelanggaraan pemilihan. Oleh karena itu, frasa “paling lama 3 (tiga) hari” dalam ketentuan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada dan frasa “paling lama 2 (dua) hari” dalam ketentuan Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada dinilai bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
5. Bahwa berdasarkan dalil-dalil di atas, para Pemohon memohon yang pada pokoknya agar Mahkamah:
Pertama, menyatakan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Pilkada, perihal kata “hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
Kedua, menyatakan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada, perihal kata “hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
Ketiga, menyatakan Pasal 134 ayat (5) UU Pilkada, perihal frasa “paling lama 3 (tiga) hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “paling lama 7 (tujuh) hari kerja”;
Keempat, menyatakan Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada, perihal frasa “paling lama 2 (dua) hari” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi”.

[3.9] …;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Permohonan a quo telah jelas, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK;

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional dalam Permohonan a quo adalah berkenaan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada esensinya mempersoalkan dua hal pokok, yaitu:
Pertama, bahwa kata “hari” sebagaimana dimaksud dalam norma-norma a quo adalah “hari kalender” sebagaimana didefinisikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada, menurut para Pemohon, memaknai hari sebagai hari kalender dalam konteks penanganan laporan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilihan kepala daerah tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap penanganan pelanggaran dan/atau penyelesaian sengketa pemilihan;
Kedua, bahwa singkatnya tenggat waktu untuk penanganan laporan pelanggaran pemilihan dan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah menyebabkan proses penegakan hukum pemilihan tidak dapat berjalan secara optimal seperti praktik dalam Pemilihan Umum 2019, terutama pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD sehingga asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dari penanganan pelanggaran pemilihan tidak akan terpenuhi;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan sebagaimana didalilkan para Pemohon, pertanyaan konstitusional yang harus dijawab adalah apakah makna “hari” sebagai “hari kalender” dan tenggat waktu penanganan pelanggaran dan sengketa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimuat dalam Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) dalam UU Pilkada tidak memberikan jaminan perlindungan hak dan ketidakpastian hukum yang adil sehingga menyebabkan tidak optimalnya upaya penanganan pelanggaran pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

[3.14] Menimbang bahwa sebelum menguraikan pokok permohonan sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa mekanisme penegakan hukum pemilu merupakan bagian dari sarana untuk mewujudkan keadilan pemilu, termasuk dalam hal ini penegakan hukum dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mekanisme penegakan hukum pemilu dalam konteks penyelenggaraan pilkada diatur dalam UU Pilkada, yaitu mencakup penanganan pelanggaran, penyelesaian sengketa proses pilkada, dan penyelesaian sengketa hasil pilkada. Pengaturan mekanisme penegakan hukum pemilu, termasuk penegakan hukum pilkada, setidak-tidaknya harus mempertimbangkan aspek ketersediaan ruang dan waktu yang cukup bagi sebuah proses penyelesaian masalah hukum pemilu yang dijalankan secara pasti dan adil, serta aspek ketaatan pada jadwal penyelenggaraan pemilu yang telah ditetapkan agar tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan. Dalam arti, penentuan mekanisme dan waktu penyelesaian masalah hukum pemilu di samping harus dapat memberikan kepastian dan jaminan keadilan bagi hak pilih yang terlanggar, juga harus memerhatikan kepastian hukum pelaksanaan pemilu sesuai tahapan yang telah ditentukan ketentuan perundang-undangan. Perihal ini, keseimbangan atau proporsionalitas keduanya dalam pengaturan mekanisme penyelesaian masalah hukum pemilihan kepala daerah akan turut menentukan terpenuhi-tidaknya asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Kedua, bahwa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dinormakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dimaknai segala tindakan negara dan penyelenggara negara didasarkan atas hukum. Pada saat yang sama, kepastian hukum juga dimaknai hukum yang diterapkan memiliki kejelasan, baik aspek pengaturan maupun implementasinya. Dalam hal ini, bila dikaitkan dengan kepastian hukum, proses/mekanisme penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada, maka dapat dimaknai sebagai kejelasan pengaturan mekanisme pananganan pelanggaran dan sengketa pilkada. Dalam arti, norma yang mengatur masalah tersebut dirumuskan secara jelas, tegas dan tidak multitafsir, terutama perihal mekanisme yang mencakup pengaturan proses dan tahap penanganan, pengaturan jangka waktu yang jelas sesuai dengan kerangka tahapan pemilihan dan dalam pelaksanaannya tidak dimaknai dan diimplementasikan secara berbeda-beda.
Ketiga, bahwa penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pilkada merupakan bagian dari proses penyelesaian masalah hukum secara cepat (speedy trial), sehingga tenggang waktu penyelesaiannya tunduk pada pembatasan waktu yang ketat. Pembatasan tenggat waktu dimaksud juga berhubungan erat dengan ketatnya waktu pelaksanaan setiap tahapan pemilihan kepala daerah. Ketepatan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa dalam waktu yang sangat terbatas merupakan bagian dari bagaimana mekanisme hukum pemilihan berperan melindungi hak pilih dan mewujudkan keadilan pemilihan, in casu pemilihan kepala daerah.
Keempat, bahwa terkait dengan bagaimana mekanisme penanganan pelanggaran serta berapa lama waktu penanganan yang disediakan, merupakan yurisdiksi atau kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam pengaturan mekanisme penanganan pelanggaran dan penyelesaiannya harus mempertimbangkan secara proporsional antara aspek ketersediaan waktu dalam penanganan pelanggaran dengan jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang amat ketat dan terbatas, serta proses/mekanisme penanganan yang jelas sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas, terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, bahwa makna “hari” sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada sebagai hari kalender merupakan makna yang sama bagi seluruh maksud kata “hari” dalam UU Pilkada. Semua tenggang waktu pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada diukur menggunakan “hari” kalender, kecuali untuk beberapa hal khusus yang secara tegas menggunakan kata “hari kerja”. Perihal kata “hari” dalam ketentuan norma a quo ditentukan sebagai hari kerja sebagaimana didalilkan para Pemohon, sementara norma lain terkait tenggang waktu pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah tetap menggunakan ukuran “hari kalender” maka akan sangat mungkin terjadi kesenjangan dan ketidaksinkronan ukuran tenggang waktu pelaksanaan tahapan yang pada gilirannya potensial menimbulkan/berdampak pada ketidakpastian perihal penyelesaian tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena hal tersebut potensial menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan sendirinya memaknai kata “hari” dalam pasal-pasal a quo dapat merusak desain tahapan pemilihan kepala daerah yang secara ketat telah diperhitungkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pasal- pasal yang dimohonkan para Pemohon.
Bahwa pengaturan mekanisme dan batas waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam norma-norma a quo sama sekali tidak dapat dikualifikasikan telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum. Sebab, dalam pasal-pasal dimaksud sama sekali tidak ditemukan adanya ketidakjelasan, ketidaklengkapan ataupun pengaturan yang multitafsir. Mekanisme penanganan laporan dan penyelesaian sengketa telah diatur secara jelas dengan batas waktu yang juga pasti, sehingga proses penanganan pelanggaran pun sesungguhnya sudah memenuhi standar kepastian hukum. Bahkan dengan ketentuan a quo, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/kota dapat dikatakan telah memiliki panduan hukum yang jelas dalam melakukan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pilkada.
Bahwa hal ihwal optimal atau tidaknya pelaksanaan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah oleh Bawaslu sebagaimana yang juga didalilkan oleh para Pemohon, bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan masalah implementasi norma. Dalam arti, hal tersebut terkait bagaimana Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/kota mengatur atau membuat desain serta strategi pengawasan dan penegakan hukum pemilihan kepala daerah yang lebih efektif, sehingga tenggat waktu berdasarkan ukuran hari kalender yang disediakan undang-undang dapat dipenuhi secara baik dan optimal. Oleh karena norma-norma a quo tidak mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan para Pemohon, maka dalil para Pemohon sepanjang makna hari sebagai hari kalender telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum tidak beralasan menurut hukum.
Kedua, bahwa terkait lama waktu tindak lanjut terhadap laporan yang telah dikaji dan terbukti kebenaran sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (5) dan jangka waktu untuk meminta keterangan tambahan dari pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (6) UU Pilkada, hal ini juga berkaitan atau tidak dapat dipisahkan dengan beban kerja dan lingkup kerja penanganan pelanggaran dan sengketa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Bahwa dengan membandingkan beban kerja penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dengan beban kerja penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang dilaksanakan tahun 2019, beban kerja pemilihan umum jauh lebih berat dalam berbagai aspek dibandingkan beban penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Beban tersebut termasuk beban kerja penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang tentunya tidaklah seberat penanganan pelanggaran dan sengketa pemilihan umum terutama pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan aspek beban kerja dimaksud, membandingkan batas waktu yang disediakan dalam penyelesaian pelanggaran Pilkada dengan tenggang waktu penyelesaian pelanggaran pemilu merupakan sesuatu yang tidak tepat.
Bahwa dari aspek kepesertaan, misalnya, pemilihan kepala daerah hanya diikuti oleh satu jenis peserta pemilihan, yaitu pasangan calon. Jumlah pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah juga terbatas. Terbatasnya jumlah peserta berdampak terhadap fokusnya proses pengawasan pemilihan dan berpotensi untuk lebih kecilnya jumlah pelanggaran dibandingkan yang terjadi dalam pemilu. Lebih jauh, hal demikian juga linear dengan kasus pelanggaran yang akan ditangani. Dengan beban kerja yang tidak seberat pemilihan umum anggota legislatif, jumlah peserta yang lebih sederhana serta potensi jumlah kasus yang tidak akan sebanyak kasus pemilu, maka lebih pendeknya waktu penanganan pelanggaran Pilkada dibandingkan Pemilu merupakan kebijakan hukum yang dapat diterima. Justru, menyamakan standar waktu penanganan antara penyelenggaraan pemilihan umum dengan beban kerja yang jauh lebih tinggi dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang lebih rendah dapat dinilai sebagai kebijakan yang kurang proporsional. Oleh karena itu, dalil para Pemohon perihal telah terjadi ketidakpastian akibat berbedanya pengaturan tenggang waktu dalam UU Pilkada dengan UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan a quo, kebijakan hukum pembentuk undang-undang dalam menentukan tenggang waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada sebagaimana dituangkan dalam norma-norma a quo masih dalam kerangka prinsip proporsionalitas dan kejelasan pengaturan terkait mekanisme dan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada. Sekalipun tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada berbeda dengan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pemilu, namun kebijakan hukum dimaksud masih proporsional ditinjau dari aspek perbedaan beban kerja penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
Bahwa selanjutnya, pengaturan mekanisme dan tenggang waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pilkada dapat saja berubah sesuai kebutuhan hukum. Apakah mekanisme dan tenggang waktu dimaksud akan disamakan atau tetap dibedakan, hal tersebut sepenuhnya tergantung pada pertimbangan pembentuk undang-undang. Hanya saja, pilihan kebijakan pengaturan mekanisme dan tenggang waktu dimaksud harus tetap memerhatikan aspek kepastian hukum penanganan pelanggaran dan kesesuaian waktu penanganan dengan waktu pelaksanaan tahapan Pilkada. Terlebih, sebagaimana dikemukakan pada poin ketiga Paragraf [3.14] di atas, proses penanganan pelanggaran maupun tindak pidana dalam perselisihan hasil pemilihan harus ditangani secara terintegrasi dan cepat, oleh lembaga yang diberikan kewenangan masing-masing, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan badan peradilan diperlukan proses yang bersifat “speedy trial”;

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951 TENTANG MENGUBAH “ORDONNANTIE TIJDELIJKE BIJZONDERE STRAFBEPALINGEN” (STBL. 1948 NOMOR. 17) DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DAHULU NOMOR 8 TAHUN 1948 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen, S.I.P., M.Si., yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Ir. Tonin Tachta Singarimbun S.H., dkk dari kantor Advokat Andita’s Law

Pasal 1 ayat (1) UU 12/Drt/1951

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana. Dalam argumentasi mengenai kedudukan hukum, Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang tidak ada relevansinya dengan norma yang diajukan, seperti permasalahan dugaan pembocoran isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dugaan pelanggaran hak Pemohon dalam melakukan demonstrasi, hingga argumentasi belum disahkannya norma UU 12/Drt/1951 oleh DPR.

Selain itu, dalam alasan permohonan, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami Pemohon tanpa adanya argumentasi yang jelas mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dasar dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian. Selain itu, baik dalam uraian mengenai kedudukan hukum dan dalam alasan permohonan, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas kaitan antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma. Terlebih lagi pada perbaikan permohonan terdapat pula ketidakjelasan mengenai norma yang disebutkan dalam Petitum angka (2) dan angka (3), di mana Pemohon menyebutkan norma yang diminta untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata api, padahal Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (STBL. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 sehingga terdapat ketidakjelasan petitum permohonan.
Berkenaan dengan hal di atas, walaupun dalam persidangan tanggal 15 Juni 2020, Pemohon melalui kuasanya telah menyampaikan perbaikan (renvoi), terhadap rumusan petitum angka (2) dan angka (3) tersebut, namun menurut Mahkamah renvoi tersebut bersifat substantif dan telah melewati tenggang waktu perbaikan permohonan yaitu tanggal 26 Mei 2020 sehingga Mahkamah hanya mempertimbangkan berkas permohonan yang diperbaiki sebelum tenggat tersebut dan tidak akan mempertimbangkan renvoi permohonan a quo. Jikapun renvoi tersebut dipertimbangkan oleh Mahkamah sebagai perbaikan permohonan, tetap tidak dapat memperjelas uraian permohonan baik mengenai uraian kerugian konstitusional maupun alasan permohonan. Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 13 Mei 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan alasan-alasan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 13 Mei 2020]. Namun demikian, permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas.

Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun jika Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan Pemohon adalah kabur;

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Jack Lourens Valentino Kastanya (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan

Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut persoalan konstitusionalitas norma yang diajukan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai petitum permohonan Pemohon yang meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang dimaknai “dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.” Terkait dengan petitum tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai apa yang sebenarnya dimohonkan kepada Mahkamah. Pemohon hanya meminta kepada Mahkamah agar Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan dinyatakan inkonstitusional sepanjang dimaknai “dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil” tanpa menguraikan lebih lanjut siapa yang akan diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil tersebut. Pemaknaan sebagaimana maksud Pemohon jika dikabulkan oleh Mahkamah justru akan mengaburkan esensi utuh norma Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan yang selengkapnya menyatakan “Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil”. Artinya, UU Kejaksaan mengatur bahwa jaksa secara otomatis diberhentikan sebagai PNS apabila yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya. Dengan adanya ketidakjelasan petitum permohonan Pemohon berakibat terjadinya inkonsistensi antara posita dengan petitum permohonan. Dalam batas penalaran yang wajar, permohonan demikian menjadi kabur (obscuur).

[3.8] Menimbang bahwa andaipun benar petitum yang dimaksud oleh Pemohon dalam permohonannya adalah meminta agar norma Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan dimaknai “Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil”, quod non, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (vide Penjelasan UU Kejaksaan);
2. Bahwa faktanya, dalam menjalankan tugas, Pemohon sebagai seorang jaksa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ternate No.: 04/Pid.Tipikor/2012/PN-Tte, tanggal 8 Agustus 2012 (vide bukti P-9) yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal Jaksa sebagai bagian dari ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum;
3. Bahwa terkait dengan ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.12] angka 7 huruf b Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUUXVI/2018, bertanggal 25 April 2019 yang menyatakan:
... Jika seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN. Sebab, seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian sesungguhnya, secara langsung atau tidak langsung, telah mengkhianati rakyat karena perbuatan demikian telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugastugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan tertentu.

Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan a quo.

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menguraikan petitum permohonan dengan jelas sehingga permohonan Pemohon tersebut menjadi kabur.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-07-2020

Aristides Verissimo de Sousa Mota

Pasal 168 ayat (2), Pasal 187 ayat (2), Pasal 189 ayat (2), Pasal 189 ayat (2), Pasal 192 ayat (3), dan Pasal 197 UU 7/2017

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-4, Pasal 28G, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 168 ayat (2), Pasal 187 ayat (2), Pasal 189 ayat (2), Pasal 192 ayat (3), dan Pasal 197 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan mengajukan permohonan Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya kausalitas (causal verband) antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan anggapan kerugian Pemohon sebagai warga negara yang ditetapkan sebagai pemilih;
Terlebih lagi, permohonan Pemohon tidak menguraikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kesulitan yang dialami oleh Pemohon pada saat memberikan hak suara.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 18 Mei 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum disertai dengan bukti-bukti yang mendukung serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 18 Mei 2020]. Namun demikian, Pemohon tetap tidak memperbaiki permohonannya.
Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan Pemohon adalah kabur.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-06-2020

Novan Lailathul Rizky, Indah Aprilia, Carotama Rusdiya, Anindya Octavia Khoirunisa dan Munawir, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiansa, S.H., M.H. dan Yohanes Mahatma Pambudianto, S.H.

Pasal 311 ayat (1) UU 22/2009

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan para Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah mengenai permohonan para Pemohon tentang penambahan delik pidana atau perbuatan pidana dengan memaknai dan memperluas Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ. Pemaknaan dengan cara memperluas demikian dilakukan pada frasa “setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang” dalam Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ, sehingga maknanya menjadi lebih luas dengan meliputi “termasuk pengemudi yang belum memasuki usia dewasa secara hukum, maka terhadap orang yang dengan sengaja memberikan/meminjamkan kendaraan bermotor”;

[3.11] Menimbang bahwa terkait dengan permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah harus mempertimbangkan dua hal sebagai berikut. Pertama, apakah penambahan atau perluasan makna terhadap Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ a quo, sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, dapat diartikan bahwa Mahkamah sebagai pengadilan konstitusional diminta membentuk norma hukum baru yang berisi delik pidana. Kedua, apakah pembentukan norma hukum baru yang berisi delik pidana demikian dapat diterima dan memang merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang;
Dalam beberapa putusan Mahkamah terdahulu, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PUU-XIII/2015, bertanggal 5 April 2017, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Desember 2017, telah diuraikan pertimbangan hukum yang secara substantif relevan dengan permohonan para Pemohon dalam perkara a quo. Dengan demikian argumentasi hukum Mahkamah dalam Putusan a quo tidak dapat dilepaskan dari argumentasi hukum pada dua putusan terdahulu sebagaimana disebutkan di atas;

[3.11.1] Bahwa terhadap pertanyaan pertama, Mahkamah menilai secara formal para Pemohon tidak meminta Mahkamah untuk membuat rumusan norma baru. Dalam dokumen permohonan para Pemohon tidak terdapat kata-kata atau kalimat yang secara expressiv verbis meminta agar Mahkamah membuat/merumuskan delik pidana baru. Para Pemohon “hanya” meminta agar Mahkamah menafsirkan atau memberi makna delik/perbuatan pidana yang diatur pada Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ tanpa disertai perubahan kalimat apapun pada Pasal 311 ayat (1) a quo. Sehingga norma pokok pasal dimaksud secara utuh masih tetap ada.
Bahwa lebih lanjut, meskipun hal yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah memberi makna, yang hal demikian tidak mengubah susunan kalimat/rumusan tertulis norma pokok dimaksud, namun secara substansial permohonan demikian seandainya dikabulkan oleh Mahkamah akan mengakibatkan perubahan pada norma hukum Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ. Norma hukum pada Pasal 311 ayat (1) yang semula hanya mengandung satu delik pidana, dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon akan mengalami penambahan sehingga mengandung/mengatur dua delik pidana. Terhadap penambahan norma demikian Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut, sekaligus menjawab apakah penambahan atau perluasan norma demikian merupakan pembentukan norma baru atau bukan;

[3.11.2] Bahwa penambahan delik pidana terjadi dalam hal suatu perbuatan/tindakan dalam masyarakat yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan/tindak pidana kemudian berubah (dikualifisir) menjadi perbuatan/tindak pidana. Perbuatan/tindakan yang ditambahkan sebagai perbuatan pidana baru, in casu, adalah perbuatan/tindakan seseorang yang mengizinkan atau meminjamkan kendaraan bermotor kepada anak di bawah umur yang kemudian anak dimaksud dalam berkendara telah membahayakan pengendara lain. Padahal delik pidana dalam Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ yang saat ini sedang diuji sebenarnya hanya mengancamkan pidana kepada satu perbuatan saja, yaitu perbuatan/tindakan “yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa dan barang”. Jika ditelaah lebih lanjut, tentu saja penambahan delik pidana demikian membawa konsekuensi bertambahnya pula unsur-unsur perbuatan pidana yang diatur oleh Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ;
Bahwa untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang perbedaan norma pasal dimaksud, apabila dilakukan perluasan dengan menambah perbuatan/tindakan yang dapat dipidana yang sebelumnya bukan perbuatan/tindakan pidana, berikut ini diilustrasikan perbandingan antara Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ yang tidak mengalami perubahan dengan Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ yang diandaikan telah dikenai perubahan makna sebagaimana dimohonkan para Pemohon;

Bahwa konstruksi norma dengan penambahan atau memperluas delik pidana yang dibangun para Pemohon demikian, menurut Mahkamah memang tidak akan memunculkan delik pidana baru yang tegas tertulis, melainkan memperluas atau menambah cakupan baru atau menambah delik pidana baru, karena penambahan dan perluasan tersebut tidak akan tercantum dalam norma pasal yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ. Namun demikian, keinginan para Pemohon dimaksud tetap saja mengakibatkan adanya delik “tambahan” baru yang berupa perluasan makna, yang akhirnya akan tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang secara hukum berkekuatan mengikat sebagaimana layaknya undang-undang;

[3.11.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah mencermati rangkaian posita-petitum yang dimohonkan oleh para Pemohon dan Mahkamah berpendapat ternyata permohonan para Pemohon berisi permintaan agar Mahkamah mengkualifisir suatu perbuatan atau tindakan menjadi suatu delik/perbuatan pidana, dari sebelumnya bukan termasuk kategori pidana menurut Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ. Tegasnya, Mahkamah menilai bahwa permohonan para Pemohon berisi permintaan agar Mahkamah menambahkan satu rumusan delik/perbuatan pidana pada Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ, atau yang dalam bahasa politik hukum lebih dikenal dengan istilah kebijakan kriminalisasi (criminal policy);

[3.11.4] Bahwa pertanyaan kedua yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah, apakah penambahan delik/perbuatan pidana ke dalam Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah yang karenanya boleh dilakukan. Dengan kata lain, apakah Mahkamah berwenang untuk membuat kebijakan kriminalisasi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi;
Bahwa pada dasarnya kewenangan pengujian konstitusionalitas yang oleh UUD 1945 diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi adalah pengujian norma undang-undang terhadap UUD 1945. Secara sederhana hal demikian dapat dipahami sebagai tindakan Mahkamah menilai apakah norma suatu undang- undang telah sesuai dengan norma UUD 1945, khususnya yang berkaitan erat dengan hak konstitusional warga negara;
Lebih lanjut penting untuk dijelaskan bahwa secara doktriner kewenangan Mahkamah dalam hal pengujian undang-undang, dari perspektif teori pembagian kekuasaan, harus dipahami sebagai pelaksanaan fungsi/cabang yudisial yang “berbagi kekuasaan” dengan fungsi legislatif dan fungsi eksekutif. Fungsi legislatif atau legislasi mempunyai tugas untuk membentuk atau menyusun undang-undang. Kewenangan legislasi ini diamanatkan kepada DPR bersama dengan Presiden, yang kemudian keduanya secara bersama-sama disebut sebagai pembentuk undang-undang. Adapun kewenangan eksekutif atau eksekusi/pelaksanaan diamanatkan kepada Presiden selaku pemimpin/kepala Pemerintahan;

[3.11.5] Bahwa kemudian fungsi yudisial diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, yang mempunyai tugas untuk menilai/mengadili kepatuhan semua pihak pada peraturan perundang-undangan yang disusun oleh lembaga legislatif dan/atau dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Mahkamah Konstitusi bertugas mengadili penerapan/pengejawantahan norma UUD 1945 ke dalam undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, sementara Mahkamah Agung bertugas mengadili penerapan undang- undang/pengejawantahan norma undang-undang ke dalam peraturan perundang- undangan lain di bawah undang-undang;
Fungsi yudisial yang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi terjelma dalam salah satu kewenangan yang dimiliki, yaitu untuk menilai norma undang- undang yang sudah ada, apakah bersesuaian ataukah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan kata lain, Mahkamah tidak dapat menilai atau mengadili norma undang-undang yang belum dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Hal demikian karena tindakan mengadili/menilai konstitusionalitas suatu norma yang belum ada, terutama ketika penilaian Mahkamah kelak menyatakan norma demikian bersesuaian atau tidak dengan konstitusi, akan berujung sebagai kegiatan yang tumpang tindih dengan kegiatan merumuskan/membuat norma hukum baru. Dengan demikian tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut ekuivalen (sama dan sebangun) dengan pelaksanaan kewenangan fungsi legislatif, yang artinya Mahkamah telah keluar dari wilayah fungsi yudisial dan menyeberang ke wilayah fungsi legislasi;

[3.11.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, lebih lanjut dapat dijelaskan, meskipun secara pragmatis dapat menjadi terobosan dalam rangka mengisi kekosongan hukum, atau setidaknya dapat menjawab kebutuhan hukum nyata dalam masyarakat yang belum terjawab oleh pembentuk undang- undang, namun tidak menutup kemungkinan memunculkan tirani hukum karena Mahkamah akan terjebak dengan bertindak sebagai pembentuk undang-undang sekaligus pengadil/penguji konstitusionalitas undang-undang dimaksud. Dengan demikian sulit untuk menghindari adanya prasangka bahwa dua dari tiga fungsi kekuasaan negara akan sekaligus berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian menjadikan posisi ambiguitas yang berkonotasi Mahkamah sebagai pembentuk undang-undang sekaligus pengawas undang-undang (melalui jalur pengujian konstitusionalitas) yang berpotensi memunculkan kesewenangan dalam pembentukan undang-undang serta di sisi lain berpotensi menumpulkan pengawasan konstitusionalitas undang-undang;
Bahwa penumpukan atau pemusatan fungsi legislasi dan fungsi yudisial pada satu lembaga harus dihindari. Untuk itu Mahkamah harus tetap pada tujuan awal dibentuknya, yaitu mengoreksi penyimpangan undang-undang atau menilai konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945, terbatas pada (norma) undang-undang yang sudah ada atau sudah dirumuskan dan disahkan. Mahkamah tidak boleh terperangkap atau menempatkan dirinya sebagai perumus undang- undang (positive legislator). Seandainya pun terdapat perubahan isi undang- undang melalui putusan Mahkamah, dan memang secara faktual terdapat beberapa Putusan Mahkamah yang mengubah makna norma undang-undang sehingga lebih luas, hal demikian dilakukan secara terpaksa dan sifatnya terbatas, serta terlebih lagi perlu ditegaskan tidak terjadi di wilayah pemidanaan. Mahkamah dalam putusannya tidak pernah merumuskan delik pidana atau mengkriminalkan, di mana esensi kriminalisasi adalah membuat suatu tindakan/perbuatan yang sebelumnya tidak diancam dengan sanksi pidana berubah menjadi dapat dijatuhi sanksi pidana. Terkait dengan perkara a quo Mahkamah konsisten dengan pendirian sebelumnya yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 [vide Paragraf [3.12], halaman 441-443];
Bahwa dalam pertimbangan hukum perkara tersebut, hakikat yang diamanatkan adalah, dalam pengujian undang-undang yang konteks permohonannya meminta Mahkamah melakukan kebijakan kriminalisasi atas perbuatan tertentu, tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah. Kriminalisasi berkaitan erat dengan tindakan pembatasan hak dan kebebasan seseorang di mana pembatasan demikian berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang- undang;

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ tidak bertentangan dengan UUD 1945 meskipun tidak dilekati dengan makna yang dimohonkan oleh para Pemohon. Di sisi lain, pendapat Mahkamah demikian tidak boleh diartikan bahwa makna yang dimohonkan para Pemohon agar dilekatkan pada Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ adalah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab Mahkamah pada hakikatnya tidak sampai mempertimbangkan terlebih menilai konstitusionalitas substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon a quo. Hal demikian karena pemaknaan yang dimohonkan para Pemohon, seandainya dikabulkan, mengharuskan Mahkamah untuk membentuk norma hukum baru, in casu merumuskan kebijakan kriminalisasi. Pembentukan norma baru secara fundamental selalu dihindari oleh Mahkamah, karena hal demikian merupakan tugas lembaga legislatif sebagai positive legislator;
Bahwa penting ditegaskan oleh Mahkamah, di samping pertimbangan hukum kekinian sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah juga mengingatkan kembali pendiriannya sebagaimana esensi pertimbangan hukum pada putusan- putusan sebelumnya, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi (criminal policy) yang berkaitan erat dengan perampasan kemerdekaan warga negara benar-benar harus mendapatkan persetujuan lembaga perwakilan rakyat yang merupakan representasi kehendak rakyat. Dengan demikian, melalui Putusan a quo Mahkamah mendorong agar makna Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ sebagaimana dimaksud para Pemohon diusulkan kepada lembaga legislatif untuk dibahas sebagai kebijakan pidana dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan di jalan yang diakibatkan oleh adanya pengendara kendaraan bermotor yang masih di bawah umur;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ sepanjang tidak dimaknai “termasuk pengemudi yang belum memasuki usia dewasa secara hukum, maka terhadap orang yang dengan sengaja memberikan/meminjamkan kendaraan bermotor” adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-06-2020

Eliadi Hulu dan Ruben Saputra Hasiholan.

