Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH BEBERAPA KALI TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 06-01-2020

Parliament Responsive Forum (PAMOR) dalam hal ini diwakili oleh Dayanto, S.H., M.H. dan Muhammad Alfa Sikar yang memberikan kuasa kepada Husen Bafaddal, S.H., M.H., dkk, Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Husen Bafaddal & Partners

Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada

Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon memohonkan pengujian konstitusionalitas kata “hari” dalam Pasal 143 ayat (2); kata “temuan” dalam Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 143 ayat (3) UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang rumusan masing-masing ayat selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 143 ayat (2)
“Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya laporan atau temuan.”

Pasal 143 ayat (3)
“Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota melakukan penyelesaian sengketa melalui tahapan:
a. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan
b. mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.”

2. Bahwa Pemohon, yaitu Parliament Responsive Forum (PAMOR), adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan: “1. Menumbuhkembangkan institusi Parlemen yang amanah dan kredibel dalam memperjuangkan kepentingan rakyat melalui trifungsi Parlemen. 2. Menumbuhkembangkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan anti korupsi melalui clean legislative. 3. Menumbuhkembangkan budaya politik yang demokratis”, sebagaimana tercantum pada Pasal 3 Akta Pendirian Parliament Responsive Forum disingkat PAMOR (vide Bukti P-3);

3. Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang hak tersebut menurut Pemohon dirugikan oleh keberlakuan kata “hari” dalam Pasal 143 ayat (2) selama kata tersebut tidak dimaknai sebagai “hari kerja”; kata “temuan” dalam Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 143 ayat (3) selama ayat tersebut tidak dimaknai sebagai “tahapan penyelesaian sengketa Pemilihan dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa melalui musyawarah dan mufakat, penyelesaian sengketa Pemilihan dilakukan melalui adjudikasi” UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebagai organisasi yang bergiat dalam upaya menumbuhkan budaya politik demokratis ketentuan a quo menurut Pemohon telah merugikan karena tidak sejalan dengan prinsip Pilkada demokratis yang mensyaratkan kepastian hukum dan keadilan;

4. Bahwa Pemohon, menurut Mahkamah, telah menjelaskan kedudukannya sebagai badan hukum publik dan telah pula membuktikan bahwa Dayanto, S.H., M.H. dan Muhammad Alfa Sikar masing-masing adalah Direktur dan Sekretaris Jenderal PAMOR yang berwenang bertindak untuk dan atas nama pengurus serta mewakili PAMOR [vide Bukti P-3 berupa Salinan Akta Notaris mengenai Pendirian PAMOR];

5. Bahwa mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, Pemohon menyatakan mengalami kerugian demikian karena Pemohon bertujuan untuk menumbuhkembangkan budaya politik yang demokratis (vide Pasal 3 Akta Pendirian PAMOR, Bukti P-3). Tujuan organisasi tersebut ditegaskan melalui kegiatan Pemohon berupa “Melakukan pendampingan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pembentukan peraturan perundangundangan terutama pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang partisipatif dan aspiratif” [vide Pasal 4 angka 1 Akta Pendirian PAMOR, Bukti P-3];
6. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 4 ayat (1) Akta Pendirian PAMOR tersebut, Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum yang concern kepada undang-undang demi kepentingan publik sehingga mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

7. Bahwa terhadap keterangan Pemohon demikian, Mahkamah menilai memang benar dalam Pasal 4 angka 1 Akta Pendirian PAMOR diatur bidang kegiatan Pemohon yang salah satunya adalah mendampingi, mengawasi, dan mengevaluasi undang-undang dan peraturan daerah. Namun setelah mencermati ketentuan Pasal 3 serta membaca secara sistematis akta pendirian tersebut secara menyeluruh, menurut Mahkamah, PAMOR merupakan organisasi yang menitikberatkan kegiatannya pada pengawasan dan pengembangan kualitas parlemen;

8. Bahwa dalam konteks pengajuan permohonan pengujian undang-undang, posisi Pemohon yang demikian akan tepat jika Pemohon mengajukan pengujian undang-undang yang mengatur institusi parlemen atau mengatur kelembagaan parlemen. Adapun norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, yaitu kata “hari” dalam Pasal 143 ayat (2); kata “temuan” dalam Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 143 ayat (3) UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menurut Mahkamah bukan produk hukum yang mengatur institusi/kelembagaan parlemen, sehingga hal demikian berada di luar bidang kegiatan Pemohon (PAMOR) dan karenanya tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh keberadaan ketentuan Undang-Undang a quo;

9. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dan/Atau Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1969 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI OTONOM IRIAN BARAT DAN KABUPATEN-KABUPATEN OTONOM DI PROPINSI IRIAN BARAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 06-01-2020

Zadrack Taime, dkk yang berjumlah 14 Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Yan Christian Warinussy, S.H., dkk

frasa pada bagian Menimbang dan bagian Penjelasan I (Umum) Paragraf 7 dan 8 UU 12/1969

Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa pada bagian Menimbang dan bagian Penjelasan I (Umum) Paragraf 7 dan 8 UU 12/1969 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah:
a. frasa dalam Konsiderans bagian “Menimbang” dalam UU 12/1969 yang menyatakan, “bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan
b. Bagian Penjelasan I (Umum) paragraf 7 dan 8 yang menyatakan, “Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan dan rasa persatuannya dengan rakyat daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keputusan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat tersebut adalah sah dan final tidak dapat diganggu-gugat lagi oleh pihak manapun.”
2. Bahwa, berdasarkan uraian pada angka 1 di atas, tanpa perlu terlebih dahulu mempertimbangkan kualifikasi para Pemohon sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, telah ternyata bahwa substansi ketentuan yang oleh para Pemohon dianggap telah merugikan hak konstitusionalnya (dan yang sekaligus dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya) sesungguhnya adalah keabsahan peristiwa hukum, dalam hal ini peristiwa hukum internasional, yang bernama Penentuan Pendapat Rakyat atau PEPERA (Act of Free Choice) yang terjadi atau dilaksanakan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan diakui oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV). Hal itu tampak jelas dan eksplisit baik dalam uraian para Pemohon mengenai kedudukan hukumnya (vide Perbaikan Permohonan halaman 6-12) maupun dalam uraian para Pemohon mengenai pokok permohonan atau alasan-alasan pengajuan permohonan a quo (vide Perbaikan Permohonan halaman 12-18). Adapun undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu UU 12/1969, adalah undang-undang yang merupakan tindak lanjut secara nasional dari peristiwa hukum internasional dimaksud.
3. Bahwa, secara hukum internasional, peristiwa hukum yang dinamakan PEPERA tersebut adalah bagian dari persoalan suksesi negara (succession of state). Secara teori maupun berdasarkan hukum internasional positif, misalnya sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara dalam hubungan dengan Perjanjian Internasional (Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties), peristiwa yang diakui sebagai bagian dari peristiwa suksesi negara (factual state successions) di antaranya adalah peristiwa-peristiwa berikut:
a. penyerapan (absorbtion), dalam hal ini terjadi peristiwa di mana suatu negara diserap oleh dan menjadi bagian dari negara lain atau suatu wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan suatu otoritas kemudian diserap oleh suatu negara dan menjadi bagian dari negara itu;
b. penggabungan (union atau unification), dalam hal ini terjadi peristiwa di mana dua atau lebih negara bergabung menjadi satu negara; jadi, dalam hal ini, terjadi penggabungan dua atau lebih subjek hukum internasional (dalam arti negara) menjadi satu subjek hukum internasional;
c. pemecahan (dismemberment), dalam hal ini terjadi peristiwa di mana satu negara terpecah-pecah menjadi beberapa negara baru. Dalam hal ini dapat terjadi bahwa negara yang lama (predecessor state) sama sekali lenyap dan muncul beberapa negara baru sebagai negara-negara pengganti (successor states), keadaan demikian dinamakan universal state succession. Namun, dapat pula terjadi di mana satu negara terpecah- pecah menjadi beberapa negara tetapi negara yang lama (predecessor state) masih tetap ada, hanya (luas) wilayahnya yang berubah;
d. kombinasi pemecahan dengan penyerapan, dalam hal ini terjadi peristiwa di mana satu negara terpecah-pecah menjadi beberapa bagian dan bagian atau bagian-bagian tersebut diserap oleh satu atau beberapa negara lain;
e. negara-negara merdeka baru (newly independent states), dalam hal ini terjadi peristiwa di mana suatu wilayah yang sebelumnya menjadi bagian dari wilayah negara lain atau merupakan daerah jajahan memerdekakan diri sebagai negara atau negara-negara berdaulat;
Dalam hubungannya dengan permohonan a quo, PEPERA adalah peristiwa suksesi negara dalam jenis atau kelompok yang pertama (huruf a). Peristiwa tersebut telah nyata-nyata terjadi dan diakui oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2504 (XXIV). Resolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV) dimaksud menyatakan:
The General Assembly,
Recalling its resolution 1752 (XVII) of 21 September 1962, in which it took note of the Agreement of 15 August 1962 between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian), acknowledged the role conferred upon the Secretary-General in the Agreement and authorized him to carry out the tasks entrusted to him therein,
Recalling also its decision of 6 November 1963 to take note of the report of the Secretary-General on the completion of the United Nations Temporary Executive Authority in West Irian,
Recalling further that the arrangements for the act of free choice were the responsibility of Indonesia with the advice, assistance and participation of a special representative of the Secretary-General, as stipulated in the Agreement,
Having received the report on the conduct and results of the act of free choice submitted by the Secretary-General in accordance with article XXI, paragraph 1, of the Agreement,
Bearing in mind that, in accordance with article XXI, paragraph 2, both parties to the Agreement have recognized these results and abide by them,
Noting that the Government of Indonesia, in implementing its national development plan, is giving special attention to the progress of West Irian, bearing in mind the specific conditions of its population, and that the Government of the Netherlands, in close cooperation with the Government of Indonesia, will continue to render financial assistance for this purpose, in particular through the Asian Development Bank and the institutions of the United Nations,
1. Takes note of the report of the Secretary-General and acknowledges with appreciation the fulfilment by the Secretary-General and his representatives of the tasks entrusted to them under the Agreement of 15 August 1962 between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian);
2. Appreciates any assistance provided through the Asian Development Bank, through institutions of the United Nations or through other means to the Government of Indonesia in its efforts to promote the economic and social development of West Irian.
1813th plenary meeting, 19 November 1969.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Piagam PBB (Charter of the United Nations, selanjutnya disebut Piagam), Majelis Umum (General Assembly) adalah salah satu organ utama PBB yang beranggotakan negara-negara anggota PBB [Pasal 9 ayat (1) Piagam]. Sebagai salah satu organ utama PBB, Majelis Umum diberikan fungsi-fungsi tertentu yang berdasarkan fungsi-fungsi dimaksud kemudian dirumuskan kewenangan-kewenangan tertentu. Berkait dengan fungsi Majelis Umum, Pasal 10 Piagam menyatakan, “The General Assembly may discuss any questions or any matters within the scope of the present Charter or relating to the powers and functions of any organs provided for in the present Charter, and, except as provided in Article 12, may make recommendations to the Members of the United Nations or to the Security Council or to both on any such questions or matters” (Majelis Umum dapat membicarakan masalah apa pun atau hal apa pun yang berada dalam ruang lingkup Piagam ini atau yang berkait dengan kekuasaan dan fungsi dari setiap organ yang disebutkan dalam Piagam ini, dan, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 12, dapat mengeluarkan rekomendasi kepada Anggota PBB atau kepada Dewan Keamanan atau kepada keduanya berkenaan dengan masalah-masalah atau hal-hal tersebut). Secara hukum internasional, dalam konteks fungsi Majelis Umum demikian itulah keberadaan Resolusi 2504 (XXIV) harus dipahami. Artinya, dikeluarkannya Resolusi 2504 (XXIV) adalah bagian dari pelaksanaan fungsi Majelis Umum PBB sebagaimana ditegaskan dalam Piagam.
Oleh karena itu, mendalilkan adanya kerugian hak konstitusional dari ketentuan dalam UU 12/1969, yang notabene adalah undang-undang yang menindaklanjuti suatu peristiwa hukum internasional yang sah, in casu PEPERA yang dilaksanakan di bawah pengawasan PBB dan diakui oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2504 (XXIV), sama artinya “memaksa” Mahkamah untuk menilai keabsahan tindakan PBB, in casu Majelis Umum. Mahkamah jelas tidak memiliki kewenangan demikian. Jangankan Mahkamah, bahkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) pun, yang notabene berdasarkan Pasal 92 Piagam adalah organ yudisial utama PBB dan berdasarkan Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi untuk mengadili masalah hukum internasional apa pun, tidak serta-merta atau secara otomatis dapat melaksanakan yurisdiksinya itu dengan mengabaikan ketentuan tentang, misalnya, subjek yang boleh menjadi pihak di hadapan ICJ (yaitu hanya negara-negara) dan persetujuan dari pihak-pihak bersengketa yang menyatakan bahwa mereka sepakat menyerahkan penyelesaian masalahnya kepada ICJ.
4. Bahwa, sejalan dengan pertimbangan pada angka 2 dan 3 di atas dan dengan mengikuti alur penalaran dari para Pemohon sendiri, sebagaimana tertuang dalam uraian para Pemohon mengenai kedudukan hukumnya maupun dalam uraian mengenai pokok permohonannya, maka akan diperoleh alur penalaran sebagai berikut:
a. diundangkannya UU 12/1969 adalah sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan PEPERA (Act of Free Choice) 2 Agustus 1969 yang dilaksanakan di bawah pengawasan PBB, sebagaimana ditegaskan dalam Konsiderans “Menimbang” dan Penjelasan Umum UU 12/1969;
b. PEPERA (Act of Free Choice) dimaksud diakui keabsahannya oleh Majelis Umum PBB sebagaimana tertuang dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 (XXIV), 19 November 1969.
Oleh karena itu, menjadi tidak logis untuk menyatakan suatu undang-undang yang melaksanakan atau menindaklanjuti suatu peristiwa hukum yang absah menurut hukum internasional sebagai undang-undang yang merugikan hak konstitusional seseorang atau sekelompok orang tanpa terlebih dahulu mempersoalkan keabsahan peristiwa hukum internasional yang ditindaklanjuti dimaksud, in casu PEPERA (Act of Free Choice) yang diakui oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 (XXIV) 19 November 1969. Namun, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk menilai keabsahan baik PEPERA (Act of Free Choice) maupun Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 (XXIV) 19 November 1969 yang mengakui keabsahan PEPERA (Act of Free Choice) dimaksud.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas telah ternyata bahwa secara substansial para Pemohon sesungguhnya mempersoalkan keberadaan PEPERA (Act of Free Choice) 2 Agustus 1969 yang diakui oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 (XXIV) 19 November 1969. Oleh karena itu tidak ada persoalan kerugian hak konstitusional yang lahir sebagai akibat dari berlakunya frasa “bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia” dalam Konsiderans “Menimbang” UU 12/1969 dan Penjelasan Umum (I) UU 12/1969 yang menyatakan, “Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan dan rasa persatuannya dengan rakyat Daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keputusan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat tersebut adalah sah dan final tidak dapat diganggu-gugat lagi oleh pihak manapun.” Oleh karena tidak terdapat persoalan kerugian hak konstitusional maka Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, bukan berarti undang-undang yang bersumber dari Resolusi Majelis Umum PBB termasuk dalam hal ini UU 12/1969 tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya. Namun oleh karena Undang-Undang a quo yang berasal dari hasil Keputusan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat tersebut merupakan produk hukum yang menyangkut pembentukan daerah, in casu Provinsi Irian Barat, adalah sah dan final, seandainya pun terdapat persoalan konstitusionalitas dan sepanjang tidak mempersoalkan keabsahan suatu peristiwa hukum internasional maka yang dapat mewakili kepentingan masyarakat provinsi tersebut termasuk dalam hal ini bertindak sebagai Pemohon adalah Pemerintahan Daerah dalam hal ini Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Penegasan hal demikian telah beberapa kali ditegaskan Mahkamah dalam permohonan yang terkait dengan kepentingan daerah termasuk di dalamnya pembentukan daerah. Pendirian Mahkamah demikian dapat dibaca dalam, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-XIV/2016;

[3.7] Menimbang bahwa oleh karena permohonan tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas dan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih jauh pokok permohonan para Pemohon.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 99/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-12-2019

Ahmad Wazir Noviadi diwakili oleh kuasa hukumnya Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M, Muh. Salman Darwis, S.H., M.H.Li., Violla Reininda, S.H., dan Gunawan Simangunsong, S.H., para Advokat pada kantor REFLY HARUN & PARTNERS

Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 tidak tepat dimasukkan ke dalam pengertian “perbuatan tercela” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota sebagaimana juga pemilihan umum adalah bagian dari proses demokrasi yang pada prinsipnya harus memberi ruang seluas-luasnya bagi setiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk menggunakan hak konstitusionalnya baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Meskipun demikian hak tersebut secara konstitusional dapat dilakukan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945];
Bahwa dalam konteks hak untuk dipilih, agar tercipta kualitas Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selain harus memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas, juga dituntut memiliki standar moral yang tinggi. Untuk itu, UU 10/2016 menentukan persyaratan, salah satunya, yakni tidak pernah melakuan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian. Adapun yang termasuk dengan perbuatan tercela di antaranya merupakan pemakai/pengedar narkotika [vide Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016];
Bahwa penyalahgunaan narkotika dapat dimasukkan dalam kategori tindak pidana atau kejahatan karena dipergunakan secara tanpa hak atau melawan hukum, sehingga merupakan sesuatu yang dilarang. Tindak pidana atau kejahatan narkotika adalah termasuk salah satu kejahatan paling serius [the most serious crime, vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007] sekaligus kejahatan luar biasa [extra ordinary crime, vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XV/2017] bagi umat manusia dengan mengingat dampak atau ancamannya yang telah terbukti merusak dan semakin bertambah korbannya, peredarannya yang semakin canggih dan rumit bahkan jenisnya yang semakin beragam, sehingga dibutuhkan penanganan yang serius dan luar biasa agar generasi bangsa tidak teracuni sehingga menimbulkan ancaman hilangnya generasi (lost generation). Oleh karena penyalahgunaan narkotika dikategorikan sebagai kejahatan, bahkan dapat dikategorikan sebagai the most serious crime, maka dengan sendirinya juga termasuk dalam perbuatan tercela. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjunjung tinggi perikemanusiaan, keberadaan narkotika yang dipahami sebagai zat yang menyebabkan seseorang menjadi mabuk atau tidak sadar dan bahkan menyebabkan kecanduan dan ketergantungan yang pada gilirannya akan mengurangi produktivitas kerja bahkan merusak kesehatan fisik, mental, dan moral, maka ketika disalahgunakan baik dipakai untuk konsumsi pribadi, lebih- lebih untuk diedarkan, hal tersebut dianggap perbuatan tercela. Bahkan sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa seseorang yang kecanduan narkotika dan sejenisnya akan mengalami kondisi brain disease yang sangat sulit untuk disembuhkan. Kondisi demikianlah yang menjadi salah satu alasan bahwa secara konstitusional dapat dilakukan pembatasan karena memenuhi kriteria pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu dalam hal ini pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum.

[3.13.2] Bahwa untuk menjawab persoalan konstitusionalitas sebagaimana tersebut di atas maka harus dilihat terlebih dahulu konteksnya dengan keseluruhan pengertian dan substansi yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 yang selengkapnya menyatakan:

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d. dihapus;
e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019, bertanggal 11 Desember 2019];
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;
j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;
o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama;
p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;
q. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;
r. dihapus;
s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;
t. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan
u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.

[3.13.3] Bahwa setelah membaca secara keseluruhan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 di atas telah ternyata bahwa syarat untuk menjadi kepala daerah yang dikaitkan dengan persoalan narkotika juga disebutkan dalam huruf f, yaitu “bebas dari penyalahgunaan narkotika.” Pertanyaan yang kemudian timbul, jika telah secara tegas dikatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi kepala daerah adalah harus “bebas dari penyalahgunaan narkotika” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f, apakah masih dibutuhkan memasukkan “pemakai narkotika” ke dalam kelompok perbuatan tercela sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i. Lantas, apakah “pemakai narkotika” berbeda dengan “penyalah guna narkotika”. Berhubung Pasal 7 ayat (2) huruf f tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “penyalahgunaan narkotika”, demikian pula halnya dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i juga tidak memberikan pengertian “pemakai narkotika”, maka menjadi penting untuk terlebih dahulu mengetahui pengertian dari kedua istilah tersebut menurut hukum positif, in casu UU 35/2009.
Namun, UU 35/2009 ternyata tidak pula memberikan pengertian tentang “Penyalahgunaan Narkotika” melainkan hanya pengertian “Penyalah Guna”. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 15 UU 35/2009 menyatakan, “Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Dengan demikian, “Penyalahgunaan Narkotika” dapat diberi pengertian “perbuatan menggunakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum”. UU 35/2009 juga tidak memberikan pengertian tentang “pemakai narkotika” dalam Ketentuan Umum Undang-Undang a quo. Maka, pertanyaan yang kemudian timbul, perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai perbuatan menggunakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum tersebut. Apakah “pemakai narkotika” termasuk di dalamnya sehingga “penyalahgunaan narkotika” juga mencakup “pemakai narkotika”. Hal ini penting untuk mendapatkan kejelasan dan ketegasan karena UU 35/2009 pada prinsipnya membolehkan pemakaian atau penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi [vide Pasal 7 UU 35/2009], kecuali untuk narkotika Golongan I. Untuk narkotika Golongan I bahkan penggunaan untuk kepentingan pelayanan kesehatan pun dilarang. Narkotika jenis ini hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik serta reagensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan [vide Pasal 8 UU 35/2009]. Menteri yang dimaksud di sini adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan [Pasal 1 angka 22 UU 35/2009]. Penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan diatur lebih lanjut secara tegas dalam Pasal 53 UU 35/2009 yang menyatakan:

(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, pengguna narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 53 tidaklah tepat jika dimasukkan ke dalam pengertian “pemakai narkotika” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Sebab, orang yang bersangkutan menggunakan narkotika bukanlah atas kemauannya sendiri melainkan karena “perintah” dokter dengan alasan kesehatan. Dengan kata lain, terdapat alasan yang sah atas penggunaan narkotika tersebut sehingga tidak tepat jika dikelompokkan sebagai bagian dari perbuatan tercela.

[3.13.4] Bahwa jika dihubungkan dengan permohonan a quo, kalau pengertian “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 tidak mendapatkan kejelasan atau tidak diberi batasan yang tegas maka orang yang menggunakan narkotika untuk kepentingan kesehatan pun menjadi masuk ke dalam pengertian “pemakai narkotika” (sehingga, sebagai konsekuensinya, orang tersebut tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah). Keadaan demikian jelas menimbulkan ketidakpastian hukum karena, di satu pihak, penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dibenarkan [Pasal 7 juncto Pasal 53 UU 35/2009]. Sementara itu, di pihak lain, pemakaian narkotika dimasukkan sebagai bagian dari larangan karena dikelompokkan ke dalam kelompok perbuatan tercela [Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016]. Oleh karena itu, menurut penalaran yang wajar, “pemakai narkotika” dengan alasan kesehatan haruslah tidak dimasukkan ke dalam pengertian “pemakai narkotika” yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Namun, karena tiadanya pengertian atau batasan hukum tentang pengertian “pemakai narkotika” tersebut maka tetap terdapat kemungkinan bahwa pemakai narkotika dengan alasan perawatan kesehatan pun dapat ditafsirkan mencakup “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Inilah ketidakpastian hukum yang harus dihilangkan sehingga tidak merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak atas kepastian hukum yang adil dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
[3.13.5] Bahwa lebih lanjut, Pasal 54 UU 35/2009 menyatakan, “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Adapun yang dimaksud dengan rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika [vide Pasal 1 angka 16 UU 35/2009]. Sementara itu, yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas Pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat [vide Pasal 1 angka 17 UU 35/2009]. Begitu pula pemakai narkotika yang dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban wajib menjalani rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Berkenaan dengan rehabilitasi tersebut, Pasal 55 UU 35/2009 menyatakan:
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan di atas jelas menunjukkan posisi pemakai narkotika sebagai korban. Logika yang dapat ditarik dari rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 55 UU 35/2009 di atas adalah bahwa pemakai atau Pecandu Narkotika menyadari dirinya sebagai pecandu atau, dalam hal seorang anak yang belum cukup umur, orang tua atau wali dari anak itu menyadari bahwa anaknya atau anak yang berada di bawah perwaliannya adalah pemakai atau pecandu, yang dengan kata lain adalah korban penyalahgunaan narkotika. Dalam hal ini si pemakai atau pecandu dimaksud tidak atau belum melalui proses pengadilan melainkan dengan sadar memenuhi kewajibannya untuk melaporkan diri guna mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Orang-orang demikian, setelah selesai menjalani proses rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial yang diwajibkan itu, tidaklah tepat untuk tetap dianggap sebagai pemakai narkotika yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016.
[3.13.6] Bahwa lebih jauh, terkait dengan ketentuan dalam Pasal 54 UU 35/2009 di atas, Pasal 103 UU 35/2009 menyatakan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Berdasarkan ketentuan di atas berarti terdapat dua kemungkinan bagi Pecandu Narkotika, yaitu: terbukti bersalah atau tidak terbukti bersalah. Dalam hal terbukti bersalah, hakim akan menjatuhkan putusan. Adapun dalam hal tidak terbukti bersalah, hakim akan memberikan penetapan. Namun, baik jika hakim menjatuhkan putusan (yang artinya orang yang bersangkutan terbukti bersalah) maupun jika hakim menjatuhkan penetapan (yang artinya orang yang bersangkutan tidak terbukti bersalah), isi atau substansi sikap hakim adalah sama, yaitu memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani perawatan melalui rehabilitasi. Bedanya, rehabilitasi yang diperintahkan dengan putusan kualifikasinya adalah hukuman (dan karena itu masa selama menjalani pengobatan atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman), sedangkan rehabilitasi yang diperintahkan dengan penetapan bukanlah hukuman. Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah seseorang yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi (baik rehabilitasi dimaksud karena perintah putusan maupun karena perintah penetapan hakim) masih tetap dapat digolongkan sebagai “pemakai narkotika” sehingga menutup kesempatan orang yang bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan tertutupnya kesempatan itu berlaku untuk selamanya.
Berdasarkan hal tersebut apabila mantan pemakai narkotika yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi juga tetap dimasukkan ke dalam kategori “pemakai narkotika” (sebagaimana tertera dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016) selain bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil juga bertentangan dengan hak atas persamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, orang-orang demikian pun harus dikecualikan dari pengertian “pemakai narkotika” yang termuat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016.
[3.13.7] Bahwa memang benar terdapat kemungkinan di mana seorang pemakai narkotika dapat dijatuhi pidana yang lama pidananya berkisar antara 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) tahun tergantung pada golongan narkotika yang dipakai atau digunakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) UU 35/2009. Namun, dalam keadaan demikian pun hakim diwajibkan untuk memerhatikan ketentuan Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU 35/2009. Pasal 127 UU 35/2009 selengkapnya menyatakan:

(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Maksud frasa “hakim wajib memperhatikan” dalam Pasal 127 ayat (2) UU 35/2009 tersebut tiada lain adalah hakim pertama-tama harus sungguh-sungguh mempertimbangkan bahwa pemakai narkotika tersebut adalah korban penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itulah, pada ayat (3) ditekankan bahwa jika terbukti sebagai korban maka pemakai narkotika tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Artinya, terhadap orang-orang semacam ini, dengan mengacu pada Pasal 103 UU 35/2009, kalaupun terbukti bersalah maka vonis hakim adalah wajib dalam bentuk perintah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Namun demikian, mengingat besarnya bahaya penyalahgunaan narkotika, pengetatan pengaturan tentang penggunaan narkotika merupakan keniscayaan yang mutlak diperlukan. Oleh karena itulah Mahkamah telah menegaskan bahaya dimaksud dalam putusan sebelumnya berkait dengan persoalan narkotika, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-XVII/2019 bertanggal 23 Oktober 2019. Dalam pertimbangan hukum Putusan dimaksud, Paragraf [3.10], Mahkamah antara lain menegaskan:
2. Bahwa seriusnya ancaman yang diberikan oleh kejahatan narkotika terbukti telah menjadi kecemasan dan keprihatian mendalam masyarakat internasional sebagaimana terbukti dari diadopsinya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Konvensi tentang Narkotika dan Psikotropika, dalam hal ini United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic and Psychotropic Substances (selanjutnya disebut Konvensi Narkotika dan Psikotropika) tahun 1988. Pembukaan Konvensi Narkotika dan Psikotropika menyatakan, antara lain:
Deeply concerned by the magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health and welfare of human beings and adversely affect the economic, cultural and political foundations of society,
Deeply concerned also by the steadily increasing inroads into various social groups made by illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, and particularly by the fact that children are used in many parts of the world as an illicit drug consumers market and for purposes of illicit production, distribution and trade in narcotic drugs and psychotropic substances, which entails a danger of incalculable gravity,
Recognizing the links between illicit traffic and other related organized criminal activities which undermine the legitimate economies and threaten the stability, security and sovereignty of States,
Recognizing also that illicit traffic is an international criminal activity, the suppression of which demands urgent attention and the highest priority.
(Sangat prihatin oleh besarnya dan meningkatnya kecenderungan dalam produksi, permintaan dan perdagangan gelap narkotika serta zat-zat psikotropika, yang memberi ancaman serius terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat manusia dan sangat merugikan sendi-sendi ekonomi, budaya dan politik masyarakat,
Sangat prihatin pula oleh penerobosan secara terus-menerus ke dalam berbagai kelompok sosial oleh perdagangan gelap narkotika dan zat-zat psikotropika, dan khususnya oleh kenyataan bahwa anak-anak digunakan di banyak belahan dunia sebagai pasar gelap pemakai dan tujuan dari produksi, distribusi dan perdagangan gelap narkotika serta zat-zat psikotropika, yang menyertakan suatu ancaman yang tak terhitung besarnya,
Menyadari keterkaitan antara perdagangan gelap dan aktivitas kejahatan terorganisasi terkait lainnya yang merongrong kehidupan ekonomi yang sah dan mengancam stabilitas, keamanan dan kedaulatan Negara-negara, Menyadari pula bahwa perdagangan gelap adalah sebuah kejahatan internasional, yang kehadirannya menuntut perhatian mendesak dan prioritas utama).
3. Bahwa Indonesia telah menjadi negara pihak (state party) dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu, telah menjadi kewajiban hukum internasional (international legal obligation) bagi Indonesia untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi ini dengan itikad baik. Dalam konteks permohonan a quo, salah satu ketentuan dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika tertuang dalam Pasal 3 ayat (6) yang menyatakan:
The Parties shall endeavour to ensure that any discretionary legal powers under their domestic law relating to the prosecution of persons for offences established in accordance with this article are exercised to maximize the effectiveness of law enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter the commission of such offences.
(Negara-negara Pihak akan berusaha keras guna menjamin bahwa setiap kekuasaan kekuasaan diskresioner yang sah berdasarkan hukum nasionalnya yang berkait dengan penuntutan orang-orang karena melakukan kejahatan-kejahatan yang ditentukan sesuai dengan pasal ini dilaksanakan untuk memaksimalkan langkah-langkah penegakan hukum berkenaan dengan kejahatan-kejahatan tersebut, dan dengan sungguh- sungguh mempertimbangkan kebutuhan untuk mencegah dilakukannya kejahatan-kejahatan tersebut.
Oleh karena itu, dilihat dari perspektif Konvensi Narkotika dan Psikotropika, menerapkan ancaman pidana maksimum untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika tertentu, termasuk tindak pidana yang diatur dalam norma UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo, adalah bagian dari upaya mencegah dilakukannya tindak pidana dimaksud dan sekaligus sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban internasional Indonesia yang lahir dari Konvensi Narkotika dan Psikotropika;
4. Bahwa penerapan ancaman pidana yang keras terhadap tindakan pidana narkotika dan psikotropika tertentu, termasuk tindak pidana yang diatur dalam norma UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo, juga dibenarkan sekaligus secara implisit dianjurkan oleh Konvensi Narkotika dan Psikotropika. Pasal 24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika menyatakan:
A Party may adopt more strict or severe measures than those provided by this Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention or suppression of illicit traffic
(Suatu Negara Pihak dapat memberlakukan upaya-upaya yang lebih ketat dan lebih keras dari yang diatur dalam Konvensi ini jika, menurut pendapatnya, upaya-upaya demikian diinginkan atau diperlukan untuk mencegah atau menekan perdagangan gelap).

Dengan demikian meskipun persyaratan “bebas dari penyalahgunaan narkotika” untuk menjadi calon kepala daerah telah diatur (juga) dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f UU 10/2016 namun dengan senantiasa mengingat besarnya ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika maka “pemakai narkotika” tetaplah layak dimasukkan ke dalam pengertian orang yang melakukan perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya. Namun, sifat tercela tersebut menjadi tidak tepat jika tetap dilekatkan kepada:
a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau
b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau
c. mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, maka sepanjang berkaitan dengan penggunaan narkotika, selain berlaku ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf f, Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 telah tepat memasukkan pemakai narkotika dalam perbuatan tercela, sehingga frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 adalah konstitusional. Namun demikian, untuk menghindari kemungkinan terjadinya multitafsir dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penerapannya maka frasa “pemakai narkotika” harus dimaknai tidak mencakup: 1) pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau 2) mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau 3) mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-12-2019

Dr. Yovita Arie Mangesti, S.H., M.H., dkk diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. Husdi Herman, S.H., M.M., Viktor Santoso Tandiasa, S.H. M.H., dan Tineke Indriani, S.H., advokat yang tergabung dalam Law Office Dr. Husdi Herman, S.H., M. M., Advocate & Legal Consultants

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan menyatakan OJK adalah lembaga penegak hukum dalam konteks hukum administratif negara bukan lembaga penegak hukum dalam konteks pro Justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti halnya kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah memandang penting untuk mengaitkan permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa OJK adalah lembaga negara independen. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK, Mahkamah terlebih dahulu perlu menegaskan arti penting kehadiran OJK dalam desain besar perekonomian negara terutama dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Bahwa terkait dengan hal di atas, Konsiderans “Menimbang” huruf a UU 21/2011 menyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh OJK dimaksudkan untuk mencapai tujuan mewujudkan perekonomian nasional. Sehingga untuk mencapai tujuan dimaksud diperlukan penegakan hukum, baik berupa hukum administrasi maupun penegakan hukum lainnya termasuk hukum pidana. Oleh karena itu sebelum sampai pada kesimpulan apakah OJK merupakan lembaga penegak hukum dalam konteks pro justitia ataukah penegakan hukum dalam konteks administratif semata maka Mahkamah perlu mempertimbangkan hal berikut:

[3.13.1] Bahwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang diberi kewenangan khusus untuk itu, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, misalnya kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Artinya, dengan bukti tersebut, kewenangan penyidikan sangat mungkin diberikan kepada lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya.

[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, apabila diletakkan dalam bingkai integrated criminal justice system harus ada keterpaduan penyidik bidang tindak pidana lainnya dengan penyidik Kepolisian. Keterpaduan demikian penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks itu, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan masing- masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya sekalipun undang- undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan prinsip integrated criminal justice system. Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Kepolisian.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya.

Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud.

Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut.

[3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata- mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas- batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, di mana Mahkamah telah berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG YANG DIUBAH TERAKHIR KALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 11-12-2019

Faldo Maldini, Tsamara Amany, Dara Adinda Kesuma Nasution dan Cakra Yudi Putra yang diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Rian Ernest Tanudjaja, S.H., MPA., Kamarudin, S.H., Nasrullah, S.H., dan Pandu Satyahadi Putra, S.H., Advokat yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Partai Solidaritas Indonesia (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada

Pasal 18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa terkait dengan permohonan para Pemohon mengenai batas usia calon kepala daerah, Mahkamah telah pernah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 tanggal 27 November 2007. Dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud, Mahkamah menyatakan, antara lain:

"........bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas 56 pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945." [vide putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007]

Bahwa dengan pertimbangan di atas telah jelas, dalam konteks permohonan a quo, perihal batas usia tidak terdapat persoalan konstitusional sebab, menurut Mahkamah, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk undang-undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Bahkan, Mahkamah telah menegaskan pula, andaipun perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan Permohonan a quo, pertanyaannya kemudian, apakah terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya. Hal ini pun telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, sebagaimana dikutip di atas.

[3.10.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, walaupun norma yang dipersoalkan oleh para Pemohon diatur dalam undang-undang yang berbeda, substansi persoalannya atau isu hukumnya adalah sama dengan substansi persoalan atau isu hukum yang diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007. Sebagaimana telah ditegaskan dalam sejumlah putusan Mahkamah, pada hakikatnya, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 bukanlah pengujian apa yang tertulis di dalam pasal-pasal undang-undang (atau bagian tertentu dari suatu undang-undang) melainkan pengujian konstitusionalitas materi muatan norma yang terkandung dalam pasal-pasal atau bagian tertentu dari undang-undang yang diuji tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 mutatis mutandis berlaku pula untuk perkara para Pemohon a quo.

[3.10.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan pada Sub-Paragraf [3.10.1] dan Sub-Paragraf [3.10.2] di atas, adalah tidak beralasan menurut hukum dalil para Pemohon yang menyatakan norma undang-undang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo yang mengatur batas usia calon kepala daerah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal serupa, seperti usia bakal calon anggota legislatif dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah 21 tahun dan batas usia seseorang yang dianggap dewasa dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah setelah 21 tahun. Juga tidak beralasan menurut hukum dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Universal Declaration of Human Rights serta Pasal 25 dan Pasal 26 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights memberikan hak konstitusional bagi para Pemohon untuk diperlakukan sama dalam pemerintahan negara, sehingga batas usia 30 tahun bagi calon kepala daerah dalam undang-undang a quo justru merupakan pelanggaran terhadap hak- hak sipil dan politik rakyatnya. Tidak beralasan menurut hukum, sebab, pemenuhan hak atas persamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan, yang dijamin oleh Konstitusi, dalam hubungannya dengan pengisian jabatan tertentu, bukan berarti meniadakan persyaratan atau pembatasan-pembatasan yang secara rasional memang dibutuhkan oleh jabatan itu. Pembatasan demikian sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG KUH PERDATA, YURISPRUDENSI NOMOR 391 K/SIP/1969, NOMOR 4 K/SIP/1983, PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDUNG NOMOR 75/1472/PERDT/PT.BDG, UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1967, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1968, DAN PUTUSAN KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA BANDUNG NOMOR 550.2/22/HGB/1996 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 11-12-2019

Achdiat Adiwinata

Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak menyebutkan norma yang dimohonkan pengujian.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Undang-Undang KUH Perdata, Yurisprudensi Nomor 391 K/Sip/1969, Nomor 4 K/Sip/1983, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 75/1472/Perdt/Pt.Bdg, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968, dan Putusan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Bandung Nomor 550.2/22/HGB/1996 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.2] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu ketentuan tentang pengajuan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat Pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.” Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 6/2005) menyatakan, “Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat: a. Identitas Pemohon, meliputi: Nama, Tempat tanggal lahir/umur, Agama, Pekerjaan, Kewarganegaraan, Alamat Lengkap, Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada); b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi: kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji, alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud Pasal 4, diuraikan secara jelas dan rinci; c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2), yaitu: mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d. hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3), yaitu: mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; e. permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya.

Bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan Pemohon, in casu “Perbaikan Permohonan”, telah ternyata “Perbaikan Permohonan” yang disampaikan kepada Mahkamah bukanlah perbaikan permohonan sebagaimana dimaksud dalam UU MK. Sebab, uraian yang oleh Pemohon disebut sebagai “Perbaikan Permohonan” bukan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005 melainkan isinya juga hanya memberi tanggapan atau ulasan Pemohon terhadap nasihat Majelis Hakim pada persidangan Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 30 Oktober 2019.

[3.3] Menimbang bahwa terhadap penjelasan Pemohon yang menyatakan “Perbaikan Permohonan” yang disampaikannya itu adalah dimaksudkan sebagai bagian atau merupakan penjelasan dari permohonan awal, Mahkamah berpendapat bahwa andaipun benar “Perbaikan Permohonan” tersebut dimaksudkan sebagai bagian atau merupakan penjelasan dari permohonan awal (yang berarti Pemohon tetap berpegang pada Permohonan awal yang diajukannya), quod non, permasalahan yang diajukan oleh Pemohon bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma undang-undang terhadap UUD 1945 melainkan mengenai penerapan undang-undang oleh pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum yang oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sehingga merugikan Pemohon, sebagaimana ditegaskan pula oleh Pemohon dalam “Perbaikan Permohonan”-nya [vide “Perbaikan permohonan” angka 2].

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut pada Paragraf [3.2] sampai dengan Paragraf [3.3] di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak jelas (kabur).

[3.5] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan mengenai Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, dan Pokok Permohonan lebih lanjut.

KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Andrias Lutfi Susiyanto, S.Pd., Guru Swasta Sekolah Dasar Taman Harapan, dan Evan Waluyo Rostanadji, Wiraswasta, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Muhammad Isrok, S.H., M.H., dkk. (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 109 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa pada tanggal 11 November 2019, pukul 13.23 WIB, Mahkamah menerima surat bertanggal 11 November 2019 dari Para Pemohon yang menyatakan pencabutan perkara Nomor 60/PUU-XVII/2019 perihal permohonan Pengujian Pasal 109 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHAP terhadap UUD Tahun 1945. Selanjutnya di hari yang sama, pukul 14.30 WIB, Mahkamah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan sekaligus mengonfirmasi surat pencabutan permohonan dimaksud kepada para Pemohon, dan Kuasa Pemohon membenarkan perihal pencabutan perkara dimaksud [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 60/PUU-XVII/2019, tanggal 11 November 2019];
b. bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan dan Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf e di atas, terhadap pencabutan atau penarikan kembali perkara tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 12 November 2019 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 60/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum dan karenanya para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
d. bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Putrida Sihombing, dkk berjumlah 190 Pemohon (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 12B ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU KPK Perubahan Kedua serta Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat (13) dan Pasal 31 UU KPK

Pasal 28C ayat (2) dan 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang–Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian formil dan materiil atas undang-undang a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.1] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan para Pemohon, Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan beberapa hal penting berkenaan dengan permohonan para Pemohon sebagai berikut:
[3.1.1] ....
[3.1.4] Bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama perbaikan permohonan para Pemohon tersebut telah ternyata bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang disebut oleh para Pemohon dalam posita dan petitumnya sebagai Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak benar karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 adalah Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian permohonan para Pemohon berkenaan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menurut para Pemohon adalah Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan permohonan yang salah objek (error in objecto);

[3.1.5] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan permohonan para Pemohon mengenai pengujian Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat (13) dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah berpendapat oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.1.4] di atas, di mana Mahkamah telah berpendapat permohonan para Pemohon telah salah objek (error in objecto), maka terhadap permohonan pengujian Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat (13) dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Mahkamah menilai bahwa sesungguhnya permohonan Pemohon atas pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara substansi masih berhubungan dengan substansi permohonan yang telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.1.4]. Dengan demikian sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap permohonan a quo, tidak ada relevansinya lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Lagipula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2019, sehingga apabila para Pemohon hendak mengajukan pengujian Pasal 29 angka 9, Pasal 30 ayat (13) dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 seharusnya dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sebab, kedua undang-undang tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan demikian pokok permohonan yang berkaitan dengan norma pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut.

[3.2] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena permohonan para Pemohon salah objek (error in objecto) maka permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 107b Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] ....
Dengan demikian, menurut Pemohon tidak dibatasinya hak orang-orang yang ingin mengganti Pancasila akan menimbulkan konsekuensi terlanggarnya hak konstitusional Pemohon serta hak konstitusional antargenerasi yang mencintai Pancasila dan yang selalu menegakkan Pancasila sebagai dasar negara demi keutuhan berbangsa.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas kualifikasinya sebagai Pemohon [vide Pasal 51 ayat (1) UU MK], sebab selain Pemohon mengkualifikasi dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemohon juga mengklaim mewakili generasinya sendiri dan generasi yang belum lahir, sehingga menjadi tidak jelas dalam kualifikasi apa sesungguhnya Pemohon memosisikan kedudukan hukumnya dalam menjelaskan anggapannya perihal kerugian hak konstitusionalnya. Sebab, Pemohon di satu sisi menjelaskan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan sekaligus di sisi lain memosisikan mewakili “generasinya sendiri dan generasi yang belum lahir”.
Bahwa sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, seseorang tidak serta-merta dapat mewakili orang atau pihak lain tanpa didasari surat kuasa khusus untuk itu [vide Pasal 43 UU MK], kecuali bagi orang tua yang bertindak untuk kepentingan anaknya yang belum memenuhi syarat kecakapan bertindak dalam hukum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XIV/2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2018]. Berbeda halnya jika Pemohon secara tegas menjelaskan kualifikasinya hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia.
Dengan demikian, sepanjang kualifikasi Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan sekaligus klaim mewakili generasinya sendiri dan generasi yang belum lahir, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Muhammad Sholeh, S.H dan Ir. Ahmad Nadir (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, ayat (3) dan ayat (4) UU 10/2016

Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 41 ayat (1) Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, ayat (3) dan ayat (4) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa pokok permohonan a quo adalah berkenaan dengan isu konstitusional perihal pemberlakuan syarat dukungan jumlah penduduk bagi calon kepala daerah yang mendaftarkan diri dari calon perseorangan; Berkenaan dengan dukungan kepada calon perseorangan, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang kemudian ditegaskan kembali oleh Mahkamah dalam putusan-putusannya yang dalam Paragraf [3.12.4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017 mengulang kembali penegasannya, yaitu:
....

[3.10.2] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusional sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon, Mahkamah kembali menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XII/2015 bertanggal 29 September 2015, Paragraf [3.15] yang menguji antara lain Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) ....

[3.10.3] Bahwa terhadap Pasal 41 ayat (1) UU 10/2016 sepanjang frasa “dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan”, Pasal 41 ayat (2) UU 10/2016 sepanjang frasa “dan termuat dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan” dan Pasal 41 ayat (3) UU 10/2016 sepanjang frasa “dan tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di provinsi atau Kabupaten/Kota dimaksud”, telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017, Paragraf [3.12.5] ....

[3.10.4] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 41 UU 10/2016, oleh karena terhadap pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana yang telah dikutip dalam Paragraf [3.10.2] dan Paragraf [3.10.3] di atas berkaitan erat dan masih relevan untuk menilai konstitusionalitas Pasal 41 UU 10/2016 serta pembentuk undang-undang telah pula menegaskan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XII/2015 dengan menambahkan frasa sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan a quo ke dalam norma Pasal 41 UU 10/2016, sehingga menurut Mahkamah tidak lagi terdapat persoalan konstitusional terhadap norma a quo sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu, pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIV/2016 mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan para Pemohon. Dengan demikian dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 tidak dipertimbangkan dan sepanjang Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, ayat (3) dan ayat (4) UU 10/2016 tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN / 28-11-2019

Reza Aldo Agusta

Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Perdagangan

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum, karena keseluruhan jasa pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 mengabaikan tujuan pendidikan karena tidak memberikan definisi dan ruang lingkup jasa pendidikan yang bisa diperdagangkan sehingga bertentangan dengan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.12], untuk memahami secara komprehensif pengertian jasa pendidikan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 tidaklah dapat dilepaskan dari UU 20/2003 dan UU 12/2012 yang pada prinsipnya menentukan penyelenggaraan pendidikan bersifat nirlaba yang artinya tidak mencari laba atau keuntungan. Andaipun terdapat sisa hasil usaha atas penyelenggaraan pendidikan tersebut harus dikembalikan atau diinvestasikan kembali ke perguruan tinggi yang bersangkutan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dalam hal ini, sekalipun pendidikan disebut “komoditas” namun perdagangan jasa pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak untuk mencari keuntungan atau laba karena UU 20/2003 dan UU 12/2012 yang mengatur mengenai sistem pendidikan nasional telah menegaskan dengan jelas tanpa ada tafsir yang lain bahwa penyelenggaraan pendidikan bersifat nirlaba [vide Pasal 53 ayat (3) UU 20/2003, Pasal 60 ayat (2), Pasal 63 huruf c, dan Pasal 90 ayat (4) UU 12/2012]; Selain itu, meskipun dikategorikan sebagai “komoditas”, jasa
pendidikan tersebut tetap harus mengacu pada dan tidak boleh dilepaskan dari prinsip dasar upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, dimasukkannya jasa pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan bukan berarti harus diperdagangkan. Negara tetap memiliki kekuasaan untuk menilai dan menentukan jasa pendidikan yang bagaimana yang dapat diperdagangkan tanpa melanggar Konstitusi.

b. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 menjadikan jasa pendidikan sebagai komoditas perdagangan yang membuat pendidikan sebagai barang privat (private goods) sehingga berpotensi melepaskan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional sehingga bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pendidikan dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah adalah tergolong public goods di mana negara tidak bisa melepas perannya untuk mengatur dan memberikan arah kebijakan sistem pendidikan nasional. Selain itu, sifat pendidikan yang harus bisa diakses oleh seluruh warga negara (accessible) merupakan alasan mengapa pendidikan tergolong sebagai public goods. Dalam hal ini, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-III/2005, bertanggal 19 Oktober 2005 halaman 58, yang menyatakan, “… Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya sebatas kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi tetapi menjadi kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara tersebut. Karena demikian pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, menyebabkan pendidikan tidak hanya semata-mata ditetapkan sebagai hak warga negara saja, bahkan UUD
1945 memandang perlu untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban warga negara. Agar kewajiban warga negara dapat dipenuhi dengan baik maka UUD 1945, Pasal 31 ayat (2), mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, bertanggal 30 Maret 2010, dipertimbangkan, “...sistem pendidikan nasional bukan semata hanya mengatur penyelenggaraan kesekolahan belaka. Bidangpendidikan terkait dengan hak asasi lain yaitu, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, dan bagi anak, pendidikan merupakan bagian hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sejauh hidup tidak hanya dimaknai sebagai masih bisa bernafas, tetapi juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak atau berkualitas sesuai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Pertimbangan Mahkamah yang demikian semakin menunjukkan peran sentral negara dalam pendidikan tidak dapat dikurangi dan dialihkan. Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 yang menjadikan jasa pendidikan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan, menurut Mahkamah tidak serta-merta membuat pendidikan dijadikan sebagai private goods;
Dengan adanya ketentuan yang memasukkan pendidikan ke dalam ruang lingkup jasa yang dapat diperdagangkan, tidak membuat pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawabnya, karena sebagai jasa yang dapat diperdagangkan, jasa pendidikan penyelenggaraannya terikat dan tunduk dengan seluruh regulasi pendidikan nasional yang harus menjadi acuan dalam penyelenggaraannya. Sebagaimana dalam perdagangan barang atau jasa lainnya, negara dapat membuat perlindungan hukum atau proteksi dengan instrumen regulasi dalam
hal ini bidang kependidikan yang memberi pedoman dan panduan untuk menyelenggarakan pendidikan;

c. Bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 4
ayat (2) huruf d UU 7/2014 maka terjadi dualisme sistem pendidikan di Indonesia yaitu berdasarkan rezim UU 20/2003 (Sisdiknas) dengan rezim UU 7/2014 (Perdagangan), yang memunculkan konflik antara tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan dan perdagangan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28C dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa regulasi perdagangan dalam hal ini UU 7/2014
tidaklah berdiri sendiri, namun berkait erat dengan peraturan perundang-undangan lain, in casu UU 20/2003. Sebagai satu sistem pendidikan nasional seharusnya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Arah kebijakan pendidikan dan batasan-batasan yang digariskan dalam pengelolaan pendidikan nasional telah diatur secara komprehensif dalam UU 20/2003 beserta UU 12/2012 yang dilengkapi dengan peraturan pelaksana lainnya yang menjadi regulasi pendidikan nasional yang harus ditaati oleh siapapun yang berkepentingan dengan pendidikan nasional di Indonesia;
Sekalipun jasa pendidikan dapat diperdagangkan, namun pendidikan tidak tunduk pada rezim perdagangan sehingga tetap berada dalam rezim sistem pendidikan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitan dengan jasa pendidikan, secara tegas Pasal 53 ayat (3) UU 20/2003 menyatakan bahwa badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Dengan demikian, meskipun jasa pendidikan dapat diperdagangkan menurut Pasal 4 ayat (2) huruf d UU
7/2014 dalam penyelenggaraannya tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan dalam sistem pendidikan nasional, khususnya prinsip nirlaba, sebagaimana diatur dalam UU 20/2003 dan UU 12/2012.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, Pasal 37 dan Pasal 38 UU 20/2003 telah menentukan pula kurikulum penyelenggaraan pendidikan, sehingga semua penyelanggara pendidikan, termasuk lembaga pendidikan asing yang menyelenggarakan pendidikan di Indonesia, kurikulum yang diajarkan harus disesuaikan dengan UU 20/2003 yang pada pokoknya kurikulum dimaksud memperhatikan peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, agama, dinamika perkembangan global, dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Pengaturan kurikulum yang demikian dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang tidak hanya menyasar peningkatan pemahaman ilmu pengetahuan, namun juga membentuk karakter anak bangsa yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia;
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

d. Menimbang bahwa meskipun telah ternyata dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum namun oleh karena kedudukan hukum Pemohon belum dipertimbangkan oleh Mahkamah, sebagaimana disebutkan dalam Paragraf [3.6], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. bahwa norma UU 7/2014 yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014, yang selengkapnya menyatakan “Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur Jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: ... d. Jasa Pendidikan”. Dengan berlakunya norma a quo Pemohon beranggapan telah mengalami kerugian spesifik (khusus)
dan aktual dalam bentuk tingginya harga penyelenggaraan jasa pendidikan tinggi, secara khusus di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Secara faktual, Pemohon menerangkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat kurang mampu tidak bisa langsung mengecap pendidikan tinggi karena Pemohon harus bekerja dan menabung selama 7 tahun baru bisa memiliki cukup uang untuk mendaftar ke Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Karena, biaya pendidikan di Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun [vide bukti P-9 dan bukti P- 10]. Kondisi ini menurut Pemohon merupakan pelanggaran terhadap hak atas pendidikan yang terjangkau yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945;

2. bahwa menurut Pemohon, tingginya biaya pendidikan tinggi ini adalah akibat dari berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014 yang menjadikan seluruh bentuk jasa pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Oleh karenanya menurut Pemohon, jika jasa pendidikan tidak menjadi komoditas perdagangan, niscaya kerugian konstitusional Pemohon tidak akan terjadi sebab pendidikan akan tetap menjadi public goods yang diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;

3. bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon, khususnya uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan argumentasi Pemohon dalam pokok permohonannya, telah ternyata bahwa hingga Mahkamah tuntas memeriksa dan mempertimbangkan pokok permohonan tidak ditemukan korelasi perihal anggapan kerugian konstitusional yang menurut Pemohon diakibatkan oleh berlakunya norma pasal a quo. Kalaupun benar telah terjadi kenaikan biaya pendidikan yang dianggap tinggi oleh Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti bahwa kenaikan biaya pendidikan tersebut disebabkan oleh berlakunya Pasal 4 ayat (2) huruf d UU 7/2014. Bahkan, Pemohon sendiri mengakui adanya kenaikan biaya pendidikan tidak
berpengaruh secara langsung terhadap Pemohon, terlebih-lebih perguruan tinggi Pemohon, in casu Universitas Atma Jaya, menyediakan skema beasiswa secara penuh untuk menyelesaikan pendidikan bagi Pemohon [vide perbaikan permohonan halaman 4].
Oleh karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional Pemohon, baik aktual maupun potensial, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

e. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, telah ternyata Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Drs. LA Arta, M. Si

Pasal 23 ayat (2) UU 4/2004, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985 dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981

Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 24A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. …
e. bahwa pada tanggal 12 November 2019, Mahkamah Konstitusi menerima surat bertanggal 12 November 2019 dari Pemohon yang menyatakan pencabutan perkara Nomor 61/PUU-XVII/2019 perihal Permohonan Pengujian Konstitusionalitas Pasal 23 ayat (2) UU 4/2004, Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985, dan Pasal 268 ayat (3) UU 8/1981 terhadap UUD 1945;
f. bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf f di atas, terhadap pencabutan atau penarikan kembali perkara tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 13 November 2019 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 61/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum dan karenanya Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;


RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN / 28-11-2019

Viktor Santoso Tandiasa, Advokat, dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa karena para Pemohon mendasarkan permohonannnya dalam memaknai kewenangan Mahkamah Konstitusi ihwal pengaduan konstitusional didasarkan pada Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman (yang di-mutatis mutandis-kan dengan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK), Mahkkamah akan menguraian dan sekaligus menjawab dalil para Pemohon didasarkan pada posisi Penjelasan Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman yang di-mutatis mutandis-kan dengan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, sebagai berikut:

a. Bahwa dengan menggunakan pendekatan sistem, di dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, penjelasan merupakan interpretasi resmi dari pembentuk peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk, antara lain, membantu mengetahui maksud dan latar belakang pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, khusus untuk norma baik berupa pasal maupun ayat, penjelasan dimaksudkan sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan. Secara umum, peraturan perundang-undangan yang memuat penjelasan biasanya terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Penjelasan umum merupakan penjelasan yang bersifat umum yang terkait dengan gagasan utama substansi atau materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dimaksud. Sementara itu, penjelasan pasal demi pasal merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan bersangkutan yang masih memerlukan tafsir pembentuk peraturan perundang-undangan. Karena itu, jikalau terdapat pasal atau ayat yang dianggap tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut atau tafsir dari pembentuk peraturan perundang-undangan, dalam penjelasan hanya ditulis dengan “cukup jelas;

b. Bahwa berkenaan dengan posisi penjelasan, baik berupa tafsir atau batasan-batasannya dalam sistem peraturan perundang-undangan, Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya ditulis UU PPPu) dalam angka 176-178 dan 186 dinyatakan:

176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.

178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian.

c. Bahwa apabila dikaitkan antara batasan-batasan penjelasan dalam UU PPPu di atas dengan permohonan a quo, norma dalam batang tubuh Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Kemudian di dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya dinyatakan dengan “cukup jelas. Sebagaimana dikemukakan dalam Sub-Paragraf [3.13.1], dikarenakan Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman termasuk pasal atau ayat yang dianggap tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut atau tafsir karena pembentuk UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan dalam penjelasan dengan cukup jelas.

d. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK dan Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman sebagai ketentuan lebih lanjut dari Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan pengaturan demikian, pembentuk undang-undang tidak memerlukan tafsir lain yang berakibat penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Artinya, dengan adanya tambahan pemaknaan yang diminta para Pemohon hal demikian dapat dikategorikan sebagai penambahan norma baru. Padahal, sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu limitasi yang ditentukan Lampiran I angka 186 huruf b adalah penjelasan tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh. Menurut Mahkamah, bilamana penjelasan tersebut dimaknai sesuai dengan makna yang dimintakan oleh para Pemohon maka hal demikian jelas merupakan penambahan norma baru.

e. Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan sebagaimana diuraikan di atas, sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan perihal konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab adalah apakah dengan pertimbangan tersebut terdapat kerugian hak konstitusional para Pemohon. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa sekalipun para Pemohon adalah merupakan pemohon atau kuasa pemohon pada putusan-putusan yang disebutkan di atas (in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XVII/2019) yang dijadikan landasan untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional para Pemohon, telah ternyata bahwa posisi sebagai pemohon atau kuasa pemohon dalam putusan-putusan sebelumnya tidak serta-merta dapat dijadikan dasar untuk memberi kedudukan hukum untuk permohonan a quo karena pertimbangan dalam memberikan kedudukan hukum bagi pemohon untuk perkara-perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah memiliki karakteristik yang berbeda dengan permohonan a quo. Terlebih apabila yang dijadikan dasar untuk mengajukan substansi Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) dalam permohonan a quo dikaitkan dengan permohonan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-XIII/2015 dimana Pemohon I sebagai pihak yang mewakili organisasinya (Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XVI/2018 dan Nomor 5/PUU-XVII/2019, di mana Pemohon II sebagai Pemohon prinsipal yang dikaitkan dengan revisi pasal Penistaan Agama yang berhubungan erat dengan perkara sebelumnya yaitu Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Perkara Nomor 84/PUU-X/2012 yang bukan dimohonkan oleh Pemohon II. Oleh karena itu, telah ternyata Mahkamah tidak mendapatkan bukti adanya surat kuasa dari Pemohon dan/atau para Pemohon terkait dengan perkara-perkara dimaksud, maka berdasarkan fakta hukum tersebut para Pemohon tidak dapat serta merta memiliki hubungan hukum untuk mempersoalkan adanya anggapan kerugian konstitusional melalui Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) sebagaimana yang diajukan oleh para Pemohon dalam perkara a quo.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

f. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata bahwa dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman yang di-mutatis mutandis-kan dengan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a [sic!] UU MK tidak terdapat persoalan konstitusionalitas.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 28-11-2019

Heriyanto, S.H., dan Ramdansyah, S.H

Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, dan Pasal 533 UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, Pasal 533 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

A. Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat- syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon I dalam menguraikan kedudukan hukumnya menjelaskan sebagai peneliti independen yang menggeluti bidang Pemilu dan dibuktikan dengan hasil penelitian yang dibukukan dengan judul “Menguak Tabir Sengketa Pemilukada” yang diterbitkan Penerbit Leutika Prio Jogjakarta.

b. Bahwa Pemohon II dalam menguraikan kedudukan hukumnya menjelaskan sebagai peneliti independen dan penggiat yang menggeluti bidang Pemilu dan dibuktikan dengan hasil penelitian yang dibukukan dengan judul “Sisi Gelap Pemilu 2009”, yang diterbitkan Penerbit Rumah Demokrasi, Jakarta Tahun 2010.

c. Bahwa para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya menjelaskan sebagai warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, dan Pasal 533 UU Pemilu. Hak konstitusional dimaksud adalah hak-hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) [sic!], Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 3 di atas, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya dalil para Pemohon perihal pertentangan Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, dan Pasal 533 UU Pemilu dengan UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa Pemohon I tidak menghadiri sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang diselenggarakan oleh Mahkamah pada hari Rabu, tanggal 24 April 2019, dengan agenda mendengarkan Permohonan Pemohon. Selain itu Pemohon I juga tidak menghadiri sidang Pemeriksaan Pendahuluan kedua yang diselenggarakan oleh Mahkamah pada hari Kamis, tanggal 9 Mei 2019 dengan agenda Perbaikan Permohonan Pemohon. Pemohon I melalui Pemohon II hanya mengirimkan Surat Tugas Nomor 122/ST/Adv.BPN/PS/IV/2019 yang menurut Mahkamah surat tersebut tidak ada kaitannya dengan pokok permohonan Pemohon. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemohon I dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan pengujian Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, dan Pasal 533 UU Pemilu terhadap UUD 1945 ke Mahkamah. Oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut sepanjang berkaitan dengan Pemohon I dan permohonan dinyatakan gugur;

b. Bahwa Pemohon II mendalilkan sebagai peneliti independen dan penggiat yang menggeluti bidang Pemilu dan dibuktikan dengan hasil penelitian yang dibukukan dengan judul “Sisi Gelap Pemilu 2009”, yang diterbitkan Penerbit Rumah Demokrasi, Jakarta Tahun 2010 merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal a quo UU Pemilu. Menurut Mahkamah, Pemohon II tidak mampu menguraikan secara spesifik hak konstitusionalnya yang menurut Pemohon II dianggap dirugikan oleh berlakunya Pasal a quo yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, di mana kerugian dimaksud jelas hubungan kausalnya, baik secara aktual maupun potensial, dengan norma Undang- Undang yang dimohonkan pengujian [in casu Pasal 284, Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 501, Pasal 502, Pasal 523, Pasal 488, Pasal 516, Pasal 521, dan Pasal 533 UU Pemilu]. Oleh karena itu dengan sendirinya syarat bahwa “jika permohonan Pemohon a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi” tidak terpenuhi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo, sehingga pokok permohonan Pemohon II pun tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

B. Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo namun oleh karena Permohonan Pemohon I dinyatakan gugur dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Ikhsan Prasetya Fitriansyah

Pasal 62 ayat (1), Pasal 63, Pasal 64 ayat (3), dan Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

A. Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai persoalan konstitusionalitas dalam permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu perlu mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon terkait dengan Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (3) UU Dikti dapat dimohonkan pengujian kembali oleh karena norma a quo telah pernah diajukan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-IX/2012, bertanggal 12 Desember 2013, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-X/2013, bertanggal 29 April 2014, yang masing-masing amar putusannya menolak permohonan dimaksud untuk seluruhnya. Terhadap hal tersebut, Mahkamah perlu merujuk Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/PMK/2005) yang menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”. Mendasarkan pada ketentuan tersebut, terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-IX/2012 menguji, antara lain, Pasal 64 UU Dikti terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 31 ayat (1) serta ayat (4) UUD 1945. Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-X/2013 menguji, antara lain, Pasal 63 dan Pasal 64 UU Dikti terhadap Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), ayat (3), serta ayat (5) UUD 1945. Sementara itu, permohonan a quo menguji, antara lain, Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (3) UU Dikti terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan a quo yang menguji Pasal 63 dan Pasal 64 UU Dikti memiliki dasar pengujian yang sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUUIX/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-X/2013 yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya berlaku ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 PMK 06/PMK/2005, yaitu terhadap Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (3) UU Dikti a quo tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

B. Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon mengenai pengujian Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (3) UU Dikti tidak dapat dimohonkan pengujian kembali sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 PMK 06/PMK/2005, sehingga selanjutnya Mahkamah hanya akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan pengujian Pasal 62 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti terhadap UUD 1945 sebagai berikut:

B.1. Bahwa para Pemohon mendalilkan UU Dikti kontradiktif dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi karena sama sekali tidak menjabarkan ketentuan mengenai independensi institusi Pendidikan Tinggi yang terlepas dari pengaruh dan kepentingan politik tertentu. Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU Dikti yang menyatakan:
“Pendidikan Tinggi bertujuan:
a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Tidak dijabarkannya ketentuan mengenai independensi institusi Pendidikan Tinggi yang terlepas dari pengaruh dan kepentingan politik tertentu dalam UU Dikti, in casu Pasal 62 ayat (1), tidak serta merta mengakibatkan Pasal 62 ayat (1) UU Dikti menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih lagi dalam bagian umum penjelasan UU Dikti dinyatakan, “Perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan. Dengan demikian perguruan tinggi dapat mengembangkan budaya akademik bagi sivitas akademika yang berfungsi sebagai komunitas ilmiah yang berwibawa dan mampu melakukan interaksi yang mengangkat martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional”.
Bahwa selanjutnya para Pemohon dalam petitumnya meminta agar frasa “mengelola sendiri lembaganya” dalam Pasal 62 ayat (1) UU Dikti dimaknai “pengelola lembaga Perguruan Tinggi tidak memiliki afiliasi politik atau kepentingan tertentu”. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, pemilihan seseorang menjadi pengelola lembaga perguruan tinggi tidaklah terkait langsung dengan UU Dikti karena pemilihan seseorang menjadi pengelola lembaga perguruan tinggi sejatinya diatur dalam statuta masing-masing perguruan tinggi. Dalam hal ini, Statuta UI diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia dan Statuta UGM diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Gadjah Mada. Kedua statuta dimaksud dibentuk sebagai peraturan dasar Pengelolaan Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di kedua Perguruan Tinggi dimaksud. Artinya, larangan berkenaan dengan afiliasi politik atau kepentingan tertentu pengelola lembaga perguruan tinggi bukanlah merupakan substansi undang-undang melainkan substansi yang dapat saja dimuat pada masing-masing statuta perguruan tinggi. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon mengenai frasa “mengelola sendiri lembaganya” dalam Pasal 62 ayat (1) UU Dikti bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “pengelola lembaga Perguruan Tinggi tidak memiliki afiliasi politik atau kepentingan tertentu” adalah tidak beralasan menurut hukum.

B.2. Bahwa terhadap permohonan pengujian Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, penjelasan dalam peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Berkenaan dengan posisi penjelasan dalam sistem peraturan perundang-undangan, angka 186 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal-hal berikut: a). tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; b). tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh; c). tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d). tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau e). tidak memuat rumusan pendelegasian.
Bahwa norma Pasal 65 UU Dikti pernah diuji oleh Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-X/2012 bertanggal 12 Desember 2013 dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dengan demikian pada dasarnya tidak ada persoalan konstitusional terkait norma yang tercantum dalam Pasal 65 UU Dikti dimaksud. Apabila permohonan para Pemohon dikabulkan, hal demikian berarti Mahkamah membenarkan adanya norma baru dalam penjelasan pasal a quo. Dengan demikian, permohonan para Pemohon yang meminta agar Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti dimaknai “yang dimaksud mandiri adalah pengelola PTN Badan Hukum tidak memiliki afiliasi politik atau kepentingan tertentu” adalah menjadi tidak beralasan menurut hukum.

C. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian dan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (3) UU Dikti tidak dipertimbangkan lebih lanjut, sedangkan Pasal 62 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-11-2019

Bahrul Ilmi Yakup, S.H., M.H., H. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H., Gunadi Handoko, S.H., M.Hum., Rynaldo P. Batubara, S.H., M.H., Ismail Nganggon, S.H., dan Iwan Kurniawan, S.Sy.

Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 30 ayat (1) [sic!], Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 33, dan dalam Penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2) UU Advokat.

Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa “Organisasi Advokat” dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 30 ayat (1) [sic!], Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 33, dan dalam Penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2) UU Advokat dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
a. Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam pokok permohonan, para Pemohon juga mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah memerintahkan semua Organisasi Advokat untuk menghentikan penyelenggaran pendidikan terhadap calon advokat, pengangkatan terhadap advokat, pengajuan permohonan pengambilan sumpah advokat kepada Pengadilan Tinggi, dan pengawasan dan menjatuhkan sanksi kepada advokat selama uji materi permohonan a quo masih berlangsung. Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa oleh karena pokok permohonan para Pemohon belum dipertimbangkan, terlebih dikabulkan, oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat tidak dapat dibenarkan secara hukum untuk menunda keberlakuan norma dari undang- undang yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo. Lagi pula, Mahkamah tidak menemukan alasan yang kuat bahwa ada hal yang mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon a quo sebagaimana pertimbangan Mahkamah mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian dalam perkara Nomor 133/PUU-VII/2009.

Bahwa berdasarkan alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.



Dalam Pokok Permohonan
A. ….

3. Bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas organisasi advokat dalam UU Advokat telah pernah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Desember 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XIII/2015 bertanggal 29 September 2015, sehingga pendirian Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut tidak mungkin dilepaskan dalam mempertimbangkan permohonan a quo. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, sebagian dari pertimbangan Mahkamah dalam permohonan a quo merujuk kembali sejumlah pertimbangan hukum putusan-putusan dimaksud, ….

a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 dalam pengujian Pasal 1 angka 1 dan angka 4, Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat. Amar putusan Mahkamah saat itu meskipun menolak permohonan para Pemohon namun dalam pertimbangannya antara lain menyatakan bahwa dengan telah terbentuknya PERADI yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat maka seharusnya tidak ada lagi persoalan konstitusionalitas organisasi advokat.
….

b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan antara lain bahwa apabila setelah jangka waktu dua tahun organisasi advokat belum juga terbentuk maka perselisihan tentang organisasi yang sah diselesaikan melalui peradilan umum.
….

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat. Meski dalam amar putusannya Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, namun Mahkamah menegaskan kembali bahwa satu- satunya wadah profesi advokat yang dimaksud dalam UU Advokat adalah hanya satu wadah profesi advokat yang menjalankan 8 (delapan) kewenangan yang ditentukan dalam UU Advokat, yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan yang ditentukan dalam UU Advokat berdasarkan asas kebebasan berserikat dan berkumpul.
….

d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat. Dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan antara lain bahwa penentuan organisasi advokat akan selamanya menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ merupakan bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) beserta pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) melalui proses legislative review.
….

4. Bahwa dengan memperhatikan Putusan-Putusan di atas, Mahkamah melalui putusan ini menegaskan hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa persoalan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat sesungguhnya telah selesai dan telah dipertimbangkan secara tegas oleh Mahkamah, yakni PERADI yang merupakan singkatan (akronim) dari Perhimpunan Advokat Indonesia sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006], yang memiliki wewenang sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat untuk:
a. melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)];
b. melaksanakan pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f];
c. melaksanakan pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)];
d. membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)];
e. membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)];
f. membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)];
g. melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)]; dan
h. memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1)].
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011];

2) Bahwa berkaitan dengan organisasi-organisasi advokat lain yang secara de facto saat ini ada, hal tersebut tidak dapat dilarang mengingat konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun demikian organisasi-organsasi advokat lain tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan 8 (delapan) jenis kewenangan sebagaimana diuraikan pada butir angka (1) di atas dan hal tersebut telah secara tegas dipertimbangkan sebagai pendirian Mahkamah dalam putusannya yang berkaitan dengan organisasi advokat yang dapat menjalankan 8 (delapan) kewenangan dimaksud [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011];

3) Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan penyumpahan advokat yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat yang pada saat ini secara de facto ada, tidak serta-merta membenarkan bahwa organisasi di luar PERADI dapat menjalankan 8 (delapan) kewenangan sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat, akan tetapi semata-mata dengan pertimbangan tidak diperbolehkannya menghambat hak konstitusional setiap orang termasuk organisasi advokat lain yang secara de facto ada sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam kaitan ini, calon advokat juga harus dijamin perlindungan hak konstitusionalnya untuk disumpah oleh pengadilan tinggi karena tanpa dilakukan penyumpahan calon advokat yang bersangkutan tidak akan dapat menjalankan profesinya. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyumpahan menjadi Advokat maka ke depan organisasi-organisasi advokat lain selain PERADI harus segera menyesuaikan dengan organisasi PERADI sebab sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas bahwa PERADI-lah sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang di dalamnya melekat 8 (delapan) kewenangan di mana salah satunya berkaitan erat dengan pengangkatan Advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006].

4) Bahwa berkaitan dengan keinginan dari sebagian anggota Advokat yang menghendaki bentuk organisasi Advokat tetap bersifat organisasi tunggal (single bar) atau akan dilakukan perubahan menjadi bentuk organisasi multi organ (multibar) hal tersebut juga telah ditegaskan dalam putusan Mahkamah, di mana Mahkamah telah berpendirian bahwa hal ini merupakan bagian dari kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukan yang sesuai dengan kebutuhan organisasi advokat di Indonesia [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XIII/2015 bertanggal 29 September 2015].

5. Bahwa sesungguhnya penegasan Mahkamah terhadap organisasi advokat melalui pertimbangan-pertimbangan dalam putusan-putusan di atas tidak dapat dilepaskan dari keinginan yang kuat untuk membangun marwah advokat sebagai profesi yang mulia (officium nobile) yang dapat diwujudkan dengan memberikan penguatan integritas, kompetensi, dan profesionalitas, di samping memberikan perlindungan hukum terhadap pencari keadilan (justiciabelen), secara lebih khusus yang menggunakan jasa profesi Advokat.

6. Bahwa dengan telah ditegaskannya kembali pada pertimbangan hukum di atas, maka sesungguhnya terhadap norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara a quo tidak ada persoalan konstitusionalitas. Sebab norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 ayat (1) huruf f, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 27 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 30 ayat (1), Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 33, termasuk Penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2) UU Advokat, sejatinya yang menjadi genus adalah norma Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang termasuk juga dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo. Sehingga, norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tersebut merupakan wujud adanya konsekuensi yuridis dengan telah terbentuknya organisasi advokat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang secara lengkap telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan-Putusan tersebut di atas. Sementara itu, berkenaan dengan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat yang juga dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006].

B. Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma pasal-pasal yang diajukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara a quo maka penegasan dari pendirian Mahkamah tersebut sudah menjadi rujukan bahwa persoalan yang berkaitan dengan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU Advokat dipandang telah selesai, sehingga sepanjang berkenaan dengan permasalahan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Advokat sudah tidak relevan lagi dipersoalkan. Dengan demikian permasalahan organisasi advokat yang secara faktual saat ini masih ada, hal tersebut telah berkenaan dengan kasus-kasus konkret yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah menilainya.

C. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalil-dalil para Pemohon selain dan selebihnya dan hal-hal lain, karena tidak relevan dengan pokok permohonan para Pemohon, tidak dipertimbangkan.

D. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Arie Gumilar dan Dicky Firmansyah

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31/1999

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 UU Tipikor dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan konstitusional dimaksud pada Paragraf [3.10], terlebih dahulu perlu ditegaskan tentang apa yang dimaksud dengan kepastian hukum terkait rumusan sebuah norma. Secara doktriner, perumusan norma memperhatikan susunannya yang disusun secara ringkas dan mudah dipahami. Dalam hal ini, susunan demikian dimaksudkan agar setiap rumusan undang-undang mudah dipahami atau tidak rumit. Dalam konteks itu, sebuah rumusan yang digunakan sepanjang memenuhi asas kejelasan dan mudah dipahami oleh orang awamsekalipun maka norma tersebut telah memenuhi syarat disebut sebagai norma yang baik. Pada saat yang sama, norma tersebut juga memenuhi asas untuk dikatakan mengandung kepastian hukum. Dengan demikian, sepanjang sebuah norma telah memberikan perlindungan bagi pencari keadilan dan rumusannya juga jelas dan sederhana maka norma tersebut dinilai telah memenuhi syarat mengandung kepastian hukum.

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon memohonkan kepada Mahkamah agar frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa tersebut tidak dimaknai tidak termasuk pejabat/pegawai BUMN yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari BUMN itu sendiri. Bahwa terhadap permohonan demikian, dalam kaitannya dengan makna atau arti dari frasa “setiap orang”, bagian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud frasa “setiap orang”. Ketika dihadapkan pada ketiadaan penjelasan demikian maka menurut Mahkamah arti atau makna frasa “setiap orang” harus merujuk pada frasa “setiap orang” yang lazim dipergunakan keseharian maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bahwa frasa “setiap orang” memiliki kesamaan arti dengan “seluruh orang”, di mana makna kata “setiap” atau“seluruh” sudah jelas dan menurut Mahkamah tidak perlu dijelaskan. Adapun arti/maksud kata “orang” menurut KBBI adalah “manusia (dalam arti khusus); manusia (ganti diri ketiga yang tidak tentu); dirinya sendiri; kata penggolong untuk manusia; anak buah (bawahan); rakyat (dari suatu negara); manusia yang berasal dari atau tinggal di suatu daerah (desa, kota, negara, dan sebagainya); suku bangsa; manusia lain; bukan diri sendiri; bukan kaum (golongan, kerabat) sendiri; karena (sebenarnya)”. Adapun makna “orang” dalam peraturan perundang-undangan meliputi dua kategori besar, yaitu orang sebagai manusia, dan orang sebagai badan hukum. Pengertian “orang” secara hukum, khususnya dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, merujuk kepada subjek pelaku, atau subjek yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara bebas yang memiliki potensi merugikan atau menimbulkan mala kepada pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahwa menurut Mahkamah pengertian “orang” demikian telah tepat terutama apabila dikaitkan dengan tujuan UU Tipikor untuk melindungi negara dari kerugian keuangan maupun perekonomian. Kerugian atau mala pada negara tidak hanya disebabkan oleh orang dalam pengertian biologis, yaitu manusia, melainkan kerugian dapat juga ditimbulkan oleh tindakan badan hukum sebagai entitas yang dapat berpikir dan bertindak secara bebas selayaknya manusia.

[3.14] Menimbang bahwa rumusan frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan rumusan subjek atau pelaku tindak pidana atau delik. Sebagai bagian dari undang-undang yang bersifat khusus, UU Tipikor mengatur subjek delik yang dituju dengan rumusan “setiap orang” tersebut adalah setiap manusia secara person dan badan hukum atau korporasi. Jika dibandingkan dengan Belanda sebagai negara berasalnya hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini, dalam Nederland Wetboek van Strafrecht (WvS), korporasi juga telah menjadi subjek delik dengan tetap menggunakan kata “Hij die” atau setiap orang. Bahwa frasa “setiap orang” dalam norma a quo sama sekali tidak mengandung ketidakjelasan karena subjek yang dituju juga pasti, yaitu perorangan dan badan hukum. Dengan kejelasan maksud tersebut, sesungguhnya hak para pencari keadilan tidak dirugikan dengan rumusan norma dimaksud. Justru sebaliknya, ketika frasa “setiap orang” dikecualikan bagi pejabat atau pegawai BUMN akan memicu ketidakpastian hukum. Ketidakpastian dimaksud disebabkan dalam peristiwa terjadinya delik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor akan diberlakukan secara berbeda. Hal demikian tentunya akan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan agar setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Bahwa apabila frasa “setiap orang” sebagaimana termaktub dalam UU Tipikor dimaknai dengan dikecualikan bagi pejabat atau pegawai BUMN, hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian dengan ketentuan yang diatur, misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999). Dalam hal ini, Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 menyatakan:

Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelengga-raan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; ...dst.

Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU 28/1999 di atas, pejabat yang dinilai rawan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di antaranya adalah direksi, komisaris dan pejabat struktural BUMN/BUMD. Jika pejabat/pegawai BUMN dikecualikan dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor maka dalam penerapannya akan terjadi ketidakpastian hukum dalam hubungannya dengan UU 28/1999.

Bahwa selanjutnya, frasa “setiap orang” merupakan rumusan subjek delik yang berlaku umum bagi semua subjek hukum. Rumusan norma yang berlaku umum merupakan standar perlakuan bagi semua orang (baik person maupun badan hukum) adalah sama di hadapan hukum. Dalam konteks itu, pengecualian terhadap subjek delik tertentu tidak dapat dilakukan karena akan melanggar prinsip equality before the law. Secara yuridis, pengecualian terhadap subjek delik hanya dapat dilakukan dalam penerapan delik yaitu terhadap orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya

[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon ihwal frasa “setiap orang” juga dapat menjangkau direksi yang dengan iktikad baik melakukan aksi korporasi, hal tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh frasa “setiap orang”. Sekalipun frasa “setiap orang” tidak dimaknai dikecualikan bagi pejabat/pegawai BUMN, tetap saja kepastian pejabat/pegawai BUMN telah terlindungi oleh ketentuan peraturan perundang-undang yang baik. Bahkan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) secara tegas memberikan perlindungan terhadap anggota direksi BUMN yang menjalankan kegiatan korporasi dengan itikad baik. Dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT tersebut diatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian suatu perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa: (a) kerugian itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian itu. Artinya, sepanjang pejabat/pegawai BUMN menjalankan usaha korporasi dalam koridor yang ditentukan maka ia sama sekali tidak akan dikenai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.

[3.16] Menimbang bahwa Pemohon memohon agar makna “setiap orang” ditafsir oleh Mahkamah tidak termasuk pejabat/pegawai BUMN yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari BUMN itu sendiri. Terhadap hal demikian, Mahkamah berpendapat makna yang dimohonkan Pemohon tidak perlu dicantumkan secara expressis verbis bersama-sama dengan frasa “setiap orang” karena sebenarnya terdapat proses peradilan, yang berujung pada vonis hakim, yang akan menilai perihal itikad baik dimaksud sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Jika pejabat/pegawai BUMN tidak terbukti memiliki itikad buruk dalam tindakan/aksi korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, tentu secara hukum pejabat/pegawai bersangkutan tidak akan dijatuhi pidana atas dakwaan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan kata lain, menurut Mahkamah, sifat “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak dapat begitu saja dijadikan dasar untuk memidana orang (baik orang perseorangan maupun korporasi) selama tidak dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan itikad buruk. Apalagi menurut Mahkamah, sebenarnya di dalam ketentuan yang dimohonkan pengujian a quo telah tersirat pengecualian pidana bagi pejabat/pegawai BUMN yang menjalankan tindakan/aksi korporasi dengan itikad baik. Hal demikian terdapat pada frasa “melawan hukum” pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan dalam frasa “dengan tujuan” pada Pasal 3 UU Tipikor. Bahkan rumusan Pasal 3 UU Tipikor dengan jelas memuat kata “menyalahgunakan”, yang tindakan “menyalahgunakan” ini tidak akan dapat terjadi tanpa adanya itikad buruk.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sudah terkandung syarat bahwa setiap orang harus terbukti memiliki itikad buruk untuk dapat dipidana dengan ancaman merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, permohonan Pemohon agar Mahkamah menyatakan frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya secara bersyarat sepanjang frasa “setiap orang”dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai tidak termasuk Pejabat/Pegawai Badan Usaha Milik Negara yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari Badan Usaha Milik Negara itu sendiri, adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berkait erat dengan frasa “setiap orang” dalam ketentuan yang sama, yang juga dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Kaitan demikian terletak pada siapa pihak yang dimaksud dalam frasa “setiap orang”,yang menurut Pemohon tidak seharusnya dipidana dengan alasan “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. “Setiap orang” yang dimaksudkan oleh Pemohon adalah pejabat/pegawai BUMN. Adapun mengenai konstitusionalitas frasa “setiap orang” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.13]sampai dengan Paragraf [3.17]di atas;

[3.19] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...”dan Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...”merupakan ancaman terhadap siapa saja yang melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara karena perbuatan melawan hukum;

[3.20] Menimbang bahwa potensi kerugian keuangan negara acapkali menimbulkan persepsi telah terjadi kerugian negara yang mengarah pada dugaan korupsi.Padahal kondisi demikian sangat mungkin disebabkan karena negara melakukan penyertaan modal kepada entitas bisnis yang kemudian dalam perkembangannya entitas bisnis tersebut mengalami kerugian, sehingga modal penyertaan dari negara ikut berkurang atau habis;

[3.21] Menimbang bahwa perbedaan penilaian demikian terjadi karena penyertaan modal negara kepada BUMN berada pada irisan wilayah publik dan privat. Modal yang disertakan kepada BUMN pada dasarnya adalah kekayaan/perbendaharaan negara yang berada di dalam APBN, sehingga sudah sewajarnya,bahkan harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan kekayaan negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain, kekayaan negara yang disertakan sebagai modal usaha kepada persero maupun entitas bisnis lain pada kenyataannnya dikelola berdasarkan prinsip-prinsip bisnis, dan secara hukum persero dimaksud tunduk pada UU PT, UU BUMN, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur kegiatan bisnis, yang berhulu pada asas-asas hukum perdata, antara lain asas kebebasan berkontrak. Dalam penalaran yang wajar, maka sangat mungkin bahwa kekayaan negara yang disertakan sebagai modal usaha persero akan berkurang dan/atau hilang manakala entitas bisnis yang mengelola modal tersebut mengalami kerugian. Rugi atau berkurangnya modal penyertaan dari negara demikian, menurut Mahkamah, memang dapat dipahami sebagai kesalahan perhitungan bisnis atau kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis. Namun kesalahan perhitungan atau kesalahan pengambilan keputusan bisnis demikian menurut Mahkamah adalah berbeda, dan tidak dapat disamakan, dengan kesalahan atau kelalaian sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa, dalam kaitannya dengan norma UU Tipikor yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon, kerugian BUMN akibat aktivitas bisnis tidak serta-merta mengakibatkan pengelolanya diancam pidana karena merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

[3.22] Menimbang bahwadi sisi lain, potensi kerugian demikian telah diantisipasi oleh dunia bisnis dengan menerapkan konsep business judgment rule bagi pengelola perusahaan, di mana diasumsikan pengelola perusahaan dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan kepentingan pribadi, bertindak secara rasional, jujur, dan meyakini bahwa tindakannya adalah yang terbaik untuk perusahaan. Sehingga pengelola perusahaan tidak dapat dituntut secara hukum ketika tindakan atau keputusannya ternyata mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Konsep business judgment rule, atau yang setara dengan itu, telah diakomodir dalam UU 40/2007, yaitu dalam Pasal 97 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut:

(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuhtanggung jawab.
(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
(5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud padaayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
(6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.

Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 di atas dengan jelas mengatur bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian, apalagi dipidana karenanya, selama dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah makna yang dimohonkan Pemohon untuk dilekatkan dengan frasa “Setiap orang” dan frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah sesuai dengan makna UU Tipikor, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam kaitannya dengan BUMN, baik yang berbentuk persero, persero terbuka, maupun perusahaan umum. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sama sekali tidak mengandung ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab, khusus bagi pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN, pengelolaannya tunduk pada ketentuan pengelolaan perseroan dan/atau perseroan terbatas yang diatur dalam UU BUMN dan UU PT (in casu UU 40/2007). Tegasnya, sepanjang pengelolaan kegiatan korporasi dilakukan dengan itikad baik dan tidak terdapat moral hazard, maka apabila ada dugaan tindak pidana, proses penegakan hukumlah yang menilainya apakah pejabat/pegawai BUMN melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sepanjang frasa “Setiap orang” tidak dimaknai sebagai “tidak termasuk Pejabat/ Pegawai Badan Usaha Milik Negara yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari Badan Usaha Milik Negara itu sendiri”, serta sepanjang frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak dimaknai “tidak termasuk Kerugian perusahaan akibat itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari Badan Usaha Milik Negara itu sendiri”, adalah tidak beralasan menurut hukum.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Supriyono

Pasal 38 ayat (1) dan kata “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian kata “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) dan kata “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama permohonan Pemohon terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa “permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus”. Ketentuan tersebut diperjelas dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang menyatakan:
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat:
a. Identitas Pemohon, meliputi:
- Nama
- Tempat tanggal lahir/ umur
- Agama
- Pekerjaan
- Kewarganegaraan
- Alamat Lengkap
- Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)

b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
- kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
- kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
- alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud Pasal 4, diuraikan secara jelas dan rinci.

c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2), yaitu:
- mengabulkan permohonan Pemohon;
- menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
- menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3), yaitu:
- mengabulkan permohonan Pemohon;
- menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
- menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

e. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya;
Berdasarkan ketentuan di atas, setelah dihubungkan dengan permohonan a quo, Mahkamah menemukan fakta bahwa permohonan Pemohon hanya terdiri dari bagian Pendahuluan, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, dan Petitum, tidak ada bagian Posita (alasan-alasan permohonan) yang merupakan bagian penting dari permohonan Pemohon karena harus memuat uraian yang membuktikan inkonstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga tidak menguraikan secara jelas dan rinci mengenai adanya pertentangan antara kata “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 dan kata “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian. Padahal, dalam persidangan pendahuluan pada tanggal 12 September 2019 Mahkamah telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya dengan menjabarkan secara rinci dasar-dasar dan alasan-alasan permohonan dikaitkan dengan norma UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian. Tidak hanya itu, Mahkamah juga memberikan nasihat agar Pemohon mengikuti sistematika permohonan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang yang terdiri atas bagian Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Alasan Permohonan (Posita) dan Petitum, sehingga permohonan Pemohon menjadi lebih mudah dipahami. Pemohon juga diminta untuk melihat laman Mahkamah dan mencari Peraturan Mahkamah Konstitusi dan juga contoh permohonan Pemohon yang bisa dijadikan acuan untuk menyusun sistematika permohonannya [vide Risalah Sidang tanggal 12 September 2019];
Bahwa meskipun dalam persidangan pendahuluan Mahkamah telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, namun dalam perbaikan permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 26 September 2019, permohonan Pemohon ternyata tetap tidak sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diuraikan di atas dan Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang dimohonkan untuk diuji dengan norma UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah Pemohon tidak dapat menjelaskan alasan yang menjadi dasar bahwa kata “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 dan kata “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian Undang-Undang a quo menjadi kabur (obscuur).
[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar bahwa kata “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 dan kata “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, sehingga permohonan menjadi kabur (obscuur). Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Suharjo Triatmanto

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian terhadap Pasal yang menggunakan kata “Komisi” pada frasa “Komisi Pemilihan Umum” dalam UU 7/2017 dan UU 12/2011.

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dan UU 12/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan permohonan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai kejelasan permohonan Pemohon sebagai berikut:

[3.3.1] Bahwa setelah mencermati secara seksama permohonan Pemohon, telah ternyata Pemohon tidak menguraikan secara sistematis pada bagian kedudukan hukum Pemohon beserta kaitannya dengan pokok permohonan Pemohon sehingga tidak dapat diketahui relevansi antara norma yang diajukan pengujian dengan kedudukan hukum Pemohon serta kerugian konstitusional apa yang dialami oleh Pemohon. Selain itu dalam bagian dalil permohonan Pemohon tidak menguraikan secara spesifik norma atau Pasal manakah dari UU 7/2017 dan UU 12/2011 yang diajukan untuk dibatalkan atau diuji konstitusionalitasnya, karena pada setiap uraian, Pemohon memohon untuk membatalkan keseluruhan UU 7/2017 dan UU 12/2011. Selain itu, pada bagian Petitum, Pemohon hanya memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya tanpa menyebutkan norma Pasal dan undang-undang yang dimohonkan dan apa yang sebenarnya dimohonkan oleh Pemohon terhadap norma a quo. Permohonan yang demikian tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang- Undang (PMK 06/2005) yang pada pokoknya menyatakan agar permohonan memuat:
“Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Pengujian undang- undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak/dan atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian, dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.

[3.3.2] Bahwa terkait dengan uraian dan sistematika permohonan Pemohon, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 10 September 2019, Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa norma undang-undang yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Lebih lanjut Panel Hakim juga telah menyarankan kepada Pemohon untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Mahkamah (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 43/PUU-XVII/2019, tanggal 10 September 2019). Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 20 September 2019, permohonan Pemohon tetap tidak jelas dan selain itu Pemohon tetap tidak menguraikan permohonannya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang- Undang dan juga tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945.

[3.3.3] Bahwa lagipula setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan Pemohon telah ternyata tidak terdapat kesesuaian antara alasan-alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi atau posita) dengan hal- hal yang diminta untuk diputus (petitum) sehingga membuat permohonan a quo semakin tidak jelas.

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN / 23-10-2019

Rolas Jakson Tampubolon, S.H.

Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

Dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 40/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang–Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.3] dan paragraph [3.4 di atas, selanjutya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan:
“(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan ……..”

