Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Ir. Frans Manery dan Muchlis Tapi-Tapi, S.Ag, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Erasmus D. Kulape, S.H., M.H dan Ramli Antula, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah yang tidak lagi selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016, sehingga mengakibatkan kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah serentak pada 2020 diperlakukan tidak proporsional dan tidak adil serta tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karenanya menurut para Pemohon Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional pada awalnya diatur dalam Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 8/2015) yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027.” Waktu penyelenggaraan tersebut kemudian diubah dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.” Perubahan waktu penyelenggaraan tersebut diikuti dengan perubahan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak bertahap yang dimulai pada 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada 2020, sehingga berakibat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 hanya menjabat sampai dengan tahun 2024 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016];
[3.10.2] Bahwa keberadaan ayat (7) yang dipersoalkan para Pemohon tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat lainnya dalam Pasal 201 UU 10/2016 yang secara keseluruhan merupakan ketentuan peralihan agar penyelenggaraan kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dapat terselenggara secara serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016]. Untuk itu, pada ayat-ayat sebelumnya termasuk yang dipersoalkan para Pemohon ditentukan waktu pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak yang dilakukan secara bertahap pada 2015, 2017, dan 2018 serta 2020 sesuai berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota [vide Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU 10/2016]. Dengan pengaturan tersebut tidak dapat dihindarkan akan terdapat provinsi dan kabupaten/kota yang mengalami kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, yakni yang menyelenggarakan pemilihan pada 2017 dan 2018, sehingga akan diisi oleh penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi madya bagi penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama bagi penjabat bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016]. Adapun bagi provinsi dan kabupaten/kota yang gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 dan dilantik pada 2021 yang seharusnya berakhir masa jabatannya pada 2026 terkena pemotongan (cut off) masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sehingga tidak sampai 5 (lima) tahun, akan tetapi harus berakhir masa jabatannya pada 2024. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang diselenggarakan secara serentak nasional dalam rangka untuk meminimalkan biaya baik sosial, politik maupun ekonomi dan diharapkan lebih efisien dari segi waktu dapat terselenggara pada 2024. Dengan demikian, semua provinsi dan kabupaten/kota (kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan mengadakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota bersamaan waktunya pada November 2024 dan untuk pemilihan seterusnya setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 10/2016.
Mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut Mahkamah tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time) melainkan juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Karena, keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota terpilih untuk mensinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta mensinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih maka diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat.
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU 10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024, sehingga di pemilihan- pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.
Bahwa selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; dan (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut Mahkamah, hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional. Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.
[3.10.4] Bahwa mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 bertanggal 17 November 2011 yang dijadikan alasan permohonan para Pemohon bahwa masa jabatan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun menurut Mahkamah tidaklah tepat. Karena, putusan tersebut sebenarnya berkaitan dengan dan menegaskan penghitungan satu periode masa jabatan kepala daerah baik yang dipilih melalui pemilihan langsung maupun tidak langsung (melalui lembaga perwakilan), yakni apabila telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan. Berdasarkan putusan tersebut justru masa jabatan para Pemohon telah memenuhi hitungan satu periode karena jika dihitung sejak para Pemohon dilantik pada 9 Juli 2021 [vide risalah sidang Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022 tanggal 8 Maret 2022 hlm.3] sampai dengan November 2024 maka masa jabatan para Pemohon adalah 3 tahun 4 bulan atau telah menjalani lebih setengah masa jabatan sebagai bupati dan wakil bupati.
[3.10.5] Bahwa sebagai ketentuan peralihan, sebagaimana juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bertanggal 20 April 2022 yang diucapkan sebelumnya, Pasal 201 UU 10/2016 dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, sehingga menurut Mahkamah telah memenuhi pemuatan ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam Butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Menurut Butir 127 Lampiran II UU 12/2011 ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Khusus mengenai kepastian hukum, adanya pengaturan bahwa masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024 telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016. Dalam batas penalaran yang wajar ketentuan dimaksud sudah pasti diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020. Artinya, pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sudah diketahui secara pasti oleh masing- masing pasangan calon.
Berkenaan dengan hal di atas, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya fiksi hukum (presumptio iures de iure) yang dijelaskan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya [vide Penjelasan Pasal 81 UU 12/2011]. Menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui masa jabatan pemilihan bupati dan wakil bupati yang diikuti para Pemohon pada 2020 tidak sampai 5 (lima) tahun, bahkan sebelum mencalonkan diri sebagai pasangan calon, sehingga menjadi tidak relevan untuk dipersoalkan setelah para Pemohon terpilih dan dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara. Terlebih lagi, masa jabatan tidak sampai 5 (lima) tahun juga dialami oleh seluruh gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, jadi bukan hanya para Pemohon. Mahkamah juga tidak menemukan bukti ketentuan pemotongan atau pengurangan masa jabatan yang dialami para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 menyebabkan para Pemohon tidak dapat menjalankan visi dan misinya. Terkait dengan hal ini, visi dan misi yang dijanjikan calon kepala daerah yang nantinya akan dijabarkan dalam rencana pembangunan daerah dan alokasi anggaran seharusnya disesuaikan juga dengan masa jabatan yang telah diketahui sebelum penyusunan visi dan misi.
Sementara itu, berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai akibat dari tidak terpenuhi masa jabatan sampai dengan 5 (lima) tahun, undang-undang pun telah mengantisipasi secara jelas. Dalam hal ini, pihak yang terkena dampak dari berkurangnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota), menurut Mahkamah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak sampai 5 (lima) tahun, diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, yaitu sejak pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2018, kompensasi yang diterima gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 berupa diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode. Selanjutnya, untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Dr. (Can.) Dewi Nadya Maharani, S.H., M.H., Suzie Alancy Firman, S.H., Moch Sidik, Rahmatulloh, S.Pd., M.Si., Mohammad Syaiful Jihad, dan Nian Syarifudin yang memberikan kuasa kepada Dr. Sulistyowwati, S.H., M.H., dkk, Para Advokat/Konsultan Hukum yang tergabung dalam Sulistyowati & Partners Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016

Pasal 1 Ayat (2), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon, oleh karena norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai penunjukan penjabat dalam jabatan ASN sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya dan tidak diisi dengan kepala daerah hasil pemilihan maka Mahkamah akan mempertimbangkan secara bersamaan norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 a quo.

[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan UU 10/2016 sebagai penjabaran Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”, serta pelaksanaannya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang (UU 1/2015) dan telah diubah terakhir kali dengan UU 10/2016 pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan agar dapat menguatkan kedaulatan rakyat dan demokrasi.

[3.12.2] Bahwa berdasarkan UU 1/2015, politik hukum penyelenggaraan Pilkada dilakukan secara serentak. Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang dilakukan serentak tersebut dimaksudkan untuk mengefisienkan biaya dan waktu serta upaya meminimalkan kemungkinan potensi konflik. Oleh karena itu, pada awalnya, Pelaksanaan Pilkada serentak didesain secara bergelombang, di mana untuk pertama diselenggarakan pada 9 Desember 2015, yaitu berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Kemudian, berdasarkan UU 10/2016, penyelenggaraan Pilkada serentak dilanjutkan pada tahun 2017 dan tahun 2018. Tidak hanya itu, UU 10/2016 secara tegas telah mengatur, penyelenggaraan Pilkada serentak secara menyeluruh akan dilaksanakan pada tahun 2024.

[3.12.3] Bahwa jika dirunut dari perjalanan pengaturan Pilkada serentak, telah diatur sejak UU 1/2015 yang kemudian telah diubah oleh UU 8/2015, desain pengaturan pilkada serentak nasional yang dimaksud dalam UU 8/2015 adalah:
1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2015 dan Januari sampai dengan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015;
2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017;
3. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018;
4. Pemungutan suara serentak kepala daerah, hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada tahun 2020;
5. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022;
6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023; dan
7. Pemungutan suara serentak nasional Pilkada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027 [vide. Pasal 201 UU 8/2015].
Selanjutnya, agar lebih sederhana rentang waktu penyelenggaraannya, desain keserentakan nasional yang diatur dalam UU 8/2015 ditata kembali dalam Pasal 201 UU 10/2016 sebagai berikut:
1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015;
2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017;
3. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022;
4. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018;
5. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023;
6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020;
7. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024; dan
8. Pemungutan suara serentak nasional kepala daerah di seluruh wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan pada bulan November 2024 [vide Pasal 201 UU 10/2016].

[3.12.4] Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 telah ternyata berimplikasi pula pada penundaan pelaksanaan Pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023, sehingga masa jabatan kepala daerah yang selesai pada tahun 2022 dan 2023 tersebut harus diisi oleh penjabat yaitu orang yang secara sementara waktu menduduki jabatan gubernur/bupati/walikota, agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang akan berdampak pada ketidakberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, ditentukan pengangkatan penjabat kepala daerah di masing-masing daerah tersebut sampai dengan terpilihnya kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Pengaturan mengenai kekosongan jabatan ini sejatinya telah didesain sejak tahun 2015 melalui UU 1/2015, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (6) dan ayat (7) UU 1/2015 yang pada pokoknya menyatakan:
(6) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2016 dan tahun 2017 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2018.
(7) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2019, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2020.
Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pejabat yang akan diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Baru, dalam perubahan UU 1/2015 melalui UU 8/2015 yang kemudian diubah lagi melalui UU 10/2016 ditentukan kategori siapa yang dapat diangkat sebagai penjabat gubernur dan penjabat bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) yang esensinya mengatur mengenai pengisian kekosongan jabatan gubernur dengan mengangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sedangkan untuk pengisian kekosongan jabatan bupati/walikota diangkat penjabat bupati/walikota dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan dalam UU 8/2015 diatur kembali dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016.

[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan pengangkatan penjabat kepala daerah dalam norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa:
“Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum.
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asasasas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016].
[3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu: 1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut.
Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Hal demikian juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022 yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
[3.13.4] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan para Penjabat kepala daerah yang ditunjuk menggantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang habis masa jabatannya diragukan dalam membuat rencana pembangunan daerah yakni apakah telah sesuai atau tidak dengan visi misi RPJP daerah dan juga sesuai dengan kebutuhan daerah. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon tersebut dapat dipahami sehingga dalam penunjukkan penjabat kepala daerah harus dipertimbangkan secara cermat bahwa penjabat dimaksud mampu menjalankan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan sesuai dengan visi misi RPJP daerah dimaksud. Terlebih lagi, penjabat kepala daerah yang diangkat tersebut mempunyai kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kepemimpinan penjabat kepala daerah sesuai dengan ketentuan peralihan tersebut tetap berupaya mencapai agenda pembangunan di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Dr. Ir. Priyanto, S.H., M.H., M.M. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Oktavia Sastray A., S.H., MT., dkk, advokat pada Kantor Hukum Pro Humania, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/21 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736,
selanjutnya disebut UU 7/2021) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang
mengadili permohonan a quo.