Pasal 107 ayat (2), dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.5] dikaikan dengan paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang merupakan pengguna sepeda motor pemegang Surat Ijin Mengemudi (vide bukti P-6 dan bukti P-7), telah dapat menjelaskan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya, yaitu para Pemohon mengalami ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, anggapan kerugian dimaksud memiliki keterkaitan atau hubungan kausalitas dengan berlakunya ketentuan norma dalam Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ yang dimohonkan pengujian. Di samping itu para Pemohon telah menjelaskan pula bahwa kerugian konstitusional yang dianggapkan tersebut tidak akan terjadi lagi apabila permohonan para Pemohon dikabulkan. Oleh karena itu terlepas dari ada atau tidaknya persoalan inkonstitusionalitas norma yang didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas, terhadap dalil para Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan:

[3.12.1] Bahwa angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi terus mengalami peningkatan, salah satu penyebabnya adalah sesama pengendara yang tidak dapat mengantisipasi keberadaan kendaraan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu undang-undang mengatur mengenai pembatasan yang merupakan antisipasi bagi pengendara terhadap pengendara lain, seperti prasyarat kesehatan penglihatan bagi pengendara, lampu kendaraan, klakson, kaca spion, dan lain sebagainya. Adapun tujuan pengaturan dan pembatasan demikian tak lain adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas;
Dalam kaitan ini, Pasal 107 UU LLAJ mengatur mengenai penggunaan lampu utama bagi pengendara kendaraan bermotor dan Pasal 293 UU LLAJ mengatur mengenai sanksi atas pelanggaraan penggunaan lampu utama. Lampu utama merupakan salah satu bagian dari seluruh sistem lampu dan alat pemantul cahaya dalam sebuah kendaraan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (2) huruf a bagian i yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Khusus sepeda motor harus dilengkapi dengan lampu utama dekat dan lampu utama jauh paling banyak dua buah dan dapat memancarkan cahaya paling sedikit 40 (empat puluh) meter ke arah depan untuk lampu utama dekat dan 100 (seratus) meter ke arah depan untuk lampu utama jauh [vide Pasal 24 ayat (1) PP 55/2012]

[3.12.2] Bahwa di samping pengaturan tersebut di atas Pasal 107 UU LLAJ menyatakan:
(1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.

Dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam norma tersebut adalah bahwa bagi semua kendaraan bermotor tanpa terkecuali wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan pada kondisi tertentu [Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ], yang baik malam hari maupun kondisi tertentu merupakan kondisi yang gelap atau terbatasnya jarak pandang akibat kurangnya pencahayaan. Pada kondisi ini setiap kendaraan tanpa terkecuali harus menyalakan lampu utama, sehingga semua kendaraan yang berada di jalan satu sama lain dapat saling mengantisipasi kendaraan lain yang berada di sekitarnya dan yang akan melintas.
Sementara itu untuk siang hari, hanya sepeda motor yang diwajibkan untuk menyalakan lampu utama [Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ]. Kewajiban menyalakan lampu utama khusus sepeda motor pada siang hari, memiliki alasan keamanan tersendiri. Siang hari adalah saat yang terang, maka sesungguhnya setiap kendaraan bisa mengantisipasi kendaraan lain, termasuk kendaraan di belakangnya melalui kaca spion. Namun karena ukuran dan bentuk sepeda motor yang mudah melakukan akselerasi di jalan, serta bentuk sepeda motor relatif lebih kecil maka seringkali pengendara lain tidak bisa mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di belakangnya maupun dari depan dengan jarak yang masih relatif jauh. Lebih lanjut lagi sepeda motor dapat dengan mudah melintas maupun mendahului kendaraan di depannya. Dengan kewajiban pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama pada siang hari, maka pengendara kendaraan lain di depan motor tersebut dengan mudah dapat mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di sekitarnya atau yang sedang atau akan melintas. Di samping alasan tersebut, sinar lampu utama dari sepeda motor akan dipantulkan dari kaca spion kendaraan yang berada di depannya sehingga kendaraan bisa mengantisipasi adanya sepeda motor yang ada di belakangnya, dan dalam batas penalaran yang wajar, hal ini dapat menghindari terjadinya kecelakaan;
Bahwa jumlah pengendara sepeda motor semakin meningkat dan angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor juga semakin tinggi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di pelbagai belahan dunia. Oleh karena itu aturan untuk menyalakan lampu kendaraan bagi pengendara sepeda motor pada siang hari juga diterapkan di negara lain, seperti di Malaysia, India, Canada, termasuk negara-negara Uni Eropa (bukan hanya negara Nordik). Penerapan aturan menyalakan lampu kendaraan pada siang hari (baik daytime running light ataupun automatic headlamp on) di pelbagai belahan dunia kini semakin digalakkan, dari tingkatan “himbauan” sampai dengan tingkatan “kewajiban”;
Dengan demikian berdasarkan ratio legis dari pengaturan penggunaan lampu utama pada siang hari yang diatur dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ, maka pentingnya menyalakan lampu sepeda motor adalah saat hari sedang terang, sehingga akan menegaskan adanya perbedaan pengaturan norma yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) dengan Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ, khususnya penekanan perbedaan pada keadaan gelap dan keadaan terang. Dalam keadaan gelap (malam hari dan kondisi tertentu) semua pengendara kendaraan wajib menyalakan lampu utama, dan dalam keadaan terang hanya sepeda motor yang wajib menyalakan lampu utama.
Dengan demikian menurut Mahkamah, maka makna “siang hari” haruslah dilekatkan dengan keadaan pada saat hari sedang terang. Oleh karena itu sesungguhnya dalam konteks norma a quo tidak diperlukan pembagian pagi-siang-petang/sore untuk memaknainya. Terlebih apabila makna “siang hari” harus dikaitkan dengan pembagian waktu sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, maka implementasi Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ menjadi rancu, sebab pada waktu pagi dan petang sepeda motor tidak perlu menyalakan lampu utama (sebagaimana posita para Pemohon yang menganggap pukul 09.00 WIB bukanlah saat yang tepat untuk melakukan penilangan dengan menggunakan Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ), padahal pentingnya sepeda motor menyalakan lampu utama pada saat terang, baik siang, pagi maupun petang adalah agar kendaraan lain bisa mengantisipasi gerak dari sepeda motor. Jika pagi dan petang dimaknai tidak termasuk dalam siang hari yang dimaksud oleh Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ dan kendaraan sepeda motor belum/tidak diwajibkan menyalakan lampu utama, maka kecelakaan akibat tidak dapat mengantisipasi adanya sepeda motor akan sering terjadi pada pagi dan petang. Dengan penegasan lain ketika hari sudah terang, yaitu sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, diperlukan penanda yang jelas karena telah terkamuflasenya antara sinar matahari pada waktu hari sudah terang dengan fisik benda pengguna lalu lintas dalam hal ini sepeda motor yang bentuknya relatif kecil dan kadang dalam jumlah yang padat. Sehingga, menurut Mahkamah hal ini menunjukkan tidak ada relevansinya untuk mengelompokkan pembagian waktu siang hari dengan waktu pagi, siang dan sore/petang sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon. Sebab hal fundamental yang menjadi esensi persoalan sesungguhnya bukan membedakan pagi hingga sore hari dengan pengelompokan waktu, akan tetapi semangatnya adalah frasa “siang hari” pada norma Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ tersebut yang dimaksudkan adalah hari sudah terang;
Bahwa secara doktriner maupun ilmu astronomi, berkenaan pembagian waktu hanya dikenal waktu siang dan malam, hal tersebut disebabkan adanya fenomena alam dengan mengikuti perputaran bumi dan matahari. Pada waktu siang sesungguhnya adalah waktu di mana ketika bumi berputar pada porosnya dan ketika itu wajah bumi berhadapan dengan matahari. Sedangkan, waktu malam adalah di mana ketika itu wajah bumi membelakangi matahari. Oleh karena itu berdasarkan perputaran bumi terhadap matahari diperoleh adanya pembagian waktu siang dan malam yang esensinya adalah berasal dari keadaan waktu ketika bumi dalam keadaan gelap dan terang.
Lebih lanjut dapat dijelaskan berkaitan dengan pembagian waktu ini, untuk wilayah negara Indonesia hampir mendapatkan waktu yang sama antara siang dan malam, yaitu masing-masing kurang lebih 12 jam. Sementara itu sebutan atau istilah waktu pagi dan sore atau petang, sesungguhnya hanya menegaskan, bahwa waktu pagi adalah waktu mulainya siang dan waktu sore atau petang adalah waktu berakhirnya siang. Oleh karena itu pada hakikatnya waktu pagi maupun sore atau petang sebenarnya adalah merupakan bagian dari waktu siang hari;
Bahwa untuk memperkuat pertimbangan tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan pula, oleh karena frasa “siang hari” ini berkaitan dengan norma yang mengatur tentang perintah dan sanksi apabila dilanggar, maka sebagai perbandingan relevan apabila dikaitkan dengan frasa “malam hari” sebagaimana yang terdapat dalam kualifikasi perbuatan pidana yang dilakukan pada “malam hari” yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa frasa “malam hari” dalam KUHP yang dimaksudkan adalah ketika antara matahari mulai terbenam hingga matahari terbit. Oleh karena itu frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ ekuivalen dengan frasa “malam hari” dalam KUHP. Dengan demikian dapat dimaknai siang hari adalah waktu ketika matahari terbit sampai matahari terbenam.

[3.12.3] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, lebih lanjut dapat dipertimbangkan, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan sebagaimana yang dikehendaki dalam petitumnya yang meminta agar frasa “siang hari” dimaknai sepanjang hari, maka menurut Mahkamah di samping tidak bersesuaian dengan kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon juga dapat berdampak adanya ambiguitas terhadap pemberlakuan Pasal 107 UU LLAJ. Sebab, jika dibaca secara keseluruhan Pasal 107 UU LLAJ, baik pada ayat (1) maupun ayat (2), maka maksud pembentuk undang-undang memang memerintahkan kepada pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu utama baik pada saat gelap maupun terang. Oleh karena itu jika para Pemohon mengartikan ke dalam sequence pembagian hari, maka memang secara faktual bermakna lampu sepeda motor wajib dinyalakan sepanjang waktu, tanpa harus ada pembagian waktu. Hal ini yang kemudian secara faktual pula mendorong pabrikan sepeda motor memproduksi kendaraan sepeda motor dengan membuat lampu utama menyala secara otomatis saat motor dinyalakan, sehingga tidak lagi dibuat instrumen untuk menyalakan dan mematikan lampu utama sepeda motor saat motor dalam keadaan menyala. Namun apakah dengan demikian frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ perlu diubah menjadi “sepanjang hari” Menurut Mahkamah hal ini justru tidak tepat karena di samping menjadi ambigu sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, juga akan terjadi tumpang tindih dengan norma yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ.
Bahwa lebih lanjut penting dijelaskan, di samping terjadi ambiguitas dan tumpang tindih sebagaimana Mahkamah pertimbangkan tersebut di atas, juga akan terjadi redundansi pengaturan, jika frasa “siang hari” dalam Pasal 293 ayat (2) diganti menjadi frasa “sepanjang hari”. Dalam Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ yang dimohonkan pengujian, mengatur mengenai sanksi atas pelanggaraan penggunaan lampu utama pada siang hari. Namun jika frasa “siang hari” diganti dengan frasa sepanjang hari, maka akan terjadi tumpang tindih dan redundansi serta saling tidak bersesuaian dengan norma Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ yang mengatur sanksi atas pelanggaran penggunaan lampu utama pada saat gelap dan kondisi tertentu. Hal tersebut dikarenakan kata “sepanjang hari” sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dapat bermakna baik siang maupun malam, termasuk saat gelap dan kondisi tertentu, padahal pengaturan sanksi untuk pelanggaran penggunaan lampu utama saat gelap dan kondisi tertentu sudah diatur dalam Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ, yang mana baik kualifikasi pelanggarannya maupun ancaman sanksinya juga berbeda, yaitu sanksi dalam Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ lebih berat daripada sanksi yang ditentukan dalam Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.
Bahwa di samping pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan di atas, hal yang amat krusial dapat terjadi adalah adanya kerancuan yang muncul saat aparat hendak melakukan penegakan hukum jika ada pengendara sepeda motor tidak menyalakan lampu utama pada malam hari. Sebab, terhadap pelanggaran demikian, maka aparat penegak hukum akan menemukan kesulitan berkenaan dengan kualifikasi pelanggaran yang dilakukan pengendara sepeda motor, apakah terhadapnya dapat dikenakan sangkaan melanggar Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ ataukah melanggar Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ karena disebabkan adanya redundansi pemaknaan “sepanjang hari” sebagaimana yang dikehendaki dan didalilkan para Pemohon, karena malam hari juga merupakan bagian dari sepanjang hari.
[3.12.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendirian, makna frasa “siang hari” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ telah jelas dan memberikan kepastian hukum. Sehingga jikalau masih ada pendapat yang menganggap pagi dan sore atau petang hari adalah berbeda dengan siang hari, hal demikian semata-mata hanya permasalahan anggapan yang didasarkan pada kelaziman istilah penyebutan saja, bukan permasalahan yang berdasarkan pada kajian teori, doktrin, dan argumentasi ilmiah. Oleh karena itu hal demikian menjadi jawaban bahwa sesungguhnya tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.
[3.13] Menimbang bahwa selain hal-hal yang telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas, terhadap dalil-dalil para Pemohon selain dan selebihnya, oleh karena tidak ada relevansinya maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-06-2020

Marcell Kurniawan dan Rosliana Ginting

Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 karena dapat menghambat adanya keseragaman kompetensi dalam sikap, pengetahuan dan keterampilan mengemudi sehingga menghambat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Terhadap dalil a quo, perlu ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tidak hanya dilakukan melakukan jalur tertentu saja. Penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu jalur formal, nonformal dan informal. Ketiga jalur tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan demikian sistem pendidikan nasional Indonesia mengakui setiap proses pendidikan manapun dan dilaksanakan oleh siapapun sepanjang sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. UU Sisdiknas sama sekali tidak membatasi pendidikan hanya boleh dilakukan oleh pemerintah saja, kelompok masyarakat tertentu saja atau perorangan tertentu saja, melainkan dapat dilakukan secara formal atau nonformal oleh lembaga pelatihan maupun secara mandiri oleh keluarga dan lingkungan. Norma yang diajukan oleh para Pemohon pada pokoknya mengatur mengenai salah satu syarat bagi warga negara untuk mendapatkan SIM. Norma a quo menyatakan bahwa calon pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi dan kompetensi tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. Kompetensi seperti apa yang dibutuhkan bagi seseorang untuk mendapatkan SIM ditentukan melalui mekanisme ujian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 81 dan Pasal 87 UU LLAJ, di mana Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan wewenang oleh undang-undang a quo untuk mengatur mengenai tata cara, persyaratan, pengujian dan penerbitan SIM. Dengan demikian “belajar sendiri” dalam rangka memperoleh kompetensi mengemudi pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses pendidikan informal dalam rangka memperoleh keterampilan mengemudi. Hal mana, ketika keterampilan yang diperoleh dari “belajar sendiri” memenuhi standar dan/atau syarat mendapatkan SIM, maka keterampilan dari belajar sendiri dimaksud tentu akan mendapatkan pengakuan. Dalam konteks ini, pengakuan terhadap kompetensi belajar sendiri akan dibuktikan dari berhasil atau tidaknya seseorang untuk lulus dalam ujian dan/atau tes mendapatkan SIM. Berkenaan dengan hal itu, selama seorang warga negara telah memenuhi syarat dan dinyatakan lulus ujian sebagaimana diatur oleh ketentuan tersebut, maka kompetensi mengemudi seseorang tersebut sudah seharusnya telah mencukupi terlepas belajar melalui pelatihan atau belajar sendiri. Selain itu, Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang digunakan para Pemohon sebagai dasar pengujian pada pokoknya merupakan pernyataan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Jika dikaitkan dengan pendidikan dan pelatihan mengemudi, kewajiban tersebut telah diakomodasi dalam bentuk aturan mengenai izin dan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi yang termaktub pada Pasal 78 UU LLAJ. Dalam hal ini, Pasal 78 ayat (3) menyatakan bahwa,

“Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Oleh karena itu, sesungguhnya tidak terdapat pertentangan antara pengaturan terkait pendidikan yang diatur dalam UU Sisdiknas dengan pengaturan cara memperoleh kompetensi mengemudi dalam UU LLAJ. Bahkan kesempatan memiliki kompetensi mengemudi dengan belajar sendiri dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ telah sejalan dengan ruang atau jalur mendapatkan pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Pertentangan justru akan terjadi apabila kesempatan untuk memperoleh kompetensi mengemudi dari belajar sendiri dihapus atau dihilangkan, undang-undang a quo justru menutup salah satu jalur pendidikan dalam rangka mendapatkan kompetensi mengemudi, dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakadilan bagi output lembaga kursus dan pelatihan para Pemohon. Terhadap dalil tersebut, jika dicermati argumentasi para Pemohon berkenaan dengan anggapan adanya pertentangan antara frasa a quo dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 pada pokoknya adalah sama yaitu adanya anggapan terjadi ketidakpastian hukum terhadap output lembaga kursus dan pelatihan tempat usaha para Pemohon. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah telah terjawab melalui pertimbangan pada Paragraf [3.11] dan [3.12.1] di atas bahwa yang menjadi objek atau tujuan untuk memperoleh kompetensi mengemudi, dalam hal ini adalah untuk memperoleh SIM, di mana segala aturan mengenai syarat, jenis serta lembaga yang berwenang menerbitkan SIM tersebut telah jelas diatur dalam Pasal 77, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, dan Pasal 88 UU LLAJ. Dengan demikian sudah jelas bahwa apapun bentuk kompetensi yang menjadi output dari lembaga pendidikan pelatihan, selama calon pengemudi tersebut tidak lulus ujian mengemudi sebagaimana dimaksud undang-undang a quo, maka dapat dipastikan kompetensi tersebut tidak cukup sebagai syarat untuk mendapatkan SIM, khususnya untuk calon pengemudi yang belajar di lembaga pendidikan dan pelatihan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang belajar sendiri ternyata berdasarkan hasil ujian mengemudi dinyatakan memiliki kompetensi yang cukup untuk mendapatkan SIM maka kompetensi tersebut harus diakui, dan tidak dapat dikatakan kompetensi tersebut menjadi tidak sah atau tidak valid. Selain itu, secara umum baik dalam sistem pendidikan nasional maupun dalam praktik sehari-hari, untuk berbagai jenis keahlian jika seseorang yang belajar sendiri dapat lulus ujian standardisasi sebagaimana seseorang yang mendapatkan keahlian tersebut melalui pendidikan dan pelatihan yang resmi atau dengan dilatih tenaga profesional bukan berarti terjadi ketidakpastian terhadap akreditasi tenaga pelatih dan instruktur dimaksud. Oleh karena itu, negara tidak mungkin melarang warga negaranya untuk memperoleh keahlian dengan belajar sendiri tanpa melalui lembaga yang terakreditasi, karena ukuran kompetensi adalah pada ujian yang telah ada standarnya, bukan pada dengan cara apa kompetensi tersebut diperoleh. Bahkan dalam standar internasional pun, pada batas-batas tertentu, misalnya, untuk penguasaan bahasa Inggris yang dibuktikan dengan sertifikat Test of English as a Foreign Language (TOEFL) atau International English Language Testing System (IELTS) tidak mensyaratkan bahwa seseorang harus sebelumnya mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait keahlian dimaksud. Hal inipun tidak berimplikasi pada terjadinya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap akreditasi pengajar bahasa Inggris.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon tentang frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.3] Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 karena dengan berlakunya frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ, dapat menjadi legitimasi bagi calon pengemudi untuk tidak mengikuti pendidikan, pelatihan dan ujian mengemudi dari lembaga kursus dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh Pemerintah. Lebih lanjut hal ini menurut para Pemohon berimplikasi pada sulitnya para Pemohon mengembangkan usahanya karena sulit mendapatkan investasi. Terhadap dalil ini, menurut Mahkamah, tidak tepat apabila para Pemohon mengganggap telah terhambat pengembangan usahanya karena adanya faktor undang-undang atau regulasi yang menghambat, karena dalam UU LLAJ, profesi dan jenis usaha para Pemohon sebagai pengusaha pada lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi sudah diakomodasi dan diatur dengan jelas dalam Pasal 78. Tidak ada norma yang secara langsung menghambat atau menghalangi para Pemohon dalam mengembangkan usahanya tersebut. Jikapun para Pemohon tetap beranggapan kebebasan bagi calon pengemudi untuk belajar sendiri dalam memperoleh kompetensi mengemudi sebagai bentuk regulasi yang dapat menghambat usaha para Pemohon, maka para Pemohon sebagai pelaku usaha harusnya memahami bahwa regulasi bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam berkembang atau tidaknya suatu usaha. Berkembang atau tidaknya usaha para Pemohon juga dapat didorong dengan adanya kreatifitas, inovasi dan komitmen untuk maju dan mempromosikan usahanya kepada calon investor. Sebagai contoh, fenomena munculnya usaha di bidang transportasi umum berbasis jaringan (online) yang lahir dan berkembang serta berhasil menarik investasi dengan begitu cepat sebelum adanya regulasi yang mendukung. Justru sebaliknya apabila belajar sendiri tidak dimunculkan sebagai salah satu alternatif untuk memperoleh kompetensi mengemudi, maka akan melanggar atau menghalangi hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan dirinya secara otodidak untuk memperoleh SIM. Proses belajar melalui lembaga kursus tentunya lebih baik dibandingkan belajar sendiri karena prosesnya dilakukan berdasarkan kurikulum dan standar tertentu yang ditetapkan pemerintah, serta dilaksanakan oleh lembaga pelatihan dan pendidikan yang memiliki izin dan akreditasi. Namun, hal itu sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup ruang bagi warga negara yang memilih untuk mendapatkan kompetensi melalui proses belajar sendiri. Dalam konteks ini, hukum atau undang-undang tidak dapat meniadakan proses “belajar sendiri” sebagai alternatif mendapatkan kompetensi mengemudi di samping belajar melalui lembaga pelatihan. Sebab, upaya memiliki kompetensi tentunya juga merupakan bagian dari hak warga negara dan oleh karenanya, warga negara juga berhak memilih cara yang tersedia untuk mendapatkan kompetensi dimaksud. Jika semua calon pengemudi untuk mendapatkan SIM diharuskan mengikuti lembaga pendidikan dan pelatihan yang mendapat izin dan akreditasi dari pemerintah, maka kebutuhan akan jumlah dan persebaran lembaga tersebut menjadi mutlak diperlukan. Tanpa jumlah yang memadai dan persebaran yang merata maka hak konstitusional warga negara yang ingin mendapatkan SIM menjadi terhalangi. Setelah Mahkamah mencermati dokumen yang dilampirkan para Pemohon berkenaan dengan daftar yang menurut para Pemohon sebagai daftar lembaga pendidikan dan pelatihan mengemudi (bukti P-10), terlihat bahwa dari wilayah administrasi di Indonesia, yaitu dari 416 Kabupaten dan 98 Kota, lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang mengemudi baru terdapat di 145 Kabupaten dan 66 Kota, sehingga terdapat wilayah administrasi sebanyak 271 Kabupaten dan 32 Kota yang belum memiliki lembaga terdaftar. Dengan fakta tersebut, dapat dipastikan hak warga negara untuk memajukan dirinya akan terlanggar jika dalil para Pemohon dikabulkan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon tentang frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena seseorang yang belajar mengemudi di Jalan dan/atau areal umum secara otodidak atau diajar oleh orang yang tidak memiliki kompetensi, kualifikasi dan kewenangan sebagai Instruktur merupakan ancaman terhadap rasa aman dan hak hidup masyarakat Indonesia dan ancaman terhadap perlindungan harta benda milik masyarakat Indonesia. Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon harus dapat memahami bahwa setiap warga negara terikat pada ketentuan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU LLAJ yang di dalamnya terdapat aturan mengenai larangan dalam penggunaan jalan umum serta pertanggungjawaban pidana terhadap segala jenis kelalaian yang terjadi di jalan umum, misalnya, Pasal 359 KUHP juncto Pasal 310 UU LLAJ yang mengatur mengenai kelalaian yang menyebabkan kematian. Dengan kata lain warga negara yang sedang belajar mengemudi maupun yang telah mahir jika melakukan kelalaian yang menyebabkan kecelakaan di jalan tentu tidak dapat menghindar dari pertanggungjawaban pidananya.
Jika dicermati pasal demi pasal dalam UU LLAJ, maka Pasal 77 ayat (3) haruslah dipahami bersama-sama dengan pasal lain dalam undang-undang a quo, di mana Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ menyatakan bahwa, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan,” dengan demikian jika calon pengemudi yang “belajar sendiri” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) a quo adalah orang yang belum memiliki SIM, maka seharusnya orang tersebut dilarang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan, di mana “Jalan” dalam undang-undang ini diartikan sebagai “seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum” [vide Pasal 1 angka 12 UU LLAJ]. Selain itu Pasal 79 ayat (1) menyatakan bahwa setiap calon pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji. Dengan demikian berdasarkan serangkaian ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika seseorang yang tidak memiliki SIM tidak diperbolehkan mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan (yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum), dan jika seseorang belajar mengemudi di Jalan (yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum), harus didampingi instruktur. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ hanya memungkinkan seorang yang tidak memiliki SIM dan tidak didampingi instruktur untuk belajar mengemudi sendiri di tempat selain Jalan yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum. Oleh karena itu menurut Mahkamah ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bukan berarti merupakan pembiaran adanya calon pengemudi untuk belajar sendiri di Jalan umum dan membahayakan orang maupun harta benda, karena norma lain dalam UU a quo tidak memungkinkan hal tersebut. Frasa “atau belajar sendiri” masih memungkinkan karena ada berbagai cara dan sarana untuk belajar sendiri tanpa menggunakan Jalan yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, seperti menggunakan lahan pribadi, lapangan, atau melalui teknologi simulasi sehingga tidak melanggar UU LLAJ khususnya Pasal 77 ayat (1) dan Pasal 79 ayat (1). Dengan demikian UU LLAJ sesungguhnya telah menegaskan bahwa seseorang yang tidak memiliki SIM mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan (yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas Umum) tanpa didampingi instruktur merupakan pelanggaran terhadap undangundang a quo apapun alasannya, termasuk dengan alasan “belajar (mengemudi) sendiri.” Selain itu, beban tanggung jawab bagi orang yang belajar sendiri tidak dapat disamakan dengan orang yang belajar pada lembaga pendidikan dan pelatihan. Pilihan belajar sendiri di satu sisi, misalnya, tidak menambahkan beban keuangan yang mesti dikeluarkan untuk mendapatkan kompetensi mengemudi, namun di sisi lain, proses belajar sendiri juga berimplikasi terhadap munculnya kewajiban untuk menanggung segala akibat dari proses belajar sendiri tersebut. Artinya, dalam hal bagi seseorang yang “belajar sendiri”, ia tetap memikul tanggung jawab atas pelanggaran dan/atau kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada saat belajar dan mengikuti ujian praktik mengemudi di jalan. Namun demikian, meskipun seseorang diperbolehkan untuk belajar sendiri, hanya dibolehkan sepanjang didampingi oleh pendamping yang memiliki SIM sesuai dengan golongan kendaraan dan tidak dilakukan di jalan umum.
Jikapun para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan dengan contoh berbagai kasus konkret di mana keamanan masyarakat di jalan umum terancam oleh warga yang terindikasi sedang belajar sendiri mengemudi di jalan, maka perilaku tersebut sesungguhnya merupakan pelanggaran UU LLAJ dan KUHP dan merupakan ranah implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma. Dengan demikian, merupakan tugas pemerintah c.q menteri terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU LLAJ serta Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menegakkan hukum berkenaan dengan persoalan kompetensi mengemudi yaitu dengan cara melaksanakan proses ujian kompetensi mengemudi yang akuntabel dan tegas serta melakukan sosialiasi agar para calon pengemudi tidak menggunakan jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum untuk belajar mengemudi tanpa didampingi oleh instruktur. Dan apabila menggunakan jalan yang tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum harus didampingi seseorang yang memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan yang digunakan untuk belajar.
Berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-06-2020