2. Bahwa Pemohon mendalilkan dalam permohonannya sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai Pendeta Pembantu [vide bukti P-2]. Dalam kualifikasinya tersebut, Pemohon mengganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menjadi terhalangi dengan berlakunya frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan” dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan karena Pemohon tidak dapat memberikan pelayanan dalam rangka mencegah perceraian pada jemaatnya;

3. Bahwa Pemohon lebih lanjut menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional yang dideritanya sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang semata-mata Pemohon hanya mengutip rumusan norma Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan secara partial yakni frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan……”, Adapun secara utuh ketentuan Pasal 39 UU Perkawinan menyatakan sebagai berikut:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Norma pasal a quo merupakan norma umum yang berlaku untuk semua agama yang diakui di Negara Indonesia. Artinya perceraian dari agama mana pun hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, apakah untuk agama Kristen baik Kristen Protestan maupun Kristen Katholik, demikian pula untuk agama Islam perceraian juga hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Sebelum pengadilan memutus perceraian tersebut harus terlebih dahulu dilakukan proses perdamaian antara suami dan istri, namun apabila tidak berhasil maka perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan, dan ketika perceraian diajukan ke pengadilan harus dilakukan prosedur mediasi (vide Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi).
Mediasi dalam kasus perceraian merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Secara filosofis mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih kepada Para Pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan. Dengan demikian, sebelum sampai pada putusan hakim pasangan suami-isteri sah bercerai maka ada proses mediasi agar pasangan suami-isteri tidak bercerai. Oleh karena itu alasan Pemohon bahwa Pemohon tidak dapat memberikan pelayanan dalam rangka mencegah perceraian pada jemaatnya merupakan alasan yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa hak konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan” dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan.
4. Bahwa apabila dihubungkan antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan” dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband). Hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) sama sekali tidak ada yang dirugikan oleh berlakunya frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan” dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan. Sehingga dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan Pemohon tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan” dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan;

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai Pendeta Pembantu yang memiliki tugas untuk memberikan pelayanan keagamaan kepada jemaatnya tidaklah mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian Pemohon dengan berlakunya norma a quo. Sebab yang seharusnya mempunyai hubungan hukum secara langsung seandainya adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma tersebut adalah para pihak yang akan melakukan perceraian itu sendiri. Dengan demikian menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.6] Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sehingga pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Andi alias Aket Bin Liu Kim Liong yang diwakili oleh kuasa hukumnya Janses E. Sihaloho, S.H., Riando Tambunan, S.H., B.P. Beni Dikty Sinaga, S.H., Anton Febrianto, S.H., Azis Purnayudha, S.H., Gelar Lenggang Permada, S.H., M.H., Arif Suherman, S.H., Imelda, S.H., dan Maria Wastu Pinandito, S.H., para Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor hukum Sihaloho & Co. Law Firm

Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusional dalam Permohonan a quo sebagai berikut:

1). Bahwa setelah membaca uraian dan argumentasi Permohonan Pemohon, sulit untuk tidak menyatakan bahwa dalam Permohonan a quo secara implisit terkandung maksud, atau setidak-tidaknya harapan, Pemohon agar Mahkamah memutus Permohonan a quo dengan langsung mengaitkannya dengan perkara konkret yang sedang dihadapi Pemohon. Hasil penalaran demikian menjadi lebih jelas ketika seluruh argumentasi Permohonan yang pada intinya lebih banyak menjelaskan atau menguraikan kasus yang telah dan sedang dihadapi Pemohon dihubungkan dengan petitum Permohonan a quo. Mahkamah tidak memiliki kewenangan demikian. Dalam pelaksanaan kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD 1945, bagi Mahkamah, uraian perihal kasus konkret demikian lebih banyak berguna sebagai bahan pertimbangan untuk menilai anggapan Pemohon ihwal ada atau tidaknya kerugian hak konstitusional yang dialami atau potensial dialami Pemohon guna menentukan ada atau tidaknya kedudukan hukum Pemohon, bukan sebagai argumentasi perihal inkonstitusionalnya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Benar bahwa penjelasan mengenai kerugian hak konstitusional dalam rangka menentukan kedudukan hukum Pemohon acapkali berhimpitan dengan argumentasi mengenai pertentangan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945, namun penerimaan kedudukan hukum seseorang atau suatu pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tidak serta-merta berarti terbuktinya pertentangan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dengan UUD 1945.

2). Bahwa sesungguhnya yang menjadi persoalan konstitusional dalam Permohonan a quo, apakah benar Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika tidak memberikan kepastian hukum dan tidak adil (bukan hanya bagi Pemohon) sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? Atau, dengan rumusan yang lebih spesifik, apakah benar pemberian ancaman dan penjatuhan pidana yang sama bagi pelaku tindak pidana percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dengan pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika tidak memberi kepastian hukum dan tidak adil sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sepanjang berkenaan dengan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum dalam rumusan norma Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika. Sebab, Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika jelas merujuk kepada, antara lain, Pasal 114 UU Narkotika. Dengan telah jelasnya rujukan dimaksud maka persoalan pidana apa yang akan diterapkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika sepenuhnya merupakan kewenangan dan penilaian hakim yang memutus kasus konkret yang sedang diadilinya sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Mahkamah tidak berwenang mencampurinya.
Sementara itu, perihal apakah pemberian ancaman sanksi demikian adil atau tidak, Mahkamah berpendapat bahwa persoalan keadilan dalam konteks permohonan a quo tidak boleh dinilai semata-mata dipertimbangkan berdasarkan sudut pandang dan kepentingan Pemohon sebab yang diuji adalah norma undang-undang yang berlaku umum, bukan hanya berlaku bagi Pemohon. Oleh karena itu, kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara harus turut dipertimbangkan, lebih-lebih ketika undang-undang yang dimohonkan pengujian demikian besar dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pertama-tama Mahkamah akan mempertimbangkan Pasal 114 UU Narkotika yang dirujuk oleh Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dalam permohonan Pemohon. Pasal 114 UU Narkotika menyatakan:

(1). Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2). Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Dengan mempertimbangkan secara saksama rumusan serta maksud yang termaktub dalam Pasal 114 UU Narkotika serta dengan senantiasa mengingat ancaman serta bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.10], Mahkamah berpendapat bahwa percobaan dan lebih-lebih permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 UU Narkotika tidak mengurangi, apalagi meniadakan, ancaman serta bahaya yang ditimbulkan oleh terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika mengingat sifat “particularly serious” tindak pidana atau kejahatan narkotika dan psikotropika dimaksud. Dikatakan tidak mengurangi apalagi meniadakan, sebab, dalam hal percobaan, hal yang membedakannya dengan tindak pidana yang sempurna adalah bahwa pelaku percobaan tidak atau belum selesai melakukan perbuatannya dan penyebab tidak atau belum selesainya itu bukan karena keinginan pelaku melainkan karena faktor di luar diri pelaku – misalnya, dalam hal ini, karena pelaku telah ditangkap sebelum berhasil menyelesaikan perbuatannya. Sementara itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika, dalam batas penalaran yang wajar, tidak ada bedanya dengan perbuatan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 UU Narkotika. Oleh karena itu, pemberlakuan ancaman pidana yang sama bagi pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dengan pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Narkotika tidaklah tepat jika dikatakan tidak adil. Dilihat dari perspektif fungsi khusus hukum pidana, yaitu melindungi kepentingan hukum, tidak boleh dilupakan bahwa kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana bukan semata-mata kepentingan hukum individu tetapi juga kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum negara. Tidak pula boleh dilupakan bahwa UU Narkotika, sebagaimana juga Konvensi Narkotika dan Psikotropika, adalah pada dasarnya menekankan pada fungsi pencegahan berkembang dan meluasnya kejahatan narkotika dan psikotropika. Fungsi demikian menuntut, salah satunya, pemberian ancaman sanksi yang keras dan tegas bagi pelaku kejahatan atau tindak pidana ini.

3). Bahwa, selain itu, petitum Pemohon (angka 2) menyatakan, “Menyatakan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Republik Indonesia (sic!) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya secara bersyarat sepanjang kalimat (sic!) “Pidana Penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.” Dimaknai diberlakukan hukuman maksimal yaitu hukum mati dan tidak diberlakukan pengurangan hukuman sebagai delik percobaan yang harus dikurangi 1/3 (sepertiga) hukumannya dari ketentuan pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP”.
Dengan rumusan petitum demikian, Pemohon bukan lagi sekadar meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran terhadap norma undang-undang, in casu Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika, melainkan merumuskan norma baru yang sesuai dengan kasus konkret yang sedang dihadapi Pemohon. Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah karena apabila petitum demikian dikabulkan, quod non, Mahkamah telah mengambil alih fungsi dan kewenangan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Lagi pula, norma Pasal 114 UU Narkotika yang oleh Pemohon dijadikan bagian dari syarat untuk menyatakan pertentangan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika telah pernah diuji dan oleh Mahkamah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XV/2017], sehingga sebagian dari alasan yang dijadikan syarat oleh Pemohon untuk membuktikan pertentangan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika dengan UUD 1945 telah ternyata tidak valid.

2. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas,Mahkamah berpendapat,dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Syamsul Bachri Marasabessy dan Yoyo Effendi

Pasal 419 dan Pasal 420 UU Pemilu sepanjang frasa “daerah pemilihan”

Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa UU 7/2017 sebagai pelaksanaan Pasal 22E UUD 1945 pada saat disahkan sekaligus mengesahkan penentuan daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi sebagaimana termaktub dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU 7/2017 a quo. Adapun proses penyusunan daerah pemilihan didasarkan pada data kependudukan yang telah dimuktahirkan dan data wilayah. Untuk daerah pemilihan anggota DPR ditentukan adalah provinsi/ kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Apabila penentuan ini tidak dapat diberlakukan maka penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/ 28 kota. Adapun, daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Sementara itu, untuk daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan [vide Pasal 189 ayat (1) dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017]. Untuk setiap daerah pemilihan pun telah ditentukan jumlah kursi masing-masing jenis pemilihan. Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi. Penentuan daerah pemilihan anggota DPR untuk Pemilu 2019 dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan perubahan jumlah alokasi kursi, penataan daerah pemilihan, dan perkembangan data daerah pemilihan (vide Pasal 187 UU 7/2017). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 12 (dua belas) kursi;

2. Bahwa dalam menyusun dan menentukan daerah pemilihan baik untuk pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan sebagaimana telah termaktub dalam UU 7/2017 yang pada intinya adalah: (1) prinsip kesetaraan nilai suara yang merupakan upaya untuk meningkatkan nilai suara (harga kursi) yang setara antara satu daerah pemilihan dan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai (one person, one vote, one value); (2) prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional yakni mengutamakan jumlah kursi yang besar sehingga persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik sesetara mungkin dengan persentase suara sah yang diperoleh; (3) prinsip proporsionalitas yakni dengan memerhatikan kursi antardaerah pemilihan agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan; (4) prinsip integralitas wilayah yakni dengan memerhatikan beberapa provinsi, beberapa kabupaten/kota, atau kecamatan yang disusun menjadi satu daerah pemilihan untuk daerah perbatasan, dengan tetap memerhatikan keutuhan dan keterpaduan wilayah, serta mempertimbangkan kondisi geografis, sarana perhubungan, dan aspek kemudahan transportasi; (5) prinsip berada dalam cakupan wilayah yang sama yakni untuk penyusunan daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kabupaten/kota maka seluruhnya harus tercakup dalam suatu daerah pemilihan anggota DPR. Sedangkan, untuk 29 penyusunan daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kecamatan maka seluruhnya tercakup dalam suatu daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi; (6) prinsip kohesivitas yakni penyusunan daerah pemilihan harus memerhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat, dan kelompok minoritas; dan (7) prinsip kesinambungan yakni dalam penyusunan daerah pemilihan harus memerhatikan daerah pemilihan yang sudah ada pada pemilu tahun sebelumnya, kecuali apabila alokasi kursi pada daerah pemilihan tersebut melebihi batasan maksimal alokasi kursi setiap daerah pemilihan atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip lainnya yang telah ditentukan (vide Pasal 185 UU 7/2017).

3. Bahwa secara konstitusional, UUD 1945 tidak menentukan model pilihan sistem pemilu. Demikian pula, UUD 1945 pun tidak menentukan model sistem yang akan digunakan untuk menentukan harga sebuah kursi dalam suatu daerah pemilihan apakah akan menggunakan sistem Sainte Lague sebagaimana yang saat ini digunakan oleh UU 7/2017 atau sistem Hare Quote atau sistem yang lain. Penentuan terhadap sistem yang akan digunakan merupakan ranah pengaturan undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945.

4. Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan mengalami perlakuan diskriminatif dikarenakan adanya sistem penentuan perolehan kursi legislatif sebagaimana diatur oleh norma Pasal 419 dan Pasal 420 UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan para Pemohon, sistem tersebut menyebabkan tidak dilibatkannya suara para Pemohon dalam proses konversi suara menjadi kursi sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, suatu ketentuan dapat dikatakan bersifat diskriminatif apabila terdapat pembedaan perlakuan terhadap hal yang sama dengan didasari pertimbangan ras, suku, agama, bahasa, warna kulit, jenis kelamin, status ekonomi, status sosial, atau keyakinan politik tertentu. 30 Setelah Mahkamah mencermati rumusan norma Pasal 419 dan Pasal 420 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon, tidak terdapat ketentuan yang dapat ditafsirkan memperlakukan berbeda di antara peserta pemilihan umum dan antara para pemilih yang berhak memberikan suara. Dengan kata lain, ketentuan tersebut berlaku sama terhadap seluruh partai politik peserta pemilu tanpa melihat apakah partai politik besar atau kecil ataukah partai politik baru atau lama. Tidak ada ketentuan dalam norma a quo yang menyebabkan para Pemohon terhalangi haknya untuk memberikan suara dan tidak ada pula aturan yang memberikan perlakuan berbeda yang menyebabkan para Pemohon kehilangan haknya. Peraturan yang mengatur mekanisme pemilu pada dasarnya hanya wajib menjamin hak bagi pemilih untuk memberikan suaranya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun aturan tersebut tidak dapat memastikan Pemilih mendapatkan hasil yang diharapkan atau diinginkan karena pemilu pada dasarnya adalah proses kontestasi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, norma Pasal 419 dan Pasal 420 tidak terbukti telah menimbulkan perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon mengenai Pasal 419 dan Pasal 420 sepanjang mengenai frasa “daerah pemilihan” bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

5. Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan anggapan para Pemohon ihwal mekanisme pembagian perolehan kursi dalam norma a quo bertentangan dengan asas jujur dan adil dalam Pemilu sebagaimana diatur Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalam hal ini, asas ‘jujur’ mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan agar dapat memastikan setiap warga negara dapat menyalurkan hak pilihnya sesuai dengan kehendaknya untuk menentukan pilihan politiknya dalam pemilu. Dalam hal ini ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu termasuk di dalamnya tata cara penentuan perolehan kursi anggota legislatif telah diatur dalam UU 7/2017 di mana kewajiban penyelenggara dan peserta Pemilu adalah melaksanakan Pemilu berdasarkan undang-undang dimaksud. Artinya peserta Pemilu dan juga warga negara yang memiliki hak pilih telah mengetahui mengenai aturan tersebut, termasuk mengenai tata cara perolehan kursi. Justru menjadi tidak adil dan tidak jujur apabila aturan tersebut diubah setelah 31 dilaksanakan pemilu dan telah didapatkan hasil perolehan suara. Lagi pula, sebagaimana ditegaskan di atas, penentuan model sistem termasuk penentuan pembagian kursi merupakan ranah pengaturan undang-undang. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada prinsip konstitusional yang dilanggar maka sistem yang ditentukan dalam undang-undang, in casu UU 7/2017, tidak dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon mengenai Pasal 419 dan Pasal 420 sepanjang frasa “daerah pemilihan” UU 7/2017 bertentangan dengan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

6. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma dalam UU 7/2017 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2019

Alamsyah Panggabean

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU PEMILU

Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa setelah membaca dengan saksama pemosisian norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 tersebut, Mahkamah menjadi tidak bisa memahami mengapa Pemohon menggunakan norma Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan sebagai dasar pengujian. Kesulitan Mahkamah tersebut tidak terlepas dari posisi atau keberadaan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan sebelum perubahan tersebut yang telah kehilangan eksistensinya. Dalam hal ini, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan telah diubah menjadi Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 ketika dilakukan Perubahan Kedua tahun 2000 dan Perubahan Ketiga tahun 2001. Sementara itu, Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan telah diubah sedemikian rupa dengan konstruksi dan rumusan yang berbeda pada Perubahan Keempat UUD 1945 tahun 2002. Dengan demikian, menggunakan Pasal 6 ayat (2) serta Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 menjadi tidak relevan karena materinya tidak berlaku lagi.

2. Bahwa selain dasar pengujian, dalam alasan mengajukan permohonan (posita atau fundamentum petendi), Pemohon tidak menjelaskan argumentasi menggunakan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017. Mahkamah semakin sulit memahami alasan permohonan ketika terpapar keinginan Pemohon untuk menjadi anggota Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR) sehingga bisa mengusulkan perubahan Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Kerumitan kian sulit dihindari karena Pemohon menilai MPR, pada dasarnya, adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Terlepas dari keinginan Pemohon menjadi anggota MPR tersebut, berkenaan dengan tidak adanya penjelasan menggunakan norma dalam UUD 1945 sebagai dasar untuk pengujian, Mahkamah memaknai pasal pengujian tersebut hanyalah pajangan belaka tanpa menjelaskan dan mengaitkan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma mempertahankan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

3. Bahwa selanjutnya ihwal kaitan antara dasar mengajukan permohonan (posita atau fundamentum petendi) dengan hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum), permohonan a quo tidak menunjukkan ketersambungan antara kedua bagian tersebut dan di antara petitum terdapat saling bertentangan. Misalnya, Petitum Angka 2, Pemohon memohon frasa “bebas, rahasia, jujur, dan adil” dalam Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “jujur dan adil”. Sementara itu, dalam Petitum Angka 3, Pemohon memohon Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai frasa “bebas dan rahasia”.

Selanjutnya, tidak hanya petitum yang saling bertentangan, ihwal tidak terdapatnya ketersambungan atau keterkaitan antara dasar mengajukan permohonan dengan hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah, setidaknya, dapat dibaca dari Petitum Angka 4 yang meminta Mahkamah “memerintahkan pemungutan suara ulang untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 di seluruh TPS Negara Republik Indonesia”. Bahkan, Petitum Angka 4 tersebut makin sulit untuk dipahami dengan adanya frasa “frasa dimaknai” namun tidak dinyatakan makna apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Pemohon.

4. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, telah terang dan tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan tidak jelasnya keterkaitan antara dasar mengajukan permohonan dengan hal- hal yang diminta untuk diputus Mahkamah, serta di antara petitum terdapat pertentangan, sehingga menyebabkan permohonan menjadi kabur (obscuur).

5. Menimbang bahwa oleh karena permohonan kabur (obscuur) maka permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2019

H. Armein Kusumah, S.H., Dra.Hj. Sri Wuryatmi, M.M., Drs. H. Saman, Ak., M.M.

Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan sepanjang frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “pihak yang tidak memiliki hubungan langsung”, Mahkamah mempertimbangkansebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa berdasarkan Pasal 53 ayat (3) UU Yayasan, pemeriksaan yayasan dalam hal adanya dugaan bahwa organ yayasan melakukan perbuatan yang merugikan negara dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum. Namun,berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan, bila ada dugaan organ yayasan melakukan perbuatan melawan hukum, atau bertentangan dengan Anggaran Dasar, lalai dalam melaksanakan tugasnya, melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga, hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan. Dari ketentuan tersebut, pemeriksaan terhadap yayasan haruslah didasarkan pada Penetapan Pengadilan baik atas permintaan Kejaksaan maupun atas permintaan pihak ketiga yang berkepentingan;

[3.10.2] Bahwa pengertian“pihak ketiga yang berkepentingan” dalam UU Yayasan pada dasarnya tidak diuraikan secara jelas, namun frasa a quo tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Yayasan yang menyatakan, “Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2)”. Dengan demikian, penentuan ditolak atau dikabulkannya pemeriksaan dimaksud, termasuk siapa pihak ketiga yang berhak mengajukan permohonan pemeriksaan terhadap yayasan sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (1), ditentukan oleh pengadilan. Artinya, siapapun pihak ketiga yang merasa dirugikan karena perbuatan yayasan maka yang bersangkutan berhak mengajukan permohonan pemeriksaan dimaksud;

[3.10.3] Bahwa dari ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (1) UU Yayasan dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang merasa punya kepentingan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) dipersyaratkan mengajukan permohonan ke pengadilan dengan menyebut alasan-alasannya dan selanjutnya menjadi kewenangan hakim untuk mempertimbangkan apakah menolak atau mengabulkanpermohonan dimaksud. Pihak ketiga yang berkepentingan dalam UU Yayasan akan menjadi jelas ketika hakim menentukan pihak-pihak yang mengajukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dikabulkan berdasarkanalasan dalam permohonan dan hasil pemeriksaan di persidangan. Dalam hal ini, untuk memperkuat keyakinannya, pengadilan atau hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan pihak ketiga dimaksud agar mempertimbangkan prinsip-prinsip audi et alteram partem;

[3.10.4] Bahwa frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” tidaklah dapat dimaknai atau ditafsirkan tanpa dikaitkan dengan penetapan pengadilan, sehingga tanpa adanya penetapan pengadilan maka tidak dapat ditentukan kedudukan pihak ketiga yang berkepentingan secara sepihak di luar pemeriksaanpengadilan, sehingga tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2019

Marsudi

Pasal 36 ayat (1) huruf g

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 36 ayat (1) huruf g UU 37/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama permohonan Pemohon, serta memeriksa bukti Pemohon yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-5, sebelum Mahkamah lebih jauh mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, Pemohon dalam permohonannya telah ternyata tidak dapat menguraikan atau menjelaskan secara jelas dan rinci mengenai adanya pertentangan antara norma Pasal 36 ayat (1) huruf g UU 37/2008 dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana petitum Pemohon pada huruf b. Meskipun dalam persidangan pendahuluan pada tanggal 29 April 2019 Mahkamah telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi, namun dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 7 Mei 2019 melalui email, Pemohon ternyata tetap tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang dimohonkan untuk diuji dengan UUD 1945.

Pemohon hanya menguraikan secara sumir alasan menguji Pasal 36 ayat (1) huruf g UU 37/2008 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menurut Pemohon norma ketentuan a quo yang pada pokoknya menyatakan adanya penolakan laporan oleh Ombudsman karena “tidak ada maladministrasi” merupakan norma yang bersifat subjektif dan tidak memiliki kepastian hukum serta kekuatan hukum karena tidak adanya fakta dan data mengenai maladministrasi. Pemohon juga menyatakan dalam permohonannya bahwa dengan tidak adanya kepastian hukum dan kekuatan hukum tersebut maka akan melanggar hak konstitusional Pemohon yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta Pemohon merasa tidak memiliki jaminan atas pengakuan. Namun Mahkamah tidak menemukan korelasi antara uraian posita tersebut dengan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum). Selain uraian mengenai pertentangan norma pasal a quo dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak jelas, juga tidak ada sama sekali uraian pertentangan norma pasal a quo dengan ayatayat lain dari Pasal 28D UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah tidak dapat menemukan keterkaitan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan petitum. Berdasarkan uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 36 ayat (1) huruf g UU 37/2008 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian Undang-Undang a quo menjadi kabur (obscuur).

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar bahwa Pasal 36 ayat (1) huruf g UU 37/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan menjadi kabur (obscuur).

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2019

Drs. Mardjan Paputungan, M.Si., dkk.. dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya Dr. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H., dkk yang kesemuanya adalah advokat dan penasihat hukum pada “Kantor H. Ikhsan Abdullah & Partners Law Firm”

Pasal 5, Pasal 6, serta Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH

Alinea Keempat Pembukaan UUD Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 5, Pasal 6, serta Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

...
d. bahwa pada tanggal 20September 2019 Mahkamah menerima surat bertanggal 20September 2019 dari para Pemohon yang menyatakan penarikan kembali/pencabutan permohonan Perkara Nomor49/PUU-XVII/2019, dengan disertai Surat Kuasa Khusus Untuk Mencabut Permohonan Nomor 49/PUU-XII/2019 yang ditandatangani oleh Pemohon prinsipal Drs. Mardjan Paputungan, M.Si., dkk yang memberikan kuasa kepada i) Dr. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H.; ii) H. Syaeful Anwar, S.H., M.H.; iii) Yusriza Abdullah Pratama, S.H., M.H.; iv) Raihani Keumala, S.H.; v) Deny Adi Pratama, S.H.; dan vi) Nafisa Ayudina, S.H., yaitu para advokat dan penasihat hukum pada “Kantor H. Ikhsan Abdullah & PartnersLaw Firm” yang beralamat di Wisma Bumi Putera Lantai 15, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 75 Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta;
e. bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MKmenyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atas selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;
f. bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 25 September 2019 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan permohonan Perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG TATA BERACARA DALAM PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-09-2019

Hj. Maphilinda Syahrial diwakili oleh kuasa hukumnya Grees Selly, S.H., M.H., dan Surya Abdi Juliansyah, S.H.

Pasal 3 huruf (b) Peraturan MK 2/2018

Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 3 huruf (b) Peraturan MK 2 Tahun 2018 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.1.1] Bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “(1) sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan; (2) dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari”;

[3.1.2] Bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU MK tersebut, Mahkamah telah menjadwalkan pelaksanaan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada hari Kamis, 12 September 2019, pukul 13.30 WIB dan Pemohon telah dipanggil secara sah dan patut oleh Mahkamah dengan Surat Panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 381.42/PAN.MK/9/2019, bertanggal 5 September 2019, perihal Panggilan Sidang dan Surat Panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 387/PAN.MK/9/2019, bertanggal 10 September 2019, perihal Perubahan Waktu Sidang. Namun demikian, pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan oleh Mahkamah pada tanggal 12 September 2019 yang telah ditentukan, Pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah. Meskipun demikian, sesuai dengan kepatutan berdasarkan hukum acara yang berlaku, Majelis Hakim memerintahkan kepada petugas untuk memanggil Pemohon agar memasuki ruang sidang, namun Pemohon tetap tidak hadir. Oleh karena itu, Mahkamah menilai bahwa Pemohon tidak menunjukkan kesungguhan untuk mengajukan permohonan a quo. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam rangka memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan maka permohonan Pemohon haruslah dinyatakan gugur.

[3.1.3] Bahwa oleh karena permohonan dinyatakan gugur maka tidak relevan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, dan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-09-2019

Anne Patricia Sutanto yang diwakili oleh Sari Agustin, Soesilowati Tanoedjaja, Arief Sunjaya, Denny Henry Samboh, Herry Supriyatna, dan Hendrik Setiawan, seluruhnya adalah para karyawan PT. Hollit Internasional

Pasal 56 huruf c UU PPHI

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 56 huruf c UU PPHI dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:


[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap pokok permohonan Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:


[3.10.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan Petitum nomor 2 yang memohon agar Pasal 56 UU PPHI konstitusional bersyarat “sepanjang dimaknai prosesnya termasuk upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, berdasarkan hukum acara perdata umum yang berlaku di Negara Republik Indonesia”. Oleh karena pada perihal permohonan dan alasan permohonan hanya menjelaskan bahwa norma yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 56 huruf c UU PPHI dan pada alasan permohonan sama sekali tidak terdapat pula argumentasi mengenai pertentangan norma antara Pasal 56 UU PPHI dengan UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah Petitum nomor 2 tersebut adalah kabur;
Bahwa berkenaan dengan pengujian Pasal 56 huruf c UU PPHI, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:


[3.10.2] Bahwa ketentuan penyelesaian perselisihan hubungan industrial diawali dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan dianggap belum mampu mewujudkan perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Di samping proses penyelesaiannya agak rumit, putusannya pun tidak bersifat final, serta hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perorangan belum terakomodasi;


[3.10.3] Bahwa untuk mengatasi rumitnya tahapan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial maka lahirlah UU PPHI, yang salah satu sasaran pokok yang akan dicapai sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan UU PPHI yaitu untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis antara pekerja dan pemberi kerja dalam memperjuangkan hak-haknya serta untuk mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, tepat, adil dan murah. Diundangkannya undang-undang tersebut telah membawa perubahan besar dalam sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu lahirnya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang selama ini dilakukan melalui lembaga Panitia Penyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), Veto Menteri/Banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan kasasi ke Mahkamah Agung menjadi sederhana melalui penyelesaian lewat PHI;


[3.10.4] Bahwa untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung [vide Penjelasan UU PPHI];


[3.10.5] Bahwa Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah untuk kedua kali menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) menyatakan,

Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan di atas agar sejalan dengan asas penyelesaian perkara cepat, tepat, adil dan murah dalam perselisihan hubungan industrial, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 3/2018 yang pada angka II. Rumusan Hukum Kamar Perdata, bagian B. Perdata Khusus mengenai Pengadilan Hubungan Industrial, angka 3 menyatakan,

Upaya hukum perkara Perselisihan Hubungan Industrial, Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dapat diajukan kasasi sebagai upaya hukum terakhir sesuai Pasal 56, Pasal 57, Pasal 109, dan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali;


[3.10.6] Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 34 UU MA yang memungkinkan dilakukannya Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun tidak boleh diartikan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali. Pengaturan dalam Pasal 34 UU MA tersebut adalah pengaturan yang bersifat umum (lex generalis) yang harus dimaknai bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sepanjang ketentuan umum tersebut tidak dikecualikan oleh ketentuan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis), baik karena sifat perkaranya maupun karena syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat diajukannya Peninjauan Kembali. Dalam konteks demikian, Pasal 56 UU PPHI merupakan bentuk norma hukum spesialis dari Pasal 34 UU MA. Kekhususan demikian diberikan dengan pertimbangan agar penyelesaian perkara hubungan industrial ditujukan untuk menjamin terlaksananya asas cepat, tepat, adil, dan murah. Sehingga dengan meniadakan tahapan Peninjauan Kembali maka diharapkan tidak terganggunya proses produksi pada suatu perusahaan yang mempekerjakan karyawan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata bahwa sesungguhnya yang meniadakan upaya hukum Peninjauan Kembali bukanlah SEMA melainkan sifat perkara maupun syarat-syarat untuk dapat diajukannya Peninjauan Kembali yang diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum.


[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 UU PPHI adalah kabur, sedangkan sepanjang berkenaan dengan Pasal 56 huruf c UU PPHI adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-09-2019

Sunggul Hamonangan Sirait, S.H.,M.H.

Pasal 416 ayat (1) UU PEMILU

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 416 ayat (1) UU PEMILU dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah memperhatikan secara saksama dalil-dalil Pemohon telah ternyata bahwa keseluruhan dalil Pemohon sesungguhnya bertumpu pada anggapan Pemohon bahwa Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum sehingga dengan demikian menurut Pemohon Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, persoalan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah: apakah benar Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum sehingga bertentangan dengan gagasan negara hukum. Terhadap persoalan konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Terhadap persoalan konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 416 UU 7/2017 selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
Pasal 416
(1) Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
(2) Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(3) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih, luas secara berjenjang.
(5) Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.

2. Bahwa secara konstitusional, ketentuan yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

3. Bahwa konstruksi penalaran yang terbangun dari keseluruhan rumusan dalam Pasal 6A UUD 1945 tersebut adalah:
a. Pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus diajukan dalam satu pasangan, bukan terpisah antara calon Presiden dan calon Wakil Presiden;
b. Pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu di mana hal itu harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilu;
c. UUD 1945 tidak menentukan batas minimum maupun maksimum pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945;
d. Berapapun jumlah pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang menjadi peserta pemilu, jika salah satu pasangan calon telah memperoleh jumlah suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia maka pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksud dinyatakan sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dan karenanya dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
e. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas maka dilakukan pemilu putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memeroleh suara terbanyak pertama dan kedua. Selanjutnya, pasangan calon yang memeroleh suara terbanyak dalam putaran kedua ini, tanpa perlu lagi mempertimbangkan persebaran perolehan suara sebagaimana dimaksud pada huruf d, dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

4. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 sampai dengan angka 3 di atas telah ternyata tidak benar dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus diikuti setidak-tidaknya oleh tiga pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Bahkan, terlepas dari perdebatan perihal preferensi original intent dalam penafsiran konstitusi dibandingkan dengan metode penafsiran lainnya dan terlepas pula dari perdebatan perihal apakah pendapat-pendapat yang berkembang dalam proses perumusan Pasal 6A UUD 1945 dapat dianggap sebagai original intent, selama berlangsungnya sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tidak terdapat catatan yang menunjukkan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus diikuti setidak-tidaknya oleh tiga pasangan calon. Catatan penting yang dapat ditemukan dalam kaitan ini adalah bahwa pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang secara konstitusional dinyatakan sebagai pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden terpilih harus merepresentasikan keindonesiaan. Oleh karena itulah ditentukan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang di samping memersyaratkan perolehan suara terbanyak juga mengharuskan adanya persebaran minimum perolehan suara. Dengan demikian, dalam rumusan norma Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tersebut sama sekali tidak ada kekaburan penafsiran makna maupun penerapan sebagaimana didalilkan Pemohon.

5. Bahwa rumusan yang tertuang dalam Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 adalah diturunkan langsung dengan rumusan yang persis sama dari rumusan yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan hal ini pun dibenarkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, menjadi ganjil dan bertentangan dengan logika apabila norma undang-undang yang secara pasti merumuskan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945 dikatakan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon. Lagi pula, suatu undang-undang, in casu UU 7/2017, tidak mungkin menambahkan suatu norma sebagai turunan atau pengaturan lebih lanjut dari UUD 1945 jika penambahan norma demikian menjadikan norma itu justru bertentangan dengan UUD 1945, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Berdasarkan pertimbangan angka 1 sampai dengan angka 5 di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum sehingga bertentangan dengan gagasan negara hukum adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-09-2019

Dr. Bahrul Ilmi Yakup, S.H., M.H., Asosiasi Advokat Konstitusi, Iwan Kurniawan, Rosalina Pertiwi Gultom, S.H., Yaperson, Mustika Yanto, S.H., Asutra Ulesko, S.H., Turiman, S.H., Novrian, S.H., dan Abdul Jafar, S.H., M.H.

Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 416 UU Pemilu

Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (6), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal-pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a…
d. bahwa pada tanggal 3 September 2019 Mahkamah menerima surat bertanggal 31 Agustus 2019 dari Para Pemohon yang menyatakan menarik permohonan uji materi UU Pemilu terhadap UUD Tahun 1945 dengan registrasi Perkara Nomor Nomor 38/PUU-XVII/2019;
e. Terkait dengan penarikan permohonan, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”;
f. bahwa terhadap penarikan kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 17 September 2019 telah menetapkan permohonan penarikan kembali permohonan Perkara Nomor Nomor 38/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum.
g. bahwa berdasarkan seluruth pertibagnan di atas terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 21-05-2019

Octolin Hutagalung, S.H., Nuzul Wibawa, S.H., Hernoko D. Wibowo, S.H., M.H., ACIArb, dan Andrijani Sulistiowati, S.H., M.H. melalui kuasa pemohon Syahril Moehammad, S.H., M.H., dkk

Pasal 21 UU PTPK

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 21 UU PTPK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa menurut Pemohon, Pasal 21 UU PTPK sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” [sic!] bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Pemohon hal ini diakibatkan tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai perbuatan “secara langsung dan tidak langsung” yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan merintangi proses penyidikan, khususnya perbuatan yang dilakukan advokat dalam mendampingi kliennya.

Sebelum Mahkamah menjawab dalil tersebut, perlu Mahkamah tegaskan bahwa frasa “secara langsung dan tidak langsung” sebagaimana berulang-ulang disebutkan Pemohon dalam permohonannya, baik pada alasan permohonan maupun pada petitum, tidak terdapat dalam Pasal 21 UU PTPK. Adapun Pasal 21 UU PTPK selengkapnya menyatakan:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Dengan demikian dengan tidak terdapatnya frasa “secara langsung dan tidak langsung” dalam norma Pasal 21 UU PTPK maka telah membuat permohonan para Pemohon menjadi kabur sebab secara hukum frasa “secara langsung dan tidak langsung” memiliki konsekuensi hukum yang sangat berbeda dengan frasa “secara langsung atau tidak langsung” sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 UU PTPK. Frasa “secara langsung dan tidak langsung” sebagaimana terdapat dalam dalil para Pemohon memiliki konsekuensi hukum bahwa frasa tersebut bersifat kumulatif. Sedangkan frasa “secara langsung atau tidak langsung” dalam Pasal 21 UU PTPK memiliki konsekuensi hukum bahwa frasa tersebut bersifat alternatif.

Oleh karena itu dalil permohonan para Pemohon sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” dalam Pasal 21 UU PTPK adalah kabur.

[3.12] Menimbang bahwa menurut para Pemohon, Pasal 21 UU PTPK sepanjang frasa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi dan atau menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan” [sic!] bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak dimaknai bahwa perbuatan advokat yang melakukan pembelaan terhadap kliennya dengan itikad baik tidak termasuk perbuatan menghalangi, merintangi, menggagalkan dalam undang-undang a quo. Menurut para Pemohon, norma a quo menyebabkan seorang yang berprofesi sebagai advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya dapat dianggap menghalang-halangi penyidikan sebagaimana ketentuan Pasal 21 UU PTPK, padahal seorang advokat membela kliennya dengan itikad baik.

Sebelum menjawab dalil tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa frasa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi dan atau menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan” sebagaimana berulang-ulang dinyatakan para Pemohon dalam alasan permohonan maupun dalam petitum permohonan tidak terdapat dalam Pasal 21 UU PTPK. Bahwa Mahkamah sebelumnya telah menegaskan pada paragraf [3.11] mengenai isi lengkap dari Pasal 21 UU PTPK dan dari rumusan yang lengkap tersebut frasa yang sebenarnya terdapat di dalam Pasal 21 UU PTPK adalah “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan...”. Dalam permohonannya, para Pemohon telah menambahkan kata “dan” serta menghilangkan frasa “secara langsung atau tidak langsung” dari Pasal 21 UU PTPK sehingga maknanya menjadi sangat berbeda dari norma yang berlaku. Dengan demikian permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 21 UU PTPK sepanjang frasa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi dan atau menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan” adalah kabur.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK sepanjang frasa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi dan atau menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan” dan sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” adalah kabur.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 21-05-2019

Anisa Rosadi yang diwakili oleh kuasa hukumnya kuasa kepada Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam IHZA & IHZA Law Firm

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen.

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah juga memandang perlu untuk menegaskan bahwa mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat konstitusi yang diberikan kepada negara sebagaimana tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dikonkritkan dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan untuk memberikan dasar hukum yang kuat maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan nasional. UU Sisdiknas merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk memberikan aturan lebih lanjut mengenai bagaimana sistem pendidikan nasional dan penyelenggaraannya.

Seiring perkembangan zaman, munculnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai salah satu pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar kemudian diakui dan diberikan ruang pengaturannya dalam Pasal 28 UU Sisdiknas. PAUD merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut [vide Pasal 1 angka 14 UU Sisdiknas]. Penyelenggaraan PAUD sebagaimana Pasal 28 ayat (2) UU Sisdiknas dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan/atau informal. Keberadaan PAUD nonformal maupun PAUD informal sebetulnya merupakan perwujudan adanya peran masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Lebih lanjut sebagaimana keterangan Pemerintah penyebutan PAUD formal, PAUD nonformal dan PAUD informal bukanlah dimaksudkan untuk menafikan keberadaan salah satu jalur PAUD. Pasal 28 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut justru ingin menyatakan bahwa PAUD nonformal dan PAUD informal merupakan bentuk pendidikan yang sifatnya melengkapi keberadaan PAUD formal. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya dalam Bab IV Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah UU Sisdiknas, bahwa setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, karena itu keberadaan PAUD jalur pendidikan nonformal dan informal merupakan salah satu bentuk pengakuan peran serta masyarakat tersebut.

Penyelenggaraan PAUD nonformal serta informal dapat diselenggarakan dengan menyesuaikan kebutuhan dalam masyarakat tersebut, salah satu contoh adalah kurikulum yang digunakan tidak hanya menggunakan kurikulum standar pemerintah tetapi juga dapat diselenggarakan dengan menambahkan kurikulum lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal yang demikian tidak dapat dilakukan oleh PAUD formal tentunya dimana kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, selain itu PAUD formal wajib memenuhi standar mutu penyelenggaraan pendidikan termasuk standar pendidiknya. Sehingga jika apa yang dimohonkan Pemohon agar PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal disamakan dengan PAUD jalur pendidikan formal justru akan menutup ruang peran serta masyarakat bahkan menutup kebebasan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Pendidik yang dimaksudkan oleh UU Sisdiknas adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan dan seluruh hal-hal terkait dengan pendidik secara umum tunduk pada UU Sisdiknas [vide Pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas]. Lebih lanjut pembentuk undang-undang juga memberlakukan UU Guru dan Dosen yang kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya untuk memberikan pengaturan tidak hanya mengenai hak-hak guru dan dosen tetapi juga standar atau kualifikasi dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai seorang guru dan dosen. Konsekuensi logis dengan diakuinya pendidik sebagai guru maka tentu saja tidak hanya melekat hak-haknya saja tetapi juga kewajibannya. Secara formal UU Guru dan Dosen merupakan undang-undang yang memang mengatur bagi pendidik khususnya guru dan dosen, sedangkan bagi pendidik di luar guru dan dosen maka pengaturannya tidak tunduk kepada UU a quo tetapi tunduk pada undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak memberikan kepastian hukum kepada profesinya sebagai pendidik PAUD nonformal, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen merupakan pasal yang diatur dalam Ketentuan Umum. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) bahwa Ketentuan Umum berisi tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat umum dan berlaku bagi pengaturan di dalam pasal-pasal berikutnya, antara lain, ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab (vide Lampiran I C.1. angka 98 UU 12/2011). Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda (vide Lampiran I C.1. angka 107 UU 12/2011). Dengan demikian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang dimohonkan oleh Pemohon bukanlah norma yang bersifat mengatur tetapi justru memberikan batasan arah pengaturan dan siapa yang diatur dalam UU Guru dan Dosen, dengan maksud untuk menghindarkan makna ganda (ambiguity) atau ketidakjelasan (vagueness) dalam pengaturan di dalam pasal-pasal selanjutnya, sehingga pasal a quo justru memberikan kepastian hukum. Hal berkait dengan pasal ketentuan umum undang-undang, juga telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006, bertanggal 7 Desember 2006, yang menyatakan antara lain:

... Pasal 1 angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan tersebut dikesampingkan …

Kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008, bertanggal 17 Februari 2009, menyatakan antara lain:

.... Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundangundangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda ...

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan tidak dimasukkannya pendidik PAUD jalur nonformal dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak dapat mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup serta menyebabkan Pemohon diperlakukan diskriminatif.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan pada Paragraf [3.11] bahwa norma a quo merupakan ketentuan umum yang memberikan batasan pengaturan terhadap siapa yang diaturnya maka dengan tidak dimasukkannya pendidik PAUD jalur pendidikan nonformal dalam Undang-Undang a quo tidak mengakibatkan warga negara yang berprofesi serupa dengan Pemohon kehilangan hak atas pekerjaannya. Pemohon dalam hal ini tetap dapat melanjutkan pekerjaannya meski keberadaannya tidak termasuk dalam definisi yang disebutkan dalam norma a quo tetapi tetap diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, Pemohon pun tidak terlanggar haknya untuk mengembangkan diri demi terpenuhinya kebutuhan hidup sebab ketiadaan pendidik PAUD jalur nonformal dalam norma a quo tidak menghalangi hak Pemohon untuk mendapatkan pelatihan maupun kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya baik secara praktik maupun akademisnya. Dengan demikian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tidak menghalangi Pemohon untuk mendapatkan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan hidup.

Lebih lanjut terkait dengan dalil Pemohon perihal adanya perlakuan diskriminatif akibat berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen, Mahkamah mempertimbangkan apakah benar terdapat persoalan diskriminasi. Berkenaan dengan pengertian diskriminasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU-IV/2006, bertanggal 12 April 2007, telah ditegaskan antara lain:

....Mahkamah berpendapat bahwa untuk melihat apakah ketentuan Pasal 35 huruf a UU PPTKI bersifat diskriminatif atau bukan, terlebih dahulu harus diketahui apakah yang dimaksud dengan pengertian diskriminatif dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia (human rights law). Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (LN RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558). Article 2 ICCPR berbunyi, “Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status”.

Menimbang dengan demikian, diskriminasi harus diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (color), jenis kelamin (sex), bahasa (language), kesatuan politik (political opinion)...

Dengan merujuk pertimbangan Mahkamah di atas telah jelas bahwa pembedaan perlakuan antara pendidik jalur formal dan jalur nonformal tidaklah merupakan persoalan diskriminasi. Sebab tidak setiap perbedaan perlakuan adalah serta-merta berarti diskriminasi. Jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan nonformal serta jalur pendidikan informal merupakan jalur-jalur pendidikan yang memiliki karakteristik yang berbeda sehingga terhadap sesuatu yang berbeda tentunya sudah tepat jika dilakukan pengaturan secara berbeda pula. Justru akan menjadi tidak tepat dan sekaligus tidak adil jika terhadap sesuatu yang memang berbeda diperlakukan sama. Sehingga perbedaan pengaturan terkait dengan pendidik PAUD jalur formal dan pendidik PAUD jalur nonformal bukanlah ketentuan yang bersifat diskriminatif.

Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosenadalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG -UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2O17 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENJADI UNDANG-UNDANGTERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 21-05-2019

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silaturrahim Antar Pengajian yang diwakili oleh Dra. Hj. Nurdiati Akma, M.Si dan Hj. Zuriaty Anwar, S.Sos, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, Perkumpulan Hidayatullah, dan H. Munarman, S.H. dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Nasrulloh Nasution, S.H., M.Kn dan kawan-kawan dari Kantor Pusat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Ulama (GNPF-U)

Penjelasan Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 frasa “atau paham lain” dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 frasa “atau paham lain” dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan serta pihak-pihak sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan lebih jauh, Mahkamah terlebih dahulu harus mempertimbangkan perihal pengujian Pasal 80A UU Ormas, oleh karena Pasal 80A UU Ormas tersebut telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUUXV/2017, bertanggal 13 Desember 2018, dengan amar putusan yang menyatakan “Pemohonan para Pemohon tidak dapat diterima”. Hal yang menjadi persoalan dalam hubungan ini, apakah berlaku ketentuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005).

Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Sementara itu, Pasal 42 PMK 06/2005 menyatakan:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.

Dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 di atas, secara formil, Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 tidak berlaku terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 80A UU Ormas dalam permohonan a quo, sebab Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 adalah dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap permohonan kembali suatu norma atau suatu ketentuan undang-undang di mana norma atau ketentuan undang-undang tersebut sebelumnya telah pernah diuji dan dinyatakan ditolak oleh Mahkamah. Oleh karena itu, ada atau tidak ada dasar pengujian konstitusionalitas baru dalam permohonan a quo untuk menguji konstitusionalitas Pasal 80A UU Ormas, terhadap Pasal 80A UU Ormas dapat dimohonkan pengujian kembali.

Namun demikian, dalam hal ini Mahkamah penting menegaskan bahwa meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 dalam pengujian Pasal 80A UU Ormas menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima, secara substansial Mahkamah sesungguhnya menolak permohonan para Pemohon. Dinyatakan “tidak dapat diterima”-nya permohonan para Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 tersebut karena ternyata kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan tersebut berkait erat dengan pokok perkara sehingga perihal kedudukan hukum para Pemohon itu baru dapat diketahui setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 menyatakan:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti surat/tulisan, mendengar dan membaca keterangan ahli, dan membaca kesimpulan yang diajukan para Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Presiden (Pemerintah) serta membaca dan mendengar keterangan ahli yang diajukan oleh Presiden, maka sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan sebagai berikut:

1. bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya perbedaan dalam ajaran negara hukum menurut konsepsi rechtsstaat, etat de droit, dan rule of law, ketiga konsepsi tersebut memuat tiga substansi dasar yang sama yaitu: (1) substansi yang memuat gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh hukum. Sekalipun pada mulanya substansi ini ditujukan untuk membatasi kekuasaan penguasa (in casu raja) yang dimaksudkan untuk menghapuskan atau mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat tiranik, dalam perkembangan selanjutnya gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh hukum sekaligus dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi hak-hak dan kebebasan mendasar warga negara; (2) substansi yang memuat gagasan tentang legalitas formal yaitu gagasan yang menekankan keharusan adanya suatu tertib hukum (legal order) yang dibuat dan dipertahankan oleh negara; (3) substansi yang memuat gagasan bahwa hukumlah yang memerintah, bukan manusia [vide, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018]. Secara umum, lahirnya UU Ormas juga berpijak pada tiga substansi dasar negara hukum di atas. Artinya, pertama, tindakan pemerintah yang berkait dengan ormas dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam UU Ormas tersebut di mana pembatasan demikian dilakukan demi melindungi hak-hak dan kebebasan dasar warga negara; kedua, UU Ormas adalah salah satu bentuk tertib hukum (legal order) yang dibuat dan dipertahankan oleh negara demi melindungi berbagai kepentingan dalam kehidupan bernegara guna mencapai tujuan negara; ketiga, dengan mendasarkan tindakan pada tertib hukum dimaksud, in casu UU Ormas, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa hukumlah yang memerintah, bukan orang;

2. bahwa gagasan negara hukum yang dipraktikkan di Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan prinsip supremasi konstitusi, dalam hal ini UUD 1945. Artinya, seluruh tindakan negara maupun warga negara tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, yaitu UUD 1945. Sementara itu, yang dimaksud dengan UUD 1945, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, adalah terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, dalam menilai kesesuaian atau pertentangan suatu perbuatan dengan UUD 1945 bukanlah hanya berarti kesesuaian atau pertentangan perbuatan itu dengan pasal-pasal UUD 1945 secara parsial melainkan terhadap UUD 1945 secara holistik yaitu Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Hal demikian juga berlaku dalam menilai konstitusionalitas UU Ormas;

3. bahwa Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan fundamental sebab merupakan jiwa dari UUD 1945 secara keseluruhan di mana dari semangat dan amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 itulah diturunkan pasal-pasal UUD 1945. Dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 diperoleh penegasan bahwa disusunnya UUD 1945 adalah kelanjutan dari “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”, yang tiada lain adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan, “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…” Disusunnya Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yaitu UUD 1945, adalah untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang salah satu tugasnya ialah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Adapun bentuk susunan negara yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 adalah Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang tiada lain adalah merujuk pada dasar negara Pancasila. Oleh karena itu, dalam menilai konstitusionalitas norma yang tertuang dalam UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo juga tidak boleh dilepaskan dari konteks ini. Terkait dengan hal itu, baik Konsiderans “Menimbang” huruf a maupun Penjelasan Umum UU Ormas menegaskan bahwa dibuatnya UU Ormas a quo adalah sejalan dengan semangat yang tertuang dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam Konsiderans “Menimbang” huruf a UU Ormas dinyatakan, “bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.” Sementara itu, dalam Penjelasan Umum UU Ormas dikatakan, antara lain, “Dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar pertimbangan tersebut, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal 10 Juli 2017. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2017 berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu ditetapkan menjadi Undang-Undang”.

[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas, selanjutnya terhadap dalil-dalil para Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. bahwa dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan pertentangan Pasal 80A UU Ormas dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas untuk sebagian telah dengan sendirinya menjawab dalil para Pemohon a quo. Namun, Mahkamah perlu menegaskan lebih jauh bahwa negara hukum memang menjamin hak asasi manusia, in casu hak atas kemerdekaan berserikat tetapi pada saat yang sama negara hukum juga membenarkan adanya pembatasan terhadap hak asasi manusia sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu bahwa (1) pembatasan tersebut ditetapkan dengan undang-undang; (2) pembatasan dilakukan sematamata dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; (3) pembatasan dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan tersebut dapat berbentuk larangan maupun keharusan yang disertai dengan sanksi jika larangan dilanggar atau keharusan tersebut tidak dilaksanakan. Namun, dalam konteks permohonan a quo, Pasal 80A tidaklah langsung berkenaan dengan pembatasan demikian melainkan hanya mengatur tentang konsekuensi dari dilanggarnya pembatasan yang berupa larangan atau keharusan yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU Ormas;

2. para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A yang menyekaliguskan pencabutan badan hukum Ormas dengan pembubaran tanpa due process of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap telah mengesampingkan asas equality before the law dan bertolak belakang dengan asas menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya sehingga, menurut para Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, Pasal 80A UU Ormas berlaku terhadap ormas mana pun yang telah dicabut surat keterangan terdaftar atau status badan hukumnya yang dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b UU Ormas. Pasal 80A UU Ormas tidak membedakan perlakuan terhadap ormas tertentu melainkan diperlakukan sama secara hukum. Setiap ormas juga wajib menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada kecualinya, dalam hal ini menjunjung tinggi hukum sebagaimana diatur dalam UU Ormas, khususnya menaati larangan-larangannya dan melaksanakan keharusan-keharusan yang ditentukan. Oleh karenanya tidak relevan untuk mendalilkan Pasal 80A UU Ormas dengan hak atas persamaan perlakuan terhadap warga negara dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Adapun terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 80A UU Ormas yang menyekaliguskan pencabutan status badan hukum dengan pembubaran ormas tanpa due process of law, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 80A UU Ormas adalah kelanjutan dari penjatuhan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ormas. Sebagai sanksi administratif maka yang berwenang menjatuhkannya adalah pejabat administrasi atau tata usaha negara yang relevan. Dengan demikian menjatuhkan sanksi administratif adalah bagian dari tindakan pejabat administrasi atau tata usaha negara. Setiap tindakan atau perbuatan pejabat administrasi atau tata usaha negara bersandar pada berlakunya prinsip atau asas legalitas dalam hukum administrasi negara (yang berbeda dengan asas legalitas dalam hukum pidana) yang mengandung pengertian: pertama, setiap perbuatan pejabat administrasi negara didasarkan pada ketentuan hukum yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan perbuatan itu; kedua, dalam setiap perbuatan pejabat administrasi negara berlaku asas praduga absah (presumption of legality) yaitu bahwa perbuatan itu harus dianggap sah sampai ada tindakan hukum yang membatalkan perbuatan tersebut. Salah satu institusi yang dapat membatalkan perbuatan atau tindakan pejabat administrasi negara adalah pengadilan, dalam hal ini pengadilan tata usaha negara. Oleh karena itu, jika yang dimaksud oleh para Pemohon dengan due process of law itu adalah adanya keterlibatan pengadilan maka jika para Pemohon menganggap tindakan atau perbuatan pejabat administrasi negara berupa penjatuhan sanksi administrasi itu sebagai tindakan atau perbuatan yang berada di luar kewenangan pejabat administrasi negara yang bersangkutan atau menganggap tindakan penjatuhan sanksi itu tidak sah (meskipun dilakukan oleh pejabat yang berwenang) maka hal itu dapat diadukan ke pengadilan tata usaha negara;

3. di satu pihak, para Pemohon mengakui bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa adalah bersifat mutlak sehingga apabila suatu ormas yang melalui pengurus dan/atau anggota-anggotanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 maka pelanggaran demikian tidak dapat ditolerir dan harus dijatuhi sanksi. Karena itu, penjatuhan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan ayat (3) huruf a dan huruf b UU Ormas, menurut para Pemohon, dapat dibenarkan karena merupakan bentuk pembinaan sekaligus pengawasan yang merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam menjaga kedaulatan dan idelologi negara. Namun, di lain pihak para Pemohon mendalilkan bahwa pemberian kewenangan kepada Pemerintah melalui Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, menurut para Pemohon, telah melampaui kewenangan menteri sebagai pejabat pemerintahan sekaligus pejabat tata usaha negara yang hanya berwenang menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan keputusan yang diterbitkannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU Administrasi Pemerintahan. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan untuk memberikan status badan hukum terhadap suatu ormas adalah kewenangan Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum dan hak asasi manusia maka, sesuai dengan asas contrario actus yang berlaku dalam hukum administrasi negara, menteri yang sama berwenang pula untuk mencabut status badan hukum suatu ormas apabila ditemukan pelanggaran terhadap larangan dan/atau keharusan yang membawa akibat dapat dijatuhkannya sanksi administratif berupa pencabutan status badan hukum dimaksud;

4. para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan argumentasi bahwa pembubaran ormas tidak cukup hanya berdasarkan pandangan dan penilaian subjektif Pemerintah. Asas praduga tak bersalah mengharuskan proses pembuktian di lembaga yudikatif yang independen dan imparsial sehingga pembubaran ormas seharusnya diputuskan melalui lembaga peradilan, bukan mempersamakan pencabutan status badan hukum dengan pembubaran ormas. Karena itu, menurut para Pemohon, Pasal 80A UU Ormas telah menghilangkan prinsip due process of law. Ketentuan a quo telah merampas kewenangan lembaga peradilan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mengatur tentang hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga pertanyaannya adalah apakah Pasal 80A UU Ormas tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hubungan ini, Pasal 80A UU Ormas justru memberikan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap setiap ormas yang melanggar larangan sebagaimana diatur dalam ketentuan lain dalam UU Ormas sehingga dicabut status badan hukumnya. UU Ormas mengakui, menjamin, dan melindungi dan memberi kepastian hukum yang adil terhadap setiap ormas yang tidak melanggar larangan sebagaimana ditentukan dalam UU Ormas dengan memberi status badan hukum terhadap ormas dimaksud (jika status badan hukum tersebut dimohonkan oleh para pendirinya). Namun, ketika ormas yang telah memiliki status badan hukum tersebut melanggar larangan yang ditentukan sehingga berakibat dijatuhkannya sanksi berupa pencabutan status badan hukumnya maka dengan dicabutnya status badan hukum tersebut segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh ormas sebagai badan hukum menjadi tidak sah. Oleh karena itu, dengan menyatakan bahwa pencabutan status badan hukum suatu ormas sekaligus berarti pembubaran ormas yang bersangkutan, Pasal 80A UU Ormas justru memberikan kepastian hukum, terutama kepada masyarakat. Sebab, dengan sekaligus menyatakan bubarnya suatu ormas yang telah dicabut status badan hukumnya tidak akan timbul keraguan-raguan di tengah masyarakat apakah ormas yang telah dicabut status badan hukumnya itu masih ada atau tidak. Hal itu adalah juga adil khususnya bagi ormas-ormas lain, baik yang memiliki status badan hukum maupun tidak. Sebab jika ormas yang status badan hukumnya telah dicabut tetapi tidak dinyatakan bubar dan dianggap tetap ada, hal itu justru menjadi tidak adil sebab secara implisit berarti ormas yang bersangkutan masih dapat melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana halnya ormas-ormas lain yang tidak melakukan pelanggaran dan tidak dicabut status badan hukumnya. Adapun dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan due process of law, hal itu telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] dan Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan dan telah ternyata bahwa dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum namun oleh karena para Pemohon hanya prima facie dianggap memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 80A UU Ormas yang menyatakan, “Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”;

2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan a quo dengan mendalilkan selaku anggota masyarakat yang hendak menggunakan haknya untuk membentuk, menjadi pengurus, dan menjalankan kegiatan Ormas yang diberi nama “Perkumpulan Tuna Karya untuk Konstitusi (Perak) Indonesia”;

3. Bahwa menurut para Pemohon potensi kerugian hak konstitusional Para Pemohon tidak akan terjadi, apabila ada pengaturan due process of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam Pasal 80A UU Ormas, sebagai bentuk kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon dalam memperjuangkan hak-hak berkumpulnya di lembaga peradilan yang independen dan imparsial atas tuduhan tindakan-tindakan Ormas para Pemohon kelak, yang secara subjektif dianggap oleh Pemerintah melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kerugian hak konstitusionalnya di atas dikaitkan dengan alat bukti yang diajukan para Pemohon dan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap pokok permohonan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji oleh para Pemohon (Pasal 80A UU Ormas) terkait dengan pembubaran Ormas sekaligus pencabutan status badan hukum Ormas, sehingga mereka yang secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dirugikan dengan berlakunya norma a quo adalah Ormas yang telah berbadan hukum ataupun warga negara Indonesia yang merupakan bagian dari kepengurusan ataupun keanggotaan Ormas yang sudah terbentuk, sedangkan para Pemohon telah ternyata bukan merupakan Ormas dan bukan pula bagian dari kepengurusan atau keanggotaan suatu Ormas. Norma UU Ormas a quo tidak menghambat, apalagi melarang, perseorangan warga negara Indonesia untuk membentuk Ormas atau bergabung dalam suatu Ormas, baik berbadan hukum atau tidak. Norma UU Ormas a quo adalah mengatur tentang pencabutan status badan hukum suatu ormas yang sekaligus sebagai pembubaran ormas yang bersangkutan. Dengan demikian, logikanya adalah ormas dimaksud telah ada dan berbadan hukum. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah bahwa syarat adanya kerugian “potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi. Sebab, para Pemohon tidak saja bukan ormas, apalagi ormas yang berbadan hukum, melainkan perseorangan warga negara Indonesia. Lagi pula, andaipun benar bahwa suatu saat nanti para Pemohon akan membentuk Ormas, hal itu pun tidak serta-merta memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon untuk menguji Pasal 80A UU Ormas sepanjang ormas tersebut tidak berbadan hukum dan ormas dimaksud tidak dicabut status badan hukumnya berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam UU Ormas. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, telah ternyata para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan.
Setelah memerhatikan secara saksama pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 di atas maka secara substansial sesungguhnya Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 80A UU Ormas. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan pengujian Pasal 80A UU Ormas, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo sehingga sepanjang berkenaan dengan Pasal 80A UU Ormas, permohonan para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana
diuraikan pada Paragraf [3.13], terhadap dalil para Pemohon selebihnya, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

A. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU Ormas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf A di atas yang pada intinya menekankan bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU Ormas mengancam hak-hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menghilangkan peran pengadilan dalam menjatuhkan sanksi terhadap Ormas, sehingga kapan pun secara subjektif pemerintah dapat melakukan pencabutan status badan hukum atau pencabutan surat keterangan terdaftar suatu Ormas, Mahkamah mempertimbangkan:

1. Bahwa dengan dalil demikian, disadari atau tidak, secara esensial para Pemohon sesungguhnya mempersoalkan keabsahan tindakan pembentuk undang-undang yang menghapuskan dan menyatakan tidak lagi berlakunya sejumlah ketentuan atau norma UU Ormas. Dengan kata lain, esensi dalil para Pemohon adalah dalil pengujian formil namun argumentasi yang digunakan adalah argumentasi pengujian materiil. Hal demikian tidaklah dapat diterima. Lagi pula, dalam hal pengujian formil, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa permohonan pengujian formil suatu undang-undang dibatasi jangka waktunya, yaitu 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010]. Sebagai positive legislator, pembentuk undang-undang diberi kewenangan konstitusional oleh UUD 1945 untuk membuat undangundang yang dipandang perlu, termasuk untuk mengubah atau mengganti suatu undang-undang yang dinilai tidak lagi memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat, di mana kewenangan demikian tidak dapat dan tidak boleh diintervensi atau dinilai oleh Mahkamah kecuali terbukti bahwa pembentukan undang-undang demikian bertentangan dengan tata cara pembentukan undang-undang menurut UUD 1945. Itu pun dengan syarat bahwa ada pihak-pihak yang mengajukan permohonan pengujian formil kepada Mahkamah.

2. Perihal dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa dengan dihapuskannya sejumlah ketentuan dalam UU Ormas berdasarkan Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU Ormas telah menghilangkan peran pengadilan dalam penjatuhan sanksi terhadap Ormas, hal demikian tidaklah benar. Sebab, peran pengadilan dalam hal ini tetap ada yaitu dengan mempersoalkan keabsahan tindakan negara (pemerintah) yang menjatuhkan sanksi terhadap suatu Ormas melalui pengadilan. Bedanya, jika menurut ketentuan sebelumnya peran pengadilan ditempatkan di awal proses penjatuhan sanksi, sedangkan pada saat ini peran pengadilan ditempatkan di bagian akhir. Hal demikian tidaklah dapat dikatakan bertentangan dengan negara hukum sebab peran pengadilan tetap ada. Pertentangan dengan negara hukum baru dapat dikatakan ada apabila tindakan penjatuhan sanksi terhadap suatu Ormas semata-mata dilakukan secara sepihak oleh negara (pemerintah). Dalam hal ini, andaipun benar bahwa tindakan negara (pemerintah) yang menjatuhkan sanksi terhadap suatu Ormas didasari oleh penilaian atau pendapat subjektif negara (pemerintah), subjektivitas tindakan negara (pemerintah) tersebut pada akhirnya akan diuji oleh proses peradilan. Lagi pula, dilihat dari perspektif kewajiban konstitusional negara (pemerintah) untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, langkah preventif yang dilakukan oleh negara (pemerintah) untuk mencegah terjadinya ancaman terhadap keselamatan negara prima facie harus dianggap sebagai tindakan konstitusional sampai pengadilan membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, sebagai misal, ketika ancaman bahaya terhadap keselamatan negara telah demikian nyata dan dekat (clear and present danger) dan negara (pemerintah) tidak melakukan langkah-langkah tepat yang diperlukan untuk mengatasi keadaan itu (appropriate and necessary measures) maka negara (pemerintah) sesungguhnya telah melalaikan kewajiban konstitusionalnya.

B. Terhadap dalil para Pemohon bahwa frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena tidak jelas, multitafsir yang rentan digunakan secara serampangan oleh Pemerintah untuk menjerat Ormas-ormas beserta pengurus dan anggotanya dengan tuduhan Anti-Pancasila dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf B di atas, Mahkamah mempertimbangkan:

1. Frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas tersebut tidak dapat dipahami dan ditafsirkan dengan melepaskan konteksnya dari keseluruhan pengertian yang terkandung di dalamnya. Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas selengkapnya menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila’ antara lain ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dengan demikian, pengertian yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas tersebut adalah bahwa paham apa pun yang bertujuan mengganti/ mengubah Pancasila dan UUD 1945 maka paham demikian dinyatakan dilarang. Masalahnya kemudian, secara normatif apakah larangan demikian bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap masalah tersebut Mahkamah berpendapat bahwa larangan demikian bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan harus dipahami merupakan kewajiban konstitusional negara yang diturunkan dari amanat Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat. Pancasila, sebagai dasar negara dan sekaligus ideologi negara yang telah menjadi kesepakatan para pendiri negara sehingga ditempatkan sebagai perjanjian luhur Bangsa Indonesia, adalah landasan eksistensial berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat menyatakan:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apabila Pembukaan UUD 1945 tersebut dikonstruksikan maka akan diperoleh pemahaman sebagai berikut:

Pertama, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu merupakan perwujudan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Pernyataan ini adalah merujuk pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
Kedua, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu perlu disusun guna membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia;
Ketiga, bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia;
Keempat, bahwa dasar keikutsertaan Pemerintah Negara Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia itu adalah kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
Kelima, bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu adalah suatu Republik, yaitu Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat;
Keenam, bahwa Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang dibentuk menurut Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu harus dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, mengganti atau mengubah Pancasila dengan paham lain sama artinya dengan meniadakan landasan eksistensial berdirinya NKRI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Demikian pula halnya jika paham lain itu digunakan dengan tujuan untuk mengubah UUD 1945. Pertimbangan demikian sejalan dengan pandangan seluruh fraksi yang ada di MPR pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang menegaskan:

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat dasar filosofi dan dasar normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UndangUndang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) negara serta dasar negara yang harus tetap dipertahankan [vide Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta, halaman 25]

Oleh karena itulah pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, seluruh fraksi di MPR sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan sebaliknya menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai titik tolak dalam melakukan perubahan. Kesepakatan tersebut secara konstitusional kemudian diejawantahkan lebih jauh dalam rumusan pasalpasal UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan,
“Dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.” Sementara itu, perubahan UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 adalah perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945. Dengan demikian, secara a contrario, terhadap Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dilakukan perubahan.

Adapun konteks mengganti/mengubah UUD 1945 dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas tersebut bukan dalam pengertian perubahan konsitusional terhadap pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana dimaksud Pasal 37 UUD 1945 melainkan mengganti/mengubah UUD 1945 dengan paham lain, sehingga UUD 1945 tidak lagi didasari oleh Pancasila.

2. Dengan pertimbangan terhadap frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas sebagaimana diuraikan pada angka 1 di atas maka tidaklah tepat jika dikatakan bahwa frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas tidak melarang kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sebagaimana diatur Pasal 28 UUD 1945, juga tidak melarang hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak seseorang secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Begitu pula halnya Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas tidak melarang kebebasan seseorang untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, apalagi jika dikatakan bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Adapun dalam kaitannya dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut haruslah dikaitkan konteksnya dengan norma yang dijelaskan yaitu bahwa Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Sehingga permasalahannya, apakah norma demikian bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa secara a contrario jika suatu Ormas menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang tidak bertentangan dengan Pancasila maka Ormas demikian dijamin dan dilindungi oleh negara, sehingga misalnya apabila negara mengambil tindakan membubarkan suatu Ormas dengan alasan melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas maka Ormas yang bersangkutan tidak dihalangi haknya untuk melakukan pembelaan diri dengan mempersoalkan keabsahan tindakan negara tersebut ke pengadilan, dalam hal ini pengadilan tata usaha negara. Artinya, tindakan negara tersebut dapat diuji keabsahannya di hadapan pengadilan.
Lagi pula, negara hukum tidaklah melarang dilakukannya pembatasan terhadap hak-hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 atau hak asasi manusia pada umumnya sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pembatasan dalam wujud larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas yang kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas dengan maksud sebagaimana telah dipertimbangkan pada angka 1 di atas tidaklah bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas adalah tidak beralasan menurut hukum.

C. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 62 ayat (3) UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena menjatuhkan sanksi terhadap Ormas hanya berdasarkan subjektivitas semata tanpa dibuktikan mengenai pelanggarannya, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf C di atas, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam norma yang termuat dalam Pasal 62 ayat (3) UU Ormas merupakan rangkaian kesatuan dari keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal 62 UU Ormas yang selengkapnya menyatakan:

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Dengan demikian, apabila keseluruhan materi muatan norma Pasal 62 UU Ormas dikonstruksikan maka akan didapatkan konstruksi logika sebagai berikut:

Pertama, sanksi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum terhadap suatu Ormas dijatuhkan apabila Ormas yang bersangkutan tidak mematuhi sanksi berupa penghentian kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (2) UU Ormas. Sementara itu, sanksi penghentian kegiatan tersebut dijatuhkan jika suatu Ormas dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tidak mematuhi peringatan tertulis yang diberikan berdasarkan Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas di mana peringatan tertulis dimaksud, menurut Pasal 62 ayat (1) UU Ormas, hanya diberikan satu kali.
Kedua, adapun sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas merujuk pada Pasal 60 ayat (1) UU Ormas yang menyatakan, “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif.” Artinya, sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas adalah dijatuhkan apabila suatu Ormas melanggar Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas.

Pasal 21 UU Ormas menyatakan:
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara

Pasal 51 UU Ormas menyatakan:
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) berkewajiban:
a. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menghormati dan menghargai nilai-nilai agama dan adat budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia;
d. memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia;
e. mengumumkan seluruh sumber, jumlah, dan penggunaan dana; dan
f. membuat laporan kegiatan berkala kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui media massa berbahasa Indonesia.

Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas menyatakan:
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas; dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.

Apabila rangkaian yang saling berkait dari ketentuan-ketentuan dalam UU Ormas di atas disederhanakan maka akan didapatkan pemahaman sebagai berikut:

Pertama, bahwa Ormas yang melanggar ketentuan Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas dijatuhi sanksi administratif;
Kedua, sanksi administratif tersebut adalah berupa peringatan tertulis;
Ketiga, sanksi administratif berupa peringatan tertulis tersebut hanya diberikan satu kali;
Keempat, sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang hanya diberikan satu kali dimaksud harus ditaati dalam jangka waktu tujuh hari sejak tanggal peringatan tertulis tersebut diterbitkan;
Kelima, jika dalam jangka waktu tujuh hari sejak tanggal peringatan tertulis tersebut diterbitkan suatu Ormas tidak mematuhinya maka dijatuhkan sanksi berupa penghentian kegiatan; dan
Keenam, jika sanksi berupa penghentian kegiatan dimaksud tidak juga dipatuhi maka Ormas yang bersangkutan akan dicabut surat keterangan terdaftarnya atau akan dicabut status badan hukumnya.
Dengan konstruksi pemahaman sebagaimana diuraikan di atas maka mendalilkan tindakan penjatuhan sanksi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum terhadap suatu Ormas yang telah melakukan rentetan pelanggaran demikian sebagai tindakan subjektif tanpa bukti pelanggaran, apalagi menyatakannya sebagai bertentangan dengan UUD 1945, adalah dalil yang sama sekali tidak dapat diterima. Sebab, jenis pelanggaran yang terhadapnya diancamkan sanksi administratif telah ditentukan secara jelas dan sanksi yang diancamkan untuk dijatuhkan pun telah dirumuskan secara proporsional dan bertahap. Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 62 ayat (3) UU Ormas adalah tidak beralasan menurut hukum.

D. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 80A UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena hak asasi dalam kemerdekaan berkumpul dan berserikat tidak dapat dihapus dengan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar/Status Badan Hukum, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf D di atas, Mahkamah telah mempertimbangkannya dalam Paragraf [3.13];

E. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena multitafsir dan tidak ketat yang dapat menjerat para Pemohon hanya karena statusnya sebagai pengurus atau anggota Ormas, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf E di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas selengkapnya menyatakan:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1) UU Ormas dimaksud dinyatakan:
Yang dimaksud “dengan sengaja” adalah adanya niat atau kesengajaan dalam bentuk apa pun (kesengajaan dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu, kesengajaan telah nyata dari adanya “persiapan perbuatan” (voorbereidigings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat. Yang dimaksud dengan “secara langsung atau tidak langsung” adalah pernyataan pikiran dan atau kegiatan Ormas yang sejak pendaftaran untuk disahkan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum, telah memiliki niat jahat (mens rea) atau itikad tidak baik yang terkandung di balik pernyataan tertulis pengakuan sebagai Ormas yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan dan tercantum di dalam Anggaran Dasar Ormas, namun di dalam kegiatannya terkandung pikiran atau perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan memerhatikan secara saksama rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas di atas maka diperoleh pengertian bahwa yang diancam dengan pidana oleh ketentuan tersebut bukan seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas sebagaimana didalilkan para Pemohon melainkan:

Pertama, dalam konteks Pasal 82A ayat (1) UU Ormas, seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d, yaitu: (i) melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; (ii) melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Kedua, dalam konteks Pasal 82A ayat (2) UU Ormas, seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b dan ayat (4) UU Ormas, yaitu: (i) melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; (ii) melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; (iii) menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; (iv) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (v) menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Dengan demikian telah jelas bahwa: pertama, seseorang meskipun menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas namun tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana diuraikan di atas maka orang yang bersangkutan bukanlah subjek yang diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas; kedua, seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas adalah jika ia melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan sengaja – baik kesengajaan dengan kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn), kesengajaan dengan maksud/tujuan (opzet als oogmerk), ataupun kesengajaan dengan kepastian (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn) – dan dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang didasarkan pada proposisi bahwa seseorang diancam pidana karena orang itu menjadi anggota atau pengurus Ormas padahal yang melakukan pelanggaran adalah Ormasnya adalah tidak benar.

2. Oleh karena dalil para Pemohon dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas bertumpu pada proposisi bahwa seseorang dipidana karena menjadi anggota atau pengurus Ormas, sementara berdasarkan pertimbangan pada angka 1 di atas telah ternyata bahwa proposisi demikian tidak benar maka dalil para Pemohon perihal adanya pelanggaran hak konstitusional sepanjang yang diturunkan dari proposisi tersebut menjadi tidak relevan.

3. Sementara itu, perihal frasa “secara tidak langsung” yang oleh para Pemohon didalilkan mengandung perumusan yang tidak ketat, hal itu telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1) UU Ormas sebagaimana telah diuraikan di atas.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 3 di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 21-05-2019

Prof. Dr. R. Sjamsuhidayat, Prof. Dr. Soenarto Sastrowijoto, Prof. Dr. Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma, Prof. Dr. dr. KRT Adi Heru Sutomo, M.Sc., DCN, Prof. dr. J. Hari Kusnanto, Dr. PH, Prof. Dr. dr. Endang S. Basuki, MPH, Prof. Dr. dr. Mulyanto, Dr. Ratna Sitompul, SpM (K), Dr. Yoni Fuadah Syukriani. Dr., SpF, DFM, Dr. Masrul, MSc., Dr. Sugito Wonodireksi, MSc., Dr. Tom Suryadi, MPH, Dr. dr. Toha Muhaimin, MPH, Dr. med. dr. Setiawan, Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME, PKK, Dr. Zainal Azhar, SpM., Dr. Suryono S.I. Santoso, SpOG, Dr. Grace Wangge, PhD, Dr. Setyawati Budiningsih, MPH, Dr. Trevino Aristarkus Pakasi, PhD, Dr. Indah Suci Widyahening, PhD, Dr. Rodri Tanoto, MSc, Dr. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes., Dr. Irvan Afriandi, MPH, Dr.PH., Dr. Oryzati Hilman, MSc, CMFM, PhD, Sp.DLP, Dr. Zulkarnain Agus, MPH, Dr. Erfen Gustiawan Suwangto, MH., Dr. Joko Anggoro, MSc, SpPD, Dr. Isna Kusuma Nintyastuti, SpM, MSc., Dr. Mohammad Rizki, SpPK, MpdKed., Dr. dr. Muzakkie, SpB, SpOT, Dr. Aulia Syawal, SpJP, Dr. Fundhy Sinar Ikrar Prihatanto, M.MedEd, Dr. Hardy Senjaya, SE, Msi, PALK, Dr. Suweno TJHIA, Dr. dr. Toar JM Lalisang, SpB-KBD., yang diwakili oleh kuasa hukumnya Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., Ai Latifah Fardiyah, S.H., dan Merlina, S.H., dari DR. Muhammad Asrun and Partners (MAP) Law Firm

Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, Pasal 28 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, Pasal 28 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 1 angka 12 UU 29/2004 mengandung unsur ketidakjelasan meskipun penjelasan pasal a quo menyatakan “cukup jelas”, karena PB-IDI secara tersendiri dapat menafsirkan ketentuan pasal a quo menempatkan majelis-majelis dalam lingkungan IDI (MKKI, MKEK dan MPPK) sebagai subordinasi PB-IDI sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, mengenai struktur kepemimpinan IDI yang menempatkan keberadaan posisi MKKI, MKEK dan MPPK di struktur kepemimpinan IDI telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.13.3] yang antara lain mempertimbangkan:
“Bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan Organisasi, IDI membentuk struktur organisasi dan struktur kepimpinan pada Organisasi IDI. Kekuasaan tertinggi organisasi di tingkat nasional berada pada Muktamar, di tingkat provinsi berada pada musyawarah wilayah dan tingkat kabupaten/kota berada pada musyawarah cabang. Struktur kepemimpinan pada tingkat pusat terdiri dari: a) Pengurus Besar IDI; b) Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI); c) Majelis Kehormatan Etik Kedoteran (MKEK); d) Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggungjawab sesuai tugasnya”.
Dengan pertimbangan hukum tersebut telah jelas posisi keberadaan PB- IDI, MKKI, MKEK, dan MPPK yang berada sejajar pada struktur kepemimpinan IDI yang berada di tingkat pusat. Meskipun para Pemohon dalam perbaikan permohonannya memohon kepada Mahkamah agar pertimbangan tersebut dapat dijadikan norma hukum dalam bentuk putusan Mahkamah agar dipatuhi oleh PB- IDI sehingga PB-IDI tidak menempatkan MKKI, MKEK, dan MPPK sebagai subordinasi PB IDI, menurut Mahkamah pertimbangan Mahkamah dalam sebuah putusan meskipun tidak dinyatakan dalam sebuah amar putusan Mahkamah, namun pertimbangan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan amar putusan yang mempunyai kekuatan final dan mengikat yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Dengan demikian permohonan para Pemohon untuk meminta Mahkamah agar pertimbangan tersebut menjadi sebuah putusan atau amar adalah tidak tepat. Karena struktur organisasi kepemimpinan IDI yang menurut para Pemohon menempatkan MKKI, MKEK, dan MPPK sebagai subordinasi PB IDI adalah urusan internal IDI yang dapat diselesaikan oleh IDI itu sendiri dengan tetap harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU- XV/2017 dan bukan masalah inkonstitusionalitas sebuah norma sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.
2) Menimbang bahwa dalil para Pemohon mengenai frasa “dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU 29/2004, yang pada pokoknya memohon agar frasa tersebut diperjelas dengan dimaknai memungkinkan berjalannya fungsi pengawasan dari regulator bidang kesehatan yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan mengatur agar kolegium yang terbentuk perlu disahkan oleh KKI. Karena selama ini menurut para Pemohon tidak ada keterlibatan pemerintah dan/atau KKI dalam pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dalam hal perencanaan, pendayagunaan dan peningkatan kompetensi serta pembinaan mutu yang diselenggarakan oleh IDI dan atau kolegium kedokteran bagi dokter di Indonesia. PB-IDI dan kolegium Kedokteran berjalan sendiri lepas dari pengawasan atau keterlibatan pemerintah maupun KKI sebagai regulator. Dengan begitu frasa “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dengan disahkan, dibina, dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia”.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa yang perlu dipahami adalah KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri nonstruktural dan bersifat independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 29/2004 yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Adapun wewenangnya adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi, mengesahkan standar kompetensi, melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi, serta melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Sementara itu, mengenai kedudukan kolegium kedokteran telah dinyatakan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia bahwa Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia adalah salah satu unsur pimpinan dalam struktur kepengurusan IDI di tingkat Pusat bersifat otonom yang bertanggung jawab mengkoordinasi dan mengatur kolegium-kolegium dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran. Hal tersebut juga telah dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.14] yang antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
“…Dalam struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI ditingkat Pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dengan demikian maka Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu, IDI dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.”

Selanjutnya Mahkamah dalam paragraf yang sama juga mempertimbangkan antara lain:
“…bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI. Sebagai rumah besar dokter Indonesia, IDI mewadahi profesi kedokteran dari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, setiap unsur dalam IDI memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan AD/ART IDI. Kolegium Kedokteran Indonesia/Majelis Kolegium kedokteran Indonesia merupakan unsur dalam IDI yang bertugas untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dalam melakukan fungsi ini, Kolegium/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia tetap berkoordinasi dengan berbagai unsur terkait baik di dalam maupun di luar IDI untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia yang juga menjadi tujuan pembentukan IDI melalui penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Dengan demikian, terkait penyelenggaraan pendidikan kedokteran, sebagaimana juga disebutkan dalam AD/ART IDI, merupakan fungsi Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia sebagai salah satu unsur dari IDI yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan kedokteran. Tidaklah berlebihan bila menempatkan Kolegium/Majelis Kolegium sebagai academic body profesi kedokteran. Berkenaan dengan adanya disharmoni perihal kolegium sebagaimana dimaksudkan dalam UU Praktik Kedokteran yang hanya melibatkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia, sementara itu dalam UU Pendidikan Kedokteran hanya menyebutkan organisasi profesi, hal demikian tidaklah dimaknai bahwa terjadi inkonstitusionalitas norma karena pada hakikatnya kolegium adalah bagian dari organisasi profesi dalam hal ini IDI. Dalam hal ini organisasi profesi (IDI) harus memberdayakan keberadaan unsur-unsur dalam struktur organisasi termasuk kolegium sesuai dengan fungsinya masing-masing.“

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, telah terang bagi Mahkamah antara KKI dengan kolegium memiliki peranan yang berbeda dalam organisasi profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar frasa “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dengan disahkan, dibina, dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia”, karena permohonan para Pemohon tersebut seakan-akan menghendaki Mahkamah untuk mengintervensi organisasi kedokteran Indonesia yang dihubungkan dengan permasalahan sebuah norma. Justru pembentukan kolegium tersebut apabila dilakukan oleh KKI akan dapat menjadikan sebagai subordinasi sehingga akan mengurangi sifat independensi dari KKI itu sendiri. Oleh karena itu tidak terdapat inkonstitusionalitas sebuah norma sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.
3) Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 bila dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 dapat ditafsirkan berbeda sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerbitan sertifikat kompetensi, karena Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 secara jelas menyebutkan bahwa kolegium hanya diperuntukkan untuk cabang ilmu kedokteran, dalam hal ini spesialis, walaupun hal tersebut tidak dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 itu sendiri. Namun dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d disebutkan bahwa yang berhak mengeluarkan sertifikat kompetensi adalah kolegium yang bersangkutan. Dengan tanpa penjelasan bahwa kolegium itu hanya untuk spesialis maka dapat timbul pertanyaan pihak mana yang berwenang menerbitkan sertifikat kompetensi bagi dokter (basic medical doctor). Sehingga PB-IDI menafsirkan bahwa sertifikat kompetensi dokter (basic medical doctor) juga harus diterbitkan oleh kolegium bagi dokter (basic medical doctor), dalam hal ini Kolegium Dokter Indonesia (KDI). Terhadap hal tersebut maka menurut para Pemohon perlu penegasan bahwa yang dimaksud dengan kolegium dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d adalah kolegium spesialis, sedangkan kolegium untuk dokter (basic medical doctor) adalah Fakultas Kedokteran.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah perlu mengutip Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU 29/2004 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dokter adalah dokter dan dokter spesialis. Dari ketentuan tersebut maka tidak terdapat pemisahan pengertian antara dokter dan dokter spesialis. Bila pengertian tersebut dikaitkan dengan penerbitan sertifikat kompetensi, Mahkamah telah menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.14] yang antara lain mempertimbangkan:
“…Sertifikat Kompentesi dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi [vide Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran]. Dengan demikian, sertifikat profesi (ijazah) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompentensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke KKI guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR). Seorang dokter yang telah memperoleh STR, terlebih dahulu harus melakukan Program Internsip. Selanjutnya, untuk dapat melakukan praktik mandiri, seorang dokter harus memperoleh surat izin praktik (SIP) dari instansi yang berwenang.
Sertifikat Kompetensi tersebut menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalaninya dan hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi seorang dokter yang profesional. Dengan demikian, memberikan sertifikat kompetensi kepada dokter yang tidak kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien dan sekaligus mengancam kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter, yang pada akhirnya dapat mengancam jaminan hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, sehingga negara dapat dianggap gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu telah terang bagi Mahkamah bahwa sertifikat profesi (“ijazah dokter”) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi adalah dua hal yang berbeda yang diperoleh pada tahap yang berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan praktik mandiri.”

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah telah jelas bahwa yang mengeluarkan sertifikat kompetensi untuk dokter baik dokter (basic medical doctor) maupun dokter spesialis adalah organisasi profesi sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi dokter atau dokter gigi yang dilakukan oleh fakultas kedokteran atau fakultas kedokteran gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Adapun yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi dalam hal ini fakultas kedokteran adalah sertifikat profesi (ijazah) sebagai bukti bahwa seorang dokter telah memenuhi semua persyaratan dan telah teruji secara akademik. Dengan demikian dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 13 UU 29/2004 bila dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 dapat ditafsirkan berbeda sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerbitan sertifikat kompetensi adalah tidak beralasan menurut hukum.
5) Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan kata “kolegium” dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “kolegium dokter spesialis, sedangkan kolegium untuk dokter (basic medical doctor) adalah fakultas kedokteran dan atau gabungan fakultas kedokteran yang berakreditasi tertinggi”. Terhadap dalil para Pemohon a quo menurut Mahkamah dalil para Pemohon sesungguhnya tidak berbeda dengan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 sebagaimana tercantum dalam Paragraf [3.17]. Oleh karena itu pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.17] adalah mutatis mutandis berlaku terhadap dalil para Pemohon a quo. Dengan demikian, berkenaan dengan Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004 tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam hubungannya dengan norma yang dijelaskan yaitu Pasal 29 ayat (3) huruf d UU 29/2004, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
6 ) Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 28 ayat (1) UU 29/2004 yang menyatakan, “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi”, bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), karena norma a quo tanpa disertai dengan penafsiran yang jelas dan tegas mengenai keterlibatan aktif MKKI yang merupakan unsur IDI yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator dalam hal proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB).
Terhadap dalil para Pemohon tersebut menurut Mahkamah yang perlu ditekankan dalam pasal a quo adalah antara lain menyatakan, “…pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi..” dari ketentuan tersebut telah jelas penyelenggara pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan adalah organisasi profesi dalam hal ini IDI sehingga ketentuan tersebut tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang didalilkan oleh para Pemohon. Adapun permohonan para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pasal a quo ditafsirkan dengan jelas dalam hal penyelenggaraan proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) harus ada keterlibatan aktif MKKI yang merupakan unsur IDI dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator, menurut Mahkamah hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan hanya keberatan para Pemohon terhadap implementasi norma di lapangan karena dalam hal proses resertifikasi dan program pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) tidak dilibatkannya secara aktif MKKI yang merupakan unsur IDI yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan dan juga pengawasan dari pemerintah serta KKI sebagai regulator.
Terhadap keberatan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan organisai profesi dalam menjaga kompetensi kedokteran dan sistem pendidikan profesi kedokteran yang telah dibangun oleh organisasi profesi dalam hal ini IDI, bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah dan KKI. KKI telah memiliki tugas tersendiri di antaranya melakukan registrasi dokter dan dokter gigi dengan menerbitkan surat tanda registrasi (STR) sebagai pengakuan negara bahwa dokter dan dokter gigi tersebut mempunyai kompetensi sesuai dengan kualifikasi dalam registrasinya yang mengakui seorang dokter layak melakukan praktik kedokteran (fit to practice). Oleh karena itu KKI tidaklah tepat dilibatkan dalam pengawasan proses resertifikasi dan program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sebab fungsi dan tugas KKI adalah mengenai pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis, serta melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing [vide Pasal 6 dan Pasal 7 UU 29/2004]. Begitu pula MKKI yang memiliki tanggung jawab tersendiri yaitu mengatur internal organisasi dalam bidang pendidikan kedokteran. Adapun peran pemerintah selain membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 UU 29/2004, dalam hal proses resertifikasi peran pemerintah telah dinyatakan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 Paragraf [3.14] yang antara lain menyatakan:
“Resertifikasi tersebut dapat dilakukan dengan menilai ulang kompetensi atau dapat juga mengikuti program pengembangan dan pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) dengan perolehan satuan kredit khusus. Tanpa mengurangi kualitas tujuan dilakukannya resertifikasi, mekanismenya harus dilaksanakan secara sederhana sehingga memungkinkan setiap dokter dapat memenuhinya. Di samping itu, untuk menghindari kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan, proses resertifikasi dilakukan secara transparan dan akuntabel. Oleh karena itu Pemerintah perlu mendorong dilakukan penyederhanaan proses resertifikasi dan sekaligus melakukan pengawasan terhadap proses dimaksud.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 28 ayat (1) UU 29/2004 dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 21-05-2019

Dorel Almir, Abda Khair Mufti, dan Muhammad Hafidz

Pasal 326 UU Pemilu

Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 326 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah benar Pasal 326 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dana Kampanye untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 325 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c yang berasal dari pasangan calon, partai politik, dan/atau gabungan partai politik pengusul pasangan calon, atau pihak lain yang berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah, berupa pemberian atau sumbangan yang sah menurut hukum serta bersifat tidak mengikat”.

Terhadap masalah konstitusional tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan lebih jauh, terlebih dahulu Mahkamah perlu menjelaskan:

2) Bahwa pengaturan dana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden dalam UU 7/2017 bukanlah merupakan materi baru karena sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008), materi dana kampanye tersebut telah diatur, namun materi pengaturannya belum selengkap seperti yang diatur dalam UU 7/2017 (vide Bagian Kesebelas), terutama terkait dengan transparansi dan akuntabilitas perolehan dan penggunaan dana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

3) Bahwa untuk memahami secara komprehensif pengaturan dana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam UU 7/2017 tidak dapat hanya dilakukan secara parsial, tanpa memerhatikan keterkaitan antarpasal secara keseluruhannya hingga pengaturan yang terkait dengan ketentuan pidana. Karena, pada prinsipnya dana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan tanggung jawab pasangan calon. Namun demikian bukan berarti seluruh dana kampanye hanya berasal sepenuhnya dari pasangan calon. Sebab dalam hal ini dana kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat juga diperoleh dari partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon, termasuk pula diperoleh dari sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Lebih lanjut, untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas perolehan serta penggunaan dana kampanye yang berupa uang maka kepada pasangan calon diwajibkan oleh UU 7/2017 untuk melakukan pembukuan khusus dana kampanye dan menempatkannya pada rekening khusus dana kampanye pasangan calon pada bank.

Pembukuan khusus tersebut berisi penerimaan dan pengeluaran yang harus dibuat terpisah dengan pembukuan keuangan pribadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal demikian dimaksudkan agar tidak ada dana kampanye fiktif sebagaimana dikhawatirkan para Pemohon. Bahkan jika ada dana kampanye yang penyumbangnya tidak jelas identitasnya maka para Pemohon pun tidak perlu khawatir karena sumbangan demikian digolongkan sebagai sumbangan yang dilarang dan apabila larangan tersebut dilanggar akan terkena ketentuan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 527 UU 7/2017 yaitu dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Terlebih lagi jika dana kampanye tersebut tidak dilaporkan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau tidak disetorkan oleh pasangan calon ke kas negara dalam kurun waktu paling lama 14 (empat belas) hari maka pidananya menjadi lebih berat yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima [vide Pasal 339 ayat (2) juncto Pasal 528 ayat (1) UU 7/2017]. Termasuk dalam kaitan ini jika tim kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden menggunakan sumbangan yang tidak jelas identitas penyumbangnya dan/atau tidak melaporkan kepada KPU atau tidak menyetorkannya ke kas negara maka pidana penjaranya adalah paling lama 2 (dua) tahun dan denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterimanya [vide Pasal 339 ayat (2) juncto Pasal 528 ayat (2) UU 7/2017]. Ancaman pidana yang terkait dengan sumbangan yang tidak jelas identitasnya, sebagaimana diistilahkan oleh para Pemohon sebagai dana kampanye fiktif ini, telah ditentukan jauh lebih berat dalam UU 7/2017 jika dibandingkan dengan UU 42/2008. Perubahan pengaturan ancaman pidana atas pelanggaran larangan dana kampanye bertujuan untuk menegakkan Pemilu yang jujur dan adil serta semakin memberikan kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
4) Bahwa dalam kaitan dengan hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum), Mahkamah tidak memahami apa sesungguhnya yang dimohonkan oleh para Pemohon karena petitum para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 326 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dana Kampanye untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 325 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c UU 7/2017 yang berasal dari pasangan calon, partai politik dan/atau gabungan partai politik pengusul pasangan calon, atau pihak lain yang berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah, berupa pemberian atau sumbangan yang sah menurut hukum serta bersifat tidak mengikat”. Petitum para Pemohon ini justru sangat berkaitan erat tidak hanya dengan norma Pasal 325 UU 7/2017 sebagai rujukan pokoknya melainkan juga dengan norma Pasal 327, Pasal 328, Paragraf 4 (Pasal 334 sampai dengan Pasal 339) mengenai Laporan Dana Kampanye, dan Ketentuan Pidana UU 7/2017.

