1. Bahwa pada hari Selasa, 13 Februai 2024, pukul 14.05 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024) Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
a. bahwa Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) telah menerima permohonan bertanggal 4 Desember 2023, diajukan oleh perseorangan Warga Negara Indonesia Bernama Abdul Hakim, S.H., M.H., yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 27 November 2023 memberikan kuasa kepada Deddy Rizaldy Arwin Gommo, S.H., dkk, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Desember 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 168/PUU/PAN.MK/AP3/12/2023, dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 1/PUU-XXII/2024 pada tanggal 3 Januari 2024, perihal Permohonan Pengujian Materiil Pasal 340 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 1.1/PUU/ TAP.MK/Panel/01/2024 tentang Pembentukan Panel Hakim untuk Memeriksa Perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024, bertanggal 8 Januari 2024;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 1.1/PUU/TAP.MK/HS/01/2024 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 1/PUUXXII/ 2024, bertanggal 8 Januari 2024;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 17 Januari 2024 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Kemudian pada tanggal 30 Januari 2024, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan a quo;
d. bahwa pada tanggal 31 Januari 2024, Mahkamah Konstitusi telah menerima surat elektronik (e-mail) dari Pemohon bertanggal 31 Januari 2024 perihal Pencabutan Perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024 dengan alasan terdapatnya kesalahan substansial dalam Petitum permohonan yang diajukan. Selanjutnya pada hari Jumat, 2 Februari 2024, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda Konfirmasi Penarikan Permohonan Pemohon. Pada persidangan tersebut, Pemohon telah membenarkan perihal pencabutan perkara a quo;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Januari 2024 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan Salinan berkas permohonan kepada Pemohon;
1. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon;
2. Menyatakan Permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 mengenai Permohonan Pengujian Pasal 340 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali;
3. Menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
4. Memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 13 Februari 2024, pukul 15.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU 30/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undnag-Undnag dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian ketentuan dalam UU 30/1999 melalui permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang memeriksa permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut perihal kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999, menurut Pemohon, norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis dan menimbulkan ambiguitas. Hal tersebut dikarenakan perumusan norma dalam ketentuan dimaksud dilakukan dengan cara yang tidak sistematis sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon, Pasal 65 UU 30/1999 seharusnya memuat norma yang memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberitahukan secara patut perihal pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan, in casu Arbiter, Pemohon, Termohon dan/atau kuasanya.
[3.3.2] Bahwa dalam petitum permohonannya, Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 65 UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(1) Yang berwenang menangani masalah pendaftaran serta eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; (3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional dan menyampaikannya kepada Arbiter, Pemohon, Termohon, dan/atau Kuasanya paling lama 14 (empat belas) hari sejak permohonan pendaftaran diterima; (4) Permohonan eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional harus melampirkan Surat Permohonan dan Salinan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional”; serta menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(2) Terhadap permohonan eksekuatur dan eksekusi putusan arbitrase internasional sebagaimana ketentuan Pasal 66 huruf d, Ketua Pengadilan Negeri dapat menerima dengan memberikan eksekuatur sekaligus perintah pelaksanaan/eksekusi putusan atau menolak permohonan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang ini.”
[3.3.3] Bahwa setelah membaca secara saksama alasan-alasan permohonan (posita) dan permintaan (petitum) Pemohon, terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, petitum permohonan Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 UU 30/1999, in casu petitum Pemohon sepanjang frasa “(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional” telah diatur dalam norma Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999. Di samping itu, petitum permohonan Pemohon tidak menguraikan argumentasi yang jelas dan memadai pada bagian alasan permohonan (posita). Pemohon lebih menguraikan mengenai fakta empiris terkait pengalaman Pemohon dalam menangani perkara arbitrase internasional dan kemudian mendalilkan norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis dan menimbulkan ambiguitas. Terlebih, dalam persidangan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan, Pemohon mengakui tidak memberikan alasan adanya penambahan dan perubahan norma yang diuji konstitusionalitasnya, khususnya terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan menjadi pendaftaran putusan arbitrase internasional, dalam posita [vide halaman 8-9, Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 4/PUUXXII/2024, tanggal 5 Februari 2024]. Namun, Pemohon justru secara “ujug-ujug” dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 tanpa memberikan uraian yang jelas berkaitan pertentangan dengan norma yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, seharusnya Pemohon dalam bagian posita menjelaskan secara jelas dan memadai terlebih dahulu adanya pertentangan norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya sebagai denyut nadi dari permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sekaligus menjadi pemandu arah petitum permohonan. Dalam konteks demikian, petitum permohonan tidak boleh berubah arah dari makna dan jiwa posita permohonannya.
[3.4] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1) PMK 2/2021 menyatakan, “Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: a. adanya ketidaksesuaian antara dalil dalam posita dengan petitum“. Oleh karena itu, setelah Mahkamah mencermati secara saksama antara posita dan petitum permohonan Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) PMK 2/2021 yang diuraikan di atas. Dengan demikian, terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan yang dimohonkan (petitum) kepada Mahkamah, maka tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.5] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon kabur, terhadap kedudukan hukum, pokok permohonan dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024 yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima terhadap pengujian materiil UU 30/1999 mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Selasa, tanggal 13 Februari 2024, pukul 14.24 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian ketentuan dalam UU MK melalui permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 8 Desember 2023, yang diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia bernama Adoni Y. Tanesab, beralamat di Kp. Rawa Bogo RT 002/RW 18, Kelurahan Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 9 November 2023, memberi kuasa kepada Marthen Boiliu S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 11 Desember 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 170/PUU/PAN.MK/AP3/12/2023, bertanggal 9 Januari 2024 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 9 Januari 2024 dengan Nomor 8/PUU-XXII/2024 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 8/PUU-XXII/2024 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 8.8/ PUU/TAP.MK/Panel/01/2024 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 8/PUUXXII/2024, bertanggal 9 Januari 2024;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 8.8/PUU/TAP.MK/HS/01/2024 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024, bertanggal 9 Januari 2024;
c. bahwa terhadap perkara a quo Mahkamah telah menjadwalkan untuk persidangan Pendahuluan pada tanggal 6 Februari 2024 dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemohon juga telah dipanggil secara sah dan patut dengan surat Panitera Mahkamah Nomor 345.8/PUU/PAN.MK/PS/01/2024, bertanggal 26 Januari 2024, perihal Panggilan Sidang. Pada persidangan dimaksud Pemohon tidak hadir. Pemohon hanya mengirimkan surat elektronik bertanggal 6 Februari 2024, yang dikirimkan melalui email juru panggil Mahkamah, yang pada pokoknya meminta pengunduran jadwal sidang karena Pemohon sedang bertugas di luar kota sehingga berhalangan hadir pada persidangan Mahkamah;pada
d. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan, “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan permohonan gugur”;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 7 Februari 2024, telah berkesimpulan bahwa ketidakhadiran Pemohon pada sidang pertama Pemeriksaan Pendahuluan menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Keberadaan Pemohon di luar kota tidak menjadi alasan yang sah untuk tidak menghadiri persidangan Mahkamah, karena dalam Surat Panggilan Sidang yang disampaikan melalui Juru Panggil telah diinformasikan bahwa Pemohon dapat menghadiri sidang secara daring dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah [vide Pasal 37 PMK 2/2021]. Terlebih, Panel Hakim telah membuka sidang Pendahuluan dan memanggil Pemohon untuk memasuki ruang sidang, namun Pemohon tidak hadir [vide Risalah Persidangan Mahkamah tanggal 6 Februari 2024]. Dengan demikian, permohonan Pemohon untuk dilakukan penundaan persidangan adalah tidak beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan gugur;
f. bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, berdasarkan Pasal 41 ayat (5) jo. Pasal 75 ayat (1) huruf c PMK 2/2021 terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon gugur, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Januari 2024, pukul 17.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor), dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 50 UU KPK, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut
dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama, telah ternyata ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK pernah diajukan pengujiannya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 Maret 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Oktober 2012.
Bahwa dalam permohonan Perkara Nomor 28/PUU-V/2007, Pemohon mengajukan pengujian terhadap ketentuan norma Pasal 30 UU Kejaksaan dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dengan alasan keberadaan pasal a quo telah memberikan “kewenangan yang berlebihan” dan “kewenangan tanpa kontrol” kepada Kejaksaan sehingga menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum. Sedangkan dalam permohonan Perkara Nomor 16/PUU-X/2012, Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU KPK dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan bertentangan dengan asas negara hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ketentuan tersebut tumpang tindih antara institusi yang berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dengan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang diadili pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Bahwa sementara itu dalam permohonan a quo, Pemohon melakukan pengujian ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan alasan pemberian kewenangan untuk melakukan penyidikan kepada Jaksa/Kejaksaan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan, selain itu kewenangan Jaksa/Kejaksaan sebagai penyidik juga telah menghilangkan fungsi checks and balances dalam proses penyidikan hingga menimbulkan kesewenang-wenangan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat adanya perbedaan antara alasan-alasan permohonan dalam Perkara Nomor 28/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 16/PUU-X/2012 dengan perkara a quo. Dengan demikian, terlepas secara substansi permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.16] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut;
[3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, Keterangan DPR, Keterangan Presiden, Keterangan Pihak Terkait Persatuan Jaksa Indonesia (PJI), Keterangan Pihak Terkait Kejaksaan RI, Keterangan Pihak Terkait Kepolisian RI, Keterangan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi, Keterangan Ahli Pemohon, Keterangan Ahli DPR, Keterangan Ahli Presiden, Keterangan Ahli Pihak Terkait PJI, Keterangan Pihak Terkait Kejaksaan RI, Keterangan Saksi Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, Pihak Terkait PJI dan Kejaksaan RI, serta kesimpulan Pemohon, Presiden, Pihak Terkait Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pihak T erkait Kepolisian Republik Indonesia dan Pihak T erkait Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagaimana dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.18] Menimbang bahwa norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon yaitu ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK yang berkaitan dengan kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat norma a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi dan kewenangan jaksa sebagai penyidik telah menghilangkan checks and balances dalam proses penyidikan sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon merupakan norma yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang termasuk dalam ruang lingkup hukum formil (hukum acara pidana), di mana hal ini tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK yang secara faktual diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana khusus dan/atau tertentu. Oleh karena itu, apakah pemberian kewenangan penyidikan kepada lembaga penegak hukum dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi, telah menghilangkan fungsi checks and balances dalam proses penyidikan sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan, maka terhadap hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Sub-paragraf [3.13.1] sampai dengan Sub- paragraf [3.13.6], hlm. 96 sampai dengan hlm. 98, yang pada pokoknya antara lain, sebagai berikut:
[3.13.1] Norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma undang-undang yang berkenaan dengan hukum acara pidana. Oleh karena itu, terdapat kaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selaku ketentuan induk dari seluruh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Berbeda dengan ketentuan tentang hukum acara pidana yang berlaku sebelumnya, yang termuat dalam HIR, dalam KUHAP telah dianut sistem penyelesaian pidana secara terpadu atau integrated criminal justice systems atau integrated criminal juctice process. Sebagai suatu sistem, proses penegakan hukum pidana, ditandai dengan adanya diferensiasi (pembedaan) wewenang di antara setiap komponen atau aparat penegak hukum, yaitu Polisi sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut, dan Hakim sebagai aparat yang berwenang mengadili;
[3.13.2] Diferensiasi wewenang itu dimaksudkan agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Dengan demikian, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada suatu perkara yang tidak tertangani oleh semua aparat penegak hukum. Selain itu, diferensiasi fungsi demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme saling mengawasi secara horizontal di antara aparat penegak hukum, sehingga pelaksanaan wewenang secara terpadu dapat terlaksana dengan efektif dan serasi (harmonis). Mekanisme pengawasan horizontal tersebut bertujuan pula agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia seseorang (tersangka);
[3.13.3] Diferensiasi fungsi dalam hal ini juga mengandung pengertian pembagian peran (sharing of power) antara kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dan kewenangan penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan. Diferensiasi yang demikian bersifat internal, yaitu pembedaan wewenang di antara aparat penegak hukum dalam ranah eksekutif;
[3.13.4] Sementara itu, dalam suatu sistem, walaupun setiap komponen diberikan wewenang tertentu yang berbeda dengan wewenang komponen lainnya, tetapi untuk mewujudkan tujuan sistem secara terpadu, setiap komponen harus melakukan koordinasi dengan komponen lainnya. Namun, karena alasan-alasan tertentu, tidak tertutup kemungkinan adanya pemberian wewenang khusus kepada komponen tertentu, sebagai pengecualian sehingga ada kemungkinan terjadinya pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih antara aparat penegak hukum, apabila tidak terdapat koordinasi yang baik dan/atau ketentuan yang jelas dan tegas mengenai pengecualian tersebut;
[3.13.5] Dalam UUD 1945 kewenangan Polri diatur dalam Pasal 30 Ayat (4) yang berbunyi, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Polisi merupakan satu-satunya penyidik atau penyidik tunggal. Dalam Pasal 30 Ayat (5) UUD 1945 dinyatakan bahwa; “Susunan dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia 98 Masyarakat Hukum MHI) di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang- undang”. Pengaturan lebih lanjut bagi Polri tertuang dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang dalam Pasal 14 undang-undang a quo dinyatakan, “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: .. g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”; dan Pasal 16 Ayat (1) huruf a yang menyatakan, ”Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan”;
[3.13.6] Dengan demikian, kewenangan Polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945 tetapi dari undang-undang. Kata “sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya” memungkinkan alat penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan, diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu, Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Undang- undang yang diturunkan dari amanat Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaaan. Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”;
[3.13.7] Perincian tentang diferensiasi fungsi (kewenangan) diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengaturnya lebih lanjut dengan undang-undang. Bahkan, sebelum adanya perubahan UUD 1945, diferensiasi fungsi dimaksud pada pokoknya telah diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Meskipun demikian, terdapat pula undang-undang yang memberikan kewenangan khusus kepada lembaga- lembaga tertentu untuk melakukan fungsi-fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan beberapa undang-undang lainnya.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, jika dikaitkan dengan sistem penyelesaian tindak pidana secara terpadu atau integrated criminal justice system yang dianut oleh KUHAP tidak dapat dipisahkan dengan adanya prinsip diferensiasi fungsional. Berkenaan dengan hal ini, prinsip tersebut memberikan penegasan berkaitan dengan pembagian tugas dan wewenang di antara jajaran aparat penegak hukum secara institusional. Dengan adanya pembedaan tersebut, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sehingga menciptakan mekanisme saling mengawasi antara aparat penegak hukum, serta tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia. Namun demikian, berdasarkan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tersebut, pemberian kewenangan melakukan penyidikan kepada lembaga penegak hukum lain, selain lembaga Kepolisian adalah dimungkinkan. Sepanjang pemberian kewenangan tersebut diatur secara jelas dan tegas, termasuk di dalamnya dilakukan secara terkoordinasi antar aparat penegak hukum sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan. Lebih lanjut, berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan kepada penegak hukum lain selain Kepolisian, secara eksplisit tidak diamanatkan oleh UUD 1945. Artinya, berkenaan dengan kewenangan penyidikan tidak dibatasi atau ditentukan hanya menjadi kewenangan tunggal Kepolisian. Oleh karena itu, sepanjang badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, termasuk dalam hal ini Kejaksaan sebagai salah satu institusi yang berkaitan dengan pelaku kekuasaan kehakiman dapat diberikan kewenangan penyidikan tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan].
[3.18.2] Bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah juga berpendirian bahwa pemberian kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dilakukan berdasarkan undang-undang merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ketika pembentuk undang-undang memberikan kewenangan kepada lembaga penegak hukum lain selain Kepolisian. Dalam kaitan ini, pembentuk undang-undang memiliki kebebasan dan keleluasaan yang terukur dalam menentukan norma-norma yang sesuai dengan kebutuhan, tentunya dikaitkan dengan perkembangan modus kriminal akibat kemajuan teknologi informasi dan lain-lain yang sangat memengaruhi kebutuhan akan perkembangan penyidikan yang harus mampu mengakselerasikan dalam proses penanganan perkara yang tidak mungkin hanya dapat ditangani oleh lembaga penegak hukum Kepolisian.
Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan dalam tindak pidana khusus dan/atau tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan merupakan sebuah respon dari beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, antara lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [vide Penjelasan Umum UU 16/2004].
Bahwa pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007, Paragraf [3.15], hlm. 99, yang pada pokoknya menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, pembentuk undang-undang hanya memberikan peluang terhadap kejaksaan berupa kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu, hal tersebut dimaksudkan karena tindak pidana dari masa ke masa semakin berkembang dan beragam macam/modusnya. Fakta hukum tersebut, sesungguhnya dalam perspektif yang lebih luas juga dimaksudkan untuk mengantisipasi semakin berkembang dan beragamnya macam/modus tindak pidana khusus dan/atau tertentu tersebut. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan penyidikan oleh Kepolisian sekalipun kewenangan penyidikan yang dimiliki Kejaksaan hanya untuk tindak pidana tertentu saja, bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon adalah kekhawatiran yang tidak beralasan. Sebab, sepanjang kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan tersebut dilakukan dengan koordinasi yang baik dan diatur oleh ketentuan yang jelas dan tegas sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas serta didasarkan pada pertimbangan kebutuhan akan lembaga penegak hukum lain selain Kepolisian akibat semakin berkembangnya macam/modus jenis tindak pidana khusus dan/atau tertentu, maka kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan adalah hal yang dapat dibenarkan.
[3.18.3] Bahwa berkenaan dengan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, dalam praktik di dunia Internasional, juga dilakukan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu, misalnya dalam pelanggaran hak asasi manusia berat yang diatur dalam United Nations Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (statuta Roma), article 53 paragraph 1, menyatakan:
“The Prosecutor shall, having evaluated the information made available to him or her, initiate an investigation unless he or she determines that there is no reasonable basis to proceed under this Statute. In deciding whether to initiate an investigation, the Prosecutor shall consider whether: (a) The information available to the Prosecutor provides a reasonable basis to believe that a crime within the jurisdiction of the Court has been or is being committed; (b) The case is or would be admissible under article 17; and (c) Taking into account the gravity of the crime and the interests of victims, there are nonetheless substantial reasons to believe that an investigation would not serve the interests of justice. If the Prosecutor determines that there is no reasonable basis to proceed and his or her determination is based solely on subparagraph (c) above, he or she shall inform the Pre-Trial Chamber”,
Ketentuan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa penyidik perkara pelanggaran hak asasi manusia berat adalah Jaksa sehingga apabila kewenangan tersebut dilakukan oleh lembaga lain maka pengadilan berhak untuk menolak kasus tersebut.
Selain itu, di beberapa negara dalam undang-undang hukum acaranya juga memberi wewenang kepada Jaksa sebagai penyidik, misalnya:
1. Korea Selatan melalui Criminal Procedure Act, Article 195:
A public prosecutor shall, where there is a suspicion that an offense has been committed, investigate the offender, the facts of the offense, and the evidence;
2. Belanda melalui Code of Criminal Procedure, Article 10:
(1) The public prosecutor, authorized to conduct any investigation, can make a certain investigative act also within the jurisdiction of a court other than that in which he is placed to perform or have performed. In that case he brings his counterpart informed of this in a timely manner.
(2) In case of urgent necessity, the public prosecutor can take a certain investigative action transfer to the public prosecutor assigned to the court within which area jurisdiction the investigative act must take place.
(3) The public prosecutor, authorized to attend any investigation by a judicial officer authority, may as such also be within the jurisdiction of a court other than those where he is posted, if this investigation takes place there.
3. Jerman melalui German Code of Criminal Procedure Section 161 Sub Judul Public prosecution office’s general investigatory powers (1):
For the purpose indicated in section 160 (1) to (3), the public prosecution office is entitled to request information from all the authorities and to make investigations of any kind, either itself or through the police authorities and police officers, provided there are no other statutory provisions specifically regulating their powers. The police authorities and police officers are obliged to comply with the request or order of the public prosecution office and are entitled, in such cases, to request information from all the authorities.
Dengan demikian, setelah mencermati praktik-praktik pemberian kewenangan penyidikan kepada Kejaksaaan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu sebagaimana diuraikan dan dicontohkan di atas, kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan merupakan praktik yang lazim, khususnya jika menyangkut tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang sifatnya merupakan extra ordinary crime yang secara universal membutuhkan lebih dari satu lembaga penegak hukum untuk menanganinya, khususnya dalam hal kewenangan penyidikan.
[3.18.4] Bahwa alasan fundamental dibentuknya UU Tipikor adalah semakin berkembangnya salah satu tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang merupakan extra ordinary crime yaitu tindak pidana korupsi yang berdampak pada akibat timbulnya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Salah satu hal yang diatur dalam UU Tipikor adalah adanya tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya [vide Pasal 27 juncto Pasal 39 UU Tipikor]. Selain itu, UU Tipikor juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang kemudian dibentuk dengan UU KPK yang memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi [vide Pasal 6 UU KPK].
Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan ketentuan norma Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK, menurut Mahkamah hal tersebut sesungguhnya merupakan pasal-pasal atau norma yang mengatur hal-hal berkaitan dengan kewajiban untuk dilakukannya kolaborasi diantara lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang memandang tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime yang mempunyai dimensi persoalan yang krusial dan tidak mungkin hanya dapat ditangani oleh satu lembaga penegak hukum sebagai penyidik. Artinya, penyidikan dalam tindak pidana korupsi selain dilakukan lembaga penegak hukum Kepolisian diperlukan lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan KPK, sepanjang ketiga lembaga penegak hukum dimaksud saling berkoordinasi agar terdapat kesatuan sikap dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Bahwa dalam rangka mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi, ketiga lembaga tersebut kemudian membuat kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: KEP-049 /A/J.A/03/2012; Nomor: B/23/III/2012; Nomor: Spj- 39/01/03/2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diperbaharui terakhir dengan Nota Kesepahaman Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor: 107 Tahun 2021; Nomor: 6 Tahun 2021; Nomor: NK/17/V/2021 tentang Kerja Sama Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana salah satu bentuk kerja sama adalah (a) sinergi penanganan perkara tindak pidana korupsi termasuk dalam kegiatan hal pelaporan dan/atau pengaduan masyarakat, dan koordinasi dan/atau supervisi; (b) dalam pelaksanaan koordinasi dan/atau supervisi atas kegiatan penanganan perkara tindak pidana korupsi, berdasarkan dukungan data pelaksanaan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan secara elektronik (SPDP Online).
Bahwa dengan pengaturan terkait dengan fungsi serta koordinasi antara ketiga lembaga dalam penanganan tindak pidana korupsi, dan tanpa bermaksud menilai legalitas nota kesepakatan/kesepahaman dimaksud, tentunya menjadikan penanganan tindak pidana korupsi menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu, adanya kesepakatan dalam koordinasi dan juga supervisi menjadikan aspek pengawasan tidak hilang dalam penanganan tindak pidana korupsi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
[3.18.5] Bahwa tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, menurut Mahkamah peristiwa yang terjadi pada klien Pemohon tidak dapat serta merta menjadikan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak memberi kepastian hukum, karena sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.18.2] di atas, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya merupakan pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu saja. Sementara itu, untuk tindak pidana umum kewenangan penyidikan tetap berada pada Kepolisian. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan masih tetap diperlukan untuk menangani tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang secara faktual jenis maupun modusnya semakin beragam. Di samping itu, secara riil adanya pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan hal tersebut semakin mempercepat penyelesaian penanganan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana khusus dan/atau tertentu, serta memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat.
[3.19] Menimbang bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah telah menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah tetap dengan pendiriannya bahwa kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana khusus dan/atau tertentu merupakan kewenangan yang konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK, yang secara yuridis kekuatan keberlakuannya memilliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, maka dengan sendirinya juga memiliki landasan konstitusional. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan pasal-pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan dalam hal ini tersangka/terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.20] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan kekhawatiran Pemohon yang mendalilkan ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK yang memberikan kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan telah menghilangkan checks and balances dalam proses penanganan tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan pada pertimbangan hukum Putusan Makamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 sebagaimana dikutip dalam Sub-paragraf [3.18.1], integrated criminal justice system yang dibentuk oleh KUHAP ditandai dengan adanya prinsip diferensiasi fungsional di antara lembaga penegak hukum yang salah satu tujuannya adalah menciptakan mekanisme saling mengawasi (checks and balances). Hal demikian, meskipun secara universal berlaku dalam penanganan tindak pidana umum, namun pembentuk undang-undang memilih untuk memberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan bagian dari jenis tindak pidana khusus dan/atau tertentu kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Hal tersebut dilakukan karena menurut pembentuk undang-undang penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga/badan saja, oleh karena itu dalam hal ini prinsip diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP secara faktual dan realita kebutuhan serta kemanfaatan belumlah dapat dilaksanakan secara utuh.
Bahwa belum dapat diberlakukannya prinsip diferensiasi fungsional secara utuh tersebut bukanlah berarti menjadikan prinsip checks and balances tidak dapat diterapkan, karena ketentuan norma Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 50 ayat (4) UU KPK jika dibaca secara cermat merupakan norma yang mewajibkan adanya koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan pemberian kewenangan kepada Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu selain memberi jaminan kepastian hukum yang adil juga memberi perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka. Dalam kaitan ini, apabila ternyata dari hasil penyidikan tersangka tidak terdapat bukti dan fakta melakukan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang disangkakan, maka Kejaksaan langsung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Demikian pula sebaliknya, apabila ternyata terdapat alat bukti yang cukup maka Kejaksaan melimpahkan perkara ke Pengadilan. Artinya, adanya potensi yang dapat menghilangkan fungsi checks and balances sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon menjadi tidak relevan sebagai dalil yang dapat dibenarkan. Terlebih, jika kekhawatiran Pemohon terhadap tidak berfungsinya prinsip deferensiasi fungsional dapat menghilangkan fungsi checks and balances dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, hal tersebut justru kekhawatiran yang berlebihan dan tidak beralasan, mengingat jika benar seandainya hal tersebut berdampak pada terlanggarnya hak-hak tersangka/terdakwa sebagaimana juga yang dialami oleh Pemohon, maka telah tersedia mekanisme kontrol yang dapat dipergunakan sebagai upaya hukum, misalnya melalui permohonan praperadilan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa “atau Kejaksaan” serta Pasal 50 ayat (4) khusus frasa “dan/atau Kejaksaan” UU KPK telah memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan kesewenang-wenangan, serta tidak berpotensi menghilangkan fungsi checks and balances sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan Putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 28/PUU-IXX/2023 yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima mengandung arti bahwa ketentuan pasal-pasal UU a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Januari 2024, pukul 18.38 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya disebut UU 7/2021) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 67/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 67/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU 36/2008) sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13]. Menimbang bahwa sebelum menjawab isu konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang dipersoalkan oleh Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 23A UUD 1945, pada pokoknya pajak dan pungutan lain merupakan penerimaan negara yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Hal ini sejalan dengan prinsip no taxation without representation. Artinya, pengaturan terhadap pajak dan pungutan lain harus dengan undangundang sebagai wujud dari prinsip kedaulatan rakyat. Dalam konteks ini, peran serta rakyat dalam menentukan kebijakan pajak dan pungutan lain untuk keperluan negara tidak secara langsung (indirect participation) akan tetapi melalui wakil-wakil rakyat di DPR, yang telah dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Artinya, berdasarkan prinsip “no taxation without representation” segala pungutan yang akan dikenakan pajak oleh negara, dibolehkan sepanjang hal tersebut telah disetujui oleh pembentuk undang-undang.
Dalam kaitan ini, pajak merupakan salah satu unsur penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) untuk kepentingan pembangunan negara. Sampai saat ini pun pajak masih menjadi sektor andalan dalam pendapatan nasional. Pajak juga terkait dengan paradigma penganggaran dalam APBN di mana kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak tentunya harus diimbangi dengan anggaran untuk kepentingan masyarakat. Artinya, proses alokasi anggaran dalam berbagai program pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam pos alokasi dan belanja pembangunan dalam APBN adalah bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan kompensasi atas pembayaran pajak dari masyarakat [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku VII hlm. 1213].
[3.13.2] Bahwa pengaturan mengenai pajak penghasilan telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang dalam perkembangannya sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi, pengaturan tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan keempat dilakukan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang telah mengatur mengenai kenikmatan dalam bentuk natura. Dalam perkembangannya pengaturan mengenai hal tersebut juga mengalami berbagai perubahan mulai dari natura ditentukan bukan merupakan objek pajak dan tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima hingga diberikannya insentif di bidang perpajakan yakni berupa perlakuan perpajakan atas imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu untuk dapat lebih menarik orang bekerja di daerah terpencil [vide Pasal 9 UU 36/2008].
[3.13.3] Bahwa sebelum berlaku UU 36/2008 tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU17/2000), juga telah ditegaskan terkait dengan pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Di mana ditegaskan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, bukan dalam bentuk uang. Meskipun begitu, dalam UU tersebut juga ada penegasan terkait dengan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya yang bukan merupakan Objek Pajak [vide Penjelasan Pasal 4 UU 17/2000].
[3.13.4] Bahwa sebelum berlaku UU 7/2021, natura dan/atau kenikmatan yang diberikan perusahaan kepada pegawai/karyawan selama ini bersifat bukan objek pajak (non-taxable) dan tidak dapat dikurangkan/dibiayakan (non-deductible) oleh perusahaan di mana hal tersebut dalam perkembangannya telah menciptakan adanya celah hukum (loophole) bagi penyalahgunaan perhitungan PPh 21 atas pegawai. Dalam praktik, imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dijadikan sebagai upaya untuk menekan pajak penghasilan pegawai, dengan cara memperbanyak pemberian imbalan natura dan/kenikmatan yang diberikan ke pegawai. Selain itu, secara faktual natura dan/atau kenikmatan yang selama ini non-taxable atau tidak dipajaki, ternyata lebih banyak dinikmati oleh high-level employee, di mana pegawai tersebut cenderung memiliki otoritas untuk mengatur agar imbalannya tidak seluruhnya dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dengan tujuan agar tidak dikenakan pajak, dan justru mengalihkan beban pajak pada perusahaan. Sedangkan bagi pegawai biasa, seluruh penghasilan yang diterima merupakan objek pajak penghasilan dan dipotong PPh 21 oleh perusahaan. Adanya fakta tersebut menggambarkan pengaturan terkait natura tersebut telah menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak khususnya pegawai atau karyawan biasa. [vide Keterangan Presiden hlm.8-10]
[3.13.5] Bahwa dengan berlakunya UU 7/2021 terdapat perubahan paradigma pemajakan terhadap natura dan/atau kenikmatan yang berdampak pada komponen pengurang penghasilan bruto bagi pemberi natura dan/atau kenikmatan. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan UU 7/2021 berprinsip untuk menggeser titik pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan dari pegawai selaku penerima penghasilan kepada pemberi kerja sehingga natura dan/atau kenikmatan dapat dikategorikan sebagai objek pajak penghasilan bagi penerima dan merupakan biaya pengurangan penghasilan bruto bagi pemberi kerja. Selain itu, pengaturan pengelompokan natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak penghasilan lebih ditujukan kepada pekerja eksekutif dan bertujuan untuk memberikan keseimbangan dalam pembagian beban pajak di antara wajib pajak dengan adanya pengaturan mengenai natura dan/atau kenikmatan dalam jenis dan batasan tertentu yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan [vide keterangan DPR hlm. 16-18].
[3.13.6] Bahwa meskipun dalam UU 7/2021 terkait imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan dan menjadi objek pajak, namun tidak seluruh imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak. Terkait dengan jenis natura dan/atau kenikmatan yang tidak dikenakan pajak dan ambang batas plafon nilai yang akan dibebaskan dari pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diterima Atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan (Permenkeu 66/2023). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permenkeu tersebut, berkenaan dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutannya ditentukan sebagai kenikmatan yang dibebaskan dari pengenaan pajak.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakadilan karena mengelompokkan fasilitas pelayanan kesehatan dan berobat yang diberikan oleh pemberi kerja sebagai objek pajak penghasilan, sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah penting untuk dipahami terlebih dahulu materi muatan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 dan Penjelasannya yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini;
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a:
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Selain itu termasuk dalam pengertian penghasilan meliputi gratifikasi yang merupakan pemberian yang wajar karena layanan dan manfaat yang diterima oleh pemberi gratifikasi sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa.
Yang dimaksud dengan "imbalan dalam bentuk natura" adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan "imbalan dalam bentuk kenikmatan" adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan.
Norma Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 pada prinsipnya menyetarakan perlakuan pengenaan pajak atas penghasilan berupa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Norma Pasal a quo harus dipahami secara komprehensif dalam kaitan dengan norma lainnya. Meskipun norma Pasal 4 ayat (1) huruf a menentukan imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan dan menjadi objek pajak, namun tidak seluruh imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak sebagaimana didalilkan Pemohon. Dalam kaitan ini, Pasal 4 ayat (3) huruf d angka 5 UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah menentukan pula bahwa natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Hal tersebut termaktub dalam norma Pasal 4 ayat (3) huruf d UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang pada pokoknya menentukan objek pajak yang dikecualikan, termasuk juga penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:
1. makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
2. natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
3. natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
4. natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; atau
5. natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
Dengan demikian, permohonan Pemohon yang meminta pengecualian fasilitas kesehatan dan pengobatan tersebut telah terakomodasi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d angka 5 UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021. Dengan adanya pengaturan pengecualian objek natura dan/atau kenikmatan yang dapat dikenakan pajak pada pokoknya memiliki tujuan agar pengenaan pajak atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lebih adil dan tepat sasaran.
[3.14.2] Bahwa Pemohon mendalilkan penarikan pajak natura merupakan upaya Pemerintah untuk menertibkan perusahaan yang berusaha menghindari pajak dengan memberikan fasilitas kepada karyawannya. Artinya, pemberian fasilitas kepada karyawan berupa kenikmatan (natura) bisa menambah nilai ekonomi perusahaan. Menurut Pemohon, Pemerintah tidak semestinya berpandangan bahwa fasilitas kesehatan sebagai natura dan/atau kenikmatan menambah nilai ekonomi perusahaan atau alasan lainnya, oleh karena dasar apapun pengelompokan fasilitas kesehatan sebagai natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan. Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pembentukan UU 7/2021 merupakan usaha Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan percepatan pemulihan perekonomian dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Perubahan ini juga dilakukan sebagai bentuk optimalisasi pendapatan negara yang berdampak pada perekonomian, kesejahteraan, dan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Hal utama yang menjadi perhatian Mahkamah terkait isu konstitusionalitas norma Pasal a quo adalah terkait ada tidaknya ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang timbul sebagai akibat dari pengaturan natura dan/atau kenikmatan tersebut. Dengan melihat adanya fakta bahwa natura dan/atau kenikmatan yang tidak dikecualikan yang justru diberikan kepada pegawai pada level manajemen tinggi namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap sebagai objek pajak sehingga tidak dapat dipungut pajak penghasilan, sedangkan pada kenyataannya justru natura dan/atau kenikmatan tersebut dapat menambah kesejahteraan bagi penerimanya, in casu para pegawai pada level manajemen tinggi. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja biasa yang bukan termasuk level manajemen tinggi yang pada akhirnya justru akan menyebabkan terlanggarnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, keadilan bukanlah selalu berarti memperlakukan sama terhadap setiap orang, keadilan juga dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Sehingga, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama, in casu antara para pegawai level manajemen tinggi dan para pegawai biasa.
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas dan tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permenkeu 66/2023 yang mengatur lebih lanjut UU 7/2021 telah ditentukan bahwa atas natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan diperinci jenis dan batasannya, antara lain kenikmatan berupa fasilitas kesehatan dan pengobatan dari pemberi kerja sepanjang diterima atau diperoleh pegawai dan dalam rangka penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan penyelamatan jiwa, atau perawatan dan pengobatan lanjutan sebagai akibat dari kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja, dikecualikan dari objek PPh (non-taxable). Hal ini sekaligus untuk menjawab perihal adanya kekhawatiran Pemohon, bahwa fasilitas pelayanan kesehatan dan biaya berobat yang diberikan oleh pemberi kerja sebagai objek pajak penghasilan adalah tidak tepat dikarenakan fasilitas pelayanan kesehatan tidaklah menambah nilai ekonomi wajib pajak. Artinya, kekhawatiran Pemohon mengenai tidak adanya pengecualian pengaturan objek PPh telah terjawab. Termasuk dalam hal ini adalah adanya kekhawatiran Pemohon yang berkaitan dengan keinginan agar pegawai atau karyawan tidak dibebankan PPh terhadap fasilitas kesehatan dan biaya berobat yang seharusnya hal tersebut dibebankan kepada pemberi kerja atau pengusaha. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 67/PUU-XXI/2023 yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian materiil UU 7/2021 mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2023, pukul 14.00 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (selanjutnya disebut UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
[3.16.1] Bahwa proses penegakan hukum di Indonesia dalam hal penanganan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tindak pidana tertentu, merupakan suatu mekanisme yang dikenal dengan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Adapun yang dimaksudkan dengan sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang menempatkan proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan sejak di tingkat penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada lembaga pemasyarakatan. Berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu di atas, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan KUHAP, khususnya berkenaan dengan fungsi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Oleh karena itu, Pasal a quo menjadi pijakan utama dalam menegaskan bahwa Kepolisian dalam hal ini Polri merupakan pengemban fungsi penyidikan yang utama. Penegasan mengenai fungsi utama Polri dalam penyidikan juga dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2022) yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum pidana, Polri bertugas untuk “melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan perundang-undangan lainnya”. Dengan demikian, peran dan tugas Polri dalam penegakan hukum pidana dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk semua tindak pidana adalah menjadi kewenangan utama dari Kepolisian. Terlebih, kewenangan Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan merupakan bagian yang fundamental dalam proses pengejawantahan amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
[3.16.2] Bahwa lebih lanjut OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU 21/2011. Pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang yang menyatakan, “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Selanjutnya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2015, Mahkamah menegaskan “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Pembentukan OJK bertujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat. Bahwa berkenaan dengan kewenangan penyidikan OJK, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Desember 2019 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut.
[3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata-mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas-batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
Selanjutnya, Mahkamah juga telah mempertimbangkan kembali tentang syarat pembatasan kewenangan penyidikan OJK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2021 yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3. 11]…….
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah sebagaimana telah dikutip di atas, kewenangan OJK dalam melakukan proses penyidikan harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Hal demikian selain untuk menghindari potensi timbulnya kesewenang-wenangan dan tumpangtindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu, yang lebih penting menurut Mahkamah adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, sekalipun ia dalam posisi sebagai tersangka.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum kedua Putusan di atas, Mahkamah telah menegaskan bahwa kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Polri. Namun demikian, oleh karena kedudukan OJK secara kelembagaan dibentuk berdasarkan undang-undang yang kewenangannya tidak secara langsung dinyatakan dalam UUD 1945 maka sesungguhnya OJK merupakan lembaga negara yang fungsinya sebagai lembaga penunjang (auxiliary agencies) terhadap organ negara lainnya, khususnya yang memiliki kewenangan sejenis atau saling mempunyai relevansi. Dengan demikian, berkenaan dengan kewenangan OJK dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dalam hal ini penyidikan pada sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari jenis tindak pidana umum, OJK bukan merupakan penyidik utama, namun sebagai penyidik penunjang (supporting system) dari penyidik utama yang kewenangannya berada pada Kepolisian.
[3.16.3] Bahwa UU P2SK merupakan upaya pembentuk undang-undang yang bertujuan untuk melakukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan dengan mengubah undang-undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai undang-undang ke dalam 1 (satu) undang-undang secara komprehensif. Berdasarkan Penjelasan UU P2SK , salah satu tujuan disusunnya UU P2SK antara lain yaitu mempertegas mandat OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terintegrasi dan konglomerasi keuangan. Dalam hal ini, penguatan mandat atas pemberian kewenangan penyidikan dalam tindak pidana pada sektor jasa keuangan secara absolut kepada OJK, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011. Namun demikian, penguatan mandat atas kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana pada sektor jasa keuangan kepada OJK secara tunggal tersebut telah mengakibatkan tidak berwenangnya lagi penyidik Polri untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana pada sektor jasa keuangan.
Lebih lanjut apabila dicermati, berkaitan dengan kewenangan penyidikan oleh OJK, UU 4/2023 telah mendelegasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan (PP 5/2023) yang secara a contrario memiliki pengaturan yang berbeda mengenai ketentuan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU 4/2023. Dalam Pasal 2 ayat (1) PP 5/2023 dinyatakan,
“Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan terdiri atas:
a. pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Kemudian Pasal 2 ayat (3) PP 5/2023 menyatakan,
“Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang dan bertanggung jawab melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”
Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai legalitas PP 5/2023 dimaksud, pemberian payung hukum terhadap penyidikan dalam sektor jasa keuangan kepada penyidik Polri melalui PP 5/2023 yang mengatur adanya mekanisme koordinasi penyidik OJK dengan penyidik Polri jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, karena adanya perbedaan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana pada sektor jasa keuangan antara ketentuan yang terdapat dalam PP 5/2023 dengan UU P2SK. Terlebih jika hal tersebut dikaitkan dengan kewenangan penyidikan oleh penyidik Polri dalam tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHAP yang merupakan implementasi dari kewenangan Kepolisian dalam bidang penegakan hukum, sebagaimana amanat dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Bahwa berkenaan dengan hal di atas, salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah ..“kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”, artinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, jika hal ini dikaitkan dengan keterangan Presiden dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 28 Agustus 2023, yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang pada pokoknya menyatakan bahwa PP 5/2023 a quo disusun sebagai “pintu darurat” bagi perkara di Bareskrim yang tertunda penanganannya akibat keberlakuan pasal yang dimohonkan pengujian [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023, Senin, 28 Agustus 2023, hlm. 28 dan Keterangan Tambahan Presiden Tanggal 25 September 2023, hlm. 4]. Sehingga dengan adanya fakta hukum a quo semakin menegaskan pertentangan antara norma yang mengatur tentang kewenangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 dengan yang ada dalam PP 5/2023. Dengan demikian, fakta hukum adanya pertentangan antara norma-norma tersebut di atas, sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi menegaskan dengan memberikan pemaknaan terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah kewenangan penyidikan OJK pada tindak pidana di sektor jasa keuangan yang diatur dalam Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 telah memberikan batasan terhadap keberadaan penyidik Polri, sehingga hal ini dapat menimbulkan pengingkaran terhadap kewenangan Kepolisian selaku lembaga penegak hukum yang berfungsi sebagai penyidik utama sekaligus tidak sejalan dengan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang pada pokoknya memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sepanjang berkoordinasi dengan penyidik Polri. Selain itu, hal tersebut berpotensi bahkan berakibat menghilangkan kewenangan penyidikan oleh Kepolisian dalam tindak pidana umum dan/atau tindak pidana tertentu termasuk tindak pidana pada sektor jasa keuangan.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan atas frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah akan menyatakan frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 adalah inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Oleh karena itu, disebabkan dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 telah dapat dibuktikan meskipun tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon seperti tertuang dalam Petitum permohonan. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 inkonstitusional secara bersyarat maka terhadap pasal-pasal lain yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana sektor jasa keuangan yang diatur dalam UU 4/2023, pemberlakuannya menyesuaikan dengan putusan a quo.
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dalil para Pemohon mengenai isu konstitusionalitas dalam Pasal 8 angka 21 UU 4/2023 yang memuat perubahan frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 21/2011, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.1] Bahwa penyidik dalam proses penegakan hukum memilki peran sentral dan strategis. Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan “Penyidik adalah; a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan, “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a”. Menurut Mahkamah kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum. Bahwa dalam konteks demikian, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan, masing-masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya, sekalipun undang-undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan penerapan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban selalu membangun koordinasi antara penyidik yang bukan penegak hukum dari lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Polri.
[3.19.2] Bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU 21/2011, pegawai OJK diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisioner. Sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil namun pengaturan dalam Pasal 27 ayat (2) UU 21/2011 memberikan payung hukum untuk memperkerjakan pegawai negeri sipil. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK tersebut dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus.
Bahwa kewenangan OJK dalam melakukan penyidikan penting dilakukan dalam mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Dalam rangka memperkuat kewenangan dan kompetensi penyidik OJK untuk melakukan penyelesaian tindak pidana di sektor jasa keuangan yang memiliki kompleksitas dan karakteristik tersendiri dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi microprudential perbankan yang dilakukan, OJK telah memiliki beberapa kantor perwakilan yang ditempatkan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, terdapat 16 penyidik OJK yang terdiri dari 11 penyidik penugasan dari Polri dan 5 penyidik penugasan dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPKP) [vide Keterangan Saksi Pihak Terkait OJK Jus Marfinnoor]. Dengan melihat kondisi faktual penanganan penyidikan saat ini, adanya keterbatasan kemampuan untuk melakukan penyidikan hanya sampai tingkat provinsi dan keterbatasan jumlah penyidik maka OJK masih harus tetap bersinergi dengan Kepolisian yang memiliki jumlah penyidik dan infrastruktur yang lebih memadai dan dapat menjangkau seluruh provinsi, kabupaten, dan desa di seluruh Indonesia.
Sementara itu, terhadap kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya penambahan “pegawai tertentu” yang dianggap menimbulkan persoalan hukum dalam praktik penegakan hukum pidana, menurut Mahkamah, kekhawatiran demikian adalah berlebihan karena dalam memenuhi tujuan penegakan hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan yang efektif dan optimal dalam melindungi masyarakat/konsumen sektor jasa keuangan serta perkembangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks, OJK dapat meningkatkan profesionalitas pegawainya dengan memberikan pengetahuan/kompetensi khusus untuk lebih memahami teknik-teknik penyidikan/investigasi khusus di sektor jasa keuangan. Dengan demikian, menurut Mahkamah, pemberian kewenangan penyidikan kepada penyidik pada instansi lain yang memperoleh kewenangan untuk melakukan penyidikan berdasarkan suatu undang-undang secara khusus dalam pelaksanaan tugasnya sepanjang tetap berkoordinasi dengan Penyidik Polri adalah hal yang dapat dibenarkan.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 21/2011 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan terhadap permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan“ dalam Pasal 49 ayat (5) UU 21/2011 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, sedangkan permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 21/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 59/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 59/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU P2SK.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU P2SK yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan permasalahan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU P2SK.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2023, pukul 13.43 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemerintahan Daerah dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah adanya fakta terkait dengan isu konstitusional pemberhentian anggota DPRD serta perpindahan keanggotaan partai politik yang dilakukan oleh anggota partai politik yang sedang menduduki jabatan anggota legislatif telah dipertimbangkan dan dituangkan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013. Dengan mendasarkan pada putusan tersebut, oleh karena secara substansi norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 adalah terkait dengan pemberhentian antar waktu anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan karena menjadi anggota partai politik lain terlebih partai politik yang mengajukan dalam pemilu sebelumnya tidak lolos sebagai peserta pemilu berikutnya, maka Mahkamah menyatakan norma Pasal a quo adalah inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana substansi dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013, sepanjang berkenaan dengan keanggotaan DPRD kabupaten/kota. Sementara itu, oleh karena amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013 berkaitan dengan status keanggotaan DPR dan DPRD Provinsi, maka terhadap hal tersebut Mahkamah menilai tidak relevan untuk dipertimbangkan. Dengan demikian, norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 harus pula dimaknai secara bersyarat sebagaimana pemaknaan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013 hanya sepanjang berkenaan dengan status keanggotaan DPRD kabupaten/kota. Sehingga, dengan demikian norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai selengkapnya sebagaimana yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo;
[3.14] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya bersifat erga omnes, sehingga terhadap permohonan a quo seharusnya mengikuti amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013. Terhadap hal tersebut, demi meneguhkan prinsip kepastian hukum, dengan berlandaskan pada doktrin erga omnes, sepanjang berkaitan dengan status keanggotaan DPRD kabupaten/kota, Mahkamah tetap mengikuti amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUUXI/2013 karena substansi atau materi yang diatur dalam norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 yang dimohonkan para Pemohon secara substansi adalah sama dengan norma Pasal 16 ayat (3) UU 2/2008.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta menyebabkan terlanggarnya hak untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 sepanjang berkenaan dengan status keanggotaan DPRD kabupaten/kota adalah beralasan menurut hukum untuk Sebagian.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 88/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 88/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemerintahan Daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum dan dapat memberikan kepastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Oktober 2023, pukul 17.40 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua norma konstitusi tersebut sejatinya menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democratic state) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) di mana kedaulatan rakyat dan negara hukum yang menjadi fondasi bernegara harus dibangun dan ditegakkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi. Artinya, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Dengan kata lain, terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi.
Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara demokratis melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pemilu merupakan sarana demokratis untuk menyalurkan kehendak rakyat (the will of the people) dalam memilih pemimpin dan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu telah menjadi jembatan penghubung bagi rakyat dalam menentukan bagaimana dan dengan cara apa pemerintahan dapat dibentuk dan dijalankan secara demokratis. Dalam pemilu, rakyat melalui prinsip one man, one vote, one value menjadi penentu dalam memilih pemimpin maupun wakilnya yang kemudian akan mengarahkan tata kelola perjalanan bangsa. Sehingga, pemilu menjadi seperti transmission belt, di mana kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat bergeser menjadi kekuasaan negara yang kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat;
Pemilu merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang konstitusional dan prinsipil dengan cara penyediaan arena kompetisi yang terbuka dan adil bagi partai politik sepanjang telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban atas kinerjanya kepada rakyat yang telah memilihnya. Di dalam pemilu, rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasi kepada wakil-wakilnya yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksanakan aspirasinya yang akan dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensinya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu. Adapun standar pemilihan umum secara internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) terkait pemilu adalah adanya jaminan partisipasi rakyat di dalamnya yakni hak memberikan suara yang sama bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat tanpa adanya diskriminasi. Pengakuan konstitusional terhadap hak pilih merupakan hal umum bagi negara-negara demokrasi, sehingga kerangka hukum pemilu harus memastikan semua warga negara yang memenuhi persyaratan dijamin haknya memberikan suara secara universal dan adil serta tanpa diskriminasi.
Adapun mengenai jaminan hak pilih, tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, namun diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Meskipun secara eksplisit diatur dalam undang-undang, namun tidak menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Sebab, hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana disebutkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Atas dasar konstitusi tersebut, kedudukan hak konstitusional in casu hak untuk dipilih (right to be candidate) warga negara yang fundamental harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Menurut Mahkamah, dalam mendorong kepesertaan rakyat seluas-luasnya dalam pemerintahan tidak boleh dihalangi oleh syarat-syarat yang bersifat diskriminatif, tidak rasional, dan/atau tidak adil, karena semakin banyak rakyat yang ikut berpartisipasi, baik untuk memilih maupun dipilih, maka akan semakin meningkatkan kualitas proses berdemokrasi.
Presiden dan Wakil Presiden merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat (elected officials) sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945. Sebagai jabatan politik, syarat konstitusional (constitutional requirements) untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 bahwa Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, syarat lainnya diatur lebih lanjut dengan undang-undang, in casu undang-undang mengenai pemilihan umum.
Dalam sejarahnya, UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur syarat konstitusional untuk menjadi Presiden yakni orang Indonesia asli [vide Pasal 6 UUD 1945]. Sebelum perubahan (amendemen) UUD 1945 tidak mengatur batasan minimum usia presiden. Adapun syarat usia Presiden baru muncul dalam ketentuan Pasal 69 ayat (3) Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang menyatakan Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun. Demikian juga dalam Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950 menyatakan “Presiden dan Wakil-Presiden harus warga- negara Indonesia jang telah berusia 30 tahun ... dst”. Sedangkan pasca perubahan UUD 1945, semangat kedaulatan rakyat berubah dari yang sebelumnya kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan tersebut berdampak pada syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yang lebih fleksibel yaitu pengaturannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Dalam hal ini, Pasal 6 huruf q UU 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan syarat sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun, demikian juga dalam Pasal 5 huruf o UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan syarat sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sedangkan, dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mempersyaratkan calon Presiden dan Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Perbedaan syarat usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden baik 30 tahun, 35 tahun, maupun 40 tahun diatur secara beragam dari waktu ke waktu, namun berdasarkan penelusuran belum ditemukan rumus yang baku untuk menentukan usia yang tepat untuk menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Jika melihat di beberapa negara usia Presiden dan Wakil Presiden sangat beragam. Meskipun demikian, Konstitusi (UUD 1945) memang acapkali tidak memuat suatu aturan secara spesifik dan eksplisit mengatur suatu dasar konstitusional kebijakan publik, melainkan hanya memberi dasar dan prinsip-prinsip yang menjadi tolok ukurnya. Sementara penjabaran lebih jauh dalam suatu undang-undang sebagai pengaturan lebih lanjut, dalam konteks syarat usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 telah memberi rambu-rambu bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, menurut Mahkamah, secara konstitusional, pembentuk undang-undang meskipun memiliki kewenangan untuk menentukan syarat-syarat bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun pembentuk undang-undang tetap terikat pada rambu-rambu konstitusi dalam membentuk undang-undang, khususnya terkait dengan syarat-syarat yang bersifat rasional, tidak melanggar moralitas, tidak bersifat diksriminatif, dan tidak memuat adanya ketidakadilan. Bahkan, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Konstitusi, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia.
[3.13.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan open legal policy dalam penentuan batas usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, dan sejarah pengaturannya, yang selengkapnya sebagai berikut:
Sejak perubahan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia menegaskan kedudukannya sebagai negara hukum yang demokratis. Tujuannya, selain untuk menjamin bahwa konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (constitution as the supreme law), juga untuk menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial (presidential system) yang berbasis pada checks and balances yaitu adanya kontrol dan keseimbangan di antara pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang menjalankan tugas dan fungsi, antara lain membentuk undang-undang bersama Presiden, dan tugas legislatif lainnya yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [vide Pasal 20 UUD 1945] serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) [vide Pasal 22D UUD 1945]. Cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang kekuasaan yang berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dijalankan oleh lembaga-lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945].
Presiden dan wakil presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif merupakan salah satu dari jabatan politik kategori elected officials bersama kepala daerah-wakil kepala daerah (gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota) yaitu jabatan politik yang diangkat dalam jabatan melalui proses politik, in casu pemilihan umum. Dalam kaitannya dengan kriteria usia jabatan elected officials ini, meskipun sama-sama dipilih dalam pemilu, namun UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut diatur dalam undang-undang, yang menyebabkan persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum diatur secara berbeda-beda dalam berbagai undang-undang sesuai dengan jenis jabatan masing-masing. Terkait hal tersebut, dalam pengujian undang-undang tentang Pemerintahan Daerah khususnya batas usia kepala daerah, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007 sebagai berikut:
"........bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang- undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945."
Mahkamah juga menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Desember 2019, bahwa perihal batas usia kepala daerah, sebelumnya Mahkamah berpendirian sebagai berikut:
”..... Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk undang- undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Bahkan, Mahkamah telah menegaskan pula, andaipun perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang melainkan diserahkan kepada peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan Permohonan a quo, pertanyaannya kemudian, apakah terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya.”
Berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah di atas, Mahkamah pada dasarnya dapat berubah pendiriannya dalam menilai isu konstitusionalitas suatu perkara yang diperiksa dan diadili selama terdapat alasan yang mendasar termasuk dalam perkara a quo, jika Mahkamah berpendapat lain terkait dengan syarat usia pemilih dan yang dipilih, in casu batas usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden apabila terdapat alasan yang mendasar dalam perkembangan ketatanegaraan. Selain itu, berkaitan dengan kebijakan hukum (legal policy atau open legal policy) terkait batas usia, Mahkamah dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan legal policy acapkali berpendirian bahwa legal policy dapat saja dikesampingkan apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah. Selain itu, norma yang berkaitan dengan legal policy adalah sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam Konstitusi karena jika diatur secara tegas dalam konstitusi, maka undang-undang tidak boleh mengatur norma yang berbeda dengan norma konstitusi. Dalam beberapa putusan terakhir, Mahkamah memberikan tafsir ulang dan mengesampingkan open legal policy seperti dalam perkara yang terkait batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara karena dipandang oleh Mahkamah norma yang dimohonkan pengujiannya dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian usia minimal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan juga pada pokoknya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun bagi jaksa, dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun Panitera di Mahkamah Konstitusi. Apalagi, baik DPR maupun Presiden selaku pemberi keterangan dalam sidang Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU- XXI/2023 (tanpa bermaksud menilai perkara pada masing-masing nomor perkara tersebut), pada pokoknya fakta hukum dalam persidangan dimaksud menunjukan bahwa DPR dan Pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus terkait pasal a quo (Pasal 169 huruf q UU 7/2017) [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023; Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023; Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, bertanggal 1 Agustus 2023, hlm. 8 dan hlm. 13], sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, Mahkamah harus menilai dan mengadili norma yang dipersoalkan oleh pemohon berdasarkan hukum, konstitusi dan keadilan, termasuk di dalamnya berdasarkan Pancasila, UUD 1945, prinsip keadilan dan hak asasi manusia (HAM).