Pazriansyah dan Firdaus

Pasal 30 dan Penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syaratsyarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal kedudukan hukum para Pemohon, namun sebelumnya akan diuraikan hal-hal yang menjadi alasan para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, sebagai berikut:
1. ...; ….
7. …
Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 7 di atas, Mahkamah mempertimbangkan perihal kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
a. Bahwa para Pemohon menjelaskan sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia yang merupakan karyawan tetap sebuah perusahaan pembiayaan dengan jabatan selaku kolektor [vide Bukti P-11] pada PT Indomobil Finance Indonesia, Cabang Tembilahan di Sub-bagian Penarikan Kendaraan yang hakhak konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 30 dan Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999. Menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 30 dan Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 menciptakan ketidakadilan dan adanya ketidakpastian hukum bagi para Pemohon sebagai kolektor, di mana apabila Pemberi Fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang;
b. Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut kedudukan hukum para Pemohon dikaitkan dengan anggapan kerugian konstitusional yang telah dijelaskan sebagaimana pada uraian tersebut di atas, penting bagi Mahkamah untuk menilai apakah para Pemohon memenuhi subjek hukum yang dapat dikualifikasikan sebagai kolektor yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
c. …
d. …
e. Bahwa berdasarkan Pasal 50 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan menyatakan, “Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Pembiayaan yang menangani bidang penagihan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari lembaga yang ditunjuk asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan”, yang telah diperbaharui dengan Pasal 65 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan menyatakan, “Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Pembiayaan yang menangani fungsi penagihan dan eksekusi agunan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan”;
f. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e tersebut, meskipun secara redaksional kedua norma tersebut terdapat sedikit perbedaan, akan tetapi secara esensial mengandung pemaknaan yang sama di mana penekanannya adalah berkaitan dengan syarat sertifikasi bagi profesi di bidang penagihan. Oleh karena itu, setelah memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti yang dapat mendukung bahwa para Pemohon memenuhi kriteria sebagaimana yang diatur dalam ketentuan tersebut, khususnya alat bukti berupa sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Fakta hukum tersebut penting untuk menilai apakah para Pemohon memenuhi syarat sebagai penagih atau kolektor sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014, yang telah diperbaharui dalam Pasal 65 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 35/POJK.05/2018 tersebut di atas;
g. Bahwa berkaitan dengan status para Pemohon sebagai kolektor dari Perusahaan PT Indomobil Finance Indonesia, Cabang Tembilahan, Mahkamah hanya mendapatkan alat bukti yang diberi tanda P-11 berupa Surat Kuasa Substitusi Penarikan Kendaraan Nomor 4/SKS-COLL/TBL/2017, bertanggal 17 Januari 2017, yang pada pokoknya memberi kuasa untuk bertindak mewakili Pemberi Kuasa, dalam hal ini PT Indomobil Finance Indonesia, untuk menarik dan/atau mengambil serta menyerahkan kepada PT Indomobil Finance Indonesia atas 1 (satu) unit kendaraan bermotor roda dua tanpa dibubuhi meterai yang cukup. Terhadap fakta tersebut, Mahkamah berpendapat oleh karena Surat Kuasa tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UndangUndang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai, antara lain menyatakan “Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk: a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata”. Oleh karenanya Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan terhadap alat bukti tersebut sehingga tidak mempertimbangkan lebih lanjut;
h. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maka terhadap anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dipersyaratkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, antara subjek hukum dan syarat-syarat kerugian konstitusional merupakan persyaratan yang bersifat kumulatif yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam Permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-06-2020

Azwarmi yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk, Advokat yang tergabung pada Andita’s Law Firm.

Pasal 182 ayat (4), Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP

Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945.

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 13 Mei 2020. Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK Nomor 6/PMK/2005).
[3.3.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 26 Mei 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 11 Juni 2020 dan Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum.
[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksam alasan-alasan mengajukan permohonan Pemohon setelah dilakukan perbaikan dalam permohonannya, Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dianggap merugikan Pemohon sebagai warga negara yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana.
Terlebih lagi, permohonan Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon.
Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 13 Mei 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan mengapa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas. [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 13 Mei 2020]
Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal- pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan Pemohon adalah kabur;
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-06-2020

Aristides Verissimo de Sousa Mota

Pasal 10 dan 15 UU Kementerian Negara

Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 10 dan Pasal 15 UU Kementerian Negara dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 22 April 2020, yang diajukan oleh Aristides Verissimo de Sousa Mota, dan diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 April 2020 serta dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 5 Mei 2020 dengan Nomor 30/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 30/PUU-XVIII/2020 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 80/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Nomor 30/PUUXVIII/2020, bertanggal 5 Mei 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 86/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama, bertanggal 5 Mei 2020;

c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 18 Mei 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa setelah Majelis Hakim memberikan nasihat pada sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan, Pemohon di dalam persidangan pada tanggal 18 Mei 2020 menyatakan menarik permohonan bertanggal 22 April 2020 perihal Permohonan Pengujian Materiil Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan alasan bahwa setelah mendengar nasihat Majelis Hakim, Pemohon menyadari tidak memiliki kerugian konstitusional dan terhadap pokok permohonan dimaksud telah dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011;

e. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali;

f. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 19 Juni 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 30/PUU-XVIII/2020 beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan tersebut.

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-06-2020

Prof. Dr. M. Sirajuddin Syamsuddin; Prof. Dr. Sri Edi Swasono; Prof. Dr. Hm. Amien Rais, MA; Dr. Marwan Batubara; M. Hatta Taliwang; Taufan Maulamin; Dr. Syamsulbalda, SE., MM, MBA; Abdurrahman Syebubakar; M. Ramli Kamidin; Dr. H. MS. Kaban, SE., M.Si; Darmayanto; Ir. Gunawan Adji, M.Sc; Indra Wardhana; Dr. Abdullah Hehamahua; Adhie M. Masardi; Agus Muhammad Mahsum; Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H.; Bambang Soetedjo; Dr. Ma’mun Murod; Ir. Indra Adil; Masri Sitanggang, Dr., Ir., MP.; Ir. Sayuti Asyathri; Muslim Arbi; dan Roosalina Berlian yang memberikan kuasa kepada Prof. Dr. Syaiful bakhri, S.H., M.H., dkk.

Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2 dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perpu 1/2020

Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2 dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perpu 1/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada tanggal 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang. Dalam sidang pemeriksaan tersebut kuasa hukum Presiden menerangkan Perpu 1/2020 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang.
Bahwa, menurut kuasa hukum Presiden, Perpu 1/2020 yang mendapat persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang dan kemudian telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 18 Mei 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020, perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Mahkamah meyakini bahwa Perpu 1/2020 telah menjadi UU 2/2020;

[3.10] Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU 2/2020 maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal demikian berakibat permohonan Para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek.

[3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun disebabkan permohonan Para Pemohon telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan tidak pula dipertimbangkan.


Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-06-2020

PT. Korea World Center Indonesia, yang diwakili oleh Mr. Gi Man Song, Direktur Utama PT. Korea World Center dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya Alexius Tantrajaya, S.H. M.Hum, dkk, kuasa hukum pada kantor hukum Alexius Tantrajaya & Partner

Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon, oleh karena norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai tidak adanya upaya hukum terhadap putusan PKPU mengenai kepailitan, maka Mahkamah akan mempertimbangkan substansi kedua norma tersebut secara bersamaan.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 inkonstitusional karena tidak berkeadilan, menurut Mahkamah untuk memahami ketentuan norma a quo tidaklah berdiri sendiri karena berkaitan erat dengan esensi keseluruhan Bab III UU 37/2004 yang mengatur mengenai “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Apakah benar dengan tidak adanya ketentuan upaya hukum dalam norma a quo adalah inkonstitusional karena tidak berkeadilan sebagaimana dalil Pemohon, maka sebelum menjawab pertanyaan tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan prinsip-prinsip PKPU sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa Lembaga PKPU pada dasarnya adalah bagian dari upaya hukum yang mempunyai fungsi yang salah satunya untuk membantu pengusaha khususnya debitor yang terganggu akibat macetnya usaha yang dijalaninya sehingga menyebabkan kesulitan untuk memenuhi kewajiban kepada para kreditor dalam menyelesaikan utang-piutangnya. Dengan melihat keadaan seperti itu maka sangatlah tepat jika permasalahan antara debitor dan kreditor dapat diselesaikan dengan jalan damai sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menyatakan bahwa “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya”. Dengan demikian, prinsip dari PKPU adalah upaya hukum yang dapat dijadikan pilihan oleh para kreditor ataupun debitor yang diberikan oleh UU 37/2004 melalui putusan hakim pengadilan niaga di mana pihak kreditor dan debitor memperoleh kesempatan untuk bermusyawarah mengenai cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu dapat melakukan restrukturisasi utangnya tersebut;

[3.12.2] Bahwa PKPU dapat diajukan atas inisiatif salah satu pihak, debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditor atau oleh kreditor atas dasar adanya kekhawatiran baik dari pihak debitor atau kreditor yang menilai bahwa debitor tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utangutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada para kreditor agar debitor tidak perlu dipailitkan [vide Pasal 222 UU 37/2004]. Permohonan PKPU tersebut harus diajukan sebelum permohonan pailit atau pada waktu permohonan pailit diperiksa. Apabila yang mengajukan permohonan PKPU adalah debitor, maka permohonan harus disertai dengan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya, serta dapat juga melampirkan rencana perdamaian, sedangkan jika permohonan tersebut diajukan oleh kreditor maka pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang, dan selanjutnya debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan sekiranya ada rencana untuk melakukan perdamaian [vide Pasal 224 UU 37/2004].

[3.12.3] Bahwa dalam kaitan inilah, pengadilan niaga dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan yang diajukan oleh debitor harus mengabulkan PKPU Sementara dan menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus untuk bersama debitor mengurus harta debitor. Demikian pula halnya jika permohonan PKPU diajukan oleh kreditor maka pengadilan niaga dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor [vide Pasal 225 UU 37/2004]. Jangka waktu untuk putusan PKPU Sementara tersebut ditentukan singkat karena menyangkut kepentingan semua pihak dengan maksud agar kesepakatan yang dicapai antara debitor dan para kreditornya mengenai rencana perdamaian dapat segera dilaksanakan secara efektif.

[3.12.4] Bahwa dengan ditetapkannya putusan PKPU Sementara oleh pengadilan adalah fase sebelum pengadilan menjatuhkan putusan PKPU Tetap sesuai dengan proses pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 225, Pasal 226, Pasal 227, dan Pasal 228 UU 37/2004 yang pada intinya menentukan mekanisme dan tahapannya sesuai dengan batas waktunya, sebagai berikut:
1. Bahwa hanya dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, pengadilan niaga melalui pengurus wajib memanggil debitor dan para kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang. Apabila debitor tidak hadir dalam sidang, PKPU Sementara berakhir dan pengadilan wajib menyatakan debitor pailit dalam sidang yang sama [vide Pasal 225 ayat (4) dan ayat (5) UU 37/2004];
2. Bahwa Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia serta paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim dengan mencantumkan tanggal, tempat, waktu sidang, nama Hakim Pengawas, dan nama serta alamat Pengurus [vide Pasal 226 ayat (1) UU 37/2004]. PKPU Sementara tersebut berlaku sejak tanggal putusan PKPU diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang diselenggarakan [vide Pasal 227 UU 37/2004];
3. Bahwa apabila ada rencana perdamaian maka harus dilampirkan pada permohonan PKPU Sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang sehingga pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan [vide Pasal 228 ayat (3) UU 37/2004]. Pelaksanaan ketentuan inipun harus memperhatikan terpenuhinya persyaratan dalam Pasal 267 UU 37/2004 bahwa “Dalam hal sebelum putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, ada putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang berakhir, gugurlah rencana perdamaian tersebut”
4. Bahwa apabila para kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian maka atas permintaan debitor, para kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU Tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor, pengurus, dan kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya [vide Pasal 228 ayat (4) UU 37/2004]. Jika pada akhirnya PKPU Tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga maka dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari, debitor dinyatakan pailit.
5. Bahwa sesuai dengan esensi pengaturan jangka waktu yang menghendaki adanya kepastian terhadap berlakunya PKPU Sementara termasuk juga jangka waktu berlakunya PKPU Tetap, maka apabila PKPU Tetap disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melampaui jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU Sementara diucapkan.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan prinsip-prinsip PKPU yang berkaitan dengan mekanisme dan tahapan PKPU tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas bahwa dalam hal sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan mengenai kewajiban pembayaran utang kepada kreditor tidaklah serta merta dapat dinyatakan pailit. UU 37/2004 telah memberikan mekanisme hukum yang jelas yaitu dapat melalui PKPU dengan tujuan untuk mengadakan rencana perdamaian antara para kreditor dan debitor mengenai restrukturisasi hutang debitor kepada para kreditor yang diharapkan debitor dapat melakukan pembayaran utang dengan jalan perdamaian. Dengan adanya pengaturan jangka waktu untuk melakukan tahapan-tahapan PKPU termasuk di dalamnya adalah perdamaian antara debitor dan kreditor sebagaimana diatur dalam UU 37/2004, hal demikian memberikan kesempatan atau waktu yang cukup bagi debitor untuk melunasi utang-piutangnya kepada para kreditor secara keseluruhan atau sebagian berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam PKPU. Dengan demikian norma pasal a quo tidak hanya memenuhi rasa keadilan bagi para pihak tetapi sekaligus memberikan kepastian hukum bagi debitor dan para kreditor karena batas waktunya telah ditentukan oleh undang-undang.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, adalah dapat dipahami mengapa dalam putusan PKPU tidak diperkenankan adanya upaya hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, karena mengingat proses dari PKPU itu sendiri yang telah memberikan waktu yang cukup kepada kedua belah pihak yakni debitor dan para kreditor untuk melakukan musyawarah guna mencapai perdamaian dalam hal penyelesaian hutang piutang mereka yang dimediasi oleh badan peradilan. Dengan demikian, jika hasil dari putusan PKPU tersebut dipersoalkan kembali oleh salah satu pihak dengan jalan melakukan upaya hukum, maka hal tersebut akan membuat musyawarah antara kedua belah pihak yang telah ditempuh melalui jalur pengadilan yakni PKPU dan sudah memakan waktu yang cukup lama justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi permohonan PKPU itu sendiri, karena persoalan hutang piutang antara kreditor dan debitor tidak juga kunjung selesai sehingga tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Hal demikian menegaskan bahwa di samping perkara PKPU tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap upaya perdamaian yang telah dicapai, hal tersebut juga jelas bertentangan dengan sifat dari perkara PKPU itu sendiri maupun asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Adapun dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa dengan adanya upaya hukum PKPU Pemohon berharap Putusan PKPU yang pertimbangannya keliru dapat dikoreksi atau diperbaiki oleh badan peradilan yang tingkatannya lebih tinggi. Menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas bahwa pada hakikatnya substansi PKPU esensinya adalah merupakan hasil musyawarah perdamaian antara debitor dengan para kreditor sebagai representasi kehendak dari kedua belah pihak, oleh karena itu tidak ada relevansinya mengkhawatirkan adanya putusan PKPU oleh peradilan yang perlu dikoreksi atau diperbaiki karena adanya kekeliruan. Terlebih lagi pernyataan pailit dari badan peradilan yang sesungguhnya berkaitan dengan kepailitan yang tidak didahului dengan PKPU telah disediakan upaya hukumnya. Sementara itu, terhadap dalil-dalil Pemohon yang berhubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, Mahkamah tidak berwenang untuk menilainya.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-06-2020

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rudy Marjono, S.H.,dkk, Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Boyamin Saiman Law Firm

Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perppu 1/2020

Pasal 1 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.9] Menimbang bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada tanggal 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang. Dalam sidang pemeriksaan tersebut kuasa hukum Presiden menerangkan Perpu 1/2020 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. Bahwa, menurut kuasa hukum Presiden, Perpu 1/2020 yang mendapat persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang dan kemudian telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal18 Mei 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020, perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Mahkamah meyakini bahwaPerpu 1/2020 telah menjadi UU 2/2020;

[3.10] Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU 2/2020 maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek;

[3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun disebabkan permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan tidak pula dipertimbangkan.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP UNDANG-UNDANG TAHUN 1945 / 23-06-2020

Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dalam hal ini diwakili oleh Setia Untung Arimuliadi, Olivia Sembiring, Asep N. Mulyana, Reda Manthovani, dan R. Narendra Jatna yang memberikan kuasa kepada Dr. Adnan Hamid, S.H., M.H., M.M., dkk, Advokat dan Advokat Magang yang tergabung dalam “Tim Penasehat Hukum PJI”

frasa “dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris” pada Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh permohonan a quo, oleh karena terhadap Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 pernah dimohonkan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 72/PUU-XII/2014, bertanggal 26 Agustus 2015 yang amarnya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Setelah itu Mahkamah juga pernah memutus pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019, bertanggal 20 Mei 2019, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014. Oleh karena itu, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah permohonan Pemohon tersebut dapat dimohonkan pengujian kembali berdasarkan Pasal 60 UU MK yang selengkapnya menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Bahwa selain ketentuan Pasal 60 UU MK tersebut, Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 06/2005) menyatakan bahwa: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XII/2014 Mahkamah belum mempertimbangkan pokok permohonan karena Pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dan permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karenanya meskipun permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian norma yang sama dengan permohonan Nomor 72/PUU-XII/2014, namun oleh karena pokok permohonan belum dipertimbangkan oleh Mahkamah maka permohonan Pemohon tidak ada relevansinya untuk dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 UU MK jo. Pasal 42 PMK 06/2005;
Bahwa terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUUXVII/2019, berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK, maka terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat diuji kembali apabila terdapat dasar pengujian yang berbeda. Setelah memperhatikan dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan Nomor 22/PUU-XVII/2019 adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sedangkan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan alasan pengujian, Mahkamah menilai terdapat perbedaan dengan permohonan sebelumnya antara lain, Pemohon mendalilkan mengalami kerugian konstitusional yaitu terhambatnya proses penegakkan hukum dan merugikan kepentingan jaksa serta publik secara umum. Di samping itu, Pemohon juga mendalilkan terhadap penolakan pemanggilan notaris tidak dapat dilakukannya upaya hukum apapun;
Dengan demikian terdapat perbedaan dasar dan alasan pengujian yang digunakan pada permohonan a quo, sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo;
Bahwa namun demikian, setelah Mahkamah membaca secara cermat kedua permohonan dimaksud, ternyata masalah konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 pada permohonan a quo sama dengan masalah konstitusionalitas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain:
“[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mempersoalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris berpotensi menghalangi penyidikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris karena adanya ketentuan di mana penyidik harus mendapatkan persetujuan dari MKN terlebih dahulu untuk dapat mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hal ini menurut Pemohon mengakibatkan terjadinya penghentian penyidikan karena penyidik terhalangi mendapatkan bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan terhadap seorang notaris.
Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami norma Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris tersebut secara utuh dalam kaitannya dengan ketentuan lain dalam UU a quo termasuk kewenangan dari MKN. Adanya persetujuan MKN tidak bertujuan untuk mempersulit proses penyidikan atau keperluan pemeriksaan terhadap notaris karena hal tersebut telah diantisipasi dengan adanya ketentuan Pasal 66 ayat (3) yang menyatakan, bahwa MKN dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. Hal ini pun kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 66 ayat (4) yang menyatakan, “Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.” Dalil Pemohon yang menganggap bahwa Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris bersifat redundant, karena secara substansi dianggap Pemohon sama dengan Pasal 66 ayat (3) adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris a quo justru merupakan penegasan bahwa MKN tidak dapat menghalangi kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim dalam melakukan kewenangannya untuk kepentingan proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Terlebih lagi ketentuan pasal a quo dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya, khususnya melindungi keberadaan minuta sebagai dokumen negara yang bersifat rahasia.
Selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon mengenai Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris, yaitu petitum angka (6) yang pada pokoknya, meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 karena telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 [sic!]. Menurut Pemohon justru dengan adanya revisi UU Jabatan Notaris telah menyulitkan aparatur penegakan hukum untuk memeriksa notaris. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dan bahkan mengutip nomor putusan yang salah yaitu Putusan 49/PUU-X/2013 [sic!], padahal putusan Mahkamah yang substansinya menyangkut norma pada UU Jabatan Notaris sebagaimana disebutkan Pemohon adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 bertanggal 28 Mei 2013. Menurut Mahkamah, perubahan dan tambahan norma di dalam UU Jabatan Notaris sudah tepat dan tidak bertentangan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu dengan menambahkan norma pada Pasal 66 yaitu ayat (3) dan ayat (4) yang bertujuan untuk menghindarkan adanya hambatan penyidikan oleh MKN. Justru apabila permohonan Pemohon dikabulkan yaitu membatalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris secara keseluruhan dapat menciptakan persoalan di mana tidak adanya peran MKN dalam melakukan pembinaan notaris, khususnya dalam mengawal pelaksanaan kewajiban notaris, yang di antaranya merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan [vide Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Jabatan Notaris].
Terhadap permohonan Pemohon yang menginginkan agar Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, justru menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) sangat diperlukan dalam menciptakan kepastian hukum yang adil terhadap batas kewenangan MKN memberikan persetujuan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan pemanggilan terhadap notaris ataupun memeriksa berkas-berkas lain untuk keperluan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris adalah tidak beralasan menurut hukum.”

Dengan demikian, meskipun dasar dan alasan pengujian yang digunakan berbeda sehingga permohonan a quo dapat diajukan, namun karena masalah konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian sama, yaitu mengenai persetujuan MKN untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat terkait dan untuk memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris, maka pertimbangan Mahkamah dalam pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019 dimaksud mutatismutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 16/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan permohonan Pemohon I, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V tidak dapat diterima dan menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya terhadap pengujian UU Jabatan Notaris mengandung arti bahwa ketentuan pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTIM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Damai Hari Lubis, S.H., M.H., Dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arvid Martdwisaktyo, S.H., M.Kn., Mohammad Jonson Hasibuan, S.H., Firly Noviansyah, S.H., Agus Susanto, S.H., Moh. Anshori Rahayaan, S.H., Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa yang selanjutnya dalam hal ini untuk bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama disebut sebagai Pemohon.

Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) PERPPU 1/2020

Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perppu 1/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 15 April 2020 dari H. Damai Hari Lubis, S.H., M.H., yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 13 April 2020 memberi kuasa kepada: 1) Arvid Martdwisaktyo, S.H., M.Kn.; 2) Mohammad Jonson Hasibuan, S.H.; 3) Firly Noviansyah, S.H., 4) Agus Susanto, S.H., dan 5) Moh. Anshori Rahayaan, S.H., Advokat yang tergabung pada Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa, yang beralamat di Wisma Buncit Raya Unit D, Jalan Warung Buncit Raya Nomor 502, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 April 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 25/PUU-XVIII/2020 pada tanggal 20 April 2020, perihal Permohonan Pengujian Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa terhadap permohonan Nomor 25/PUU-XVIII/2020 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 69/TAP.MK/2020 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020, bertanggal 20 April 2020;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 72/TAP.MK/2020 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020, bertanggal 20 April 2020;

c. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 28 April 2020;
d. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 14 Mei 2020 tanpa dihadiri Pemohon dan/atau Kuasa Pemohon, namun Mahkamah Konstitusi menerima surat dari Pemohon perihal Pencabutan Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020, bertanggal 11 Mei 2020 dan oleh Panel Hakim surat dimaksud telah dibacakan di persidangan;
e. Bahwa Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan suatu Permohonan mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali;
f. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 14 Mei 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 25/PUU-XVIII/2020 beralasan menurut hukum dan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali;
g. Bahwa selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1a) UU MK berkas permohonan dikembalikan kepada Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Mahmudin, dkk yang berjumlah 19 Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Paulus Sanjaya, S.Sos., S.H., M.H., dkk Advokat yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Sejahtera (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 6, Pasal 58 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (2) UU 5/2014

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6, Pasal 58 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (2) UU 5/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Permohonan a quo telah jelas, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK;

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak pegawai honorer yang tidak diatur dalam Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN sehingga menurut para Pemohon hal tersebut telah melanggar hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa Mahkamah dalam beberapa putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Maret 2019, telah mempertimbangkan dan memutus mengenai konstitusionalitas norma Pasal 58 ayat (1) UU ASN dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015, bertanggal 15 Juni 2016, telah mempertimbangkan dan memutus konstitusionalitas Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN, yang juga dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo. Untuk itu, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang mengenai norma tersebut, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu apakah Permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali sebagaimana diatur Pasal 60 UU MK yang menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

[3.11.2] Bahwa dalam perkara Nomor 6/PUU-XVII/2019, Pemohon yang berprofesi sebagai perawat pada pokoknya mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 58 ayat (1) UU ASN karena adanya perlakuan berbeda terhadap pengangkatan PNS yang dibebankan oleh Pasal 58 ayat (1) UU ASN terhadap Pemohon. Dalam perkara tersebut Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Sedangkan dalam perkara a quo, para Pemohon meminta secara otomatis ditetapkan sebagai CPNS atau PPPK serta meminta agar pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberikan kesempatan tenaga honorer atau sebutan lain sejenis menjadi CPNS melalui suatu rekrutmen khusus”. Dalam perkara a quo para Pemohon menggunakan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar pengujian;

[3.11.3] Bahwa berdasarkan hal tersebut, oleh karena norma dalam UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda dan ditambah lagi terdapat alasan permohonan yang berbeda yang menjadi dasar kerugian konstitusional sehingga terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas apabila dilakukan pengujian dengan alasan sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 58 ayat (1) UU ASN dapat dimohonkan pengujian kembali;

[3.11.4] Bahwa dalam perkara Nomor 9/PUU-XIII/2015, para Pemohon yang berprofesi sebagai pegawai honorer pada pokoknya mendalilkan merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan belakunya Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) dikarenakan pasal a quo telah menyebabkan para Pemohon tidak secara otomatis dapat diangkat menjadi PNS. Padahal para Pemohon sebelumnya adalah pegawai honorer yang telah diangkat jadi PPPK sehingga seharusnya para Pemohon diprioritaskan menjadi PNS. Dalam perkara tersebut, para Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sedangkan dalam perkara a quo, para Pemohon memohon secara otomatis ditetapkan sebagai CPNS serta meminta agar pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan memberikan pengecualian terhadap para tenaga honorer atau sebutan lain sejenis dan PPPK yang berasal dari para tenaga honorer”. Dalam perkara a quo para Pemohon menggunakan Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar pengujian.