Oleh karena itu jikapun permohonan para Pemohon dianggap benar sehingga kemudian dikabulkan, quod non, permohonan demikian justru akan merusak konstruksi pengaturan mengenai dana kampanye, sehingga seharusnya permohonan para Pemohon dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon, telah ternyata bahwa tidak terdapat relevansi antara alasan-alasan permohonan (posita) dan hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum) sehingga tidak terdapat keterkaitan antara posita dan petitum. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak jelas atau kabur.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 326 UU 7/2017 yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur libel). Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para Pemohon.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 74/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 21-05-2019

Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, Dr. Oce Madril, S.H., M.A, Abdul Ficar Hadjar, S.H., M.H., diwakili oleh Kuasa hukum Feri Amsari S.H.,M.H.,LL.M dan rekan yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Pencucian Uang

Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, bukti surat tulisan, serta surat kuasa para Pemohon kepada kuasa hukum para Pemohon, Mahkamah mendapati hal-hal sebagai berikut:

1. Pemohon I merupakan Yayasan Anti Pencucian Uang Indonesia, oleh karena itu sesuai Akta Notaris Nomor 06, tanggal 21 April 2010 yang berhak mewakili lembaga atau yayasan untuk bertindak di dalam dan di luar pengadilan adalah pengurus (vide bukti P-19). Selengkapnya bunyi Pasal 16 ayat (5) Akta Notaris Nomor 06, tanggal 21 April 2010 yang diterbitkan oleh Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Prihandari S. Hendrawan, S.H., M.Kn, menyatakan “Pengurus berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan kejadian…”
Kemudian Pasal 13 Akta Nomor 06 tersebut menyebutkan Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan yang sekurang- kurangnya terdiri dari: a. seorang Ketua, b. seorang Sekretaris, dan c. seorang Bendahara. Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) Akta Nomor 06 tersebut menyatakan, Ketua Umum bersama-sama dengan salah seorang anggota Pengurus lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama pengurus serta mewakili Yayasan. Dengan demikian, untuk mewakili Lembaga/Yayasan Anti Pencucian Uang Indonesia (Pemohon I) adalah Pengurus Yayasan dan/atau Ketua Umum bersama-sama dengan salah satu anggota Pengurus lainnya.
Pemohon I dalam permohonannya mendalilkan sebagai Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia yang diwakili oleh Agus Triyono selaku Ketua demikian pula dalam Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 Agustus 2018. Oleh karena itu, mengacu pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) , Pasal 16 ayat (5), dan Pasal 18 ayat (1) Akta Nomor 06 tanggal 21 April 2010 maka Agus Triyono tidak dapat bertindak untuk dan atas nama mewakili Yayasan Anti Pencucian Uang Indonesia karena hanya bertindak seorang diri, padahal dengan mengacu pada Pasal 16 ayat (1) Akta Nomor 06 tanggal 21 April 2010 yang dapat bertindak mewakili Yayasan Anti Pencucian Uang Indonesia adalah Pengurus yang secara khusus lagi ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) Akta Nomor 06 tanggal 21 April 2010, yaitu Ketua Umum bersama-sama salah seorang anggota Pengurus lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama pengurus serta mewakili Yayasan, sehingga menurut Mahkamah, Agus Triyono tidak dapat bertindak mewakili Yayasan Anti Pencucian Uang Indonesia untuk mengajukan permohonan a quo.

2. Pemohon II Yayasan Auriga Nusantara sesuai Akta Notaris Nomor 02 tanggal 26 Mei 2014 yang diterbitkan oleh Notaris Rini M. Dahliani, S.H. merupakan nama baru dari Yayasan Silvagama. Namun, terkait dengan AD/ART yang tetap mengacu pada AD/ART Yayasan Silvagama sebagaimana ditentukan dalam Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009 yang diterbitkan oleh Notaris Nurhadi Darussalam, S.H., M.Hum., (bukti P-20).
Bahwa sesuai dengan Pasal 16 ayat (5) Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009 menyatakan “Pengurus berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan kejadian…”. Kemudian Pasal 13 Akta Nomor 01 tersebut menyebutkan Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan yang sekurang-kurangnya terdiri dari:
a. seorang Ketua,
b. seorang Sekretaris, dan c. seorang Bendahara.
Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) Akta Nomor 01 tersebut menyatakan, Ketua Umum bersama-sama dengan salah seorang anggota Pengurus lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama pengurus serta mewakili Yayasan. Dengan demikian, untuk mewakili Yayasan Auriga Nusantara (dahulu Yayasan Silvagama, Pemohon II) adalah Pengurus Yayasan dan/atau Ketua Umum bersama-sama dengan salah satu anggota Pengurus lainnya. Pemohon II dalam permohonannya mendalilkan sebagai Yayasan Auriga Nusantara yang diwakili oleh Timer Manurung selaku Ketua Badan Pekerja demikian pula dalam Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 Agustus 2018. Oleh karena itu, mengacu pada ketentuan Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat (5), dan Pasal 18 ayat (1) Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009 maka Timer Manurung tidak dapat bertindak untuk dan atas nama mewakili Yayasan Auriga Nusantara karena hanya bertindak seorang diri terlebih lagi Timer Manurung adalah Ketua Badan Pekerja, padahal dengan mengacu pada Pasal 16 ayat (1) Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009 yang dapat bertindak mewakili Yayasan Auriga Nusantara adalah Pengurus yang secara khusus lagi ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009, yaitu Ketua Umum bersama-sama salah seorang anggota Pengurus lainnya berwenang bertindak untuk dan atas nama pengurus serta mewakili Yayasan, sehingga menurut Mahkamah, Timer Manurung tidak dapat bertindak mewakili Yayasan Auriga Nusantara dalam mengajukan permohonan a quo.
Bahwa meskipun Mahkamah telah memberi kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, namun sesuai dengan perbaikan permohonan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 September 2018 ternyata para Pemohon tetap mengajukan permohonan a quo, di mana Pemohon I dan Pemohon II tetap diwakili oleh pihak yang tidak sesuai dengan Akta Nomor 06 tanggal 21 April 2010 dan Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009. Di samping itu, terhadap permohonan Pemohon I dan Pemohon II a quo juga telah dilakukan sidang pleno untuk pembuktian lebih lanjut atas substansi permohonan dan pada kesempatan tersebut seharusnya masih dapat dipergunakan oleh Pemohon I dan Pemohon II untuk membuktikan segala hal yang berkaitan dengan permohonannya, termasuk dalam hal ini membuktikan kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II, namun ternyata hal tersebut juga tidak dilakukan oleh Pemohon I dan Pemohon II.

3. Bahwa Pemohon III dan Pemohon IV mendalilkan diri sebagai warga negara Indonesia yang merupakan pengajar atau dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pemohon III) dan pengajar atau dosen di Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Pemohon IV) yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh
berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010. Bahwa Pemohon III dan Pemohon IV dalam alasan kedudukan hukumnya tidak mendalilkan ketentuan dalam UUD 1945 yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010. Jika pun menggunakan pasal UUD 1945 yang terdapat dalam pokok permohonan para Pemohon, yaitu Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 kemudian dihubungkan dengan syarat kerugian sebagaimana Paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, jika pun benar Pemohon III dan Pemohon IV memiliki hak konstitusional, quod non, kerugian dimaksud tidak memiliki hubungan sebab akibat secara potensial apalagi secara faktual dan aktual oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 karena selaku pengajar atau dosen, Pemohon III dan Pemohon IV tetap dapat mengajar di bidangnya masing-masing dan tetap dapat memberikan kontribusi dalam proses perubahan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi kerugian yang didalilkan oleh Pemohon III dan Pemohon IV tidak bersifat spesifik (khusus).
Berkenaan dengan penjelasan kerugian hak konstitusional Pemohon III dan Pemohon IV yang menggunakan dasar sebagai tax payer untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah karena telah membayar pajak – yang secara implisit tanpa perlu ada hubungan causal verband – maka terhadap hal yang demikian, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XVII/2019 bertanggal 13 Maret 2019 telah menyatakan pendiriannya, yaitu:
… Sementara itu, berkenaan dengan penjelasan untuk menguatkan kedudukan hukum dengan menggunakan alasan bahwa para Pemohon adalah pembayar pajak tidaklah dapat diterima oleh Mahkamah karena sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah sejak Tahun 2003, pembayar pajak semata-mata tidaklah serta-merta memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 jika tidak terdapat kaitan yang cukup antara kerugian hak konstitusional yang dianggapkan dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU- I/2003, Nomor 27/PUU-V/2009, dan Nomor 76/PUU-XII/2014) …

Berdasarkan uraian tersebut, menurut Mahkamah Pemohon III dan Pemohon IV tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK dan syarat kedudukan hukum sebagaimana Paragraf [3.4] di atas;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Munafri Arifuddin, S.H., dan drg. Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal

Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016

Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa terhadap isu konstitusional adanya multitafsir frasa “pemilihan berikutnya” dalam norma Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal yang sangat mendasar, yaitu perihal pembentukan Pasal 54D ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sebagai substansi baru proses dan desain hukum pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam UU 10/2016.

[3.11.1] Bahwa perihal pembentukan Pasal 54D ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 10/2016 merupakan ketentuan yang dibentuk melalui perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, di mana perubahan tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU- XIII/2015, bertanggal 29 September 2015. Hal demikian secara eksplisit dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU 10/2016 butir a angka 5 mengenai perlunya penyelarasan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengaturan pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota jika hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

[3.11.2] Bahwa dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota maka sesuai dengan ketentuan Pasal 54C ayat (2) UU 10/2016 pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar. Selanjutnya, Pasal 54C ayat (3) UU 10/2016 menegaskan bahwa pemberian suara oleh pemilih dilakukan dengan cara mencoblos. Artinya, sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 22E UUD 1945 yang juga menjadi asas dalam pemilihan kepala daerah, pemilih dapat menentukan pilihannya apakah memilih dengan cara mencoblos pada kolom foto pasangan calon atau mencoblos pada kolom kosong. Dalam hal ini, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa kolom kosong yang tidak bergambar tersebut bukanlah merupakan pasangan calon tetapi merupakan “tempat” bagi pemilih untuk menentukan pilihannya jika tidak setuju dengan satu-satunya pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Artinya, bagi pemilih yang tidak setuju calon tunggal diberi tempat untuk menyatakan ketidaksetujuannya yaitu dengan mencoblos kolom kosong tersebut.

[3.11.3] Bahwa terkait dengan hal tersebut sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 mekanisme inilah yang mencerminkan demokrasi dibandingkan dengan hanya menyatakan bahwa satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota langsung dinyatakan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa perlu meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing. Oleh karena itulah dalam Putusan Mahkamah tersebut ditegaskan pula bahwa pilihan menyatakan “tidak setuju” yang dalam UU 10/2016 diwujudkan dalam bentuk kolom kosong merupakan semacam plebisit bagi pemilih untuk menyatakan sikap “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, pertimbangan hukum dalam Paragraf [3.15] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 menyatakan:

… Namun, dalam hubungan ini, Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang meminta Mahkamah untuk memaknai bahwa frasa “setidaknya dua pasangan calon” atau “paling sedikit dua pasangan calon” yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian: Pasangan Calon Tunggal dengan Pasangan Calon Kotak Kosong yang ditampilkan pada Kertas Suara (vide Permohonan halaman 20). Sebab, pertama, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon; kedua, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon. Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.

Berdasarkan pertimbangan dalam Paragraf [3.15] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 tersebut, berlakunya Pasal 54D UU 10/2016 secara keseluruhan adalah untuk mengantisipasi kondisi bilamana hasil pemilihan menunjukkan bahwa pasangan calon mendapat dukungan pemilih lebih kecil (kurang dari 50 persen suara sah) dalam pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Sekiranya pengaturan demikian tidak dilakukan, sangat mungkin muncul perdebatan bagaimana mengatasi keadaan pasangan calon tunggal yang tidak mendapat dukungan mayoritas pemilih. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih kolom “tidak setuju” (kolom kosong) maka dalam keadaan demikian pemilihan kepala daerah ditunda sampai pemilihan kepala daerah serentak berikutnya.

[3.11.4] Bahwa setelah pemilihan dengan calon tunggal dilakukan, dalam hal perolehan suara pasangan calon tunggal tidak mampu mendapatkan suara mayoritas, atau pemilih lebih banyak (mayoritas) memilih kolom kosong, pembentuk undang-undang mengantisipasi dengan membuat ketentuan Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 yang menyatakan “Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya”.

Terkait dengan pengaturan di atas, Pemohon mendalilkan norma frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 menimbulkan multitafsir jika tidak dimaknai sebagai “pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon melawan kolom kosong untuk yang kedua kalinya”.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah memahami secara saksama norma Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016, Mahkamah menegaskan bahwa norma Pasal a quo adalah norma yang mengandung kebolehan, bukan norma perintah atau norma larangan. Artinya, pasangan calon yang kalah dalam pemilihan diberi kesempatan oleh UU 10/2016 untuk mencalonkan diri lagi, atau sebaliknya tidak lagi mencalonkan diri karena tidak lagi berkehendak atau berminat untuk menjadi pasangan calon. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang tidak merumuskan norma pasal tersebut dengan norma perintah yang bersifat wajib atau keharusan, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa pasangan calon tunggal yang gagal meraih dukungan mayoritas dari pemilih tidak lagi berkehendak atau berminat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon. Selain itu, kebijakan pembentuk undang-undang tersebut dimaksudkan juga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi terkait pemenuhan persyaratan untuk menjadi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016.

[3.11.5] Bahwa berkenaan dengan frasa “memenuhi persyaratan” sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 a quo menurut Mahkamah adalah suatu kondisi yang bersifat temporer, artinya pernyataan “memenuhi persyaratan” atau “tidak memenuhi persyaratan” terikat pada waktu dan situasi tertentu menjelang pemilihan sebelumnya, yang sangat mungkin berbeda dengan pemilihan berikutnya sehingga menyebabkan seseorang yang sebelumnya telah memenuhi persyaratan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah atau sebaliknya. Hal demikian menurut Mahkamah menjadi dasar untuk membaca bahwa pemenuhan syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 dan syarat lain dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota tidak dapat berlaku seterusnya melainkan dibatasi oleh penyelenggara pemilihan umum sepanjang hal demikian didelegasikan oleh undang-undang.

[3.11.6] Bahwa sebagaimana telah ditegaskan dalam pertimbangan Mahkamah di atas karena norma Pasal 54D ayat (2) UU 10/2016 adalah norma kebolehan maka jika Pemohon hendak mencalonkan diri lagi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya Pemohon tidak dapat menggunakan dasar kedudukan hukum sebagai pasangan calon dalam pemilihan sebelumnya, melainkan harus didasarkan pada Keputusan KPU yang baru. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, menurut Mahkamah, sebagai konsekuensi jika Pemohon akan mendaftarkan diri sebagai pasangan calon maka harus memenuhi kembali seluruh persyaratan sesuai dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan.

[3.12] Menimbang bahwa setelah menjelaskan perihal dalil multitafsir Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sebagaimana didalilkan Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal makna frasa “pemilihan berikutnya” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 dalam proses dan desain hukum pemilihan kepala daerah. Sebagaimana yang didalilkan Pemohon, terhadap norma Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 tersebut sama sekali tidak terdapat penjabaran yang memadai yang memberikan kepastian hukum. Dengan dalil tersebut, Pemohon hendak menyatakan bahwa dengan tidak adanya penjabaran yang memadai telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk ini, Mahkamah perlu mengemukakan beberapa terminologi yang terdapat dalam UU 10/2016 yang terkait dengan proses atau tahapan pemilihan kepala daerah, yaitu: (1) pemilihan, (2) pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan, serta (3) pemilihan berikutnya.

[3.12.1] Bahwa perihal “pemilihan” sebagai tahap menyeluruh dalam pemilihan kepala daerah, Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015 mengatur bahwa pemilihan diselenggarakan melalui dua tahapan, yaitu “tahapan persiapan” dan “tahapan penyelenggaraan”. Ihwal tahapan persiapan, Pasal 5 ayat (2) UU 8/2015 menyatakan bahwa tahapan persiapan meliputi: (a) perencanaan program dan anggaran; (b) penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan; (c) perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan; (d) pembentukan PPK, PPS, dan KPPS; (e) pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; (f) pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; (g) penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih; dan (h) pemutakhiran dan penyusunan daftar Pemilih. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) UU 8/2015 mengatur tahapan penyelenggaraan meliputi:

1. pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
2. pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
3. penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
4. penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
5. pelaksanaan Kampanye;
6. pelaksanaan pemungutan suara;
7. penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
8. penetapan calon terpilih;
9. penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
10. pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.

[3.12.2] Bahwa sementara itu, “pemilihan lanjutan” dan “pemilihan susulan” dilaksanakan setelah penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan diterbitkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 122 ayat (2) UU 8/2015 penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh: 1) KPU kabupaten/kota atas usul PPK dalam hal penundaan pelaksanaan pemilihan meliputi satu atau beberapa desa atau sebutan lain/kelurahan; 2) KPU kabupaten/kota atas usul PPK dalam hal penundaan pelaksanaan pemilihan meliputi satu atau beberapa kecamatan; atau 3) KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota dalam hal penundaan pelaksanaan pemilihan meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota. Setelah membaca dengan saksama norma dalam Pasal 122 ayat (2) UU 8/2015, tidak terdapat keraguan sama sekali bahwa kasus konkret yang dihadapi oleh Pemohon sama sekali tidak terkait dengan pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan yang terjadi karena adanya penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah berdasarkan ketetapan KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

Terakhir, sebagai akibat dari diadopsinya kemungkinan terdapatnya satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah, UU 10/2016 memperkenalkan terminologi baru dalam pemilihan kepala daerah, yaitu “pemilihan berikutnya” yang dapat terjadi karena kondisi pasangan calon tunggal gagal mendapat dukungan mayoritas dari pemilih, sehingga pemilihan diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang- undangan.

[3.12.3] Bahwa setelah lebih lanjut mencermati secara saksama konstruksi hukum Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016, frasa “pemilihan berikutnya” yang ditentukan dalam Pasal 54D ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 54D ayat (3) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan”. Ketentuan Pasal 54D ayat (3) tersebut menunjukkan adanya dua pilihan bagi KPU dalam menentukan waktu pemilihan kembali kepala daerah dalam hal pemilihan yang diikuti satu pasangan calon belum menghasilkan pasangan calon terpilih, yaitu:
a. Pemilihan berikutnya dilaksanakan pada tahun berikutnya, yang artinya dilaksanakan satu tahun kemudian setelah pemilihan yang diikuti satu pasangan calon tidak berhasil memperoleh pasangan calon terpilih; atau
b. Pemilihan berikutnya dilaksanakan dengan mengikuti jadwal yang telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan in casu Pasal 201 UU 10/2016.

[3.12.4] Bahwa dengan menggunakan penafsiran sistematis beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 juncto UU 10/2016, frasa “pemilihan berikutnya” sebagaimana termaktub dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 sesungguhnya adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan tahapan yang baru sejak dari tahapan awal. Artinya, seandainya menggunakan dalil yang dikemukakan Pemohon yang secara konkret dituangkan dalam Petitum permohonan, yaitu frasa “pemilihan berikutnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan kolom kosong untuk kedua kalinya” maka dalam batas penalaran yang wajar dalil demikian membawa konsekuensi logis bahwa pemilihan berikutnya tidak lagi dimulai dari tahapan awal. Padahal, secara sistematis, frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 harus dimaknai sebagai “pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015. Artinya, “pemilihan berikutnya” harus dipahami dan dilaksanakan melalui dua tahapan, yaitu “tahapan persiapan” dan “tahapan penyelenggaraan”. Dengan makna demikian, sepanjang memenuhi persyaratan, frasa “pemilihan berikutnya” membuka dan memberi kesempatan terhadap semua pihak untuk mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya termasuk kesempatan bagi pasangan calon tunggal yang sebelumnya tidak meraih suara mayoritas ketika berhadapan dengan kolom kosong.

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan adalah tidak adil jika terhadap Pemohon yang telah dinyatakan lolos verifikasi dan telah pula ditetapkan sebagai pasangan calon kemudian harus ikut menjalani kembali proses verifikasi sehingga terjadi proses ganda (dua kali) verifikasi. Terhadap dalil Pemohon ini, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa proses verifikasi merupakan bagian dari tahapan penyelenggaraan pemilihan yang merupakan keniscayaan bagi setiap calon. Jika calon yang telah pernah diverifikasi dan kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon kemudian dikecualikan dari kewajiban verifikasi untuk pemilihan berikutnya, hal demikian tidak sejalan dengan makna “pemilihan berikutnya” sebagai sebuah proses pemilihan yang dimulai dari tahapan awal sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015. Selain itu, pengecualian demikian jelas menjadi tidak adil bagi calon lain yang mengikuti proses dari tahapan awal sehingga pengecualian demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas dan dengan telah dinyatakan bahwa Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 adalah konstitusional maka dalil Pemohon yang mempersoalkan Pasal 54D ayat (4) UU 10/2016 tidak relevan untuk dipertimbangkan karena ketentuan dimaksud merupakan konsekuensi logis dari belum terpilihnya gubernur, bupati, dan walikota sehingga untuk sementara waktu jabatan tersebut dilaksanakan oleh penjabat kepala daerah.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan kolom kosong untuk kedua kalinya, adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Jupri, S.H., M.H., Ade Putri Lestari, Oktav Dila Livia, Ikhsan Prasetya Fitriansyah, Felix Juanardo Winata, Ilyas Dunda, Kindom Makkulawuzar, S.H., M.H., Arief Triono, S.H., dan Wisnu Prabawa yang diwakili oleh kuasa hukumnya Yohanes Mahatma Pambudianto, S.H., dan Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., yang berkedudukan hukum di Y&V Law Office

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian telah pernah diajukan permohonan dan telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-XII/2014 bertanggal 28 April 2015 dengan amar putusan yang menyatakan, “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.” Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang (selanjutnya disebut PMK 6/2005) sehingga dapat dimohonkan pengujian kembali.

Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon a quo, telah ternyata bahwa dalam permohonan a quo terdapat dasar pengujian yang berbeda dari permohonan Nomor 44/PUU-XII/2014, yakni masuknya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pengujian yang tidak terdapat dalam permohonan perkara Nomor 44/PUU-XII/2014. Dengan demikian, telepas dari persoalan apakah perbedaan dasar pengujian dimaksud membawa perbedaan substansial dalam argumentasi perihal inkonstitusionalitas ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat bahwa terhadap ketentuan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK dapat diajukan pengujian kembali.

[3.14] Menimbang bahwa oleh karena substansi atau pokok permohonan pasal a quo telah diputus oleh Mahkamah pada tanggal 28 April 2015 sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 44/PUU-XII/2014 maka terlebih dulu Mahkamah akan merujuk putusan dimaksud yang berkenaan dengan pengujian norma Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK. Mahkamah dalam putusan tersebut antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas frasa “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK yang selengkapnya menyatakan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” dan frasa “yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan monoter, dan pengulangan tindak pidana korupsi” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK yang selengkapnya menyatakan “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”. Menurut para Pemohon, frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya bahwa rumusan frasa a quo tidak mampu menjangkau tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara pada pos pendapatan negara, sehingga pelaku tindak pidana korupsi terhadap pendapatan negara tidak dapat dipidana mati;

[3.12] Menimbang bahwa terhadap permasalahan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa UU PTPK mengelompokkan jenis tindak pidana korupsi sebagai berikut:
a. tindak pidana korupsi atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana korupsi atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi;
c. tindak pidana korupsi atas dasar sumber tindak pidana korupsi;
d. tindak pidana korupsi atas dasar tingkah laku atau perbuatan dalam tindak pidana korupsi;
e. tindak pidana korupsi atas dasar dapat tidaknya perbuatan korupsi merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara;

[3.12.2] Bahwa pengelompokan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada paragraf [3.12.1] antara lain untuk menentukan gradasi keseriusan akibat yang ditimbulkan masing-masing jenis tindak pidana korupsi, walaupun disadari bahwa secara umum tindak pidana korupsi berdampak:
1. dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah;
2. dapat mengganggu/menghambat pembangunan;
3. menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat;
(Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB ke-8 mengenai The Prevention of Crime and the treatment of offenders di Havana Cuba tahun 1980);

[3.12.3] Bahwa gradasi dampak/kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing jenis tindak pidana korupsi berkonsekuensi pada gradasi sanksi pidana yang dijatuhkan pada masing-masing pelaku tindak pidana korupsi;

[3.12.4] Bahwa melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter merupakan tindakan yang sangat tidak beradab di samping melanggar norma tindak pidana korupsi. Terlebih lagi, tindak pidana korupsi tersebut juga sangat tidak manusiawi karena memanfaatkan keadaan situasi atau keadaan tertentu yang semestinya dalam kondisi seperti itu, rasa kemanusiaan untuk membantu orang yang menjadi korban bencana seharusnya muncul;

[3.12.5] Bahwa koruptor yang melakukan korupsi terhadap dana pendapatan negara, salah satunya pajak sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, bukan berarti tidak mempunyai dampak yang serius, namun secara gradasi, korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, gradasi dampak kerusakannya dianggap lebih serius, sehingga perlu pemberatan pidana;

[3.12.6] Bahwa gradasi tindak pidana korupsi dan sanksi pidana yang dirumuskan dalam UU PTPK sejatinya adalah model pengajuan permohonan legislative review kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengubah norma Pasal 2 ayat (2) UU PTPK dan penjelasannya. Perubahan norma tersebut merupakan ranah kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya yang bersifat kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Kewenangan Mahkamah dalam pengujian Undang-Undang adalah untuk menilai konstitusionalitas norma dalam pasal Undang-Undang yang diajukan pengujian. Bilamana terdapat ketentuan dalam suatu Undang-Undang melanggar hak konstitusional warga negara maka Mahkamah diberikan kewenangan untuk menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945;

Dengan telah adanya pendirian Mahkamah terhadap frasa “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK beserta Penjelasannya, sebagaimana diuraikan di atas, dan oleh karena substansi yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan Nomor 44/PUU-XII/2014 adalah juga frasa “keadaan tertentu” Pasal 2 ayat (2) UU PTPK beserta Penjelasan frasa tersebut maka pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-XII/2014 di atas mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo meskipun yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah kata “nasional” dan dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK sebab frasa “bencana alam nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK adalah bagian dari penjelasan terhadap frasa “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan kemudian dan yang selanjutnya harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah dengan disertakannya kata “nasional” dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK tersebut menyebabkan frasa “bencana alam nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK bertentangan dengan gagasan negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana didalilkan para Pemohon. Penekanan pada pertentangan dengan gagasan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut dipertimbangkan lebih jauh karena dimasukkannya gagasan negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pengujian itulah yang membedakan permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya sebagaimana telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 44/PUU-XII/2014.

[3.15] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh apakah disertakannya kata “nasional” dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK menyebabkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK bertentangan dengan gagasan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sementara para Pemohon tidak memberikan penjelasan yang spesifik mengenai maksud pertentangan itu, maka menjadi penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu apa sesungguhnya substansi yang terkandung dalam gagasan negara hukum dimaksud.

Sebagaimana telah beberapa kali dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan-putusannya, istilah negara hukum adalah istilah umum yang dapat merujuk pada gagasan Rechtsstaat yang mula-mula dikembangkan di Jerman maupun gagasan Etat de droit yang mula-mula dikembangkan di Perancis serta Rule of Law yang mula-mula dikembangkan di Inggris. Namun, terlepas dari perbedaan konsepsi dan asal-usulnya, juga terlepas dari kompleksitas teoretik maupun praktik yang terkandung dalam ketiga konsepsi negara hukum itu, pada perkembangannya hingga saat ini dalam ketiga gagasan negara hukum tersebut terkandung tiga substansi pokok yang sama, yaitu:

Pertama, substansi bahwa pemerintah (dalam arti luas, yaitu yang mencakup baik cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudisial) dibatasi oleh hukum. Substansi ini memuat maksud atau tujuan membatasi kekuasaan negara untuk menghapuskan sekaligus mencegah munculnya kekuasaan yang bersifat tiranik serta pada saat yang sama terkandung pula maksud atau tujuan melindungi kemerdekaan individu. Dalam substansi ini terkandung dua pengertian, yaitu (i) bahwa aparat negara (baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif) terikat dan tunduk pada hukum positif yang ada; (ii) meskipun negara memiliki kekuasaan untuk mengubah hukum positif tersebut, kekuasaan untuk melakukan perubahan itu bukanlah tanpa batas tetapi tunduk pada syarat-syarat tertentu;

Kedua, substansi legalitas formal yaitu ada dan berlakunya suatu tata tertib yang terikat pada aturan-aturan yang dibuat dan dipertahankan oleh negara. Maksud dari substansi ini adalah agar setiap orang sejak awal sudah mengetahui perbuatan apa saja yang boleh, harus atau dilarang untuk dilakukan beserta ancaman sanksi yang diberlakukan bagi pelanggaran terhadap keharusan atau larangan itu;

Ketiga, substansi bahwa hukumlah yang memerintah, bukan manusia. Perwujudan dari substansi ketiga ini adalah hadirnya kekuasaan kehakiman atau kekuasaan peradilan yang merdeka. Tanpa kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka, mustahil substansi pertama dan kedua dari gagasan negara hukum di atas terjelma dalam praktik sebab hukum tidak mungkin menafsirkan dan menegakkan sendiri ketentuan-ketentuannya. Karena adanya substansi ketiga inilah substansi pertama dan kedua dalam negara hukum itu menjadi mungkin untuk diwujudkan. [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017]

Apabila dihubungkan dengan dalil permohonan para Pemohon maka menjadi tidak jelas dalam konteks substansi negara hukum yang mana dalil para Pemohon a quo terletak. Dengan demikian, mendalilkan kata “nasional” dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK bertentangan dengan gagasan negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tanpa disertai argumentasi yang spesifik untuk mendukung pernyataan itu, adalah dalil yang terlalu sumir. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menggali lebih jauh maksud sesungguhnya dari dalil para Pemohon a quo.

[3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama maksud dari para Pemohon telah ternyata bahwa sesungguhnya para Pemohon hendak menyatakan, adanya kata “nasional” dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK, menurut para Pemohon, telah menyebabkan tidak dapat diberlakukannya pemberatan hukuman berupa pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang ditujukan untuk penanggulangan bencana alam nasional. Hal itu tampak jelas dari pernyataan tegas dalam dalil para Pemohon yang menyatakan:
6.1. adanya kata Nasional setelah frasa “Becana Alam” menyebabkan hambatan untuk menerapkan Hukuman Mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana. Padahal tindak kejahatan tersebut adalah tindak kejahatan yang tidak beradab yang seharusnya sudah tidak dapat ditoleransikan lagi.

6.2. adanya kata “Nasional” setelah frasa “Becana Alam” menyebabkan para pelaku korupsi menjadi tidak khawatir untuk melakukan korupsi saat mengetahui bahwa status bencana alam yang terjadi tidak mendapatkan status bencana alam nasional, karena sanksi maksimal hanya pidana penjara, mengingat sistem lembaga pemasyarakatan di Indonesia masih penuh dengan kompromistis terhadap terpidana pelaku tindak pidana korupsi. artinya hal ini tidak memberikan keadilan bagi para korban bencana dan kepastian hukum bagi Para Pemohon
[vide Perbaikan Permohonan halaman 22-23]

Konstruksi logika yang secara a contrario terbangun dari dalil para Pemohon tersebut adalah sebagai berikut:

(i) bahwa menurut para Pemohon hanya jika pemberatan hukuman berupa pidana mati memungkinkan untuk diberlakukan bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang digunakan untuk penanggulangan segala jenis atau sifat bencana alam (tanpa perlu kualifikasi sifat “nasional”), barulah dapat dikatakan tidak bertentangan dengan gagasan negara hukum karena hal itu memberikan keadilan bagi para korban dan kepastian hukum bagi para Pemohon;

(ii) bahwa menurut para Pemohon adanya kata “nasional” dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK adalah bertentangan dengan gagasan negara hukum karena tidak memberikan keadilan bagi para korban dan tidak memberikan kepastian hukum bagi para Pemohon karena pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam tidak akan jera karena ia tahu hanya akan dijatuhi pidana penjara, sementara sistem pemasyarakatan di Indonesia masih penuh dengan kompromistis.

Terhadap konstruksi logika tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa, dalam konteks angka (i), para Pemohon telah menggantungkan pemenuhan gagasan negara hukum semata-mata pada ihwal dapat dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam. Konstruksi logika demikian tidaklah dapat diterima sebab dengan logika demikian sekaligus juga berarti konstitusional atau tidak konstitusionalnya suatu ketentuan yang mengatur sanksi pidana yang diancamkan bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam lalu digantungkan pada syarat dapat atau tidak dapat diberlakukannya pidana mati. Logika demikian juga membawa konsekuensi logis berikutnya yaitu bahwa tanpa perlu memandang atau mempertimbangkan besar kecilnya suatu bencana alam atau serius tidaknya akibat dari suatu bencana alam, pidana mati harus dapat diberlakukan bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang digunakan untuk menanggulangi bencana alam itu sebab hal itulah yang sesuai dengan gagasan negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Di luar persoalan konstitusionalitas dan terlepas dari telah dinyatakan konstitusionalnya pidana mati, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, penentuan sanksi pidana yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana, baik berat-ringannya (strafmaat) maupun bentuk pengenaan sanksi pidana itu (strafmodus), haruslah dipertimbangkan secara cermat dan penuh kehati-hatian. Sebab, pidana pada hakikatnya adalah nestapa atau penderitaan yang diberlakukan oleh negara kepada seseorang atau individu yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum (pidana). Karena itulah, dalam ajaran hukum pidana tatkala berbicara tentang pidana dan pemidanaan, kecermatan dan kehati-hatian sangat ditekankan agar terdapat keseimbangan antara aspek preventif, retributif, bahkan moral-edukatif dari pidana dan pemidanaan, sebagaimana tercermin, antara lain, dalam dua adagium yang sangat populer: “poena ad paucos, metus ad omnes perveniat” (jatuhkanlah hukuman kepada beberapa orang agar menjadi contoh kepada yang lain) dan “non alio modo puniatur aliquis, quam secundum quod se habet condemnation” (seseorang tidak boleh dihukum dengan hukuman yang tak sebanding dengan perbuatannya).

Berkenaan dengan pidana mati, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 Mahkamah menegaskan bahwa terlepas dari pendapat Mahkamah yang menyatakan pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memberikan penekanan penting yaitu:

[3.26] Menimbang pula bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati, terlepas dari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:

a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, Paragraf [3.26], halaman 430-431).

Dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi di atas tampak jelas pendirian Mahkamah perihal pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan, menerapkan, maupun melaksanakan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia karena mengingat sifat irrevocable pidana mati. Dengan kata lain, hanya karena alasan bahwa pidana mati adalah konstitusional, hal demikian tidaklah berarti pidana mati dapat dirumuskan, diterapkan, maupun dilaksanakan dengan cara dan pertimbangan yang sama dengan perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan jenis-jenis pidana lainnya.

Sementara itu, terhadap konstruksi logika para Pemohon pada angka (ii), Mahkamah berpendapat, dalam hal ini para Pemohon telah menyampuradukkan persoalan konstitusionalitas dengan persoalan efektivitas. Persoalan konstitusional atau tidaknya suatu norma atau suatu ketentuan dalam undang-undang bukanlah dinilai, setidak-tidaknya bukan semata-mata dinilai dari efektif atau tidak efektifnya norma atau ketentuan dalam undang-undang tersebut melainkan harus dinilai dari tidak bertentangan atau bertentangannya norma atau ketentuan dalam undang-undang dimaksud dengan norma, pengertian-pengertian, semangat Konstitusi beserta tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh Konstitusi itu (in casu UUD 1945). Ketika suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang tidak efektif, hal itu tidak serta-merta berarti norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula sebaliknya, suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang yang efektif tidak serta-merta pula berarti bahwa norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula halnya jika dikaitkan dengan gagasan negara hukum. Suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang yang efektif tidak serta-merta berarti norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang tersebut bersesuaian dengan gagasan negara hukum. Begitu juga sebaliknya, suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak efektif, hal itu tidak serta-merta berarti norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang dimaksud bertentangan dengan gagasan negara hukum. Suatu undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang boleh jadi berlaku efektif meskipun substansi atau materi muatan norma undang-undang atau ketentuan dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Keterkaitan konstitusionalitas dengan efektivitas suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang hanyalah dalam konteks penalaran bahwa suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang yang konstitusional seharusnya efektif atau harus diupayakan agar efektif.

Selanjutnya, dalil para Pemohon yang berkait dengan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana alam, hal itu tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas frasa “bencana alam nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK. Konstitusional atau tidaknya frasa dimaksud tidak mengubah tanggung jawab pemerintah dalam penanggulangan bencana alam, sebagaimana di antaranya diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 huruf b dan huruf c UU 24/2007. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan norma UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian oleh para Pemohon, yaitu gagasan negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sama sekali tidak terdapat korelasi maupun koherensi untuk mengaitkan gagasan negara hukum dengan tanggung jawab pemerintah dalam penanggulangan bencana alam. Pemerintah tetap bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana alam terlepas dari konstitusional atau tidak konstitusionalnya frasa “bencana alam nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat UU PTPK. Terlebih lagi, apabila dirujuk ketentuan pidana dalam Pasal 78 UU 24/2007 yang sesungguhnya telah memberikan ancaman pidana yang sangat berat bagi pelaku penyalahgunaan pengelolaan sumberdaya bantuan bencana. Pasal 78 UU 24/2007 menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”. Dengan demikian, jika maksud para Pemohon adalah pemberatan pidana bagi pelaku penyalahgunaan pengelolaan sumberdaya bantuan bencana maka dalam batas-batas tertentu tujuan demikian pada dasarnya sudah terakomodasi dalam Pasal 78 UU 24/2007. Artinya, bagi pelaku tindak pidana demikian, andaikata pun tidak dituntut berdasarkan UU PTPK, dengan menggunakan Pasal 78 UU 24/2007 pun sesungguhnya telah diancam dengan pidana yang berat.

Adapun terhadap dalil para Pemohon yang mengaitkan argumentasinya dengan original intent UU PTPK, khususnya berkenaan dengan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK, Mahkamah berpendapat bahwa kesesuaian dengan original intent tidaklah serta-merta menjadikan suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang bersesuaian dengan gagasan negara hukum dan karena itu konstitusional. Bagaimana jika original intent itu sendiri bertentangan dengan Konstitusi. Demikian pula sebaliknya, ketidaksesuaian dengan original intent tidak pula serta-merta menjadikan suatu norma undang-undang atau suatu ketentuan dalam undang-undang bertentangan dengan gagasan negara hukum dan karenanya menjadi tidak konstitusional. Lagi pula, dengan merujuk tata cara pembahasan dan pengadministrasian perdebatan dalam proses pembahasan undang-undang, apa yang dimaksud dengan original intent itu tidaklah mudah untuk diidentifikasi karena tidak semua perdebatan dan pembahasan berlangsung di ruang sidang tetapi juga dilakukan melalui proses lobby yang tidak selamanya terdokumentasi. Original intent juga bukanlah pendapat-pendapat individual yang berkembang dalam pembahasan suatu undang-undang melainkan kebulatan pendapat yang akhirnya disepakati, terlepas dari bagaimana cara kesepakatan itu diperoleh.

Dengan seluruh pertimbangan di atas bukanlah berarti Mahkamah berpendapat tidak penting diberlakukannya pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam. Sebab, bagaimanapun korupsi adalah perbuatan jahat yang sangat berbahaya. Sebagaimana dikatakan oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, dalam sambutannya tatkala menyongsong kehadiran Kovensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption), korupsi adalah “wabah berbahaya yang mengandung efek merusak sangat besar terhadap masyarakat” (an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on societies). Hanya saja, pemberatan pidana tersebut tidak harus berupa pidana mati tanpa mempertimbangkan gradasi atau besar-kecilnya suatu bencana alam. Hanya jika bencana alam tersebut telah mencapai gradasi atau status nasional, pemberatan pidana berupa pidana mati tersebut pantas dan proporsional untuk diberlakukan. Oleh karena itu, frasa “bencana alam nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK, menurut Mahkamah, telah memenuhi pertimbangan kepantasan dan keproporsionalan dimaksud, sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa adanya kata “nasional” dalam frasa “bencana alam nasional” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Prof. Dr. H. Rizal Djalil, M.M.

Pasal 5 ayat (1) UU BPK

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat (1) UU BPK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan serta pihak-pihak sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu penting untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Konsiderans “Menimbang” UU BPK, keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang terkait langsung dengan upaya mewujudkan tujuan negara yaitu tercapainya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks demikian maka hadirnya pemerintahan yang bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan syarat yang tidak dapat ditiadakan dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan demikian, hadirnya lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dimaksud pun merupakan kebutuhan yang tak dapat ditiadakan. Kebutuhan demikian, menurut pembentuk undang-undang, tidak terjawab oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sehingga dibentuklah UU BPK a quo [vide Konsiderans “Menimbang” huruf a sampai dengan huruf d UU BPK].

2. Bahwa pertimbangan pembentuk undang-undang dalam membentuk UU BPK sebagaimana diuraikan pada angka 1 di atas adalah sejalan dengan (bahkan merupakan konsekuensi konstitusional logis) perubahan sistem ketatanegaraan yang lahir karena dilakukannya perubahan UUD 1945 yang bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945. Hal itu secara eksplisit terbaca dari ditambahkannya oleh pembentuk Undang-Undang Dasar (MPR) satu bab tersendiri ke dalam UUD 1945 yang mengatur tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri atas tiga pasal, yakni Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G dan secara keseluruhan terdiri atas enam ayat. Perihal pentingnya keberadaan BPK sebagai lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (dan karenanya ia harus bebas dan mandiri) ditegaskan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Perihal nature kelembagaan BPK yang bebas dan mandiri tersebut ditegaskan kembali dengan rumusan yang hampir sama dalam Pasal 2 UU BPK yang menyatakan, “BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas maka dalam menilai hal-hal yang berkait dengan keanggotaan BPK tidak dapat dan tidak mungkin dilepaskan dari konteks upaya merealisasikan BPK sebagai lembaga yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta semangat reformasi kelembagaan berdasarkan perubahan UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.13], terhadap substansi keseluruhan dalil Pemohon Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil Pemohon bertumpu pada tiga proposisi yang merupakan tiga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, yaitu:

Pertama, bahwa menurut Pemohon sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politik. Oleh karena itu maka pembatasan dua kali atau dua periode yang diberlakukan terhadap jabatan demikian adalah bertentangan dengan gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Kedua, bahwa menurut Pemohon BPK merupakan salah satu pelaksana fungsi legislatif. Oleh karena itu maka pembatasan dua kali atau dua periode yang diberlakukan terhadap jabatan demikian bertentangan dengan gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Ketiga, bahwa menurut Pemohon BPK adalah lembaga yang bersifat majemuk yang dalam pengambilan keputusannya bersifat kolektif kolegial. Oleh karena itu maka pembatasan dua kali atau dua periode yang diberlakukan terhadap anggota BPK bertentangan dengan gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Terhadap ketiga proposisi Pemohon dan sekaligus persoalan konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Terhadap persoalan Pertama, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan proposisi (pernyataan) Pemohon bahwa BPK adalah jabatan politis. Dalam hal ini, Pemohon tidak memberikan definisi maupun pengertian tentang jabatan politis dimaksud melainkan hanya mengemukakan dua alasan yang berkait dengan keanggotaan BPK yaitu (i) bahwa proses pemilihannya dipilih secara politis oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan (ii) bahwa untuk menjadi anggota BPK tidak dipersyaratkan keahlian khusus melainkan cukup sarjana atau yang setara tanpa spesifikasi di bidang tertentu, bahkan tanpa perlu syarat pengalaman. Atas dasar itu Pemohon kemudian melanjutkan argumentasinya bahwa oleh karena sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politis maka sebagaimana halnya jabatan politis lainnya, in casu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak dibatasi periodisasi masa jabatannya maka, menurut Pemohon, hal yang sama mutatis mutandis berlaku pula terhadap anggota BPK yaitu bahwa keanggotaan BPK tidak boleh dibatasi masa jabatannya berdasarkan periodisasi dan karena itu, menurut Pemohon, membatasi keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat, terlepas dari benar atau tidaknya argumentasi Pemohon perihal kriteria jabatan politis maka, dalam konteks BPK, jika penalaran Pemohon demikian diikuti akan timbul konsekuensi bahwa oleh karena sifat jabatan BPK adalah jabatan politis maka produk yang dihasilkan oleh BPK dalam melaksanakan fungsinya yang melekat pada jabatan itu adalah produk politik dan semata-mata didasari oleh pertimbangan-pertimbangan politik, sebagaimana halnya produk-produk DPR, DPD, dan DPRD yang dijadikan rujukan oleh Pemohon. Dengan kata lain, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak ada bedanya dengan pengawasan politis yang melekat dalam fungsi DPR. Jika demikian halnya, maka menjadi pertanyaan buat apa dibentuk BPK. Padahal salah satu argumenrtasi Pemohon dalam hal ini menyatakan bahwa lahirnya kebutuhan membentuk BPK adalah karena makin kompleksnya keuangan negara yang secara implisit berarti Pemohon sendiri sesungguhnya mengakui bahwa dalam konteks pengawasan terhadap keuangan negara maka pengawasan yang bersifat politis yang melekat dalam kelembagaan DPR tidak memadai dalam hubungannya dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan karena itu dibutuhkan lembaga tersendiri yang bebas dan mandiri untuk melakukan bagian dari fungsi pengawasan tersebut.

Lagipula jika proses pemilihan secara politis yang dijadikan alasan, berarti semua lembaga yang keanggotaannya dipilih oleh DPR dapat dikategorikan sebagai lembaga sekaligus jabatan politis yang tidak mengenal periodisasi masa jabatan. Hal demikian jelas tidak dapat diterima sebab kontradiktif dengan semangat dan substansi yang terkandung dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang memberi wewenang konstitusional kepada BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Sebab, pemeriksaan (dalam konteks pelaksanaan kewenangan BPK), sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 UU BPK adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sementara itu, yang dimaksud dengan standar pemeriksaan, menurut Pasal 1 angka 13 UU BPK, adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dengan dasar pertimbangan itu saja, tanpa perlu memerinci lebih lanjut ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang BPK sebagaimana diatur dalam Bab III UU BPK, dalil Pemohon perihal tidak boleh dibatasinya masa jabatan anggota BPK berdasarkan alasan yang semata-mata disandarkan pada argumentasi bahwa sifat jabatan BPK adalah jabatan politis telah tertolak dengan sendirinya. Sebab, pengertian pemeriksaan dan standar pemeriksaan sebagaimana diuraikan di atas tidak mungkin dilaksanakan berdasarkan pertimbangan politis dengan semata-mata mengasumsikan bahwa sifat jabatan BPK sebagai jabatan politis sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan pengertian pengelolaan keuangan negara dan tanggung jawab keuangan negara, sebagaimana diatur masing-masing dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 11 UU BPK.

Dengan demikian, oleh karena argumentasi dasar yang digunakan oleh Pemohon untuk menyatakan inkonstitusionalitas pembatasan masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi, yaitu bahwa sifat jabatan BPK adalah jabatan politis, telah tertolak maka dalil Pemohon selanjutnya yang diturunkan dari argumentasi tersebut yaitu bahwa pembatasan masa jabatan keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi bertentangan dengan negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena tidak memberikan hak atas kepastian hukum yang adil, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menjadi kehilangan relevansi maupun koherensinya. Selain itu, secara tekstual maupun kontekstual, Pasal 5 ayat (1) UU BPK justru telah menjamin dan memberikan kepastian hukum karena tidak mungkin ditafsirkan berbeda selain sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK tersebut. Adapun perihal keadilan, hal itu tidaklah tepat jika semata-mata dilihat dari perspektif subjektif kepentingan Pemohon atau anggota BPK petahana. Sebab, pertanyaan mendasarnya adalah benarkah terdapat persoalan ketidakadilan dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang telah memberikan jaminan kepastian hukum tersebut hanya karena di dalamnya ditentukan bahwa masa jabatan anggota BPK dibatasi berdasarkan periodisasi. Dalam kaitan ini, Pemohon tidak menjelaskan konsep keadilan tertentu yang dijadikan titik tolaknya melainkan hanya mengemukakan argumentasi bahwa dengan tidak membatasi masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi tidaklah menghalangi hak warga negara lainnya untuk menjadi anggota BPK karena DPR-lah yang pada akhirnya akan memutuskan (setelah mendengar pertimbangan DPD) dipilih atau tidaknya anggota BPK petahana. Argumentasi demikian bukanlah menjelaskan adanya masalah ketidakadilan dalam pembatasan masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi melainkan argumentasi yang dimaksudkan untuk mendukung dalil Pemohon bahwa sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politis.

2. Terhadap persoalan Kedua, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah benar BPK merupakan salah satu pelaksana fungsi legislatif. Dalam kaitan ini Pemohon mengemukakan argumentasi teoretik dengan merujuk pada gagasan kedaulatan rakyat yaitu bahwa sumber keuangan negara berasal dari kepemilikan rakyat maka agar pengelolaannya dilakukan secara bertanggung jawab, pengawasannya diserahkan kepada wakil-wakilnya di DPR. Karena persoalan keuangan negara makin kompleks maka untuk melakukan fungsi pengawasan itu dibentuklah BPK. Karena itulah hasil pengawasan BPK diserahkan kepada DPR. Pemohon selanjutnya membuat pengelompokan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini dengan bertolak dari ajaran trias politika dan memasukkan BPK ke dalam kelompok cabang kekuasaan legislatif (bersama- sama dengan MPR, DPR, dan DPD). Dari titik tolak itu Pemohon kemudian menarik konklusi bahwa oleh karena masa jabatan anggota legislatif tidak dibatasi berdasarkan periodisasi maka hal demikian juga berlaku terhadap jabatan anggota BPK.

Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat, dengan argumentasi demikian Pemohon secara tidak langsung berarti menganggap bahwa kedaulatan rakyat hanya terjelma ke dalam kelembagaan DPR. Padahal, Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, menurut UUD 1945, seluruh kekuasaan negara sumbernya adalah kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, pelembagaan kekuasaan negara ke dalam berbagai lembaga negara yang ada pada saat ini sumbernya adalah kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur berdasarkan UUD 1945. Hal ini merupakan prinsip dasar gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang diturunkan dari Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945.

Adanya pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945, yang sebagian dirujuk oleh Pemohon, bahkan yang disampaikan atas nama fraksi pun, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent MPR. Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi. Dalam konteks permohonan a quo, norma Konstitusi yang ditafsirkan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU BPK adalah Pasal 23E UUD 1945.

Dari sudut pandang konstitusi sebagai satu kesatuan, Pasal 23E UUD 1945 harus ditafsirkan sebagai bagian dari upaya konstitusional mewujudkan tujuan bernegara memajukan kesejahteraan umum di mana tujuan demikian dapat dicapai, salah satunya, jika keuangan negara dikelola secara bertanggung jawab. Untuk mencapai maksud tersebut, pengawasan yang bersifat politis semata-mata dari DPR tidaklah memadai. Karena itu dibutuhkan lembaga yang secara profesional memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dimaksud, yaitu BPK. Atas dasar hasil pemeriksaan yang secara profesional dilakukan oleh BPK itulah DPR akan menentukan sikap politiknya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif. Dari sudut pandang koherensi praktis, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menekankan sifat bebas dan mandiri kelembagaan BPK adalah koheren dengan maksud dibentuknya BPK untuk mengawasi pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tersebut sebab tanpa kebebasan dan kemandirian demikian, BPK tidak mungkin melaksanakan fungsi pemeriksaannya secara profesional. Sementara itu, dari sudut pandang keberlakuan yang tepat, Pasal 23E UUD 1945 tidak mungkin bekerja secara tepat (appropriate) jika BPK diisi oleh anggota-anggota yang tidak memiliki keahlian dalam bidang keuangan negara.
Dengan demikian, mendalilkan BPK sebagai bagian dari kekuasaan legislatif adalah tidak beralasan menurut hukum.

3. Terhadap persoalan Ketiga, Mahkamah mempertimbangkan bahwa mendalilkan inkonstitusionalitas pembatasan masa jabatan keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi dengan landasan argumentasi bahwa BPK adalah lembaga yang bersifat majemuk dan pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif kolegial tidaklah tepat tanpa mengaitkannya dengan konteks tujuan dibentuknya BPK sebagaimana telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas. Adapun bagian dari pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-X/2012 yang dijadikan bagian dari argumentasi Pemohon penekanannya adalah pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Benar bahwa dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah membedakan sifat jabatan Presiden dan sifat jabatan anggota DPR dan DPRD di mana dinyatakan bahwa Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan, sedangkan DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif sehingga Mahkamah menyatakan kecil kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Namun, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah tidak menyatakan bahwa sama sekali terhadap jabatan yang bersifat majemuk tidak boleh dilakukan pembatasan. Apabila suatu saat pembentuk undang-undang berpendirian bahwa dengan memerhatikan perkembangan masyarakat terdapat kebutuhan untuk membatasi masa jabatan anggota lembaga negara yang bersifat majemuk, hal itu tidaklah serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang oleh UUD 1945. Apalagi secara hakiki UUD 1945 setelah perubahan menganut prinsip pembatasan kekuasan termasuk di dalamnya pembatasan terhadap periodisasi masa jabatan alat-alat kelengkapan negara. Oleh karena itu, pertimbangan hukum putusan Mahkamah dimaksud tidak boleh ditafsirkan bahwa pembatasan masa jabatan anggota lembaga-lembaga negara yang bersifat majemuk adalah inkonstitusional. Sementara itu, rujukan Pemohon kepada negara-negara yang anggota “BPK”-nya tidak dibatasi berdasarkan periodisasi haruslah diperlakukan semata-mata sebagai best practices sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan sistem ketatanegaraan di negara-negara tersebut, bukan sebagai kriteria yang berlaku umum. Sebab, terdapat pula sejumlah negara lain yang membatasi masa jabatan anggota “BPK”-nya berdasarkan periodisasi. Lagi pula, rujukan demikian tentu tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan pembatasan masa jabatan anggota BPK berdasarkan periodisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU BPK bertentangan dengan UUD 1945.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN SERTA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Guntoro

atas Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.11] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Terhadap Praperadilan (Perma 4/2016) bertentangan dengan UUD 1945 karena membatasi peninjauan kembali terhadap praperadilan. Hal ini menurut Pemohon membatasi hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan.

Terkait dengan dalil Pemohon tersebut dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 2019, Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa norma undang-undang yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Lebih lanjut Panel Hakim juga telah menyarankan kepada Pemohon untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Mahkamah. Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 5 April 2019, Pemohon ternyata tetap tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara Undang-Undang a quo dengan UUD 1945 tersebut. Oleh karena itu menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami bahwa kewenangan Mahkamah adalah mengujI konstitusionalitas norma Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan peraturan perundang-undangan di bawah UndangUndang terhadap UUD 1945. Perma 4/2016 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

Selain itu, norma pasal yang menjadi objek permohonan Pemohon tidak memiliki koherensi antara alasan permohonan dengan rumusan norma yang diajukan pengujian. Pemohon mempersoalkan larangan pengajuan peninjauan 38 kembali terhadap putusan praperadilan padahal norma Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur mengenai pembatasan peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan sehingga dengan demikian secara logika tidak berkaitan dengan alasan permohonan Pemohon.

Selain itu, dalil Pemohon yang mempersoalkan UU Kekuasaan Kehakiman karena tidak mengatur jenis putusan praperadilan yang keliru mengabulkan penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, atau keliru mengabulkan permohonan pembatalan penangkapan, penahanan, penetapan tersangka suatu jenis tindak pidana delik murni sebagai perbuatan tercela yang patut diminta pertanggungjawaban secara hukum sesuai jenis dan tingkat penyimpangannya adalah dalil yang tidak dapat dipahami dalam penalaran yang wajar. Terlebih lagi permohonan ini tidak jelas apakah merupakan permohonan pengujian formil terhadap pembentukan undang-undang ataukah pengujian materiil terhadap keseluruhan isi undang-undang a quo. Selain itu Mahkamah tidak dapat menemukan keterkaitan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum), sehingga menurut Mahkamah maksud dan tujuan Pemohon dalam pengujian UU Kekuasaan Kehakiman termasuk Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman menjadi tidak jelas serta tidak terdapat kesesuaian antara posita dan petitum permohonan. Apalagi Pemohon dalam petitumnya mensyaratkan konstitusionalitas Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman dengan Pasal 3 ayat (1) Perma. Dengan demikian permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian Pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman dan keseluruhan UU Kekuasaan Kehakiman adalah kabur (obscuur).

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mempersoalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris berpotensi menghalangi penyidikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris karena adanya ketentuan di mana penyidik harus mendapatkan persetujuan dari MKN terlebih dahulu untuk dapat mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hal ini menurut Pemohon mengakibatkan terjadinya penghentian penyidikan karena penyidik terhalangi mendapatkan bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan terhadap seorang notaris.

Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami norma Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris tersebut secara utuh dalam kaitannya dengan ketentuan lain dalam UU a quo termasuk kewenangan dari MKN. Adanya persetujuan MKN tidak bertujuan untuk mempersulit proses penyidikan atau keperluan pemeriksaan terhadap notaris karena hal tersebut telah diantisipasi dengan adanya ketentuan Pasal 66 ayat (3) yang menyatakan, bahwa MKN dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. Hal ini pun kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 66 ayat (4) yang menyatakan, “Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.” Dalil Pemohon yang menganggap bahwa Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris bersifat redundant, karena secara substansi dianggap Pemohon sama dengan Pasal 66 ayat (3) adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris a quo justru merupakan penegasan bahwa MKN tidak dapat menghalangi kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim dalam melakukan kewenangannya untuk kepentingan proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Terlebih lagi ketentuan pasal a quo dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya, khususnya melindungi keberadaan minuta sebagai dokumen negara yang bersifat rahasia.

Selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon mengenai Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris, yaitu petitum angka (6) yang pada pokoknya, meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 karena telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013. Menurut Pemohon justru dengan adanya revisi UU Jabatan Notaris telah menyulitkan aparatur penegakan hukum untuk memeriksa notaris. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dan bahkan mengutip nomor putusan yang salah yaitu Putusan 49/PUU-X/2013 [sic!], padahal putusan Mahkamah yang substansinya menyangkut norma pada UU Jabatan Notaris sebagaimana disebutkan Pemohon adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU- 40 X/2012 bertanggal 28 Mei 2013. Menurut Mahkamah, perubahan dan tambahan norma di dalam UU Jabatan Notaris sudah tepat dan tidak bertentangan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu dengan menambahkan norma pada Pasal 66 yaitu ayat (3) dan ayat (4) yang bertujuan untuk menghindarkan adanya hambatan penyidikan oleh MKN. Justru apabila permohonan Pemohon dikabulkan yaitu membatalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris secara keseluruhan dapat menciptakan persoalan di mana tidak adanya peran MKN dalam melakukan pembinaan notaris, khususnya dalam mengawal pelaksanaan kewajiban notaris, yang di antaranya merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan [vide Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Jabatan Notaris].

Terhadap permohonan Pemohon yang menginginkan agar Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, justru menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) sangat diperlukan dalam menciptakan kepastian hukum yang adil terhadap batas kewenangan MKN memberikan persetujuan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan pemanggilan terhadap notaris ataupun memeriksa berkas-berkas lain untuk keperluan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris karena tidak memuat frasa “dalam 7 (tujuh) hari setelah sidang etik harus segera membuat keputusan, baik Notaris terlapor hadir atau mangkir di sidang etik” (Petitum angka (4) Permohonan Pemohon) dan tidak memuat frasa “dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan” [Petitum angka (5) Permohonan Pemohon]. Namun demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan sama sekali khusus mengenai permohonan tersebut yang berkaitan dengan petitum a quo. Dalam hal ini, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar mengapa Pemohon beranggapan Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah tidak dapat 41 menemukan keterkaitan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum). Berdasarkan uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian norma a quo adalah kabur (obscuur).

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris serta keseluruhan UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian norma dan Undang-Undang a quo adalah kabur (obscuur). Sedangkan permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Lucky Andriyani yang diwakili oleh kuasa hukumnya DR. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si. dan kawan-kawan dari Kantor Hukum Eggi Sudjana & Partners

Pasal 285 UU Pemilu

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

[3.3.2] Bahwa berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 41 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada hari Selasa, tanggal 2 April 2019, yang dihadiri oleh Pemohon. Namun, pada persidangan kedua dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan yang dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 15 April 2019, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut oleh Mahkamah melalui Surat Panggilan Sidang dari Panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 254.23/PAN.MK/4/2019 bertanggal 8 April 2019, Pemohon maupun kuasa hukumnya tidak menghadiri persidangan tersebut tanpa disertai dengan alasan yang sah.

Bahwa Juru Panggil Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, sebelum dilangsungkannya sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan a quo, telah mendapat konfirmasi melalui hubungan komunikasi telepon bahwa pihak Pemohon, melalui kuasa hukumnya, menyatakan tidak ada seorang pun yang dapat menghadiri persidangan a quo dikarenakan belum menerima surat panggilan sidang. Menurut Mahkamah, hal demikian tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang patut dan sah bagi Pemohon untuk tidak menghadiri sidang dimaksud karena Mahkamah sebelumnya telah melakukan pemanggilan secara sah dan patut sebagaimana telah diuraikan di atas, dan sampai saat putusan ini diucapkan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tidak menerima pengembalian surat panggilan tersebut dari kantor pos yang biasanya terjadi jika penerima surat tidak dikenal atau keliru dalam mencantumkan alamat surat. Meskipun Pemohon tidak hadir, ternyata Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan pada Senin, 15 April 2019 pukul 13.36 WIB atau tepatnya sekitar 20 menit sebelum sidang Perbaikan Permohonan dimulai. Perbaikan Permohonan dimaksud disampaikan melalui seseorang yang bernama Aris Munandar yang Mahkamah tidak dapat meyakini apakah orang dimaksud adalah prinsipal atau kuasanya yang menyebabkan Mahkamah tidak dapat mengklarifikasi perbaikan dimaksud termasuk bukti-bukti yang diajukan sehingga dalam memutus permohonan a quo Mahkamah berpegang pada permohonan awal.

Menimbang bahwa setelah membaca kembali permohonan awal dari Pemohon bertanggal 15 Maret 2019, dalam permohonan a quo ternyata sama sekali tidak memuat identitas Pemohon (prinsipal) melainkan hanya memuat nama kuasa Pemohon. Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) huruf a UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005), permohonan harus memuat nama dan alamat Pemohon.

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 31, Pasal 51A, dan Pasal 56 UU MK serta Pasal 5 PMK 06/2005 karena permohonan Pemohon tidak memuat identitas Pemohon prinsipal, maka permohonan Pemohon adalah tidak memenuhi syarat formal permohonan, sehingga menurut Mahkamah permohonan yang demikian adalah kabur.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Victor F. Sjair, S.Pi dan Ir. Johana Joice Julita Lololuan yang diwakili oleh kuasa hukumnya Meivri D. Nirahua, S.H., dan kawan-kawan dari Kantor Advokat & Konsultan Hukum Nirahua-Tuny & Rekan

Pasal 10 ayat (1) huruf b, Lampiran I Mengenai Rincian Tabel Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu

28D ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

[3.13.] Menimbang bahwa sebelum menjawab permasalahan konstitusional pertama di atas, terlebih dahulu, Mahkamah perlu mengutip beberapa substansi dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUXVI/2018, tertanggal 23 Juli 2018 terutama terkait dengan pertimbangan hukum persoalan inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu dan Penjelasan beserta lampirannya yang menjadi salah satu materi pokok permohonan para Pemohon dalam putusan dimaksud. Sekalipun memiliki sisi pandang yang berbeda, materi permohonan para Pemohon dalam permohonan a quo memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda, yaitu menambah jumlah anggota KPU dari jumlah yang ditentukan dalam UU Pemilu. Bedanya, permohonan a quo berkeinginan menambah jumlah anggota KPU provinsi yang dalam UU Pemilu ditentukan lima orang menjadi tujuh orang, sementara substansi terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 adalah menambah anggota KPU kabupaten/kota yang berjumlah tiga orang menjadi lima orang. Beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUXVI/2018 yang relevan dijadikan rujukan adalah sebagai berikut.


Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana kehendak sesungguhnya konstitusi (UUD 1945) terhadap institusi penyelenggara Pemilu. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sesuai sifat mandiri yang ditegaskan dalam ketentuan tersebut, lembaga penyelenggara Pemilu haruslah sebuah institusi yang bebas dari intervensi kepentingan politik. Pada saat yang sama, orang-orang yang bertindak sebagai penyelenggara bukan bagian dari kontestan pemilihan umum serta dapat melaksanakan tugas secara independen. Bahwa kemandirian atau independensi penyelenggara Pemilu juga ditopang oleh aspek imparsialitas dan profesionalitas orang-orang yang diangkat sebagai penyelenggara Pemilu. Dua aspek tersebut akan sangat menentukan bagaimana kemandirian lembaga penyelenggara pemilu dijaga dan ditegakkan. Pada saat yang sama, keduanya juga sangat menentukan bagaimana Pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan. Bahwa secara konseptual, profesionalitas merupakan salah satu dari 11 prinsip Pemilu berkeadilan yang dirumuskan The United Nations Democracy Fund (UNDEF), di mana prinsip profesionalitas diartikan bahwa penyelenggaraan pemilu mensyaratkan pengetahuan teknis bagi penyelenggara pemilu yang mumpuni dan memiliki kompetensi untuk menjelaskan proses atau tahapan Pemilu. Artinya, untuk menjadi penyelenggara, seseorang haruslah memiliki pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Selain itu, beban kerja yang seimbang juga menjadi bagian penting agar kerja-kerja profesional penyelenggara dapat dilakukan secara optimal terutama untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Dalam pengertian demikian, betapapun bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari penyelenggara pemilu namun bilamana dibebani dengan pekerjaan secara tidak seimbang atau beban yang berlebihan (overload), penyelenggara Pemilu akan sulit untuk bekerja secara profesional. Bagaimanapun, sesuatu yang dapat mengurangi profesionalitas penyelenggara secara langsung juga akan berpengaruh terhadap terwujud atau tidaknya Pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, hlm. 87-88].


[3.13.1] Bahwa merujuk pertimbangan hukum putusan tersebut, perihal jumlah anggota KPU di setiap tingkatan memang berpotensi memengaruhi terwujud atau tidaknya pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, keseimbangan beban kerja menjadi bagian penting agar kerja-kerja profesional penyelenggara pemilu dapat dilakukan secara optimal terutama untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Artinya, jumlah anggota KPU pada setiap tingkatan di antaranya ditentukan berdasarkan beban kerja dalam tahap pemilu secara keseluruhan. Secara keseluruhan beban kerja tersebut dapat dilacak dari tugas, wewenang, dan kewajiban KPU dalam penyelenggaraan pemilu. Perihal beban kerja KPU (berupa tugas, wewenang, dan kewajiban) setiap tingkatan tersebut dapat dirunut dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 UU Pemilu untuk KPU, Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 UU Pemilu untuk KPU provinsi, dan Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 UU Pemilu untuk KPU kabupaten/kota. Berdasarkan beban-kerja KPU di setiap jenjang tersebut, menurut Mahkamah, KPU provinsi lebih merupakan “penghubung” antara KPU dan KPU kabupaten/kota. Pemahaman demikian secara sederhana dapat dilihat dari beberapa tugas dan wewenang KPU provinsi sebagai jembatan antara KPU dengan KPU kabupaten/kota, atau sebaliknya, sebagai jembatan antara KPU kabupaten/kota dengan KPU. Terkait dengan posisi KPU provinsi sebagaimana digambarkan tersebut, dapat ditelusuri dari tugas KPU provinsi, antara lain yaitu:
(1) mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan tahapan penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota; (2) menerima daftar pemilih dari KPU kabupaten/kota dan menyampaikannya kepada KPU; dan (3) merekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu anggota DPR dan anggota DPD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di provinsi yang bersangkutan dan mengumumkannya berdasarkan berita acara hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU kabupaten/kota [vide Pasal 15 UU Pemilu]. Fungsi demikian pun terbaca dalam kewenangan KPU provinsi antara lain menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil rekapitulasi di KPU kabupaten/kota dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara [vide Pasal 16 UU Pemilu].


[3.13.2] Bahwa terkait dengan jumlah anggota KPU sebagai penyelenggara pemilu yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, secara historis pun telah menjadi pertimbangan dan pembahasan pembentuk undang-undang pascaperubahan UUD 1945 yaitu ketika mempersiapkan Pemilu 2004. Ihwal aspek historis jumlah anggota KPU juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 di antaranya, yaitu: Bahwa untuk pertama kali, KPU sebagai lembaga yang mandiri sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2003). Dalam UU 12/2003 tersebut diatur bahwa jumlah anggota KPU sebanyak 11 (sebelas) orang, anggota KPU Provinsi 5 (lima) orang, dan jumlah anggota KPU kabupaten/kota 5 (lima) orang. Jumlah tersebut ditetapkan setelah sebelumnya dalam draft RUU 12/2003 yang diusulkan oleh pemerintah jumlah anggota KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota adalah sebanyak 5 (lima) sampai 9 (sembilan) orang. Seperti terpapar di dalam Persandingan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksifraksi DPR terhadap RUU 12/2003, pemerintah mengusulkan anggota KPU terdiri atas 11 anggota [Pasal 66], anggota Panitia Pemilu Provinsi sekurangkurangnya lima orang dan sebanyak-banyaknya tujuh orang [Pasal 75], anggota Panitia Pemilu kabupaten/kota sekurang-kurangnya tujuh orang dan sebanyak-banyaknya sembilan orang [Pasal 78];

Bahwa berdasarkan fakta di atas, untuk mewujudkan pelaksanaan Pemilu secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, jumlah yang tertera dalam draf Persandingan DIM RUU Pemilu pertama setelah perubahan UUD 1945 tersebut dapat dipahami, pertama, pembentuk undang-undang awalnya menginginkan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota dalam jumlah tertentu, yaitu antara lima sampai dengan tujuh orang untuk anggota KPU provinsi dan tujuh sampai sembilan orang untuk kabupaten/kota; kedua, jumlah anggota KPU kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi. Dalam batas penalaran yang wajar, jumlah tersebut diusulkan sesuai dengan beban kerja penyelenggaraan Pemilu pada setiap tingkatan, di mana KPU lebih banyak berperan pada aspek regulasi dan pengendalian, KPU Provinsi lebih pada aspek koordinasi dan supervisi, dan posisi KPU kabupaten/kota sebagai pelaksana sekaligus pengendali terhadap penyelenggaraan tahapan Pemilu di kabupaten/kota termasuk pengendali panitia/penyelenggara ad hoc yang berada di level di bawah kabupaten/kota. Dengan demikian, dari aspek tanggung jawab, KPU dan KPU Provinsi tentu lebih besar, namun dari aspek beban kerja penyelenggaraan, KPU kabupaten/kota jauh lebih berat. Oleh karena itu, menjadi logis apabila pemerintah dalam draft yang diajukan mengusulkan bahwa jumlah anggota KPU kabupaten/kota lebih banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi; Bahwa apabila pada akhirnya pembentuk undang-undang menyepakati anggota KPU Provinsi dan kabupaten/kota dalam UU 12/2003 masingmasing berjumlah lima orang, kesepakatan tersebut didasarkan atas pertimbangan beban anggaran yang ditimbulkan jikalau jumlah anggota KPU provinsi ditetapkan tujuh orang dan anggota KPU kabupaten/kota tujuh sampai sembilan orang. Pertimbangan tersebut juga menjadi dasar pemikiran pembentuk undang-undang sehingga UU 12/2003 mengadopsi bahwa KPU berjumlah 11 orang, KPU Provinsi berjumlah lima orang, dan KPU kabupaten/kota berjumlah lima orang [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, hlm. 88-89].


[3.13.3] Bahwa dengan merujuk latar belakang perkembangan historis jumlah anggota KPU sebagaimana dipertimbangkan dalam putusan tersebut, sekalipun secara tanggung jawab KPU provinsi lebih besar dibandingkan dengan KPU kabupaten/kota, namun dari beban kerja KPU kabupaten/kota jauh lebih berat dibandingkan dengan KPU provinsi. Beratnya beban-kerja KPU kabupaten/kota tersebut dapat dibaca secara jelas dalam UU Pemilu. Bahkan, secara faktual dan dalam batas penalaran yang wajar, dengan bertambahnya beban penyelenggara pemilu khususnya di kabupaten/kota ke bawah yaitu dengan perubahan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 tentu saja memberikan beban lebih besar bagi penyelenggara di kabupaten/kota. Artinya, sebagaimana dikemukakan di atas, beban-kerja KPU provinsi sebagai jembatan antara KPU dengan KPU kabupaten/kota terutama meneruskan dan menyampaikan daftar pemilih kepada KPU dan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu anggota DPR dan anggota DPD serta pemilu Presiden/Wakil Presiden di provinsi bersangkutan dan mengumumkannya berdasarkan berita acara hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU kabupaten/kota.

[3.13.4] Bahwa terkait dengan beban-kerja tersebut, penentuan jumlah penyelenggara pemilu termasuk dalam menentukan jumlah anggota KPU setiap tingkatan dalam menyelenggarakan pemilu merupakan bagian dari rancangbangun manajemen pemilu (election management) guna memastikan setiap tahapan pemilu dilaksanakan secara profesional, memfasilitasi hak politik pemilih dengan adil, serta melindungi pemenuhan prinsip daulat rakyat sebagai tujuan utama pelaksanaan pemilu. Secara umum, desain manajemen kepemiluan sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUXVI/2018 yang rasional dan terukur menjadi keniscayaan untuk dapat dipastikan terwujud dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilu yang ruang lingkupnya dimulai dari pendaftaran pemilih; pencalonan; kampanye; pemungutan dan penghitungan suara; rekapitulasi hasil penghitungan suara; penetapan hasil pemilu; sengketa hasil pemilu; dan hingga tahap pelantikan pemerintahan/pejabat hasil pemilu. Dengan demikian, ketika secara faktual dengan beban-kerja KPU kabupaten/kota lebih besar, pengaturan dalam UU Pemilu bahwa jumlah sebagian anggota KPU provinsi lima orang dengan menggunakan sejumlah faktor sebagai dasar pertimbangan seperti faktor jumlah penduduk dan faktor luas wilayah tidaklah berpotensi mengancam, apalagi mengancam asas-asas pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Bahkan, penentuan jumlah sebagian anggota KPU provinsi lima orang bukan persoalan konstitusional dan sama sekali tidak mengubah makna bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penentuan jumlah anggota KPU baru akan menimbulkan persoalan konstitusional yang dapat menjadikannya inkonstitusional jikalau jumlah tersebut menjadikan KPU tidak bersifat nasional, tidak tetap, dan tidak mandiri sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Bagaimanapun, sekalipun terdapat sejumlah KPU provinsi berjumlah lima orang, pengaturan dalam UU Pemilu masih tetap mempertahankan prinsip mendasar KPU dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, yaitu tetap bersifat nasional, tetap, dan mandiri.


[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan inkonstitusionalitas norma Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:


[3.14.1] Bahwa secara sistematis letak atau posisi Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu berada dalam ruang lingkup salah satu bagian dari “Ketentuan Peralihan”. Merujuk Angka 127 Lampiran UU 12/2011, Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap peraturan perundangundangan yang baru, yang bertujuan untuk: (a) menghindari terjadinya kekosongan hukum; (b) menjamin kepastian hukum; (c) memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (d) mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.


[3.14.2] Bahwa apabila dibaca konsiderans “Menimbang” huruf b UU Pemilu, salah satu maksud pembentukannya adalah untuk menyederhanakan dan menyatukan sejumlah undang-undang yang berada dalam ranah pemilu. Paling tidak terdapat tiga undang-undang yang disederhanakan dan disatukan tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU 15/2011); dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai salah satu undang-undang yang digabungkan dan disederhanakan dan dalam posisi sebagai pengaturan ihwal penyelenggara pemilu, UU 15/2011 tentunya mengatur masa jabatan anggota KPU di semua tingkatan dan telah diisi berdasarkan UU 15/2011. Ketika substansi penyelenggara pemilu menjadi bagian undang-undang baru (yaitu: UU Pemilu), masa jabatan penyelenggara pemilu (baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu) yang dibentuk berdasarkan UU 15/2011 harus dijaga kepastiannya sehingga tidak terjadi kekosongan hukum. Selain itu, pengaturan demikian diperlukan agar perubahan peraturan perundang-undangan tetap memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai aturan yang bersifat transisional, pengaturan dalam norma Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum yang adil bagi penyelenggara pemilu terutama masa jabatan anggota KPU provinsi dan anggota KPU kabupaten/kota


[3.14.3] Bahwa sebagai norma yang mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara, Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu tidak dimaksudkan untuk mengatur masa jabatan anggota penyelenggara pemilu, in casu KPU di semua tingkatan, yang dipilih berdasarkan UU Pemilu. Dalam hal ini, terkait dengan masa jabatan semua anggota KPU yang dipilih dan ditetapkan berdasarkan UU Pemilu berlaku ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU Pemilu yang menyatakan bahwa, “Masa jabatan keanggotaan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota adalah selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama”. Dengan demikian menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu memang dimaksudkan sebagai peralihan dan setelah anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota diisi berdasarkan peraturan yang baru maka akan berlaku ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU Pemilu


[3.14.4] Bahwa apabila diletakkan dalam konteks tujuan pembentukan hukum, tidak bisa dipungkiri, pembentukan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu dimaksudkan oleh para pembentuk undang-undang untuk menciptakan kepastian hukum. Bahkan, tidak hanya kepastian hukum tetapi lebih dari itu, yaitu menciptakan kepastian hukum yang adil bagi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Jikalau pembentuk undang-undang tidak membuat aturan peralihan tersebut, bukan tidak mungkin penyelenggara pemilu, termasuk KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan berakhir masa jabatannya ketika peraturan yang baru diberlakukan, padahal berdasarkan peraturan yang lama masa jabatannya belum lagi berakhir. Dalam konteks itu, semua penyelenggara pemilu termasuk para Pemohon telah diberikan kepastian hukum yang adil oleh norma Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu. Dengan demikian, secara a contrario, apabila dalil para Pemohon diikuti, justru akan memunculkan ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang masa jabatannya masih tersisa yang diisi berdasarkan UU 15/2011. Secara konkret jika dikaitkan dengan para Pemohon, sekiranya ketentuan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu tersebut tidak ada maka dapat dipastikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak adil bagi para Pemohon sendiri


[3.14.4] Bahwa berkenaan dengan kekhawatiran para Pemohon ihwal adanya pergantian anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berdekatan dengan jadwal atau tahap pemungutan suara, kekhawatiran tersebut bukanlah disebabkan oleh ketentuan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu. Karena, secara faktual terdapat pergantian sejumlah anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang berdekatan dengan tahap pemungutan suara, masalah ini dapat diatasi dengan membuat desain pengisian anggota KPU yang disesuaikan dengan tahapan pemilu. Artinya, agar fakta pergantian yang dikhawatirkan oleh para Pemohon tidak terjadi lagi, KPU dapat membuat desain proses seleksi yang mempertimbangkan tahap-tahap pemilu dimaksud.


[3.15] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan norma dalam Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-05-2019

Dorel Amir

Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

[3.12.1] Bahwa, pertama, secara normatif, partai politik merupakan organ yang memiliki urgensi konstitusional, di mana berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, partai politik ditegaskan sebagai peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pada saat yang sama, partai politik juga merupakan subjek yang berperan dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih dalam pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dalam posisi demikian, partai politik menjadi wadah sekaligus perantara bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di lembaga perwakilan dan pemerintahan.

Selain itu kehadiran partai politik adalah juga menjadi wujud pengakuan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Sebagai wadah berserikat dan berkumpul warga negara, secara doktriner, partai politik dimaknai sebagai kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita bersama yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara yang konstitusional. Terkait dengan pandangan doktriner tersebut, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) memberikan makna yang lebih konkret, yaitu partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[3.12.2] Bahwa sebagai organisasi yang dibentuk oleh warga negara, partai politik ditempatkan sebagai badan hukum yang mesti didaftarkan kepada kementerian yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Badan hukum partai politik dimaksud dijalankan sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD dan ART) yang dibentuk berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik seperti kongres, muktamar atau istilah lain. Lebih jauh, sebagai badan hukum berbasis anggota yang terdiri dari warga negara yang memenuhi syarat, kedaulatan partai politik diletakkan di tangan anggotanya dan kedaulatan itu dilaksanakan menurut AD dan ART masing-masing partai politik. Pengaturan demikian dapat dibaca berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Parpol yang menyatakan bahwa kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART.

Merujuk kepada kerangka konstitusional keberadaan partai politik dan kedudukannya sebagai badan hukum berbasis anggota yang merupakan warga negara, sudah jelas dan tegas bahwa kekuasaan tertinggi partai politik tersebut berada di tangan anggota. Hanya saja, kekuasaan tertinggi partai politik tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam AD dan ART partai politik yang bersangkutan. Dalam konteks ini, kekuasaan tertinggi di tangan anggota harus dijalankan sesuai mekanisme internal partai politik. Dengan ditempatkannya daulat partai politik di tangan anggota maka segala mekanisme internal partai politik diserahkan kepada tiap-tiap partai politik untuk mengaturnya dalam AD/ART masing-masing.

[3.12.3] Bahwa, kedua, sebagai organisasi yang kekuasaan tertingginya ada di tangan anggota serta memiliki peran yang bersifat urgen dalam pemilu, salah satu fungsi utama yang dijalankan oleh partai politik sebagaimana diatur dalam UU Parpol adalah melakukan proses rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik, termasuk dalam proses pengajuan calon anggota DPR dan DPRD. Proses tersebut harus dilakukan melalui mekanisme yang demokratis sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam AD/ART masing-masing partai politik.

Mekanisme demokratis internal partai politik sangat bergantung pada kesepakatan anggota partai politik sebagaimana dituangkan dalam AD/ART dari masing-masing partai politik bersangkutan. Sehubungan dengan hal itu, desain konstitusional kelembagaan partai politik sesungguhnya diarahkan pada kondisi di mana partai politik memiliki kebebasan masing-masing untuk menjalankan mekanisme internalnya. Dalam konteks itu, aturan hukum negara membatasi diri hanya sampai pada tingkat menegaskan bahwa mekanisme rekrutmen sebagai salah satu fungsi partai politik harus dilakukan secara dan dengan proses yang demokratis. Adapun pelaksanaannya bergantung pada prosedur yang diatur dalam AD/ART setiap parpol yang disepakati oleh anggota partai politik dalam forum pengambilan keputusan tertinggi yang dibenarkan atau diatur untuk tujuan dimaksud.

[3.12.4] Bahwa, ketiga, dalam menjalankan fungsinya, terutama fungsi rekrutmen, partai politik berkepentingan untuk memperluas atau memperbanyak jumlah anggotanya. Upaya tersebut diperlukan guna memberikan ruang lebih luas bagi warga negara untuk berpartipasi dalam politik, menjaga kontinuitas dan kelestarian partai politik, serta menjaring dan melatih calon-calon pemimpin politik. Rekrutmen anggota tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan dan menurut cara yang efektif pada masing-masing partai politik. Hanya saja, proses rekrutmen keanggotaan tersebut dilakukan secara terbuka, sukarela, dan tidak diskriminatif bagi warga negara yang menyetujui dan sekaligus menerima materi AD/ART partai politik. Dalam konteks ini, proses rekrutmen anggota partai politik sepenuhnya diserahkan kepada partai politik, sepanjang tidak ada diskriminasi bagi warga negara untuk menjadi anggota partai politik yang bersangkutan.

[3.13] Menimbang bahwa dari tiga pokok bahasan terkait dengan kedaulatan, fungsi rekrutmen partai politik dan keanggotaan sebagaimana dipertimbangkan di atas dapat dipahami bahwa partai politik merupakan organ yang didesain menjadi lembaga yang memiliki kedaulatan di tangan anggota, sehingga ia mempunyai kebebasan sendiri dalam menentukan syarat dan mekanisme rekrutmen dalam AD/ART-nya. Pada saat yang sama, partai politik juga memiliki kebebasan dalam merekrut anggotanya sepanjang dilakukan menurut cara dan prinsip-prinsip keanggotaan yang ditentukan dalam UU Partai Politik dan tidak bersifat diskriminatif bagi warga negara Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, ketika partai politik mengajukan anggota-anggotanya menjadi bakal calon anggota legislatif tanpa memberikan syarat batas waktu minimal untuk menjadi anggota partai politik, ketiadaan batasan dimaksud tidak dimuat dalam UU Pemilu, apakah kondisi demikian dapat dinilai sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif sehingga dapat dinilai telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu bahwa UUD 1945 sama sekali tidak membenarkan adanya kebijakan hukum yang bersifat diskriminatif. Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, Mahkamah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan diskriminatif adalah adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, bahasa dan keyakinan politik. Pertimbangan dimaksud sejalan dengan makna substantif yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang pernah juga ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagai berikut:

Menimbang bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwasannya setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ditegaskan pula dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwasannya setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;

Pendirian Mahkamah ihwal diskriminasi tersebut ditegaskan kembali dalam sejumlah putusan berikutnya, sehingga sebuah kebijakan yang bersifat diskriminatif atas dasar perbedaan agama, suku, ras, golongan, kelompok maupun keyakinan politik sama sekali tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan UUD 1945.

Apabila definisi diskriminasi sebagaimana dimaksud dan dikehendaki UUD 1945 di atas digunakan untuk menilai keberadaan syarat menjadi anggota partai politik yang tidak mencantumkan ihwal batas waktu tertentu sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo, Mahkamah sama sekali tidak menemukan adanya hal yang bersifat diskriminatif. Ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu hanya memuat syarat “menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu”, hal mana syarat tersebut berlaku umum bagi semua warga negara yang akan mengajukan atau diajukan sebagai calon anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat tersebut sama sekali tidak mengandung maksud membeda- bedakan warga negara atas dasar suku, agama, ras, golongan, kelompok maupun keyakinan politik. Oleh karena itu, norma a quo tidak dapat dinyatakan telah memperlakukan Pemohon secara diskriminatif sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.

[3.14] Menimbang bahwa memberikan peluang yang sama bagi semua anggota partai politik, terlepas apakah telah menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu lama atau baru sebagaimana terkandung dalam syarat yang tertuang dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu, dapat dinilai sebagai kebijakan yang diskriminatif, sebab dengan tidak adanya syarat menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu tertentu, telah mengakibatkan perlakuan yang sama terhadap anggota partai politik yang memiliki masa keanggotaan yang berbeda.

Terkait dengan hal tersebut, perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota partai politik tanpa membeda-bedakan masa keanggotaan tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif karena sama sekali tidak mengandung perlakuan berbeda atas dasar perbedaan suku, agama, ras, golongan, warna kulit, dan keyakinan politik. Lagi pula, jika dikaitkan dengan eksistensi partai politik yang kedaulatannya terletak di tangan anggota maka ketika disepakati sebagai aturan internal bahwa semua anggota memiliki hak yang sama tanpa membedakan jangka waktu keanggotaan, perihal ketiadaan persyaratan batas waktu keanggotaan dalam UU Pemilu tidak dapat dinilai sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif.

Lebih jauh, Mahkamah juga memahami maksud yang diinginkan Pemohon terkait perlunya syarat jangka waktu tertentu menjadi anggota partai politik yang bersangkutan sebelum seorang warga negara diajukan sebagai bakal calon anggota legislatif, yaitu guna menjaga kualitas proses kaderisasi partai politik dan untuk menopang terlaksananya pemilu yang lebih berkualitas. Dengan adanya batas waktu minimal menjadi anggota partai politik, diharapkan akan menjadi bagian dari rekayasa hukum mendorong perbaikan sistem rekrutmen dan kaderisasi politik partai politik. Hanya saja, hal tersebut merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk menilai dan memutuskannya, dan bukan terkait konstitusionalitas persyaratan menjadi anggota partai politik bagi calon anggota DPR dan DPRD yang diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon ihwal inkonstitusionalitas norma Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu sepanjang tidak dimaknai sekurang- kurangnya telah menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu pilihannya selama 1 (satu) tahun yang disampaikan Pemohon dalam permohonannya tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-04-2019

Badan Hukum Publik Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Aceh, Banten, Gorontalo, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Jambi sebagai Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII, dan Perseorangan Ir. Azhari A Gani bersama 39 orang lainnya sebagai Pemohon IX sampai dengan Pemohon XLVII diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., dkk yang seluruhnya merupakan Advokat yang tergabung dalam Dr. Muhammad Asrun and Partners (MAP) Law Firm

Pasal 30 ayat (2), (4), (5), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (3) dan (4), Pasal 77, Pasal 84 ayat (2) dan penjelasannya, serta ayat (5) UU 2/2017

Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo UU 2/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017 yang mengatur mengenai sertifikasi badan usaha…..

Dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017 tidak menyebabkan wewenang daerah dalam mengatur dan mengurus sub-urusan jasa konstruksi yang menjadi kewenangan daerah otonom terambil atau terkurangi. Justru daerah diberikan keleluasaan oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 untuk menyelenggarakan urusan tersebut seluas-luasnya sesuai dengan kondisi riil daerah. Oleh karenanya, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017 terhadap Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. Dengan adanya kejelasan proses mendapatkan Sertifikat Badan Usaha sebagaimana ditentukan dalam UU 2/2017 justru semakin menjamin kepastian, baik bagi badan usaha jasa konstruksi yang akan menyelenggarakan jasa konstruksi maupun pengguna jasa konstruksi karena menyangkut keamanan dan keselamatan orang banyak. Dengan demikian, tidaklah beralasan dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

[3.11.2] Bahwa para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 68 ayat (4) UU 2/2017 yang mengatur mengenai klasifikasi dan kualifikasi….

Mahkamah mempertimbangkan bahwa sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf sebelumnya yang esensinya adalah setiap badan usaha jasa konstruksi yang akan mengerjakan jasa konstruksi harus ada pengakuan terhadap klasifikasi usaha dan kualifikasi usaha yang tertera dalam sertifikat badan usaha jasa konstruksi. Adanya klasifikasi ini merupakan tuntutan global yang sejalan dengan salah satu maksud perlunya perubahan UU Jasa Konstruksi untuk mengikuti perkembangan global sehingga badan usaha jasa konstruksi di Indonesia semakin memiliki daya saing. Para Pemohon khawatir jika adanya peraturan menteri yang mengatur lebih lanjut klasifikasi tenaga kerja konstruksi akan menyebabkan LPJKP yang dibentuk dengan melaksanakan tugas, antara lain, melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja [vide Pasal 28 ayat (1) huruf c PP Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 28/2000)] akan kehilangan tugas dimaksud sehingga menurut anggapan para Pemohon akan juga kehilangan hak untuk bekerja. Konsekuensi diberlakukannya suatu Undang-Undang yang baru, in casu UU 2/2017, dengan sendirinya dibutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan, termasuk peraturan pelaksanaan teknisnya. Namun Ketentuan Penutup UU 2/2017 telah menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan dari UU 18/1999 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU 2/2017 [vide Pasal 104 huruf a UU 2/2017]. Dengan demikian, peraturan pelaksanaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak lain adalah PP 28/2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 4/2010) sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemeritah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 92/2010) karena peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksudkan dalam UU 2/2017 belum ditetapkan. Jikalaupun nantinya terdapat persoalan terhadap substansi norma peraturan pelaksanaan dari Pasal 68 UU 2/2017, peraturan demikian bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara norma Pasal 68 ayat (4) UU 2/2017 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[3.11.3] Bahwa para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 70 ayat (4) dan Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2017 yang mengatur mengenai sertifikasi kompetensi kerja….

Mahkamah menegaskan kembali bahwa sub-urusan provinsi dalam bidang jasa konstruksi yang telah ditetapkan dalam Lampiran C UU 23/2014 meliputi urusan penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi dan penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi cakupan daerah provinsi.
Dengan berlakunya UU 2/2017 tidak ada sub-urusan jasa konstruksi yang telah ditentukan dalam UU 23/2014 yang dikurangi dengan berlakunya UU 2/2017. Bahkan UU 2/2017 mempertegas sub-urusan tersebut [vide Pasal 7 UU 2/2017]. Lebih dari itu, justru dengan berlakunya UU a quo kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ditambahkan sebagaimana diatur dalam Pasal UU 2/2017 sebagai berikut:
1. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas meningkatnya kemampuan dan kapasitas usaha jasa konstruksi nasional gubernur memiliki kewenangan:
a. memberdayakan badan usaha Jasa Konstruksi
b. menyelenggarakan pengawasan proses pemberian Izin Usaha nasional;
c. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi di provinsi;
d. menyelenggarakan pengawasan sistem rantai pasok konstruksi di provinsi; dan
e. memfasilitasi kemitraan antara badan usaha Jasa Konstruksi di provinsi
f. dengan badan usaha dari luar provinsi.
[vide Pasal 4 ayat (1) huruf a juncto Pasal 6 ayat (1) UU 2/2017]

2. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan jasa konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa, gubernur memiliki kewenangan:
a. menyelenggarakan pengawasan pemilihan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menyelenggarakan pengawasan Kontrak Kerja Konstruksi; dan
c. menyelenggarakan pengawasan tertib penyelenggaraan dan tertib
d. pemanfaatan Jasa Konstruksi di provinsi
[vide Pasal 4 ayat (1) huruf b juncto Pasal 6 ayat (2) UU 2/2017]

3. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas terselenggaranya Jasa Konstruksi yang sesuai dengan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan penerapan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi kecil dan menengah [vide Pasal 4 ayat (1) huruf c juncto Pasal 6 ayat (3) UU 2/2017].

4. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas meningkatnya kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas tenaga kerja konstruksi nasional, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan: a) sistem Sertifikasi Kompetensi Kerja; b). pelatihan tenaga kerja konstruksi, dan c) upah tenaga kerja konstruksi [vide Pasal 4 ayat (1) huruf d juncto Pasal 6 ayat (4) UU 2/2017].

5. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas meningkatnya kualitas penggunaan material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri gubernur memiliki kewenangan:
a. menyelenggarakan pengawasan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi;
b. memfasilitasi kerja sama antara institusi penelitian dan pengembangan Jasa Konstruksi dengan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
c. mernfasilitasi pengembangan teknologi prioritas;
d. menyelenggarakan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi; dan
e. meningkatkan penggunaan standar mutu material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.
[vide Pasal 4 ayat (1) huruf e juncto Pasal 6 ayat (5) UU 2/2017]

6. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas meningkatnya partisipasi masyarakat jasa konstruksi gubernur memiliki kewenangan:
a. memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi provinsi;
b. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi; dan
c. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam Usaha Penyediaan Bangunan
[vide Pasal 4 ayat (1) huruf f juncto Pasal 6 ayat (6) UU 2/2017]

7. Dalam kaitan dengan tanggung jawab atas tersedianya sistem informasi jasa konstruksi, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah memiliki kewenangan mengumpulkan data dan informasi jasa konstruksi di provinsi.
[vide Pasal 6 ayat (7) UU 2/2017].

Sementara itu, untuk kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota pada sub-urusan jasa konstruksi dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam UU 23/2014 [vide Pasal 8 UU 2/2017].