Sehubungan hal tersebut, menurut Mahkamah, keberadaan kebijakan hukum atau kebijakan hukum terbuka (open legal policy) meskipun dapat diterima dalam praktik ketatanegaraan, namun dalam perkembangannya seperti dalam beberapa putusan Mahkamah tersebut di atas, Mahkamah dapat mengabaikan/mengesampingkan seraya memberi tafsir ulang terhadap norma yang merupakan open legal policy tersebut. Bahkan, Mahkamah dapat menilai norma yang sebelumnya termasuk open legal policy dimaksud apakah tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. Terlebih, setiap pengujian undang-undang meskipun sama isu konstitutionalnya, belum tentu sama karakter perkaranya baik karena berbeda batu ujinya, posita dan petitumnya, maupun perbedaan dari segi makna (frasa) yang dimohonkan oleh pemohon. Sehingga, perbedaan karakter perkara dimaksud dapat berimplikasi pada perbedaan hasil atau putusan Mahkamah, antara lain seperti dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, dan/atau Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022, yang telah dikemukakan di atas.
Secara konseptual, open legal policy merupakan domain pembentuk undang-undang untuk menentukan norma yang tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Pembentuk undang-undang sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya dapat merumuskan norma dalam undang-undang sebagai kebijakan hukum terbuka sepanjang norma tersebut tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945 dan norma tersebut berlaku dan mengikat umum sampai dengan diputus atau diberi makna lain oleh Mahkamah. Oleh karena itu, norma dalam undang- undang yang merupakan open legal policy tetap berlaku mengikat sebagaimana perundang-undangan lainnya sebagai hukum positif (ius constitutum) dan tetap konstitusional sesuai dengan asas presumption of constitutionality. Namun demikian, apabila suatu pasal, norma, atau undang-undang yang berlaku positif tersebut kemudian dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka open legal policy pembentuk undang-undang berhenti (exhausted), selanjutnya memberi kesempatan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma dalam undang- undang yang muaranya dapat berupa norma yang diuji tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. Sehingga, implikasi konstitusi/hukumnya adalah norma yang semula merupakan kebijakan hukum terbuka, terlepas dari hasilnya, telah mendapat penilaian/uji konstitusionalitas oleh Mahkamah. Ihwal ini, telah menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji ulang dengan bersandar pada Konstitusi termasuk Pancasila, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia (HAM). Demikian pula, Mahkamah dapat menilai open legal policy apakah masih relevan ataukah tidak relevan sehingga menyebabkan adanya penafsiran baru (reinterpretasi) terhadap pasal, norma, frasa, atau undang-undang yang sedang diuji konstitusionalitasnya. Artinya, konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaannya namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebijakan hukum terbuka selama tidak menjadi objek pengujian undang-undang di Mahkamah. Dalam konteks demikian, Mahkamah harus tegas menerima atau menolak suatu perkara berdasarkan penilaiannya terhadap UUD 1945 in casu hukum dan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, Mahkamah dalam memutus perkara harus berdasarkan konstitusi, termasuk di dalamnya nilai-nilai Pancasila, prinsip keadilan, dan HAM, bukan justru menyerahkan keberlakuan norma yang dimintakan pengujian dikembalikan kepada pembentuk undang-undang dengan alasan open legal policy. Terlebih lagi, apabila DPR maupun Presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus hal dimaksud, maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi Mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan- akan berlindung dibalik open legal policy. Mahkamah sebagai lembaga peradilan seyogianya menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan perselisihan (disputes settlement), memberikan kepastian hukum yang adil, dan memberi solusi konstitusional, serta menuntaskan perbedaan tafsir dengan memberikan tafsir akhir berdasarkan konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Sehubungan hal tersebut di atas, pada dasarnya tidak salah anggapan beberapa sarjana hukum yang menilai bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negative legislator, bukanlah lembaga pembentuk undang-undang. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru jika Mahkamah Konstitusi disebut negative legislator. Namun, Mahkamah dapat saja beranjak dari posisi negative legislator dan memberi pesan (judicial order), pemaknaan baru, bahkan mengubah norma sekalipun yang dimintakan pengujian oleh warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya norma dalam undang-undang. Mahkamah Konstitusi akan beranjak dan mengambil langkah judisial apabila Mahkamah menilai norma dalam undang-undang melanggar konstitusi dan/atau keadilan, in casu Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan HAM. Meskipun demikian, tidak menjadikan Mahkamah serta merta atau dengan mudah menganulir norma yang telah berlaku, jelas, dan pasti. Mahkamah selalu berhati-hati dan senantiasa profesional dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara. Memperlakukan setiap perkara sama dengan memahami karakteristik masing-masing perkara yang sama atau tidak sama. Mahkamah akan bereaksi dan memutus suatu isu konstitusional jika terdapat norma, frasa, pasal, ayat, atau bagian undang-undang yang mencederai Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan/atau HAM guna meneguhkan Mahkamah sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Bahwa berkenaan dengan persyaratan usia minimal bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, apabila ditelusuri pada Risalah Perubahan UUD 1945, telah terdapat wacana memasukkan usia minimum Presiden dan Wakil Presiden ke dalam UUD 1945. Pada Rapat PAH I BP MPR Ke-19 tanggal 23 Februari 2000 dan Rapat PAH I Ke-26 tanggal 3 Maret 2000, terkait persyaratan Presiden, Anton Reinhart dari UKI dan Irma Alamsyah dari Kowani, yang menyatakan perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1): ”Presiden dan Wakil Presiden ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 40 tahun dan telah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal dalam negara Republik Indonesia.” Sementara itu, Soewarno, juru bicara F-PDIP pada Rapat PAH I Ke-34 tanggal 24 Mei 2000 mengusulkan agar Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan pemerintah Negara Jilid I, hal.159]. Pada akhirnya mayoritas fraksi sepakat memilih untuk tidak mencantumkan syarat usia minimal Presiden dan Wakil Presiden dalam perubahan UUD 1945. Hal ini cukup menunjukkan bahwa isu syarat minimal usia Presiden dan Wakil Presiden sudah mulai menjadi diskursus sejak awal perubahan UUD 1945 berlangsung;
[3.13.3] Bahwa selain presiden dan wakil presiden, jabatan lainnya yang didapatkan melalui pemilihan umum (elected officials) adalah gubernur, bupati, dan walikota, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota masuk ke dalam rumpun jabatan eksekutif, sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masuk ke dalam rumpun jabatan legislatif. Meskipun sama-sama masuk dalam rumpun jabatan eksekutif, namun ternyata terdapat perbedaan penentuan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden, dengan gubernur, bupati, dan walikota. Batas usia minimum calon Presiden dan Wakil Presiden adalah 40 tahun [vide Pasal 169 huruf q UU 7/2017], batas usia minimum calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun [vide Pasal 7 ayat (2) huruf (e) UU Pilkada], dan batas usia minimum calon Bupati dan Wakil Bupati serta calon Walikota dan Wakil Walikota adalah 25 tahun [vide Pasal 7 ayat (2) huruf (e) UU Pilkada]. Sedangkan batas usia calon anggota legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota justru disamakan yakni 21 tahun [vide Pasal 240 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 182 huruf (a) UU 7/2017];
Penentuan batas usia minimal bagi calon yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials) khususnya yang akan menduduki jabatan dalam rumpun eksekutif dan rumpun legislatif seyogianya didasarkan pada pertimbangan yang objektif, rasional, jelas, dan tidak bersifat diskriminatif serta tidak menciderai rasa keadilan. Pertanyaannya adalah apakah persyaratan berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden? Dalam hubungan ini, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007 menegaskan bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam menjalankan aktivitas pemerintahan, baik Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak bekerja sendiri. Presiden dan Wakil Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya di Pusat, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya di Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
[3.13.4] Bahwa apabila melihat perbandingan dengan negara lain, tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika pertama kali dilantik/menjabat antara lain, Gabriel Boric Presiden Chile diangkat di usia 35 tahun, Vjosa Osmani Presiden Kosovo diangkat di usia 38 tahun, dan Emmanuel Macron Presiden Prancis diangkat di usia 39 tahun. Bahkan negara Amerika Serikat yang seringkali menjadi rujukan dalam penerapan sistem pemerintahan yang demokratis, justru secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi Amerika Serikat sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana ditegaskan dalam Article II section 1 Konstitusi Amerika Serikat 1789 (rev. 1992). Demikian juga dengan beberapa negara Eropa mengatur batas usia minimal 35 tahun untuk dapat menduduki jabatan sebagai Presiden, misalnya di Austria 35 tahun [vide Article 60 (3) Konstitusi Austria 1920 (amendemen 2013)], di Polandia 35 tahun [vide Article 127 (3) Konstitusi Polandia 1997 (amendemen 2009)], di Ukraina 35 tahun [vide Article 103 Konstitusi Ukraina 1996 (amendemen 2019)], di Irlandia 35 tahun [vide Article 14 (4) Konstitusi Irlandia 1937 (amendemen 2019)].
Selain itu, beberapa negara di benua Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika juga secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi mereka masingmasing yakni sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima), selengkapnya sebagaimana dalam tabel sebagai berikut:
Sedangkan dalam konteks usia kepala pemerintahan di negara-negara dengan sistem parlementer, terdapat pula Perdana Menteri yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika dilantik/menjabat yaitu di antaranya Leo Varadkar Perdana Menteri Irlandia yang diangkat di usia 38 tahun, Dritan Abazovic Perdana Menteri Montenegro diangkat di usia 37 tahun, Sanna Marin Perdana Menteri Finlandia diangkat di usia 34 tahun, Jacinda Ardern Perdana Menteri New Zealand diangkat di usia 37 tahun, dan bahkan Sebastian Kurz yang diangkat menjadi Kanselir Austria di usia 31 tahun, serta negara dengan sistem monarki seperti Arab Saudi yang dipimpin oleh Pangeran Mohammed bin Salman yang diangkat pada usia 37 tahun. Artinya, secara komparatif dengan negara lain, tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden, dan Perdana Menteri yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika dilantik/menjabat. Seluruh data/informasi di atas, menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda (younger). Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 (empat puluh) tahun dapat saja, incertus tamen, menduduki jabatan baik sebagai Presiden maupun Wakil Presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat/setara;
[3.13.5] Bahwa berkenaan dengan apakah seseorang yang dipilih dalam pilkada (gubernur, bupati, dan walikota) termasuk dalam kategori “sepanjang memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu“, menurut Mahkamah penting untuk melihat kembali sejarah masuknya pilkada ke dalam rezim pemilu. Pada awalnya, sengketa atas hasil perselisihan hasil Pilkada adalah wewenang Mahkamah Agung yang kemudian dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- 073/PUU-II/2004. Selanjutnya, pada tahun 2013 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah mengatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang dalam memutus perselisihan hasil sengketa Pilkada. Hal itu disebabkan karena Mahkamah menilai rezim pemilu dengan pilkada adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian, dan agar tidak terjadinya kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil sengketa Pilkada serta belum terdapat undang-undang yang mengatur hal tersebut maka, penyelesaian perselisihan hasil sengketa Pilkada tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya, terkait perbedaan antara kedua rezim pemilihan di atas, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 26 Februari 2020, sebagaimana dimuat pada Sub-paragraf [3.15.1] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.15.1] ... bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan perihal keserentakan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilhan. Di antara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2) Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak yang bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden dapat diikuti juga dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan (7) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat....”
Selanjutnya berkenaan dengan “kewenangan penyelesaian perselisihan hasil sengketa Pilkada”, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022, sebagaimana dimuat pada Paragraf [3.20] dan Paragraf [3.21] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.20] Menimbang bahwa tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota.
[3.21] Menimbang bahwa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung serta tidak pula berada di bawah Mahkamah Konstitusi. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah Mahkamah Konstitusi, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, jelas bahwa kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil sengketa Pilkada menjadi kewenangan tetap Mahkamah Konstitusi. Sementara, badan peradilan khusus yang semula direncanakan untuk menyelesaikan sengketa pilkada menjadi tidak relevan lagi untuk dibentuk. Sehingga, terjadi pergeseran rezim penanganan penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikota dari sebelumnya merupakan rezim pilkada menjadi rezim pemilu. Andaipun sekiranya ada pemikiran dari kalangan di masyarakat yang masih berfikir memisahkan pemilu dengan pilkada, - quod non-, maka baik pemilu maupun pilkada adalah bagian dari ruang lingkup pengertian pemilu. Oleh karena itu, pilkada telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rezim pemilu. Dengan demikian, dalam perkara a quo, nomenklatur yang digunakan untuk pemilu adalah termasuk pilkada. Dengan demikian, pemilihan umum (pemilu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022, terdiri atas: (1) pemilihan anggota DPR; (2) pemilihan anggota DPD; (3) pemilihan presiden dan wakil presiden; (4) pemilihan anggota DPRD; (5) pemilihan gubernur dan wakil gubernur; (6) pemilihan bupati dan wakil bupati; dan (7) pemilihan walikota dan wakil walikota. Dalam perkara a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) adalah termasuk dalam pemilihan umum.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama sebagaimana yang didalilkan dan termuat dalam petitum permohonan a quo, yaitu apakah penambahan syarat alternatif, in casu “atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota” pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa mengingat batas usia ini tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, namun dengan melihat praktik di berbagai negara memungkinkan presiden dan wakil presiden atau kepala negara/pemerintahan dipercayakan kepada sosok/figur yang berusia di bawah 40 tahun, serta berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan RIS (30 tahun) maupun di masa reformasi, in casu UU 48/2008 telah pernah mengatur batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Sehingga, guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda atau generasi milenial untuk dapat berkiprah dalam konstestasi pemilu untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden, maka menurut batas penalaran yang wajar, memberi pemaknaan terhadap batas usia tidak hanya secara tunggal namun seyogianya mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta dalam kontestasi sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putera puteri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan, in casu sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, jika syarat Presiden dan Wakil Presiden tidak dilekatkan pada syarat usia namun diletakkan pada syarat pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials). Sehingga, tokoh/figur tersebut dapat saja, dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) karena terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat, publik atau kepercayaan negara. Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik Tahun 2022, terdapat sekitar 21,974 juta jiwa penduduk rentang usia 30-34 tahun, dan 21,046 juta jiwa penduduk rentang usia 35-39 tahun (Statistik Indonesia 2022, Badan Pusat Statistik, hlm. 91). Artinya, jika diletakkan pada rentang usia 30-39 tahun, terdapat setidaknya 43,02 juta penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan calon-calon pemimpin generasi muda, terlepas dari pengalaman yang mereka miliki dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan berpotensi besar. Hal ini berarti bahwa, secara a contrario, adanya batasan syarat Presiden dan Wakil Presiden berusia minimum 40 tahun berpotensi merugikan hak konstitusional generasi muda. Pentingnya generasi muda ikut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara termasuk juga mendapatkan kesempatan menduduki jabatan publik, in casu Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak saja sejalan dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini tapi juga merupakan konsekuensi logis dari bonus demografis yang dimiliki bangsa Indonesia. Setidak-tidaknya, keberadaan sumber daya generasi muda tidak terhalangi oleh sistem yang berlaku dalam kontestasi menuju pemilihan umum sebagai sarana demokrasi untuk mendapatkan pemimpin nasional. Figur generasi muda yang berpengalaman dalam jabatan elected officials sudah sepantasnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan tanpa memandang batas usia minimal lagi. Andaipun jabatan elected officials dicantumkan secara tegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi a quo, selain tidak dapat dikatakan bahwa norma jabatan elected officials dimaksud adalah inkonstitusional juga tentu saja tidak merugikan kandidasi bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Bahkan, pembatasan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden 40 tahun semata (an sich), menurut Mahkamah merupakan wujud perlakuan yang tidak proporsional sehingga bermuara pada terkuaknya ketidakadilan yang intolerable. Ketidakadilan yang intolerable dimaksud karena pembatasan demikian tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur/sosok generasi muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu, artinya terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat dalam pemilu yang pernah diikuti sebelumnya, seperti dalam pemilihan kepala daerah. Ihwal demikian, tentu saja menghalangi pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) untuk ikut berkontestasi sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden yang merupakan rumpun yang sama dengan jabatan elected officials lainnya. Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang intolerable dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena, kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dan jabatan elected officials dalam pemilu legislatif (anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD) yang pernah/sedang menjabat sudah sepantasnya dipandang memiliki kelayakan dan kapasitas sebagai calon pemimpin nasional. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, pada prinsipnya syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel.
Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, setiap warga negara memiliki hak pilih (right to vote), dan seharusnya juga memiliki hak untuk dipilih (right to be candidate), termasuk hak untuk dipilih dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pandangan demikian ini tidak salah, sesuai logika hukum dan tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan juga sejalan dengan pendapat sebagian kalangan yang berkembang dalam masyarakat. Apabila logika ini digunakan maka sudah barang tentu setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih (right to vote) dapat menggunakan kesempatan untuk diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dalam usia yang relatif muda dan selanjutnya menyerahkan pada preferensi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukannya. Menurut mahkamah, ihwal ini dipandang riskan apabila calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diletakkan pada kepemilikan hak pilih semata karena meskipun tidak salah dari sudut pandang konstitusi, namun tidak adil dari segi kepercayaan publik karena sosok/figur tersebut belum membuktikan diri pernah terlibat dalam suatu kontestasi pemilu. Artinya, tidak adil jika calon yang diajukan belum pernah mendapat kepercayaan rakyat untuk menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu. Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dari segi usia, untuk diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya didasarkan pada pembatasan usia dalam makna satuan angka/kuantitatif (an-sich), tetapi juga harus diberi ruang alternatif usia yang bersifat kualitatif berupa pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Terpenuhinya syarat alternatif demikian menunjukkan figur yang telah pernah dipilih oleh rakyat yang didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people), dipandang telah memenuhi prinsip minimum degree of maturity and experience serta sejalan dengan prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara adil, rasional dan akuntabel.
[3.14.2] Bahwa kekuasaan pemerintahan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi konstitusi (supremasi konstitusi) sehingga penyelenggaraan negara dan pemerintahan seharusnya dikelola menurut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam hubungannya dengan jabatan publik, perwujudan pemerintahan yang baik dapat terealisasi jika para pejabat negara telah memahami prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya, dan pola tindak pemerintahan yang demokratis, objektif, adil dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Terhadap hal demikian, Mahkamah menilai bahwa pengalaman yang dimiliki oleh pejabat negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam proses pemilihan umum. Pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun. Artinya, jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh/figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial. Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki atau pernah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden atau wakil presiden. Menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials), artinya tidak lagi diukur dari lamanya menjabat, tetapi figur dimaksud pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat elected officials yang dapat dibuktikan dengan surat keputusan pengangkatan atau pelantikan dalam jabatan dimaksud yang didasarkan pada hasil pemilu. Selanjutnya, apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut Mahkamah, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden bukan berarti tidak rasional, namun tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapapun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat debatable sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman masing-masing, sehingga penentuan batas usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden selain diletakkan pada batas usia (40 tahun), penting bagi Mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials), tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials) seperti penjabat atau pelaksana tugas dalam jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum dimaksud, karena jabatan appointed officials dimaksud tidaklah didasarkan pada jabatan yang dipilih melalui pemilu. Sedangkan, bagi figur tertentu atau pejabat publik yang memiliki kapasitas menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun tidak pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, maka figur tersebut memenuhi syarat usia jika telah berusia 40 tahun. Sehingga, menyandingkan usia 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu seperti Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota memenuhi unsur rasionalitas yang berkeadilan. Dengan demikian, dalam konteks kelayakan dan kepantasan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, pejabat demikian itu dapat dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi dalam jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum, di samping syarat berusia 40 (empat puluh) tahun.
Andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota), tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik [vide Pasal 6A ayat (2) UUD 1945], dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat [vide Pasal 6A ayat (1) UUD 1945]. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional berikutnya yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40 (empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan sejenisnya. Bagi pejabat “appointed officials” semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun. Menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 tahun, syarat tersebut tidak akan merugikan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Karena, syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 (empat puluh) tahun semata. Oleh karena itu, terdapat dua “pintu masuk” dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional. Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini. Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian, apabila salah satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3.14.3] Bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “... atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota”. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum pilihan/pengganti yaitu “ex aequo et bono” yang tertera dalam petitum permohonan Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo. Oleh karena itu, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta-merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berlaku sejak putusan ini selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK).
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, ternyata norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 7/2017.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan permasalahan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2017.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 15 Agustus 2023, pukul 14.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama yang didalilkan dalam permohonan a quo, yaitu apakah Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h bertentangan dengan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa untuk dapat menentukan ada atau tidaknya pertentangan norma dalam batang tubuh dengan penjelasan suatu norma, menurut Mahkamah, perlu dipahami terlebih dahulu substansi norma yang terkandung dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagai norma pokok dan kemudian dipersandingkan dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Persandingan tersebut dapat dilakukan baik dari sisi materi atau substansi maupun dari sisi teknik perumusan suatu penjelasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah menentukan salah satu kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam kampanye, baik oleh pelaksana, peserta, maupun tim kampanye. Larangan tersebut berupa menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk kampanye.
Secara historis, norma serupa sebelumnya telah diatur juga dalam Pasal 86 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 8/2012) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Penjelasan atas ketentuan norma Pasal 86 ayat (1) huruf h UU 8/2012 ternyata sama dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Lebih lanjut, dijelaskan pula dalam UU 8/2012 yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” pada ketentuan ini adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Sedangkan, sanksi bagi pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 299 UU 8/2012].
Selanjutnya, materi norma yang sama diatur pula dalam Pasal 84 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Namun dalam penjelasan hanya dijelaskan mengenai maksud ”tempat pendidikan” adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 270 UU 10/2008 ditegaskan ancaman pidananya jika melanggar larangan kampanye dimaksud, berupa pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 270 UU 10/2008].
Sebelum UU 10/2008, ternyata norma larangan dimaksud juga telah diatur dalam Pasal 74 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003) yang menyatakan, “Dalam kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Dengan penjelasan hanya untuk tempat pendidikan, dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu serta tidak menganggu proses belajar mengajar. Sekalipun terdapat pengecualiannya namun ditentukan pula sanksi yang dikenakan atas pelanggaran dimaksud yakni: peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye Pemilu melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan; atau penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain [vide Pasal 76 ayat (2) UU 12/2003]. Sedangkan, terkait dengan ancaman pidana atas pelanggaran penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan tersebut adalah berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) [vide Pasal 138 ayat (2) UU 12/2003]. Jika ditelusuri lebih jauh, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999), juga memuat norma larangan kampanye yang serupa, namun hanya terbatas pada larangan untuk menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah [vide Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999]. Ditegaskan pula dalam Penjelasannya bahwa adanya larangan ini dimaksudkan agar kampanye dapat berjalan dengan bebas, lancar, aman, tertib, serta tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa [vide Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU 3/1999]. Sebagai undang-undang yang dihasilkan di era awal reformasi yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu tahun 1999 rumusannya lebih singkat dibandingkan dengan undang-undang pemilu lainnya, bahkan tidak terdapat pengaturan sanksi pidana yang lengkap atas pelanggaran larangan Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999.
[3.15.2] Bahwa berdasarkan telaahan historis pengaturan larangan kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan telah diatur, paling tidak sejak era reformasi. Bahkan, telah pula diatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atas larangan tersebut. Namun, jika dicermati secara saksama norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang mengutip kembali norma Pasal 299 UU 8/2012 yang sama-sama menentukan larangan bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Bahkan, terhadap larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tersebut ditentukan sanksi yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 521 UU 7/2017]. Ketentuan pidana ini pun mengutip kembali rumusan yang diatur dalam Pasal 299 UU 8/2012. Masalahnya, apakah sanksi pidana tersebut dapat diterapkan secara efektif karena dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ditentukan adanya unsur pengecualian atas norma larangan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Selanjutnya, dijelaskan pula yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
[3.15.3] Bahwa berkenaan dengan adanya pengecualian dalam Penjelasan suatu undang-undang di luar norma pokok yang telah ditentukan, penting bagi Mahkamah untuk merujuk ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat dalam butir 176 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Ketentuan teknis tersebut telah memberikan panduan atau pedoman dalam merumuskan penjelasan, pengertian dan sekaligus fungsi penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Tidak hanya itu, butir 178 Lampiran II UU 12/2011 juga telah menentukan bahwa “penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam kaitan ini, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” telah menimbulkan kondisi pertentangan dengan materi muatan atau norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Misalnya, apabila dipelajari secara cermat frasa “dapat digunakan jika” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, secara leksikal frasa dimaksud mengandung pengertian pembolehan atas otoritas atau hak untuk melakukan sesuatu secara terbatas, padahal batas atau syarat tersebut telah ditentukan sebagai sebuah larangan. Oleh karena itu, apabila diletakkan dalam pemahaman materi pokoknya yang sifatnya memberikan larangan atau pembatasan untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintahan, tempat ibadah dan tempat pendidikan maka materi Penjelasan a quo sepanjang frasa yang dimohonkan para Pemohon adalah mengandung makna adanya pengecualian daripada sebagai sebuah penjelasan yang merupakan interpretasi resmi mengenai arti, ruang lingkup, dan implikasi dari materi norma pokok yang dijelaskannya. Frasa yang dimohonkan tersebut berbeda dengan penjelasan perihal yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi”.
Dalam konteks materi muatan suatu peraturan perundang-undangan, antara norma larangan dengan pengecualian sebenarnya mengandung maksud mengesampingkan norma pokoknya karena adanya sebuah klausa atau pernyataan yang mengaitkan pelaksanaan suatu norma dengan terjadinya suatu peristiwa atau kondisi tertentu pada waktu atau batas waktu tertentu di luar peristiwa atau kondisi pokok yang dikehendaki dalam norma larangan. Kedua kondisi tersebut sebenarnya adalah seimbang dan masing-masing seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah materi muatan dari norma pokok, bukan merupakan esensi penjelasan suatu norma. Materi muatan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 di atas secara jelas dan tegas melarang pelaksanaan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Terlebih, telah ditentukan pula sanksi pidana penjara dan/atau denda yang dijatuhkan bagi pihak-pihak yang melanggar larangan tersebut, di mana berpotensi ketentuan sanksi tersebut sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu, apabila terhadap norma yang memuat pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 a quo masih atau tetap diperlukan, seharusnya hal tersebut dimuat dalam batang tubuh UU 7/2017 sebagai norma tersendiri yang mengecualikan atas hal-hal yang dilarang selama kampanye, bukan diletakkan pada bagian Penjelasan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”, dengan penekanan pada anak frasa “dapat digunakan jika” justru menimbulkan ambiguitas dalam memahami dan menerapkan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang dalam pelaksanaannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, perihal perumusan norma pengecualian tersebut seharusnya diletakkan sebagai bagian norma batang tubuh UU 7/2017 karena merupakan bagian dari pengecualian atas larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan. Namun, karena kedua tempat tersebut dilarang sehingga Mahkamah perlu memasukkan sebagian dari pengecualian sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Pemuatan ke dalam norma pokok tersebut didasarkan pada ketentuan UU 12/2011, di mana penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, terlebih lagi jika penjelasan tersebut bertentangan dengan norma pokok. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, penting untuk memasukkan sebagian dari esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye. Oleh karena terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, meskipun inskontitusionalitas norma Pasal a quo tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun karena norma a quo berkaitan erat dengan penjelasan yang akan dinyatakan dalam amar putusan adalah inkonstitusional, maka untuk kepentingan kampanye pemilu, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Dengan demikian, terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 selengkapnya akan dimaknai sebagaimana dalam amar Putusan a quo.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah menyatakan frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, oleh karena terdapat sebagian materi Penjelasan yang dimasukkan ke dalam norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 maka penting bagi Mahkamah untuk memberikan pengecualian dalam norma pasal a quo sebagaimana yang akan dimuat dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, oleh karena amar putusan tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum permohonan a quo, menurut Mahkamah, pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan penjelasan pasal a quo sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Juli 2023, pukul 14.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materil KUHPerdata dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, Mahkamah berpendapat pokok permasalahan yang diajukan para Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 433 KUH Perdata, di mana para Pemohon berpendapat norma Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Berkenaan dengan dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut isu konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menguraikan hal-hal berkenaan dengan sejarah singkat, pengertian serta ruang lingkup berlakunya KUH Perdata di Indonesia.
[3.9.1] Bahwa KUH Perdata yang dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di Indonesia merupakan kodifikasi hukum perdata yang disusun di Negera Belanda. Proses penyusunan KUH Perdata tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon). Pengaruh dimaksud disebabkan karena Code Napoleon itu sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada saat itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna dan menjadi rujukan utama serta mewarnai kodifikasi KUH Perdata (BW) tersebut. KUH Perdata pada akhirnya secara konkret berhasil disusun oleh panitia yang diketuai Mr. J.M Kemper dengan sebagian besar isi bersumber dari Code Napoleon serta sebagian yang lain elaborasi dari hukum Belanda Kuno.
Secara faktual kodifikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun secara riil baru diberlakukan di Negeri Belanda pada 1 Oktober 1838, di mana pada waktu yang hampir bersamaan diberlakukan juga KUH Dagang (Wetboek van Koophandel atau WvK), peraturan susunan pengadilan Belanda (Rechterlijke Organisatie atau RO), dan ketentuan-ketentuan umum lainnya berkenaan dengan peraturan perundang-undangan Belanda (Algemene Bepalingen van Wetgeving atau AB), serta hukum acara perdata Belanda (Rechtsvordering atau Rv).
Bahwa lebih lanjut berdasarkan asas konkordansi, maka KUH Perdata Belanda dimaksud menjadi referensi atau “role model” KUH Perdata Eropa Kontinental yang akan diberlakukan di Indonesia (ketika itu masih di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda). Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana kodifikasi KUH Perdata di Indonesia selanjutnya “dimodifikasi” agar dapat mengakomodir kepentingan keperdataan di Hindia-Belanda (sekarang Republik Indonesia). Oleh karena itu, kodifikasi yang diharapkan tentunya memiliki persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia-Belanda dengan hukum dan keadaan di Belanda.
Bahwa proses kodifikasi yang harus dilakukan dengan berbagai penyesuaian, baik hukum maupun keadaan kedua negara, tidak dapat dilepaskan dari keadaan di Hindia-Belanda yang pada saat itu masih dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, hasil kodifikasi KUH Perdata di Indonesia merupakan “perkawinan” atau gabungan kondisi hukum di Belanda dan di Hindia-Belanda. Selanjutnya, kodifikasi tersebut pada akhirnya dapat diwujudkan berdasarkan asas konkordonansi yang sempit. Artinya, KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848.
Bahwa meskipun kodifikasi KUH Perdata telah diwujudkan, namun sifat berlaku KUH Perdata dimaksud masih mengalami kemajemukan yang disebabkan plural-nya golongan penduduk di Hindia-Belanda. Banyaknya varian sifat berlaku KUH Perdata disebabkan beberapa faktor yang memengaruhi, antara lain: Faktor etnis dan yuridis. Sementara itu, berkenaan faktor yuridis keberlakuan KUH Perdata berlaku dengan membagi penduduk Indonesia dalam 3 (tiga) jenis golongan sebagai berikut [vide Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)]:
a. Golongan Eropa;
b. Golongan timur asing (bangsa Tionghoa, India, dan Arab);
c. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli).
Bagi golongan warga negara yang termasuk pada masing-masing golongan tersebut berlaku dan tunduk pada KUH Perdata secara penuh dan sebagian lagi hanya pada bagian-bagian tertentu serta selebihnya lagi ada yang terikat dan tunduk hanya jika kepentingannya menghendaki.
[3.9.2] Bahwa secara doktriner pengertian hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan dalam masyarakat. Terminologi hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yang juga sering disebut dengan istilah hukum sipil, meskipun berkenaan dengan pengertian hukum sipil a quo kadang dipersepsikan sebagai bertentangan dengan hukum militer. Oleh karena itu, secara universal sebutan Hukum Perdata dipergunakan untuk memaknai seluruh peraturan berkaitan dengan hukum privat materiil tersebut.
Terkait dengan demikian luasnya pengertian hukum perdata, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda, antara lain:
1) Subekti S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
2) Sudikno Mertokusumo, S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum antarperorangan yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perorangan yang satu terhadap perorangan yang lain dalam pergaulan keluarga dan pergaulan masyarakat.
3) R Wirjono Prodjodikoro, S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah rangkaian hukum antara orang atau badan hukum yang satu dengan yang lain mengenai hak dan kewajiban.
4) L.J. Van Apeldoorn, berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan hukum yang obyeknya adalah kepentingankepentingan khusus dan yang masalahnya akan dipertahankan atau tidak, diserahkan kepada mereka yang berkepentingan.
Berdasarkan terminologi yang diuraikan sebelumnya dan penafsiran pengertian hukum perdata dari para ahli dimaksud, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara hak dan kewajiban orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain dalam pergaulan hidup masyarakat, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan/individu.
Sementara itu, berkaitan dengan ruang lingkup hukum perdata, juga terdapat pengertian yang berbeda, yaitu ruang lingkup hukum perdata dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian hukum perdata dalam arti luas dapat dijelaskan bahwa berkaitan dengan jangkauannya dapat meliputi seluruh peraturanperaturan yang terdapat dalam KUH Perdata, KUH Dagang, beserta peraturan undang-undang tambahan lainnya, seperti hukum agraria, hukum adat, hukum Islam, dan hukum perburuhan. Sedangkan, pengertian ruang lingkup hukum perdata secara sempit mengandung jangkauan meliputi seluruh peraturan-peraturan yang terdapat dalam KUH Perdata, yaitu hukum pribadi, hukum benda, meliputi pula hukum tentang harta kekayaan, hukum keluarga, hukum waris, hukum perikatan serta hukum pembuktian dan daluwarsa.
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Perdata ini dapat berbentuk tertulis, seperti yang dimuat dan diatur dalam KUH Perdata dan KUHD, serta peraturan perundang-undangan lainnya, dan dapat juga berbentuk tidak tertulis, seperti Hukum Adat. Demikian halnya berkenaan dengan pembagian bukunya. Di dalam KUH Perdata secara sederhana dan dalam tataran empiris dikenal Buku I yang mengatur berkenaan dengan Orang, Buku II yang mengatur berkaitan dengan Benda, Buku III yang berkenaan dengan Perjanjian, dan Buku IV yang berkaitan dengan Kadaluwarsa.
[3.10] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, berkaitan dengan isu konstitusionalitas ketentuan norma Pasal 433 KUH Perdata, Mahkamah mencermati Pasal 433 KUH Perdata a quo merupakan ketentuan yang terdapat pada bagian atau rangkaian dari KUH Perdata Bab XVII tentang Pengampuan yang terdiri dari Pasal 433 sampai dengan Pasal 462. Bab XVII itu sendiri mengatur mengenai subjek atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan, pemohon pengampuan, hukum acara atau prosedur penetapan pengampuan, akibat hukum pengampuan, tenggang waktu kewajiban pengampu, berakhirnya pengampuan, hukum acara atau prosedur pembebasan dari pengampuan, dan pengaturan mengenai anak dengan disabilitas mental.
Berkaitan dengan pengertian pengampuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 433 KUH Perdata a quo, jika merujuk pada terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio (cet. ke-30: 1999), selengkapnya memberi pengertian, bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Bahwa berkaitan dengan rujukan terjemahan KUH Perdata berkenaan dengan pengampuan dimaksud, Mahkamah menegaskan ada perbedaan antara terjemahan yang dipergunakan para Pemohon dengan terjemahan KUH Perdata yang dipergunakan oleh Mahkamah, sehingga terdapat perbedaan kutipan rumusan Pasal 433 KUH Perdata. Namun, perbedaan terjemahan demikian menurut Mahkamah tidak berpengaruh secara substansial, dan oleh karenanya terkait dengan rumusan Pasal 433 a quo Mahkamah akan merujuk pada KUH Perdata terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio sebagaimana telah diuraikan di atas, karena terjemahan a quo dinilai lebih luas dan komprehensif, sehingga sekaligus dapat diuraikan tentang muatan norma Pasal 433 KUH Perdata secara keseluruhan.
Lebih lanjut, berpijak dari rumusan pengertian pengampuan di atas, apabila diuraikan dengan mengaitkan hal-hal yang berhubungan dengan pengampuan, yaitu subjek hukum orang yang ditaruh di bawah pengampuan, pemohon pengampuan, hukum acara atau prosedur penetapan pengampuan, akibat hukum pengampuan, tenggang waktu kewajiban pengampu, berakhirnya pengampuan, hukum acara atau prosedur pembebasan dari pengampuan, dan pengaturan mengenai anak dengan disabilitas mental, maka secara garis besar dapat diuraikan, sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa apabila dicermati rumusan pengampuan menurut Mahkamah secara substansial terdiri dari dua “ayat” atau substansi yang berbeda, yaitu: 1) aturan mengenai orang dewasa yang dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”; dan 2) aturan mengenai orang dewasa yang boros.
Rumusan “ayat” atau substansi pertama, apabila dicermati terdiri dari beberapa unsur yang berlaku saling berkaitan dan bersifat kumulatif, yaitu:
1) setiap orang dewasa;
2) yang selalu berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”;
3) pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya;
4) harus ditaruh di bawah pengampuan.
Adapun “ayat” atau substansi kedua juga terdiri dari beberapa unsur yang bersifat kumulatif, sebagai berikut:
1) seorang dewasa;
2) karena keborosannya;
3) boleh juga;
4) ditaruh di bawah pengampuan.
Dari kedua rumusan demikian dapat dipahami bahwa dalam konteks orang yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”, baik kondisi tersebut bersifat permanen atau pun tidak permanen, maka terhadap subjek hukum bersangkutan harus (wajib) ditaruh di bawah pengampuan. Sementara itu, untuk orang dewasa karena keborosannya dapat ditempatkan di bawah pengampuan (tidak wajib).
[3.10.2] Bahwa ditinjau dari perspektif kepentingan hukumnya, pada subjek hukum orang yang di bawah pengampuan, dalam hal ini apabila merujuk pada konstruksi hukum dalam Pasal 433 KUH Perdata, adalah suatu kondisi hukum di mana kepentingan keperdataan seseorang diwakili/diurus oleh orang lain, yang di sisi lain seseorang yang kepentingannya diurus tersebut tidak lagi mempunyai hak untuk mengurus kepentingan keperdataannya sendiri. Dengan kata lain, di dalam konstruksi hukum pengampuan terdapat peralihan hak keperdataan dan kewajiban keperdataan dari pihak yang diampu kepada pihak yang mengampu, dengan catatan implementasi hak dan kewajiban demikian harus ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan pihak yang diampu. Oleh karena itu, konstruksi pengampuan yang dibangun KUH Perdata dimaksud tidak sekali-kali membolehkan adanya tindakan pengurusan oleh pihak pengampu yang ditujukan untuk kepentingan pribadi pihak pengampu. Batasan demikian dapat dilihat atau dicermati dalam rumusan Pasal 454 KUH Perdata, yang selengkapnya menyatakan, “Pendapatan seorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, harus teristimewa diperuntukkan guna meringankan nasibnya dan mengikhtiarkan sembuhnya”.
[3.11] Menimbang bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, dengan merujuk pada rumusan Pasal 433 KUH Perdata itu sendiri, merupakan istilah yang merujuk pada suatu kondisi abnormalitas pikiran atau abnormalitas mental, maupun abnormalitas intelektual. Artinya, secara rata-rata (statistika) kondisi demikian hanya terjadi pada sebagian kecil orang, dan karenanya dianggap sebagai abnormalitas. Abnormalitas demikian dalam perspektif hukum berpotensi memunculkan gangguan dalam lalu lintas hukum maupun lalu lintas kepentingan kemasyarakatan, sehingga hukum perlu mengaturnya secara khusus. Sebab, kecakapan bertindak secara hukum khususnya dalam lalu lintas kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah sesuatu yang fundamental, karena di sanalah terdapat bentuk tanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan, terlebih yang terkait dengan hak/kepentingan hukum pihak lain atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengalami kondisi tersebut.
Lebih lanjut, arti atau makna ketiga istilah tersebut sulit untuk diketahui dengan pasti karena ketiga istilah demikian bukan istilah ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan saat ini. Ketiga istilah demikian dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari namun dengan makna yang tidak tunggal, bahkan penggunaannya sudah mulai ditinggalkan karena dirasa kasar dan bertentangan dengan norma kesusilaan atau kesopanan. Meskipun Mahkamah meyakini bahwa pada masa ketika Burgerlijk Wetboek diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai KUH Perdata dan diserap sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia, pilihan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” tidak dimaksudkan untuk memunculkan nuansa kasar dan merendahkan martabat subjek hukum tertentu.
Namun, persoalan yang muncul saat ini secara faktual tidak sekadar berkenaan dengan arti atau istilah dari kata-kata dimaksud, akan tetapi lebih dari itu adalah ada atau tidaknya “manipulasi” atas hak subjek hukum, yang karena berada di bawah pengampuan haknya menjadi hilang atau dikurangi, bahkan dapat dikatakan terlanggar hak asasi manusia-nya. Hal demikian termasuk yang antara lain dipersoalkan para Pemohon. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah menjawab isu konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon penting untuk menguraikan pemaknaan istilah-istilah dimaksud.
[3.11.1] Bahwa saat ini, terhadap tiga istilah tersebut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa (GPU: Edisi IV Cet. Pertama, 2008), hanya mempunyai penjelasan atas dua di antaranya, yaitu: istilah “dungu” yang diartikan sebagai “sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh”. Kemudian istilah “mata gelap” yang diartikan sebagai “tidak dapat berpikir terang; mengamuk (karena marah sekali); gelap mata”. Sedangkan terhadap istilah “sakit otak” KBBI tidak menyajikan arti secara khusus (vide KBBI Pusat Bahasa, hlm. 347 dan hlm. 886).
Selanjutnya, dalam literatur hukum perdata klasik, antara lain seperti karya R Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin berjudul Hukum Orang dan Keluarga (Alumni: Cet-V, 1986), sebagaimana dikutip oleh Akhmad Budi Cahyono, ahli yang dihadirkan dalam persidangan, dapat sedikit memberikan pemahaman mengenai makna istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Meskipun memang tidak menguraikan lebih detail dari arti istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, namun buku tersebut menjelaskan berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 433- 434 KUH Perdata, yang menyebutkan adanya tiga alasan pengampuan, yaitu:
1) keborosan (verkwisting);
2) lemah pikiran (zwakheid van vermogens);
3) kekurangan daya berpikir: sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan razernij (dungu disertai dengan mengamuk).
Bahwa dari penjelasan sebagaimana diuraikan tersebut, serta dengan membandingkan penggunaan istilah tersebut sehari-hari dalam tataran empirik, terutama di lapangan hukum keperdataan, Mahkamah memperoleh pemahaman ketiga istilah tersebut tidak lain mengacu pada kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yaitu ketidakmampuan pikiran untuk melakukan analisis, kemudian mengambil keputusan atau bertindak secara layak. Layak dalam arti bahwa orang yang melakukan analisis, lalu mengambil keputusan atau bertindak tersebut mampu memahami sepenuhnya (dan bersedia menerima) konsekuensi yang akan timbul dari keputusan atau tindakannya.
Meskipun terhadap alasan keborosan mempunyai konsekuensi hukum sendiri, artinya akibat hukum bagi orang yang berada dalam kondisi tersebut, dapat ditempatkan di bawah pengampuan yang tidak bersifat imperatif, namun berkenaan alasan-alasan pengampuan dimaksud dapat saja mempunyai makna kumulatif. Oleh karena itu, antara alasan yang satu dengan alasan yang lainnya dalam ketiga kategori tersebut menjadi saling berkaitan dan melengkapi.
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang oleh Mahkamah telah dipertimbangkan di atas, yang mana hal tersebut mempunyai kesamaan karakter dengan istilah disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, Mahkamah perlu memberikan catatan khusus. Selain secara substansial istilah-istilah dimaksud mengandung persoalan yang terkait dengan subjek hukum yang merasa “diambil” hak-haknya terkait kemampuan untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum, di sisi lain secara etika dan budaya istilah-istilah tersebut dipandang tidak lazim lagi dipergunakan karena secara konotatif merendahkan harkat dan martabat seseorang. Oleh karena itu, Mahkamah memandang penting dan relevan untuk mengaitkan isu “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata a quo dengan pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang secara substansial saat ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016), sebagai wujud kehadiran negara untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap para penyandang disabilitas. Adapun yang terkait dengan disabilitas a quo, rumusan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 menerangkan bahwa:
“Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik.”
Selanjutnya penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, terutama penjelasan untuk huruf b dan huruf c, menerangkan sebagai berikut:
“Huruf b
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.”
[3.11.3] Bahwa dengan berpijak pada ketentuan norma Pasal 4 UU 8/2016 dan penjelasannya tersebut secara esensial tampak adanya relevansi, bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang ada di dalam KUH Perdata bertalian erat bukan hanya dengan pengertian disabilitas mental, namun juga dengan pengertian disabilitas intelektual. Relevansi dimaksud tidak lain disebabkan antara lain karena disabilitas mental maupun disabilitas intelektual keduanya bermuara pada suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk melakukan analisis dan membuat keputusan, atau dengan kata lain seseorang tidak mampu untuk secara layak mempertimbangkan akibat/risiko dari suatu tindakan yang dilakukannya. Di samping itu, pada sisi lain istilah disabilitas mental yang disebutkan dalam UU 8/2016 mempunyai cakupan yang luas, namun hanya sedikit yang dicontohkan. Hal demikian terlihat dari penggunaan istilah “antara lain” pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016 menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.”
[3.11.4] Bahwa berdasarkan hasil komparasi di atas dapat disimpulkan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” hanya bagian dari banyaknya kondisi yang termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menurut UU 8/2016. Sementara itu, istilah lain yang mengarah pada kesamaan makna dengan disabilitas mental adalah “gangguan jiwa” atau “gangguan mental” yang menjadi subjek ilmu kedokteran jiwa yang pada hakikatnya masih beririsan pula dengan pengertian islilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 433 KUH Perdata serta pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksud dalam UU 8/2016. Pengertian “gangguan jiwa”, merujuk pada Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM 5, yang disusun Rusdi Maslim (Bagian Kedokteran Jiwa FK UAJ: Cet-II, 2013), adalah:
“Sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat”.
Oleh karena itu, terkait dengan pengertian gangguan jiwa ini pun Mahkamah berpendapat terdapat relevansi, meskipun masing-masing mempunyai bobot dan dampak yang berbeda, terlebih jika dikaitkan dengan kemampuan atau kecakapan seseorang untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum terutama dalam lalu lintas kepentingan hak dan kewajiban keperdataan.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menyamakan pengertian “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” sebagai bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dan sebaliknya, dalam konteks perkara a quo akan membawa konsekuensi yuridis berupa menyamakan pula akibat hukum antara orang dengan kondisi “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dengan orang-orang dengan kondisi lain selama masih termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU 8/2016.
Kesimpulan Mahkamah demikian juga didasarkan pertimbangan logika yang secara vice versa mengarahkan bahwa orang-orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual selain kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, akan dapat ditaruh pula di bawah pengampuan. Padahal, sekali lagi, jenis disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, dampak hukum berupa penyamaan konsekuensi hukum yang demikian tentu bukan hal yang diinginkan, akan tetapi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
[3.12.3] Bahwa lebih lanjut menurut Mahkamah, konstruksi pengampuan secara prima facie masih diperlukan di Indonesia, namun tidak semua orang dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual perlu diletakkan di bawah pengampuan apalagi dipersamakan begitu saja dengan orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Terlebih lagi, bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang kadang-kadang berada dalam kondisi baik atau cakap secara hukum.
Seperti telah diuraikan di atas, dampak penyamaan antara istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dengan istilah “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” dapat mengakibatkan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual semua kategori dapat, bahkan harus, ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana esensi yang terdapat dalam Pasal 433 KUH Perdata. Oleh karena itu, untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan demikian, Mahkamah perlu menegaskan bahwa secara kategoris, istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” merupakan bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Oleh karena itu, orang yang menurut KUH Perdata dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” harus diperlakukan sama sebagaimana yang terdapat dalam UU 8/2016. Sementara itu, di sisi sebaliknya, orang yang menurut UU 8/2016 termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual tidak semuanya harus dikenai tindakan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 433 KUH Perdata.
[3.12.4] Bahwa permasalahan pengampuan yang disebabkan oleh kondisi “dungu”, “sakit” otak”, dan “mata gelap” yang bersumber pada Pasal 433 KUH Perdata, yang menjadi bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksud dalam UU 8/2016, adalah sedemikian kompleks. Oleh karena itu, seandainya di kemudian hari seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian secara komprehensif, terutama bidang psikologi dan psikiatri, terdapat kondisi baru yang memengaruhi derajat kecakapan (atau ketidakcakapan) orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, misalnya ditemukan terapi tertentu, maka penyerapan perkembangan keilmuan demikian ke dalam wilayah hukum sangat terbuka. Terkait dengan perkembangan demikian, pembentuk undang-undang mempunyai kewenangan untuk menambah dan/atau mengurangi kategori orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang dapat diletakkan di bawah pengampuan.
[3.13] Menimbang bahwa ketentuan mengenai pengampuan, selain diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata juga diatur dalam Pasal 32 juncto Pasal 33 UU 8/2016. Kedua ketentuan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 433 KUH Perdata
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Pasal 32 UU 8/2016
“Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan negeri”.
Berdasarkan uraian di atas, khususnya dalam penyandingan muatan ketentuan norma yang terkait dengan pengampuan, Mahkamah menyampaikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut:
Dengan demikian, setelah Mahkamah mencermati persandingan dimaksud, terlihat bahwa Pasal 433 KUH Perdata dan Pasal 32 UU 8/2016 mengatur secara berbeda konsekuensi hukum bagi orang yang termasuk kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”. Atau dengan kata lain, terdapat ketidakselarasan konsekuensi yuridis antara kedua pasal dimaksud.
[3.14] Menimbang bahwa selain kedua undang-undang tersebut, yaitu KUH Perdata dan UU 8/2016, terdapat setidaknya satu undang-undang yang juga mengatur mengenai disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yaitu UndangUndang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU 18/2014). Namun, di dalam UU a quo tidak diatur mengenai tindakan hukum berupa pengampuan bagi penyandang disabilitas mental, yang di dalam UU 18/2014 disebut dengan istilah “Orang Dengan Gangguan Jiwa” (ODGJ). Oleh karena itu, di dalam pertimbangan hukum ini keberadaan UU 18/2014 tidak turut dipertimbangkan.
Lebih lanjut, dalam rezim Pasal 433 KUH Perdata, orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap” harus ditaruh di bawah pengampuan. Dengan kata lain, jika ada permohonan berkenaan dengan pengampuan pengadilan negeri harus menetapkan pengampuan bagi seorang yang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, tanpa pengadilan mempunyai pilihan lain.
Sementara itu, pada rezim Pasal 32 (juncto Pasal 33) UU 8/2016, orang dengan ketiga kategori tersebut (yang secara umum termasuk sebagai bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual) tidak harus ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan dapat menyatakan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual tersebut tidak cakap dan karenanya baru yang bersangkutan diwakili kepentingannya. Fakta hukum dalam UU 8/2016 a quo membawa makna bahwa tidak semua penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual harus ditaruh di bawah pengampuan/perwakilan. Artinya, ada pilihan bagi pengadilan negeri untuk menggunakan kewenangannya untuk menolak permohonan pengampuan bagi seseorang penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, karena seseorang yang dimintakan untuk ditempatkan di bawah pengampuan tersebut ternyata cakap bertindak dan bertanggung jawab secara hukum.
[3.15] Menimbang bahwa untuk lebih memahami secara komprehensif, letak perbedaan antara kedua norma antara Pasal 433 KUH Perdata dan Pasal 32 UU 8/2016, harus pula diingat bahwa istilah penyandang disabilitas yang disebutkan dalam Pasal 32 UU 8/2016 berada pada konteks yang luas, yang menurut Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 meliputi disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, serta disabilitas sensorik. Di samping itu, UU 8/2016 juga menegaskan tentang masing-masing kategori tersebut pada bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, yang berdasarkan fakta hukum di atas, Mahkamah berpendapat penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagiannya dapat “diidentikkan” dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 433 KUH Perdata “hanya” fokus pada kondisi disabilitas dan implikasi disabilitas yang berupa “dungu”, “sakit otak”, serta “mata gelap”. Terlebih, sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada pertimbangan hukum sebelumnya, bahwa orang dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dapat dikategorikan sebagai bagian penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut, dalam hal terdapat konflik norma antara norma KUH Perdata dengan norma UU 8/2016, maka berlaku asas lex posterior derogate legi priori dan karena KUH Perdata bersifat lebih umum maka berlaku pula asas lex specialis derogate legi generali. Dalam konteks kedua asas yang menjadi solusi konflik norma dimaksud, UU 8/2016 merupakan lex posterior dan lex specialis. Sementara KUH Perdata merupakan legi priori dan legi generali. Hal demikian sebagian sesuai dengan pendapat DPR dalam keterangannya yang disampaikan di persidangan (vide Keterangan DPR, bertanggal 23 November 2022, hlm. 10-11).
Bahwa di samping itu, perlu juga dikaitkan dengan semangat dalam UU 8/2016 yang lebih mengakomodasikan esensi etika, harkat serta martabat daripada subjek hukum yang diatur dalam UU 8/2016. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pembacaan atas Pasal 433 KUH Perdata harus diselaraskan dengan ketentuan Pasal 32 UU 8/2016 yang berperan sebagai lex posterior dan lex specialis. Dengan demikian, pemaknaan kedua rezim ketentuan norma a quo harus saling melengkapi esensi perlakuan terhadap orang yang dalam kondisi “dungu”, “sakit otak” dan “mata gelap” serta penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, baik di dalam menilai kecakapan dalam bertindak dan bertanggung jawab secara hukum, maupun dalam perlindungan hak-hak keperdataannya.
Bahwa berdasarkan uraian berkenaan dengan dua peraturan perundangundangan di atas, Mahkamah menemukan suatu konstruksi hukum bahwa orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, yang bersangkutan kadangkadang berada dalam keadaan baik atau cakap. Artinya, ada saatnya orang dalam ketiga kategori demikian dipandang cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual mempunyai hak keperdataan dengan cara memilih atau mewakilkan kepentingan keperdataannya baik di dalam maupun di luar pengadilan (vide Pasal 9 huruf h UU 8/2016). Artinya, yang bersangkutan dapat bertindak sendiri untuk memilih maupun mewakilkan hak-hak keperdataannya.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah kedua norma tersebut dapat dipertemukan dengan cara menyesuaikan pemaknaan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata. Akan tepat apabila makna kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata merujuk pada makna kata “dapat” dalam Pasal 32 UU 8/2016. Artinya, setelah adanya Pasal 32 UU 8/2016 maka Pasal 433 KUH Perdata dimaknai bahwa bagi/terhadap setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, baik permanen atau pun sementara, pengadilan negeri mempunyai pilihan apakah akan menetapkan yang bersangkutan berada di bawah pengampuan atau tidak, sepanjang sikap pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada fakta hukum di persidangan, khususnya yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUH Perdata. Pengadilan negeri dapat berkesimpulan bahwa orang yang dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan apabila yang bersangkutan terbukti dalam keadaan baik atau cakap, dan mampu bertindak serta bertanggung jawab secara hukum, maka permohonan pengampuan tidak beralasan untuk dikabulkan. Sedangkan jika fakta hukum membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu pemohon terbukti dalam keadaan tidak baik atau tidak cakap, pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan pengampuan tersebut.
[3.17] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menegaskan penyesuaian atau penyelarasan kedua norma yang terdapat dalam KUH Perdata dengan yang terdapat dalam UU 8/2016, terlebih dahulu Mahkamah akan menguraikan pengertian pengampuan (curatele) atau istilah lain yang senafas dengan itu. Pengampuan secara umum dimaknai sebagai penempatan seseorang di bawah perwakilan karena seseorang dimaksud oleh pengadilan dianggap tidak cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum atas namanya sendiri dalam lalu lintas hukum, khususnya berkaitan dalam ruang lingkup keperdataan.
Bahwa secara doktriner, orang yang ditempatkan di bawah pengampuan akan disebut sebagai terampu atau curandus, sementara orang yang mewakili disebut sebagai pengampu atau curator. Dalam konteks perkara a quo, yaitu pengujian Pasal 433 KUH Perdata, sudah tentu makna pengampuan merujuk pada pengampuan di bidang keperdataan, khususnya terkait dengan orang, yang berkenaan dengan hak-hak privatnya. Oleh karena itu, seandainya terdapat konsep pengampuan di wilayah non keperdataan, hal demikian membutuhkan kajian yang terpisah dan bukan bagian dari pertimbangan hukum putusan a quo.
[3.17.1] Bahwa di dalam konsep pengampuan terkandung dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah pembatasan hak, sementara dimensi yang kedua adalah perlindungan hak. Bagi pihak yang dimohonkan/dimintakan untuk diampu, apalagi yang sudah dinyatakan ditaruh di bawah pengampuan (curandus), in casu penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dimensi yang dirasakan dominan adalah pembatasan hak. Terhadap hal a quo, Mahkamah dapat memahami munculnya nuansa dominasi pembatasan hak ini karena disebabkan adanya ketidakseimbangan derajat, di mana curandus memang dapat dikatakan tidak lagi mempunyai hak apapun untuk menentukan nasibnya sendiri.