Tenggang Waktu Pengujian Formil

[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”
2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:
“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.”
3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”;
4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUU-XX/2022;
5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak UndangUndang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Syafril Sjofyan, Tito Roesbandi, dkk, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian dari para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUUXX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUUXVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”
[3.6.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh perseorangan yang memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan Pemilu Tahun 2019 di mana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam Pemilu Tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Permasalahan berapa pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidaklah ditentukan oleh norma yang diajukan para Pemohon, sehingga hal demikian bukanlah permasalahan norma melainkan permasalahan implementasi atas norma dimaksud yang sangat tergantung pada dinamika sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat yang termanifestasikan dalam keinginan partai politik. Terlebih lagi, norma yang diajukan oleh para Pemohon tidak menghalangi para Pemohon untuk bebas memberikan suaranya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden manapun yang telah memenuhi syarat. Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.6.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Anita Natalia Manafe, S.H. yang memberikan kuasa kepada Alvin Lim, S.H., M.Sc, dkk, advokat pada Law Firm LQ Indonesia, untuk selanjutnya disebut Pemohon

Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
[3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 KUHAP, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015, bertanggal 22 Maret 2016. Dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan Pasal 28H UUD 1945, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015 berargumentasi Pasal 5 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya penggunaan laporan yang telah dicabut/dibatalkan/tidak berlaku masih digunakan sebagai dasar bagi kepolisian untuk melakukan penyidikan, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo berargumentasi Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena ketiadaan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam memperjuangkan haknya untuk mendapat keadilan.
[3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 126/PUU-XIII/2015, namun perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan juga memiliki alasan yang berbeda, yaitu agar penghentian penyelidikan ditambahkan ke dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.10.2] di atas, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah penghentian penyelidikan oleh penyelidik apabila tidak ditambahkan sebagai kewenangan penyelidik yang “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terkait dengan isu konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan dalam permohonan-permohonan sebelumnya, yaitu Permohonan Nomor 9/PUU-XVII/2019 dan Nomor 53/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, terlebih dahulu Mahkamah perlu menegaskan kembali pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 yang kemudian dikutip atau ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIX/2021, khususnya dalam Paragraf [3.14] yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14] ……pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.
Pertimbangan Mahkamah a quo semakin menegaskan definisi dari Penyelidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Oleh karena itu, dengan mencermati arti sesungguhnya dari penyelidikan dapat diperoleh kesimpulan bahwa proses penyelidikan adalah suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan penyidikan. Dengan demikian, meskipun dalam proses penyelidikan tidak dikenal secara tegas adanya penghentian penyelidikan, namun dengan adanya bagian proses penyelidikan yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk menentukan serangkaian tindakan penyelidik dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan proses penyidikan, hal tersebut menunjukkan bahwa penyelidik diberi kewenangan untuk membuat keputusan dapat atau tidaknya penyelidikan tersebut ditingkatkan ke dalam tahap penyidikan. Sehingga, meskipun tidak dicantumkannya penghentian penyelidikan dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, hal tersebut bukan berarti tidak ada kewenangan bagi penyelidik untuk menghentikan penyelidikan. Justru terhadap proses penyelidikan yang tidak memenuhi syarat-syarat normatif dan tidak dilakukan penghentian penyelidikan maka hal tersebut dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.
[3.11.2] Bahwa adalah benar Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak mengatur mengenai penghentian penyelidikan, namun apabila kemudian terjadi tindakan penghentian penyelidikan karena peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana ternyata tidak memenuhi unsur-unsur adanya peristiwa pidana, maka hal tersebut tidak serta merta menjadi bertentangan dengan UUD 1945 khususnya kepastian hukum yang adil.
Hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di antaranya adalah menjamin adanya kepastian hukum yang adil, sehingga menurut Mahkamah, penghentian penyelidikan terhadap peristiwa yang bukan merupakan tindak pidana justru memberi kepastian hukum. Hal itu dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 khususnya Sub-paragraf [3.13.1] hlm. 22 yang menyatakan:
“… Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksudkan pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana. Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut diperlukan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya. Meskipun secara formal tentang penghentian penyelidikan tidak dikenal dalam KUHAP, namun sesungguhnya hal tersebut tidak serta-merta menjadikan laporan atau pengaduan yang telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan tersebut tidak dapat dibuka kembali. Hal ini karena secara substansial sepanjang pada perkembangan selanjutnya apabila terhadap laporan atau pengaduan tersebut ditemukan bukti baru maka hal itu dapat menjadi alasan bahwa penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan kembali.”
Dengan berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, maka tindakan penghentian penyelidikan oleh penyelidik meskipun tidak secara tegas diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih setiap laporan adanya dugaan tindak pidana setelah dilakukan penyelidikan tidak terdapat cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke dalam tahap penyidikan. Demikian pula terhadap proses penyelidikan yang sudah dilakukan penghentian penyelidikan tidak tertutup kemungkinan dapat dilakukan penyelidikan kembali sepanjang terhadap laporan adanya dugaan tindak pidana yang bersangkutan ditemukan alat bukti baru. Dengan demikian, penghentian penyelidikan yang tidak diatur secara khusus ke dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai Pelapor untuk mendapatkan keadilan.
Bahwa secara doktriner dan apabila dikaitkan dengan prinsip hukum administrasi negara, in casu meskipun terhadap penghentian penyelidikan tidak dikenal atau tidak diatur di dalam KUHAP, namun hal tersebut tetap memberikan diskresi (asas freies ermerssen) kepada pejabat tata usaha negara dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), yaitu menggunakan kebijakannya untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Terlebih, terkait dengan penghentian penyelidikan, Kapolri sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, misalnya telah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Surat Edaran Kapolri sebagaimana tersebut di atas telah ternyata di dalam Surat Edaran Kapolri tersebut telah mengatur tentang tata cara dan tahapan dalam penghentian penyelidikan.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, meskipun norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak ditambah dengan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan” sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon ternyata norma a quo telah memberikan kepastian hukum yang adil sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Endang Kusnandar, Asyriqin Syarif Wahadi, Kahono Wibowo, Mohamad Abdurrahman, Yusran, Pipit Haryanti, S. EI., dan Rusmanto, yang memberikan kuasa kepada Deny Syahrial Simorangkir, S.H., M.H., dkk., para advokat pada Kantor LBH Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia (LPM RI) untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014

Pasal 18 ayat (2), 18 ayat (6), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas maka dengan bersandar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dimaksud;

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan halhal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa UU 6/2014 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) yang menyatukan pengaturan desa dengan pemerintahan daerah. Untuk menguatkan keberadaan desa dan sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, perlu diatur dalam undang-undang tersendiri. Adanya pengaturan tersebut akan memberikan landasan yang kuat terhadap keberadaan desa termasuk desa adat karena selama ini kesatuan masyarakat hukum adat menjadi bagian dari wilayah desa, sehingga tidak dapat secara maksimal melaksanakan hak-hak asal usulnya, terutama terkait dengan pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Dengan dipertegasnya keberadaan desa adat maka untuk pengaturan pengangkatan kepala desa dan masa jabatannya ditentukan sendiri oleh masyarakat desa adat. Hal inilah yang membedakan antara penyelenggaraan pemerintahan desa adat dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Walaupun antara desa dan desa adat melakukan tugas yang hampir sama, namun untuk pengaturan mengenai pengangkatan dan masa jabatan kepala desa dilakukan sesuai dengan UU 6/2014 [vide Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Penjelasan Umum, dan Pasal 109 UU 6/2014].
[3.11.2] Bahwa salah satu tujuan dibentuknya UU 6/2014 adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Adanya pengakuan dan penghormatan tersebut harus dilandasi oleh asas keberagaman sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, UU 6/2014 memberikan penekanan yang kuat terhadap keberagaman dengan menyatakan “desa atau yang disebut dengan nama lain”. Oleh karena itu, dalam Pasal 6 UU 6/2014 dinyatakan penyebutan desa atau desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Selanjutnya, dijelaskan dalam Pasal 6 UU 6/2014, adanya pengaturan desa dan desa adat tersebut adalah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah sehingga dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat desa atau desa adat.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 25 UU 6/2014 yang menentukan penyebutan “Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain” telah menimbulkan ketidakpastian sehingga Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mengalami diskriminasi perlakuan akibat adanya penyebutan kepala desa, misalnya dengan sebutan Kuwu atau Petinggi sebagaimana Surat Keputusan Pengangkatannya oleh Bupati.
Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan esensi Pasal 25 UU 6/2014 yang pada pokoknya penyebutan kepala desa pada suatu desa tidak harus “kepala desa” tetapi dapat digunakan sebutan lain sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Sebagaimana halnya juga penyebutan desa dapat digunakan dengan penyebutan nama lain. Penggunaan nama lain tersebut diakomodasi dalam UU 6/2014 sejalan dengan amanah dan semangat yang melatarbelakangi perumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga menjadi dasar pemikiran yang melandasi pembentukan UU 6/2014 bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hakhak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]
Bertolak dari pemikiran tersebut, desa atau yang disebut dengan nama lain tersebut tidak datang secara tiba-tiba tetapi penyebutan tersebut sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka yang kemudian dilestarikan sebagai wujud asas rekognisi terhadap hak asal usul desa. Namun, dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia sehingga berlaku sepenuhnya UU 6/2014. Sedangkan, untuk Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Berkenaan dengan adanya frasa “dengan nama lain”, pilihan demikian menunjukkan fleksibilitas dalam pengaturan yang dalam praktik dapat disesuaikan dengan keberagaman dalam pengelolaan pemerintahan desa di Indonesia.
Berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang beranggapan bahwa adanya penyebutan lain dari Kepala Desa telah menimbulkan ketidakpastian dan pada faktanya sering kali menimbulkan kesulitan administrasi karena sebutan tersebut harus tertera dalam kop surat maupun stempel, di mana tidak setiap instansi memahami sebutan di luar penyebutan kepala desa yang sudah umum digunakan, menurut Mahkamah, persoalan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari penerapan norma yang mengharuskan kepala desa atau yang disebut dengan nama lain beserta perangkatnya melakukan, misalnya sosialisasi atas sebutan lain dari kepala desa tersebut sesuai dengan Surat Keputusan pengangkatannya. Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 25 UU 6/2014.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mendalilkan juga ketentuan masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dalam norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945 karena adanya pembatasan masa jabatan tersebut tidak mencukupi bagi kepala desa dalam melaksanakan visi dan misinya sehingga seharusnya menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VI, masa jabatan kepala desa ditentukan sendiri oleh desa sesuai dengan adat istiadat desa.
Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan secara utuh ketentuan mengenai masa jabatan kepala desa dalam UU 6/2014. Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 menyatakan, “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan”. Selanjutnya, dalam ayat (2) menyatakan, “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Sementara itu, terkait dengan Penjelasan kedua ayat tersebut pada alinea pertama menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘terhitung sejak tanggal pelantikan’ adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun”. Selanjutnya berkenaan dengan Penjelasan alinea kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021, bertanggal 20 September 2021, telah dinyatakan konstitusional bersyarat yang amar putusannya menyatakan sebagai berikut:
“Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undangundang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Berkaitan dengan uraian di atas, UU 6/2014 telah terang benderang menghendaki masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan apabila terpilih kembali maka yang bersangkutan dapat menduduki jabatannya hingga 3 (tiga) periode atau sama dengan maksimal 18 (delapan belas) tahun baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini yang membedakannya dengan kepala desa dari Desa Adat di mana masa jabatan kepala desanya tidak mengikuti ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 melainkan berdasarkan ketentuan Pasal 109 UU 6/2014 yang menyatakan, “Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi”. Dalam hal ini, dijelaskan untuk pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]. Oleh karena itu, dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang menginginkan agar masa jabatan kepala desa ditentukan oleh desa itu sendiri justru akan menimbulkan tumpang tindih dengan pengaturan bagi Desa Adat di mana sepanjang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 97 UU 6/2014, desa adat dapat mengatur sendiri masa jabatan kepala desanya yang dapat tidak mengikuti ketentuan periodesasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU 6/2014. Sementara, yang dimohonkan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon VI adalah masa jabatan Kepala Desa yang bukan Desa Adat di mana kepala desanya dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan sehingga bagi Kepala Desa tersebut berlaku periodesasi sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 yang Penjelasan alinea keduanya telah diberikan pemaknaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021. Jika hal ini dihilangkan dan diatur sendiri oleh masyarakat desa, justru akan menimbulkan ketidakjelasan perbedaan antara desa dan desa adat. Oleh karenanya, persoalan ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 (enam) tahun sebagaimana dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih, jika dibandingkan dengan masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih secara langsung, yakni ditentukan hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan sehingga jika menjabat 2 (dua) kali masa jabatan menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 (delapan belas) tahun sehingga seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika yang bersangkutan terpilih kembali. Dengan demikian, persoalan stabilitas politik yang didalilkan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI karena Kepala Desa yang telah menjabat tersebut harus berkompetisi kembali untuk masa jabatan berikutnya sesungguhnya merupakan ekspresi dari kekhawatiran Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014.