Dengan demikian, setelah membaca dengan saksama pengaturan mengenai kewenangan gubernur dan kewenangan bupati/walikota yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa konstruksi adalah tidak relevan dipersoalkan karena UU 2/2017 sama sekali tidak menghilangkan kewenangan daerah mengatur dan mengurus sub-urusan jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam UU 23/2014. Sebaliknya, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, UU 2/2017 justru memperkuat kewenangan daerah yang terkait dengan penyelenggaraan jasa konstruksi. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 70 ayat (4) dan Pasal 71 ayat (3) serta ayat (4) UU 2/2017 dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 tidaklah beralasan menurut hukum;

[3.11.4] Bahwa para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 77 UU 2/2017 yang mengatur mengenai keikutsertaan masyarakat jasa konstruksi yang selengkapnya Pasal 77 menyatakan bahwa “dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Pemerintah Pusat dapat mengikusertakan masyarakat jasa konstruksi”. Sebagaimana didalilkan para Pemohon, ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa norma pasal a quo bukan norma yang berdiri sendiri tetapi harus dipahami bersamaan dengan norma pasal lain yang dirujuk yaitu Pasal 76 UU 2/2017 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pembinaan jasa konstruksi yang sejatinya merupakan kewenangan pemerintah pusat. Penyelenggaraan jasa konstruksi merupakan bagian dari fungsi pemerintahan sehingga wajar jika pemerintah pusat memiliki kewenangan pembinaan atas pelaksanaan urusan tersebut. Pembinaan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengembangkan kinerja setiap elemen dan proses penyelenggaraannya dalam sistem jasa konstruksi nasional. Oleh karena itu, pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengembangan jasa kontruksi nasional secara terstruktur, tegas, dan dapat menjawab kebutuhan riil di lapangan [vide Penjelasan Pasal 76 ayat (1) huruf a UU 2/2017]. Namun demikian, dalam pelaksanaan pembinaan tidak sepenuhnya dilakukan langsung oleh pemerintah pusat tetapi juga melibatkan pemerintahan daerah. Dalam konteks pembinaan ini gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diberi kewenangan membuat pedoman teknis atas pelaksanaan kebijakan jasa konstruksi nasional di wilayah provinsi, menyelenggarakan kebijakan jasa konstruksi yang berdampak lintas kabupaten/kota, memantau dan mengevaluasi, serta melakukan pemberdayaan daerah kabupaten/kota sesuai dengan sub-urusan jasa konstruksi yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Sementara itu, pemerintah daerah kabupaten/kota juga diberi kewenangan melakukan pembinaan jasa konstruksi sesuai dengan skala dampak jasa konstruksi di wilayah kabupaten/kota.

Dengan dirumuskannya kata “dapat” dalam Pasal 77 UU 2/2017 tidak menyebabkan adanya ketidakpastian bagi masyarakat jasa konstruksi dalam melakukan pembinaan jasa konstruksi sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan para Pemohon. Kata “dapat” dalam norma Pasal 77 UU 2/2017 tidaklah mengandung ketidakpastian hukum karena hakikat norma dapat memuat perintah, larangan, dan kebolehan. Sehingga dalam konteks norma a quo, hakikat yang terkandung di dalamnya adalah norma yang mengandung kebolehan. Persoalannya kemudian, mengapa dalam konteks pembinaan diatur dengan norma kebolehan. Hal tersebut tidak lain karena pembinaan merupakan ranah kewenangan pemerintah, sehingga apabila dalam hal-hal tertentu pemerintah memandang perlu adanya keterlibatan masyarakat jasa konstruksi, hal demikian diatur dalam Pasal 77 UU 2/2017.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas telah ternyata dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

[3.11.5] Bahwa para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya serta Pasal 84 ayat (5) UU 2/2017 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat…..

1. Terhadap dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 84 ayat (2) UU 2/2017 dan Penjelasannya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa UU 23/2014 sebagai Undang-Undang organik Pasal 18 UUD 1945 telah menetapkan urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam Paragraf [3.11.3] jika disandingkan pengaturan sub-urusan jasa konstruksi antara UU 23/2014 dengan UU 2/2017, khususnya Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, tidak ada satu pun ketentuan dalam UU 2/2017 yang mengurangi urusan pemerintahan konkuren daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dalam UU 23/2014. Justru UU 2/2017 menambahkan kewenangan gubernur untuk melaksanakan kewenangan pusat di wilayah provinsi sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Paragraf tersebut di atas. UU 2/2017 juga menegaskan kembali kewenangan daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, menjadi hak daerah untuk mengatur dan mengurus segala hal ihwal urusan pemerintahan konkuren yang telah diserahkan sesuai dengan prinsip otonomi seluas-luasnya agar dapat mencapai tujuan dari penyelenggaraan jasa konstruksi. Oleh karena itu, tidaklah beralasan jika para Pemohon mempertentangkan Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. Lebih tidak tepat lagi jika para Pemohon mempertentangkan norma pasal a quo dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 dengan dalil bahwa adanya norma a quo telah menghilangkan eksistensi LPJKP yang selama ini dibentuk oleh UU 18/1999 serta menciptakan birokratisasi dan sentralisasi. Dalam konteks ini penting bagi Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Pertama, LPJKP bukan merupakan bagian dari satuan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren daerah, sehingga LPJKP juga tidak mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus sub-urusan jasa konstruksi karena hak tersebut hanya diberikan kepada pemerintahan daerah yang akan diwujudkan dalam berbagai bentuk produk hukum daerah. Produk-produk hukum daerah inilah yang akan mengatur sub-urusan yang harus mengacu tidak hanya pada UU 23/2014 tetapi juga UU 2/2017 beserta peraturan pelaksanaannya supaya tercipta sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Kedua, LPJKP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Jasa Konstruksi yang lama, yang saat ini Undang-Undang tersebut telah dinyatakan tidak berlaku oleh UU 2/2017. Berlakunya ketentuan hukum baru mengenai penyelenggaraan jasa konstruksi dalam UU 2/2017 karena ketentuan hukum lama sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tantangan ke depan yang harus dihadapi pelaku usaha jasa konstruksi. Oleh karenanya, UU 2/2017 mempertegas keterlibatan pihak-pihak atau stakeholders dalam penyelenggaraan jasa konstruksi supaya tujuan yang telah diatur dalam Pasal 3 UU 2/2017 dapat tercapai, salah satunya adalah dengan melibatkan masyarakat jasa konstruksi untuk menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintah pusat. Dalam Penjelasan Pasal 84 ayat (1) UU 2/2017 dijelaskan maksud “penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah pusat” antara lain:

registrasi badan usaha jasa konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan jasa konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok jasa konstruksi, registrasi pengalaman badan usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi kegagalan bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan aan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerja asing, membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga pendidikan dan pelatihan.

Bertolak dari penjelasan tersebut telah ternyata tidak ada relevansinya dalil para Pemohon mengenai adanya sentralisasi di tangan menteri. Karena sentralisasi tersebut pasti akan terkait dengan penyelenggaraan kewenangan hanya oleh satu-satunya atau terpusat di tangan satu orang. Sementara itu, dalam ketentuan UU 2/2017 kewenangan tersebut justru dilaksanakan tidak hanya oleh menteri tetapi melibatkan atau mengikutsertakan stakeholders jasa konstruksi. Terlebih-lebih ketentuan Pasal 84 ayat (2) UU 2/2017 esensinya menentukan bahwa keikutsertaan masyarakat jasa konstruksi tersebut dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh menteri. Lembaga dimaksud adalah lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) [vide Penjelasan Pasal 84 ayat (2) UU 2/2017]. Selain itu, unsur pengurus LPJK ini tidak ditentukan oleh menteri semata tetapi diusulkan dari berbagai kalangan yang dapat berasal dari asosiasi perusahaan jasa konstruksi yang terakreditasi, asosiasi profesi yang terakreditasi, institusi pengguna jasa konstruksi yang memenuhi kriteria dan perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria. Lebih dari itu, UU 2/2017 juga menghendaki agar pengurus LPJK dapat diusulkan dari asosiasi yang terkait dengan rantai pasok konstruksi yang terakreditasi. Dimasukkannya unsur rantai pasok konstruksi dalam rangka ikut menjamin kecukupan dan keberlanjutan pasokan sumber daya konstruksi. Usaha rantai pasok sumber daya konstruksi, antara lain, usaha pemasok bahan bangunan, usaha pemasok peralatan konstruksi, usaha pemasok teknologi konstruksi, dan usaha pemasok sumber daya manusia [vide Penjelasan Pasal 17 UU 2/2017]. Dengan diikutsertakannya unsur-unsur yang beragam yang mencerminkan masyarakat jasa konstruksi dalam pengurusan LPJK maka sangat sulit untuk dapat menyatakan bahwa ketentuan proses penetapan pengurus LPJK adalah birokratis sebagaimana dalil para Pemohon.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas tidaklah beralasan dalil para pemohon yang meminta agar Mahkamah memaknai Pasal 84 ayat (2) UU 2/2017 menjadi “Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di tingkat Nasional dan di tingkat Provinsi”. Dengan demikian dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

2. Sementara itu, para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 84 ayat (5) UU 2/2017 karena menurut para Pemohon norma a quo bersifat birokratis dan resentralistik dalam pembentukan lembaga, in casu, LPJK sehingga bertentangan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya (vide Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945). Di samping itu, kekhawatiran para Pemohon dengan adanya campur tangan dari menteri dalam pembentukan sebuah lembaga (LPJK) akan menyebabkan berkurang atau hilangnya kemandirian LPJK. Terhadap kekhawatiran para Pemohon tersebut, setelah mencermati dengan saksama, Mahkamah berpendapat norma yang termuat dalam Pasal 84 ayat (5) UU 2/2017 adalah mengatur tentang tata cara pembentukan pengurus tingkat pusat pada lembaga jasa konstruksi yang penekanannya pada partisipasi masyarakat, bukan pada tata cara pembentukan lembaganya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 84 ayat (5) UU 2/2017 yang menyatakan, "Dalam proses untuk mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan calon pengurus lembaga sebanyak dua kali lipat dari jumlah pengurus lembaga yang akan ditetapkan oleh Menteri". Penjelasan tersebut lebih menekankan pada pengisian anggota pengurus tingkat pusat bukan pada pembentukan lembaga jasa konstruksi tingkat nasional sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Apalagi para Pemohon tidak memberikan alasan yang jelas yang menjadi dasar pengujian persoalan inkonstitusionalitas norma pasal tersebut. Oleh karena itu dalil permohonan para Pemohon a quo adalah kabur.

[3.12] Menimbang bahwa oleh karena kedudukan hukum Pemohon IX sampai dengan Pemohon XLVII belum dipertimbangkan maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon IX sampai dengan Pemohon XLVII tersebut. Menurut anggapan para Pemohon Ketentuan Peralihan Pasal 103 UU 2/2017 yang esensinya menyatakan LPJKP tetap ada dan tetap menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi sampai dengan terbentuknya lembaga sebagaimana dimaksud oleh UU 2/2017, tidak cukup memberikan jaminan kepastian bekerja para Pemohon pada LPJKP. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, telah ternyata bahwa UU 2/2017 tidak menghilangkan keberadaan lembaga pengembangan jasa kontruksi. Terlebih lagi dalam Penjelasan Pasal 84 ayat (2) UU 2/2017 dinyatakan bahwa lembaga yang dimaksud adalah lembaga pengembangan jasa konstruksi. Apalagi jika dikaitkan dengan pembentukan LPJKP, tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi adalah hanya sebagian dari tugas LPJKP. Selain itu masih ada tugas-tugas yang lain di antaranya melakukan pendidikan dan pelatihan serta penelitian pengembangan jasa konstruksi. Perubahan pada materi muatan tugas sertifikasi dan registrasi badan usaha dalam UU 2/2017 tidak untuk menghapus lembaga, in casu LPJKP. Sepanjang LPJKP menyesuaikan dengan perubahan muatan UU 2/2017 maka LPJKP tetap ada. Oleh karena itu anggapan Pemohon IX sampai dengan Pemohon XLVII perihal adanya kerugian hak konstitusional yang dialami dengan berlakunya UU 2/2017 adalah tidak terbukti. Terlebih lagi hingga saat ini para Pemohon tidak dapat membuktikan telah kehilangan pekerjaan atau jabatannya dengan berlakunya UU 2/2017. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Pemohon IX sampai dengan Pemohon XLVII tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.13] Menimbang bahwa dari seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 77, Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya UU 2/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, permohonan para Pemohon terhadap Pasal 84 ayat (5) UU 2/2017 adalah kabur.


F. AMAR PUTUSAN
1. Menolak permohonan Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon VI, dan Pemohon VII berkenaan dengan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 77, Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018).
2. Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon VI, dan Pemohon VII berkenaan dengan Pasal 84 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) tidak dapat diterima.
3. Menyatakan permohonan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon V, dan Pemohon VIII, serta Pemohon IX sampai dengan Pemohon XLVII tidak dapat diterima.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-04-2019

Drs. H. Yuliansyah, M. M. (pegawai negeri sipil)

Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN

Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan bahwa yang menjadi objek permohonan a quo adalah Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Sementara itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU- XVI/2018, sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, terhadap Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN Mahkamah telah menyatakan pendiriannya. Dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 bertanggal 25 April 2019, Mahkamah menyatakan:

Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “dan/atau pidana umum“ dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87bayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan“;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan demikian, dengan telah dikabulkannya sebagian dari substansi norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yaitu dengan dinyatakannya bahwa frasa “dan/atau pidana umum” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka terlepas apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak maka permohonan para Pemohon sesungguhnya telah kehilangan objek.

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan Pokok Permohonan.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon kehilangan objek.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-04-2019

Novi Valentino (PNS), Fatmawatin (swasta), Markus Iek (PNS), Yunius Waruwu (PNS), dan Drs. Sakhira Zandi, M.Si (PNS) yang diwakili oleh kuasa hukumnya H. Tjoetjoe S. Hernanto, S.H., M.H., dan kawan-kawan para Advokat/Konsultan Hukum yang tergabung dalam “Tim Konsultan dan Advokasi Aparatur Sipil Negara.

Pasal 87 ayat (2), Pasal 87 ayat (4) huruf b , Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal Pasal 87 ayat (2), Pasal 87 ayat (4) huruf b dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut :

[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, oleh karena terhadap norma UU ASN yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo telah pernah dimohonkan pengujian sebelumnya dan telah diputus oleh Mahkamah, yaitu sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-XVI/2018, keduanya bertanggal 25 April 2019, sebagaimana telah diucapkan sebelumnya maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan keberadaan kedua putusan Mahkamah dimaksud.

[3.8] Menimbang bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 Mahkamah telah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dalam perkara tersebut, yaitu sebagaimana tertuang dalam amar Putusan dimaksud yang menyatakan:

Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “dan/atau pidana umum“ dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87bayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan“;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dikarenakan telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU- XVI/2018 tersebut maka melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-XVI/2018 Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon dalam perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018 yang menjadikan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN sebagai objek permohonannya kehilangan objek. Oleh karena itu, pokok permohonan a quo sepanjang berkenaan dengan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN juga dengan sendirinya telah kehilangan objek.

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena pokok permohonan para Pemohon a quo sepanjang berkenaan dengan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN telah kehilangan objek maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan a quo untuk selebihnya, yaitu yang berkenaan dengan Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN. Namun, oleh karena melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 pengujian terhadap Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN telah ditolak oleh Mahkamah, maka dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005).

Pasal 60 UU MK menyatakan:
a. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
b. Ketetentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda

Sementara itu, Pasal 42 PMK 06/2005 menyatakan:
a. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
b. Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.

Oleh karena itu, pertanyaannya kemudian, adakah alasan konstitusional baru yang dijadikan dasar oleh para Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo. Terhadap pertanyaan tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama alasan-alasan atau dalil para Pemohon dalam permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan adanya dasar dan alasan konstitusional baru sehingga permohonan para Pemohon a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005.

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena substansi permohonan para Pemohon a quo sepanjang berkenaan dengan pengujian Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN telah kehilangan objek, sedangkan berkenaan dengan pengujian Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN telah dinyatakan ditolak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018, sementara itu para Pemohon a quo tidak memberikan dasar dan alasan konstitusional baru dalam permohonan a quo sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005 maka permohonan pengujian terhadap Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN tidak dapat diajukan kembali. Oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan a quo lebih lanjut.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-04-2019

Panca Setiadi, S.E, Drs. Nawawi Ec, M.M, Dra. Nurlaila, M.M, dan Djoko Budiono, S.E., M.M yang diwakili oleh kuasa hukumnya Muhammad Sholeh, S.H dan kawan-kawan dari Kantor Advokat SHOLEH and PARTNERS

Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan bahwa yang menjadi objek permohonan a quo adalah Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Sementara itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU- XVI/2018, sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, terhadap Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN Mahkamah telah menyatakan pendiriannya. Dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 bertanggal 25 April 2019, Mahkamah menyatakan:

Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “dan/atau pidana umum“ dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87bayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan“;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dengan demikian, dengan telah dikabulkannya sebagian dari substansi norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yaitu dengan dinyatakannya bahwa frasa “dan/atau pidana umum” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka terlepas apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak maka permohonan para Pemohon sesungguhnya telah kehilangan objek.


[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah kehilangan objek maka Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan Pokok Permohonan.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon kehilangan objek.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-04-2019

PT. Televisi Transformasi Indonesia, PT. Media Televisi Indonesia, PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT. Lativi Mediakarya, PT. Indosiar Visual Mandiri, PT. Indikator Politik Indonesia, PT. Cyrus Nusantara

Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan substansi atau pokok permohonan Pasal 449 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017. Oleh karena substansi atau pokok permohonan pasal-pasal a quo telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah pada tanggal 16 April 2019 sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 24/PUU-XVII/2019, maka terlebih dulu Mahkamah akan merujuk putusan dimaksud yang berkenaan dengan pengujian norma Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017. Mahkamah dalam putusan tersebut antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019 menyatakan:

[3.11.1] …..

[3.11.2] Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya dalam putusan-putusan di atas, antara lain, menyatakan bahwa hasil survei tidak dapat dilarang sejauh dilakukan dengan prinsip metodologis-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang sedangkan sejauh menyangkut penghitungan cepat (quick count) menurut Mahkamah tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam masyarakat sehingga Mahkamah pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa pengumuman survei pada masa tenang dan pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945.

[3.12] …..

[3.12.1] Bahwa putusan Mahkamah mengenai konstitusional atau tidaknya suatu norma undang-undang sesungguhnya tidak berada dalam ruang kosong belaka. Tidak pula sekadar berpijak pada landasan teoritis semata. Pengujian norma hukum tidak lantas diartikan sebagai pengujian yang sekadar berlandaskan teori tanpa melihat fenomena kemasyarakatan. Sebab esensi pengujian konstitusionalitas norma undang-undang adalah melakukan penafsiran konstitusi terhadap norma undang-undang yang konstitusionalitasnya diuji tersebut dengan tetap mempertimbangkan kelayakannya secara filosofis dan sosiologis. Sementara itu menafsirkan konstitusi dalam konteks pengujian konstitusionalitas undang-undang bukanlah sekadar mencocok-cocokkan norma undang-undang yang diuji dengan apa yang tertulis dalam konstitusi, bukan pula sekadar menilai undang-undang yang diuji dengan maksud pembentuk konstitusi. Menafsirkan konstitusi adalah bernalar dalam rangka memahami pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkannya. Oleh karena itulah, jika konstitusi hendak dijadikan sebagai konstitusi yang hidup maka ia juga harus ditafsirkan dengan menyerap pikiran-pikiran yang hidup di masyarakat tempat konstitusi itu berlaku. Dari sinilah asal mula adagium bahwa konstitusi hanya akan berdaya jika ia mampu mentransformasikan dirinya ke dalam pikiran-pikiran yang hidup.

Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa dinyatakan inkonstitusional atau tidaknya suatu norma undang-undang bertumpu pada kombinasi 2 (dua) objek, yaitu i) makna norma undang-undang yang sedang diuji, dan ii) makna norma UUD 1945 yang sedang dipergunakan sebagai parameter pengujian. Makna di sini harus dipahami sebagai rangkaian pengetahuan yang dibentuk oleh rumusan tertulis norma hukum sekaligus realitas sosial kemasyarakatan yang menjadi basis berdirinya norma hukum dimaksud. Dengan kata lain, makna norma hukum menurut Mahkamah adalah sebuah proses sintesa antara teks dan konteks, yaitu jalinan antara rumusan norma hukum dengan realitas yang sedang diaturnya.

[3.12.2] Bahwa dalam kaitannya dengan pertanyaan apakah norma undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah yang dinormakan kembali oleh pembentuk undang-undang dan kemudian penormaan kembali dalam undang-undang baru tersebut dimohonkan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi, apakah Mahkamah harus mengabulkan permohonan yang demikian. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian tergantung pada salah satu atau kedua kondisi yaitu: terjadinya perubahan makna norma undang-undang yang telah dibatalkan, khususnya dalam arti realitas yang diatur norma a quo mengalami perubahan; dan/atau terjadinya perubahan makna norma UUD 1945 yang menjadi parameter pengujian.

[3.12.3] …..

[3.13] …..

[3.14] …..

[3.14.1] …..

[3.14.2] Bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh tentang pertanyaan konstitusional sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf di atas Mahkamah akan terlebih dahulu menelaah kembali terkait dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 pada saat Mahkamah menyatakan dalam putusannya bahwa pemilihan umum yang sesuai dengan UUD 1945 adalah pemilu yang dilaksanakan secara serentak yaitu pemilu yang dilaksanakan bersamaan atau serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Lebih lanjut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya juga secara tersirat telah menegaskan kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang yang secara khusus mengatur pemilu secara serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019. Dengan kompleksitas demikian menjadi tak terhindarkan adanya konsekuensi akan kebutuhan cara penilaian dan cara pandang yang berbeda pula dengan penilaian dan cara pandang tatkala Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dipisahkan penyelenggaraannya dari Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbedaan demikian secara rasional juga akan memengaruhi cara menilai konstitusionalitas norma yang mengatur pelaksanaannya.

[3.14.3] …..

[3.14.4] …..

[3.14.5] Bahwa adanya mekanisme penyelengaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak yang dimulai pada Pemilu 2019 dengan sendirinya menuntut perubahan karakter budaya politik masyarakat dan partai politik yang selama ini telah terbentuk sebagai akibat dipisahkannya pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

[3.14.6] Bahwa semangat konstitusional yang dibangun oleh Mahkamah pada saat memutus perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 selain untuk memulihkan hak konstitusional masyarakat agar dapat menggunakan hak politiknya secara cerdas, mengurangi beban pemborosan waktu, efektivitas dan efisiensi, juga sebagai upaya untuk mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat yang mengarah pada timbulnya segregasi sosial. Sebab, pemilu sebagai ajang kontestasi dalam dirinya sendiri melekat ekses perselisihan kepentingan yang lahir dari adanya perbedaan pilihan. Maka, undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilu membawa fungsi mencegah timbulnya kemungkinan ekses perselisihan kepentingan tersebut agar tidak berkembang menjadi konflik horizontal. Oleh karena itu, upaya untuk mereduksi adanya konflik atau gesekan horizontal di masyarakat dalam setiap penyelenggaraan pemilu juga harus bisa diaplikasikan secara tepat dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 2019.

[3.14.7] Bahwa adanya introduksi kembali norma yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berkenaan dengan isu konstitusional larangan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu yang dilakukan oleh lembaga survei pada masa tenang lebih pada pertimbangan bahwa desain tahapan pemilu dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia adalah adanya tahapan masa tenang yaitu tahapan di mana masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye sampai tahapan pemungutan suara. Sehingga, apabila dalam masa tenang diperbolehkan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu maka hal demikian tidak sejalan dengan hakikat dan tujuan masa tenang dalam desain tahapan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dalam kaitan ini, secara empirik sejumlah analis menengarai adanya indikasi bahwa sejumlah lembaga survei atau jajak pendapat berafiliasi kepada kontestan pemilu tertentu. Oleh karena itu, jika Undang-Undang Pemilu memperbolehkan adanya pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang sama saja dengan menerima fakta empirik tersebut. Begitu pula halnya dengan sejumlah lembaga penyiaran. Dengan demikian, membenarkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang sama saja dengan membenarkan adanya kampanye pada masa tenang. Oleh karena itu pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang yang dilakukan oleh lembaga survei atau jajak pendapat yang dahulu oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 dipertimbangkan sebagai pendapat yang “tendensius”, pada saat ini sebagian di antaranya telah merupakan fakta empirik. Meskipun hanya sebagian, kondisi demikian apabila dibiarkan sangat berpotensi memengaruhi kemurnian suara rakyat dalam menentukan pilihannya yang pada akhirnya akan bermuara pada tidak terwujudkannya asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih lagi jika faktor kesiapan masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya hukum dan budaya politik masyarakat, juga turut menjadi pertimbangan sebagaimana tampak secara aktual pada reaksi yang terjadi terhadap hasil jajak pendapat tersebut. Perihal kesiapan masyarakat demikian telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013;

[3.14.8] Bahwa dalam hubungannya dengan permohonan a quo, apabila dilihat dalam konteks putusan sebelumnya, dalil Pemohon yang menyatakan seolah-olah pembentuk undang-undang telah mengabaikan putusan Mahkamah, pandangan demikian tidaklah sepenuhnya keliru. Namun apabila diletakkan dalam konteks yang lebih luas, larangan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang memiliki tujuan yang jauh lebih mendasar, yaitu untuk menjaga dan melindungi kemurnian suara pemilih dalam menentukan pilihannya. Apalagi jika terbukti pandangan sejumlah analis yang menengarai bahwa sebagian hasil survei atau jajak pendapat memang didesain untuk memengaruhi dan mengubah pilihan pemilih. Padahal, disadari atau tidak, didesainnya tahapan masa tenang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemilih guna merenungkan dan menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya.

[3.15] …..

[3.16] Menimbang bahwa terkait dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017 yang menyatakan, “Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat” berikut ketentuan pidananya yang diatur dalam Pasal 540 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.16.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014 dalam Paragraf [3.10.1] sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa Pasal 247 ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang”; Pasal 247 ayat (5) UU 8/2012 menyatakan, “Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat”; Pasal 247 (6) UU 8/2012 menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu”; Pasal 291 UU 8/2012 menyatakan, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”; serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (4) dipidana dengan pdana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)”. Meskipun tidak persis sama redaksinya dengan Pasal 245 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836), selanjutnya disebut UU 10/2008, yang menyatakan, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”; Pasal 245 ayat (3) UU 10/2008, yang menyatakan, “Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”; Pasal 245 ayat (5) UU 10/2008, yang menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu”; Pasal 282 UU 10/2008, yang menyatakan, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”; dan Pasal 307 UU 10/2008, yang menyatakan, “Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)”, akan tetapi norma pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo pada prinsipnya sama, yaitu merupakan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang, pengumuman hasil penghitungan cepat beberapa waktu sesudah pemungutan suara dan pelanggaran yang dilakukan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu dengan ancaman pidana tertentu;

Terhadap ketentuan dalam Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008, Mahkamah dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, telah menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

[3.16.2] …..

[3.16.3] Bahwa Mahkamah memahami pentingnya hak atas kebebasan mendapatkan informasi, termasuk di dalamnya hak untuk menyampaikan informasi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945, adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan dan dipenuhi sebagaimana amanat Pasal 28I UUD 1945. Namun, UUD 1945 telah pula mengatur mengenai pembatasan hak dan kebebasan tersebut, terlebih lagi terhadap hak-hak yang bukan termasuk dalam kategori nonderogable rights. Sehingga dalam konteks permohonan a quo, masalahnya apakah ketentuan batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di willayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan atau menyampaikan prakiraan hasil penghitungan pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017, telah menyebabkan masyarakat menjadi kehilangan hak untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.

Terhadap masalah tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan atau menyampaikan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017, tidaklah dapat dimaknai bahwa ketentuan tersebut telah menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi berkenaan dengan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu. Kendatipun terdapat batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan atau menyampaikan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu, hal demikian hanyalah menunda sesaat hak dimaksud demi alasan yang jauh lebih mendasar yaitu melindungi kemurnian suara pemilih yang jika diikuti petitum Pemohon maka ketika pengumuman mulai dilakukan, beberapa wilayah di Indonesia belum selesai melaksanakan pemungutan suara, karena wilayah Indonesia terbagi dalam tiga zona waktu yaitu: Waktu Indonesia bagian Timur (WIT), Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia bagian Barat (WIB). Perbedaan pembagian waktu di Indonesia ini dengan yang lain adalah selama satu jam. Artinya, antara WIT dan WITA selisih waktunya adalah satu jam dan antara WITA dan WIB juga selisihnya adalah satu jam. Dengan demikian penyelenggaraan pemilu di Indonesia bagian timur lebih cepat dua jam daripada di Indonesia bagian barat. Demikian pula dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia bagian tengah lebih cepat satu jam daripada di Indonesia bagian barat. Oleh karenanya dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan asas dalam Pasal 22E UUD 1945, kemurnian suara pemilih, terutama untuk pemilih yang sedang memberikan suaranya di wilayah Indonesia bagian barat yang mana penyelenggaraan pemilunya lebih lambat 2 (dua) jam dari Indonesia bagian timur dan lebih lambat 1 (satu) jam dari Indonesia bagian tengah, harus tetap dijaga karena pemungutan suaranya belum selesai dilaksanakan.

[3.16.4] Bahwa selisih waktu dua jam antara wilayah WIB dengan wilayah WIT memungkinkan hasil penghitungan cepat Pemilu di wilayah WIT sudah diumumkan ketika pemungutan suara di wilayah WIB belum selesai dilakukan. Pengumuman hasil penghitungan cepat demikian, yang karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis “sekadar” ingin menjadi bagian dari pemenang. Apalagi, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, pertimbangan perihal budaya hukum dan budaya politik masyarakat turut pula menjadi faktor determinan terhadap tercapai atau tidaknya maksud mewujudkan kemurnian suara pemilih yang hendak dicapai oleh asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, secara metodologis, quick count bukanlah bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat karena di dalamnya masih mengandung rentang kesalahan (margin of error). Dengan demikian, sekecil apapun margin of error dalam metodologi quick count yang digunakan, hal demikian tetap berpengaruh terutama ketika selisih perolehan suara antarkandidat berada dalam margin of error tersebut. Artinya, keandalan quick count adalah terjamin jika perolehan suara antarkandidat atau antarkontestan jauh melampaui rentang kesalahan tersebut.

Dengan demikian, pembatasan dalam bentuk penundaan pemenuhan hak untuk memberikan dan memeroleh informasi sebagaimana diuraikan di atas yang disebabkan oleh perbedaan wilayah waktu tersebut masih memenuhi syarat pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dengan pertimbangan demikian, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] …..

[3.16] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum permohonan para Pemohon a quo dan Mahkamah dengan sendirinya menyatakan norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon adalah konstitusional. Sehingga dengan demikian, Mahkamah mempunyai pandangan baru yang berbeda dengan pandangannya dalam putusan-putusan sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014. Pembaruan pandangan demikian bukanlah tanpa dasar. Hal itu pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang menyatakan:

[3.18] Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan, misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat (yang sekaligus berfungsi sebagai Mahkamah Konstitusi), mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi. Tercatat misalnya, untuk menyebut beberapa contoh, bagaimana Mahkamah Agung Amerika Serikat yang semula berpendapat bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas warna kulit tidaklah bertentangan dengan Konstitusi sepanjang dilaksanakan berdasarkan prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama), sebagaimana diputus dalam kasus Plessy v. Fergusson (1896), kemudian berubah dengan menyatakan bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit adalah bertentangan dengan Konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam putusannya pada kasus Brown v. Board of Education (1954). Demikian pula ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam permasalahan hak untuk didampingi penasihat hukum bagi seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dalam proses peradilan. Semula, dalam kasus Betts v. Brady (1942), Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendirian bahwa penolakan pengadilan negara bagian untuk menyediakan penasihat hukum bagi terdakwa yang tidak mampu tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Namun, melalui putusannya dalam kasus Gideon v. Wainwright (1963), Mahkamah Agung mengubah pendiriannya dan berpendapat sebaliknya, yaitu seseorang yang tidak mampu yang didakwa melakukan tindak pidana namun tanpa didampingi penasihat hukum adalah bertentangan dengan Konstitusi.

Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan. Apalagi perubahan demikian dilakukan dalam rangka melindungi hak konstitusional warga negara.

[3.17] Menimbang bahwa secara substansi isu konstitusionalitas permohonan pengujian yang diajukan oleh para Pemohon a quo adalah sama dengan isu konstitusionalitas dalam perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019. Sehingga dengan demikian, pertimbangan hukum Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas Pasal 449 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017 sebagaimana tertuang dalam Paragraf [3.15] di atas mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap permohonan a quo.

[3.18] …..

[3.19] …..

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-04-2019

(Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia), diwakili oleh Ketua Umum AROPI bernama Sunarto

Pasal 449 ayat (2), ayat (5), ayat (6), Pasal 509, dan Pasal 540 UU 7/2017

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR-RI

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa terkait dengan pengujian Pasal 449 ayat (2) dan ayat (6), Pasal 509, Pasal 540 ayat (1) UU Pemilu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009, bertanggal 30 Maret 2009, Mahkamah telah mengabulkan permohonan para Pemohon terkait dengan isu konstitusional larangan mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang dan isu pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu sebagaimana norma tersebut diatur dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (5) serta Pasal 282 UU 10/2008. Putusan a quo dinyatakan mutatis mutandis berlaku pula dalam perkara Nomor 98/PUU-VII/2009 yang menguji konstitusionalitas norma terhadap isu yang sama yang diatur dalam Pasal 188 ayat (2) dan ayat (5) serta Pasal 228 UU 42/2008. Selanjutnya, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009 dinyatakan mutatis mutandis berlaku untuk perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 karena terkait dengan pengujian norma untuk isu yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 291; serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2011;

[3.11.2] Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya dalam putusan-putusan di atas, antara lain, menyatakan bahwa hasil survei tidak dapat dilarang sejauh dilakukan dengan prinsip metodologis-ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang sedangkan sejauh menyangkut penghitungan cepat (quick count) menurut Mahkamah tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count telah menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam masyarakat sehingga Mahkamah pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa pengumuman survei pada masa tenang dan pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945.

[3.12] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakan inkonstitusionalnya norma pasal-pasal yang mengatur mengenai larangan survei pada masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu yang hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, apakah Mahkamah tetap harus bertahan dengan pendiriannya sebagaimana telah dituangkan dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, Nomor 98/PUU-VII/2009, dan Nomor 24/PUU-XII/2014 ataukah Mahkamah perlu memperbarui/mengubah pendirian sebelumnya. Terhadap persoalan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa putusan Mahkamah mengenai konstitusional atau tidaknya suatu norma undang-undang sesungguhnya tidak berada dalam ruang kosong belaka. Tidak pula sekadar berpijak pada landasan teoritis semata. Pengujian norma hukum tidak lantas diartikan sebagai pengujian yang sekadar berlandaskan teori tanpa melihat fenomena kemasyarakatan. Sebab esensi pengujian konstitusionalitas norma undang-undang adalah melakukan penafsiran konstitusi terhadap norma undang-undang yang konstitusionalitasnya diuji tersebut dengan tetap mempertimbangkan kelayakannya secara filosofis dan sosiologis. Sementara itu menafsirkan konstitusi dalam konteks pengujian konstitusionalitas undang-undang bukanlah sekadar mencocok-cocokkan norma undang-undang yang diuji dengan apa yang tertulis dalam konstitusi, bukan pula sekadar menilai undang-undang yang diuji dengan maksud pembentuk konstitusi. Menafsirkan konstitusi adalah bernalar dalam rangka memahami pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkannya. Oleh karena itulah, jika konstitusi hendak dijadikan sebagai konstitusi yang hidup maka ia juga harus ditafsirkan dengan menyerap pikiran-pikiran yang hidup di masyarakat tempat konstitusi itu berlaku. Dari sinilah asal mula adagium bahwa konstitusi hanya akan berdaya jika ia mampu mentransformasikan dirinya ke dalam pikiran-pikiran yang hidup.

Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa dinyatakan inkonstitusional atau tidaknya suatu norma undang-undang bertumpu pada kombinasi 2 (dua) objek, yaitu i) makna norma undang-undang yang sedang diuji, dan ii) makna norma UUD 1945 yang sedang dipergunakan sebagai parameter pengujian. Makna di sini harus dipahami sebagai rangkaian pengetahuan yang dibentuk oleh rumusan tertulis norma hukum sekaligus realitas sosial kemasyarakatan yang menjadi basis berdirinya norma hukum dimaksud. Dengan kata lain, makna norma hukum menurut Mahkamah adalah sebuah proses sintesa antara teks dan konteks, yaitu jalinan antara rumusan norma hukum dengan realitas yang sedang diaturnya.

[3.12.2] Bahwa dalam kaitannya dengan pertanyaan apakah norma undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah yang dinormakan kembali oleh pembentuk undang-undang dan kemudian penormaan kembali dalam undang-undang baru tersebut dimohonkan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi, apakah Mahkamah harus mengabulkan permohonan yang demikian. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian tergantung pada salah satu atau kedua kondisi yaitu: terjadinya perubahan makna norma undang-undang yang telah dibatalkan, khususnya dalam arti realitas yang diatur norma a quo mengalami perubahan; dan/atau terjadinya perubahan makna norma UUD 1945 yang menjadi parameter pengujian.

[3.12.3] Bahwa menurut Mahkamah hukum pemilu adalah salah satu bidang hukum yang sangat dinamis mengingat di dalam pemilu berkelindan berbagai faktor antara lain kepentingan masyarakat, kepentingan negara, kepentingan para kontestan pemilu, perkembangan teknologi informasi, teknik persuasi, bahkan bersentuhan dengan faktor keamanan dan ketertiban. Hal-hal demikian mengakibatkan undang-undang yang mengatur pemilu berpotensi sering diubah. Bahkan, pengaturannya dapat saja secara drastis berkebalikan karena mengikuti perkembangan kondisi sosial-politik. Perubahan-perubahan demikian dapat diterima karena sesungguhnya undang-undang bukan saja berfungsi memberikan kepastian hukum yang adil bagi masyarakat, namun hukum berperan pula membentuk masyarakat atau setidaknya memberikan arah bagi perkembangan masyarakat, sebagaimana secara luas peran demikian diakui dalam doktrin law is a tool of social engineering ‘hukum sebagai sarana perubahan sosial’, yang apabila diletakkan dalam konteks Indonesia perubahan demikian dimaksudkan untuk membangun sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD 1945

[3.13] Menimbang bahwa selain itu, sebelum menimbang pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu menerangkan beberapa pandangan Mahkamah mengenai posisi Pemohon dalam kaitannya dengan UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian a quo. Menurut Mahkamah, suatu undang-undang pada dasarnya tidak hanya berfokus pada satu bidang hukum tertentu. Keberirisan dengan bidang hukum lain adalah hal yang tidak dapat dihindari, namun harus selalu diletakkan dalam konteks bahwa bidang hukum lain yang ikut diatur adalah sebagai bidang pendukung dan bukan bidang utama.

Dalam UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian ini, fokus utamanya adalah mengatur tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bidang survei atau jajak pendapat yang didalilkan sebagai hak konstitusional Pemohon pada dasarnya menurut Mahkamah hanya bagian kecil dari persoalan kepemiluan. Bahkan sebagai bentuk partisipasi masyarakat, survei ataupun kegiatan lain yang serupa hanyalah merupakan subbagian dari partisipasi masyarakat. Sementara itu, substansi pokok yang diatur dalam UU 7/2017 adalah tata cara penyelenggaraan pemilu dengan segala tahapannya untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD.

[3.14] …..

[3.14.1] …..

[3.14.2] Bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh tentang pertanyaan konstitusional sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf di atas Mahkamah akan terlebih dahulu menelaah kembali terkait dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 pada saat Mahkamah menyatakan dalam putusannya bahwa pemilihan umum yang sesuai dengan UUD 1945 adalah pemilu yang dilaksanakan secara serentak yaitu pemilu yang dilaksanakan bersamaan atau serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Lebih lanjut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya juga secara tersirat telah menegaskan kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang yang secara khusus mengatur pemilu secara serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019. Dengan kompleksitas demikian menjadi tak terhindarkan adanya konsekuensi akan kebutuhan cara penilaian dan cara pandang yang berbeda pula dengan penilaian dan cara pandang tatkala Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dipisahkan penyelenggaraannya dari Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbedaan demikian secara rasional juga akan memengaruhi cara menilai konstitusionalitas norma yang mengatur pelaksanaannya.

[3.14.3] Bahwa UU 7/2017 merupakan landasan hukum untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 yang antara lain mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah UU 7/2017 memiliki kompleksitas yang sangat berbeda dengan UU 10/2008, UU 42/2008, dan UU 8/2012. Salah satu penyebab perbedaan tersebut adalah karena UU 7/2017 menyelaraskan, menyederhanakan, dan menggabungkan tiga undang-undang yang mengatur tentang pemilu yaitu UU 42/2008, UU 15/2011, dan UU 8/2012 sehingga menjadi satu undang-undang sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan pemilu serentak;

[3.14.4] Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 pertimbangan Mahkamah untuk menggabungkan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD telah dipertimbangkan secara saksama dalam putusan tersebut dengan memperhatikan empat pertimbangan pokok, yaitu kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas. Mahkamah pada saat memutus perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam pertimbangan hukumnya juga telah mempertimbangkan bahwa diperlukan waktu untuk membangun budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga masyarakat maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan tersebut secara bersamaan.

[3.14.5] …..

[3.14.6] Bahwa semangat konstitusional yang dibangun oleh Mahkamah pada saat memutus perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 selain untuk memulihkan hak konstitusional masyarakat agar dapat menggunakan hak politiknya secara cerdas, mengurangi beban pemborosan waktu, efektivitas dan efisiensi, juga sebagai upaya untuk mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat yang mengarah pada timbulnya segregasi sosial. Sebab, pemilu sebagai ajang kontestasi dalam dirinya sendiri melekat ekses perselisihan kepentingan yang lahir dari adanya perbedaan pilihan. Maka, undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilu membawa fungsi mencegah timbulnya kemungkinan ekses perselisihan kepentingan tersebut agar tidak berkembang menjadi konflik horizontal. Oleh karena itu, upaya untuk mereduksi adanya konflik atau gesekan horizontal di masyarakat dalam setiap penyelenggaraan pemilu juga harus bisa diaplikasikan secara tepat dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 2019.

[3.14.7] Bahwa adanya introduksi kembali norma yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berkenaan dengan isu konstitusional larangan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu yang dilakukan oleh lembaga survei pada masa tenang lebih pada pertimbangan bahwa desain tahapan pemilu dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia adalah adanya tahapan masa tenang yaitu tahapan di mana masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye sampai tahapan pemungutan suara. Sehingga, apabila dalam masa tenang diperbolehkan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu maka hal demikian tidak sejalan dengan hakikat dan tujuan masa tenang dalam desain tahapan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dalam kaitan ini, secara empirik sejumlah analis menengarai adanya indikasi bahwa sejumlah lembaga survei atau jajak pendapat berafiliasi kepada kontestan pemilu tertentu. Oleh karena itu, jika Undang-Undang Pemilu memperbolehkan adanya pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang sama saja dengan menerima fakta empirik tersebut. Begitu pula halnya dengan sejumlah lembaga penyiaran. Dengan demikian, membenarkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang sama saja dengan membenarkan adanya kampanye pada masa tenang. Oleh karena itu pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang yang dilakukan oleh lembaga survei atau jajak pendapat yang dahulu oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 dipertimbangkan sebagai pendapat yang “tendensius”, pada saat ini sebagian di antaranya telah merupakan fakta empirik. Meskipun hanya sebagian, kondisi demikian apabila dibiarkan sangat berpotensi memengaruhi kemurnian suara rakyat dalam menentukan pilihannya yang pada akhirnya akan bermuara pada tidak terwujudkannya asas pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih lagi jika faktor kesiapan masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya hukum dan budaya politik masyarakat, juga turut menjadi pertimbangan sebagaimana tampak secara aktual pada reaksi yang terjadi terhadap hasil jajak pendapat tersebut. Perihal kesiapan masyarakat demikian telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013;

[3.14.8] Bahwa dalam hubungannya dengan permohonan a quo, apabila dilihat dalam konteks putusan sebelumnya, dalil Pemohon yang menyatakan seolah-olah pembentuk undang-undang telah mengabaikan putusan Mahkamah, pandangan demikian tidaklah sepenuhnya keliru. Namun apabila diletakkan dalam konteks yang lebih luas, larangan untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang memiliki tujuan yang jauh lebih mendasar, yaitu untuk menjaga dan melindungi kemurnian suara pemilih dalam menentukan pilihannya. Apalagi jika terbukti pandangan sejumlah analis yang menengarai bahwa sebagian hasil survei atau jajak pendapat memang didesain untuk memengaruhi dan mengubah pilihan pemilih. Padahal, disadari atau tidak, didesainnya tahapan masa tenang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemilih guna merenungkan dan menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, serta dengan mempertimbangkan fenomena yang berkembang dalam masyarakat saat ini, adanya larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang adalah sejalan dengan semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, dan telah memenuhi syarat pembatasan hak konstitusional sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum

[3.16] …..

[3.16.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014 dalam Paragraf [3.10.1] sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa Pasal 247 ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada masa tenang”; Pasal 247 ayat (5) UU 8/2012 menyatakan, “Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat”; Pasal 247 (6) UU 8/2012 menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu”; Pasal 291 UU 8/2012 menyatakan, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”; serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (4) dipidana dengan pdana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)”. Meskipun tidak persis sama redaksinya dengan Pasal 245 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836), selanjutnya disebut UU 10/2008, yang menyatakan, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang”; Pasal 245 ayat (3) UU 10/2008, yang menyatakan, “Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”; Pasal 245 ayat (5) UU 10/2008, yang menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu”; Pasal 282 UU 10/2008, yang menyatakan, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”; dan Pasal 307 UU 10/2008, yang menyatakan, “Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)”, akan tetapi norma pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo pada prinsipnya sama, yaitu merupakan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang, pengumuman hasil penghitungan cepat beberapa waktu sesudah pemungutan suara dan pelanggaran yang dilakukan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu dengan ancaman pidana tertentu;

Terhadap ketentuan dalam Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 282 dan Pasal 307 UU 10/2008, Mahkamah dalam Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, telah menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

[3.16.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah ternyata bahwa ketentuan Pasal 247 ayat (5) UU 8/2012 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah di mana ketentuan tersebut adalah substansinya tidak berbeda dengan substansi yang termuat dalam ketentuan Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017. Demikian pula rumusan Pasal 247 ayat (5) UU 8/2012 yang substansinya juga tidak berbeda dengan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 245 ayat (3) UU 10/2008 yang mana substansi norma Pasal 245 ayat (3) UU 10/2008 tersebut juga telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009. Persoalannya apakah pembentuk undang-undang berpendapat adanya urgensi berupa kebutuhan hukum untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan yang relevan dengan upaya menyelenggarakan pemilu agar sesuai dengan asas yang dianut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga dibutuhkan pengaturan norma pasal yang saat ini dimohonkan pengujian kembali. Pertanyaan demikian muncul karena dalam batas penalaran yang wajar adalah tidak mungkin pembentuk undang-undang tidak mengetahui perihal keberadaan putusan Mahkamah tersebut. Karena materi muatan norma pasal yang dimohonkan pengujian a quo selalu menjadi materi muatan Undang-Undang Pemilu sejak Pemilu 2009, menurut Mahkamah, materi demikian memang menjadi kebutuhan untuk menjaga kemurnian suara rakyat. Sehingga dengan demikian tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa pembentuk undang-undang dengan sengaja mengabaikan putusan Mahkamah.

[3.16.3] Bahwa Mahkamah memahami pentingnya hak atas kebebasan mendapatkan informasi, termasuk di dalamnya hak untuk menyampaikan informasi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945, adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan dan dipenuhi sebagaimana amanat Pasal 28I UUD 1945. Namun, UUD 1945 telah pula mengatur mengenai pembatasan hak dan kebebasan tersebut, terlebih lagi terhadap hak-hak yang bukan termasuk dalam kategori nonderogable rights. Sehingga dalam konteks permohonan a quo, masalahnya apakah ketentuan batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di willayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan atau menyampaikan prakiraan hasil penghitungan pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017, telah menyebabkan masyarakat menjadi kehilangan hak untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.

Terhadap masalah tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan atau menyampaikan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017, tidaklah dapat dimaknai bahwa ketentuan tersebut telah menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi berkenaan dengan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu. Kendatipun terdapat batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat untuk mengumumkan atau menyampaikan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu, hal demikian hanyalah menunda sesaat hak dimaksud demi alasan yang jauh lebih mendasar yaitu melindungi kemurnian suara pemilih yang jika diikuti petitum Pemohon maka ketika pengumuman mulai dilakukan, beberapa wilayah di Indonesia belum selesai melaksanakan pemungutan suara, karena wilayah Indonesia terbagi dalam tiga zona waktu yaitu: Waktu Indonesia bagian Timur (WIT), Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia bagian Barat (WIB). Perbedaan pembagian waktu di Indonesia ini dengan yang lain adalah selama satu jam. Artinya, antara WIT dan WITA selisih waktunya adalah satu jam dan antara WITA dan WIB juga selisihnya adalah satu jam. Dengan demikian penyelenggaraan pemilu di Indonesia bagian timur lebih cepat dua jam daripada di Indonesia bagian barat. Demikian pula dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia bagian tengah lebih cepat satu jam daripada di Indonesia bagian barat. Oleh karenanya dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan asas dalam Pasal 22E UUD 1945, kemurnian suara pemilih, terutama untuk pemilih yang sedang memberikan suaranya di wilayah Indonesia bagian barat yang mana penyelenggaraan pemilunya lebih lambat 2 (dua) jam dari Indonesia bagian timur dan lebih lambat 1 (satu) jam dari Indonesia bagian tengah, harus tetap dijaga karena pemungutan suaranya belum selesai dilaksanakan.

[3.16.4] Bahwa selisih waktu dua jam antara wilayah WIB dengan wilayah WIT memungkinkan hasil penghitungan cepat Pemilu di wilayah WIT sudah diumumkan ketika pemungutan suara di wilayah WIB belum selesai dilakukan. Pengumuman hasil penghitungan cepat demikian, yang karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis “sekadar” ingin menjadi bagian dari pemenang. Apalagi, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, pertimbangan perihal budaya hukum dan budaya politik masyarakat turut pula menjadi faktor determinan terhadap tercapai atau tidaknya maksud mewujudkan kemurnian suara pemilih yang hendak dicapai oleh asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, secara metodologis, quick count bukanlah bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat karena di dalamnya masih mengandung rentang kesalahan (margin of error). Dengan demikian, sekecil apapun margin of error dalam metodologi quick count yang digunakan, hal demikian tetap berpengaruh terutama ketika selisih perolehan suara antarkandidat berada dalam margin of error tersebut. Artinya, keandalan quick count adalah terjamin jika perolehan suara antarkandidat atau antarkontestan jauh melampaui rentang kesalahan tersebut.

Dengan demikian, pembatasan dalam bentuk penundaan pemenuhan hak untuk memberikan dan memeroleh informasi sebagaimana diuraikan di atas yang disebabkan oleh perbedaan wilayah waktu tersebut masih memenuhi syarat pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dengan pertimbangan demikian, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] …..

[3.18] Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan, misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat (yang sekaligus berfungsi sebagai Mahkamah Konstitusi), mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi. Tercatat misalnya, untuk menyebut beberapa contoh, bagaimana Mahkamah Agung Amerika Serikat yang semula berpendapat bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas warna kulit tidaklah bertentangan dengan Konstitusi sepanjang dilaksanakan berdasarkan prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama), sebagaimana diputus dalam kasus Plessy v. Fergusson (1896), kemudian berubah dengan menyatakan bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit adalah bertentangan dengan Konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam putusannya pada kasus Brown v. Board of Education (1954). Demikian pula ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam permasalahan hak untuk didampingi penasihat hukum bagi seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dalam proses peradilan. Semula, dalam kasus Betts v. Brady (1942), Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendirian bahwa penolakan pengadilan negara bagian untuk menyediakan penasihat hukum bagi terdakwa yang tidak mampu tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Namun, melalui putusannya dalam kasus Gideon v. Wainwright (1963), Mahkamah Agung mengubah pendiriannya dan berpendapat sebaliknya, yaitu seseorang yang tidak mampu yang didakwa melakukan tindak pidana namun tanpa didampingi penasihat hukum adalah bertentangan dengan Konstitusi.

Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan. Apalagi perubahan demikian dilakukan dalam rangka melindungi hak konstitusional warga negara.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Sadikin Arifin yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ricky Gunawan, S.H., M.A. dan kawan-kawan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13.2] Bahwa terkait dengan beban pembuktian dimaksud, Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi telah memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk tindak pidana tertentu, yaitu Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia [vide Pasal 42 ayat (2) huruf a UU Telekomunikasi], dan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku [vide Pasal 42 ayat (2) huruf b UU Telekomunikasi] dalam kaitannya dengan keperluan proses pidana, meminta rekaman informasi kepada penyelenggara telekomunikasi. Terhadap hal tersebut, pada prinsipnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak privasi yang harus dilindungi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, "Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Terkait dengan hak privasi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004, Mahkamah mempertimbangkan, antara lain, bahwa hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut sepanjang dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, Mahkamah juga mempertimbangkan:
Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukan justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi.
Dengan merujuk pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dikaitkan dengan permohonan a quo, maka pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi merupakan salah satu bentuk pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak pribadi. Adapun aparat penegak hukum yang dimaksud dalam ketentuan pasal a quo, in casu Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Penyidik, merupakan alat negara yang berdasarkan KUHAP berkewajiban untuk membuktikan sangkaannya dan dakwaannya. Artinya, dalam kaitannya dengan tahapan persidangan, Jaksa Penuntut Umumlah yang berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya sesuai dengan berkas yang diajukan oleh Penyidik dan karenanya Jaksa Penuntut Umum berwenang pula memerintahkan Penyidik untuk meminta rekaman informasi kepada penyelenggara jasa telekomunikasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemberian hak kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik untuk meminta rekaman informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi, di satu pihak telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dan di lain pihak, pemberian hak kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik demikian tidak serta-merta secara a contrario dapat diartikan juga memberi hak kepada terdakwa untuk memperoleh rekaman informasi dimaksud. Sebab, terdakwa bukanlah penegak hukum sehingga tidak dibebani kewajiban pembuktian. Jika Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik tidak berhasil menghadirkan bukti adanya rekaman percakapan yang dijadikan salah satu alasan untuk mendakwa Pemohon, sebagaimana diuraikan Pemohon dalam permohonannya, lebih-lebih jika rekaman informasi demikian tidak dijadikan salah satu alat bukti yang disertakan dalam berkas perkara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik, hal demikian justru merupakan keuntungan bagi terdakwa (in casu Pemohon) karena hal itu berarti melemahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum apabila tidak ada bukti lain yang mendukung dakwaannya. Apalagi dengan tidak disertakannya dalam berkas perkara, tidak ada kewajiban bagi Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan barang bukti berupa rekaman informasi dimaksud. Meskipun dalam keadaan demikian, demi terangnya perkara, Hakim dapat saja menyarankan kepada Jaksa Penuntut Umum agar barang bukti demikian dihadirkan. Hal yang demikian tidak mengurangi hak Terdakwa atau Penasihat Hukumnya mengajukan barang bukti lain untuk membantah atau setidak-tidaknya guna meringankan terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Namun, hal demikian tidak dapat dijadikan dasar oleh Terdakwa atau Penasihat Hukumnya untuk meminta pembukaan rekaman informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.
Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi bertentangan dengan prinsip due process of law karena tidak memberikan posisi yang sama antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum dalam menjalani proses peradilan pidana sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah dalil yang tidak berdasar. Karena hakikat prinsip due process of law adalah pengakuan terhadap hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan suatu proses hukum yang adil dan layak. Pengertian adil dan layak di sini adalah memberikan perlakuan yang sama sesuai dengan hak-haknya yang tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam konteks hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bukti hasil rekaman informasi telekomunikasi yang disana juga terletak hak privasi orang lain yang harus dilindungi maka oleh karenanya hal yang demikian hanya secara limitatif diberikan kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam kaitan penegakan hukum. Oleh karena itu sesungguhnya tidak serta-merta memperlakukan secara tidak adil dan layak terhadap hak-hak tersangka/terdakwa.
[3.13.2] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tidak mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk mengajukan sendiri rekaman percakapan sebagai bukti guna kepentingan pembelaan saat menjalani proses peradilan pidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yakni dengan memberikan ruang bagi aparat penegak hukum untuk memperoleh rekaman informasi yang bersifat pribadi bukanlah sesuatu yang melanggar hukum. Terlebih hal tersebut merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk melaksanakan kewajibannya membuktikan dakwaannya dalam proses peradilan pidana sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.13]. Sebaliknya, apabila Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi diberi pengecualian sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon seperti yang tertuang dalam petitum permohonannya, hal tersebut justru dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan informasi dan terlanggarnya informasi pribadi pihak lain karena rekaman informasi dimaksud tidak hanya terkait dengan dirinya pribadi namun juga hak privasi orang lain. Lagipula, berdasarkan Pasal 41 UU Telekomunikasi beserta Penjelasannya, pengguna jasa telekomunikasi dapat meminta pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi dan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, permintaan bukti sebagaimana dimaksudkan Pasal 41 UU Telekomunikasi hanya untuk kepentingan pengguna jasa telekomunikasi dalam pemakaian fasilitas telekomunikasi.
Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tidak mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk mengajukan sendiri rekaman percakapan sebagai bukti guna kepentingan pembelaan saat menjalani proses peradilan pidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13.2] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pertentangan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakibatkan tercederainya hak Pemohon atas peradilan yang adil karena tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk melawan tuduhan Jaksa Penuntut Umum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.14] di atas, tidak terbukti adanya pertentangan antara Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengakibatkan tercederainya hak Pemohon atas peradilan yang adil. Terlebih lagi, dalam perbaikan permohonannya Pemohon menyatakan, “Pemohon menyadari seandainya JPU dan Majelis Hakim yang memeriksa perkara Pemohon dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menegakkan hukum acara secara ideal sebagaimana dimaksud pada para 51, dan menyanggupi permintaan Pemohon di hadapan persidangan, serta mau menggali kebenaran materiil dalam persidangan dengan mendasarkan pada bukti rekaman percakapan, Pemohon tidak perlu menghabiskan energi untuk mengajukan uji materi ke hadapan persidangan MK dan Majelis Hakim pada MK tidak perlu bersusah payah memeriksa Permohonan a quo. Namun demikian, yang terjadi justru sebaliknya, tanggapan JPU terhadap permintaan Pemohon yang diafirmasi oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengangkangi unsur-unsur yang berlaku universal dalam proses acara pidana sebagaimana dimaksud dalam para 51 tersebut telah menyakiti perasaan batin Pemohon.” [vide perbaikan permohonan halaman 17 angka 52]. Uraian Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, merupakan kewenangan majelis hakim yang menangani perkara konkret yang dialami Pemohon untuk mempertimbangkan perlu tidaknya permohonan yang diajukan oleh Pemohon dalam persidangan untuk dikabulkan atau sebaliknya. Dalam hal Pemohon merasa diperlakukan tidak sesuai dengan hak-haknya untuk melakukan pembelaan, Pemohon dapat menempuh upaya hukum yang disediakan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, tidak mampunya Jaksa Penuntut Umum menghadirkan bukti yang diminta oleh Pemohon yang kemudian sebagaimana didalilkan Pemohon bahwa hal tersebut disetujui oleh Majelis Hakim adalah bukan permasalahan konstitusionalitas norma melainkan terkait dengan implementasi. Dengan demikian dalil Pemohon mengenai pertentangan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengakibatkan tercederainya hak Pemohon atas peradilan yang adil karena tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa, in casu Pemohon, untuk melawan tuduhan Jaksa Penuntut Umum adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Robert Tantular, M.BA.

Pasal 272 KUHAP, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP

Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 272 KUHAP, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa Pemohon mendalilkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 272 KUHAP yang menyatakan:

Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.

Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan makna sesungguhnya dari norma Pasal 272 KUHAP adalah norma yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan, yaitu ketika seorang dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan dan belum menjalani pidana akan tetapi kemudian dijatuhi pidana lagi, maka terpidana menjalani pidana secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang terlebih dahulu telah dijatuhkan. Artinya, terpidana di dalam menjalani masa pidana harus dijalani secara berurutan sesuai dengan urutan putusan pengadilan yang dijatuhkan terhadapnya. Dengan kata lain terpidana tidak boleh menjalani pidana dengan mendahulukan putusan pengadilan yang dijatuhkan kepadanya setelah putusan pengadilan yang lebih terdahulu.

Selanjutnya apabila dicermati uraian makna yang terkandung dalam norma Pasal 272 KUHAP tersebut sesungguhnya cukup jelas dan dengan mudah dapat dipahami akan maksud dan tujuan yang termuat dalam norma a quo, termasuk di dalamnya pemberlakuan norma Pasal 272 KUHAP tersebut tidak dipersyaratkan oleh syarat lain yang bersifat khusus. Atau, dengan kata lain tidak dikecualikan apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh terpidana ada ataupun tidak ada keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana yang berhubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sebagai tindak pidana yang merupakan satu tindak pidana perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) ataupun gabungan beberapa tindak pidana (concursus realis). Oleh karenanya semua tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana yang ada kaitannya dengan satu tindak pidana perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) ataupun gabungan beberapa tindak pidana (concursus realis) tidak selalu berkolerasi dengan proses atau tata cara persidangan, khususnya dalam kaitannya dengan penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh pengadilan. Penerapan proses persidangan sejak berkas perkara masuk di pengadilan negeri, penuntutan hingga penjatuhan pidana oleh pengadilan sangat tergantung dengan pelimpahan berkas perkara dari jaksa penuntut umum yang sebelumnya menerima pelimpahan berkas perkara dari penyidik. Dengan kata lain, norma Pasal 272 KUHAP mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan pidana (eksekusi) yang dijatuhkan oleh pengadilan. Sementara itu, ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 63 KUHP, Pasal 64 KUHP dan Pasal 65 KUHP mengatur tentang proses atau tata cara melakukan penuntutan pidana bagi terdakwa oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim.

Bahwa dalam tataran empirik penerapan penuntutan pidana dan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana perbarengan, tindak pidana berlanjut dan tindak pidana gabungan baik sejenis maupun bukan sejenis, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tidak selalu dapat dilaksanakan secara konsisten, khususnya terhadap tindak pidana yang bersifat berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis). Hal tersebut disebabkan ada beberapa faktor penghambat, misalnya baik tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) maupun waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) antara tindak pidana yang satu dengan yang lainnya dilakukan oleh pelaku tindak pidana berjauhan jaraknya atau keberadaan alat bukti antara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya dalam tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) menemukan kesulitan secara teknis oleh penyidik atau jaksa penuntut umum untuk mengajukan berkas perkara secara bersamaan. Berbeda halnya dengan tindak pidana perbarengan (concursus idealis) yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana seharusnya tidak ada alasan atau kekhawatiran bagi pelaku tindak pidana tersebut termasuk dalam hal ini kekhawatiran yang didalilkan oleh Pemohon untuk mempersoalkan keberadaan Pasal 272 KUHAP mengingat dalam tindak pidana perbarengan (concursus idealis) tidak ada relevansinya dengan splitsing (pengajuan berkas perkara secara terpisah) karena hakikat tindak pidana perbarengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 KUHP adalah hanya terdapat satu peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana akan tetapi melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus. Oleh karena itu hanya ada satu perbuatan maka tidak ada alasan untuk mengajukan berkas perkara yang bersangkutan secara splitsing (pengajuan berkas perkara secara terpisah). Sebab yang membedakan antara tindak pidana perbarengan (concursus idealis) dengan tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) adalah hanya tata cara penuntutan pidana dan penjatuhan pidana yang harus dikenakan terhadap terpidana yaitu ketentuan dari tindak pidana yang ancaman pidananya terberat dan ditambah ancaman pidana sepertiga khusus untuk gabungan tindak pidana (concursus realis).

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas sesungguhnya tidak ada relevansinya bagi terpidana khususnya yang terbukti melakukan tindak pidana yang ada kaitannya dengan tindak pidana secara perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) untuk mempermasalahkan norma Pasal 272 KUHAP. Sebab pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan sejak pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana mempunyai status sebagai terpidana, yaitu sejak putusan pengadilan yang bersangkutan telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, ada ataupun tidak perkara lain yang masih harus dijalani terpidana tersebut, termasuk dalam hal ini ada kaitannya dengan tindak pidana yang belum diadili terhadap terdakwa (‘delik tertinggal’) karena melakukan tindak pidana lainnya sebagai akibat adanya tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis), sesungguhnya pelaksanaan pidananya (eksekusi) terhadap diri terpidana haruslah sudah dapat dijalankan dengan berpedoman pada Pasal 272 KUHAP, yaitu terpidana melaksanakan putusan pengadilan yang terlebih dahulu dengan menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, semangat dari Pasal 272 KUHAP adalah untuk memberikan pesan bahwa seorang terpidana yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali maka dalam menjalani masa pidana harus dilakukan secara berturut-turut dimulai dari putusan pengadilan yang terdahulu kemudian secara berturut-turut diikuti putusan pengadilan yang dijatuhkan setelahnya. Adapun apabila terkait hal tersebut ada pelimpahan berkas perkara untuk dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana yang berkaitan dengan perbuatan pidana baik secara berlanjut (voortgezette handeling) ataupun gabungan tindak pidana (concursus realis) yang dilakukan tidak secara serentak atau dilakukan secara terpisah (splitsing) yang berakibat adanya beberapa putusan pengadilan yang tidak bersamaan, bahkan dalam pelaksanaan putusan pidana (eksekusi) oleh jaksa dilaksanakan secara tidak berurutan, hal tersebut adalah persoalan praktik penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Dalam batas-batas tertentu permasalahan demikian sulit dihindari karena berbagai faktor penghambat yang telah diuraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya.

Bahwa meskipun penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim dalam tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) dan gabungan tindak pidana (concursus realis) tidak diajukan secara serentak atau diajukan secara terpisah (splitsing) tidak berakibat penuntutan dan penjatuhan pidana menjadi batal demi hukum. Mengingat esensi dari norma-norma tersebut adalah bentuk perlindungan hukum terhadap para pencari keadilan (justiciabelen), khususnya para terdakwa, dan semangat untuk mewujudkan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, maka penting diingatkan kepada seluruh aparat penegak hukum (baik penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim) untuk selalu berupaya menyelesaikan proses hukum terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana perbarengan (concursus idealis), tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling), dan gabungan tindak pidana (concursus realis) dengan selalu melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dengan menjunjung prinsip-prinsip sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP serta memberikan perlindungan hukum terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali dan menjalani persidangan juga untuk melaksanakan putusan pengadilan secara berurutan sesuai dengan urutan putusan pengadilan yang dijatuhkan terhadap terpidana, sebagaimana yang dikehendaki dalam Pasal 272 KUHAP.

Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas telah jelas sesungguhnya tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 272 KUHAP. Oleh karenanya dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak berdasar. Di samping itu, tanpa bermaksud menilai kasus konkrit yang dialami oleh Pemohon, sebenarnya perkara yang dialami Pemohon tidak ada relevansinya dengan berlakunya norma Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP dalam kaitannya dengan norma Pasal 272 KUHAP. Oleh karenanya dalil permohonan a quo yang menyatakan Pasal 272 KUHAP inkonstitusional bersyarat sejauh tidak dikecualikan untuk kasus-kasus concursus dan perbuatan berlanjut, adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.11.2] Bahwa terhadap dalil Pemohon selanjutnya mengenai konstitusionalitas Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang menyatakan:
Pasal 63
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Pasal 64
(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
(3) Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.

Pasal 65
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih daripada maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga;

Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa lebih lanjut dapat diuraikan, dari ketiga jenis tindak pidana tersebut yang mempunyai dampak krusial berkenaan dengan penerapan sanksi pidana dan acapkali membawa kerumitan dalam implementasinya adalah tindak pidana gabungan (concursus realis), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP. Terlebih apabila dikaitkan dengan sistem pemidanaan dalam penjatuhan pidana yang bisa merujuk dengan sistem absorbsi ataupun sistem kumulasi, yang dua-duanya mempunyai stelsel pemidanaan yang berbeda. Dalam sistem absorbsi, terhadap tindak pidana gabungan (concursus realis) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 65 KUHP maka setiap tindak pidana diberi sanksi pidana secara sendiri-sendiri akan tetapi setelah dijumlahkan tidak boleh melebihi ancaman pidana pokok yang terberat ditambah sepertiganya. Sedangkan dalam sistem kumulasi sanksi pidana hanya dikenakan terhadap tindak pidana yang ancaman pidananya terberat ditambah sepertiga. Dengan demikian apabila dicermati dari sisi sanksi pidana, baik dengan menerapkan stelsel pemidanaan absorbsi maupun sistem kumulasi maka ditinjau dari akumulasi jumlah masa pidana secara formal tidak ada kerugian pada diri pelaku tindak pidana gabungan (concursus realis) karena pelaku tindak pidana tidak akan mendapatkan sanksi penjatuhan pidana melebihi ancaman pidana pokok terberat ditambah sepertiganya. Namun apabila ditinjau dari sisi proses pengajuan berkas perkara yang diajukan oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum hingga penjatuhan pidana oleh hakim maka dengan tatacara pemidanaan dengan menggunakan stelsel absorbsi akan sangat merugikan pelaku tindak pidana gabungan (concursus realis), sebab akan berakibat pelaku tindak pidana akan dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana berkali-kali. Bahkan, penuntutan dan penjatuhan pidana tersebut dapat terjadi sebanyak jumlah tindak pidana yang dilakukan. Hal demikian jelas tidak sesuai dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, di samping berpotensi adanya kesalahan penerapan hukum Pasal 65 KUHP karena kurang adanya koordinasi dan sinergi serta informasi tentang tindak pidana yang lain yang telah atau belum dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana oleh jaksa penuntut umum dan hakim. Karenanya, bisa jadi seorang pelaku tindak pidana akan mendapat beberapa putusan hakim yang apabila diakumulasi melebihi ancaman pidana pokok terberat ditambah sepertiganya. Hal demikian jelas akan mencedarai rasa keadilan yang juga berdampak pada adanya pelanggaran hak asasi manusia, di samping tidak sesuai dengan semangat Pasal 65 KUHP itu sendiri.

Sementara itu, dalam tindak pidana perbarengan (concursus idealis) dan tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) yang sesungguhnya juga dapat dikatakan tindak pidana “gabungan”, kemungkinan untuk dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana berkali-kali seharusnya tidak terjadi mengingat pada dua jenis tindak pidana tersebut sebenarnya hanya satu peristiwa pidana, khususnya dalam tindak pidana perbarengan (concursus idealis). Sebab hakikat tindak pidana perbarengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 KUHP adalah hanya ada satu peristiwa pidana, sehingga tidak mungkin akan ada penuntutan pidana dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, sedangkan pada tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling) juga seharusnya tidak akan terjadi penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, mengingat hakikat tindak pidana berlanjut adalah antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya adalah saling berhubungan erat dan merupakan satu rangkaian terwujudnya perbuatan pidana yang kemudian dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang mempunyai sifat berlanjut. Oleh karenanya, seharusnya juga tidak akan terjadi penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali dalam tindak pidana berlanjut sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 64 KUHP. Lagi pula, apabila dalam tindak pidana secara berlanjut dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, hal tersebut sesungguhnya sudah kehilangan sifat ‘keberlanjutannya’ itu, bahkan justru akan berubah menjadi anasir tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri dan menjadi tumpang tindih dengan kriteria tindak pidana yang bersifat gabungan (concursus realis) sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 65 KUHP. Dengan kata lain, jika dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali, tindak pidana secara berlanjut akan bermetamorfosis menjadi jenis tindak pidana gabungan yang anasirnya adalah tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri sebagaimana yang menjadi sifat dari perbuatan pidana gabungan (concursus realis).

Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, dapat dipahami adanya kesulitan untuk melakukan penuntutan dalam satu surat dakwaan dalam satu persidangan terhadap tindak pidana yang bersifat penggabungan dan berlanjut, khususnya dalam tindak pidana gabungan (concursus realis). Kesulitan tersebut terjadi di samping disebabkan karena adanya perbedaan tempus dan locus serta alat-alat bukti yang jaraknya berjauhan juga disebabkan karena kurangnya koordinasi dan sinergi antara penegak hukum, sehingga hal-hal tersebut menjadikan implementasi dari ketentuan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP acapkali terabaikan dan hal itu dapat berdampak pada terganggunya bentuk perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana. Sebab esensi keberadaan pasal-pasal a quo sebenarnya adalah dalam rangka perlindungan hak asasi manusia yang tentu saja tidak dapat berfungsi secara maksimal, setidak-tidaknya dalam konteks pemenuhan prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Bahkan lebih dari itu, perlindungan hak asasi manusia yang dimaksudkan adalah bahwa norma pasal-pasal tersebut mengatur atau membatasi penjatuhan pidana terhadap seorang yang melakukan tindak pidana, baik yang melanggar Pasal 63, Pasal 64, atau Pasal 65 KUHP seharusnya tidak dilakukan penjatuhan pidana secara akumulatif. Artinya, ancaman pidana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut hanya diberlakukan terhadap pidana yang terberat dan ditambah dengan sepertiga dari ancaman pidana yang terberat tersebut khusus untuk pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan Pasal 65 KUHP.

Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP adalah instrumen hukum untuk melindungi hak asasi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam memberikan punishment terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana, baik yang berkaitan dengan perbuatan tindak pidana perbarengan (concursus idealis), berlanjut (voortgezette handeling) maupun gabungan tindak pidana (concursus realis). Oleh karenanya sepanjang tidak ada alasan-alasan bersifat teknis yang benar-benar tidak dapat dihindarkan maka penyelesaian perkara, baik penyidikan, penuntutan hingga penjatuhan pidana yang berkaitan dengan pasal-pasal tersebut di atas seharusnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang secara limitatif telah ditegaskan dalam norma pasal-pasal a quo, baik tata cara penggabungan dalam satu berkas perkara maupun tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Seandainya pun penggabungan dalam satu berkas perkara, khususnya dalam perbuatan pidana yang termasuk dalam rumusan Pasal 65 KUHP, tidak dapat dilakukan maka yang harus tetap dijaga adalah tidak diperbolehkannya tuntutan dan penjatuhan pidana terhadap terdakwa yang melebihi maksimal ancaman pidana terberat yang terbukti di persidangan ditambah sepertiga dari ancaman pidana terberat tersebut. Dengan demikian hakikat perlindungan hak asasi manusia dengan dimungkinkannya adanya penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim yang melebihi ancaman pidana pokok terberat ditambah sepertiga dapat dihindari.

Bahwa salah satu instrumen yang dapat mengendalikan penuntutan dan penjatuhan pidana oleh jaksa penuntut umum dan hakim agar tidak melebihi ancaman pidana terberat ditambah sepertiga terhadap perkara yang diajukan secara terpisah (splitsing), khususnya dalam perkara yang berkaitan dengan perbuatan pidana secara penggabungan, terkhusus lagi dalam tindak pidana yang berkaitan Pasal 65 KUHP (concursus realis), adalah dengan cara jaksa penuntut umum harus memberikan data tentang telah adanya putusan sebelumnya atau perkara yang masih tersisa (‘delik tertinggal’) baik di dalam surat dakwaan pidana maupun tuntutan pidana sehingga oleh karena itu hakim akan mendapatkan fakta hukum itu sebagai bahan pertimbangan hukum yang akan dipertimbangkan secara cermat dalam mengakumulasikan atau menjumlahkan masa pidana yang telah dijatuhkan terhadap terdakwa yang bersangkutan dengan tindak pidana yang akan dijatuhkan pidana kemudian untuk menghindari adanya kelebihan batas maksimal, yaitu ancaman pidana terberat ditambah sepertiganya.

Bahwa oleh karena sesungguhnya pemberlakuan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP merupakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia, khususnya terpidana agar penjatuhan pidana oleh hakim tidak melebihi maksimum pidana maka penting bagi Mahkamah mengingatkan kembali bahwa ketika terjadi tindak pidana perbarengan atau penggabungan (samenloop/concursus) seharusnya jaksa penuntut umum menuntutnya dalam satu surat dakwaan supaya terpidana tidak dijatuhkan pidana melebihi pidana maksimum oleh hakim. Penuntutan dalam satu surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam konteks kasus perbarengan merupakan keniscayaan karena stelsel pemidanaan yang dianut oleh hukum pidana Indonesia merupakan akumulasi hukuman yang tidak boleh melebihi pidana maksimum terberat.

Lebih lanjut lagi apabila rangkuman pertimbangan Mahkamah tersebut dihubungkan dengan perkara yang terjadi dan didalilkan Pemohon yaitu perkara pidana Pemohon yang oleh jaksa penuntut umum dibuat dalam surat dakwaan yang terpisah padahal merupakan kasus perbarengan, hal itu menurut Mahkamah, apabila yang didalikan oleh Pemohon tersebut benar dan tanpa bermaksud Mahkamah menilai perkara konkrit yang dialami Pemohon persoalan sesungguhnya bukan terletak pada konstitusionalitas norma dari Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP, melainkan penerapan dari norma pasal-pasal a quo. Namun penting bagi Mahkamah menegaskan kembali penuntutan dan penjatuhan pidana perkara secara terpisah (splitsing) dalam tindak pidana perbarengan, berlanjut, maupun penggabungan tidaklah serta-merta menjadikan proses hukum tersebut melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, sepanjang alasan adanya kesulitan untuk melakukan satu kali penuntutan dan penjatuhan pidana tersebut benar-benar terjadi karena adanya kendala teknis dalam mengumpulkan alat bukti atau hal lainnya. Hal yang juga penting diingatkan adalah tidak boleh pada akhir proses penuntutan dan putusan pengadilan jumlah masa pidana yang dijatuhkan melebihi jumlah maksimum yang diamanatkan oleh Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali, terkhusus kepada aparat penegak hukum, untuk benar-benar mencermati, baik secara teoritik maupun praktik substansi yang menjadi semangat yang dikehendaki oleh Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tersebut.

Bahwa lebih lanjut menurut Mahkamah, apabila dalam kasus perbarengan ternyata sudah diselingi dengan putusan hakim dan tidak dapat dilakukan penggabungan perkara karena adanya kendala teknis sebagaimana disebabkan beberapa hal yang juga telah dipertimbangkan sebelumnya maka terhadap hal tersebut dengan sendirinya tindak pidana tersebut telah kehilangan sifat dari ‘perbarengan’nya. Dengan kata lain, perbuatan pidana tersebut bukan lagi merupakan perbarengan tetapi merupakan delik tertinggal dan perbuatan tersebut pada akhirnya dapat diajukan secara terpisah akan tetapi jaksa penuntut umum dan hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dengan menjatuhkan putusan pidana tidak boleh melebihi ancaman pidana maksimum yang ditentukan.

[3.12] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, berkaitan dengan perbuatan pidana perbarengan, berlanjut, dan penggabungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP sebenarnya juga telah dilengkapi dengan tata cara penuntutan pidana dan penjatuhan pidana oleh penuntut umum dan hakim dengan mengacu pada ketentuan Pasal 71 KUHP yang menyatakan:

Jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

Oleh karenanya pranata untuk dijadikan pedoman dalam mengajukan tuntutan pidana oleh jaksa penuntut umum dan dalam menjatuhkan pidana oleh hakim sudah tegas, di mana norma Pasal 71 KUHP tersebut telah mencegah adanya penjatuhan pidana yang melebihi pidana maksimal yang dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, penjatuhan pidana secara ekstrim tidak akan terjadi.

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang menghendaki agar pasal-pasal a quo tidak dapat dikenakan terhadap beberapa kali penuntutan dan penjatuhan pidana atau dengan kata lain terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang sudah pernah dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana dan masih ada delik yang ‘tertinggal’ tidak dapat dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana lagi adalah dalil yang tidak berdasar. Sebab, sepanjang penuntutan dan penjatuhan pidana yang pernah ada belum memenuhi batas maksimum penuntutan dan penjatuhan pidana, hal tersebut masih tetap dapat dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana, terlebih jika terdapat alasan yang kuat perkara yang menyulitkan diajukannya dalam satu surat dakwaan terhadap perkara yang berhubungan dengan tindak pidana perbarengan, tindak pidana berlanjut, dan tindak pidana gabungan. Bahkan dalam hal pelaku tindak pidana dalam perbarengan, berlanjut, dan gabungan perbuatan pidana telah dijatuhi pidana maksimal sekalipun, terhadap tindak pidana yang belum dilakukan penuntutan dan penjatuhan pidana (delik ‘tertinggal’), masih tetap dapat dilakukan penuntutan dan apabila terhadap tindak pidana yang dilakukan penuntutan belakangan tersebut terdakwa dapat dibuktikan kesalahannya maka terhadap pelaku masih dapat dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana akan tetapi tidak dapat lagi dijatuhi pidana yang berupa penambahan masa pemidanaan. Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas telah jelas bahwa baik Pasal 272 KUHAP maupun Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap UUD 1945 dan oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H. diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu H. Moh. Rusdi Taher, S.H., M.H., H.O.K. dkk yang seluruhnya merupakan Advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Profesi Advokat (TPPA) Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Pasal 458 ayat (6) UU Pemilihan Umum

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat (2) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah lebih jauh memberikan jawaban atas pertanyaan terkait konstitusionalitas frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam norma Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu, terlebih dahulu perlu diuraikan hal-hal yang terkait dengan prinsip eksistensi penegakan kode etik penyelenggara pemilu yang dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal mana, secara hukum, DKPP merupakan sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu dengan KPU dan Bawaslu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Pertama, setiap penyelenggara pemilu, baik anggota KPU maupun anggota Bawaslu terikat dengan kewajiban untuk menjaga integritas dan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilu. Integritas dan kemandirian tersebut merupakan amanat dari Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang dimaksudkan memastikan agar pemilihan umum diselenggarakan secara jujur dan adil sesuai dengan kehendak Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Sebagai suatu pekerjaan atau profesi yang mengharuskan seseorang bekerja secara mandiri, berintegritas, jujur dan adil, terhadap orang dimaksud tidak saja melekat berbagai kewajiban hukum dalam bertugas, melainkan juga sekaligus melekat kewajiban-kewajiban etik (ethic obligations). Dalam batas penalaran yang wajar, kewajiban etik tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan memastikan agar setiap sikap dan prilaku penyelenggara pemilu tetap menjaga integritas, jujur dan adil dalam menyelenggarakan pemilu. Tuntutan profesi sebagai penyelenggara pemilu memiliki konsekuensi berupa munculnya kewajiban untuk melaksanakan segala standar etik yang telah diatur khusus untuk profesi penyelenggara pemilu. Karenanya, bilamana terjadi pelanggaran atau dugaan pelanggaran, timbul keharusan atau kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala bentuk pelanggaran ataupun dugaan pelanggaran kode etik di hadapan institusi yang bertugas memeriksa dan memutuskan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.

Kedua, dalam rangka memastikan agar setiap etika penyelenggara pemilu dipatuhi oleh penyelenggara, instrumen kode etik harus disertai dengan perangkat struktural penegakannya, dalam hal ini pembentuk undang-undang mengaturnya dengan cara membentuk institusi tersendiri, yaitu DKPP. Sebagai penegak kode etik penyelenggara pemilu, secara kelembagaan DKPP bukanlah lembaga peradilan dan bahkan Pemohon dalam permohonannya menyebutnya sebagai peradilan semu (quasi peradilan), melainkan sebagai satu kesatuan dengan penyelenggara pemilu yang lain, yaitu KPU dan Bawaslu. Secara hukum, tugas utama DKPP dalam penegakan etik adalah memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sebagai sebuah institusi yang berada dalam ranah penyelenggara pemilu, pembentukan DKPP didasarkan pada ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, khususnya frasa “suatu komisi pemilihan umum”. Ihwal memosisikan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas”;

Dengan menempatkan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaran pemilu, sesungguhnya DKPP bukanlah suatu institusi yang berada di luar ranah institusi penyelenggara pemilu. Artinya, DKPP merupakan perangkat internal penyelenggara pemilu. Dengan demikian, lembaga penyelenggara pemilu terdiri atas tiga lembaga yang satu sama lain tetap berfungsi sebagai satu kesatuan kelembagaan. Dalam kerangka itu, kewenangan DKPP melakukan proses penegakan kode etik adalah dalam posisinya sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, yaitu menegakkan etik penyelenggara pemilu sebagai bagian dari skenario mewujudkan penyelenggaraan pemilu sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Berdasarkan hal demikian, proses penegakan kode etik penyelenggara pemilu terhadap penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik atau diduga melanggar kode etik juga dapat diposisikan sebagai mekanisme internal penyelenggara pemilu.

Tidak hanya itu, secara historis, apabila dirujuk sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010, di mana sebelum DKPP dibentuk terpisah dari KPU dan Bawaslu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, penegakan etika penyelenggara pemilu dilakukan oleh Dewan Kehormatan KPU yang ditempatkan sebagai bagian dari kelengkapan KPU, KPU Provinsi dan Bawaslu dalam rangka menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Artinya, DKPP sesungguhnya adalah bagian dari penyelenggara pemilu, sehingga ketika proses penegakan terhadap dugaan pelanggaran kode etik dilakukan, hal tersebut merupakan mekanisme internal penyelenggara pemilu.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan dua kerangka berpikir sebagaimana diuraikan di atas, terhadap pertanyaan terkait konstitusionalitas norma dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sepanjang frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain”, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

Pertama, frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam norma Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sesungguhnya bukan ditujukan kepada subjek di luar penyelenggara pemilu. Artinya, keharusan untuk datang sendiri dalam proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dibebankan kepada penyelenggara pemilu yang diadukan. Pada saat yang sama, pembatasan bahwa seorang penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik tidak dapat menguasakan kepada orang lain juga ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain di luar penyelenggara pemilu. Oleh karena pembatasan frasa dalam norma a quo ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain mana pun maka sesuai dengan karakter tindakan penegakan dalam pelanggaran kode etik yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, larangan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sepanjang frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” adalah konsekuensi logis dan karakteristik penyelesaian pelanggaran etik. Dengan demikian, bilamana diletakkan dalam logika memberikan kuasa atau dapat menguasakan kepada orang lain termasuk advokat maka hal demikian akan memberikan hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Logika demikian, sangat mungkin karena alasan tertentu penyelenggara pemilu yang diadukan telah melanggar atau terindikasi melanggar kode etik penyelenggara pemilu dapat mewakilkan kehadirannya kepada penerima kuasa dalam proses penyelesaian pelanggaran kode etik.

Lebih lanjut dapat dijelaskan ruang lingkup pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa hanya dapat terjadi dalam wilayah hukum yang bersifat privat yaitu adanya gesekan atau konflik kepentingan atau hak dalam pergaulan antar individu bukan berkaitan dengan perbuatan hukum seseorang yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum. Dalam perspektif inilah menurut Mahkamah karena penyelenggaraan pemilu adalah merupakan kepentingan umum dan perbuatan yang diduga dilanggar oleh penyelenggara pemilu sudah berdampak pada kepentingan orang banyak (umum), sehingga hal yang demikian sudah memasuki wilayah hukum publik. Oleh karena itu prinsip-prinsip yang dijadikan rujukan penyelesaian masalah pada saat adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu, meskipun terbatas pada ranah etik, haruslah tetap berpedoman pada “hukum acara” quasi peradilan publik. Terlebih lagi bentuk putusan dari DKPP apabila kesalahan atas pelanggaran yang dilaporkan terbukti adalah bersifat hukuman (punishment), maka hal ini menegaskan, bahwa penyelesaian adanya dugaan pelanggaran tersebut adalah menggunakan mekanisme hukum acara dalam quasi peradilan yang bersifat publik. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah menjadi tidak tepat apabila terlapor dapat memberikan kuasa kepada kuasa hukum termasuk dalam hal ini advokat. Sebab hubungan hukum pemberian kuasa dan yang menerima kuasa hanya terjadi dalam hukum privat yaitu hubungan hukum antar pribadi atau individu dalam hal terjadi sengketa kepentingan maupun hak.

Bahwa oleh karena Mahkamah menegaskan penyelesaian dugaan pelanggaran terhadap penyelenggara pemilu di DKPP adalah bersifat quasi peradilan publik, maka terhadap Pemohon dalam proses persidangan DKPP tersebut sebenarnya masih dapat berperan sebagai Penasihat Hukum bukan kuasa hukum yaitu pihak yang dapat mendampingi terlapor pada sidang DKPP yang mempunyai tugas pokok pendampingan, pemberian nasihat-nasihat bahkan mendampingi untuk memberikan bantuan pembelaan terhadap terlapor/teradu. Oleh karena itu dengan peran Pemohon yang demikian, kekhawatiran Pemohon akan kehilangan fee (honor) adalah tidak berdasar.

Sementara itu, kalaupun frasa dalam norma pasal a quo akan diposisikan sebagai norma yang berhubungan dengan hak Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan, namun menerima kuasa dari penyelenggara pemilu yang diadukan sesuai Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu tidak spesifik ditujukan kepada orang yang berprofesi sebagai advokat. Di mana dengan frasa “orang lain” dalam ketentuan dimaksud dapat dipahami bahwa selain orang yang berprofesi sebagai advokat pun terikat dengan ketentuan a quo. Oleh karena subjek yang dituju oleh norma tersebut bukanlah orang yang berprofesi sebagai advokat, melainkan seluruh orang selain penyelenggara pemilu yang bersangkutan, sehingga frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam norma Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu tidak dapat dikualifikasi telah merugikan warga negara yang berprofesi sebagai advokat.

Lebih jauh, jika norma a quo dinilai telah menyebabkan warga negara akan kehilangan pekerjaan dan hak mendapatkan imbalan sebagaimana didalilkan Pemohon, dalil tersebut pun tidak relevan. Sebab, sekalipun norma a quo tetap dipertahankan, siapapun warga negara yang berprofesi sebagai advokat tetap dapat melaksanakan pekerjaannya sebagai advokat tanpa terganggu oleh keberadaan norma a quo. Dengan demikian, norma dimaksud tidak menyebabkan hilangnya pekerjaan seorang warga negara yang berprofesi sebagai advokat.

Kedua, ketentuan pembatasan mengenai pihak yang harus hadir secara langsung dalam sidang-sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik adalah penyelenggara pemilu dapat dimaknai sebagai konsekuensi logis dari proses pemeriksaan pelanggaran kode etik oleh DKPP yang ditempatkan sebagai mekanisme internal penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, jikalau seorang anggota penyelenggara pemilu melakukan dugaan pelanggaran kode etik maka ia diproses secara internal melalui institusi penegak kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai sebuah proses internal, setiap penyelenggara pemilu dibebani kewajiban untuk datang sendiri dan tidak dibenarkan untuk memberi kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya kecuali terbatas hanya untuk mendampingi. Bahkan, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, semangat bahwa seseorang yang melanggar kode etik tidak dapat memberi kepada orang lain kuasa untuk mewakili telah ditegaskan pula dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia bertanggal 23 Mei 2002. Dalam Pasal 13 angka 7 huruf a Kode Etik dimaksud dinyatakan, “Pengadu dan yang teradu:
(a) Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat”.

Bahwa dalam hal UU Pemilu membuka ruang bagi penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik memberikan kuasa kepada pihak lain maka esensi pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik yang harus dihadiri sendiri oleh yang bersangkutan akan kehilangan makna. Sebab, salah satu sifat dari perjanjian pemberian kuasa adalah penerima kuasa untuk mewakili langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa. Dengan sifat demikian, dalam batas penalaran yang wajar, penerima kuasa berkedudukan dan memiliki kapasitas menjadi wakil penuh bagi pemberi kuasa dalam hal bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa dan melakukan segala tindakan sesuai kewenangan yang diberikan melalui perjanjian kuasa. Bilamana penerima kuasa dapat bertindak mewakili penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik maka proses yang demikian tidak sejalan dengan prinsip “peradilan etik” yang mengharuskan mereka yang melanggar etik untuk menghadiri langsung proses penyelesaian perkara pelanggaran kode etik.

Ketiga, esensi pemeriksaan pelanggaran kode etik tidak dapat dipersamakan dengan esensi pemeriksaan pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana. Sementara itu, secara implisit, Pemohon tampak jelas menggunakan logika prinsip “due process of law” dalam argumentasinya. Hal tersebut tampak dari penekanan argumentasi Pemohon pada esensi profesi advokat. Padahal, prinsip due process of law, baik secara esensi maupun historis adalah dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan negara yang dilakukan oleh aparatnya, khususnya aparat penegak hukum. Dengan kata lain, prinsip due process of law hadir dalam hukum pidana karena adanya unsur penggunaan kekuasaan negara. Oleh karena itulah terminologi yang digunakan dalam due process of law adalah “didampingi” bukan “diwakili”. Sebab, seseorang tidak mungkin mewakili orang lain yang disangka melakukan tindak pidana. Hakikat pendampingan kuasa hukum terhadap kliennya dalam due process of law adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak pihak yang didampingi yang dilakukan oleh negara. Keadaan demikian jelas tidak berlaku dalam penegakan pelanggaran kode etik. Namun, dalam proses penegakan pelanggaran kode etik hak terlapor (teradu) untuk membela diri tidaklah hilang, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

PT. Manito World yang diwakili Kim Nam Hyun dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Banua Sanjaya Hasibuan, S.H., M.H., David M Agung Aruan, S.H., M.H., Mangapul Sitorus, S.H., dan Achmad Kurnia dari kantor hukum Banua Sanjaya, S.H., M.H., & Partners

Pasal 172 UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7]. Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu:

Penguatan pengaturan hak-hak dasar pekerja/buruh sejalan dengan perkembangan instrumen hukum Internasional adalah dimaksudkan untuk menjamin kesempatan serta perlakuan yang non diskriminatif atas dasar apapun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh, termasuk keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Oleh karena itu, sesuai dengan pengertian “ketenagakerjaan” dalam Pasal 1 angka 1 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja” maka tidaklah mungkin dapat memahami UU Ketenagakerjaan secara komprehensif jika hanya membaca pasal per pasal tanpa mendalami ihwal pekerja/buruh pada waktu sebelum bekerja, selama, dan sesudah masa kerja;

[3.14] Menimbang bahwa Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang selengkapnya menyatakan, “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)”, menurut dalil Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun, dalam menjelaskan dalil kerugian tersebut, Pemohon sama sekali tidak menautkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan prinsip larangan pemutusan hubungan kerja sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf a dan huruf j UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; ...
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan; ...

Ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan merupakan bagian akhir dari Bab XII UU Ketenagakerjaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang substansinya bukanlah norma yang berdiri sendiri. Norma Pasal 172 UU Ketenagakerjaan memuat alasan PHK dan hak-hak yang harus diberikan oleh pengusaha dalam hal alasan-alasan tersebut terpenuhi. Oleh karenanya rujukan norma Pasal 172 UU Ketenagakerjaan sepanjang berkaitan dengan alasan-alasan PHK adalah Pasal 153 ayat (1) huruf a terkait dengan alasan sakit berkepanjangan dan Pasal 153 ayat (1) huruf j terkait dengan cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja. Sedangkan sepanjang yang berkenaan dengan hak-hak pekerja/buruh merujuk pada Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, khususnya ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);

[3.14.1] Bahwa telah ternyata norma Pasal 172 UU Ketenagakerjaan berkaitan erat dengan norma pasal-pasal sebelumnya sebagaimana pertimbangan hukum di atas sehingga pasal a quo tidak perlu lagi mengatur mengenai substansi surat keterangan dokter karena untuk membuktikan apakah pekerja/buruh sakit berkepanjangan telah diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf a yang mana hal tersebut harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, termasuk juga jika pekerja/buruh mengalami keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja, Pasal 153 ayat (1) huruf j telah menentukan keharusan adanya surat keterangan dokter untuk membuktikan keadaan yang dialami oleh pekerja/buruh tersebut. Surat keterangan dokter tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk membuktikan keadaan sakit yang sedang dialami pekerja/buruh. Lebih dari itu, sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan telah ditentukan pula bahwa PHK yang tidak sesuai dengan alasan-alasan dalam Pasal 153 ayat (1) adalah batal demi hukum dan oleh karenanya pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang di PHK;

[3.14.2] Bahwa sementara itu, terkait dengan kekhawatiran Pemohon jika pekerja/buruh mengajukan permohonan untuk minta PHK karena alasan sakit berkepanjangan dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dengan maksud agar pekerja/buruh mendapatkan hak-haknya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan seharusnya rasa khawatir tersebut tidak perlu terjadi. Karena, kondisi pekerja/buruh yang sakit berkepanjangan dan tidak dapat melakukan pekerjaannya tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Berkaitan dengan persoalan sakit ini, Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah menentukan mengenai hak pekerja/buruh yang sakit bahwa “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”. Ketentuan ini dikecualikan jika pekerja/buruh tersebut sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya [vide Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan]. Sakitnya pekerja/buruh dalam konteks ketentuan ini harus dibuktikan dengan adanya surat keterangan dari dokter;

[3.14.3] Bahwa sebelum sampai terlampauinya batas waktu 12 (dua belas) bulan keadaan pekerja/buruh sakit berkepanjangan, seharusnya Pemohon sudah dapat mengetahui kondisi setiap pekerja/buruhnya, sebelum pada akhirnya diterapkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan. Sesuai dengan prinsip penguatan hak-hak dasar pekerja/buruh yang telah diadopsi dalam UU Ketenagakerjaan maka pengusaha, in casu Pemohon, tetap harus membayar upah kepada pekerja/buruh yang sakit yang tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagaimana pengaturan upah tersebut tertuang dalam Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bahwa:

a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

Artinya, berdasarkan ketentuan tersebut, setelah melampaui 12 (dua belas) bulan pengusaha hanya membayar upah sebesar 25% (dua puluh lima perseratus). Jika pekerja/buruh yang sakit tersebut akan di-PHK selain pekerja/buruh tersebut menerima upah 25% (dua puluh lima perseratus) maka karena alasan sakit yang berkepanjangan yang melampaui waktu 12 (dua belas) bulan, berdasarkan ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan kepada pekerja/buruh tersebut masih diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

Sekiranya Pemohon memahami secara komprehensif substansi PHK dalam UU Ketenagakerjaan Pemohon seharusnya sejak dini dapat melakukan langkah antisipatif ketika akan melakukan proses rekrutmen pekerja/buruh agar dapat terhindar dari mendapatkan pekerja/buruh yang kondisinya tidak sehat atau Pemohon dapat saja secara rutin memeriksakan kesehatan pekerja/buruh sehingga dengan demikian Pemohon tidak perlu merasa khawatir jika pekerja/buruh akan minta di-PHK karena menggunakan alasan sakit yang berkepanjangan. Oleh karena itu, terhadap dalil Pemohon yang menghendaki adanya penambahan syarat berupa bukti rekam medis atau surat keterangan resmi dari rumah sakit untuk membuktikan keadaan sakit berkepanjangan yang sedang dialami pekerja/buruh tidaklah relevan sama sekali karena pada prinsipnya dengan merujuk pada Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh yang mengalami sakit dengan sendirinya harus dibuktikan dengan keterangan dari dokter;

[3.14.4] Bahwa sementara itu, berkaitan dengan alasan cacat akibat kecelakaan kerja sebagaimana termaktub dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang dikhawatirkan Pemohon juga akan menjadi salah satu alasan pekerja/buruh minta di-PHK jika tidak dilengkapi dengan syarat rekam medis atau surat keterangan resmi dari rumah sakit, semestinya hal demikian pun tidak perlu dikhawatirkan karena Pasal 153 ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa “keadaan cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja” harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Dengan demikian adalah tidak benar jika pekerja/buruh yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dapat meminta di-PHK tanpa menunjukkan surat keterangan dokter. Oleh karenanya tidaklah beralasan pula Pemohon mempertentangkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena ketentuan pasal a quo bertujuan untuk dan telah menjamin kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun pekerja/buruh. Justru sebaliknya, jika dalil permohonan Pemohon dikabulkan maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja atau buruh dalam mengajukan PHK.

[3.14.5] Bahwa terkait dengan keadaan cacat akibat kecelakaan kerja dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan memang tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, dapatlah dipahami pengertian cacat akibat kecelakaan kerja yang intinya adalah kondisi di mana pekerja/buruh mengalami keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. Kecelakaan kerja tersebut terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja [vide Pasal 1 angka 1 dan angka 2 PP Nomor 44 Tahun 2015]. Terhadap pekerja/buruh yang cacat akibat kecelakaan kerja yang menurut keterangan dokter jangka penyembuhannya tidak dapat dipastikan, dilarang bagi pengusaha untuk melakukan PHK [vide Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan]. Namun, apabila pekerja/buruh yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja sendiri yang mengajukan pemutusan hubungan kerja maka tidak perlu ada penambahan syarat harus dilengkapi dengan rekam medis atau keterangan resmi dari rumah sakit agar berkepastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon adalah tidak relevan karena bagi pekerja/buruh yang sakit berkepanjangan pun tidak dipersyaratkan adanya rekam medis. Oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan secara hukum;

[3.14.6] Bahwa dalam kaitan dengan permohonan Pemohon yang memohon agar Mahkamah merevisi Pasal 172 UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan materi muatan Pasal dimaksud sehingga muatannya menjadi “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan sekaligus memberikan bukti Rekam Medis dari Kedokteran atau keterangan resmi sakit dari rumah sakit baru bisa diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)”, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa petitum Pemohon tersebut pada pokoknya adalah permintaan untuk menambahkan, bahkan membuat, norma baru dan dengan demikian merupakan kewenangan pembentuk undang-undang sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah. Terlebih lagi tidak ada persoalan konstitusional terkait dengan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan sehingga penambahan norma sebagaimana diinginkan oleh Pemohon tidak berdasar. Oleh karenanya dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA, UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN, UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT, UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN, UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK, TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Rochmadi Sularsono, Siti Murijatul Hifalijah, Sujito, Panut, Suparto, Monadi, Moh. Latiful, Iva, Rika, Sri, Slamet, Indarwati, Hendry, Fitri, Yeni, Wiwin, Rani, Indra, Ali, Kartika, Danang, Elya, Suyatno, Suyanti, Ida, Damini, Anis, Sriani, Diyan, Kristina, Dwi, Dodik, Siti, Erna, Murtiningsih, Handika, Akhadiah, Idawati, Gianto, Yeni, Lilis, Erry, Sri, Ari, Darmani, Partiningsih, Agus, Siti, Suparno, Kartini, Sulistiyaningsih, Eka, Slamet, Nurul, Dwi, Karminto, Dewi, Ratna, Niken, Asti, Slamet, Susilowati, Ari, Maharani, Eko, Yunita, Agus, Nurul, Sri (selanjutnya disebut para Pemohon).

UU ASN 9[Pasal 1 angka 11, Pasal 6 huruf b, Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 58 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 96 ayat (2), Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 131 huruf f, Pasal 6, Pasal 97, Pasal 58 ayat (2), dan Pasal 137], UU Sisdiknas [Pasal 1 angka 10, Pasal 41 ayat (2), dan ayat (3)], UU Pelayanan Publik [Pasal 11 ayat (1)], UU Guru dan Dosen [Pasal 1 angka 6, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (3)], UU Kesehatan [Pasal 13, Pasal 23 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (2)], UU Rumah Sakit [Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (2), dan UU Keperawatan [Pasal 15 ayat (2)].

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo UU ASN, UU Sisdiknas, UU Pelayanan Publik, UU Guru dan Dosen, UU Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Rumah Sakit, dan UU Keperawatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3.4] Bahwa format permohonan para Pemohon sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.3.2] bukanlah format sebagaimana lazimnya format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005.
[3.3.5] Bahwa selain itu, posita permohonan para Pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Para Pemohon tidak menguraikan mengenai inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon. Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 19 Februari 2019 telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan memperjelas argumentasi pokok permohonannya mengapa norma sejumlah undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi permohonan para Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan para Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan. Lagi pula, apa yang sesungguhnya dimohonkan oleh para Pemohon, sebagaimana tertera dalam petitum permohonan, juga tidak jelas atau kabur. Disebabkan oleh ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit menentukan apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-04-2019

Azam, S.H dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Damai Hari Lubis, S.H.,M.H, Arvid Martdwisaktyo, S.H.,M.Kn dan kawan-kawan dari Aliansi Anak Bangsa (AAB)

Pasal 77 huruf a sepanjang frasa “penghentian penyidikan” KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 77 huruf a sepanjang frasa “penghentian penyidikan” dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan ada atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Lebih lanjut dapat dijelaskan dalam menjalankan penyelidikan, penyelidik memiliki wewenang di antaranya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP yakni menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Adapun yang dimaksud dengan “tindakan lain” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP adalah dapat dilakukan dengan syarat-syarat tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban yang mengharuskan dilakukannya tindakan hukum, tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati hak asasi manusia;

Dari beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk terpenuhinya rumusan penyelidikan sebagaimana diuraikan pada ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tersebut di atas, unsur yang mendasar adalah adanya tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan oleh karenanya penyelidik mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dan tindakan lain. Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksudkan pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana.

Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut diperlukan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya. Meskipun secara formal tentang penghentian penyelidikan tidak dikenal dalam KUHAP, namun sesungguhnya hal tersebut tidak serta-merta menjadikan laporan atau pengaduan yang telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan tersebut tidak dapat dibuka kembali. Hal ini karena secara substansial sepanjang pada perkembangan selanjutnya apabila terhadap laporan atau pengaduan tersebut ditemukan bukti baru maka hal itu dapat menjadi alasan bahwa penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan kembali.

Lebih lanjut Mahkamah berpendapat tindakan penyelidikan oleh pejabat penyelidik mempunyai maksud dan tujuan mengumpulkan bukti atau bukti yang cukup agar dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan. Oleh karenanya jika diperhatikan dengan saksama, doktrin penyelidikan mempunyai arah untuk mewujudkan bentuk tanggung jawab kepada penyelidik, agar dapat dihindari tindakan penyelidik untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum dengan dampak merendahkan harkat martabat manusia, baik sebelum maupun pada saat akan dimulainya penegakan hukum. Oleh karena itulah terkadang memang sulit untuk memisahkan rangkaian tindakan penyelidikan dengan tindakan penyidikan. Bahkan, apabila tidak dipahami secara hati-hati seolah-olah penyelidikan merupakan sub atau bagian dari penyidikan. Hal tersebut sesungguhnya tidak dapat dibenarkan karena prinsip dasar yang membedakan adalah bahwa pada tindakan penyidikan telah ditemukan peristiwa pidana dan dari titik itulah dapat melekat upaya-upaya hukum yang bersifat memaksa dan berimplikasi pada perampasan kemerdekaan baik terhadap orang maupun benda/barang. Uraian lebih lanjut berkaitan dengan penyidikan akan diuraikan Mahkamah pada pertimbangan hukum selanjutnya.

[3.13.2] Bahwa menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Selanjutnya, dalam rangka membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangka, penyidik mempunyai wewenang antara lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yakni melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan surat, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan mengadakan penghentian penyidikan;

Dari pengertian penyidikan tersebut tampak jelas batasan yang bersifat limitatif, bahwa penyidikan adalah sebuah proses yang telah dimulai karena telah didahului atau ditemukan adanya tindak pidana. Adapun proses penyidikan itu sendiri adalah untuk mengembangkan dugaan adanya tindak pidana yang telah ditemukan dengan mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu akan membuat terang tentang tindak pidana yang diduga terjadi dan dengan demikian penyidik menemukan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karenanya dengan beberapa variabel tersebut dapat diidentifikasi bahwa dalam proses penyidikan diperlukan adanya syarat yang bersifat absolut, yaitu diharuskan adanya dugaan tindak pidana yang telah ditemukan atau mendahului dan tindakan penyidikan sendiri merupakan tindakan untuk melanjutkan dan mengembangkan dugaan adanya tindak pidana yang telah ada sebelumnya.

Dengan demikian, oleh karena didasarkan dugaan adanya tindak pidana yang mendahului maka proses penyidikan yang merupakan tindakan hukum yang berupa mengembangkan tindak pidana tersebut telah dapat dikatakan sebagai tindakan hukum oleh aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum. Dalam perspektif penegakan hukum inilah sesungguhnya telah berkaitan erat dengan sebuah proses yang berhubungan dengan subjek hukum (subjectum litis) yaitu pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dan objek hukum tindak pidana (objectum litis) yaitu tindak pidana yang diduga dilakukan oleh subjek hukum sebagai pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena telah berkaitan dengan subjek hukum dan objek hukum yang diduga melakukan tindak pidana dan jenis tindak pidana yang dilakukan serta dalam rangka untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum maka hal tersebut di satu sisi telah bertalian erat dengan dibenarkannya aparat penegak hukum sesuai kewenangannya yang diberikan oleh undang-undang dapat melakukan tindakan upaya paksa, baik terhadap orang ataupun benda/barang yang ada hubungannya dengan dugaan tindak pidana yang bersangkutan. Namun di sisi lain juga berkaitan dengan perlindungan hak-hak konstitusional, baik berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum terhadap subjek hukum yaitu pelaku tindak pidana, maupun perlindungan hukum terhadap benda-benda yang berkaitan dengan objek hukum tindak pidana tersebut.
Berangkat dari keterkaitan yang demikian erat antara adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan tindak pidana yang dilakukan tersebut maka perlakuan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum baik terhadap pelaku dan tindak pidananya itu sendiri serta benda/barang yang ada kaitannya dengan tindak pidana tersebut, benar-benar harus dalam koridor penegakan hukum yang selalu menjunjung tinggi prinsip yang sesuai dengan hukum dan keadilan. Sebab dalam proses penegakan hukum sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya, telah dapat dimulainya tindakan-tindakan aparat penegak hukum dengan upaya hukum yang sifatnya dapat dipaksakan dan hal ini sangat berimplikasi pada tindakan perampasan kemerdekaan orang atau kebebasan akan kepemilikan/penguasaan terhadap benda/barang yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi.

Dalam hubungan perlindungan hukum pelaku tindak pidana, tindak pidananya, dan juga semua benda/barang yang diduga berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi tersebut, instrumen hukum yang dapat memberikan perlindungan hukum baik terhadap pelaku tindak pidana dan benda-benda yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut harus ditegakkan, salah satunya adanya bentuk pengawasan agar aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangannya (abuse of power). Oleh karena itu, sesungguhnya apabila diperbandingkan terdapat bentuk perlakuan yang secara tegas berbeda yakni antara orang yang diduga melakukan tindak pidana sejak dinyatakan sebagai tersangka, terhadap benda-benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, dan hasil tindak pidana sejak tahap penyidikan, dengan tahapan sebelumnya.

Instrumen hukum untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum tersebut, khususnya penyidik dan penuntut umum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan adalah salah satunya melalui lembaga praperadian. Sesuai dengan ruang lingkup yang mengatur praperadilan, Pasal 77 KUHAP menyatakan:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Selanjutnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bertanggal 28 April 2015, kewenangan untuk mengadili perkara praperadilan termasuk juga penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, sebenarnya telah diperoleh adanya gambaran bahwa penyidikan adalah tindakan yang sudah masuk pada wilayah penegakan hukum yang di dalamnya telah melekat tindakan yang dibenarkan oleh undang-undang, yaitu aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik, untuk melakukan tindakan-tindakan upaya paksa dan dapat berdampak pada perampasan kemerdekaan, baik orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana maupun benda yang merupakan hasil tindak pidana, dan benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Sebab, esensi telah melekatnya upaya paksa yang dapat mengandung perampasan kemerdekaan baik menyangkut orang ataupun benda dalam penyidikan atau proses penegakan hukum (pro-justitia) selanjutnya. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan karena telah ada kepentingan umum yang dilanggar, terutama korban dari adanya tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, proses penegakan hukum harus sesuai dengan hukum dan keadilan sebagaimana yang telah disinggung dalam pertimbangan hukum di atas, yaitu terhadap pelaku tindak pidana dilakukan proses yang sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dan terhadap kepentingan umum atau khususnya korban harus pula diberi perlindungan hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah dapat disimpulkan bahwa terdapat batasan yang bersifat limitatif antara penyelidikan dengan penyidikan. Lebih lanjut secara mendasar dapat dirangkum bahwa pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.

Lebih jauh apabila dikaitkan dengan sejarah yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah untuk memberikan pengawasan atau kontrol atas tindakan pejabat penegak hukum sebelum adanya proses peradilan agar dalam hal ini penyidik dan penuntut umum tidak melakukan tindakan sewenang-wenang. Di samping hal itu, esensi lain yang harus dipertimbangkan adalah pengawasan tersebut juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas hak asasi manusia. Dengan demikian hal tersebut sudah sejalan dengan tujuan praperadilan itu sendiri yaitu baru dapat “bekerja” setelah terdapat kemungkinan adanya tindakan upaya paksa yang berimplikasi adanya perampasan kemerdekaan dan hal tersebut baru dimulai pada tahap penyidikan yang wilayahnya berada setelah proses penyelidikan selesai. Dengan kata lain, memberikan kewenangan hasil tindakan penyelidikan untuk dapat dilakukan pengujian pada lembaga praperadilan sebagaimana yang didalilkan Pemohon, sama halnya memasukkan “nyawa” ke dalam tubuh penyelidikan untuk mempunyai karakter dibenarkannya tindakan upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang. Jika dilakukan, hal tersebut akan membuat kabur batasan antara tindakan penyelidikan dengan penyidikan. Bahkan lebih dari itu, sepanjang KUHAP sebagai hukum positif masih secara tegas memisahkan tindakan penyelidikan dengan penyidikan maka sebagai konsekuensi logisnya, tidak akan dibenarkan hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam tindakan penyelidikan. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya maka hal-hal yang berkaitan dengan penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan.

Meskipun hasil penyelidikan tidak dapat dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan namun sebenarnya tidak menghilangkan hak pelapor/pengadu untuk mengetahui proses penyelidikan kepada pihak penyelidik. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mencabut Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menganut prinsip-prinsip di antaranya transparan dan akuntabel sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 huruf e dan huruf f sebagai berikut:

e. transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat;
f. akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan;

Berdasarkan kedua prinsip di atas maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memenuhi hak pelapor/pengadu untuk memberikan hasil penyelidikan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, terdapat mekanisme untuk mempermasalahkan bagi pelapor/pengadu yaitu dengan melaporkan kepada pihak yang menjadi pengawas atas kinerja penyelidik tersebut dan tentunya dapat diberikan punishment apabila terbukti penyelidik tersebut melakukan pelanggaran.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-03-2019

1. Palaloi, SH (Wiraswasta/Komisioner KPU Kabupaten Pulau Seribu Prov DKI Jakarta periode 2013-2018)
2. Melianus Laoli (Mahasiswa/Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Gunung Sitoli Utara Tahun 2019)
3. Abdul Rasyid, SH (Pengacara/Ketua KPU Soppeng Tahun 2018)
4. Sitefano Gulo (Wiraswasta/Ketua PPK dalam Pemilukada Kabupaten Nias Barat Tahun 2016)
5. Alex (Wiraswasta/Panitia Pengawas Pemilihan di Kabupaten Mahakam Ulu pada Pemilukada Gubernur Tahun 2017) ]

Dalam hal ini diwakili oleh H.M.Kamal Singadirata, SH., MH. dkk para Advokat pada Law Firm M.Kamal Singadirata & Rekan (selanjutnya disebut para Pemohon).

Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu

Pasal 28E ayat (1), (2), (3), dan (5) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa sebelum menjawab isu konstitusionalitas sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.13] di atas, Mahkamah terlebih dahulu perlu merujuk Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-XVI/2018 dalam pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu terkait jumlah anggota KPU kabupaten/kota yang oleh pembentuk undang-undang juga ditetapkan berjumlah tiga atau lima orang. Terhadap permohonan pengujian norma Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu dimaksud, dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Pada intinya, terdapat tiga pokok pertimbangan hukum Mahkamah dalam memutus permohonan a quo. Dasar pertimbangan pertama, keseimbangan beban kerja penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks kini, profesionalitas dan kompetensi penyelenggara pemilu harus ditempatkan secara seimbang dengan beban kerja yang diberikan oleh undang-undang. Terkait dengan hal tersebut, Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa dari tiga kelompok besar beban KPU, yaitu membentuk regulasi teknis penyelenggaraan, melaksanakan tahapan Pemilu, serta menjaga dan mensupervisi penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional mulai dari tingkat pusat hingga tingkat TPS diperlukan keseimbangan beban kerja. Dari ketiga kelompok besar tersebut, dua fokus kerja yang disebut terakhir membutuhkan jumlah sumber daya manusia yang seimbang dan rasional. Sebab, untuk melaksanakan tahapan dan mengendalikan penyelenggara (termasuk panitia ad-hoc di level kecamatan sampai ke tingkat TPS) tidak hanya membutuhkan penyelenggara yang mumpuni secara pemahaman, melainkan juga secara kuantitatif diperlukan jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan dan memastikan semua tahapan Pemilu berjalan secara baik sesuai ketentuan yang berlaku. Andaipun kapasitas penyelenggaranya baik, namun memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua aspek penting, mulai dari memastikan jumlah pemilih yang memiliki hak pilih sampai memastikan suara pemilih dihitung dan direkap dengan baik, disebabkan oleh keterbatasan jumlah penyelenggara tentunya akan mempengaruhi pencapaian standar kejujuran dan keadilan Pemilu dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, meskipun jumlah penyelenggara Pemilu pada masing-masing tingkatan merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun ketika keputusan pembentuk undang-undang berpotensi menyebabkan terjadinya ancaman kerentanan terhadap pencapaian kehendak UUD 1945, hal demikian dapat dikualifikasi sebagai kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, hlm. 88).

Pertimbangan kedua, aspek profesionalitas penyelenggara pemilu. Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 perihal kebijakan penentuan jumlah anggota KPU kabupaten/kota tidak semata-mata didasarkan pada alasan teknis kesediaan anggaran, melainkan harus lebih didasarkan pada bahwa jumlah anggota harus mampu menopang bekerjanya penyelenggara pemilu secara profesional. Terkait dengan hal itu, Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa lebih jauh, KPU merupakan lembaga negara mandiri yang tunduk pada prinsip profesional sehingga penentuan komposisi keanggotaannya pun harusnya didasarkan pada ukuran-ukuran profesionalitas, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Artinya, hanya alasan untuk bekerja dan berjalan secara profesional yang mestinya jadi landasan utama untuk menentukan jumlah keanggotaan lembaga tersebut. Dalam konteks itu, meski aspek ketersediaan anggaran juga harus dipertimbangkan, namun pertimbangan tersebut hanya dapat dibenarkan dan dapat diterima nalar konstitusionalnya selama pertimbangan anggaran tidak berpotensi mengancam asas-asas Pemilu yang ditentukan dalam konstitusi, in casu asas jujur dan adil dalam Pasal 22E UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU- XVI/2018, hlm. 91);

Pertimbangan ketiga, karena KPU merupakan lembaga mandiri dan profesional dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya dan KPU bukan sebagai lembaga representasi politik, penentuan jumlah anggotanya tidak dapat didasarkan semata- mata pada alasan faktor jumlah penduduk dan luas wilayah melainkan harus lebih ditekankan pada kebutuhan kerja yang didasarkan pada prinsip profesionalitas dan proporsionalitas. Dalam hal ini, penentuan jumlah anggota KPU kabupaten/kota mesti didasarkan pada kebutuhan manajemen penyelenggaraan pemilu. Terkait dengan hal itu, Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa selain pertimbangan profesionalitas, penentuan jumlah anggota KPU kabupaten/kota harus pula mempertimbangkan dengan cermat dan saksama rancang-bangun manajemen penyelenggaraan Pemilu (election management) yang rasional, terukur dan menjamin pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat. Bagaimanapun dalam menyelenggarakan Pemilu, election management dimaksudkan untuk memastikan setiap tahapan Pemilu dilaksanakan secara profesional, memfasilitasi hak politik setiap pemilih dengan adil, serta melindungi pemenuhan prinsip daulat rakyat sebagai tujuan utama dari pelaksanaan Pemilu. Manajemen Pemilu yang rasional dan terukur menjadi keniscayaan untuk dapat dipastikan terwujud dalam setiap tahapan pelaksanaan Pemilu yang ruang lingkupnya dimulai dari: 1) pendaftaran pemilih; 2) pencalonan; 3) kampanye; 4) pemungutan dan penghitungan suara; 5) rekapitulasi hasil penghitungan suara; 6) penetapan hasil Pemilu; 7) sengketa hasil Pemilu; dan 8) pelantikan pemerintahan/pejabat hasil Pemilu (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, hlm. 91).

[3.13.2] Bahwa oleh karena pokok permohonan dalam perkara a quo memiliki kemiripan dari aspek materi yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya, yaitu mengenai jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota maka pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 31/PUU-XVI/2018 prima facie harus dijadikan rujukan dalam pengertian sebagai pembanding dalam mempertimbangkan pokok permohonan a quo. Terlebih lagi, alasan utama yang dijadikan dalil oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah terkait dengan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota yang dinilai berat jika memiliki jumlah hanya tiga orang. Hal mana dengan jumlah keanggotaan yang demikian, para Pemohon menganggap dapat mengganggu berjalannya pemilu secara jujur dan adil sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa dengan menggunakan pertimbangan sebagaimana
telah disampaikan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, sebagai rujukan pembanding, selanjutnya Mahkamah akan memberikan pertimbangan terhadap pokok permohonan para Pemohon sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon perihal penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang sebagai pilihan kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena hanya mendasarkan pada faktor perbedaan geografis, menurut Mahkamah, perlu dicermati bahwa suatu kebijakan hukum merupakan ranah kebebasan pembentuk undang-undang, sehingga ketika suatu kebijakan hukum yang berisi norma yang tidak dimuat secara eksplisit dalam UUD 1945 ditetapkan maka tidak serta-merta hal itu dapat dinilai tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan Konstitusi. Batasan sebuah kebijakan yang dibentuk merupakan kebijakan hukum terbuka adalah kesesuaiannya dengan moralitas, rasionalitas, dan tidak mengandung ketidakadilan yang intolerable. Dengan demikian, sepanjang kebijakan hukum terbuka dimaksud tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan tidak mengandung ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi maka kebijakan hukum dimaksud tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang merupakan bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Apabila kebijakan hukum tersebut hendak diuji maka pertanyaannya adalah apakah penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang merupakan sebuah kebijakan yang rasional dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu kabupaten/kota.

[3.14.2] Bahwa selanjutnya apakah kebijakan pembentuk undang-undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang bertentangan dengan moralitas. Dalam hal ini Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran moralitas apapun dari kebijakan demikian. Tidak ada ukuran atau standar moral apapun yang dilanggar atau terganggu oleh kebijakan hukum demikian, baik jika moralitas dimaksud semata-mata sebagai kebaikan (goodness) maupun kebenaran (rightness) maupun jika moralitas dimaksud dikaitkan dengan kepantasan (properness) dan ketidakpantasan (improperness).

[3.14.3] Bahwa kemudian apakah kebijakan pembentuk undang-undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang mengandung ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Dalam hal ini pun Mahkamah tidak melihat adanya keadaaan demikan. Bahkan jika dilihat semata- mata dari kepentingan (atau tepatnya) keinginan para Pemohon, pun Mahkamah tidak melihat adanya ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dimaksud. Artinya, tidak terakomodasinya kepentingan atau keinginan para Pemohon oleh kebijakan pembentuk undang-undang dalam kasus a quo dengan berlakunya norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu beserta penjelasan dan lampirannya tidaklah menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

[3.14.4] Bahwa sementara itu, rasionalitas penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota, harus dipahami dalam posisi KPU dan Bawaslu sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu dengan tugas dan wewenang masing-masing. KPU dan jajarannya bertugas melaksanakan tahapan pemilu. Sementara itu, Bawaslu dan jajarannya pada pokoknya bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, melakukan penegakan hukum pemilu dan menyelesaikan sengketa proses pemilu. Sekalipun dua institusi penyelenggara pemilu dimaksud ditempatkan sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu, namun keduanya berbeda, baik dari aspek tugas dan wewenang maupun dari aspek beban dalam menyelenggarakan pemilu. Terkait beban penyelenggaraan tahapan, sebagai inti (core) proses pemilu, tumpuannya adalah KPU dan jajarannya sampai ke tingkat KPPS. Dalam arti, KPU dan jajarannyalah yang bertanggung jawab terhadap terlaksana atau tidaknya tahapan-tahapan pemilu. Berhasil atau tidaknya penyelenggaraan tahapan pemilu sangat bergantung pada penyelenggaraannya oleh KPU dan jajarannya. Sementara Bawaslu adalah penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi proses pemilu serta menerima atau menemukan dugaan terjadinya pelanggaran untuk diproses sesuai dengan kewenangannya. Karena perbedaan tugas dan wewenang tersebut, komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu tidak harus sama sehingga kebijakan pembentuk undang-undang dapat menyesuaikannya dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing- masing. Dalam arti, proporsional jumlah keanggotaan harus dilakukan berdasarkan kebutuhan institusi, termasuk dalam hal ini keanggotaan KPU kabupaten/kota dan Bawaslu kabupaten/kota. Dengan demikian, kebijakan pembentuk undang-undang tatkala menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota tiga atau lima orang adalah kebijakan yang rasional.

[3.14.5] Bahwa dalam bingkai argumentasi demikian, ketika Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu terkait dengan jumlah anggota KPU kabupaten/kota dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, hal demikian tidaklah serta-merta dapat diduplikasi dalam mempertimbangkan pengujian norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu dalam permohonan a quo. Artinya, ketika permohonan pengujian mengenai jumlah anggota KPU kabupaten/kota dikabulkan maka Mahkamah pun harus menerapkan hal yang sama terhadap norma atau ketentuan yang mengatur jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota. Hal itu disebabkan karena penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang oleh pembentuk undang- undang merupakan kebijakan yang rasional, yaitu rasional sesuai dengan ukuran beban tugas, wewenang, kewajiban, serta beban kerja Bawaslu kabupaten/kota, dan proporsional sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota dibandingkan dengan beban tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja KPU kabupaten/kota. Lebih jauh, justru pada saat kebijakan hukum mempersamakan jumlah keanggotaan penyelenggara Pemilu di tingkat kabupaten/kota dengan beban kerja yang berbeda, kebijakan dimaksud menjadi tidak rasional.

[3.15] Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon yang menyatakan
beban tugas Bawaslu kabupaten/kota yang bertambah dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2017. Menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-XVI/2018 dan terlebih dengan pertimbangan hukum Mahkamah sebelumnya sebagaimana telah diuraikan di atas, secara objektif, beban kerja penyelenggaraan pemilu lebih banyak berada di KPU, termasuk KPU kabupaten/kota. Beban demikian terjadi karena penyelenggaraan tahapan, mulai dari masalah data pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan, hingga penetapan calon terpilih menjadi tanggung jawab KPU. Dengan titik fokus kerja penyelenggaraan pemilu yang ada di KPU maka segala pertimbangan hukum Mahkamah dalam pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak serta-merta dapat digunakan dalam mempertimbangkan keberadaan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu dengan alasan beban kerja. Mahkamah sama sekali tidak menolak perihal terdapatnya penambahan beban kerja Bawaslu di semua tingkatan, yaitu tugas menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui mediasi maupun ajudikasi, hanya saja, beban kerja dimaksud terbagi secara merata di setiap tingkatan. Dalam arti, kewenangan pengawasan dan penyelesaian sengketa proses pemilu dilakukan sesuai tingkatan yang ada. Dalam konteks ini, sekalipun terdapat penambahan beban kerja Bawaslu, namun hal tersebut masih berada dalam ambang batas beban kerja yang proporsional dengan jumlah anggota Bawaslu di semua tingkatan termasuk beban anggota Bawaslu kabupaten/kota.

[3.16] Menimbang bahwa, lebih jauh, secara faktual, penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota sesungguhnya bukan menyangkut teknis pelaksanaan, melainkan lebih pada tugas penyelesaian masalah hukum pemilu yang muncul. Artinya, tanpa penambahan jumlah anggota sekalipun, Bawaslu kabupaten/kota masih dapat menjalankan tugasnya secara maksimal. Setidaknya hal itu didasarkan pada dua alasan, pertama, dalam melakukan pengawasan, Bawaslu kabupaten/kota memiliki perangkat pengawas kecamatan sampai dengan pengawas lapangan; dan kedua, peran serta masyarakat dalam mengawasi pemilu juga akan turut meringankan beban kerja pengawasan yang dimiliki Bawaslu kabupaten/kota. Berdasarkan UU Pemilu, masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi dalam pemilu, termasuk mengawasi pemilu dan melaporkan dugaan- dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu di semua tingkatan. Dalam konteks ini, pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Bawaslu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Bawaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Dengan demikian, dalam konteks beban kerja penegakan hukum, bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan secara berlebihan. Sebab, terjadinya masalah-masalah hukum sangat bergantung pada kemampuan KPU termasuk KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan tahapan pemilu secara profesional dan juga faktor kesadaran hukum setiap pemangku kepentingan dalam pemilu. Dalam konteks ini, beban kerja penegakan hukum bukan sesuatu yang selalu dipastikan terjadi dalam setiap tahapan pemilu. Oleh karena itu, penambahan tugas untuk penegakan hukum pemilu tidak dapat dianggap sebagai beban berat yang mengharuskan dilakukan perubahan kebijakan dengan menjadikan jumlah anggota Bawaslu secara sama lima orang untuk semua kabupaten/kota. Namun demikian, kekhawatiran para Pemohon perihal keterbatasan personil dalam penanganan sengketa, terutama berkenaan dengan persyaratan kuorum dalam pengambilan putusan, hal demikian dapat diantisipasi dengan cara menguatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Bahkan kekhawatiran tersebut dapat diatasi dengan cara berkoordinasi dan melibatkan Bawaslu secara berjenjang [vide Pasal 89 ayat (3) UU Pemilu].

[3.17] Menimbang bahwa dalam kaitan dengan penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota terkait dengan kewenangan penyelesaian sengketa proses dan penyelesaian masalah hukum pemilu lainnya yang juga telah terjawab dengan kebijakan pembentuk undang-undang yaitu dengan menjadikan Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (4) UU Pemilu. Padahal, dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya, Bawaslu kabupaten/kota tidaklah bersifat tetap. Dengan kebijakan pembentukan undang-undang yang memosisikan Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap, hal ini dapat dinilai sebagai penguatan mendasar atas kelembagaan Bawaslu kabupaten/kota. Oleh karena itu, Bawaslu kabupaten/kota diberikan kewenangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai lembaga yang bersifat tetap sehingga sifat tetap tersebut sebanding dengan penambahan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota dengan jumlah personil yang disesuaikan dengan kriteria yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hal ini, kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu tidak dapat dinilai sebagai beban kerja baru bagi Bawaslu kabupaten/kota melainkan sebagai konsekuensi ditetapkannya Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap.

[3.18] Menimbang bahwa selain berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah apabila dilihat dari sejarah kebijakan penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota, yaitu ketika Bawaslu kabupaten/kota masih menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Pasal 72 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu hanya mengatur jumlah anggota Panwaslu adalah tiga orang. Kebijakan jumlah anggota dimaksud juga didasarkan atas beban kerja sesuai dengan tugas dan wewenang yang ditentukan undang-undang. Artinya, ketika Bawaslu kabupaten/kota dijadikan lembaga yang bersifat tetap, pembentuk undang-undang menyesuaikan komposisi keanggotaannya yaitu tidak lagi berjumlah tiga orang untuk seluruh kabupaten/ kota, melainkan kabupaten/kota tertentu yang memenuhi syarat memiliki anggota sebanyak lima orang. Sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja dimaksud, kebijakan tersebut dapat diterima dan dinilai sebagai kebijakan hukum yang rasional dan proporsional. Sebab, semakin banyak jumlah penduduk dan semakin luas wilayahnya maka tugas pengawasan dan peluang terjadinya masalah hukum pemilu makin banyak, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, bagi kabupaten/kota yang jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah daerah kecamatannya besar menjadi masuk akal jika anggota Bawaslunya berjumlah lima orang. Sebaliknya, bagi kabupaten/kota yang jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah daerah kecamatannya kecil [vide Penjelasan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu], menjadi masuk akal pula jika anggota Bawaslunya berjumlah tiga orang. Dengan demikian, kebijakan terkait kelembagaan dan komposisi anggota Bawaslu di tingkat kabupaten/kota dapat dinilai sebagai bagian dari agenda setting rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing lembaga.

[3.19] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan proporsionalitas beban kerja dan profesionalitas Bawaslu kabupaten/kota yang tidak mengharuskan adanya penambahan jumlah anggota maka pertimbangan penambahan beban anggaran menjadi relevan. Dalam konteks ini, penambahan jumlah anggota yang beban kerjanya secara rasional tidak membutuhkan penambahan akan membebani anggaran negara. Berbeda halnya jika penambahan jumlah anggota dimaksud memiliki alasan logis, alasan beban anggaran dapat dikesampingkan karena profesionalitas penyelenggaraan pemilu lebih penting dibanding mempertimbangkan beban anggaran semata. Berdasarkan alasan dasar pertimbangan tersebut, menjadikan anggota Bawaslu seluruh kabupaten/kota berjumlah lima orang tidaklah memiliki urgensi nyata untuk menopang profesionalitas kerja Bawaslu kabupaten/kota, bahkan penambahan dimaksud justru hanya akan menambahkan beban anggaran negara.

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, pertanyaan lanjutan yang mesti dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketika jumlah anggota Bawaslu sebanyak tiga atau lima orang sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu dipertahankan akan mengganggu berjalannya Pemilu secara jujur dan adil. Perihal permasalahan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa terhadap pertanyaan dimaksud, dasar pemikiran paling mendasar adalah untuk terwujudnya pemilu yang jujur dan adil harus ditopang oleh kelembagaan penyelenggara pemilu yang independen dan profesional. Dalam hal ini, salah satu faktor yang akan menunjang profesionalitas penyelenggara adalah kesesuaian beban kerja dengan sumber daya manusia yang disediakan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hanya saja, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, beban kerja terberat dalam penyelenggaraan pemilu sesungguhnya berada pada KPU dan jajarannya. Sebab, penyiapan perencanaan, pembentukan aturan teknis, pelaksanaan teknis tahapan pemilu, pengadaan dan distribusi logistik, sampai dengan penetapan hasil merupakan tanggung jawab KPU. Adapun Bawaslu tidaklah memiliki tugas seperti KPU karena lembaga ini terbatas pada tanggung jawab mengawasi dan menegakkan hukum pemilu. Dalam konteks ini, guna mendukung profesionalitas kerja dua lembaga penyelenggara pemilu dimaksud, khususnya terkait komposisi anggota maka haruslah dilakukan penyesuaian dengan beban kerja masing-masing. Oleh karena beban kerja penyelenggaraan tahapan pemilu oleh KPU kabupaten/kota menjadi inti dalam setiap tahapan pemilu, sehingga menjadi wajar dan logis jika komposisi keanggotaannya tidak harus dipersamakan. Dalam hal ini, KPU kabupaten/kota memiliki anggota lima orang, sementara Bawaslu kabupaten/kota anggotanya tiga atau lima orang. Perbedaan jumlah tersebut dapat dibenarkan karena telah menjadi pemahaman umum bahwa faktor dominan yang memengaruhi penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil tidaklah terletak pada jumlah anggota tetapi terletak dan tergantung pada integritas, kemandirian, dan optimalisasi koordinasi penyelenggara pemilu.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas telah ternyata bahwa norma UU Pemilu yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu secara substansial permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Namun, sebagaimana sebelumnya dikemukakan pada paragraf [3.6] dikarenakan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan langsung dengan pokok permohonan sehingga selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon.

[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, setelah mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun para Pemohon telah menguraikan secara jelas kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang pernah terlibat dalam proses penyelenggaraan pemilu, namun dalam kualifikasi demikian para Pemohon tidak menerangkan secara spesifik kerugian hak konstitusional yang dialaminya sebagai warga negara Indonesia yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Mahkamah tidak melihat adanya uraian yang menjelaskan adanya hak konstitusonal yang dijadikan rujukan untuk menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh para Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan tidak terdapatnya perihal hak konstitusional para Pemohon yang dianggap dirugikan oleh berlakunya Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu beserta Penjelasan dan Lampirannya maka dengan sendirinya syarat-syarat selanjutnya dari kerugian hak konstitusional dalam penentuan kedudukan hukum para Pemohon menjadi tidak terpenuhi. Sebab, syarat-syarat selanjutnya tersebut sangat bergantung pada ada tidaknya kejelasan uraian para Pemohon mengenai hak konstitusionalnya yang dianggap dirugikan.

[3.23] Menimbang bahwa meskipun pada saat pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah telah memberikan nasihat agar para Pemohon secara jelas mencantumkan dan menguraikan hak konstitusional yang ada dalam UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma a quo, namun dalam perbaikan permohonan para Pemohon tetap menggunakan Pasal 22E UUD 1945 sebagai rujukan untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dialami oleh para Pemohon. Padahal ketentuan Pasal 22E UUD 1945 bukanlah merupakan sandaran untuk menguraikan perihal kerugian hak konstitusional warga negara. Pasal 22E UUD 1945 adalah rujukan konstitusional perihal eksistensi pemilu.

[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, telah ternyata bahwa pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-03-2019

Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga

Pasal 210 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), serta Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu.

Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 210 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), serta Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara cermat dan saksama permohonan para Pemohon mengenai Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah menemukan adanya ketidaksesuaian dari dalil para Pemohon antara bagian posita dengan bagian petitum permohonan. Pada bagian posita (halaman 15) para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan dimohonkan untuk diganti sehingga menjadi menyatakan, “dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 7 (tujuh hari) hari sebelum hari pemungutan suara” tanpa menyebutkan bagian atau frasa mana yang dimohonkan untuk diganti tersebut. Namun pada bagian petitum permohonan para Pemohon memohon agar Pasal 210 ayat (1) sepanjang frasa “paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan adanya, di satu pihak, ketidakjelasan perihal frasa mana dari Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu yang dimohonkan untuk diganti sehingga menjadi “dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 7 (tujuh hari) hari sebelum hari pemungutan suara”, dan di lain pihak, terdapat perbedaan antara posita dan petitum permohonan sehingga telah membuat dalil para Pemohon a quo menjadi tidak jelas atau kabur. Sebagai konsekuensi lebih lanjut ketidakjelasan dimaksud maka menjadi tidak jelas pula apakah para Pemohon menginginkan penyusunan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) tidak dibatasi waktu sama sekali ataukah para Pemohon menginginkan agar penyusunan DPTb dibatasi waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu adalah kabur.

[3.14.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 210 ayat (2) sepanjang frasa “telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS” dan ayat (3) sepanjang frasa “telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal” UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa penilaian terhadap Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pasal-pasal lainnya terutama Pasal 201 sampai dengan Pasal 217 UU Pemilu yang mengatur proses pendataan pemilih sejak data pemilih masih berupa data kependudukan hingga menjadi DPT.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang disebutkan di atas, Mahkamah menemukan bahwa proses pendataan pemilih yang berada di dalam negeri meliputi tahap-tahap yang pada intinya sebagai berikut.
a. penyediaan data kependudukan oleh Pemerintah;
b. KPU kabupaten/kota memutakhirkan data dan daftar pemilih;
c. PPS menyusun daftar pemilih sementara (DPS);
d. DPS diumumkan oleh PPS untuk mendapat masukan serta tanggapan masyarakat dan Peserta Pemilu, kemudian DPS diperbaiki oleh PPS;
e. DPS hasil perbaikan diumumkan kembali selama 14 (empat belas) hari;
f. DPT ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota berdasarkan DPS yang telah diperbaiki;
g. DPT diumumkan oleh PPS;
h. DPT dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan (DPTb);

Dari tahapan penyusunan data kependudukan hingga menjadi DPT dan DPTb yang diatur oleh UU Pemilu demikian, ternyata Pemohon I mempermasalahkan keberadaan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) yang pada pokoknya mengatur bahwa DPTb hanya mengakomodir pemilih yang sebelumnya telah tercatat dalam DPT namun ingin mengikuti pemilu di luar TPS asal. Pemohon I menginginkan agar untuk terdaftar dalam DPTb tidak harus tercatat terlebih dahulu dalam DPT melainkan cukup dengan menunjukkan KTP-el. Keberadaan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu, dalam kaitannya dengan argumentasi Pemohon I, sekilas memang terlihat menghalangi hak Pemohon I untuk menunaikan hak pilihnya karena nama Pemohon I tidak dapat diakomodir dalam DPTb dengan alasan belum terdaftar dalam DPT di TPS asal sesuai KTP-el Pemohon I. Hal demikian mengakibatkan Pemohon I tidak dapat menjadi pemilih dalam pemungutan suara Pemilu 2019 di tempat domisili Pemohon I saat ini, in casu Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Namun sebagaimana telah diuraikan Mahkamah sebelumnya, dalam hal pendaftaran pemilih, penyusunan DPT dan DPTb bukanlah tahap yang berdiri sendiri melainkan telah didahului oleh tahap penyusunan DPS di mana pada tahap penyusunan dan perbaikan DPS ini dibuka kesempatan kepada calon pemilih yang belum terdaftar dalam DPS untuk mendaftarkan diri. Tahap perbaikan DPS ini diatur dalam UU Pemilu sebagai rangkaian yang tidak terpisahkan dengan penyusunan DPT dan DPTb.

Prosedur penyusunan daftar pemilih sebagaimana diatur dalam Pasal 201 sampai dengan Pasal 217 UU Pemilu menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena telah memberikan kesempatan yang cukup bagi calon pemilih untuk mendaftarkan dirinya sebagai pemillih. Untuk mengatur bagaimana cara pendaftaran pemilih dilakukan adalah pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang selama cara tersebut menjamin setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya. Pada dasarnya pendaftaran pemilih di Indonesia menggunakan stelsel pasif, yang artinya warga negara yang telah memenuhi syarat menjadi pemilih akan terdaftar di dalam data kependudukan, kemudian terdaftar dalam DPS, dan selanjutnya terdaftar dalam DPT. Adapun DPTb menurut prosedur pendaftaran pemilih dalam UU Pemilu adalah daftar pemilih yang sebelumnya telah terdaftar dalam DPT di TPS tertentu (sesuai alamat KTP-el) namun akan mengikuti pemungutan suara di luar wilayah TPS tempat yang bersangkutan semula terdaftar sebagai pemilih.

Penyusunan DPTb yang mensyaratkan bahwa pemilih pindahan harus telah terdaftar sebelumnya dalam DPT di TPS sesuai alamat KTP-el, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena terhadap pemilih yang terhalang untuk mendapat DPTb di suatu TPS tempat tinggal pada saat hendak memilih masih dapat menggunakan hak pilihnya di TPS tempat tinggalnya yang sesuai dengan alamat yang terdapat dalam KTP-el yang dimilikinya, meskipun tidak terdaftar dalam DPT. Artinya syarat atau pembatasan yang demikian tidak menghalangi hak konstitusional pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Ketentuan Pasal 210 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu menurut Mahkamah sejatinya tidak mengatur mengenai pendaftaran calon pemilih (yaitu warga negara yang belum terdaftar sebagai pemilih) menjadi pemilih, melainkan mengatur cara bagi pemilih (warga negara yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap) untuk pindah tempat memilih. Adapun jika cara mendaftarkan diri sebagai pemilih di tahap penyusunan DPS [vide Pasal 206 dan Pasal 207 UU Pemilu] tidak dipergunakan/dimanfaatkan oleh calon pemilih, menurut Mahkamah hal tersebut tidak lantas mengakibatkan prosedur pendaftaran pemillih yang diatur dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan Pemohon I mempermasalahkan dirinya yang tidak tercatat dalam DPT jika Pemohon I tidak pernah menggunakan kesempatan perbaikan/pendaftaran pemilih pada tahap perbaikan DPS. Lagi pula, untuk dapat terdaftar dalam daftar pemilih, baik DPS atau DPT, pemilih tidak harus melakukannya sendiri melainkan dapat dengan cara memastikan apakah yang bersangkutan telah terdaftar dalam DPT atau belum, misalnya dengan mengecek melalui anggota keluarga di tempat asal yang bersangkutan, atau dapat dengan mengecek melalui saluran informasi elektronik yang disediakan oleh penyelenggara pemilu.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 210 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS” dan Pasal 210 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal” adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.3] Bahwa para Pemohon memohon agar Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “dari jumlah pemilih tetap” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu yang dipermasalahkan para Pemohon selengkapnya menyatakan, “Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2% (dua persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU”.

Setelah membaca secara saksama ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa seandainya frasa “dari jumlah pemilih tetap” dihilangkan yang terjadi justru ketidakpastian hukum karena pencetakan surat suara sebanyak 2% menjadi tidak terukur. Tidak terukur dalam pengertian tidak akan diketahui dengan pasti data atau daftar pemilih mana yang akan dijadikan dasar untuk menentukan jumlah surat suara cadangan. Selain itu jika jumlah surat suara cadangan tidak ditentukan batas persentasenya sangat mungkin penyelenggara pemilu mencetak lebih banyak surat suara atau mencetak surat suara lebih sedikit dari jumlah surat suara cadangan yang diperlukan. Yang paling dikhawatirkan jika dicetak lebih banyak hal demikian potensial untuk disalahgunakan. Artinya, penentuan persentase jumlah surat suara cadangan adalah salah satu cara untuk mengontrol agar surat suara dimaksud tidak disalahgunakan. Sebaliknya, apabila surat suara cadangan dicetak lebih sedikit dari jumlah yang diperlukan maka potensial menyebabkan hilangnya hak pilih warga negara.

Jumlah surat suara cadangan sebanyak 2% yang mengacu pada jumlah pemilih dalam DPT menurut Mahkamah telah tepat karena DPT dalam UU Pemilu merupakan daftar terakhir (dan mutakhir) mengenai jumlah pemilih. Setelah DPT tersusun maka perubahan, baik penambahan atau pengurangan jumlah pemilih, tidak lagi dapat dilakukan. Perubahan daftar pemilih telah dilakukan pada tahap penyusunan dan/atau perbaikan DPS. Selain itu pencetakan serta distribusi surat suara membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sehingga jumlah surat suara cadangan yang didasarkan pada data lain yang diperoleh setelah tahap penyusunan DPT memunculkan kemungkinan tidak selesainya pencetakan dan distribusi surat suara tepat waktu sehingga berisiko mengganggu bahkan menunda tahapan pelaksanaan pemungutan suara.

Adapun mengenai kekhawatiran para Pemohon bahwa jumlah surat suara cadangan sebesar 2% dari jumlah DPT tidak akan mencukupi bagi pemilih di suatu TPS, hal demikian dapat diatasi dengan cara menggunakan kelebihan surat suara yang tidak terpakai dari TPS terdekat [vide Pasal 228 PKPU Nomor 3 Tahun 2019]. Bahkan dengan adanya ketentuan batas 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara untuk mendaftarkan diri dalam DPTb, kekurangan demikian semestinya telah dapat diantisipasi oleh penyelenggara pemilu.

Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “dari jumlah pemilih tetap” dalam Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.4] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena para Pemohon tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat asalnya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya untuk semua jenis pemilihan (memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) melainkan hanya untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelum Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon tersebut, terlebih dahulu dikemukakan ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu yang menyatakan:

Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih:
a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya;
b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi;
c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suatu negara;
d. calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan
e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan daerah pemilihannya.

Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tersebut dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah pembatasan hak memilih hanya untuk calon sesuai dengan daerah pemilih di mana pemilih terdaftar bagi pemilih yang pindah tempat memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu telah menyebabkan hilangnya hak pemilih yang pindah tempat memilih untuk menggunakan haknya memilih calon anggota legislatif, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam kaitan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan terhadap calon/peserta pemilu yang dapat dipilih bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan norma yang menyebabkan hilangnya hak pemilih untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lebih jauh juga didalilkan oleh para Pemohon bahwa dalam Pemilu Tahun 2014, pemilih yang pindah tempat memilih tetap dapat memilih calon anggota legislatif.

Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan yang tertuang dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap “Pemilih dengan kondisi tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu. Adapun yang dimaksud dengan “Pemilih dengan kondisi tertentu”, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu, adalah pemilih yang sedang bersekolah dan/atau bekerja di luar domisilinya, sedang sakit, dan pemilih yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan. Sementara itu, pembatasan hak untuk memilih terhadap calon/peserta pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan konsekuensi logis dari ada dan ditetapkannya daerah pemilihan. Dalam hal ini, daerah pemilihan tidak hanya menentukan batas wilayah pemilihan bagi peserta pemilu, melainkan juga batas pemilihan bagi pemilih. Artinya, daerah pemilihan merupakan batas penggunaan hak pilih, baik hak memilih maupun hak untuk dipilih. Dalam konteks itu, pengaturan pembatasan hak untuk memilih terhadap peserta pemilu pada level tertentu berdasarkan daerah pemilihan merupakan sebuah kebijakan hukum yang sangat logis dan tidak berkelebihan. Ihwal regulasi pemilu yang berlaku sebelumnya tidak terdapat pengaturan yang demikian tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai perubahan dan/atau perkembangan regulasi. Sepanjang perubahan aturan masih dalam batas-batas yang ditujukan untuk menjaga keadilan dan proporsionalitas prosedur pemilu maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai sebuah pembatasan yang tidak sesuai dengan UUD 1945, khususnya menyangkut hak konstitusional yang berkait dengan hak pilih. Lebih jauh Mahkamah akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai berikut:

Pertama, sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilu secara teknis dipahami sebagai mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi di lembaga perwakilan. Suara rakyat yang dikonversi adalah suara rakyat yang memilih wakil-wakilnya dalam pemilu. Proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pelaksanaan pemilu berbasis daerah pemilihan. Kanalisasi tersebut tidak saja bermakna bahwa proses pemilihan dilakukan berbasis daerah pemilihan, melainkan juga dimaksudkan bahwa daerah pemilihan merupakan wilayah representatif sehingga wakil rakyat terpilih bertanggung jawab kepada konstituen di daerah pemilihan di mana mereka terpilih. Artinya, suara rakyat yang dikonversi menjadi kursi anggota lembaga perwakilan (baik DPR, DPD, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) berkonsekuensi terhadap munculnya model pertanggungjawaban anggota lembaga perwakilan rakyat berbasis daerah pemilihan. Jadi, dengan adanya daerah pemilihan, pertanggungjawaban masing-masing anggota lembaga perwakilan yang terpilih menjadi jelas, baik secara kewilayahan maupun kepada rakyat/pemilih yang memberikan mandat dalam pemilu.

Sebagai basis pemilihan dan juga pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih, daerah pemilihan juga merupakan basis hubungan wakil dengan yang diwakilinya. Daerah pemilihan merupakan daerah di mana dua subjek dalam sistem perwakilan saling berinteraksi. Agar interaksi antara wakil dan yang diwakili sebagai subjek dalam satu daerah pemilihan maka wakil rakyat yang dipilih haruslah orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh rakyat/pemilih. Pada saat yang sama, rakyat yang memilih juga adalah orang yang dapat meminta pertanggungjawaban wakilnya. Tentu yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam hal ini adalah pertanggungjawaban politik. Dalam posisi demikian, hanya orang-orang yang dipilih dan pemilih yang terdaftar dan memilih di satu daerah pemilihanlah yang dapat terkoneksi dalam hubungan wakil dan yang diwakili. Oleh karena itu, membatasi hak pemilih untuk memilih calon/peserta pemilu berbasis tempat di mana ia terdaftar sebagai pemilih tetap merupakan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan desain sistem pemilu yang jujur dan adil serta, pada saat yang sama, sekaligus akuntabel.

Kedua, pembatasan hak untuk memilih calon/peserta pemilu sesuai dengan tingkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berlaku berbasis skala pindah memilih. Dalam arti, hak memilih yang tidak dapat digunakan adalah hak untuk memilih calon di daerah pemilihan yang ditinggalkan. Namun, apabila pindah tempat memilih masih dalam daerah pemilihan yang sama maka seorang pemilih tetap memiliki hak memilih calon/peserta pemilu dimaksud. Kerangka hukum demikian tidak dapat dinilai sebagai penghilangan hak memilih anggota legislatif sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, hak memilih calon/peserta pemilu bagi pemilih yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan pada dasarnya memang tidak ada. Artinya, ketika pemilih sudah keluar dari daerah pemilihannya maka hak memilihnya tidak lagi valid untuk digunakan. Justru ketika hak memilih tetap diberikan kepada pemilih yang basis representasinya bukan di daerah pemilihan yang bersangkutan maka konsep batas wilayah pemilihan dan pertanggungjawaban wakil terpilih akan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, yang diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu pada prinsipnya adalah untuk menjaga kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan dan sekaligus juga untuk menjaga kejelasan sistem pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih kepada pemilih yang memang berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon a quo yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon adalah kabur dan tidak beralasan menurut hukum untuk sebagian.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-03-2019

Paustinus Siburian, SH., MH

diktum menimbang huruf b dan Pasal 3 huruf a, kata “Produk” dalam Pasal 4, dan Pasal 26 ayat (2) UU, Pasal 65, dan Pasal 67 UU 33/2014.

Pasal 28A, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1), Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian diktum menimbang huruf b dan Pasal 3 huruf a, kata “Produk” dalam Pasal 4, dan Pasal 26 ayat (2) UU, Pasal 65, dan Pasal 67 UU JPH dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang, Pemohon mendalilkan bahwa tanpa adanya pembatasan terhadap frasa “pemeluk agama” dalam bagian Konsiderans “Menimbang” huruf b UU 33/2014 dan kata “masyarakat” dalam Pasal 3 huruf a UU 33/2014 menjadi “pemeluk agama Islam” dan “masyarakat muslim”, menyebabkan Pemohon terhalangi untuk mengkonsumsi makanan/minuman yang haram atau menggunakan obat-obatan atau barang-barang gunaan yang mengandung unsur yang diharamkan.

Menurut Mahkamah dalil Pemohon ini sulit dipahami karena apabila dikabulkan justru dapat mempersempit tujuan dibentuknya UU 33/2014 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 33/2014 yakni memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk. Berkenaan dengan tujuan ini, berlakunya UU 33/2014 dengan sendirinya memang memberikan perlindungan bagi masyarakat muslim. Apalagi di Indonesia jumlah penduduk muslim paling besar sehingga perlu diberi perlindungan terhadap hak konstitusionalnya. Namun demikian, perlu disadari pula bahwa masyarakat yang menggunakan produk halal tidak hanya terbatas pada masyarakat muslim. Oleh karena itu tidak mungkin diberi pembatasan bahwa UU 33/2014 hanya berlaku untuk masyarakat muslim atau masyarakat beragama Islam. Selain itu, ketentuan tersebut sama sekali tidak menghalangi masyarakat non-muslim untuk mendapatkan barang atau produk yang menggunakan unsur yang tidak halal.

Lebih dari itu, berlakunya UU 33/2014 tidak memberikan larangan bagi pelaku usaha atau produsen untuk memproduksi produk yang tidak halal sepanjang terhadap produk tersebut diberi penandaan sebagai “tidak halal” sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014. UU 33/2014 tidak menganut “mandatory halal” tetapi menganut “mandatory sertifikasi halal” yang diikuti dengan proses labelisasi halal. Artinya, terhadap produk halal wajib mencantumkan logo halal sesuai dengan ketentuan UU 33/2014. Sehingga siapapun yang akan mengkonsumsi atau menggunakan produk yang beredar di masyarakat tidak perlu lagi merasa ragu-ragu, khawatir, atau pun takut karena akan jelas dan terang produk mana yang terjamin kehalalannya dan produk mana yang tidak halal sesuai dengan label sebagai penandanya. Jadi keberadaan produk halal sama sekali tidak merugikan, mengurangi, menghilangkan, membatasi, atau mempersulit hak Pemohon dalam melakukan aktivitas sebagai non-muslim. Dengan demikian kekhawatiran Pemohon akan di-sweeping jika mengkonsumsi makanan atau minuman yang haram atau mengandung unsur yang haram sesuai dengan adat yang digunakan adalah alasan yang mengada-ada dan tidak rasional sehingga menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempermasalahkan konstitusionalitas norma kata “produk” dalam Pasal 4 UU 33/2014 yang dianggap Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hokum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena norma kata “Produk” menurut Pemohon telah memperluas jangkauan pengaturannya termasuk jasa profesi bidang hukum (advokat), penting bagi Mahkamah menjelaskan bahwa dalam memahami suatu esensi undang-undang tidak dapat dibaca secara parsial (bagian per bagian). Pasal 4 UU 33/2014 secara lengkap menyatakan, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Pengertian “produk” dalam Pasal 4 UU 33/2014 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 33/2014 yang selengkapnya menyatakan, “Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat”.

Dengan demikian, kata “jasa” dalam norma a quo haruslah dikaitkan dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai satu kesatuan pengertian. Artinya, jasa yang tidak terkait dengan berbagai produk yang telah disebutkan di atas tidak menjadi bagian dari pengertian “produk” dalam Pasal 1 angka 1 UU 33/2014. Untuk menjelaskan maksud “jasa” dalam konteks UU 33/2014, misalnya jika suatu restoran menjual barang haram maka restoran tersebut tidak akan mendapatkan sertifikasi halal. Tidak ada kaitan jasa dalam konteks UU 33/2014 dengan jasa dalam menjalankan profesi, misalnya jasa hukum (advokat), sebagaimana dalil Pemohon. Sebagaimana telah ditegaskan di atas, makna “jasa” tersebut harus dipahami dalam konteks yang ada kaitan dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan. Dalam hal ini profesi advokat bukan merupakan unsur dari pengertian produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan menurut Pasal 4 UU 33/2014. Oleh karena itu, halal atau haram bukan dilihat dari orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk, tetapi pada produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Oleh karenanya, sesuai dengan prinsip mandatory sertifikasi halal maka produk yang harus disertifikasi halal adalah produk yang tidak jelas kehalalannya (mutasyabihat). Produk yang tidak halal tidak perlu disertifikasi sebagaimana telah ditentukan pengecualiannya dalam Pasal 26 UU 33/2014. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 33/2014 maka produk yang dimaksud tidak hanya pangan olahan sebagaimana didalilkan Pemohon, tetapi termasuk pula obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Bahwa Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014 secara parsial tanpa mengkaitkan dengan ketentuan ayat (1), sehingga beranggapan ada pertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana telah berkali-kali ditegaskan oleh Mahkamah bahwa dalam memahami norma suatu undang-undang haruslah dilakukan secara utuh. Dalam kaitan ini Pasal 26 UU 33/2014 menyatakan:

“(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.”

Ketentuan Pasal 26 merupakan aturan pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi suatu produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, maka diwajibkan mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada bagian tertentu dari kemasan produk tersebut yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk, sebagaimana dijelaskan dalam bagian Penjelasan Umum UU 33/2014. Artinya, terhadap produk yang sejak semula sudah jelas tidak halal maka tidak perlu disertifikasi halal, melainkan cukup diberi tanda “tidak halal”. Pencantuman tanda “tidak halal” dimaksudkan untuk memberi tahu kepada masyarakat luas sehingga masyarakat dapat memilih antara produk yang halal dan yang tidak halal. Dengan demikian, berbeda dari anggapan Pemohon, tidak terdapat norma dalam UU 33/2014 yang melarang produsen untuk memproduksi dan memasarkan produk yang tidak halal sepanjang diberi label “tidak halal”. Adanya ketentuan norma Pasal 26 UU 33/2014 telah sesuai dengan asas dan tujuan pembentukan UU 33/2014 (vide Pasal 2 dan Pasal 3 UU 33/2014). Oleh karenanya tidak ada pertentangan norma Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014 dengan Pasal 28F UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan adanya kejelasan penanda produk “tidak halal” justru memberikan kejelasan informasi yang merupakan hak publik, terutama hak konstitusional masyarakat muslim sesuai dengan ajaran agamanya. Selain itu tidak ada pula relevansinya Pemohon mempertentangkan Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014 dengan Pasal 28G UUD 1945 terkait dengan hak Pemohon untuk hidup sejahtera karena Pemohon tetap dapat menggunakan atau mengkonsumsi produk yang tidak halal sesuai dengan adat kebiasaan yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 65 ayat (2) UU 33/2014 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dengan alasan Pemerintah telah melampaui batas waktu 2 (dua) tahun sejak UU 33/2014 diundangkan namun belum juga menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU 33/2014 sebagaimana diperintahkan Pasal 65 ayat (2) UU 33/2014. Menurut Mahkamah permasalahan yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan persoalan implementasi norma dan bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma, sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

Sedangkan terhadap dalil Pemohon mengenai penundaan keberlakuan Pasal 67 UU 33/2014 dengan alasan belum ada aturan pelaksanaan dari undangundang a quo, menurut Mahkamah tidak beralasan karena hal demikian merupakan ranah kewenangan pembentuk Undang-Undang, terutama Pemerintah dalam mengimplementasikan secara efektif ketentuan-ketentuan UU 33/2014. Dengan demikian dalil Pemohon dimaksud tidak memiliki korelasi dengan persoalan konstitusionalitas norma sehingga tidak ada alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan penundaan keberlakuan UU 33/2014 sebagaimana dimohonkan dalam permohonan a quo. Belum diterbitkannya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU 33/2014 tidak menjadikan UU 33/2014 bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, perlu diingatkan agar Pemerintah segera mengeluarkan peraturan pelaksana dimaksud sehingga tidak timbul keragu-raguan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pertimbangan demikian permohonan Pemohon mengenai Pasal 65 dan Pasal 67 UU 33/2014 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, seluruh permohonan Pemohon berkenaan dengan norma dalam UU 33/2014 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-03-2019

Rochmadi Sularsono, S. Psi, Psi Klinis yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil Pemerintahan Daerah Kabupaten Ponorogo (selanjutnya disebut Pemohon)

Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta lampirannya UU Pemda dan Pasal 7 ayat (3) UU Rumah Sakit

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 12/PUU-XVII/2019 DPR-RI dihadiri oleh Pihak DPR-RI

Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta lampirannya UU Pemda dan Pasal 7 ayat (3) UU Rumah Sakit, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa dalam permohonannya, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar mengapa Pemohon beranggapan norma Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta Lampiran UU Pemda dan Pasal 7 ayat (3) UU Rumah Sakit bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Padahal dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2019, Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas dalam permohonan mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa norma undang-undang yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Lebih lanjut Panel Hakim juga telah menyarankan kepada Pemohon untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 8 Februari 2019, Pemohon ternyata tetap tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara Undang-Undang a quo dengan UUD 1945 tersebut. Dengan demikian Mahkamah tidak dapat menemukan keterkaitan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum).

Berdasarkan uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta Lampiran UU Pemda serta Pasal 7 ayat (3) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian Undang-Undang a quo menjadi kabur (obscuur).

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) beserta Lampiran UU Pemda serta Pasal 7 ayat (3) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian Undang-Undang a quo menjadi kabur (obscuur).

KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 2 TAHUN 2018 RESUME PUTUSAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR. 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-03-2019

Deddi Fasmadhy Satiadharmanto (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 249 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UUD Tahun 1945

DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 249 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. …..

d. Bahwa pada tanggal 11 Maret 2019 Mahkamah menerima surat bertanggal 11 Maret 2019 dari Pemohon yang menyatakan pencabutan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan registrasi perkara Nomor 17/PUU-XVII/2019;

e. Bahwa dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 11 Maret 2019 dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan dan sekaligus mengkonfirmasi surat pencabutan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf d, namun Pemohon tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah dan patut;

f. Bahwa kemudian terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, setelah mendengar laporan Panel Hakim sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, dan huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 12 Maret 2019 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan kembali permohonan perkara Nomor 17/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum;

g. Bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”.

h. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-03-2019

Ahmad Ihsan, A. MD., KEP., S.H

Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014

Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.10.1] Bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan dibutuhkan tenaga ASN yang profesional untuk menjalankan fungsi pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat guna menunjang pembangunan nasional. Tujuan dibutuhkannya ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Tujuan nasional dimaksud yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”;

[3.10.2] Bahwa UU 5/2014 memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan pengadaan ASN guna mendukung program pemerintahan, antara lain melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan. Penyelenggaraan penggadaan ASN tersebut didasarkan pada kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945;

[3.10.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak konstitusional warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu menurut Pemohon ihwal pengadaan ASN hanya subjektivitas Pemerintah dalam menentukan keputusan pengadaan ASN, sehingga pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, program pengadaan ASN merupakan kewenangan pemerintah guna menjalankan tugas pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi, antara lain, pembangunan ekonomi, sosial, dan pembangunan bangsa yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan pemerintahan, antara lain, tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan dan tugas pembangunan, tenaga ASN harus memiliki profesionalitas berdasarkan kriteria kualifikasi, kompetensi, kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi yang dimiliki oleh calon dalam proses rekrutmen, pengangkatan, dan penempatan pada jabatan yang dibutuhkan hingga bisa dilaksanakan secara terbuka sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

[3.10.4] Bahwa sebagai salah satu hak konstitusional warga negara, UUD 1945 pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan, termasuk kesempatan yang sama menjadi ASN setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengadaan ASN yang dilaksanakan oleh Pemerintah harus melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam suatu jabatan. Pengadaan ASN tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah secara nasional berdasarkan perencanaan kebutuhan jumlah ASN yang dilaksanakan melalui “panitia seleksi nasional pengadaan ASN” dengan melibatkan unsur dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara dan Badan Kepegawaian Negara.

[3.10.5] Bahwa sebagai upaya untuk memenuhi pengadaan ASN yang sesuai dengan kebutuhan, diperlukan dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah untuk mengisi kebutuhan tersebut, baik kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional dalam satu instansi pemerintah. Dalam posisi demikian, keberadaan norma Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 adalah untuk memberikan dasar hukum dalam memenuhi kebutuhan ASN dimaksud. Oleh karenanya, dalam pengadaan ASN, Pemerintah harus memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk ikut berkompetisi dalam pengisian ASN. Artinya, setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi ASN sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengadaan ASN yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kesempatan yang sama demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam proses pengisian ASN, Pemerintah harus mempertimbangkan syarat dan kriteria yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, antara lain, jumlah dan jenis jabatan, waktu pelaksanaan, jumlah instansi pemerintah yang membutuhkan dan persebaran. Secara yuridis, kemungkinan untuk melakukan pertimbangan dalam mengisi kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional demikian didasari pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014;

[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 bertentangan dengan Pasal 26 ayat (3) UU 36/2009, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa norma dalam Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 yang menyatakan, “Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional dalam suatu instansi pemerintah”, dapat diposisikan sebagai norma yang bersifat umum jika dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (3) UU 36/2009. Dengan memosisikan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 sebagai norma yang bersifat umum, keberadaan Pasal 26 ayat (3) UU 36/2009 menjadi instrumen hukum untuk menentukan kekhususan dalam mengatur pengisian tenaga ASN dalam bidang kesehatan atau pelayanan kesehatan;

[3.11.2] Bahwa kekhususan dalam pengisian ASN tenaga kesehatan atau pelayanan kesehatan kebutuhannya dapat ditentukan dengan memerhatikan ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU 36/2009, yaitu: a) jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat, b) jumlah sarana pelayanan kesehatan, dan c) jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada. Dengan demikian adalah tidak tepat untuk mengatakan bahwa ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 bertentangan dengan Pasal 26 ayat (3) UU 36/2009. Bahkan keberadaan Pasal 26 ayat (3) UU 36/2009 merupakan kekhususan yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dalam mengisi kebutuhan ASN tenaga kesehatan atau pelayanan kesehatan. Terlebih lagi, keberadaan kedua Undang-Undang tersebut justru saling melengkapi dan sebaliknya apabila permohonan Pemohon dikabulkan dan norma Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 dimaknai “untuk mengisi jumlah tenaga yang dibutuhkan sesuai dengan beban kerja pelayanan dan masa pengabdian” maka hal tersebut akan menghilangkan tujuan dari dibentuknya ketentuan tersebut sebagai pedoman dalam pengadaan ASN yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan jabatan administrasi dan/atau jabatan fungsional dalam suatu instansi pemerintah. Lagipula, tidaklah dapat dibenarkan menguji konstitusionalitas suatu norma undang-undang dengan norma undang-undang lainnya kecuali terdapat problem konstitusional di antara kedua undang-undang dimaksud yang menjadikan salah satu atau kedua norma undang-undang tersebut menjadi inkonstitusional.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 telah melahirkan peraturan perundangan-undangan lain, seperti Kepres 25/2018, sehingga sangat merugikan Pemohon yang berprofesi sebagai perawat aktif karena merasa tidak diberikan hak-hak konstitusionalnya yang dibedakan dengan profesi lainnya, terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa pelaksanaan lebih lanjut undang-undang, in casu UU 5/2014, kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah merupakan kebutuhan dalam sistem peraturan perundang-undangan. Ihwal Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 telah melahirkan peraturan perundangan-undangan yang lebih rendah seperti Kepres 25/2018, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, telah merugikan hak konstitusional Pemohon, secara faktual dalil demikian tidaklah tepat karena Kepres 25/2018 dibentuk bukanlah merupakan perintah ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 karena Konsiderans “Mengingat” angka 2 Kepres 25/2018 hanya menyebut UU 5/2014 secara umum. Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pewawai Negeri Sipil (PP 11/2017) yang didalilkan Pemohon sebagai landasan pembentukan Kepres 25/2018 sama sekali tidak mencantumkan Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 sebagai ketentuan yang menjadi dasar atau rujukan pembentukan PP 11/2017. Artinya, tidak cukup alasan untuk membenarkan dalil Pemohon bahwa Pasal 58 ayat (1) UU 5/2014 merupakan rujukan pembentukan PP dimaksud yang kemudian menjadi rujukan Kepres 25/2018 untuk menyatakan bahwa Pasal 58 ayat (1) adalah bertentangan dengan UUD 1945;

[3.12.2] Bahwa seandainyapun Kepres 25/2018 dan PP 11/2017 yang menjadi dasar dalil pokok kerugian konstitusional Pemohon adalah bertentangan dengan UUD 1945, quod non, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hal demikian bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Selain itu, permasalahan demikian lebih merupakan penerapan atau implementasi norma Undang-Undang a quo dan bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-03-2019

Nur Ana Apfianti dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Muhammad Sholeh, S.H., dan kawan-kawan pada Kantor Advokat “Sholeh And Partners”

Pasal 14 UU BPJS

Pasal 28D ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.12.1] Bahwa apabila dibaca secara saksama dalil permohonan Pemohon sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.7] tersebut di atas, khususnya berkaitan dengan substansi baik semangat maupun alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan, menurut Mahkamah, permohonan a quo sangat erat relevansinya dengan substansi baik semangat maupun alasan-alasannya sebagimana yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam perkara Nomor 101/PUU-XIV/2016, bertanggal 23 Mei 2017, perkara Nomor 119/PUU-XIII/2015, bertanggal 28 Juli 2016, dan perkara Nomor 138/PUU-XII/2014, bertanggal 7 Desember 2015, yaitu keberatan yang ditujukan terhadap kata “wajib” dalam Pasal 14 UU BPJS. Namun sebelum sampai pada kesimpulan Mahkamah apakah ada persamaan substansi dari perkara yang dimohonkan Pemohon a quo dengan perkara-perkara sebelumnya, penting bagi Mahkamah mengutip pokok-pokok pertimbangan hukum perkara-perkara tersebut, yaitu:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014, tanggal 7 Desember 2015:

[3.8]....Bahwa asuransi sosial bertujuan untuk menjamin akses semua orang yang memerlukan pelayanan kesehatan tanpa mempedulikan status ekonomi atau usianya, sehingga memungkinkan terciptanya solidaritas sosial melalui gotong-royong antara kelompok kaya-miskin, muda-tua, dan sehat-sakit. Prinsip tersebut merupakan bagian dari pengamalan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahkan Soekarno secara tersurat dalam pidatonya di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa gotong-royong adalah saripati Pancasila dan menjadi ciri khas negara yang didirikan sebagai wujud impian dan cita-cita bersama rakyat Indonesia. Dengan demikian, terlepas dari permasalahan yang secara khusus diajukan permohonan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa asuransi sosial sebagai sistem jaminan sosial telah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945 karena akan menciptakan sebuah keadilan sosial (social justice) dengan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban individu terhadap masyarakat/publik secara kolektif sebagai perwujudan kehidupan berbudaya yang mengutamakan kepentingan bersama;

Bahwa Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 merupakan jaminan konstitusional yang secara eksplisit disebut bagi warga negara untuk memperoleh jaminan sosial. Upaya pemenuhan hak ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 merupakan “... tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Lebih lanjut, Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menjamin bahwa “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat...”. Dengan demikian, membaca secara sistematis aturan-aturan konstitusional tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya pemenuhan hak warga negara atas jaminan sosial adalah tanggung jawab negara (pemerintah) dalam rangka mengembangkan suatu sistem jaminan sosial.

Hal demikian selaras dengan pandangan Mahkamah bahwa “...terminologi “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945.” [vide Putusan Nomor 007/PUU-III/2005, hal. 264]

Bahwa yang perlu diperhatikan dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 adalah penggunaan pilihan kata “mengembangkan”. Bila dibandingkan dengan upaya pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, pilihan kata yang digunakan dalam konstitusi lebih mengandung penekanan untuk upaya pemenuhannya. Penyusun UUD menggunakan pilihan kata “mengusahakan dan menyelenggarakan” dalam rangka pemenuhan hak pendidikan. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional...”. Artinya, dalam upaya memenuhi hak pendidikan warga negara pemerintah wajib turun tangan secara langsung untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang bersifat nasional. Kata “mengembangkan” yang digunakan dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 berarti bahwa tanggung jawab negara dalam rangka memenuhi hak warga negara atas jaminan sosial adalah sebatas “membuat sistem jaminan sosial yang telah ada menjadi lebih besar atau lebih maju”, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mengembangkan” berarti “menjadikan besar (luas, merata)” atau “menjadikan maju (baik, sempurna)”. Negara, terutama pemerintah, dalam memenuhi hak atas jaminan sosial warga negara tidak harus menyelenggarakannya secara langsung, seperti dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas jaminan sosial adalah sebatas “mengembangkan” sistem yang telah ada. Berkaitan dengan pemilihan sistem jaminan sosial, Mahkamah dalam pengujian UU SJSN berpendapat bahwa UU SJSN yang telah memilih sistem asuransi sosial yang di dalamnya juga terkandung unsur bantuan sosial adalah sesuai dengan kandungan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Sistem yang dipilih telah mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan [vide Putusan Nomor 007/PUU-III/2005, hal. 260-263];

Bahwa dalam Penjelasan Umum UU BPJS, paragraf 4, disebutkan pembentukan BPJS merupakan“... pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.” Selain itu, pembentuk Undang-Undang juga menyebutkan bahwa pembentukan UU BPJS juga mempertimbangkan Putusan Nomor 007/PUU-III/2005, halaman 266, yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dalam memeriksa perkara pengujian UU SJSN, Mahkamah berpendapat, “... pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan sosial tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah,...” Lebih lanjut, pada halaman 268, Mahkamah berpendapat, “... Pasal 5 ayat (1) UU SJSN harus ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan untuk pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial nasional.” Dalam putusan tersebut, Mahkamah membuka peluang bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk membentuk badan penyelenggara jaminan sosialnya masing-masing. Pembentukan UU BPJS adalah untuk mengakomodasi pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada dipusat sedangkan badan penyelenggara jaminan sosial di daerah dapat dibentuk melalui peraturan daerah (Perda);

[3.9]...Bahwa Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN telah mengamanatkan dibentuknya suatu badan penyelenggara jaminan social berskala nasional dengan Undang-Undang tersendiri. Padahal ketika itu terdapat 4 (empat) badan penyelenggara jaminan sosial seperti Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES yang masing-masing telah eksis berjalan sesuai dengan lingkup kewenangannya, sehingga Pasal 52 UU SJSN kemudian mengatur bahwa keempat badan penyelenggara jaminan sosial tersebut tetap diberi hak sebagai penyelenggara jaminan sosial sampai dengan terbentuknya BPJS. Berdasarkan rumusan pasal-pasal a quo maka pembentuk Undang-Undang sebenarnya ingin mengubah sistem jaminan sosial dengan menyatukan seluruh badan (multi) penyelenggara menjadi satu badan (single) khusus secara nasional. Menurut Mahkamah, kebijakan perubahan konsep tersebut adalah dalam rangka pengembangan sistem jaminan sosial dan sesuai dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Selain itu, perubahan konsep penyelenggara jaminan sosial yang semula dilaksanakan oleh BUMN yang kinerjanya diukur berdasarkan indikator laba dan indikator finansial lain kemudian diserahkan kepada suatu badan hukum publik khusus yang hanya menyelenggarakan program jaminan sosial dengan prinsip gotong-royong, nirlaba, tata kelola yang baik (good governance), dan portabilitas telah meluruskan kembali tujuan jaminan sosial yang merupakan program kewajiban negara. Masyarakat juga lebih mendapatkan akses untuk menyampaikan pendapatnya serta memperoleh informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

Bahwa hal tersebut juga telah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010, bertanggal 21 November 2011, yang antara lain mempertimbangkan, “[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional – yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Dalam asuransi sosial, manfaat atau paket jaminan yang ditetapkan oleh undang-undang adalah sama atau relatif sama bagi seluruh peserta karena tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) para anggotanya. Lebih lanjut, apabila melihat ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak” maka tujuan dari asuransi sosial adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan dasar yang layak pada hakikatnya adalah mempertahankan hidup seseorang, sehingga orang tersebut mampu berproduksi atau berfungsi normal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Hal tersebut kemudian yang salah satunya mendasari adanya kewajiban untuk turut serta bagi seluruh rakyat Indonesia, karena apabila pemenuhan kebutuhan dasar tersebut diharapkan secara sukarela dengan membeli asuransi maka sebagian besar penduduk tidak mampu atau tidak disiplin untuk membeli asuransi. Karakteristik asuransi sosial yang mengatur paket jaminan atau manfaat medis relatif sama untuk semua peserta dan iuran yang proporsional terhadap upah akan memfasilitasi terciptanya keadilan yang merata (equity egaliter) di mana seseorang dijamin mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan membayar iuran sesuai dengan pendapatannya di samping iuran untuk penduduk miskin dan tidak mampu dibayar oleh pemerintah melalui program Penerima Bantuan Iuran (PBI). Hal tersebut memungkinkan negara untuk memenuhi hak layanan kesehatan sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945. Namun demikian, seseorang yang memiliki penghasilan lebih sehingga menginginkan pelayanan kesehatan di luar kebutuhan dasarnya tetap dapat memilih layanan kesehatan yang diinginkan (naik kelas), tentu dengan selisih biaya lebih dari biaya yang menjadi haknya, dan merupakan tanggungan pribadi orang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan prinsip equity liberter, yaitu hak layanan kesehatan diperoleh seseorang sesuai dengan bayaran orang tersebut sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UU SJSN. Dengan demikian, negara tidaklah menghalang- halangi keterlibatan masyarakat secara langsung dalam melaksanakan program jaminan sosial lainnya;

Bahwa baik UU SJSN maupun UU BPJS juga memberikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Menurut Mahkamah, kata “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah, pemerintah daerah (Pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengembangkan sistem jaminan sosial dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, terlebih lagi di daerah-daerah penjuru tanah air yang masih belum tersedia fasilitas kesehatan karena pertumbuhan fasilitas kesehatan di daerah telah diserahkan kepada Pemda masing- masing, sehingga di masa depan baik Pemda maupun pihak swastalah yang akan membangun fasilitas yang memadai dan BPJS akan membayar siapapun yang berobat di fasilitas kesehatan tersebut, ataupun dalam bentuk asuransi tambahan yang akan memenuhi (meng-cover) kebutuhan dan layanan kesehatan yang melebihi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak. Dengan demikian, semangat konstitusi yang mengamanatkan adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dengan mudah terealisasi dengan adanya kerja sama berbagai pihak khususnya dalam hal ini BPJS dan pihak swasta. Oleh karena itu, BPJS sebagai satu-satunya badan penyelenggara program jaminan sosial harus membuka diri terhadap pihak swasta (termasuk BAPEL-JPKM) yang bergerak dalam bidang pelayanan jaminan kesehatan untuk bersinergi dalam mewujudkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

[3.10] ... Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengandung pengertian keadilan bukanlah selalu memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda, sehingga justru tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama. Demikian pula kata dikriminatif dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Mahkamah dalam Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008, bertanggal 10 Juli 2008, menyatakan yaitu jika di dalamnya terkandung sifat membeda- bedakan orang yang didasarkan atas agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Nomor 065/PUU-II/2004, bertanggal 3 Maret 2005, Mahkamah berpendapat pemaknaan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. HAM tidaklah bersifat mutlak sebagaimana yang secara tegas diatur dalam konstitusi yakni kebebasan melaksanakan HAM dapat dibatasi dengan kewajiban menghormati HAM orang lain serta ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang dengan memperhatikan nilai-nilai moral, agama, keamanan dan ketertiban. Dengan demikian hakikat HAM adalah kebebasan tetapi kebebasan itu berakhir ketika mulai merambah wilayah kebebasan orang lain. Oleh karenanya, dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Oleh karena itu, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciptakan ketidakadilan karena akan terjadi situasi di mana pemberi kerja selain penyelenggara negara tidak dapat dikenai sanksi apabila tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS. Padahal suatu kewajiban yang telah dirumuskan menjadi kewajiban hukum akan selalu membutuhkan sanksi untuk dapat menegakkannya secara efektif. Keberadaan hak asasi tidak dapat dipisahkan dari adanya kewajiban yang membatasinya. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan bahwa materi muatan Undang- Undang dapat memuat ketentuan pidana;...

[3.11]...Bahwa karakter atau ciri dari layanan kesehatan adalah adanya ketidakpastian (uncertainty), sedangkan di lain pihak, akses terhadap fasilitas serta pelayanan kesehatan yang layak merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem asuransi untuk seluruh masyarakat yang bersifat wajib bagi semua penduduk dan sistem pendanaan publik bersumber dari pendapatan umum negara yang berasal dari iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa. Jika tidak diwajibkan maka yang sakit-sakitan akan membeli asuransi, sementara yang sehat dan masih muda tidak akan membeli asuransi karena tidak merasa memerlukannya, sehingga tidak mungkin tercapai kegotong- royongan antara kelompok kaya-miskin, muda-tua, dan sehat-sakit. Dengan demikian, mewajibkan penduduk untuk ikut serta dalam asuransi sosial adalah dalam rangka untuk memenuhi hak asasi manusia melalui pembiayaan secara kolektif dan sesuai dengan fitrah manusia madani (civil society) yang selalu mengutamakan kepentingan bersama. Begitu pula dalam hal kewajiban membayar iuran yang bersifat proporsional dari upah akan menciptakan subsidi silang, di mana yang memiliki upah lebih kecil akan membayar secara nominal lebih kecil, tetapi ketika sakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan maka jaminan layanan medis tidak dibedakan dengan yang memiliki upah lebih tinggi;

Bahwa pada prinsipnya iuran wajib adalah sama dengan pajak penghasilan (PPh), iuran asuransi sosial disebut juga sebagai pajak jaminan sosial (social security tax). Perbedaannya adalah, PPh bersifat progesif di mana semakin banyak upah yang diterima maka semakin besar pajak yang harus dibayarkan, sedangkan iuran bersifat regresif. Selain itu, PPh menganut sistem residual, tidak inklusif layanan kesehatan karena penggunaan dananya tidak ditentukan di muka, sedangkan pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk membayar manfaat asuransi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang wajib, sama dengan PPh, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah dilakukan secara nirlaba sehingga bentuknya harus badan hukum publik khusus yaitu BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara program jaminan sosial secara nasional dan memiliki hak yang bersifat memaksa untuk mengumpulkan dana amanat dari seluruh peserta asuransi sosial layaknya kewenangan negara menarik pajak warganya dan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu, setiap orang yang menginginkan pelayanan kesehatan maupun asuransi tambahan tetap dapat memilih layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pribadinya;

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XIII/2015, bertanggal 28 Juli 2016:

[3.9.5] Bahwa semangat dikeluarkannya program pemeliharaan kesehatan dalam program BPJS Ketenagakerjaan merupakan langkah baru yang diterapkan agar jaminan pemeliharaan kesehatan dapat dikelola tersendiri dengan tujuan agar kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan dapat mencakup seluruh masyarakat Indonesia. Khusus untuk program jaminan kesehatan, para pekerja dapat mengikuti dengan cara mendaftarkan kembali dalam program BPJS Kesehatan. Pendaftaran tersebut dimaksudkan agar pekerja berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kewajiban membayar iuran kepesertaan program BPJS Kesehatan setiap bulan. Menurut Mahkamah, negara dalam hal ini Pemerintah telah berupaya untuk memberikan suatu jaminan khususnya dalam pembangunan ketenagakerjaan melalui program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang secara khusus mengatur Jaminan Sosial Tenaga Kerja swasta meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (4) UU 40/2004 pembentukan BPJS dimaksudkan untuk menyesuaikandengan dinamika perkembangan jaminan sosial dengan tetap memberi kesempatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang telah ada dalam mengembangkan cakupan kepesertaan dan program jaminan sosial. Dengan demikian, menurut Mahkamah, upaya pemenuhan jaminan sosial yang adil dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia dapat terus dilaksanakan sejalan dengan program pembangunan nasional Indonesia yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pembentukan BPJS nasional merupakan pelaksanaan program jaminan sosial yang bertujuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

[3.9.6] Bahwa pelaksanaan pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat UUD 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan amanat UUD 1945 tersebut, menurut Mahkamah, secara konstitusional sesungguhnya penyelenggaraan jaminan sosial adalah merupakan tanggung jawab atau kewajiban negara dan juga merupakan hak konstitusional bagi masyarakat dan bangsa Indonesia.

3. Putusan Mahkamah Nomor 101/PUU-XIV/2016, bertanggal 23 Mei 2017: Dalam putusan a quo, pertimbangan Mahkamah juga mengutip dari pertimbangan Putusan Mahkamah Nomor 138/PUU-XII/2014, bertanggal 7 Desember 2015. Oleh karenanya pada bagian ini Mahkamah tidak perlu lagi mengutip dari putusan tersebut.

[3.12.2] Bahwa setelah mencermati seluruh uraian pertimbangan hukum putusan-putusan tersebut di atas, menurut Mahkamah pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XIII/2015 telah mempertimbangkan secara yuridis dan menjawab secara komprehensif hal yang berkaitan isu konstitusional yang dipermasalahkan oleh Pemohon, khususnya berkenaan kewajiban setiap orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 UU BPJS menjadi peserta program BPJS Kesehatan. Lebih jauh dalam pertimbangan hukum perkara-perkara tersebut telah pula dengan jelas dipertimbangkan kewajiban setiap orang menjadi peserta program BPJS Kesehatan yang terkait dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan pada dasarnya kewajiban setiap orang menjadi peserta program BPJS Kesehatan telah ternyata tidak terbukti menjadikan tidak memberikan perlindungan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon dalam perkara a quo. Sebaliknya, hal demikian justru memberikan perlindungan kepada setiap orang yang menjadi peserta program BPJS Kesehatan. Sebab, setiap orang yang menjadi peserta program BPJS Kesehatan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan kepastian hukum secara adil untuk memeroleh pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai kehidupan yang berkualitas.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena hingga saat ini Mahkamah belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda untuk mengubah pendiriannya dalam memberikan penilaian terhadap isu pokok yang berkaitan dengan kepesertaan setiap orang dalam program BPJS Kesehatan yang bersifat wajib, dengan demikian juga tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk tidak mempergunakan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016 tersebut dalam mempertimbangkan permasalahan yang diajukan oleh Pemohon dalam Perkara a quo. Oleh karena itu pertimbangan hukum dalam putusan perkara- perkara tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum dalam perkara a quo.

Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang berkaitan dengan keinginan Pemohon tetap menjadi peserta asurasi swasta yakni dari PT Prudential, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan sebuah pilihan yang dapat diambil oleh Pemohon tanpa menggugurkan kewajiban Pemohon untuk menjadi peserta program BPJS Kesehatan. Sebab hal tersebut justru seharusnya merupakan keberuntungan bagi Pemohon yang diberikan kemampuan untuk dapat membayar premi asuransi yang setiap bulannya Rp. 600.000.-(enam ratus ribu rupiah) (bukti P-4) pada asuransi swasta Prudential, sekaligus juga dapat menjadi kesempatan bagi Pemohon untuk mewujudkan sikap solidaritas untuk membantu sesama dengan menjadi peserta pada program BPJS Kesehatan, karena pada dasarnya prinsip program BPJS Kesehatan adalah bersifat gotong royong yang mengandung esensi yang mampu membantu yang tidak mampu dan yang sehat membantu yang sakit. Hal tersebut sejatinya juga prinsip hidup saling bertoleransi dan gotong royong yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia yang sudah secara turun temurun ditularkan sejak nenek moyang bangsa Indonesia yang hingga kini selalu diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah sejak lama menjadi karakter hidup bermasyarakat bangsa Indonesia. Di samping itu hal tersebut sekaligus menegaskan bahwa hal yang dipersoalkan oleh Pemohon berkaitan dengan kepesertaannya dalam program kesehatan secara dobel sesungguhnya adalah permasalahan yang tidak ada hubungannya dengan inkonstitusionalitas suatu norma. Oleh karena itu berkaitan dengan dalil Pemohon a quo Mahkamah berpendapat adalah dalil yang tidak berdasar dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.3] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan isu lain yang dipermasalahkan Pemohon yaitu berkenaan dengan tenaga kerja asing yang juga diwajibkan menjadi peserta BPJS Kesehatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UU BPJS Kesehatan, menurut Mahkamah, hal itu apabila dicermati dari semangat yang menjiwai pesan tersebut adalah negara akan memberikan perlindungan kepada seluruh dunia usaha untuk mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya terhadap para pekerjanya baik yang warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sehingga terhadap seluruh pengusaha akan tidak terbebani dengan biaya kesehatan yang tinggi dan oleh karenanya dapat memicu dan menekan biaya yang menjadi beban pemberi kerja dan hal tersebut dapat berpengaruh pada tingginya harga barang dan atau jasa yang diproduksi dan hal tersebut dapat membebani daya beli masyarakat. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan pada norma tersebut juga merupakan representasi yang merupakan bentuk perwujudan keinginan yang pada dasarnya dikehendaki oleh para pemberi kerja termasuk yang memperkerjakan tenaga kerja asing di Indonesia. Dengan demikian tujuan perlindungan kesehatan bagi tenaga kerja baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang bekerja di Indonesia dapat diwujudkan. Selain itu, bagi semua tenaga kerja yang bekerja di Indonesia dapat berpartisipasi di dalam mengejawantahkan kultur bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi falsafah hidup saling bertoleransi dan mengedepankan prinsip gotong royong.

Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan harus dimaknai hanya warga negara Indonesia bukan termasuk orang asing yang ada di Indonesia adalah dalil yang tidak berdasar dan oleh karena itu Pasal 14 UU BPJS Kesehatan menurut Mahkamah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-03-2019

PT. Baraventura Pratama (“PT. BVP”), Zainal Abidinsyah Siregar (pemegang saham PT. Artha Nusa Sembada), dan Erwin Sutanto (pemegang saham PT. Aserra Capital), diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu Maqdir Ismail, SH., LL.M dkk dari kantor hukum Maqdir Ismail & Partners

Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa ketentuan norma yang mengatur mengenai pembubaran perseroan yang dapat dilakukan oleh pengadilan negeri, di mana pada norma tersebut ditegaskan, permohonan pembubaran perseroan dapat dilakukan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris dengan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan, selanjutnya Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT menjelaskan frasa “alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan” dan menjelaskan bahwa alasan tersebut antara lain:
a. Perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi Pajak.
b. dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dipanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS;
c. dalam hal perimbangan pemilikan saham dalam Perseroan demikian rupa sehingga RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang saham memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham; atau
d. kekayaan Perseroan telah berkurang demikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada Perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya.