Bahwa kewenangan secara mandiri terhadap yang bersangkutan sebagai manusia, orang, atau subjek hukum, menjadi hilang, sehingga semua hal terkait kepentingan yang bersangkutan akan diputuskan oleh orang lain, yang tentu saja orang lain ini secara alamiah tidak mampu secara utuh memahami dan merepresentasikan dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan atau isi hati curandus. Namun demikian, secara seimbang harus dipahami dan diakui bahwa dalam keseharian benar-benar terdapat orang-orang yang derajat disabilitasnya (secara mental dan/atau intelektual) tidak memungkinkan untuk melakukan semua hal secara mandiri. Bagi orang dengan derajat disabilitas yang demikian akan lebih terlindungi hak-haknya manakala yang bersangkutan dibantu dalam mempertimbangkan dan membuat keputusan serta bertindak yang menyangkut kepentingannya.
Bahwa oleh karena itu, berangkat dari perspektif demikian menurut Mahkamah pengampuan mempunyai dimensi lain yaitu sebagai upaya perlindungan hak terutama dalam hubungan hukum, yang setidaknya salah satu pihak dalam hubungan itu adalah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Suatu hubungan hukum, sebagaimana relasi sosial pada umumnya, membutuhkan jaminan kepastian sehingga para pihak dalam hubungan hukum dapat memprediksi hasil, manfaat, dan/atau sekaligus akibat dalam hubungan hukum dimaksud.
[3.17.2] Bahwa bagi pihak yang bukan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, perlindungan hukum dibutuhkan untuk menghilangkan kekuatiran bahwa hubungan hukum yang mereka lakukan kelak di kemudian hari akan batal demi hukum, atau setidaknya tidak mempunyai nilai eksekusi karena pihak yang berlawanan tidak mempunyai kapabilitas rasional. Sementara itu, dari sisi penyandang disabilitas, apabila yang bersangkutan dibebaskan memutuskan dan bertindak sendiri, selalu terdapat potensi yang bersangkutan dimanipulasi atau dimanfaatkan kelemahan mental dan/atau intelektualnya oleh pihak yang melakukan hubungan hukum dengannya.
Bahwa jika hal demikian yang terjadi, maka hukum dapat dikatakan telah kehilangan perannya sebagai pelindung hak dan penjamin kesetaraan. Padahal jaminan akan kesetaraan dalam suatu lalu lintas hukum keperdataan bukan hanya cita hukum, melainkan amanat Konstitusi sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pada titik itulah Mahkamah memandang lembaga pengampuan bukan berarti menghalangi atau menghilangkan kemandirian seseorang, justru sebagai sarana penguatan (semacam “affirmative action”) guna menyejajarkan kembali penyandang disabilitas dengan non penyandang disabilitas dalam hubungan hukum keperdataan, yang berpotensi menimbulkan kerugian yang bersifat materiil dan melibatkan kepentingan para pihak yang berada dalam wilayah keperdataan.
[3.17.3] Bahwa, sekali lagi, bagi Mahkamah justru tidaklah memberikan perlindungan hukum manakala seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada derajat yang serius, kemudian dibiarkan melakukan semuanya sendirian walaupun dengan alasan menghargai hak yang bersangkutan untuk mandiri. Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 menegaskan hak-hak yang demikian, selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 28G ayat (1)
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28H ayat (2)
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal 28H ayat (4)
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Bahwa dalam kaitannya dengan pertimbangan demikian, bagi Mahkamah lembaga pengampuan tetap diperlukan selama penekanannya adalah penghargaan, pensejajaran, sekaligus perlindungan bagi semua pihak yang terkait dengan kondisi disabilitas mental atau intelektual seseorang. Pihak-pihak dimaksud tak lain adalah penyandang disabilitas itu sendiri serta orang lain yang mempunyai atau setidaknya akan mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang akan terdampak dengan adanya hubungan hukum keperdataan yang bersangkutan.
[3.18] Menimbang bahwa bentuk pengampuan itu sendiri, seperti yang dipraktikkan sebagai keharusan sebagaimana diperintahkan Pasal 433 KUH Perdata, dewasa ini dianggap “out of date” dan mendapatkan penentangan karena dinilai memanipulasi hak-hak keperdataan penyandang disabilitas yang diampu (curandus). Dari pendapat beberapa ahli serta pihak yang didengar Mahkamah dalam persidangan, serta penelusuran berbagai literatur, Mahkamah mengelompokkan berbagai pendapat terkait hal tersebut dalam tiga kelompok besar. Pertama, menyatakan pengampuan tidak lagi relevan sehingga lembaga pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata harus dihapuskan. Kedua, menyatakan pengampuan masih relevan, sehingga lembaga pengampuan dalam Pasal 433 KUH Perdata tetap dipertahankan. Ketiga, menyatakan lembaga pengampuan masih diperlukan namun harus diposisikan sebagai pilihan terakhir (the last resort).
[3.18.1] Bahwa terhadap ketiga pendapat demikian, menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, peran lembaga pengampuan sebagai sarana perlindungan hukum masih dibutuhkan hingga saat ini. Demikian halnya, apabila dikaitkan dengan beberapa konsep alternatif yang ditawarkan para ahli tersebut, seperti pendampingan –di mana pendamping memberikan pertimbangan manakala penyandang disabilitas membutuhkan namun pembuatan keputusan tetap di tangan penyandang disabilitas–, menurut Mahkamah di satu sisi memang lebih menghargai nilai-nilai derajat kemanusiaan terhadap penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Namun, konsep alternatif tersebut tidak mampu menjawab kebutuhan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak manakala penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual bersepakat melakukan atau membangun hubungan keperdataan dengan orang/pihak lain.
Terlebih lagi, juga dimungkinkan adanya kesulitan berkenaan dengan tata cara pengambilan keputusan serta objektivitas atau rasionalitasnya, manakala suatu hal diputuskan berdasarkan keadaan bersangkutan yang sedang tidak cakap mempertimbangkan dan mengambil keputusan mandiri. Secara sederhana dapat dideskripsikan ketika penyandang disabilitas melakukan kesalahan dalam mitigasi risiko karena kekurangan atau kelemahan kondisi mental dan/atau kondisi intelektual. Hal demikian tentunya akan mempersulit tuntutan pertanggungjawaban atas konsekuensi yang ditimbulkan. Demikian pula terhadap subjek hukum yang harus bertanggung jawab, serta hal-hal yang dapat dituntut sebagai akibat yang ditimbulkan, sekalipun hubungan hukum yang terjadi, misalnya, berkenaan dengan perjanjian yang pada hakikatnya merupakan suatu kesepakatan. Bahkan, dalam perspektif pertanggungjawaban pidana, tanpa bermaksud menjadikan hukum pidana sebagai acuan dalam pertimbangan perkara a quo, kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual merupakan faktor signifikan dalam pengenaan atau penjatuhan pidana. Lebih dari itu dapat dikatakan bahwa kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dalam konteks hukum pidana dapat menjadi faktor bagi alasan pemaaf dan/atau penghapus pertanggungjawaban pidana.
[3.18.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum demikian, menurut Mahkamah penghilangan atau penghapusan lembaga pengampuan dari Pasal 433 KUH Perdata justru dapat menjadi penyebab berkurangnya perlindungan hukum bagi orang atau subjek hukum yang mengalami kondisi “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang merupakan bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Lebih lanjut, meskipun KUH Perdata merupakan hukum peninggalan era kolonial, yang citranya lekat dengan penjajahan dan penindasan hak asasi manusia, Mahkamah tidak memungkiri bahwa semangat pengampuan yang diusung KUH Perdata dalam keadaan-keadaan tertentu masih relevan untuk diimplementasikan guna melindungi hak-hak keperdataan.
Oleh karena itu, Mahkamah menegaskan terhadap penerapan lembaga pengampuan demikian, secara berkesinambungan dilakukan evaluasi, dan untuk itu Mahkamah memberikan catatan bahwa penerapan pengampuan secara longgar/mudah tanpa disertai pedoman jelas, berpotensi semakin memberatkan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, terlebih jika hal tersebut dapat meringankan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Berdasarkan hal demikian, pengadilan negeri sebagai lembaga yang berwenang menetapkan pengampuan harus benar-benar cermat dan hati-hati di dalam memberikan putusan/ketetapan atas permohonan pengampuan. Sebagaimana telah Mahkamah tegaskan sebelumnya, penjatuhan putusan/ ketetapan dimaksud harus benar-benar didasarkan pada fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, termasuk yang paling esensial adalah memperhatikan hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUH Perdata.
[3.18.3] Bahwa sebenarnya seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang tidak permanen dan sedang dalam keadaan cakap, tetap mempunyai kebebasan memilih apakah akan menggunakan skema pengampuan, skema pendampingan, atau bahkan skema lain yang sudah dikenal dan dipraktikkan di luar wilayah hukum keperdataan. Sebab, keputusan atas diri atau kehendak pribadi subjek hukum dalam wilayah keperdataan tergantung dari kepentingan diri pribadi yang bersangkutan. Sementara, bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang permanen, sekali lagi setelah melalui pembuktian yang ketat, pengadilan tetap terikat untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan ditaruh di bawah pengampuan serta, setelah melalui pembuktian yang ketat pula, menetapkan atau menunjuk pengampu (curator) yang benar-benar mampu dan dapat bertanggung jawab mengurus kebutuhan yang tidak boleh merugikan pihak terampu (curandus).
[3.19] Menimbang bahwa Mahkamah pada satu sisi dapat memahami adanya kekuatiran beberapa pihak akan potensi penyalahgunaan pengampuan sehingga merugikan pihak terampu, dan di sisi lain menguntungkan pribadi pihak pengampu dan/atau pihak lainnya. Menurut Mahkamah potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan memang ada, namun potensi demikian tidak lantas mengakibatkan lembaga pengampuan menjadi tidak diperlukan lagi. Di samping itu, untuk mengurangi bahkan menutup potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan, Mahkamah menegaskan bahwa prosedur atau hukum acara pengampuan yang diatur di dalam KUH Perdata, UU 8/2016, dan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan a quo, permohonan pengampuan harus diperiksa secara ketat oleh lembaga peradilan yang menangani permohonan pengampuan. Dengan demikian, pelibatan ahli di bidang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menjadi prosedur wajib dalam perkara pengampuan untuk memastikan (menegakkan diagnosis) bahwa penyandang disabilitas yang dimohonkan diampu benar-benar dalam kondisi tidak cakap untuk berpikir dan bertindak secara wajar, sehingga pengadilan mempunyai landasan yang kuat untuk menetapkan apakah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dimaksud tidak cakap hukum.
Di samping itu, perubahan makna Pasal 433 KUH Perdata seperti telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. Pengadilan negeri tidak lagi “harus” menetapkan seseorang dimaksud ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan negeri dapat memutuskan mekanisme lain untuk membantu seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual terutama yang tidak permanen, misalnya menetapkan suatu pendampingan bagi yang bersangkutan.
[3.20] Menimbang bahwa dalam petitumnya para Pemohon memohon agar Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Posita para Pemohon, jika dicermati dan dikaitkan dengan posita yang diterangkan secara lisan, serta diperkuat oleh keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, terlihat menghendaki supaya Mahkamah menghapus lembaga pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata. Namun di sisi lain, dalam petitumnya para Pemohon justru tidak meminta dihapuskannya atau diubahnya lembaga pengampuan, melainkan meminta agar istilah “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Oleh karena itu, seandainya Mahkamah mengikuti petitum para Pemohon dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, maka rumusan Pasal 433 KUH Perdata akan tetap seperti sediakala tanpa perubahan sama sekali, yang artinya lembaga pengampuan tetap ada dan bersifat imperatif.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 433 KUH Perdata harus diberikan penafsiran ulang dengan menyelaraskannya dengan semangat yang terdapat dalam UU 8/2016 khususnya Pasal 32 UU 8/2016. Penafsiran ulang demikian bertujuan agar dapat dipastikan terwujudnya efek atau dampak upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan tetap mempertahankan lembaga pengampuan yang ada dalam Pasal 433 KUH Perdata.
Penafsiran ulang ini dilakukan dengan menyatakan kondisi “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap” sebagai bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau isabilitas intelektual, serta kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata dimaknai menjadi “dapat”. Dengan penyelarasan demikian maka Pasal 433 KUH Perdata selengkapnya akan berbunyi, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
[3.22] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berkesimpulan Pasal 433 KUH Perdata telah ternyata terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma pada bagian-bagian tertentu, dan Mahkamah menyatakan terhadap norma Pasal 433 KUH Perdata inkonstitusional secara bersyarat dan pemaknaan demikian tidak sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, maka Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 yang menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya terhadap pengujian pada Pasal 433 KUHPerdata mengandung arti bahwa ketentuan Pasal-Pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 27 Juni 2023, pukul 12.18 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang tidak menentukan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi sama dengan kedudukan dan usia Panitera di Mahkamah Agung, serta memasukkan kepaniteraan dalam jabatan fungsional yang tidak mendapatkan kejelasan penjejangan jabatan dan usia pensiunnya bertentangan dengan Konstitusi karena tidak memberikan jaminan kedudukan yang sama serta tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon penting untuk mengutip terlebih dahulu pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 September 2012. Sebab, usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti yang termaktub dalam Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang yang merujuk pada batasan usia pensiun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012. Dalam hal ini, pertimbangan hukum pada Paragraf [3.14] menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa dengan merujuk pada kutipan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan beberapa hal berikut:
Pertama, sebagai salah satu lembaga yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menggunakan usia pensiun Panitera di lingkungan Mahkamah Agung sebagai perbandingan, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun. Namun batasan usia di Mahkamah Agung tersebut tetap diberikan catatan khusus, batasan 67 (enam puluh tujuh) tahun tersebut tidak dapat dilepaskan dari fakta, di mana usia dimaksud tidak dapat dilepaskan dari Panitera Mahkamah Agung yang berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 (enam puluh tujuh) tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung menjadi 67 (enam puluh tujuh) tahun sesuai dengan batas usia pensiun sebagai hakim tinggi.
Kedua, selain usia Panitera di Mahkamah Agung, terdapat pula fakta ihwal usia maksimal Panitera Pengganti di Mahkamah Agung, yaitu 65 (enam puluh lima) tahun. Karena Panitera Pengganti di Mahkamah Agung dijabat hakim tingkat pertama, maka usia Panitera Pengganti mengikuti usia pensiun sebagai hakim tingkat pertama. Berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah menetapkan batas usia pensiun bagi Panitera Mahkamah Konstitusi, yaitu 62 (enam puluh dua) tahun sesuai dengan batas usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Pada intinya, menurut pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 persyaratan batasan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan Mahkamah Konstitusi disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Ketiga, sebagai jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, penentuan batas usia 62 (enam puluh dua) tahun dikonstruksikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUX/2012 pada saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) belum dibentuk. Artinya, sebagai jabatan fungsional, penentuan batas usia 62 (enam puluh dua) tahun dimaksud belum didasarkan pada batasan usia jabatan fungsional sebagaimana yang diatur dalam UU 5/2014.
Keempat, adanya pertimbangan hukum yang secara ekplisit dari Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk undang-undang, apabila dilakukan perubahan, baik berupa revisi atau penggantian, perlu menetapkan syarat yang sama bagi Panitera di Mahkamah Agung dan Panitera di Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah institusi yang terdiri dari beberapa elemen, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut dapat saja dimaknai oleh pembentuk undang-undang guna melengkapi dan sekaligus menyempurnakan pengaturan semua elemen penting yang mendukung (supporting system) fungsi yudisial di Mahkamah Konstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi termasuk perubahannya tidak mengatur secara memadai supporting system di sekitar hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangan yudisial, termasuk kepaniteraan.
[3.15.2] Bahwa setelah menguraikan beberapa substansi penting dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, ihwal permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan desain kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945.
Bahwa secara konstitusional, norma Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Penegasan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan hakikat kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai suatu keniscayaan bagi negara yang berdasarkan atas hukum. Sementara itu, sebagai institusi/lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Adanya frasa “oleh sebuah Mahkamah Agung” dan “oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menunjukkan kekuasaan kehakiman Indonesia dilakukan oleh dua lembaga dengan wewenang yang berbeda, berada dalam posisi setara (equal), dan dengan jurisdiksi yang berbeda.
Bahwa sekalipun UUD 1945 hasil perubahan mengatur lebih terinci berkenaan dengan kekuasaan kehakiman dan bahkan membentuk pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, sebagai hukum dasar, UUD 1945 tidak mengatur segala hal yang terkait dengan kebutuhan dan pengelolaan institusi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk menjawab segala kebutuhan institusi Mahkamah Agung, Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Begitu pula dengan kebutuhan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menyatakan, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Dengan adanya kata “susunan” dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan adanya frasa “ketentuan lainnya” dalam Pasal 24C ayat (6) UUD 1945, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memerlukan undang-undang untuk mengatur segala kebutuhan pengelolaan institusi agar mampu melaksanakan semua kewenangan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sebagai sebuah organisasi, kedua lembaga ini memerlukan kepaniteraan, Sekretariat Jenderal/kesekretariatan, dan supporting system lainnya di sekitar hakim agung dan hakim konstitusi.
Bahwa salah satu substansi undang-undang adalah berkaitan dengan pengaturan kepaniteraan. Sekalipun sama-sama sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dan diposisikan setara, pengaturan ihwal pelembagaan kepaniteraan yang membantu hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenang yudisial tidak diatur lebih rinci dan jelas syarat-syarat serta tata cara pengangkatan sebagaimana kepaniteraan pada Mahkamah Agung. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) mengatur tentang pengangkatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung yaitu sebagai berikut:
Pasal 20 ayat (1) huruf d:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding.”
Pasal 20 ayat (2) huruf b:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi.”
Pasal 20 ayat (3) huruf b:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama.”
Berbeda dengan Mahkamah Agung, pengaturan ihwal kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi masih sangat sumir dalam mengatur kedudukan, tugas dan fungsi kepaniteraan. Berkenaan kepaniteraan, misalnya, undang-undang pertama tentang Mahkamah Konstitusi, in casu Pasal 7 UU 24/2003 menyatakan, “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan”. Selanjutnya, Pasal 8 UU 24/2003 mendelegasikan pengaturan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Kemudian, Pasal 7 UU 8/2011 sebagai perubahan atas UU 24/2003 menyatakan, “Di Mahkamah Konstitusi dibentuk sebuah kepaniteraan dan sekretariat jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi”. Berkenaan dengan kepaniteraan, norma Pasal 7A ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2011 menyatakan:
Pasal 7A ayat (1):
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.”
Pasal 7A ayat (2):
“Tugas teknis administratif peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi;
b. pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
c. pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.”
[3.15.3] Bahwa lebih lanjut untuk mempertegas hal-hal yang telah diuraikan di atas, berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga peradilan yang relatif masih baru, pengaturan secara lebih rinci mengenai kepaniteraannya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004 tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (Keppres 51/2004). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keppres a quo, ditentukan bahwa panitera dan pejabat di lingkungan kepaniteraan adalah pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan dan pemberhentiaan panitera oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 10 ayat (5) dan Pasal 11 Keppres 51/2004].
Bahwa sejalan dengan diubahnya beberapa ketentuan dalam UU 24/2003 melalui UU 8/2011, pengaturan mengenai kepaniteraan termasuk materi yang mengalami perubahan dengan ditegaskannya kepaniteraan sebagai rumpun jabatan fungsional dalam rangka menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi. Tugas teknis administratif peradilan dimaksud meliputi: 1) koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi; 2) pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara; 3) pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan 4) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya [vide Pasal 7A UU 8/2011]. Sebagaimana ketentuan sebelumnya, pengaturan lebih lanjut mengenai kepaniteraan Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 7A UU 8/2011, Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (Perpres 49/2012). Berdasarkan Perpres a quo ditentukan pengorganisasian kepaniteraan, penjenjangan jabatan/pangkat dan batas usia pensiun kepaniteraan dikoordinasikan oleh seorang panitera yang dibantu oleh 2 (dua) orang Panitera Muda, 4 (empat) orang Panitera Pengganti Tingkat I, dan 12 (dua belas) orang Panitera Pengganti Tingkat II. Selain itu dinyatakan pula bahwa Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti Tingkat I, dan Panitera Pengganti Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan fungsional kepaniteraan non angka kredit [vide Pasal 3 Perpres 49/2012]. Dalam kaitan ini, mulai ditentukan mengenai batas usia dalam jabatan kepaniteraan dengan batas usia pensiun jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan adalah 56 (lima puluh enam) tahun. Namun, batas usia pensiun Panitera dan Panitera Muda dapat diperpanjang sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun dengan mempertimbangkan aspek prestasi kerja, kompetensi, kaderisasi, dan kesehatan. Perpanjangan batas usia pensiun dimaksud dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk masa paling lama 2 (dua) tahun [vide Pasal 9 Perpres 49/2012]. Perpres a quo menentukan batas usia pensiun kepaniteraan tidak secara spesifik dan terinci sebagaimana yang berlaku di Mahkamah Agung karena UU 3/2009 pada pokoknya menentukan untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding” [vide Pasal 20 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b UU 3/2009]. Selanjutnya, untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi [vide Pasal 20 ayat (3) huruf b UU 3/2009], dan untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama. Dengan demikian, usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Muda pada Mahkamah Agung disesuaikan/disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat banding yaitu 67 tahun. Sedangkan, Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung adalah 65 tahun mengikuti usia pensiun hakim tingkat pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012]. Artinya, jabatan panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pada Mahkamah Agung dijabat oleh hakim sehingga usia pensiunnya pun melekat pada usia pensiun sebagai hakim.
Bahwa sementara itu, kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi dijabat oleh pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN), bukan oleh hakim. Oleh karenanya ditentukan rumpun jabatannya adalah jabatan fungsional. Dalam kondisi ketidakpastian batas usia pensiun kepaniteraan sebagai bagian penting penyelenggaraan fungsi peradilan, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, telah memberikan pertimbangan hukum perihal batas usia pensiun panitera, panitera muda, dan panitera pengganti adalah 62 (enam puluh dua) tahun. Putusan a quo kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP 49/2012 (Perpres 73/2013) yang menyatakan pada pokoknya panitera, panitera muda, panitera pengganti tingkat I dan panitera pengganti tingkat II batas usia pensiunnya adalah 62 (enam puluh dua) tahun. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo selanjutnya diakomodasi dalam perubahan UU MK, in casu Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020, tanpa adanya pengaturan lebih lanjut mengenai esensi kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan dalam jabatan fungsional karena melekat pada seorang PNS atau ASN yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan konstitusi, in casu Mahkamah Konstitusi yang notabene setara kedudukannya dengan Mahkamah Agung.
Bahwa apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [UU ASN], jabatan fungsional dimaksud diartikan sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Dalam kaitan ini, keberadaan Panitera dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi merupakan pegawai negeri sipil selaku pejabat fungsional yang memiliki keahlian tertentu dalam membantu atau mendukung pelaksanaan tugas pokok peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Jenjang jabatan fungsional keahlian dimaksud terdiri atas: 1) ahli utama; 2) ahli madya; 3) ahli muda; dan 4) ahli pertama [vide Pasal 18 ayat (2) UU ASN]. Berkaitan dengan batas usia pensiun, UU ASN telah menentukan bahwa batasan usia pensiun bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat adalah apabila telah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi, mencapai usia 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional [vide Pasal 87 ayat (1) huruf c UU ASN].
Bahwa dalam perkembangan, tatkala Perpres 49/2012 diubah dengan Perpres 65/2017, berkaitan dengan batas usia pensiun kepaniteraan tidak dilakukan perubahan karena perubahan hanya terkait dengan materi jumlah panitera muda yang bertambah menjadi 3 orang [vide Pasal 3 ayat (2) Perpres 65/2017]. Oleh karenanya, ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat fungsional yang dimaksudkan oleh UU ASN mengacu pada peraturan pelaksana UU ASN, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Managemen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP a quo, telah ditentukan jenjang jabatan fungsional keahlian terdiri atas: ahli utama; ahli madya; ahli muda; dan ahli pertama. Untuk jenjang jabatan fungsional ahli utama melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tertinggi. Sedangkan, jenjang jabatan fungsional ahli madya melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tinggi. Untuk jenjang jabatan ahli muda melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat lanjutan, dan untuk jenjang jabatan fungsional ahli pertama melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat dasar [vide Pasal 69 PP 11/2017]. Dalam kaitan ini, PP 11/2017 juga menegaskan mengenai batas usia pensiun PNS yang diberhentikan dengan hormat yaitu: a). 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan; b). 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan c). 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional ahli utama [vide Pasal 239 PP 11/2017].
[3.15.4] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah dapat memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Meskipun dalam permohonan a quo tidak berkaitan langsung dengan kepentingan hakim Konstitusi namun secara kelembagaan, keberadaan kepaniteraan merupakan unsur penting dan berkelindan dengan tugas dan wewenang hakim konstitusi dalam menjalankan fungsi yudisial. Oleh karena itu, apabila hal demikian dikaitkan dengan prinsip universal dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri, namun, dalam konteks ini ada tiga alasan bagi Mahkamah untuk “menyimpangi” sehingga tetap mengadili perkara a quo karena: tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; perkara ini memiliki kepentingan konstitusional berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan, bukan semata-mata kepentingan lembaga Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah bersikap imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah norma pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
Bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah menguji konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah dalam mengadili perkara a quo pun tetap berada dalam menjalankan fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan Konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi;
[3.16] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan ketidaksamaan usia pensiun Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dengan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti yang ada di Mahkamah Agung. Padahal, keduanya sama-sama menjalankan tugas dan fungsi kepaniteraan pada lembaga peradilan dan kedua lembaga peradilan tersebut berkedudukan sederajat sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa untuk menjawab dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 pada Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.14] yang menyatakan:
[3.13] Menimbang bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim, oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali beberapa hal penting berikut;
[3.16.2] Bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus diduduki oleh hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung karena Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga peradilan di bawahnya. Mahkamah Konstitusi hanya ada di ibukota negara [vide Pasal 3 UU 24/2003]. Oleh karenanya siapapun PNS/ASN yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kebutuhan kewenangan Mahkamah berdasarkan peraturan perundang-undangan, dapat diseleksi sebagai Panitera. Pengangkatan jabatan fungsional kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan tertutup karena PNS/ASN hanya berkarir sebagai Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya tidak mungkin hakim, terlebih hakim konstitusi yang akan menduduki jabatan Panitera. Termasuk juga, tidak terdapat jenjang karir di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung untuk dapat menjadi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi karena UU 48/2009 pada pokoknya telah menegaskan pula bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang [vide Pasal 19 UU 48/2009]. Hakim yang dimaksud tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut, yang ditegaskan berstatus sebagai pejabat negara [vide Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 UU 48/2009]. Sementara itu, UU MK berikut peraturan pelaksanaannya telah menegaskan bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi adalah jabatan fungsional. Oleh karena itu, tidak mungkin jabatan fungsional kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi dijabat oleh hakim sebagaimana di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan pengaturan sehingga memberikan kepastian atas batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Pilihan ini diambil karena Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi bukan hakim seperti di Mahkamah Agung.
Namun demikian, pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.13] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 tersebut, sesungguhnya tidak sekedar dipahami berhenti pada paragraf tersebut tetapi berkaitan erat dengan Paragraf berikutnya [3.14] yang pada pokoknya menyatakan “berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Oleh karena itulah ke depan, Mahkamah menegaskan juga dalam pertimbangan hukum Putusan a quo agar pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”. Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas telah ternyata jenjang karir kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi adalah berbeda dan tidak mungkin dipersamakan dengan kepaniteraan di Mahkamah Agung sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Lebih lanjut, berkenaan dengan jabatan fungsional di Mahkamah Konstitusi selain kepaniteraan, yaitu antara lain asisten ahli hakim konstitusi (ASLI), arsiparis, pustakawan telah memiliki jenjang karir yang jelas dan pasti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kepaniteraan yang dalam undang-undang ditegaskan sebagai jabatan fungsional, demi kepastian hukum yang adil, dalam batas penalaran yang wajar maka tidak ada pilihan lain selain melekatkan jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN, yaitu Panitera Konstitusi dengan penjenjangan sebagai berikut: (1) Panitera Konstitusi Ahli Utama; (2) Panitera Konstitusi Ahli Madya; (3) Panitera Konstitusi Ahli Muda; dan (4) Panitera Konstitusi Ahli Pertama.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena jenjang karir kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi melekat pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN maka sebagai konsekuensi yuridis dan logis harus dilakukan penyesuaian/inpassing jenjang jabatan Panitera Konstitusi yang tidak boleh merugikan keberadaan dan keberlangsungan karir Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang sedang menjabat (existing). Demikian demikian, berkaitan dengan batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang existing adalah minimal 62 (enam puluh dua) tahun dan maksimal batas usianya adalah 65 (enam puluh lima) tahun. Adapun bagi jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan yang direkrut setelah putusan a quo berlaku sesuai dengan penjenjangan jabatan fungsional berdasarkan UU ASN. Oleh karena jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan yang tertutup maka penyesuaian/inpassing jenjang jabatan tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan penataan kepaniteraan untuk segera dilakukan penyesuaian dengan menetapkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim. Konsekuensinya, Mahkamah Konstitusi sekaligus menjadi instansi pembina kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitan ini, untuk melaksanakan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi maka terhadap jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dimaksud dikelompokkan ke dalam jabatan Panitera yang setara dengan pejabat eselon IA, Panitera Muda yang setara dengan pejabat eselon IIA dan Panitera Pengganti yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah telah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 sehingga sebagai konsekuensinya penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkenaan dengan penguatan kelembagaan supporting system yang lain di Mahkamah Konstitusi, in casu Asisten Ahli Hakim Konstitusi (ASLI). Dalam kaitan ini, jika dirunut dari proses awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi, peran ASLI dijalankan oleh Tenaga Ahli. Kemudian, peran tersebut digantikan oleh para Peneliti yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan inovasi Nasional [Perpres 78/2021], tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres 78/2021, seluruh peneliti di kementerian/lembaga dikehendaki untuk diintegrasikan di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dengan melihat kekhususan tugas dan fungsi peneliti yang melekat pada Mahkamah Konstitusi, peneliti tersebut tetap dipertahankan karirnya di Mahkamah Konstitusi dengan berganti nomenklatur jabatan fungsional menjadi ASLI [vide Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 tentang Jabatan Fungsional Asisten Ahli Hakim Konstitusi]. Dengan demikian, ASLI akan dikoordinasikan oleh seorang koordinator atau sebutan lain yang jabatannya setara dengan pejabat eselon IIA yang diatur berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Bahwa ASLI merupakan jabatan fungsional dengan nomenklatur baru yang merupakan transformasi dari jabatan fungsional peneliti yang telah lama berkarir di Mahkamah Konstitusi. Para Peneliti yang saat ini menjadi ASLI telah dididik dan dibina untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Sebagaimana halnya jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, jabatan fungsional ASLI termasuk juga jabatan fungsional tertutup yang hanya ada di Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu perlu ada jaminan hak atas kepastian hukum dan kesejahteraan dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi sesuai dengan perubahan desain, sistem dan pola kerja ASLI yang lebih terfokus pada tugas penanganan perkara konstitusi.
Bahwa sekalipun persoalan ASLI tidak didalilkan oleh para Pemohon, namun karena berkaitan erat dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya bermuara pada esensi pelembagaan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, maka untuk memberi kepastian hukum sekaligus memperjelas pelembagaan dimaksud, ASLI menjadi bagian dari struktur organisasi Kepaniteraan yang tidak lagi berada di bawah struktur organisasi Sekretariat Jenderal. Artinya, ASLI merupakan bagian dari struktur organisasi kepaniteraan yang berfungsi sebagai supporting system hakim dalam menjalankan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi.
Berkenaan dengan hal itu, sebagaimana halnya dengan jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan maka untuk jabatan ASLI pun instansi pembinanya adalah Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, telah ternyata norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, namun oleh karena pemaknaan norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang dimohonkan oleh para Pemohon, sebagaimana yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo, tidak seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum, maka permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022 yang menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian UU 7/2020 mengandung arti bahwa ketentuan Pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai pemaknaan MK.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 12.23 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap Permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 pernah diajukan pengujian sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019, dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021. Adapun permohonan Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak terdapatnya ketentuan peralihan dalam UU 19/2019 padahal terdapat fakta bahwa anggota KPK yang terpilih berdasarkan persyaratan dalam UU 30/2002 belum memenuhi syarat usia 50 (lima puluh) tahun, sehingga apabila harus dilakukan proses seleksi ulang pemilihan calon anggota KPK, hal demikian akan merugikan perekonomian negara dan APBN yang selanjutnya akan dibebani kepada Pemohon sebagai pembayar pajak. Sedangkan terhadap permohonan a quo, pengujian Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan bahwa Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat mencalonkan diri kembali seketika sebagai calon pimpinan KPK karena menurut perubahan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 tersebut, Pemohon belum mencukupi batas usia minimal, padahal Pemohon telah pernah dinyatakan sanggup dan dapat membuktikan kinerjanya selama menjabat sebagai pimpinan sekaligus anggota KPK.
Bahwa terhadap Permohonan pengujian Pasal 34 UU 30/2002 yang pernah diajukan pengujian sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan ketentuan Pasal 34 UU 30/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan penafsiran Pasal 34 UU 30/2002 tentang masa jabatan pimpinan pengganti KPK yang terpilih. Sedangkan terhadap permohonan a quo, pengujian Pasal 34 UU 30/2002 menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan perbedaan masa jabatan pimpinan KPK dengan 12 lembaga non kementerian independen lainnya menimbulkan masalah hukum tentang status kedudukan dan derajat lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan yang memengaruhi pelaksanaan tugas KPK dalam penegakan hukum.
Dengan terdapatnya perbedaan pada dasar pengujian yang digunakan maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 62/PUUXVII/2019 maupun Perkara Nomor 5/PUU-IX/2011 dengan Perkara a quo, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.13] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut;
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, Keterangan DPR, Keterangan Presiden, Keterangan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi, Keterangan Ahli Pemohon dan Ahli DPR, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan Pemohon dan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.15] Menimbang bahwa norma yang dimohonkan Pemohon yaitu Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang mengatur tentang batasan usia minimal dan maksimal sebagai syarat untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pasal 34 UU 30/2002 yang mengatur tentang masa jabatan Pimpinan KPK. Sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa pembentukan KPK sesuai dengan amanat Pasal 43 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai respon terhadap tingginya angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan amanat tersebut dibentuk UU 30/2002 yang menjadi payung hukum bagi KPK. Adapun tujuan pembentukan KPK adalah untuk membantu lembaga-lembaga utama penegak hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang belum optimal menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi secara efektif dan efisien. Dalam sistem ketatanegaraan, KPK merupakan auxiliary organ yaitu lembaga penunjang yang dibentuk untuk mendorong peranan dari lembaga utama (Kepolisian dan Kejaksaan) yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. Meskipun sebagai lembaga penunjang (auxiliary organ), namun kedudukan KPK strategis dalam rangka pemberantasan korupsi maka KPK dikenal juga sebagai lembaga yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance. Kedudukan penting dan strategis lembaga KPK tampak jelas dalam Pasal 3 UU 30/2002 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
[3.15.2] Bahwa perubahan UU 30/2002 dilakukan untuk memberikan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi. Kinerja KPK sejak lembaga ini berdiri dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini lembaga penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK, permasalahan terkait penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menimbulkan celah dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK [vide Penjelasan UU 19/2019];
Pembaruan hukum dilakukan dengan menata regulasi kelembagaan KPK dengan cara penguatan tindakan pencegahan dalam rangka peningkatan kesadaran bagi penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Melalui perubahan beberapa ketentuan dalam UU 30/2002 tersebut, diharapkan KPK dapat diposisikan sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktur dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga hal tersebut dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, terpadu dan terkoordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[3.16] Menimbang bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum karena sebagai pimpinan KPK yang masih menjabat saat ini, diberikan hak konstitusional berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 untuk dapat mendaftar kembali seketika. Dalil Pemohon tersebut bermuara pada adanya perubahan syarat usia paling rendah 50 (lima puluh) tahun yang ditentukan dalam Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang tidak senafas dengan terdapatnya hak konstitusional untuk mendaftar kembali seketika sebagai pimpinan KPK sebagaimana diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002. Ketentuan Pasal 29 tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yaitu Pasal 29 huruf e UU 30/2002 yang mensyaratkan calon Pimpinan KPK berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo meskipun berkaitan dengan usia minimal dan usia maksimal pengisian jabatan publik yang merupakan syarat formal tidak secara eksplisit bertentangan dengan Konstitusi, namun secara implisit norma a quo menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif bila dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan mempunyai track record yang baik berkaitan dengan integritas dan persyaratan lain yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK a quo.
Bahwa perubahan ketentuan yang mengatur batas usia bagi calon pimpinan KPK tersebut terjadi ketika Pemohon telah mengikuti seleksi jabatan pimpinan KPK dan telah terpilih sebagai pimpinan KPK. Hal demikian menurut Mahkamah, harus dipandang bahwa ketika Pemohon mendaftar sebagai calon pimpinan KPK Pemohon telah dapat memperkirakan kemungkinan jika kelak Pemohon akan kembali mendaftar sebagai pimpinan KPK untuk periode kedua, maka Pemohon akan tetap memenuhi syarat pencalonan karena Pemohon telah berusia lebih dari batas minimal yang ditentukan yaitu 40 tahun (vide Pasal 29 huruf e UU 30/2002). Namun, ketika Pemohon menjabat sebagai pimpinan KPK telah terjadi perubahan terhadap syarat minimal batasan usia untuk dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK sehingga menyebabkan Pemohon tidak lagi memenuhi kualifikasi untuk menjadi pimpinan KPK, hal ini menurut Mahkamah telah menyebabkan ketidakadilan bagi Pemohon. Hak konstitusional Pemohon untuk dapat dipilih kembali dalam pencalonan sebagai pimpinan KPK telah ternyata diabaikan dan dilanggar dengan berlakunya norma Pasal 29 UU 19/2019.
Bahwa menurut Mahkamah, dalam proses seleksi pemilihan pimpinan KPK, terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pimpinan yang akan mengikuti seleksi yaitu syarat yang bersifat formal atau disebut sebagai syarat administrasi dan syarat substansi yang salah satunya dapat berupa pendidikan dan pengalaman kerja. Berdasarkan Pasal 29 UU 19/2019, pembentuk undang-undang telah secara jelas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK, antara lain syarat pendidikan, keahlian, dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, serta syarat usia minimal dan maksimal. Berkaitan dengan persyaratan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata. Sebab, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga. Terlebih, persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang membutuhkan pengalaman. Seseorang yang berpengalaman akan mampu membangun tim yang kuat dengan cara memberikan bimbingan untuk menyelesaikan setiap tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh lembaga. Terlebih lagi mengingat KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat berat dan luas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 19/2019. Sehingga, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan kemudian akan mencalonkan diri kembali, baik seketika maupun dengan jeda, sepanjang jika yang bersangkutan memenuhi persyaratan lainnya, misalnya rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan merupakan calon yang potensial untuk dipertimbangkan oleh panitia seleksi karena pengalaman memimpin KPK yang dimilikinya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait Pasal 29 huruf e UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” adalah beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 34 UU KPK yang menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa pada dasarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus terkait masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana Pasal 34 UU KPK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011 dengan amar putusan menyatakan inkonstitusional bersyarat sebagai berikut:
“5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
• Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
• Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
• Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Berdasarkan amar putusan a quo, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 34 UU KPK dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, ini sejatinya tidak secara spesifik menguji masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun, melainkan hanya menguji penafsiran Pasal 34 UU KPK terkait pertanyaan apakah masa jabatan pimpinan KPK mengenal pergantian antar waktu atau tidak apabila terdapat pimpinan KPK yang berhenti sebelum masa jabatannya selesai. Dalam kondisi seperti ini, apakah pimpinan KPK selanjutnya yang dipilih melalui Pansel yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi pimpinan KPK untuk menggantikan pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan hanya melanjutkan masa sisa jabatan pimpinan KPK sebelumnya ataukah masa jabatannya berlaku penuh selama 4 tahun. Menurut Mahkamah, berdasarkan pada putusan a quo, masa jabatan pimpinan KPK yang menggantikan berlaku penuh selama 4 tahun. Oleh karena itu, ada kemungkinan masa jabatan pimpinan KPK tidak semua berakhir secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keberlangsungan dan kesinambungan pelaksanaan tugas KPK dalam pemberantasan korupsi. Berikut pendapat Mahkamah selengkapnya.
“[3.25] Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945];”
[3.17.2] Bahwa dalam Perkara a quo, isu hukum yang diuji berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun. Namun demikian, sebagaimana terungkap dalam persidangan [vide Keterangan Ahli Pemohon yaitu Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., dalam persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 3 April 2023]., terdapat setidaknya 12 (dua belas) lembaga negara independen yang masa jabatan pimpinannya 5 (lima) tahun. tampak bahwa terdapat 12 (dua belas) lembaga negara dan komisi independen yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Namun demikian, dalam perspektif hukum tata negara, tidak semua dari kedua belas lembaga negara yang bersifat independen tersebut dan memiliki masa jabatan pimpinan/anggotanya selama 5 (lima) tahun merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan atau derajat yang sejajar dengan lembaga negara yang ada dalam UUD 1945 atau yang dikenal sebagai lembaga constitutional importance. Beberapa lembaga negara atau komisi independen meskipun tidak disebutkan di dalam UUD 1945, namun memiliki constitutional importance karenanya dianggap penting seperti Kejaksaan, KPK, Otoritas Jasa Keuangan, dan Komnas HAM (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XX/2022; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014). Menurut Mahkamah, KPK merupakan komisi yang bersifat independen, sebagai salah satu lembaga constitutional importance yang dalam melaksanakan tugasnya menegakan hukum bebas dari campur tangan (intervensi) cabang kekuasaan manapun. Namun, masa jabatan pimpinannya hanya 4 (empat) tahun, berbeda dengan komisi dan lembaga negara independen lainnya yang juga termasuk dalam lembaga constitutional importance namun memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance. Selain itu, berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya, sehingga siklus waktu pergantian pimpinan KPK seharusnya adalah 5 (lima) tahun sekali, yang tentu saja akan jauh lebih bermanfaat daripada 4 (empat) tahun sekali. Terlepas dari kasus konkrit berkaitan dengan kinerja pimpinan KPK yang saat ini masih menjabat, alasan berdasarkan asas manfaat dan efisiensi ini pula yang digunakan oleh Mahkamah tatkala memutus apakah perlu masa jabatan pimpinan KPK diberlakukan konsep Pergantian Antar Waktu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011. Berikut pendapat Mahkamah pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.24] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benarbenar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (Lembaran Negara Republilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurut Mahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi;”
Oleh karena itu, dalam putusan a quo Mahkamah kembali menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan KPK pengganti memiliki masa jabatan yang sama dengan pimpinan KPK lainnya dan tidak melanjutkan sisa waktu masa jabatan pimpinan yang digantikan. Meskipun saat ini ada pergeseran pengaturan seleksi pimpinan KPK pengganti antara Pasal 33 UU 30/2002 yang mensyaratkan dibentuknya Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih pimpinan KPK pengganti dengan Pasal 33 UU 19/2019 yang menegaskan bahwa apabila pergantian terhadap pimpinan KPK, maka Presiden cukup mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR dari calon pimpinan KPK yang tidak terpilih di DPR dari ranking berikutnya berdasarkan hasil seleksi DPR. Meskipun demikian, pada prinsipnya masa jabatan pimpinan KPK pengganti tidak melanjutkan masa jabatan pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan. Dalam hal ini, bukan merupakan pergantian antar waktu namun penggantinya akan menjalani masa jabatan yang penuh. Sebab, karakter pengisian pimpinan KPK berbeda dengan pengisian anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, dapat diyakini akan semakin menjamin keberlangsungan dan kesinambungan tugas pimpinan KPK dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUXVI/2018], merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUUXIII/2015 dan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya] dan/atau bertentangan dengan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah, sehingga pada perkara a quo terkait dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan penentuannya kepada pembentuk undang-undang. Terlebih, dalam perkara a quo sangat tampak adanya perlakuan yang tidak adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice principle).
Pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 (lima) tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan.
[3.18] Menimbang selain dari pada itu perlu Mahkamah menegaskan bahwa KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dijamin independensinya yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, sebagai upaya melindungi independensi KPK sebagai lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, perlu adanya jaminan perlakuan yang adil terhadap lembaga KPK, salah satunya terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 UU 30/2002.
Bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002 selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan telah ternyata menyebabkan dalam satu kali periode masa jabatan Presiden dan DPR yaitu selama 5 (lima) tahun in casu Periode 2019-2024, dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Dalam hal ini, secara kelembagaan, KPK diperlakukan berbeda dengan lembaga negara penunjang lainnya namun tergolong ke dalam lembaga constitutional importance yang sama-sama bersifat independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang karena terhadap lembaga constitutional importance yang bersifat independen tersebut, yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 (lima) tahun, dinilai sebanyak satu kali selama 1 (satu) periode masa jabatan Presiden dan DPR. Sebagai contoh, Presiden dan DPR yang terpilih pada Pemilu tahun 2019 (Periode masa jabatan 2019-2024), jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK 4 (empat) tahun, maka Presiden dan DPR masa jabatan tersebut akan melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu pertama pada Desember 2019 yang lalu dan seleksi atau rekrutmen kedua pada Desember 2023. Penilaian sebanyak dua kali sebagaimana diuraikan di atas setidaknya akan berulang kembali pada 20 (dua puluh) tahun mendatang. Namun, jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun, maka seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh Presiden dan DPR Periode 2019-2024 yaitu pada Desember 2019 yang lalu, sedangkan seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK Periode 2024-2029 akan dilakukan oleh Presiden dan DPR periode berikutnya (Periode 2024-2029).
Bahwa sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema 4 tahunan berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja dari pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan Presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja mempengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Perbedaan masa jabatan KPK dengan lembaga independen lain menyebabkan perbedaan perlakuan yang telah ternyata menciderai rasa keadilan (unfairness) karena telah memperlakukan berbeda terhadap hal yang seharusnya berlaku sama. Hal demikian, sejatinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu menurut Mahkamah, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 (lima) tahun.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan adalah beralasan menurut hukum.
Sementara itu, menurut Pasal 21 ayat (1) UU 19/2019 yang menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas: a. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang; b. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dewan Pengawas dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diatur oleh UU 19/2019, sedangkan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam peraturan terkait dengan Aparatur Sipil Negara. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa seiring dengan reformulasi masa jabatan pimpinan KPK dari semula 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun, maka hal itu berdampak pula terhadap masa jabatan Dewan Pengawas. Berdasarkan ketentuan Pasal 37A UU 19/2019 yang menyatakan “Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.” Dalam rangka menjaga konsistensi dan harmonisasi dalam pengaturan masa jabatan pimpinan KPK dan masa jabatan Dewan Pengawas, maka reformulasi masa jabatan pimpinan KPK menurut penalaran yang wajar berlaku pula bagi Dewan Pengawas, sehingga masa jabatan Dewan Pengawas yang semula selama 4 (empat) tahun juga disamakan menjadi 5 (lima) tahun
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dan Pasal 34 UU 30/2002 jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan diskriminasi sebagaimana yang didalilkan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 UU KPK, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU KPK.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 UU KPK yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU KPK.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 15.11 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pengadilan Pajak dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Berkenaan hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan para Pemohon dan disandingkan dengan permohonan sebelumnya yang pernah melakukan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002, yaitu Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, selanjutnya Perkara Nomor 57/PUU-XVIII/2020 menguji konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, di mana beberapa dasar pengujian tersebut telah digunakan pada Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 57/PUU-XVIII/2020, namun oleh karena terhadap pengujian norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 pada kedua permohonan tersebut terdapat alasan-alasan permohonan yang berbeda dan kedua putusan perkara tersebut menyatakan permohonan tidak dapat diterima, sehingga pokok permohonan belum dipertimbangkan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan a quo tidak terhalang dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, sehingga terhadap ketentuan norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai isu konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 yang dilakukan pengujian oleh para Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap pokok permohonan Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa salah satu unsur fundamental dari negara hukum yaitu adanya lembaga peradilan yang independen. Terkait hal ini dalam konstitusi juga telah ditentukan secara tegas, bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Secara doktriner, sebagai negara hukum, salah satu faktor atau ciri terpenting terletak pada kemandirian lembaga peradilan, di mana dimungkinkan selalu timbul adanya sengketa antara yang diperintah dengan yang memerintah. Dalam hal ini, sengketa antara penyelenggara negara yang berhadapan dengan rakyatnya, sebagaimana halnya yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan pengadilan pajak. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, independen dari pengaruh segala unsur kekuasaan apapun. Tanpa adanya independensi maupun kemandirian terhadap badan kekuasaan kehakiman dapat memberikan pengaruh dan dapat berdampak tercederainya rasa keadilan termasuk peluang munculnya penyalahgunaan atau penyimpangan kekuasaan maupun juga diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan juga lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkenaan hal tersebut Hakim dalam hal ini sebagai badan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai kedudukan yang sentral, sebab pada dasarnya kekuasaan kehakiman mempunyai pilar-pilar yang terdiri dari badan-badan peradilan yang dibentuk dan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga termasuk tugas dan kewenangannya masing-masing yang mempunyai sifat dan perlakuan yang sama.
Lebih lanjut dijelaskan, di antara semua lembaga peradilan, Pengadilan Pajak merupakan satu-satunya pengadilan yang keberadaannya diharapkan dapat memberikan keadilan dalam bidang pemungutan pajak sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan negara di bidang pajak. Oleh karena itu, demi tercapainya harapan tersebut, Pengadilan Pajak perlu memiliki hakim-hakim yang memenuhi persyaratan yang ketat, baik secara integritas maupun kompetensi. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU 14/2002 untuk dapat diangkat menjadi hakim, setiap calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indoensia;
b. berumur paling rendah 45 tahun;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
f. mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
i. sehat jasmani dan rohani.
Adapun terhadap pelaksanaan rekrutmen hakim Pengadilan Pajak selalu terdapat syarat tambahan dari syarat-syarat selain yang telah ditentukan pada pasal a quo, misalnya pada rekrutmen hakim Pengadilan Pajak, panitia rekrutmen pernah menambahkan persyaratan khusus terutama keahlian dan pengalaman di bidang perpajakan atau kepabeanan dan cukai.
Badan peradilan di bidang perpajakan yang diselenggarakan oleh Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena putusannya memengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak dan peningkatan penerimaan negara di bidang pajak sehingga penyelenggaranya harus merupakanpihak yang kompeten, jujur, adil, dan berwibawa. Adanya syarat khusus untuk menjadi hakim Pengadilan Pajak selain yang telah ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU 14/2002 membuat Pengadilan Pajak menjadi pengadilan yang hakim dan jajarannya diwajibkan memiliki keahlian khusus misalnya di bidang perpajakan atau kepabeanan dan cukai. Hakim pengadilan pajak secara fungsional mempunyai kedudukan yang utama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana hakim-hakim pada badan peradilan lain, sebab hal demikian juga diamanatkan dalam Konstitusi di Indonesia, bahwa kekuasaan kehakiman yang terdiri atas fungsi masing-masing badan peradilan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang. Artinya, dalam mengimplementasikan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim harus profesional dalam menjalankan ruang lingkup kewajiban dan tugas yang telah diatur dalam perundang-undangan. Selain hakim, semua pihak yang terintegrasi berada di dalam lembaga peradilan tersebut juga diharapkan menjadi pihak yang mempunyai kompetensi yang cukup dan jujur dalam melaksakanan tugasnya, yang secara integral berada dalam naungan sebuah badan pembinaan yang utuh dan tidak terpisahkan. Namun, persyaratan terwujudnya independensi badan peradilan yang seharusnya secara sistem selalu terintegrasi dimaksud, secara faktual baru terbatas pada cita-cita dan semangat saja, karena secara faktual Pengadilan Pajak selama ini masih diselenggarakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu di satu sisi tunduk pada pembinaan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan tetapi pada kewajiban lainnya, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan pembinaannya tunduk pada Kementerian Keuangan.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan fakta hukum adanya dualisme kewenangan pembinaan pada Pengadilan Pajak dimaksud, maka hal demikian jelas sama dengan mencampuradukan pembinaan lembaga peradilan yang seharusnya secara terintegrasi berada dalam satu lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman dan terpisah dengan campur tangan kekuasaan eksekutif ataupun kekuasaan manapun. Sebab, makna pembinaan secara universal adalah melakukan bimbingan baik secara teknis yudisial maupun non yudisial, di mana kedua hal tersebut berpotensi tumpang tindih (overlapping) karena tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan pilar akan kemandirian lembaga peradilan. Lebih jauh, dengan tetap mempertahankan pembinaan badan peradilan pada lembaga yang tidak terintegrasi, maka hal tersebut dapat memengaruhi kemandirian badan peradilan atau setidak-tidaknya berpotensi lembaga lain turut mengontrol pelaksanaan tugas dan kewenangan badan peradilan in casu Pengadilan Pajak, meskipun hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi dan keuangan. Namun hal tersebut, menunjukkan Pengadilan Pajak tidak dapat secara optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya secara independen. Terlebih, dalam perspektif negara hukum berkaitan dengan sistem peradilan dan proses-proses penegakan hukum untuk memberikan keadilan dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan, merupakan unsur yang fundamental dalam penguatan kedudukan lembaga peradilan yang merupakan satu kesatuan implementasi adanya konsep negara hukum yang mencita-citakan adanya supremasi hukum maupun penegakkan hukum yang adil. Dengan demikian, tanpa adanya independensi dalam lembaga peradilan dan juga setidak-tidaknya badan peradilan yang masih berpotensi dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah atau eksekutif, hal ini dapat memperlebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia/hak konstitusional warga negara oleh penguasa, akibat terabaikannya independensi badan peradilan.
Secara konstitusional, perihal independensi peradilan, telah diatur secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, tujuan yang ingin dicita-citakan dari adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau dalam hal ini disebut sebagai independensi peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Independensi peradilan merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dan telah menjadi sifat kekuasaan peradilan. Kekuasan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan juga badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan, in casu Pengadilan Pajak, sebenarnya dibentuk sebagai kelanjutan dari keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak berdasarkan UU 14/2002, di mana undang-undang ini memiliki beberapa kekhususan apabila Pengadilan Pajak dibandingkan dengan pengadilan lainnya dalam sistem peradilan di Indonesia. Kekhususan tersebut, pertama, tentang pembinaan Pengadilan Pajak terbagi oleh Mahkamah Agung dan oleh Departemen Keuangan. Kedua, tentang upaya hukum pada Pengadilan Pajak yang tidak mengenal upaya hukum pada Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi pada Mahkamah Agung. Ketiga, adalah tentang alasan-alasan permohonan Peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak yang mengandung beberapa perbedaan dengan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali pada umumnya. Keempat, adalah tentang Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menambah pajak yang harus dibayar dan dapat dikategorikan sebagai putusan bersifat ultra petita, karena melebihi dari nilai yang diajukan gugatan/keberatan. Kelima, adalah tentang tempat kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya terdapat di Ibukota Negara, meskipun terdapat mekanisme sidang di luar tempat kedudukan.
Bahwa berkenaan dengan sistem peradilan, setelah diundangkannya UU 14/2002, terdapat perubahan dalam sistem peradilan di Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 dan perubahan UU 48/2009, di antaranya adalah tentang ketentuan mengenai pengadilan khusus dan hubungannya dengan lingkungan-lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebab, sejak tahun 2004, hanya ada 4 (empat) lingkungan peradilan yang diakui di Indonesia yaitu lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan demikian, mengenai pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam dan melekat pada salah satu dari lingkungan peradilan tersebut. Sehingga, sejak saat itu Pengadilan Pajak dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus yang termasuk dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara di bawah Mahkamah Agung.
[3.12.3] Bahwa berkaitan dengan keberadaan Pengadilan Pajak yang secara faktual adalah merupakan pengadilan khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara dan hal ini telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2016 pada Paragraf [3.11] dan Paragraf [3.12] pada pokoknya menyatakan:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedua masalah pokok pengujian konstitusionalitas dari permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan menjawab dasar dari status Pengadilan Pajak apakah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :
1. Bahwa tujuan utama di bentuknya Pengadilan Pajak adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air, sehingga diperlukan dana yang memadai yang terutama bersumber dari perpajakan. Dikarenakan demikian banyaknya sengketa perpajakan sebagai upaya wajib pajak yang berusaha untuk mencari keadilan dan kepastian hukum pada akhirnya menjadikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi tidak relevan lagi untuk menyelesaikan sengketa sehingga negara pada akhirnya memberikan solusi dengan membentuk Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2. Bahwa meskipun pada awal pembentukannya Pengadilan Pajak ada ketidakjelasan berkenaan dengan statusnya dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi dan pembentuk Undang-Undang telah mempertegas tentang keberadaan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. Bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13 Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut: “bahwa Pasal 22 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945”.
4. Bahwa Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 8, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”
Penjelasan Pasal 27 ayat (1), “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.