[3.14] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon VII yang mempersoalkan norma Pasal 48 UU 6/2014 yang menyeragamkan penyebutan Perangkat Desa sehingga bertentangan dengan otonomi desa dan menimbulkan multitafsir sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena masyarakat tidak mengenal istilah Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) dan Sekretaris sebagai bagian dari perangkat desa, tetapi lebih mengenal sebutan misalnya Pamong Desa atau Modin, Bayan, Jogoboyo, Ulu-ulu, Lebe, Raksa Bumi, Juru Tulis, Carik, Kebayan, Ladu, Kamituwo, Petengan, Bekel. Oleh karena itu, menurut Pemohon VII dalam proses seleksi Perangkat Desa, banyak calon Perangkat Desa yang tidak mengetahui tugas dan kewajiban atas jabatan yang akan dilamar karena perubahan penyebutan Perangkat Desa yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Berkenaan dengan dalil Pemohon VII a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa esensi Pasal 48 UU a quo yang mengatur khusus mengenai Perangkat Desa yang merupakan unsur staf dengan tugas membantu kepala desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat desa, dan unsur pendukung tugas “kepala desa” dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan. Oleh karena itu, unsur Perangkat Desa terdiri atas sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Untuk pengangkatan Perangkat Desa, “Kepala Desa” harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan camat yang bertindak atas nama Bupati/Walikota. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai Perangkat Desa bertanggung jawab kepada “Kepala Desa”.
Selanjutnya berkenaan dengan persoalan penyebutan Perangkat Desa yang menurut Pemohon VII tidak sesuai dengan kearifan lokal karena diseragamkan, sebagaimana pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.11] di atas, sesungguhnya penyebutan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain didasarkan pada hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Pasal 1 UU 6/2014]. Bahkan, untuk pengaturan perangkat desa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana yang Pemohon VII dalilkan. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya UU 6/2014 yang menyatakan salah satunya adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, UU 6/2014 tidak melakukan upaya penyeragaman penyebutan. Bahkan, desa dapat menggunakan sebutan lain yang didasarkan pada hak asal usul desa yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat desa. Dengan demikian, desa dapat lebih mudah melakukan kewajibannya untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa, dan memberikan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa [vide Pasal 67 ayat (2) huruf d dan huruf e UU 6/2014]. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 48 UU 6/2014. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon VII mengenai ketidaktahuan calon Perangkat Desa terkait tugas dan kewajiban yang akan dijabat karena adanya penyeragaman penyebutan Perangkat Desa, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak, yang memberikan kuasa kepada Ahmad Irawan S.H., dan Zain Maulana Husein, S.H., M.Kn, advokat pada kantor hukum Ahmad Irawan & Associates, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai pengaturan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) dalam UUD 1945 sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara demokratis. Secara historis, momentum reformasi menjadikan semangat aspirasi rakyat untuk melakukan evaluasi atas Pilkada yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung, di mana rakyat memilih wakilnya dalam legislatif di tingkat daerah dan kemudian para legislator yang memiliki hak dan kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Diskursus mengenai desain penyelenggaraan Pilkada tersebut juga disampaikan pada pembahasan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan perubahan UUD 1945 tahun 2000. Selanjutnya hasil kesepakatan yang menjadi keputusan MPR dalam perubahan kedua UUD 1945 adalah dengan menggunakan frasa “dipilih secara demokratis” yang merupakan jalan tengah antara pendapat yang menyerukan dipilih secara langsung atau tidak langsung. Terkait dengan pengertian “dipilih secara demokratis” tersebut, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, bertanggal 22 Maret 2005 sebagai berikut:
Bahwa untuk memberi pengertian dipilih secara langsung sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah hasil perubahan ke dua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Dengan dirumuskan “dipilih secara demokratis“ maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas.

Bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 diperlukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang substansinya antara lain memuat ketentuan tentang Pilkada. Dalam hubungan itu, Mahkamah berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat undang-undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Karena UUD 1945 telah menetapkan Pilkada secara demokratis maka baik pemilihan langsung maupun cara lain tersebut harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 adalah tidak hanya terbatas pada model pemilihan secara langsung atau tidak langsung, melainkan mencakup juga model pemilihan yang lain dalam rangka menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa sesuai dengan amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945;
[3.11.2] Bahwa selain terkait dengan model pemilihan, konstitusi ternyata tidak secara eksplisit menentukan hal-hal lain terkait dengan Pilkada, seperti berapa lama masa jabatan kepala daerah, kapan waktu penyelenggaraan hingga siapakah badan yang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Melalui Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, konstitusi kemudian mendelegasikan kewenangan untuk menentukan lebih lanjut pengaturannya dalam undang-undang yang meliputi seluruh aspek rancang bangun sistem Pilkada yang akan digunakan, mulai dari model pemilihan sampai terkait teknis waktu penyelenggaraannya. Namun demikian, ruang pengaturan yang sangat luas tersebut bukan berarti tanpa batas, kata “demokratis” menjadi arah sekaligus tolok ukur rancang bangun penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam peraturan teknis di bawah UUD. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengatur rancang bangun penyelenggaraan Pilkada, selain harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum, juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah, khususnya mengenai prinsip kontestasi (contestation) dan partisipasi (participation), karena keduanya merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan kualitas demokrasi elektoral. Dengan demikian, kualitas demokrasi penyelenggaraan Pilkada serentak nasional akan ditentukan antara lain oleh kontestan (the contesting candidates), baik yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun perseorangan, dan sekaligus oleh partisipasi rakyat atau pemilih secara inklusif, bebas (free) dan jujur (fair);
[3.12] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.11] tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membuat para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali, secara khusus Pemohon I harus menunggu lagi selama 2 (dua) tahun karena diundurkannya waktu pemilihan. Terhadap dalil para Pemohon demikian, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pengaturan norma mengenai Pilkada dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah di luar Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam UUD 1945 memiliki beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan terkait waktu penyelenggaraan pemilihan, di mana siklus 5 (lima) tahun sekali yang telah ditentukan oleh konstitusi adalah untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 ayat (3) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, terkait dengan Pilkada, penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang selanjutnya diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
[3.12.2] Bahwa dalam rangka penyesuaian tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional terdapat beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya diundur dan terdapat pula beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya dimajukan. Dalam konteks masa peralihan yang demikian, tidak dapat dihindari dampak adanya penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) dalam Pilkada. Namun demikian, Mahkamah menilai penundaan atas pemenuhan hak warga negara dimaksud tidak berarti menghilangkan hak warga negara tersebut dan telah sesuai dengan konsep pembatasan hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada hakikatnya merupakan hak yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Berkenaan dengan hal tersebut Mahkamah dalam beberapa putusan telah mempertimbangkan terkait konstitusionalitas pembatasan pemenuhan atas hak konstitusional warga negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ukuran yang selalu digunakan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas pembatasan hak warga negara adalah keseimbangan (balancing) antara pembatasan hak individu warga negara dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Dalam konteks demikian, Mahkamah menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) pada sebagian Pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 adalah masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terlebih, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti kontestasi Pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tetap terakomodir hak konstitusionalnya dalam Pilkada serentak tahun 2024 mendatang.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membuat para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena desain penyelenggaraan pemilu yang diatur tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut penalaran yang wajar membuat para Pemohon tidak mendapatkan pemilu yang berkualitas. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD) serta eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 telah mendorong pembentuk undang-undang untuk mendesain ulang penyelenggaraan pemilu, termasuk pula Pilkada. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemerintah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi [vide Alinea ke-3 Penjelasan Umum UU 1/2015] yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU 1/2015. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) UU 1/2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itulah sejak saat itu Pilkada serentak secara nasional beserta segala aspek penyelenggaraannya mulai ditetapkan secara bertahap dari yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2027 kemudian berdasarkan UU 10/2016 diubah menjadi bulan November tahun 2024;
[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya terkait dengan desain keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 telah memberikan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16] Putusan a quo, sebagai berikut:
1 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4 Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5 Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan
6 Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan model pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Pertimbangan pandangan Mahkamah terhadap penentuan model keserentakan yang dipilih merupakan domain pembentuk Undang-Undang tersebut juga kembali ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah terkait pilihan model keserentakan secara nasional dan lokal sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 November 2021, sebagai berikut:
Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi.
Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan sebagaimana dijelaskan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas;
[3.13.3] Bahwa dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya. Berdasarkan tahapan transisi tersebut, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: (i) pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD serta (ii) beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional. Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena desain penyelenggaraan pemilu yang diatur tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut penalaran yang wajar membuat para Pemohon tidak mendapatkan pemilu yang berkualitas adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon juga mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena dengan adanya pengunduran waktu pemilihan menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah. Terhadap dalil para Pemohon demikian, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa pengaturan adanya penjabat gubernur/bupati/walikota untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016. Berdasarkan norma a quo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan diangkat penjabat gubernur/bupati/walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan hasil Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Untuk itu telah ditentukan pengisian Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Penjabat Bupati atau Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama;
[3.14.2] Bahwa di era otonomi daerah saat ini, kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah sangat besar dalam mengambil keputusan pemerintahan sehingga kepala daerah memegang peran dan posisi sentral dalam memajukan daerahnya. Kepemimpinan kepala daerah dalam birokrasi memegang peran penting untuk menciptakan governance yang kuat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, keberhasilan suatu pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Dalam doktrin universal hukum ketatanegaraan, pengisian jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara dan administrasi negara. Tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan, maka fungsi dari jabatan tersebut tidak dapat dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Berbagai instrumen hukum juga telah mengakomodir adanya pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kosong, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perangkat hukum tersebut juga telah diaplikasikan dalam praktik pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini. Justru dengan adanya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik akan tetap terakomodir serta stabilitas politik dan keamanan daerah akan tetap terjaga. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah, Mahkamah mempertimbangkan bahwa legitimasi dalam konteks penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang [vide Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016]. Oleh karena itu, meskipun secara terbatas makna legitimasi artinya memperoleh dukungan langsung dari pemilih, namun dalam perspektif yang luas, legitimasi dapat diperoleh dari undang-undang yang dibentuk oleh wakil rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian, dalam hal untuk mengisi penjabat kepala daerah yang merupakan keniscayaan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk adalah yang memenuhi kualifikasi oleh undang-undang serta kinerjanya dapat dievaluasi oleh pejabat yang berwenang setiap waktu dan bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik, maka Mahkamah berpendapat pengisian penjabat kepala daerah tersebut dapat dibenarkan;
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena dengan adanya pengunduran waktu pemilihan menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena mengakibatkan para Pemohon, dalam hal ini Pemohon II, diperlakukan secara diskriminatif karena nilai dari pilihannya dinilai secara berbeda dengan daerah lainnya yang kepala daerah hasil pemilihan memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun, sedangkan pilihannya dalam Pilkada 2020 hanya akan menjabat paling lama 4 (empat) tahun. Terhadap dalil para Pemohon demikian, menurut Mahkamah, adanya perbedaan lamanya masa jabatan kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 bukanlah merupakan bentuk diskriminasi terhadap hasil pilihan para pemilih dalam setiap tahapan atau gelombang penyelenggaraan Pilkada. Mahkamah menilai, pembatasan terhadap masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut adalah dalam kerangka mencapai tujuan yang akan dicapai oleh negara, yaitu penyelenggaraan pemilihan umum serentak secara nasional sebagai desain baru proses pemilihan kepala daerah. Lagipula, pada tataran praktis, masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada tahun 2020 telah mengetahui bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih nantinya akan menjabat sampai dengan tahun 2024 sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Pembatasan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada masa transisi tersebut juga tidak sama sekali mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan memperoleh kesempatan yang sama pula dalam menikmati perkembangan pembangunan daerahnya.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena para Pemohon, khususnya Pemohon II telah diperlakukan diskriminatif adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 telah ternyata memberikan kepastian hukum, tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Fentje Eyfert Loway, S.H., M.H., T.R. Silalahi, S.H., M.H., Dra. Renny Ariyanny, S.H., M.H., LL.M., Dra. Martini, S.H., Fahriani Suyuti, S.H., M.H yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Abdul Rohman, S.H., dkk yang tergabung dalam kantor hukum RBT Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan para Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 17 Maret 2021, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, pokok permohonan, serta petitum.
Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada para Pemohon untuk mempertimbangkan petitum seperti apa yang tepat bagi permohonan para Pemohon, karena petitum permohonan para Pemohon kontradiktif antara petitum yang satu dengan yang lainnya. Pada satu sisi para Pemohon meminta agar pasal yang diajukan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, di sisi lain para Pemohon meminta pula agar pasal yang diajukan pengujiannya tersebut dinyatakan konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat [vide perbaikan permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, petitum permohonan angka 2, angka 3, angka 4, dan angka 5, hlm. 38-39, serta Risalah Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, tanggal 17 Maret 2022, hlm. 14].
[3.7.2] Bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 30 Maret 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 7 April 2022.
Bahwa setelah dicermati lebih lanjut perbaikan permohonan para Pemohon, di dalam posita, para Pemohon menguraikan mengenai alasan mengapa ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian [vide perbaikan permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, hlm. 29-30]. Demikian juga dengan petitum permohonan para Pemohon, walaupun telah diberikan nasihat oleh Panel Hakim pada sidang pendahuluan agar mempertimbangkan petitum yang tepat, akan tetapi para Pemohon tetap pada pendiriannya. Dalam hal ini, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan juga meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada para Pemohon pada saat sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, dan para Pemohon melalui kuasanya menyatakan bahwa petitum yang diinginkan para Pemohon adalah Petitum yang tercantum di dalam perbaikan permohon yang dibacakan di dalam Persidangan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, tanggal 07 April 2022, hlm. 8-9].
Bahwa terhadap petitum sebagaimana yang tercantum di dalam perbaikan permohonan para Pemohon yaitu Petitum angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5, menurut Mahkamah, petitum demikian bersifat kumulatif sehingga permintaan demikian menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan terkait apa sesungguhnya yang diminta oleh para Pemohon. Sebab, di satu sisi para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional), sementara di sisi lain para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif, quod non. Oleh karena itu, jika petitum sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar akan menimbulkan kerancuan norma sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon menimbulkan ketidakjelasan. Oleh karena itu, Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah kabur.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon adalah kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang memberikan kuasa kepada Leon Maulana Mirza Pasha, S.H., dkk, advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, maka isu konstitusionalitas yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketiadaan pelarangan pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam perjanjian baku bertentangan dengan UUD 1945? Sebelum menjawab isu konstitusionalitas tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan salah satu tujuan didirikannya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawab dalam urusan perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam alur berpikir yang demikian, negara harus berperan secara aktif dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat dalam konteks perekonomian, secara sederhana, terdiri atas masyarakat konsumen dan produsen atau pelaku usaha yang sama-sama berhak menikmati dan memperjuangkan hak-haknya masing-masing. Oleh karena itu, peranan aktif yang dilakukan negara adalah dalam rangka menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha sehingga akan mendorong terbentuknya iklim berusaha yang sehat dalam rangka mewujudkan perekonomian yang kokoh sebagai jalan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
[3.10.2] Bahwa upaya negara untuk berperanan secara aktif dalam bidang perekonomian tersebut, salah satunya dilakukan dengan memberikan landasan hukum atas perlindungan konsumen di Indonesia. Perlindungan hukum kepada konsumen ini menjadi hal yang penting mengingat semakin luasnya ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa dalam melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang di mana konsumen berada pada posisi yang lemah karena semakin banyaknya arus informasi yang disebarkan sebagai bagian dari strategi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hal ini sangat berpotensi menjadikan konsumen sebagai objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen [vide Penjelasan Umum UU 8/1999]. Di sinilah negara wajib mengambil peran secara aktif dengan menetapkan aturan main yang dapat mendorong perkembangan dunia bisnis sebagai motor perekonomian negara tanpa harus merugikan hak-hak yang dimiliki konsumen. Artinya, fokus perlindungan adalah tetap ditujukan kepada konsumen. Atas dasar kondisi tersebut, negara kemudian melakukan upaya pemberdayaan konsumen dengan memberlakukan UU 8/1999 sebagai undang-undang payung yang diharapkan dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif sekaligus mendorong iklim berusaha yang sehat, jujur dan kompetitif;
[3.11] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah ketiadaan pelarangan pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam perjanjian baku bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa aktivitas perekonomian, khususnya yang melibatkan produsen dan konsumen, berkaitan erat dengan sebuah perjanjian, baik secara lisan maupun secara tertulis. Perkembangan dunia bisnis modern kemudian menciptakan bentuk kontrak baru sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dikenal dengan perjanjian baku dengan klausula baku di dalamnya. Dalam konteks perlindungan konsumen, bagi para pelaku usaha hal tersebut merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien dan praktis, namun bagi konsumen, perjanjian baku ini semakin melemahkan posisi tawar (bargaining position) konsumen dan rentan terhadap penyalahgunaan yang bersifat kontraktual dalam hubungannya dengan produsen atau pelaku usaha. Oleh karena itu, UU 8/1999 secara tegas melarang penggunaan klausula baku pada setiap perjanjian yang memuat klausul tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, penghilangan atau pengurangan hak konsumen dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU 8/1999;
[3.11.2] Bahwa dalam rezim hukum tentang perikatan, segala bentuk perjanjian harus tunduk pada asas-asas umum perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), seperti asas konsensualisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Berdasarkan asas konsesualisme, maka perjanjian telah sah dan memiliki akibat hukum sejak konsesus tercapai antara para pihak mengenai hal pokok (esensialia) dalam perjanjian. Sedangkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka sejatinya setiap orang boleh membuat perjanjian dalam bentuk dan berisi apapun sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang (hukum), kesusilaan atau ketertiban umum sesuai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Dalam perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, para pihak akan merumuskan ketentuan mengenai hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Oleh karenanya, selama masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian maka tidak akan menjadi masalah. Masalah baru akan timbul, manakala salah satu pihak gagal menjalankan kewajibannya, dan pihak lain merasa telah dirugikan. Pihak yang merasa telah dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan sesuai dengan forum penyelesaian sengketa yang telah disepakati dalam perjanjian, baik di dalam maupun di luar pengadilan;
[3.11.3] Bahwa pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam suatu perjanjian juga berlandaskan pada kebebasan berkontrak. Artinya, masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan institusi yang akan menyelesaikan permasalahan apabila terjadi sengketa. Keadaan demikian hampir tidak menimbulkan masalah ketika masing-masing pihak memiliki daya tawar yang relatif seimbang. Namun, dalam perjanjian baku, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan posisi tawar antara pelaku usaha dan konsumen. Terhadap hal demikian, secara teoritis ada yang berpandangan bahwa penggunaan klausula baku memang telah menghilangkan adanya forum negosiasi antar pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian. Akan tetapi, ketiadaan forum negosiasi antar pihak tersebut tidak secara serta-merta menghilangkan kebebasan dan kesepakatan para pihak yang menjadi dasar penyusunan sebuah perjanjian, terlebih lagi secara otomatis merugikan pihak konsumen;
[3.11.4] Bahwa kebebasan yang diberikan kepada pelaku usaha untuk menentukan forum penyelesaian sengketa dalam perjanjian baku, menurut Mahkamah merupakan konsekuensi logis dari perkembangan bisnis modern di tengah pesatnya pekembangan teknologi dan informasi berbasis digital melalui transaksi digital. Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo dalam bukunya berjudul “Perjanjian Baku: Masalah dan Soliusi”, memberikan ciri-ciri transaksi digital yang dilaksanakan melalui internet dan dilakukan dengan menggunakan perjanjian baku digital (digital contracts), yaitu: (i) melampaui batas negara (borderless), (ii) lintas yurisdiksi (multiple jurisdiction), (iii) nir tatap muka (faceless nature); (iv) tanpa kertas (paperless); (v) tanpa tanda tangan manual (digital signatures); serta (vi) tanpa uang kartal (cashless). Penggunaan transaksi digital yang memuat klausula baku tersebut ditujukan untuk mempermudah terjadinya transaksi, justru akan menyulitkan apabila pelaku usaha harus membuat dan menegosiasikan kontrak baru untuk setiap transaksi yang terjadi dengan konsumen, apalagi ketika kedua belah pihak terpisah antara satu negara dengan negara lain. Dengan tawaran yang melampaui batas negara, maka terdapat kemungkinan bahwa transaksi terjadi di antara dua pihak yang berdomisili dan memiliki kewarganegaraan yang berbeda, sehingga harus ditentukan pilihan hukum yang berlaku serta pilihan forum penyelesaian sengketa seandainya terjadi sengketa;
[3.11.5] Bahwa selanjutnya ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU 11/2008) yang pada pokoknya telah menentukan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum dan menetapkan forum penyelesaian sengketa sesuai dengan kesepakatan para pihak berdasarkan transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Berdasarkan hal tersebut, di manakah letak kebebasan konsumen dalam menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa dalam sebuah perjanjian baku? Menurut Mahkamah, dalam perjanjian baku, konsumen memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian serta kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan membuat perjanjian. Pada saat konsumen telah menyepakati untuk masuk dalam sebuah perjanjian baku, maka konsumen dianggap secara sukarela telah menyepakati keseluruhan isi perjanjian baku tersebut. Kesukarelaan sebagai bagian dari asas kebebasan berkontrak, secara doktriner dipahami, perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) sehingga menambah rasa percaya para pihak untuk mengikatkan dirinya pada perjanjian itu. Dalam hal ini, jika konsumen menerima dokumen perjanjian, berarti secara sukarela setuju pada isi perjanjian. Dengan demikian, pilihan untuk menentukan forum penyelesaian sengketa yang dipilih dalam sebuah perjanjian baku merupakan bagian dari kebebasan pelaku usaha dalam membuat perjanjian, sedangkan konsumen memiliki kebebasan untuk masuk atau tidak dalam perjanjian baku tersebut. Dalam hal konsumen telah menyepakati masuk dalam sebuah perjanjian baku yang menentukan forum penyelesaian sengketa (pilihan domisili), maka kesepakatan tersebut mengikat kepada para pihak untuk mentaati dan melaksanakannya. Akan tetapi, berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku, kesepakatan pilihan domisili tersebut tidak bersifat absolut, melainkan bersifat relatif. Pihak konsumen sebagai penggugat jika menghendaki, dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan (forum penyelesaian sengketa) yang telah disepakati [vide Pasal 118 ayat (4) Herziene Inlandsche Reglement (HIR)/Pasal 142 ayat (4) Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)], atau penggugat juga dapat mengajukan gugatan berdasarkan asas actor sequitor forum rei, yakni diajukan ke pengadilan di tempat mana tergugat bertempat tinggal [vide Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg]. Dengan demikian, penggugat bebas memilih kompetensi relatif berdasarkan domisili pilihan atau berdasarkan tempat tinggal tergugat;
[3.11.6] Bahwa setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil yang diuraikan Pemohon dalam permohonannya, Mahkamah menilai permasalahan yang diajukan oleh Pemohon lebih merupakan permasalahan implementasi norma yang dialami oleh Pemohon dalam hubungan Pemohon sebagai konsumen layanan jasa transportasi online yang terikat pada perjanjian baku yang telah ditentukan oleh pelaku usaha (Grab Indonesia). Apabila dikaitkan dalam konteks hukum perlindungan konsumen, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dikenal sebagai doktrin let the buyer beware, yang berarti dalam suatu hubungan jual beli, konsumen/pembeli wajib untuk berhati-hati dalam setiap transaksi jual-beli yang dilakukan. Dalam konteks choice of law dan choice of forum, konsumen dapat memilih apakah tunduk pada forum penyelesaian dalam perjanjian baku atau mengajukan gugatan di pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Penyelesaian sengketa konsumen di antara pihak berdasarkan perjanjian biasa maupun perjanjian baku diperbolehkan melakukan pilihan forum secara sukarela sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU 8/1999, sehingga permohonan Pemohon kontradiktif dengan Pasal a quo dan oleh karenanya apabila Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
[3.12] Menimbang bahwa terlebih lagi setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama petitum yang dimohonkan Pemohon dengan menambah norma “i. menetapkan dan/atau mengatur upaya penyelesaian sengketa konsumen secara sepihak tanpa persetujuan dan kesepakatan konsumen” dalam Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999. Hal demikian menurut Mahkamah, bukanlah merupakan pemaknaan atas suatu norma, karena norma yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa konsumen tidak terdapat dalam norma dasar Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999. Petitum Pemohon tersebut berarti meminta Mahkamah untuk menambahkan norma baru padahal kewenangan Mahkamah adalah menafsirkan atau memaknai norma dalam suatu undang-undang dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi. Sedangkan perubahan norma seperti permohonan Pemohon merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk Undang-Undang. Oleh karena itu, meskipun objek permohonan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah undang-undang, in casu Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 yang merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya, namun keinginan Pemohon agar Mahkamah menambahkan sebuah norma baru dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Partai Ummat dalam hal ini diwakili oleh Ridho Rahmadi dan A. Muhajir, S.H., M.H., yang memberikan kuasa kepada Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M., dkk., yang tergabung dalam kantor hukum REFLY HARUN & Partners dan serta lndrayana Centre for Government Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (2), Pasal 6A Ayat (3), Pasal 6A Ayat (4), dan Pasal 6A Ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2), UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 11/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum partai politik dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan perihal ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 74/PUUVIII/2020 bertanggal 14 Januari 2021 Paragraf [3.6], yang antara lain mempertimbangkan:

[3.6] …
Berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka pengusulan pasangan calon tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan melainkan ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian menurut Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dengan ketentuan Pasal 222 UU 7/2017, maka yang memiliki hak kerugian konstitusional menurut permohonan yang diajukan oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik. Namun pertanyaan berikutnya, partai politik manakah yang dianggap memiliki hak kerugian konstitusional terhadap Undang-Undang a quo?

Terhadap pertanyaan demikian, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud partai politik adalah pengertian partai politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) dan harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU 2/2011, secara kumulatif, yaitu:

(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum;
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundangundangan;
c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e. rekening atas nama Partai Politik”.

Selain syarat-syarat yang ditentukan dalam UU 2/2011, partai politik tersebut harus memenuhi syarat untuk dapat ikut serta sebagai peserta pemilihan umum. Pasal 173 ayat (1) dan ayat (2) UU 7/2017 mengatur mengenai persyaratan partai politik yang dapat ditetapkan untuk dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu mengenai syarat verifikasi, sehingga bagi partai politik yang telah terpenuhi persyaratannya selanjutnya ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Baik partai politik peserta pemilihan umum yang tidak berhasil atau bahkan berhasil menempatkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki suara yang signifikan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, dalam terminologi yang demikan, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, maka subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Hal ini telah secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

[3.6.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-VIII/2020 tersebut di atas maka partai politik yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik yang sudah pernah menjadi peserta pemilihan umum sebelumnya.