[3.11.5] Bahwa berdasarkan hal tersebut, oleh karena norma dalam UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda serta terdapat alasan permohonan yang berbeda yang menjadi dasar kerugian konstitusional juga berbeda sehingga terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas apabila dilakukan pengujian dengan alasan sebagaimana tersebut di atas, maka Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN dapat diajukan kembali dalam permohonan ini.

[3.12] Menimbang bahwa oleh karena ketentuan dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tidak menjadi halangan bagi para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo terutama berkenaan dengan Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut isu konstitusionalitas sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa salah satu pertimbangan mendasar dibentuknya UU ASN adalah perlunya dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pelaksanaan cita-cita bangsa serta mampu mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 [vide konsiderans “Menimbang” huruf a UU ASN]. Pertimbangan tersebut juga ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU ASN [vide Penjelasan Umum UU ASN]
2. Bahwa UU ASN menjadi salah satu UU yang paling sering di uji di MK. Sejak UU ASN diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 setidaknya telah 14 permohonan diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi termasuk perkara a quo yang diajukan oleh para pegawai honorer.
3. Bahwa norma UU ASN yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah berkenaan langsung dengan status pegawai honorer yang menurut para Pemohon dengan diundangkannya UU ASN telah menyebabkan hak konstitusional para Pemohon in casu para pegawai honorer dirugikan sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan para Pemohon untuk menjadi CPNS.
4. Bahwa berkenaan dengan status pegawai honorer tersebut, setidaknya sudah ada dua putusan Mahkamah yang telah mempertimbangkan terkait status pegawai honorer yakni:
a. Perkara Nomor 9/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 1 angka 4, Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (2), Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 105 ayat (1) UU ASN terhadap UUD 1945 yang amar putusannya menyatakan permohonan ditolak untuk seluruhnya.
b. Perkara Nomor 6/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Pasal 58 ayat (1) UU ASN terhadap UUD 1945 yang amar putusannya menyatakan permohonan ditolak untuk seluruhnya.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas, dalam mempertimbangkan permohonan a quo tidak mungkin dilepaskan konteksnya dari pertimbangan mendasar dibentuknya UU ASN sebab dalam diri ASN melekat tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Selain itu, dalam mempertimbangkan permohonan a quo, tidak mungkin dilepaskan dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019 yang secara garis besar telah memberikan pertimbangan secara seksama berkenaan dengan permasalahan pegawai honorer tersebut.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan uraian pada Paragraf [3.12] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, permasalahan konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak konstitusional pegawai honorer yang diatur dalam Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN;
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena lebih cenderung melindungi penerimaan CPNS dari jalur umum dan mengabaikan hak konstitusional tenaga honorer yang telah mengabdi dan bekerja selama beberapa tahun. Selain itu, menurut para Pemohon, pasal a quo telah pula menimbulkan tindakan diskriminasi sehingga menyebabkan hilangnya jaminan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Tambah lagi, menurut para Pemohon, dalam UU ASN sama sekali tidak menyebutkan mengenai status dan kedudukan tenaga Honorer, guru bantu atau sebutan lain yang sejenis sebagai bagian dari aparatur sipil negara sehingga dengan terbitnya UU ASN menimbulkan ketidakjelasan status serta hilangnya perlindungan tenaga honorer dalam sistem hukum ketenagakerjaan maupun dalam sistem hukum lainnya yang berlaku di Indonesia. Padahal menurut para Pemohon praktik mempekerjakan tenaga honorer pada instansi pemerintah pusat maupun daerah sejatinya ada karena kebutuhan atas pelaksanaan suatu pekerjaan sehingga menurut para Pemohon Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN seharusnya dimaknai dengan mengakomodir atau mengikutsertakan tenaga honorer atau sebutan lainnya.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama uraian panjang lebar para Pemohon berkenaan dengan hal tersebut, tampak nyata inti keberatan para Pemohon sesungguhnya menurut Pemohon bukanlah terletak pada keberadaan Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN melainkan pada Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018 [vide perbaikan permohonan hlm. 6 sampai dengan hlm. 16]. Fakta demikian makin diperkuat oleh permohonan para Pemohon kepada Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Petitum Angka 2, Petitum Angka 3, dan Petitum Angka 4.
Selain itu, dalam uraian argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon dalam legal standing juga terlihat bahwa isu utama yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah terkait dengan berlakunya Permenpan 36/2018 dan PP 49/2018 yang secara langsung mengakibatkan para Pemohon tidak dapat secara otomatis dapat diangkat menjadi PNS dan juga menjadi PPPK.
Dengan demikian apabila mengikuti alur berpikir para Pemohon, maka keberatan para Pemohon ditujukan bukan terhadap norma Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN melainkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang secara konstitusional bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Apalagi pendelegasian demikian dibenarkan secara hukum dalam sistem perundang-undangan.
Lebih lanjut dijelaskan, konstitusional atau inkonstitusionalnya suatu norma undang-undang tidak dinilai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang merupakan delegasi melainkan harus dinilai secara tersendiri berdasarkan substansi peraturan tersebut. Bahkan ketika suatu norma undang-undang telah ditafsirkan secara berbeda pun oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya hal itu tidak serta-merta menjadikan norma undang-undang demikian bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, dalam hal demikian, peraturan perundangundangan di bawah undang-undang itulah yang harus diuji kebersesuaiannya terhadap norma undang-undang yang menjadi dasarnya.

[3.16] Menimbang bahwa terlepas dari argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon dalam perkara a quo, terkait dengan permohonan para Pemohon, Mahkamah telah mempertimbangkan substansi permohonan a quo dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015 bertanggal 15 Juni 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019 bertanggal 26 Maret 2019.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVII/2019 terkait dengan isu rekrutmen CPNS Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa program pengadaan ASN merupakan kewenangan pemerintah gunamenjalankan tugas pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi, antara lain, pembangunan ekonomi, sosial, dan pembangunan bangsa yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan pemerintahan, antara lain, tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan, tenaga ASN harus memiliki profesionalitas berdasarkan kriteria kualifikasi, kompetensi, kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi yang dimiliki oleh calon dalam proses rekrutmen, pengangkatan, dan penempatan pada jabatan yang dibutuhkan hingga bisa dilaksanakan secara terbuka sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Bahwa sebagai salah satu hak konstitusional warga negara, UUD 1945 pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan, termasuk kesempatan yang sama menjadi ASN setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengadaan ASN yang dilaksanakan oleh Pemerintah harus melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam suatu jabatan. Pengadaan ASN tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah secara nasional berdasarkan perencanaan kebutuhan jumlah ASN yang dilaksanakan melalui “panitia seleksi nasional pengadaan ASN” dengan melibatkan unsur dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara dan Badan Kepegawaian Negara.
Bahwa sebagai upaya untuk memenuhi pengadaan ASN yang sesuai dengan kebutuhan, diperlukan dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah untuk mengisi kebutuhan tersebut, baik kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional dalam satu instansi pemerintah. Dalam posisi demikian, keberadaan norma Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 adalah untuk memberikan dasar hukum dalam memenuhi kebutuhan ASN dimaksud. Oleh karenanya, dalam pengadaan ASN, Pemerintah harus memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk ikut berkompetisi dalam pengisian ASN. Artinya, setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi ASN sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Pengadaan ASN yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kesempatan yang sama demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam proses pengisian ASN, Pemerintah harus mempertimbangkan syarat dan kriteria yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, antara lain, jumlah dan jenis jabatan, waktu pelaksanaan, jumlah instansi pemerintah yang membutuhkan dan persebaran. Secara yuridis, kemungkinan untuk melakukan pertimbangan dalam mengisi kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional demikian didasari pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014”. [vide hlm 20 s.d. hlm 22]
Sementara itu terkait dengan isu PPPK yang diatur dalam UU ASN yang seolah-olah hanya diperuntukan untuk pelamar umum dan tidak mengakomodir hak pegawai honorer, Mahkamah telah pula mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa sebelum berlakunya UU 5/2014, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (PP 48/2005) karena pada saat itu, kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Di antara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada Pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah; Dalam perkembangannya, berdasarkan hasil evaluasi atas pelaksanaan PP 48/2005, beberapa ketentuan mengenai batas usia dengan masa kerja, proses seleksi dan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam PP 48/2005 belum dapat menyelesaikan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil; Dengan demikian, Pemerintah telah memprioritaskan tenaga honorer untuk menjadi Calon Pegawai Negari Sipil (CPNS) karena pada saat itu, usia tenaga honorer yang melebihi 35 (tiga puluh lima) tahun pun dapat diangkat menjadi CPNS. Itulah sebabnya, Pemerintah menetapkan pengaturan khusus mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang mengecualikan beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002, guna mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS; Namun demikian, sejak ditetapkannya PP 48/2005, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis (vide Pasal 8 PP 48/2005);

[3.13.2] Bahwa kini dengan berlakunya UU 5/2014, paradigma tentang pegawai pemerintah pun berubah karena lebih mengutamakan profesionalisme. Dalam konteks ini, pada hakikatnya pegawai ASN dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. Adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat;

[3.13.3] Bahwa Pasal 1 angka 1 UU 5/2014 menyatakan ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 1 angka 2 UU 5/2014). Dengan demikian, P3K merupakan bagian dari ASN;
[3.13.4] Bahwa Pasal 1 angka 4 UU 5/2014 menyebutkan P3K adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Menurut Mahkamah, Pasal 1 angka 4 tersebut diatur dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi, dan/atau hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab (vide Lampiran II C.1. 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda (vide Lampiran II C.1. 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan); Permohonan Pemohon yang mempersoalkan batasan pengertian atau hal lain mengenai P3K bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal berikutnya dalam UU 5/2014, sangat tidak beralasan dan tidak tepat, sebab ketentuan a quo adalah untuk memberikan batasan dan arah yang jelas mengenai P3K. Lagipula ketentuan umum a quo bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan tidak mengandung pertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon terhadap Pasal 1 angka 4 UU 5/2014 tidak beralasan menurut hukum;

[3.13.5] Bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang berkualitas dan mempunyai daya saing dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia pada tahun 2015 dimana akan berdampak terjadinya persaingan yang ketat di kawasan Asia, sehingga diperlukan adanya tenaga profesional di dalam birokrasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka UU 5/2014 memberlakukan pengadaan P3K. Itulah sebabnya, cara perekrutan P3K tidak harus meniti karier dari bawah dan P3K dapat langsung menduduki posisi yang dibutuhkan sebagai tenaga profesional;
P3K bukanlah pegawai honorer. Sejak disahkannya UU 5/2014 maka secara otomatis pegawai honorer dihapuskan. Bahkan P3K pun mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan bantuan hukum;
Mahkamah sependapat dengan ahli Pemerintah Eko Prasojo yang menerangkan bahwa P3K diangkat dengan basis utama kualifikasi, kompetensi, kompetisi, dan kinerja. Keberadaan P3K setidak-tidaknya dimaksudkan dalam rangka memperkuat penerapan open career system, penegakan prinsip merit, dan mengubah lingkungan birokrasi dari comfort zone menuju competitive zone. P3K merupakan based practices aparatur sipil negara di negara-negara yang telah menerapkan performance based bureaucracy;
Oleh karena P3K merupakan tenaga profesional yang dapat menduduki posisi tertentu di pemerintahan maka sudah sewajarnya jika pemerintah merekrut tenaga P3K yang berkualitas. Bahkan untuk menjadi tenaga P3K tidaklah dibatasi usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Hal ini berbeda dengan persyaratan menjadi CPNS yang dibatasi usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun;
Meskipun demikian, tujuan perekrutan P3K dan pengadaan CPNS adalah untuk memperoleh tenaga profesional yang memiliki kualifikasi kompetensi, kompetisi, dan kinerja terbaik untuk berkarya di lingkungan pemerintahan dan birokrasi. Oleh karena itu maka sudah sewajarnya proses seleksi dan tes diselenggarakan, tanpa membedakan apakah seseorang yang akan direkrut telah memiliki pengalaman kerja di pemerintahan yang mempekerjakannya. Dimanapun seseorang memperoleh pengetahuan dan pengalaman kerja, walaupun di luar lingkungan pemerintahan sekalipun maka ia memiliki kesempatan yang sama dengan seseorang yang memiliki pengalaman kerja di lingkungan pemerintahan untuk menjadi P3K atau CPNS sepanjang ia memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh pemerintah dan lulus seleksi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
Proses penerimaan P3K adalah hampir sama dengan proses pengadaan CPNS dari kalangan umum. Setiap tahapan proses rekrutmen dilakukan dengan penilaian objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Metode yang digunakan dalam penyaringan P3K adalah menggunakan metode ujian Computer Assisted Test (CAT) CPNS dengan penilaian utama, yaitu tes wawasan kebangsaan, tes intelegensi umum dan tes kepribadian. Jika seorang P3K ingin menjadi seorang PNS maka yang bersangkutan harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi seorang CPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dalam kedua putusan Mahkamah tersebut sudah jelas bahwa seharusnya para tenaga honorer tidak perlu khawatir bahwa hak konstitusionalnya akan terlanggar dengan diberlakukannya UU ASN karena faktanya UU ASN yang terkait dengan hak pegawai honorer tetap ada dan mengakomodir hak para tenaga honorer yang saat ini masih ada.

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, regulasi manajemen ASN yang saat ini sudah berlaku memang memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Batas waktu lima tahun sebagaimana diatur dalam peraturan pelaksana UU ASN bagi para tenaga honorer adalah batas waktu untuk menentukan pilihan tanpa menghilangkan hak para tenaga honorer yang saat ini masih ada. Dalam hal ini, pemerintah agar mempertimbangkan setiap kebijakan yang diambil untuk dapat melindungi hak-hak tenaga honorer dengan memperhatikan persyaratan khusus sesuai dengan tujuan pembentukan UU ASN sehingga tercipta pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 6, Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DAPAT DITERIMA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Sandhy Handika, Danang Yudha Prawira, Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H. (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU KIP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada Paragraf [3.5] dikaitkan dengan Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4), dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP pada pokoknya mengatur mengenai hak tersangka untuk mendapatkan turunan berita acara pemeriksaan dan kewajiban penuntut umum berkaitan dengan pemberian atau penyerahan berkas turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan kepada tersangka atau kuasanya. Para Pemohon mengaitkan hak tersebut dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon, yaitu sebagai warga negara yang menurut para Pemohon berpotensi sewaktu-waktu dijadikan tersangka. Norma tersebut pada prinsipnya telah menegaskan bahwa tersangka memang memiliki hak atas salinan berkas berita acara pemeriksaan atas permintaan (Pasal 72 KUHAP) dan turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP). Berdasarkan norma a quo apabila dikaitkan dengan hak seorang tersangka, maka sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hak tersangka tersebut apabila penyerahan tersebut harus berdasarkan permintaan atau tidak berdasarkan permintaan, karena diartikan atas permintaan atau tidak atas permintaan sesungguhnya tidak mengurangi atau menghilangkan hak konstitusional tersangka terhadap salinan berkas sebagaimana dimaksud norma a quo. Dengan kata lain tidak ada kerugian konstitusional yang dapat ditimbulkan oleh norma a quo terhadap seorang tersangka, walaupun norma Pasal 72 menentukan adanya syarat permintaan dari tersangka dan Pasal 143 ayat (4) tidak menentukan syarat yang demikian. Dalam hal ini sifat kepastian hukum terhadap kewajiban untuk memenuhi hak tersangka tersebut telah terpenuhi melalui kedua norma ini. Selain itu menurut Mahkamah, argumentasi para Pemohon yang menempatkan diri sebagai warga negara yang sewaktu-waktu dapat ditetapkan sebagai tersangka adalah argumentasi yang terlalu luas karena para Pemohon tidak secara spesifik mengaitkan dengan kerugian aktual yang telah atau pernah dialami para Pemohon ketika berhadapan dengan implementasi norma a quo, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Jikapun para Pemohon benar dapat dianggap potensial ditetapkan sebagai tersangka maka sebagaimana pendapat Mahkamah di atas, hak konstitusional para Pemohon tidak menjadi hilang atau terganggu dengan berlakunya Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4), dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP dimaksud.

[3.7] Menimbang bahwa terkait dengan uraian yang menyatakan para Pemohon adalah pembayar pajak (tax payer) dan karenanya memiliki hak konstitusional untuk mempersoalkan undang-undang a quo, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang- undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Alasan untuk dapat mengajukan permohonan pengujian norma baik berupa pasal, ayat, dan bagian-bagian tertentu dari undang-undang, termasuk penjelasannya, tidak cukup dengan hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak (tax payer) tanpa terlebih dahulu menjelaskan kerugian konstitusional yang nyata atau potensial dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan bagian-bagian tertentu dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam perkembangannya melalui putusan-putusannya telah menegaskan pendiriannya bahwa terhadap pembayar pajak (tax payer) hanya dapat diberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, bertanggal 22 September 2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XVII/2019, bertanggal 13 Maret 2019).
Selain itu, setelah dicermati secara saksama uraian terhadap kerugian konstitusional para Pemohon, terdapat kontradiksi dalam argumentasi tersebut di mana pada satu sisi para Pemohon menguraikan adanya kerugian sebagai warga negara pembayar pajak karena norma tersebut dianggap menimbulkan biaya besar dalam implementasinya. Di sisi lain para Pemohon juga menempatkan diri sebagai warga negara yang berpotensi ditetapkan sebagai tersangka dan mengaitkan potensi kerugian dengan hak tersangka sebagaimana diatur dalam pasal yang diajukan, sehingga tidak jelas posisi mana yang digunakan para Pemohon untuk menguraikan adanya kerugian konstitusional yang spesifik dan nyata terhadap berlakunya norma tersebut. Dengan demikian para Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik mengenai adanya kerugian konstitusional terhadap berlakunya norma a quo.

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon baik yang bersifat aktual ataupun potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal 72, Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP, sehingga dengan sendirinya tidak terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksudkan oleh para Pemohon dengan berlakunya penjelasan pasal dalam undang-undang a quo yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, tidak ada keraguan sedikit pun bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.9] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Maha Bidik Indonesia yang diwakili oleh Moch Ojat Sudrajat S, Hapid, S.H.I, M.H. dan Muhamad Madroni (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, Mahkamah menemukan isu konstitusional yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan” pada Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk menggugat keputusan tata usaha negara manakala frasa tersebut dimaknai sebagai “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”. Dari aspek konstitusionalitas, Mahkamah tidak menemukan adanya tafsir dalam norma tersebut yang bermakna mempersempit objek dari Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan. Sebab argumentasi Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan PTUN Nomor 45/G/2019/PTUN-SRG dan beberapa putusan lainnya (vide permohonan angka 11 halaman 7-8) yang mempersempit makna frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan”, sesungguhnya tidak serta merta mengubah tafsir konstitusionalitas Pasal 75 ayat (1) a quo menjadi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan kata lain, norma Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan sepanjang frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan” adalah berkaitan dengan subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan, sedangkan yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh Pemohon adalah berkaitan dengan “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”, di mana hal tersebut sudah berkaitan dengan objek yang dapat menjadi materi gugatan di peradilan. Adapun perihal tidak diterimanya kedudukan hukum Pemohon oleh peradilan tata usaha negara bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, setelah mencermati lebih lanjut dalil permohonan Pemohon, terutama pada bagian posita permohonan dan petitum permohonan, Mahkamah menemukan permasalahan sebagai berikut. Permasalahan konstitusional yang diuraikan Pemohon dalam bagian posita adalah frasa “Warga Masyarakat yang dirugikan” pada Pasal 75 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Pemohon terhalang untuk menggugat keputusan tata usaha negara manakala frasa tersebut dimaknai sebagai “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil” (vide permohonan Pemohon halaman 17, 18, 20, 22, 25, dan halaman 31). Namun pada bagian petitum, Pemohon merumuskan hal yang bertolak belakang dengan uraian dalam posita maupun penjelasan dalam sidang pendahuluan. Pada bagian petitum Pemohon merumuskan, antara lain, “2. Menyatakan ketentuan Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sepanjang frasa “warga masyarakat yang dirugikan” bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai dengan “Kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”.”
Rumusan petitum demikian bermakna bahwa frasa “warga masyarakat yang dirugikan” akan bersesuaian dengan UUD 1945 ketika dimaknai bahwa “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”. Padahal dalam posita permohonan, Pemohon meminta/menerangkan hal yang sebaliknya, yaitu frasa “warga masyarakat yang dirugikan” akan bertentangan dengan UUD 1945 ketika dimaknai bahwa “kerugian dan kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil”.
Adanya pertentangan demikian, yaitu antara rumusan penjelasan di bagian posita permohonan dengan rumusan petitum permohonan, memunculkan ketidakjelasan bagi Mahkamah mengenai hal apa yang sebenarnya dimohonkan oleh Pemohon. Ketidakjelasan isi permohonan mengarahkan Mahkamah untuk menyatakan bahwa permohonan Pemohon adalah kabur.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Michael dan Kexia Goutama yang berstatus sebagai mahasiswa (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 176 UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 176 UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5]
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah tidak dapat menemukan uraian mengenai kerugian hak konstitusional para Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 176 UU 10/2016. Dalam permohonan para Pemohon, tidak ada penjelasan mengenai kerugian konstitusional terutama yang dikaitkan dengan norma UUD 1945 yang dijelaskan para Pemohon. Dalam hal ini, para Pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, namun para Pemohon tidak menguraikan perlindungan seperti apa yang tidak diperoleh dengan tidak diisinya jabatan wakil gubernur. Demikian pula dalam hal para Pemohon merasa tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, pada saat Pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017, meskipun para Pemohon telah ternyata adalah sebagai pemilih namun bukan sebagai calon gubernur/wakil gubernur yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun melalui jalur calon perseorangan. Dengan demikian menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional yang dialaminya dengan berlakunya Pasal 176 UU 10/2016, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Hendra Otakan Indersyah selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada

Pasal 18 ayat (4) frasa “dipilih secara demokratis” UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 176 (2) UU Pilkada dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada, yang selengkapnya menyatakan:
Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Bahwa Pemohon dalam pemohonannya menerangkan selaku perseorangan warga negara Indonesia yang tercatat sebagai penduduk di Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam kualifikasinya tersebut, Pemohon menganggap hak konstitusionalnya untuk dicalonkan ataupun mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 20172022 menjadi dirugikan dengan berlakunya norma a quo dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);
a. Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada.
b. Bahwa Pemohon sudah berusaha mengajukan diri kepada partai politik pengusung untuk maju sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta namun dalam kenyataannya permohonan pencalonan diri Pemohon tersebut tidak diakomodir oleh partai politik pengusung. Sehingga menurut Pemohon, mekanisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada merugikan hak konstitusionalnya untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Wakil Gubernur khususnya Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk sisa masa Periode 2017-2022.
3. Bahwa Pemohon dalam permohonan khususnya pada bagian kedudukan hukum menerangkan memiliki kedudukan hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Namun, dalam uraian permohonan yang berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara rinci dan jelas anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Norma Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada berlaku bagi setiap orang yang ingin menjadi calon wakil gubernur, calon wakil bupati, dan calon wakil walikota yang diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Artinya, hak seseorang untuk sama dalam pemerintahan, dalam hal ini menjadi calon wakil gubernur, calon wakil bupati, dan calon wakil walikota yang berasal dari partai politik dan atau gabungan partai politik, mekanismenya diserahkan kepada partai politik dan atau gabungan partai politik pengusung. Pemohon dalam permohonannya menerangkan telah mengajukan diri sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta kepada partai politik pengusung namun pengajuan itu tidak diakomodir. Dengan tidak diakomodirnya pengajuan Pemohon tersebut oleh Partai Politik pengusung bukan merupakan bentuk kerugian konstitusional karena hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 tidak berkorelasi dengan norma dalam Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada yang merupakan ketentuan antisipatif jikalau terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 176 ayat (1) UU Pilkada;
4. Bahwa selain itu, Pemohon pada bagian kedudukan hukum tidak menjelaskan hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Hubungan sebab akibat yang diuraikan oleh Pemohon lebih bersifat keluhan pribadi Pemohon yang tidak diakomodir oleh Partai Politik pengusung. Demikian pula dengan uraian spesifikasi kerugian, uraian Pemohon tidak menjelaskan dengan detail dan spesifik perihal apa sesungguhnya yang menjadi kerugian konstitusionalnya melainkan justru menguraikan kompetensi calon wakil gubernur yang menurut Pemohon tidak sesuai dengan bidang yang diperlukan dalam mengelola tata pemerintahan di DKI Jakarta. Andaipun terdapat kompetensi, sebagaimana dijelaskan Pemohon, kompetensi yang dimiliki calon hanya merupakan kompetensi umum. Uraian demikian, menurut Mahkamah bukan merupakan uraian untuk menjelaskan alasan kerugian hak konstitusional yang ditentukan dalam UU MK dan putusan-putusan Mahkamah perihal kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang;
5. Bahwa Pemohon juga menerangkan kerugian hak konstitusionalnya dengan UU Pilkada dalam hal ini Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada. Dalam batas penalaran yang wajar, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menerangkan kerugian hak konstitusional karena secara substansial mempertentangkan antar-pasal dalam UU Pilkada. Padahal, jamak dipahami, pertentangan norma yang dijadikan sebagai dasar dalam menjelaskan kerugian hak konstitusional adalah norma undang-undang dengan UUD 1945.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Bahkan seandainya pun uraian Pemohon dalam permohonannya dianggap sebagai uraian terhadap kerugian konstitusional, Pemohon tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang spesifik dengan berlakunya norma a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, disebabkan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dan/Atau Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 19-05-2020

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Provinsi Kalimantan Barat (KPPAD Provinsi Kalimantan Barat), Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kota Bogor (KPAID Kota Bogor), Komisi Perlindungan Anak Daerah Kota Bandung (KPAD Kota Bandung), Komisi Perlindungan Anak Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (KPAD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), Komisi Pengawasan Dan Perlindungan Anak Daerah Provinsi Kepulauan Riau (KPPAD Provinsi Kepulauan Riau), Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten Subang (KPAD Kabupaten Subang), Dr. M. Zahrin Piliang, M.Si., Meidy Hendrianus, A.Md.Par dan Elvi Hadriany, S.P., M.Psi yang diwakili kuasa hukumnya Muhammad Joni, S.H., M.H., dkk, para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Tim Kuasa Hukum KPAI & KPAD (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 74 ayat (1) dan (2) dan Pasal 76 huruf a UU 35/2014

Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 74 ayat (1) dan (2) dan Pasal 76 huruf a UU 35/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, pada pokoknya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana telah diuraikan dalam Paragraf [3.7]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan (vide Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selanjutnya disebut UU 23/2002). Sekalipun hak anak telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, namun untuk memperkuat jaminan pemenuhan hak anak tersebut maka dalam UU Perlindungan Anak ditentukan secara lebih komprehensif mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab pihak-pihak demi terpenuhinya hak anak dimaksud. Oleh karena itu untuk mengefektifkan penyelenggaraan perlindungan anak perlu dibentuk KPAI, dengan tugas semula adalah melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, serta memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (vide Pasal 74 dan Pasal 76 UU 23/2002). Selanjutnya, dalam perubahan UU 23/2002 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tugas KPAI pun mengalami perubahan menjadi: melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak; memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak; menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak; melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak; melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang perlindungan anak; dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini;

[3.10.2] Bahwa perubahan atas UU Perlindungan Anak dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas implementasi pengawasan oleh kelembagaan yang diberi tugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak hingga di daerah. Ketentuan yang semula mengatur mengenai kelembagaan pengawasan tersebut hanya terdapat di tingkat pusat (KPAI) sebagaimana dinyatakan bahwa “Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen” (vide Pasal 74 UU 23/2002). Undang-Undang tersebut belum memberikan kejelasan bagaimana jangkauan upaya penyelenggaraan perlindungan anak hingga tingkat daerah dan bagaimana pula upaya pemerintah daerah mendukung penyelenggaraan perlindungan anak sehingga benar-benar bisa sejalan dengan maksud pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Oleh karena tuntutan kebutuhan tersebut, selanjutnya pembentuk undang-undang mengubah secara menyeluruh Bab XI tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam UU 23/2002. Perubahan-perubahan tersebut pada pokoknya berkaitan dengan:
1. Dapat dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Daerah oleh pemerintah daerah guna mendukung pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah (Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak);
2. Perubahan struktur KPAI yang semula seorang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, dan seorang sekretaris serta 5 (lima) orang anggota, menjadi seorang ketua, seorang wakil ketua dan 7 orang anggota (Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Anak);
3. Perubahan masa jabatan KPAI yang semula 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun (Pasal 75 ayat (3) UU Perlindungan Anak); dan
4. Penataan tugas KPAI agar sejalan dengan tujuan perlindungan anak.
Sebelumnya, dalam UU 23/2002 tidak disebutkan sama sekali pembentukan kelembagaan KPAI di daerah (KPAID), karena hanya disinggung sekilas dalam penjelasan UU ketika hendak menjelaskan mengenai struktur organisasi KPAI yang menjelaskan, “kelengkapan organisasi yang akan diatur dalam Keputusan Presiden termasuk pembentukan organisasi di daerah” (vide Penjelasan Pasal 75 ayat (5) UU 23/2002). Penjelasan tersebut kemudian ditingkatkan oleh pembentuk undang-undang menjadi bagian dari substansi UU Perlindungan Anak, yang menentukan bahwa “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah” (vide Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak).