[3.12] Menimbang bahwa meskipun Pengadilan Pajak telah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di atas, namun faktanya dalam Undang-Undang a quo, kewenangan Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mengatur segala hal yang terkait dengan Pengadilan Pajak, Mahkamah Agung hanya diberikan kewenangan dalam hal pengaturan tentang pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak sedangkan terkait dengan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) [vide Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Pajak]. Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan in casu Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal dengan “one roof system” atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.
Oleh karena itu, berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas telah ternyata Mahkamah memberikan penegasan bahwa Pengadilan Pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 sehingga termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian perlu dilakukan “one roof system”, terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak di mana pembinaan secara teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, tanpa adanya campur tangan lembaga lain.
[3.12.4] Bahwa dengan diwujudkannya sistem peradilan satu atap maka akan diperoleh adanya badan peradilan yang terbebas dari pengaruh-pengaruh pihak lain, hal ini membuktikan fungsi lembaga peradilan yang memberikan keadilan secara independen benar-benar dapat dinikmati oleh para pencari keadilan (justiciabelen) dan dengan sendirinya keadilan dan kepastian hukum adalah keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dan dipercaya publik.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut dan sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, setelah Mahkamah memeriksa bukti yang diajukan para Pemohon, telah ternyata pula terhadap UU 14/2002 telah dilakukan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak (vide bukti P-15), di mana Pasal 5 RUU a quo dirumuskan sebagai berikut:
(1) Pembinaan teknis peradilan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung;
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan;
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap;
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus tetap menjamin kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Oleh karena itu, adanya bukti rancangan undang-undang tersebut semakin meyakinkan Mahkamah bahwa sesungguhnya sudah terdapat niat dari pembentuk undang-undang untuk secara ideal meletakkan seluruh pembinaan Pengadilan Pajak secara bertahap ke dalam satu atap yaitu di bawah Mahkamah Agung. Demikian halnya pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, juga telah secara tegas mengingatkan kepada pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan tentang keberadaan Pengadilan Pajak a quo guna ditempatkan pembinaannya secara keseluruhan di bawah Mahkamah Agung. Namun, ternyata hal tersebut hingga saat ini belum juga diwujudkan oleh pembentuk undang-undang.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut dan merujuk fakta belum ditindaklanjutinya putusan Mahkamah Konstitusi hingga saat ini, Mahkamah berkesimpulan cukup beralasan secara hukum dalam putusan perkara a quo untuk menentukan tenggang waktu yang pasti kepada pembentuk undang-undang tidak hanya sekadar pesan-pesan sebagaimana dalam putusan Mahkamah sebelumnya. Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah untuk menetapkan dengan memerintahkan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 dinilai sebagai tenggang waktu yang adil dan rasional untuk menyatukan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, sejak putusan atas perkara a quo diucapkan, secara bertahap para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) segera mempersiapkan regulasi berkaitan dengan segala kebutuhan hukum, termasuk hukum acara dalam rangka peningkatan profesionalitas sumber daya manusia Pengadilan Pajak, serta mempersiapkan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengintegrasian kewenangan di bawah Mahkamah Agung dimaksud. Dengan demikian, selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 seluruh pembinaan Pengadilan Pajak sudah berada di bawah Mahkamah Agung.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya berbeda dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 14/2002.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 14/2002.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 13.59 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XXI/2023 Perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
Permohonan Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan perkara a quo dalam rangka bela negara mempersiapkan diri untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan taat asas, paling tidak asas jujur dan adil. Oleh karena itu, mohon kiranya Mahkamah Konstitusi berkenan menjadikan permohonan a quo sebagai (salah satu) permohonan prioritas mengingat singkatnya waktu menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Terhadap dalil permohonan Provisi Pemohon tersebut dan dikaitkan dengan petitum provisi sebagaimana termaktub dalam hlm. 58 sampai dengan hlm. 60, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat uraian yang memadai dan berkorelasi dengan petitum dimaksud. Terlebih lagi petitum provisi a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan karena telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU-PRES/XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Juni 2019. Selain itu, petitum dimaksud tidak menunjukkan keterkaitan dengan norma Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo. Menurut Mahkamah, permohonan Provisi Pemohon tidak ada relevansinya sehingga tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama Permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan perbedaan dalam menentukan batas waktu pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017. Perbedaan dimaksud berpotensi menimbulkan masalah konstitusional dalam pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.11] di atas, merujuk substansi dalil Pemohon, masalah konstitusionalitas norma dalam permohonan a quo dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jangka waktu, yaitu ihwal “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017, dan “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017. Terhadap kedua jangka waktu yang menjadi substansi dalil-dalil permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan inkonstitusionalitas “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum a quo.
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh perihal “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan ketentuan mengenai “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, secara normatif, ditentukan oleh 2 (dua) undang-undang, yaitu UU MK dan UU 7/2017. Dalam hal ini, norma Pasal 74 ayat (3) UU MK menyatakan,“Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”, serta norma Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 menyatakan, “dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, ihwal jangka waktu pengajuan permohonan dapat dilakukan “dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional” dan “dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”.
Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, dengan adanya dua ketentuan tenggat waktu tersebut dapat menimbulkan perbedaan tafsir atau makna ketika Mahkamah menyelesaikan kasus konkret, in casu menyelesaikan permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Setidaknya, perbedaan dimaksud dapat terjadi saat menentukan: apakah permohonan diajukan paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam atau 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Dengan adanya perbedaan penafsiran dalam menentukan batas waktu pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terbuka ruang untuk terlanggarnya prinsip kepastian hukum sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah perlu memberikan pemaknaan ketentuan dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK yang menyatakan, “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”, dimaknai menjadi “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”. Pemaknaan baru tersebut diselaraskan dengan ketentuan dalam norma Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”. Selain memberikan kepastian hukum sebagaimana ditentukan UUD 1945, penyelarasan dimaksud juga akan memberikan keuntungan bagi pasangan calon yang akan mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah. Dengan memaknai kata “sejak” menjadi “setelah” dan “frasa 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam” menjadi “3 (tiga) hari”, pemohon dalam pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki kelonggaran waktu dalam mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini, pilihan untuk menggunakan kata “setelah” dan tidak mengabulkan pilihan 7 (tujuh) hari tidak bisa dilepaskan dari prinsip proses peradilan cepat (speedy trial) dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam desain kewenangan Mahkamah sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena jangka waktu yang dimohonkan Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan jangka waktu yang dikabulkan Mahkamah, dalil Pemohon perihal jangka waktu untuk mengajukan permohonan perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seperti dimaksud dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang pada intinya menyatakan jangka waktu bagi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara selama 14 (empat belas) hari kerja adalah bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana didalilkan Pemohon, jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja a quo tidak cukup bagi Mahkamah untuk menyelesaikan permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, batas waktu dalam kedua norma sebagaimana termaktub dalam UU tersebut akan menjadi konstitusional bilamana dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja. Menurut Pemohon jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja tidaklah dimaksudkan untuk seluruh waktu harus digunakan memeriksa, mengadili dan memutus perkara melainkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi Mahkamah mengelaborasi perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pengucapan putusan;
Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu: a. Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden”, dan ketentuan dalam norma Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi” adalah benar berada dalam rentang waktu yang terbatas. Secara konstitusional, batas waktu demikian tidak mungkin dilepaskan dari desain sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Dalam posisi demikian, jikalau terdapat pemilihan umum dua putaran, terbuka kemungkinan adanya permohonan penyelesaian sengketa hasil Pemilu setiap putaran dimaksud. Artinya, menambah atau memperpanjang jangka waktu lebih lama dari yang ditentukan dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan norma Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 potensial mengganggu jadwal ketatanegaraan, in casu batas waktu untuk pengambilan sumpah atau janji sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 9 UUD 1945. Selain itu, menambah atau memperpanjang jangka waktu dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara sebagaimana dalil Pemohon adalah tidak sejalan dengan prinsip peradilan cepat (speedy trial) dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan pertimbangan di atas, “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden” dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 tidak memadai dalam memutus perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden jika tidak dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon mengenai jangka waktu pengajuan permohonan dan jangka waktu penyelesaian perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU MK yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, agar memberikan kepastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU MK.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 28 Februari 2023, pukul 12.47 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 182 huruf g UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi Pemohon yang meminta untuk menjadikan permohonan a quo sebagai prioritas dalam pemeriksaan. Karena, menurut Pemohon tahapan pencalonan anggota DPD telah dimulai sejak tanggal 6 Desember 2022 dan akan berakhir pada tanggal 5 November 2023. Sehingga, untuk memberikan kepastian hukum maka norma syarat pencalonan anggota DPD sebagaimana dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah, tidak lagi diberlakukan.
Bahwa terhadap permohonan provisi Pemohon di atas, Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 7 Februari 2023 dan Sidang Panel Perbaikan Permohonan pada tanggal 20 Februari 2023. Berkenaan dengan hal tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 Februari 2023 telah memutuskan bahwa permohonan a quo tidak dilanjutkan ke sidang pleno untuk mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Selain alasan sebagaimana dimaksud dalam Paragraf [3.10] di bawah, putusan untuk tidak membawa ke pleno juga berkaitan dengan batas waktu pendaftaran calon anggota DPD. Oleh karena itu, terlepas ada atau tidaknya permohonan provisi dari Pemohon Mahkamah telah dengan sendirinya menjatuhkan terhadap permohonan a quo dalam waktu yang cepat tanpa harus mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Terlebih, menurut Mahkamah permohonan a quo mempunyai urgensi untuk segera diputus. Dengan demikian, permohonan provisi Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut, oleh karenanya tidak beralasan menurut hukum.
Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama, telah ternyata permohonan Pemohon substansinya berkenaan dengan persyaratan bagi mantan terpidana yang akan menjadi peserta Pemilu. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Desember 2019 menyatakan bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga, terhadap norma yang mengatur hal tersebut, yakni Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016) selengkapnya berbunyi:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Sementara itu, berkenaan dengan mantan terpidana yang akan mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPR dan calon anggota DPRD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 November 2022, Mahkamah pun telah memaknai sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
“(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
[3.12] Menimbang bahwa berdasakan kedua putusan Mahkamah di atas, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah dalam perkara a quo adalah apakah syarat kumulatif bagi mantan terpidana yang akan menjadi peserta Pemilu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 harus pula diselaraskan bagi calon anggota DPD yang berstatus sebagai mantan terpidana karena sama-sama merupakan jabatan yang dipilih melalui Pemilu. Selain itu, apakah perlu menambahkan syarat tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga syarat masa jeda lima tahun dihitung setelah selesainya seluruh pidana termasuk pidana tambahan, kecuali jika pidana tambahan tersebut dijatuhkan seumur hidup. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials) baik melalui pemilihan umum yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum angota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilihan kepala daerah yakni pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022 pada intinya telah menegaskan tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Berdasarkan perkembangan tersebut, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, Mahkamah telah memberlakukan syarat kumulatif bagi mantan terpidana yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana pemberlakuan syarat kumulatif dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diperuntukkan bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pemberlakuan syarat bagi mantan terpidana yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
“[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada putusan-putusan tersebut, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah, padahal keduanya merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials), maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Adapun perbedaan secara faktual adalah dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang tidak selaras lagi dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang selengkapnya adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Sebab, sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya;
Bahwa selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali karena fakta empirik menunjukkan bahwa terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikutip tersebut di atas dan terakhir ditegaskan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUXVII/2019. Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.
[3.12.2] Bahwa dengan telah diselaraskannya antara norma persyaratan calon bagi mantan terpidana yang akan mengajukan diri sebagai kepala daerah dan calon anggota DPR dan DPRD telah memberikan kepastian hukum dan sekaligus telah mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota serta calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan. Namun demikian, belum semua jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan memiliki pemaknaan yang sama. Ketidaksamaan pemaknaan dimaksud antara lain dapat dibaca dari persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD.
[3.12.3] Bahwa berkenaan dengan salah satu syarat untuk mernjadi calon anggota DPD, yaitu sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017, sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada pokoknya mengatur tentang syarat mantan terpidana yang akan menjadi calon anggota DPD. Apabila dibaca secara saksama, norma-norma yang telah diberikan pemaknaan di atas esensinya mengatur hal yang sama dengan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017, yaitu berkenaan dengan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, dengan belum diberikan pemaknaan untuk Pasal 182 huruf g UU 7/2017 terbuka kemungkinan bagi calon anggota DPD dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri tanpa terlebih dahulu memenuhi pemaknaan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Oleh karenanya, substansi norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 belum sejalan dengan semangat yang ada dalam kedua putusan tersebut. Padahal kepala daerah, anggota DPR dan DPRD serta anggota DPD, merupakan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan (elected officials). Dengan adanya pembedaan yang demikian berakibat terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dalam pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPD bagi mantan terpidana, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penegasan dan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPD, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagai syarat kumulatif sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017;
[3.13] Menimbang bahwa terhadap petitum permohonan Pemohon yang juga menghendaki adanya pemaknaan tambahan, yaitu “tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, menurut Mahkamah, pada satu sisi, pemaknaan tambahan demikian akan mengakibatkan perbedaan persyaratan antara calon kepala daerah, anggota DPR dan anggota DPRD dengan persyaratan calon anggota DPD. Hal demikian dapat menciptakan ketidakselarasan dan ketidakharmonisan norma syarat pencalonan bagi semua jabatan yang dipilih dalam pemilihan. Sementara di sisi lain, pemaknaan tambahan tersebut potensial menciptakan ketidakpastian hukum. Karena, pidana tambahan merupakan jenis pidana yang bersifat fakultatif yang dapat dijatuhkan hakim untuk kasus konkret yang ditangani oleh lingkup peradilan di luar Mahkamah. Terlebih lagi, dalam penjatuhan pidana tambahan yang bersifat sementara tidak mudah menemukan ukuran waktu antara pemberlakuan pidana tambahan dengan tenggang waktu masa tunggu (jeda) bagi mantan terpidana untuk mengajukan diri sebagai calon peserta Pemilu, sehingga menyulitkan dalam penerapannya. Sementara itu, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik secara permanen atau seumur hidup adalah di luar konteks mantan terpidana sebagaimana dimaksud dalam putusan-putusan di atas. Dengan demikian, agar tercipta perlakuan yang sama bagi semua calon yang akan ikut kontestasi jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials), hingga saat ini Mahkamah tetap dengan pendirian sebelumnya dan belum terdapat alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk menambahkan dalam syarat kumulatif berupa pidana tambahan sebagaimana dimohonkan Pemohon.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma dan tidak selaras dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sehingga, pemaknaan terhadap Pasal 182 huruf g UU 7/2017 akan dituangkan dalam amar putusan a quo;
[3.15] Menimbang bahwa oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 12/PUU- XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 12/PUU- XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 12/PUU- XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023 mengenai norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Januari 2023, pukul 16.23 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/1946) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materill Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi para Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 79 angka 1 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan multitafsir terkait penafsiran mengenai waktu penghitungan masa daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, daluwarsa (kedaluwarsa) adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP, pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan/atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa [vide Pasal 78 KUHP]. Daluwarsa dimaksud ditujukan agar kewenangan penuntutan dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan bukan dilakukan dengan tanpa batas waktu. Ketentuan daluwarsa memberikan kepastian hukum terhadap status tindak pidana yang dilakukan agar pelaku tidak terus- menerus berada dalam keadaan tidak tenang tanpa batas waktu karena ketidaktenangan hidup sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa yang tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan. Lamanya tenggang waktu daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang diperbuat. Semakin berat tindak pidana diperbuat maka akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang atau masyarakat sebagai akibat dari tindak pidana yang dibuatnya.
Selain itu, daluwarsa juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal mengungkap kasus perkara sebagaimana kejadian sebenarnya di waktu yang lalu. Hal ini dikarenakan dalam mengungkap suatu peristiwa diperlukan bukti sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan. Semakin lama lewatnya waktu suatu peristiwa maka akan semakin sulit untuk memperoleh alat bukti tersebut. Begitu pula dengan ingatan seorang saksi yang akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihat atau dialaminya.
Demikian juga dengan barang bukti, yang semakin lama akan menyebabkan benda itu menjadi rusak, musnah, atau hilang dan tidak ada lagi. Sehingga, dengan berlalunya waktu yang lama akan memperkecil keberhasilan bahkan dapat menyebabkan kegagalan dari suatu penuntutan. Lebih dari itu, rasa keadilan juga menjadi terusik manakala keadilan yang dicapai bukanlah keadilan hakiki yang digali dari persidangan yang menggunakan alat bukti yang tidak valid.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan mengenai daluwarsa pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi masyarakat terutama terkait dengan penanganan suatu perkara. Bagi pelaku, daluwarsa memberikan kepastian hukum kepada pelaku mengenai sampai kapan jangka waktu perkaranya dapat dilakukan penuntutan. Adapun bagi penegak hukum, daluwarsa memberikan kepastian hukum terkait jangka waktu untuk melakukan penuntutan terhadap suatu perkara.
[3.10.2] Bahwa secara umum, jangka waktu daluwarsa harus mulai dihitung pada hari sesudah tindak pidana dilakukan [vide Pasal 78 KUHP]. Sehingga, untuk dimulainya jangka waktu penghitungan daluwarsa ialah bukan pada waktu tindakan dilakukan, melainkan pada saat munculnya akibat dari tindak pidana tersebut. Pasal 79 angka 1 KUHP menyatakan, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: 1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan”. Ketentuan ini memberikan pengecualian terhadap berlakunya tenggang waktu daluwarsa yang umumnya mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, yakni berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
Bahwa terkait dengan tindak pidana pemalsuan surat, diatur dalam Bab XII Buku II KUHP yakni Pasal 263 KUHP sampai dengan Pasal 276 KUHP, yaitu pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP), pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 263 KUHP), menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan mempergunakan akta tersebut (Pasal 266 KUHP), pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan Pasal 268 KUHP), pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, Pasal 270, dan Pasal 271 KUHP); dan pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (Pasal 274 KUHP). Adapun dalam permohonan a quo, pemalsuan surat yang dimaksudkan oleh para Pemohon ialah yang terkait dengan Pasal 263 KUHP yang menyatakan:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Dalam ketentuan tersebut, pemalsuan surat merupakan tindak pidana yang diancam pidana penjara yaitu paling lama enam tahun penjara. Sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP, kewenangan penuntutan atas tindak pidana pemalsuan tersebut akan menjadi hapus karena daluwarsa sesudah 12 (dua belas) tahun.
Bahwa yang dimaksud dengan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah: 1) Yang dapat menimbulkan suatu hak; 2) Yang dapat menimbulkan suatu perjanjian/perikatan; 3) Yang dapat menimbulkan suatu pembebasan utang; 4) Yang dapat dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa. Bentuk pemalsuan surat dapat dilakukan dengan cara membuat surat palsu, memalsu surat, memalsu tanda tangan, dan penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Pengertian membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu sehingga surat palsu yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara memalsu surat adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah, atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula atau disebut juga surat yang dipalsukan.
Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja, baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat. Ketentuan ini pada dasarnya melindungi kepentingan umum yakni kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat serta timbulnya kerugian. Kerugian yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus kerugian yang bersifat materiil, melainkan juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan, misalnya penggunaan surat yang dipalsukan tersebut dapat menyulitkan pengusutan suatu perkara. Oleh karenanya Pasal 263 KUHP merupakan delik pemalsuan yang secara spesifik sangat penting bagi pergaulan masyarakat dan pidana tambahan yang dapat diterapkan ialah pencabutan hak serta tidak ada pidana perampasan. Dalam pemalsuan surat juga harus ternyata:
1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
2. Penggunaannyaharusdapatmendatangkankerugian.
3. Tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga yang sengaja menggunakan surat palsu, yaitu orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dihukum.
4. Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan.
5. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Berdasarkan uraian di atas, delik pemalsuan dalam Pasal 263 KUHP merupakan delik pokok yang dapat menjadi berkualifikasi apabila pemalsuan yang dimaksudkan dalam Pasal 263 KUHP dilakukan terhadap akta autentik; surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya atau suatu lembaga umum; surat sero (saham) atau utang atau sertifikat sero atau dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya atau suatu lembaga umum dan surat sero atau utang atau sertifikat sero atau dari suatu perkumpulan, Yayasan, perseroan atau maskapai atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat tersebut; suatu kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.
[3.10.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam sub-paragraf [3.10.2] di atas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP, menurut Mahkamah, penghitungan daluwarsa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah setelah seluruh unsur dari perumusan tidak pidana pemalsuan surat terpenuhi, yaitu pada hari sesudah barang yang dipalsu tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Ketiga unsur dimaksud haruslah dimaknai secara kumulatif. Dengan kata lain, penghitungan daluwarsa pemalsuan surat adalah pada hari sesudah surat yang diduga palsu tersebut dipergunakan dan kepalsuan tersebut diketahui oleh korban atau orang atau pihak lain serta korban dirugikan akibat digunakannya surat yang diduga palsu tersebut. Ketentuan demikian lebih memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama bagi korban, yang mungkin saja baru mengetahui adanya tindak pidana pemalsuan surat ketika timbul suatu kerugian pada dirinya dikarenakan adanya penggunaan surat dimaksud. Artinya, korban mungkin tidak akan mengetahui adanya pemalsuan surat apabila surat yang dipalsukan tersebut tidak dipergunakan oleh seseorang dan menimbulkan kerugian pada dirinya. Keadaan demikian juga merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan negara kepada masyarakat, in casu korban, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintahan”. Lebih lanjut, ketentuan tersebut juga menutup peluang bagi orang yang berniat untuk menggunakan surat yang dipalsukan tersebut setelah lewat daluwarsa yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, guna menghindari adanya ketidakpastian hukum dalam penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP serta guna memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, menurut Mahkamah, terkait dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah pada hari sesudah pemalsuan surat tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Dengan demikian, adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum di dalam mengimplementasikan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, yang juga sebagian didalilkan oleh para Pemohon dapat dihindari.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dapat diterima. Namun, oleh karena pemaknaan akan syarat dimulainya penghitungan masa daluwarsa berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tidak sama dengan pendirian Mahkamah maka dengan demikian permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya, termasuk Pasal 137 huruf a RKUHP tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 79 angka 1 KUHP, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Bahwa meskipun saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/2023) yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 1/1946, namun dalam Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan bahwa “Undang-Undang Ini Mulai Berlaku Setelah 3 (Tiga) Tahun Terhitung Sejak Tanggal Diundangkan”. Hal tersebut mengandung arti bahwa UU 1/1946 saat ini masih berlaku sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118/PUU-XX/2022 dapat dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka dan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 1/2023.
b. Bahwa pengaturan dalam Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 diatur kembali dalam Pasal 137 huruf a UU 1/2023 dengan materi pengaturan yang sama sehingga dalam memaknai Pasal 137 huruf a UU 1/2023 harus mengikuti pemaknaan Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 yang telah diputus oleh MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118/PUU-XX/2022.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, putusan tersebut tetap dapat dilaksanakan dan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 1/2023.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2022, pukul 13.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian atas Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan a quo, bukti-bukti yang diajukan Pemohon, dan ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan Presiden, keterangan Komisi Pemilihan Umum, pada pokoknya permohonan Pemohon dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok.
Pertama, pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 berkenaan dengan penyusunan daerah pemilihan harus didasarkan pada ketentuan dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Ihwal ketiga norma dimaksud, Pemohon menghendaki norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 ditambahkan penegasan bahwa penyusunan daerah pemilihan harus didasarkan pada ketentuan Pasal 185 UU 7/2017 yang menyatakan, “Penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan prinsip: a. keseteraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan”. Tanpa menambahkan penegasan prinsip dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 dimaksud, sebagaimana didalilkan Pemohon, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 menjadi inkonstitusional.
Kedua, pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 ihwal daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR; serta daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR; serta daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan Peraturan KPU”. Dengan dalil dimaksud, Pemohon sekaligus juga menghendaki agar Lampiran III UU 7/2017 tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR dan Lampiran IV UU 7/2017 tentang Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Meskipun dalil Pemohon dapat dibedakan atas dua kelompok, perlu Mahkamah tegaskan, setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan a quo, terutama uraian dalam alasan-alasan mengajukan permohonan (posita, fundamentum petendi) menunjukkan arah argumentasi yang saling berhimpitan (berkelindan) di antara keduanya. Argumentasi yang saling berkelindan tersebut, salah satunya, tidak dapat dilepaskan dari posisi semua norma yang diuji konstitusionalitasnya berada dalam satu bab dengan isu yang sama, yaitu norma yang berkenaan dengan daerah pemilihan. Bahkan, dengan membaca dan memeriksa secara saksama permohonan a quo, arah permohonan Pemohon lebih fokus pada penilaian atau masalah konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 dibandingkan penilaian terhadap konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017.
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan kelompok pertama, yaitu ihwal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa secara sistematis, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon berada dalam satu bab, yaitu Bab III tentang “Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan”. Ketika menguraikan norma dalam Bab III dimaksud, pembentuk undang-undang memulai pengaturan norma di dalam bab a quo dengan ketentuan noma Pasal 185 yang memaktubkan prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dalam hal ini, norma Pasal 185 UU 7/2017 menyatakan, “penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan prinsip, yaitu: a. kesetaraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. Integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan”. Tidak hanya sebatas menyatakan prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, UU 7/2017 juga menjelaskan maksud dari setiap prinsip dimaksud sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 185 UU 7/2017.
Bahwa salah satu masalah utama yang harus dijelaskan berkenaan dengan norma Pasal 185 UU 7/2017 adalah makna “prinsip” yang dimaktubkan dalam suatu norma. Dalam hal ini, secara normatif, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) tidak memberikan pengertian tentang kata “prinsip” dimaksud. Satu-satunya pedoman untuk menjelaskan kata dimaksud yaitu dengan merujuk Lampiran I UU 12/2011 ketika menjelaskan ihwal Teknik Penyususan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 menyejajarkan penulisan kata “asas” dan kata “prinsip” menggunakan pola menempatkan keduanya dengan garis miring. Penyejajaran penulisan kedua kata dimaksud dapat ditemui ketika menuliskan kalimat: “kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma”. Namun demikian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, kata “asas” dimaknai sebagai dasar, yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Sementara kata “prinsip” dimaknai sebagai asas, yaitu sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya. Sekalipun secara gramatikal, kata “asas” dan kata “prinsip” dapat dibedakan, namun membedakan keduanya secara tegas menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Menurut Mahkamah, penyejajaran penulisan kata “asas” dan kata “prinsip” dalam UU 12/2011 karena keduanya memiliki kelindan. Dalam hal ini, secara doktriner, karena di dalamnya mengandung makna “memiliki kebenaran”, keberadaan kata “prinsip” menguatkan posisi asas. Artinya, keberadaan prinsip-prinsip hukum dalam unsur-unsur pembentukan hukum adalah memperkuat agar nilai-nilai hukum yang terkandung dalam suatu asas-asas hukum diterima oleh masyarakat.
Bahwa dengan penjelasan di atas, 7 (tujuh) prinsip penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 dimaksudkan untuk memperkuat asas-asas pemilihan umum, yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dilaksanakan secara berkala dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, 7 (tujuh) prinsip penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 juga memperkuat asas pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 7/2017. Dengan keberadaan kata “prinsip” berkelindan dengan kata “asas” dan sekaligus memperkuat keberadaan asas, jika dikaitkan dengan keseluruhan norma dalam Bab III UU 7/2017, penerapan norma-norma lain yang berada dalam lingkup penyusunan daerah pemilihan harus tunduk pada prinsip yang ditentukan dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Keharusan untuk tunduk pada prinsip tersebut merupakan bentuk nyata atas pemenuhan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon yang menghendaki norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 diperlukan penegasan berkenaan dengan penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yaitu penegasan berupa pemaknaan (konstitusional bersyarat) perihal penyusunan dimaksud didasarkan kepada norma Pasal 185 UU 7/2017. Bilamana tidak dimaknai demikian, menurut Pemohon, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 menjadi inkonstitusional. Sebagaimana diuraikan pada paragraf di atas, sebagai norma yang berisikan prinsip-prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan, Pasal 185 UU 7/2017 harus diposisikan sebagai norma yang menyinari sekaligus mewadahi kebenaran yang menjadi dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak segala hal yang berkaitan dengan penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Menurut Mahkamah, ketujuh prinsip penyusunan daerah pemilihan tersebut wajib dijadikan dasar dalam menyusun daerah pemilihan. Namun, setelah Mahkamah mencermati norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, ketiga norma a quo tersebut berisikan ruang lingkup daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Artinya, sekiranya terdapat ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip dengan praktik penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, hal demikian haruslah dipandang sebagai persoalan implementasi norma, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih lagi, dalam teknis penyusunan norma, menambahkan makna sebagaimana yang dikehendaki Pemohon, yaitu dengan cara menambahkan frasa “yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185” untuk norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi, penambahan pemaknaan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon dapat menggerus posisi Pasal 185 sebagai norma yang menyinari dan mewadahi kebenaran dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak dalam menyusun daerah pemilihan sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 bilamana tidak dimaknai yang pada intinya daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185 UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil dalam UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan kelompok kedua, yaitu ihwal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV sebagai ikutan kedua norma dimaksud. Norma pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi serta Lampiran III dan Lampiran IV dipersoalkan konstitusionalitasnya karena dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil tersebut, untuk menjelaskan ihwal pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 serta pencantuman dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, asas pemilihan umum “jujur” dan “adil” dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menjadi dasar konstruksi konstitusional utama yang harus digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengaturan norma-norma dan lampiran a quo. Jamak dipahami, kedua asas pemilihan umum tersebut menghendaki pengaturan dan penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan dalam kerangka kontestasi pemilihan umum yang adil. Keadilan pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh regulasi yang digunakan, proses penyelenggaraan yang menjamin kesetaraan semua peserta, perlindungan hak pilih, dan kemandirian penyelenggara dalam melaksanakan seluruh tahapan pemiliihan umum. Dalam konteks regulasi, keadilan akan ditentukan dari sejauh mana regulasi menentukan batas-batas kontestasi yang adil pada semua tahapan pemilihan umum yang ada, regulasi mampu memberi garansi semua peserta diperlakukan setara dan proporsional, dan ketentuan yang dimuat dalam regulasi mengandung kepastian hukum.
[3.15.1] Bahwa berdasarkan kerangka berpikir demikian, ihwal konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, menurut Mahkamah, semua rangkaian kontestasi pemilihan umum harus tunduk pada tahapan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam hal ini, norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017 menentukan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum;
b. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
c. pendaftaran dan verifikasi peserta pemilihan umum;
d. penetapan peserta pemilihan umum;
e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f. pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
g. masa kampanye pemilihan umum;
h. masa tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil pemilihan umum; dan
k. pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Bahwa sesuai dengan norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan pemilihan umum. Secara konseptual, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu unsur yang membangun sistem pemilihan umum. Dengan demikian, penetapan daerah pemilihan merupakan bagian dari proses kontestasi pemilihan umum. Sebab, posisi daerah pemilihan merupakan bagian dari kompetisi bagi seluruh kontestan pemilihan umum untuk meraih suara pemilih dan penentuan perolehan jumlah kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagai area kompetisi, penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus rasional dan memenuhi prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi. Demi menjaga rasionalitas dan pemenuhan prinsip-prinsip dalam menentukan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus dilakukan dalam kerangka penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Selain itu, data kependudukan yang dinamis harus pula dijadikan sebagai basis utama penentuan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari suatu kontestasi pemilihan umum ke kontestasi periode berikutnya.
Sementara itu, pengaturan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 harus didasarkan pada prinsip kepastian hukum. Terkait dengan prinsip tersebut, konsep kepastian hukum yang dikehendaki ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mencakup kejelasan pengaturan atau aturan yang ada tidak multitafsir atau tidak bertentangan satu sama lain. Pada saat yang sama, kepastian hukum juga menuntut aturan hukum yang mampu menjamin tidak adanya potensi konflik kepentingan dalam pengaturan dan penerapannya. Dalam kerangka itu, norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 harus mampu mewujudkan adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
[3.15.2] Bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan dan menjawab dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, perlu dijelaskan terlebih dulu pengaturan terkait dengan daerah pemilihan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999) menyerahkan ihwal kewenangan pembentukan daerah pemilihan dan jumlah alokasi kursi per-daerah pemilihan untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) [vide Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (4) UU 3/1999]. Begitu pula dengan Pemilihan Umum Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 12/2003) masih menempatkan KPU sebagai lembaga yang berwenang membentuk daerah pemilihan [vide Pasal 25 huruf e dan Pasal 46 ayat (2) UU 12/2003]. Pengaturan daerah pemilihan dalam kedua undang-undang a quo hanya diatur dalam pasal-pasal dan tidak termasuk memuat dalam lampiran undang-undang.
Bahwa berbeda dengan kedua undang-undang di atas, sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009, pengaturan daerah pemilihan tidak hanya dalam pasal-pasal undang-undang tetapi pemuatan daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi juga dimuat dalam lampiran undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan UU 7/2017. Artinya, pengaturan daerah pemilihan demikian telah berjalan lebih kurang selama 3 (tiga) periode pemilihan umum. Selama itu pula, proses evaluasi terhadap pengaturan daerah pemilihan belum pernah dilakukan, kecuali apabila terdapat pemekaran daerah, baik provinsi atau kabupaten/kota yang kemudian diiringi dengan penambahan jumlah daerah pemilihan dan kursi DPR. Oleh karena itu, praktik pelaksanaan tiga kali pemilihan umum dimaksud sudah kuat menjadi basis penilaian terhadap pengaturan daerah pemilihan yang diadopsi dalam UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan Pemohon, kesesuaian antar prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan dengan realitas penentuan daerah pemilihan perlu dipertimbangkan lebih jauh agar jaminan terhadap penyelenggaraan dan pemenuhan asas-asas pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan keterpenuhan prinsip kepastian hukum pengaturan dan penetapan daerah pemilihan tetap dapat dijaga. Artinya, upaya memastikan asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum dimaksud sekaligus merupakan upaya mewujudkan kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
[3.15.3] Bahwa sehubungan dengan itu, dalil-dalil Pemohon berkenaan dengan terjadinya ketidakpastian hukum dalam pengaturan daerah pemilihan dalam Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017, termasuk pencantuman daerah pemilihan dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa UU 7/2017 secara tegas mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, in casu dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Prinsip penentuan daerah pemilihan dimaksud mencakup: kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilihan umum proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan. Berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan, khususnya bukti P-4 sampai dengan bukti P-6, keterangan Pemerintah dan keterangan DPR, penentuan daerah pemilihan sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran III UU 7/2017 telah menghasilkan ketimpangan “harga” suara yang signifikan antar-daerah pemilihan, terjadinya disproporsionalitas jumlah dan alokasi kursi, dan terdapatnya daerah pemilihan yang tidak memenuhi prinsip integralitas wilayah di beberapa daerah pemilihan. Sekalipun ketimpangan “harga” suara masing-masing daerah pemilihan tidak hanya sekedar diukur memakai selisih suara masing-masing, tetapi juga harus mempertimbangkan kemahalan biaya yang mesti dikeluarkan peserta pemilihan umum dalam melaksanakan fungsi representasi. Dalam hal ini, ketimpangan “harga” kursi tidak boleh terjadi terutama jika ketimpangan tersebut menghasilkan standar deviasi yang sangat tinggi. Jika hal demikian terjadi, prinsip penentuan daerah pemilihan sesungguhnya telah terlanggar. Ketika alokasi atau penentuan daerah pemilihan tersebut dicantumkan dalam lampiran undang-undang, hal itu akan berdampak terhadap ketidaksinkronan antar-norma yang mengatur prinsip daerah pemilihan dengan lampiran undang-undang yang mencantumkan pembagian daerah pemilihan. Ketidaksinkronan dimaksud akan bermuara terjadinya ketidakpastian hukum dan sekaligus berdampak pada kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, kepastian hukum sebuah norma juga harus didukung oleh tingkat keajegan suatu keadaan yang diatur oleh norma dimaksud. Dalam konteks ini, keajegan hal-hal dalam menentukan suatu daerah pemilihan sangat mempengaruhi kepastian pengaturan daerah pemilihan. Faktor utama yang mempengaruhi eksistensi sebuah daerah pemilihan adalah eksistensi daerah otonom dan jumlah penduduk. Ketika terjadi perubahan daerah otonom provinsi atau kabupaten/kota melalui kebijakan pemekaran atau penggabungan daerah, akan berdampak pada penentuan daerah pemilihan. Selain itu, perubahan komposisi jumlah penduduk, baik karena migrasi, penambahan atau pengurangan jumlah penduduk juga akan mempengaruhi daerah pemilihan dan alokasi kursi. Hal yang menyebabkan dinamisnya faktor-faktor yang memengaruhi penetapan daerah pemilihan, membuat atau menempatkan pencantuman daerah pemilihan dalam lampiran suatu undang-undang akan menyebabkan penentuan daerah pemilihan untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan baik disebabkan adanya perubahan daerah otonom maupun karena adanya perubahan jumlah penduduk sehingga menjadi tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap undang-undang dimaksud. Artinya, pemuatan daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang justru akan menimbulkan ketidakpastian dalam memenuhi prinsip-prinsip penyusunan atau penentuan daerah pemilihan. Ketidakpastian tersebut semakin terasa bilamana terdapat fakta perihal politik legislasi undang-undang pemilihan umum justru menuju pada titik tidak dilakukan perubahan setiap periode pemilihan umun, melainkan digunakan atau diberlakukan untuk beberapa periode pemilihan umum. Oleh karena itu, demi menjaga kepastian hukum dalam penentuan atau penyesuaian daerah pemilihan, pencantuman dalam lampiran undang-undang pemilihan umum jelas memiliki masalah konstitusional yang berpotensi mengancam kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945. Bahwa merujuk pengaturan tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan pemilihan umum yang dijalankan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Sejalan dengan itu, secara normatif, UU 7/2017 mengatur penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum merupakan tugas KPU. Pengaturan demikian merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Berkaitan dengan hal ini, ketentuan Pasal 12 huruf d UU 7/2017 menyatakan, “KPU bertugas mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilihan umum”. Jika ketentuan Pasal 167 ayat (4) dan Pasal 12 UU 7/2017 dibaca dalam hubungan sistematis, konstruksi normanya secara sederhana dipahami “pelaksanaan tahapan pemilihan umum berupa penetapan daerah pemilihan merupakan tugas dari KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum”. Bilamana daerah pemilihan ditetapkan sebagai bagian dari undang-undang, berarti pembentuk undang-undang telah mengambil peran dalam penetapan daerah pemilihan. Padahal, penetapan daerah pemilihan merupakan suatu tahapan dari penyelenggaraan pemilihan umum yang berada dalam lingkup tugas KPU. Dengan demikian, selama penetapan daerah pemilihan menjadi bagian dari Lampiran undang-undang, KPU akan kehilangan peran secara signifikan dalam penentuan daerah pemilihan. Bagaimanapun dengan diaturnya daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang, penetapan daerah pemilihan tidak lagi menjadi bagian dari tugas KPU. Realitas demikian menunjukkan terdapat contradictio in terminis antara norma yang mengatur tentang penetapan daerah pemilihan dan wewenang KPU untuk menetapkan daerah pemilihan dengan ketentuan yang mengatur tentang daerah pemilihan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi. Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan mandat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menuntut adanya jaminan kepastian hukum terhadap hal-hal yang diadopsi dalam undang-undang.
[3.15.4] Bahwa dengan maksud menjaga penerapan asas adil dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang muncul akibat ketidaksinkronan norma yang satu dengan yang lain terkait dengan penetapan daerah pemilihan dalam UU Pemilihan Umum. Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU. Pilihan ini akan sejalan dengan kerangka tugas KPU dan tahapan pemilihan umum yang diatur UU 7/2017. Artinya, dengan mengembalikan tugas penetapan daerah pemilihan, in casu penetapan daerah pemilihan serta alokasi kursi pada masing-masing daerah pemilihan, baik bagi anggota DPR maupun DPRD provinsi, segala potensi pertentangan UU 7/2017 dengan UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum akan dapat dijawab dan diakhiri. Dalam hal ini, Undang-Undang Pemilihan Umum cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD. Sementara itu, rincian berkenaan dengan pembagiannya diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai dengan ketentuan Pasal 167 ayat (8) UU 7/2017 yang intinya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur dengan Peraturan KPU. Dengan mengembalikan tugas ini kepada KPU maka perubahan jumlah penduduk yang menjadi basis penetapan daerah pemilihan akan lebih mudah dan cepat dilakukan dan disesuaikan tanpa harus mengubah undang-undang. Pilihan ini lebih tepat untuk menghindari atau mengatasi soal ketidakpastian hukum akibat pencantuman rincian daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang. Namun demikian, hal terpenting yang harus dilakukan, dalam menyusun peraturan dimaksud, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah [vide Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 10 Juli 2017].
[3.15.5] Bahwa apabila dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, mengembalikan tugas penentuan daerah pemilihan secara utuh kepada KPU, termasuk daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi dapat menjaga kualitas penyelenggaran pemilihan umum. Terkait dengan hal tersebut, mempertahankan tugas KPU dalam semua tahapan pemilu sejak awal hingga akhir, menjadi bagian dari upaya menjaga independesi penyelenggaraan pemilihan umum. Sebab, bilamana terdapat pihak lain yang ikut menentukan tahapan, terbuka kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan tersebut amat mudah dilacak dari kebijakan penentuan daerah pemilihan, terutama daerah pemilihan bagi anggota DPR. Terlebih lagi, dalam perkembangan penentuan daerah pemilihan disadari terdapat daerah-daerah yang tidak proporsional dalam pendistribusian jumlah kursi di DPR atau ketidakberimbangan jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR. Karena itu, secara faktual, terdapat sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih besar dibandingkan proporsi jumlah penduduk (over represented) dan terdapat pula sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih kecil jika dibandingkan proporsi jumlah penduduk (under represented). Apabila fakta tersebut tidak diperbaiki, penentuan jumlah kursi akan semakin menjauh dari keadilan keterwakilan wilayah dan prinsip proporsionalitas dalam sistem pemilihan umum proporsional.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, agar ketentuan dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV berkenaan dengan pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi agar tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah tidak mempunyai pilihan dan demi mewujudkan penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil, menyatakan bahwa daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, termasuk untuk DPR dan DPRD provinsi diatur dalam Peraturan KPU sebagaimana dimuat dalam amar putusan a quo. Karena penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi diatur dalam Peraturan KPU, maka implikasinya Lampiran III UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPR RI dan Lampiran IV UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon perihal Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil adalah beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa dengan pendirian Mahkamah pada Paragraf [3.15] di atas, oleh karena kewenangan penetapan rincian daerah pemilihan dan alokasi kursi DPR dan DPRD provinsi kembali menjadi wewenang KPU, sementara tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan sudah dimulai sejak tanggal 14 Oktober 2022 dan akan berakhir pada tanggal 9 Februari 2023. Artinya, tahapan dimaksud belum berakhir, Mahkamah perlu menegaskan agar dalam menetapkan daerah pemilihan dan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan disusun sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU 7/2017. Selain itu, dalam penentuan daerah pemilihan dan evaluasi penetapan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan a quo dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 dan pemilihan umum selanjutnya.
Bahwa terkait dengan hal tersebut, Mahkamah juga perlu memberikan batasan bahwa dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan daerah pemilihan, misalnya prinsip kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antardaerah pemilihan, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya “harga” kursi dari aspek jumlah suara untuk masing-masing kursi di daerah pemilihan, namun juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya seperti tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilihan umum. Sehingga, proporsionalitas kursi antara daerah pemilihan, terutama antara daerah pemilihan di Pulau Jawa dengan daerah pemilihan di Luar Jawa tetap dapat dijaga secara proporsional.
[3.17] Menimbang bahwa dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan daerah pemilihan dan penentuan alokasi kursi daerah pemilihan, perubahan dimaksud harus disesuaikan dengan Putusan a quo.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 7/2017.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2017.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2022, pukul 12.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 40A UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 40A UU 11/2021 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada Rabu, 20 April 2022 yang amarnya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena permohonan para Pemohon bersifat kabur. Sementara itu, dalam Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 40A UU 11/2021 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sedangkan untuk permohonan para Pemohon a quo yang dilakukan pengujian adalah Pasal 40A UU 11/2021 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil permohonan para Pemohon, meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Terlebih lagi, terhadap permohonan sebelumnya Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil (permohonan para Pemohon bersifat kabur). Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali. Oleh karenanya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.
[3.9] Menimbang bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang [vide Penjelasan Umum UU 11/2021]. Dalam melaksanakan kekuasaan dan/atau kewenangannya tersebut, kejaksaan harus merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, meskipun berkaitan dengan kedudukan kejaksaan a quo Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011, menyatakan pada pokoknya, kejaksaan termasuk lembaga pemerintahan, yang ditandai dengan masa jabatan Jaksa Agung yang dilantik dan berhenti bersamaan dengan masa jabatan kabinet. Oleh karena itu, berdasarkan penegasan Mahkamah a quo terjadi dual obligation atas kedudukan kejaksaan, yaitu sebagai penegak hukum yang melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis dan yuridis dengan adanya dual obligation ini maka kedudukan kejaksaan adalah penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekalipun tidak disebutkan dalam UUD 1945. Sehingga dalam penataan organisasi kejaksaan, meskipun merupakan bagian dari lembaga pemerintah, namun oleh karena kejaksaan juga menjalankan fungsi penegakan hukum yang merupakan bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman, maka harus pula memperhatikan prinsip-prinsip independensi sebagaimana sebuah lembaga penegak hukum pada umumnya.
[3.10] Menimbang bahwa sejak tahun 1961 telah ada undang-undang yang mengatur mengenai institusi kejaksaan yaitu dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Kemudian UU a quo dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, lalu kembali dicabut dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang akhirnya diubah dengan UU 11/2021 yang saat ini dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon.
Bahwa UU 11/2021 membawa perubahan yang cukup signifikan pada institusi kejaksaan. Terdapat tambahan tugas dan kewenangan kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C UU 11/2021 antara lain di bidang pemulihan aset, di bidang intelijen penegakan hukum, serta kewenangan lainnya yang dinyatakan dalam dan Pasal 30C UU 11/2021. Selain itu UU 11/2021 juga mengatur perubahan pada batasan usia dalam syarat untuk diangkat sebagai jaksa dan batas usia pensiun jaksa.
[3.11] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan utama dalam permohonan para Pemohon adalah perubahan batas usia pensiun jaksa, yang sebelumnya 62 tahun sebagaimana diatur dalam UU 16/2004, menjadi 60 tahun sebagaimana diatur dalam UU 11/2021. Berkaitan dengan batasan usia pensiun, pada prinsipnya Mahkamah telah berpendirian dalam putusan-putusan terdahulu bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011 dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022, pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
“Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945…”
Bahwa dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada persoalan dengan penurunan batas usia pensiun jaksa yang sebelumnya 62 tahun menjadi 60 tahun dengan berlakunya UU 11/2021 karena hal tersebut sepenuhnya adalah kewenangan pembentuk undang-undang sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka, yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai kebutuhan. Termasuk dalam hal ini adalah penurunan batas usia pensiun jaksa dalam UU 11/2021 yang juga dibarengi dengan perubahan ketentuan syarat usia minimal untuk diangkat menjadi jaksa yang sebelumnya dalam UU 16/2004 batas usia pengangkatan jaksa paling rendah adalah 25 tahun, lalu diturunkan menjadi 23 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU 11/2021 yaitu:
“(1) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa adalah:
e. berumur paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun;
Bahwa berkaitan dengan batasan usia pada umumnya dan termasuk usia pensiun maupun usia minimum pengangkatan untuk jaksa, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, adalah menjadi kebijakan pembentuk undang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum pembentuk undang-undang untuk dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Pihak Terkait Kejaksaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, pada pokoknya menegaskan bahwa menghadapi perkembangan modernisasi dan memenuhi ekspektasi negara dan masyarakat, Politik hukum perubahan usia jaksa tidak hanya terhadap batas usia pensiun, perubahan juga berkaitan dengan ketentuan syarat usia minimal untuk dapat diangkat menjadi jaksa paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun, yang sebelumnya berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana termuat dalam Pasal 9 UU Kejaksaan. Oleh karena itu, keadaan perubahan usia pensiun dan syarat usia minimal diangkat menjadi jaksa sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan merupakan politik hukum yang berkaitan dengan perbaikan sumber daya manusia di institusi Kejaksaan Republik Indonesia [vide keterangan tertulis Pihak Terkait Kejaksaan RI hlm. 6-7]
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, terkait dengan penurunan batas usia pensiun jaksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 11/2021 Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap ketentuan norma a quo. Meskipun secara faktual norma a quo tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, namun oleh karena para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 40A UU 11/2021, maka di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas ketentuan norma tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 a quo. Oleh karena itu, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dengan alasan tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif.
[3.12] Menimbang bahwa Pasal 40A UU 11/2021 menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401)” adalah ketentuan peralihan yang mengatur pemberlakuan Pasal 12 huruf c UU 11/2021 yang menentukan bahwa jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah mencapai usia 60 tahun. Berkaitan penentuan batas usia pensiun a quo, ketentuan peralihan ini diperlukan karena ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 berakibat hukum kepada jaksa yang terdampak akibat perubahan batasan usia pensiun jaksa yang semula 62 tahun menjadi 60 tahun. Perubahan batas usia pensiun ini menimbulkan persoalan bagi jaksa yang akan, telah, atau melewati usia 60 tahun, oleh karena itu ketentuan peralihan a quo menjadi hal yang fundamental untuk menjadi rujukan dalam pemberlakuan aturan peralihan norma usia pensiun jaksa a quo terkait dengan kepastian hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif.
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, sebagai sebuah ketentuan peralihan maka Pasal 40A UU 11/2021 terikat dengan batasan yang ditetapkan pada Bagian C.4 angka 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang menyatakan:
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Bahwa terkait ketentuan tersebut, Mahkamah dalam putusan terdahulu telah berpendirian bahwa pada dasarnya ketentuan peralihan merupakan norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai “jembatan” antara keberlakuan norma (undang-undang) yang lama dengan keberlakuan norma (undang-undang) yang baru, atau norma pengganti. Oleh karena itu, ketentuan peralihan memuat penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan yang baru tersebut dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan permasalahan hukum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 77 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011 dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, hlm 125 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022].
Bahwa dengan demikian yang menjadi persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah, apakah Pasal 40A UU 11/2021 sebagai sebuah ketentuan peralihan sudah memberikan perlindungan hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi pihak yang terkena dampak atas adanya perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. Untuk menjawab persoalan a quo Mahkamah akan terlebih dahulu menilai dengan cara memaknai ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 secara gramatikal. Apabila dimaknai secara gramatikal, Mahkamah menemukan adanya persoalan terhadap ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yaitu memiliki makna ganda. Dalam kalimat “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” hal ini dapat dimaknai pertama, bahwa jaksa yang saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021] telah berusia 60 tahun atau lebih tetap mengikuti batas usia pensiun yang diatur UU 16/2004 [62 tahun], namun di sisi lain dapat pula dimaknai (sebagai pemaknaan kedua) yaitu, sejak saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021] pemberhentian jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan UU 16/2004 [usia pensiun 62 tahun], sehingga pada pemaknaan kedua seakan-akan semua jaksa berusia 60 tahun atau lebih akan terus tunduk pada UU 16/2004. Padahal pembentuk undang-undang sebagaimana keterangan Presiden dan keterangan DPR memaknai Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana pemaknaan pertama yaitu batas usia pensiun 62 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004 tetap berlaku bagi jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021].
[3.13] Menimbang bahwa terlepas dari persoalan adanya penilaian secara gramatikal norma Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, namun yang menjadi persoalan utama adalah apakah Pasal 40A UU 11/2021, yang dimaknai oleh pembentuk undang-undang bahwa bagi jaksa yang telah berusia 60 tahun atau lebih pada tanggal 31 Desember 2021 [saat UU 11/2021 berlaku] tetap mengikuti batasan usia pensiun yang diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004, memberikan kepastian hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi para Pemohon, khususnya jaksa yang pada saat UU 11/2021 diundangkan berusia kurang dari 60 tahun sebagai pihak yang tidak disebut secara langsung dalam ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 akan tetapi terdampak atas adanya perubahan UU 16/2004 menjadi UU 11/2021 dimaksud.
Bahwa dengan pemaknaan yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, Pasal 40A UU 11/2021 memiliki akibat hukum bagi semua jaksa yang pada tanggal 31 Desember 2021 (saat UU 11/2021 berlaku) belum berusia 60 tahun, yaitu akan tunduk pada Pasal 12 huruf c UU 11/2021 sehingga akan diberhentikan dengan hormat saat usianya 60 tahun. Maka setelah UU 11/2021 berlaku dimulailah rezim UU 11/2021 dengan usia pensiun jaksa yaitu 60 tahun. Fakta hukum a quo apabila dikaitkan dengan prinsip dasar yang menegaskan sebuah ketentuan peralihan harus memberikan perlindungan bagi pihak yang terdampak [vide pada Bagian C.4 angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang seharusnya menjadi jembatan yang memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak akan adanya perubahan norma akibat berlakunya undang-undang baru, namun justru tidak mencerminkan fungsi ketentuan peralihan sebagaimana dimaksud UU 12/2011. Sebab, ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 hanya menegaskan bahwa Pasal 12 huruf c UU 16/2004 masih diberlakukan bagi jaksa yang saat UU 11/2021 berlaku telah berusia 60 tahun atau lebih dan mengenyampingkan jaksa yang akan berusia 60 tahun terkait dengan bentuk perlindungan hukumnya di dalam memperoleh kepastian hukum yang adil. Dengan kalimat lain, aturan peralihan ini tidak memperhatikan jaksa lain yang dalam waktu dekat akan diberhentikan dengan hormat, in casu dalam kaitan ini termasuk para Pemohon. Meskipun tidak bermaksud menilai kasus konkret yang dialami para Pemohon, secara doktrinal aturan peralihan seharusnya memberikan perlindungan bagi pihak yang terdampak dari kerugian akibat perubahan norma, namun norma Pasal 40A UU 11/2021 hanya memberikan perlindungan bagi sebagian jaksa yang terdampak.
Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, terlepas dari penentuan usia pensiun merupakan open legal policy, namun penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali bahwa perubahan norma dari suatu undang- undang tidak boleh merugikan pihak yang terdampak, in casu dalam hal ini jaksa yang belum berusia 60 tahun. Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 secara seketika sejak UU 11/2021 diundangkan menyebabkan jaksa terdampak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Menurut Mahkamah seseorang yang akan menghadapi masa pensiun berhak mempersiapkan diri, baik secara mental maupun secara materil karena saat seseorang memasuki masa pensiun maka penghasilan yang selama ini diterima akan terhenti atau setidak-tidaknya berkurang, dalam hal ini aparatur sipil negara (ASN) hanya akan menerima hak pensiun yang jumlahnya terbatas. Dengan berlakunya Pasal 40A UU 11/2021 yang menyebabkan pemberhentian seketika bagi jaksa yang terdampak maka seketika itu pula akan berkurang penghasilan yang selama ini diterima. Selain itu, jaksa yang terdampak juga akan dirugikan karena kehilangan masa jabatannya secara seketika, kehilangan masa jabatan selama 2 (dua) tahun yang bisa jadi dalam masa jabatan itu terjadi kenaikan pangkat yang kemudian menentukan golongan ruang jaksa dimaksud karena kehilangan waktu yang turut menentukan perolehan hak-hak pensiun yang akan diterima. Meskipun bersifat materil, akan tetapi menurut Mahkamah kerugian demikian tidak dapat dipisahkan dan bisa jadi merupakan bagian dari adanya persoalan inkonstitusionalitasnya suatu norma dari undang-undang. Oleh karenanya memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 secara seketika sejak UU 11/2021 diundangkan kepada seluruh jaksa yang terdampak, khususnya yang berusia di bawah 60 tahun, menyebabkan jaksa terdampak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun.