[3.6.4] Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo adalah partai politik yang baru terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dan belum pernah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik administrasi maupun faktual sebagai mana halnya persyaratan untuk menjadi partai politik peserta pemilihan umum [vide Risalah Sidang Pendahuluan tanggal 22 Februari 2022]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah partai a quo belum dapat dinyatakan sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

dr. H. Ludjiono yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 25, Pasal 30, dan Pasal 40 UU 24/2009

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 25, Pasal 30, dan Pasal 40 UU 24/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah melaksanakan persidangan pada 9 Februari 2022, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Namun, Pemohon tidak hadir walaupun telah dipanggil secara sah dan patut, yang menurut informasi dari Kepaniteraan hal ini terjadi karena adanya gangguan koneksi/jaringan online pada pihak Pemohon. Selanjutnya, Mahkamah menjadwalkan kembali Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud untuk memeriksa permohonan a quo pada 22 Februari 2022 dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, karena kewajibannya, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK Nomor 2/2021);

[3.3.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 7 Maret 2022 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan pada 7 Maret 2022. Pemohon dalam perbaikan permohonannya ternyata tidak menguraikan sistematika permohonan yang meliputi: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan Kedudukan Hukum Pemohon, namun Pemohon hanya menguraikan alasan-alasan Permohonan dan Petitum;

[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Sub-paragraf [3.3.2] pada dasarnya tidak sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 2/2021, dengan mengacu pada perbaikan permohonan, Pemohon langsung menguraikan alasanalasan Permohonan (posita) dan Petitum. Sementara itu, Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan Kedudukan Hukum Pemohon terdapat pada permohonan awal dan tidak digabungkan dengan perbaikan permohonan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, meskipun Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada 22 Februari 2022 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Pasal 39 ayat (2) UU MK] agar Pemohon menguraikan sistematika permohonan, kedudukan hukum, dan memperjelas alasan-alasan dalam mengajukan permohonan terkait dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dengan dasar pengujian sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga disarankan untuk memperbaiki petitum yang tidak lazim karena Pemohon meminta ganti kerugian kepada Pemerintah [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 22 Februari 2022]. Namun demikian, Pemohon tetap tidak memperbaiki permohonannya, terutama menguraikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945;
Dengan demikian, setelah membaca dan mempelajari secara saksama perbaikan permohonan Pemohon, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa permohonan Pemohon adalah kabur.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon kabur maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 62/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Euis Kurniasih; Jerry Indrawan G. S.IP., M.Si; Herdiansyah; A. Ismail Irwan Marzuki, S.H.; Bayu Widianto; dan Musono yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., M.H., Ade Yan Yan Hasbullah, S.H., dan Kurniawan, S.H., M.H., para Advokat yang tergabung dalam ITP & Associates Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 53 dan Frasa “usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama” dalam Pasal 71 huruf a UU TNI

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU TNI dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya adanya pengaturan yang berbeda dalam hal usia pensiun antara prajurit TNI dengan anggota Polri yang mempunyai kesamaan sebagai alat negara dan kekuatan utama yang merupakan satu kesatuan dalam Sishankamrata, menimbulkan ketidakadilan karena adanya perlakuan yang berbeda terhadap hal yang sama, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menghilangkan kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Hal tersebut dilakukan demi mencapai tujuan utama nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pertahanan dan keamanan Indonesia dalam perwujudannya tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pemisahan secara kelembagaan yang setara antara TNI dan Polri dilakukan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertanggal 18 Agustus 2000. Pemisahan dimaksud merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparat pertahanan dan aparat keamanan. Dalam kaitan tersebut, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara dan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum.
Bahwa dalam perannya sebagai alat pertahanan Negara, TNI bertugas menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Seiring dengan perkembangan global, ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara tidak hanya berasal dari militer namun juga non militer sehingga pertahanan negara tidak cukup didekati dari aspek militer yang hanya dikaitkan dengan fisik semata. Pertahanan negara memerlukan keterpaduan pertahanan militer dan pertahanan non militer melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan negara yang kuat dan disegani serta memiliki daya tangkal tinggi. Oleh karenanya wajib bagi TNI untuk memiliki kemampuan dan keterampilan secara profesional sesuai dengan peran dan fungsinya.
Bahwa sejalan dengan peran TNI, Polri sebagai alat negara juga berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun kedua alat negara tersebut (militer dan kepolisian) memiliki peran yang berbeda, namun pada dasarnya kedua lembaga ini memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis pada setiap negara sehingga keduanya harus selalu bersinergi dalam mewujudkan sistem pertahanan keamanan negara.
[3.13.2] Bahwa dalam kaitannya dengan batas usia pensiun TNI yang menurut dalil para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat pula melalui upaya legislative review. Namun demikian, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa peran yang dilakukan kedua alat negara (TNI dan Polri) memang berbeda namun keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945.
Mengacu pada keterangan Presiden dan keterangan DPR yang juga dibenarkan oleh keterangan Pihak Terkait (Panglima TNI), perubahan UU 34/2004 (termasuk mengenai ketentuan batas usia pensiun TNI) telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024 nomor urut 131 berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020- 2024, bertanggal 7 Desember 2021 [vide bukti PK-1] sehingga demi memberikan kepastian hukum, kiranya pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU 34/2004 dimaksud dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pasal 53 dan frasa “usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama” dalam Pasal 71 huruf a UU 34/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Tata Kesantra, Ida Irmayani, dkk yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Dr. Refly Harun, S.H., M.H.,LL.M, dkk yang tergabung dalam kantor hukum Refly Harun and Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 8/PUU-XX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6.5.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUUXIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUUXVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”
[3.6.5.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh perseorangan yang memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 di mana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislative tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara norma a quo dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon untuk memilih (right to vote);
[3.6.5.3] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk dipilih sebagai kandidat (right to be candidate) calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.3] … Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.”
Berdasarkan pertimbangan dalam putusan tersebut, kerugian hak konstitusional atas hak untuk dipilih sebagai kandidat bagi perseorangan warga negara Indonesia adalah sepanjang para Pemohon mendapatkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Persyaratan tersebut yang oleh para Pemohon tidak dapat dipenuhi dalam permohonan a quo, sehingga Mahkamah menilai tidak terdapat kerugian terhadap hak untuk dipilih sebagai kandidat (right to be candidate) calon Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana anggapan para Pemohon;
[3.6.5.4] Bahwa berkenaan dengan adanya anggapan kerugian hak untuk mendapatkan akses yang sama dalam pemilu serta hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara serta berpartisipasi dalam pembangunan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat antara norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon tersebut, baik secara aktual maupun potensial. Menurut Mahkamah, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sama sekali tidak menghalangi hak warga negara untuk mendapatkan akses yang sama dalam pemilu maupun hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara serta berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam konteks pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maka segala hak konstitusional warga negara sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon tersebut akan bermuara pada esensi tujuan pemilu itu sendiri, yaitu sebagai sarana perwakilan politik dimana rakyat dapat memilih wakil-wakilnya untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingannya, dalam hal ini suksesi kepemimpinan secara nasional. Oleh karenanya, pun dengan berlakunya Pasal 222 UU 7/2017, hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan akses yang sama dalam pemilu serta berpartisipasi dalam pembangunan tetap akan terpenuhi karena aspirasi dan kepentingannya tetap terakomodir dalam pemilu yang akan menghasilkan suksesi kepemimpinan sesuai dengan pilihan rakyat. Dengan demikian menurut Mahkamah, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon XIX, Pemohon XX, dan Pemohon XXII sampai dengan Pemohon XXIV juga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.6.5.5] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.5.1] dan Sub-paragraf [3.6.5.3] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Selain itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang memiliki hak untuk memilih (right to vote) memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Muhammad Saleh, S.H., M.H., dan Nur Rizqi Khafifah yang memberikan kuasa kepada Harseto Setyadi Rajah, S.H. dkk. untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 175 Angka 6 UU 11/2020 yang memuat perubahan Pasal 53 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014)

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 10/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan permohonan a quo, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.

[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah perlu menegaskan kembali pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, bertanggal 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu,
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.
Berdasarkan kedua putusan Mahkamah Konstitusi di atas sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.10] dan Paragraf [3.11], telah jelaslah bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil UU 11/2020 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Adapun berkenaan dengan dalil adanya kekosongan hukum akibat dihapusnya kewenangan pengadilan, in casu Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menetapkan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum, menurut Mahkamah, hal tersebut tetap dapat dikaitkan dengan Pasal 175 angka 6 UU 11/2020 mengenai Perubahan Pasal 53 ayat (5) UU 30/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden”. Sebab, UU 11/2020 masih dinyatakan tetap berlaku, namun sepanjang dilakukan pengujian secara materiil, Mahkamah berpendapat, penilaian konstitusionalitasnya harus menunggu masa 2 (dua) tahun perbaikan UU 11/2020 berakhir. Dengan demikian, sesungguhnya tidak terdapat kekosongan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon, andaipun Peraturan Presiden belum mengaturnya atau materinya bertentangan dengan peraturan di atasnya, maka hal tersebut bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] dan Paragraf [3.6] di atas, maka sebelum Mahkamah berkesimpulan berkaitan dengan perkara a quo, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon, sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya mengemukakan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), sebagai Peneliti (Pemohon II), dan berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) yang memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi dan menganggap mengalami kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK.
Berkenaan dengan argumentasi para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya tersebut, setelah Mahkamah mencermati alat bukti yang diajukan, baik oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa Pemohon I dalam menerangkan kedudukan hukumnya telah menganggap dirinya mengalami kerugian aktual dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama bukti yang diajukan oleh para Pemohon, khususnya terhadap Pemohon I telah ternyata tidak terdapat surat kuasa yang bersifat khusus yang diberikan oleh prinsipal (klien) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah hanya mendapatkan alat bukti surat kuasa khusus yang berasal dari prinsipal (klien) Pemohon I untuk dipergunakan mengajukan permohonan pada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM [vide bukti P-11] serta surat kuasa khusus untuk mengajukan upaya Fiktif Positif pada pengadilan TUN [vide bukti P-13]. Dengan demikian, Pemohon I sebagai advokat yang tidak secara langsung mengalami kerugian konstitusional, tidak dapat serta merta menggunakan kerugian prinsipal (klien) sebagai kerugian konstitusionalitasnya, kecuali dengan surat kuasa khusus mewakili kepentingan prinsipalnya (kliennya) tersebut untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konsitusi.
Bahwa advokat tidak dapat menggunakan alasan kerugian konstitusional prinsipal (klien) tersebut sebagai alasan kerugian konstitusional Pemohon I sebagaimana yang telah Mahkamah tegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya sebagai dasar untuk mempertimbangkan kedudukan hukum yang diajukan oleh advokat dengan didasarkan pada kasus tertentu yang telah dialami oleh prinsipalnya (kliennya). Sebab, subjek hukum yang mengalami kerugian kontitusional secara faktual sesungguhnya adalah prinsipal (klien), sedangkan advokat yang bersangkutan belum tentu mengalami kerugian spesifik maupun aktual dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Berkenaan dengan hal tersebut, selanjutnya penting dikutip kembali pendirian Mahkamah pada putusan sebelumnya, yaitu “Dalam menjalankan profesinya memberi jasa hukum, advokat ikut berperan penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab advokat adalah terkait dengan kepentingan klien atau masyarakat yang diwakilinya. Jika pun ada kerugian konstitusional, hal itu hanya mungkin terjadi terhadap klien yang diwakili oleh Pemohon, atau dalam hal Pemohon sendiri secara pribadi sebagai pihak (bukan kuasa) telah dirugikan. Dalil-dalil Pemohon dalam permohonan ini, lebih mempersoalkan kerugian konstitusionalnya dalam menjalankan profesi advokat daripada sebagai pribadi yang langsung dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang a quo [vide Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain: Nomor 10/PUU-VIII/2010, Nomor 17/PUU-VIII/2010, Nomor 72/PUU-XII/2014 dan Nomor 32/PUU-XIV/2016].
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Demikian pula halnya dengan Pemohon II dan Pemohon III, walaupun telah menguraikan perihal kerugian konstitusionalnya, namun oleh karena kerugian tersebut tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual terjadi pada Pemohon II dan Pemohon III, maka menurut Mahkamah, Pemohon II dan Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, telah ternyata pokok permohonan para Pemohon prematur.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan dan hal-hal lain dari permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Jaya Suprana yang dalam hal ini berprofesi sebagai Wiraswasta, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan dalam Perkara Nomor 16/PUU-XX/2022 perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal Desember 2021, dari Jaya Suprana, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 20 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 8/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 16/PUU-XX/2022 pada 7 Februari 2022, perihal permohonan pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 16/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 16.16/PUU/ TAP.MK/Panel/02/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Konstitusi Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 16/PUU-XX/2022, bertanggal 07 Februari 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Konstitusi Nomor 16.3.16/ PUU/TAP.MK/HS/2/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Perkara Nomor 16/PUU-XX/2022, bertanggal 07 Februari 2022;