[3.10.3] Bahwa selain diatur dalam UU Perlindungan Anak, ketentuan mengenai perlindungan hak anak juga diatur dalam UU 23/2014 dengan menggunakan nomenklatur urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (Pasal 12 ayat (2) huruf b UU 23/2014). Setidaknya terdapat 2 (dua) sub urusan mengenai hak anak yang ditegaskan dalam UU tersebut yaitu: Pertama, sub-urusan Pemenuhan Hak Anak (PHA) di mana dalam perspektif pembagian urusan konkuren telah ditentukan bahwa: (a) pemerintah (pusat) menyelenggarakan pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha tingkat nasional serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak tingkat nasional; (b) pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak tingkat daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota serta daerah kabupaten/kota. Kedua, sub-urusan Perlindungan Khusus Anak (PKA), di mana dalam perspektif pembagian urusan konkuren telah ditentukan pula bahwa: (a) pemerintah pusat melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan para pihak dalam lingkup nasional dan lintas daerah provinsi; penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional; serta penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus tingkat nasional dan lintas daerah provinsi. (b) pemerintah daerah pada tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota menyelenggarakan urusan berupa: 1) Pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan para pihak lingkup daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota; 2) Penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota; 3) Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus tingkat daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota serta daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan pertimbangan di atas penyelenggaraan urusan perlindungan anak dalam konteks otonomi daerah berdasarkan UU 23/2014 pada pokoknya menghendaki adanya pelembagaan PHA, penguatan kelembagaan penyedia layanan untuk peningkatan kualitas hidup anak, pencegahan kekerasan terhadap anak dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Selain ditentukan lingkup penyelenggaraan urusan konkuren untuk perlindungan hak anak di daerah, UU 23/2014 juga telah menentukan bahwa urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar (vide Pasal 12 ayat (2) huruf b UU 23/2014). Hal ini berbeda dengan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, misalnya pendidikan, kesehatan, perumahan, di mana pemerintah daerah memrioritaskan pelaksanaan urusan tersebut dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal dalam rangka menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Sementara itu, untuk melaksanakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, pemerintah daerah harus terlebih dahulu melakukan pemetaan urusan guna menentukan intensitas urusan tersebut berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah. Pemetaan ini penting artinya karena menjadi basis daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran untuk penyelenggaraan urusan tersebut, termasuk pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat secara berjenjang.
Berkenaaan dengan penetapan kelembagaan yang akan menyelenggarakan urusan perlindungan anak, apakah akan dibentuk dalam wadah satu dinas tersendiri sebagai operating core atau diwadahi dalam bentuk perumpunan urusan dalam satu dinas. Hal tersebut tergantung pada kebutuhan daerah dengan memperhitungkan pembobotan variabel umum dan teknis guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas kerja-kerja suatu lembaga yang dibentuk oleh daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila berdasarkan pembobotan tidak mungkin dibentuk dinas tersendiri maka penyelenggaraan urusan tersebut akan dilakukan dalam bentuk perumpunan urusan dalam satu kelembagaan (dinas) dengan mempertimbangkan aspek berupa: (1) kedekatan karakteristik masing-masing urusan pemerintahan; dan/atau (2). keterkaitan antar penyelenggaraan urusan pemerintahan. Artinya, sekalipun perlindungan anak merupakan urusan wajib daerah namun belum tentu pemerintah daerah secara otomatis dapat membentuk lembaga, organ atau perangkat dalam bentuk dinas yang khusus hanya menangani pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Bertolak dari pertimbangan di atas, UU 23/2014 pada pokoknya menghendaki tidak boleh ada urusan yang telah diserahkan menjadi kewenangan daerah dan telah dilakukan pemetaan untuk urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, kemudian tidak diselenggarakan. Berkenaan dengan hal inilah, untuk urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, apabila pembobotannya tidak mungkin dapat dibentuk dalam satu wadah dinas maka penyelenggaraannya dapat dilakukan dalam perumpunan urusan kesehatan, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, serta pemberdayaan masyarakat dan desa. Dalam konteks ini dapat dibentuk satu dinas dengan paling banyak menyelenggarakan tiga macam urusan yang berada dalam rumpun urusan yang telah ditentukan tersebut.

[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan tidak adanya frasa “termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam norma Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak serta tidak adanya kata “wajib” bagi daerah untuk membentuk KPAID sebagai lembaga independen dalam norma Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak akan berdampak terhadap berkurangnya perlindungan anak di daerah karena KPAI tidak memiliki kapasitas untuk menjangkau pengawasan penyelenggaraan hak anak di seluruh pelosok wilayah NKRI sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk mengutip terlebih dahulu secara utuh ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang menyatakan, “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”.
Poin penting dari ketentuan tersebut adalah frasa “untuk mendukung pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan anak di daerah” apakah untuk melaksanakan dukungan tersebut akan dibentuk dalam kelembagaan tersendiri atau tidak, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Karena UU Perlindungan Anak menyerahkan sepenuhnya pembentukan kelembagaan tersebut kepada pemerintah daerah maka dengan sendirinya terkait dengan pembentukan kelembagaan apapun di daerah harus merujuk pada seluruh regulasi yang terkait dengan pembentukan lembaga, organ atau perangkat di daerah agar tidak terjadi proliferasi kelembagaan sebagaimana pernah terjadi di era awal pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di bawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terlebih jika lembaga-lembaga tersebut kemudian saling bertumpang tindih dalam melaksanakan tugas dan fungsinya maka tujuan pembentukan lembaga tidak akan optimal yang pada akhirnya bermuara pada pemborosan keuangan negara.
Sementara itu terkait dengan salah satu core business KPAI adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana telah dinyatakan dalam Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak. Sementara itu pula, berdasarkan pembagian urusan pemerintahan konkuren, tidak disebutkan kewenangan daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak karena lingkup kewenangan daerah meliputi pelembagaan PHA, penguatan kelembagaan penyedia layanan untuk peningkatan kualitas hidup anak, pencegahan kekerasan terhadap anak, dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.10.2]. Namun demikian, sekalipun tugas pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak tidak disebutkan secara spesifik sebagai tugas pemerintah daerah, bukan berarti daerah terlepas sama sekali dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, fungsi pengawasan merupakan fungsi yang inheren dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, hal demikian senantiasa ditegaskan dalam setiap undangundang pemerintahan daerah sebagaimana hal tersebut termaktub pula dalam Pasal 7 ayat (1) UU 23/2014 yang menegaskan, “Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah”. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan menteri/pimpinan lembaga terkait dengan urusan pemerintahan tersebut. Lebih lanjut, dalam Pasal 91 UU 23/2014 ditambahkan pula, “Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”.
Oleh karena urusan perlindungan anak merupakan urusan wajib daerah yang tidak terkait dengan pelayanan dasar maka secara berjenjang pemerintah pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan tersebut. Dalam konteks inilah, KPAI seharusnya bersinergi dengan pemerintah daerah agar hak konstitusional anak dapat semakin terjamin dan terpenuhi. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah menambahkan frasa “termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak terlebih lagi jika hal tersebut didalilkan para Pemohon agar wajib dibentuk oleh daerah (Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak) adalah dalil yang tidak mendasar. Namun demikian, sesuai dengan amanat Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak, daerah dapat membentuk kelembagaan dimaksud sepanjang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kompleksitas persoalan perlindungan anak di daerah. Kebutuhan demikian sekaligus menjawab amanat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, pembentukan KPAID berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak tidaklah dimaksudkan untuk menggerus kewenangan daerah atas penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan sebagai urusan daerah, in casu urusan perlindungan anak.
Dengan demikian Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Anak sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak inkonstitusional karena meniadakan tugas sosialisasi oleh KPAI. Berkenaan dengan dalil para Pemohon ini Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa ketentuan Pasal 76 huruf a UU 23/2002 menyatakan,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Kemudian, dengan diubahnya UU Perlindungan Anak, Pasal 76 mengalami perubahan secara menyeluruh agar lebih mudah dipahami rincian tugas KPAI. Atas dasar perubahan tersebut Pasal 76 UU Perlindungan Anak selengkapnya menyatakan:
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;
b. memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak;
c. mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak;
d. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak;
e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;
f. melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak; dan
g. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini;

[3.12.2] Bahwa ketentuan Pasal 76 UU Perlindungan Anak tidak lagi menyebutkan secara spesifik tugas KPAI untuk melakukan sosialisasi. Oleh karenanya, para Pemohon dalam petitumnya memohon agar Mahkamah menambahkan frasa “termasuk sosialisasi” pada tugas KPAI. Menurut Mahkamah, tugas sosialisasi dari KPAI tidaklah hilang hanya karena tidak tercantum secara spesifik dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, namun tugas tersebut telah ternyata oleh pembentuk undang-undang dialihkan menjadi bagian dari peran masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 72 ayat (3) huruf a UU Perlindungan Anak yang menyatakan,
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak dilakukan dengan cara memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak.
Masyarakat yang dimaksud berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Perlindungan Anak adalah orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. Artinya, dengan adanya perubahan ketentuan ini maka sosialisasi bukan lagi menjadi monopoli tugas dari KPAI sebagaimana semula ditentukan dalam Pasal 76 ayat (1) UU 23/2002. Sementara itu, untuk pengaturan peran masyarakat dalam ketentuan UU 23/2002 diatur secara sangat terbatas tanpa ada kejelasan ruang lingkup peran yang dapat dilakukannya, termasuk cara melakukannya (vide Pasal 73 UU 23/2002). Oleh karena itu, seiring dengan dilakukannya perubahan UU Perlindungan Anak, peran masyarakat perlu dikuatkan dalam rangka mewujudkan tujuan UU Perlindungan Anak. Konsekuensi penguatan tersebut, tugas sosialisasi pun diperluas yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk KPAI dan KPAID sebagai lembaga perlindungan anak. Bahwa dengan semakin luasnya keterlibatan pihak-pihak dalam melakukan sosialisasi maka dalam batas penalaran yang wajar akan semakin luas pula jangkauan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak anak. Perluasan pemahaman ini menjadi penting artinya tidak hanya untuk pemajuan (to promote) hak-hak anak, termasuk di dalamnya adalah menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pemenuhan hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Pentingnya pemenuhan hak tersebut sejalan dengan maksud pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child. Adanya kekhawatiran para Pemohon yang beranggapan tidak dapat lagi melakukan pengawasan atas penyelenggaraan hak anak sampai ke pelosok wilayah NKRI karena tidak ada lagi tugas sosialisasi yang merupakan satu nafas dengan pengawasan, merupakan hal yang tidak mendasar karena pada prinsipnya Pasal 76 UU Perlindungan Anak menentukan bahwa lembaga perlindungan anak termasuk lembaga yang diberi peran untuk melakukan sosialisasi. Dalam konteks ini, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh KPAI sekaligus dapat disinergikan dengan fungsi sosialisasi. Apalagi, nomenklatur yang digunakan oleh UU a quo adalah lembaga perlindungan anak (dalam huruf kecil) sehingga tidak menutup ruang bagi KPAI (termasuk KPAID) untuk melakukan sosialisasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak tidak beralasan menurut hukum;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak/Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM, UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG, DAN UNDANGUNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017, Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015, dan Pasal 201 ayat (7) serta Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017, Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015, dan Pasal 201 ayat (7) serta Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.15] Menimbang bahwa setelah memahami dengan saksama arah Pemilu Serentak yang konstitusional sebagaimana didalilkan Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan substansi dalil Pemohon dengan tiga konstruksi dasar dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2013 yang pokoknya menyatakan penyelenggaraan Pemilu Serentak adalah konstitusional;

[3.15.1] Bahwa sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, salah satu dasar penilaian perihal konstitusionalitas Pemilu Serentak adalah berdasarkan pada original intent UUD 1945;

Bahwa berkenaan dengan original intent, dalam pengertian dan makna yang lebih longgar, yaitu sekitar ide-ide yang dikemukakan dan berkembang selama masa pembahasan perubahan UUD 1945 terutama berkenaan dengan pemilihan umum, Mahkamah harus merujuk kembali ihwal bagaimana sesungguhnya ide-ide berkembang yang dikemukakan para pengubah UUD 1945 berkenaan dengan pemilihan umum, terutama pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Penelusuran kembali diperlukan karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pemilu Serentak konstitusional lebih menekankan pada pendapat yang pada pokoknya pelaksanaan pemilihan umum serentak terdapat 5 (lima) kotak suara, yang lebih dikenal dengan “Pemilihan Umum Lima Kotak”;

Bahwa setelah menelusuri kembali secara saksama risalah perubahan UUD 1945, mulai tahun 1999 hingga 2001, perihal ide-ide yang dikemukakan dan berkembang selama pembahasan perubahan UUD 1945, Mahkamah menemukan fakta sebagai berikut:

Pertama, bahwa pada pembukaan Rapat ke-3 sesi kedua Panitia Ad-Hoc (PAH) III Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tanggal 9 Oktober 1999, dalam kapasitas sebagai pimpinan rapat, Slamet Effendy Yusuf menginventarisasi usulan yang masuk terkait dengan rencana perubahan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Slamet Effendy Yusuf mencatat ada tiga alternatif usulan, yaitu: (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak; (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum; dan (3) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak sesuai dengan hasil pemilihan umum [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 246];

Kedua, bahwa berbarengan dengan menguatnya ide atau gagasan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dalam Rapat ke-39 PAH I BP MPR, tanggal 6 Juni 2000, gagasan penyelenggaraan “pemilu secara serentak” telah muncul. Terkait dengan hal ini, A.M. Lutfi, juru bicara F-Reformasi mengusulkan bab dengan judul “Pemilihan Umum” yang terdiri dari lima ayat yang pada ayat (4)-nya menyatakan: “Pemilihan umum dilakukan secara bersamaan di seluruh Indonesia, serentak” [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 513]. Sementara itu, Hobbes Sinaga, juru bicara F-PDIP menyampaikan usul berkaitan dengan rumusan bab dan pasal perihal pemilihan umum. Dari delapan ayat yang diusulkan, satu di antaranya terkait dengan tata cara pelaksanaannya berkaitan dengan ayat (1), yaitu: untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 517]. Begitu pula F-KB, mengusulkan agar pemilu dilakukan secara serentak secara nasional maupun yang bersifat lokal, sebagai berikut:

Pertama, menyangkut wilayah dari pemilu. Bahwa adanya pemilihan umum yang dilaksanakan pada tingkat nasional atau dilakukan secara serentak secara nasional dan itu dilakukan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD I atau DPRD II. Ini dilaksanakan secara nasional dan serentak dalam jangka waktu lima tahun sekali.
Ketiga, menyangkut prinsip pelaksanaan pemilu secara serentak yang bersifat nasional maupun yang bersifat lokal dilaksanakan dengan prinsip jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia;
[vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 521]

Ketiga, bahwa berkenaan dengan usulan-usulan serentak tersebut, juru bicara F-PBB, Hamdan Zoelva secara implisit berupaya untuk memisahkan jadwal penyelenggaraan pemilu tersebut dengan mempertegas pembedaan macammacam pemilu sebagai berikut:

Pertanyaannya, apakah semua pemilihan ini, namanya pemilihan umum yang harus dilaksanakan satu sekali dalam setahun serentak di seluruh Indonesia. Tentunya tidak mungkin lah seluruh pemilihan yang tadinya ada dalam bab-bab yang lain, dilakukan satu kali dan sekaligus dan serentak di seluruh Indonesia karena berbagai macam pemilihan itu.Oleh karena itu, pemilihan umum ini sangat berkaitan dengan masa jabatan dari pejabat yang akan dipilih.

Oleh karena itu, belum tentu seluruh pemilihan ini dilakukan sekaligus akan tetapi tergantung kepada berakhirnya masa jabatan atas jabatan yang akan kita pilih itu. Jadi, bisa jadi ada beberapa kali pemilihan dalam lima tahun itu. Ada pemilihan langsung gubernur, ada pemilihan langsung walikota, ada pemilihan DPR pusat yang mungkin bisa berbeda;
[vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 523]

Keempat, bahwa perdebatan-perdebatan sekitar ide yang berkembang perihal pemilihan umum tersebut berujung dengan dirumuskannya draf Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara serentak di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Draf tersebut dibahas dalam rapat sinkronisasi PAH I BP MPR tanggal 11 Juli 2000. Dalam hal ini, Slamet Effendy Yusuf, Wakil Ketua PAH I BP MPR sekaligus pimpinan rapat, bertanya kepada forum ihwal frasa “secara serentak” dalam draf tersebut. Ia mempertanyakan apakah penyelenggaraan pemilu pada saat DPR dipilih berarti secara serentak, DPD secara serentak serta DPRD secara serentak atau DPR, DPD, dan DPRD secara serentak?

Menanggapi pertanyaan Slamet Effendy Yusuf, Hamdan Zoelva meminta agar frasa “secara serentak” dihapuskan saja,
Saya usul mengenai pasal ini, dalam pemilihan itu kita ingatkan saja dengan pertimbangan bahwa biarlah kita atur apakah ini nanti bisa dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia yang dipilih itu ataukah tidak, nanti kita atur saja dalam Undang-Undang Otonomi Daerah atau dalam undang-undang [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm 545-546];

Usulan yang disampaikan Hamdan Zoelva langsung ditindaklanjuti pimpinan rapat dengan mengundang peserta rapat untuk menyetujui secara aklamasi. Pada saat itu, peserta rapat menyambut ajakan itu dengan kata: “setuju” [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm 545-546];

Kelima, bahwa dalam Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR, pada tanggal 5 November 2001, anggota F-KKI, Tjetje Hidayat mempertanyakan ihwal alasan memasukkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pengertian general election, pimpinan rapat dan sekaligus wakil ketua PAH I BP MPR, Slamet Effendy Yusuf menjelaskan sebagai berikut:

Jadi memang begini, memang pada konsep ini, secara keseluruhan itu, Presiden nanti dalam pemilihan yang disebut langsung itu diadakan di dalam pemilihan umum yang diselenggarakan bareng-bareng ketika memilih DPR, DPD, kemudian DPRD, kemudian juga paket Presiden dan Wakil Presiden sehingga digambarkan nanti ada lima kotak. Jadi kotak untuk DPR RI, kotak untuk DPD, kotak untuk DPRD Provinsi, kotak untuk DPRD Kota atau Kabupaten, dan kotak untuk Presiden dan Wakil Presiden itu. Jadi gambarannya memang itu dan memang konsep ini menyebut pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 602].

Terkait dengan jawaban Slamet Effendy Yusuf tersebut, L.T. Soetanto dari F-KKI menginginkan dipisahkannya pemilihan umum dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang pada intinya menyatakan:

Kemudian menyangkut Pemilihan Umum, yaitu ayat (2), Kami tetap menginginkan supaya pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum itu dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden itu dapat diikuti juga pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 605-606];
Sementara itu, dari F-KB, Ali Masykur Musa mengajukan usulan alternatif, sebagai berikut:

.... Seyogianya memang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pasangan itu waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Jadi, misalkan pemilihan umum untuk memilih para wakil rakyat di semua tingkatan. Wakil rakyat itu publik mengatakan ya DPR, ya DPRD. Apabila DPD sudah masuk wakil rakyat maka juga masuk DPD...

.... Berkaitan dengan apakah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagai rumpun pemilihan eksekutif, dibuat Bab tersendiri yang di situ ada Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan sebagainya yang dipilih langsung oleh rakyat, maka bisa juga dibuat sebuah Bab tersendiri;
[vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 606]

Tanggapan agak berbeda dikemukakan Nadjih Ahmad, dari F-PBB, yang intinya menghendaki pemilihan kepala daerah sebagai bagian dari pemilu. Terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum, Nadjih Ahmad menyatakan:

Kemudian yang idealnya untuk DPRD, itu bersama-sama pemilihannya dengan gubernur dan bupati. Di dalam Pasal mengenai Pemilihan Umum Ayat (2), belum tercantum masalah pemilihan gubernur dan pemilihan bupati. Saya kira kalau Presiden saja dipilih langsung, apalagi gubernur dan bupati [vide Naskah KomprehensifPerubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V, hlm. 608];

Keenam, bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan perihal keserentakan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilhan. Di antara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2) Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak yang bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden dapat diikuti juga dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan (7) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat;

Ketujuh, bahwa dengan uraian di atas, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pemilu Serentak adalah konstitusional merupakan pertimbangan yang memiliki dasar yang kuat pada saat pembahasan perubahan UUD 1945. Namun demikian, Pemilu Serentak Lima Kotak sebagai model penyelenggaraan pemilu serentak yang dikehendaki oleh UUD 1945 bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang dan diperdebatkan selama perubahan UUD 1945. Sebab, pengubah UUD 1945tidak begitu mempersoalkan apakah penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD dilaksanakan serentak semuanya, serentak sebagian, digabungkan semua atau dipisah-pisah, sepanjang pilihan yang tersedia bermuara kepada penguatan sistem pemerintahan presidensial, pilihan pelaksanaan pemilu serentak yang demikian adalah tetap konstitusional;

[3.15.2] Bahwa sesuai dengan pertimbangan “sepanjang pilihan yang tersedia bermuara pada penguatan sistem pemerintahan presidensial” di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan model penyelenggaraan Pemilu Serentak yang dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial sesuai dengan kesepakatan para pengubah UUD 1945. Kerangka dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial dalam desain Pemilu Serentak pun telah diuraikan dan dipertimbangkan dalam sub-Pertama Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengaitkannya dengan pilihan pengubah UUD 1945 untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang antara lain menyatakan:

Pertama, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara dan lambang pemersatu bangsa.

Bahwa selain pertimbangan dalam Putusan tersebut, penyederhanaan partai politik merupakan salah satu cara memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Bagi negara-negara yang sistem pemerintahan presidensialnya dibangun dengan sistem kepartaian majemuk (multipartai) yang tidak sederhana, penyederhanaan partai politik menjadi suatu keniscayaan. Terkait dengan strategi penyederhanaan partai politik dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, pertimbangan hukum sub-Paragraf [3.13.7] angka 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018, di antaranya menyatakan:

…untuk memperketat persyaratan partai politik menjadi peserta Pemilu. Hal ini sejalan dengan desain konstitusi yang bermaksud menyederhanakan sistem kepartaian. Dalam batas penalaran yang wajar, dengan memperberat persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu maka jumlah partai politik yang menjadi peserta Pemilu akan makin terbatas. Dengan pengetatan persyaratan tersebut, jumlah partai politik akan makin mendukung bekerjanya sistem pemerintahan presidensial sebagaimana yang dianut UUD 1945. Bagaimanapun, telah menjadi pengetahuan umum, baik secara doktriner dan maupun pengalaman empiris, sistem pemerintahan presidensial menjadi sulit bekerja optimal di tengah model sistem multipartai dengan jumlah yang tidak terkendali. Oleh karena itu, selalu dipersiapkan berbagai strategi (desain) untuk menyederhanakan jumlah partai politik terutama partai politik sebagai peserta Pemilu.

Sebagai bagian dari upaya memenuhi desain memperketat jumlah partai politik dimaksud, salah satu upaya mendasar yang harus dilakukan oleh penyelenggara Pemilu adalah memastikan semua partai politik yang dinyatakan menjadi peserta Pemilu memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan dalam UU Pemilu. Misalnya, dalam soal kepengurusan untuk mencerminkan sifat nasional partai politik, UU Pemilu menyatakan bahwa partai politik menjadi peserta Pemilu harus (1) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; (2) minimal memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan (3) minimal memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, penyelenggara Pemilu harus memastikan keterpenuhan syarat minimal kepengurusan tersebut tanpa melakukan pengecualian untuk tidak melakukan verifikasi di tingkat manapun, termasuk verifikasi keterpenuhan persentase kepengurusan di tingkat kecamatan.

Bahwa apabila dikaitkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 di atas, upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial dengan cara menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilihan umum dapat dikatakan sebagai salah satu cara dari berbagai cara yang lazim dikenal dalam praktik sistem pemerintahan presidensial. Penyederhanaan partai politik diperlukan agar menjadi lebih mudah mengelola hubungan antara presiden (sebagai pemegang kekuasaan eksekutif) dengan pemegang kekuasaan legislatif. Dalam hal ini, jamak dimengerti, baik secara doktriner maupun praktik, semakin banyak jumlah partai politik yang berada di lembaga legislatif semakin sulit mengelola hubungan antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaan eksekutif. Apalagi terjadi situasi di mana dukungan terhadap presiden dari lembaga legislatif diraih melalui koalisi sejumlah partai politik. Terkait dengan kondisi demikian, misalnya, penelitian Scott Mainwaring (1993) menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-building in presidential democracies. Kondisi yang dikemukakan Scott Mainwaring tersebut dapat diteropong dari praktik pemerintahan pasca-Pemilu 2004. Ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden yang hanya didukung modal awal 7 (tujuh) persen suara Partai Demokrat hasil Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2004 yang dilaksanakan lebih awal dan terpisah dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Karena fakta tersebut, untuk memperbesar dukungan politik di DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih langkah yang lazimnya terjadi dalam praktik sistem pemerintahan presidensial sebagai minority president, yaitu merangkul 6 (enam) partai politik di luar Partai Demokrat;

Bahwa perbedaan dukungan antara partai politik yang meraih kursi terbanyak di lembaga perwakilan dengan minority president, selain melakukan desain seperti memperberat dan memperketat persyaratan bagi partai politik menjadi peserta pemilihan umum sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 di atas, mengatur keserentakan pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden menjadi upaya strategis lainnya dalam memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Secara teoritis, sejumlah hasil penelitian menujukkan bahwa pemilu serentak dianggap dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial karena dapat menjadikan jumlah partai politik lebih sederhana. Dalam hal ini, Matt Golder (2006) menyatakan:

Presidential elections are commonly thought to influence legislative fragmentation through a coattails effect where the fortunes of electoral parties are tied to the fate of their party’s presidential candidate.