Bahwa dengan demikian Pasal 40A UU 11/2021 yang hanya memberikan perlindungan bagi jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih saat UU 11/2021 diundangkan, menyebabkan kerugian bagi jaksa yang terdampak yaitu jaksa yang belum berusia 60 tahun saat UU 11/2021 diundangkan, yang menurut Mahkamah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa penurunan batas usia pensiun jaksa dari usia 62 tahun menjadi 60 tahun adalah konstitusional dan merupakan kebijakan hukum terbuka, dalam hal ini politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menyesuaikan dengan kebutuhan terkini instansi Kejaksaan Republik Indonesia, namun dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berpendapat bahwa ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 40A UU 11/2021 tidak memberi kepastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif menurut Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari semangat pembentuk undang-undang di dalam melakukan perubahan usia pensiun jaksadari usia 62 tahun menjadi 60 tahun, yaitu adanya kebutuhan institusi kejaksaan yang disebabkan semakin bertambahnya kewenangan kejaksaan, antara lain di bidang pemulihan aset yang diatur dalam Pasal 30A UU 11/2021, di bidang intelijen penegakan hukum yang diatur dalam Pasal 30B UU 11/2021, serta kewenangan lainnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30C UU 11/2021. Dengan alasan tersebut, maka berdampak pada bertambahnya beban kerja profesi jaksa yang dapat berimplikasi pada produktivitas dan hasil kerja institusi kejaksaan. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya perubahan batasan usia untuk diangkat menjadi jaksa lebih dini dan usia pensiun dikurangi akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan handal dalam melaksanakan fungsi dan wewenang jaksa [vide keterangan DPR tanggal 22 September 2022, hlm. 20]. Dengan demikian, untuk mempertemukan adanya persiapan masa pensiun yang cukup dengan politik hukum pembentuk undang-undang yang juga diperkuat dengan keterangan Pihak Terkait Kejaksaan, dalam rangka memberdayakan sumber daya manusia untuk menyongsong kewenangan kejaksaan yang semakin bertambah, maka Mahkamah berpendapat diperlukan waktu yang cukup agar pelaksanaan aturan peralihan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40A UU 11/2021 tersebut dapat dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain, pelaksanaan aturan peralihan Pasal 40A UU 11/2021 tidak boleh diperlakukan seketika, karena tidak memberikan perlindungan hukum terhadap jaksa yang seketika terdampak dengan pensiun secara tiba-tiba, namun juga tetap pula mengakomodir tujuan pemberdayaan sumber daya manusia kejaksaan yang lebih mampu menghadapi tantangan karena adanya beban kerja yang makin bertambah seiring dengan bertambahnya kewenangan institusi kejaksaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah memandang adalah adil apabila pemberlakuan ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 dilakukan 5 (lima) tahun sejak putusan atas perkara a quo diucapkan. Sehingga, dengan pendirian Mahkamah demikian, maka sejak ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 a quo diberlakukan, bagi jaksa yang telah berusia 60 tahun atau lebih dengan sendirinya akan pensiun secara bervariasi sesuai dengan capaian usianya masing-masing dengan maksimal usia pensiun 62 tahun. Dengan demikian, selama 5 (lima) tahun ke depan usia pensiun jaksa mengikuti ketentuan usia pensiun dalam UU 16/2004.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap petitum ketiga para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Putusan ini berlaku surut (retroaktif) yaitu sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 diberlakukan yakni tanggal 31 Desember 2021, menurut Mahkamah petitum a quo tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena dengan pemaknaan Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah pada Paragraf [3.14], maka dengan sendirinya jaksa yang berusia 60 tahun tetap akan pensiun pada usia 62 tahun hingga ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 dinyatakan berlaku yaitu 5 (lima) tahun sejak putusan perkara a quo diucapkan. Di samping itu, putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat sejak diucapkan, kecuali Mahkamah dalam amar putusan menentukan lain [vide Pasal 47 UU MK].
[3.16] Menimbang bahwa sehubungan dengan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum tersebut di atas, maka berkenaan dengan adanya hasil indeks evaluasi kinerja beberapa Kejaksaan Tinggi yang disampaikan Pihak Terkait Kejaksaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, yang menyatakan bahwa jaksa yang telah berumur di antara 60 tahun sampai dengan 62 tahun sudah berkurang produktivitasnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh undang-undang yang berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh sulit ditingkatkan semangat kerja dan kinerjanya, sehingga dirumuskan batas usia pensiun menjadi 60 tahun sebagaimana Pasal 12 huruf c UU 11/2021, menurut Mahkamah hal tersebut menjadi tugas Kejaksaan Republik Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas dan memberdayakan jaksa yang berusia di atas 60 tahun dan memberikan job description yang berorientasi pada tugas-tugas fungsionalnya secara maksimal seiring dengan beban tugas dan wewenang kejaksaan yang semakin bertambah. Sehingga, adanya pandangan bahwa jaksa yang telah berusia 60 tahun tidak diberikan penugasan yang maksimal karena hanya sekadar menunggu waktu pensiun dapat dieliminir. Bahkan, jaksa tersebut sebagai jaksa senior yang telah berpengalaman praktik cukup lama dengan berbagai varian perkara dapat memberikan alih pengetahuan dan pengalaman kepada jaksa yang lebih muda dalam rangka menghadapi tantangan tugas institusi kejaksaan ke depan.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang berpendapat ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 inkonstitusional secara bersyarat adalah beralasan menurut hukum, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon tidak seperti pemaknaan konstitusional bersyarat yang menjadi pendirian Mahkamah, maka menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, maka terhadap Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Oktober 2022 harus dinyatakan tetap sah.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 40A UU Kejaksaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 70/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 70/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Kejaksaan.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 40A UU Kejaksaan yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Kejaksaan.
Bahwa pada hari Rabu tanggal 30 November 2022, pukul 12.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “…kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan UUD 1945, karena dapat berakibat adanya abuse of power, menciptakan angka golput yang tinggi, dan dapat dicalonkannya mantan terpidana sebagai anggota legislatif akan menularkan peluang atau potensi terjadinya korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya serta bertentangan dengan Pasal 18 UU 31/1999. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan jabatan publik yang perolehannya dengan cara pemilihan (elected officials) yaitu dalam hal ini pemilihan Presiden, anggota legislatif dan kepala daerah tidak dapat dipisahkan dengan model atau tata kelola penyelenggaraan pemilihannya, yang dikenal adanya rezim pemilihan umum dan rezim pemilihan kepala daerah. Pemilihan umum dapat berupa pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden, juga dapat berupa pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sementara itu, berkenaan dengan pemilihan kepala daerah meliputi pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 29 September 2022, telah berpendirian sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.17] dan Paragraf [3.18], sebagai berikut:
[3.17] Menimbang bahwa terkait pembelahan rezim pemilihan dalam UUD 1945, Mahkamah mengamati terdapat perubahan penafsiran yang disebabkan oleh praktik berhukum di Indonesia. Pada periode awal pasca perubahan UUD 1945, di mana pemilihan kepala daerah berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan yang belum lama dipraktikkan, Mahkamah menafsirkan adanya suatu pembedaan antara rezim Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah (vide Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas). Namun beberapa periode setelah pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan konsisten dan relatif telah menemukan bentuk terbaiknya, Mahkamah menemukan praktik berhukum yang menurut Mahkamah secara implisit telah mengubah penafsiran mengenai Pemilihan Kepala Daerah.
[3.18] Menimbang bahwa penafsiran yang dilakukan langsung melalui praktik berhukum demikian, yang menunjukkan hasil baik selama beberapa periode pemilihan umum, telah mendorong Mahkamah untuk meninjau ulang pendapat atau penafsirannya mengenai pembedaan rezim (tata kelola) kepemilihan dalam UUD 1945. Pergeseran atau perubahan penafsiran demikian dapat dilakukan oleh Mahkamah dengan tetap harus didasarkan pada alasan yang sangat kuat dan mendasar. Bagaimanapun, dalam hal tafsir atas norma Konstitusi dilakukan terlalu longgar dan relatif sering akan berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, yang kondisi ketidakpastian demikian justru berusaha dihindari dan dihilangkan oleh UUD 1945;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, secara eksplisit, Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, berkenaan dengan salah satu persyaratan untuk menjadi calon pejabat publik yang dipilih melalui pemilihan umum, yaitu Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR/DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota yang telah pernah dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta DPD, dan calon kepada daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut ada/tidaknya ketidakselarasan antar kedua norma tersebut, mengingat keduanya mengatur tentang persyaratan formal untuk menjadi calon dalam menduduki kedua jabatan yang dipilih tersebut;
Bahwa berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada pokoknya mengatur tentang syarat mantan terpidana yang akan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 juga mengatur hal yang esensinya sama dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 10/2016 yaitu berkenaan dengan syarat mantan terpidana bagi calon kepala daerah, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Oleh karena itu, apabila dicermati dengan saksama kedua syarat formal untuk dapat menjadi calon dalam menduduki jabatan yang dipilih tersebut meskipun pada esensinya mengatur hal yang sama, akan tetapi terdapat perbedaan perlakuan yang berbeda. Perbedaan yang amat fundamental adalah berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 masih bersifat alternatif yaitu bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 mengatur syarat bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah, calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bersifat kumulatif. Artinya, diperlukan waktu tunggu 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana serta secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
[3.12.2] Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, perbedaan demikian disebabkan akibat adanya pemaknaan secara konstitusional bersyarat terhadap ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 oleh Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan salah satu syarat untuk menjadi calon kepala daerah bagi mantan terpidana, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya dan terakhir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Desember 2019 telah berpendirian, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum pada Sub-Paragraf [3.12.1] dan Sub-Paragraf [3.12.2] sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terhadap norma undang-undang yang esensi materi/muatannya sebagian memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yaitu frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan sebagian dari frasa tersebut yakni sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Bahkan sebelum berlakunya UU 10/2016 norma serupa pernah pula diputus oleh Mahkamah, norma dimaksud adalah norma yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Berkenaan dengan substansi norma dimaksud, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2012. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan putusannya tersebut adalah bahwa norma Undang-Undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Syarat yang dimaksud Mahkamah ialah: (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Dari semua putusan tersebut, pendirian Mahkamah sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah, sebab seorang calon kepala daerah harus mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Tujuan demikianlah yang hendak dicapai oleh putusan-putusan Mahkamah sebelumnya khususnya dalam memaknai syarat yang berkaitan dengan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang merupakan persyaratan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga baik pertimbangan hukum maupun amar dalam putusan-putusan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Dengan demikian, dalam hal terdapat bagian-bagian tertentu dari putusan-putusan tersebut di atas yang tidak bersesuaian dengan bagian yang lain maka harus dikembalikan kepada semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena keempat syarat tersebut diperlukan untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas maka semua syarat itu harus dipenuhi secara kumulatif dalam proses penentuan kepala daerah.
[3.12.2] Bahwa namun demikian penting untuk ditegaskan pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan pendiriannya tersebut sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.12.1] yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, sesungguhnya merupakan penegasan terhadap pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan:
“[3.18] … Mahkamah juga perlu mempertimbangkan Putusan Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tentang peniadaan norma hukum yang memuat persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004)…;
Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 menyatakan, “hal tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”; …dst;
… Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Sementara itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Mahkamah menegaskan, yang sekaligus “mengingatkan” nature Mahkamah sebagai negative legislator, dengan menyatakan, antara lain:
“... Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 ...”
Bahwa sementara itu, dalam Paragraf [3.12.3] pada putusan yang sama Mahkamah juga mengutip bagian pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017 yang menyatakan sebagai berikut:
4. ... Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan;
5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Berbeda dengan rumusan dalam norma Undang- Undang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.
6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatan-jabatan publik yang klasifikasinya bermacam macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batas- batas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap” adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut tetap berlaku.
Bahwa dengan merujuk fakta-fakta hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas. Pemberian tenggang waktu demikian juga sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah orang yang bersangkutan telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, “pernyataan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” semata-mata tidaklah memadai lagi.
[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada putusan-putusan tersebut, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah, padahal keduanya merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials), maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Adapun perbedaan secara faktual adalah dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang tidak selaras lagi dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang selengkapnya adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Sebab, sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya;
Bahwa selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali karena fakta empirik menunjukkan bahwa terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikutip tersebut di atas dan terakhir ditegaskan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap norma a quo harus diselaraskan dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
[3.15] Menimbang bahwa oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2017.
Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 11.30 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 143 ayat (3) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa secara doktriner surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisi susunan/konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai yang menjadi perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam undang-undang yang bersangkutan. Oleh karena surat dakwaan merupakan sebuah akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisikan perumusan atau alur kejadian suatu tindak pidana yang didakwakan kepada seseorang atau beberapa orang terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan, maka surat dakwaan tersebut adalah merupakan instrumen yang hanya secara eksklusif memberikan hak dan kewenangan kepada jaksa penuntut umum berdasarkan atas asas oportunitas, sebagai wakil dari negara untuk melakukan suatu penuntutan kepada seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Jaksa penuntut umum berwenang melakukan suatu penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Sementara itu, dasar hukum pembuatan suatu surat dakwaan adalah Pasal 14 huruf d KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan jika dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan [vide Pasal 140 ayat (1) KUHAP]. Selanjutnya, surat dakwaan dimaksud dilimpahkan kepada pengadilan negeri pada wilayah hukum yang berwenang untuk mengadili atas perkara yang bersangkutan [vide Pasal 137 KUHAP]. Lebih lanjut, apabila ditinjau dari sudut kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan suatu perkara tindak pidana, maka fungsi suatu surat dakwaan dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kategori kepentingan, yakni:
1) Bagi jaksa penuntut umum:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pembuktian yuridis dari suatu tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum.
2) Bagi terdakwa/penasihat hukum:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dalam mempersiapkan suatu pembelaan atas suatu dakwaan terhadap suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
3) Bagi hakim:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di persidangan, serta sebagai dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pidana.
[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan syarat-syarat surat dakwaan, berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, surat dakwaan harus memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil. Adapun syarat formil surat dakwaan yang dimaksudkan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, meliputi:
1) Surat dakwaan harus diberi tanggal dan tanda tangan penuntut umum.
2) Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
Sedangkan syarat materiil surat dakwaan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, meliputi:
1) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;
2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Adapun berkenaan dengan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null end void) yang artinya dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Terhadap surat dakwaan batal demi hukum tersebut, bukan berarti bahwa perkara tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sebagaimana pengertian “batal demi hukum” pada umumnya.
Lebih lanjut, berkenaan dengan jenis-jenis surat dakwaan, secara normatif surat dakwaan dapat dibagi menjadi:
1. Dakwaan Tunggal.
Arti surat dakwaan tunggal adalah surat dakwaan yang hanya memuat satu tindak pidana saja yang didakwakan. Surat dakwaan tunggal diterapkan karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan secara alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.
2. Dakwaan Alternatif.
Arti surat dakwaan alternatif adalah surat dakwaan yang memuat satu jenis tindak pidana yang didakwakan, namun antara dakwaan yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat kualifikasi tindak pidana yang berbeda. Terhadap dakwaan jenis ini meskipun diajukan secara berlapis, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Bahkan, tata cara pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurutan sesuai lapisan dakwaannya, tetapi langsung dapat pada dakwaan yang dipandang terbukti. Sebab, apabila salah satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
3. Dakwaan Subsidair/Subsidiaritas
Arti surat dakwaan subsidair/subsidiaritas adalah surat dakwaan yang pembuktiannya dilakukan secara berurutan, dimulai dari lapisan dakwaan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan, oleh karenanya terhadap terdakwa hanya dapat dikenakan dakwaan yang terbukti di antara lapisan dakwaan yang didakwakan.
4. Dakwaan Kumulatif
Arti surat dakwaan kumulatif adalah surat dakwaan yang berisi beberapa jenis tindak pidana sekaligus, di mana kesemua jenis tindak pidana yang didakwakan tersebut harus dibuktikan satu per satu. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Dakwaan jenis ini diterapkan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan mempunyai jenis kualifikasi yang berbeda.
5. Dakwaan Kombinasi
Arti surat dakwaan kombinasi adalah surat dakwaan yang disusun dalam bentuk kombinasi/gabungan antara dakwaan alternatif dengan dakwaan kumulatif dan/atau subsidair. Terhadap dakwaan jenis ini dibutuhkan seiring dengan perkembangan/kompleksitas varian tindak pidana, baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mencermati hal-hal berkaitan dengan surat dakwaan baik pengertian, jenis, dan syarat penyusunan surat dakwaan serta akibat hukum yang ditimbulkan terhadap dakwaan yang dapat berakibat batal demi hukum sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.13.1] dan Sub-paragraf [3.13.2], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut apabila dicermati secara saksama salah satu syarat utama dalam penyusunan surat dakwaan adalah adanya uraian secara cermat yang mengandung arti adanya sifat imperatif berupa ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Sebab, surat dakwaan merupakan dasar untuk melakukan pemeriksaan bagi seorang terdakwa dalam persidangan yang kebenarannya akan dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan untuk selanjutnya hasil pembuktian dalam persidangan tersebut dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan bagi hakim apakah akan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, surat dakwaan menjadi syarat yang fundamental untuk dapat atau tidaknya seseorang dipersalahkan karena telah melakukan tindak pidana dan selanjutnya dijatuhi pidana yang salah satunya berupa perampasan kemerdekaan seseorang.
Dengan menempatkan kata "cermat" pada awal rumusan norma Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, secara filosofis dapat dipahami bahwa pembuat undang-undang menghendaki agar jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Bahkan lebih dari itu, oleh karena surat dakwaan merupakan syarat yang fundamental yang dapat berakibat hukum atas perampasan kemerdekaan seseorang apabila kesalahannya dapat dibuktikan, sedangkan kemerdekaan seseorang merupakan salah satu hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Maka, dalam perspektif perlindungan hukum, undang-undang, dalam hal ini KUHAP, telah memberikan batasan terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan, baik formil maupun materiil, berakibat dapat dibatalkan bahkan batal demi hukum [vide Pasal 143 ayat (2) KUHAP].
Bahwa berkaitan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal atau batal demi hukum sama sekali belum mempertimbangkan materi pokok perkara sehingga terhadap putusan tersebut belum melekat unsur nebis in idem [vide Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]. Oleh karena itu, selain jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi atas putusan pengadilan negeri yang menyatakan batal atau batal demi hukum surat dakwaan, jaksa penuntut umum masih berwenang juga untuk mengajukan lagi atas perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Selanjutnya, atas surat dakwaan baru yang diajukan tersebut, pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa. Dengan demikian, sesungguhnya putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal atau batal demi hukum, secara yuridis tidak menghilangkan kewenangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang pengadilan.
[3.15] Menimbang bahwa KUHAP sebenarnya juga mengatur mengenai pengubahan surat dakwaan dan bukan perbaikan surat dakwaan setelah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Pengubahan surat dakwaan dimaksud diatur dalam Pasal 144 KUHAP yang berbunyi: (1) Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pengubahan surat dakwaan dilakukan oleh jaksa penuntut umum, waktu pengubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang, pengubahan surat dakwaan hanya satu kali saja, dan turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Ketentuan ini hanya mengatur mengenai prosedur perubahan surat dakwaan, sedangkan materi surat dakwaan tidak diatur apa yang diperbolehkan atau apa yang tidak boleh diubah, sehingga dapat diambil kesimpulan pengubahan dan/atau penyempurnaan terhadap surat dakwaan boleh dilakukan tanpa suatu pembatasan, bahkan sampai untuk tidak melanjutkan penuntutan asalkan tidak melewati tenggang waktu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 144 KUHAP. Hal demikian menunjukkan bahwa surat dakwaan adalah hal yang sangat mendasar sehingga jaksa penuntut umum diberi kesempatan untuk melakukan pengubahan sebelum perkara dilakukan pemeriksaan di persidangan dan perbaikan setelah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dalam pemeriksaan di persidangan.
[3.16] Menimbang bahwa persoalan selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah terhadap surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat formil atau materiil dan surat dakwaan kabur (obscuur libel) berapa kali dapat diajukan terhadap terdakwa di persidangan. Sebab, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, jaksa penuntut umum jika keberatan dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan [vide Pasal 156 ayat (3) KUHAP].
Bahwa sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, di samping jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan juga berwenang mengajukan kembali perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan jika upaya hukum perlawanan ditolak oleh pengadilan tinggi, dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Namun, yang menjadi persoalan krusial selanjutnya adalah tidak terdapatnya jangka waktu kapan surat dakwaan tersebut diperbaiki dan berapa kali surat dakwaan tersebut dapat diperbaiki serta berapa kali pula hakim dapat menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum. Dengan demikian, tanpa kejelasan status dan batasan waktu kapan perkaranya akan selesai hal tersebut menjadikan terdakwa dan/atau korban tindak pidana dapat kehilangan hak konstitusionalnya karena dalam ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.
Bahwa secara normatif permasalahan yang menjadi penyebab dari persoalan tersebut di atas, bukan semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma, sebab praktik hukum yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang dapat mengajukan surat dakwaan berkali-kali atas suatu perkara yang sama dengan surat dakwaan yang sudah diperbaiki, setelah sebelumnya pernah dinyatakan batal atau batal demi hukum, dapat terjadi akibat KUHAP tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus berdasarkan putusan sela. Demikian pula untuk hakim atau pengadilan negeri, juga dapat disebabkan karena tidak diaturnya atau ditegaskannya berapa kali surat dakwaan dapat dinyatakan batal/batal demi hukum oleh hakim melalui putusan sela. Selain dialami oleh Pemohon telah ternyata terhadap hal serupa juga dialami oleh saksi Pemohon dan beberapa terdakwa lainnya sebagaimana yang didalilkan dalam pokok permohonan. Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan saksi-saksi yang diajukan, menurut Mahkamah terdapat celah dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan a quo yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, baik bagi terdakwa dan/atau korban tindak pidana. Terlebih, secara universal hal tersebut tidak sejalan dengan asas litis finiri oportet yang menegaskan bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.
[3.17] Menimbang bahwa ketidakjelasan mengenai berapa kali perbaikan surat dakwaan dapat dilakukan untuk mengajukan kembali terdakwa di persidangan dan batasan berapa kali hakim dapat menjatuhkan putusan sela, menjadikan status terdakwa dan perlindungan hak korban tindak pidana menjadi persoalan yang harus dijawab dan diantisipasi oleh Mahkamah agar diperoleh adanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum. Dengan demikian, cukup beralasan apabila Mahkamah memberikan batasan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum.
Bahwa sejalan dengan pentingnya pembatasan-pembatasan dimaksud, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana, di mana sesungguhnya juga melekat kewenangan untuk dapat mempertimbangkan keterpenuhan syarat suatu surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil serta dakwaan yang dinilai kabur secara ex-officio dapat dipertimbangkan bersama-sama dengan materi pokok perkara. Namun demikian hal tersebut dapat dikecualikan apabila terhadap perkara pidana yang bersangkutan diajukan keberatan (eksepsi) berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, baik adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka hakim dapat menerima ataupun menjatuhkan putusan bersama-sama dengan putusan akhir setelah pemeriksaan materi pokok perkara selesai [vide Pasal 156 ayat (2) KUHAP]. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut:
Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
1 Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.
2 Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.
Bahwa berpijak dari ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut di atas, apabila dicermati secara saksama, sesungguhnya tidak ada keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan sela pada setiap adanya keberatan (eksepsi) dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, menurut Mahkamah, oleh karena ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP a quo tidak bersifat imperatif atau opsional, maka demi terciptanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban pelaku tindak pidana dan juga kepentingan umum, eksistensi Pasal a quo menjadi alasan fundamental untuk dilakukannya pembatasan atas surat dakwaan yang dapat diperbaiki dan dapat diajukannya kembali terdakwa di persidangan secara berulang-ulang. Di samping itu, juga bagi hakim di dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan.
[3.18] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas, oleh karena sesungguhnya kesempatan untuk mengajukan keberatan atas surat dakwaan jaksa penuntut umum hanyalah hak dan bukan kewajiban, maka sejatinya adanya pembatasan atas perbaikan surat dakwaan yang disebabkan batal atau batal demi hukum dan pembatasan hakim dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum, tidak mengurangi hak-hak terdakwa maupun penuntut umum, bahkan hakim, di dalam keleluasaan memeriksa suatu perkara pidana. Sebab, hakim pengadilan pidana yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dapat melakukan pemeriksaan atas materi perkara besama-sama dengan syarat formil lainnya, yang kemudian atas perkara tersebut dapat dijatuhkan putusan pada putusan akhir secara bersamaan. Hal demikian sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman].
Lebih lanjut, pembatasan perbaikan surat dakwaan jaksa penuntut umum akibat surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum dan putusan sela yang dapat dijatuhkan oleh hakim, di samping memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum, juga untuk menghindari adanya perkara yang berpotensi melewati batas daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 78 dan Pasal 79 KUHP. Terlebih, dalam praktik peradilan, hakim secara ex officio dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana tanpa ada keberatan (eksepsi) dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan kewenangan mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan batal demi hukum secara ex officio dapat menjatuhkan putusan sela ataupun tetap memeriksa materi pokok perkara dan kemudian menjatuhkan putusan akhir secara bersama-sama. Oleh karena, meskipun ditemukan adanya kekurangan syarat formil dan materiil terhadap surat dakwaan akan menjadi pertimbangan hukum tersendiri bagi hakim yang mengadili perkara dimaksud dengan mempertimbangkan secara komprehensif. Dalam kaitan inilah apakah hakim akan menitikberatkan putusannya pada aspek keadilan formil, keadilan materiil, atau memadukan antara keduanya di dalam menilai dan memutus perkara yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan telah diputusnya pada putusan akhir yang mencakup juga materi pokok perkara, maka upaya hukum yang tersedia atas perkara dimaksud dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berkeberatan. Terlebih, terhadap perkara yang demikian apabila diajukan kembali dengan perbaikan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum maka akan terkendala dengan ketentuan tentang ne bis in idem, yang artinya perkara dengan terdakwa dan materi perbuatan tindak pidana yang sama telah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, baik yang terbukti maupun yang tidak terbukti, maka perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya [vide Pasal 76 KUHP].
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, berkenaan dengan frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, menurut Mahkamah dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum, apabila dimaknai pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim. Artinya, pada dakwaan kedua yang diajukan jaksa penuntut umum, apabila masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materiil surat dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang kemudian diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir. Dengan demikian, pemaknaan atas frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai menjadi sesuai dengan yang dinyatakan dalam amar putusan a quo.
[3.20] Menimbang bahwa dengan telah diberikan pemaknaan baru oleh Mahkamah terhadap frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara-perkara yang saat ini sudah pernah dinyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum, baik sekali maupun lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk 1 (satu) kali lagi dan kemudian hakim memeriksanya bersama-sama dengan materi pokok perkara. Sementara itu, terhadap perkara-perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo.
Namun demikian, melalui putusan a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, bahwa untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyusunan surat dakwaan agar jaksa penuntut umum melakukan pemeriksaan secara saksama dan berjenjang terhadap surat dakwaan sebelum diajukan dalam persidangan di pengadilan negeri. Sebab, jaksa penuntut umum adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan penuntutan, yang pada satu sisi berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia, dan di sisi lain dakwaan dapat berakibat perampasan kemerdekaan seseorang. Oleh karena itu, dengan adanya kecermatan dalam penyusunan surat dakwaan maka dapat dihindari adanya surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum. Di samping itu, penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan hakim dalam menangani perkara agar selalu menjaga integritas, dengan tetap mengedepankan kepastian dan keadilan hukum. Sehingga, kemungkinan adanya putusan sela yang menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum secara berulang-ulang tidak lagi terjadi. Karena, sebagaimana dipertimbangkan di atas, sejatinya hakim dapat memberikan penilaian atas suatu perkara dari aspek keadilan formil, materiil ataupun memadukan keduanya dengan tetap berorientasi pada peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Namun, oleh karena Mahkamah akan memberikan pemaknaan bersyarat terhadap norma Pasal a quo tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dengan demikian Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.22] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP inkonstitusional secara bersyarat maka terhadap pasal-pasal lain yang berkaitan, pemberlakuannya menyesuaikan dengan putusan a quo.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara.
Bahwa pada hari Senin tanggal 31 September 2021, pukul 16.03 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 170 ayat (1) beserta penjelasan UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon pada esensinya adalah mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon. terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut;
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang pada pokoknya menjelaskan Pemohon sebagai partai politik memiliki hak konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden, termasuk calon dari kalangan “pejabat negara” yang telah ditentukan dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yaitu:
“Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota.”
Menurut Pemohon, Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 merupakan ketentuan yang memuat syarat tambahan bagi Pemohon sebagai partai politik atau gabungan partai politik terkait dengan pencalonan Presiden atau calon Wakil Presiden dalam pemilu karena surat pengunduran diri pejabat negara tersebut didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik di Komisi Pemilihan Umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 170 ayat (2) UU 7/2017. Menurut Pemohon, syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Pasal 169 UU 7/2017 serta syarat tambahan yang mengharuskan pejabat negara, in casu menteri, untuk mengundurkan diri dari jabatannya ketika dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden merupakan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa berkaitan dengan persoalan seseorang yang akan menjabat sebagai kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah, yaitu Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), Mahkamah dalam putusan-putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015, dan kemudian terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 November 2017, yang dalam pertimbangan hukumnya juga telah menguatkan pendirian putusan-putusan sebelumnya, berkenaan dengan Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) harus mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan-Putusan Mahkamah tersebut di atas dan setelah memeriksa secara saksama dalil Pemohon dalam Permohonan a quo, Mahkamah menemukan adanya persamaan substansi keberlakuan norma berkaitan dengan frasa “pejabat negara” yang dicalonkan dalam Putusan-Putusan Mahkamah tersebut di atas berkaitan dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, dalam Permohonan a quo Mahkamah dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap konstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah tersebut di atas. Bahwa persoalan esensial yang harus dijelaskan oleh Mahkamah adalah berkaitan dengan substansi yang terdapat dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang memberikan pengecualian terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota untuk tidak diperlukan syarat pengunduran diri pada saat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sementara itu, terhadap pejabat negara lainnya, termasuk menteri atau pejabat setingkat menteri, dipersyaratkan harus mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian, terdapat perbedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan dimaksud.
Selanjutnya terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, dalam perspektif seseorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu sejatinya pada diri yang bersangkutan melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang atau putusan pengadilan. Oleh karena itu, terlepas pejabat negara menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi.
[3.12.3] Bahwa persoalan selanjutnya adalah bagaimana dengan pendirian Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017, yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) harus mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum. Terhadap hal demikian, oleh karena sesungguhnya baik jabatan publik/pejabat negara yang diangkat maupun yang dipilih merupakan jabatan yang erat hubungannya dengan persoalan netralitas yang di dalamnya terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan, antara lain berupa penggunaan pengaruh atau pemakaian fasilitas milik negara dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang tidak berbeda dengan kontestasi pemilihan kepala daerah. Terlebih, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 29 September 2022 [vide Paragraf [3.19] hlm. 40], Mahkamah tidak lagi membedakan antara rezim pemilu dan pemilihan kepala daerah, maka membedakan syarat pengunduran diri pejabat publik/pejabat negara, baik yang diangkat maupun dipilih, adalah tidak relevan lagi untuk diberlakukan pada konteks saat ini, karena untuk mengisi jabatan-jabatan politik dimaksud memerlukan calon-calon yang berkualitas dari berbagai unsur dan potensi sumber daya manusia Indonesia. Terlebih lagi, untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden memiliki sifat dan syarat khusus sebagaimana telah ditentukan dalam tatacara pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, in casu untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden, Mahkamah memiliki pertimbangan lain berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya.
Bahwa dalam perspektif adanya kekhawatiran melekatnya jabatan pada pejabat yang dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden akan memengaruhi netralitas yang bersangkutan sehingga diwajibkannya untuk mengundurkan diri, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak konstitusional yang dimiliki oleh pejabat yang bersangkutan. Terlebih di dalam mendapatkan jabatannya tersebut, pejabat yang bersangkutan memerlukan perjalanan karir yang panjang, bisa jadi di saat itulah sesungguhnya puncak karir dari pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian, tanpa harus mengundurkan diri, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih dapat dipergunakan di dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara, sekalipun pejabat yang bersangkutan kalah dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional. Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
[3.12.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah selanjutnya akan memberikan penilaian berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, in casu Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017, yang berkaitan dengan frasa “pejabat negara” yang dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Berkenaan dengan hal tersebut oleh karena satu-satunya hal yang membedakan argumentasi Permohonan a quo dengan permohonan-permohonan sebagaimana tersebut pada Sub-paragraf [3.12.2] dan Sub-paragraf [3.12.3] adalah argumentasi yang mengecualikan bagi pejabat negara, in casu menteri dan pejabat setingkat menteri, yang hendak dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam dalil Permohonan Pemohon dan ditegaskan dalam Petitum Permohonan Pemohon agar dikecualikan untuk tidak perlu mengundurkan diri. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridis sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah tersebut di atas, maka terhadap syarat pengunduran diri pejabat publik/pejabat negara, termasuk dalam hal ini menteri dan pejabat setingkat menteri untuk dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017. Dengan demikian, ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 harus dimaknai secara bersyarat yang selengkapnya sebagaimana akan dinyatakan dalam amar putusan a quo;
Bahwa selanjutnya, meskipun Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.12.2] dan Sub-paragraf [3.12.3] telah berpendirian menteri atau pejabat setingkat menteri dapat dikecualikan untuk tidak mengundurkan diri apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, namun demikian penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan pejabat negara yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mendapat persetujuan dan izin cuti dari Presiden.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagai akibat adanya perubahan berupa pemaknaan baru terhadap norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017. Berkenaan dengan hal tersebut, oleh karena ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 esensinya adalah menegaskan tentang frasa “pejabat negara” yang dikecualikan mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, in casu untuk menteri atau pejabat setingkat menteri, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017, maka dengan telah dinyatakannya menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk yang dikecualikan untuk tidak dipersyaratkan mengundurkan diri, sebagai konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017 harus dinyatakan tidak ada relevansi untuk dipertahankan lagi, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 selengkapnya sebagaimana yang akan dinyatakan dalam amar putusan a quo;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata menimbulkan diskriminasi sebagaimana yang dimaksud dalam norma Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022 yang menyatakan permohonan pemohon dikabulkan sebagian terhadap pengujian Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan Penjelasan Pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai pemaknaan MK.
Bahwa pada hari Senin, tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.25 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 18 dan Pasal 110B UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 25 Agustus 2022, dari Cahaya dan M. Syarief Usemahu, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 26 Agustus 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 81/PUU/PAN.MK/AP3/08/2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 90/PUU-XX/2022 pada 13 September 2022, perihal permohonan pengujian Pasal 18 dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 90/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90.90/PUU/ TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Konstitusi Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Konstitusi Nomor 90.90/ PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 34, Pasal 39 UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 27 September 2022, Panel Hakim memeriksa kejelasan permohonan dan memberi nasihat kepada kuasa hukum para Pemohon untuk memperbaiki permohonan atau menarik permohonan a quo untuk diperbaiki dan dilengkapi [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, tanggal 27 September 2022];
d. bahwa berdasarkan Pemeriksaan pendahuluan sebagaimana dimaksud, Mahkamah telah memperoleh fakta persidangan sebagai berikut:
1. Kuasa hukum para Pemohon juga bertindak sebagai Pemohon;
2. Surat kuasa yang dikirimkan dan diterima Mahkamah belum ditandatangani pemberi kuasa maupun penerima kuasa;
3. Para Pemohon tidak dapat menjelaskan lebih lanjut tujuan pengajuan permohonan dan pokok-pokok permohonannya.
e. bahwa atas nasihat Panel Hakim, kuasa hukum para Pemohon menyatakan akan menarik permohonan perkara Nomor 90/PUU-XX/2022. Selanjutnya para Pemohon diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) hari yaitu pada hari Jumat, 30 September 2022, bahwa atas nasihat Panel Hakim, kuasa hukum para Pemohon menyatakan akan menarik permohonan perkara Nomor 90/PUU-XX/2022. Selanjutnya para Pemohon diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) hari yaitu pada hari Jumat, 30 September 2022, pukul 12.00 WIB untuk menyampaikan permohonan penarikan perkara Nomor 90/PUU-XX/2022 a quo, jika sampai dengan jangka waktu yang ditentukan para Pemohon tidak menyampaikan surat permohonan penarikan, maka pernyataan kuasa hukum para Pemohon di dalam persidangan akan digunakan Mahkamah sebagai dasar permohonan a quo ditarik kembali [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, tanggal 27 September 2022];
f. bahwa sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan para Pemohon tidak juga menyampaikan surat penarikan permohonan terhadap perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, oleh karenanya pernyataan kuasa hukum para Pemohon di dalam persidangan tanggal 27 September 2022 adalah menjadi dasar penarikan permohonan a quo;
g. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
h. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 25 Oktober 2022 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 90/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo. Oleh karena itu, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon, maka para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 17.45 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU 18/2003) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Pertimbangan demikian diperlukan untuk menentukan apakah norma a quo dapat dimohonkan kembali karena norma a quo telah pernah diajukan pengujian dan telah diputus dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya. Berkenaan dengan fakta tersebut:
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut, ketentuan norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 30 November 2006, dengan amar “Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya”; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 November 2019, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 menggunakan dasar pengujian, yaitu: Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, serta Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menggunakan dasar pengujian, yaitu: Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 pada intinya adalah larangan rangkap jabatan pimpinan organisasi advokat sebagai pengurus partai politik, sedangkan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menggunakan alasan pada intinya berkenaan dengan pembentukan organisasi advokat. Berdasarkan uraian di atas, setelah membandingkan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 dengan permohonan a quo, telah terdapat perbedaan dasar pengujian dalam mengajukan permohonan inkonstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003. Dalam hal ini, Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018. Selain dasar pengujian, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.7] angka 1 sampai dengan angka 5, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah ketiadaan pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan tersebut menjadi sangat relevan karena selama ini pengaturan berkenaan dengan masa jabatan pimpinan suatu organisasi advokat hanya diatur atau didasarkan AD/ART organisasi advokat. Sebagaimana didalilkan Pemohon, sebagai organisasi penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam desain besar penegakan hukum di Indonesia, pembatasan masa jabatan pimpinan menjadi sesuatu yang mendasar dalam menjaga eksistensi organisasi advokat.
[3.13] Menimbang bahwa pada prinsipnya advokat bertatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU 18/2003. Secara doktrinal penegak hukum merupakan aparat yang berhubungan, salah satunya dengan masalah peradilan (litigasi). Dalam menciptakan sistem peradilan yang mengedepankan supremasi hukum dan hak asasi manusia, selain unsur penegak hukum lainnya, diperlukan campur tangan dan pengaruh dari luar yaitu profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia (vide konsiderans Menimbang UU 18/2003). Artinya, usaha mewujudkan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, advokat memiliki peran dan fungsi yang sama dengan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. Sehubungan dengan posisi itu, Mahkamah telah pernah mempertimbangkan dan memutus bagaimana sejatinya posisi advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum. Dalam hal ini, paling tidak, ihwal kelindan advokat dengan penegak hukum lainnya dapat ditelusuri dari pertimbangan hukum yang termaktub dalam halaman 57 angka 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 yang menyatakan, “Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan...”. Selanjutnya, pertimbangan hukum putusan Mahkamah a quo menegaskan, “advokat mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya”, tetap terkait erat dengan penegak hukum lainnya, antara lain seperti hakim, polisi dan jaksa, dalam rangka menjaga dan menjamin terciptanya kepastian hukum bagi semua pencari keadilan untuk mewujudkan supremasi hukum dan keadilan”.
[3.14] Menimbang bahwa sebagai sebuah organisasi yang berkaitan dengan penegakan hukum, adovat merupakan profesi mulia (officium nobile). Sebagai sebuah organisasi profesi, Louis Dembitz Brandeis, advokat terkemuka dan pernah menjadi Hakim Agung Amerika Serikat (1916-1939) mengemukakan bahwa sebuah perkerjaan dapat dikatakan sebagai profesi apabila memiliki ciri-ciri pengetahuan; diabadikan untuk kepentingan orang lain; keberhasilan bukan didasarkan pada keuntungan finansial; didukung oleh adanya organisasi profesi; dan adanya standar kualifikasi profesi. Dari kesemua ciri yang harus dimiliki tersebut, organisasi profesi merupakan salah satu pilar penopang keberadaan sebuah profesi. Keberadaan organisasi profesi bagi sebuah profesi sangat dibutuhkan karena organisasi profesi akan melaksanakan sejumlah fungsi seperti fungsi menetapkan kode etik profesi. Fungsi menetapkan kode etik profesi merupakan sebuah fungsi membentuk norma etika yang akan berlaku bagi seluruh anggota organisasi profesi. Selain fungsi menetapkan kode etik, umumnya organisasi juga melaksanakan fungsi penegakan kode etik bagi anggota-anggotanya.
Tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya, ciri-ciri yang sama juga berlaku bagi organisasi advokat sebagai sebuah organisasi profesi. Sebagai sebuah profesi, para advokat juga tergabung dalam organisasi advokat yang melaksanakan fungsi membentuk kode etik, menegakkan kode etik dan fungsi lain seperti menyelesaikan masalah-masalah profesi, membela hak-hak anggota dan juga sebagai sarana saling berbagi informasi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas profesi. Jika dikaitkan dengan substansi yang diatur dalam UU 18/2003, dapat dipahami organisasi advokat sebagai sebuah organisasi profesi juga merujuk pada kerangka organisasi profesi dimaksud. Dalam hal ini, organisasi advokat diberi tugas dan fungsi untuk menyusun kode etik dan pada saat yang sama, organisasi profesi juga melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi. Fungsi organisasi profesi dimaksud harus dilaksanakan secara profesional. Sebab, sebuah organisasi profesi menuntut segala aspek yang berkenaan dengan profesi, termasuk pengelolaan organisasi secara profesional. Sejalan dengan itu, organisasi profesi harus dijauhkan dari segala praktik pengelolaan yang dapat meruntuhkan kewibawaan organisasi di mata para anggota penyandang profesi. Bagaimana pun, wibawa organisasi profesi menjadi sangat penting agar organisasi profesi tetap solid dan memiliki semangat yang sama dalam mematuhi dan melaksanakan etika profesi yang telah disepakati bersama.
Berkenaan dengan pertimbangan di atas, bagaimana agar organisasi profesi tetap profesional, berwibawa dan terjaga soliditasnya. Salah satu cara yang paling umum adalah keharusan diterapkannya prinsip tata kelola organisasi profesi yang baik. Di antara prinsip tata-kelola organisasi dimaksud adalah adanya partisipasi anggota, yaitu organisasi profesi memberikan ruang yang sama bagi semua anggota profesi untuk terlibat dalam mengelola dan berperan dalam organisasi profesi. Partisipasi anggota dalam pengelolaan organisasi mengharuskan praktik dominasi dalam organisasi untuk dicegah sedemikian rupa. Pada posisi demikian, partisipasi anggota tanpa dominasi dimaksud mengharuskan organisasi profesi untuk mengatur pembatasan terhadap pemegang kekuasaan organisasi profesi. Dalam hal ini, advokat sebagai penegak hukum sudah seharusnyalah memiliki tata kelola organisasi yang dapat mencegah adanya dominasi individu yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang jamak dipahami: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Oleh karena itu, perlu dibuka partisipasi anggota yang luas untuk berperan serta dalam pengelolaan organisasi. Hal demikian dapat mencegah kemungkinan terjadinya potensi penyalahgunaan yang dapat merusak kewibawaan organisasi profesi, termasuk dalam hal ini organisasi profesi advokat.
[3.15] Menimbang bahwa bertolak dari rumusan utuh Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 pembatasan pimpinan organisasi advokat, yakni hanya berkenaan dengan larangan rangkap jabatan antara pimpinan organisasi advokat dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 tidak mengatur mengenai pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat karena ketentuan mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat dituangkan ke dalam bagian susunan organisasi advokat yang diatur pada AD/ART organisasi advokat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003. Dengan konstruksi norma hukum demikian, masa jabatan dan periodisasi pimpinan organisasi sangat tergantung dari pengaturan internal organisasi advokat. Oleh karena pengaturan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan advokat hanya diatur secara internal, in casu melalui AD/ART, masing-masing organisasi advokat dapat dengan bebas mengaturnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan seseorang menjabat sebagai pimpinan orgasisasi advokat secara berulang-ulang karena tidak adanya pengaturan ihwal batasan periodisasi masa jabatan di tingkat undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, model pengaturan yang demikian dapat menghilangkan kesempatan yang sama bagi para anggota dalam mengelola organisasi serta kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dalam organisasi advokat. Hal demikian dapat berujung pada ketidakpastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum;
Secara normatif, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 hanya menentukan pembatasan bahwa pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Dengan batasan tersebut, apabila seorang pimpinan organisasi advokat melakukan rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sama sekali tidak memuat pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, apabila dikaitkan dengan advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya, atau setidak-tidaknya dilakukan rotasi secara periodik (tour of duty) untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal ini, undang-undang seharusnya dapat memberikan kepastian hukum mengenai pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Rumusan yang membatasi masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua anggota organisasi advokat yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat membuka kesempatan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan dapat memenuhi salah satu prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa pengaturan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat tidak secara eksplisit diatur dalam UU 18/2003. Dalam hal ini Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003 hanya menyatakan, “Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga”. Dalam praktik, ketentuan tersebut yang dijadikan sebagai dasar untuk mengatur perihal susunan organisasi advokat, yang di dalamnya juga diatur mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat. Apabila dibandingkan dengan organisasi penegak hukum lainnya, pembatasan masa jabatan pimpinan lembaga penegak hukum dimaksud dibatasi secara jelas oleh norma di tingkat undang-undang atau dilakukan rotasi secara periodik. Dalam konteks itu, sebagai sebuah organisasi yang diposisikan sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, menjadi kebutuhan pula untuk mengatur secara jelas pembatasan masa jabatan termasuk pembatasan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Oleh sebab itu, dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat dapat memberikan jaminan terciptanya kepastian hukum dan kesempatan yang sama di hadapan hukum bagi setiap anggota yang tergabung dalam organisasi advokat. Pembatasan demikian sesuai dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan pembatasan masa jabatan dan periodesasi jabatan tersebut, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan organisasi advokat adalah 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pilihan 5 (lima) tahun tersebut didasarkan kepada praktik pembatasan masa jabatan yang secara umum digunakan oleh organisasi advokat atau organisasi pada umumnya. Sementara itu, berkenaan dengan masa jabatan 2 (dua) kali periode tersebut dapat dilakukan secara berturut-turut atau secara tidak berturutturut. Dengan diletakkan dalam cara berfikir demikian, akan menghilangkan atau mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam tubuh organisasi advokat.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 hanya membatasi pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, namun dikarenakan norma a quo merupakan norma yang memberikan pembatasan terhadap pimpinan organisasi advokat, maka Mahkamah menjadi memiliki dasar yang kuat untuk menambahkan pembatasan lain demi memenuhi tata kelola organisasi advokat yang baik dan sekaligus memenuhi hak-hak anggota advokat. Oleh karena itu, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 yang menyatakan, “Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat mupun di tingkat daerah” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”, sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan a quo.
[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.17], di mana secara faktual sangat mungkin terdapat pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) periode sebelum putusan a quo, maka untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan persoalan dalam organisasi advokat, pimpinan organisasi advokat yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya dan selanjutnya pengisian masa jabatan pimpinan organisasi advokat disesuaikan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana putusan a quo.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena tidak ada relevansinya
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022 yang menyatakan UU 18/2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”, harus segera ditindaklanjuti dengan cepat mengingat banyaknya pengaturan dalam UU 18/2003 dan dampaknya terhadap kepastian hukum di Indonesia.
Bahwa pada hari Senin, tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.32 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Selatan (selanjutnya disebut UU 14/2022), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Tengah (selanjutnya disebut UU 15/2022), dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Pegunungan (selanjutnya disebut UU 16/2022) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil UU 14/2022, UU 15/2022, dan UU 16/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 7 September 2022, yang diajukan oleh E. Ramos Petege yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 Agustus 2022 memberi kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dan Rustina Haryati, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 7 September 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 88/PUU/PAN.MK/AP3/ 09/2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 13 September 2022 dengan Nomor 92/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 92/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 92.92/PUU/TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 92.92/PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada 28 September 2022, namun baik Pemohon prinsipal maupun kuasanya tidak hadir dalam persidangan tersebut dengan alasan Pemohon mencabut permohonan yang telah diajukan, yakni melalui surat bertanggal 28 September 2022 perihal Pencabutan Perkara 92/PUU-XX/2022 yang diterima Mahkamah melalui surat elektronik (e-mail) pada 28 September 2022, pukul 12.36 WIB;
d. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 11 Oktober 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 92/PUU- XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022 yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.39 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Penetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (selanjutnya disebut UU 12/1980) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 6 September 2022, yang diajukan oleh Ahmad Agus Rianto, yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 5 September 2022 memberi kuasa kepada Muhammad Sholeh, S.H., Muhammad Saiful, S.H., Runik Erwanto, S.H., Farid B. Hermawan, S.H., dan Yusuf Andriana, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 6 September 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 85/PUU/PAN.MK/AP3/09/2022, bertanggal 6 September 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 15 September 2022 dengan Nomor 94/PUUXX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 94/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 94.94/PUU/TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, bertanggal 15 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 94.94/PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, bertanggal 15 September 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 28 September 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, tanggal 28 September 2022];
d. bahwa Pemohon telah mengajukan surat Nomor 002/Ektr/Pencabutan/X/2022 tentang Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022 bertanggal 10 Oktober 2022 yang diterima Mahkamah Konstitusi pada 12 Oktober 2022 melalui pos;
e. bahwa terhadap Permohonan Pencabutan sebagaimana dijelaskan pada huruf d di atas, Mahkamah melakukan konfirmasi kepada Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan yang diselenggarakan pada 17 Oktober 2022 dan Pemohon membenarkan surat pencabutan permohonan tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, tanggal 17 Oktober 2022];
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 18 Oktober 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.44 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU 2/2021) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5), dan Pasal 6 ayat (6) UU 2/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 20 September 2022, yang diajukan oleh Roberth Numberi yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 19 Maret 2022 memberi kuasa kepada Arsi Divinubun, S.H., M.H., Gatot Rusbal, S.H., M.H., dan Rafli Fatahudin Syamsuri, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 22 September 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 94/PUU/PAN.MK/AP3/ 09/2022, bertanggal 26 September 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 September 2022 dengan Nomor 99/PUUXX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 99/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 99.99/ PUU/TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 99/PUUXX/2022, bertanggal 26 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 99.99/PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022, bertanggal 26 September 2022;
c. bahwa Kuasa Hukum Pemohon telah mengajukan surat Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022 bertanggal 6 Oktober 2022 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 6 Oktober 2022 dengan alasan kondisi prinsipal Sdr. Roberth Numberi dan ketidaksiapan tim dalam pengajuan materi permohonan sehingga oleh karena kondisi tersebut, Pemohon memutuskan mencabut permohonan a quo;
d. bahwa terhadap Permohonan Pencabutan sebagaimana dijelaskan pada huruf c di atas, Mahkamah melakukan konfirmasi kepada Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang diselenggarakan pada 19 Oktober 2022 dan Pemohon membenarkan surat pencabutan permohonan tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 99/PUUXX/2022, tanggal 19 Oktober 2022];
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 20 Oktober 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya
Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 17.11 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, menurut Mahkamah pokok permasalahan yang diajukan Pemohon adalah mengenai belum dilaksanakannya perintah Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 oleh adressat ketentuan a quo yaitu Presiden/Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dimaksud memerintahkan pembentukan suatu badan peradilan khusus yang akan menyelesaikan/menangani perkara perselisihan hasil Pemilihan, yang harus sudah terbentuk sebelum pelaksanaan pemilihan umum serentak nasional. Belum dibentuknya badan peradilan khusus tersebut, sampai saat permohonan a quo diajukan kepada Mahkamah, menurut Pemohon telah mengancam keberlangsungan Pemilihan terutama pada tahap penyelesaian perselisihan penetapan perolehan suara. Hal demikian karena Pemilihan serentak secara nasional akan dilaksanakan pada 27 November 2024, yang rangkaian tahapannya akan dimulai pada pertengahan tahun 2023. Apabila diletakkan dalam konteks tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, badan peradilan khusus seharusnya sudah dibentuk jauh hari sebelum dimulainya tahapan dimaksud.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon merupakan perubahan atas Pasal 157 UU 8/2015. Sebelumnya, Pasal 157 UU 8/2015 merupakan perubahan atas Pasal 157 Perpu 1/2014 yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh UU 1/2015. Adapun Pasal 157 dalam ketiga undang-undang tersebut selengkapnya mengatur sebagai berikut:
Pasal 157 UU 10/2016
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
(5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
(7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat.
(10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 157 UU 8/2015
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
(5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat bukti dan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
(7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat.
(10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 157 Perpu 1/2014 yang terlampir dalam UU 1/2015
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
(2) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(3) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan alat bukti dan surat keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi perhitungan suara.
(4) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan oleh Pengadilan Tinggi.
(5) Pengadilan Tinggi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan.
(6) Pihak yang tidak menerima Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung paling lama 3 (tiga) hari sejak putusan Pengadilan Tinggi dibacakan.
(7) Mahkamah Agung memutuskan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan.
(8) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bersifat final dan mengikat.
(9) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
[3.12.2] Bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang dimohonkan Pemohon, yaitu Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 merupakan perubahan mendasar terhadap substansi Perpu 1/2014 yang kemudian ditetapkan menjadi UU 1/2015. Perubahan mendasar tersebut disebabkan Pasal 157 UU 1/2015 menyerahkan kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan kepada Mahkamah Agung, tetapi kemudian UU 8/2015 mengubah dengan menentukan kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan diserahkan kepada suatu badan peradilan khusus yang akan dibentuk sebelum pemilihan serentak nasional. Selama badan peradilan khusus tersebut belum dibentuk maka kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, meskipun UU 8/2015 telah diubah dengan UU 10/2016, ihwal norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tersebut tidak mengalami perubahan sama sekali.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun dalam ketentuan norma Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 telah disahkan dan diundangkan sejak 18 Maret 2015 dan perintah tersebut telah pula dikukuhkan kembali dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 yang disahkan dan diundangkan sejak 1 Juli 2016, “perintah” yang termaktub dalam norma a quo belum dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, ketika terjadi perubahan UU 8/2015 menjadi UU 10/2016 di mana ketentuan perihal penyelenggaraan pemungutan suara serentak secara nasional pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota semula direncanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 8/2015] dimajukan menjadi dilaksanakan pada bulan November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016] perintah tersebut pun belum dilaksanakan. Padahal, secara substansial, norma Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 jo UU 10/2016 memerintahkan pembentukan badan peradilan khusus untuk mengadili/menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sudah harus terbentuk sebelum penyelenggaraan pemilihan serentak secara nasional. Namun hingga dilangsungkannya rangkaian persidangan permohonan a quo, Mahkamah belum melihat upaya konkret dari pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu badan peradilan khusus yang ditugasi mengadili atau menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Padahal dengan dimajukannya jadwal atau agenda pemilihan kepala daerah serentak secara nasional menjadi November 2024, upaya membentuk peradilan khusus harus menjadi agenda konkret dan mendesak. Hal tersebut dapat ditelusuri, misalnya, dengan tidak ditindaklanjutinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU 10/2016 dengan membentuk undang-undang yang mengatur badan peradilan khusus pemilihan, yaitu dengan belum dicantumkannya dalam Program Legislasi Nasional. Dalam hal ini, pembentukannya sudah harus dimulai setidaknya dengan adanya langkah konkret seperti tahapan penyusunan rencana atau konsep mengenai badan peradilan khusus, dasar hukum pembentukannya, dan kerangka hukum penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh sebuah badan peradilan khusus yang dirancang secara khusus pula.
Langkah konkret dimaksud diharapkan dapat menghilangkan atau setidak-tidaknya mengantisipasi kemungkinan halangan atau hambatan terkait penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Misalnya, seandainya badan peradilan khusus tersebut juga didesain untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan di bidang administrasi pemilihan kepala daerah maka badan peradilan tersebut seharusnya sudah mulai bertugas setidaknya bersamaan dengan dimulainya tahap pertama proses pemilihan kepala daerah. Begitu juga jikalau kewenangan badan peradilan khusus tersebut dibatasi hanya mengadili “perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, maka demi kepastian hukum dan demi menjamin adanya suatu sarana bagi upaya hukum terkait pemilihan kepala daerah peradilan khusus tersebut seharusnya telah terbentuk. Hal tersebut dikarenakan akan berakhirnya kewenangan Mahkamah Konstitusi sebelum dimulainya pemilihan kepala daerah serentak nasional Tahun 2024. Terbentuknya badan peradilan khusus, sebelum dimulainya tahap pertama pemilihan kepala daerah sangat penting agar masyarakat (baik pemilih atau calon pemilih, partai politik, calon kepala daerah, dan sebagainya) mengetahui bahwa Negara menyediakan badan peradilan yang dapat menyelesaikan perselisihan terkait hasil pemilihan kepala daerah, dan karenanya semua pemangku kepentingan sejak awal dapat menyiapkan diri atau merencanakan suatu tindakan penyelesaian perselisihan melalui jalur hukum. Menurut Mahkamah, penyiapan prasarana hukum berupa badan peradilan demikian sejak jauh hari dapat mereduksi potensi terjadinya konflik di luar hukum dari para pihak pemangku kepentingan pemilihan kepala daerah. Artinya, kelengkapan kerangka hukum pemilihan kepala daerah demikian dapat menumbuhkan rasa percaya diri bagi semua kalangan untuk menggunakan hak pilihnya, serta menguatkan legitimasi atas hasil pemilihan kepala daerah.
Secara doktriner, menghilangkan atau mengurangi potensi konflik yang dapat muncul di tengah masyarakat, in casu sengketa pemilihan kepala daerah, adalah salah satu tujuan pembentukan hukum berbasis konstitusi. Dengan kata lain, hukum yang baik adalah hukum yang bukan hanya menyederhanakan kerumitan hubungan-hubungan atau interaksi antaranggota masyarakat, namun juga menyediakan berbagai sarana hukum untuk menyelesaikan konflik yang mungkin muncul dalam interaksi masyarakat keseharian. Demikian pula dalam pemilihan kepala daerah, sebagaimana bidang hukum lainnya, kerangka hukum pemilihan kepala daerah idealnya harus mampu menyederhanakan jalinan persoalan kepemilihan dan menyediakan sarana hukum untuk menyelesaikan konflik seandainya terjadi konflik yang tak terhindarkan.
[3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan badan peradilan khusus yang pembentukannya diamanatkan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016, Mahkamah perlu menjelaskan kembali secara ringkas perkembangan gagasan pembentukan badan peradilan tersebut dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi.