Dari Penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa yang dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c adalah frasa “alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan” dan bahwa empat kondisi di atas, yaitu butir a sampai dengan butir d diuraikan dengan kata “antara lain”, sehingga alasan-alasan atau kondisi tersebut tidak bersifat kumulatif, namun alternative. Artinya, masing-masing kondisi dapat berdiri sendiri, bahkan penggunaan kata “antara lain” dapat juga berarti ada alasan lain yang dapat digunakan selain dari yang tercantum pada Penjelasan tersebut. Sehingga kata “antara lain” dipergunakan dalam penjelasan untuk menjelaskan materi yang sifatnya dinamis dan materi yang sifatnya jamak sehingga sulit untuk disebutkan secara limitatif. Dengan demikian, menurut Mahkamah, norma Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT telah cukup terang dan jelas dan bahwa alasan-alasan yang diuraikan dalam Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT tersebut hanya merupakan contoh dan dapat digunakan sebagai alasan yang berdiri sendiri secara alternatif. Namun berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mempermasalahkan penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut.

[3.14.2] Bahwa argumentasi para Pemohon yang berpendapat penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT, khususnya berkenaan dengan siapa yang berhak menyampaikan surat pemberitahuan ke kantor pajak berkaitan dengan perseroan tidak melakukan kegiatan usaha selama 3 (tiga) tahun, menurut Mahkamah, perlu dipahami bahwa permohonan pembubaran perseroan yang dapat diajukan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris sesungguhnya merupakan persyaratan formil perihal siapa yang dapat menjadi subyek hukum untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan di pengadilan negeri yang dalam hal ini dibatasi oleh ketentuan norma Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT permohonan pembubaran perseroan dapat diajukan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris. Karena selain itu terdapat subjek hukum lain yang dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri yaitu kejaksaan dengan alasan perseroan melanggar kepentingan umum atau perseroan melanggar peraturan perundang-undangan dan pihak ketiga dengan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian [vide Pasal 146 ayat 1 huruf a dan b UU PT]. Oleh karena subjek hukum para pemohon pembubaran perseroan tersebut hanyalah persyaratan formil yang dipandang mempunyai standing untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan, maka sebenarnya secara absolut persyaratan formil tersebut harus dilengkapi dengan persyaratan yang bersifat materiil, yaitu alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri.

Bahwa berkaitan dengan pendapat Mahkamah tersebut, lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa syarat formil maupun materiil dalam permohonan pembubaran perseroaan tersebut hanya dapat dipenuhi apabila secara faktual dan prosedural memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini secara formil yang dapat menjadi subjek hukum adalah sebagaimana pihak yang memenuhi ketentuan Pasal 146 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c UU PT, sedangkan syarat materiilnya adalah alasan-alasan yang melekat pada masing-masing subjek hukumnya tersebut, misalnya apabila secara formil permohonan pembubaran perseroan diajukan oleh kejaksaan sebagai subjek hukum pemohon dalam pembubaran perseroan maka secara materiil alasan-alasannya adalah karena adanya dugaan bahwa perseroan tersebut telah melanggar kepentingan umum atau karena perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Sedangkan apabila secara formil pemohon pembubaran perseroan yang menjadi subjek hukum adalah pihak lain yang berkepentingan, maka alasan-alasan secara materiilnya adalah adanya cacat hukum dalam akta pendirian. Sementara itu khusus dalam hal permohonan pembubaran perseroan yang secara formil diajukan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris, alasan materiilnya adalah karena perseroan tidak mungkin dapat dilanjutkan. Lebih lanjut lagi dapat dijelaskan bahwa alasan secara materiil yang dimaksudkan yang terakhir adalah tidak dapat dilepaskan dengan syarat-syarat yang secara alternatif sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT, yaitu perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak. Oleh karena itu yang didalilkan para Pemohon menurut Mahkamah sesungguhnya merupakan syarat yang bersifat alternatif sebagaimana yang diatur dalam Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT kemudian setelah digabungkan dengan alasan permohonan pembubaran perseroan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan norma Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT maka kedua alasan tersebut bergabung menjadi alasan yang bersifat komulatif yang harus dipenuhi oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris pada saat mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri. Dengan penegasan lain dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, maka alasan permohonan pembubaran perseroan hanya dapat dipenuhi apabila permohonan tersebut diajukan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris dengan alasan perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan tidak dapat dipisahkan dengan alasan bahwa perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak.

[3.14.3] Bahwa berkenaan pendapat Mahkamah yang terakhir, yang penting dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah persoalan mendasar yang didalilkan oleh para Pemohon, yaitu bahwa seharusnya alasan untuk membuktikan perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, surat pemberitahuan kepada instansi pajak dapat disampaikan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris. Terhadap hal ini menurut Mahkamah, di dalam memahami isi undang-undang termasuk dalam hal ini undang-undang mengenai perseroan terbatas seharusnya dilakukan secara utuh. Dengan demikian akan diperoleh perspektif secara menyeluruh mengenai kewenangan dan fungsi dari masing-masing organ perseroan. Hal tersebut penting ditegaskan mengingat substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan kewenangan dan fungsi organ peseroan yang dapat bertindak untuk dan atas nama perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, khususnya yang berkaitan erat dengan kelengkapan syarat untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri [vide Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT]. Berkaitan hal itu Pasal 1 angka 5 menyatakan, “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.” Menurut Mahkamah, hal tersebut telah dengan jelas menegaskan bahwa tidak ada organ lain dari perseroan yang dapat bertindak sebagai subjek hukum yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu sepanjang kewenangan dan tanggung jawab masih melekat pada diri seorang direksi (tidak dicabut secara tetap oleh RUPS), maka apabila dikaitkan permasalahan yang didalilkan oleh para Pemohon berkenaan subyek hukum yang dapat menyampaikan pemberitahuan kepada instansi pajak bahwa perseroan sudah tidak aktif (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, hal ini sesungguhnya telah menjawab bahwa hanya subjek hukum direksi sebagai organ perseroan yang berwenang untuk itu. Terlebih lagi, terhadap perseroan yang bersangkutan baru akan dimohonkan pembubaran pada pengadilan negeri yang tentunya permohonan dimaksud dapat atau tidak dikabulkan oleh pengadilan negeri. Dengan kata lain dalam perkara a quo sepanjang perseroan belum dikabulkan permohonan pembubarannya oleh pengadilan negeri maka perseroan tersebut harus dinyatakan masih tetap ada, sehingga prinsip-prinsip di dalam menjalankan kewenangan dan tanggung jawab perseroan masih tetap dijalankan oleh direksi. Dengan demikian tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon, khususnya kasus konkret yang dialami oleh Pemohon I, Mahkamah berpendapat semangat Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT sebenarnya telah terang bahwa pihak yang dapat menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak yang dimaksudkan adalah direksi.

Lebih lanjut penting Mahkamah jelaskan bahwa Penjelasan Pasal 146 ayat huruf c butir a UU PT sebenarnya menjelaskan norma Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT bukan kemudian menghilangkan hak pemegang saham dan dewan komisaris untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri. Sedangkan berkaitan dengan direksi yang harus menyampaikan surat pemberitahuan bahwa perseroan tidak aktif (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih kepada instansi pajak seharusnya tidak menjadi penghalang bagi pemegang saham dan dewan komisaris untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri sebab hal tersebut sesungguhnya banyak cara yang dapat dipergunakan oleh pemegang saham atau dewan komisaris sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk meminta direksi memenuhi kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan dimaksud, baik dengan menggunakan mekanisme RUPS yang dimiliki para pemegang saham maupun mekanisme pengawasan yang dimiliki dewan komisaris.

Selain pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah ada hal lain yang lebih prinsip bahwa pemberian kewenangan kepada direksi untuk menyampaikan pemberitahuan pada instansi pajak dalam hal perseroan tidak aktif (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih pada dasarnya memberikan jaminan perlindungan terhadap kepentingan perseroan baik secara internal maupun secara eksternal yang sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup dari perseroan yang bersangkutan. Sebab hal yang demikian menyangkut reputasi dan kepercayaan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap jalannya perseroan, khususnya perlindungan terhadap para karyawan, pemegang saham, dan para kreditur (apabila ada). Di samping itu pemberian kewenangan kepada direksi untuk menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak bahwa perseroan tidak aktif (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, di satu pihak adalah dalam konteks memperkuat prinsip-prinsip perseroan dan di pihak lain, tidak membuka adanya ruang kepada pihak lain yang akan mempergunakan kesempatan untuk memenuhi kepentingannya yang dapat merugikan perseroan, dengan cara mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri tanpa melakukan koordinasi secara internal terlebih dahulu. Bahkan bisa jadi antar organ perseroan sedang tidak ada soliditas sehingga antara organ perseroan yang satu dengan yang lainnya saling menempuh jalannya masing-masing untuk mengambil tindakan yang salah satunya adalah mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri yang dapat merugikan kepentingan perseroan. Hal itulah sesungguhnya jawaban dari semangat Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT adalah tidak lain hanyalah semata-mata memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan perseroan yang bersangkutan.

[3.14.4] Bahwa apabila dalam keadaan normal sesungguhnya UU PT telah memberikan kewenangan kepada organ perseroan, baik pemegang saham, direksi dan dewan komisaris untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan secara internal tanpa harus melalui mekanisme mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 144 ayat (1) UU PT yang menyatakan, “Direksi, Dewan Komisaris atau satu pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS” dan Pasal 78 ayat (4) yang pada pokoknya menyatakan RUPS lainnya, selain RUPS tahunan dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan. Dari ketentuan tersebut di atas telah jelas bahwa sebenarnya permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri yang dapat diajukan oleh pemegang saham, direksi atau dewan komisaris adalah pilihan yang ‘terpaksa dan terakhir’ karena tidak dapat dicapainya prosedur permohonan pembubaran perseroan secara normal yang ada pada internal perseroan, sehingga harus ditempuh cara yang lain melalui permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri, yang boleh jadi permohonan tersebut sebagai dampak adanya ‘sengketa kepentingan’ yang tidak dapat diselesaikan di tingkat internal perseroan. Oleh karena itulah semangat dari Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT tersebut adalah memberi pesan hati-hati dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berfungsi menyaring agar permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri tidak berdampak pada dirugikannya seluruh stakeholder yang berkepentingan terhadap perseroan yang dimohonkan pembubaran oleh salah satu organ perseroan tersebut.

Lebih jauh dijelaskan bahwa apabila salah satu organ perseroan tetap memilih mengajukan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri, sesungguhnya juga tidak ada alasan untuk tidak mendapatkan surat pemberitahuan perseroan tidak aktif (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih kepada instansi pajak yang harus dilakukan oleh direksi. Sebab, selain sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, melalui ketentuan Pasal 144 ayat (1) UU PT juga dapat menjadi rujukan, bahwa RUPS dapat diadakan untuk kepentingan pembubaran perseroan dan dengan demikan RUPS juga dapat diadakan untuk memerintahkan direksi untuk menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak berkaitan dengan alasan permohonan pembubaran sebagaimana dimaksud pada Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT. Adapun dalam hal RUPS mengalami kebuntuan dalam mengambil keputusan (deadlock) sebagaimana yang secara kasuistis dikemukakan oleh para Pemohon sehingga RUPS tidak dapat memerintahkan direksi maka dalam kasus demikian perseroan dapat menggunakan instrumen organ perseroan yang lain, dalam hal ini dewan komisaris. Sebab dewan komisaris mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan dan memberi nasihat kepada direksi. Dengan demikian dalil para Pemohon bahwa syarat penyampaian surat pemberitahuan tersebut dapat membatasi hak para Pemohon untuk membubarkan, terlebih dalil para Pemohon yang berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan, penjelasan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan penjelasan mengakibatkan adanya perubahan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan, menurut Mahkamah, adalah dalil yang tidak berdasar, mengingat sesungguhnya yang ada adalah penjelasan norma pasal a quo justru memberi penjelasan yang lebih rinci dalam rangka untuk menjamin adanya bentuk perlindungan hukum bagi seluruh pihak yang berkepentingan terhadap perseroan yang dimohonkan pembubaran, agar jangan dirugikan akibat adanya permohonan pembubaran perseroan tersebut dan oleh karenanya dalil para Pemohon tersebut haruslah dikesampingkan.

Selain itu, berkenaan dengan permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri sebagaimana diatur oleh Pasal 146 UU PT, menurut Mahkamah, norma tersebut pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pengadilan negeri agar mempertimbangkan dan memutus mengenai permohonan pembubaran tersebut untuk dikabulkan atau tidaknya permohonan pembubaran perseroan. Dengan demikian hal tersebut merupakan kewenangan mutlak dari pengadilan negeri untuk mempertimbangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon pembubaran perseroan, termasuk di antaranya siapakah yang pada kasus tertentu berhak menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak dan kondisi apa yang perlu dipenuhi agar suatu perseroan dapat dikatakan tidak melakukan kegiatan usaha selama 3 tahun atau lebih. Oleh karena itu dalam tataran empirik meskipun jenis permohonan pembubaran perseroan pada pengadilan negeri termasuk dalam kategori perkara permohonan (voluntair), namun Mahkamah Agung melalui badan peradilan di bawahnya telah menggariskan bahwa dalam proses persidangan untuk menjatuhkan penetapan atas permohonan pembubaran perseroan tersebut selalu menyertakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perseroan yang bersangkutan, dalam hal ini khususnya organ perseroan yang lainnya untuk didengar keterangan dan tanggapannya. Hal tersebut menunjukkan adanya sifat kehati-hatian bagi pengadilan negeri di dalam mempertimbangkan permohonan pembubaran perseroan yang bersangkutan, apakah beralasan ataukah tidak untuk dikabulkan. Sebab, jangan sampai penetapan pengadilan negeri tersebut akan berdampak timbulnya kerugian yang luas tanpa ada keterlibatan sebelumnya pihak yang berkepentingan terhadap perseroan yang bersangkutan.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN BUTON SELATAN DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-03-2019

• Muh. Basli Ali (Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar), selanjutnya disebut Pemohon I; dan
• Mappatunru (Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar), selanjutnya disebut Pemohon II.

pengujian Lampiran UU 16/2014 berupa Peta Wilayah Kabupaten Buton Selatan yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai bagian dari Wilayah Kabupaten Buton Selatan.

Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Lampiran UU 16/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.16] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan Lampiran UU 16/2014 sepanjang yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 karena Pulau Kakabia adalah wilayah yang telah dibagikan kepada Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan UU 29/1959 yang dipertegas dan diperjelas oleh Permendagri 45/2011 yang pengurangan atas wilayah tersebut harusnya terlebih dahulu melalui prosedur tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap dalil Pemohon I dan Pemohon II tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.16.1] Bahwa dalam mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon I dan Pemohon II, Mahkamah perlu mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012, bertanggal 21 Februari 2013, dalam Paragraf [3.13.1] antara lain menyatakan:

[3.13.1] Bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Adapun maksud kata “dibagi” dalam Pasal tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi/kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah kesatuan Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi/kabupaten/kota untuk mengaturnya. Bahwa UUD 1945 dengan sengaja mengambil kata “dibagi” karena untuk menghindari kata “terdiri dari” atau “terdiri atas”. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wilayah provinsi/kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berbeda dengan negara federal;
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya. ...”

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, batas wilayah administrasi menjadi kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya. Pembagian wilayah dimaksud tercermin pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679, selanjutnya disebut UU Pemda) yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi dilakukan penataan daerah yang terdiri atas pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dimaksud berupa pemekaran daerah dan penggabungan daerah [vide Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pemda]. Dengan demikian, pembentukan dan penentuan batas wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang.

[3.16.2] Bahwa pemerintah pusat dan pemerintahan daerah adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dalam penyelenggaraan pemerintahan NKRI, sehingga apabila terjadi permasalahan/sengketa batas wilayah antara daerah dalam satu provinsi atau antar provinsi maka permasalahan tersebut harus diselesaikan secara internal oleh pemerintah. Lebih lanjut apabila terjadi perselisihan terkait dengan batas daerah, Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, menyatakan:

(1) Dalam hal terjadi perselisihan penegasan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar daerah provinsi, diselesaikan sesuai dengan tahapan dan tata cara penyelesaian perselisihan batas daerah antara pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Perselisihan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan oleh gubernur.
(3) Penegasan dan perselisihan batas daerah antar daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan oleh Menteri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, permasalahan Pemohon I dan Pemohon II terkait dengan letak wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia apakah berada di daerah Kabupaten Kepulauan Selayar ataukah berada dalam daerah Kabupaten Buton Selatan bukanlah merupakan permasalahan antar kabupaten/kota melainkan merupakan permasalahan antardaerah provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Provinsi Sulawesi Selatan, karena letak wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia diklaim berada di antara dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Selatan sehingga berdasarkan Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 penyelesaiannya merupakan kewenangan Menteri, in casu Menteri Dalam Negeri. Artinya, perselisihan batas daerah dalam NKRI bukanlah merupakan masalah konstitusional.

Dengan demikian dalil Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan Lampiran UU 16/2014 sepanjang yang menggambarkan Pulau Kakabia/Kawi-Kawia sebagai wilayah Kabupaten Buton Selatan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan Lampiran UU 16/2014 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 karena mengganggu otonomi daerah Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Selayar, di mana kebijakan-kebijakan yang seharusnya dapat diambil oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar berkaitan dengan program peningkatan mutu pariwisata laut tidak akan berjalan maksimal pelaksanaannya jika Pulau Kakabia sebagai salah satu icon pariwisata tidak lagi masuk dalam Wilayah Administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar dan ini dapat berdampak besar kepada program-program kesejahteraan masyarakat yang berhubungan dengan pariwisata. Terhadap dalil Pemohon I dan Pemohon II tersebut, menurut Mahkamah, persoalan tidak masuknya wilayah Pulau Kakabia/Kawi-Kawia dalam Wilayah Administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar berpengaruh pada penurunan mutu pariwisata laut dan menurunnya kesejahteraan masyarakat, andaipun merupakan persoalan konstitusional, quod non, hal demikian dengan sendirinya akan terselesaikan apabila mekanisme penyelesaian perselisihan batas daerah secara berjenjang yang telah diatur secara rigid sebagaimana telah dipertimbangkan di atas telah dilakukan. Sehingga dalam hal ini tidak relevan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkannya.

[3.18] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan Lampiran UU 16/2014 bertentangan dengan UU 12/2011 yang merupakan amanat Pasal 22A UUD 1945 karena telah memperluas norma dan/atau memuat norma baru yang bertentangan dengan pengertian norma yang ada dalam batang tubuh UU 16/2014, yaitu Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4. Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan Lampiran II Bab I huruf F butir 192 dan butir 193 UU 12/2011 bahwa secara formal dalam suatu undang-undang dimungkinkan adanya lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang itu sendiri. Adapun secara substansial apabila Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan bahwa lampiran undang-undang telah memperluas norma sehingga bertentangan dengan UU 12/2011 maka hal demikian dengan sendirinya merupakan bagian dari penyelesaian perselisihan batas daerah yang mekanismenya sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Demikian pula halnya dengan dalil Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan bahwa Lampiran UU 16/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, hal inipun mengikuti pertimbangan Mahkamah perihal penyelesaian perselisihan batas daerah sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Dengan demikian dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan pokok permohonan sebagaimana diuraikan di atas, oleh karena kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II baru dapat diketahui setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan maka selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II sebagai berikut:

[3.19.1] Bahwa Pemohon II baru mengajukan diri sebagai Pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perbaikan permohonan tanpa menyertakan Surat Keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar tentang persetujuan DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar untuk mengajukan permohonan a quo. Adapun Surat Keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar dimaksud diterima Mahkamah dalam Sidang Pleno tanggal 21 Mei 2018. Terhadap hal tersebut, secara substansial Putusan Mahkamah Nomor 87/PUU-XIII/2015, bertanggal 13 Oktober 2016, menyatakan bahwa dalam hal adanya dugaan kerugian konstitusional Pemerintahan Daerah maka yang berwenang mewakili Pemerintahan Daerah adalah kepala daerah bersama-sama dengan Ketua DPRD atas persetujuan Rapat Paripurna DPRD. Dalam hal Pemohon I (Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar) yang mengajukan permohonan a quo pada sidang pemeriksaan pendahuluan dan kemudian menyertakan Pemohon II (Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar) dengan tidak menyertakan surat keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah berpendapat Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat dikatakan sebagai bersama-sama mengajukan permohonan a quo sebagai satu kesatuan pemerintahan daerah sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemerintahan daerah, in casu Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar. Terlebih lagi, Pemohon II tidak menyertakan Surat Keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar pada saat permohonan diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan. “Bukti” dimaksud baru diserahkan pada saat sidang pleno pemeriksaan permohonan dan tidak dinyatakan tegas sebagai alat bukti melainkan bagian dari lampiran surat kuasa bertanggal 2 April 2018. Hal yang demikian tidak cukup meyakinkan Mahkamah bahwa keputusan rapat paripurna dimaksud benar-benar dilakukan sebelum permohonan a quo diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

[3.19.2] Bahwa dalil Pemohon I dan Pemohon II yang menyatakan Lampiran UU 16/2014 merugikan hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon II karena menghilangkan hak Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam menjalankan Pemerintahan di Pulau Kakabia adalah anggapan yang tidak tepat. Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.16.1] di atas, batas daerah provinsi/kabupaten/kota dapat diubah sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang berdasarkan berbagai pertimbangan disebabkan terbukanya kemungkinan melakukan penataan daerah. Artinya, penentuan batas daerah sangat mungkin berubah apabila terjadi perubahan penataan daerah oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian, berlakunya Lampiran UU 16/2014 yang mengakibatkan berkurangnya daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, yaitu Pulau Kakabia/Kawi-kawia, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sepanjang perubahan tersebut ditentukan oleh undang-undang.

Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya Lampiran UU 16/2014, sehingga menurut Mahkamah, Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.20] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum maka dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II selebihnya, termasuk keterangan Pihak Terkait yang tidak relevan, tidak dipertimbangkan.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon I dan Pemohon II ternyata tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum demikian, quod non, dalil permohonan Pemohon I dan Pemohon II telah ternyata tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN BURU SELATAN DI PROVINSI MALUKU TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-03-2019

• Ramly Umasugi, S.PI., M.M (Bupati Kabupaten Buru), Amustofa Besan, S.H. (Wakil Bupati Kabupaten Buru), Iksan Tinggapy, S.H. (Ketua DPRD Kabupaten Buru), A. Azis Hentihu, S.E. (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buru), Djalil Mukadar, S.P. (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buru), selanjutnya disebut Pemohon I; dan
• Mahmud Nustelu (Petani/Pekebun), Elias Behuku (Petani/Pekebun), selanjutnya disebut Pemohon II.

Pasal 3 ayat (2) berikut Lampiran Peta UU 32/2008

Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 25A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 3 ayat (2) dan Lampiran Peta UU 32/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa untuk menentukan letak wilayah administrasi Desa Waehotong dan Desa Batu Karang, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2018 tentang Batas Daerah Kabupaten Buru Selatan dengan Kabupaten Buru Provinsi Maluku, tanggal 17 September 2018, yang dalam Pasal 2 diatur mengenai batas daerah Kabupaten Buru Selatan dengan Kabupaten Buru Provinsi Maluku dan Peta Batas Daerah Kabupaten Buru Selatan Dengan Kabupaten Buru Provinsi Maluku, menyatakan bahwa Desa Waehotong masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buru Selatan;

[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon I yang pada pokoknya menyatakan Pasal 3 ayat (2) beserta Lampiran Peta UU 32/2008 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD Tahun 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa hak-hak konstitusional Pemohon I yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012, bertanggal 21 Februari 2013, dengan amar “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”, yang dalam pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.13.1] menyatakan antara lain:
[3.13.1] Bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Adapun maksud kata “dibagi” dalam pasal tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi/kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah kesatuan Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi/kabupaten/kota untuk mengaturnya. Bahwa UUD 1945 dengan sengaja mengambil kata “dibagi” karena untuk menghindari kata “terdiri dari” atau “terdiri atas”. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wilayah provinsi/kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berbeda dengan negara federal;
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya…”;

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012 tersebut, batas wilayah administrasi menjadi kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk menetapkan batas-batas daerahnya. Pembagian daerah dimaksud tercermin pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679, selanjutnya disebut UU Pemda) yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi dilakukan penataan daerah yang terdiri atas pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dimaksud berupa pemekaran daerah dan penggabungan daerah [vide Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pemda]. Dengan demikian, dalam konteks pemekaran dan penggabungan serta pembentukan dan penentuan batas daerah dalam NKRI merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang.

[3.11.2] Bahwa pemerintah pusat dan pemerintahan daerah adalah satu kesatuan yang utuh dalam penyelenggaraan pemerintahan NKRI, sehingga apabila terjadi perselisihan/penegasan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar daerah provinsi maka perselisihan tersebut harus diselesaikan secara internal oleh pemerintah. Lebih lanjut apabila terjadi perselisihan terkait batas daerah, Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, menyatakan:
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penegasan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar daerah provinsi, diselesaikan sesuai dengan tahapan dan tata cara penyelesaian perselisihan batas daerah antara pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Perselisihan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan oleh gubernur.
(3) Penegasan dan perselisihan batas daerah antar daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan oleh Menteri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, permasalahan Pemohon I terkait dengan batas Desa Waehotong yang ada di Kecamatan Kepala Madan dan Desa Batu Karang yang ada di Kecamatan Leksula apakah berada di daerah Kabupaten Buru ataukah berada di daerah Kabupaten Buru Selatan adalah merupakan permasalahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi yaitu Provinsi Maluku, sehingga berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 penyelesaiannya merupakan kewenangan Gubernur. Artinya, perselisihan batas daerah dalam NKRI bukanlah merupakan persoalan konstitusional. Perihal pendirian Mahkamah demikian telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVI/2018 bertanggal 13 Maret 2019 yang telah diucapkan sebelumnya.

Dengan demikian dalil Pemohon I yang menyatakan norma Pasal 3 ayat (2) beserta Lampiran Peta UU 32/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan Provinsi Maluku bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.11.3] Bahwa oleh karena penyelesaian perselisihan batas daerah merupakan kewenangan pemerintah secara berjenjang yaitu sepanjang menyangkut perselisihan batas daerah dalam satu daerah provinsi merupakan kewenangan gubernur sementara perselisihan batas daerah antardaerah provinsi merupakan kewenangan menteri dalam negeri maka dugaan pelanggaran hak konstitusional yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 25A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon I, tidak relevan untuk dipertimbangkan karena ada tidaknya pelanggaran dimaksud bergantung pada penyelesaian yang dilakukan oleh gubernur, dalam hal menyangkut perselisihan batas daerah dalam satu provinsi, dan oleh menteri dalam negeri, dalam hal menyangkut perselisihan batas daerah antardaerah provinsi.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon I tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-03-2019

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia)

Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Pencegahan dan Penodaan Agama.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.12] Menimbang Pemohon dalam permohonannya telah menegaskan menerima amar putusan Mahkamah yang menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XVI/2018, bertanggal 13 Desember 2018, yang diajukan salah satunya oleh Pemohon yang sama (Zico Leonard Djagardo Simanjuntak). Pemohon menjelaskan pula tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama. Artinya, Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional);

Meskipun norma pasal-pasal a quo konstitusional, namun Pemohon tetap mempermasalahkan bahwa Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama inkonstitusional jika tidak dilakukan revisi oleh pembentuk undang- undang. Menurut Mahkamah, dengan pernyataan Pemohon bahwa norma dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah konstitusional, menjadi sulit untuk memahami apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap norma pasal-pasal a quo yang telah diakui sendiri konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Dengan demikian, apabila hal tersebut dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK, bahwa Mahkamah hanya dapat melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945. Dengan kata lain, terhadap norma yang sudah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah maka tidak dapat lagi menjadi objek pengujian. Apalagi pokok permohonan Pemohon perihal revisi UU Pencegahan Penodaan Agama merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan demikian terhadap substansi permohonan a quo sesungguhnya bukan substansi yang dapat menjadi objek permohonan di Mahkamah Konstitusi karena norma undang-undang yang dipersoalkan telah ternyata dan diakui oleh Pemohon sendiri sebagai norma yang konstitusional.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon bukan merupakan objek yang dapat diajukan di Mahkamah Konstitusi.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-03-2019

Ammar Syauqi, Ammar Saifullah, Taufiqurrahman Arief, Khairul Hadi, Yun Frida Isnaini, Zhillan Zhalilan (para mahasiswa fakultas hukum Universitas Islam As-Sayfiiyah)

Pasal 299 ayat (1) dan Pasal 448 ayat (2) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E dan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 22F UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 299 ayat (1) dan Pasal 448 ayat (2) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap pokok permohonan Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.1] angka 1.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan:

a. dalam konteks negara hukum, rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu tersebut yang menurut para Pemohon tidak menghormati hak asasi Presiden-Wakil Presiden petahana, yaitu hak untuk melaksanakan kampanye sehingga bertentangan dengan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon a quo tidak rasional. Sebab, dengan rumusan demikian justru Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu secara tegas menjamin bahwa, sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden, hak Presiden dan/atau Wakil Presiden petahana untuk melaksanakan kampanye sama sekali tidak dikurangi jika hendak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Justru akan menjadi bertentangan dengan semangat Pemilu (dan dengan demikian bertentangan dengan UUD 1945) jika Presiden dan/atau Wakil Presiden petahana yang hendak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden (sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 7 UUD 1945) tidak diberi hak untuk melaksanakan kampanye. Sebab, jika hal itu dilakukan berarti akan terjadi perlakuan berbeda terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden petahana dengan calon Presiden dan Wakil Presiden lainnya untuk hal atau kedudukan yang sama, yaitu sama-sama pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta Pemilu. Persoalan apakah hak itu akan digunakan atau tidak, hal itu sepenuhnya berada di tangan yang bersangkutan. Hanya saja, karena kedudukannya sebagai petahana, maka terhadap calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden petahana diberlakukan pembatasan agar dalam melaksanakan haknya untuk berkampanye yang bersangkutan tidak menyalahgunakan kedudukannya sebagai petahana. Pembatasan tersebut baik dalam bentuk kewajiban untuk memperhatikan keberlangsungan tugasnya sebagai penyelenggara negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 300 dan Pasal 301 UU Pemilu, maupun dalam bentuk larangan penggunaan fasilitas negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 304 dan Pasal 305 UU Pemilu. Dengan adanya kewajiban dan larangan di atas, dengan sendirinya calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana akan dituntut untuk cermat memilih hari atau waktu melaksanakan kampanye sehingga tidak melanggar kewajiban dan/atau larangan yang ditentukan dalam Undang- Undang. Dengan demikian, tidak adanya pernyataan eksplisit bahwa kampanye calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana dilakukan di luar hari atau jam kerja tidaklah menyebabkan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menjadi bertentangan dengan UUD 1945, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan penghormatan hak asasi yang bersangkutan;

b. dalam konteks Pasal 22E UUD 1945, pertimbangan Mahkamah pada huruf a di atas dengan sendirinya telah menjawab dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa tidak adanya ketentuan yang mengatur kampanye calon presiden dan/atau calon wakil presiden harus dilakukan di luar jam kerja oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan prinsip pemilu yang “adil” karena prinsip “adil” dalam hubungan ini adalah dikaitkan dengan kedudukan yang bersangkutan sebagai petahana sehingga kepadanya diberlakukan pembatasan (berupa kewajiban dan larangan sebagaimana telah diuraikan di atas) agar tercipta perlakuan yang sama dengan pasangan calon presiden dan/atau calon wakil presiden lainnya yang bukan petahana yang tidak mempunyai akses terhadap penggunaan fasilitas negara. Dengan adanya pembatasan berupa kewajiban dan larangan terhadap calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana, sebagaimana diatur dalam Pasal 300 dan Pasal 301 UU Pemilu, maka Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu telah pula menegakkan hak atas persamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, bukan justru sebaliknya, bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan para Pemohon;

c. dalam konteks Pasal 28F UUD 1945, dalam hal ini terkait dengan hak masyarakat untuk tahu (the right to know) sebagaimana didalilkan para Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa karena hak calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana untuk melaksanakan kampanye justru dijamin oleh Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu maka dengan sendirinya norma Undang-Undang a quo tidak melanggar hak dimaksud karena masyarakat tidak kehilangan kesempatan untuk mendengarkan visi, misi, maupun program calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana, meskipun waktu dan penyelenggaraannya tunduk pada pembatasan berupa kewajiban maupun larangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 300, Pasal 301, Pasal 304, dan Pasal 305 UU Pemilu. Lagi pula, untuk mengetahui visi, misi, dan program pasangan calon presiden dan/atau wakil presiden, termasuk pasangan calon presiden dan/atau wakil presiden petahana, bukan hanya terbatas melalui kampanye tatap muka (sebagaimana tampak secara implisit dari dalil-dalil para Pemohon). Sebab UU Pemilu juga mengatur tentang kewajiban bagi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk menyerahkan naskah visi, misi, dan programnya kepada KPU pada saat mendaftar sebagai pasangan calon [vide Pasal 229 ayat (1) huruf e UU Pemilu]. Selain itu, visi, misi, dan program demikian juga dapat diakses melalui pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemasangan alat peraga kampanye, sebagaimana tertuang dalam Bagian Keenam UU Pemilu, mulai dari Pasal 287 sampai dengan Pasal 298 UU Pemilu. Terlebih, dengan kemajuan teknologi informasi dan perkembangan media sosial saat ini, terlalu berlebihan jika dikatakan seorang warga negara kehilangan haknya untuk mengetahui visi, misi, dan program pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya karena tidak sempat mengikuti kampanye secara tatap muka langsung, sebagaimana tersirat dalam dalil-dalil para Pemohon.
Berdasarkan seluruh pertimbangan pada angka 1 di atas, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum.

2. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009 dan Nomor 98/PUU-VII/2009, Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 2.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan:

a. dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009 dan Nomor 98/PUU-VII/2009, di mana oleh para Pemohon Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu dikatakan bertentangan dengan kedua Putusan Mahkamah dimaksud. Pertama-tama Mahkamah penting menegaskan bahwa Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu adalah bagian dari ketentuan yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu yang tidak boleh dipahami secara parsial melainkan harus dibaca dalam keutuhan Pasal 448 UU Pemilu secara keseluruhan. Bentuk partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) UU Pemilu tunduk pada ketentuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 448 ayat (3) UU Pemilu yang menyatakan,

Bentuk partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dengan ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu;
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu;
c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Adanya ketentuan Pasal 448 ayat (3) UU Pemilu, khususnya huruf a, justru telah sejalan dengan, bahkan mengikuti, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2009 yang sebagaimana dikutip oleh para Pemohon sendiri (vide Perbaikan Permohonan halaman 15) yang menekankan independensi suatu survei meskipun tidak menampik keberadaan suatu survei yang merupakan pesanan salah satu peserta pemilu. Dalam pertimbangan putusan tersebut Mahkamah antara lain menyatakan:

[3.24] Jajak pendapat atau survei adalah ilmu dan sekaligus seni. Penyusunan sampel dan angket, penyediaan perlengkapan survei, serta analisis hasilnya merupakan ilmu penelitian pendapat publik berdasarkan metode dan teknik yang sudah mantap dan absah, sedangkan seninya terletak dalam penyusunan pertanyaan dan pilihan kata yang dipakai dalam pertanyaan (Arterton F. Christopher, Kegunaan Jajak Pendapat Umum dalam Kampanye, 1996). Survei dapat dilakukan oleh lembaga yang independen yang tidak terikat kepada salah satu kontestan politik peserta Pemilu, namun dapat juga merupakan bagian atau atas permintaan (pesanan) salah satu peserta Pemilu. Oleh karena itu, di Amerika Serikat misalnya, survei merupakan bagian dari kampanye Pemilu (Merloe, 1999, dan Arterton, 1996). Di Indonesia, sebagaimana dapat disimak dari ketentuan dalam UU 10/2008, survei tidak merupakan bagian dari Kampanye (Bab VIII), melainkan masuk Bab XIX tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilu, sehingga lembaga survei dituntut untuk independen. Terlepas dari apakah survei dan lembaga survei merupakan bagian dari strategi kampanye peserta Pemilu atau independen, namun sebagai suatu kegiatan ilmiah, kegiatan survei dan lembaga survei harus tetap mengikuti kaidah- kaidah ilmiah yang berlaku dalam survei yang dapat diketahui oleh publik. Meskipun survei dan lembaga survei bersifat independen dan bukan merupakan bagian dari strategi kampanye salah satu peserta Pemilu, namun ketentuan-ketentuan masa tenang dalam kampanye Pemilu juga harus dipatuhi oleh lembaga survei;

Demikian pula halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangan hukumnya, sebagaimana juga dikutip oleh para Pemohon (vide Perbaikan Permohonan halaman 15), menyatakan antara lain:

[3.16] Menimbang bahwa survei dan penghitungan cepat yang penyebarannya dijamin oleh UUD 1945 adalah survei dan penghitungan cepat yang didasarkan pada keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk mempengaruhi pemilih, oleh karenanya netralitas survei dan penghitungan cepat sangatlah penting. Hal demikian tidaklah berarti bahwa survei dan penghitungan cepat tidak boleh dilakukan untuk kepentingan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden. Apabila hal demikian terjadi maka menjadi hak publik untuk mengetahui bahwa kegiatan tersebut dilakukan atas pesanan atau dibiayai oleh pasangan calon Presiden/Wakil Presiden tertentu serta menjadi kewajiban pelaksana kegiatan survei dan penghitungan cepat untuk mengungkapkannya kepada publik secara jujur dan transparan.

Artinya, kedua Putusan Mahkamah yang bagian dari pertimbangan hukumnya dikutip para Pemohon tersebut secara implisit menekankan bahwa suatu survei yang secara metodologis dilakukan dengan tidak mengikuti kaidah akademik atau ilmiah serta tidak transparan maka lembaga yang menyelenggarakan survei demikian sesungguhnya sedang mempertaruhkan kredibilitasnya di mata publik. Karena itulah Mahkamah menekankan pentingnya transparansi pelaksanaan survei demikian. Dengan kata lain, persoalan bahwa suatu survei yang tidak transparan dan/atau keilmiahan metodologinya dipertanyakan tidaklah serta-merta inkonstitusional. Sebab, di satu pihak, hal itu lebih merupakan persoalan akademik sehingga pertanggungjawabannya pun lebih bersifat akademik sehingga jika kaidah akademik tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi maka secara akademik ia akan kehilangan kredibilitasnya dan, konsekuensi logisnya, secara sosiologis ia tidak akan dipercaya. Di sinilah pentingnya lembaga survei atau jajak pendapat secara etik diawasi oleh asosiasi lembaga survei atau jajak pendapat. Di lain pihak, Pasal 449 UU Pemilu telah mengatur secara cukup komprehensif bagaimana partisipasi masyarakat dalam beragam bentuk itu harus dilaksanakan. Pasal 449 UU Pemilu selengkapnya menyatakan:

(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.
(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang.
(3) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mendaftarkan diri kepada KPU paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.
(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi Penyelenggara Pemilu.
(5) Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di Wilayah Indonesia bagian barat.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.

Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 449 ayat (1) UU Pemilu, KPU telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum (PKPU 10/2018). Pasal 28 PKPU 10/2018 menyatakan:

(1) Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilu dilakukan oleh lembaga yang telah terdaftar di KPU.
(2) Lembaga survei yang telah terdaftrar di KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga berbadan hukum Indonesia dan sumber dananya tidak berasal dari luar negeri.
(3) Lembaga Survei atau Jajak Pendapat dan pelaksana Penghitungan Cepat Hasil Pemilu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendaftar ke KPU, dengan menyerahkan dokumen, meliputi:
a. rencana jadwal dan lokasi Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilu;
b. akte pendirian/badan hukum lembaga;
c. susunan kepengurusan lembaga;
d. surat keterangan domisili dari desa atau sebutan lain/kelurahan atau instansi pemerintahan setempat;
e. surat keterangan dari instansi yang berwenang yang menyatakan lembaga pelaksana Survei atau Jajak Pendapat dan Pelaksana Penghitungan Cepat Hasil Pemilu telah bergabung dalam asosiasi lembaga Survei atau Jajak Pendapat;
f. pas foto berwarna pimpinan lembaga, ukuran 4x6 cm (empat kali enam sentimeter) lembar;
g. surat pernyataan bahwa lembaga Survei:
1. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu;
2. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu;
3. bertujuan meningkatkan Partisipasi Masyarakat secara luas;
4. mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar;
5. benar-benar melakukan wawancara dalam pelaksanaan Survei atau Jajak Pendapat;
6. tidak mengubah data lapangan maupun dalam pemrosesan data;
7. menggunakan metode penelitian ilmiah; dan
8. melaporkan metodologi pencuplikan data (sampling), sumber dana, jumlah responden, tanggal dan tempat pelaksanaan Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilu.
(4) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.

Dengan demikian, tidak ada kegiatan survei atau jajak pendapat maupun penghitungan cepat yang lembaga, metodologi, maupun sumber dananya tidak jelas, sebagaimana didalilkan para Pemohon. Bahkan, khusus mengenai kegiatan penghitungan cepat hasil Pemilu, di samping diatur dalam PKPU 10/2018 sebagaimana dikutip di atas, Mahkamah dapat memahami mengapa pembentuk undang-undang merumuskan aturan yang ketat terhadapnya, bahkan memberlakukan ketentuan pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penghitungan cepat hasil Pemilu dimaksud, sebagaimana tertuang dalam Pasal 449 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Pemilu di atas. Menurut Mahkamah, hal itu dikarenakan dampak langsung dari hasil penghitungan cepat dimaksud dalam kaitannya dengan hasil resmi penyelenggara pemilu. Jangankan dalam masyarakat di mana tingkat kedewasaan berdemokrasinya masih berada dalam “proses menjadi” (becoming), dalam masyarakat yang kedewasaan berdemokrasinya sudah matang sekalipun hasil penghitungan cepat akan sangat berpengaruh terhadap psikologi massa yang dapat berkait langsung dengan keamanan, kedamaian, ketertiban, dan kelancaran penyelenggaraan pemilu ketika hasil penghitungan cepat demikian dijadikan acuan pihak-pihak atau kontestan pemilu padahal hal itu belum merupakan hasil resmi dari penyelenggara pemilu. Dampak demikian lebih rendah dalam hal survei atau jajak pendapat karena dilaksanakan sebelum pemilu dan lebih bersifat pemetaan peluang masing-masing kontestan sehingga cukup diatur melalui Peraturan KPU;

b. dalam konteks Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, oleh karena para Pemohon mengaitkan pertentangan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu dengan negara hukum dengan argumentasi bahwa ketiadaan kewajiban lembaga survei atau jajak pendapat mengungkapkan kepada publik sumber dananya, sementara argumentasi demikian telah ternyata tidak benar, sebagaimana telah dipertimbangan pada huruf a di atas maka dengan sendirinya dalil para Pemohon a quo telah kehilangan landasannya;

c. dalam konteks Pasal 22E, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945, di samping Mahkamah tidak menemukan relevansi maupun koherensinya, dalam hal ini pun para Pemohon mendalilkan pertentangan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu dengan mengaitkannya dengan argumentasi tidak adanya kewajiban lembaga survei atau jajak pendapat mengungkapkan kepada publik sumber dananya, sementara argumentasi demikian telah ternyata tidak benar sebagaimana telah dipertimbangkan pada huruf a di atas, dengan sendirinya pula dalil para Pemohon a quo telah kehilangan landasannya.

Berdasarkan seluruh pertimbangan pada angka 2 di atas, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.11] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 05-03-2019

Drs. Martinus Nuroso, M.M., Ketua Forum Perjuangan Pensiunan Bank Negara Indonesia (FPP-BNI)

Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28H ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Dalam Provisi

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya memohon putusan provisi yang pada pokoknya memohon agar Mahkamah memrioritaskan pemeriksaan, menerima, dan mengabulkan permohonan a quo untuk seluruhnya. Terhadap permohonan provisi tersebut, setelah Mahkamah mencermati permohonan putusan provisi a quo, ternyata Pemohon tidak memberikan alasan terhadap permohonan provisi a quo sehingga tidak terdapat pula alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan permohonan tersebut. Oleh karena itu permohonan putusan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Pokok Permohonan

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama Permohonan a quo, telah ternyata bahwa terhadap substansi materi muatan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah beberapa kali dimohonkan pengujian, terakhir diajukan oleh Pemohon yang sama (Drs. Martinus Nuroso, M.M.) dalam perkara Nomor 68/PUU-XVI/2018 dengan dasar pengujian yang sama pula dengan permohonan perkara a quo, yakni Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah konstitusional, artinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pendirian Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut tidak berubah. Putusan dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 dan Nomor 68/PUU-XVI/2018 yang mana kedua putusan Mahkamah ini menguji permohonan pengujian atas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

[3.11.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, antara lain:

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil yang diajukan para Pemohon, Mahkamah menilai pokok permasalahan para Pemohon memang berkaitan dengan keberadaan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, bahkan seolah-olah ditimbulkan oleh rumusan Pasal a quo. Oleh karena itu, Mahkamah terlebih dahulu akan mengutip Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Penjelasannya sebagai berikut:

Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha”.

Penjelasan Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Contoh dari ayat ini adalah:
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka :
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha)
- Rp 2.400.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
___________________________________________________________________________+ Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)”

Berdasarkan uraian mengenai makna “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dicontohkan dalam Penjelasan Pasal a quo, maka kata “diperhitungkan” yang dipersoalkan oleh para Pemohon sesungguhnya telah jelas. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata “diperhitungkan” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Mahkamah berpendapat yang terjadi sesungguhnya adalah persoalan implementasi norma Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sesungguhnya para Pemohon pun mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan penerapan norma sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para Pemohon, di antaranya dalam angka 19 permohonan para Pemohon sebagai berikut:

19. Bahwa kebijakan perusahaan PT. Bank Negara Indonesia, Tbk. ataupun kebijakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk tersebut juga tidak sesuai dengan yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3) tersebut, sehingga para Pemohon telah menerima dampak kerugian materil atas tafsiran rumus perhitungan uang pesangon tersebut. Namun demikian, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk dan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, mengklaim telah menerapkan Pasal 167 ayat (3) secara benar. Dengan uraian tersebut, dalil demikian menunjukkan dengan jelas kepada Mahkamah bahwa para Pemohon sendiri sejak awal telah memahami bahwa permasalahan hukum yang dihadapi para Pemohon bukan karena multitafsir ketentuan a quo namun karena tidak dilaksanakannya ketentuan a quo oleh perusahaan perbankan dimana para Pemohon pernah bekerja, sehingga para Pemohon menegaskan dalam bagian lain posita permohonannya angka 24 sebagai berikut:

24. Bahwa dapat disimpulkan, frasa “diperhitungkan” tersebut dalam praktiknya telah menyebabkan multi-interpretasi yang salah satunya diartikan oleh kalangan pengusaha khususnya dikalangan perbankan dengan pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Dampaknya, ribuan pekerja termasuk Para Pemohon telah tidak dibayarkan uang pesangonnya atau uang pesangonnya mengalami kekurangan yang sangat signifikan bahkan sebagian dikalkulasikan kurang atau minus atau dengan kata lain menyebabkan pensiunan justru berutang kepada Perusahaan. Sebaliknya, Para Pemohon berpendapat bahwa frasa “diperhitungkan” harus diterapkan sebagaimana penjelasan pasalnya yang berarti tidak mengurangi uang pesangon pekerja atau total hasil kalkulasi dari perhitungan uang pesangon dan manfaat pensiun yang diterima selalu bernilai positif atau lebih besar dari total nilai pesangon 2 x PMTK (uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja dan uang pesangon yang perhitungannya didasari dengan pencapaian masa kerja serta besaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).

[3.13] Menimbang bahwa meskipun persoalan yang dimohonkan para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan norma, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pihak-pihak yang berkenaan langsung dengan pelaksanaan Pasal a quo wajib untuk mengimplementasikan norma yang terkandung dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal a quo.

[3.11.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XVI/2018, bertanggal 25 Oktober 2018, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan kembali pertimbangan dalam Putusan Nomor 46/PUU-XVI/2018, Paragraf [3.12] dan [3.13], disertai pertimbangan lain yaitu:

[3.11] Menimbang bahwa meskipun dalam Putusan Nomor 46/PUU- XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, substansi yang dimohonkan pengujian adalah kata “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, namun Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal yang sama dan dasar pengujian yang juga sama yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, namun terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan Pemohon tetap dapat diperiksa oleh Mahkamah. Setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan Pemohon, di dalam dalil-dalilnya Pemohon lebih mempersoalkan perihal tidak sinkronnya antara ketentuan Pasal 167 ayat (3) dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, di dalam petitum permohonannya, Pemohon bukan memohon kepada Mahkamah untuk memutus perihal ketidaksinkronan tersebut melainkan menghendaki agar 1) dalam provisi, memohon kepada Mahkamah untuk memberlakukan surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan dan 2) dalam pokok perkara, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan belum sejalan dengan UUD 1945 dan perlu disempurnakan.

[3.12] Menimbang bahwa dengan uraian sebagaimana tertuang dalam Paragraf [3.11] di atas, maka menjadi tidak jelas apa sesungguhnya yang dimohonkan oleh Pemohon. Jika yang dimohonkan adalah berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] sehingga tidak ada relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian tidak ada lagi yang perlu disempurnakan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon. Sementara itu jika yang dimohonkan oleh Pemohon adalah memberlakukan surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan, permohonan demikian adalah tidak lazim. Selain itu jika permohonan pemberlakuan surut demikian dikabulkan, hal itu bertentangan dengan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan putusan-putusan di atas, Mahkamah dalam Sidang Pendahuluan bertanggal 18 Desember 2018 telah menasihatkan kepada Pemohon agar menguraikan dengan jelas alasan yang berbeda dalam mengajukan kembali permohonan pengujian norma Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/PMK/2005). Berkenaan dengan nasihat dimaksud, Pemohon dalam perbaikan permohonannya menambah dasar pengujian yaitu, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Maka, sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan PMK 06/PMK/2005 Mahkamah dapat memeriksa kembali permohonan a quo. Namun demikian, setelah Mahkamah memeriksa secara cermat dan saksama permohonan Pemohon, telah ternyata pula bahwa hal yang oleh Pemohon dianggap sebagai perbedaan dengan permohonan-permohonan pengujian sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah adalah hanya terletak pada penambahan dasar pengujiannya saja, tetapi secara substantif Pemohon tidak menguraikan secara jelas alasan-alasan yang menunjukkan perbedaan dimaksud. Oleh karena itu, secara substansial, tidak terdapat alasan konstitusional baru yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya terhadap konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang telah diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas. Namun demikian, untuk memperjelas maksud Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya, Mahkamah penting menegaskan bahwa frasa diperhitungkan yang dimaksud dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah sesuai dengan penjelasan pasal dimaksud karena yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. Dengan demikian tidak terdapat pertentangan antara Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan penjelasan pasal dimaksud. Lagipula, jika perhitungan besaran pesangon, termasuk juga premi/iuran yang dibayar oleh pekerja/buruh, maka nilai perbandingan antara uang pensiun dengan uang pesangon justru akan lebih kecil, sehingga pensiunan tidak akan mendapatkan selisih/kompensasi. Terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini jika akan diatur lain, antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada prinsipnya undang-undang memperbolehkan, sepanjang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 167 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan walaupun dikaitkan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tetap tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat alasan konstitusional baru dalam permohonan Pemohon a quo dibandingkan dengan permohonan-permohonan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 46/PUU- XVI/2018 dan Putusan Nomor 68/PUU-XVI/2018, sehingga permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-02-2019

Yohanes Mahatma Pambudianto, S.H., Hermawanto, S.H., M.H., dan Herwanto, S.H., M.H., dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Viktor Tandiasa, SH, M.H, dan kawan-kawan dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Y & V Law Office

Pasal 16 UU 18/2003

1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 16 UU 18/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan maksud yang terkandung dalam pengertian “iktikad baik”. Secara gramatikal, menurut Black’s Law Dictionary, “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense”. Sementara itu, secara doktrinal iktikad baik merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain. Apabila diletakkan dalam konteks hukum perjanjian, misalnya iktikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjiannya maupun tidak merugikan kepentingan umum. Artinya, iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan kepatutan dan kepantasan. Dengan demikian, iktikad baik adalah pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus konkret yang diajukan ke pengadilan. Adapun dalam konteks hukum pidana, “iktikad baik” secara universal bukanlah suatu unsur delik yang dikenal dalam tindak pidana.

[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan hak imunitas Advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 tidak memberikan jaminan, perlindungan serta kepastian hukum yang adil, perlakuan diskrimintatif, tidak melindungi hak pribadi, kehormatan dan martabat bagi para Pemohon. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa Advokat merupakan salah satu bagian dari penegak hukum yang memiliki tugas memberikan bantuan hukum kepada masyarakat (klien) yang mengalami masalah hukum, sehingga dengan demikian keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Secara prinsipil, Advokat adalah officium nobile artinya sebuah profesi yang terhormat, yakni seseorang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang dapat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan klien. Dalam kerangka pembelaan hukum, Advokat diberikan keistimewaan berupa hak imunitas oleh undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien. Bahkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, bertanggal 14 Mei 2014, imunitas tersebut berlaku baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sehingga, terhadap Pasal 16 UU 18/2003 sejak tanggal 14 Mei 2014 harus ditafsirkan sesuai dengan putusan Mahkamah dimaksud.

Hak imunitas Advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 merupakan ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut mengenai kebebasan Advokat yang diatur sebelumnya dalam Pasal 15 UU 18/2003, yang menyatakan, “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, bertanggal 14 Mei 2014, menyatakan, “Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Pertimbangan Mahkamah yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 sangat jelas menekankan bahwa Advokat dijamin serta dilindungi kebebasannya dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya diperluas tidak hanya kebebasan itu berlaku di dalam persidangan tetapi termasuk pula di luar persidangan.

Bila menggunakan penafsiran sistematis dan mengacu kepada Pasal 6 dan Pasal 15 UU 18/2003 maka jika yang menjadi batasan iktikad baik Advokat dalam menjalankan profesinya adalah tidak boleh bertentangan dengan kode etik, peraturan perundang-undangan, sumpah janji Advokat, serta nilai-nilai kelayakan dan kepatutan yang ada dimasyarakat. Apabila tindakan Advokat bertentangan dengan kode etik, peraturan perundang-undangan, sumpah atau janji Advokat serta nilai-nilai kelayakan dan kepatutan, maka Advokat tersebut telah tidak beriktikad baik.

[3.13.2] Bahwa berdasarkan uraian dalam Paragraf [3.13.1] di atas, hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum. Lebih lanjut, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Nomor 7/PUU-XVI/2018 dinyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi”. Maka dengan demikian kebebasan atau hak imunitas profesi Advokat saat melaksanakan tugas pembelaan hukum kepada kliennya harus didasarkan kepada itikad baik yakni berpegang pada Kode Etik dan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain kebebasan Advokat ketika melaksanakan tugas profesinya tersebut diatur pada ranah etik dan ranah hukum sehingga seorang Advokat pun harus tunduk pada etika profesi dan mematuhi hukum.

[3.13.3] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang beranggapan hanya DKOA yang berhak menilai iktikad baik dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat, Mahkamah berpendapat, Advokat dalam menjalankan tugas profesinya harus mematuhi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, persoalan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah iktikad baik yang dimaksud oleh para Pemohon apakah iktikad baik tersebut termasuk dalam hal pelanggaran kode etik atau perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Kode etik merupakan prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara sistematis. Kode Etik Advokat pada dasarnya merupakan sebuah etika atau norma-norma dasar yang menjadi acuan bagi seorang Advokat untuk bertindak dalam menjalankan tugas dalam kesehariannya. Sehingga iktikad baik yang dimaksud dalam kode etik advokat adalah berkaitan dengan niat baik yang dilakukan oleh Advokat ketika melakukan tugas profesinya. Sebagai contoh, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UU 18/2003 dan Pasal 4 huruf h Kode Etik Profesi Advokat dimana seorang Advokat tidak boleh menggunakan rahasia kliennya untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga, dan jika diketahui terdapat Advokat yang melanggar kode etik Advokat tersebut, maka berdasarkan Pasal 26 ayat (4) UU 18/2003 merupakan kewenangan DKOA untuk melakukan pengawasan, dan berdasarkan Pasal 26 ayat (5) UU 18/2003 DKOA berhak memeriksa serta mengadili pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara DKOA. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 26 ayat (6) UU 18/2003 dinyatakan, “Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana”. Dengan demikian telah jelas bahwa kewenangan DKOA hanya berkait dengan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi Advokat (Kode Etik Profesi Advokat), sehingga untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukum dalam kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana maupun perdata. Jika ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 diubah seperti rumusan petitum permohonan para Pemohon maka akan terjadi pertentangan dengan Pasal 26 UU 18/2003.
[3.13.4] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan proses hukum bagi Advokat yang diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum atau setidaknya akan diperiksa oleh Kepolisian harus menunggu hasil pemeriksaan DKOA yang menurut para Pemohon terdapat perlakuan berbeda dengan penegak hukum lainnya.

Berkaitan dengan dalil para Pemohon terkait hal tersebut, Mahkamah perlu membandingkan dengan profesi Jaksa ketika diduga melakukan tindak pelanggaran pidana maupun perbuatan melawan hukum perdata. Jaksa merupakan komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum dan dalam menjalankan profesinya memiliki kode etik profesi yang dalam institusi Kejaksaan dikenal dengan Kode Perilaku Jaksa (vide Peraturan Jaksa Agung Nomor PER- 014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, selanjutnya disebut Kode Perilaku Jaksa). Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) dinyatakan:

(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan sendirinya yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

Pasal 15 UU Kejaksaan tersebut telah menjelaskan bahwa ketika seorang Jaksa diduga telah melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum secara perdata maka dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Dalam hal ini bukanlah berarti proses hukum terhadap Jaksa tersebut terhenti dan menunggu izin dari Jaksa Agung sebagaimana disebutkan dalam permohonan para Pemohon. Lebih lanjut Pasal 12 Kode Perilaku Jaksa menyatakan, “Tindakan administratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar”, yang artinya proses hukum dapat berjalan secara bersamaan dengan proses pemeriksaan etik di Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana atau perdata dari seorang Jaksa merupakan dua hal yang berbeda untuk dinilai dan tidak harus menunggu salah satu proses pemeriksaan dari keduanya selesai lebih dulu.


Menurut Mahkamah, dalam konteks demikian, dalam posisi sebagai sesama penegak hukum, maka penanganan pelanggaran kode etik yang berlaku terhadap Jaksa seharusnya tidak berbeda dengan penanganan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat. Artinya, jika seorang Advokat dalam menjalankan profesinya diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum maka proses penegakan etik yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh DKOA tidak menghentikan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penegak hukum karena pemeriksaan yang dilakukan oleh DKOA tersebut merupakan proses penegakan etik yang berkait dengan pelaksanaan profesi. Adapun proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana yang diduga dilakukan oleh seorang advokat yang tetap harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dalam hal adanya dugaan perbuatan advokat yang merugikan secara keperdataan pihak lain termasuk dalam hal ini prinsipal (klien), maka penilaian iktikad baik menjadi kewenangan hakim perdata yang mengadili perkara yang bersangkutan.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-02-2019

Wahyu Nugroho, S.HI., M.H., Deri Hafizh S.H., M.M., M.H., dan Rudi Heryandi Nasution, S.H.

Pasal 16 UU 18/2003

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28G ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap pengujian Pasal 16 UU 18/2003 terhadap frasa “Itikad Baik” dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa meskipun para Pemohon mendalilkan alasan permohonan Pemohon dan dasar pengujiannya dalam permohonan a quo berbeda dengan perkara Nomor 26/PUU-XI/2013, namun sesungguhnya substansi permohonan para Pemohon baik semangat maupun alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan adalah sama dengan perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018, dan terhadap hal tersebut Mahkamah telah menjatuhkan putusannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018, bertanggal 27 Februari 2019, yaitu bahwa menurut Pemohon, advokat dalam melaksanakan tugasnya baik dalam persidangan maupun di luar persidangan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana sebelum terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh DKOA. Terhadap substansi permohonan demikian Mahkamah telah menjatuhkan putusannya yang diucapkan sebelumnya dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan para Pemohon dalam perkara dimaksud dengan pertimbangan antara lain:

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan maksud yang terkandung dalam pengertian “iktikad baik”. Secara gramatikal, menurut Black’s Law Dictionary, “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense”. Sementara itu, secara doktrinal iktikad baik merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain. Apabila diletakkan dalam konteks hukum perjanjian, misalnya iktikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjianya maupun tidak merugikan kepentingan umum. Artinya, iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan kepatutan dan kepantasan. Dengan demikian, iktikad baik adalah pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa- peristiwa atau kasus-kasus konkret yang diajukan ke pengadilan. Adapun dalam konteks hukum pidana, “iktikad baik” secara universal bukanlah suatu unsur delik yang dikenal dalam tindak pidana.

[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan hak imunitas Advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 a quo tidak memberikan jaminan, perlindungan serta kepastian hukum yang adil, perlakuan diskrimintatif, tidak melindungi hak pribadi, kehormatan dan martabat bagi para Pemohon. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa Advokat merupakan salah satu bagian dari penegak hukum yang memiliki tugas memberikan bantuan hukum kepada masyarakat (klien) yang mengalami masalah hukum, sehingga dengan demikian keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Secara prinsipil, Advokat adalah officium nobile artinya sebuah profesi yang terhormat, yakni seseorang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang dapat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan klien. Dalam kerangka pembelaan hukum, Advokat diberikan keistimewaan berupa hak imunitas oleh undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 yang menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien. Bahkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, bertanggal 14 Mei 2014, imunitas tersebut berlaku baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sehingga, terhadap Pasal 16 UU 18/2003 sejak tanggal 14 Mei 2014 harus ditafsirkan sesuai dengan putusan Mahkamah dimaksud. Hak imunitas Advokat yang diatur dalam Pasal 16 UU 18/2003 merupakan ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut mengenai kebebasan Advokat yang diatur sebelumnya dalam Pasal 15 UU 18/2003, yang menyatakan bahwa “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU- XI/2013, tanggal 14 Mei 2014, menyatakan “Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Pertimbangan Mahkamah yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 sangat jelas menekankan bahwa Advokat dijamin serta dilindungi kebebasannya dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya diperluas tidak hanya kebebasan itu berlaku di dalam persidangan tetapi termasuk pula di luar persidangan. Bila menggunakan penafsiran sistematis dan mengacu kepada Pasal 6 dan Pasal 15 UU 18/2003 maka jika yang menjadi batasan iktikad baik Advokat dalam menjalankan profesinya adalah tidak boleh bertentangan dengan kode etik, peraturan perundang-undangan, sumpah janji Advokat, serta nilai-nilai kelayakan dan ketatutan yang ada di masyarakat. Apabila tindakan Advokat bertentangan dengan kode etik, peraturan perundang-undangan, sumpah atau janji Advokat serta nilai-nilai kelayakan dan kepatutan, maka Advokat tersebut telah tidak beriktikad baik.

[3.13.2] Bahwa berdasarkan uraian dalam paragraf [3.13.1] di atas, hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum. Lebih lanjut, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Nomor 7/PUU-XVI/2018 dinyatakan, “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi”. Maka dengan demikian kebebasan atau hak imunitas profesi Advokat saat melaksanakan tugas pembelaan hukum kepada kliennya harus didasarkan kepada itikad baik yakni berpegang pada Kode Etik dan Peraturan Perundang-undangan. Dengan kata lain kebebasan Advokat ketika melaksanakan tugas profesinya tersebut diatur pada ranah etik dan ranah hukum sehingga seorang Advokat pun harus tunduk pada etika profesi dan mematuhi hukum.

[3.13.3] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang beranggapan hanya DKOA yang berhak menilai iktikad baik dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat, Mahkamah berpendapat, Advokat dalam menjalankan tugas profesinya harus mematuhi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, persoalan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah iktikad baik yang dimaksud oleh para Pemohon apakah iktikad baik tersebut termasuk dalam hal pelanggaran kode etik atau perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Kode etik merupakan prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara sistematis. Kode Etik Advokat pada dasarnya merupakan sebuah etika atau norma-norma dasar yang menjadi acuan bagi seorang Advokat untuk bertindak dalam menjalankan tugas dalam kesehariannya. Sehingga iktikad baik yang dimaksud dalam kode etik advokat adalah berkaitan dengan niat baik yang dilakukan oleh Advokat ketika melakukan tugas profesinya. Sebagai contoh, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UU 18/2003 dan Pasal 4 huruf h Kode Etik Profesi Advokat dimana seorang Advokat tidak boleh menggunakan rahasia kliennya untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga, dan jika diketahui terdapat Advokat yang melanggar kode etik Advokat tersebut, maka berdasarkan Pasal 26 ayat (4) UU 18/2003 merupakan kewenangan DKOA untuk melakukan pengawasan, dan berdasarkan Pasal 26 ayat (5) UU 18/2003 DKOA berhak memeriksa serta mengadili pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara DKOA. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 26 ayat (6) UU 18/2003 dinyatakan, “Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana”. Dengan demikian telah jelas bahwa kewenangan DKOA hanya berkait dengan nilai-nilai moral yang melekat pada profesi Advokat (Kode Etik Profesi Advokat), sehingga untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukum dalam kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana maupun perdata. Jika ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 diubah seperti rumusan petitum permohonan para Pemohon maka akan terjadi pertentangan dengan Pasal 26 UU 18/2003.

[3.13.4] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan proses hukum bagi Advokat yang diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum atau setidaknya akan diperiksa oleh Kepolisian harus menunggu hasil pemeriksaan DKOA yang menurut para Pemohon terdapat perlakuan berbeda dengan penegak hukum lainnya. Berkaitan dengan dalil para Pemohon terkait hal tersebut, Mahkamah perlu membandingkan dengan profesi Jaksa ketika diduga melakukan tindak pelanggaran pidana maupun perbuatan melawan hukum perdata. Jaksa merupakan komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum dan dalam menjalankan profesinya memiliki kode etik profesi yang dalam institusi Kejaksaan dikenal dengan Kode Perilaku Jaksa (vide Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-014/A/JA/ 11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, selanjutnya disebut Kode Perilaku Jaksa). Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU Kejaksaan) dinyatakan:

(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan sendirinya yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

Pasal 15 UU Kejaksaan tersebut telah menjelaskan bahwa ketika seorang Jaksa diduga telah melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum secara perdata maka dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Dalam hal ini bukanlah berarti proses hukum terhadap Jaksa tersebut terhenti dan menunggu izin dari Jaksa Agung sebagaimana disebutkan dalam permohonan para Pemohon. Lebih lanjut Pasal 12 Kode Perilaku Jaksa menyatakan, “Tindakan administratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila atas perbuatan tersebut terdapat ketentuan yang dilanggar”, yang artinya proses hukum dapat berjalan secara bersamaan dengan proses pemeriksaan etik di Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana atau perdata dari seorang Jaksa merupakan dua hal yang berbeda untuk dinilai dan tidak harus menunggu salah satu proses pemeriksaan dari keduanya selesai lebih dulu.

Menurut Mahkamah, dalam konteks demikian, dalam posisi sebagai sesama penegak hukum, maka penanganan pelanggaran kode etik yang berlaku terhadap Jaksa seharusnya tidak berbeda dengan penanganan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat. Artinya, jika seorang Advokat dalam menjalankan profesinya diduga melakukan pelanggaran pidana atau perbuatan melawan hukum maka proses penegakan etik yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh DKOA tidak menghentikan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penegak hukum karena pemeriksaan yang dilakukan oleh DKOA tersebut merupakan proses penegakan etik yang berkait dengan pelaksanaan profesi. Sedangkan proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana yang diduga dilakukan oleh seorang advokat yang tetap harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dalam hal adanya dugaan perbuatan advokat yang merugikan secara keperdataan pihak lain termasuk dalam hal ini prinsipal (klien), maka penilaian iktikad baik menjadi kewenangan hakim perdata yang mengadili perkara yang bersangkutan.

[3.14] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya dasar permohonan para Pemohon tidak relevan atau tidak mempunyai landasan argumentasi yang dapat dibenarkan oleh Mahkamah, hal itu tidak menghilangkan kewenangan DKOA untuk melakukan pemeriksaan anggotanya (advokat) yang diduga telah melakukan tindak pidana maupun perbuatan melawan hukum lainnya yang hasilnya dapat dijadikan bahan pembelaan di dalam proses hukum yang dihadapi oleh advokat yang bersangkutan, sepanjang hal tersebut tidak bersifat mengikat bagi penegak hukum yang menangani perkara yang berkaitan dengan advokat tersebut.

[3.11.2] Bahwa dengan mendasarkan pada pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 52/PUU-XVI/2018 di atas yang telah diucapkan sebelumnya, dan oleh karena isu konstitusional terhadap norma pasal yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon beserta argumentasi atau dalil yang dijadikan dasar permohonan para Pemohon secara substansial adalah sama, maka pertimbangan hukum dalam perkara tersebut berlaku pula terhadap pertimbangan hukum dalam perkara a quo.

[3.11.3] Bahwa mengenai dasar pengujian yang berbeda dengan perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018, yaitu Pasal 28G ayat (2) UUD 1945, meskipun secara formal dijadikan salah satu dasar pengujian oleh para Pemohon yang kemudian membedakan dengan permohonan-permohonan sebelumnya, namun substansi argumentasi para Pemohon tidak ada kaitan sama sekali dengan Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 dimaksud. Menurut Mahkamah penambahan dasar pengujian yang diajukan oleh para Pemohon hanya dimaksudkan semata-mata untuk memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005, dengan tujuan agar permohonan a quo dapat diajukan kembali.

Berdasarkan pertimbangan pada Paragraf [3.11.2] dan Paragraf [3.11.3] di atas, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018 mutatis mutandis berlaku terhadap pokok permohonan para Pemohon a quo sehingga pokok permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-02-2019

Happy Hayati Helmi, S.H. dan Rayna Zafira, S.I.Kom. yang diwakili oleh Dr. A. Irmanputra Sidin, S.H., M.H., Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., Hermawanto, S.H., M.H., Kurniawan, S.H., M.H., dan Alungsyah, S.H, para Advokat dan Konsultan Hukum pada Firma Hukum Sidin Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates, Advocates & Legal Consultants

34 ayat (2) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Terhadap dalil pemohon :
Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 sepanjang frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah ketentuan mengenai “pendidikan” dalam Konstitusi sudah jelas merupakan tanggung jawab negara sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, khusus Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya, secara konstitusional negara menjamin bahwa pemerintah mempunyai kewajiban menyelenggarakan pendidikan dan membiayai pendidikan warga negara sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu tujuan negara, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Apalagi dalam Permohonannya, para Pemohon pun menyadari bahwa tidak ada pertentangan antara frasa “jenjang pendidikan dasar” dalam Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 dengan UUD 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai kewajiban mengikuti pendidikan dasar dan negara [sic!] wajib membiayainya (vide Permohonan hlm. 16). Berkaitan dengan hal ini substansi Pasal 31 UUD 1945 harus dipahami secara utuh, yaitu:

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang- undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Terkait dengan hal di atas, UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Apabila dihubungkan dengan perkembangan pengelompokan hak asasi manusia, hak yang dimaksudkan dalam ketentuan UUD 1945 tersebut merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) sebagaimana yang ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Artinya, sebelum Kovenan Internasional ini disahkan, UUD 1945 telah terlebih dahulu mengakomodasi kebutuhan mengatur hak atas pendidikan secara lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Tujuannya adalah agar dapat lebih menjamin pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak atas pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara (vide Pasal 28I UUD 1945).

Berkenaan dengan sifat pemenuhan hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak Ekosob pada prinsipnya berbeda dengan sifat pemenuhan hak sipil dan politik (Sipol) yang bersifat segera (promptly) dengan mengurangi sedemikian rupa campur tangan negara dalam pelaksanaan hak tersebut. Sementara itu, terkait dengan sifat pemenuhan hak Ekosob dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi kemampuan negara karena pemenuhan hak Ekosob senantiasa berkaitan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran. Dengan demikian, diperlukan campur tangan aktif dari negara. Oleh karenanya, tidak mungkin negara, in casu pemerintah, melepaskan tanggung jawabnya sebagaimana didalilkan para Pemohon. Terlebih lagi, Pasal 28I UUD 1945 telah menegaskan ihwal pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara.

Terkait dengan rumusan norma frasa Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 yang dimohonkan pengujiannya yang menggunakan kata “minimal”, maka jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya adalah “sedikit-dikitnya”; “sekurang-kurangnya”. Artinya, meskipun menurut Pasal 17 ayat (2) UU 20/2003 jenjang pendidikan dasar meliputi sekolah dasar atau bentuk lainnya yang sederajat serta sekolah menengah pertama atau bentuk lainnya yang sederajat, frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” tidak dapat diartikan bahwa pemerintah hanya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan hanya sebatas jenjang pendidikan dasar. Semangat Konstitusi sesuai dengan tujuan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesungguhnya adalah memberikan pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga negara semaksimal mungkin. Artinya, jika di kemudian hari kondisi kemampuan keuangan negara memungkinkan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tidak hanya sampai pada jenjang pendidikan menengah sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon melainkan lebih dari itu, hal itulah yang sesungguhnya dicita-citakan oleh UUD 1945. Namun, sepanjang menyangkut jenjang pendidikan dasar, dalam keadaan apapun negara wajib memenuhinya. Dengan demikian, tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan tidak berhenti hanya pada jenjang pendidikan dasar. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu negara harus berupaya keras untuk memenuhi hak atas pendidikan kepada warga negaranya lebih baik dan lebih tinggi dari sekadar jenjang pendidikan dasar.

Dengan adanya rumusan frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” [vide Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003] sesungguhnya bertujuan untuk memperluas jangkauan negara, in casu pemerintah, untuk menyelenggarakan wajib belajar lebih dari sekadar jenjang pendidikan dasar. Apabila ditelusuri kebijakan beberapa pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBD-nya sehingga menjangkau lebih tinggi dari sekadar pendidikan dasar. Bahkan daerah tertentu mengalokasikan anggaran pendidikannya sampai pada jenjang pendidikan tinggi. Kebijakan beberapa daerah tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah. Salah satu daerah yang telah mengalokasikan anggaran pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan tinggi adalah Kabupaten Nias Selatan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Nias Selatan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pembebasan Biaya Pendidikan. Daerah lainnya yang juga mengalokasikan anggarannya hingga ke jenjang pendidikan tinggi adalah Provinsi Papua sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Dengan mengingat bahwa pemenuhan hak atas pendidikan sangat tergantung pada kondisi kemampuan negara, termasuk daerah, maka untuk pengaturan kebijakan terbuka dalam bentuk Peraturan Daerah ini Mahkamah pun telah menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XII/2014 agar memperhatikan asas dapat dilaksanakan suatu peraturan perundangundangan berdasarkan Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, jangan sampai peraturan daerahnya dibentuk tetapi dalam kenyataannya tidak dapat dilaksanakan karena ketidaktersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran.

Oleh karena itu, sebagai upaya nyata mendorong daerah-daerah untuk menguatkan penyelenggaraan urusan pendidikan yang merupakan urusan wajib daerah, dengan mendasarkan pada pengaturan anggaran pendidikan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka dalam UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk UU APBN terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang APBN Tahun Anggaran 2019 yang telah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat Konstitusi dimaksud. Demikian juga halnya dengan APBD telah dialokasikan pula mandatory spending untuk urusan pendidikan dan urusan kesehatan. Dengan demikian, negara tidak lepas tanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan sebagaimana anggapan para Pemohon, kecuali jika negara tidak menyelenggarakan pendidikan dasar serta tidak membiayai penyelengaraan pendidikan dasar dimaksud sebagaimana amanat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, tidak benar dalil para Pemohon bahwa norma yang dimohonkan pengujian menyebabkan lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan di atas jenjang pendidikan dasar sehingga hak atas pendidikan warga negara menjadi terabaikan. Oleh karena itu, tidak relevan dalil para Pemohon yang mengaitkan ketentuan norma a quo dengan hak atas kelangsungan hidup dan berkembangnya anak serta persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003 inkonstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang, sebagaimana telah ternyata dari pertimbangan Mahkamah di atas, bahwa pokok Permohonan a quo adalah berkenaan dengan hak konstitusional atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 maka, dalam hubungannya dengan Permohonan a quo, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam menentukan kedudukan hukum para Pemohon. Pertama, apakah dalam menilai ada atau tidaknya kerugian hak konstitusional yang berkait dengan pendidikan dapat dilakukan dengan bertolak dari argumentasi parsial tanpa mempertimbangkan keseluruhan subtansi Pasal 31 UUD 1945? Pertanyaan demikian timbul sebab para Pemohon dalam Permohonannya berusaha mengesampingkan atau mengeluarkan keberadaan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dari konstruksi argumentasinya baik dalam menjelaskan anggapan perihal kerugian hak konstitusional yang diderita sebagai akibat dari berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian maupun dalam membangun argumentasi perihal pertentangan norma undangundang yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Jawaban terhadap pertanyaan ini, sebagaimana terlihat dari pertimbangan Mahkamah di atas, telah jelas yaitu bahwa Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 tidak dapat dipahami secara terpisah, termasuk (atau bahkan lebih-lebih) dalam membangun argumentasi perihal adanya anggapan kerugian hak konstitusional.

Kedua, oleh karena hak konstitusional itu melekat dalam diri pribadi seorang warga negara (dalam hal pemohon adalah perseorangan warga negara, sebagaimana halnya Permohonan a quo) maka pertanyaannya, apakah dalam mempertahankan hak demikian boleh diwakilkan (dalam pengertian bukan “mewakilkan” dalam konteks memberi kuasa hukum)? Pertanyaan demikian timbul karena ternyata yang diperjuangkan dalam permohonan a quo adalah hak konstitusional anak, bahkan anak yang masih berada dalam kandungan, sehingga secara hukum belum mampu memperjuangkan sendiri hak-hak konstitusionalnya.

Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia hingga saat ini, in casu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), bagi seorang anak yang belum cakap bertindak ketentuan Pasal 2 KUH Perdata menyatakan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada”. Sementara itu terhadap anak yang belum dewasa (berusia 2 tahun) sekalipun menurut beberapa ketentuan peraturan perundangundangan batas usia dewasa tidak seragam namun persoalannya bukan terletak pada usia melainkan pada kecakapan bertindak secara hukum. Oleh karenanya menurut Mahkamah para Pemohon dalam permohonan a quo yang bertindak mewakili anaknya secara hukum dapat dibenarkan. Dengan kata lain, secara hukum, ia memiliki persona standi in judicio untuk mewakili kepentingan anaknya, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal itu juga berlaku terhadap ayah yang sah sepanjang tidak dicabut haknya secara hukum sebagai orang tua, atau wali atau pengampu yang sah secara hukum.

Namun dalam konteks permohonan a quo apakah hal itu juga berlaku dalam mempertahankan hak konstitusional yang secara pribadi melekat dalam diri seorang warga negara? Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa hal itu juga berlaku dalam memperjuangkan atau mempertahankan hak konstitusional seorang anak. Sebab, jika konstruksi penalaran demikian tidak diterima, artinya orang tua dari seorang anak tidak diterima kedudukan hukumnya untuk mewakili kepentingan seorang anak yang belum dewasa, maka dalam kasus a quo tidak akan ada pihak yang absah mewakili kepentingan anak. Konsekuensi logisnya, dalam kasus a quo, jika ternyata terjadi pelanggaran hak konstitusional seorang anak maka tidak akan ada satu pihak yang secara hukum dianggap absah bertindak untuk dan atas nama anak dimaksud. Dengan kata lain, jika penalaran yang diuraikan terakhir demikian diikuti, berarti Mahkamah membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional seorang anak semata-mata karena tidak adanya pihak yang dapat diterima kedudukan hukumnya untuk bertindak mewakili anak yang bersangkutan. Penalaran demikian bertentangan dengan semangat Konstitusi yang hendak menjamin dapat dinikmatinya hak-hak konstitusional setiap warga negara.



Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang kedudukan hukum di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, telah ternyata para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Namun dalam pokok perkara dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-02-2019

Ester Fransisca Nuban, diwakili oleh kuasa hukumnya Marthen Boiliu, SH dari Kantor Hukum Marthen Boiliu, SH & Partners Law Office

Pasal 168 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 168 ayat (1) terhadap frasa “dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri” dan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur perihal perhitungan pesangon secara umum yang menjadi rujukan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja karena alasan-alasan yang telah ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak hanya berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja karena mangkir dari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pesangon dimaksud merupakan bagian dari hak pekerja/buruh serta kewajiban pengusaha untuk memenuhinya sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Penghitungan terhadap pesangon dalam ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menjadi dasar penentuan paling sedikit pemberian pesangon yang tidak selalu sama dalam hal terjadi alasan pemutusan hubungan kerja. Sementara itu, ketentuan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai konsekuensi hak-hak yang diterima oleh karyawan yang mangkir dari kerja dan besarnya hitungan pesangon yang diterima oleh karyawan apabila seorang karyawan diberhentikan kerja dari sebuah perusahaan karena mangkir kerja.

Namun, faktanya status Pemohon pada saat ini adalah karyawan yang masih berkerja di PT AEA meskipun Pemohon sedang mendapat Surat Peringatan karena mangkirnya Pemohon dari tempat bekerja. Adanya Surat Peringatan karena mangkir kerja tersebut adalah sesuatu yang wajar berlaku dalam hubungan kerja dalam rangka menegakkan kedisiplinan dalam bekerja. Dari fakta tersebut jelas Pemohon bukanlah seseorang yang sedang mengalami kerugian karena diberhentikan kerja dan akan mendapatkan pesangon dari tempat Pemohon bekerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pemohon hanya sedang mendapatkan surat peringatan karena mangkirnya Pemohon dari tempat kerja meskipun Pemohon tidak mau menandatangai surat peringatan tersebut karena Pemohon mengkhawatirkan kejadian selanjutnya yang akan terjadi pada diri Pemohon andaikata Pemohon mengalami pemutusan hubungan kerja oleh Perusahaan. Padahal kejadian tersebut belumlah dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa syarat adanya kerugian “potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi. Sebab, Pemohon masih berkerja di PT AEA. Dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-02-2019

Drs. Martinus Nuroso, M.M., Ketua Forum Perjuangan Pensiunan Bank Negara Indonesia (FPP-BNI)

Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28H ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya memohon putusan provisi yang pada pokoknya memohon agar Mahkamah memrioritaskan pemeriksaan, menerima, dan mengabulkan permohonan a quo untuk seluruhnya. Terhadap permohonan provisi tersebut, setelah Mahkamah mencermati permohonan putusan provisi a quo, ternyata Pemohon tidak memberikan alasan terhadap permohonan provisi a quo sehingga tidak terdapat pula alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan permohonan tersebut. Oleh karena itu permohonan putusan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Pokok Permohonan

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama Permohonan a quo, telah ternyata bahwa terhadap substansi materi muatan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah beberapa kali dimohonkan pengujian, terakhir diajukan oleh Pemohon yang sama (Drs. Martinus Nuroso, M.M.) dalam perkara Nomor 68/PUU-XVI/2018 dengan dasar pengujian yang sama pula dengan permohonan perkara a quo, yakni Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah konstitusional, artinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pendirian Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut tidak berubah. Putusan dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 dan Nomor 68/PUU-XVI/2018 yang mana kedua putusan Mahkamah ini menguji permohonan pengujian atas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

[3.11.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, antara lain:

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil yang diajukan para Pemohon, Mahkamah menilai pokok permasalahan para Pemohon memang berkaitan dengan keberadaan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, bahkan seolah-olah ditimbulkan oleh rumusan Pasal a quo. Oleh karena itu, Mahkamah terlebih dahulu akan mengutip Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Penjelasannya sebagai berikut:

Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha”.

Penjelasan Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Contoh dari ayat ini adalah:
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka :
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha)
- Rp 2.400.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
___________________________________________________________________________+ Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)”

Berdasarkan uraian mengenai makna “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dicontohkan dalam Penjelasan Pasal a quo, maka kata “diperhitungkan” yang dipersoalkan oleh para Pemohon sesungguhnya telah jelas. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata “diperhitungkan” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Mahkamah berpendapat yang terjadi sesungguhnya adalah persoalan implementasi norma Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sesungguhnya para Pemohon pun mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan penerapan norma sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para Pemohon, di antaranya dalam angka 19 permohonan para Pemohon sebagai berikut:

19. Bahwa kebijakan perusahaan PT. Bank Negara Indonesia, Tbk. ataupun kebijakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk tersebut juga tidak sesuai dengan yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3) tersebut, sehingga para Pemohon telah menerima dampak kerugian materil atas tafsiran rumus perhitungan uang pesangon tersebut. Namun demikian, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk dan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, mengklaim telah menerapkan Pasal 167 ayat (3) secara benar.
Dengan uraian tersebut, dalil demikian menunjukkan dengan jelas kepada Mahkamah bahwa para Pemohon sendiri sejak awal telah memahami bahwa permasalahan hukum yang dihadapi para Pemohon bukan karena multitafsir ketentuan a quo namun karena tidak dilaksanakannya ketentuan a quo oleh perusahaan perbankan dimana para Pemohon pernah bekerja, sehingga para Pemohon menegaskan dalam bagian lain posita permohonannya angka 24 sebagai berikut:

24. Bahwa dapat disimpulkan, frasa “diperhitungkan” tersebut dalam praktiknya telah menyebabkan multi-interpretasi yang salah satunya diartikan oleh kalangan pengusaha khususnya dikalangan perbankan dengan pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Dampaknya, ribuan pekerja termasuk Para Pemohon telah tidak dibayarkan uang pesangonnya atau uang pesangonnya mengalami kekurangan yang sangat signifikan bahkan sebagian dikalkulasikan kurang atau minus atau dengan kata lain menyebabkan pensiunan justru berutang kepada Perusahaan. Sebaliknya, Para Pemohon berpendapat bahwa frasa “diperhitungkan” harus diterapkan sebagaimana penjelasan pasalnya yang berarti tidak mengurangi uang pesangon pekerja atau total hasil kalkulasi dari perhitungan uang pesangon dan manfaat pensiun yang diterima selalu bernilai positif atau lebih besar dari total nilai pesangon 2 x PMTK (uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja dan uang pesangon yang perhitungannya didasari dengan pencapaian masa kerja serta besaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).

[3.13] Menimbang bahwa meskipun persoalan yang dimohonkan para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan norma, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pihak-pihak yang berkenaan langsung dengan pelaksanaan Pasal a quo wajib untuk mengimplementasikan norma yang terkandung dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal a quo.

[3.11.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XVI/2018, bertanggal 25 Oktober 2018, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan kembali pertimbangan dalam Putusan Nomor 46/PUU-XVI/2018, Paragraf [3.12] dan [3.13], disertai pertimbangan lain yaitu:

[3.11] Menimbang bahwa meskipun dalam Putusan Nomor 46/PUU- XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, substansi yang dimohonkan pengujian adalah kata “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, namun Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal yang sama dan dasar pengujian yang juga sama yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, namun terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan Pemohon tetap dapat diperiksa oleh Mahkamah.
Setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan Pemohon, di dalam dalil-dalilnya Pemohon lebih mempersoalkan perihal tidak sinkronnya antara ketentuan Pasal 167 ayat (3) dengan Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, di dalam petitum permohonannya, Pemohon bukan memohon kepada Mahkamah untuk memutus perihal ketidaksinkronan tersebut melainkan menghendaki agar 1) dalam provisi, memohon kepada Mahkamah untuk memberlakukan surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan dan 2) dalam pokok perkara, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan belum sejalan dengan UUD 1945 dan perlu disempurnakan.

[3.12] Menimbang bahwa dengan uraian sebagaimana tertuang dalam Paragraf [3.11] di atas, maka menjadi tidak jelas apa sesungguhnya yang dimohonkan oleh Pemohon. Jika yang dimohonkan adalah berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] sehingga tidak ada relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian tidak ada lagi yang perlu disempurnakan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon. Sementara itu jika yang dimohonkan oleh Pemohon adalah memberlakukan surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan, permohonan demikian adalah tidak lazim. Selain itu jika permohonan pemberlakuan surut demikian dikabulkan, hal itu bertentangan dengan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan putusan-putusan di atas, Mahkamah dalam Sidang Pendahuluan bertanggal 18 Desember 2018 telah menasihatkan kepada Pemohon agar menguraikan dengan jelas alasan yang berbeda dalam mengajukan kembali permohonan pengujian norma Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/PMK/2005). Berkenaan dengan nasihat dimaksud, Pemohon dalam perbaikan permohonannya menambah dasar pengujian yaitu, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Maka, sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan PMK 06/PMK/2005 Mahkamah dapat memeriksa kembali permohonan a quo. Namun demikian, setelah Mahkamah memeriksa secara cermat dan saksama permohonan Pemohon, telah ternyata pula bahwa hal yang oleh Pemohon dianggap sebagai perbedaan dengan permohonan-permohonan pengujian sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah adalah hanya terletak pada penambahan dasar pengujiannya saja, tetapi secara substantif Pemohon tidak menguraikan secara jelas alasan-alasan yang menunjukkan perbedaan dimaksud. Oleh karena itu, secara substansial, tidak terdapat alasan konstitusional baru yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya terhadap konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang telah diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas. Namun demikian, untuk memperjelas maksud Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya, Mahkamah penting menegaskan bahwa frasa diperhitungkan yang dimaksud dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah sesuai dengan penjelasan pasal dimaksud karena yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. Dengan demikian tidak terdapat pertentangan antara Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dengan penjelasan pasal dimaksud. Lagipula, jika perhitungan besaran pesangon, termasuk juga premi/iuran yang dibayar oleh pekerja/buruh, maka nilai perbandingan antara uang pensiun dengan uang pesangon justru akan lebih kecil, sehingga pensiunan tidak akan mendapatkan selisih/kompensasi. Terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini jika akan diatur lain, antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada prinsipnya undang-undang memperbolehkan, sepanjang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 167 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan walaupun dikaitkan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tetap tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat alasan konstitusional baru dalam permohonan Pemohon a quo dibandingkan dengan permohonan-permohonan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 46/PUU- XVI/2018 dan Putusan Nomor 68/PUU-XVI/2018, sehingga permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-02-2019

Sabela alias Sabela Gayo

Pasal 1 angka 2, Pasal 17 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (5), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (4) UU Dikti

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. …..

2. Bahwa Pemohon, Sabela alias Sabela Gayo, di satu pihak menerangkan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat/Pengacara Pengadaan (vide Perbaikan Permohonan angka 3, halaman 3), di lain pihak menerangkan pula sebagai pendiri dan sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) dan menyatakan memiliki hak untuk mewaikili kepentingan hukum APPI baik di dalam maupun di luar pengadilan (vide Perbaikan Permohonan angka 6, halaman 3);

3. Bahwa pada uraian berikutnya Pemohon menerangkan dirinya sebagai anggota APPI dan karena itu kemudian menyatakan memiliki kepentingan hukum langsung terhadap ketentuan mengenai pendidikan profesi dan asosiasi profesi sebagaimana diatur dalam UU Dikti (vide Perbaikan Permohonan angka 7, halaman 4);

4. …..

5. …..

6. Bahwa lebih lanjut Pemohon menerangkan dirinya adalah pengacara pengadaan yang telah memperoleh Sertifikat sebagai Pengacara Pengadaan Tersertifikasi (Certified Procurement Lawyer/C.P.L) dari IFPSM dan karena itu, menurut Pemohon, dirinya memiliki kepentingan hukum dan menganggap hak konstitusionalnya dilanggar atas pemberlakuan ketentuan mengenai Pendidikan Profesi, Gelar Profesi dan Asosiasi Profesi dalam UU Dikti (vide Perbaikan Permohonan angka 11, halaman 4-5).

7. …..

Berdasarkan penjelasan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat:

Pertama, Pemohon tidak jelas menerangkan apakah dalam Permohonan a quo ia bertindak dalam kualifikasi sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat ataukah dalam kualifikasi sebagai badan hukum (in casu APPI). Selain itu, jika Pemohon bertindak dalam kualifikasi sebagai badan hukum (APPI), Pemohon juga tidak menerangkan apakah Pemohon (Sabela Gayo), yang menyatakan diri selaku Pendiri dan Ketua Umum APPI, berhak bertindak untuk dan atas nama APPI, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sementara itu, terkait dengan hal ini, setelah Mahkamah memeriksa lebih jauh bukti-bukti yang diajukan, dalam Pasal 1 Anggaran Rumah Tangga (ART) APPI, sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian APPI yang tertera dalam Akta Notaris H. Zainuddin, SH Nomor 38, bertanggal 13 September 2016 (vide bukti P-5), diatur perihal Dewan Pendiri. Namun, Pasal 1 ART APPI dimaksud selain sama sekali tidak memuat pengaturan perihal hak atau kewenangan Pendiri secara individual juga tidak memuat pengaturan perihal siapa yang berhak bertindak untuk dan atas nama APPI di dalam dan di luar pengadilan. Adapun dalam Pasal 2 ART APPI tersebut diatur perihal Dewan Pimpinan Nasional APPI yang ternyata juga tidak memuat pengaturan perihal siapa yang berhak bertindak untuk dan atas nama APPI. Dengan demikian, andaipun Pemohon (Sabela Gayo) jelas menerangkan bahwa dirinya bertindak untuk dan atas nama APPI, Mahkamah tidak menemukan bukti bahwa yang bersangkutan berhak untuk itu;

Kedua, Pemohon tidak jelas menerangkan hak konstitusional apa yang dirugikan oleh berlakunya sejumlah norma dalam UU Dikti yang dimohonkan pengujian dan dalam kualifikasi sebagai apa kerugian tersebut dianggap terjadi, apakah dalam kualifikasi sebagai perseorangan warga negara Indonesia atau dalam kualifikasi sebagai badan hukum. Adapun yang dimaksud “kerugian” dalam konteks Pasal 51 ayat (1) UU MK bukanlah kerugian ekonomi melainkan kerugian hak konstitusional. Sementara itu, yang dimaksud “hak konstitusional”, berdasarkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK, adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Berkait dengan kedua hal di atas, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2018 kepada Pemohon telah dinasihatkan oleh Panel Hakim untuk menegaskan kualifikasinya dalam permohonan a quo, yaitu apakah sebagai perseorangan warga negara Indonesia ataukah sebagai badan hukum (in casu APPI). Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 16 Juli 2018 Pemohon ternyata tetap tidak menegaskan hal-hal yang dinasihatkan tersebut.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak mampu menerangkan baik kualifikasinya maupun kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya menjadi kabur (obscuur).