The presidency is nearly always the most important electoral prize in a presidential regime. As a result, presidential candidates become the focus for the vast majority of national media attention and campaign contributions. This aspect of presidential campaigns generates incentives for legislative candidates to organize their campaigns around their party’s presidential candidate in the hope of benefiting from his or her organizational, financial, and media advantages.

Bahwa merujuk pandangan tersebut, pelaksanaan pemilihan umum serentak antara pemilihan presiden dan wakil presiden dengan pemilihan anggota legislatif tidak terlepas dari penilaian ihwal pemilihan presiden dan wakil presiden dianggap memengaruhi pemilihan legislatif melalui coattails effect karena nasib partai politik terkait dengan nasib calon presiden partai mereka. Dengan efek yang ditimbulkan tersebut, dukungan terhadap calon presiden cenderung memberikan keuntungan bagi kandidat legislatif karena pemilih cenderung akan memilih calon anggota legislatif yang berasal dari partai politik yang sama dengan calon presiden atau partai politik pendukung calon presiden. Terkait dengan efek tersebut, David Samuels (2000) menyatakan bahwa coattail effects dimaknai sebagai “the ability of a candidate at the top of the ticket to carry into office...his party’s candidates on the same ticket”. Pendapat David Samuels hendak menegaskan satu hal penting, yaitu kemampuan yang dimiliki calon presiden akan memberikan keuntungan bagi calon anggota legislatif dari partai politik yang sama dengan calon presiden atau dari partai politik yang memberikan dukungan kepada calon presiden yang sama. Dengan menggunakan pendapat tersebut, efek pemilihan umum anggota legislatif yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilih cenderung untuk memilih partai politik calon presiden/wakil presiden atau partai politik pendukung calon presiden/wakil presiden.

Bahwa terkait dengan pandangan di atas, secara doktriner pemilihan umum serentak merupakan solusi mengatasi keterbelahan hubungan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif. Pemilu serentak adalah pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum presiden/wakil presiden yang diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan. Karena itu, sebagaimana hasil kajian Mark Pyane dkk. (2002) menunjukkan, pemilihan umum serentak tidak hanya berhasil menyederhanakan sistem kepartaian di lembaga perwakilan, tetapi juga berkecenderungan terbentuknya pemerintahan kongruen karena pemilih yang memilih presiden dari partai politik atau didukung oleh partai politik tertentu akan memiliki kecenderungan memilih anggota legislatif dari partai politik presiden atau partai politik yang mendukung presiden;

[3.15.3] Bahwa setelah menelusuri original intent dan sejumlah doktriner yang didukung pengalaman empirik, selanjutnya Mahkamah akan menelusuri kembali makna “Pemilihan Umum Serentak” dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Dalam batas penalaran yang wajar, Putusan Mahkamah Konstitusi a quo dapat dikatakan mengubah sikap Mahkamah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 yang pada pokoknya menyatakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan yang dilaksanakan lebih dulu dari pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai sesuatu yang konstitusional. Karena pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tersebut, Pemilihan Umum 2009 dan Pemilihan Umum 2014 tetap diselenggarakan seperti Pemilihan Umum 2004, yaitu pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) diselenggarakan lebih dulu dibandingkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden;

Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, praktik yang telah berlangsung sejak Pemilihan Umum 2004 tersebut diubah begitu rupa dengan cara menyerentakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Dengan perubahan ini, pelaksanaan pemilihan umum yang konstitusional adalah tidak lagi dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Perubahan pendirian Mahkamah tersebut adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang perubahan didasarkan pada alasan yang substansial. Berkenaan dengan kemungkinan untuk mengubah sikap atau pendirian dari putusan sebelumnya, misalnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019, Mahkamah menyatakan:

[3.18] Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan, misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat (yang sekaligus berfungsi sebagai Mahkamah Konstitusi), mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi (hlm. 63).
Sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pertimbangan mendasar yang menyebabkan Mahkamah mengubah pendirian dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUUVI/2008 dikarenakan 4 (empat) alasan, yaitu: (1) kaitan antara sistem pemilihan umum dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, (2) original intent dari pembentuk UUD 1945, (3) efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta (4) hak warga negara untuk memilih secara cerdas;

Bahwa sebagaimana diuraikan dalam sub-Paragraf [3.15.2] di atas, sekalipun terdapat empat alasan yang menyebabkan berubahnya pendirian Mahkamah dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, dapat dikatakan inti atau substansi dari alasan-alasan tersebut lebih bertumpu pada upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan yang disepakati dalam Perubahan UUD 1945. Sebagaimana diuraikan pula dalam pertimbangan hukum sub-Paragraf [3.15.2] a quo, pilihan atau desain waktu penyelenggaraan pemilihan umum guna memilih anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden menjadi titik krusial dalam rancang-bangun penguatan sistem pemerintahan presidensial;

Bahwa dalam konteks rancang-bangun tersebut, persoalan mendasar yang harus dikemukakan, bagaimana sesungguhnya desain waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dengan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden. Terkait dengan persoalan tersebut, sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUUXI/2013 telah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah pemilihan umum anggota legislatif diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, namun Putusan a quo belum begitu tegas menentukan desain atau waktu keserentakan dimaksud. Bahkan, meski menggunakan original intent Pemilu Serentak Lima Kotak, apabila dibaca secara saksama kalimat demi kalimat terutama pertimbangan hukum halaman 82-85, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 hanya sekali menyebut pemilihan umum serentak yang penyelenggaraannya serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (hlm. 83). Sementara itu, penyebutan pemilihan umum serentak sebagai pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan disebut sebanyak 8 (delapan) kali. Tidak hanya itu, ketika menggunakan penafsiran sistematis, “penyelenggaraannya serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden” sebagaimana pemaknaan Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang hanya disebut satu kali dalam Putusan a quo, penyebutan itupun muncul saat menjelaskan konteks Pemilu Serentak Lima Kotak sebagai salah satu original intent dalam Perubahan UUD 1945;

[3.16] Menimbang bahwa merujuk pada pertimbangan di atas, sebagai bagian dari penguatan sistem pemerintahan presidensial, pemilihan umum serentak dengan cara menyerentakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih terbuka kemungkinan ditinjau dan ditata kembali. Peninjauan dan penataan demikian dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintahan presidensial, yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan demikian, baik secara doktriner maupun praktik, didasarkan pada basis argumentasi bahwa keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial;
Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;

Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum;

[3.17] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan beberapa persoalan mendasar sebagaimana dituangkan dalam Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] di atas, perihal dalil Pemohon pemaknaan sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan di bagian akhir Paragraf [3.16] di atas yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, dalil Pemohon perihal pemaknaan frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan di bagian akhir Paragraf [3.16] di atas yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden maka dalil Pemohon perihal pemaknaan Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015 serta persoalan konstitusionalitas Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9) UU 10/2016 menjadi kehilangan relevansi untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah. Oleh karena itu, dalil Pemohon berkenaan Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015 serta Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9) UU 10/2016 ini pun adalah tidak beralasan menurut hukum;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak/Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Yanto yang memberikan kuasa kepada Dr. Flora Dianti, S.H., M.H., dkk Advokat dan Paralegal pada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum—Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (disingkat “LKBHPPS FHUI”)

terhadap Pasal 2 ayat (4a) UU No. 28 Tahun 2007, Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (8) huruf a dan Pasal 9 ayat (8) huruf i

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU No. 28 Tahun 2007 dan UU No. 42 Tahun 2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.2] Bahwa Pemohon dalam perkara Nomor 13/PUU-XIV/2016, pada pokoknya meminta adanya perbedaan kewajiban perpajakan antara PKP yang dikukuhkan secara jabatan oleh DJP dengan PKP yang mendaftar (inisiatif) sendiri. Di mana yang dikukuhkan secara jabatan bisa ditarik 5 tahun kewajiban perpajakannya, sementara yang mendaftar sendiri, kewajiban perpajakannya dimulai dari tanggal ditetapkan oleh DJP dan tidak bisa ditarik mundur kewajiban perpajakannya. Pemohon dalam perkara tersebut menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sedangkan dalam perkara a quo, Pemohon meminta bila PKP ditarik mundur 5 Tahun kewajiban perpajakannya, maka harus seimbang antara hak dan kewajibannya, sehingga Hak PKP untuk mengkreditkan PPN Masukannya dengan PPN Keluaran harus diakui juga dalam kewajiban perpajakan yang berlaku surut tersebut dengan Pemohon perkara a quo yang juga menggunakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar pengujian.

[3.11.3] Bahwa berdasarkan hal tersebut, walaupun norma dalam UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian adalah sama yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, namun menurut Mahkamah, terhadap kedua permohonan tersebut, terdapat alasan permohonan yang berbeda dan isu pokok yang menjadi dasar kerugian konstitusional juga berbeda sehingga terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas apabila dilakukan pengujian dengan alasan sebagaimana tersebut di atas, maka Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007 dapat diajukan kembali dalam permohonan ini;

[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007 tidak memberikan kepastian hukum yang adil karena hanya menyatakan kewajiban perpajakan PKP yang ditarik mundur paling lama 5 (lima) tahun. Padahal PKP itu pun mempunyai hak perpajakan juga. Artinya, ketika ditarik mundur paling lama 5 (lima) tahun, seharusnya berlaku hak dan kewajiban perpajakan dari PKP. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) UU 28/2007 merupakan konsekuensi logis dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU 28/2007, apabila Wajib Pajak dan/atau PKP tidak memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya pada Kantor DJP padahal telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007 yang menyatakan bahwa kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi kewajiban subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP dimaksudkan untuk menegaskan dan memberikan kepastian adanya ketentuan daluwarsa penetapan pajak 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) UU 28/2007. Adapun, makna “untuk dikukuhkan menjadi PKP”, berarti sejak semula telah ada kewajiban untuk melaksanakan sesuatu (dalam hal ini sebagai PKP) sehingga pengukuhan sifatnya hanya administratif, karena kewajiban pajaknya sudah ada sejak syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 13/PUU-XIV/2016, dalam pertimbangannya, Mahkamah telah menegaskan bahwa kewajiban perpajakan selama lima tahun ke belakang bagi PKP tidak bertentangan dengan konstitusi atau konstitusional. Lebih lanjut, berkaitan dengan pertimbangan hukum a quo Mahkamah dalam putusan tersebut mempertimbangkan antara lain:

“…Dengan demikian sama dengan pemberian NPWP, pengukuhan PKP bersifat administratif karena kewajiban perpajakan bagi pengusaha dimulai sejak usaha yang bersangkutan telah melebihi perolehan bruto yang diperolehnya dalam setahun. Dengan kata lain, kewajiban perpajakan tersebut timbul karena Undang-Undang, bukan karena dikukuhkan sebagai PKP. Hal ini sejalan dengan sistem self assessment yang dianut ketentuan perpajakan Indonesia, karena pengusaha itu sendirilah yang mengetahui seberapa besar peredaran bruto yang diperolehnya selama setahun, sehingga dapat diketahui kapan yang bersangkutan dikukuhkan menjadi PKP yang selanjutnya berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang, sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan….” (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XIV/2016, bertanggal 21 Februari 2017, hlm. 75)

Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) UU 28/2007 merupakan instrumen bagi aparat perpajakan untuk mengawasi kewajiban perpajakan WP dan/atau PKP, sehingga tercipta keseimbangan dalam sistem self assesment. Ketentuan Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007 ketika dibaca dan dipahami bersama-sama dengan ketentuan lain dalam undang-undang a quo merupakan norma yang mengatur mengenai kewajiban perpajakan bagi PKP yang sudah harus berlaku sejak PKP tersebut telah memenuhi syarat objektif maupun subjektif, dan merupakan konsekuensi dari sistem self assesment, sehingga tidak tepat apabila dipaksakan untuk mengatur pula mengenai hak PKP. Jika yang dimaksud Pemohon adalah hak atas keringanan pajak dan/atau hak-hak lainnya, misalnya keberatan (vide Pasal 25 UU 28/2007), banding (vide Pasal 27 UU 28/2007), peninjauan kembali (vide Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), imbalan bunga (vide Pasal 27a UU 28/2007), gugatan (vide Pasal 23 ayat (2) UU 28/2007), kepastian SPT lebih bayar dalam proses restitusi (vide Pasal 11 UU 28/2007) dan lain-lain yang secara universal hak tersebut disediakan sebagai instrumen oleh undang-undang dan dengan sendirinya dimiliki oleh setiap wajib pajak. Oleh karena itu hak-hak tersebut penafsirannya tidak dapat dikaitkan dengan norma yang dipersoalkan Pemohon a quo, mengingat hak-hak demikian telah diatur dalam norma pasal yang lain. Meskipun norma-norma berkaitan dengan hak wajib pajak ditempatkan pada norma yang berbeda, namun secara esensial tetap saja melekat dan berdampingan dengan kewajiban setiap wajib pajak. Lebih lanjut menurut Mahkamah fakta hukum ini menjawab, perihal potensi kerugian sebagaimana disimulasikan Pemohon dalam permohonannya merupakan kerugian materiil yang bersifat subjektif dan kasuistis, tidak serta merta timbul karena inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (4a) UU a quo. Sebab, dengan tidak ditegaskannya kata “hak“ dalam Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007 tidak menjadikan norma pasal tersebut inkonstitusional, karena hak-hak PKP yang merupakan dampak adanya penerapan norma Pasal a quo tidak hilang dan tetap dapat memberikan perlindungan hukum terhadap PKP meskipun diatur tidak dalam satu norma dengan kewajiban PKP sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 2 ayat (4a) UU 28/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa, selanjutnya menurut Pemohon, Pasal 9 ayat (2) UU 42/2009 tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum karena aturan pengkreditan di atas baru berlaku setelah pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Artinya, setelah tanggal dikukuhkan sebagai PKP, PKP baru bisa melakukan pengkreditan Pajak Masukannya dengan Pajak Keluaran, sedangkan dalam praktik sekarang, apabila terdapat kondisi DJP melakukan prinsip retroactive (penarikan mundur) kewajiban perpajakan PKP, Pajak Masukan PKP tidak diakui. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pengukuhan PKP bersifat administratif karena sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, bahwa kewajiban perpajakan bagi pengusaha kena pajak sesungguhnya dimulai sejak usaha wajib pajak memenuhi syarat subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP [vide Pasal 2 ayat (4) UU 28/2007]. Dengan kata lain, kewajiban perpajakan tersebut timbul karena Undang-Undang, bukan semata-mata karena ketika dikukuhkan sebagai PKP. Bahkan secara universal dan doktriner kewajiban perpajakan timbul sejak undang-undang perpajakan telah diberlakukan, sepanjang undang-undang mengatur sesuatu yang menimbulkan suatu kewajiban perpajakan. Lebih lanjut, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9 ayat (2) penerapannya bersifat “kumulatif”. Artinya, pada waktu memaknai norma a quo haruslah diterapkan secara utuh bersamaan dengan norma lain dalam undang-undang ini, yaitu dengan Pasal 9 ayat (8) yang menentukan kriteria pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan, di mana salah satunya adalah perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak mengakibatkan munculnya persoalan konstitusionalitas norma terlebih menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sebab norma dari pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang perpajakan mempunyai sifat/karakteristik yang khusus. Sebagai akibat yuridis dari sifat kekhususan tersebut mewajibkan setiap wajib pajak memenuhi kewajiban pajaknya bagi setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Dengan karakteristik demikian, parameter ketidakpastian dan ketidakadilan hukum sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, hal demikian menjadi tidak relevan untuk dipersamakan dengan penilaian subyektivitas dari wajib pajak, termasuk oleh Pemohon. Dengan demikian berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut dalil Pemohon yang menyatakan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (2) UU 42/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa lebih lanjut Pemohon mendalilkan Pasal 9 ayat (8) huruf a UU 42/2009 tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan, karena bila PKP diperiksa untuk tahun pajak pada periode sebelumnya yaitu sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, di mana sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf a UU 42/2009, Pajak Masukan yang dibayarkan oleh PKP kepada Pembeli yang memungutnya, tidak dapat dikreditkan. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sebagaimana juga telah disinggung dalam pertimbangan hukum sebelumnya, bahwa Pasal 9 ayat (8) UU 42/2009 merupakan pasal yang mengatur mengenai kriteria pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan, dalam norma tersebut salah satu pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Selanjutnya, penjelasan norma a quo menyatakan bahwa “Ayat ini memberikan penegasan bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.” Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa penetapan atau pengukuhan pengusaha sebagai PKP menuntut sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, meski secara administratif seluruh dokumen dan persyaratan sudah lengkap, tetap diperlukan syarat faktual yaitu adanya proses yang wajib dilalui berupa survei atau verifikasi oleh petugas tekait. Proses ini pada umumnya dapat berlangsung beberapa waktu usai seluruh persyaratan dilengkapi. Esensi dari proses tersebut berkaitan erat dengan penilaian untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat Pengusaha untuk dapat ditetapkan sebagai wajib pajak atau PKP secara faktual. Lebih lanjut dijelaskan, sementara proses verifikasi dilakukan kegiatan usaha tetap harus berjalan yang dimungkinkan masih akan terjadi perubahan data perpajakan. Dengan kata lain, meskipun kegiatan usaha telah dilakukan sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP, perhitungan kewajiban pembayaran pajaknya tetap dihitung setelah pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Dengan pertimbangan tersebut, dengan sendirinya pemasukan yang diperoleh sebelum Wajib Pajak dikukuhkan sebagai PKP tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, menurut Mahkamah, hal ini justru memberikan kepastian hukum karena hakikat dari norma yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut secara tegas memberikan gambaran konkrit relevansi kewajiban PKP yang melekat sejak secara faktual pengusaha yang bersangkutan ditetapkan/dikukuhkan sebagai PKP.

Bahwa lebih lanjut secara sederhana dapat Mahkamah ilustrasikan sebuah contoh apabila pengusaha/wajib pajak baru resmi dikukuhkan sebagai PKP yang waktunya tidak sama dengan waktu pengusaha yang bersangkutan telah melakukan usahanya secara faktual, maka apabila kewajibannya diberlakukan secara surut, sebagai konsekuensinya perolehan Pajak Masukan sebelum ditetapkannya sebagai PKP tidak dapat dikreditkan. Dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak menemukan adanya argumentasi yang dapat menjadi alasan bahwa dalam ketentuan ini menciptakan ketidakpastian hukum sebagaimana yang didalilkan Pemohon, karena norma tersebut telah tegas mengkategorikan “perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP sebagai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan”. Dengan demikian dalil Pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (8) huruf a UU 42/2009 a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan norma Pasal 9 ayat (8) huruf i UU 42/2009 tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan karena PKP telah membayar PPN Masukan tetapi dia tidak dapat mengkreditkan hanya karena dia lupa melaporkan di Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tetapi ditemukan ketika waktu pemeriksaan. Masih menurut Pemohon, apabila pasal ini diberlakukan, maka Hak PKP untuk mengkreditkan PPN Masukan dalam pemeriksaan yang berlaku surut dapat tidak tercapai, karena informasi PPN Masukan diperoleh ketika proses pemeriksaan. Di samping itu sudah pasti PKP tersebut sebelumnya tidak melaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai karena pada waktu berlaku surut itu, PKP tersebut belum dikukuhkan sebagai PKP jadi dia tidak dapat melaporkan PPN Masukan di Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, norma Pasal 9 ayat (8) huruf i UU 42/2009 sesungguhnya sudah jelas dan berkorelasi dengan adanya konsekuensi logis dari diberikannya otoritas wajib pajak sesuai dengan prinsip self assesment, di mana PKP wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Di samping itu, kepada PKP juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan. Lebih lanjut, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon mengenai besarnya beban pajak yang menurut Pemohon tidak adil dan tidak seimbang merupakan hal yang dapat terjadi dalam ranah implementasi, tidak serta merta terjadi karena inkonstitusionalitas norma. Andaipun dalil Pemohon tersebut benar, undang-undang telah menyediakan instrumen untuk mengajukan keberatan. Sebab, esensi dari norma Pasal a quo tidak dapat dipisahkan atau berkaitan erat dengan esensi norma pasal yang diuji sebelumnya, yang pada hakikatnya pajak yang dapat dikurangkan hanya pajak pemasukan setelah wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya. Dengan demikian dalil Pemohon mengenai Pasal 9 ayat (8) huruf i UU 42/2009 menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali beberapa pertimbangan Mahkamah dalam memberikan fleksibilitas yang terukur terhadap kebijakan negara dalam mengatur masalah perpajakan, yaitu antara lain:

Bahwa mengenai kewenangan negara dalam memungut pajak dan menentukan besaran serta mekanisme pajak, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, bertanggal 11 Desember 2004, pada pertimbangannya antara lain menyatakan:

… Menimbang bahwa pembayaran pajak adalah kewajiban semua warga negara maupun orang asing penduduk Indonesia, di mana negara mempunyai kewenangan untuk memaksakan pembayaran pajak terutang yang timbul sejak peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang ditentukan oleh hukum pajak terjadi, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan ketentuan hukum pajak yang berlaku. Timbulnya utang pajak bukan sebagai denda atau hukuman terhadap wajib pajak atau karena adanya hubungan perdata antara wajib pajak dengan negara, tetapi semata-mata adanya kewajiban pembayar pajak. Asas keadilan dalam pemungutan pajak salah satu di antaranya adalah: “wajib pajak menghitung sendiri pajak yang harus dibayar (self assessment)” dan “pungut pajak segera setelah hutang pajak timbul dan jangan tunda pemungutannya”, karena penundaan dapat menimbulkan beban yang lebih berat kepada wajib pajak (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, bertanggal 11 Desember 2004, hlm. 44).

Lebih lanjut, terhadap kewenangan negara dalam memungut pajak tersebut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, bertanggal 9 Mei 2018, pada pertimbangannya antara lain menyatakan:

…Bahwa secara doktriner, baik berdasarkan ajaran ilmu negara umum maupun hukum tata negara, kewenangan negara untuk memungut pajak adalah diturunkan dari ajaran tentang hak-hak istimewa negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan hal itu telah diterima secara universal. Namun, sesuai dengan prinsip dasar yang berlaku dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum, agar dalam pelaksanaannya tidak sewenang-wenang, kewenangan negara untuk memungut pajak tersebut harus diatur dengan dan didasarkan atas undangundang. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 secara jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 23A yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Undang-undang adalah salah satu perwujudan kehendak rakyat. Dengan kata lain, meskipun negara berdasarkan hak istimewa yang dimilikinya berwenang memungut pajak (dan pungutan lain yang bersifat memaksa), sesungguhnya kewenangan itu diberikan atas persetujuan rakyat dan hanya digunakan untuk keperluan negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, bertanggal 9 Mei 2018, hlm 93).

Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Mei 2018, juga menyatakan dalam pertimbangannya antara lain:

…pengenaan pajak, termasuk PBB, tidaklah dapat dipertentangkan dengan hak-hak konstitusional warga negara sepanjang hal itu didasarkan atas undang-undang dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Dengan demikian, jika dasar penghitungan pengenaan suatu pajak telah jelas, maka hal itu pun tidak dapat dipertentangkan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal PBB, dasar penghitungan itu adalah nilai jual objek pajak. Ada pun perihal besaran atau persentasenya, termasuk perubahannya yang didasarkan atas perkembangan keadaan, hal itu adalah persoalan teknis dan sekaligus praktik atau penerapan undang-undang yang tidak mungkin ditetapkan secara baku karena akan tunduk pada perubahan dari waktu ke waktu (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Mei 2018, hlm 26).

Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut kewenangan negara untuk memungut pajak adalah kewenangan yang sah bukan saja karena legitimate secara doktriner tetapi terutama karena secara konstitusional memperoleh landasannya dalam Konstitusi, in casu Pasal 23A UUD 1945. Perihal tidak semua warga negara mampu membayar pajak, hal itu adalah fakta sosial atau kenyataan empirik, namun kenyataan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar argumentasi untuk menyatakan kewenangan negara memungut pajak bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap fakta tersebut, dengan berpegang pada kewenangan yang diberikan Pasal 23A UUD 1945 a quo, negara berhak melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap aturan yang berlaku berkaitan dengan teknis dan praktik penerapan dari undang-undang termasuk besaran dan mekanisme pemungutan pajak karena adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dinamis.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak/Tidak Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Habel Rumbiak, S.H, SpN dan Ivan Robert Kairupan, S.H, Advokat dan Konsultan Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum Kamasan

Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001

Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 21/2001 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001;

Untuk menjawab masalah konstitusional di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Begitu pula, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya, Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Selain itu, Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Salah satu pemerintahan daerah yang bersifat khusus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah Provinsi Papua atau Provinsi Papua Barat;

[3.10.2] Bahwa status bersifat khusus untuk Provinsi Papua didasarkan kepada Bab IV huruf g angka 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, yang menyatakan mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah NKRI dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman sosial budaya, masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang;

[3.10.3] Bahwa selanjutnya, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memerhatikan aspirasi masyarakat.

[3.10.4] Bahwa untuk melaksanakan amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 sebagaimana dikemukakan dalam Sub-Paragraf [3.10.2] dan Sub-Paragraf [3.10.3] telah diberlakukan UU 21/2001 yang di dalam salah satu substansinya mengatur perihal DPRP sebagai salah satu bentuk kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua. Dalam hal ini, Pasal 5 ayat (1) UU 21/2001 menyatakan, “Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif”. Berkenaan dengan DPRP, Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”;

[3.10.5] Bahwa berkenaan dengan frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 a quo, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009, tertanggal 1 Februari 2010, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum namun keberadaan pasal a quo tidak dapat secara serta-merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”, karena jika tidak demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah a quo, tata cara pengisian keanggotaan DPRP melalui mekanisme pengangkatan telah diatur dengan Peraturan Daerah Khusus, misalnya Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang Ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2019-2024 dan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat Melalui Mekanisme Pengangkatan;

[3.11] Menimbang bahwa Mahkamah menguraikan hal tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Permohonan Pemohon sebagai berikut:

Bahwa Pemohon mendalilkan kata “diangkat” pada Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak konstitusional masyarakat Papua, khususnya Pemohon, yang memiliki hak kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu menurut Pemohon pemilihan Anggota DPR Provinsi di Papua yang dilakukan melalui mekanisme pengangkatan sebagaimana ditentukan dalam Perdasus yang merupakan pelaksana dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 mengurangi hak-hak konstitusional masyarakat Papua, sehingga Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945;

Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, bahwa Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan, termasuk dalam penentuan wakil-wakil rakyat Papua dalam Pemilu yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua. Selain itu penjabaran dan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam niiai-nilai luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah yang tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan lain yang ada, termasuk dalam hal pemilihan dan pengangkatan Anggota DPR Provinsi Papua;

[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan frasa “diangkat” pada Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 bertentangan dengan UUD 1945 karena mekanisme pengangkatan yang diatur dalam Perdasus dilakukan tidak adil. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa dalam Permohonannya, Pemohon mendalilkan, pengangkatan anggota DPRP dan DPRPB yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, menciptakan diskriminasi, ketidakadilan, dan berpotensi menimbulkan konflik.

Berkenaan dengan dalil dimaksud, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 yang menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”, apabila diletakkan dalam status otonomi khusus yang diberikan pada Papua (termasuk Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang) adalah bagian dari pengakuan negara terhadap bentuk kekhususan daerah ini dalam bingkai NKRI. Pengakuan demikian sesuai dengan Penjelasan Umum UU 21/2001 yang menyatakan:

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.