1) Reformasi 1998 telah menggeser konsep kekuasaan kepemerintahan dari sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi. Pergeseran demikian dituangkan secara hukum ke dalam UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002;
2) Salah satu implikasi pergeseran sistem kepemerintahan demikian adalah adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yaitu kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota, yang diawali pada tahun 2005, dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004);
3) Dalam UU 32/2004 kewenangan menyelesaikan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah diserahkan kepada Mahkamah Agung;
4) Di sisi lain UUD 1945 setelah perubahan membentuk lembaga baru pemegang kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan ini dilaksanakan pertama kali untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan umum pada Pemilu Tahun 2004 yang merupakan rangkaian pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mempersamakan antara pemilihan umum (pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD) dengan pemilihan kepala daerah (pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota);
6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengalihkan kewenangan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dari sebelumnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi;
7) Dalam perkembangannya, setelah menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, Mahkamah “membaca” bahwa di dalam UUD 1945 terdapat pembelahan atau pembedaan rezim pemilihan. Pemilihan dibedakan menjadi dua jenis/rezim yang didasarkan pada pengelompokan norma dalam UUD 1945. Kelompok pertama adalah norma-norma dalam Bab VIIB Pemilihan Umum pada Pasal 22E UUD 1945, yang mengatur mengenai pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Norma dalam kelompok pertama inilah yang mendasari munculnya konsep rezim Pemilihan Umum (secara) Nasional. Adapun kelompok kedua adalah norma-norma yang berada di dalam Bab VI Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 18 UUD 1945. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945, karena berada di dalam satu bab khusus, memunculkan asumsi konseptual bahwa pemilihan yang diatur pada Bab VI UUD 1945 terpisah dari Pemilihan Umum Nasional yang diatur dalam Bab VIIB UUD 1945. Untuk membedakannya, pemilihan yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 disebut sebagai rezim Pemilihan Kepala Daerah karena berada dalam bab tentang pemerintahan daerah (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXI/2013, Paragraf [3.12] terutama Sub-paragraf [3.12.5]);
8) Konsep hukum demikian ditindaklanjuti oleh Presiden dengan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (Perpu 1/2014), yang menyerahkan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Perpu 1/2014 ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
9) Selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 19 Mei 2014, Pembentuk Undang-Undang berencana membentuk badan peradilan khusus pemilihan yang dasar hukumnya berupa UU 8/2015 jo. UU 10/2016;
10) Sebelum badan peradilan khusus tersebut terbentuk, kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016].
[3.15] Menimbang bahwa dari perkembangan sejarah penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia sejak tahun 2005, telah menjadi fakta hukum bahwa Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai badan peradilan yang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak kewenangan tersebut dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi tahun 2008 hingga saat ini. Kewenangan tersebut dilaksanakan di tengah fakta hukum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang berpendapat bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah “seharusnya” tidak ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari keberatan konseptual/teoritis yang dikemukakan Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, fakta hukum demikian menunjukkan bahwa pada kenyataannya Mahkamah tetap menjalankan peran sebagai badan peradilan khusus pemilihan dalam sifatnya yang sementara. Peran demikian, sekali lagi, dari perspektif hukum Indonesia, sejak beralih dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 (vide Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, bertanggal 29 Oktober 2008) hingga saat ini belum pernah dilaksanakan oleh lembaga atau badan peradilan tertentu selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
[3.16] Menimbang bahwa suatu kewenangan hukum yang bersifat sementara secara ideal pasti disertai dengan batas waktu kesementaraan tersebut. Pada suatu norma undang-undang yang mengatur kewenangan hukum bersifat sementara, secara ideal pasti sudah dilengkapi dengan norma yang mengatur batas waktu kesementaraan itu. Berpijak dari hal demikian, ketika Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 mengatur pemilihan serentak nasional akan dilaksanakan pada bulan November 2024, maka penalaran hukum mengarahkan bahwa kesementaraan kewenangan yang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi harus berakhir sebelum bulan dan tahun dimaksud.
[3.17] Menimbang bahwa terkait pembelahan rezim pemilihan dalam UUD 1945, Mahkamah mengamati terdapat perubahan penafsiran yang disebabkan oleh praktik berhukum di Indonesia. Pada periode awal pasca perubahan UUD 1945, di mana pemilihan kepala daerah berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan yang belum lama dipraktikkan, Mahkamah menafsirkan adanya suatu pembedaan antara rezim Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah (vide Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas). Namun beberapa periode setelah pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan konsisten dan relatif telah menemukan bentuk terbaiknya, Mahkamah menemukan praktik berhukum yang menurut Mahkamah secara implisit telah mengubah penafsiran mengenai Pemilihan Kepala Daerah.
Beberapa praktik berhukum yang menurut Mahkamah menjadi argumentasi dasar dalam perubahan penafsiran adalah sebagai berikut:
1) Pemilihan Umum Nasional dan Pemilihan Kepala Daerah secara de jure dan de facto dilaksanakan oleh lembaga yang sama. Satu-satunya norma dalam UUD 1945 yang menyebutkan penyelenggara pemilihan umum adalah Pasal 22E UUD 1945 ayat (5) yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;
2) UUD 1945 mengamanatkan enam prinsip pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis, yaitu prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, karena sifat reguler dalam penyelenggaraan pemilihan, secara substansial Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juga mengandung prinsip penyelenggaraan pemilihan umum secara berkala/periodik. Prinsip demikian dalam praktiknya bukan hanya berlaku untuk pemilihan umum nasional (yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD), namun juga mendasari pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Selain itu, kedua jenis pemilihan dimaksud tetap diselenggarakan berlandaskan pada prinsip-prinsip pemilihan demokratis yang berlaku secara universal.
3) Selanjutnya norma UUD 1945 tersebut diatur lebih lanjut ke dalam beberapa norma undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan pengawasan perilaku oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Undang-undang yang mengatur lembaga penyelenggara pemilihan umum ini secara normatif tidak membedakan antara penyelenggaraan pemilihan umum (nasional) dengan pemilihan kepala daerah. Dalam praktik pun tidak ada pembedaan tersebut. Jika pun terdapat perbedaan, perbedaan demikian hanyalah bahwa penyelenggaraan pemilihan umum nasional dilaksanakan sepenuhnya oleh KPU RI (atau KPU pusat), sementara pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh KPU daerah yang notabene adalah kepanjangan tangan dari KPU RI sehingga keberadaannya merupakan satu kesatuan dengan KPU RI. Demikian pula Bawaslu daerah yang dalam konteks pengawasan atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebenarnya tetap bertindak sebagai kepanjangan tangan Bawaslu RI (Bawaslu pusat). Kesamaan demikian didukung pula oleh praktik bahwa subjek yang diperiksa dan diadili oleh DKPP meliputi semua penyelenggara pemilu baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah tanpa membeda-bedakan yurisdiksi absolut-nya;
4) Peserta pemilihan umum, baik kontestan (meliputi pasangan calon yang diusung partai politik maupun pasangan calon perseorangan) atau pun pemilih (pemilik hak suara), dapat memahami dan mengikuti/menjalankan konsep pemilihan yang tidak membedakan antara Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah. Bahkan, menurut Mahkamah dalam implementasi tidak cukup alasan lagi untuk membedakan baik secara konseptual, teoritis, dan sosiologis antara Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah;
5) Dari sisi sumber daya dan pembiayaan, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa praktik menyatukan/melebur kedua rezim pemilihan demikian lebih efisien karena dapat diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara yang sama, dibandingkan jika Negara harus membentuk dua lembaga penyelenggara yang berbeda;
[3.18] Menimbang bahwa penafsiran yang dilakukan langsung melalui praktik berhukum demikian, yang menunjukkan hasil baik selama beberapa periode pemilihan umum, telah mendorong Mahkamah untuk meninjau ulang pendapat atau penafsirannya mengenai pembedaan rezim (tata kelola) kepemilihan dalam UUD 1945. Pergeseran atau perubahan penafsiran demikian dapat dilakukan oleh Mahkamah dengan tetap harus didasarkan pada alasan yang sangat kuat dan mendasar. Bagaimanapun, dalam hal tafsir atas norma Konstitusi dilakukan terlalu longgar dan relatif sering akan berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, yang kondisi ketidakpastian demikian justru berusaha dihindari dan dihilangkan oleh UUD 1945;
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan perbedaan antara kedua rezim pemilihan dimaksud, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, khususnya Sub-paragraf [3.15.1] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“…bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan prihal keserentakkan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar bahwa penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun, gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran prihal keserentakkan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilihan. Diantara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2)Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan diseluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur, bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakkannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan presiden dan pemilihan umum dipisahkan. Kemudian pemilihan presiden diikuti juga dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota; dan (7) Pemilihan presiden dan wakil presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum akan memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat…”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dengan menggunakan original intent perubahan UUD 1945, Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan.
[3.20] Menimbang bahwa tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota.
[3.21] Menimbang bahwa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung serta tidak pula berada di bawah Mahkamah Konstitusi. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah Mahkamah Konstitusi, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.
[3.22] Menimbang bahwa dengan tidak adanya lagi pembedaan rezim dalam pemilihan sebagaimana pertimbangan hukum di atas dan telah dinyatakannya kewenangan badan peradilan khusus menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, berimplikasi tidak berlakunya ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 yang mengatur keberadaan serta rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilihan merupakan conditio sine qua non bagi keberadaan Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016. Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 mengatur tentang lembaga yang untuk sementara diberi kewenangan sebagai/menjadi badan peradilan pemilihan di masa transisi atau di masa ketika badan peradilan khusus pemilihan tersebut belum dibentuk.
Inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, tidak lain karena causa kesementaraan demikian telah hilang. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi”.
[3.23] Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam UU 10/2016, maka ketentuan-ketentuan yang lain yang terkait dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah tetap berlaku dan menyesuaikan dengan putusan a quo.
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, telah ternyata dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E, Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 10/2016.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam ayat (3) UU 10/2016 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 10/2016.
Bahwa pada hari Kamis, tanggal 29 September 2022, pukul 12.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (selanjutnya disebut UU 3/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama keseluruhan esensi norma Pasal 4 UU 3/2020 jika dibandingkan dengan ketentuan dalam undang-undang sebelumnya, in casu ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 4/2009, benar telah terjadi perubahan pengaturan penguasaan mineral dan batubara yang semula diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah menjadi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Perubahan demikian tentu membawa dampak konseptual dan praktik. Apalagi pada kenyataannya esensi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 4/2009 selama ini telah dilaksanakan, yang artinya pemerintah daerah secara nyata pun telah pernah menyelenggarakan urusan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara, in casu penguasaan mineral dan batu bara. Oleh karena itu, terlebih dahulu penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan tidak dapat menerapkan sentralisasi dan desentralisasi secara dikotomi, namun keduanya bersifat kontinum. Terlebih jika dilihat dari sejarahnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, baik konsep sentralisasi maupun desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan pernah dipraktikkan di Indonesia. Demikian pula, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan urusan pengelolaan pertambangan. Dengan melihat praktik penyelenggaraan urusan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa model yang satu lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Penilaian atas keunggulan sentralisasi maupun desentralisasi dalam pengelolaan pertambangan adalah penilaian yang meliputi banyak faktor, antara lain kesinambungan perencanaan, efektivitas pelaku usaha, keuntungan finansial negara, daya dukung lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat, kehandalan pengawasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam menilai efektivitas pengelolaan pertambangan harus selalu dilandaskan pada perspektif kepentingan Negara tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat terdampak, kepentingan pelaku usaha, dan pemerintah daerah. Hal demikian tidak lain merupakan amanat UUD 1945 yang meletakkan kepentingan Negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; kemudian kepentingan warga negara yang secara khusus dilindungi dalam pasal-pasal khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Termasuk dalam hak asasi demikian sebenarnya adalah hak ekonomi warga negara baik hak sebagai masyarakat yang bermata pencaharian di wilayah pertambangan, maupun hak sebagai pelaku usaha yang menjalankan usaha pertambangan itu sendiri.
Hal yang mengemuka dari dalil para Pemohon terkait dengan penyelenggaraan urusan pengelolaan pertambangan ini bermuara pada penurunan kualitas lingkungan yang tidak terkendali manakala kebijakan pengelolaan pertambangan diambil dan/atau diimplementasikan tanpa melibatkan masyarakat. Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam pembentukan dan implementasi kebijakan pertambangan pada akhirnya meminggirkan peran serta masyarakat dalam mengelola lingkungan tempat tinggalnya; menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat; menurunkan kualitas lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat; bahkan memisahkan masyarakat dari lingkungan yang selama ini menaunginya. Dalam kaitan ini, Mahkamah penting menegaskan bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD
1945 sesungguhnya telah menyatakan adanya jaminan hak kolektif yakni hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karenanya kegiatan pada bidang pertambangan apapun bentuk/jenisnya harus tetap dapat memberikan jaminan peningkatan kualitas lingkungan yang baik dan sehat.
[3.14.2] Bahwa dari uraian di atas, menurut Mahkamah permasalahan pokok yang harus dijawab dalam konteks pengujian konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2) yang dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020 khususnya frasa "kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan” adalah:
1) apakah pengaturan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan sesuai dengan UUD 1945 dan/atau tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon; serta
2) apakah mekanisme pengelolaan yang diatur dalam UU 3/2020 telah sesuai dengan UUD 1945 dan/atau tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon.
[3.14.4] ….. walaupun Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945 tidak dijadikan dasar pengujian oleh para Pemohon, namun ternyata memiliki keterkaitan dalam menjawab dalil para Pemohon, oleh karenanya penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu pola pembagian urusan pemerintahan, in casu urusan bidang pertambangan mineral dan batubara dengan mendasarkan pada ketentuan UUD 1945 berikut ini:
Pasal 18 ayat (2)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”
Pasal 18 ayat (5)
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Pasal 18 ayat (7)
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”
Pasal 18A ayat (1)
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Pasal 18A ayat (2)
“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
Berdasarkan rangkaian ketentuan di atas menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut prinsip otonomi daerah berbasis provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Di sini pemerintah daerah melakukan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi mengatur/mengurus dirinya sendiri serta fungsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam konteks tugas pembantuan. Hal demikian diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Namun demikian, cakupan otonomi daerah bukanlah tanpa batas. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 memberikan batasan-batasan terhadap sifat dan cakupan otonomi demikian. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menegaskan pembatasan berupa “kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Ketentuan Pasal 18 ayat (5) tersebut menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan urusan serta pembagian urusan dimaksud antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah harus diatur undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, pembentuk undang-undang mengatur kewenangan yang mutlak menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, serta kewenangan yang dalam penyelenggaraannya dapat dibagi antara pusat dan daerah dengan mendasarkan pada sistem negara kesatuan. Selanjutnya, UUD 1945 mengamanatkan agar pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud diatur dengan undang-undang. Dalam kaitan inilah, UU
23/2014 telah menentukan prinsip pembagian urusan konkuren pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, in casu pembagian urusan pertambangan mineral dan batubara yang didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional [vide Pasal 13 dan Penjelasan UU 23/2014].
Dalam hal ini, perlu dikaji secara cermat masing-masing prinsip dimaksud, yaitu: Pertama, prinsip akuntabilitas yang penentuannya berdasarkan kedekatan pemerintah dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan urusan, sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang menjadi penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Kedua, prinsip efisiensi yang dikaji berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang akan menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan. Ketiga, prinsip eksternalitas yang dikaji berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang akan menyelenggarakannya. Keempat, prinsip kepentingan strategis nasional yang dikaji berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan [vide Penjelasan UU 23/2014]. Dengan mendasarkan pada ketentuan UUD 1945 kewenangan dalam pengelolaan atau penyelenggaraan pertambangan dapat saja diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, selama Negara tetap menjadi penguasa tertinggi. Namun, meskipun kedua tingkat pemerintahan tersebut berwenang untuk melakukan pengelolaan pertambangan, dan karenanya keduanya boleh dipilih untuk diberi kewenangan pengelolaan, penentuannya harus didasarkan pada kajian atas prinsip-prinsip tersebut di atas sehingga dapat ditentukan tingkat pemerintah mana yang mempunyai kemampuan terbaik dalam hal pengelolaan pertambangan terutama mineral dan batubara, agar tidak menyebabkan tidak terpenuhinya hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dalam kaitan inilah UU 3/2020 menentukan penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat yang dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Namun demikian, jika dicermati secara komprehensif substansi UU 3/2020, penyelenggaraan oleh Pemerintah Pusat tersebut tidak berarti menghilangkan hak/kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pertambangan mineral dan batubara. Misalnya, pengaturan mengenai penetapan Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan oleh Pemerintah Pusat dilakukan setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR RI [vide Pasal 9 UU 3/2020]; Pengaturan mengenai luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Menteri setelah ditentukan oleh Gubernur [vide Pasal 17 ayat (1) UU 3/2020]; demikian pula, pengaturan terkait dengan Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib dilakukan divestasi saham secara berjenjang dan diprioritaskan secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat kemudian Pemerintah Daerah [vide Pasal 112 UU 3/2020]. Selain itu, Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 juga mengatur bahwa pemerintah daerah tetap dapat menerima kewenangan dalam bentuk pendelegasian untuk menerbitkan sejumlah perizinan berusaha [vide Pasal 35 ayat (2) UU 3/2020]. Hal ini menegaskan bahwa dalam sistem negara kesatuan tidak ada kewenangan konkuren yang hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa membaginya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[3.14.5] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan dalam Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020, secara umum bersesuaian dengan doktrin penguasaan sumber daya alam yang telah diterima secara luas. Bahkan, Mahkamah dalam perkara lain terkait sumber daya alam, sudah pernah menguraikan berbagai fungsi/kegiatan yang menjadi Conditio sine qua non bagi suatu konsep dan/atau tindakan penguasaan sumber daya alam oleh negara. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 9 Juli 2005, Mahkamah menguraikan bahwa konsep penguasaan Negara atas air meliputi kegiatan merumuskan kebijaksanaan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005, hlm. 498-499].
Bahwa lima rangkaian fungsi/kegiatan penguasaan negara tersebut menurut Mahkamah berlaku pula secara umum untuk penguasaan negara atas sumber daya alam lainnya. Apalagi jika sumber daya tersebut merupakan sumber daya strategis atau berpengaruh besar bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan Negara, seperti halnya sumber daya berupa mineral dan batubara.
Bahwa mineral dan batubara adalah sumber daya dan kekayaan alam yang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, apalagi karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui, maka penguasaan atasnya harus benar-benar ditujukan bagi kemaslahatan atau kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas telah mengatur, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan dari dikuasainya kekayaan alam oleh Negara, secara normatif dapat dicapai jika kekayaan alam, in casu mineral dan batubara dikelola dengan meletakkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara sebagai prioritas utama, terlepas dari apakah pengelolaan pertambangan demikian dilakukan oleh Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah sepanjang pengelolaan tersebut tidak mengabaikan peran masing-masing tingkatan pemerintahan.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020, khususnya terkait dengan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena mengakibatkan suatu wilayah akan terus menerus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan meskipun daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah tersebut sudah terlampaui. Menurut para pemohon, dengan adanya kata “menjamin” seolah- olah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak akan melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada wilayah yang sudah berstatus Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon di atas, persoalan yang harus dijawab oleh Mahkamah apakah benar WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah ditetapkan dan diberikan izinnya tersebut tidak dapat diubah atau dievaluasi sekalipun tidak sesuai dengan pengaturan pemanfaatan ruang dan kawasan. Untuk menjawab persoalan tersebut di atas penting bagi Mahkamah untuk mengkaji secara komprehensif desain pengaturan mengenai penetapan dan pemberian izin untuk WIUP, WIUPK, atau WPR. Dengan mendasarkan pada Pasal 17A ayat (1) UU 3/2020 pada pokoknya telah ditegaskan bahwa penetapan WIUP mineral logam dan WIUP batubara hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan. Setelah pemenuhan tersebut diperoleh maka baru Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP mineral logam dan WIUP batubara yang telah ditetapkan tersebut [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020]. Adanya pengaturan mengenai keterpenuhan kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari desain besar Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun di mana dalam menyusun Rencana tersebut dipertimbangkan: daya dukung sumber daya alam dan lingkungan menurut data dan informasi geospasial dasar dan tematik; pelestarian lingkungan hidup; rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; tingkat pertumbuhan ekonomi; prioritas pemberian komoditas tambang; jumlah dan luas WP; ketersediaan lahan Pertambangan; jumlah sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara; dan ketersediaan sarana dan prasarana [vide Pasal 8A ayat (2) UU 3/2020]. Rencana pengelolaan inilah yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan mineral dan batubara [vide Pasal 8B ayat (3) UU 3/2020].
Dalam hal ini perlu dipahami terlebih dahulu kaitan persoalan yang didalilkan para Pemohon dengan pengertian Wilayah Pertambangan (WP) yang pada pokoknya merupakan bagian dari tata ruang nasional [vide Pasal 1 angka 29
UU 3/2020]. Oleh karena itu, tentu tidak dapat dilepaskan dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Dalam konteks inilah sesungguhnya pengaturan penentuan jangka waktu peninjauan kembali setiap 1 (satu) kali dalam
5 (lima) tahun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/kota yang telah ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam UU 26/2007 [vide Pasal 20 ayat 3 dan ayat (4), Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU 26/2007], berkorelasi dengan Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional mengingat salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana tersebut adalah rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Sebab, WP merupakan bagian dari tata ruang nasional. Terlebih lagi, UU 26/2007 telah menegaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi salah satu pedoman perencanaan pembangunan jangka panjang nasional dan pembangunan jangka menengah nasional serta pedoman dalam penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi [vide Pasal 20 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf e UU 26/2007]. Hal yang demikian juga berlaku bagi perencanaan jangka panjang tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang memedomani perencanaan pembangunan di daerah termasuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi [vide Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf e, Pasal 26 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf e UU 26/2007]. Oleh karena itu, dalam hal suatu WP akan ditetapkan sebagai kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilepaskan dari Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai sebuah instrumen yang mengatur alokasi sumber daya dalam suatu ruang di mana pengaturan ruang dalam RTR diwujudkan dalam zona-zona peruntukannya, misalnya untuk pertambangan. Sebagaimana hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional.
[3.15.2] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama seluruh ketentuan yang terkait dengan pengaturan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang telah ditetapkan [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020], pada Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah ditetapkan [vide Pasal 22A UU 3/2020], pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang telah ditetapkan [vide Pasal 31A ayat (2) UU3/2020], dan pada WIUP, WPR, dan WIUPK yang telah diberikan izinnya [Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020], tidaklah dapat dipahami secara parsial karena esensi pengaturannya sangat berkaitan dengan norma-norma pasal yang lain.
Dalam hal ini, untuk penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020] dapat dilakukan jika telah dipenuhi sejumlah persyaratan yakni: (1) telah ditetapkan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara oleh Menteri setelah ditentukan oleh gubernur atau jika berada di wilayah laut maka luas dan batas WIUP tersebut ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait, di mana dalam penetapan luas dan batas ini dipertimbangkan pula: a. Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional; b. ketersediaan data sumber daya dan/atau cadangan mineral atau batubara yang berasal dari hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian, hasil evaluasi WIUP yang dikembalikan atau diciutkan oleh pemegang IUP atau hasil envaluasi WIUP yang berakhir atau dicabut; dan c. status kawasan; (2) untuk penetapan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara termasuk yang berada di wilayah laut, harus memenuhi kriteria: a. terdapat data sumber daya Mineral logam atau Batubara; dan/atau b. terdapat data cadangan Mineral logam atau Batubara; (3) mempertimbangkan pula: a. ketahanan cadangan; b. kemampuan produksi nasional; dan/atau c. pemenuhan kebutuhan dalam negeri; dan (4) memenuhi kriteria pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk kegiatan Usaha Pertambangan [vide Pasal 17 dan Pasal 18 UU 3/2020].
Sedangkan, untuk memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22A UU 3/2020, pada prinsipnya pun tidak serta merta atau otomatis karena untuk dapat ditetapkan sebagai WPR harus terlebih dahulu dipenuhi sejumlah persyaratan atau kriteria, yakni: (1) mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; (2) mempunyai cadanganprimer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter; (3) endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; (4) luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare; (5) adanya penyebutan yang jelas jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 22 UU 3/2020]. Dalam kaitan ini, sejalan dengan penetapan WP yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab [vide Pasal 10 ayat (2) UU 3/2020], maka dalam hal akan menetapkan WPR bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman terlebih dahulu rencana WPR tersebut kepada masyarakat secara terbuka. Pengumunan tersebut dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait yang dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR [vide Pasal 23 dan Penjelasan UU 4/2009]. Dengan demikian, masyarakat dapat memberikan masukan terhadap proses penetapan WPR tersebut.
Demikian pula halnya untuk memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31A ayat (2) UU 3/2020, pada prinsipnya pun tidak serta merta atau otomatis karena untuk dapat ditetapkan sebagai WIUPK harus terlebih dahulu dipenuhi sejumlah persyaratan atau kriteria, yakni: (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan ruang dan kawasan tersebut adalah untuk kegiatan Usaha Pertambangan; (2) ketahanan cadangan; (3) kemampuan produksi nasional; dan/atau (4) pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Artinya, jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan tersebut harus disandarkan terlebih dahulu pada keterpenuhan syarat untuk dapat ditetapkan sebagai WIUPK.
Sementara itu, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 yang menentukan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya karena dianggap menghilangkan aspek peninjauan berkala sebagaimana dimaksud dalam UU Penataan Ruang serta tidak sejalan pula dengan pemenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berkaitan dengan dalil tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 tidaklah dibaca berdiri sendiri tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma ayat (1) yang menentukan pada pokoknya WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya dalam bentuk IUP, IUPK, atau IPR wajib didelineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya tidak mungkin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR apabila persyaratan dalam ketentuan ayat (1) belum terpenuhi. Terlebih lagi, ketentuan norma Pasal 172B UU 3/2020 merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang menegaskan status dan kedudukan pemegang izin berupa IUP, IUPK, atau IPR setelah berlakunya UU a quo. Hal ini mengingat ketentuan UU a quo telah mengubah UU sebelumnya (UU 4/2009) berkenaan dengan izin usaha pertambangan termasuk di dalamnya perubahan terhadap proses, prosedur, kegiatan, kewajiban, jangka waktu bagi pemegang IUP, IUPK, atau IPR. Dalam rangka penyesuaian terhadap norma baru dalam UU 3/2020 maka sesuai dengan maksud fungsi “Ketentuan Peralihan” berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 [UU 12/2011], di antaranya adalah untuk menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara [vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka Pasal 172B UU 3/2020 dimaksudkan untuk menjalankan fungsi ketentuan peralihan dimaksud. Sebab, sebelum UU 3/2020 diberlakukan telah ada wilayah-wilayah yang sudah mendapatkan izin pertambangan berupa IUP, IUPK, atau IPR.
Dalam rangka penyesuaian dengan norma baru UU 3/2020 maka terhadap kegiatan usaha pertambangan yang telah mendapatkan izin sebelumnya berupa IUP, IUPK, atau IPR wajib dilakukan delineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan, karena ada kemungkinan misalnya terjadinya penciutan atau perluasan dari izin yang telah diberikan sehingga tidak sesuai lagi dengan pemanfaatan ruang dan kawasan. Berdasarkan Pasal 172B ayat (1) UU 3/2020, hal tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU 3/2020 tidak menyebutkan peraturan perundang-undangan apa yang dimaksud namun dengan mencermati esensi izin usaha pertambangan maka ketentuan yang dimaksud di antaranya adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan dengan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan menyebabkan ketidakterpenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena dikhawatirkan di wilayah tersebut akan terus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan sementara daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah tersebut sudah tidak mampu menampung aktivitas pembangunan. Dalam kaitan ini penting untuk dipahami bahwa salah satu pemanfaatan ruang yang dapat diakomodasi dalam zonasi RTR adalah kegiatan yang telah mendapatkan izin. Izin tersebut hanya dapat dikeluarkan apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan telah mengantisipasi pengendalian dampak yang akan ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan doktrin hukum perizinan bahwa izin merupakan instrumen yuridis preventif dan juga represif yang berfungsi sebagai pengendalian sehingga izin hanya dapat dikeluarkan apabila telah dipenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Oleh karena itulah kegiatan yang telah memiliki izin perlu dijamin kelangsungan usahanya oleh RTR melalui zonasi yang bersesuaian. Apabila kegiatan yang telah memiliki izin tersebut di kemudian hari mengganggu keseimbangan lingkungan dan sosial, maka perlu ada mekanisme evaluasi izin yang telah diberikan, namun bukan evaluasi pada zonasi RTR-nya. Sebab, zonasi peruntukan dalam RTR telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kebutuhan, daya dukung, kesesuaian ruang, dan aspirasi pemangku kepentingan.
Bahwa terkait dengan keinginan para Pemohon agar ada peninjauan atau evaluasi kembali RTR untuk melihat kesesuaian RTR dengan kebutuhan pembangunan serta pemanfaatan ruang, Mahkamah dapat memahami keinginan tersebut karena WIUP, WIUPK, dan WPR pada pokoknya adalah wilayah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan yang telah mendapatkan izin yang merupakan bagian dari WP yang tidak lain adalah bagian dari tata ruang nasional maka dengan sendirinya RTR dapat dilakukan peninjauan kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal hasil peninjauan kembali merekomendasikan adanya revisi RTR maka hal tersebut dapat dilakukan namun jika dalam proses revisi RTR terdapat kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin maka peninjauan kembali tersebut dilakukan terhadap mekanisme evaluasi atau pengawasan izinnya, misalnya jika terbukti terdapat kesalahan dari pihak pelaksana izin tersebut maka izin tersebut dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan zona dalam RTR di wilayah tersebut dapat disesuaikan dengan peruntukkan atau izin yang baru. Bertalian dengan pencabutan izin ini, telah ditentukan dalam UU 3/2020 sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, atau IPR untuk penjualan jika terjadi pelanggaran atas ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU a quo.
Dengan demikian, adanya ketentuan mengenai jaminan pemanfaatan ruang dan kawasan dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk yang mengatur penataan ruang. Meskipun untuk mendapatkan kepastian berusaha atas wilayah yang telah ditetapkan dan telah dikeluarkan izinnya tersebut telah melewati seluruh proses dan prosedur, namun, untuk memberikan kepastian bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan yang telah diberikan izinnya tetap dapat dilakukan evaluasi dan sepanjang dalam pelaksanaan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalan konstitusional dalam penerapan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan dalam amar putusan ini mengenai keharusan selalu adanya konsistensi untuk tidak menyalahi keterpenuhan syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam menjamin pemanfaatan ruang dan kawasan sehingga hal ini memberikan kejelasan dalam memaknai kata “menjamin” dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020.
[3.15.3] Berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Artinya, norma Pasal 17A ayat (2). Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD 1945 jika norma tersebut tidak dilekati makna “sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana diubah oleh Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 yang selengkapnya menyatakan “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”, telah membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup; memberikan ketidakpastian hukum; dan melanggar hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Dalam kaitan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1 Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2 Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3 Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4 Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5 Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6 Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7 Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8 Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9 Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
Mahkamah juga telah menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu:
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.
Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah jelas bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
[3.17] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 terkait jaminan pemberian izin berdasarkan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) perusahaan, serta Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 terkait kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum, prinsip partisipasi warga negara, serta pengelolaan sumber daya pertambangan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan terlebih dahulu substansi permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa dalam permohonan a quo terdapat ketidaksesuaian antara posita dengan petitum. Pada bagian posita permohonan, para Pemohon menguraikan dan menerangkan bahwa ketentuan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas adalah norma Pasal 169A ayat (1) dan Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020, sedangkan dalam bagian petitum para Pemohon menyebutkan Pasal 169A dan Pasal 169B UU 3/2020 secara keseluruhan. Padahal Pasal 169A terdiri dari lima ayat, dan Pasal 169B juga terdiri dari lima ayat. Artinya, ketentuan yang dimohonkan dalam petitum lebih banyak/luas dibandingkan dengan ketentuan yang disebut dan diuraikan pada bagian posita.
Terhadap adanya perbedaan luasan antara posita dengan petitum dalam permohonan para Pemohon demikian, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan ketentuan yang dimohonkan dalam petitum sekaligus yang diuraikan/diterangkan argumentasinya dalam bagian posita. Dengan demikian, ketentuan yang akan dipertimbangkan Mahkamah adalah Pasal 169A ayat (1) dan Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020.
[3.17.2] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya telah pernah diuji dan diputus sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 27 Oktober 2021, dengan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang amar putusan Mahkamah menyatakan:
“1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon III tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) selengkapnya berbunyi, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 dapat diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: …”;
6. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), selengkapnya menjadi berbunyi:
a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
7. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
8. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
[3.17.3] Bahwa dalam kaitannya dengan permohonan para Pemohon, Mahkamah menemukan fakta hukum objek yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh para Pemohon dalam perkara a quo sama dengan objek permohonan pada Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 sebelum diputus. Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah berisi makna baru walaupun tidak disertai perubahan kalimat redaksional, sehingga ketentuan a quo tidak dapat lagi dibaca dan/atau dipahami sebagaimana maksud pembentuk UU 3/2020 sebelum adanya Putusan Mahkamah melainkan harus dibaca/dipahami sebagaimana Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Implikasi amar putusan berupa pemberian makna baru demikian, dalam kaitannya dengan perkara a quo, mengakibatkan permohonan perkara ini, khususnya permohonan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah tidak sesuai lagi objeknya. Sebab, objek permohonan yang dimohonkan para Pemohon adalah ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Dengan demikian, permohonan pengujian sepanjang mengenai Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 menurut Mahkamah harus dinyatakan kehilangan objek.
[3.17.4] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 maka untuk menjawab dalil tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum Mahkamah pada Sub-paragraf [3.17.2] di atas. Sebab, ketentuan Pasal 169B ayat (3) tersebut merupakan satu rangkaian dengan pasal dan ayat-ayat sebelumnya sebagaimana selengkapnya menyatakan:
“(1) Pada saat IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169A diberikan, wilayah rencana pengembangan seluruh wilayah yang disetujui Menteri menjadi WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi.
(2) Untuk memperoleh IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.
(3) Menteri dalam memberikan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.
(4) Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika berdasarkan hasil evaluasi, pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pengusahaan Pertambangan yang baik.
(5) Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangannya”.
Berdasarkan keseluruhan ketentuan Pasal 169B UU 3/2020 tersebut penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal a quo merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang dimaksudkan untuk memperjelas kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan baru dari UU 3/2020 sebagai konsekuensi logis diberlakukannya IUPK. Oleh karena itu, menurut Mahkamah penunjukan Menteri sebagai pihak yang dapat memberikan IUPK merupakan konsekuensi logis-sistematis dari diserahkannya pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara kepada Pemerintah Pusat [vide Pasal 4 ayat (2) UU 3/2020]. Pemerintah Pusat dalam konteks pengelolaan pertambangan tidak lain adalah Presiden Republik Indonesia yang secara teknis-administratif dibantu oleh menteri. Pada Pasal 1 angka 38 UU 3/2020 telah diatur bahwa Menteri yang dimaksud dalam UU a quo adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Menteri pun tidak pula dapat serta-merta memberikan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian karena masih harus mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.
Sementara itu, terkait dengan dalil para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses pemberian IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, khususnya masyarakat terdampak langsung oleh pertambangan, Mahkamah berpendapat ketentuan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan lain terkait izin dan/atau wilayah pertambangan yang bersifat khusus. Dalam hal ini, UU 3/2020 mengatur bahwa IUPK merupakan pelaksanaan dari WUPK [vide Pasal 29 UU 4/2009], sementara WUPK merupakan bagian dari WP [vide Pasal 10 UU 3/2020]. WP atau wilayah pertambangan dibedakan menjadi WUP, WPR, WPN, dan WUPK. Artinya, WP adalah satuan wilayah yang di dalamnya terdiri dari atau meliputi WUP, WPR, WPN, dan WUPK. Dengan kata lain, untuk penentuan WUPK dan IUPK harus didahului oleh adanya penetapan WP.
Pasal 10 UU 3/2020 selengkapnya mengatur bahwa:
“(1) Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR;
c. WPN; dan
d. WUPK.
(2) Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.”
Dengan merujuk pada Pasal 10 UU 3/2020 di atas telah jelas bahwa penetapan WP dilaksanakan secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
Menurut Mahkamah, karena penetapan WP merupakan induk atau landasan bagi penetapan WUP, WPR, WPN, dan WUPK yang kemudian penetapan wilayah ini menjadi dasar/landasan bagi diberikannya izin usaha pertambangan, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat khususnya yang terdampak pertambangan baik potensial maupun aktual secara hukum telah mempunyai alas hak untuk terlibat dalam proses penetapan WP tersebut. Apalagi seperti telah diterangkan oleh Presiden/Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah, sebagai pelaksanaan UU a quo kementerian terkait telah memberikan jalur atau kanal komunikasi bagi masyarakat yang ingin memantau dan/atau melaporkan aktivitas terkait pertambangan dengan harapan membantu Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan kegiatan pertambangan [vide Keterangan Presiden, bertanggal 4 November 2021]. Oleh karena itu, seandainya dalam pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi tidak berjalan dengan baik sehingga kualitas partisipasi tidak sempurna sebagaimana didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah hal demikian penting menjadi perhatian Pemerintah Pusat selaku pihak yang diberikan mandat oleh Negara agar memperbaiki proses pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi sehingga pengelolaan pertambangan mineral dan batubara tetap sejalan dengan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah menilai dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon sebagaimana tersebut di atas, oleh karena berkenaan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan dengan permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 sebagai berikut:
Bahwa Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon merupakan bagian dari Bab Penguasaan Mineral dan Batubara yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo yang pada pokoknya menyatakan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan/kemakmuran rakyat. Untuk penguasaan mineral dan batubara tersebut undang-undang menentukan kewenangan penyelenggaraannya oleh Pemerintah Pusat di mana para Pemohon dalam petitumnya memohon agar kewenangan tersebut juga merupakan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana ketentuan sebelumnya dalam UU 4/2009.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, telah ternyata substansi dari permohonan para Pemohon tersebut telah berkenaan dengan hak/kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana hal tersebut juga dinyatakan dalam petitum para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan kewenangan kembali kepada Pemerintah Daerah untuk pengelolaan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana ketentuan sebelumnya (UU 4/2009). Oleh karena pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo diajukan oleh para Pemohon sendiri baik dalam kualifikasi badan hukum (yayasan/perkumpulan) dan perorangan warga negara Indonesia, sedangkan substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, maka apabila berkenaan dengan kewenangan tersebut terdapat norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka sesungguhnya yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah telah diputuskan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 21 Februari 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XIII/2015 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2017. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota”. [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, hlm.59]
Oleh karenanya terhadap permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 tidak diajukan oleh Pemerintahan Daerah (kepala daerah dan DPRD) maka para Pemohon tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan kedudukan hukum, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata kata “menjamin” dalam norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2) dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Sementara itu, berkaitan pengujian ketentuan norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah kehilangan objek, dan norma Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan ketidaksamaan di hadapan hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Selanjutnya, terkait dengan ketentuan norma Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur, serta berkaitan dengan pengujian ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU 3/2020 para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian pasal a quo. Andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020, quod non, dalil permohonan para Pemohon mengenai pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian pokok permohonan dalam Paragraf [3.14].
[3.21] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 yang menyatakan:
• Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara yang telah ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan”;
• Pasal 22A UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan”;
• Pasal 31A ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
• Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 10.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (selanjutnya disebut UU 8/2022) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 23 Mei 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada para Pemohon [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 60/PUUXX/2022, tanggal 23 Mei 2022];
d. bahwa Mahkamah telah beberapa kali melaksanakan sidang pemeriksaan dalam permohonan a quo, terakhir pada 19 September 2022 dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli dan Saksi para Pemohon serta Keterangan Ahli dan Saksi Pihak Terkait Walikota Banjarbaru;
e. bahwa pada 26 September 2022, para Pemohon mengajukan surat perihal pencabutan permohonan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Nomor Perkara Konstitusi Nomor: 60/PUU-XX/2022, bertanggal 22 September 2022 dengan alasan yang pada pokoknya berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, dan Pemindahan Ibu Kota dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 telah diatur mekanisme pemindahan ibu kota provinsi sehingga dalam upaya mempertahankan Banjarmasin sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan adalah bukan melalui judicial review tetapi dengan executive review;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 26 September 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 60/PUUXX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 10.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 28ayat (3) UU Advokat dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 15 Juli 2022, yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 26 Juli 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 73/PUU/PAN.MK/ AP3/07/2022, bertanggal 1 Agustus 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 3 Agustus 2022 dengan Nomor 79/PUU- XX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 18 T ahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 79/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Nomor 79.79/PUU/TAP.MK/Panel/08/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022, bertanggal 3 Agustus 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 79.79/PUU/TAP.MK/HS/08/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022, bertanggal 3 Agustus 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah mengagendakan untuk melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel yang telah dijadwalkan pada 29 Agustus 2022 pukul 13.30 WIB;
d. Bahwa terkait persidangan pemeriksaan pendahuluan yang telah diagendakan pada 29 Agustus 2022, yang semula pukul 13.30 WIB dan dimundurkan menjadi pukul 14.00 WIB, Mahkamah telah memanggil Pemohon secara sah dan patut dengan surat Panitera Mahkamah Nomor 388.79/PUU/ PAN.MK/PS/08/2022, bertanggal 18 Agustus 2022, perihal Panggilan Sidang. Juru Panggil Mahkamah juga telah mengkonfirmasi kehadiran Pemohon melalui telepon dan Pemohon menyatakan akan hadir pada persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang telah dijadwalkan tersebut. Namun demikian, menjelang dibukanya persidangan, Pemohon menyampaikan informasi melalui pesan whatsapp kepada Juru Panggil bahwa Pemohon berhalangan hadir dan meminta perkaranya digugurkan. Namun demikian Mahkamah tetap membuka persidangan untuk memastikan kehadiran Pemohon dan ternyata Pemohon benar tidak hadir dalam persidangan tersebut.
e. Bahwa oleh karena adanya fakta dimaksud, maka sesuai dengan Pasal 41 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan dalam rangka memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, permohonan Pemohon harus dinyatakan gugur;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 5 September 2022 telah menetapkan bahwa permohonan Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022 dinyatakan gugur;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon gugur, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 10.35 WIB, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 37/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 37/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 28 Juli 2022, yang diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat S, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 1 Agustus 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 76/PUU/PAN.MK/AP3/ 08/2022, bertanggal 4 Agustus 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 8 Agustus 2022 dengan Nomor 81/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 81/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 81.81/PUU/TAP.MK/Panel/08/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, bertanggal 8 Agustus 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 81.81/PUU/TAP.MK/HS/08/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, bertanggal 8 Agustus 2022;
c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 6 September 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, tanggal 6 September 2022];
d. Bahwa Pemohon telah mengajukan surat Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022 bertanggal 18 September 2022 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 18 September 2022 melalui e-mail, dengan alasan gugatan Pemohon terhadap Ombudsman RI di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten di Pengadilan Tata Usaha Negara Serang sedang berlangsung. Karena kondisi tersebut, Pemohon memutuskan mencabut permohonan pengujian pasal a quo;
e. Bahwa terhadap Permohonan Pencabutan sebagaimana dijelaskan pada huruf d di atas, Mahkamah melakukan konfirmasi kepada Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan yang diselenggarakan pada 19 September 2022 dan Pemohon membenarkan surat pencabutan permohonan tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, tanggal 19 September 2022];
f. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 20 September 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 81/PUUXX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;
Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.
Bahwa pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2022, pukul 15.02 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Rabu tanggal 20 Juli 2022, pukul 13.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (selanjutnya disebut UU Ibu Kota Negara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 49/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 49/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
[3.14.1] Bahwa naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011 adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat [vide Pasal 1 angka 11 UU 12/2011]. Lebih lanjut, berkenaan dengan pembentukan undang-undang dijelaskan pula oleh UU 12/2011 alasan-alasan perlunya penyusunan naskah akademik sebagai acuan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Oleh karena itu, pada bagian latar belakang naskah akademik menjelaskan mengapa pembentukan RUU memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan RUU yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis, serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan RUU [vide Lampiran I UU 12/2011]. Karena posisi naskah akademik sebagai acuan maka dalam perkembangan pembahasan suatu RUU dalam rangka mendapatkan persetujuan bersama dari pembentuk undang-undang maka tidak serta merta hal-hal yang termuat dalam naskah akademik kemudian masuk dalam materi undang-undang. Dengan kata lain, walaupun telah termuat dalam naskah akademik kemudian dalam pembahasan rancangan undang-undang ternyata mengalami perubahan maka hal tersebut tidak serta merta menyebabkan proses pembentukan undang-undang menjadi inkonstitusional.
[3.14.2] Bahwa keberadaan naskah akademik memang diharuskan dalam pembentukan undang-undang. Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011 menyatakan, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik”. Dalam perkara a quo telah terdapat Naskah Akademik UU 3/2022 sebagaimana diajukan oleh Pemohon [vide bukti P-12], sehingga pada tahapan penyusunan dalam pembentukan UU 3/2022 telah ternyata disertai dengan naskah akademik. Adapun mengenai muatan naskah akademik sebagaimana dipersoalkan Pemohon, menurut Mahkamah berdasarkan pertimbangan hukum paragraf di atas adalah tidak tepat dipersoalkan konstitusionalitasnya, mengingat penyusunan naskah akademik pada tahapan penyusunan pembentukan undang-undang harus melalui tahapan pembahasan pembentukan undang-undang yang dimungkinkan adanya perkembangan atau perubahan. Oleh karena itu, dalil Pemohon mengenai penyusunan dan muatan naskah akademik bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat karena seharusnya yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah mengenai proses atau prosedur pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, mengenai proses atau prosedur pembentukan UU 3/2022 telah dinilai Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XX/2022 yang diucapkan sebelum pengucapan putusan perkara a quo yang pada pokoknya menyatakan proses pembentukan UU 3/2022 tidak bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya dalil-dalil para Pemohon untuk kedua perkara tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon a quo karena berkaitan dengan proses pembentukan UU 3/2022, in casu naskah akademik UU 3/2022 maka harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian formil UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
F.AMAR PUTUSAN
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2022, pukul 17.40 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 30/PUU- XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 83 ayat (1), Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal
87 ayat (2) UU 39/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah sebagai berikut:
1. apakah jumlah Anggota Komnas HAM yang mencapai 35 orang tidak memberikan kepastian hukum;
2. apakah pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM, oleh DPR dan tidak melibatkan Presiden menciderai sistem presidensial di Indonesia;
3. apakah tata cara pemilihan, pengangkatan serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM yang ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM serta pengaturan hak Anggota Komnas HAM untuk mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna akan melemahkan sistem checks and
balances sehingga menghalangi orang lain untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Terhadap persoalan-persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa jaminan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) adalah salah satu elemen penting dalam sistem negara hukum. Dengan mengingat pentingnya pengaturan mengenai HAM dalam konstitusi, maka dalam proses pembahasan UUD untuk Indonesia merdeka, Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta mengusulkan agar memasukan unsur HAM dalam UUD, namun saat itu terjadi pertentangan karena Supomo dan Soekarno yang menganggap HAM identik dengan ideologi liberal individual yang tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Kemudian diambil jalan tengah dengan memasukan sedikit unsur HAM dalam Pasal 7 UUD 1945 [vide Risalah Sidang BPUPK].
Pengaturan HAM baru mendapatkan perhatian yang luar biasa bersamaan dengan terjadinya gerakan Reformasi 1998, yang salah satunya menuntut perlindungan HAM dan amandemen UUD 1945. Untuk merespon tuntutan tersebut, sebelum amandemen terhadap materi muatan HAM dalam UUD 1945 dilakukan, MPR segera menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (Tap MPR XVII/MPR/1998). Ketetapan ini merupakan Piagam HAM yang berisi sejumlah hak dan menjadi komplementer UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen. Salah satu amanat Ketetapan ini adalah menegaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tap MPR XVII/MPR/1998 kemudian menjadi dasar terbitnya UU 39/1999 yang mengatur lebih rinci tentang HAM bersamaan dengan dilakukannya proses amandemen muatan HAM dalam UUD 1945. Saat ini, Tap MPR XVII/MPR/1998 sudah tidak berlaku lagi karena dicabut oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (Tap MPR Nomor I/MPR/2003). Sementara itu, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan pengaturan yang lebih komprehensif norma-norma konstitusi yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara. Untuk memenuhi tuntutan atas perlindungan HAM, bukan hanya diaturnya secara rigid hak-hak warga negara dalam amandemen konstitusi, namun juga dihadirkannya lembaga yang bertugas mengawal HAM yang diatur dalam amandemen konstitusi tersebut agar tidak dilanggar oleh pembentuk undang-undang dengan ketentuan dan norma undang- undang yang diterbitkannya. Lembaga yang dimaksud adalah Mahkamah
Konstitusi. Secara doktriner norma HAM yang terdapat dalam UUD berfungsi sebagai arah bagi pembuatan undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM.
Dalam kaitan dengan penegakkan HAM, Pemerintah Orde Baru telah membentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres 50/1993). Komnas HAM sendiri dibentuk atas rekomendasi dari Lokakarya I HAM yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri dengan sponsor dari PBB. Dalam Pasal 1 Keppres 50/1993 disebutkan bahwa Komnas HAM dibentuk dalam rangka meningkatkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Sementara dalam Pasal 4 Keppres 50/1993 disebutkan tujuan Komnas HAM adalah: a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b) meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Selanjutnya, keberadaan Komnas HAM diperkuat oleh UU 39/1999, sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 105 ayat
(2) UU 39/1999 bahwa Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keppres 50/1993 dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut undang-undang ini, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dinyatakan penyelesaiannya berdasarkan undang-undang ini. Kemudian Pasal 105 ayat (3) UU 39/1999 mengatur bahwa dalam waktu paling lama dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini, susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan undang-undang ini.
[3.11.2] Bahwa Komnas HAM dalam UU 39/1999 disebut sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM [vide Pasal 1 angka 7 UU 39/1999]. Secara doktriner lembaga negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga negara yang bersifat utama (main state organs) dan lembaga negara yang bersifat penunjang (auxiliary state organs). Pada perkembangannya di Indonesia, lembaga negara penunjang tidak hanya diperintahkan oleh konstitusi namun terdapat pula lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan perintah undang-undang yang lebih rendah [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003, tanggal 28 Juli 2004 sebagaimana ditegaskan kembali di antaranya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, tanggal 8 Februari 2018].
Bahwa terkait dengan tujuan munculnya lembaga-lembaga penunjang, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017
menyatakan bahwa lembaga-lembaga penunjang dihadirkan karena dorongan proses pencapaian tujuan-tujuan negara yang semakin kompleks yang merupakan konsekuensi logis sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan fungsi dan perannya memberikan jaminan perlindungan dan pelayanan kepada warganya. Dalam putusan a quo Mahkamah berpendapat bahwa doktrin klasik tentang pemisahan cabang kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dipandang tidak lagi memadai untuk mewujudkan tujuan bernegara dan tuntutan masyarakat yang kian kompleks. Dengan kata lain, tidak cukup memadai lagi tujuan dan tuntutan tersebut dicapai dan dipenuhi dengan keberadaan struktur lembaga utama sehingga diperlukan lembaga penunjang untuk menjalankan fungsi penunjang terhadap lembaga negara utama. Artinya, baik pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dimungkinkan muncul lembaga penunjang dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga utama.
Bahwa walaupun keberadaan Komnas HAM tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 namun diatur dalam UU 39/1999, tetapi memiliki constitutional importance. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan Kepolisian Negara yang disebut eksplisit dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lain yang mempunyai fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman, di antaranya Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Komnas HAM selain ditentukan dalam UU 39/1999 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). Dalam kaitan ini, Komnas HAM diberi kewenangan tambahan untuk menjalankan fungsi penyelidikan khusus terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat, kemudian hasilnya diserahkan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik [vide Pasal 18 dan Pasal 20 UU 26/2000]. Inilah salah satu alasan mengapa Komnas HAM merupakan lembaga negara penunjang yang memiliki nilai constitutional importance. Hal lain yang membuat Komnas HAM memiliki constitutional importance adalah karena perlindungan HAM merupakan materi yang harus ada dalam konstitusi setiap negara hukum yang salah satunya dicirikan dengan negara yang menghormati HAM.
[3.11.3] Bahwa bertolak dari Sub-paragraf [3.11.1] dan Sub-paragraf [3.11.2] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan para Pemohon, sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap persoalan konstitusional mengenai besarnya jumlah anggota Komnas HAM yang mencapai 35 orang dan cara pemilihan yang para Pemohon dalilkan tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat bahwa sejak putusan-putusan Mahkamah terdahulu, Mahkamah telah berpendirian bahwa penentuan besarnya jumlah tertentu
dalam norma suatu undang-undang merupakan ranah pembentuk undang- undang. Pembentuk undang-undang dapat membuat pilihan kebijakan, sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah juga berpendirian bahwa penentuan besarnya jumlah tidak boleh bertentangan dengan rasionalitas, sehingga pembentuk undang- undang seharusnya memiliki perhitungan dan ukuran rasional dalam menentukan besarnya jumlah, in casu dalam permohonan a quo adalah jumlah anggota Komnas HAM.
Bahwa dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah dapat memahami kekhawatiran para Pemohon, karena jumlah 35 (tiga puluh lima) orang anggota Komnas HAM sangat jauh berbeda dengan jumlah anggota dalam komisi-komisi negara lainnya yang jumlahnya masih di bawah 15 (lima belas) orang anggota. Seperti Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Otoritas Jasa Keuangan yang anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Komisi Pemberantasan Korupsi yang anggotanya berjumlah 5 (lima) orang, Badan Pengawas Pemilihan Umum yang anggotanya berjumlah 5 (lima) orang, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Komisi Perlindungan Anak Indonesia anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang. Demikian pula jika dibandingkan dengan badan-badan lain yang memiliki constitutional importance, seperti Komisi Yudisial anggotanya hanya 7 (tujuh) orang.
Bahwa rasionalitas dalam penentuan besarnya jumlah anggota ini menjadi sangat penting dalam rangka mengefektifkan kerja Komnas HAM itu sendiri dalam kaitannya sebagai sebuah lembaga yang memiliki constitutional importance. Jika diikuti perkembangan awal dibentuknya, jumlah anggota Komnas HAM pada awal pembentukannya memang termasuk banyak. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Keppres 50/1993 pada intinya menyatakan Komisi Paripurna yang diisi oleh tokoh-tokoh nasional sebagai unsur Komnas HAM terdiri dari 25 (dua puluh lima) anggota. Kemudian pengaturan mengenai jumlah anggota Komnas HAM justru semakin bertambah saat diatur dalam UU 39/1999.
Bahwa pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang ditambah dalam UU 39/1999 merupakan refleksi dari upaya menghadapi berbagai tuntutan perlindungan HAM yang semakin meningkat di era reformasi yang semula 25 (dua puluh lima) menjadi 35 (tiga puluh lima). Ditambahkannya jumlah anggota Komnas HAM seringkali dikaitkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang dinilai membutuhkan banyak anggota untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah adanya pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang
menggunakan diksi atau kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang, tetapi secara faktual jumlah anggota Komnas HAM tidak pernah penuh terisi hingga 35 (tiga puluh lima) orang. Sebagai contoh, pada periode 2002-2007 berjumlah 23 orang anggota, pada periode 2007-2012 hanya berjumlah 11 orang.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terutama fakta selama ini jumlah anggota Komnas HAM yang tidak pernah terisi penuh 35 (tiga puluh lima) orang, maka menurut Mahkamah pengaturan mengenai kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang tersebut menjadi tidak berkepastian hukum, sebab secara harfiah makna kata “berjumlah” mempunyai sifat imperatif yang harus dipenuhi, sementara fakta bahwa selama ini anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang tersebut tidak pernah dipenuhi dan hal tersebut dianggap pembenaran, maka hal ini justru semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal norma Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 mengatur secara imperatif anggota Komnas HAM karena menggunakan kata “berjumlah” bukan frasa “paling tinggi” 35 (tiga puluh lima) orang [vide angka 256 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan], karena faktanya ketentuan kata “berjumlah” yang menunjukkan sifat imperatif tidak pernah terpenuhi.
Terlepas dari, apakah norma imperatif ini tidak dipenuhi karena tidak banyak calon yang memenuhi syarat, atau memang menjadi kebijakan Komnas HAM yang mengusulkannya, menurut Mahkamah untuk dapat memberi kepastian hukum yang adil, maka norma Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 seharusnya tidak bersifat imperatif, namun bersifat fakultatif, sehingga ketika tidak dapat terpenuhi tidak melanggar norma imperatif tersebut. Meskipun demikian, penentuan besaran jumlah dalam norma undang-undang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang- undang, namun dalam penentuannya harus memberikan kepastian hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah untuk memberi kepastian hukum maka kata “berjumlah” dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dimaknai sebagai “berjumlah paling tinggi”. Dengan demikian, jika dalam pelaksanaannya Komnas HAM hanya beranggotakan 7 (tujuh) orang atau 9 (sembilan) orang sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, tidaklah melanggar norma undang-undang. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai kata “berjumlah” beralasan menurut hukum untuk sebagian.