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo namun Pemohon tidak jelas menguraikan perihal kedudukan hukumnya sehingga kedudukan hukum Pemohon menjadi kabur. Oleh karena itu, Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-02-2019

1. Dr. M. Achsin, S.H., S.E., M.M., M.Kn., M.Ec. Dev., M.Si., Ak., (CA., C.P.A., C.L.A., C.P.I., C.L.I.) [Sic!]

2. Indra Nur Cahya, S.H., M.H., M.Kn., (C.R.A., C.L.I.) [Sic!]

3. Drs. Eddy Hary Susanto, Ak., (C.Fr.A., C.M.A., C.A., C.L.I., C.P.A.I.[Sic!]

4. Anton Silalahi, S.E., Ak., (C.A., C.P.A., C.R.A., C.L.I., C.P.L.) [Sic!]

5. Manonga Simbolon, S.E., (C.R.A., C.L.I.) [Sic!]

6. Toni Hendarto, S.H., M.H., (C.R.A., C.L.A., C.L.I.) [Sic!]

7. Handoko Tomo, M.Ak., (C.P.A., Ak., C.A., C.S.R.S., C.I.F.R.S.L., C.R.A., C.L.I.) [Sic!]

142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang berpendapat seorang likuidator harus warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang dipermasalahkan para Pemohon mengatur mengenai “pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”. Apabila dicermati dengan seksama semangat dan pesan dari norma pasal a quo adalah sederhana dan dapat ditangkap dengan mudah, yaitu bahwa apabila sebuah perseroan terjadi pembubaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007, maka harus diikuti proses likuidasi dan sebagai subjek hukum yang melaksanakan proses likuidasi tersebut adalah likuidator atau kurator. Selanjutnya terhadap norma pasal a quo apabila mengikuti argumentasi para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia dan mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan serta independen, maka Mahkamah dapat menangkap kehendak para Pemohon adalah syarat-syarat tersebut dikhususkan untuk likuidator selain yang dilaksanakan oleh kurator. Hal demikian mengingat kurator pada saat menjalankan fungsinya sebagai likuidator telah melekat syarat-syarat tersebut pada seorang kurator ketika yang bersangkutan diangkat dan menjalankan tugas sebagai kurator. Hal ini dipertegas oleh ketentuan bahwa tugas seorang kurator adakalanya melekat juga sebagai likuidator, yang secara tegas kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang.

Bahwa pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab adalah bagaimana dengan syarat-syarat tersebut yang harus dimiliki seorang likuidator yang bukan dilaksanakan oleh seorang kurator. Terhadap hal ini, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah oleh karena salah satu syarat likuidator yang dimohonkan para Pemohon harus warga negara Indonesia berkaitan erat dengan dalil permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, maka syarat likuidator harus warga negara Indonesia akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada saat mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan isu pokok yang kedua yaitu berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut, yang berkenaan permohonan para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dijalankan oleh direksi adalah inkonstitusional. Dengan kata lain, direksi tidak boleh menjalankan fungsi likuidator karena menurut para Pemohon dapat berakibat adanya benturan kepentingan (conflict of interest), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator. Oleh karena itu berkenaan dengan syarat lainnya yang dihendaki para Pemohon, yaitu likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut;

[3.12.3] …..
Bahwa dari uraian penjelasan Mahkamah tersebut di atas, maka sebenarnya telah tampak apabila likuidator di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemberesan terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam likuidasi, tidaklah melaksanakan tugas yang secara substansial menjadi beban mutlak likuidator, akan tetapi pada dasarnya mengambil alih tugas dan wewenang organ perseroan yaitu direksi (dalam keadaan perseroan normal), sehingga tugas dan wewenang likuidator tersebut pada dasarnya adalah melaksanakan pemberesan segala hal yang berkaitan dengan likuidasi dan hal tersebut semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, baik yang menjadi hak dan tanggung jawab perseroan yang dalam keadaan likuidasi tersebut. Oleh sebab itulah, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang likuidator senantiasa di bawah pengawasan dewan komisaris sesuai dengan anggaran dasar. Bahkan, dewan komisaris dapat memberikan nasihat serta memberhentikan untuk sementara waktu apabila likuidator dipandang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 142 ayat (6) UU 40/2007 beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, fakta ini telah dengan sendirinya menjawab tidak relevannya dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan secara bersyarat terhadap Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, yaitu untuk likuidator agar diberlakukan syarat-syarat harus mempunyai sertifikat kemampuan melikuidasi perseroan dan independen. Terlebih lagi bagi likuidator yang ditunjuk pengadilan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pemberesan terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta perseroan yang dinyatakan pailit barada dalam keadaan insolvensi, terhadap hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator. Fakta yang terakhir ini makin menegaskan bahwa pemberlakuan syarat-syarat bagi likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi dan independen sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut semakin tidak relevan;
…..
Selanjutnya terlepas dari adanya perbedaan dan persamaan dalam hal-hal tertentu sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, secara substansi terdapat perbedaan yang mendasar antara tugas dan wewenang kurator dengan likuidator. Kurator adalah subjek hukum yang melaksanakan tugas dan wewenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit perseroan yang kepadanya diberi kewenangan penuh untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan harta pailit perseroan hingga kemudian terhadapnya dapat ditunjuk menjadi likuidator apabila harta pailit dalam keadaan insolvensi dan perseroan harus dibubarkan. Oleh karena itu sejatinya likuidator yang diangkat oleh pengadilan hanya menjalankan tugas dan wewenang setelah kurator menjalankan tugas dan wewenang mengurus dan membereskan harta pailit perseroan dan dalam keadaan insolvensi, baru kemudian kurator dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya, namun fungsinya berubah sebagai likuidator. Sementara itu, untuk likuidator yang diangkat oleh RUPS, sesungguhnya menjalankan tugas dan wewenangnya membereskan harta perseroan sejak diangkat oleh RUPS dan dalam melaksanakan tugasnya dapat setiap saat diawasi dan diberi nasihat oleh dewan komisaris serta ruang lingkup tugas dan wewenangnya pada dasarnya adalah sama dengan tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal);

Bahwa dari uraian tersebut di atas, tampak jelas perbedaan esensial antara tugas dan wewenang kurator dan likuidator. Inilah alasan sebenarnya syarat-syarat untuk menjadi kurator diatur secara ketat dibandingkan syarat-syarat untuk menjadi likuidator. Dengan kata lain, subyek hukum yang dapat menjadi kurator adalah orang yang benar-benar telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, sedangkan untuk likuidator dapat dilaksanakan oleh siapapun yang ditunjuk oleh RUPS atau likuidator khusus yang ditunjuk pengadilan karena berkaitan dengan kepailitan atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan. Namun demikian penting bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa siapapun yang akan menjadi likuidator tetap harus membekali diri dengan kompetensi dan integritas;

Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen tidaklah beralasan menurut hukum;

[3.12.4] Bahwa terkait dalil para Pemohon selebihnya yang menyatakan dalam hal direksi menjalankan fungsinya sebagai likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Menurut para Pemohon, alasan di antaranya adalah harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat mencederai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator;

Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.3] bahwa tugas dan wewenang likuidator sebenarnya mengambil alih tugas dan tanggung jawab direksi (dalam keadaan perseroan normal), karena sesungguhnya yang lebih tahu segala hal berkaitan dengan perseroan adalah direksi. Namun, oleh karena undang-undang menentukan terhadap pembubaran perseroan harus diikuti likuidasi yang dilakukan oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS, maka dengan demikian semangat penyelesaian atau pemberesan terhadap perseroan yang dalam keadaan likuidasi sesungguhnya lebih tepat dilaksanakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan pilihan subjek hukum oleh RUPS yang dapat melaksanakan likuidasi adalah direksi apabila RUPS tidak menunjuk likuidator [vide Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007]. Sehingga pilihan RUPS untuk mengangkat atau tidak mengangkat likuidator yang berasal dari direksi merupakan bentuk pilihan dengan alasan efektivitas dan sekaligus bisa juga karena pertimbangan efisiensi mengingat perseroan yang dalam keadaan likuidasi kerapkali kondisi keuangannya sudah tidak sehat atau pilihan RUPS mengangkat likuidator yang bukan direksi adalah karena pertimbangan pembubaran perseroan disebabkan salah satunya adalah adanya salah urus oleh direksi (mismanagement);

Bahwa dengan uraian fakta tersebut menurut Mahkamah lebih lanjut, argumentasi para Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan (conflict of interest) adalah argumentasi yang mengandung kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar, mengingat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris serta dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bahkan diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS. Terlebih lagi selain adanya pengawasan dan adanya sanksi-sanksi pemberhentian baik sementara maupun tetap tersebut juga adanya sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain, termasuk para kreditur (apabila ada) yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut tetap saja dapat dituntut, baik secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng (jointly and severally liable) apabila likuidator tersebut lebih dari seorang yang merugikan perseroan, pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada);

Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dilaksanakan oleh direksi adalah tidak independen dan berakibat adanya benturan kepentingan (confict of interest), apalagi dikatakan tidak dapat mencerminkan prinsip-prinsip keadilan karena lebih mengedepankan kepentingan perseroan. Dengan uraian pertimbangan hukum a quo maka dalil para Pemohon tersebut harus dikesampingkan. Sementara itu oleh karena Mahkamah berpendapat direksi adalah subjek hukum yang dapat menjadi likuidator sepanjang undang-undang atau peraturan lainnya tidak melarang jabatan direksi dijabat oleh warga negara yang bukan warga negara Indonesia, maka sebagai konsekuensi yuridisnya tidak ada larangan direksi yang bukan warga negara Indonesia sepanjang yang bersangkutan menjabat sebagai direksi sebuah perseroan di Indonesia, maka yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dan wewenang sebagai likuidator. Dengan demikian uraian pertimbangan hukum Mahkamah ini sekaligus menjawab dalil para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007;

Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warga negara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-02-2019

Ahmad Zahri, S.Pd.I, Sunarto, Samsi Miftahudin, Musbikhin, Jumari Saputro, dan Aris Maryono, yang memberi kuasa kepada Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H, dkk dari kantor hukum Dr. Muhammad Asrun dan Partners (MAP) Law Firm

Pasal 94 UU ASN

Pasal 94 UU ASN dianggap Para Pemohon bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 94 UU ASN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 17 Desember 2018 dari i) Ahmad Zahri, S.Pd.I; ii) Sunarto; iii) Samsi Miftahudin; iv) Musbikhin; v) Jumari Saputro; dan vi) Aris Maryono, yang memberi kuasa kepada i) Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H.; ii) Ai Latifah Fardhiyah, S.H.; dan iii) Merlina, S.H., pada kantor hukum “Dr Muhammad Asrun dan Partners (MAP) Law Firm” beralamat di Jalan Pedati Raya Nomor 6, Kelurahan Cipinang Cempedak, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta, serta telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 1/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Januari 2019, perihal permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 94 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa terhadap permohonan Nomor 1/PUU-XVII/2019 tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 1/TAP.MK/2019 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Nomor 1/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Januari 2019;
2. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 4/TAP.MK/2019 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi, bertanggal 7 Januari 2019;

c. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 15 Januari 2019 dengan agenda mendengarkan permohonan para Pemohon dan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), Majelis Panel telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. Bahwa pada tanggal 25 Januari 2019 Mahkamah menerima surat bertanggal 25 Januari 2019 dari para Pemohon yang menyatakan pencabutan permohonan uji materi UU ASN terhadap UUD 1945 dengan registrasi Perkara Nomor 1/PUU-XVII/2019;

e. Bahwa dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 29 Januari 2019 dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan dan sekaligus mengkonfirmasi surat pencabutan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf d, para Pemohon tidak hadir meskipun telah dipanggil secara patut. Oleh karena itu maka surat permohonan dimaksud diyakini oleh Panel Hakim sebagai sesuatu yang benar;

f. Bahwa kemudian terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 30 Januari 2019 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 1/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum;

g. Bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”.

h. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;


F. KETETAPAN
1. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon;

2. Permohonan Perkara Nomor 1/PUU-XVII/2019 perihal pengujian konstitusionalitas Pasal 94 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali;

3. Para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan Pengujian Pasal 94 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan mengembalikan berkas permohonan kepada para Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 14-02-2019

Sabela alias Sabela Gayo yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia

Pasal 15, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2). Bahwa pasal-pasal a quo UU Sisdiknas

Pasal 15, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas selengkapnya menyatakan, “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi”. Mahkamah sama sekali tidak menemukan argumentasi di mana letak pertentangan norma Undang-Undang a quo dengan UUD 1945. Sebagai lembaga pendidikan, justru aneh jika perguruan tinggi tidak memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi, apalagi dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. Tidak ada kaitan antara kewenangan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan profesi dengan aktivitas Pemohon untuk menyelenggarakan PKPP dan PAHKP. Norma a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon untuk melaksanakan aktivitas demikian sepanjang hal itu merupakan aktivitas yang sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

c. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) UU Sisdiknas mengurangi hak konstitusional Pemohon sebagai Ketua Umum APPI dan dikaitkan dengan aktivitas Pemohon yang sedang menyelenggarakan PKPP dan PAHKP. Menurut Pemohon, idealnya asosiasi profesilah satu-satunya pihak yang dapat memberi gelar profesi, perguruan tinggi hanya berhak memberikan
gelar akademik. Karena itu, menurut Pemohon, telah terjadi campur-aduk antara kewenangan perguruan tinggi dengan asosiasi profesi. Seluruh dalil Pemohon bertumpu pada proposisi berupa asumsi bahwa perguruan tinggi tidak berwenang menyelenggarakan pendidikan profesi dan bahwa organisasi profesilah yang berwenang menyelenggarakan pendidikan demikian;

Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, oleh karena dalil Pemohon a quo adalah bertolak dari proposisi berupa asumsi bahwa perguruan tinggi tidak berwenang menyelenggarakan pendidikan profesi dan bahwa organisasi profesilah yang berwenang menyelenggarakan pendidikan demikian; sementara itu, sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.11], telah ternyata bahwa proposisi yang berupa asumsi demikian hanyalah klaim yang secara konstitusional tidak berdasar maka dengan sendirinya dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) UU Sisdiknas adalah tidak beralasan menurut hukum;

d. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 25 ayat (1) UU Sisdiknas menimbulkan kerugian langsung kepada Pemohon yang sedang menyelenggarakan PKPP dan PAHKP karena, menurut Pemohon, kewenangan untuk menentukan persyaratan kelulusan untuk memperoleh gelar profesi adalah asosiasi profesi, bukan perguruan tinggi;

Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 25 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan, “Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi”. Tidak ada yang keliru dengan rumusan norma a quo. Ketentuan ini adalah konsekuensi logis dari kewenangan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan akademik, profesi, maupun vokasi. Karena itu, tidak ada pertentangannya dengan UUD 1945. Lagi pula, dalil ini pun bertolak dari proposisi berupa asumsi Pemohon sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.11] dan pada angka 3 paragraf ini. Karena itu, dalil Pemohon a quo juga dengan sendirinya tidak beralasan menurut hukum;

e. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan pidana yang tertuang dalam Pasal 67 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas telah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan argumentasi yang pada dasarnya bahwa Pemohon bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan pengawasan “pemegang gelar profesi” Certified Procurement Lawyer (C.P.L) [sic!] yang sertifikat profesinya diberikan oleh IFPSM;

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa norma UU Sisdiknas a quo adalah mengatur tentang ketentuan pidana bagi pelaku pelanggaran ketentuan-ketentuan tertentu dalam UU Sisdiknas. Dengan kata lain, dicantumkannya ketentuan pidana tersebut adalah untuk menjamin penaatan terhadap norma tertentu dalam UU Sisdiknas yang pelanggaran terhadapnya diancam dengan pidana dimaksud. Pasal 67 ayat (1) UU Sisdiknas adalah mengatur tentang ancaman pidana bagi perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang secara tanpa hak memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik profesi, dan/atau vokasi. Pasal 68 ayat (1) UU Sisdiknas mengatur tentang ancaman pidana bagi setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan. Adapun Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas adalah mengatur tentang acaman pidana terhadap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan;

Terlepas dari persoalan jenis sanksi pidana yang diancamkan, pencantuman sanksi pidana demikian adalah konstitusional karena telah memenuhi asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, khususnya asas nullum delictum nulla poena sine lege praevia, nullum delictum nulla poena sine lege scripta, nullum delictum nulla poena sine lege certa, dan nullum delictum nulla poena sine lege stricta. Asas delictum nulla poena sine lege praevia terpenuhi karena perbuatan yang terhadapnya diancam pidana telah diatur sebelumnya; asas nullum delictum nulla poena sine lege scripta terpenuhi karena ancaman pidana dimaksud telah dicantumkan secara tertulis; asas nullum delictum nulla poena sine lege certa terpenuhi karena telah dicantumkan secara pasti atau tegas; dan asas nullum delictum nulla poena sine lege stricta terpenuhi karena ancaman pidana dalam norma-norma UU Sisdiknas a quo secara ketat telah menyebutkan jenis sanksi yang diancamkan sehingga tidak mungkin ditafsirkan melebar. Pencantuman ancaman sanksi pidana demikian, menurut Mahkamah, adalah penting untuk menjaga kewibawaan ilmu pengetahuan dan profesi tertentu serta sekaligus untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban dari penyelenggara pendidikan yang tidak berwenang yang pada titik tertentu justru melahirkan orang-orang yang tidak kapabel yang lebih mengedepankan pencantuman gelar tertentu. Apalagi kondisi sosial kemasyarakatan cenderung mudah tertipu oleh penggunaan gelar-gelar yang tidak semestinya. Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat pemerintah seharusnya menertibkan pencantuman dan penggunaan gelar-gelar yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan;

Lagi pula, oleh karena dalil Pemohon a quo juga bertolak dari proposisi yang didasarkan pada asumsi yang keliru, sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.11], maka dengan sendirinya dalil Pemohon a quo telah kehilangan pijakan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-01-2019

Toyota Soluna Community yang diwakili oleh Sanjaya Adi Putra, Naldin Zen, dan Irfan, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Ade Manansyah, SH dan kawan-kawan dari Kantor Hukum Ade Manansyah,SH & Rekan

Penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa “menggunakan telepon” dan Pasal 283 UU LLAJ terhadap frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan”.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa “menggunakan telepon” dan Pasal 283 UU LLAJ terhadap frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan”dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa untuk menilai konstitusionalitas frasa “menggunakan telepon” dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009, Mahkamah perlu menjelaskan terlebih dahulu maksud dibentuknya UU 22/2009 yang menggantikan Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 14/1992). Dalam konsiderans “Menimbang” huruf d dinyatakan bahwa UU 14/1992 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Lebih lanjut terkait dengan alasan penggantian UU 14/1992 dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 22/2009 yang pada intinya ada kebutuhan untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas yang dirasakan semakin tinggi, sehingga perlu ada upaya pengaturan yang diarahkan salah satunya pada penanggulangan angka kecelakaan lalu lintas secara komprehensif mulai dari pencegahan hingga penegakan hukumnya. Mahkamah dapat memahami maksud tersebut karena tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan dan memberikan jaminan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas karena salah satu fungsi hukum, termasuk dalam hal ini Undang-Undang a quo, adalah sarana untuk rekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Bagaimanapun, wajah dan budaya hukum suatu negara tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam berlalu-lintas. Oleh karenanya UU 22/2009 menghendaki setiap orang yang menggunakan jalan diwajibkan untuk berperilaku tertib agar dapat dicegah segala hal ihwal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan berlalu lintas sebagaimana esensinya tertuang dalam Pasal 105 UU 22/2009. Pentingnya perilaku tertib ini dapat dimengerti jika merujuk pada data angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir yaitu tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 telah terjadi 494.313 (empat ratus sembilan puluh empat ribu tiga ratus tiga belas) kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh human error (Data IRSMS Korlantas Polri yang disampaikan sebagai keterangan tambahan Pihak Terkait yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 Mei 2018).

[3.13.2] Bahwa pengaturan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas dalam UU 22/2009 bukanlah merupakan substansi yang baru karena dalam UU 14/1992 pengaturan tersebut sudah ada, namun materi muatannya masih sederhana belum mampu menjangkau berbagai aspek yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan keselamatan berlalu lintas karena gangguan konsentrasi. Dalam hal ini, UU 22/2009 mengatur secara lebih komprehensif upaya menciptakan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas yang tidak hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan pengemudi kendaraan bermotor tetapi juga bagi pengguna jalan lainnya (termasuk pesepeda dan pejalan kaki). Oleh karena itu, dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 diatur dua kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh setiap orang yang berkendara. Pertama, wajib mengemudi dengan wajar. Istilah “wajar” memang tidak dijelaskan dalam UU 22/2009. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “wajar” dimaknai dengan “sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun; menurut keadaan yang ada; sebagaimana mestinya”. Jika dikaitkan dengan perilaku tertib berlalu lintas sebagaimana yang dikehendaki oleh UU 22/2009 maka maksud kata “wajar” adalah berkaitan dengan perilaku pengemudi kendaraan bermotor yang mengemudikan kendaraan dengan mengutamakan keselamatan pengemudi kendaraan sendiri dan pengguna jalan lainnya serta mematuhi ketentuan tentang tata cara berlalu lintas sebagaimana telah diatur dalam UU 22/2009 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengemudi tentu tidak boleh memaksakan kehendaknya atau mengemudi secara agresif (aggresive driving). Kedua, penuh konsentrasi saat berkendara. Terkait dengan maksud penuh konsentrasi tersebut diberikan penjelasan yang lengkap dalam UU 22/2009 yang menyatakan bahwa “setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan”. Artinya, pengemudi wajib mencurahkan perhatiannya selama mengemudikan kendaraannya dengan cara: (1) menghindari atau tidak melakukan kegiatan lain selain mengemudi yang dapat mengganggu konsentrasinya, misalkan menggunakan telepon termasuk di dalamnya menekan tombol telepon, atau melakukan gerakan memindahkan kursor dalam telepon genggam (seluler) untuk menelepon, SMS, chatting, atau mencari jalan dengan menggunakan GPS; (2) tidak menempatkan diri dalam keadaan yang dapat mengganggu konsentrasinya, misalnya karena sakit, lelah, mengantuk, meminum minuman beralkohol, atau obat-obatan.

Oleh karena itu, frasa “menggunakan telepon” yang terdapat dalam penjelasan harus dipahami bersama-sama dengan norma pokok dalam batang tubuh Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 yang menyatakan “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”. Norma dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 ini merupakan norma baru yang belum terdapat dalam undang-undang sebelumnya (UU 14/1992). Perlunya norma ini dibentuk bertolak dari fakta yang berkembang di lapangan bahwa angka kecelakaan lalu lintas cenderung meningkat akibat pengemudi kendaraan yang tidak penuh konsentrasi saat berkendara sehingga merugikan pengemudi sendiri dan pengguna jalan yang lain. Merujuk Keterangan DPR di persidangan Mahkamah pada tanggal 9 Mei 2018 dalam forum Rapat Tim Kecil RUU LLAJ tanggal 30 April 2009, dijelaskan perihal proses perdebatan terhadap pembahasan frasa penuh konsentrasi yang dimaksudkan untuk mengatur secara lebih komprehensif sebagai upaya mencegah kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi yang berkendara secara tidak penuh konsentrasi.

Dalam konteks inilah diperlukan penjelasan untuk memudahkan warga masyarakat memahami maksud “penuh konsentrasi” tersebut. Menggunakan telepon hanya merupakan salah satu penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan secara penuh konsentrasi. Jika merujuk pada KBBI kata “menggunakan” diartikan “memakai (alat, perkakas); mengambil manfaatnya; melakukan sesuatu dengan: tidak boleh~ kekerasan”, kata “menggunakan” bersifat aktif. Artinya, norma a quo tergolong dalam kalimat aktif, untuk menerangkan kegiatan melakukan sesuatu dengan memanfaatkan telepon, termasuk memanfaatkan fitur-fitur ketika sedang berkendara. Dengan demikian, rumusan Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 terkait dengan frasa “menggunakan telepon” telah cukup jelas.

Pembentuk undang-undang memang tidak memberikan contoh detil apa saja jenis fitur-fitur yang terdapat dalam telepon seluler karena akan mempersempit pelaksanaan undang-undang. Terlebih lagi jika hal itu terkait dengan perangkat teknologi yang selalu berkembang. Pembentuk undang-undang hanya merumuskan secara umum penjelasan terkait dengan berbagai penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan secara penuh konsentrasi, supaya pelaksanaan norma Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 tidak mudah tertinggal, tetapi mampu menjangkau kebutuhan hukum dalam jangka waktu yang panjang, termasuk mengantisipasi adanya perkembangan teknologi. Penjelasan demikian telah sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pada saat UU 22/2009 dibuat masih menggunakan Lampiran Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan angka 149 dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004). Esensi teknik penyusunan tersebut sama dengan Lampiran II angka 176 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011) yang menggantikan UU 10/2004.

[3.13.3] Bahwa seiring dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor, Mahkamah dapat memahami jika kini telah banyak kendaraan bermotor yang diproduksi sekaligus dilengkapi dengan teknologi peta jalan ditambah dengan fitur GPS yang sesuai dengan standar untuk membantu pengemudi mencapai lokasi tujuannya. Terhadap hal ini, ahli Sowanwitno Lumadjeng dalam keterangannya menjelaskan instrumen GPS yang merupakan bawaan produksi pabrikan, berbeda dengan pemanfaatan fitur GPS melalui telepon seluler. Perbedaan mendasar terletak pada perencanaan desain penempatan layar. Pada mobil produksi, penempatan layar berada dalam jangkauan pandangan maupun jangkauan pengoperasian yang sudah terukur dengan desain tata letak yang mempertimbangkan keamanan dan keselamatan berkendara. Pengemudi tidak perlu menoleh-noleh dan/atau meninggalkan pandangan utamanya terlalu lama dalam mengemudi apabila ingin melihat layar instrumen GPS. Sementara itu, pemanfaatan fitur GPS melalui penggunaan telepon seluler tidak ada panduannya. Bahkan fakta yang berkembang di lapangan seringkali penempatan telepon genggam (seluler) yang sudah ada fitur GPS ditempatkan dengan cara mengaitkan telepon tersebut pada bagian kaca depan kendaraan sehingga dapat mengganggu pandangan dan memperlebar ruang tak tampak (“blank spot”) bagi pengemudi yang pada akhirnya berisiko terjadinya kecelakaan. Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa menggunakan telepon dengan memanfaatkan fitur GPS dan menempatkannya tidak sesuai dengan standar pada saat mengemudi merupakan kegiatan yang dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Menurut ahli Kalamullah Ramli dalam keterangan tertulis yang diserahkan ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Juni 2018 bahwa mengemudikan kendaraan bermotor yang diiringi dengan beragam aktifitas lainnya secara paralel (multi-tasking) akan mengakibatkan penurunan kendali otak (brain drain) dan berkurangnya penguasaan menyeluruh secara visual, spasial, dan motorik atas aktivitas utama, yaitu mengemudi.

Mahkamah dapat memahami bahwa pengoperasian GPS sangat membantu pengemudi untuk sampai pada tujuannya dengan menempuh rute terbaik sesuai dengan tayangan GPS. Persoalannya, pengguna GPS dalam telepon seluler bukanlah satu-satunya pengemudi yang berada di rute jalan dimaksud. Bisa dipastikan pengemudi akan berpapasan, beriringan, atau berdampingan dengan sesama pengguna jalan, baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan lain. Pada saat yang sama GPS juga bukan satu-satunya objek yang harus diperhatikan oleh pengemudi. Di sepanjang jalan pengemudi berhadapan dengan objek-objek lainnya yang menjadi kewajiban pengemudi untuk memerhatikannya sesuai dengan ketentuan tertib berlalu lintas dalam UU 22/2009 misalnya rambu lalu lintas, bangunan, cahaya, dan lainnya. Konsentrasi pengemudi tidak boleh terganggu karena menggunakan aplikasi GPS dalam telepon seluler pada saat berkendara karena akan menyebabkan berkurangnya perhatian dan konsentrasi pengemudi yang dapat berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Menurut pendapat Mahkamah, Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 terkait dengan frasa “penuh konsentrasi” bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat dampak buruk perilaku pengemudi yang terganggu konsentrasinya pada saat mengemudikan kendaraannya.

Berdasarkan uraian di atas, menggunakan telepon seluler yang di dalamnya terdapat berbagai fitur termasuk aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut GPS pada saat berkendara, dalam batas penalaran yang wajar termasuk hal yang dapat mengganggu konsentrasi berlalu lintas yang dapat berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Dengan kata lain, penggunaan GPS dapat dibenarkan sepanjang tidak mengganggu konsentrasi pengemudi dalam berlalu lintas. Artinya, tidak setiap pengendara yang menggunakan GPS serta-merta dapat dinilai mengganggu konsentrasi mengemudi yang membahayakan pengguna jalan lainnya yang dapat dinilai melanggar hukum, sehingga penerapannya harus dilihat secara kasuistis. Oleh karena itu, tidak ada persoalan inkonstitusionalitas terkait dengan Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009. Dengan demikian dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009 yang menurut para Pemohon tidak memberikan jaminan perlindungan hukum sehingga harus dinyatakan inkonstitusional, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya adalah Pasal 283 UU 22/2009 yang secara lengkap menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)”. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo, dengan telah dipertimbangkannya oleh Mahkamah konstitusionalitas Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 pada Paragraf [3.13.3] di atas bahwa penggunaan GPS dapat dibenarkan sepanjang tidak mengganggu konsentrasi mengemudi, maka para Pemohon tidak perlu khawatir dengan berlakunya ketentuan Pasal 283 UU 22/2009 sehingga pada dasarnya telah tidak relevan lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 283 UU 22/2009.

Adapun perihal dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa norma Pasal 283 UU 22/2009 multitafsir, Mahkamah berpendapat bahwa norma ini merupakan bagian dari Bab XX Ketentuan Pidana UU 22/2009. Merujuk pada Lampiran Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan huruf C.3 UU 10/2004 (yang berlaku ketika UU 22/2009 disusun), pembentuk undang-undang telah memberikan panduan teknik terkait dengan perumusan ketentuan pidana dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan di antaranya adalah:

85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.

86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang- Undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.

88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.

90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut.

Esensi terkait dengan teknik menyusun atau merumuskan ketentuan pidana dalam UU 10/2004 di atas sama dengan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011. Merujuk pada panduan teknik tersebut pada prinsipnya tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat mengatur ketentuan pidana karena ketentuan pidana merupakan hal yang terkait dengan perampasan hak sehingga harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Oleh karena itu hanya undang-undang dan peraturan daerah yang dapat mencantumkan ketentuan pidana. Lebih lanjut, secara doktriner perumusan ketentuan pidana harus memenuhi asas-asas hukum pidana yaitu Lex Scripta (nullum crimen nulla poena sine lege scripta), rumusan ketentuan pidana harus dituangkan secara tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan, Lex Certa (nullum crimen nulla poena sine lege certa), rumusan tindak pidana yang dimaksud harus diuraikan unsur-unsurnya secara jelas dan lengkap, dan Lex Stricta (nullum crimen poena sine lege stricta), rumusan ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat.

[3.14.2] Bahwa perumusan norma ketentuan pidana dalam Pasal 283 UU 22/2009 telah sesuai dengan asas-asas perumusan norma dalam hukum pidana dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk memahami norma tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemahaman yang utuh terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 yang menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”. Norma ini berisi norma perintah yang mewajibkan setiap orang mengemudikan kendaraannya secara wajar dan penuh konsentrasi sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Dalam rangka menciptakan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas terhadap pelanggaran norma wajib dimaksud perlu diberikan ancaman sanksi pidana yang perumusannya ditempatkan pada bagian akhir sebelum ketentuan penutup.

Berkenaan dengan persoalan pokok yang dipermasalahkan oleh para Pemohon terkait dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang mana frasa ini memang tidak terdapat dalam rumusan norma Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 tetapi terkandung dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009, Mahkamah berpendapat bahwa merujuk pada Lampiran huruf E angka 149 UU 10/2004 disebutkan bahwa “Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh”. Tafsir resmi dari norma Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 adalah:
Yang dimaksud dengan ”penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan.

Sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam Paragraf [3.13.2] di atas bahwa esensi pokok yang hendak dijelaskan dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 adalah mengenai wajibnya pengemudi mencurahkan konsentrasinya secara penuh pada saat sedang mengemudikan kendaraan atau berkendara. Oleh karena itu pengemudi tidak boleh melakukan kegiatan lain jika kegiatan lain tersebut dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi.

Berdasarkan uraian di atas Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (smartphone)” adalah tidak beralasan menurut hukum

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “menggunakan telepon” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009, tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-01-2019

Tafsir Nurchamid

Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Pemasyarakatan, dan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU Perlindungan Saksi dan Korban

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Pemasyarakatan, dan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Pemasyarakatan yang menurut Pemohon multitafsir, tidak memberikan kepastian dan jaminan perlindungan hukum serta menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap terpidana sehingga menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil Pemohon di atas, beserta bukti-bukti yang diajukan, telah ternyata bahwa Mahkamah telah pernah memutus permohonan yang ada kaitan dengan permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon dapat diajukan pengujian kembali. Berkenaan dengan hal itu, Mahkamah telah memutus pengujian konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dalam Putusan Nomor 54/PUU-XV/2017, bertanggal 7 November 2017 yang amarnya menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selanjutnya, dengan berdasarkan pada Putusan Nomor 54/PUU-XV/2017 tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018, telah memutus permohonan pengujian kembali norma Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Pemasyarakatan, dengan amar:

Mengadili,
1. Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614) tidak dapat diterima;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Bahwa amar pada angka 1 di atas, yang menyatakan bahwa permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan tidak dapat diterima adalah mengacu pada Putusan Mahkamah Nomor 54/PUU-XV/2017 yang amarnya menyatakan bahwa permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan ditolak. Oleh karena itu, substansi amar angka 1 Putusan Nomor 82/PUU-XV/2017 sesungguhnya adalah menolak permohonan Pemohon. Artinya, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan konstitusional baru untuk menguji kembali Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan.

Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, apabila dikaitkan dengan permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan konstitusional yang berbeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 6/2005. Perihal dalil Pemohon yang menyatakan adanya alasan konstitusional berbeda yang diajukan dalam permohonan pengujian kembali Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama dalil tersebut ternyata sesungguhnya tidak terdapat alasan konstitusional yang berbeda sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Sebab, yang dimaksud dengan dasar pengujian yang berbeda atau alasan konstitusional yang berbeda bukanlah sekadar menunjukkan perbedaan pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian melainkan juga memang secara substansial terdapat perbedaan alasan konstitusional antara permohonan sebelumnya yang ditolak oleh Mahkamah dengan permohonan baru yang mendalilkan adanya alasan konstitusional berbeda. Oleh karena itu, permohonan Pemohon sepanjang Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan, tidak beralasan menurut hukum;

[3.12.2] Bahwa sementara itu berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Pemasyarakatan, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 82/PUU-XV/2017. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:

[3.12.1] Bahwa Penjelasan Pasal 14 huruf k UU 12/1995 telah memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat yaitu bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua per tiga masa pidananya dengan ketentuan dua per tiga tersebut tidak kurang dari 9 bulan. Dengan pengertian tersebut maka pembebasan bersyarat digantungkan pada masa pidana yang telah dijalankan. Sehingga pembebasan bersyarat ada kaitannya dengan remisi. Selain persyaratan masa pidana, pembebasan bersyarat secara teknis juga memiliki persyaratan substantif dan persyaratan administratif yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sebagaimana halnya remisi, pembebasan bersyarat juga merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh Narapidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995. Dengan demikian syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pembebasan bersyarat adalah sama dengan hak untuk memperoleh remisi sebagai hak yang dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu. Dalam sub paragraf [3.8.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 di atas telah dinyatakan bahwa “... hak untuk memperoleh remisi adalah hak yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tatacara tertentu...”. Demikian pula halnya dengan pembebasan bersyarat, sehingga meskipun merupakan hak, namun pembebasan bersyarat tidak bisa diberikan dengan serta-merta, kecuali bagi yang telah memenuhi persyaratan.

Lebih lanjut, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 pada sub paragraf [3.8.5] di atas, telah pula ditegaskan bahwa remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Artinya, remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Dengan demikian jelas bahwa pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang narapidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat dan memperoleh remisi untuk narapidana tidaklah melanggar hak narapidana. Namun dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa penilaian atas syarat-syarat untuk memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat untuk narapidana dimulai sejak narapidana yang bersangkutan memperoleh status sebagai narapidana dan menjalani masa pidana.

Atas dasar pertimbangan demikian, Mahkamah menolak permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Pemasyarakatan sebagaimana diajukan Pemohon dalam permohonan Nomor 82/PUU-XV/2017. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan permohonan a quo, pertanyaan konstitusionalnya adalah apakah terdapat alasan konstitusional yang berbeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 6/2005 untuk menguji kembali konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Pemasyarakatan.

Terhadap persoalan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa setelah mencermati secara saksama alasan konstitusional yang diajukan oleh Pemohon, telah ternyata tidak terdapat alasan konstitusional yang secara substansial berbeda yang dijadikan sebagai dasar pengujian dalam permohonan a quo dengan permohonan Nomor 82/PUU-XV/2017. Sehingga dengan demikian, pertimbangan hukum Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Pemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap permohonan a quo. Oleh karena itu, permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa sementara itu, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU PSK, yang dinilai oleh Pemohon multitafsir, tidak memberikan kepastian dan jaminan perlindungan hukum, serta menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap terpidana, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan substansi dari Saksi Pelaku (justice collaborator) dan bagaimana mekanisme serta pengaturannya, sebagai berikut:

1. Bahwa sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum UU PSK, antara lain, “Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan”. Berdasarkan penjelasan tersebut, saksi pelaku menjadi salah satu bagian penting dalam upaya untuk membuktikan suatu kasus pidana dan upaya untuk menyelesaikan tindak pidana lainnya yang terkait dengan kasus yang sedang ada dalam proses persidangan. Namun, dalam praktiknya banyak kasus pidana yang tidak terungkap secara utuh sebagai akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Adanya ketakutan dari para saksi untuk mengungkap terjadinya tindak pidana dan adanya ancaman yang dialami oleh para saksi yang berkeinginan mengungkapkan suatu tindak pidana pada akhirnya menjadi salah satu alasan penting pembentukan UU PSK, yang di dalamnya mengatur pelindungan terhadap Saksi Pelaku;

2. Bahwa tujuan dibentuknya UU PSK adalah sebagai upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap berbagai kasus pidana, sehingga diperlukan adanya situasi yang kondusif sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang khususnya saksi ataupun korban yang mengetahui sesuatu hal yang terkait tindak pidana sehingga dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum;

3. …..

4. …..

5. Bahwa Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Hukum dan HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga telah mengeluarkan Peraturan Bersama bertanggal 14 Desember 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. Peraturan Bersama tersebut menjadi salah satu patokan bagi penegak hukum dalam pemberian penghargaan bagi saksi pelaku yang telah bekerja sama dengan penegak hukum. Dalam Peraturan Bersama tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi justice collaborator harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
b. memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
c. bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
d. kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
e. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

6. Bahwa Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, bertanggal 12 November 2012, yang mengatur tentang persyaratan dan tata cara pengajuan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat khususnya bagi narapidana yang telah bekerja sama dengan penegak hukum.

[3.14] Menimbang bahwa Pemohon, sebagaimana warga binaan lainnya, pada dasarnya memiliki hak sebagai warga binaan untuk mengajukan remisi dan juga pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam UU PSK dan peraturan perundang-undangan lainnya. Adanya fakta bahwa dalam proses pengajuan hak tersebut Pemohon mengalami kendala dan juga penolakan untuk menjadi saksi pelaku (justice collaborator) sehingga menyebabkan Pemohon tidak bisa mendapatkan remisi ataupun pembebasan bersyarat, hal tersebut bukanlah dikarenakan inkonstitusionalnya norma UU PSK yang dimohonkan pengujian, melainkan merupakan persoalan konkrit yang dialami oleh Pemohon, yaitu terkait dengan mekanisme dan pedoman mengajukan remisi atau pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam UU PSK dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Lebih dari itu, apabila dicermati dalam pokok permohonan, Pemohon lebih mengedepankan uraiannya terkait dengan aspek prosedural proses pengajuan sebagai justice collaborator daripada menjelaskan aspek-aspek pertentangan konstitusionalitas norma a quo terhadap pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian oleh Pemohon.

[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pemohon telah bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi sehingga patut dianggap sebagai saksi pelaku (justice collaborator) dan berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lainnya, hal itu bukan merupakan kewenagan Mahkamah untuk menilainya. Lagi pula, secara substansi isu konstitusionalitas permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo adalah sama dengan isu konstitusionalitas dalam perkara Nomor 82/PUU-XV/2017 yaitu terkait dengan hak narapidana dalam upaya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:

[3.12.2] Bahwa dalil Pemohon selanjutnya menyatakan ketentuan mengenai remisi dan pembebasan bersyarat dalam Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 telah menciptakan celah penafsiran yang berbeda dalam peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini Pemohon menyebutkan PP 32/1999, yang direvisi dengan PP 28/2006 dan PP 99/2012. Terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah Mahkamah membaca dengan cermat Peraturan Pemerintah dimaksud dan mengaitkannya dengan dalil Pemohon, menurut Mahkamah yang terjadi bukanlah perbedaan penafsiran dari Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 sebagaimana yang Pemohon dalilkan, namun yang terjadi adalah peraturan yang berlaku sebagai hukum yang hidup terus menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya berkait dengan sistem pemasyarakatan. Jadi persoalannya terletak pada adanya kebutuhan hukum dalam penerapan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 tersebut.

Dengan demikian hak narapidana memperoleh pembebasan bersyarat tidak dapat ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain apa yang tersebut dalam norma a quo. Seandainyapun benar terdapat perbedaan penafsiran, quod non, Peraturan Pemerintah dimaksud merupakan peraturan teknis dalam kewenangan pemerintah untuk mengatur lebih lanjut sebagaimana ditentukan Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, di mana persoalan peraturan teknis bukanlah permasalahan konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah.

Sehingga dengan demikian, pertimbangan hukum Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU PSK sebagaimana tertuang dalam Paragraf [3.12.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap permohonan a quo.

[3.16] Menimbang bahwa dengan merujuk putusan-putusan Mahkamah di atas, berlakunya norma a quo tidak menyebabkan adanya perlakuan berbeda ataupun pengurangan serta pembatasan terhadap hak asasi manusia oleh karena norma a quo berlaku untuk setiap orang in casu para narapidana ataupun warga binaan yang memang telah bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana. Hal tersebut oleh karena secara hukum pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain merupakan hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Pendirian demikian telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 54/PUU-XV/2017 Paragraf [3.8.5] yang menyatakan:

Bahwa apabila dibaca dan ditelaah ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995, hak-hak narapidana sebagaimana termaktub di dalam huruf a sampai dengan huruf m termasuk hak atas remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syaratsyarat tertentu.

Dengan demikian, berarti, hak-hak tersebut, termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights). Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi (human rights) pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan undang-undang. Dengan berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10A ayat (3) huruf b UU PSK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-01-2019

H. Husin Syahendra dan Nurhayati

Pasal 47 ayat (1), UU MA

Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 47 ayat (1) UU MA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa Para Pemohon mendalilkan kesempatan mendapatkan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, in casu untuk perkara perdata di tingkat kasasi tidak dapat digugurkan hanya karena keterlambatan mengajukan memori kasasi. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang hendak diwujudkan adalah lebih pada kebenaran formil. Mahkamah Agung sebagai judex juris, sebagaimana secara implisit diatur dalam Pasal 30 UU MA, memiliki kewenangan untuk memeriksa hal-hal yang berkenaan dengan penerapan hukum atas suatu perkara, termasuk di dalamnya menilai tidak adanya kewenangan yang melampaui batas dan adanya kelalaian syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan oleh judex facti. Dengan penegasan lain bahwa majelis hakim kasasi bukan lagi memeriksa dan memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding selaku judex facti, kecuali ditemukan adanya alasan-alasan tertentu yaitu salah penerapan hukum, adanya putusan yang melampaui kewenangan, dan kelalaian menerapkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh karenanya memori kasasi merupakan syarat formal yang bersifat fundamental dari sebuah permohonan kasasi, mengingat alasan-alasan permohonan kasasi adalah merupakan substansi yang menjadi dasar bagi MA untuk memeriksa dan menilai apakah putusan suatu perkara terdapat alasan-alasan tersebut di atas. Dengan demikian syarat yang berkenaan dengan tenggang waktu untuk menyatakan mengajukan permohonan kasasi, menyerahkan memori kasasi, memberitahukan permohonan kasasi kepada termohon kasasi, dan tenggang waktu untuk mengajukan kontra memori kasasi diatur secara limitatif sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU MA. Semangat adanya pengaturan yang sangat ketat tersebut salah satunya bertujuan untuk segera mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara, sebab permohonan kasasi pada dasarnya tidak lagi menilai substansi hasil pembuktian fakta hukum oleh judex facti akan tetapi lebih kepada persoalan syarat-syarat formal yang merupakan satu rangkaian sejak perkara yang bersangkutan mulai diperiksa pada peradilan tingkat pertama hingga perkara diperiksa pada tingkat kasasi.


Lebih lanjut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa perihal syarat-syarat formal dalam pemeriksaan sebuah perkara baik pada peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi pada hakikatnya adalah merupakan hal pokok yang mendasar mengingat di dalam syarat-syarat formal yang intinya adalah berkenaan dengan hukum acara merupakan bentuk perlindungan hak-hak para pihak untuk mendapatkan akses perlakuan yang adil dalam berperkara. Oleh karenanya, pemenuhan syarat formal demikian sejatinya merupakan wujud perlindungan terhadap para pihak di dalam mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama di depan pengadilan. Sehingga dengan demikian permasalahan prosedur permohonan kasasi, baik waktu pengajuan untuk menyatakan upaya hukum kasasi, kemudian menyerahkan memori kasasi oleh pemohon kasasi dan mempelajari memori kasasi oleh termohon kasasi (inzage) serta menyerahkan kontra memori kasasi oleh termohon kasasi adalah satu rangkaian persyaratan untuk mengajukan upaya hukum kasasi yang tidak boleh dilanggar, baik waktu maupun tahapan-tahapannya. Sehingga oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas UU MA menegaskan bahwa terhadap permohonan kasasi yang tidak memenuhi persyaratan formal berakibat permohonan kasasi tidak dapat diterima.


[3.12.2] Bahwa selanjutnya para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 47 ayat (1) UU MA agar frasa “dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan 30 (tiga puluh) hari dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena adanya perlakuan yang diskriminatif dan melanggar penghormatan dan pengakuan 31 hak hukum antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi, di mana menurut para Pemohon bagi pemohon kasasi hanya diberi waktu untuk mengajukan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku register permohonan kasasi. Sementara itu, masih menurut para Pemohon, bagi termohon kasasi diberi waktu 30 (tiga puluh) hari untuk diberitahukan adanya permohonan kasasi tersebut oleh pengadilan negeri tempat permohonan kasasi itu diajukan. Terhadap argumentasi para Pemohon tersebut, setelah Mahkamah mencermati ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU MA yang menyatakan, “Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Panitera sebagaimana dimaksud ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi”, oleh karena itu sesungguhnya antara pemohon kasasi dan termohon kasasi telah mendapatkan tenggang waktu yang sama yaitu masing-masing untuk menyerahkan memori kasasi dan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari bukan untuk termohon kasasi mempunyai 30 (tiga puluh) hari untuk menyerahkan kontra memori kasasi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Lebih lanjut setelah Mahkamah mencermati pula dalil para Pemohon ternyata tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari yang dimaksudkan sebenarnya adalah tenggang waktu yang dimiliki oleh pengadilan negeri di tempat permohonan kasasi itu diajukan untuk memberitahukan sekaligus menyerahkan memori kasasi kepada termohon kasasi, bukan 30 (tiga puluh) hari tenggang waktu yang dimiliki termohon kasasi untuk mengajukan kontra memori kasasi.


[3.12.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.1] dan Paragraf [3.12.2] tersebut di atas ketentuan norma Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU MA yang menyatakan, “Mengajukan memori kasasi yang memuat alasanalasan kasasi adalah suatu syarat mutlak untuk dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori ini harus dimasukkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi” telah memperlakukan hal yang sama antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi. Oleh karenanya dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 47 ayat (1) UU MA memperlakukan diskriminasi dan melanggar penghormatan dan pengakuan hak hukum para Pemohon harus dikesampingkan. Sebab, sesungguhnya pembatasan waktu pengajuan memori kasasi dan kontra memori kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3) UU MA justru memberikan kepastian hukum terkait jangka waktu penyampaian memori kasasi dan kontra memori kasasi yang harus dipatuhi oleh para pihak. Sehingga dengan demikian penyelesaian perkara tidak berlarut-larut dan hal ini selaras dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penegasan Mahkamah ini sekaligus pula menjawab argumentasi para Pemohon yang juga mendalilkan bahwa kesempatan mendapatkan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, in casu untuk perkara perdata di tingkat kasasi, tidak dapat digugurkan hanya karena keterlambatan mengajukan memori kasasi, karena sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum di atas pembatasan tenggang waktu baik dalam mengajukan permohonan kasasi dan mengajukan memori kasasi oleh pemohon kasasi termasuk pembatasan tenggang waktu pemberitahuan adanya permohonan kasasi kepada termohon kasasi dan tenggang waktu untuk mengajukan kontra memori kasasi justru memberikan jaminan kepada para pihak adanya kepastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan karena itu terhadap dalil para Pemohon tersebut haruslah dikesampingkan juga.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat pemohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 47 ayat (1) sepanjang frasa “dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar” UU MA tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-01-2019

Muhammad Hafidz

Pasal 57 ayat (1) UU MK

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 57 ayat (1) UU MK, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:


[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:


1. Bahwa Pasal 57 ayat (1) UU MK yang oleh Pemohon dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya menyatakan:
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


2. Bahwa dengan rumusan norma sebagaimana diuraikan pada angka 1 di atas, sesungguhnya tidak terdapat kemungkinan sama sekali bagi hadirnya penafsiran berbeda apalagi hingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sebagaimana didalilkan Pemohon. Sebab, dengan rumusan norma di atas telah jelas dan tegas bahwa materi muatan suatu ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian tersebut telah kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai norma hukum. Hilangnya kekuatan hukum mengikat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian suatu undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah konsekuensi logis dari pertentangan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang itu dengan UUD 1945. Dalam kaitan ini, Mahkamah penting menegaskan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan telah kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai hukum maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak absah lagi dijadikan sebagai dasar hukum baik bagi setiap peristiwa, perbuatan, hal, atau keadaan yang diatur dalam materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undangundang tersebut maupun bagi setiap penalaran hukum yang dibangun dalam suatu peristiwa, perbuatan, hal, atau keadaan lain yang merujuk pada materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tersebut sebagai bagian dari landasan pembenar argumentasi. Pada saat yang sama, secara a contrario, seseorang adalah absah dan tak terbantahkan untuk menolak keabsahan suatu peristiwa, perbuatan, hal, atau keadaan yang didasarkan pada materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


3. Bahwa, secara doktriner maupun praktik ketatanegaraan, lahirnya ketentuan dalam Pasal 57 ayat (1) UU MK adalah bertolak atau diturunkan dari prinsip constitutionality of laws, yaitu prinsip yang melekat dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, lebih-lebih di negara yang menganut paham supremasi konstitusi, yang menegaskan bahwa setiap undang-undang serta peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Konstitusi diberi kedudukan supreme karena sifatnya sebagai hukum fundamental yang melekat padanya sebab ia dikonstruksikan sebagai kesepakatan seluruh rakyat. Selanjutnya, sifat fundamental atau mendasar dari konstitusi tersebut ditandai oleh tiga ciri: (1) konstitusi tidak dapat diubah melalui proses yang sama dengan proses perubahan undangundang biasa; (2) validitas atau keabsahan undang-undang biasa dapat diuji dengan menggunakan hukum fundamental tersebut sebagai dasar atau rujukan pengujian; (3) terdapat otoritas, dalam hal ini pengadilan, untuk menyatakan tidak konstitusionalnya suatu undang-undang biasa yang terbukti bertentangan atau tidak sesuai dengan konstitusi. Ketiga ciri tersebut jelas terindentifikasi dalam sistem dan praktik ketatanegaraan di Indonesia sesuai dengan substansi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945;


4. Bahwa diberikannya otoritas konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 juga sekaligus merupakan penegasan bahwa pengejawantahan prinsip supremasi konstitusi itu dilaksanakan melalui pemberlakuan prinsip supremasi pengadilan (judicial supremacy), sebagaimana halnya yang berlaku di negara-negara lain yang sama-sama memberlakukan prinsip supremasi konstitusi. Antara lain dalam konteks demikian itulah Mahkamah Konstitusi, sebagaimana halnya Mahkamah Konstitusi di negara lain, mendapatkan predikatnya sebagai pengawal Konstitusi (in casu UUD 1945), yaitu di antaranya memastikan bahwa tidak dibenarkan keberadaan suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, baik pembentukannya (secara formil) maupun isi atau materi muatannya. Jika suatu undang-undang, baik pembentukan maupun materi muatannya, terbukti bertentangan dengan UUD 1945 maka, guna menegakkan prinsip supremasi konstitusi yang dilaksanakan melalui penerapan prinsip supremasi pengadilan, kepada Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat. Dalam konteks inilah Mahkamah Konstitusi disebut sebagai negative legislator.


5. Bahwa terkait dengan kedudukannya sebagai negative legislator, sebagaimana diuraikan pada angka 4, dan sejalan dengan prinsip supremasi pengadilan dalam menegakkan prinsip supremasi konstitusi maka putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sederajat dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang (positive legislator) memeroleh kekuatan hukum mengikat setelah diundangkan maka putusan Mahkamah Konstitusi (negative legislator) mendapatkan kekuatan hukum mengikatnya atau memperoleh kekuatan hukum tetapnya sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 UU MK. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 memperoleh kekuatan hukum mengikatnya sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Jadi, sebagaimana halnya suatu undang-undang yang segera mengikat seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara atau pemerintah, maka suatu putusan Mahkamah Konstitusi pun segera mengikat seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara atau pemerintah, begitu selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan kata lain, jika undang-undang sebagai keputusan dari positive legislator mendapatkan kekuatan mengikatnya sebagai hukum setelah diundangkan maka undang-undang yang oleh negative legislator melalui putusannya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 kehilangan kekuatan mengikatnya sebagai hukum setelah putusan itu selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.


6. Bahwa uraian sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam posita permohonannya sama sekali tidak memuat uraian yang membuktikan pertentangan Pasal 57 ayat (1) UU MK dengan UUD 1945. Dalam hal ini, secara substansial, Pemohon hanya menggambarkan bahwa ketika ada suatu pihak (in casu KPU) yang hendak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap justru terancam dipidanakan dikarenakan menurut Pemohon adanya beberapa putusan Mahkamah Agung yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang hendak dilaksanakan oleh KPU tersebut, in casu Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018. Dengan uraian demikian maka telah jelas bahwa apa yang oleh Pemohon digambarkan sebagai ketidakpastian hukum bukanlah dikarenakan tidak jelas atau tidak tegasnya rumusan Pasal 57 ayat (1) UU MK melainkan semata-mata persoalan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam kaitan ini, Mahkamah wajib menegaskan kembali bahwa sekalipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat deklaratif, hal itu bukanlah menandakan kelemahan daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, justru di situlah letak kekuatannya. Sebab, sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 6 di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 57 ayat (1) UU MK tidak memberikan kepastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, berkait dengan kedudukan hukum Pemohon, kerugian konstitusional sebagaimana didalilkan Pemohon hanya mungkin terjadi apabila Pemohon merupakan bakal calon anggota DPD yang menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 sebagai dasar untuk mencalonkan diri dimaksud. Dalam kaitan itu, oleh karena tidak terdapat bukti bahwa Pemohon merupakan bakal calon anggota DPD sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 maka tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.


[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Andaipun kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 57 ayat (1) UU MK adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Deri Darmawansyah

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan
ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD
Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU PEMILU dalam permohonan a
quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.3.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya
sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30
November 2018 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan
permohonan pada tanggal 3 Desember 2018 dan Pemohon dalam
perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul,
Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan
Hukum (legal standing) Pemohon, Alasan Permohonan (Posita), dan
Petitum.
[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon
sebagaimana dimaksud pada paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai
dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun
setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan
mengajukan permohonan (posita) Pemohon, permohonan Pemohon sama
sekali tidak memberikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal
yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan
argumentasi pertentangan antara pasal yang diuji dengan ketentuan-
ketentuan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian. Padahal,
pertentangan antara berlakunya norma yang diuji dengan norma dalam
UUD 1945 menjadi dasar untuk menilai konstitusionalitas berlakunya
norma yang diuji.
Selain itu, andaipun terdapat alasan-alasan untuk mempersoalkan
konstitusional Pasal 222 UU Pemilu, quod non, namun alasan tersebut
tidak memiliki keterkaitan dengan Petitum Pemohon. Setelah Mahkamah
membaca dengan saksama Petitum angka 2 Pemohon yaitu,
“Pembentukan Undang-Undang Pasal 222 Nomor 7 Tahun 2017 tentang
ambang batas presiden (presidential threshold) Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat” tidak terdapat keraguan sama sekali bagi Mahkamah bahwa
dengan membaca Petitum tersebut sebetulnya yang diinginkan oleh
Pemohon adalah pengujian formil terhadap Pasal 222 UU Pemilu.
Pengujian formil tersebut dapat dibaca dari frasa “pembentukan Undang-
Undang” dan frasa “tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-
undang” dalam Petitum Permohonan Pemohon.
Setelah membaca dengan saksama Petitum Permohonan Pemohon
dimaksud, dalam batas penalaran yang wajar, bilamana Pemohon
menghendaki pengujian materiil Pasal 222 UU Pemilu, seharusnya yang
dimintakan oleh Pemohon adalah menyatakan inkonstitusionalitas Pasal
222 UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51A ayat (5) UU MK,
bukan meminta kepada Mahkamah untuk menilai pembentukan Pasal 222
UU Pemilu. Sebab, secara substansial, logika pengujian formil berbeda
dengan logika pengujian materiil. Andaipun yang dikehendaki oleh
Pemohon adalah pengujian formil, maka sesungguhnya pengujian formil
tidak dapat dilakukan hanya untuk membatalkan pasal-pasal tertentu
saja. Logika pengujian formil, seandainya Mahkamah mengabulkannya,
maka yang dinyatakan inkonstitusional adalah undang-undang secara
keseluruhan, bukan hanya pasal-pasal tertentu saja. Dengan demikian,
secara substansial, tidak terdapat hubungan antara posita dan petitum
permohonan Pemohon. Lagipula, pengajuan permohonan pengujian
formil tunduk pada syarat batas waktu pengajuan permohonan, yaitu 45
hari sejak undang-undang yang dimohonkan pengujian diundangkan,
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010. Artinya, pengujian formil
terhadap UU Pemilu telah tidak dapat lagi diajukan.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
tersebut di atas, telah ternyata permohonan Pemohon a quo kabur.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 96/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Jandi Mukianto diwakili oleh kuasa hukumnya Lembaga Bantuan Hukum
Lentera Keadilan Rakyat

frasa “tionghoa” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa “tionghoa” dalam permohonan a quo,
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan
bertanggal 7 November 2018 dari Jandi Mukianto, yang berdasarkan
Surat Kuasa Khusus bertanggal 1 November 2018 memberi kuasa
kepada: Haris Satiadi, S.H., Suheru Prayitno, S.H., Rendy Alexander, S.H.,
Nikite Alvinta Bujangga, S.H., Praja Wibawa, S.H., dan Ocar Puspa Dewi,
S.H., kesemuanya adalah Advokat dan Advokat Magang [sic!] pada
Lembaga Bantuan Hukum Lentera Keadilan Rakyat (LBH LKRA) yang
beralamat di Jalan Sukarjo Wiryopranoto Nomor 8D Gambir, Jakarta
Pusat, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal
13 November 2018 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
dengan Nomor 96/PUU-XVI/2018 pada tanggal 21 November 2018 perihal
Permohonan Pengujian kata “Tionghoa” dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

2. Bahwa terhadap permohonan Nomor 96/PUU-XVI/2018 tersebut,
Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:

a. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 234/TAP.MK/2018
tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor
96/PUU-XVI/2018, bertanggal 21 November 2018;

b. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
235/TAP.MK/2018 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk
memeriksa perkara Nomor 96/PUU-XVI/2018, bertanggal 21 November
2018;

3. Bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Pemeriksaan
Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada
tanggal 6 Desember 2018;

4. Bahwa Mahkamah telah menerima surat dari Pemohon bertanggal
17 Desember 2018 perihal penarikan permohonan yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Desember 2018;

5. Bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Panel pada
tanggal 19 Desember 2018 dengan agenda menerima Perbaikan
Permohonan dan sekaligus meminta konfirmasi perihal surat sebagaimana
termaktub pada angka 4 di atas, namun Pemohon tidak hadir sekalipun
telah dipanggil secara sah dan patut;

6. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut,
Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali
Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi
dilakukan”;

7. Bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 10 Januari
2019 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan
Nomor 96/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum dan sesuai dengan
Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan kembali suatu Permohonan
mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Dr. Husdi Herman, S.H.,M.M. dan Viktor Santoso Tandiasa, S.H.,M.H.

Pasal 31A ayat (1) dan Pasal 31A ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2009 serta
Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Nomor 48 Tahun 2009

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang

[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan persoalan pokok
permohonan para Pemohon, Mahkamah setelah memeriksa secara
saksama Permohonan a quo, seluruh dalil para Pemohon bermuara pada
satu persoalan konstitusional apakah ketentuan Pasal 31A ayat (1) UU
3/2009 mengenai permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung
oleh Pemohon atau kuasanya kepada MA bertentangan dengan UUD
1945. Terhadap persoalan pokok tersebut, sebelum mempertimbangkan
lebih jauh dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk
mengutip kembali sebagian pertimbangan Mahkamah dalam Putusan
Nomor 30/PUU-XIII/2015, meskipun menurut para Pemohon permohonan
a quo berbeda dengan Permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015, namun
menurut Mahkamah persoalan konstitusionalitas permohonan a quo
berkaitan erat dan ada relevansinya dengan pertimbangan hukum dalam
putusan perkara tersebut khususnya di dalam menjawab persoalan pokok
yang didalilkan para Pemohon.


Bahwa dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 perihal
pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, bertanggal 31 Mei 2016, Mahkamah menolak permohonan para
Pemohon dengan pertimbangan hukum antara lain:


"[3.12] Menimbang bahwa dalam hukum acara yang berlaku, ada
perbedaan antara proses persidangan di pengadilan tingkat pertama
dengan proses persidangan di tingkat banding, tingkat kasasi, dan dalam
acara peninjauan kembali. Persidangan di pengadilan tingkat pertama,
kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang, pemeriksaannya
terbuka untuk umum dan dihadiri pihak-pihak berperkara. Akan tetapi
pada pengadilan tingkat banding, tingkat kasasi, maupun peninjauan
kembali, persidangan tidak dihadiri pihak-pihak, kecuali pengadilan
menghendaki, oleh karena itu, hakim hanya membaca berkas perkara
yang berasal dari pengadilan tingkat pertama;


Oleh karena perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir
seyogianya hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang
mengakomodir pemeriksaan dan pengucapan putusannya dihadiri oleh
pihak-pihak dan setiap orang boleh menghadiri jalannya persidangan. Hal
tersebut sejalan pula dengan asas audi et alteram partem, yaitu memberi
kesempatan yang sama kepada para pihak untuk didengar dalam
persidangan termasuk menghadirkan saksi dan ahli.


Permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketika
pada praktiknya Mahkamah Agung baik sebagai judex facti sekaligus
judex juris dalam melakukan pemeriksaan perkara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang tidak dihadiri oleh pihak-
pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk
umum, maka Pasal 31A ayat (4) UU MA menjadi bertentangan dengan
UUD 1945 sehingga harus ditafsirkan “Permohonan pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan, yang pemeriksaan pokok permohonan dan
pembacaan putusan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum”
sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon dalam permohonannya;


[3.13] Menimbang bahwa sebagaimana yang telah diiuraikan Mahkamah
dalam pertimbangan di atas, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan ayat
(2) UU 48/2009 dan Pasal 40 ayat (2) UU MA maka semua persidangan
dan pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk
umum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang termasuk perkara
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
Dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, tidak ada pertentangan
konstitusionalitas norma antara Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan UUD
1945 karena telah jelas dan tegas bahwa Mahkamah Agung sebagai
pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang (hak uji materiil) diberikan langsung
oleh UUD 1945 maka sidang pemeriksaan dan pengucapan putusannya
dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Namun
permasalahannya adalah apakah waktu 14 hari (sejak berkas diterima)
yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Mahkamah Agung untuk
menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang merupakan waktu yang cukup untuk
melaksanakan sidang secara terbuka seperti yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang tidak
diberikan batas waktu seperti Mahkamah Agung sehingga cukup waktu
bagi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan sidang pemeriksaan
pembuktian untuk mendengar keterangan saksi atau pun keterangan ahli
yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam kenyataannya,
perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak
hanya perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang tetapi juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta
perkara peninjauan kembali, yang juga membutuhkan waktu untuk
penyelesaiannya. Demikian juga untuk menghadirkan pihak berperkara
yang berada di seluruh wilayah Republik Indonesia memerlukan waktu
lebih lama, sementara Mahkamah Agung hanya diberi waktu 14 hari
untuk menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang sejak permohonan diterima oleh Mahkamah
Agung yang tidak dapat dilanggar oleh Mahkamah Agung. Alasan tersebut
di atas menjadi kendala dan hambatan bagi Mahkamah Agung untuk
melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan memberi
kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk
umum dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang;


[3.14] Menimbang bahwa dengan dasar pertimbangan tersebut di atas,
apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang
terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka Mahkamah Agung
harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang
memadai. Hal tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang (open legal policy) dan bukan merupakan
konstitusionalitas norma”.

[3.12] Menimbang bahwa setelah mencermati pertimbangan hukum
dalam putusan Mahkamah tersebut di atas, persoalan konstitusional yang
dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara tersebut berkenaan
langsung dengan ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU MA, yaitu mengenai
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang- undang dilakukan oleh MA paling lama
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan, yang oleh para Pemohon dimohonkan agar pemeriksaan
oleh MA dilakukan dengan pemeriksaan dan putusan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum dan tentunya dalam persidangan dengan
pemeriksaan yang terbuka untuk umum pula dengan agenda pada
hakikatnya memberikan kesempatan para pihak untuk mengajukan alat-
alat bukti berupa saksi, ahli, dan bukti lainnya dan terkait dengan hal
tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009
adalah konstitusional dan dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum
pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah berpendirian
bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009 mengenai permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang oleh
MA dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan adalah konstitusional;


Bahwa lebih lanjut dijelaskan, permohonan yang diajukan oleh para
Pemohon dalam permohonan a quo adalah berkenaan dengan
konstitusionalitas Pasal 31A ayat (1) UU 3/2009 yang secara substansi
juga dimohonkan para Pemohon agar Mahkamah menyatakan norma
Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai
“Proses Pemeriksaan dalam Persidangan atas Permohonan Keberatan Hak
Uji Materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum” dan menyatakan
secara mutatis mutandis Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009 bertentangan
dengan Konstitusi (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat karena menjadi tidak relevan untuk dipertahankan
keberadaannya. Terhadap dalil dan permohonan para Pemohon a quo,
Mahkamah berpendapat bahwa sebenarnya esensi persoalan
konstitusionalitas yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara a
quo adalah sama dengan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan
dalam permohonan yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam
Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015, yaitu berkaitan dengan
pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang- undangan di
bawah undang-undang di MA dilakukan dengan dihadiri oleh para pihak
dengan memberi kesempatan para pihak untuk mengajukan alat bukti
berupa saksi, ahli maupun bukti lainnya dan dilaksanakan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Oleh karenanya apabila
mencermati pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor
30/PUU-XIII/2015, maka argumentasi para Pemohon tersebut juga telah
dijawab dan ditegaskan oleh Mahkamah, bahwa hal tersebut terkendala
dengan batas waktu pemeriksaan oleh MA yang diberikan oleh undang-
undang yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Oleh karenanya
meskipun para Pemohon mengajukan permohonan a quo dengan
mendasarkan permohonannya yang merujuk Pasal 31A ayat (1) UU
3/2009, namun Mahkamah berkesimpulan semangat yang diinginkan oleh
para Pemohon substansinya sama dengan permohonan yang telah
diputus dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang
tentunya tidak dapat dilepaskan dengan terkendalanya MA untuk
melakukan pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dengan
menghadirkan dan mendengar kedua belah pihak (audi et alteram
partem) dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas
waktu pemeriksaan yang hanya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana
yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan penegasan lain dalam
pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015
tersebut tidak memungkinkan bagi MA untuk melaksanakan persidangan
dengan menghadirkan para pihak dan memberi kesempatan untuk
mengajukan alat bukti berupa saksi, ahli, serta bukti lainnya dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas waktu pemeriksaan
yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Dengan pertimbangan hukum
tersebut lebih lanjut Mahkamah menegaskan juga bahwa apabila para
Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang terbuka
untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka MA harus diberikan waktu
yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut
menurut Mahkamah telah ditegaskan merupakan kewenangan pembentuk
Undang-Undang dan bukan konstitusionalitas norma.


[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya penting bagi Mahkamah untuk
menjawab dalil lainnya para Pemohon berkaitan dengan anggapan para
Pemohon yang ada dalam permohonan yaitu adanya kondisi hukum baru
melalui Putusan Mahkamah Nomor 93/PUU-XV/2017 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa kewenangan MA dalam uji materiil berbeda dengan
kewenangan mengadili perkara pada tingkat kasasi, dan kewenangan uji
materiil bukanlah bagian dari peran MA sebagai judex juris. Menurut para
Pemohon hal tersebut berbeda dengan pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya
menyatakan tidak ada pertentangan konstitusionalitas norma antara Pasal
31A ayat (4) UU 3/2009 dengan UUD 1945 karena telah jelas dan tegas
bahwa MA sebagai pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
diberikan langsung oleh UUD 1945 maka sidang pemeriksaan dan
pengucapan putusannya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.


Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat penegasan
fungsi dan kewenangan MA yang diuraikan dalam pertimbangan dua
Putusan tersebut sebenarnya hanya memberikan ilustrasi kepada para
Pemohon dalam permohonan perkara-perkara tersebut tentang fungsi
dan kewenangan MA yang penekanannya pada persidangan dan
pemeriksaan terhadap perkara apapun, termasuk pembacaan putusan,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang harus dilakukan dengan
persidangan yang terbuka untuk umum, bukan pada pemeriksaan yang
terbuka untuk umum dengan agenda persidangan mendengar keterangan
para pihak dan memberi kesempatan para pihak mengajukan alat-alat
bukti, berupa saksi, ahli maupun bukti lainnya.


Dengan demikian telah jelas jawaban dan sikap Mahkamah terhadap
permohonan para Pemohon a quo dan oleh karenanya meskipun para
Pemohon mempersoalkan adanya keterkaitan pendirian Mahkamah dalam
Putusan Nomor 30/PUU-XIII/2015 dengan Putusan Nomor 93/PUU-
XV/2017 berkenaan dengan eksistensi MA dalam menjalankan fungsi dan
kewenangannya dalam memeriksa perkara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang menurut para
Pemohon hanya terbatas berkaitan dengan waktu pemeriksaan bukan
mengenai pemeriksaan yang harus dihadiri oleh para pihak untuk
memenuhi prinsip mendengar keterangan kedua belah pihak (audi et
alteram partem), namun terhadap hal ini Mahkamah tidak sependapat
dengan dalil para Pemohon tersebut, mengingat persoalan waktu 14
(empat belas) hari kerja dengan memberi kesempatan para pihak untuk
dihadirkan di persidangan dan mengajukan alat bukti yang cukup serta
persidangan dilakukan dengan terbuka untuk umum adalah satu
rangkaian proses yang terintegrasi. Proses demikian merupakan satu
kesatuan tahapan hukum acara yang saling berkorelasi antara waktu
pemeriksaan yang cukup dengan memberi kesempatan para pihak untuk
hadir dan didengar keterangannya serta menerima pembuktian para
pihak dengan mengajukan saksi, ahli dan bukti lainnya dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu argumentasi
para Pemohon a quo haruslah dikesampingkan dan Mahkamah tetap
berpendirian bahwa persoalan waktu dan memberi kesempatan para
pihak untuk hadir dan didengar di persidangan serta mengajukan alat-alat
bukti baik saksi, ahli dan bukti lainnya dalam persidangan yang terbuka
untuk umum adalah persoalan konstitusionalitas norma yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan hal tersebut tepat diajukan
kepada pembentuk undang-undang. Dengan demikian telah jelas bahwa
apabila ada persidangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan manapun
yang tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain atau harus tertutup, maka hal tersebut adalah persoalan
implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma.
Sedangkan permasalahan persidangan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di MA yang
oleh para Pemohon didalilkan harus dilakukan dengan pemeriksaan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dan menghadirkan, mendengar,
dan memberi kesempatan para pihak mengajukan alat bukti berupa,
saksi, ahli dan bukti lainnya, dalam hal ini Mahkamah menegaskan hal
tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, mengingat
persoalan pokok yang dipersoalkan oleh para Pemohon berkaitan erat dan
satu kesatuan dengan persoalan waktu pemeriksaan yang dimiliki oleh MA
yang hanya 14 (empat belas) hari kerja dan telah diputus dalam perkara
sebelumnya.


[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, Mahkamah berpendapat bahwa pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 mutatis mutandis berlaku
terhadap pertimbangan hukum dalam putusan permohonan a quo dan
oleh karenanya permohonan para Pemohon selebihnya berkaitan dengan
norma Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009 yang meminta agar Mahkamah
menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak relevan lagi untuk
dipertimbangkan. Sehingga oleh karena itu norma Pasal 31A ayat (4) UU
3/2009 tetap konstitusional.


[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 89/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Yadi Supriyadi, Rahmat Kusaeri, Sudirman, Sidiq Permana, Dian, Asep
Sobarna, Zamzam Aqbil Raziqin, Didin Saepudin, Cepi Sopandi, Hikmat
Rohendi, Sachrial, Cecep Supriatna, Erik Roeslan Fauzi, Tatang Gunawan,
Atin Nurhayati, Yuyu Yuningsih, Firmansyah, dan Dadan Ramdani

Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

Pasal 18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

[3.5] Berdasarkan seluruh uraian di atas, permasalahan para Pemohon
pada pokoknya adalah mengenai norma dalam UU 33/2004 yang
mengatur angka pembagian DBH dari Penerimaan Pertambangan Panas
Bumi kepada provinsi. Menurut para Pemohon aturan ini menyebabkan
kurangnya anggaran pemerintah kabupaten yang bersumber dari
pertambangan panas bumi, sehingga berdampak pada tidak efektifnya
pemerintah kabupaten dalam menanggulangi bencana alam yang terjadi
karena kegiatan pertambangan panas bumi.

Terhadap uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum
tersebut, menurut Mahkamah, norma Pasal 21 ayat (2) huruf a UU
33/2004 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon adalah norma
yang mengatur mengenai hak daerah, sebagaimana dinyatakan oleh
ketentuan norma a quo bahwa “Dana Bagi Hasil dari Penerimaan
Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dibagi dengan rincian: a. 16% (enam
belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan…”. Daerah yang
dimaksud dalam ketentuan ini dapat berarti daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota. Oleh karena hal ini merupakan hak daerah, lebih khusus
lagi adalah hak pemerintah provinsi, maka yang seharusnya dapat
mempersoalkan konstitusionalitas norma a quo adalah pemerintah
provinsi, bukan perorangan warga negara.

Berdasarkan uraian di atas, oleh karena substansi permohonan a quo
adalah berkenaan dengan hak daerah, baik daerah provinsi maupun
kabupaten/kota, apabila berkenaan dengan hak tersebut terdapat norma
yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka sesungguhnya
yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah
pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu
menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait
dengan hak pemerintah daerah telah diputuskan oleh Mahkamah dalam
putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, bertanggal 21 Februari
2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015,
bertanggal 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
136/PUU-XIII/2015, bertanggal 11 Januari 2017. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah
mempertimbangkan antara lain:

Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan
Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan
dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan
DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota
bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota”. [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
87/PUU-XIII/2015, hlm.59]
Walaupun permohonan pengujian dalam putusan-putusan Mahkamah di
atas bukan terkait dengan norma dalam UU 33/2004 tetapi terkait dengan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah (in casu Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut UU
23/2014) namun secara substansi adalah menyangkut hak dan/atau
urusan yang menjadi kewenangan daerah, sehingga terlepas dari soal
apakah yang dipersoalkan itu adalah UU 23/2014 ataupun UU 33/2004
sepanjang menyangkut hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan
daerah maka yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan pengujian adalah pemerintahan daerah. Urusan-urusan
pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah baik
berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, atau tugas pembantuan tidak
akan dapat dilaksanakan tanpa diikuti dengan pembagian keuangan pusat
dan daerah. Hal ini pun dapat dipahami dari Konsiderans “Menimbang”
huruf c UU 33/2004 yang menyatakan “untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber
pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa
sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan,
tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan”.

Dengan demikian, oleh karena substansi permohonan a quo adalah
berkenaan dengan pembagian dana bagi hasil di mana persoalan dana
bagi hasil tersebut merupakan hak daerah sehingga merupakan bagian
dari persoalan hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah.
Oleh karena itu, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas,
maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma yang
dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah Pemerintahan Daerah,
bukan orang perorangan. Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
a quo.

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
Permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Partai Solidaritas Indonesia (PSI), diwakili oleh Grace Natalie Louisa selaku Ketua Umum dan Raja Juli Antoni selaku Sekretaris Jenderal

Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2), Pasal 276 ayat (2), dan Pasal 293 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 35 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.16] Menimbang bahwa mengenai dalil Pemohon berkenaan dengan frasa “dan/atau citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu, di mana menurut Pemohon perumusannya mengandung ketidakjelasan, multitafsir atau karet, serta bercampur-baur dengan makna sosialisasi dan pendidikan politik, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:


[3.16.1] Bahwa untuk menjelaskan frasa di atas, perlu dirujuk kembali Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (UU 12/2011) yang di antaranya mengatur perihal makna penting kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Terkait dengan rujukan tersebut, masalah mendasar yang perlu dikemukakan: apakah frasa “citra diri” merupakan frasa yang tidak jelas, sehingga dapat dikualifikasi tidak memenuhi asas kejelasan rumusan.

[3.16.2] Bahwa secara gramatikal, dalam KBBI kata “citra” dimaknai sebagai rupa; gambar; gambaran pribadi, organisasi atau produk; kesan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat; data atau informasi. Ketika kata dimaksud digunakan untuk mendefinisikan kampanye Pemilu, maka citra diri peserta Pemilu dapat dipahami sebagai gambaran pribadi, produk atau program peserta Pemilu, atau visualisasi diri berupa frasa, kalimat, gambar atau data yang disampaikan kepada pemilih. Artinya, ketika peserta Pemilu menampilkan gambaran positif tentang dirinya dalam segala bentuk, maka hal tersebut merupakan citra diri peserta Pemilu itu sendiri.

[3.16.3] Bahwa dalam menilai maksud frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu tidak dapat dilepaskan dari pemaknaannya dalam Bahasa Indonesia. Makna atau arti dalam bahasa-lah yang pertama-tama mesti dijadikan patokan atau ukuran untuk menilai apakah kata atau frasa tersebut mengandung ketidakjelasan atau malah sebaliknya. Ketika suatu kata dimaknai atau diartikan sesuai maksudnya secara bahasa hal itu tidak dapat dikatakan bahwa kata tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan. Sebab, apa yang dimaksud dengan kata tersebut sudah sangat jelas dan tidak multitafsir. Dengan memahami frasa “citra diri” sesuai konteks bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia, maka saat kata tersebut digunakan dalam UU Pemilu, khususnya dalam definisi kampanye kata tersebut pun mesti dipahami sebagaimana adanya menurut bahasa tersebut. Dengan demikian, frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sama sekali tidak mengandung ketidakjelasan. Sebab, maksudnya akan dipahami sebagai gambar, suara, data, atau grafik yang menggambarkan diri Peserta Pemilu. Pada saat peserta Pemilu menampilkan gambaran dirinya melalui gambar, suara, data atau grafik, maka kegiatan tersebut termasuk dalam apa yang dimaksud dengan frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu.

[3.16.4] Terhadap anggapan Pemohon bahwa keberadaan frasa a quo telah menyebabkan bercampuraduknya antara kegiatan pendidikan politik dengan kampanye dimaksud perlu dipertimbangkan bahwa kampanye pada hakikatnya adalah juga bagian dari pendidikan politik, sehingga bagaimana mungkin membuat batas demarkasi antara keduanya sebagaimana hendak dikonstruksi oleh Pemohon. Dalam konteks itu, ketika kegiatan kampanye Pemilu dibatasi dan diatur sedemikian rupa, maka dipastikan bahwa pendidikan politik yang dilakukan peserta Pemilu dalam masa kampanye juga akan turut menyesuaikan dengan pengaturan dimaksud. Oleh karena itu, tidaklah tepat sesungguhnya untuk menilai bahwa frasa “dan/atau citra diri” dianggap mengandung ketidakjelasan rumusan karena bercampuraduknya kegiatan pendidikan politik dengan kampanye.

[3.16.5] Bahwa terhadap adanya Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 7 Tahun 2018 yang mendefinisikan citra diri sebagai setiap alat peraga atau materi lain yang mengandung unsur logo partai dan nomor urut Parpol peserta Pemilu, di mana hal tersebut dianggap Pemohon menunjukkan multitafsirnya frasa “citra diri” dalam ketentuan dimaksud, menurut Mahkamah, apa yang didefinisikan tentang citra diri dalam Perbawaslu a quo merupakan kewenangan Bawaslu dalam mengawasi pelaksanaan kampanye. Dalam hal adanya penilaian bahwa Perbawaslu dimaksud bersifat multitafsir, hal tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

[3.16.6] Bahwa lebih jauh, dari aspek sejarah perumusan definisi kampanye, frasa “citra diri” baru muncul dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam undang- undang Pemilu sebelumnya, baik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012) maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 48/2008), kampanye hanya didefinisikan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 29 UU 8/2012
“Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. “

Pasal 1 angka 22 UU 42/2008
“Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon.”

Bahwa dengan definisi yang sangat sederhana di atas, kegiatan kampanye Pemilu tidak dapat dikendalikan dan diawasi secara maksimal dalam kerangka Pemilu yang jujur dan adil. Berbagai kegiatan peserta Pemilu yang sesungguhnya merupakan kampanye, tidak dapat diklasifikasikan sebagai kampanye. Kegiatan-kegiatan yang secara materiil merupakan kampanye Pemilu, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak dapat dijangkau melalui proses pengawasan kampanye. Untuk menghindari tuduhan pelanggaran kampanye, peserta Pemilu berdasarkan undang-undang tersebut cukup mengampanyekan diri dengan menampilkan citra dirinya tanpa mencantumkan visi, misi, atau programnya, atau dengan cara tidak mencantumkan visi, misi dan program secara akumulatif, sehingga ia terhindar dari pengawasan penyelenggara Pemilu. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, citra diri yang ditampilkan melalui gambar, suara, visual ataupun data sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kampanye Pemilu, dan oleh karenanya juga mesti diawasi oleh pengawas Pemilu.


[3.16.7] Bahwa dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam regulasi Pemilu sebelumnya, UU Pemilu mengadopsi frasa “citra diri” dan dirumuskan dengan rumusan alternatif menggunakan frasa “dan/atau” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Dengan dimasukkannya frasa tersebut melalui penggunaan rumusan alternatif, maka tidak ada lagi kegiatan yang pada intinya merupakan kampanye Pemilu namun tidak dapat diatur dan diawasi sebagai kegiatan kampanye Pemilu. Dalam konteks ini, regulasi Pemilu sesungguhnya hendak menjaga agar kampanye berjalan secara adil dan dapat diawasi sehingga dapat menopang berjalannya pemilu secara jujur dan adil. Dengan demikian, tidak ada lagi peserta atau pihak lain yang mencoba untuk memanfaatkan celah hukum yang ada untuk berkampanye secara terselubung karena semuanya akan terjangkau oleh lembaga pengawas Pemilu dengan segala kewenangan yang dimilikinya.


[3.16.8] Bahwa apabila permohonan Pemohon untuk menyatakan frasa “dan/atau citra diri” bertentangan dengan UUD 1945 diterima, maka kelemahan yang terdapat dalam regulasi Pemilu sebelumnya tidak akan dapat diatasi. Selain itu, pembatalan frasa a quo juga akan mengembalikan proses kampanye Pemilu ke keadaan sebelumnya, di mana kampanye Pemilu tidak dapat diawasi secara maksimal. Pada gilirannya, pengalaman pelaksanaan kampanye di bawah UU 8/2012 maupun UU 42/2008 akan sangat pontensial terulang kembali. Pada saat yang sama, upaya untuk menempatkan kampanye Pemilu sesuai kondisi materiilnya guna menjaga agar Pemilu berjalan secara jujur dan adil, tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, upaya memperbaiki kualitas penyelenggaraan Pemilu melalui pembaharuan rumusan definisi kampanye dalam UU Pemilu merupakan suatu kebutuhan sehingga tidak ada lagi celah hukum yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menghindar dari pengawasan pelanggaran pelaksanaan kampanye.


[3.16.9] Bahwa, keberadaan frasa “citra diri” sesungguhnya juga tidak membuka ruang untuk adanya tindakan sewenang-wenang penyelenggara Pemilu. Dalam arti, penyelenggara Pemilu tidak dapat menafsirkan frasa tersebut secara lentur, di mana, pada satu kondisi tertentu, frasa tersebut diartikan dalam makna tertentu, sementara dalam kondisi lain, ia akan ditafsirkan dengan makna lain lagi. Hal tersebut akan sangat sulit terjadi, sebab maksud yang dikandung frasa “citra diri” telah sangat jelas dan mencakup segala tindakan peserta pemilu terkait pencitraan dirinya. Kalaupun dalam pelaksanaannya penyelenggara Pemilu menerapkan norma tersebut secara berbeda kepada peserta Pemilu, hal itu lebih sebagai pelanggaran terhadap prinsip profesionalitas penyelenggara Pemilu, bukan masalah konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon terkait Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sepanjang frasa “dan/atau citra diri” tidak beralasan menurut hukum.


[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 karena menurut Pemohon norma tersebut telah melanggar hak dan kebebasannya untuk menyampaikan pendapat, pandangan politik dalam bentuk penyampaian visi, misi dan program melalui media massa dengan jangka waktu tertentu. Terhadap dalil tersebut, masalahnya, apakah pengaturan kampanye dalam bentuk pemasangan APK (Alat Peraga Kampanye), iklan media massa, dan debat sebagai kampanye yang difasilitasi KPU merupakan bentuk pembatasan hak yang bertentangan UUD 1945.


[3.17.1] Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pembatasan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dapat dilakukan dengan alasan-alasan konstitusional tertentu. Sejauh pembatasan tersebut masuk akal, proporsional, diberlakukan secara sama bagi semua peserta Pemilu dan tidak diskriminatif tidak dapat dikategorikan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih jauh apakah pembatasan terhadap teknis penyelenggaraan kampanye Pemilu dengan metode APK, iklan media massa, dan debat merupakan pembatasan yang tidak proporsional atau diskriminatif bagi peserta Pemilu.


[3.17.2] Bahwa perlu ditegaskan kembali, pembatasan hak dan kebebasan dalam pelaksanaan kampanye melalui APK, iklan media massa dan debat harus dipahami dalam kerangka bahwa Pemilu merupakan sarana pelaksanaan daulat rakyat. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, kontestasi Pemilu sebagai upaya memperebutkan kepercayaan rakyat bukan ajang kontestasi yang membiarkan kontestan Pemilu berkompetisi tanpa peran negara dan tanpa pembatasan. Terkait hal tertentu, peran negara melalui KPU untuk memfasilitasi kampanye dapat dibenarkan dalam rangka menjaga agar asas Pemilu yang jujur dan adil dapat dijaga. Dengan adanya proses fasilitasi dimaksud, kampanye dengan metode APK dan iklan kampanye tidak kemudian berubah menjadi sarana pencitraan masif, sehingga hakikat kampanye sebagai sarana pendidikan politik menjadi terabaikan. Dalam konteks ini, pengaturan fasilitasi kampanye dengan metode APK dan iklan media massa oleh KPU dapat diposisikan sebagai jalan untuk mengantisipasi agar metode-metode kampanye yang awalnya ditujukan untuk pendidikan politik tidak berubah menjadi sekedar pencitraan semata. Adalah benar bahwa kampanye merupakan bagian dari bagaimana kontestan Pemilu membangun citra dirinya, namun bukan berarti kampanye dengan metode tertentu dapat dilakukan secara bebas yang akan berakibat mendegradasi hakikat kampanye menjadi kegiatan pencitraan semata. Agar hal itu tidak terjadi, maka pembatasan-pembatasan perlu dilakukan.


[3.17.3] Bahwa selanjutnya, kampanye dengan metode APK dan iklan media juga dapat dibiayai dari APBN. Dalam konteks ini, APK dan iklan media massa bisa dibiayai dengan APBN dan juga bisa dibiayai oleh peserta Pemilu. Hanya saja, pelaksanaan keduanya harus difasilitasi oleh KPU. Dibukanya ruang kampanye dalam bentuk APK dan iklan dibiayai APBN merupakan salah satu jawaban atas persoalan-persoalan kampanye yang terjadi dalam Pemilu dan Pilkada, di mana APK sebagian peserta Pemilu begitu massif dan APK peserta Pemilu lainnya sangat minim, sehingga tidak ada kesetaraan antar-peserta. Kontestasi Pemilu yang tergambar melalui kampanye tidak lebih hanya sebagai kompetisi membangun pencitraan diri melalui APK. Pencitraan yang tanpa batas sangat potensial untuk menggeser hakikat kontestasi berbasis program menjadi kontestasi berbasis citra, kontestasi berbasis upaya mendekatkan diri kepada rakyat menjadi kontestasi berbasis modal besar untuk kampanye.


[3.17.4] Bahwa selain itu, APK yang begitu massif tentunya juga membutuhkan biaya mahal yang akhirnya akan menjebak Pemilu menjadi kontestasi berbiaya mahal. Sebab, untuk memenangkan kontestasi Pemilu, peserta Pemilu perlu membangun citra sedemikian rupa dalam kampanye dengan mengeluarkan biaya yang juga tidak sedikit. Pada gilirannya, yang dikhawatirkan adalah bahwa ketika sudah terpilih, pejabat-pejabat terpilih berpeluang untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal kampanyenya. Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, salah satu kebijakan hukum yang diambil pembentuk undang-undang adalah membatasi kampanye dalam bentuk APK dan iklan media massa. Setidaknya pembatasan tersebut ditujukan untuk dua hal penting yang mendasar. Pertama, agar kontestasi Pemilu berjalan lebih adil antar- peserta karena tidak harus mengeluarkan dana besar untuk biaya kampanye. Kedua, untuk mengurangi dampak penyalahgunaan kekuasaan setelah terpilih dalam rangka mengembalikan modal kampanye Pemilu sebelumnya.


[3.17.5] Bahwa lebih jauh, sebagaimana dapat dibaca dalam Risalah Pembentukan UU Pemilu, salah satu alasan pembatasan kampanye dengan metode APK adalah untuk menghindari penggunaan metode ini secara massif sehingga juga menimbulkan dampak lingkungan, seperti pemasangan APK di pohon-pohon, gedung, jembatan, sehingga merusak estetika. Dalam konteks ini, pembatasan ditujukan agar kampanye dengan metode APK tidak menimbulkan kerusakan lingkungan secara terus-menerus dan berlebihan. Adapun pembatasan dan fasilitasi iklan kampanye dengan pendanaan dari APBN, bukan saja berarti agar kontestasi pemilu diletakkan tidak berbasis iklan, melainkan agar lembaga- lembaga penyiaran publik milik negara juga berperan menyelenggarakan iklan kampanye media massa. Dalam konteks ini, undang-undang sesungguhnya hendak mewujudkan keseimbangan dan kesetaraan dalam pelaksanaan kampanye, yaitu keseimbangan peran antara lembaga penyiaran dan media massa milik negara dan swasta serta kesetaraan di antara peserta pemilu. Pembatasan kampanye dengan metode APK maupun iklan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu diberlakukan secara sama bagi seluruh peserta Pemilu. Tidak terdapat perlakuan khusus bagi peserta Pemilu tertentu mana pun. Oleh karena itu, pembatasan yang demikian tidak dapat dikatakan diskriminatif bagi peserta Pemilu, terlepas apakah peserta Pemilu baru atau peserta Pemilu lama. Ketika partai politik telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu, semuanya mesti diberlakukan secara sama dalam hukum Pemilu.

[3.17.6] Bahwa sehubungan dengan itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa sebagai peserta Pemilu baru, pembatasan yang ada justru menyebabkan Pemohon tidak memiliki titik mulai yang sama dengan partai politik peserta Pemilu lainnya yang telah lebih dahulu berdiri dan menjadi peserta Pemilu. Terkait dalil dimaksud, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pembatasan-pembatasan dalam Pemilu, termasuk pembatasan kampanye, tidak dapat diberlakukan secara berbeda untuk peserta Pemilu. Semua peserta Pemilu, terlepas apakah partai politik baru ataupun partai politik lama, tidak dapat dibeda-bedakan. Dengan kata lain harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Justru ketika salah satu diberikan perlakuan yang berbeda dari yang lain, dengan alasan partai politik baru atau lama, hal demikian dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi. Kalaupun seandainya tidak dilakukan pembatasan terhadap kampanye dengan metode APK dan iklan kampanye, maka apa yang dimaksud Pemohon sebagai tidak adanya titik mulai yang sama dengan parpol lainnya akan tetap terjadi. Sebab, ketidaksamaan titik memulai memang karena faktor ada partai lama dan partai baru, sehingga pembatasan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu sama sekali tidak berhubungan dengan masalah titik berangkat yang berbeda antara partai politik peserta Pemilu baru dan partai politik peserta Pemilu yang lama. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak cukup alasan bagi Pemohon untuk mempersoalkan pembatasan kampanye yang ada dengan dalil terdapat titik berangkat yang berbeda antara partai politik lama dan partai politik baru.

[3.17.7] Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas, pembatasan metode kampanye tertentu dalam Pasal 275 ayat (2) dan waktu kampanye dalam Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu merupakan pembatasan yang masuk akal dan proporsional. Proporsional karena pembatasan tersebut adalah dalam rangka menjaga keseimbangan fungsi kampanye Pemilu sebagai sarana pendidikan politik sekaligus juga sebagai sarana membangun citra diri peserta Pemilu. Lebih jauh, pembatasan itupun tidak bersifat diskriminatif, karena semua peserta Pemilu telah diperlakukan secara sama dalam kampanye. Oleh karena itu, dalil Pemohon terkait inkonstitusionalitas Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.