c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon, bertanggal 14 Maret 2022, perihal Permohonan Pencabutan Pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Perkara Nomor 16/PUUXX/2022);
d. bahwa terhadap pencabutan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 16 Maret 2022 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 16/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo. Oleh karena itu, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Muhammad Reynaldi Arianda Arkiang, S.H, LL.M. dan untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 90 ayat (1), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 17/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan pengujian Pasal 90 ayat (1), Pasal 91 ayat (1) UU 13/2003, dan Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

d. bahwa pada 21 Maret 2022 Mahkamah melakukan Sidang Pemeriksaan dengan agenda menerima Perbaikan Permohonan Pemohon. Dalam persidangan yang terbuka untuk umum tersebut, Pemohon menyatakan tidak menyerahkan perbaikan permohonan dan menyatakan menarik kembali permohonannya, yaitu permohonan yang diajukan dan telah diterima Kepaniteraan berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 9/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 bertanggal 24 Januari 2022, yang telah diregistrasi sebagai Perkara Nomor 17/PUU-XX/2022 berdasarkan Akta Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 17/PUU/PAN.MK/ARPK/02/2022 bertanggal 8 Februari 2022 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 17/PUU-XX/2022 tanggal 21 Maret 2022];
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali 3 mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 22 Maret 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 17/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Djudjur Prasasto untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 UU Pemilu

Bahwa Pasal 2 UU Pemilu dianggap Pemohon bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 26/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) telah menerima permohonan bertanggal 14 Februari 2022, diajukan oleh Djudjur Prasasto, beralamat di Perum Griya Arga Permai, Jalan Rinjani S14, Kwarasan, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 14 Februari 2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 26/PUU-XX/2022 pada 2 Maret 2022, perihal Permohonan Pengujian Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 26/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:

1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 26.26/PUU/TAP.MK/Panel/03/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 26/PUU-XX/2022, bertanggal 2 Maret 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 26.26/PUU/TAP.MK/HS/3/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 26/PUU-XX/2022, bertanggal 2 Maret 2022;

c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon bertanggal 1 Maret 2022 perihal Pencabutan Perkara Nomor 26/PUU-XX/2022, yang diterima Mahkamah pada 28 Februari 2022. Berkenaan dengan tanggal penerimaan di Kepaniteraan Mahkamah lebih dahulu dibandingkan dengan tanggal surat pencabutan perkara, hal tersebut telah diklarifikasi Mahkamah dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemohon mengakui kekeliruan dalam penulisan tanggal tersebut [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 26/PUU-XX/2022 tanggal 17 Maret 2022];

d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada 17 Maret 2022. Pada Sidang Panel tersebut, setelah Mahkamah melakukan klarifikasi kepada Pemohon berkaitan dengan surat pencabutan atau penarikan perkara a quo, selanjutnya Pemohon menyampaikan adalah benar Pemohon mengajukan pencabutan terhadap Permohonan a quo dikarenakan adanya keterbatasan pengetahuan bahasa hukum Pemohon dalam menyusun Permohonan sesuai dengan sistematika pengajuan permohonan dan keterbatasan waktu Pemohon sebagai karyawan swasta untuk mencari penasihat hukum;