2. Bahwa terhadap persoalan konstitusional mengenai pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM, oleh DPR dengan tidak melibatkan Presiden yang para Pemohon dalilkan telah menciderai sistem presidensial di Indonesia, menurut Mahkamah pengaturan yang tampak sangat DPR
heavy dan meninggalkan peran kekuasaan eksekutif ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Komnas HAM. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas, Komnas HAM yang didirikan berdasarkan Keppres 50/1993, menyebabkan Komnas HAM dianggap awalnya hanya sebagai perpanjangan tangan Presiden, sehingga tidak akan menjangkau pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Presiden yang berkuasa saat itu. Sejalan dengan semangat reformasi 1998 yang menjadi latar belakang lahirnya UU 39/1999 justru berkehendak untuk membatasi kekuasaan Presiden yang sangat besar pada masa pemerintahan Orde Baru. Dengan kekuasaan yang besar tersebut telah banyak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana hal tersebut dinyatakan pula dalam Penjelasan UU 39/1999 bahwa:
“Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa”.
Fakta-fakta yang melatarbelakangi terbitnya UU 39/1999 menyebabkan norma-norma yang berkaitan dengan keanggotaan Komnas HAM dijauhkan dari campur tangan Presiden, sehingga peran Presiden hanya meresmikan anggota Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dan Penjelasannya. Demikian pula halnya dalam proses pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota dan pimpinan Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1) dan Pasal 86 UU 39/1999, Presiden juga hanya menetapkan dengan Keputusan Presiden, atau hanya melaksanakan fungsi administratif.
Bahwa lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dijelaskan peresmian oleh Presiden tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga kemandirian Komnas HAM. Mahkamah dapat memahami pilihan pembuat kebijakan untuk memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih anggota Komnas HAM adalah karena DPR sebagai perwakilan rakyat yang merepresentasikan suara rakyat, sehingga untuk pemilihan anggota Komnas HAM dikembalikan kepada lembaga representasi rakyat.
Bahwa namun demikian, terlepas dari dalil para Pemohon mengenai pilihan sistem pemilihan anggota Komnas HAM yang tidak dapat menyeimbangkan kekuasaan DPR dan Presiden, menurut Mahkamah
bagaimana cara pemilihan anggota Komnas HAM merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU. Konstitusi tidak mengatur sistem dan tata cara pemilihan anggota komisi negara, sehingga konstitusi memberi keleluasaan kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, menyesuaikan dengan dinamika perkembangan ketatanegaraan serta kehidupan sosial masyarakat. Keleluasaan ini yang disadari akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga pembentuk UU dapat membuat pilihan kebijakan yang efektif dan efisien. Pilihan kebijakan tersebut menjadi kebijakan hukum terbuka yang merupakan ranah pembentuk undang-undang sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, serta memiliki rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Terhadap persoalan konstitusional mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM yang ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM serta pengaturan hak Anggota Komnas HAM untuk mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna yang para Pemohon dalilkan akan melemahkan sistem checks and balances sehingga menghalangi orang lain untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, menurut Mahkamah dalil para Pemohon ini pada pokoknya bermuara pada persoalan tatacara pemilihan yang tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan pembentukan Komnas HAM sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karena hal ini berkaitan dengan pengaturan tatacara yang menurut Mahkamah merupakan pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pembentuk undang-undang, tentunya dengan mempertimbangkan secara saksama risiko-risiko dari pilihan kebijakan yang diambil, serta mendasarkan pada rasionalitas dengan memperhatikan syarat yang ditentukan oleh Mahkamah yaitu sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa dalam pelaksanaannya Mahkamah menyadari kekhawatiran yang para Pemohon dalilkan mungkin saja dapat terjadi, seperti kemungkinan ada oknum anggota Komnas HAM yang memanfaatkan celah kebijakan ini untuk melanggengkan kekuasaannya, melakukan praktik nepotisme dengan memasukkan orang-orang yang memiliki kedekatan padahal yang dicalonkan belum tentu calon terbaik, sedangkan warga negara lain yang ingin menjadi anggota Komnas HAM menjadi tertutup kesempatannya. Demikian juga dengan pengaturan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komnas HAM yang diatur sendiri dalam tata tertib Komnas HAM, juga dimungkinkan terjadi pengaturan-
pengaturan yang menguntungkan pihak tertentu, sehingga pencalonan orang-orang yang dikehendaki oleh oknum Anggota Komnas HAM yang masih menjabat bisa berjalan dengan mulus. Namun, terhadap kekhawatiran para Pemohon a quo menurut Mahkamah bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, jikapun terjadi persoalan demikian, quod non, hal ini merupakan persoalan implementasi norma undang-undang. Persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang, karena tidak efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang terkait dengan kata “berjumlah” yang diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karenanya Mahkamah akan memberi pemaknaan yang tertuang dalam amar putusan di bawah ini. Sedangkan terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon lainnya terkait Pasal 85 ayat (1), Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 39/1999 bertentangan Pasal 4 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 adalah merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembentuk undangundang untuk menentukannya, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah menyatakan Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 39/1999 konstitusional, namun Mahkamah mempertimbangkan pentingnya untuk dilakukan pemantauan dan peninjauan terhadap UU 39/1999 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang pada pokoknya menyatakan pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dilaksanakan oleh DPR, Pemerintah, dan DPD yang hasilnya dapat menjadi usulan dalam penyusunan Prolegnas. Terlepas dari apakah UU 39/1999 telah dilakukan pemantauan dan peninjauan, namun posisi UU a quo sejak tahun 2015 telah dimasukkan dalam daftar Prolegnas 2015-2019 dan saat inipun UU a quo dimasukkan kembali dalam Prolegnas 2020-2024 [vide Keputusan DPR Nomor 19/DPR.RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan UndangUndang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 juncto Keputusan DPR Nomor 8/DPR.RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024]. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang dapat memprioritaskan
proses perubahan atas UU 39/1999. Dengan demikian, materi yang terkait dengan seberapa besar anggota Komnas HAM yang rasional serta tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komnas HAM yang merupakan kebijakan hukum terbuka ranah pembentuk undang-undang dapat dituangkan dalam materi muatan perubahan dimaksud. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam menentukan pilihan kebijakan mengubah UU 39/1999 perlu pula memperhatikan tata cara seleksi/rekrutmen anggota Komnas HAM dengan nilai-nilai demokrasi berkeadilan yang berkembang di masyarakat, perkembangan dinamika politik ketatanegaraan dan menyesuaikan dengan model/proses pengisian anggota komisi negara lainnya dengan memperhatikan kekhasan Komnas HAM yang memiliki perbedaan dari komisi negara lain. Pilihan kebijakan yang diambil perlu mempertimbangkan risiko terjadinya pelanggaran ataupun penyalahgunaan pada tataran implementasi, sehingga tujuan untuk meningkatkan perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia dapat tercapai dan institusi Komnas HAM dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan efektif dan efisien.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum hukum pada Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor30/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 30/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 39/1999.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 39/1999 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 39/1999.
Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 15.43 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan apakah hakim pada Mahkamah Konstitusi boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan jabatannya.
Bahwa dalam praktik berhukum, terutama dalam konteks hakim yang dihadapkan pada perkara terkait dirinya, dikenal asas nemo judex idoneus in propria causa atau nemo debet esse iudex in (propria) sua causa. Asas tersebut dapat diterjemahkan sebagai larangan bagi seseorang untuk menjadi hakim dalam perkara yang menyangkut kepentingan dirinya. Terkait dengan asas tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusan terdahulu telah berpendapat mengenai penerapan asas nemo judex idoneus in propria causa sebagaimana antara lain ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011 yang menyatakan bahwa:
“c. bahwa Mahkamah memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah menyangkut Mahkamah. Hal demikian terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri. Namun dalam konteks ini ada tiga alasan Mahkamah harus mengadili permohonan pengujian undang- undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili
2
permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun demikian dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
d. bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi”.
Pentingnya asas dimaksud adalah untuk menjaga imparsialitas hakim atau ketidakberpihakan hakim kepada salah satu pihak dalam perkara. Namun, dengan mengingat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan mengadili konstitusionalitas norma yang putusannya bersifat final atau dapat dikatakan sebagai penafsir tunggal konstitusi, maka kewajiban Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan untuk menyelesaikan persoalan konstitusionalitas undang-undang haruslah diutamakan dibandingkan dengan hal lainnya. Oleh karena itu, meskipun norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas a quo berkenaan dengan diri hakim konstitusi, begitu pula dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 yang berkaitan dengan jabatan ketua dan wakil ketua, namun karena pertimbangan hukum di atas Mahkamah tetap harus menguji konstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan Pemohon tersebut;
[3.14] Menimbang bahwa norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang menentukan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70
3
(tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun”. Menurut Mahkamah ketentuan norma tersebut secara gramatikal dan sistematis telah jelas, yaitu undang-undang a quo mengecualikan semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat dari keberlakuan pasal-pasal yang mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, terutama ketentuan Pasal 15 UU 7/2020;
Dengan kata lain undang-undang a quo memberikan status hukum kepada semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat sebagai seseorang yang telah memenuhi syarat pengangkatan sebagai hakim konstitusi menurut Pasal 15 UU a quo, dan karenanya yang bersangkutan tetap menjabat sebagai hakim konstitusi sampai tercapai batas usia pensiun 70 (tujuh puluh) tahun, atau ketika belum mencapai usia 70 (tujuh tahun) tetapi rentang masa kerjanya sebagai hakim konstitusi telah mencapai 15 (lima belas) tahun;
Pemohon dalam permohonannya tidak mempermasalahkan kostitusionalitas syarat pengangkatan hakim konstitusi maupun masa kerja atau usia pensiun yang diatur dalam Bab IV Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi yang berisi Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27, namun mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 87 huruf b dalam UU 7/2020 yang dalam fungsinya sebagai Ketentuan Peralihan menurut Pemohon telah mengesampingkan keberlakuan Pasal 15 UU 7/2020 mengenai syarat usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan penentuan usia tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan misalnya dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 68 yang menyatakan:
“….
Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk
4
menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum”.
Sementara itu, jika dikaitkan dengan persoalan konstitusionalitas yang diajukan Pemohon meskipun permohonan Pemohon adalah mengenai norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 namun hal demikian bermuara pada adanya pengaturan syarat usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Ketentuan Pasal 15 tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2022) yang mensyaratkan calon hakim konstitusi berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
Ketentuan ini pun juga merupakan perubahan atas ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) yang menentukan syarat usia calon hakim konstitusi sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan. Demikian juga halnya mengenai usia paling tinggi hakim konstitusi telah diubah, dari semula 67 (enam puluh tujuh) tahun menurut UU 24/2003 kemudian diubah menjadi 70 (tujuh puluh) tahun;
[3.16] Menimbang bahwa perubahan pengaturan mengenai usia hakim konstitusi berkaitan erat dengan pengaturan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang setara dengan Mahkamah Agung yakni keduanya sama-sama sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, maka konstruksi perubahan ketentuan mengenai usia paling tinggi tersebut merupakan bentuk penyetaraan dalam ranah kekuasaan kehakiman. Penyetaraan dalam arti bahwa dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 3/2009) telah ditentukan terlebih dahulu bahwa, “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena: … b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;”.
Termasuk bagian dari penyetaraan tersebut adalah ditiadakannya periodisasi masa jabatan hakim konstitusi yang selama ini diatur selayaknya jabatan politik yaitu selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Peniadaan periodisasi ini secara
5
doktriner merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga independensi dan imparsialitas hakim dalam konteks negara hukum yang demokratis konstitusional;
[3.17] Menimbang bahwa isu utama yang dimohonkan Pemohon adalah konstitusionalitas Ketentuan Peralihan berupa Pasal 87 huruf b UU 7/2020, maka Mahkamah perlu memberikan pertimbangan hukum mengenai keberadaan Ketentuan Peralihan dalam suatu undang-undang. Konsep mengenai ketentuan peralihan merupakan ranah ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya ketentuan peralihan merupakan norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai “jembatan” antara keberlakuan norma (undang-undang) yang lama dengan keberlakuan norma (undang-undang) yang baru, atau norma pengganti. Dengan demikian, ketentuan peralihan memuat penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan yang baru tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 77).
Sebagai bagian dari teknik pembentukan peraturan perundangundangan, dalam sistem hukum Indonesia terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, beserta Lampirannya. Di dalam UU a quo dinyatakan bahwa “Ketentuan Peralihan” merupakan materi muatan dari batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan. Norma ketentuan peralihan bersifat opsional atau pilihan, yang boleh dirumuskan manakala terdapat keperluan, dan sebaliknya tidak perlu dirumuskan jika memang tidak diperlukan.
Dalam lampiran UU 12/2011, yaitu Lampiran II, Bagian C.4. yang berjudul “Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)”, khususnya angka 127 ditentukan tujuan dari adanya Ketentuan Peralihan adalah:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, persoalannya adalah apakah benar bahwa pengaturan norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” antara keberlakuan norma lama dengan norma baru yang tidak menimbulkan permasalahan hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan pengujian norma di atas, Mahkamah selalu menegaskan pengujian norma secara konseptual tidak sama
6
dengan pengujian kasus konkret. Namun demikian pada beberapa perkara memang diperlukan tinjauan terhadap kasus konkret/faktual tertentu yang dimaksudkan sekadar untuk memperjelas atau membuat terang maksud/isi suatu norma yang sedang dimohonkan pengujian.
Dalam perkara a quo Mahkamah menganggap penting untuk menjelaskan/menegaskan bahwa hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat adalah hakim yang diangkat karena telah memenuhi persyaratan sebagai hakim berdasarkan undang-undang terdahulu sebelum diubah oleh Pasal 15 UU 7/2020. Persyaratan sebagai hakim konstitusi sebelumnya diatur dalam UU 24/2003 yang telah diubah dengan UU 8/2011.
Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, pengaturan perubahan usia dalam Pasal 15 UU 7/2020 merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang- undang dari semula menentukan usia hakim paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun kemudian diubah menjadi 55 (lima puluh lima) tahun. Pilihan kebijakan demikian merupakan sesuatu yang tidak dilarang dan juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian pula dihapusnya ketentuan mengenai periodisasi jabatan hakim konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga bukan hal yang terlarang. Justru peniadaan periodisasi demikian membawa implikasi positif berupa penguatan baik dari segi independensi maupun imparsialitas hakim konstitusi dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Namun, di sisi lain adanya perubahan aturan demikian memang tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak bagi para pihak yang terkait pengisian jabatan hakim konstitusi. Oleh karena itu, agar aturan baru tersebut dapat diberlakukan dengan baik tanpa merugikan siapapun yang telah mematuhi undang-undang yang lama, maka diperlukan suatu ketentuan peralihan.
Dalam perkara a quo penafsiran atas ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf b UU 7/2020 tidak dapat dilepaskan dari konteks pilihan kebijakan pembentuk undang-undang terkait usia jabatan. Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah nonperiodisasi jabatan hakim. Perubahan konsep mendasar demikian pada akhirnya membawa implikasi bagi hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat;
[3.19] Menimbang bahwa selain diperlukannya suatu norma “jembatan” bagi
perubahan konsep hukum yang sedang diterapkan, Mahkamah merasa perlu
7
mempertimbangkan perihal posisi atau derajat kehendak pembentuk undangundang. Kehendak pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah berada pada posisi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehendak DPR, Presiden, maupun Mahkamah Agung secara parsial atau secara sendiri-sendiri. Tentu saja posisi lebih tinggi demikian dalam konteks yang harus selaras dengan ide dasar konstitusionalisme di mana UUD 1945 sebagai konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi atau dasar hukum utama bagi semua kebijakan hukum di Indonesia;
Dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, ketiga lembaga tersebut di atas yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan cara memilih/mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Hal demikian ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang mengatur, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. Artinya, masing-masing tiga lembaga negara dimaksud mempunyai hak untuk menyeleksi dan mengajukan tiga hakim konstitusi pilihan lembaga masing-masing. Di sini terlihat proses pemilihan hakim konstitusi merupakan hak masing-masing tiga lembaga negara untuk mengatur mekanisme proses pengajuan tiga orang anggota hakim konstitusi. Hal demikian terlihat secara eksplisit dalam istilah dan/atau frasa yang dipergunakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020. Namun penting Mahkamah tegaskan bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 sesungguhnya tidak membedakan tata cara pengajuan hakim konstitusi, walaupun dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020 yang mengatur salah satu syarat bagi calon hakim konstitusi menentukan calon hakim “yang berasal dari lingkungan” Mahkamah Agung sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau hakim agung. Dengan digunakannya frasa “yang berasal dari lingkungan” dalam norma a quo, seolah-olah bermakna bahwa calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung harus berasal dari kalangan internal Mahkamah Agung.
Terlepas dari ketentuan Pasal a quo yang tidak dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon kepada Mahkamah, namun menurut Mahkamah esensi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020 harus tetap mengejawantahkan esensi pokok Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang rumusan pengaturannya menggunakan frasa “yang diajukan masing-masing”. Karena, pada prinsipnya tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi oleh tiga lembaga (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung) diatur oleh ketiga lembaga masing-masing tersebut [vide Pasal 20 ayat (1) UU 7/2020]. Namun demikian, undang-undang telah memberikan rambu-rambu bahwa untuk proses pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif
8
[vide Pasal 19 UU 24/2003], sedangkan untuk proses pemilihan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga tersebut dilaksanakan seleksinya secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka [vide Pasal 20 ayat (2) UU 7/2020]. Artinya, ketiga lembaga yang mengajukan hakim konstitusi terikat sepenuhnya pada prinsip- prinsip pencalonan dan pemilihan atau seleksi hakim konstitusi yang telah ditentukan tersebut;
[3.20] Menimbang bahwa kewenangan ketiga lembaga negara tersebut untuk mengajukan hakim konstitusi merupakan amanat UUD 1945 yang kemudian ditegaskan oleh UU MK. Konstruksi hukum demikian harus dimaknai bahwa prosedur pemilihan hakim konstitusi yang dilakukan oleh ketiga lembaga negara a quo tidak boleh melampaui atau mengubah prosedur yang diberikan oleh UU MK apalagi melampaui prosedur yang digariskan oleh UUD 1945;
Dapat dikatakan pula bahwa meskipun ketiga lembaga negara a quo mempunyai hak dan kewenangan untuk menyusun prosedur seleksi/rekrutmen tertentu sesuai penafsiran masing-masing atas UU MK, namun ketika UU MK diubah oleh pembentuk undang-undang maka ketiga lembaga tersebut harus mengikuti perubahan dimaksud. Hal demikian tidak lain karena posisi/kedudukan kehendak pembentuk undang-undang (yaitu DPR bersama Presiden) harus diletakkan lebih tinggi dibandingkan kehendak DPR, Presiden, atau pun MA ketika masing-masing berdiri sendiri dalam konteks pengusulan hakim konstitusi;
[3.21] Menimbang bahwa dalam pemeriksaan persidangan, Mahkamah menemukan fakta hukum mengenai kehendak/keinginan pembentuk undangundang terkait Pasal 87 huruf b UU 7/2020. Pembentuk undang-undang menghendaki agar “mempertahankan eksistensi hakim Mahkamah Konstitusi yang sedang menjabat untuk dianggap tetap memenuhi syarat menurut undang- undang ini” (vide Keterangan Tertulis Presiden dalam Perkara Nomor 90-96- 100/PUUXVIII/2020), yang dapat dimaknai sebagai kehendak perpanjangan jabatan para hakim yang saat ini sedang menjabat, tanpa harus melalui seleksi ulang atau tindakan hukum lain sejenis;
Berdasarkan hal demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya cacat kehendak atau cacat intensi terkait ketentuan Pasal 87 huruf b juncto Pasal 15 UU 7/2020 yang dapat mengakibatkan ketentuan a quo melanggar UUD 1945. Adanya interpretasi berbeda sebagaimana didalilkan Pemohon karena seolah- olah Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menegasikan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 mengenai syarat usia minimal hakim konstitusi 55 (lima puluh lima) tahun, sehingga hakim konstitusi yang belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun –pada saat UU 7/2020 diberlakukan– menjadi diuntungkan secara tidak wajar. Menurut Mahkamah, jika merujuk pada keterangan pembentuk undang-undang, hakim konstitusi yang berusia kurang dari 55 (lima puluh lima) tahun pada saat UU
9
7/2020 diundangkan tetap diinginkan pembentuk undang-undang untuk tetap menjabat sebagai hakim konstitusi karena secara usia hakim konstitusi bersangkutan telah memenuhi syarat usia berdasarkan undang-undang lama yang menjadi dasar ketika yang bersangkutan diangkat;
Bahkan secara sistematis hakim yang belum berusia 55 tahun dimaksud juga diberi pembatasan dalam Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yaitu “hanya” menjabat maksimal 15 (lima belas) tahun. Padahal Pasal 23 ayat (1) huruf c UU 7/2020 mengatur usia pensiun hakim konstitusi atau berhentinya dari jabatan adalah 70 (tujuh puluh) tahun. Seandainya pembentuk UU 7/2020 mempunyai intensi untuk menguntungkan hakim konstitusi yang belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun pada saat UU 7/2020 berlaku, tentunya hal demikian akan dapat lebih diterima secara nalar jika tidak ada pembatasan masa jabatan selama
15 (lima belas) tahun sehingga hakim bersangkutan dapat menjabat sebagai hakim selama lebih dari 15 (lima belas) tahun;
[3.22] Menimbang bahwa setelah jelas bagi Mahkamah akan niat sesungguhnya (original intent) dari Pembentuk Undang-Undang dalam pembentukan UU 7/2020, maka Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembacaan atas rumusan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menurut Mahkamah harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama. Bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung);
[3.23] Menimbang bahwa hal selanjutnya yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah mengenai ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 dengan makna yang telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.21] dan Paragraf [3.22] tersebut, apakah secara potensial maupun aktual telah merugikan hak konstitusional Pemohon dan masyarakat pada umumnya untuk mengajukan diri menjadi hakim konstitusi;
Menurut Mahkamah, asumsi kerugian konstitusionalitas yang dibangun Pemohon dalam perkara a quo pada dasarnya sebangun dengan asumsi kerugian konstitusionalitas atas batasan usia, baik batasan usia pada jabatan tertentu atau
10
batasan usia lainnya. Beberapa di antara batasan usia demikian telah diajukan sebagai perkara konstitusionalitas di Mahkamah dan telah diputus, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas. Dalam berbagai putusannya sampai saat ini Mahkamah masih tetap pada pendiriannya bahwa penentuan batasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang selama pilihan demikian merupakan pilihan terbaik dalam arti memilih kebijakan hukum yang dampaknya paling ringan bagi seluruh pihak terdampak berdasarkan prinsip maximum minimorum;
Dalam kasus adanya ketentuan yang mengakibatkan berubahnya syarat terkait usia, hal demikian memang dapat dilihat sebagai kerugian bagi Pemohon dan masyarakat pada umumnya. Namun kerugian yang demikian bersifat relatif, dalam arti berapapun batasan usia yang dipilih, pembatasan usia akan menghalangi orangorang tertentu yang usianya di luar batasan tersebut. Kerugian relatif yang demikian menurut Mahkamah tidak dapat dijadikan satu- satunya argumen bahwa suatu kebijakan bertentangan dengan UUD 1945;
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah ketentuan norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 telah sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.25] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 87 huruf a UU 7/2020. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketentuan a quo adalah aturan peralihan yang mengatur mengenai jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Selengkapnya Pasal 87 huruf a UU 7/2020 mengatur, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”;
Menurut Pemohon, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 dan mengakibatkan ketidakpastian hukum karena ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan atau tidak selaras dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020. Dalam hal ini, Pasal 87 huruf a UU 7/2020 mengatur, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;”. Sementara itu, Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 mengatur, “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi”.
11
[3.26] Menimbang bahwa setelah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (3) juncto Pasal 87 huruf a UU 7/2020, secara sistematis Mahkamah memahami bahwa UU 7/2020 mengubah periodisasi masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Pada era UU 24/2003 satu periode masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi adalah selama 3 (tiga) tahun [vide Pasal 4 ayat (3) UU 24/2003]; kemudian satu periode masa jabatan diubah menjadi 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan [vide Pasal 4 ayat (3) UU 8/2011]; dan terakhir diubah menjadi satu periode adalah 5 (lima) tahun [vide Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020];
Perubahan periodisasi menjadi 5 (lima) tahun demikian dirumuskan menjadi substansi Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 yang berlaku sejak tanggal UU a quo diundangkan. Pemberlakuan aturan baru tersebut menimbulkan masalah hukum berkenaan dengan masih berlaku/berlangsungnya jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang jabatan demikian diemban/diperoleh berdasarkan UU 8/2011;
Permasalahan tersebut dijawab pembentuk undang-undang dengan mengkonstruksi ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf a UU 7/2020 yang pada pokoknya mengatur bahwa Ketua dan Wakil Ketua yang terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua berdasarkan UU 8/2011 dan masih menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua pada saat UU 7/2020 mulai diberlakukan, maka yang bersangkutan tetap menjabat “sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.
Namun menurut Mahkamah ketentuan demikian memunculkan kemenduaan makna (ambigu) karena adanya penggunaan frasa “masa jabatannya”. Frasa “masa jabatan” yang disebutkan UU 7/2020 ternyata dipergunakan dalam dua arti/konteks, yaitu masa jabatan sebagai Hakim Konstitusi dan masa jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Tidak adanya penegasan arti/konteks “masa jabatan” mana yang diacu oleh Pasal 87 huruf a UU 7/2020 telah menciptakan ketidakpastian hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945.
Selain karena persoalan ambiguitas di atas, ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak sesuai dengan amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 yang telah dengan tegas menyatakan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Oleh karenanya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat langsung menjabat tanpa melalui proses pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi. Dengan demikian, proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi harus dikembalikan pada esensi pokok amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 beralasan menurut hukum atau dengan kata lain Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak lagi mempunyai
12
kekuatan hukum mengikat sejak Putusan ini selesai diucapkan. Namun demikian, agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo maka Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;
[3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum, sedangkan terkait dengan pengujian norma Pasal 87 huruf a UU 7/2020 permohonan Pemohon beralasan menurut hukum;
[3.28] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain yang tidak relevan Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima terhadap pengujian UU 7/2020 mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 13.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (UU 7/2020) terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/2020 dan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b,
Pasal 87 huruf b UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan tertulis Pemohon, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan pengujian formil UU 7/2020;
Bahwa Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 7/2020 secara formil telah melanggar asas keterbukaan dan bertentangan dengan ketentuan mengenai tatacara pembentukan undang-undang, khususnya berkenaan dengan tidak adanya partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas. Terhadap dalil tersebut menurut Mahkamah, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, khususnya keterangan DPR dan Presiden, telah ternyata Rancangan Undang- Undang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 telah masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019, prioritas tahun 2019 [vide Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019, tanggal 31 Oktober 2018, Lampiran I Keputusan DPR Nomor 22]. Selain itu, DPR dalam persidangan juga menerangkan bahwa dilakukannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan usulan Rancangan Undang- Undang dalam daftar kumulatif terbuka dalam rangka menindaklanjuti putusan- putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU- VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU XI/2013 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU- XIV/2016 sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (UU 12/2011) [vide Risalah Persidangan Dengan Agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden, tanggal 9 Agustus 2021, hlm. 4 dan 5]. Oleh karena itu, terlepas dari norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian secara materiil dianggap terdapat persoalan inkonstitusionalitas, namun menurut Mahkamah tatacara perubahan Undang-Undang a quo yang mendasarkan pada daftar kumulatif terbuka tersebut sebagai tindak lanjut beberapa putusan Mahkamah Konstitusi maka tatacara perubahan UU 7/2020 tidak relevan lagi dipersoalkan. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa usulan Rancangan Undang-Undang jika masuk dalam daftar kumulatif terbuka sesungguhnya dapat dibentuk kapan saja dan tidak terbatas jumlahnya sepanjang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011.
Di samping itu, perubahan undang-undang melalui daftar kumulatif terbuka mempunyai sifat khusus yang tidak dapat sepenuhnya dipersamakan
dengan usulan perubahan undang-undang yang bersifat normal, yaitu rancangan undang-undang yang masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah. Sementara itu, dimasukkannya rancangan perubahan Undang-Undang a quo dalam daftar Prolegnas sebagaimana uraian di atas, bukan berarti perubahan Undang-Undang tersebut tertutup untuk diusulkan dan dibahas dalam daftar kumulatif terbuka sebab perubahan Undang-Undang a quo memang memenuhi kriteria daftar kumulatif terbuka sebagaimana pertimbangan di atas.
Dikarenakan perubahan Undang-Undang a quo dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi maka tidak relevan lagi apabila proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut masih dipersyaratkan pembahasan, termasuk dalam hal ini adalah syarat partisipasi publik yang ketat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021. Hal ini dimaksudkan agar esensi perubahan tersebut sepenuhnya mengadopsi substansi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, jika perubahan tersebut dilakukan sebagaimana layaknya Rancangan Undang-Undang di luar daftar kumulatif terbuka, justru berpotensi menilai dan bahkan menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon dalam pengujian formil UU 7/2020 a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian formil, namun tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil. Sedangkan, pokok permohonan dalam pengujian formil tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, pokok permohonan Pemohon dan hal-hal lain dalam pengujian materiil tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya dan tidak dapat diterima mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
.
Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 17.53 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 56/PUU- XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan salah satu keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari Komisi Yudisial.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut di atas Mahkamah terlebih dahulu akan mepertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1.a. Hakim Konstitusi
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan pada bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi, bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam bentuk formalnya adalah permohonan pengujian undang- undang terhadap undang-undang dasar. Akan tetapi, pada hakikatnya, substansi permohonan dimaksud mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama lembaga negara yang kewenangannya sama-sama
2
ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan hal-hal substantif yang dimohonkan oleh para Pemohon dengan menilai materi norma yang terdapat dalam UU KY dan UUKK yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD 1945 dan sekaligus dengan pendekatan konstitusionalitas kewenangan.
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UU KK yang dibentuk sebelum pembentukan UU KY. Dalam UU MK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU KK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali;
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY, maka kewenangan
3
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
Terhadap kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK yang berbunyi, “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”; kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas pengertian perilaku hakim sehingga mencakup Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY. Dengan kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi mandul, khususnya dalam hal salah satu lembaga negara dimaksud adalah KY. Ketentuan undang-undang yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam Pasal 2 ayat
(3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65 UUMK tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon, hanya dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam perkara sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian tidak berkait dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian, sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan
4
Komisi Yudisial yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek perkara di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang-undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY sebagaimana ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat. Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan lembaga negara antara MA dan KY terjadi di masa-masa yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian sengketa semacam itu tidak akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antarlembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
2.b. Pengawasan
Menimbang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan frasa ”dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan KY sebagaimana dimaksud oleh ketentuan tersebut, walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain.
[3.11.2] Bahwa selanjutnya Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014 juga telah mempertimbangkan terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi yang pada pokoknya sebagai berikut:
5
[3.22] Menimbang bahwa UU 4/2014 juga mengatur keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Terhadap ketentuan ini, menurut Mahkamah, bahwa checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam praktik ketatanegaraan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, checks and balances diwujudkan dengan adanya hak veto oleh Presiden terhadap Undang-Undang yang telah disahkan oleh Kongres. Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, kewenangan lembaga peradilan untuk mengoreksi kekuasaan lembaga negara yang lain diwujudkan pula dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan koreksi terhadap Undang-Undang dilakukan dengan memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya dan dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman;
Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.
Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, terbebas atau
6
kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya.
Dalam hubungannya dengan Komisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dijamin sebagai hak asasi manusia namun dalam hubungannya dengan kekuasaan kehakiman kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas, bahkan pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang. Negara Eropa yang dapat dikatakan sebagai penganut demokrasi yang sangat liberal, bahkan membatasi kebebasan menyampaikan pendapat yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal demikian dapat ditemukan dalam Article 10 European Convention on Human Rights yang menyatakan:
(1) Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to recieve and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This article shall not prevent States from requiring the licensing of broadcasting television or cinema enterprises.
(2) The exercise of these freedom since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.
Bahwa negara-negara Eropa yang berdasarkan demokrasi liberal dan sangat menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat membatasi kebebasan tersebut demi menjaga kewenangan dan imparsialitas lembaga peradilan, dan tentunya hal tersebut diperlukan untuk menegakkan negara hukum, bukan untuk kepentingan kekuasaan lembaga peradilan. Persoalannya justru bagaimana dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang tidak berdasarkan
7
demokrasi liberal. Apakah dalam penggunaan hak kebebasannya dalam negara hukum akan lebih liberal dari negara-negara Eropa. Tentunya pembentuk Undang-Undang yang akan menjawabnya;
Memang peran Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan tidaklah langsung, namun Pasal 87B UU 4/2014 menimbulkan banyak persoalan hukum. ayat (2) pasal a quo menyatakan, “Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan.”
Permasalahan hukum pertama adalah apa yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan dari PERPU. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional PERPU memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karenanya, peraturan pelaksanaan dari PERPU juga harus sama dengan peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang. Ketentuan yang termuat di dalam Pasal 87B UU 4/2014 ini bersifat umum. Artinya, peraturan pelaksanaan tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari seluruh PERPU dan bukan pelaksanaan dari pasal tertentu saja. Oleh karena PERPU sama kekuatan mengikatnya dengan Undang-Undang, maka peraturan pelaksana yang dimaksud oleh pasal a quo secara konstitusional tidak ada lain kecuali Peraturan Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya.” Dengan demikian, atas perintah ketentuan ini Pemerintah wajib membuat peraturan pelaksanaan.
Permasalahan kedua menyangkut frasa yang menyatakan, "... harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini diundangkan." Penjelasan Pasal 87B menyatakan, “Cukup jelas”. Dengan demikian, pasal ini harus dimaknai berdasar rumusan kalimat atau frasa yang tertulis dari aspek tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan dan tidak dapat dimaknai di luar bahasa yang digunakan, serta bukan berdasar penafsiran perorangan atau Pemerintah maupun DPR, karena Undang- Undang yang dinyatakan dalam simbol bahasa tersebut telah mengikat umum dan menjadi milik publik pula. Frasa yang menggunakan kata “harus”, pastilah punya makna normatif untuk ditaati. Apabila tidak ditaati berarti telah terjadi pelanggaran terhadap perintah “harus” tersebut. PERPU 1/2013 diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013. Tiga bulan dari tanggal tersebut jatuh pada 17 Januari 2014 dan tidak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan PERPU tersebut. Dengan demikian, sekarang telah terjadi pelanggaran. Sebuah pelanggaran menimbulkan konsekuensi hukum. Jika merupakan pelanggaran pidana dapat dijatuhi pidana. Ketentuan Pasal 87B bermaksud memberikan kewenangan delegatoir kepada pembuat peraturan pelaksana, namun jika dibaca rumusannya, ketentuan kewenangan delegatoir tersebut disyarati, yaitu, waktunya selama tiga bulan. Hal tersebut terbukti dari frasa "harus ditetapkan
8
paling lama 3 (tiga) bulan". Oleh karena ketentuan ini bukan mengatur pidana tetapi mengatur kewenangan yang didelegasikan, sehingga jika ternyata kewenangan tersebut tidak digunakan sesuai perintah maka kewenangan tersebut akan kadaluwarsa atau hapus. Sejak PERPU tersebut diundangkan sampai dengan tanggal 17 Januari 2014 tidak ditetapkan peraturan pelaksanaan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sehingga tidak ada lagi kewenangan untuk membuat Peraturan Pemerintah. Pasal 87B telah habis masa berlakunya, artinya delegasi kewenangan membuat peraturan pelaksanaan telah daluwarsa;
Permasalahan hukum ketiga timbul dari rumusan Pasal 87B ayat (3) a quo yang menyatakan, “Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.” Sebagaimana diuraikan sebelumnya, yang didelegasikan oleh Pasal 87B ayat (2) PERPU 1/2013 adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, artinya delegasi untuk mengatur. Hal itu menurut Mahkamah, secara konstitusional bentuk hukumnya adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan ayat (3) yang didelegasikan adalah kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang keduanya merupakan hal berbeda. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan akan menghasilkan peraturan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan akan menghasilkan keputusan yang konkret; Bahwa hal berikutnya berkaitan dengan kapan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 87B ayat (3) UU 4/2014 yang menyatakan, "Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial". Sejak PERPU a quo diundangkan sampai dengan permohonan ini diajukan, peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum ditetapkan, sehingga semestinya Komisi Yudisial sudah harus menetapkan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Demikianlah maksud PERPU tersebut – terlepas konstitusional atau tidak konstitusionalnya – mengenai apa yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial menurut PERPU yang telah menjadi Undang-Undang tersebut. Pendapat Mahkamah di atas memperlihatkan secara jelas betapa rancunya PERPU a quo dibuat yang tujuannya adalah untuk melibatkan Komisi Yudisial dalam pengajuan Hakim Konstitusi dan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum
9
yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi menjaga tegaknya konstitusi.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan tersebut, menurut Mahkamah dengan adanya anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya adalah dari unsur anggota Komisi Yudisial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 hal tersebut tidaklah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan Mahkamah tersebut, karena dalam pertimbangan putusan tersebut di atas, Mahkamah pada pokoknya antara lain telah secara nyata menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain. Dengan kata lain, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya. Hal tersebut sama halnya apabila dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang masih tetap melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja Hakim Konstitusi sehingga pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Sehingga, Mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari- hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak manapun.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak lagi melibatkan Komisi Yudisial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020. Namun, agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (stagnan) dari salah satu unsur sebelum dilakukannya perubahan oleh pembentuk undang-undang, maka Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari Komisi Yudisial adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun, dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nantinya. Sehingga, dengan adanya penggantian komposisi tersebut Mahkamah dapat segera melanjutkan penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang disusun oleh Mahkamah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 27A ayat (7) UU a quo yang menyatakan pada pokoknya
10
ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam amar putusan a quo akan menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial” tidak dimaknai “1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun”.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya
1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 56/PUU- XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 7/2020.
11
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2020 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2020.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2022, pukul 10.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap (UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat
(2) huruf i UU 10/2016 menyebabkan mantan narapidana yang telah menjalani masa pidananya menjadi terhalangi hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati) sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa sebagai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Indonesia menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jika kedaulatan berada di tangan rakyat maka tujuan dari kekuasaan tersebut adalah demi kepentingan rakyat. Di sinilah paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan, hukum akan mengatur dan membatasi kekuasaan, sedangkan kekuasaan atau pemerintah membuat hukum berdasarkan kehendak rakyat.
2
Bahwa untuk mewujudkan negara demokrasi yang berdasar pada hukum maka penyelenggaraan pemilihan umum dan juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang demokratis yang bersifat bebas, jujur, dan adil menjadi sebuah konsekuensi logis. Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pembentuk undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Perppu 1/2014), telah memilih sistem pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung (direct popular vote), pilihan ini diambil untuk menghormati kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (vide Konsideran Menimbang huruf a Perppu 1/2014 sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang, selanjutnya disebut UU 1/2015). Oleh karena itu, dengan sistem pemilihan secara langsung maka keterlibatan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dipilih dan memilih dalam proses pemilihan menjadi sangat terbuka.
Bahwa meskipun hak untuk memilih dan dipilih adalah hak konstitusional, namun negara dapat melakukan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Pembatasan-pembatasan terhadap hak pilih juga dikenal dalam Pasal 25 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak wajar, salah satunya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Untuk menciptakan pemilihan yang berkualitas bukan hanya ditentukan dari penyelenggaraan yang berkualitas, namun juga calon yang akan dipilih menjadi pemimpin juga harus berkualitas. Salah satu cara menjaga kualitas dari pemilihan adalah dengan memberikan batasan-batasan sehingga yang akan menjadi peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah calon- calon berintegritas.
Bahwa baik dalam konteks hak untuk dipilih maupun hak untuk memilih, negara memberi batasan siapa saja yang dapat dikategorikan memenuhi syarat sebagai pemilih dan sebagai calon yang akan dipilih. Dalam hal
3
pembatasan hak konstitusional demikian bukan berarti hak konstitusional pemilih dan calon yang dipilih menjadi terlanggar. Pembatasan tetap perlu ada untuk membuat sistem pemilihan yang tertib dan akan menghasilkan pemerintahan yang dipimpin oleh calon terbaik yang dipilih oleh rakyatnya yang kemudian akan memberikan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itulah pemilih yang akan memiliki hak pilih juga dibatasi dengan persyaratan yaitu pemilih yang dapat mempertanggungjawabkan pilihannya, yang dalam sistem pemilihan dipersyaratkan pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah kawin (vide Pasal 1 angka 6 UU 1/2015). Pemilih juga disyaratkan harus terdaftar dalam daftar pemilih atau merupakan penduduk setempat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Demikian juga untuk orang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, terdapat syarat yang ditetapkan oleh undang-undang yang salah satunya yaitu syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang menjadi pokok permohonan Pemohon. Persyaratan calon dalam Pasal 7 UU 10/2016 secara kumulatif ditentukan sejumlah 20 (dua puluh) syarat, kesemuanya bertujuan untuk menjadi penyaring awal untuk mendapatkan calon terbaik yang setelah memenuhi persyaratan akan dipilih oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin daerah.
[3.11.2] Bahwa pembatasan hak asasi dengan persyaratan calon harus dipandang bukan hanya dilihat dari sisi perorangan bakal calon yang hendak mencalonkan diri, namun juga dari sisi persepsi masyarakat daerah yang sedang mencari pemimpin daerahnya, di mana dengan sistem pemilihan langsung masyarakatlah yang secara langsung memilih tanpa adanya panitia seleksi sebagaimana pemilihan jabatan-jabatan lainnya. Oleh karenanya keduapuluh persyaratan yang dipersyaratkan oleh Pasal 7 UU 10/2016 merupakan seleksi awal yang dapat menghasilkan bakal-bakal calon yang berkualitas untuk dipilih oleh pemilih. Dengan demikian, menurut Mahkamah persyaratan calon diperlukan dalam sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah demi mewujudkan demokrasi yang esensial, yaitu demokrasi yang tidak hanya mendasarkan pada suara terbanyak tetapi yang memiliki esensi pada tujuan luhur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera yang dipimpin oleh pemimpin yang berintegritas dan berkualitas yang dihasilkan dari proses pemilihan yang melibatkan rakyat yang dipimpinnya;
Bahwa meskipun Mahkamah menganggap persyaratan bagi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah hal yang penting untuk menjadi seleksi awal, namun Mahkamah juga pernah memutus dalam putusannya bahwa syarat yang ditentukan UU tidak konstitusional dan harus diberikan pemaknaan. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 yang memutus bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih adalah inkonstitusional sepanjang
4
tidak memenuhi syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected official); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang. Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009 a quo Mahkamah juga memaknai syarat tidak pernah dipidana ini beberapa kali dalam putusannya terakhir dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, tanggal 11 Desember 2019 yaitu calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi syarat (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
[3.11.3] Bahwa selanjutnya terhadap persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK, sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, meskipun Mahkamah pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU- XVI/2018 sebagaimana disebutkan pada Paragraf [3.10] di atas, namun Mahkamah hanya mempertimbangkan frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, di mana terhadap frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 Mahkamah menyatakan sebagai norma yang konstitusional, namun dalam pertimbangan hukumnya memberikan makna bahwa sifat tercela menjadi tidak tepat jika dilekatkan kepada:
a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau
b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau
c. mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk
5
menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
[3.12] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab persoalan konstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, yaitu sepanjang terkait dengan frasa “serta perbuatan pelanggaran kesusilaan lainnya” bertentangan dengan UUD 1945 atau sepanjang frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dipersamakan dengan menyimpan psikotropika tanpa hak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi Mantan Narapidana Psikotropika yang telah selesai menjalani Pidana Penjara dan Pidana Denda serta telah jeda lima tahun sejak putusan hakim berkekuatan hukum tetap”. Di mana Pemohon menganggap frasa dalam norma a quo menyebabkan Penjelasan a quo ditafsirkan bahwa Pemohon yang telah menjalani masa pidana penjara dan membayar denda karena menggunakan psikotropika tetap tidak dapat memenuhi syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela sebagaimana disyaratkan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, sehingga terhalang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bahwa terhadap hal tersebut, sebagaimana juga telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu terkait mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih telah berpendirian bahwa mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan pelaku tindak pidana yang berulang-ulang. Oleh karena itu, terhadap bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki kualifikasi sebagai mantan terpidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih, Mahkamah telah menegaskan dengan memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk dapat ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVIII/2019. Sebab, penilaian akhir terhadap calon mantan terpidana yang ikut kontestasi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pilihan masyarakat/pemilih untuk menentukannya.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-XVI/2018 juga telah mengecualikan pemberlakuan syarat tidak melakukan perbuatan tercela bagi pemakai narkotika yang karena
6
alasan kesehatan; atau mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban dan yang telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi. Oleh karena itu, yang bersangkutan jika memenuhi syarat-syarat lainnya dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa dikategorikan telah melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana dengan mantan terpidana lain yang tidak tergolong ke dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVIII/2019 dan mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana karena melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 seperti judi, mabuk, zina, dan pengedar narkotika, termasuk perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Apakah pelaku-pelaku tindak pidana ataupun perbuatan lain yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 yang telah dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dianggap tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bahwa terhadap hal tersebut menurut Mahkamah syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK sesungguhnya hanyalah bersifat administratif untuk membuktikan bahwa seseorang pernah atau tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Namun, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan semangat yang ada di dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya, SKCK tersebut bukanlah merupakan satu-satunya parameter bahwa seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah subjek hukum yang mempunyai rekam jejak yang serta merta dapat disimpulkan tidak memenuhi syarat sebagai seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebab, bisa jadi seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 disebabkan karena adanya kelalaian atau kealpaan, di samping sifat dari perbuatannya yang sekalipun adalah tindak pidana akan tetapi bisa jadi adalah tergolong ringan/sedang dibandingkan dengan pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Oleh karena itu, hal demikian menurut Mahkamah akan terjadi disparitas dalam perspektif keadilan hukum dan keadilan hak konstitusional apabila terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, sementara terhadap pelaku perbuatan yang
7
melanggar kesusilaan sebagaimana di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan selesai menjalani masa pidana menjadi tertutup kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun syarat-syarat lain terpenuhi oleh yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk memenuhi adanya kepastian hukum dan rasa keadilan, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah selain memberi kesempatan yang sama bagi pelaku perbuatan tercela yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidananya untuk dapat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga, sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apapun model ataupun format SKCK dimaksud, hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela sepanjang yang bersangkutan telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, serta sepanjang syarat-syarat lainnya terpenuhi. Dengan kata lain, bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah melakukan perbuatan yang melanggar Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan serta telah selesai menjalani masa pidana, maka harus dikecualikan untuk tidak dikenakan syarat SKCK yang masih dikaitkan dengan perbuatannya tersebut.
[3.14] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena syarat-syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuat secara ketat adalah untuk mendapatkan calon pemimpin daerah yang berintegritas, maka meskipun terhadap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dikarenakan melakukan perbuatan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing- masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, sebagaimana juga diberlakukan untuk ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan informasi tentang jati diri secara lengkap terhadap masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka dalam memaknai Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 ini pun juga diwajibkan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, untuk secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai
8
mantan terpidana, sebagaimana juga telah dipersyaratkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yang telah dimaknai oleh Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut.
[3.15] Menimbang bahwa dengan adanya penegasan dari Mahkamah di atas maka kepada penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian yang berwenang mengeluarkan SKCK, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana yang dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dengan menyesuaikan semangat yang ada dalam putusan a quo.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat dapat menerima dalil Pemohon sepanjang yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, serta Petitum Pemohon yang meminta untuk menyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Namun, dalam merumuskan syarat konstitusionalnya Mahkamah memiliki kesimpulan sendiri, sebagaimana tertuang dalam amar putusan di bawah ini. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum pada Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 2/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 2/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 10/2016 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2022, pukul 10.39 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU- XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, pokok permohonan Pemohon adalah mengenai frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri” dalam Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 yang menyebabkan Pemohon belum ditetapkan atau bahkan dapat terjadi Pemohon tidak ditetapkan sebagai Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Timur melalui mekanisme pergantian antarwaktu pimpinan DPRD Provinsi Kalimantan Timur sisa masa jabatan 2019-2024. Oleh karena itu, menurut Pemohon pasal a quo harus dinyatakan berlaku secara bersyarat dan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila dimaknai sebagaimana dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon. Terhadap pokok permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu tata tertib pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD. Pasal 132 ayat (1) dan Pasal 186 ayat (1) UU 23/2014 mengatur tata tertib DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diantaranya memuat ketentuan tentang pemberhentian dan penggantian pimpinan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota (PP 12/2018). Pasal 36 ayat (2) PP 12/2018 mengatur pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya karena; a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD; c. diberhentikan sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau d. diberhentikan sebagai pimpinan DPRD. Lebih lanjut, dalam Pasal 36 ayat (3) PP 12/2018 diatur pimpinan DPRD diberhentikan sebagai pimpinan DPRD dalam hal: a. terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik berdasarkan keputusan badan kehormatan;
b. partai politik bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemberhentian sebagai pimpinan DPRD selain melalui mekanisme penilaian etik oleh badan kehormatan, dapat juga melalui mekanisme internal partai politik dari pimpinan
2
DPRD yang diberhentikan. Dengan kata lain, partai politik juga memiliki hak untuk memberhentikan anggota yang ditugaskan atau ditunjuk sebagai pimpinan DPRD.
Namun demikian, adakalanya keputusan pemberhentian dan penggantian sebagai pimpinan DPRD, yang bersangkutan berkeberatan atau menolak untuk diberhentikan atau digantikan. Terhadap hal tersebut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) mengkategorikan hal tersebut sebagai perselisihan partai politik. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 2/2011 menjelaskan yang dimaksud perselisihan partai politik meliputi antara lain keberatan terhadap keputusan partai politik. Menurut Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2011 perselisihan partai politik harus diselesaikan secara internal melalui mahkamah partai politik dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari. Dalam hal penyelesaian perselisihan tidak tercapai maka proses berikutnya dilakukan melalui pengadilan negeri yang harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan kasasi yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung [vide Pasal 33 UU 2/2011]. Dengan demikian, dalam hal terdapat proses hukum berkenaan dengan pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD maka harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan proses politik melalui rapat paripurna DPRD.
Dalam kaitannya dengan pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD, hal demikian harus dilakukan dengan alasan-alasan yang logis dan berbasis evaluasi kinerja dan bukan berdasarkan like and dislike karena meskipun pimpinan DPRD berdasarkan penugasan atau penunjukan dari partai politik namun pada hakikatnya penugasan atau penunjukan tersebut mengandung makna bahwa yang ditugaskan atau ditunjuk sebagai pimpinan DPRD untuk kepentingan publik, sehingga tidak lagi sepenuhnya milik partai politik. Artinya, meskipun pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD merupakan hak partai politik, akan tetapi tidak boleh dilakukan secara semena-mena agar tidak mempengaruhi fungsi dan tugas DPRD secara kelembagaan.
[3.10.2] Bahwa secara formil pemberhentian pimpinan DPRD dilakukan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan melalui keputusan DPRD [vide Pasal 37 ayat
(2) dan ayat (3) PP 12/2018]. Terhadap keputusan tersebut, pimpinan DPRD provinsi menyampaikan kepada Menteri melalui gubernur untuk pemberhentian pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan kepada Gubernur melalui bupati/walikota untuk pemberhentian pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak ditetapkan dalam rapat paripurna. Demikian juga penyampaian gubernur kepada menteri dan bupati/walikota kepada gubernur paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
3
diterimanya keputusan DPRD provinsi atau keputusan DPRD kabupaten/kota [vide Pasal 38 ayat (1) sampai dengan ayat (4) PP 12/2018]. Mengenai penggantian pimpinan DPRD juga ditetapkan dengan keputusan DPRD dan selanjutnya pimpinan DPRD provinsi mengusulkan peresmian pengangkatan calon pengganti kepada menteri melalui gubernur bagi penggantian pimpinan DPRD provinsi dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi penggantian pimpinan DPRD kabupaten/kota [vide Pasal 39 ayat (2) sampai dengan ayat (4) PP 12/2018].
Sementara itu, persoalan penggantian pimpinan DPRD menurut Pemohon terhambat dengan berlakunya Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 dikarenakan adanya frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri” menimbulkan ketidakpastian hukum seolah-olah Mendagri masih dapat mempertimbangkan kembali keputusan pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD.
[3.10.3] Bahwa dalam kaitan dengan frasa yang dipersoalkan Pemohon penting bagi Mahkamah menegaskan dirumuskannya frasa “dirermikan dengan keputusan Menteri” dalam Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 merupakan frasa yang lazim dipergunakan untuk keabsahan setiap keputusan dan/atau tindakan yang harus ditetapkan atau ditermikan oleh badna atau pejabat pemerintah yang berwenang [vide Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan]. Dalam konteks perkara a quo, Mendagri memiliki wewenang untuk meresmikan pimpinan DPRD provinsi berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD provinsi. Penggunaan frasa demikian juga tercantum dalam berbagai ketentuan, seperti keanggotaan DPRD provinsi yang juga diresmikan dengan keputusan Menteri [vide Pasal 102 ayat (2) UU 23/2014] serta keanggotaan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan DPRD kabupaten/kota yang diresmikan dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat [vide Pasal 155 ayat (2) dan Pasal 165 ayat (4) UU 23/2014). Dalam mekanisme ketatanegaraan, hal demikian juga berlaku bagi pengisian jabatan-jabatan lembaga negara lainnya. Misalnya pengangkatan hakim konstitusi, hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR juga harus diresmikan dengan keputusan Presiden [vide Pasal 71 huruf n Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah].
Lebih lanjut, pada hakikatnya dalam menetapkan pemberhentian maupun penggantian pimpinan DPRD melalui rapat paripurna DPRD yang dijadikan dasar Menteri atau Gubernur mengeluarkan keputusan pemberhentian atau penggantian adalah berdasarkan atas keputusan partai politik pimpinan DPRD
4
yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam hal pimpinan DPRD diberhentikan baik berdasarkan keputusan badan kehormatan maupun keputusan partai politik [vide Pasal 36 ayat (3) PP 12/2018], penggnati pimpinan DPRD yang berhenti berasal dari partai politik yang sama dengan pimpinan DPRD yang berhenti. Artinya, tanpa bermaksud menilai legalitas PP 12/2018 tersebut, hak partai politik tidak hanya mengusulkan pemberhentian pimpinan DRPD namun juga untuk mengusulkan pengganti pimpinan DPRD untuk diumumkan dalam rapat paripurna dan kemudian ditetapkan dengan keputusan DPRD [vide Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) PP 12/2018].
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, dalam konteks pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD maka Mendagri menindaklanjuti hasil paripurna pemberhentian ataupun penggantian pimpinan DPRD, sehingga tidak terdapat alasan untuk tidak menindaklanjuti proses administrasi pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD sepanjang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
[3.10.4] Bahwa dengan berlarut-larutnya proses penggantian pimpinan DPRD [vide bukti P-9a] tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian. Dengan kondisi tersebut, justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri (justice delayed justice denied). Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri’ dalam Pasal
112 ayat (4) UU 23/2014 adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “wajib ditindaklanjuti secara administratif sepanjang proses di internal partai politik dan DPRD telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Oleh karena itu, agar proses penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terganggu dan demi kepastian hukum maka pemaknaan demikian mengharuskan tindakan administratif a quo harus segera dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, oleh karena petitum Pemohon memohon Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 sepanjang frasa “diresmikan dengan keputusan menteri” berlaku secara konstitusional bersyarat dan mempunyai ketentuan hukum mengikat apabila dimaknai “keputusan meresmikan yang didasarkan pada kewenangan terikat Menteri bersifat deklaratif dengan wajib menindaklanjuti proses administratif terhadap keputusan hak istimewa partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi hasil dari perolehan suara pemilu dalam menentukan pimpinan DPRD provinsi, sementara itu, Mahkamah berpendapat frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri” dalam Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
5
sepanjang tidak dimaknai “wajib ditindaklanjuti secara administratif sepanjang proses di internal partai politik dan DPRD telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, dengan demikian, meskipun pada dasarnya baik petitum Pemohon maupun pendapat Mahkamah terdapat kesamaan dalam hal frasa dimaksud harus dimaknai agar tetap konstitusional dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun demikian Mahkamah memiliki perbedaan dalam merumuskan syarat konstitusionalitasnya. Oleh karena itu, permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh
6
organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 23/2014 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.
Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Maret 2022, pukul 11.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan.
…
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, inti permohonan a quo adalah frasa “final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dalam Penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”, telah menyebabkan Putusan DKPP tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, sehingga putusan DKPP a quo telah menimbulkan akibat hukum. Oleh karenanya DKPP menafsirkan bahwa putusan DKPP tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun termasuk diuji ke peradilan TUN. Hal ini menurut para Pemohon tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 dan menyebabkan DKPP menjadi lembaga yang superior karena tidak memiliki mekanisme checks and balances. Terhadap dalil pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dengan permohonan a quo Mahkamah sebelumnya pernah memutus pengujian Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014. Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011 mengatur bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Terhadap frasa final dan mengikat ini, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu: 1.1. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
1.2. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Bahwa kemudian pembentuk Undang-Undang menyatakan tidak berlaku UU 15/2012 dengan berlakunya UU 7/2017. Namun, norma yang mengatur Putusan DKPP bersifat final dan mengikat tetap dipertahankan oleh UU 7/2017 yang diatur dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo.