[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma dalam Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim

Pasal 1 angka 35 UU Pemilu

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 35 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbngkan substansi atau pokok permohonan a quo, oleh karena normapasal undang-undang yang dimohonkan pengujian telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 48/PUU-XVI/2018, bertanggal 24 Januari 2019, maka terlebih dahulu Mahkamah akan merujuk putusan dimaksud yng berkenaan dengan pengujian norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa mengenai dalil Pemohon berkenaan dengan frasa “dan/atau citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu, di mana menurut Pemohon perumusannya mengandung ketidakjelasan, multitafsir atau karet, serta bercampur-baur dengan makna sosialisasi dan pendidikan politik, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa untuk menjelaskan frasa di atas, perlu dirujuk kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang di antaranya mengatur perihal makna penting kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Terkait dengan rujukan tersebut, masalah mendasar yang perlu dikemukakan: apakah frasa “citra diri” merupakan frasa yang tidak jelas, sehingga dapat dikualifikasi tidak memenuhi asas kejelasan rumusan.

[3.10.2] Bahwa secara gramatikal, dalam KBBI kata “citra” dimaknai sebagai rupa; gambar; gambaran pribadi, organisasi atau produk; kesan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat; data atau informasi. Ketika kata dimaksud digunakan untuk mendefinisikan kampanye Pemilu, maka citra diri Peserta Pemilu dapat dipahami sebagai gambaran pribadi, produk atau program peserta Pemilu, atau visualisasi diri berupa frasa, kalimat, gambar atau data yang disampaikan kepada pemilih. Artinya, ketika peserta Pemilu menampilkan gambaran positif tentang dirinya dalam segala bentuk, maka hal tersebut merupakan citra diri Peserta Pemilu itu sendiri.

[3.10.3] Bahwa dalam menilai maksud frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu tidak dapat dilepaskan dari pemaknaannya dalam Bahasa Indonesia. Makna atau arti dalam bahasa-lah yang pertama- tama mesti dijadikan patokan atau ukuran untuk menilai apakah kata atau frasa tersebut mengandung ketidakjelasan atau malah sebaliknya. Ketika suatu kata dimaknai atau diartikan sesuai maksudnya secara bahasa hal itu tidak dapat dikatakan bahwa kata tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan. Sebab, apa yang dimaksud dengan kata tersebut sudah sangat jelas dan tidak multitafsir. Dengan memahami frasa “citra diri” sesuai konteks bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia, maka saat kata tersebut digunakan dalam UU Pemilu, khususnya dalam definisi kampanye kata tersebut pun mesti dipahami sebagaimana adanya menurut bahasa tersebut. Dengan demikian, frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sama sekali tidak mengandung ketidakjelasan. Sebab, maksudnya akan dipahami sebagai gambar, suara, data, atau grafik yang menggambarkan diri Peserta Pemilu. Pada saat peserta Pemilu menampilkan gambaran dirinya melalui gambar, suara, data atau grafik, maka kegiatan tersebut termasuk dalam apa yang dimaksud dengan frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu.

[3.10.4] Terhadap anggapan Pemohon bahwa keberadaan frasa a quo telah menyebabkan bercampuraduknya antara kegiatan pendidikan politik dengan kampanye dimaksud perlu dipertimbangkan bahwa kampanye pada hakikatnya adalah juga bagian dari pendidikan politik, sehingga bagaimana mungkin membuat batas demarkasi antara keduanya sebagaimana hendak dikonstruksi oleh Pemohon. Dalam konteks itu, ketika kegiatan kampanye Pemilu dibatasi dan diatur sedemikian rupa, maka dipastikan bahwa pendidikan politik yang dilakukan peserta Pemilu dalam masa kampanye juga akan turut menyesuaikan dengan pengaturan dimaksud. Oleh karena itu, tidaklah tepat sesungguhnya untuk menilai bahwa frasa “dan/atau citra diri” dianggap mengandung ketidakjelasan rumusan karena bercampuraduknya kegiatan pendidikan politik dengan kampanye.

[3.10.5] Bahwa lebih jauh, dari aspek sejarah perumusan definisi kampanye, frasa “citra diri” baru muncul dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam undang-undang pemilu sebelumnya, baik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012) maupun Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 48/2008), kampanye hanya didefinisikan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 29 UU 8/2012
“Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.“

Pasal 1 angka 22 UU 42/2008
“Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon.”

Bahwa dengan definisi yang sangat sederhana di atas, kegiatan kampanye pemilu tidak dapat dikendalikan dan diawasi secara maksimal dalam kerangka pemilu yang jujur dan adil. Berbagai kegiatan peserta pemilu yang sesungguhnya merupakan kampanye, tidak dapat diklasifikasikan sebagai kampanye. Kegiatan-kegiatan yang secara materiil merupakan kampanye pemilu, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak dapat dijangkau melalui proses pengawasan kampanye. Untuk menghindari tuduhan pelanggaran kampanye, peserta pemilu berdasarkan UU tersebut cukup mengampanyekan diri dengan menampilkan citra dirinya tanpa mencantumkan visi, misi, atau programnya, atau dengan cara tidak mencantumkan visi, misi dan program secara akumulatif, sehingga ia terhindar dari pengawasan penyelenggara pemilu. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, citra diri yang ditampilkan melalui gambar, suara, visual ataupun data sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kampanye pemilu, dan oleh karenanya juga mesti diawasi oleh pengawas pemilu.

[3.10.6] Bahwa dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam regulasi Pemilu sebelumnya, UU Pemilu mengadopsi frasa “citra diri” dan dirumuskan dengan rumusan alternatif menggunakan frasa “dan/atau” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Dengan dimasukkannya frasa tersebut melalui penggunaan rumusan alternatif, maka tidak ada lagi kegiatan yang pada intinya merupakan kampanye pemilu namun tidak dapat diatur dan diawasi sebagai kegiatan kampanye pemilu. Dalam konteks ini, regulasi pemilu sesungguhnya hendak menjaga agar kampanye berjalan secara adil dan dapat diawasi sehingga dapat menopang berjalannya pemilu secara jujur dan adil. Dengan demikian, tidak ada lagi peserta atau pihak lain yang mencoba untuk memanfaatkan celah hukum yang ada untuk berkampanye secara terselubung karena semuanya akan terjangkau oleh lembaga pengawas pemilu dengan segala kewenangan yang dimilikinya.

[3.10.7] Bahwa apabila permohonan Pemohon untuk menyatakan frasa “dan/atau citra diri” bertentangan dengan UUD 1945 diterima, maka kelemahan yang terdapat dalam regulasi pemilu sebelumnya tidak akan dapat diatasi. Selain itu, pembatalan frasa a quo juga akan mengembalikan proses kampanye pemilu ke keadaan sebelumnya, di mana kampanye pemilu tidak dapat diawasi secara maksimal. Pada gilirannya, pengalaman pelaksanaan kampanye di bawah UU 8/2012 maupun UU 42/2008 akan sangat potensial terulang kembali. Pada saat yang sama, upaya untuk menempatkan kampanye pemilu sesuai kondisi materiilnya guna menjaga agar pemilu berjalan secara jujur dan adil, tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, upaya memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu melalui pembaharuan rumusan definisi kampanye dalam UU Pemilu merupakan suatu kebutuhan sehingga tidak ada lagi celah hukum yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menghindar dari pengawasan pelanggaran pelaksanaan kampanye.

[3.10.8] Bahwa, keberadaan frasa “citra diri” sesungguhnya juga tidak membuka ruang untuk adanya tindakan sewenang-wenang penyelenggara pemilu. Dalam arti, penyelenggara pemilu tidak dapat menafsirkan frasa tersebut secara lentur, di mana, pada satu kondisi tertentu, frasa tersebut diartikan dalam makna tertentu, sementara dalam kondisi lain, ia akan ditafsirkan dengan makna lain lagi. Hal tersebut akan sangat sulit terjadi, sebab maksud yang dikandung frasa “citra diri” sudah sangat jelas dan mencakup segala tindakan peserta pemilu terkait pencitraan dirinya. Kalaupun dalam pelaksanaannya penyelenggara pemilu menerapkan norma tersebut secara berbeda kepada peserta pemilu, hal itu lebih sebagai pelanggaran terhadap prinsip profesionalitas penyelenggara pemilu, bukan masalah konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon terkait Pasal 1 angka 35 sepanjang frasa “dan/atau citra diri” tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon terkait Pasal 1 angka 35 sepanjang frasa “dan/atau citra diri” tidak beralasan secara hukum.

[3.9] Menimbang bahwa sekalipun para Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo lebih dikarenakan oleh kepentingan pemilih untuk dapat mengetahui visi dan misi peserta pemilu termasuk dalam hal ini Pasal 1 angka 35 UU Pemilu adalah untuk memberikan pembatasan ihwal kampanye, maka menyatakan norma pasal a quo inkonstitusional sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon adalah bertentangan dengan Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa perubahan pengertian kampanye merupakan suatu kebutuhan untuk menjawab kekurangan pengertian kampanye dalam beberapa undang-undang pemilu sebelumnya. Oleh karena alasan mendasar perumusan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan a quo.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 2018 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Gerakan G20 Mei diwakili oleh Irwan S.IP selaku Ketua, Rahman, Jamaluddin

Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN

Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN dianggap Para Pemohon bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat
(1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN dalam
permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa menurut Mahkamah yang menjadi
persoalan utama dalam permohonan a quo adalah apakah penundaan
dan/atau pemotongan transfer dana ke daerah yang tidak memenuhi
anggaran minimal yang diwajibkan atau menunggak membayar iuran
yang diwajibkan oleh Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Untuk menjawab persoalan itu penting bagi
Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan sebagai berikut:


[3.11.1] Bahwa ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang. Sistem negara kesatuan menempatkan
Presiden dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam kedudukan
sebagai pemegang kekuasaan negara inilah Presiden memiliki
kewenangan untuk menentukan urusan pemerintahan pusat dan daerah,
serta mengawasi pelaksanaan dari urusan-urusan pemerintahan tersebut.
Sebagai konsekuensi dari adanya pembagian urusan ini timbul hubungan
kewenangan pusat dan daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah,
serta hubungan pengawasan pusat dan daerah. Untuk memberikan
jaminan kepastian implementasi hubungan dimaksud sesuai dengan
prinsip negara hukum yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, maka ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur masing-masing hubungan tersebut, sehingga dapat
memberikan kepastian sekaligus perlindungan kepentingan kepastian
sekaligus perlindungan kepentingan daerah dalam penyelenggaraan
otonomi.


[3.11.2] Bahwa berkenaan dengan hubungan keuangan pusat dan daerah
dalam konteks otonomi daerah saat ini diatur dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (UU 33/2004). Penerapan
UU 33/2004 ini tidak dapat dipisahkan dalam hubungannya dengan UU
APBN, karena penentuan anggaran daerah setiap tahun ditetapkan dalam
APBN. Sekalipun pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,
namun pemerintahan daerah tidak dapat terlepas dari pemerintah pusat
dalam mengatur pengelolaan keuangan daerah. Hal ini sejalan dengan
maksud ditetapkanya UU APBN setiap tahun sebagaimana tertera dalam
Konsiderans “Menimbang” huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017
tentang Anggaran Pendapatan dan belanja Negara Tahun Anggaran 2018
bahwa “APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam proses penyusunan Rancangan APBN setiap daerah berpartisipasi
dan berkontribusi pada pendapatan negara. Dalam penyusunan
Rancangan APBN, pemerintah daerah ikut terlibat dengan inisiasi aspirasi
di daerah yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat melalui proses
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Hasil dari proses
ini diolah sedemikian rupa untuk ditentukan program-program yang akan
diprioritaskan dalam APBN. Hal ini terlihat jelas dari bunyi Konsiderans
“Menimbang” UU APBN terkait dengan penyusunan APBN bahwa “APBN
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka
mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Atas
dasar pertimbangan tersebut disusun UU APBN yang di dalamnya
mengatur distribusi anggaran oleh pemerintah pusat kepada daerah-
daerah secara proporsional untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
membiayai pembangunan di daerah masing-masing. Pendistribusian APBN
ini berkaitan dengan fungsi distribusi APBN sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, yaitu APBN berfungsi untuk mendistribusikan
pendapatan dalam mengatasi ketidakmerataan yang diakibatkan oleh
adanya kesenjangan perekonomian antardaerah, karena itulah maka
penerimaan pemerintah disalurkan kembali kepada masyarakat. Oleh
karena itu pendapatan negara kemudian akan dialokasikan sebagai
belanja negara yang merupakan kewajiban pemerintah pusat yang terdiri
atas belanja pemerintah pusat, Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(TKDD);

Dalam era otonomi daerah saat ini, daerah diberikan kewenangan yang
lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tujuan utamanya adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah
kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan
mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang
sehat antardaerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan
kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu
mengelola sumber-sumber keuangannya secara hati-hati.

Salah satu langkah yang diambil untuk mewujudkan kemandirian daerah
untuk mengelola keuangannya sendiri adalah dengan desentralisasi fiskal
yang dalam konteks negara kesatuan adalah penyerahan kewenangan
fiskal dari pusat kepada daerah otonom. Kewenangan fiskal paling tidak
meliputi kewenangan untuk mengelola pendapatan/perpajakan,
keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber
daya yang dimiliki daerah untuk membiayai pelayanan publik yang
menjadi tugas daerah. Dengan adanya desentralisasi fiskal ini daerah
dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi
lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya,
sehingga memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Karena ekonomi daerah yang kuat akan mempermudah proses
desentralisasi fiskal berdampak pada efisiensi, peningkatan kualitas
pelayanan publik, demokrasi yang makin matang, tata kelola
pemerintahan yang lebih baik dan bersih, sehingga sumber daya fiskal
akan mencukupi baik untuk daerah dan pusat. Jika ekonomi daerah
lemah, maka problem desentralisasi fiskal akan didominasi oleh
permasalahan kekurangan dan perebutan sumber daya, bukan pada
tujuan untuk menyediakan layanan publik yang lebih baik dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.


[3.11.3] Bahwa desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran didanai
terutama melalui transfer dana ke daerah, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 13 UU APBN bahwa “Transfer ke daerah adalah
bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang bersumber dari Dana Perimbangan, Dana
Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta”, Sedangkan Dana Desa yang dimaksud Pasal 1
angka 23 UU APBN adalah dana yang dialokasikan dalam APBN yang
diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat;

TKDD merupakan salah satu mekanisme pendanaan dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi fiskal, otonomi daerah dan pembangunan desa
yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan
(disparitas) pendanaan dan pelayanan publik terhadap pemerintah daerah
dan/atau ketimpangan antardaerah itu sendiri. TKDD digunakan untuk
memformulisasikan kembali struktur hubungan keuangan antara pusat
dan daerah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
alokasi dan pemanfaatan sumber daya, sebagaimana kehendak Pasal 18A
ayat (2) UUD 1945 bahwa “Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”;

TKDD merupakan salah satu bentuk pengejawantahan kehendak
Konstitusi dalam wujud penyerahan sumber keuangan kepada daerah.
Hal ini sebagai konsekuensi dari adanya penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan berdasarkan asas
otonomi daerah. Selain TKDD, daerah juga diberikan sumber keuangan
lainnya berupa Pendapatan Asli Daerah, yang antara lain berasal dari
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang dikelola sendiri oleh
daerah. Penyerahan sumber keuangan tersebut dimaksudkan agar daerah
mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di
daerahnya. Namun, pemberian sumber keuangan kepada daerah tersebut
harus seimbang dengan beban atau urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Keseimbangan sumber keuangan dimaksud
merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah tersebut.


[3.11.4] Bahwa dari keterangan tertulis pemerintah, telah ternyata
alasan munculnya ketentuan penundaan/pemotongan TKDD karena pada
praktiknya ada daerah-daerah yang tidak patuh dalam mengalokasikan
sejumlah anggaran yang diamanatkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, agar pelaksanaan hak-hak warga
negara berjalan dengan baik maka ketersediaan/pengalokasian anggaran
yang diamanatkan undang-undang tersebut wajib dipenuhi oleh daerah.
Meningkatnya dana transfer daerah tersebut tidak diimbangi dengan
kepatuhan daerah mengalokasikan anggaran yang bersifat mandatory.
Untuk mendorong agar daerah patuh terhadap pengalokasian mandatory
spending, perlu dilakukan upaya paksa, yaitu dengan mengenakan sanksi
berupa penundaan/pemotongan penyaluran TKDD. Mekanisme
pengenaan sanksi tersebut sebelumnya tidak diatur dalam UU APBN
namun untuk menguatkan penggunaan APBD sesuai dengan tujuannya
maka pengaturan mengenai sanksi tersebut dicantumkan dalam UU
APBN, Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN;

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN merupakan salah satu
ikhtiar negara untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara
terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah
daerahnya agar sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 15 ayat
(3) huruf d UU APBN merupakan mandat dari ketentuan Pasal 23 ayat (1)
UUD 1945 yakni dalam rangka melaksanakan APBN secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 15
ayat (3) huruf d UU APBN menjadi instrumen yang dapat digunakan bagi
negara untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang telah
diatur dalam Konstitusi yang diimplementasikan melalui beberapa UU
yang terkait, seperti UU di bidang pendidikan dan UU di bidang
kesehatan. Sehingga negara dapat memaksa daerah untuk melaksanakan
mandat dari UU dimaksud.


[3.12] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan kemudian adalah
apakah penundaan/pemotongan TKDD yang diatur dalam Pasal 15 ayat
(3) huruf d UU APBN menimbulkan kerugian konstitusional. Karena para
Pemohon dalam permohonannya menyatakan diperbolehkannya
penundaan dan/atau pemotongan secara subjektif berimplikasi pada
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat an sich di Kabupaten Kutai
Timur sebagai daerah penghasil;

Pemerintah dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa penundaan
TKDD tersebut dilakukan secara hati-hati dan selektif agar tidak
mengurangi pelayanan dasar kepada masyarakat. Penundaan tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berupa
perkiraan pendapatan dan belanja daerah, termasuk belanja pegawai dan
belanja modal. Karena bersifat penundaan, TKDD yang ditunda tersebut
tidak akan hilang/hangus, namun tetap menjadi hak daerah dan akan
dianggarkan untuk disalurkan kembali ke daerah pada tahun berikutnya.
Selanjutnya, apabila terdapat penundaan/pemotongan TKDD, daerah
perlu melakukan penyesuaian APBD sesuai dengan mekanisme
pengganggaran yang diatur dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2017
tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Tahun Anggaran 2018;

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN
merupakan suatu instrumen sanksi yang fungsinya agar daerah dapat
mematuhi ketentuan, dan hal ini merupakan bagian dari fungsi
pengawasan dari pemerintah pusat terhadap pengelolaan keuangan
daerah sekaligus salah satu strategi pengelolaan keuangan negara untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sanksi demikian
pastinya akan menimbulkan konsekuensi sebagai efek jera dalam
pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik dalam melaksanakan
urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah. Namun konsekuensi
demikian tidaklah merupakan kerugian yang bersifat konstitusional
sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, yang mengkaitkan kerugian
dimaksud dengan kerugian atas hak kepastian hukum, pembangunan,
pekerjaan, kesejahteraan, hidup dan penghidupan yang layak
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A dan 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada dasarnya adanya pemotongan dan/atau penundaan sebagai salah
satu mekanisme pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan fungsi
alokasi pemerintah daerah agar dapat secara tepat, efektif dan efisien
menyelenggarakan pelayanan publik, khususnya di bidang pendidikan,
kesehatan dan dana desa;

Instrumen sanksi kepada daerah yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3)
huruf d UU APBN merupakan salah satu bentuk dari kebijakan “hard-
budget-constraint” untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan
desentralisasi yang terlalu longgar, sehingga tujuan utama dari otonomi
daerah dapat terwujud dengan baik, yakni mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat di daerah.


[3.13] Menimbang bahwa instrumen sanksi dalam sistem keuangan
di Indonesia sudah dikenal sebelum berlakunya Pasal 15 ayat (3) huruf d
UU APBN. Misalnya aturan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selain itu
juga dikenal sanksi kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang secara
sengaja dan/atau lalai dalam menyampaikan laporan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 75 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan;

Menurut Mahkamah instrumen sanksi demikian bukanlah kebijakan yang
inkonstitusional, tetapi justru menguatkan implementasi prinsip negara
hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena ada pengaturan
secara pasti kepada daerah yang lalai dalam memberikan mandatory
spending dalam APBD, dan jaminan pasti kepada masyarakat di daerah
untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan. Sesuai dengan
desain hubungan pusat dan daerah dalam negara kesatuan, pemerintah
pusat memiliki peran untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional,
dalam hal ini melalui hubungan keuangan antara pemerintah pusat-
daerah. Hal ini menurut Mahkamah, merupakan bagian dari pengawasan
dan pembinaan pusat kepada daerah agar daerah dapat mengelola
keuangannya dengan baik, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan di
daerah. Terlebih lagi mengingat penyaluran anggaran transfer ke daerah
sangat terkait dengan kewajiban daerah untuk mengalokasikan anggaran
pendidikan dan kesehatan, termasuk iuran jaminan kesehatan,
sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3)
huruf d UU APBN. Bagi daerah yang tidak memenuhi minimal anggaran
yang diwajibkan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam
kaitan ini dengan penyelenggaraan urusan pendidikan dan kesehatan
dimaksud di atas, maka akan berdampak pada turunnya kesejahteraan
masyarakat di daerah. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu
mendapatkan jaminan kepastian bahwa urusan-urusan ini dianggarkan
dan dilaksanakan di daerah. Dengan demikian, persoalan ini tidak ada
kaitan dengan inkonstitusionalitas norma yang dipersoalkan para
Pemohon. Justru jika tidak ada ketentuan yang memberikan jaminan atas
terlaksananya urusan-urusan wajib daerah in casu pendidikan dan
kesehatan, maka akan merugikan masyarakat di daerah secara luas
sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena
tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat di daerah. Instrumen sanksi yang diatur dalam Pasal 15 ayat
(3) huruf d UU APBN menurut Mahkamah juga tidak bertentangan dengan
Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, karena pemaknaan hubungan keuangan
pusat-daerah yang diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
seharusnya diwujudkan dengan pemanfaatan TKDD secara optimal,
efektif, dan produktif untuk menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat
serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Instrumen sanksi yang
diatur dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN justru merupakan bentuk
kontrol dan pengawasan pemerintah pusat terhadap penggunaan
anggaran di daerah;

Andaipun ada anggapan kerugian yang dialami oleh daerah, dalam hal ini
Kabupaten Kutai Timur, akibat pelaksanaan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU
APBN, maka kerugian demikian bukanlah kerugian konstitusional dan
tidak ada kaitan dengan konstitusionalitas norma. Berkenaan dengan
adanya kekhawatiran para Pemohon terkait dengan penundaan dan/atau
pemotongan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
huruf d UU APBN berdampak pada banyaknya program dan kegiatan yang
telah dianggarkan dan dilaksanakan tidak dapat dibayarkan oleh
pemerintah daerah, menurut Mahkamah hal demikian tidak perlu
dikhawatirkan sepanjang daerah sepenuhnya melaksanakan ketentuan
UU APBN. Apalagi menurut keterangan tertulis Pemerintah yang
dibacakan dalam persidangan tanggal 27 Februari 2018 terhadap
anggaran yang ditunda dapat digulirkan ke tahun berikutnya. Hal ini
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 94 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 187/PMK.07/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke
Daerah dan Dana Desa, yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Pembayaran kembali penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa
yang ditunda dan/atau dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
ayat (2) dilakukan setelah:
a. Dicabutnya sanksi penundaan;
b. Dipenuhinya kewajiban daerah dalam tahun anggaran berjalan;
atau
c. Batas waktu pengenaan sanksi penundaan berakhir sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pembayaran kembali DBH CHT yang ditunda dilakukan bersamaan
dengan penyaluran triwulan berikutnya setelah seluruh persyaratan setiap
triwulan terpenuhi.


[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon
yang menyatakan bahwa keberlakuan norma a quo menimbulkan
ketidakpastian dan ketidakadilan karena dana bagi hasil persentasenya
telah termuat di dalam UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga, menurut para Pemohon adanya
ketidaksesuaian dana bagi hasil yang dibagikan bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Permasalahan yang
didalilkan para Pemohon terkait dengan yang dialami oleh pemerintah
Kabupaten Kutai Timur, bukan merupakan bagian dari persoalan
penundaan dan/atau pemotongan anggaran transfer ke daerah dan dana
desa tetapi terkait dengan realisasi pendapatan Dana Bagi Hasil (DBH)
pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang menurut anggapan para
Pemohon tidak sesuai dengan realisasi awal dikarenakan adanya
pengurangan jumlah Dana Bagi Hasil (DBH) yang dibagikan. Persoalan ini
tidak ada korelasinya dengan norma a quo tetapi berkaitan dengan Pasal
15 ayat (3) huruf b UU APBN yang tidak didalilkan para Pemohon. Namun
pada intinya masih berkaitan dengan TKDD yang memberikan instrumen
sanksi bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank
dalam jumlah yang tidak wajar maka dilakukan konversi penyaluran DBH
dan/atau DAU dalam bentuk nontunai. Menurut Mahkamah, sesuai
dengan amanat Konstitusi bahwa APBN, termasuk APBD, harus
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, maka jika terdapat uang kas daerah atau
simpanan/tabungan daerah di bank menumpuk dalam jumlah yang tidak
wajar, justru menghambat jalannya pembangunan di daerah dan
pelaksanaan otonomi daerah, sehingga tidak memberikan kepastian dan
perlindungan bagi masyarakat khususnya di daerah untuk dapat
menikmati hasil-hasil pembangunan. Oleh karena itu adanya ketentuan
instrumen sanksi tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut
hukum.


[3.15] Menimbang bahwa dengan demikian menurut Mahkamah dalil
para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (3) huruf d UU
APBN inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak
beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Aisyah Sharifa

Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP, serta Pasal 4 UU Pencegahan
Penodaan Agama

Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 76/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP, serta
Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama dalam permohonan a quo,
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 156 dan
Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama
seolah-olah menutup mata adanya perbedaan dalam beragama di
Indonesia dan menderogasi hakikat agama, beribadah, dan toleransi dan
karenanya bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Menurut
Mahkamah, sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan-putusan
Mahkamah sebelumnya, Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak memberikan kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak
beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak
memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-
kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama
Tuhan. Sebaliknya Konstitusi memberikan jaminan terkait dengan
kebebasan beragama warga negaranya. Kebebasan beragama merupakan
salah satu hak asasi manusia yang sangat fundamental, melekat dalam
diri setiap manusia. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah
Nomor 140/PUU-VII/2009, Paragraf [3.55] menyatakan:

…bahwa beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu
merupakan ranah forum internum, merupakan kebebasan, merupakan
hak asasi manusia yang perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah
[vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Negara dalam melaksanakan
tanggung jawabnya untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945];
Bahwa beragama dalam pengertian melaksanakan atau mengamalkan
keyakinan merupakan ranah forum externum yang terkait dengan hak
asasi manusia orang lain, terkait dengan kehidupan kemasyarakatan,
dengan kepentingan publik, dan dengan kepentingan negara…

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kebebasan untuk meyakini
kepercayaan adalah kebebasan yang tidak dapat dibatasi dengan
pemaksaan bahkan tidak dapat diadili, karena kebebasan demikian adalah
kebebasan yang ada dalam pikiran dan hati seseorang yang meyakini
kepercayaan itu (forum internum). Akan tetapi jika kebebasan untuk
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (forum
externum) sudah menyangkut relasi dengan pihak lain dalam suatu
masyarakat maka kebebasan yang demikian dapat dibatasi. Pembatasan
tersebut hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dengan maksud
semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang disesuaikan
dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam masyarakat yang demokratis. Lebih jauh, Mahkamah dalam
pertimbangan hukum Paragraf [3.16.5] Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 56/PUU-XV/2017, bertanggal 23 Juli 2018, menyatakan,

… Negara perlu menentukan pembatasan-pembatasan tertentu agar
pelaksanaan hak dan kebebasan beragama tidak saling berkonflik satu
dengan yang lain maupun konflik dalam satu agama tertentu. Peran
negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang
(forum internum) melainkan lebih dimaksudkan pada pembatasan
terhadap ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati
nurani di muka umum (forum externum) sehingga tidak menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Dalam konteks inilah
sesungguhnya kepastian hukum perlindungan hak dan kebebasan
beragama harus ditempatkan. Kepastian hukum atas hak dan kebebasan
beragama bukanlah semata kepastian hukum bagi hak perorangan,
melainkan juga kepastian hukum yang adil dalam kerangka hak beragama
dan berkeyakinan dalam tatanan kehidupan bersama pada satu agama
dan antar umat beragama …

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, berkenaan dengan
beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama, beragama dalam
pengertian meyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum
internum yang tidak dapat dibatasi dengan pemaksaan bahkan tidak
dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian melaksanakan atau
mengamalkan keyakinan yang merupakan ranah forum externum.
Beragama dalam pengertian kedua inilah yang dapat dibatasi
pelaksanaannya oleh negara melalui undang-undang yakni apabila dalam
pelaksanaannya terkait dengan hak asasi manusia orang lain, terkait
dengan kehidupan kemasyarakatan, dengan kepentingan publik, dan
dengan kepentingan negara. Dengan kata lain, pembatasan sebagaimana
diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU
Pencegahan Penodaan Agama adalah pembatasan yang terkait dengan
beragama dalam pengertian melaksanakan atau mengamalkan keyakinan
(forum externum) dan karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 29
ayat (2) UUD 1945. Sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan
bahwa pasal-pasal a quo seolah-olah menutup mata adanya perbedaan
dalam beragama di Indonesia dan menderogasi hakikat agama,
beribadah, dan toleransi adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 156 dan
Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama
tidak memiliki tujuan yang tepat dalam paradigma pemidanaan, baik
retributif maupun utilitarian, dan justru menghalangi ibadah yang sejati
umat beragama yakni untuk memberitakan kebenaran agama baik
kepada mereka yang berbeda agama maupun kepada penista agama.
Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, keberadaan UU Pencegahan
Penodaan Agama dapat dijadikan dasar untuk mencegah tindakan
penyalahgunaan agama dan penodaan terhadap agama melalui tindakan
administratif yang paling ringan sampai dengan tindakan administratif
yang paling berat. Jika dengan penjatuhan sanksi administratif ternyata
tidak dapat mengubah sikap dan perilakunya yang menimbulkan
keresahan masyarakat maka pengenaan sanksi pidana dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Pemidanaan terhadap
penyalahgunaan agama dan penodaan/penistaan agama adalah penting
karena dalam bentuk apapun, baik dilakukan perorangan maupun
kelompok, penodaan dan penyalahgunaan agama adalah tindakan yang
tidak dapat dibenarkan dalam pandangan hukum. Hal ini dikarenakan
tidak ada orang atau lembaga manapun yang berhak melecehkan agama
dan memperlakukan tidak hormat unsur-unsur keagamaan lain yang pada
akhirnya menimbulkan keresahan dan kemarahan publik [vide Putusan
Mahkamah Nomor 140/PUU-VII/2009].

Penggunaan norma hukum administratif dan/atau norma hukum
pidana dalam UU Pencegahan Penodaan Agama dan KUHP tersebut
tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Justru dengan adanya kedua
norma tersebut menguatkan berlakunya hak asasi manusia, khususnya
yang mengatur kebebasan berpikir dan berpendapat, agar penggunaan
kebebasan berpikir atau berpendapat tersebut tidak malah justru
menjauhkan seseorang dari ketaatan terhadap agama yang diyakininya,
melainkan dapat meningkatkan kualitas dirinya di hadapan Tuhan dan
ajaran-ajaran-Nya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut dalil para Pemohon yang menyatakan
Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP serta Pasal 4 UU Pencegahan
Penodaan Agama tidak memiliki tujuan yang tepat dalam paradigma
pemidanaan, baik retributif maupun utilitarian, dan justru menghalangi
ibadah yang sejati umat beragama yakni untuk memberitakan kebenaran
agama baik kepada mereka yang berbeda agama maupun kepada penista
agama adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang
menyatakan pasal-pasal a quo membuat orang dengan mudahnya
menuduh orang lain melakukan penistaan agama, menurut Mahkamah,
pasal-pasal a quo justru merupakan ketentuan yang bertujuan untuk
menjaga ketentraman dan ketertiban umum di kalangan masyarakat agar
jangan sampai terkena berbagai macam hasutan yang mengacau dan
memecah belah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar, dan lain
sebaginya di depan umum atau di media massa. Andaipun dalil para
Pemohon tersebut benar adanya, quod non, hal tersebut bukanlah
permasalahan konstitusionalitas melainkan terkait dengan penerapan
norma yang harus dibuktikan kebenarannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ihwal kekhawatiran para
Pemohon bahwa orang dengan mudahnya menuduh orang lain
melakukan penistaan agama, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017, telah menegaskan antara lain:

Terhadap kekhawatiran dan penilaian demikian Mahkamah hendak
menegaskan kembali bahwa negara harus menjamin perlindungan bagi
setiap warga negara yang hendak melaksanakan hak konstitusionalnya
secara damai, termasuk dalam menganut agama dan keyakinan, dengan
tidak membiarkan adanya tindakan main hakim sendiri atau persekusi.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan kewajiban negara untuk melindungi
hak konstitusional setiap warga negara atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan, dalam putusan tersebut telah ditegaskan:

bahwa belum dilakukannya revisi atas UU 1/PNPS/1965 sama sekali tidak
mengurangi kewajiban negara untuk melindungi hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan setiap warga negara. Artinya, dengan
adanya peristiwa-peristiwa main hakim sendiri atau persekusi
sebagaimana diuraikan di atas, revisi terhadap UU 1/PNPS/1965 semakin
mendesak untuk dilakukan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 140/PUU-VII/2009.

[3.18] Menimbang bahwa terhadap petitum para Pemohon yang
meminta bahwa frasa “golongan” dalam Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1)
KUHP dimaknai tidak termasuk golongan berdasarkan agama, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.18.1] Bahwa Pasal 156 KUHP adalah ketentuan mengenai ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang yang menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan rakyat Indonesia di muka umum. Adapun Pasal 157
ayat (1) KUHP adalah ketentuan mengenai ancaman pidana yang dapat
dikenakan kepada seseorang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya
mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di
antara atau terhadap golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya
diketahui atau lebih diketahui oleh umum. Kedua ketentuan tersebut pada
pokoknya menekankan pada perbuatan yang mengandung pernyataan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa
golongan rakyat Indonesia. Pengertian golongan sebagaimana tertuang
dalam Pasal 156 KUHP adalah tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang
berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri
asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan
menurut hukum tata negara. Pengertian golongan ini berlaku bukan
hanya untuk Pasal 156 KUHP namun juga terhadap pasal-pasal
selanjutnya.

Adalah benar bahwa KUHP Indonesia merupakan adopsi dari KUHP
Belanda yang pada saat itu diberlakukan di Indonesia, namun pasal
tersebut tidak ada padanannya dalam KUHP Belanda karena di Belanda
pada saat itu semua pada umumnya sama (homogen), baik suku bangsa,
adat istiadat, bahasa, maupun agama. Berkebalikan dengan
Belanda,Indonesia memiliki keragaman dalam berbagai hal, antara lain,
suku bangsa, adat istiadat, dan agama, yang merupakan keniscayaan
yang harus dilindungi. Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP merupakan
ketentuan yang bertujuan untuk mencegah gejolak sosial yang berbau
SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

[3.18.2] Bahwa terkait frasa “golongan”, Mahkamah telah menafsirkan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017, bertanggal
28 Maret 2018 perihal Pengujian Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2)
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Putusan
tersebut, frasa “golongan” meliputi/mencakup suku, agama, dan ras.
Adapun istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan
ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak
terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras. Dengan
demikian, memberikan makna bahwa frasa “golongan” tidak termasuk
golongan berdasarkan agama sebagaimana petitum permohonan para
Pemohon, selain meniadakan/menghilangkan perlindungan hukum bagi
agama itu sendiri yang berarti pelanggaran terhadap UUD 1945 juga
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-
XV/2017.

[3.18.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan pada Paragraf
[3.18.1] dan Paragraf [3.18.2] di atas, menurut Mahkamah, dalil
permohonan para Pemohon mengenai frasa “golongan” dalam Pasal 156
dan Pasal 157 ayat (1) KUHP yang dimaknai tidak termasuk golongan
berdasarkan agama adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
hukum di atas, Mahkamah berpendapat pemohonan para Pemohon
mengenai inkonstitusionalitas Pasal 156 dan Pasal 157 ayat (1) KUHP
serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak beralasan menurut
hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR TAHUN 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Muhammad Hafidz dan Abda Khair Mufti

Pasal 80A UU Ormas

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 94/PUU-XV/2017
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 80A UU Ormas dalam permohonan a
quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama
permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti surat/tulisan, mendengar
dan membaca keterangan ahli, dan membaca kesimpulan yang diajukan
para Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Presiden
(Pemerintah) serta membaca dan mendengar keterangan ahli yang
diajukan oleh Presiden, maka sebelum mempertimbangkan lebih jauh
dalil-dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu
mempertimbangkan sebagai berikut:

1. bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
perbedaan dalam ajaran negara hukum menurut konsepsi rechtsstaat,
etat de droit, dan rule of law, ketiga konsepsi tersebut memuat tiga
substansi dasar yang sama yaitu: (1) substansi yang memuat gagasan
bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh hukum. Sekalipun pada
mulanya substansi ini ditujukan untuk membatasi kekuasaan penguasa (in
casu raja) yang dimaksudkan untuk menghapuskan atau mencegah
lahirnya kekuasaan yang bersifat tiranik, dalam perkembangan
selanjutnya gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh
hukum sekaligus dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi hak-hak
dan kebebasan mendasar warga negara; (2) substansi yang memuat
gagasan tentang legalitas formal yaitu gagasan yang menekankan
keharusan adanya suatu tertib hukum (legal order) yang dibuat dan
dipertahankan oleh negara; (3) substansi yang memuat gagasan bahwa
hukumlah yang memerintah, bukan manusia [vide, antara lain, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari
2018]. Secara umum, lahirnya UU Ormas juga berpijak pada tiga
substansi dasar negara hukum di atas. Artinya, pertama, tindakan
pemerintah yang berkait dengan ormas dibatasi oleh ketentuan yang
terdapat dalam UU Ormas tersebut di mana pembatasan demikian
dilakukan demi melindungi hak-hak dan kebebasan dasar warga negara;
kedua, UU Ormas adalah salah satu bentuk tertib hukum (legal order)
yang dibuat dan dipertahankan oleh negara demi melindungi berbagai
kepentingan dalam kehidupan bernegara guna mencapai tujuan negara;
ketiga, dengan mendasarkan tindakan pada tertib hukum dimaksud, in
casu UU Ormas, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa hukumlah yang
memerintah, bukan orang

2. bahwa gagasan negara hukum yang dipraktikkan di Indonesia
adalah negara hukum yang berlandaskan prinsip supremasi konstitusi,
dalam hal ini UUD 1945. Artinya, seluruh tindakan negara maupun warga
negara tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, yaitu UUD 1945.
Sementara itu, yang dimaksud dengan UUD 1945, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, adalah terdiri
atas Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, dalam
menilai kesesuaian atau pertentangan suatu perbuatan dengan UUD 1945
bukanlah hanya berarti kesesuaian atau pertentangan perbuatan itu
dengan pasal-pasal UUD 1945 secara parsial melainkan terhadap UUD
1945 secara holistik yaitu Pembukaan dan pasal- pasal UUD 1945. Hal
demikian juga berlaku dalam menilai konstitusionalitas UU Ormas;

3. bahwa Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan fundamental
sebab merupakan jiwa dari UUD 1945 secara keseluruhan di mana dari
semangat dan amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 itulah
diturunkan pasal- pasal UUD 1945. Dari alinea keempat Pembukaan UUD
1945 diperoleh penegasan bahwa disusunnya UUD 1945 adalah
kelanjutan dari “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”, yang tiada lain
adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini dapat diketahui
dari pernyataan, “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…” Disusunnya
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yaitu UUD 1945, adalah untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang salah satu tugasnya ialah melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Adapun bentuk
susunan negara yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 adalah
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
tiada lain adalah merujuk pada dasar negara Pancasila. Oleh karena itu,
dalam menilai konstitusionalitas norma yang tertuang dalam UU Ormas
yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo juga tidak boleh
dilepaskan dari konteks ini. Terkait dengan hal itu, baik Konsiderans
“Menimbang” huruf a maupun Penjelasan Umum UU Ormas menegaskan
bahwa dibuatnya UU Ormas a quo adalah sejalan dengan semangat yang
tertuang dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam
Konsiderans “Menimbang” huruf a UU Ormas dinyatakan, “bahwa dalam
rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa.” Sementara itu, dalam Penjelasan Umum UU Ormas dikatakan,
antara lain, “Dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga dan
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar pertimbangan
tersebut, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal
10 Juli 2017. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2017 berdasarkan
ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu ditetapkan menjadi Undang-
Undang”.

[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas, selanjutnya terhadap
dalil-dalil para Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. bahwa dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
pertentangan Pasal 80A UU Ormas dengan prinsip negara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pertimbangan
Mahkamah sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas untuk
sebagian telah dengan sendirinya menjawab dalil para Pemohon a quo.
Namun, Mahkamah perlu menegaskan lebih jauh bahwa negara hukum
memang menjamin hak asasi manusia, in casu hak atas kemerdekaan
berserikat tetapi pada saat yang sama negara hukum juga membenarkan
adanya pembatasan terhadap hak asasi manusia sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,
yaitu bahwa (1) pembatasan tersebut ditetapkan dengan undang-
undang; (2) pembatasan dilakukan semata-mata dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain; (3) pembatasan dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan
tersebut dapat berbentuk larangan maupun keharusan yang disertai
dengan sanksi jika larangan dilanggar atau keharusan tersebut tidak
dilaksanakan. Namun, dalam konteks permohonan a quo, Pasal 80A
tidaklah langsung berkenaan dengan pembatasan demikian melainkan
hanya mengatur tentang konsekuensi dari dilanggarnya pembatasan yang
berupa larangan atau keharusan yang diatur dalam ketentuan lain dalam
UU Ormas.

2. bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A yang
menyekaliguskan pencabutan badan hukum Ormas dengan pembubaran
tanpa due process of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah
memiliki kekuatan hukum tetap telah mengesampingkan asas equality
before the law dan bertolak belakang dengan asas menjunjung hukum
dengan tidak ada kecualinya sehingga, menurut para Pemohon,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, Pasal 80A UU Ormas
berlaku terhadap ormas mana pun yang telah dicabut surat keterangan
terdaftar atau status badan hukumnya yang dilakukan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat
(3) huruf b UU Ormas. Pasal 80A UU Ormas tidak membedakan perlakuan
terhadap ormas tertentu melainkan diperlakukan sama secara hukum.
Setiap ormas juga wajib menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada
kecualinya, dalam hal ini menjunjung tinggi hukum sebagaimana diatur
dalam UU Ormas, khususnya menaati larangan-larangannya dan
melaksanakan keharusan-keharusan yang ditentukan. Oleh karenanya
tidak relevan untuk mendalilkan Pasal 80A UU Ormas dengan hak atas
persamaan perlakuan terhadap warga negara dalam hukum dan
pemerintahan dan kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Adapun terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 80A UU Ormas yang
menyekaliguskan pencabutan status badan hukum dengan pembubaran
ormas tanpa due process of law, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal
80A UU Ormas adalah kelanjutan dari penjatuhan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ormas. Sebagai sanksi
administratif maka yang berwenang menjatuhkannya adalah pejabat
administrasi atau tata usaha negara yang relevan. Dengan demikian
menjatuhkan sanksi administratif adalah bagian dari tindakan pejabat
administrasi atau tata usaha negara. Setiap tindakan atau perbuatan
pejabat administrasi atau tata usaha negara bersandar pada berlakunya
prinsip atau asas legalitas dalam hukum administrasi negara (yang
berbeda dengan asas legalitas dalam hukum pidana) yang mengandung
pengertian: pertama, setiap perbuatan pejabat administrasi negara
didasarkan pada ketentuan hukum yang memberikan kewenangan
kepadanya untuk melakukan perbuatan itu; kedua, dalam setiap
perbuatan pejabat administrasi negara berlaku asas praduga absah
(presumption of legality) yaitu bahwa perbuatan itu harus dianggap sah
sampai ada tindakan hukum yang membatalkan perbuatan tersebut.
Salah satu institusi yang dapat membatalkan perbuatan atau tindakan
pejabat administrasi negara adalah pengadilan, dalam hal ini pengadilan
tata usaha negara. Oleh karena itu, jika yang dimaksud oleh para
Pemohon dengan due process of law itu adalah adanya keterlibatan
pengadilan maka jika para Pemohon menganggap tindakan atau
perbuatan pejabat administrasi negara berupa penjatuhan sanksi
administrasi itu sebagai tindakan atau perbuatan yang berada di luar
kewenangan pejabat administrasi negara yang bersangkutan atau
menganggap tindakan penjatuhan sanksi itu tidak sah (meskipun
dilakukan oleh pejabat yang berwenang) maka hal itu dapat diadukan ke
pengadilan tata usaha negara;

3. bahwa di satu pihak, para Pemohon mengakui bahwa Pancasila dan
UUD 1945 yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa adalah bersifat
mutlak sehingga apabila suatu ormas yang melalui pengurus dan/atau
anggota-anggotanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 maka pelanggaran demikian tidak dapat ditolerir
dan harus dijatuhi sanksi. Karena itu, penjatuhan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan
ayat (3) huruf a dan huruf b UU Ormas, menurut para Pemohon, dapat
dibenarkan karena merupakan bentuk pembinaan sekaligus pengawasan
yang merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam menjaga
kedaulatan dan idelologi negara. Namun, di lain pihak para Pemohon
mendalilkan bahwa pemberian kewenangan kepada Pemerintah melalui
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia, menurut para Pemohon, telah melampaui
kewenangan menteri sebagai pejabat pemerintahan sekaligus pejabat
tata usaha negara yang hanya berwenang menerbitkan atau tidak
menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau
membatalkan keputusan yang diterbitkannya, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU Administrasi
Pemerintahan.

Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
kewenangan untuk memberikan status badan hukum terhadap suatu
ormas adalah kewenangan Menteri yang menyelenggarakan urusan di
bidang hukum dan hak asasi manusia maka, sesuai dengan asas contrario
actus yang berlaku dalam hukum administrasi negara, menteri yang sama
berwenang pula untuk mencabut status badan hukum suatu ormas
apabila ditemukan pelanggaran terhadap larangan dan/atau keharusan
yang membawa akibat dapat dijatuhkannya sanksi administratif berupa
pencabutan status badan hukum dimaksud;

4. bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A UU Ormas
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan argumentasi
bahwa pembubaran ormas tidak cukup hanya berdasarkan pandangan
dan penilaian subjektif Pemerintah. Asas praduga tak bersalah
mengharuskan proses pembuktian di lembaga yudikatif yang independen
dan imparsial sehingga pembubaran ormas seharusnya diputuskan
melalui lembaga peradilan, bukan mempersamakan pencabutan status
badan hukum dengan pembubaran ormas. Karena itu, menurut para
Pemohon, Pasal 80A UU Ormas telah menghilangkan prinsip due process
of law. Ketentuan a quo telah merampas kewenangan lembaga peradilan.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mengatur tentang hak setiap orang
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga pertanyaannya
adalah apakah Pasal 80A UU Ormas tidak memberikan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Dalam hubungan ini, Pasal 80A UU Ormas
justru memberikan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama
di hadapan hukum terhadap setiap ormas yang melanggar larangan
sebagaimana diatur dalam ketentuan lain dalam UU Ormas sehingga
dicabut status badan hukumnya. UU Ormas mengakui, menjamin, dan
melindungi dan memberi kepastian hukum yang adil terhadap setiap
ormas yang tidak melanggar larangan sebagaimana ditentukan dalam UU
Ormas dengan memberi status badan hukum terhadap ormas dimaksud
(jika status badan hukum tersebut dimohonkan oleh para pendirinya).
Namun, ketika ormas yang telah memiliki status badan hukum tersebut
melanggar larangan yang ditentukan sehingga berakibat dijatuhkannya
sanksi berupa pencabutan status badan hukumnya maka dengan
dicabutnya status badan hukum tersebut segala tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh ormas sebagai badan hukum menjadi tidak sah. Oleh
karena itu, dengan menyatakan bahwa pencabutan status badan hukum
suatu ormas sekaligus berarti pembubaran ormas yang bersangkutan,
Pasal 80A UU Ormas justru memberikan kepastian hukum, terutama
kepada masyarakat. Sebab, dengan sekaligus menyatakan bubarnya
suatu ormas yang telah dicabut status badan hukumnya tidak akan timbul
keraguan-raguan di tengah masyarakat apakah ormas yang telah dicabut
status badan hukumnya itu masih ada atau tidak. Hal itu adalah juga adil
khususnya bagi ormas-ormas lain, baik yang memiliki status badan
hukum maupun tidak. Sebab jika ormas yang status badan hukumnya
telah dicabut tetapi tidak dinyatakan bubar dan dianggap tetap ada, hal
itu justru menjadi tidak adil sebab secara implisit berarti ormas yang
bersangkutan masih dapat melakukan perbuatan atau tindakan
sebagaimana halnya ormas- ormas lain yang tidak melakukan
pelanggaran dan tidak dicabut status badan hukumnya.

Adapun dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan due process of
law, hal itu telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10]
dan Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok
permohonan dan telah ternyata bahwa dalil-dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum namun oleh karena para Pemohon hanya
prima facie dianggap memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam
Permohonan a quo adalah Pasal 80A UU Ormas yang menyatakan,
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”;

2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan a quo dengan
mendalilkan selaku anggota masyarakat yang hendak menggunakan
haknya untuk membentuk, menjadi pengurus, dan menjalankan kegiatan
Ormas yang diberi nama “Perkumpulan Tuna Karya untuk Konstitusi
(Perak) Indonesia”;

3. Bahwa menurut para Pemohon potensi kerugian hak konstitusional
Para Pemohon tidak akan terjadi, apabila ada pengaturan due process of
law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki kekuatan
hukum tetap dalam Pasal 80A UU Ormas, sebagai bentuk kepastian
hukum yang adil bagi para Pemohon dalam memperjuangkan hak-hak
berkumpulnya di lembaga peradilan yang independen dan imparsial atas
tuduhan tindakan-tindakan Ormas para Pemohon kelak, yang secara
subjektif dianggap oleh Pemerintah melalui menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kerugian hak
konstitusionalnya di atas dikaitkan dengan alat bukti yang diajukan para
Pemohon dan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap pokok
permohonan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji
oleh para Pemohon (Pasal 80A UU Ormas) terkait dengan pembubaran
Ormas sekaligus pencabutan status badan hukum Ormas, sehingga
mereka yang secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dirugikan
dengan berlakunya norma a quo adalah Ormas yang telah berbadan
hukum ataupun warga negara Indonesia yang merupakan bagian dari
kepengurusan ataupun keanggotaan Ormas yang sudah terbentuk,
sedangkan para Pemohon telah ternyata bukan merupakan Ormas dan
bukan pula bagian dari kepengurusan atau keanggotaan suatu Ormas.
Norma UU Ormas a quo tidak menghambat, apalagi melarang,
perseorangan warga negara Indonesia untuk membentuk Ormas atau
bergabung dalam suatu Ormas, baik berbadan hukum atau tidak. Norma
UU Ormas a quo adalah mengatur tentang pencabutan status badan
hukum suatu ormas yang sekaligus sebagai pembubaran ormas yang
bersangkutan. Dengan demikian, logikanya adalah ormas dimaksud telah
ada dan berbadan hukum. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi
Mahkamah bahwa syarat adanya kerugian “potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi.
Sebab, para Pemohon tidak saja bukan ormas, apalagi ormas yang
berbadan hukum, melainkan perseorangan warga negara Indonesia. Lagi
pula, andaipun benar bahwa suatu saat nanti para Pemohon akan
membentuk Ormas, hal itu pun tidak serta-merta memberikan kedudukan
hukum kepada para Pemohon untuk menguji Pasal 80A UU Ormas
sepanjang ormas tersebut tidak berbadan hukum dan ormas dimaksud
tidak dicabut status badan hukumnya berdasarkan alasan sebagaimana
diatur dalam UU Ormas. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah
berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di
atas, telah ternyata para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun
kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa
pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga
permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 12-12-2018

Abdul Hakim

Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 72/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan,
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan
lebih lanjut pokok permohonan konstitusionalitas norma yang diajukan
oleh Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan
bahwasanya Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 59 ayat
(7) UU 13/2003 dalam beberapa putusan antara lain Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 100/PUU-XV/2017, bertanggal 21 Februari 2018,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-XIV/2016, bertanggal 7
Februari 2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014,
bertanggal 4 November 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
96/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014;

[3.11] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan pada
Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Kemudian Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06
Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang (PMK 6/2005) menyatakan, “Terlepas dari ketentuan
ayat (1) di atas, permohonan pengujian undang-undang terhadap muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah
diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda”;

[3.12] Menimbang bahwa dalam permohonan pengujian terhadap norma
Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 yang sebelumnya telah diputus Mahkamah
terdapat dasar pengujian mengenai konstitusionalitas norma a quo yang
sama dengan permohonan Pemohon a quo yaitu, dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014,
dasar pengujian yang digunakan terhadap norma Pasal 59 ayat 7 UU
13/2003 adalah Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-
XII/2014, bertanggal 4 November 2015, dasar pengujian
konstitusionalitas norma yang digunakan terhadap Pasal 59 ayat (7) UU
13/2003 adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Demikian juga halnya
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-XIV/2016,
bertanggal 7 Februari 2017, dasar pengujian konstitusionalitas norma
Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 yang digunakan adalah Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XV/2017, bertanggal 21 Februari 2018, dasar pengujian
konstitusionalitas norma Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 yang digunakan
adalah Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) serta ayat (2) UUD
1945;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap putusan-putusan Mahkamah
sebagaimana telah disebutkan dalam Paragraf [3.12] di atas, terkait
dengan norma yang diujikan dan dasar pengujian dalam permohonan
Pemohon, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XV/2017,
bertanggal 21 Februari 2018, memiliki norma serta dasar pengujian yang
sama dengan permohonan a quo, yaitu ketentuan norma Pasal 59 ayat
(7) UU 13/2003 dimohonkan pengujiannya dengan menggunakan dasar
pengujian Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XV/2017, Mahkamah telah
memberikan pertimbangannya sebagai berikut:

[3.10.1] …..Dengan demikian, telah terang bahwa tidak terdapat
alasan apa pun untuk menyatakan bahwa norma hukum yang termuat
dalam Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 tersebut tidak memberikan kepastian
hukum. Sebaliknya, justru dengan adanya frasa “demi hukum” itu norma
a quo tegas menjamin kepastian hukum. Dengan kata lain, dengan frasa
“demi hukum” (by law atau ipso jure) tersebut, Undang-Undang a quo
memerintahkan bahwa apabila terdapat suatu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu tidak memenuhi syarat sebagaimana dikemukakan di atas maka
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu;

Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-
XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014, terdapat isu hukum yang sama dengan
permohonan a quo yang mana Mahkamah pun telah mempertimbangkan:

[3.12.3] Menimbang bahwa frasa “demi hukum” sebagaimana
termaktub dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat
(4) UU 13/2003 merupakan suatu ketentuan Undang-Undang mengenai
perubahan status yang terjadi dengan sendirinya yang harus dilaksanakan
oleh pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan apabila terjadi keadaan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Perubahan
status dimaksud adalah dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);

[3.12.4] Menimbang bahwa dalam konteks perkara a quo, frasa “demi
hukum” sebagaimana termaktub dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat
(8), dan Pasal 66 ayat (4) UU 13/2003 berkaitan dengan syarat yang
harus dipenuhi dalam perubahan status dari PKWT menjadi PKWTT.
Ketentuan mengenai syarat-syarat tersebut justru merupakan jaminan
kepastian hukum yang adil bagi para pihak dalam hubungan kerja
dimaksud;

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, berkenaan dengan isu hukum
yang dipermasalahkan oleh Pemohon menurut Mahkamah telah jelas
bahwa Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 adalah konstitusional. Sehingga
dengan demikian pengujian Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 sebagaimana
yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya, berdasarkan Pasal
60 UU MK tidak dapat dimohonkan pengujian kembali karena norma
dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian sudah dipertimbangkan
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-
XV/2017, bertanggal 21 Februari 2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 96/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014. Sementara itu,
Mahkamah tidak menemukan adanya alasan konstitusional baru yang
dijadikan dasar pengujian terhadap norma Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003
dalam permohonan a quo. Oleh karena itu, dalam kaitan ini Mahkamah
tidak dapat menerapkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42
PMK 6/2005. Dengan demikian permohonan pengujian konstitusionalitas
norma a quo tidak dapat diajukan kembali;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak
dapat diajukan kembali dan pokok permohonan Pemohon tidak
dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 12-12-2018

Al Haq Harahap dan Muhammad Raditio Jati Utomo

Pasal 1 angka 2 UU Terorisme

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 73/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 1 angka 2 UU
Terorisme, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian Pemohon dalam
menjelaskan dalil kedudukan hukumnya dan dikaitkan dengan syarat-
syarat kedudukan hukum pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas,
Mahkamah menilai bahwa meskipun benar Pemohon adalah perorangan
warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan fotokopi kartu tanda
penduduk (KTP) atas nama para Pemohon Faisal Al-Haq Harahap dan
Muhammad Raditio Jati Utomo (vide bukti P-3), namun terlebih dahulu
para Pemohon perlu membuktikan dirinya mengalami kerugian dengan
berlakunya norma Pasal 1 angka 2 UU 5/2018 yang dimohonkan
pengujian. Hal ini telah dinasihatkan oleh Panel Hakim pada sidang
pemeriksaan pendahuluan;

Mengenai kerugian konstitusional dan/atau potensi kerugian
konstitusional para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan dalam
perbaikan permohonan uraian mengenai kerugian konstitusional seperti
apa yang potensial akan dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya
ketentuan yang dimohonan pengujian. Para Pemohon hanya mendalilkan
dirinya sebagai mahasiswa Universitas Indonesia, tidak dijelaskan apa
kaitan Mahasiswa Universitas Indonesia dengan persoalan
konstitusionalitas norma dalam definisi terorisme yang terdapat dalam
Pasal 1 angka 2 UU 5/2018;

Dalam uraian kedudukan hukum dalam permohonannya, para Pemohon
hanya menyebutkan bahwa para Pemohon memiliki hak-hak
konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu
hak untuk mendapat kepastian hukum yang adil dan Pasal 31 ayat (3)
UUD 1945 yaitu hak untuk mendapat pendidikan yang mencerdaskan,
namun tidak dijelaskan lebih lanjut kerugian seperti apa yang para
Pemohon alami. Kalaupun ada kerugian yang para Pemohon alami, quad
non, namun tidak pula dijelaskan apa kaitannya kerugian dimaksud
dengan berlakunya norma dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018;

Selain itu dalam permohonan awalnya, para Pemohon menyampaikan
bahwa dirinya sebagai aktivis organisasi mahasiswa yang tergabung
dalam Himpunan Mahasiswa Islam yang kegiatannya potensial
dikualifikasikan sebagai kegiatan yang dimaksud dalam definisi terorisme
yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018. Terhadap pernyataan ini,
Mahkamah dalam persidangan pendahuluan meminta para Pemohon
untuk menguraikan lebih jelas mengenai keterlibatannya dalam organisasi
dimaksud pada perbaikan permohonannya dan melampirkan bukti
keanggotaan para Pemohon dengan organisasi tersebut. Namun para
Pemohon memperbaiki permohonannya dengan tidak lagi mencantumkan
dalam uraian kedudukan hukumnya bahwa para Pemohon adalah aktivis
organisasi mahasiswa dimaksud dan tidak pula terdapat bukti yang
meyakinkan bahwa para Pemohon melakukan aktivitas yang
dikualifikasikan sebagai kegiatan terorisme sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018. Sehingga menurut Mahkamah, para
Pemohon tidak dapat menjelaskan atau membuktikan kerugian
konstitusional yang dialaminya terkait dengan berlakunya Pasal 1 angka 2
UU 5/2018;

[3.7] Menimbang bahwa selain itu, dengan membaca permohonan para
Pemohon secara seksama, para Pemohon tidak dapat mengkonstruksikan
permohonannya secara jelas karena tidak mampu mengemukakan
korelasi antara pokok permohonan atau alasan-alasan mengajukan
permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimintakan dalam permohonan
untuk diputus (petitum). Sehingga dengan demikian, sulit bagi Mahkamah
untuk memahami maksud yang sesungguhnya dari permohonan para
Pemohon.

[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas Mahkamah
menilai para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak
sebagai Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo. Andaipun para
Pemohon memiliki kedudukan hukum, quad non, telah ternyata bahwa
permohonan para Pemohon kabur. Oleh karena itu, Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 81/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 12-12-2018

Muhammad Haidz, Abda Khair Mufti, dan Sutiah yang dikuasakan kepada
Eep Ependi SH., dan Muh Encep SH. dari kantor hukum SH & Mitra

Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu

Pasal 27 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat
(1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 81/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat
(1) huruf g UU Pemilu, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama
permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang disertakan maka
terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon Mahkamah
mempertimbangkan:

1. Bahwa materi muatan yang terkandung dalam Pasal 182 huruf g
dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu masing-masing menyatakan:

Pasal 182 huruf g UU Pemilu menyatakan:

Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi
Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana;

Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyatakan:

Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana;

Sebelum UU Pemilu diundangkan, Mahkamah telah pernah memutus
permohonan pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, yaitu
pengujian terhadap Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 1/2015), sebagaimana
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015,
bertanggal 9 Juli 2015.

Pasal 7 huruf g UU 1/2015 tersebut menyatakan:

Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur, Calon
Bupati, dan Calon Walikota adalah yang memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tersebut,
Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan mengabulkan
permohonan para Pemohon dengan amar putusan yang antara lain
menyatakan:

1.1. Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi
mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

1.2. Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana;

1.3. Penjelasan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

1.4. Penjelasan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Setelah menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-
XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015, di atas, terlepas dari adanya tiga orang
hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda dalam Putusan
tersebut (yaitu Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan
Suhartoyo), dan memperbandingkannya dengan rumusan norma yang
tertuang dalam Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU
Pemilu telah ternyata bahwa materi muatan dalam norma Pasal 182 huruf
g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu merupakan pengejawantahan
pendirian Mahkamah yang harus dilihat sebagai ketaatan pembentuk
undang-undang terhadap apa yang secara substantif telah diputus oleh
Mahkamah. Meskipun tertuang dalam materi muatan norma undang-
undang yang berbeda, oleh karena putusan Mahkamah bersifat erga
omnes maka pendirian Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015,
juga berlaku dalam menilai konstitusionalitas Pasal 182 huruf g dan Pasal
240 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Sebab penilaian konstitusionalitas norma
undang-undang dalam pengujian materiil adalah ditujukan terhadap
konstitusionalitas materi muatan normanya, bukan bergantung pada
persoalan apakah norma undang-undang itu termuat dalam undang-
undang yang sama atau dalam undang-undang yang berbeda.

2. Bahwa, selain pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1,
Mahkamah tetap memandang perlu untuk memberikan pertimbangan
berkenaan dengan petitum para Pemohon. Setelah menjelaskan
argumentasinya sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7], para
Pemohon kemudian memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan
frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 182 huruf g
dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang dimaknai mencakup tindak pidana korupsi.

Terhadap permohonan dan argumentasi demikian, Mahkamah
mempertimbangkan bahwa dengan argumentasi dan petitum demikian
secara a contrario berarti hanya mantan terpidana korupsi yang menurut
para Pemohon dipandang tidak layak menduduki jabatan publik yang
pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials) meskipun
yang bersangkutan telah menyatakan secara jujur dan terbuka bahwa
dirinya mantan terpidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dimaksud. Benar
bahwa sulit membantah kalau korupsi adalah kejahatan serius telah
menjadi musuh semua negara. Sebab, kejahatan ini, apabila dibiarkan
mengakar kuat dan dalam skala besar, dapat bermetamorfosis menjadi
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, mengingat proliferasi
atau penyebarannya yang tidak memandang negara, baik negara maju
maupun negara berkembang, dan daya rusaknya terhadap mentalitas
manusia serta terhadap kemampuan negara dalam menunaikan
kewajiban konstitusionalnya bagi pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial
warganya, tidak berlebihan jika muncul pandangan yang menyatakan
korupsi sebagai hostis humani generis, musuh bersama umat manusia.

Oleh karena itu, pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Kofi Annan, yang menilai korupsi sebagai “wabah jahat
dengan efek merusak luar biasa pada masyarakat” bukanlah pernyataan
yang berlebihan. Dalam kata pengantarnya untuk menyambut kehadiran
Kovensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against
Corruption), ia antara lain mengatakan:

Korupsi adalah wabah jahat yang memiliki efek merusak yang luas pada
masyarakat. Korupsi merongrong demokrasi dan the rule of law,
mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, merusak pasar, mengikis
kualitas hidup dan memberi ruang bagi tumbuh suburnya kejahatan
terorganisasi, terorisme dan berbagai ancaman lain terhadap keamanan
umat manusia. Fenomena jahat ini ditemukan di semua negara –besar
maupun kecil, kaya maupun miskin– namun di negara berkembanglah
berbagai efek merusak dari korupsi itu sangat menghancurkan
(Corruption is an insidious plague that has a wide range of corrosive
effects on societies. It undermines democracy and the rule of law, leads
to violations of human rights, distorts markets, erodes the quality of life
and allows organized crime, terrorism and other threats to human
security to flourish. This evil phenomenon is found in all countries – big
and small, rich and poor – but it is in the developing world that its effects
are most destructive).

Namun demikian, dengan hanya memasukkan mantan terpidana tindak
pidana korupsi sebagai pengecualian dari frasa “kecuali secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana” dalam Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf
g UU Pemilu sebagaimana didalilkan para Pemohon sama artinya para
Pemohon menganggap mantan pelaku kejahatan lain boleh menduduki
jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected
officials) meskipun pengaruh atau efek merusak dari kejahatan lain itu
setara dengan atau bahkan melebihi tindak pidana korupsi. Padahal,
dengan mendalami argumentasi para Pemohon secara cermat, semangat
Permohonan a quo pada dasarnya adalah hendak meniadakan peluang
dari semua mantan terpidana pelaku kejahatan yang menyebabkan
pemerintah terhalang atau terganggu dalam melaksanakan fungsi-fungsi
pemerintahannya untuk menyejahterakan rakyat, lebih-lebih rakyat
miskin.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 83/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 12-12-2018

Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP
SBSI) yang diwakili oleh Ketua Umum Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.A.
dan Sekretaris Jenderal Bambang Hermanto

Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 83/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu,
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama
Permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang disertakan telah ternyata
bahwa objek Permohonan a quo, yaitu Pasal 240 ayat (1) huruf g UU
Pemilu, telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 81/PUU-XVI/2018, bertanggal 12 Desember 2018, sebagaimana
sebelumnya telah diucapkan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah
menolak permohonan para Pemohon. Sementara itu, meskipun secara
eksplisit Pemohon menyebutkan dasar pengujian dengan pasal UUD 1945
yang berbeda namun secara substansial adalah sama, sehingga
Mahkamah tidak menemukan adanya materi muatan UUD 1945 yang
berbeda yang digunakan sebagai dasar pengujian dalam mengajukan
permohonan Pemohon. Oleh karena itu tidak terdapat alasan bagi
Mahkamah untuk mempertimbangkan keberlakuan Pasal 60 ayat (2) UU
MK sehingga berlaku ketentuan dalam Pasal 60 ayat (1) UU MK. Dengan
demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XVI/2018 berlaku
pula terhadap Permohonan a quo.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat pertimbangan Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XVI/2018 mutatis mutandis berlaku
terhadap permohonan a quo. Oleh karena itu, permohonan Pemohon
tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 12-12-2018

Alungsyah, S.H., yang dikuasakan kepada Dr. A. Irmanputra Sidin, S.H.,
M.H., dkk para Advokat dan Konsultan Hukum pada Firma Hukum Sidin
Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates, Advocates & Legal
Consultants

frasa “undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut”
dalam ketentuan Pasal 55 UU MK

Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 86/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas frasa “undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut” dalam ketentuan Pasal 55 UU MK,
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5.2] Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai kerugian hak
konstitusionalnya, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan pekerjaan
Pemohon sebagai “Karyawan Swasta”, namun dalam alasan mengenai
kerugian hak konstitusionalnya Pemohon mendalilkan berprofesi sebagai
Advokat yang tergabung pada Firma Hukum Sidin Constitution, A.
IRMANPUTRA SIDIN & ASSOCIATES, Advocates & Legal Consultants. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah antara status Pemohon yang merupakan
“karyawan swasta” tidak memiliki hubungan keterkaitan langsung dengan
alasan kerugian hak konstitusional Pemohon yang mendalilkan sebagai
Advokat karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia jelas
memiliki hak konstitusional berbeda dengan Advokat.

Jika Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia kemudian
mendalilkan hak konstitusional Pemohon yang termaktub dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU
MK, hal itu telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
74/PUU-X/2012 yang dalam perkara tersebut pasal UUD 1945 yang
dijadikan dasar pengujian adalah Pasal 28D ayat (1) dan dinyatakan oleh
Mahkamah bahwa Pasal 55 UU MK konstitusional karena penghentian
pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang oleh
Mahkamah Agung menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi (vide Pasal
55 UU MK) adalah bertujuan untuk menjaga keutuhan sistem hukum.

Dengan demikian, uraian Pemohon mengenai kerugian hak konstitusionalnya dengan menyatakan bahwa Pasal 55 UU MK
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berdasarkan Pasal 60
UU MK yang menyatakan,

Ayat (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali.

Ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

maka permohonan Pemohon tidak dapat dimohonkan kembali
menggunakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar pengujian;

2. Bahwa Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya
juga menyatakan Pasal 55 UU MK bertentangan dengan Pasal 24A UUD
1945. Terhadap dalil tersebut Mahkamah juga telah memutusnya dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009, bertanggal 2
Februari 2010, yang dalam Paragraf [3.9] halaman 25 menyatakan:

Menimbang bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang
dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung
Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan
Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji
konstitusionalitas dari materi UUD 1945.

Sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK maka permohonan Pemohon tidak
dapat dimohonkan kembali dengan menggunakan Pasal 24A UUD 1945
sebagai dasar pengujian;

Selain itu, Pasal 24A UUD 1945 bukanlah mengatur mengenai hak
konstitusional karena Pasal 24A UUD 1945 mengatur mengenai
kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi untuk menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang yang oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017, bertanggal 20 Maret 2018, dinyatakan
bahwa mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan
sarana bagi rakyat melalui pelaku kekuasaan kehakiman untuk
mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-
undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dengan demikian, jelas bahwa Pasal 24A UUD 1945 khususnya ayat (1)
terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung dan tidak berkait dengan
hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, jika pun
ada keterkaitan hak konstitusional Pemohon, quod non, adalah hak untuk
mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-
undang dan itu tidak menghalangi Pemohon untuk mengontrol produk
hukum;

3. Bahwa ditundanya perkara uji materiil di Mahkamah Agung ketika
ada perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (vide
Pasal 55 UU MK) telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUUXV/2017, bertanggal 20 Maret 2018, khususnya
Paragraf [3.18] halaman 40 yang menyatakan:

…keberadaan Pasal 55 UU MK sebagaimana telah disinggung
sebelumnya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses
pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang
yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Kepastian hukum yang diinginkan dari penghentian pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
tidaklah perlu dipertentangkan dengan kepastian hukum bagi pencari
keadilan ketika mengajukan permohonan uji materiil. Para pencari
keadilan haruslah mendapatkan kepastian hukum atas permohonan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang. Kepastian tersebut dapat diperoleh dengan menghentikan
sementara proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang hingga adanya putusan
Mahkamah Konstitusi…

Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, jelas
tidak ada kerugian Pemohon selaku perseorangan warga negara
Indonesia oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU MK;

4. Bahwa persoalan berikutnya adalah jikapun Pemohon bertindak
sebagai advokat yang membela kliennya, menurut Mahkamah, selaku
Advokat yang mewakili kliennya dalam hubungannya dengan Pasal 55 UU
MK tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon selaku Advokat karena
selaku Advokat tetap dapat mengajukan permohonan uji materiil ke
Mahkamah Agung. Persoalan penundaan pengujian hak uji materiil di MA
yang tidak kunjung diputus, karena undang-undang yang dijadikan dasar
pengujian di MA terus-menerus dilakukan pengujian di MK, tanpa ada
kaitannya dengan norma yang diuji oleh klien bukan merupakan kerugian
konstitusional tetapi konsekuensi logis dari dipisahkannya kewenangan
menguji undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MK dan uji materiil
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA.
Penundaan pemeriksaan perkara oleh MA ketika undang-undang yang
menjadi dasar pengujiannya sedang diuji oleh MK justru memberi
kepastian hukum guna menjaga keutuhan sistem hukum. Di samping itu,
agar tidak terjadi pertentangan antara putusan MK yang menjadi dasar
pengujian konstitusional undang-undang dengan putusan MA. Dengan
demikian, menurut Mahkamah, baik Pemohon selaku perseorangan warga
negara Indonesia maupun selaku Advokat tidak ada hak konstitusional
yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU MK. Oleh karena
tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya
ketentuan Pasal 55 UU MK maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal
31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007,
bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya,
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-11-2018

Albertus Magnus Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri
dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Dr. Iur. Liona N. Supriatna,
S.H.,M.Hum, dkk para Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi
Kedaulatan Ekonomi Indonesia (Taken)

Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 4 ayat (4) UU BUMN sepanjang
Frasa “Ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”

Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan
Pasal 4 ayat (4) UU BUMN, Mahkamah Konstitusi memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama
keterangan para Pemohon, keterangan Presiden, bukti-bukti yang
diajukan para Pemohon beserta ahli yang diajukan oleh para Pemohon
dan ahli yang diajukan oleh Presiden, keterangan tambahan Presiden,
sebelum mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon, Mahkamah terlebih
dahulu mempertimbangkan bahwa terkait dengan keberadaan BUMN,
dasar pemikiran atau latar belakang pembentukannya, maksud dan
tujuannya, serta konstitusionalitasnya, Mahkamah telah pernah
menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVI/2018, bertanggal 1 Mei 2018.
Dalam Putusan tersebut khususnya Paragraf [3.10] angka 1 sampai
dengan angka 3, halaman 79 sampai dengan halaman 81, Mahkamah
menyatakan:

1. Bahwa dibentuknya UU BUMN didasari oleh pertimbangan bahwa
BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam
perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang mempunyai
peran penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan karenanya perannya harus
dioptimalkan melalui pengurusan dan pengawasan yang optimal (vide
Konsiderans “Menimbang” huruf a sampai dengan huruf d UU BUMN).
Dalam konteks demikian, Mahkamah dapat menerima keterangan
Presiden (Pemerintah) yang menyatakan bahwa BUMN mempunyai peran
strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-
kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha
kecil/koperasi di mana untuk mencapai tujuan itu peran BUMN harus
dioptimalkan dengan cara menumbuhkan budaya korporasi dan
profesionalisme yang, antara lain, dilakukan dengan melakukan
pembenahan pengurusan dan pengawasannya sesuai dengan prinsip-
prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Lebih jauh lagi, melalui Undang-
Undang a quo, BUMN juga dirancang untuk menata dan mempertegas
peran lembaga dan posisi wakil pemerintah sebagai pemegang
saham/pemilik modal BUMN serta mempertegas dan memperjelas
hubungan BUMN selaku operator usaha dengan lembaga pemerintah
sebagai regulator.

2. Bahwa BUMN, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU
BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu, yang dimaksud dengan
“kekayaan negara yang dipisahkan” adalah kekayaan negara yang berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan
terbatas lainnya (Pasal 1 angka 10 UU BUMN). BUMN dapat berupa
Perusahaan Umum (Perum) maupun Perusahaan Perseroan (Persero).

Jika suatu BUMN seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi
atas saham serta bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan maka BUMN
tersebut adalah Perum (vide Pasal 1 angka 4 UU BUMN). Adapun jika
suatu BUMN modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling
sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki Negara Republik
Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, maka BUMN
tersebut adalah Persero (vide Pasal 1 angka 2 UU BUMN). Namun
demikian, baik BUMN yang berbentuk Perum maupun Persero, maksud
dan tujuan pembentukannya tidak boleh menyimpang dari maksud dan
tujuan pembentukan BUMN, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU BUMN, yaitu:

a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
diselenggarakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Ditambahkan pula, dalam melakukan kegiatannya, BUMN harus sesuai
dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan
[Pasal 2 ayat (2) UU BUMN]. Dengan kata lain, terlepas dari apa pun
bentuknya, kegiatan suatu BUMN bukan hanya dibatasi oleh maksud dan
tujuan pembentukannya tetapi juga oleh peraturan perundang-
undangan, bahkan juga oleh ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Artinya, kegiatan BUMN bukanlah semata-mata ditentukan oleh keinginan
RUPS, Direksi, atau Komisaris (dalam hal BUMN tersebut berbentuk
Persero) atau oleh Menteri, Direksi, atau Dewan Pengawas (dalam hal
BUMN tersebut berbentuk Perum) melainkan tetap harus mengacu pada
maksud dan tujuan pembentukan BUMN.

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di
atas, dasar pemikiran pembentukan UU BUMN maupun maksud dan
tujuan BUMN itu sendiri adalah sejalan dengan salah satu tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,
khususnya tujuan memajukan kesejahteraan umum. Lebih jauh, dengan
memperhatikan secara saksama maksud dan tujuan pembentukannya
serta pembatasan terhadap kegiatannya, keberadaan BUMN sejalan pula
dengan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional tanpa
mengesampingkan hakikat perekonomian sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33
ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, secara konstitusional, dibentuknya
BUMN yang maksud dan tujuannya sebagaimana telah diuraikan di atas
tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, bahkan sebaliknya justru
merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara sebagaimana
ditegaskan baik dalam Pembukaan maupun Pasal 33 UUD 1945.

Dengan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12/PUU-XVI/2018 tersebut beberapa hal telah menjadi terang. Pertama,
bahwa pendirian BUMN berkenaan langsung dengan upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan memiliki peran strategis sebagai pelaksana
pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta besar, serta membantu
pengembangan usaha kecil/koperasi dan karena itu BUMN harus
dioptimalkan melalui penumbuhan budaya korporasi dan profesionalisme.
Kedua, apapun bentuk BUMN tersebut, Perum ataupun Persero, maksud
dan tujuannya tidak boleh menyimpang dari Pasal 2 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf e UU BUMN serta tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU BUMN. Ketiga, bahwa
eksistensi BUMN tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal yang
berkait dengan dasar pemikiran pembentukan BUMN, pengertian BUMN,
maksud dan tujuan dibentuknya BUMN, serta konstitusionalitas BUMN,
Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon lebih lanjut.
Dari uraian panjang lebar yang dikemukakan para Pemohon sebagai
argumentasi dalam mendukung dalil- dalilnya, setelah dibaca dengan
saksama, sesungguhnya hanya ada dua isu konstitusional yang harus
dipertimbangkan oleh Mahkamah, yaitu:

• pertama: apakah maksud dan tujuan BUMN untuk mengejar
keuntungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU
BUMN bertentangan dengan Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945;

• kedua: apakah pengawasan DPR terhadap keuangan negara yang
telah dipisahkan sebagai penyertaan modal negara dalam BUMN
mencakup pula kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN sehingga sebagai konsekuensinya kegiatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN tersebut harus ditetapkan dengan
undang-undang.

Bahwa berkenaan dengan isu konstitusional pertama: apakah maksud
dan tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN bertentangan dengan Konstitusi,
dalam hal ini Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Dalam menilai konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN
tidaklah dapat dinilai secara parsial tanpa mengaitkan konteksnya secara
komprehensif baik dengan keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal
2 UU BUMN itu sendiri maupun dengan norma lainnya dalam UU BUMN
secara keseluruhan;

2. Pasal 2 UU BUMN selengkapnya menyatakan:

(1) Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:
a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan
kebutuhan hajat hidup orang banyak;
d. menjadi perintis bagi kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

(2) Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.

Dengan demikian, maksud dan tujuan BUMN “mengejar keuntungan”
pada Pasal 2 ayat (1) huruf b di atas harus dikaitkan dengan maksud dan
tujuan lain dari pendirian BUMN dimaksud sebagaimana tertuang dalam
huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e di atas secara kumulatif. Sehingga,
jika dikaitkan dengan argumentasi dalam dalil-dalil para Pemohon, apakah
mungkin BUMN mampu mencapai maksud dan tujuan pendiriannya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d,
dan huruf e jika BUMN tidak dibenarkan mengejar keuntungan. Terlebih
lagi adanya penegasan dalam Pasal 2 ayat (2) yang memuat perintah
bahwa kegiatan BUMN tidak boleh menyimpang bukan hanya dengan
maksud dan tujuan pendiriannya melainkan juga tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
bahkan juga dengan kesusilaan. Agar BUMN tidak melakukan kegiatan
yang menyimpang dari maksud dan tujuan pendiriannya, BUMN diawasi
oleh Komisaris dan Dewan Pengawas (sesuai dengan bentuk badan
hukum BUMN yang bersangkutan) yang bertanggung jawab penuh atas
pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU BUMN. Komisaris dan
Dewan Pengawas ini dalam melaksanakan tugasnya harus patuh kepada
Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang-undangan
serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi,
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (3) UU BUMN. Sehingga, secara normatif
dan dalam batas penalaran yang wajar, sangat sulit untuk terjadi
penyelewengan oleh BUMN hanya karena adanya salah satu tujuan untuk
mengejar keuntungan sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Andaikatapun terjadi penyelewengan kegiatan BUMN maka hal itu
menjadi tanggung jawab penuh Direksi karena sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU BUMN Direksilah yang bertanggung
jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan
BUMN serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Artinya, tanggung jawab hukum jika terjadi penyelewengan demikian ada
pada Direksi dan penyebab penyelewengan itu bukanlah Pasal 2 ayat (1)
huruf b UU BUMN. Sebaliknya, justru Pasal 2 UU BUMN secara
keseluruhanlah yang menjadi rujukan untuk menilai ada atau tidak
adanya penyelewengan kegiatan BUMN dimaksud.

3. Para Pemohon menjadikan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
sebagai titik tolaknya untuk mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat
(1) huruf b UU BUMN dan mendalilkan bahwa BUMN adalah amanat UUD
1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang perlu dijaga agar
tidak keluar dari semangatnya untuk mendukung tercapainya tujuan
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan karenanya, setelah
melihat perkembangan BUMN saat ini, menurut para Pemohon,
diperlukan perubahan paradigma tujuan pendirian BUMN yang berbentuk
Perusahaan Umum maupun Perusahaan Perseroan (Persero) untuk
meletakkan tujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat dibandingkan tujuan mengejar keuntungan. Dengan argumentasi
para Pemohon demikian, pertanyaan yang muncul adalah apakah
“mengejar keuntungan” yang dijadikan salah satu maksud dan tujuan
pendirian BUMN bersama-sama dengan maksud dan tujuan lainnya,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UU BUMN, berarti BUMN
telah mengabaikan tujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 2 di
atas telah dengan sendirinya menjawab pertanyaan ini. Sementara itu, di
satu pihak, para Pemohon sendiri mengakui bahwa BUMN merupakan
amanat UUD 1945 dan hal itu sejalan dengan konsiderans “Mengingat”
angka 1 UU BUMN. Namun, di lain pihak, para Pemohon
mempertentangkan maksud dan tujuan pendirian BUMN dengan Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, khususnya dengan tujuan mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal tujuan mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) adalah
berkait dengan amanat penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak serta penguasaan oleh negara terhadap bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, sehingga timbul pertanyaan, apakah dengan
demikian berarti para Pemohon bermaksud mendalilkan bahwa maksud
dan tujuan pendirian BUMN untuk “mengejar keuntungan” sebagaimana
tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN bertentangan dengan
prinsip penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta
penguasaan oleh negara terhadap bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Jika benar demikian maksud para Pemohon,
menurut Mahkamah, dengan memahami maksud dan pendirian BUMN
secara keseluruhan, sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
UU BUMN, justru semangat untuk mencapai tujuan sebesar-besar
kemakmuran rakyat itu telah terumuskan secara holistik dalam Pasal 2
ayat (1) UU BUMN mulai dari huruf a sampai dengan huruf e.

Berkait dengan prinsip penguasaan oleh negara, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember
2004, menyatakan antara lain bahwa:

Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas,
maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah
diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang
bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan
melalui mekanisme pemilikan saham (share- holding) dan/atau melalui
keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana
negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara
(toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan
oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai
hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat;

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, apabila dikaitkan dengan
maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) UU BUMN, maksud dan tujuan pendirian BUMN tersebut, yang di
dalamnya termasuk mengejar keuntungan, sama sekali tidak mengurangi
apalagi menghilangkan prinsip penguasaan oleh negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

4. Hadirnya BUMN bukanlah semata-mata sebagai perpanjangan
tangan negara dalam rangka melaksanakan prinsip penguasaan oleh
negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak maupun perpanjangan tangan
negara dalam melaksanakan prinsip penguasaan oleh negara terhadap
bumi dan air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,
melainkan juga sekaligus sebagai pelaku ekonomi dalam sistem
perekonomian negara yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan
kemakmuran rakyat. Hal itu ditegaskan dalam Konsiderans “Menimbang”
huruf a dan huruf b serta dalam Penjelasan Umum angka romawi I dan II
UU BUMN. Dengan kata lain, bidang kegiatan BUMN sebagai pelaku
ekonomi nasional bukan hanya dalam bidang-bidang yang berkait dengan
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 melainkan juga bidang kegiatan
lain sepanjang tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat, sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UU BUMN secara
keseluruhan. Dengan demikian, kemakmuran rakyat sebagai maksud dan
tujuan pendirian BUMN, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UU
BUMN, bukan hanya terbatas dalam konteks melaksanakan amanat Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tetapi jauh lebih luas lagi. Hal ini
sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang
menegaskan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara
Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Salah satu
caranya adalah dengan membentuk BUMN. Tugas pemerintah untuk
memajukan kesejahteraan umum itu tentu tidak terbatas hanya dalam
konteks pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 adalah penegasan bahwa untuk hal-hal
atau bidang-bidang yang termasuk dalam kategori sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) harus dikuasai negara dan
maksud penguasaan negara itu bukan untuk kepentingan lain tetapi
semata-mata untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ihwal pengertian
yang terkandung dalam pengertian “dikuasai oleh negara” itu telah
ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya.

Berdasarkan pertimbangan pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas,
Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN adalah tidak
beralasan menurut hukum.

Bahwa berkenaan dengan isu konstitusional kedua: apakah pengawasan
DPR terhadap keuangan negara yang telah dipisahkan sebagai
penyertaan modal negara dalam BUMN mencakup pula kegiatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN sehingga sebagai
konsekuensinya kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN tersebut harus ditetapkan dengan undang-undang, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Pertama-tama harus ditegaskan apakah norma yang termuat dalam
Pasal 4 ayat (4) UU BUMN termasuk dalam atau ada hubungan dengan
aksi atau tindakan korporasi atau tidak. Sebab, konteks pelaksanaan
fungsi pengawasan oleh DPR adalah berkenaan dengan pengawasan
politik dan tidak sampai kepada pengawasan terhadap aksi korporasi yang
dilakukan oleh BUMN (setelah BUMN terbentuk). Hal ini telah ditegaskan
dalam pertimbangan Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVI/2018 Paragraf [3.11] angka 3
yang antara lain menyatakan:

Dalam hubungannya dengan BUMN, kalaupun secara implisit hendak
dikatakan ada pengawasan DPR, hal itu harus diletakkan konteksnya
dalam kerangka fungsi pengawasan politik DPR terhadap pelaksanaan
pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD 1945. Misalnya ketika
Presiden mengajukan rancangan Undang-Undang tentang APBN. Pada
saat itulah DPR dapat mempertanyakan pengelolaan keuangan negara
dalam pelaksanaan pemerintahan, termasuk yang oleh Pemerintah
dialokasikan untuk BUMN.

Dengan demikian, setelah BUMN berdiri (yang modalnya sebagian atau
seluruhnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan
negara yang berasal dari APBN) maka aksi atau tindakan yang dilakukan
oleh BUMN tersebut telah sepenuhnya merupakan aksi atau tindakan
korporasi yang tidak lagi berada di bawah pengawasan DPR, lebih-lebih
BUMN yang berbentuk Persero. Hal ini pun telah ditegaskan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVI/2018 Paragraf [3.11]
angka 2 yang antara lain menyatakan:

Sebagai Persero, BUMN juga harus tunduk pada prinsip-prinsip yang
berlaku dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) sehingga mampu menghasilkan nilai ekonomi bagi semua
pemangku kepentingan, lebih-lebih pemegang saham (in casu
Pemerintah). Apalagi kepada BUMN dibebankan maksud dan tujuan yang
sifatnya berfungsi sosial, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Intervensi eksternal terhadap aksi-aksi korporasi BUMN, lebih-lebih
intervensi politik, yang membawa dampak tidak dapatnya BUMN
melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik harus
dicegah. BUMN tidak boleh dijadikan alat politik atau dipolitisasi
sedemikian rupa sehingga keluar atau menyimpang dari maksud dan
tujuan pendiriannya.

Adapun Pasal 4 UU BUMN selengkapnya menyatakan:
(1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
(2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan
pada BUMN bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. kapitalisasi cadangan;
c. sumber lainnya.
(3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau
perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan,
termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero
atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
bagi penambahan penyertaan modal yang berasal dari kapitalisasi
cadangan dan sumber lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyertaan dan
penatausahaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan ke
dalam BUMN dan/atau perseroan terbatas yang sebagian sahamnya
dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan memperhatikan rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 4 UU
BUMN di atas jelas bahwa konstruksinya adalah telah ada persetujuan
DPR terhadap penggunaan kekayaan negara yang berasal dari APBN yang
selanjutnya oleh Pemerintah akan digunakan untuk mendirikan BUMN.
Oleh karena itu, penyertaan modal negara (yang dananya berasal dari
APBN yang telah disetujui oleh DPR) tersebut, termasuk perubahan
penyertaan modal negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN, telah sepenuhnya berada di tangan pemerintah sehingga sudah
tepat jika pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Substansi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (4) a quo sudah merupakan
rencana pelaksanaan atau penggunaan anggaran sehingga hal ini menjadi
kewenangan pemerintah. Hal demikian sejalan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013, bertanggal 22 Mei 2014,
yang menegaskan bahwa pembahasan terperinci sampai pada tingkat
kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan
implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah
kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat
terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada
saat rencana tersebut di- implementasikan (vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU- XI/2013, bertanggal 22 Mei 2014, Paragraf
[3.17], halaman 150).

Selain itu, kendatipun norma yang tertuang dalam Pasal 4 UU BUMN
tersebut belum secara langsung merupakan bagian dari aksi korporasi
namun jelas akan mempengaruhi atau berdampak terhadap aksi-aksi
korporasi yang akan dilakukan oleh BUMN dimaksud di masa yang akan
datang. Karena itu, keadaan demikian juga telah berada di luar lingkup
fungsi pengawasan DPR. Lagi pula, karena materi muatan ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bukanlah materi muatan undang-
undang melainkan materi muatan yang membutuhkan pengaturan
pelaksanaan (delegating provisio) maka, dengan mengacu pada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, pengaturan pelaksanaannya yang tepat dari
ketentuan tersebut adalah peraturan pemerintah, bukan undang-undang
sebagaimana didalilkan para Pemohon.

2. Pada bagian lain dalilnya, para Pemohon mengemukakan
argumentasi bahwa frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN menyebabkan adanya penyelewengan
dalam peraturan turunannya yang mendegradasi peran DPR dalam
melakukan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Para Pemohon kemudian merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Modal dan Penatausahaan
Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas
(PP 72/2016). Dalam kaitan ini para Pemohon menunjuk Pasal 2A ayat (1)
PP 72/2016 di mana penyertaan modal negara kepada BUMN tidak
dilakukan dengan mekanisme APBN. Keadaan demikian oleh para
Pemohon didalilkan mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/SKLN-X/2012 dan Keterangan Pemerintah dalam Perkara Nomor
62/PUU-XI/2013 tentang keharusan Pemerintah mendapatkan
persetujuan DPR untuk investasi berupa penyertaan modal negara kepada
perusahaan negara.

Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa objek keberatan
para Pemohon sesungguhnya adalah PP 72/2016. Seluruh argumentasi
yang digunakan sebagai landasan untuk mendukung dalil para Pemohon
perihal inkonstitusionalitas frasa “ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bertolak dari analisis para
Pemohon terhadap implementasi ketentuan dalam PP 72/2016 yang
dinilai mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-X/2012
dan Keterangan Pemerintah dalam Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013. Oleh
karena itu, apabila para Pemohon beranggapan bahwa PP 72/2016
dimaksud bertentangan dengan undang-undang, termasuk apabila
dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, maka hal
itu telah berada di luar kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya.
Sebab hal itu bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma
undang-undang melainkan persoalan implementasi norma undang-
undang, dalam hal ini implementasi norma Pasal 4 ayat (4) UU BUMN
yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu PP 72/2016.
Perihal benar atau tidaknya terdapat persoalan implementasi demikian
harus dibuktikan melalui proses hukum dan lembaga yang memiliki
kompetensi untuk itu bukanlah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
tidak terdapat relevansi maupun urgensinya bagi Mahkamah untuk
mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil para Pemohon sepanjang
berkenaan dengan persoalan implementasi norma Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN yang dituangkan ke dalam PP 72/2016 sebagaimana didalilkan oleh
para Pemohon. Sebab, andaipun persoalan implementasi demikian
terbukti benar, hal itu tidak serta-merta menjadikan Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN bertentangan dengan UUD 1945. Terlepas dari setuju atau tidak,
hal ini di satu pihak adalah konsekuensi yuridis dari dipisahkannya
lembaga negara yang berwenang menguji pertentangan undang-undang
terhadap Undang-Udang Dasar dengan lembaga negara yang berwenang
menguji pertentangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang termasuk apabila dinilai bertentangan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, dan di pihak lain tidak dimilikinya
kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara
pengaduan konstitusional – yang secara doktriner maupun praktik di
sejumlah negara mencakup pula persoalan-persoalan implementasi norma
undang-undang yang dianggap inkonstitusional.

3. Hal lain yang relevan untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah dari dalil
para Pemohon berkenaan dengan argumentasinya perihal
inkonstitusionalitas frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN adalah argumentasi para Pemohon yang
menyatakan bahwa frasa a quo telah mendegradasi fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan DPR.

Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa,
sebagaimana telah disinggung dalam pertimbangan pada angka 1 di atas,
premis yang mendasari lahirnya rumusan dalam Pasal 4 UU BUMN secara
keseluruhan adalah telah adanya persetujuan DPR untuk menggunakan
sebagian dana APBN sebagai modal untuk mendirikan BUMN. Kemudian,
sesuai dengan ilmu perundang-undangan maupun hukum positif (dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan) pengaturan lebih lanjut dari ketentuan
yang tertuang dalam undang-undang, sesuai dengan hierarkinya, adalah
dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, menolak kerangka
penalaran demikian bukan hanya berarti menisbikan ilmu perundang-
undangan tetapi juga sekaligus berarti mengingkari hukum positif, in casu
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian, tidaklah
beralasan untuk menyatakan frasa “ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN telah mendegradasi fungsi-
fungsi DPR.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.

← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 Selanjutnya →