Merujuk Penjelasan Umum dimaksud, pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme “pengangkatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan bagian dari upaya memberikan peran dan pengakuan yang lebih besar kepada orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam perumusan kebijakan di lembaga perwakilan, in casu, DPRP dan DPRPB;

Jikalau upaya memberikan peran dan pengakuan lebih besar melalui mekanisme pengangkatan tersebut diubah atau dimaknai “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah tidak sejalan dengan semangat otonomi khusus sebagaimana diamanatkan UUD 1945;

[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan pengangkatan anggota DPRP, menimbulkan konflik, namun Gubernur Provinsi Papua menghendaki agar anggota DPRP yang diangkat yang berasal dari periode tahun 2014-2019 diteruskan saja untuk periode 2019-2024, sehingga meski ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri, keinginan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk melakukan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitu pula, upaya menyimpangi praktik demokrasi tersebut pun terjadi di DPRPB, di mana salah seorang Ketua Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat ditunjuk dan menjadi anggota Panitia Seleksi;
Berkenaan dengan dalil tersebut, bahwa mekanisme pengangkatan dinilai telah menimbulkan konflik, menurut Mahkamah, seandainya adalah benar bahwa pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme pengangkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 telah menimbulkan konflik, hal demikian bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma a quo, melainkan merupakan penerapan atau implementasi norma;

Berkenaan dengan penerapan atau implementasi norma tersebut, kekhususan dalam pengisian Anggota DPR Provinsi, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, melalui mekanisme pengangkatan yang dipilih oleh Panitia Seleksi merupakan upaya demokratis dalam pengisian anggota DPRP melalui mekanisme pengangkatan. Menurut Mahkamah, jikalau terdapat masalah, misalnya terkait dengan keberadaan anggota Panitia Seleksi yang mempunyai “tendensi atau kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik”, hal demikian tidak terkait dengan konstitusionalitas kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Bahkan, sebagai implementasi dari Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009, pengaturan perihal komposisi keanggotaan Panitia Seleksi dapat disesuaikan tanpa perlu mempersoalkan konstitusionalitas kata “diangkat” dalam norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001, misalnya dengan mempertimbangkan “keterwakilan perempuan” secara profesional dan juga mempertimbangkan “keterwakilan masyarakat adat” sesuai dengan “wilayah adat” di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Begitu pula untuk menjauhkan dari “tendensi atau kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik”, anggota Panitia Seleksi tidak berasal dari unsur yang dapat dinilai berasal dari partai politik;

[3.12.3] Bahwa lebih jauh berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan kekacauan dalam mekanisme “pengangkatan” anggota DPR Provinsi yang ditentukan oleh Perdasus, baik Perdasus Papua maupun Perdasus Papua Barat menunjukkan adanya proses rekrutmen yang tidak fair dan tidak demokratis, sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas atau prinsip-prinsip Pemilu yang “langsung”, “umum”, “bebas”, “rahasia”, “jujur”, dan “adil” yang menjamin hak konstitusional masyarakat adat asli orang Papua.

Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, sebagai bagian dari desain otonomi khusus Papua, keberadaan Perdasus merupakan karakteristik yang diberikan oleh UU 21/2001. Dalam hal ini, perihal substansi atau materi Perdasus bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, penilaian atau dalil yang menyatakan pengisian anggota DPRP dan DPRPB melalui mekanisme pengangkatan bertentangan dengan prinsip-prinsip Pemilu yang “langsung”, “umum”, “bebas”, “rahasia”, “jujur”, dan “adil”, menurut Mahkamah tidaklah tepat digunakan untuk menilai konstitusionalitas kata “diangkat” dalam norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Karena, mekanisme pengangkatan memang tidak dimaksudkan penyelenggaraannya dilaksanakan melalui proses pemilihan langsung sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Apalagi Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan affirmative action terhadap masyarakat asli Papua dalam lembaga perwakilan di daerah, baik DPRP maupun DPRPB, dalam rangka mengambil kebijakan pemerintah Provinsi, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat;

Selain pertimbangan tersebut, perlu Mahkamah tegaskan, pengisian lembaga perwakilan melalui mekanisme pengangkatan yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat agar dapat dipastikan mereka memiliki wakil di lembaga perwakilan, mekanisme pengangkatan memang tidak sama dengan cara pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Apabila diletakkan dalam konteks otonomi khusus Papua, mekanisme tersebut adalah merupakan wujud dari kekhususan Papua dan Papua Barat dan sekaligus untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada orang asli Papua duduk di DPRP dan DPRPB. Jikalau logika Pemohon diikuti, kata “diangkat” dimaknai menjadi “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, selain mengurangi karakter kekhususan Papua dan Papua Barat dalam bingkai NKRI, tindakan tersebut dapat mengurangi peluang orang asli Papua menjadi anggota DPRP dan DPRPB;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Arjuna Pemantau Pemilu, dkk yang berjumlah 7 Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk

Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-4, Pasal 28G, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa pada bagian Menimbang dan bagian Penjelasan I (Umum) Paragraf 7 dan 8 UU 12/1969 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah mengemukakan dasar penyelenggaraan Pemilu Serentak sebagaimana termaktub di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013. Dalam Putusan yang diucapkan pada tanggal 23 Januari 2014 tersebut, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:

[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, untuk menentukan konstitusionalitas penyelenggaraan Pilpres apakah setelah atau bersamaan dengan penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, paling tidak harus memperhatikan tiga pertimbangan pokok, yaitu kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Berdasarkan pertimbangan pokok tersebut, Mahkamah menyatakan pemisahan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, secara substantif Mahkamah berada dalam posisi bahwa memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif adalah bertentangan dengan UUD 1945. Karena dengan pertimbangan pokok tersebut, Mahkamah berpendirian bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang konstitusional adalah yang dilaksanakan secara serentak;

[3.15] Menimbang bahwa setelah melihat bentangan empirik dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019, dengan alasan mewujudkan pemilihan umum yang berkeadilan dan berkemanusiaan sebagai bentuk perwujudan “living constitution”, para Pemohon berupaya untuk menjemput dan menghidupkan kembali semangat norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah. Dengan upaya menjemput dan menghidupkan kembali norma a quo, para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang diselenggarakan serentak adalah bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional;

[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan kehendak para Pemohon tersebut, praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang yang terjadi selama ini, perubahan pendirian Mahkamah dapat dimungkinkan. Berkenaan dengan kemungkinan untuk mengubah pendirian dari putusan sebelumnya tersebut, misalnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019, sebagaimana halnya juga digunakan oleh para Pemohon untuk menguatkan dalil permohonannya, Mahkamah menyatakan:

[3.18] Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan, misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat (yang sekaligus berfungsi sebagai Mahkamah Konstitusi), mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi (hlm. 63).

Sementara itu, berkenaan dengan permohonan a quo, Mahkamah berpandangan, menyandarkan basis argumentasi untuk mengubah pendirian Mahkamah kepada bentangan empirik yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 masih jauh dari cukup dan tidaklah sesederhana itu. Bagi Mahkamah, berbagai catatan sekitar penyelenggaraan pemilihan umum serentak harus mendapat perhatian khusus. Namun semua itu tidak cukup untuk mengubah pendirian Mahkamah karena bagaimanapun pertimbangan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, sebagai bentuk sistem pemerintahan yang disepakati para pengubah UUD 1945, lebih mendasar dalam menilai konstitusionalitas pemilihan umum presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum anggota legislatif. Penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden dan pemilihan umum anggota legislatif (concurrent election), secara teori maupun praktik, diyakini mampu memberikan kontribusi atas penguatan sistem pemerintahan presidensial, terutama di negara-negara yang menganut sistem kepartaian majemuk.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 82/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN PADANG LAWAS DI PROVINSI SUMATERA UTARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-02-2020

Alamsyah Panggabean

Pasal 1 angka 2 UU 38/2007

Pasal 18B ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 2 UU 38/2007 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan Pemohon a quo adalah Pasal 1 angka 2 UU 38/2007, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 2 UU 38/2007
Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Bahwa Pemohon dalam pemohonannya mendalilkan selaku perseorangan warga negara Indonesia yang merupakan penduduk asli Padang Lawas yang telah pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas Periode 2019-2024 namun Pemohon tidak lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas Periode 2019-2024. Dalam kualifikasinya tersebut, Pemohon menganggap hak konstitusionalnya untuk ikut berpartisipasi dalam membela negara dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menjadi terhalang dengan berlakunya norma a quo.

3. Bahwa berdasarkan uraian pada angka 1 dan angka 2 di atas, menurut Mahkamah Pemohon benar memiliki hak konstitutional yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Pertanyaan berikutnya adalah apakah antara hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 terdapat atau memiliki hubungan sebab akibat baik langsung maupun potensial dengan berlakunya Pasal 1 angka 2 UU 38/2007. Hal itu penting karena merupakan bagian dari syarat kumulatif dalam menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak, untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi sebagaimana yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi seperti yang disebutkan dalam Paragraf [3.4] di atas.

4. Bahwa Pasal 1 angka 2 UU 38/2007 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai pengertian daerah otonom. Pengertian tersebut menjadi landasan dari pasal-pasal berikutnya yang diatur dalam UU 38/2007. Apabila dihubungkan dengan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan adanya kerugian hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dengan norma a quo. Sebab, ketidaklolosan Pemohon menjadi anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas Periode 2019-2024 tidak ada korelasinya dengan berlakunya pengertian daerah otonom sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU 38/2007 karena norma a quo hanya mengatur pengertian daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila dicermati adressat ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 38/2007 tidak ditujukan kepada orang-perorang melainkan kepada Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Padang Lawas). Sehingga, kekhawatiran Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional karena merasa tidak dapat berperan aktif menyampaikan aspirasinya untuk membangun Kabupaten Padang Lawas selaku daerah otonom tidaklah berkorelasi dengan norma a quo. Dengan demikian, tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon selaku perseorangan warga negara Indonesia dengan berlakunya pengertian otonomi daerah dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 38/2007.

5. Bahwa apabila diperiksa secara lebih saksama, hal yang dipersoalkan oleh Pemohon sesungguhnya tidak berkait dengan konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 38/2007 melainkan persoalan kontestasi dalam pemilihan calon anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas Periode 2019-2024 di mana Pemohon tidak lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas Periode 2019-2024 yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, meskipun Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana diuraikan dalam permohonannya namun Pemohon tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang spesifik dengan berlakunya norma a quo, Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, walaupun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, sehingga pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-01-2020

Martinus Butarbutar, S.H. dan Risof Mario, S.H.

Pasal 37C ayat (2) UU KPK

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 37C ayat (2) UU KPK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah Pasal 37C ayat (2) UU KPK yang menyatakan, “Ketentuan mengenai organ pelaksana pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden”.
2. Bahwa para Pemohon, Martinus Butarbutar, SH. (Pemohon I), dan Risof Mario, SH. (Pemohon II) dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat pada pokoknya menjelaskan anggapannya mengenai kerugian hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU KPK dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);
a. Bahwa menurut para Pemohon UU KPK patut diduga telah bertentangan dengan UUD 1945 yang berarti hal tersebut telah mengabaikan hak konstitusional rakyat karena ketentuan di dalamnya berkenaan dengan penyelenggaraan negara Indonesia layaknya negara kekuasaan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan juga berpotensi menimbulkan masalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Menurut para Pemohon ketentuan hukum yang berlaku di Republik Indonesia haruslah mengingat bahwa hak rakyat termaktub dalam UUD 1945. Segala undang-undang yang dibuat sebagai pelaksanaan serta turunan dari UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945;
c. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara hukum”, menurut para Pemohon norma a quo adalah norma umum konstitusional paling prinsip yang merupakan milik rakyat Indonesia. Karena, jika hak tersebut dilanggar dengan pengabaian negara Indonesia adalah negara hukum, maka segala hak hukum rakyat dapat dirampas oleh kekuasaan, dan berakibat timbulnya permasalahan dalam kehidupan perorangan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan menghancurkan konstitusi itu sendiri.
d. Bahwa menurut para Pemohon UU KPK adalah praktik penyelenggaraan negara kekuasaan yang mengancam setiap pribadi rakyat Indonesia, karena penyelenggaraan negara tersebut berdasarkan kekuasaan yang tidak berdasarkan tertib dan hirarki hukum sehingga menyebabkan keleluasaan penguasa dalam menentukan keberpihakan penguasa. Dengan demikian keadilan dan kepastian hukum tidak berlandaskan hukum, melainkan berlandaskan selera penguasa.
e. Bahwa dengan adanya kerugian tersebut di atas, para Pemohon yang menyatakan dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai advokat yang merupakan rumpun penegak hukum merasa ikut bertanggung jawab dalam penegakkan hukum.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana termuat dalam paragraf [3.5] tersebut di atas, Mahkamah tidak dapat memahami kerugian konstitusional apa yang sebenarnya diderita oleh para Pemohon dengan keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK. Padahal norma yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon adalah Pasal 37C ayat (2) UU KPK, namun para Pemohon dalam menguraikan kerugian konstitusionalnya hanya mengedepankan mengenai UU KPK yang menurut para Pemohon pada pokoknya UU KPK adalah praktik penyelenggaraan negara kekuasaan yang mengancam setiap pribadi rakyat Indonesia. Menurut Mahkamah uraian kerugian konstitusional para Pemohon tersebut tidak secara spesifik dan aktual terhadap berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK. Para Pemohon hanya menguraikan kerugian secara umum atas keberlakuan UU KPK namun tidak secara jelas dan detail kerugian sesungguhnya yang diderita oleh para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dengan berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK sehingga tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang diderita oleh para Pemohon berkaitan dengan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam menerangkan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon hanya menyandarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menurut Mahkamah ketentuan dimaksud bukanlah merupakan alas untuk menyatakan kerugian hak konstitusional karena Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah berkaitan dengan konsep negara hukum yang sama sekali tidak menerangkan hak-hak konstitusional warga negara. Dengan demikian menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya Pasal 37C ayat (2) UU KPK. Oleh karenanya, para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 81/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ATAU UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-01-2020

Pitra Romadoni Nasution, S.H., M.H, dkk yang berjumlah 4 orang Pemohon

Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 39 KUHP dan 46 KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 25November 2019 dari i) Pitra Romadoni Nasution, S.H., M.H.; ii) David M. Agung Aruan, S.H., M.H.; iii) Julianta Sembiring, S.H.; dan iv) Yudha Adhi Oetomo, S.H., M.H., yang semuanyaberalamat di Jalan Danau Sunter Utara Blok R Nomor 71 Komplek Sunter Paradise, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta, serta telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 81/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 November 2019, perihal permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa terhadap permohonan dengan registrasi Nomor 81/PUU-XVII/2019 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 213/TAP.MK/2019 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019, bertanggal 26November 2019;
2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 217/TAP.MK/2019 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi, bertanggal 26November 2019;

c. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 10 Desember 2019 dengan agenda mendengarkan permohonan para Pemohon dan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), Majelis Panel telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan kedua pada tanggal 9 Januari 2020 dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan para Pemohon;

e. Bahwa pada tanggal 10 Januari 2020 Mahkamah menerima surat bertanggal 9 Januari 2020 dari para Pemohon yang menyatakan pencabutan permohonan uji materi KUHP dan KUHAP terhadap UUD 1945 dengan registrasi Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019;

f. Bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;

g. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf f di atas, terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 15 Januari 2020 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 81/PUU-XVII/2019 adalah beralasan menurut hukum dan oleh karenanya permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.

h. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL / 29-01-2020

Forkorus Yaboisembut, S.Pd. dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Jimmy Monim, S.H.

Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 juncto Pasal 87, Pasal 88 KUHP

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.1.2] Bahwa berkenaan dengan syarat permohonan, Pasal 31 ayat (1) UU MK menyatakan, “Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat Pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.” Mekanisme tersebut kemudian diuraikan kembali dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005), ....

Setelah mencermati permohonan Pemohon dengan saksama, walaupun Pemohon telah menyampaikan surat yang oleh Pemohon disebut “Perbaikan Permohonan” bertanggal 10 Desember 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Desember 2019, telah ternyata dalam “Perbaikan Permohonan” tersebut tidak terdapat perbaikan terhadap sistematika permohonan maupun kejelasan uraian terhadap objek permohonan. Bahkan dalam “perbaikan permohonan” sebagaimana dimaksud Pemohon, permohonan tetap tidak menguraikan struktur permohonan sebagaimana yang telah ditentukan, yaitu kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, alasan-alasan mengajukan permohonan, dan petitum atau hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah. Kalaupun dalam “perbaikan permohonan” (halaman 3 sampai dengan 15) terdapat “Alasan-Alasan” namun tidak menggambarkan alasan atau posita sebagaimana layaknya permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Demikian juga dengan petitum Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas apa sesungguhnya yang diminta oleh Pemohon yang relevan dengan kewenangan Mahkamah. Sehingga, permohonan tersebut tidak memenuhi unsur atau syarat yang seharusnya terdapat pada permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

[3.2] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur.

[3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan mengenai Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, dan Pokok Permohonan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 75/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-01-2020

Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang diwakili oleh Fadli Ramadhanil, S.H., M.H., Khoirunnisa Nur Agustyati, S.IP., M.IP., Heroik Mutaqin Pratama, S.IP., dan Catherina Natalia, S.H., M.H.,

frasa “atau sudah/pernah kawin” Pasal 1 angka 6 UU 8/2015

Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa “atau sudah/pernah kawin” Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon I memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, sekalipun Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan Pemohon I (selanjutnya disebut sebagai Pemohon).

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang memohon agar Mahkamah mempercepat proses pemeriksaan dan menjadikan permohonan ini sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diputus segera mengingat permohonan a quo terkait langsung dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020. Dalam hal ini, tahapan pendaftaran pemilih akan dimulai pada tanggal 20 Februari 2020 yang ditandai dengan penerimaan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.
Terhadap permohonan Provisi a quo, oleh karena pokok permohonan Pemohon memiliki keterkaitan dengan tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang secara faktual tahapan tersebut berkaitan dengan pencalonan kepala daerah yang akan segera dimulai, maka terlepas dari dikabulkan atau tidaknya permohonan a quo, demi kepastian hukum bagi masyarakat, penting bagi Mahkamah untuk memberikan prioritas dengan mempercepat putusan perkara a quo tanpa menyimpang dari hukum acara dalam tahapan proses penyelesaian perkara pengujian undang-undang. Sehingga, permohonan provisi Pemohon agar perkara a quo diprioritaskan untuk diputus adalah beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.11.1] Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya frasa “atau sudah/pernah kawin” dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 telah menimbulkan ketidakadilan bagi setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih. Terhadap dalil Pemohon tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan keseluruhan norma pasal a quo yang selengkapnya menyatakan bahwa “Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan”. Apabila dibaca UU 8/2015, norma ini merupakan bagian dari “Ketentuan Umum” Undang-Undang a quo. Jika merujuk pada sistem perundang-undangan Indonesia, dalam “Ketentuan Umum” materi undang-undang yang berisikan pengertian atau definisi tidak memerlukan penjelasan. Dengan demikian, Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 mengandung rumusan yang bersifat alternatif, yaitu seorang Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah kawin (sedang dalam ikatan perkawinan) atau pernah kawin (tidak lagi berada dalam ikatan perkawinan, misalnya antara lain karena perceraian atau kematian), sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016), dapat didaftar sebagai pemilih atau memiliki hak memilih.

Jikalau hendak diperbandingkan dengan norma serupa dalam undangundang lain, pengertian atau definisi “Pemilih” dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam hal ini, norma Pasal 1 angka 34 UU Pemilu menyatakan, “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin”. Dengan demikian bagi warga Negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau belum berusia 17 (tujuh belas) tahun tetapi sudah kawin atau pernah kawin dapat menggunakan hak untuk memilih. Kedua norma tersebut merupakan ketentuan umum yang dimaksudkan untuk memberikan batasan tegas ihwal siapa saja warga negara Indonesia yang dapat memilih atau mempunyai hak pilih.

Selain pengertian pemilih sebagaimana dinyatakan Pasal 1 angka 6 UU 8/2015, Pasal 57 ayat (1) UU 10/2016 menyatakan, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih”. Dengan demikian, merujuk pengertian pemilih sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 maka batasan sebagaimana dimaksudkan dalam norma pasal a quo bukanlah menjadi satu-satunya syarat yang harus dipenuhi bagi seorang warga negara untuk menggunakan haknya memilih. Ketentuan tersebut harus diakumulasikan dengan keterpenuhan persyaratan lain yaitu terdaftar sebagai pemilih sebagaimana diatur dalam norma Pasal 57 ayat (1) UU 10/2016. Artinya, ihwal penggunaan hak untuk memilih sehingga terdaftar dalam daftar pemilih ditentukan oleh apakah seorang warga negara memiliki KTP atau identitas pengganti yang sah menurut hukum sesuai dengan persyaratan yang ditentukan undang-undang.

Oleh karena itu, untuk menjawab dan mengkonstruksikan dalil yang diajukan Pemohon, pertanyaan selanjutnya, siapakah warga negara yang secara hukum dapat memiliki KTP. Dalam hal ini, Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) menyatakan bahwa “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”. Dengan merujuk ketentuan tersebut, maka Warga Negara Indonesia, yang telah memiliki KTP, meski belum berusia 17 tahun tetapi telah kawin atau pernah kawin, yang bersangkutan memiliki hak untuk memilih dan dapat didaftarkan sebagai pemilih. Persyaratan demikian pun sepanjang memenuhi syarat lain yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU 10/2016, yakni tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan/atau tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Kepemilikan KTP bagi mereka yang belum berusia 17 tahun tetapi telah kawin atau pernah kawin karena yang bersangkutan dianggap sebagai individu yang sudah dewasa. Ketentuan ukuran kedewasaan dengan menggunakan frasa “sudah kawin” atau “pernah kawin” terdapat juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) yang menyatakan, “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum usia mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa”. Sementara itu, dengan menggunakan terminologi berbeda, bukan “kawin” melainkan “menikah”, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) menyatakan, “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Artinya, kategori anak dalam UU 39/1999 adalah apabila seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Apabila sebelum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun tetapi sudah menikah, seseorang tidak termasuk lagi dalam pengertian “anak” melainkan sebagai individu yang dewasa. Dengan kata lain, undang-undang a quo menegaskan bahwa status sudah menikah atau pernah menikah adalah juga merupakan parameter alternatif untuk menentukan kedewasaan seseorang.

Sementara itu, jika merujuk pada batasan kedewasaan secara hukum adat, sekalipun tidak terdapat keseragaman soal batas usia dewasa, secara universal pemahaman dewasa atau belum dewasa secara tegas tidak ditentukan oleh usia, melainkan kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Biasanya orang dianggap dewasa antara lain setelah menikah atau pernah menikah, meninggalkan rumah keluarga atau telah mencari atau mulai hidup mandiri, terutama bagi yang sudah menikah atau pernah menikah. Bahkan, acapkali ukuran dewasa dengan menggunakan ukuran orang telah “ kuat gawe”, yaitu orang yang sudah bekerja, sudah bisa mengurus harta bendanya dan keperluan-keperluannya secara mandiri. Ukuran yang digunakan dalam hukum adat tersebut lazimnya adalah keadaan yang ada atau yang bersifat faktual. Artinya, sebagaimana yang dikemukakan di atas batasan usia tertentu tidak selalu digunakan untuk menentukan seseorang dewasa atau belum.

Dengan adanya berbagai ketentuan hukum (tertulis atau tidak tertulis) yang menggunakan kriteria “kawin” atau “pernah kawin” sebagai ukuran yang menentukan dewasanya seseorang, keberlakuan UU 8/2015 adalah dalam konteks untuk menyatakan bahwa walaupun seseorang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun tetapi sudah kawin atau pernah kawin maka yang bersangkutan menjadi individu yang dianggap dewasa dan pada hakikatnya orang yang dipandang sudah dewasa tersebut dianggap mampu untuk melakukan perbuatan hukum dan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut, termasuk dalam hal ini, perbuatan hukum untuk menentukan pilihan dalam pemilihan umum.

Dengan demikian, ukuran dewasa dalam konteks UU Pemilihan adalah dewasa dalam artian seseorang yang sudah memenuhi syarat administratif untuk memilih, yaitu yang ditandai dengan memiliki KTP dan/atau terdaftar sebagai pemilih. Karena itu, kedewasaan dalam undang-undang perkawinan tidak sertamerta dapat dijadikan rujukan untuk hal yang berbeda tujuan dan penggunaannya. Apalagi, UU Perkawinan masih mempertahankan mekanisme dispensasi untuk dapat memberikan “status dewasa“ bagi seseorang yang berusia di bawah 19 (sembilan belas) tahun sesuai dengan batas usia minimum perkawinan. Dengan dasar pertimbangan tersebut, norma pasal yang dimohonkan pengujiannya tidak berkorelasi dengan ketidakadilan sebagaimana didalilkan Pemohon. Keadilan bukan berarti harus sama secara keseluruhan karena keadilan dalam konteks pemilihan bergantung pada subjeknya yang menurut pembentuk undang-undang seseorang warga negara dapat menggunakan hak untuk memilih ketika telah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin.

[3.11.2] Bahwa Pemohon mendalilkan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang ditindaklanjuti dengan perubahan UU Perkawinan yaitu UU 16/2019 telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan batas usia kedewasaan seorang warga negara yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai pemilih, dengan tetap diberlakukannya Pasal 1 angka 6 UU 8/2015.

Terkait dengan dalil Pemohon tersebut, sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017, bertanggal 13 Desember 2018, pembentuk undang-undang telah mengubah Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menjadi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun”. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan batas usia minimal kawin antara pria dan wanita, khususnya bagi wanita karena batas minimal usia kawin adalah 19 (sembilan belas) tahun. Namun demikian, sebagaimana telah disinggung pula pada pertimbangan hukum di atas, UU Perkawinan masih mengatur atau menyediakan dispensasi perkawinan bagi pria dan wanita yang belum mencapai batas minimal berusia 19 (sembilan belas) tahun. Dispensasi tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk “pengecualian” terhadap batas usia minimal perkawinan karena adanya alasan-alasan yang mendesak. Oleh karena itu, bagi mereka yang kawin atau menikah sebelum berusia 19 (sembilan belas) tahun karena mendapatkan dispensasi maka yang bersangkutan harus dianggap sudah dewasa sehingga secara administratif telah memenuhi syarat sebagai pemilih.

Berkenaan dengan dalil Pemohon selanjutnya, apakah pengakuan administratif demikian bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Berkenaan dengan hak memilih, apabila dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam konteks pemilihan, baik pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan kepala daerah, setiap orang memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Terkait dengan hal ini, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019 ditegaskan bahwa segala bentuk pembatasan terhadap hak dipilih dan memilih bukan berarti ditiadakan, pembatasan terhadap hak dipilih dan hak memilih tersebut tetap dapat dilakukan sepanjang ditetapkan secara proporsional dan tidak berlebihan. Dalam hal ini, pembentuk UU 8/2015 memilih memberikan batasan terhadap warga negara Indonesia yang dapat melaksanakan hak untuk memilih, yaitu berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015. Merujuk pada Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”, pembatasan demikian bukanlah sesuatu yang dilarang. Bahkan, ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pun membenarkan dilakukan pembatasan demikian.

Dengan demikian, pembatasan dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 merupakan pembatasan yang dapat dibenarkan karena memberikan ukuran yang jelas mengenai syarat seorang warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Selain itu pembatasan tersebut pun memberikan kejelasan bagi penyelenggara pemilihan untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan pendataan terhadap warga negara Indonesia yang dapat melaksanakan hak pilihnya baik karena telah berusia 17 tahun atau karena dianggap sudah dewasa, sehingga tidak terdapat pertentangan antara norma pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya dengan UUD 1945.

[3.11.3] Bahwa lebih lanjut, Pemohon mendalilkan adanya ketidakadilan terhadap frasa “atau sudah/pernah kawin” karena bagi seorang warga negara yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan belum menikah tidak dapat melaksanakan hak memilihnya. Menurut Mahkamah dalil tersebut tidak tepat karena bagi warga negara yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan belum menikah secara administratif mereka belum memiliki kartu identitas diri (vide Pasal 63 UU Adminduk) yang merupakan syarat sah seseorang warga negara untuk dapat menggunakan hak memilihnya sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009, bertanggal 6 Juli 2009. Usia minimum 17 (tujuh belas) tahun untuk menggunakan hak memilih merupakan pilihan kebijakan sebab di usia 17 (tujuh belas) tahun itulah seseorang warga negara memperoleh identitas resmi yang diberikan oleh negara, kecuali jika yang bersangkutan sudah menikah atau pernah menikah sebelum berusia 17 (tujuh belas) tahun sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.