Bahwa meskipun Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 mengatur norma yang sama dengan Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012, namun jika mendasarkan pada Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda, maka permohonan para Pemohon dapat diajukan kembali.
Bahwa terlepas dari permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali ataupun tidak, namun muatan norma yang terdapat dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian adalah muatan norma yang sama yang diatur dalam Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012 yaitu norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon Perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 sama dengan yang dipersoalkan oleh para Pemohon perkara a quo. Dengan demikian, terhadap norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, sehingga menurut Mahkamah pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Sementara itu, dalil para Pemohon selebihnya sepanjang masih relevan dengan substansi pertimbangan hukum yang akan diuraikan lebih lanjut oleh Mahkamah akan turut dipertimbangkan lebih lanjut pula.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan ketidakpastian hukum yang terjadi di tataran pelaksanaan norma, yang ternyata telah terjadi penafsiran berbeda yang tidak sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Berkenaan dengan hal tersebut setelah dicermati secara saksama terdapat varian persepsi dalam memahami Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam memahami amar putusan badan peradilan, termasuk putusan Mahkamah, tidak dapat dipisahkan antara amar putusan dengan pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi. Demikian halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 bahwa yang dimaksudkan oleh Mahkamah adalah sebagaimana yang akan ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan hukum dan kemudian dinyatakan dalam amar putusan a quo;
Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 telah memberikan pertimbangan di antaranya sebagai berikut:
“Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah sama dengan final dan mengikatnya putusan lembaga peradilan. Untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya, oleh karena DKPP adalah perangkat internal Penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN”
Bahwa dengan pertimbangan demikian, kemudian Mahkamah dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat”, yaitu harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, “adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN”.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalam putusan perkara a quo, di samping Mahkamah kembali menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. Mahkamah juga menegaskan ketiga lembaga penyelenggara Pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior. Dengan demikian, melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa ’’bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan Putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN. Oleh karena itu, terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN. Sehingga dengan demikian dalam konteks ini Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan Putusan DKPP ataupun Putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan Putusan DKPP.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan a quo adalah beralasan menurut hukum. Sedangkan, bagi Mahkamah melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan KUHP.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan KUHP.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 24 Februari 2022, pukul 10.31 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 71/PUU- XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian KUHP dan UU Jaminan Fidusia dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 372 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak sembilan ratus rupiah, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ditunjukkan oleh debitur karena tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debiturtidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia”. Atau, sepanjang tidak mengandung makna debitur yang tidak menunjukkan objek jaminan fidusia dalam rangka melindungi dari penarikan secara sepihak oleh kreditur karena tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji tidak dianggap sebagai tindak pidana penggelapan.
2
Terhadap dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara individu/masyarakat dengan negara berupa norma yang disertai dengan pengaturan dan ancaman sanksi bagi siapa pun yang melanggarnya. Hukum pidana meliputi atau terdiri dari hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dalam hal ini, secara doktriner, hukum pidana umum adalah hukum pidana yang diberlakukan bagi setiap orang yang bersumber dari KUHP, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang diberlakukan bagi orang-orang tertentu yang bersumber/diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 372 KUHP, di mana ketentuan ini termasuk dalam Bab XXIV tentang Penggelapan yang merupakan bagian ketentuan hukum pidana umum. Para Pemohon dalam permohonannya memohon agar ketentuan Pasal
372 KUHP diberikan pemaknaan pengecualian khusus untuk tindak pidana yang berkaitan dengan jaminan fidusia. Menurut Mahkamah, apa yang dimohonkan para Pemohon secara fundamental akan mengubah konstruksi norma hukum yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP. Sebab, konstruksi norma hukum Pasal 372 KUHP tersebut bersifat universal, yang artinya, ruang lingkup bekerjanya ketentuan tersebut dapat ditujukan untuk objek apapun yang dilakukan setiap subjek hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur delik tindak pidana penggelapan. Oleh karena itu, tindak pidana penggelapan tidak dapat hanya dikaitkan dengan jenis perbuatan hukum tertentu sebagaimana pengecualian yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, apabila penambahan frasa “kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ditunjukkan oleh debitur karena tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia”, atau, sepanjang tidak mengandung makna debitur yang tidak menunjukkan objek jaminan fidusia dalam rangka melindungi dari penarikan secara sepihak oleh kreditur karena tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji tidak dianggap sebagai tindak pidana penggelapan” sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon diakomodir, maka hal tersebut justru akan mempersempit ruang lingkup dari sifat ketentuan norma Pasal 372 KUHP dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum. Sementara, dalam ketentuan UU 42/1999 telah diatur beberapa ketentuan pidana yang berkaitan dengan penegakan norma primernya, sebagaimana dimaktubkan dalam ketentuan Pasal 35 UU 42/1999 yang mengatur mengenai perbuatan yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara
3
menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, serta dalam Pasal 36 UU 42/1999 yang mengatur mengenai sanksi pidana bagi Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian, jika dipandang masih terdapat persoalan dalam memberikan sanksi pidana atas pelanggaran perjanjian fidusia maka menjadi otorisasi pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, kecuali jika persoalan pelanggaran tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas norma maka Mahkamah berwenang untuk menilainya.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 372 KUHP adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya karena norma a quo tidak terlepas dari pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang telah diputus oleh Mahkamah Kontitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019, bertanggal 6 Januari 2020 dan telah ditegaskan kembali di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bertanggal 31 Agustus2021.
....
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU- XIX/2021 sesungguhnya telah terang benderang menjawab mengenai prosedur penyerahan objek fidusia sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai akan timbulnya eksekusi secara sepihak atau penarikan semena-mena yang dilakukan oleh kreditur, tidaklah akan terjadi. Sebab, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Artinya, putusan a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) tidaklah berdiri sendiri karena ketentuan pasal-pasal lain dalam UU 42/1999 yang berkaitan dengan tata cara eksekusi harus pula mengikuti dan menyesuaikan dengan putusan a quo, termasuk ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. Dengan demikian, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian, apabila mengenai cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia. Dalam hal ini, Mahkamah telah
4
menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 2/PUU- XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Bahwa berkaitan dengan eksekusi jaminan objek fidusia, penting ditegaskan oleh Mahkamah, perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat) oleh karena itu kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur- unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untukpenegakan hukum pidananya. Oleh karena itu, berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “pengadilan negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sedangkan, terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Jaminan Fidusia.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021 yang menyatakan frasa “pihak yang berwenang” UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengadilan negeri” dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Bahwa pada hari Rabu, tanggal 15 Desember 2021, pukul 10.58 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagaimana inti petitum para Pemohon yang dapat dipahami Mahkamah pada Paragraf [3.7] angka 4. Terhadap hal tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 288 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) yang selengkapnya berbunyi:
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Sedangkan norma Pasal 293 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Selanjutnya berkenaan dengan norma di atas, para Pemohon pada pokoknya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 288 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin” dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “batas umur 19 Tahun". Begitu pula, dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP, para Pemohon memohon agar norma a quo dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa.
Terhadap permohonan para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkaitan “batas umur” sebagai usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, Mahkamah telah menegaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tanggal 13 Desember 2018 yang dalam Paragraf [3.17] antara lain, menyatakan sebagai berikut:
“… Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun” sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya.
Bahwa sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku.
Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undangundang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.”
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, berkenaan dengan batas usia termasuk dalam hal ini batas usia perkawinan sesungguhnya Mahkamah telah menegaskan batas dimaksud yang kemudian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menyatakan batas usia dimaksud adalah 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian, frasa “belum waktunya untuk dikawin” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP telah terjawab dengan perubahan norma dimaksud. Namun demikian, perubahan yang berkaitan dengan penentuan batas usia bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan batas usia dalam frasa “belum waktunya untuk dikawin” dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP pada perubahan KUHP sesuai dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) KUHP, sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin”, dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 293 ayat (2) KUHP agar dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan korban tindak pidana dalam perbuatan asusila termasuk dalam hal ini tindak pidana pencabulan yang menjadi korban tidak saja orang dewasa akan tetapi sangat dimungkinkan dialami oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat untuk dapat diprosesnya tindak pidana tersebut diperlukan adanya laporan berkenaan dengan telah terjadinya peristiwa pidana yang hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat maupun korban secara langsung.
Secara doktriner laporan adanya peristiwa pidana dapat dilakukan oleh masyarakat terutama terjadi pada tindak pidana biasa yang tidak dipersyaratkan adanya keharusan pengaduan dari pihak yang menjadi korban (delik biasa) [vide Pasal 108 ayat (1) KUHAP]. Namun demikian, terdapat peristiwa pidana yang diperlukan adanya persyaratan khusus untuk dapat ditindaklanjuti peristiwa pidana tersebut pada tingkat penyidikan dengan syarat secara khusus harus ada pelaporan atau pengaduan dari korban, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP. Berkenaan dengan persyaratan dimaksud penting bagi Mahkamah untuk menyatakan faktor usia atau kedewasaan memiliki peran berkenaan dengan ada tidaknya laporan tersebut sebagai syarat formal untuk dapat ditindaklanjutinya suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini, dalam batas penalaran yang wajar, bilamana korban dari tindak pidana adalah anak di bawah umur, anak di bawah umur dimaksud memiliki banyak keterbatasan untuk melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya. Sehingga, sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lain memiliki banyak keterbatasan. Sementara itu, korban yang merupakan anak di bawah umur akan membawa dampak sangat serius berkaitan dengan kelangsungan masa depan korban anak di bawah umur yang bersangkutan. Namun demikian, berkenaan dengan laporan atau pengaduan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP acapkali menimbulkan dilema, di mana tidak setiap korban termasuk keluarga korban menghendaki adanya laporan atau pengaduan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atas peristiwa pidana yang menimpa korban. Namun demikian, di sisi lain tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah tindak pidana yang serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan maka ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umur, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, syarat pelaporan atau pengaduan berkenaan dengan korban anak di bawah umur dalam tindak pidana Pasal 293 ayat (2) KUHP menurut Mahkamah harus dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas. Oleh karena itu, terhadap frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”. Dengan demikian, dalil para Pemohon selebihnya berkaitan dengan norma Pasal 293 ayat (2) KUHP a quo harus dimaknai dari “delik aduan absolut” menjadi “delik biasa” tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Sebab, dengan telah dimaknainya norma Pasal 293 ayat (2) KUHP berkaitan dengan pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya. Oleh karena itu, delik aduan absolut yang termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP dengan sendirinya menjadi delik aduan relatif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan telah menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon lainnya dan halhal lain yang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 293 KUHP, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 21/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 21/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan KUHP.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam KUHP yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan KUHP.
Bahwa pada hari Rabu tanggal 15 Desember 2021, pukul 11.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.8.1] Bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan telah diputus pada 23 Juni 2020, dengan amar putusan, “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”;
[3.8.2] Bahwa dalam perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak mencerminkan asas keadilan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya pembatasan upaya hukum, sehingga tidak tertutup kemungkinan celah tersebut dimanfaatkan untuk merekayasa persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui pengadilan niaga;
[3.8.3] Bahwa adapun dalam perkara a quo, Pemohon sebagaimana terurai dalam Paragraf [3.7] pada pokoknya mendalilkan adanya kesempatan yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU dapat digunakan untuk mempailitkan perusahaan atau badan usaha yang masih solven, padahal tidak ada upaya hukum apapun. Sementara itu, dalam undang-undang yang sama, perkara permohonan pailit yang juga berujung dijatuhkannya putusan pailit diberikan akses keadilan untuk mendapatkan upaya hukum, baik kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini tentu menunjukkan adanya ketidakadilan dan ketidakpastian serta diskriminasi upaya hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut Pemohon memohon agar Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
[3.8.4] Bahwa meskipun dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang sama yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, akan tetapi dalam uraiannya Pemohon a quo menguraikan pertentangan pasal-pasal yang diuji tidak hanya dengan ketidakadilan namun juga ketidakpastian dan diskriminasi upaya hukum yang juga merupakan nilai atau asas yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yakni Pemohon a quo secara spesifik telah menguraikan alasan tidak adanya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU yang permohonannya diajukan oleh kreditor sebagaimana dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalam petitum permohonan Pemohon a quo memohon menyatakan pasal-pasal yang diuji tidak sekadar inkonstitusional sebagaimana yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, namun inkonstitusional bersyarat. Terlebih lagi, dalam permohonan a quo pasal yang diuji tidak hanya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 sebagaimana Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, akan tetapi juga terdapat pengujian terhadap Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menentukan ketiadaan upaya hukum peninjauan kembali terhadap persoalan konstitusional yang dihadapi Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon memenuhi Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
…
[3.17] Menimbang bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama permohonan Permohon beserta alat-alat bukti yang diajukan, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung, keterangan Pihak Terkait IKAPI, dan keterangan Pihak Terkait AKPI, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU tidak dapat dilepaskan dari keadaan keuangan seorang debitor yang mengalami kesulitan, sehingga berpotensi adanya ketidakmampuan membayar utang-utangnya dan oleh karenanya diperlukan beberapa upaya antara lain:
1. mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya atau di dalam pengadilan apabila debitor digugat secara perdata;
2. mengajukan permohonan PKPU termasuk mengajukan perdamaian dalam PKPU;
3. mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan termasuk mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Berkenaan dengan beberapa alternatif di atas, salah satu pilihan terbaik yang dapat dilakukan oleh debitor adalah dengan mengajukan permohonan PKPU kepada pengadilan niaga. Sebab, pilihan demikian sama halnya dengan debitor akan mendapatkan kesempatan untuk menata kembali kemampuan keuangannya dan pada akhirnya dapat dihindari akibat fatal yang dialami debitor pailit. Oleh karena itu, debitor mendapat kesempatan untuk menata kelangsungan usahanya serta memperoleh manfaat waktu, ekonomi, dan kepastian hukum. Dengan mendapatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan PKPU, debitor dapat bermusyawarah dengan para kreditor tentang cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila diperlukan dan disepakati untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utang debitor tersebut.
Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UU 4/1998) yang menjadi “cikal bakal” UU 37/2004 pada dasarnya hanya memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan PKPU dengan alasan debitor tidak dapat atau memperkirakan bahwa debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih [vide Pasal 212 UU 4/1998]. Namun, dalam ketentuan Pasal 222 ayat (1) UU 37/2004 permohonan PKPU tidak hanya diajukan debitor, akan tetapi juga dapat diajukan oleh kreditor. Hal demikian yang kemudian menimbulkan persoalan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan permohonan PKPU, yang semula adalah menjadi instrumen bagi debitor di dalam menghindari adanya kepailitan dengan mengajukan permohonan PKPU, namun pada kenyataannya akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditor dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
[3.17.2] Bahwa perspektif perdamaian a quo merupakan instrumen fundamental yang menjadi parameter keberhasilan permohonan PKPU. Sebab, tujuan yang paling hakiki dimohonkannya permohonan PKPU adalah untuk mencapai kesepakatan antara debitor dan kreditor dalam rencana menyelesaikan utang debitor baik sebagian atau seluruhnya serta dilakukannya restrukturisasi utang-utang debitor tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan adanya perdamaian atas rencana penyelesaian utang dan restrukturisasi utang debitor dimaksud meskipun berasal dari kedua belah pihak, debitor dan kreditor, akan tetapi debitorlah yang sesungguhnya mengetahui secara pasti tentang keadaan kemampuan keuangannya yang kemudian dijadikan bagian pada klausula-klausula dalam mengajukan skema pembayaran kepada kreditor. Dengan demikian, filosofi permohonan PKPU secara natural awalnya hanya menjadi hak dari debitor adalah berkenaan dengan argumentasi bahwa hanya debitorlah sesungguhnya yang mengetahui kemampuan pembayaran atas utang-utangnya. Oleh karena itu, persoalan mendasar yang harus diuraikan oleh Mahkamah selanjutnya adalah berkenaan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor secara terminologi adalah hak yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan dengan alasan kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan memohon agar debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya [vide Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004]. Lebih lanjut, secara doktriner dapat dijelaskan, hak untuk mengajukan permohonan PKPU oleh kreditor didasarkan pada pertimbangan salah satunya penerapan asas keseimbangan dan asas keadilan. Artinya, apabila debitor benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukan rencana pembayaran atas utangnya terhadap kreditor maka kepada kreditor diberi hak untuk mengajukan permohonan PKPU agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit di dalam menyelesaikan utang-utangnya, sehingga dapat dihindari adanya kepailitan. Oleh karena itu, “niat baik” dari kreditor seharusnya tidak boleh tercederai oleh tujuan lain yang justru akan menghadapkan debitor dalam posisi dapat kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan “terjebak” dalam keadaan pailit.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan penegasan bahwa sepanjang permohonan PKPU masih dapat diajukan oleh kreditor perlu dilakukan kontrol atas itikad baik dari kreditor agar benar-benar tidak mencederai “niat baik” tersebut, sehingga eksistensi debitor yang menjadi bagian dari pelaku usaha yang turut berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga kelangsungan usahanya dan justru tidak disalahgunakan. Dengan demikian, kepastian hukum instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan sesuai dengan semangat dari UU 37/2004 yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap para pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan.
[3.18] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menguraikan lebih jauh berkenaan dengan permohonan Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan permohonan a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yang dalam amar putusannya pada pokoknya menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 adalah konstitusional. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati permohonan maupun amar putusan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata isu pokok yang dijadikan alasan dalam permohonannya tidak terkait dengan “agar dapat dilakukannya upaya hukum terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor”. Dengan demikian, berkaitan dengan putusan dalam permohonan a quo Mahkamah berpendapat dimungkinkan adanya perubahan pendirian oleh Mahkamah yang disebabkan karena adanya persoalan fundamental yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor sebagaimana mengemuka dalam pemeriksaan persidangan perkara a quo. Khususnya, keterangan dari Pihak Terkait baik Mahkamah Agung maupun IKAPI. Oleh karena itu, perubahan pendirian demikian adalah hal yang dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang mempunyai ratio legis yang dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana telah Mahkamah uraikan pada pertimbangan hukum di atas.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, sesungguhnya yang paling mengetahui secara konkret berkenaan dengan kemampuan keuangan atau finansial adalah debitor dan agar putusan pengadilan atas permohonan PKPU yang diajukan kreditor dapat dilakukan koreksi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan pada tingkat di bawah. Terlebih, terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor, hal demikian tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya “sengketa” kepentingan para pihak yang bernuansa contentiosa dan bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim, maka Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum.
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan upaya hukum a quo Mahkamah mempertimbangkan, esensi permohonan PKPU adalah perkara yang berdimensi diperlukan adanya kepastian hukum yang cepat dalam lapangan usaha dan terkait dengan stabilitas perekonomian suatu negara, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menjelaskan, “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.” Oleh karena itu, berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup dibuka untuk satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat bawah, Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali). Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor maka hal tersebut tidak ada relevansinya lagi untuk dilakukan upaya hukum.
[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tatacara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor di mana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Sementara itu, terhadap norma Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan, “Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” oleh karena hal ini berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali dan sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum sebelumnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali a quo tidak dibenarkan dengan alasan untuk menghindari pembengkakan jumlah perkara di Mahkamah Agung dan demi kepastian hukum dalam kelangsungan dunia usaha. Di samping itu, oleh karena sifat perkara kepailitan dan PKPU adalah perkara yang berdimensi “cepat” (“speedy trial”) dengan demikian dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain dari permohonan dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 yang menyatakan UU 37/2004 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”, harus segera ditindaklanjuti dengan cepat mengingat banyaknya pengaturan dalam UU 37/2004 dan dampaknya terhadap kepastian hukum di Indonesia.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 November 2021, pukul 13.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menjatuhkan Putusan Sela dengan menunda keberlakuan UU 11/2020 hingga adanya putusan akhir terhadap pokok permohonan a quo, dengan alasan menurut para Pemohon terdapat ketentuan-ketentuan norma yang tidak dapat dilaksanakan akibat adanya kesalahan rujukan dalam UU a quo. Selain itu, para Pemohon juga memohon agar Mahkamah memrioritaskan penyelesaian proses pemeriksaan perkara para Pemohon a quo dalam waktu 30 hari sehingga diputus sebelum penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, menurut Mahkamah, alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon adalah berkaitan erat dengan materi muatan UU 11/2020 sehingga tidak tepat dijadikan sebagai alasan permohonan pengujian formal. Adapun terhadap permohonan pemeriksaan prioritas, telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian tenggang waktu penyelesaian perkara sebagaimana pada Paragraf [3.4]. Dengan demikian permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.17] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang- undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945. Pengaturan ihwal proses pembentukan undang-undang tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 22A UUD 1945 menyatakan:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang- undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;
[3.17.3] Bahwa berkenaan dengan tahapan pengajuan rancangan undang- undang, baik yang merupakan pengaturan baru maupun revisi atau perubahan atas undang-undang yang sedang berlaku, secara konstitusional, dapat diajukan atas usul inisiatif dari Presiden (pemerintah), atau atas usul inisiatif dari DPR atau usul inisiatif dari DPD. Perihal rancangan undang-undang dimaksud, pengusulannya harus disertai dengan Naskah Akademik (NA). Secara substanstif, NA minimal memuat, yaitu: dasar-dasar atau alasan-alasan (urgensi) diperlukannya usulan suatu undang-undang atau revisi suatu undang-undang. Dengan penjelasan dimaksud, masyarakat dapat mengetahui implikasinya dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan jika substansi rancangan undang-undang yang diusulkan tidak diakomodasi menjadi undang-undang. Selain penjelasan dimaksud, NA harus pula memuat atau disertai lampiran draf usulan rancangan undang-undang yang substansinya mencerminkan urgensi yang dikemukakan dalam NA.
Bahwa sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional, pengajuan rancangan undang-undang harus didasarkan kepada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dapat memuat atau menentukan skala prioritas setiap tahunnya. Berkenaan dengan hal tersebut, proses penyusunan dan penentuan daftar rencana pembentukan undang-undang termasuk penentuan skala prioritas didasarkan pada undang-undang tentang pembentukan undang-undang, atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini, Prolegnas pada hakikatnya tidak sekadar mencantumkan daftar judul RUU melainkan didesain secara terarah, terpadu, dan sistimatis yang harus diikuti dengan konsepsi yang jelas mengenai: a) latar belakang dan tujuan penyusunan; b) sasaran yang ingin diwujudkan; dan c) jangkauan dan arah pengaturan. Selanjutnya, diikuti pula dengan pengkajian dan penyelarasan konsepsi tersebut supaya dapat dicegah terjadinya tumpang tindih pengaturan dan kewenangan.
Meskipun demikian, untuk menampung kondisi atau kebutuhan tertentu, pengajuan rancangan undang-undang dapat dimungkinan di luar Prolegnas. Misalnya, mengatasi kekosongan hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, perihal persiapan rancangan undang-undang dari masing-masing lembaga yang dapat mengusulkannya (Presiden, DPR, dan DPD) merupakan kebijakan internal masing-masing lembaga. Misalnya DPR, persiapan dapat dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Sedangkan rancangan undang-undang yang diajukan Presiden dapat dipersiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Begitu pula yang berasal dari DPD, rancangan undang- undang dapat dipersiapkan oleh komite, gabungan komite, atau panitia perancang undang-undang.
Selain yang dipertimbangan tersebut, perihal kewenangan DPD sebagai salah satu lembaga yang dapat mengajukan rancangan undang-undang, Mahkamah perlu mengemukakan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, berkenaan dengan kewenangan konstitusional DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Putusan a quo menyatakan:
“kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Merujuk pertimbangan tersebut, posisi DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sama seperti halnya hak Presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sepanjang rancangan undang-undang dimaksud berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana diatur Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Penegasan demikian diperlukan agar pengajuan rancangan undang-undang tidak menegasikan posisi dan kedudukan DPD dalam grand design pembentukan undang-undang;
[3.17.4] Bahwa berkenaan dengan tahapan pembahasan rancangan undang- undang, hal pertama yang harus dikemukakan Mahkamah adalah berkenaan dengan kata “pembahasan” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Setelah mendalami pendapat yang berkembang dalam pembahasan perubahan UUD 1945, doktrin, dan pengaturan dalam UU 10/2004 yang telah diganti oleh UU 12/2011, kata “dibahas” pada frasa “rancangan undang-undang dibahas” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “dibahas bersama” atau “pembahasan bersama”. Dengan demikian bilamana pembahasan rancangan undang-undang di luar substansi Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden dan DPR. Sementara itu, jika substansi rancangan undang-undang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 atau rancangan undang-undang diajukan oleh DPD, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden, DPR, dan DPD;
Setelah penegasan ihwal makna kata “pembahasan” tersebut, untuk memenuhi proses formal tahapan ini, Mahkamah perlu menegaskan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, karena tidak diatur secara detail dalam UUD 1945, pembahasan rancangan undang-undang dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur ihwal pembentukan undang-undang atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembahasan dapat juga merujuk sumber-sumber lain yang memberikan makna konstitusional terhadap Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- X/2012. Misalnya, jikalau merujuk UU 12/2011, pembahasan rancangan undang- undang dilakukan dengan dua tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat Pertama yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili presiden; dan Tingkat Kedua yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR.
Kedua, tahapan pembahasan merupakan fase yang berfokus utama untuk membahas rancangan undang-undang, yaitu membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan lembaga yang terlibat dalam pembahasan bersama. Berkenaan dengan hal ini, DIM diajukan oleh Presiden jika rancangan undang- undang berasal dari DPR, dan DIM diajukan oleh DPR jika rancangan undang- undang berasal dari Presiden. Sementara itu, bilamana pembahasan rancangan undang-undang berkenaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DIM diajukan oleh: a) DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD; b)
DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD; atau c)
DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR.
Ketiga, dengan membaca Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan membaca secara saksama perdebatan perubahan ketentuan a quo, pembahasan bersama rancangan undang-undang dilakukan antar-institusi. Artinya, karena pembahasan bertumpu pada DIM, secara konstitusional dalam pembahasan rancangan undang-undang terdapat satu DIM (DIM Presiden atau DIM DPR) sepanjang pembahasan bukan menyangkut kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Namun, bilamana pembahasan menyangkut kewenangan DPD, DIM dapat berasal dari Presiden, DPR, atau DPD. Dalam konteks itu, pembahasan DIM adalah pembahasan yang dilakukan antar-lembaga, yaitu: antara Presiden dan DPR (bipartit); dan antara presiden, DPR, dan DPD (tripartit) bila rancangan undang- undang berkenanaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Dikarenakan pembahasan rancangan undang-undang dilakukan antar- institusi, selama proses pembahasan berlangsung peran kelompok atau bagian tertentu dalam masing-masing institusi menjadi urusan internal setiap institusi. Misalnya, penentuan siapa atau pihak yang akan mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang ditentukan Presiden dengan Surat Presiden. Begitu pula dengan DPR dan DPD, selama proses pembahasan rancangan undang-undang yang harus kelihatan adalah peran institusi DPR dan institusi DPD. Dalam hal ini, misalnya, peran fraksi dapat dioptimalkan dalam pembahasan-pembahasan dan pengambilan keputusan di internal DPR. Atau, DPD yang harus kelihatan adalah peran institusi DPD, dapat diwakili komite atau panitia perancang. Dengan demikian, selama pembahasan akan kelihatan pembahasan yang dilakukan antarinstitusi atau antarlembaga, yaitu antara Presiden-DPR; dan antara Presiden-DPR-DPD sepanjang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Artinya, prinsip mendasar pembahasan institusi merupakan pembahasan antarinstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, pembahasan antarinstitusi dimaksud menjadikan proses pembahasan rancangan undang-undang lebih sederhana.
Keempat, karena pembahasan akan berujung pada kesepakatan atau persetujuan, guna menghindari kemungkinan terjadinya perubahan terhadap hasil kesepakatan, atau manuver berupa penolakan di ujung proses, kesepakatan- kesepakatan terutama yang berkenaan dengan norma, pasal, atau substansi pasal harus dibubuhi paraf atau tandatangan masing-masing pihak yang mewakili institusi. Khusus untuk perumusan norma atau pasal, pembubuhan paraf atau tandatangan dimaksud penting dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan di luar kesepakatan selama pembahasan rancangan undang- undang.
Kelima, sebagai bagian dari proses pembahasan, ihwal penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir, sesuai dengan pola pembahasan antar-institusi yang telah dipertimbangkan di atas, penyampaian pendapat mini dimaksud harus disampaikan oleh perwakilan masing-masing institusi. Artinya, sebelum menyampaikan pendapat mini, semua institusi telah selesai melakukan proses internal untuk menyepakati posisi atau pandangan yang akan disampaikan dalam pendapat mini. Dengan menggunakan pola pembahasan dua tingkat pembicaraan, penyampaian pendapat mini merupakan proses penting dan krusial karena merupakan gambaran posisi atau sikap setiap lembaga sebelum dilakukan pembahasan di tingkat kedua dalam rapat paripurna DPR.
[3.17.5] Bahwa berkenaan dengan tahap persetujuan rancangan undang- undang. Ihwal persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna DPR merupakan kelanjutan dari tahap pembahasan. Dalam tahap ini, pendapat mini yang disampaikan oleh masing-masing institusi sebelum memasuki tahap persetujuan bersama dapat saja berubah. Jikalau terjadi perubahan, institusi yang berubah sikap tersebut terlebih dahulu harus menyelesaikan perubahan pendapatnya secara internal. Misalnya, jika terdapat satu fraksi atau lebih yang memiliki pendapat berbeda sebelum dilakukan persetujuan bersama, secara internal DPR menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, DPR memilih cara penentuan sikap dengan mekanisme pemungutan suara (voting). Secara konstitusional, soal terpenting dalam persetujuan bersama adalah pernayataan persetujuan dari masing-masing institusi, yaitu pernyataan persetujuan dari (pihak yang mewakili) presiden dan pernyataan persetujuan dari DPR. Dalam hal ini, sesuai dengan norma Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, persetujuan bersama hanya dilakukan oleh Presiden dan DPR.
Masalah konstitusional lain yang perlu dikemukakan oleh Mahkamah berkenaan dengan persetujuan bersama adalah ketika suatu rancangan undang- undang tidak mendapatkan persetujuan bersama. Terhadap hal tersebut, Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan a quo memiliki akibat atau konksekuensi terhadap rancangan undang-undang yang ditolak tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam masa persidangan ketika persetujuan tersebut dilakukan. Masalah lainnya, bagaimana kalau rancangan undang-undang belum mendapat persetujuan atau masih berada dalam tahap pembahasan, atau sama sekali belum memasuki pembahasan sementara masa jabatan DPR periode bersangkutan telah selesai. Bisakah rancangan undang-undang dimaksud dilanjutkan (carry over) kepada DPR periode berikutnya? Berkenaan dengan hal ini, ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 tidaklah eksplisit menyangkut RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya kepada DPR periode berikutya. Kemungkinan untuk dapat dilakukan carry over hanya dapat dibenarkan oleh maksud Pasal 22A UUD 1945. Dalam hal ini, dasar hukum dan status rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan dalam kerangka “dengan peraturan lain yang dimaksudkan untuk melaksanakan pembentukan undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 22A UUD 1945” sebagaimana maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tertanggal 16 Juni 2010. Jika menggunakan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan sepanjang memenuhi dua persyaratan secara kumulatif, yaitu (i) telah memasuki pembahasan DIM; dan (ii) dimasukkan kembali ke dalam Prolegnas berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD.
[3.17.6] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pengesahan rancangan undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan pengesahan formil. Artinya, ketika persetujuan bersama antara Presiden dan DPR telah dicapai, secara doktriner persetujuan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pengesahan materiil. Pengesahan materiil tidak akan terjadi jika salah satu pihak, baik presiden atau DPR, menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang dalam sidang Paripurna DPR. Oleh karena itu, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, tidak boleh lagi dilakukan perubahan yang sifatnya substansial. Jikapun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Sementara itu, jikalau terdapat suatu keadaan, di mana Presiden menolak mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, tindakan penolakan Presiden tersebut tidak menyebabkan suatu undang-undang menjadi cacat formil. Terlebih lagi, Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 telah mengantisipasi kemungkinan tersebut sehingga undang-undang yang tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang- undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang- undang dan wajib diundangkan.
[3.17.7] Bahwa tahap terakhir dalam pembentukan undang-undang adalah pengundangan (afkondiging/promulgation) yang merupakan tindakan atau pemberitahuan secara formal suatu undang-undang dengan cara menempatkan dalam penerbitan resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, pengundangan adalah penempatan undang-undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Penjelasan Undang-Undang dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
[3.17.8] Bahwa selain keterpenuhan formalitas semua tahapan di atas, masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan undang- undang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
[3.17.9] Bahwa semua tahapan dan partisipasi masyarakat yang dikemukakan di atas digunakan sebagai bagian dari standar penilaian pengujian formil, sehingga memperkuat syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
1. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang- undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
2. pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang;
3. pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
4. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Semua tahapan dan standar sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan di atas, akan digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan undang- undang yang dilekatkan atau dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu Mahkamah tegaskan, penilaian terhadap tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif. Dalam hal ini, jikalau minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan untuk menilai dan menyatakan adanya cacat formil pembentukan undang-undang.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon, sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 11/2020 dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1.1] Bahwa UUD 1945 pada prinsipnya telah menentukan kerangka pembentukan undang-undang sebagaimana pertimbangan hukum pada Paragraf [3.17]. Bertolak pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 saat ini diberlakukan UU 12/2011 yang telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai delegasi UUD 1945, sebagaimana hal tersebut dipertegas dalam konsideran “Mengingat” UU 12/2011 yang menyatakan UU a quo didasarkan pada Pasal 22A UUD 1945 serta dijelaskan pula bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945 [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Oleh karena UU 12/2011 merupakan pendelegasian UUD 1945 maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU MK, untuk pemeriksaan permohonan pengujian formil dan pengambilan putusannya harus pula mendasarkan pada tata cara pembentukan UU yang diatur dalam UU 12/2011. Hal ini sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, pada Paragraf [3.19], yang menyatakan:
“...menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
[3.18.1.2] Bahwa dengan demikian, dalam mengadili perkara pengujian formil UU selain mendasarkan pada UUD 1945, Mahkamah juga mendasarkan antara lain pada UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai UU yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), UU 12/2011 menyempurnakan segala kekurangan dari UU sebelumnya mengenai aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dengan sekaligus memberikan contoh- contoh dalam Lampiran UU 12/2011 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU a quo agar dapat memberikan pedoman yang lebih jelas, pasti dan baku dalam penyusunannya yang merupakan bagian dari pembentukan peraturan perundang- undangan [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Penjelasan ini pada prinsipnya merupakan elaborasi dari maksud dalam konsideran “Menimbang” huruf b UU a quo yang menyatakan:
“bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang- undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian, berarti setiap pembentuk peraturan perundang- undangan, in casu pembentuk UU, harus menggunakan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan, baik yang terkait dengan penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang-undang, sebagaimana hal tersebut dimaktubkan dalam Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 44 menyatakan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) KetentuanmengenaiteknikpenyusunanNaskahAkademiksebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 64 menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang- Undang ini.
(3) ........
[3.18.1.3] Bahwa adanya ketentuan Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang menghendaki baik penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang- undang dilakukan sesuai dengan teknik yang telah ditentukan adalah untuk menciptakan tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga produk hukum yang nantinya akan dibentuk menjadi mudah untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 5 UU 12/2011]. Oleh karena itu, diperlukan tata cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, sebagaimana maksud konsideran “Menimbang” huruf b UU 12/2011. Lembaga yang dimaksud yaitu Presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan, mengenai cara dan metode yang pasti, baku, dan standar tersebut telah dituangkan dalam Lampiran UU 12/2011 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU a quo.
[3.18.1.4] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, Lampiran I UU 12/2011 telah menentukan standar baku perumusan judul suatu peraturan perundang-undangan yang di dalamnya berisi nama peraturan perundang–undangan yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya mencerminkan isi peraturan perundang-undangan [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang- undangan huruf A angka 2 dan angka 3]. Jika peraturan tersebut merupakan perubahan maka pada nama peraturan perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul peraturan perundang-undangan yang hendak diubah [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang- undangan huruf A angka 6], contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
Dalam perkara a quo, setelah dibaca dan dicermati muatan UU 11/2020 telah ternyata berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77 (tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1 (satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang. Sementara itu, berkaitan dengan pencabutan UU sebagai suatu UU pencabutan yang berdiri sendiri, maka harus merujuk pada huruf E Lampiran II UU 12/2011 mengenai “Bentuk Rancangan Undang–Undang Pencabutan Undang-Undang” yang telah menentukan format bakunya bahwa pada nama peraturan perundang-undangan pencabutan ditambahkan kata “pencabutan” di depan judul peraturan perundang- undangan yang dicabut. Kecuali, jika pencabutan suatu UU dilakukan karena berkaitan dengan UU baru yang dibentuk maka penempatan pencabutannya adalah pada bagian “Ketentuan Penutup” dari sistematika UU baru. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan [vide butir 137 Lampiran II UU 12/2011]. Lebih lanjut, dalam bagian sistematika Ketentuan Penutup telah ditentukan pula standar baku dalam merumuskan norma pencabutan suatu UU yaitu:
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat ...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku [vide Lampiran II UU 12/2011].
Sementara itu, dalam UU 11/2020 ketentuan mengenai pencabutan UU secara utuh tidak dirumuskan sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan dalam Lampiran II UU 12/2011 tetapi diletakkan pada bagian pasal-pasal dari ketentuan UU yang mengalami perubahan sebagaimana termaktub dalam Bagian Keenam UU 11/2020 mengenai Undang-Undang Gangguan yang dalam Pasal 110 UU a quo dinyatakan bahwa:
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 yuncto staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
[3.18.1.5] Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan penamaan UU yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo telah ternyata menggunakan nama baru yaitu UU tentang Cipta Kerja, oleh karenanya Mahkamah dapat memahami apa yang menjadi persoalan inti para Pemohon yakni adanya ketidakjelasan apakah UU a quo merupakan UU baru atau UU perubahan. Terlebih, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 11/2020 dirumuskan pula nomenklatur Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Dengan adanya penamanan baru suatu undang-undang yaitu UU tentang Cipta Kerja yang kemudian dalam Bab Ketentuan Umum diikuti dengan perumusan norma asas, tujuan dan ruang lingkup yang selanjutnya dijabarkan dalam bab dan pasal-pasal terkait dengan ruang lingkup tersebut [vide Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 11/2020], maka UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU 11/2020 telah ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang- undang.
[3.18.1.6] Bahwa jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, tidak perlu dibuat ketentuan umum yang berisi nomenklatur baru, yang kemudian diikuti dengan rumusan asas, tujuan, serta ruang lingkup, kecuali jika hal-hal yang akan diubah dari suatu undang-undang mencakup materi tersebut. Sebab, dari sejumlah UU yang telah diubah oleh UU 11/2020, UU asli/asalnya masing-masing masih tetap berlaku - walaupun tidak ditegaskan mengenai keberlakuan UU lama tersebut dalam UU 11/2020 -, sementara, dalam UU yang lama telah ditentukan pula asas-asas dan tujuan dari masing-masing UU yang kemudian dijabarkan dalam norma pasal-pasal yang diatur dalam masing-masing UU tersebut [vide Penjelasan Umum UU 12/2011].
Oleh karena itu, dengan dirumuskannya asas-asas dan tujuan dalam UU 11/2020 yang dimaksudkan untuk dijabarkan dalam sejumlah UU yang dilakukan perubahan akan menimbulkan ketidakpastian atas asas-asas dan tujuan UU mana yang pada akhirnya harus diberlakukan karena asas-asas dan tujuan dari UU yang lama pada kenyataanya masih berlaku. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 telah menentukan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (asas formil) sebagai keharusan untuk digunakan dalam membentuk peraturan perundang- undangan. Namun, ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020. Hal ini tentu tidak sejalan dengan maksud “asas kejelasan rumusan” dalam UU 12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya [vide Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan Penjelasannya].
[3.18.1.7] Bahwa lebih lanjut, apabila merujuk pada Lampiran II UU 12/2011 telah ditentukan pula mengenai format perubahan peraturan perundang-undangan [vide Lampiran II huruf D] di antaranya:
1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan” harus segera ditindaklanjuti dengan cepat mengingat banyaknya pengaturan dalam UU 11/2020 dan dampaknya terhadap kepastian hukum di Indonesia.
Bahwa pada hari Kamis tanggal 28 Oktober 2021, pukul 10.33 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistim Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasionaldan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian norma Lampiran yang terdapat dalam Judul, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 29 UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Pengujian Formil
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil yang pada pokoknya para Pemohon mendalilkan bahwa dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan UU 2/2020 yang substansinya berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah daerah telah mereduksi nilai-nilai rule of law dengan demikian kekuasaan DPD dikurangi untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan terhadap isu daerah tidak diapliklasikan secara maksimal dan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat dan telah mereduksi esensi pelaksanaan mandat rakyat yang dititipkan kepada para wakilnya di DPR dan juga mereduksi nilai-nilai demokrasi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013 Sub-paragraf [3.18.1] Mahkamah telah memberikan tafsir konstitusional atas Pasal 22D UUD 1945 yang mengatur kewenangan konstusional DPD. Mengenai kewenangan DPD dalam mengajukan RUU, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“…DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mahkamah menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945;”
Sementara itu, mengenai kewenangan DPD ikut membahas RUU dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan yang sama pada Sub-paragraf [3.18.2] antara lain sebagai berikut:
“…Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara…”
Namun demikian, dalam putusan yang sama juga pada Sub-paragraf [3.18.3] Mahkamah antara lain telah mempertimbangkan bahwa DPD tidak memberikan persetujuan sebagai berikut:
“…Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;”
Merujuk pertimbangan Mahkamah terhadap ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 2/2020 merupakan undang-undang yang berasal dari Perpu. Berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, dari aspek pengusulan sebuah RUU, DPD hanya diberikan kewenangan legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, yakni berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sementara itu, dari aspek pembahasan, DPD berwenang mengikuti pembahasan terhadap RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang pajak, pendidikan, dan agama. Sekalipun sebagian substansi UU 2/2020 mengandung materi yang berkaitan langsung dengan kebijakan anggaran/keuangan negara, namun dikarenakan UU a quo berasal dari Perpu Nomor 1/2020 sehingga secara konstitusional proses penetapan Perpu menjadi undang-undang tunduk kepada norma Pasal 22 UUD 1945. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Latar belakang Presiden mengeluarkan Perpu ini didasarkan pada fakta adanya pandemi Covid-19. Hal demikian tertuang dalam konsideran “Menimbang” yang diuraikan dengan lebih rinci dalam bagian Penjelasan Perpu 1/2020 sebagai berikut:
“Pada tahun 2020 ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9). Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bahkan telah merenggut korban jiwa bagi yang terinfeksi di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya l,5 % (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu.
Perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan. Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya. Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran 2020 dari sisi Pendapatan Negara.
Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan menjaga aktivitas usaha. Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020 terutama sisi Pembiayaan.
Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan system keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam KSSK, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (ertraordinary) di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa setelah mencermati bagian Penjelasan Perpu 1/2020, Mahkamah perlu mengaitkan dengan syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, yaitu: a) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; b) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan c) kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Sehingga, menurut Mahkamah Perpu a quo telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat, menurut Mahkamah Pandemi Covid-19 merupakan pandemi global yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Tidak hanya WHO, di Indonesia, pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Presiden sebagai bencana nasional non-alam yang memicu munculnya kedaruratan Kesehatan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dampak pandemi Covid-19 ini berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dan tidak hanya pada aspek kesehatan saja sebagaimana tertuang pada Penjelasan Perpu 1/2020. Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual.
Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.”
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa:
“Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah terkait dengan pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pengujian Materiil
[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap pengujian materiil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Judul dan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, dan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran para Pemohon yang pada pokoknya, antara lain sebagai berikut (selengkapnya termuat dalam Duduk Perkara):
1. Bahwa berkaitan dengan Judul dan Pasal 1 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan UU a quo ditujukan tidak hanya untuk menangani pandemi Covid-19 tetapi juga untuk krisis ekonomi dan sistem keuangan di luar yang berkaitan dengan pandemi Covid-19.
2. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya penetapan defisit anggaran yang dilakukan sepihak oleh Pemerintah karena tidak melibatkan DPR dan pertimbangan DPD sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan.
3. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya ketidakpastian penggunaan dana abadi pendidikan.
4. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf f juncto Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai a) tidak adanya persetujuan DPR dalam penerbitan surat utang negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); b) BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana; c) penggunaan dana pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI ialah untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara.
5. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya keleluasaan pemerintah untuk menetapkan sumber-sumber pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 beserta dampaknya terhadap multiaspek secara unilateral.
6. Bahwa berkaitan dengan Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya kewenangan luas pemerintah untuk melakukan refocusing anggaran yang mereduksi pelaksanaan otonomi daerah.
7. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian insentif pajak yang diiringi dengan PHK yang berimplikasi terhadap menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
8. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 menurut para Pemohon pengaturan perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) tidak secara langsung bertautan dengan penanganan pandemi Covid-19.
9. Bahwa berkaitan dengan Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditujukan pada ruang lingkup yang sangat luas dan tidak terbatas untuk penanganan pandemi Covid-19 serta membuka jalan mengubah ketentuan pembebasan bea masuk atas barang impor berdasarkan tujuan pemakaiannya.
10. Bahwa berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai tidak adanya akun rekening khusus berpotensi adanya penyimpangan anggaran penanganan pandemi Covid-19.
11. Bahwa berkaitan dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian kewenangan yang besar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merestrukturisasi Lembaga jasa keuangan yang berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya secara tepat di tengah pandemi Covid-19 atau dengan kata lain OJK dapat memaksa bank bermasalah untuk direstrukturisasi dan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, berintegrasi dengan bank bermasalah.
Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma-norma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.
[3.18.2] Bahwa terlepas dari adanya kekhawatiran para Pemohon dan asumsi-asumsi lain berkenaan dengan persoalan penggunaan anggaran tersebut di atas, justru yang menjadi persoalan krusial adalah tidak adanya pembatasan waktu berlakunya UU 2/2020 yang berasal dari Perpu 1/2020 yang hanya difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19. Berkaitan dengan hal demikian, menurut Mahkamah kekhawatiran-kekhawatiran di atas juga akan terjawab dengan sendirinya setelah Mahkamah menilai konstitusionalitas norma Pasal 29 Lampiran UU 2/2020. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 29 a quo sebagai berikut:
[3.18.3] Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena pasal a quo sebagai penutup tidak memberikan jangka waktu keberlakuan undang-undang a quo kendati diterbitkan untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat. Oleh karena pasal a quo tidak memiliki batas waktu yang jelas perihal keberlakuan Perpu tersebut yang kemudian menjadi UU 2/2020 sehingga menurut para Pemohon akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan oleh Pemerintah khususnya dalam pengelolaan keuangan negara yang akuntabel untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk pandemi Covid-19.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah dalam batas penalaran yang wajar, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi secara global memang memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang juga terdampak adanya pandemi Covid-19, Pemerintah berupaya untuk mengantisipasinya dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, oleh karena langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara maka harus dilakukan kontrol yang kuat yang salah satunya adalah dengan pembatasan waktu berlakunya UU a quo. Terlebih lagi hal demikian apabila dikaitkan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum yang demokratis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sekalipun terhadap Perpu terdapat karakteristik khusus namun bukan berarti substansi UU yang berasal dari Perpu dapat mengabaikan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, materi UU a quo bukan hanya harus memenuhi prinsip keadilan namun juga harus memenuhi prinsip kepastian, termasuk prinsip kepastian dalam pemberlakuannya.
Bahwa terlepas dari adanya persetujuan DPR terhadap Perpu a quo, tidak adanya pemuatan batas waktu yang tegas dalam UU a quo memberikan dampak yang cukup signifikan tentang batas waktu keberlakukan keadaan darurat yang merupakan substansi utama karena karakteristik yang dimiliki oleh UU yang berasal dari Perpu dimaksudkan untuk mengatasi kedaruratan akibat pandemi Covid-19. Terlebih substansi dalam Lampiran UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU 2/2020 yang menganulir beberapa norma pasal berbagai undang-undang, yaitu:
1. Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang;
3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang;
6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Bahwa oleh karena itu, apabila tidak dilakukan pembatasan waktu pemberlakuan UU 2/2020, maka sejumlah norma dalam berbagai undang-undang yang dianulir tersebut akan kehilangan keberlakuannya secara permanen. Bahkan ketika pandemi Covid-19 telah berakhir, dengan tidak adanya batasan waktu tersebut norma-norma yang dianulir oleh Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tetap saja tidak berlaku karena masih digunakan untuk kepentingan yang lain yaitu dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian akan batas waktu kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih, pemberlakuan undang-undang a quo berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara yang sangat memengaruhi perekonomian negara yang berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 seharusnya mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Bahwa hal utama yang juga harus ditekankan dalam hal keadaan darurat adalah batasan waktu yang jelas tentang kapan situasi darurat pandemi Covid-19 akan berakhir. Secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan darurat akan ada ujungnya sehingga hal tersebut pastinya akan menimbulkan adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut. Oleh karena itu, UU ini hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU 2/2020 diundangkan. Namun demikian, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan demikian perlu dilakukan karena UU a quo telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai tahun 2022. Oleh karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan deficit anggaran tersebut di atas. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD”. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip pengelolaan keuangan negara, kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kewenangan kekuasaan kehakiman, prinsip persamaan di mata hukum (equality before the law), dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena pasal-pasal a quo memberikan imunitas bagi penyelenggara negara agar terbebas dari tuntutan hukum dalam melaksanakan ketentuan Perpu a quo. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
(1). Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2). Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3). Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
[3.19.1] Bahwa Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 selengkapnya menyatakan:
Bahwa dari ketentuan tersebut terdapat 3 (tiga) persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut yakni, (1) bukan merupakan kerugian negara, (2) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan (3) bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
[3.19.2] Bahwa berkenaan dengan konstitusionalitas frasa “bukan kerugian negara” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, oleh karena terhadap hal tersebut berkaitan erat dengan keuangan negara, maka tidak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menentukan salah satu unsur esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi adalah terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam perspektif Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 apabila dicermati dengan saksama tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara baik terhdap biaya yang dipergunakan untuk penanganan pandemi Covid-19 yang dikeluarkan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan oleh Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis. Dengan demikian, secara a contrario meskipun penggunaan biaya dari keuangan negara untuk kepentingan penanganan pandemi Covid-19 dilakukan tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka terhadap pelaku yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dimaksud tidak dapat dilakukan tuntutan pidana sebab telah terkunci dengan adanya frasa “bukan merupakan kerugian negara” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020. Hal demikian tidak sejalan dengan ketentuan norma Pasal 27 ayat (2) UU a quo yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya baik secara pidana maupun perdata terhadap Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya jika dalam melaksanakan tugasnya tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, ketentuan yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya baik secara pidana maupun perdata dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 harus terpenuhi unsur yang esensial yaitu adanya “kerugian negara”, yang ditimbulkan karena adanya penggunaan keuangan negara yang dilandaskan pada iktikad tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bahwa keadaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas berakibat hukum ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 2/2020 tidak dapat diberlakukan atau diterapkan terhadap siapapun yang melakukan penyalahgunaan kewenangan berkaitan dengan keuangan negara apabila frasa “bukan merupakan kerugian negara” tetap dipertahankan sekalipun penyalahgunaan kewenangan tersebut benar-benar didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, kepada pelaku penyalahgunaan kewenangan terhadap keuangan negara dalam UU a quo sudah tertutup kemungkinan dibukanya untuk dilakukan penuntutan baik secara pidana dan/atau perdata. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, untuk dapat dilakukan tuntutan baik pidana maupun perdata, harus terpenuhi unsur fundamental adanya “kerugian negara” (vide Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor) dan unsur “kerugian” dalam perbuatan melawan hukum (vide Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak yang telah disebutkan secara spesifik dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum. Menurut Mahkamah, apabila melihat konstruksi Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang secara spesifik mengatur perihal bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan krisis akibat pandemi Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dan “bukan merupakan kerugian negara”, maka hal utama yang menjadi patokan adalah terkait dengan hak imunitas yang dikhususkan bagi pejabat pengambil kebijakan dalam hal penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana apabila dalam hal melaksanakan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Munculnya kata “biaya” dan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan pada akhirnya telah menyebabkan Pasal a quo menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Menurut Mahkamah penempatan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian tentunya telah mengingkari hak semua orang, oleh karena suatu undang-undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection. Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip kepastian dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19.4] Bahwa selanjutnya perihal dalil para Pemohon terkait dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari adanya ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang selengkapnya menyatakan:
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan merujuk ketentuan Pasal 49 UU PTUN tersebut di atas, maka sesungguhnya dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan terhadap Keputusan Badan Tata Usaha Negara kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, setelah dicermati dengan saksama telah ternyata UU 2/2020 tidak hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19 tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan (vide Judul UU 2/2020). Oleh karena itu, terhadap keadaan di luar pandemi Covid-19 dan begitu pula terhadap keputusan Badan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah hal demikian seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Terlebih lagi, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya keputusan tetapi juga tindakan administrasi pemerintahan (vide Pasal 75 dan Penjelasan Umum UU 30/2014). Dengan demikian, apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum. Sebab, sesungguhnya yang mempunyai kewenangan untuk menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum adalah Hakim Pengadilan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan dan/atau tindakan diterbitkan dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan hakim harus menyatakan bahwa objek keputusan Badan Tata Usaha Negara dan/atau tindakan administrasi pemerintahan bukan merupakan objek gugatan. Namun, dalam hal yang terjadi secara faktual adalah sebaliknya, maka keputusan badan tata usaha negara dan/atau tindakan pemerintahan tersebut jika terbukti adanya penyalahgunaan wewenang harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum pada Paragraf [3.18] sampai dengan Paragraf [3.19] tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian dan dalil permohonan para Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
1. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Para Pemohon ditolak seluruhnya dalam pengujian formil dan mengabulkan sebagian dalam pengujian materiil UU 2/2020 mengandung arti bahwa ketentuan a quo secara formil tidak bertentangan dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dan selain yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi materi UU 2/2020 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 29 UU 2/2020, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 2/2020
3. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 2/2020 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 2/2020.
Bahwa permohonan pengujian UU Covid diajukan oleh H.Ahmad Sabri Lubis, H.Munarwan, S.H, Khotibul Umam, S.Ag., IR. Ismail Yusanto, Hasanudin, S.H.,M.M., M.SI, Muhammad Faisal Silenang, Madi Saputra, DRG., Sp. Pros, Irfianda Abidin, Timsar Zubil, Dr. H Sugianto (selanjutnya disebut Para Pemohon).
Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengujikan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU Covid.
Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai kehadiran secara virtual pada rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 untuk membahas dan menyetujui Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 adalah cacat hukum karena tidak memenuhi kuorum dan dipaksakan dengan mayoritas kehadiran menggunakan virtual sehingga bertentangan dengan Tata Tertib DPR, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.16.2] … Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual.
Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.”
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa:
“Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena berkenaan dengan dalil kehadiran secara virtual dalam Rapat Paripurna DPR telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum oleh Mahkamah maka pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo.
[3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan penetapan, pembahasan, dan persetujuan Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 dilakukan pada masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 sehingga bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut mengatur mengenai batasan waktu bagi DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perpu yang ditetapkan oleh Presiden yakni dalam persidangan yang berikut. Adanya frasa “persidangan yang berikut” merupakan perintah konstitusi agar DPR dapat segera memberikan kepastian mengenai penilaian terhadap Perpu yang telah ditetapkan Presiden tersebut. Jika disetujui maka Perpu dimaksud akan menjadi undang-undang, sebaliknya jika tidak disetujui maka Perpu tersebut haruslah dicabut atau dibatalkan.
Bahwa Perpu pada dasarnya memiliki jangka waktu yang terbatas (sementara) serta mungkin saja memiliki substansi pengaturan yang berpotensi bertentangan atau melanggar konstitusi mengingat kewenangan pembentukan Perpu berada di tangan Presiden [vide Pasal 22 ayat (1) UUD 1945]. Namun demikian, meskipun pembentukan Perpu tergantung pada penilaian subjektif Presiden tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010.
Bahwa persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah penilaian DPR untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu harus dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya lagi ataukah bagaimana jika Perpu ditetapkan pada saat masa sidang DPR sedang berlangsung dan setelahnya adalah masa reses sehingga DPR baru dapat memberikan persetujuan atau tidak setelah masa reses tersebut berakhir. Faktanya, Presiden menetapkan Perpu 1/2020 pada 31 Maret 2020 dan menyampaikan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR pada 1 April 2020, yaitu pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 yang dimulai pada 23 Maret 2020 sampai dengan tanggal 14 Juni 2020. Selanjutnya DPR menyetujui RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Artinya, penetapan Perpu Covid-19 oleh Presiden dan pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR serta persetujuan DPR dilakukan dalam masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020.
B