Bahwa di samping secara administratif seorang warga negara yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun yang belum pernah menikah dan belum bisa diberikan kartu identitas diri, juga dari sisi kemampuan untuk melakukan perbuatan dan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya dipandang berbeda dengan seorang warga negara yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan sudah/telah kawin. Sebab, secara yuridis seorang warga negara yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan sudah/telah kawin telah mendapatkan predikat/hak pendewasaan (hanslichting) yang melekat dan tidak dapat dihindari oleh subjek hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridisnya kepada yang bersangkutan dianggap sudah mampu untuk melakukan perbuatan hukum dan bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukan. Sebab, secara doktriner hakikat pendewasaan adalah suatu daya upaya hukum untuk mencabut seseorang yang belum dewasa dari seluruh atau sebagian ketidakdewasaan serta akibat hukumnya.

[3.11.4] Bahwa terhadap dalil diskriminasi atas frasa a quo yang didalilkan oleh Pemohon, Mahkamah menilai perbedaan antara seseorang yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan belum kawin dengan seseorang yang berusia di bawah 17 (tujuh belas) tahun dan sudah/telah kawin dalam kaitannya dengan hak untuk memilih, menurut Mahkamah, bukan merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif karena hal tersebut tidak termasuk kategori diskriminasi karena keduanya tidak bisa dipersamakan terlebih diperlakukan sama.

Bahwa terkait dengan hal di atas, Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 telah memberi batasan diskriminasi yaitu setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Lebih lanjut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU-IV/2006, bertanggal 12 April 2007 juga sudah diberikan batasan diskriminasi yaitu “…diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (color), jenis kelamin (sex), bahasa (language), kesatuan politik (politcal opinion) ...”. Sehingga, dengan demikian telah jelas bahwa pembatasan dalam Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 tidak dapat dikatakan sebagai diskriminasi terhadap hak-hak konstitusional warga negara.

Dengan demikian, frasa yang menyatakan “atau sudah/pernah kawin” telah menimbulkan diskriminasi sebagaimana didalilkan oleh Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-01-2020

Erko Mojra

Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan permohonan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagai berikut:

[3.3.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama permohonan Pemohon, telah ternyata Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP namun dalam menguraikan alasan permohonannya, Pemohon tidak secara sistematis menjelaskan argumentasinya, khususnya terhadap alasan inkonstitusionalitas norma yang diajukan untuk diuji. Selain itu, dalam alasan permohonannya, Pemohon menguraikan secara panjang lebar mengenai kasus konkrit yang dialami Pemohon namun tidak menguraikan dengan jelas kaitan norma yang diajukan untuk diuji dengan kasus konkrit yang dialami Pemohon. Bahkan, Pemohon sejak awal telah menyatakan dalam permohonannya, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon adalah karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum dalam usaha menjadikan Pemohon sebagai tersangka. Pemohon dalam menguraikan permohonannya mengaitkannya dengan berbagai persoalan konkrit yang dialami Pemohon, di antaranya mengenai delik pidana yang disangkakan terhadap Pemohon dan persoalan penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan.

[3.3.2] Bahwa norma yang dimohonkan pengujian, yaitu Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP pada pokoknya adalah mengatur mengenai sistematika atau isi dari surat putusan pemidanaan pada pengadilan tingkat pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XIV/2016 bertanggal 10 Oktober 2017]. Terhadap pokok permohonan Pemohon, dikaitkan dengan sistematika permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005), yang pada pokoknya menyatakan permohonan harus dengan sistematika sebagai berikut:

“Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak/dan atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian, dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.

Setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan Pemohon dan apabila dikaitkan dengan aturan tersebut, telah ternyata permohonan Pemohon hanya memuat kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum serta petitum tanpa menyertakan alasan permohonan (fundamentum petendi atau posita). Tanpa adanya uraian mengenai alasan permohonan maka sebuah permohonan akan kehilangan landasan atau dasar argumentasi untuk menilai materi apa yang sesungguhnya dipersoalkan Pemohon.

[3.3.3] Bahwa selain itu, Pemohon dalam bagian Petitum memohon adanya penambahan norma pada Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP yang membuat permohonan Pemohon menjadi semakin tidak jelas. Selain itu tidak terdapat kesesuaian antara alasan- alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi atau posita) dengan hal- hal yang diminta untuk diputus (petitum).

[3.3.4] Bahwa terkait dengan uraian dan sistematika permohonan Pemohon, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 19 November 2019, Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa norma undang-undang yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan mempersingkat uraian mengenai kasus konkrit yang dialami Pemohon, agar permohonan Pemohon dapat lebih fokus. Lebih lanjut, Panel Hakim juga telah menyarankan kepada Pemohon untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Mahkamah atau setidaknya mempelajari format permohonan pengujian undang-undang [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019, tanggal 19 November 2019]. Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 2 Desember 2019, permohonan Pemohon tetap tidak jelas karena alasan permohonan bercampur dengan banyaknya uraian kasus konkrit yang dialami oleh Pemohon.
Bahwa apabila dicermati lebih lanjut, Pemohon tetap tidak menguraikan permohonannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 06/2005 termasuk tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945 yang semestinya termuat dalam alasan permohonan (fundamentum petendi atau posita). Dengan demikian permohonan Pemohon haruslah dinyatakan tidak jelas atau kabur.

[3.3.5] Bahwa andaikatapun permasalahan konstitusionalitas norma yang dimaksud oleh Pemohon adalah dikaitkan dengan syarat batal demi hukum terhadap putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama, menurut Mahkamah hal tersebut telah jelas dengan prinsip bahwa batal demi hukumnya suatu putusan pengadilan adalah hanya dapat diputus oleh pengadilan yang lebih tinggi. Sehingga, terpenuhi atau tidaknya syarat Pasal 197 ayat (1) KUHAP terhadap suatu putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan dari pengadilan di atasnya untuk menilai dan menyatakan batal demi hukum putusan a quo, atau dengan kata lain, putusan pengadilan tidak dapat dinyatakan “batal demi hukum” kecuali oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya yang menyatakan demikian.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-01-2020

Surya Efitrimen, Nursari, dan Sulung Muna Rimbawan, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Veri Junaidi, S.H., M.H, Muh Salman Darwis, S.H., M.H.Li., dan Slamet Santoso, S.H.

1. Frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam ketentuan Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota”;

2. Frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam ketentuan Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemilu”

3. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada

Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan penyelenggara Pilkada, dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.10.1.4] poin 7, halaman 97, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, Mahkamah menyatakan:
“.....Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada dianggap berbeda, namun penyelenggara Pilkada yang diberi tugas oleh UU 10/2016 untuk melaksanakan Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena itu, struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda.”
Merujuk pertimbangan hukum sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 a quo, dalam memosisikan penyelenggara pemilihan, Mahkamah tidak membedakan antara penyelenggara pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana termaktub di dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang di dalam UU Pilkada termasuk juga pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota. Sesuai dengan pertimbangan dalam putusan a quo, kesemua pemilihan tersebut diselenggarakan sesuai dengan semangat Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;


[3.15.2] Bahwa terjadinya perbedaan nomenklatur kelembagaan pengawas pemilihan antara yang diatur dalam UU Pilkada dengan UU 7/2017 disebabkan terjadinya perubahan regulasi pemilu. Perubahan tersebut terjadi karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU 15/2011, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD digabung satu undang-undang, yaitu menjadi UU 7/2017. Secara faktual, sekalipun nomenklatur pengawas pemilu di kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam UU Pilkada sama dengan apa yang pernah diatur dalam UU 15/2011, namun ketika substansi UU 15/2011 telah diganti dengan UU 7/2017, nomenkaltur pengawas pemilihan masih belum lagi terjadi keseragaman untuk semua jenis pemilihan. Dalam hal ini, lembaga pengawas pemilihan, in casu pengawas pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dalam pemilihan bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota dilaksanakan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota.

[3.15.3] Bahwa ketika UU 7/2017 disahkan, dalam Pasal 571 huruf b UU a quo ditegaskan “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Ketentuan Penutup UU 7/2017 tidak saja menegaskan ihwal substansi status UU 15/2011 telah diadopsi dalam UU 7/2017, melainkan juga menunjukkan terjadinya peralihan atau pergantian UU yang menjadi dasar atau rujukan pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu. Pada saat dasar hukum kelembagaan penyelenggara pemilu berganti, maka segala peraturan perundang-undangan yang merujuk pada UU 15/2011 seharusnya menyesuaikan pula dan/atau disesuaikan dengan pergantian yang terjadi.

[3.15.4] Bahwa ketika UU Pilkada yang mengatur lembaga pengawas pemilihan yang notabene adalah pengawas pemilu sebagaimana diatur oleh UU 7/2017 tidak disesuaikan dengan perubahan nomenklatur pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota, hal demikian akan menyebabkan terjadinya ketidakseragaman pengaturan dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan terutama dalam pemilihan kepala daerah. Ketidakseragaman tersebut dapat berdampak terhadap munculnya dua institusi pengawas penyelenggaraan pemilihan di tingkat kabupetan/kota dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD dengan pilkada. Padahal, kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU 7/2017 adalah lembaga yang diberi status atau sifat tetap (permanen) hingga di tingkat kabupaten/kota. Sementara itu, UU Pilkada justru mengatur pembentukan, nomenklatur, dan sifat yang berbeda terhadap lembaga pengawas dalam pemilihan kepala daerah.

[3.15.5] Bahwa dengan terjadinya perubahan kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota berdasarkan UU 7/2017, maka hal tersebut tidak hanya berdampak terhadap kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu, melainkan juga dalam menyelenggarakan pengawasan pemilihan kepala daerah. Artinya, dengan adanya tugas dan wewenang Bawaslu mengawasi pemilihan kepala daerah sesuai UU Pilkada, perubahan kelembagaan Bawaslu melalui UU 7/2017 dengan sendirinya berlaku pula dalam pelaksanaan pilkada, sehingga penyesuaian terhadap perubahan dimaksud dalam UU Pilkada menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, UU 7/2017 sebagai landasan hukum yang mengatur ihwal kelembagaan Bawaslu harus dijadikan rujukan ketika lembaga tersebut diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi pilkada. Dalam arti, tugas dan wewenang pengawasan pemilihan dalam UU Pilkada dilaksanakan oleh lembaga Bawaslu sesuai dengan nomenklatur, sifat dan hierarki kelembagannya sebagaimana dimaksud dalam UU 7/2017.

[3.15.6] Bahwa dengan adanya perubahan yang dilakukan oleh UU 7/2017, pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota yang awalnya hanyalah sebagai lembaga ad hoc sebagaimana diatur dalam UU Pilkada secara konstitusional harus pula menyesuaikan menjadi lembaga yang bersifat tetap dengan nama Bawaslu Kabupaten/Kota serta mengikuti perubahan lain sebagaimana diatur dalam UU 7/2017. Selama tidak dilakukan penyesuaian kelembagaan pengawas pemilihan tingkat kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU Pilkada dengan perubahan dalam UU 7/2017, hal demikian menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum keberadaan lembaga pengawas pemilihan kepala daerah di kabupaten/kota. Bahkan, sebagaimana telah dinyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 di atas maka sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, struktur penyelenggara pemilihan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD, dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda.

[3.15.7] Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana dikemukakan di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) UU Pilkada sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota” tidak dimaknai menjadi frasa “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan norma yang dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai “sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pemilu” adalah bertentangan dengan UUD 1945. Perihal dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.

[3.16.1] Bahwa secara substansi, ketika materi muatan UU 15/2011 diadopsi ke dalam UU 7/2017, terdapat beberapa perubahan terkait kelembagaan Bawaslu dan jajarannya, khususnya Bawaslu Kabupaten/Kota. Sebagaimana telah dikemukakan dalam pertimbangan sebelumnya, perubahan dimaksud terkait dengan nomenklatur kelembagaan, sifat kelembagaan, dan komposisi keanggotaan bawaslu provinsi dan pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota. Terkait kelembagaan pengawas di tingkat kabupaten/kota, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Nomenklatur pengawas tingkat kabupaten/kota yang diatur dalam UU 15/2011 adalah Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (Panwaslu Kabupaten/Kota). Adapun dalam UU 7/2017, nomenklatur tersebut diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Nomenklatur pengawas tingkat kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 merupakan dasar atau rujukan dalam menentukan nomenklatur pengawas yang diatur dalam UU Pilkada.
2. Terkait sifat kelembagaan, Panwaslu Kabupaten/Kota dan/atau Panwas Kabupaten/Kota yang diatur dalam UU 15/2011 dan UU Pilkada bersifat ad-hoc. Dalam hal ini, Panwas Kabupaten/Kota tersebut hanya dibentuk 1 (satu) bulan menjelang tahapan pemilu/pilkada dan berakhir 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan pemilu berakhir. Dengan diadopsinya substansi UU 15/2011 ke dalam UU 7/2017, kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota yang diubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai lembaga yang bersifat tetap (permanen), di mana keanggotaanya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun.
3. Komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi sebagaimana diatur dalam UU 15/2011 sebanyak 3 (tiga) orang dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang. Dengan adanya pergantian undang-undang yang mengatur kelembagaan penyelenggara pemilu, komposisi anggota Bawaslu Provinsi menjadi 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Selain, komposisi jumlah keanggotaan, perubahan juga terjadi terkait dengan mekanisme pengisian anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Awalnya, melalui UU 15/2011, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota diseleksi dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, kemudian melalui UU 7/2017 diubah menjadi proses seleksi melalui Tim Seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu.

[3.16.2] Bahwa dengan terjadinya perubahan substansi pengaturan kelembagaan pengawas pemilu kabupaten/kota dan juga komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota melalui UU 7/2017, maka sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, nomenklatur lembaga, sifat kelembagaan dan komposisi keanggotaan mesti disesuaikan dengan UU 7/2017 sebagai ketentuan yang di antaranya mengatur lembaga penyelenggara pemilu. Apabila penyesuaian tidak dilakukan, akan berdampak terjadinya ketidakpastian hukum kelembagaan lembaga pengawas pemilu, termasuk pengawasan terhadap pemilihan kepala daerah. Selain itu, berkenaan pula dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dalam Paragraf [3.18] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Maret 2019, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain menyatakan bahwa jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana termaktub di dalam UU 7/2017 dinilai sebagai bagian dari agenda setting rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing lembaga. Artinya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVI/2018 a quo hendak menyatakan bahwa jumlah penyelenggara pemilu di setiap tingkatan sebagaimana diatur dalam UU 7/2017, termasuk jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota adalah konstitusional. Dengan telah dinyatakan bahwa frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dimaknai “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota”, konstitusional, maka mempersamakan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan jumlah dalam UU 7/2017 juga merupakan pilihan yang konstitusional, baik dalam penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan kepala daerah.

[3.16.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam Sub-paragraf [3.16.1] dan Sub-paragraf [3.16.2] di atas, bilamana jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada tidak dimaknai sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksudkan dalam UU 7/2017, tindakan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan kategori ketiga, terkait dengan dalil para Pemohon mengenai wewenang Bawaslu Provinsi dalam membentuk dan menetapkan Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada adalah bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, Mahkamah perlu menegaskan kembali ihwal pengisian jabatan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang kemudian diberi wewenang mengawasi pemilihan di tingkat kabupaten/kota seharusnya juga disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa sejalan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Pilkada, wewenang pembentukan Panwas Kabupaten/Kota oleh Bawaslu Provinsi juga termuat dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada dan Pasal 5 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Dalam norma a quo ditegaskan bahwa Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi dan menjadi salah satu tahapan persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dengan dipertimbangkan dan dinyatakannya oleh Mahkamah kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang proses pengisiannya dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu, maka definisi Panwas Kabupaten/Kota dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada yang masih mencantumkan frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi” harus juga disesuaikan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.15], Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, karena alasan agar tidak terjadi ketidakpastian hukum, harus pula dinyatakan inkonstitusional.

[3.17.2] Bahwa terkait dengan kepastian hukum sebagaimana dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.17.1] di atas, sekalipun tidak dimohonkan dan didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya, disebabkan substansinya berkelindan dengan “batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh bawaslu Provinsi” sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, ketentuan dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada tidak cukup hanya dengan menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” adalah konstitusional sepanjang dimaknai menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota”, tetapi juga demi alasan kepastian hukum, frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi” haruslah tidak berlaku sehingga pengisiannya merujuk sesuai dengan ketentuan UU 7/2017.

[3.17.3] Bahwa begitu pula dengan Pasal 5 ayat (2) huruf e UU Pilkada, karena alasan untuk kepastian hukum pula, meski tidak didalilkan dan tidak dimohonkan oleh para Pemohon, tidak cukup hanya dengan menyatakan frasa “Panwaslu Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai menjadi “Bawaslu Kabupaten/Kota” harus pula dinyatakan bahwa frasa “Panwaslu Kabupaten/Kota” dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e UU Pilkada tidak berlaku dan tidak lagi menjadi dari rumusan norma a quo.

[3.17.4] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon sepanjang terkait Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada adalah beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 74/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 06-01-2020

Ahmad Ridha Sabana dan Abdullah Mansuri, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda), dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya M. Maulana Bungaran, S.H.; Hendarsam Marantoko, S.H., CLA.; dan Munathsir Mustaman, S.H.

Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu

Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan Pemohon, berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang diajukan permohonan oleh Pemohon ternyata telah pernah diuji konstitusionalitasnya dengan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan kemudian telah diputus Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018, dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan:
“1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”;

Bahwa berkaitan dengan fakta hukum perihal Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sudah pernah diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah, dikaitkan dengan permohonan a quo yang ternyata juga menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, ternyata putusan a quo memakai atau menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Ihwal keterkaitan tersebut, ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU MK menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU MK di atas telah ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo adalah di antaranya sama, yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, sehingga permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.

[3.9] Menimbang bahwa selanjutnya terkait dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU MK di atas dapat dikecualikan sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) UU MK yang menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”;

Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK tersebut, setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon ternyata dasar pengujian berbeda atau baru yang dimaksudkan oleh Pemohon pada pokoknya adalah telah terbukti dalam Pemilu 2019 penyederhanaan kepartaian tidak efektif dengan memperberat verifikasi partai politik (vide angka 5 Perbaikan Permohonan, hlm. 3). Selain itu, lebih jauh Pemohon menambahkan, jika yang diinginkan partai politik yang lebih sederhana, seharusnya sejak awal syarat ikut sertanya partai politik dalam pemilu yang diperberat. Jangan partai politik yang susah-payah ikut pemilu kemudian dipangkas dan diberangus untuk mengikuti pemilu berikutnya (vide angka 44 Perbaikan Permohonan, hlm. 15).

Bahwa terhadap argumentasi atau dalil Pemohon yang menyatakan ihwal adanya dasar permohonan yang baru, setelah Mahkamah mencermati keseluruhan permohonan Pemohon, Mahkamah tidak menemukan uraian lebih lanjut mengenai adanya argumentasi konstitusional baru yang diajukan Pemohon. Dalam permohonannya, Pemohon tidak menerangkan basis argumen, baik fakta hukum maupun teori/konsep, yang membuat Pemohon menyimpulkan bahwa penyederhanaan partai politik dalam Pemilu 2019 melalui verifikasi adalah tidak efektif. Ketiadaan penjelasan demikian menurut Mahkamah menunjukkan bahwa permohonan Pemohon tidak mempunyai argumentasi konstitusional baru untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK. Dengan demikian, telah ternyata materi muatan baru yang menjadi dasar pengujian tidak dapat dibenarkan Mahkamah karena berbeda dengan permohonan sebelumnya. Bahkan, dalam batas-batas penalaran yang wajar, penerimaan Pemohon terhadap pemberatan persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu tanpa diikuti kewajiban atau beban melakukan verifikasi adalah nalar yang tidak linier dan tidak memiliki basis argumentasi yang kokoh bila diletakkan dalam konteks penyederhanaan jumlah partai politik sebagai bagian dari skenario memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) UU MK.

[3.10] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, namun oleh karena ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon sudah pernah diuji dan diputus sebelumnya oleh Mahkamah dengan dasar pengujian yang sama, maka pokok permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali dan Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 06-01-2020

Supriyono

Pasal 38 ayat (1) UU KIP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU KIP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11], terhadap dalil Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa penting bagi Mahkamah mengutip kembali secara utuh Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 yang menyatakan bahwa “Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik”. Ketentuan dalam ayat ini mengandung norma keharusan yang tidak boleh dilanggar walaupun tidak ditentukan secara langsung sanksinya karena berkaitan langsung dengan proses dalam hukum acara Komisi sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dan berikutnya. Oleh karena itu perlu ditentukan batasan waktu bahwa dalam waktu tidak boleh lebih dari 14 (empat belas) hari kerja Komisi Informasi baik di pusat maupun di daerah harus mulai mengupayakan proses penyelesaian sengketa informasi publik apakah akan melalui mediasi dan/atau melalui proses ajudikasi nonlitigasi.
Namun demikian pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa informasi publik yang diatur dalam Pasal 38 UU 14/2008 tidak dapat dipahami secara berdiri sendiri karena substansinya bertalian erat dengan pasal- pasal sebelumnya dalam UU a quo yang mengatur mengenai “Keberatan Dan Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi Informasi”. Berkenaan dengan hal tersebut Pasal 35 ayat (1) UU a quo telah menentukan bahwa setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan: (a) adanya penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 17; (b) tidak disediakannya informasi berkala sesuai dengan ketentuan Pasal 9; (c) tidak adanya tanggapan atas permintaan informasi; (d) permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; (e) tidak dipenuhinya permintaan informasi; (f) pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau (g) penyampaian atas informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UU a quo.
Keberatan tersebut di atas diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukan adanya alasan pengajuan keberatan [vide Pasal 36 ayat (1) UU 14/2008]. Selanjutnya, atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU a quo memberikan tanggapan terhadap keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis. Alasan tertulis tersebut disertakan sekaligus bersama dengan tanggapan apabila atasan pejabat menguatkan putusan yang telah ditetapkan oleh bawahannya.
Apabila tanggapan atasan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi sesuai dengan kewenangannya, dalam proses keberatan tersebut, tidak memuaskan maka Pemohon Informasi Publik diberi kesempatan untuk mengajukan upaya penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi pusat dan/atau daerah (provinsi/kabupaten/kota). Pada konteks ini, ditentukan juga batasan waktu untuk upaya penyelesaian sengketa informasi publik, yakni dapat diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat [vide Pasal 37 UU 14/2008]. Setelah mekanisme dalam Pasal 37 UU 14/2008 ditempuh oleh Pemohon Informasi Publik, baru dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan Pasal 38 UU 14/2008 yakni Komisi Informasi harus mulai mengupayakan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik.
Sesuai dengan hukum acara proses penyelesaian sengketa informasi publik, mediasi yang menjadi pilihan sukarela para pihak (pemohon dan termohon) hanya dapat digunakan untuk proses penyelesaian sengketa informasi karena adanya alasan: tidak disediakannya informasi berkala; tidak ditanggapinya permintaan informasi; permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; tidak dipenuhinya permintaan informasi; pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UU a quo [vide Pasal 40 ayat (2) UU 14/2008]. Mediasi tersebut dilakukan melalui bantuan mediator komisi informasi. Sementara itu, untuk penyelesaian melalui proses ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi Informasi hanya dapat ditempuh apabila upaya mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan [vide Pasal 42 UU 14/2008].
Tahapan dalam proses pengajuan keberatan dan penyelesaian sengketa informasi publik oleh Komisi Informasi seharusnya ditempuh oleh siapapun yang mengajukan permohonan sebagaimana uraian di atas. Dalam permohonan Pemohon a quo, tanpa menguraikan tahapan di atas apakah sudah ditempuh atau belum, Pemohon dalam dalilnya mempermasalahkan bahwa dalam praktiknya tenggat waktu dimulainya upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik oleh Komisi Informasi baik dengan mediasi dan/atau adjudikasi nonlitigasi berbeda- beda walaupun Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 telah mengatur mengenai tenggat waktu harus dimulainya upaya penyelesaian sengketa informasi publik yaitu paling lambat 14 hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi publik.

[3.12.2] Bahwa selanjutnya, Mahkamah memeriksa dengan saksama bukti-bukti berupa Putusan dan Ketetapan Komisi Informasi Pusat yang Pemohon ajukan (vide Bukti P-11 sampai dengan Bukti P-13), yang merupakan Putusan dan Ketetapan yang dapat diakses publik pada laman resmi Komisi Informasi Pusat (https://komisiinformasi.go.id/). Dari bukti-bukti Putusan dan Ketetapan yang diajukan Pemohon, Mahkamah menemukan fakta adanya perbedaan waktu untuk memulai upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik yang cukup mencolok;
Pada permohonan Sengketa Informasi Publik Nomor 002/I/KIP- PS/2018 upaya penyelesaian sengketa baru mulai dilakukan 10 bulan sejak permohonan diregistrasi. Sedangkan untuk Permohonan Sengketa Informasi Publik Nomor 003/I/KIP-PS/2017 upaya penyelesaian sengketa dimulai 16 bulan sejak permohonan diregistrasi. Lain halnya dengan Permohonan Sengketa Informasi Publik Nomor 020/III/KIP-PS/2017 di mana upaya penyelesaian sengketa baru dimulai setelah 22 bulan sejak permohonan diregistrasi;
Demikian halnya dengan waktu dimulainya upaya penyelesaian sengketa di Komisi Informasi Provinsi yang juga bervariasi. Dalam bukti yang dilampirkan Pemohon, Permohonan Sengketa Informasi Publik yang diajukan kepada Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, yakni Permohonan Nomor 1797/P- C1/PSI/KI-JBR/V/2019 diregistrasi tanggal 8 Mei 2019 (vide bukti P-8), pada tanggal 16 Mei 2019 sudah dimulai Sidang Pemeriksaan Awal untuk penyelesaian sengketa a quo (vide bukti P-9). Sementara itu, untuk permohonan Sengketa Informasi Publik di Provinsi Banten yang diregistrasi dengan Nomor 026/II/KI BANTEN-PS/2018, upaya penyelesaian sengketa baru mulai dilakukan 5 bulan sejak diregistrasi (vide bukti P-21). Sedangkan permohonan Sengketa Informasi Publik di Provinsi Jawa Tengah yang diregistrasi dengan Nomor 001/PEN- MK/IX/2018, upaya penyelesaian sengketa baru mulai dilakukan 3 bulan sejak diregistrasi (vide bukti P-22).

[3.12.3] Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan pada Paragraf [3.12.2] telah ternyata permohonan penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon kepada Komisi Informasi baik pusat dan daerah telah diregistrasi setelah diterimanya permohonan penyelesaian sengketa informasi publik tersebut (vide Bukti P-11 sampai dengan Bukti P-13). Persoalannya ternyata terletak pada pelaksanaan upaya penyelesaiannya yang seharusnya dalam tenggat waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya berkas permohonan dan telah diregistrasi. Dengan demikian, pembatasan 14 (empat belas) hari kerja yang ditentukan dalam norma Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 sudah tegas bahwa proses penyelesaian harus sudah dimulai 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima dan diregistrasi. Pembatasan demikian dimaksudkan agar penyelesaian sengketa informasi publik sejalan dengan asas penyediaan dan pelayanan informasi publik yang cepat, tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana. Oleh karena itu adanya persoalan berlarutnya proses upaya penyelesaian sengketa informasi publik sebagaimana yang dicontohkan oleh Pemohon adalah persoalan implementasi yang seharusnya tidak boleh terjadi, dan hal ini bukan disebabkan oleh inkonstitusionalnya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma karena yang sesungguhnya terjadi adalah persoalan implementasi norma.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 Selanjutnya →