e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 22 Maret 2022 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 26/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf f di atas, memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Dr. Dra. Sri Mardiyati, M.Kom. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk dan untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 50 ayat (4) UU 14/05 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama permohonan Permohon beserta alat-alat bukti surat/tulisan, ahli, dan kesimpulan yang diajukan, keterangan DPR, keterangan Presiden beserta alat-alat bukti surat/tulisan, ahli, saksi, dan kesimpulan yang diajukan, keterangan Pihak Terkait Universitas Indonesia beserta alat-alat bukti surat/tulisan, saksi, dan kesimpulan yang diajukan, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa keberadaan UU 14/2005 tidak dapat dipisahkan dari UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU 12/2012). Hal demikian sejalan dengan keberadaan dosen dalam mengemban fungsi, peran, dan kedudukan strategis dalam pembangunan nasional, khususnya bidang pendidikan. Peran strategis tersebut sejatinya merupakan bagian dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, terutama tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional, memiliki peran yang sangat signifikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memerhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan sesuai dengan nilai-nilai luhur dalam Pancasila. Selain itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dan tantangan global yang makin mengutamakan basis ilmu pengetahuan maka pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategisnya dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia [vide Penjelasan Umum UU 12/2012).
[3.13.2] Bahwa dalam menghadapi tantangan dimaksud, dituntut kehadiran dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan yang memiliki tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Pengakuan dosen sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Oleh karena itu, dosen diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan oleh satuan pendidikan tinggi tempat dosen bertugas serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional [vide Pasal 45 UU 14/2005].
[3.13.3] Bahwa dalam dunia pendidikan tinggi terdapat 2 (dua) kategori dosen, yaitu dosen tetap (yang bekerja penuh waktu pada satuan pendidikan tinggi) dan dosen tidak tetap (yang bekerja paruh waktu pada satuan pendidikan tinggi). Dalam status sebagai dosen tetap, UU 14/2005 telah menentukan jenjang jabatan akademiknya terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor [vide Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2005 juncto Pasal 72 ayat (1) UU 12/2012]. Sementara itu, untuk jenjang jabatan akademik dosen tidak tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara perguruan tinggi [vide Pasal 48 ayat (4) UU 14/2005 juncto Pasal 72 ayat (2) UU 12/2012]. Berkenaan dengan jenjang jabatan akademik profesor (guru besar) merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi yang diberi kewenangan untuk membimbing calon doktor. Selain itu, profesor juga memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal seorang profesor memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional maka yang bersangkutan dapat diangkat menjadi profesor paripurna [vide Pasal 49 UU 14/2005].
[3.13.4] Bahwa untuk dapat meraih jenjang jabatan akademik profesor bagi dosen pada satuan pendidikan tinggi secara normatif dipersyaratkan telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai dosen tetap, memiliki publikasi karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi, paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor atau yang sederajat dan telah memenuhi persyaratan jumlah angka kredit baru dapat diusulkan ke jenjang akademik profesor [vide Pasal 72 ayat (3) UU 12/2012 juncto Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya (PermenpanRB 17/2013) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya (PermenpanRB 46/2013) juncto Permendikbud 92/2014]. Persyaratan paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor di atas dapat dikecualikan jika calon yang akan diusulkan tersebut memiliki tambahan karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi setelah memperoleh ijazah Doktor. Terkait dengan persyaratan dan mekanisme pengangkatan dosen tetap dalam jenjang akademik profesor tersebut diatur dengan standar yang sama dan berlaku bagi seluruh dosen tetap di seluruh perguruan tinggi agar dapat diwujudkan prinsip kepastian dan keadilan dalam seluruh proses, sehingga mutu dosen dalam jabatan akademik dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Terlebih lagi dalam jabatan profesor diemban fungsi sebagai penjaga akademik dan nilai-nilai ilmiah (the guardian of academic and scientific values).
Bahwa jika dilihat dari sisi pengangkatan jenjang jabatan akademik untuk dosen dalam jenjang jabatan Asisten Ahli dan Lektor menjadi sepenuhnya wewenang satuan pendidikan tinggi (perguruan tinggi), namun mulai jenjang jabatan Lektor Kepala dan Profesor menjadi wewenang satuan pendidikan tinggi untuk menilai dan mengusulkan. Selanjutnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga memiliki wewenang untuk mempertimbangkan dan menetapkan [vide Pasal 15 PemenpanRB 17/2003]. Artinya, sebagai jenjang jabatan akademik tertinggi persyaratan dan mekanisme perolehan jabatan profesor diatur lebih ketat dibandingkan dengan jenjang jabatan akademik yang lebih rendah dari profesor. Hal tersebut bertujuan tidak lain untuk menjaga kualitas (mutu) profesor (guru besar), sejalan dengan tugas, tanggung jawab, dan hak yang melekat pada jabatan profesor. Pentingnya menjaga kualitas tersebut sejalan pula dengan prinsip profesionalitas yang merupakan salah satu materi muatan pokok dalam Bab III UU 14/2005.
[3.13.5] Bahwa dengan mempelajari secara saksama UU 14/2005 dan UU 12/2012, kedua UU ini hanya mengatur istilah “Profesor” sebagai jenjang jabatan akademik tertinggi. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 72 ayat (5) UU 12/2012 menyatakan, “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi”. Selanjutnya, Pasal 72 ayat (6) UU 12/2012 menyatakan:
“Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.”
Atas dasar ketentuan Pasal 72 ayat (6) UU 12/2012 di antaranya diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan Pada Perguruan Tinggi (Permendikbud Ristek 38/2021). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permendikbud Ristek tersebut, dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 2 pada pokoknya menyatakan Profesor Kehormatan adalah jenjang jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa, termasuk di dalamnya prestasi yang luar biasa. Artinya, Permendikbudristek yang menegaskan maksud Pasal 72 ayat (5) UU 12/2012 dengan istilah “Profesor Kehormatan”, termasuk di dalamnya menentukan Profesor sebagai dosen tidak tetap yang telah diangkat sebelum berlaku Permendikbudristek 38/2021 disebut juga sebagai “Profesor Kehormatan” [vide Pasal 13 Permendikbud Ristek 38/2021].
Adapun kriteria yang harus dipenuhi dan dinilai oleh tim ahli dengan pertimbangan senat perguruan tinggi bagi seseorang yang diusulkan untuk diangkat sebagai profesor kehormatan meliputi: (1) memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), (2) memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit (tacit knowledge) luar biasa, (3) memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional, (4) berusia paling tinggi 67 (enam puluh tujuh) tahun [vide Pasal 3 Permendikbud Ristek 38/2021]. Berkenaan dengan penetapan sebagai profesor kehormatan tersebut ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi dan dilaporkan kepada Menteri [vide Pasal 5 Permendikbud Ristek 38/2021]. Dalam kaitan ini, tidak setiap perguruan tinggi dapat mengusulkan seseorang sebagai profesor kehormatan. Hanya perguruan tinggi yang memenuhi syarat yang dapat mengangkat, yaitu perguruan tinggi tersebut harus memiliki peringkat akreditasi A atau unggul dan perguruan tinggi tersebut menyelenggarakan program studi program doktor atau doktor terapan yang sesuai dengan bidang kepakaran calon profesor kehormatan dengan peringkat akreditasi A atau unggul. Kedua syarat ini bersifat kumulatif. Sementara itu, berkenaan dengan masa jabatan Profesor Kehormatan ditentukan paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. Apabila masa jabatan Profesor Kehormatan tersebut akan diperpanjang hingga 70 (tujuh puluh) tahun maka perguruan tinggi tersebut harus mempertimbangkan dengan cermat kinerja dan kontribusi yang dilakukannya atau diberikannya bagi pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi yang mengangkatnya karena hal ini merupakan salah satu bentuk kewajiban yang diemban oleh Profesor Kehormatan. Selain itu, jika jabatan akademik Profesor Kehormatan akan dicantumkan atau digunakan maka untuk membedakannya dengan profesor yang diraih oleh dosen tetap, kepada yang bersangkutan dalam mencantumkan jabatan akademik Profesor Kehormatan harus diikuti dengan nama perguruan tinggi yang memberikan jabatan akademik profesor kehormatan tersebut [vide Pasal 6, Pasal 11, dan Pasal 12 Permendikbud Ristek 38/2021]. Selain harus diikuti dengan nama perguruan tinggi, kata “Kehormatan” atau “Honoris Causa (H.C.)” perlu juga ditambahkan pada gelar profesor kehormatan, sebagaimana layaknya pemakaian gelar doktor kehormatan atau Doktor Honoris Causa yang ditulis sebagai Dr. (H.C.) [vide Pasal 3 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan]. Dengan demikian, terdapat kesamaan pencantuman gelar doktor kehormatan dengan profesor kehormatan. Terkait dengan hal tersebut, penulisan gelar profesor kehormatan harus pula ditulis Prof. (H.C.) diikuti nama institusi perguruan tinggi pemberi gelar dimaksud.
[3.13.6] Bahwa dengan mencermati persyaratan dan mekanisme proses pengusulan dosen tetap berbeda dengan dosen tidak tetap termasuk profesor kehormatan karena dosen tidak tetap diangkat berdasarkan perjanjian kerja/kontrak yang diatur oleh perguruan tinggi, antara lain bekerja paruh waktu. Oleh karenanya jika akan diajukan sebagai profesor kehormatan tidak diharuskan adanya persyaratan angka kredit dalam jumlah tertentu, tetapi berdasarkan penilaian pengetahuan tacit (tacit knowledge) yaitu pengetahuan yang hanya berdasarkan pengalaman pikiran seseorang, sesuai dengan pemahaman dan pengalaman orang itu sendiri yang belum dijadikan pengetahuan sesuai dengan kaidah keilmuan, namun memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) di perguruan tinggi agar bermanfaat untuk masyarakat. Lain halnya, bagi dosen tetap, explicit knowledge justru menjadi aspek penting untuk menunjukkan keahlian dan prestasi luar biasa di bidang akademis yang diwujudkan dalam bentuk karya-karya ilmiah seperti makalah, laporan penelitian, jurnal ilmiah, prosiding, serta buku-buku ataupun bentuk karya monumental lainnya. Tidak hanya itu, faktor intensitas dalam pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat juga tetap menjadi pertimbangan penting. Sementara itu, perihal syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi, Mahkamah berpendapat jika syarat ini tetap akan dipertahankan, tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau kementerian sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara regular. Sehingga, hal tersebut menjadi persyaratan yang sangat menentukan yang akan dinilai dengan cermat dan dituangkan dalam bentuk angka-angka kredit (KUM). Lebih lanjut, melalui UU 12/2012 ditegaskan batas usia pensiun dosen tetap yang menduduki jabatan akademik profesor adalah 70 (tujuh puluh) tahun dan kepadanya mulai ditingkatkan bentuk penghargaan oleh negara dengan memberikan selain tunjangan profesi juga tunjangan kehormatan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon a quo, yang pada pokoknya Pemohon mendalilkan norma Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 menimbulkan ketidakpastian dan multitafsir yang dapat disimpangi oleh peraturan di bawahnya sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan Pasal 50 UU 14/2005 penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu esensinya. Pasal a quo merupakan bagian dari ketentuan yang mengatur mengenai dosen, khususnya berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, sertifikasi, dan jabatan akademik. Secara esensial muatan pasal a quo mengatur mengenai pengangkatan dosen dengan persyaratan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, kesehatan jasmani dan rohani serta kualifikasi lain yang dipersyaratkan oleh satuan pendidikan tinggi tempat dosen tersebut nantinya bertugas. Pengangkatan dimaksud wajib melalui proses seleksi [vide Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2005].
Selain itu, ditentukan pula mengenai pengangkatan dosen untuk dapat menduduki jenjang jabatan akademik tertentu secara langsung tanpa melalui proses penjenjangan mulai dari asisten ahli, lektor atau lektor kepala dikarenakan dosen tersebut dapat memenuhi hasil penilaian kualifikasi akademik, kompetensi, dan memiliki pengalaman sesuai dengan jenjang jabatan akademik yang akan diperolehnya sebagaimana esensi dari Pasal 50 ayat (3) UU 14/2005 dan Penjelasannya. Tanpa penjenjangan dimaksud diatur lebih lanjut dalam Permendikbud 92/2014 dengan istilah “Loncat Jabatan”, yaitu dalam hal “Dosen yang berprestasi luar biasa dapat dinaikan ke jenjang jabatan akademik dua tingkat lebih tinggi (loncat jabatan) dari Asisten Ahli ke Lektor Kepala atau dari Lektor ke Profesor dan pangkatnya dinaikan setingkat lebih tinggi sesuai dengan peraturan perundangan” [vide Pasal 11 Permendikbud 92/2014].
Sementara itu, persoalan ketidakpastian dan multitafsir menurut Pemohon terdapat pada Pasal 50 ayat (4) UU a quo dikarenakan adanya ketentuan frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” yang didalilkan Pemohon dapat menihilkan muatan pokok ayat (4) itu sendiri yang telah menentukan kewenangan seleksi dosen dan pengangkatan serta penetapan dosen dalam jabatan akademik asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor oleh satuan pendidikan tinggi, menjadi ternihilkan oleh peraturan yang lebih rendah, in casu Peraturan Menteri.
[3.14.2] Bahwa dalam kaitan dengan frasa yang dipersoalkan Pemohon penting bagi Mahkamah menegaskan dirumuskannya frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, in casu Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 merupakan hal yang dibolehkan sebagaimana ditentukan dalam Lampiran II angka 281 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang menyatakan “Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Penggunaan frasa demikian juga telah tercantum dalam UU 12/2011 sebagaimana terdapat dalam Pasal 15 ayat (3) UU 12/2011. Oleh karena UU 14/2005 memiliki keterkaitan erat dengan berbagai UU di antaranya UU 20/2003 dan UU 12/2012 termasuk peraturan pelaksanaannya maka meskipun masing-masing perguruan tinggi memiliki Statuta Perguruan Tinggi, in casu untuk Statuta PTN Badan Hukum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah [vide Pasal 66 ayat (2) UU 12/2012], bukan berarti UU yang mengatur perguruan tinggi tidak boleh mencantumkan rumusan frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebagaimana didalilkan Pemohon. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 tidak mungkin merinci satu persatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengannya misalnya peraturan mengenai kepegawaian dari dosen yang akan diseleksi dan yang akan menduduki jenjang jabatan akademik tanpa penjenjangan. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan tinggi yang akan melaksanakan wewenangnya harus merujuk pada peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk peraturan menteri. Terlebih, ketentuan UU 12/2012 menentukan bahwa “Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi” [vide Pasal 7 ayat (1) UU 12/2012]. Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab agar dapat diwujudkan tujuan pendidikan tinggi, menteri berwenang menerbitkan peraturan menteri. Dengan merujuk pada Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 peraturan menteri dimaksud merupakan jenis dari peraturan perundang-undangan dan diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya. Dalam kaitan inilah, menteri dapat mengatur sepanjang hal tersebut didelegasikan oleh peraturan yang lebih tinggi dan/atau merupakan kewenangannya sekalipun dalam Pasal 50 ayat (4) hanya menyatakan dengan frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Namun demikian, jika dikaitkan dengan Pasal 72 ayat (6) UU 12/2012 yang menyatakan, “Ketentuan mengenai jenjang jabatan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri”. Artinya, peraturan menteri yang di antaranya mengatur jenjang jabatan akademik, termasuk jenjang jabatan akademik tertentu memiliki dasar dalam pembentukannya. Adanya peraturan menteri tersebut tidak menghilangkan sama sekali kewenangan perguruan tinggi karena untuk penilaian jabatan akademik Asisten Ahli dan Lektor penetapannya diserahkan kepada satuan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) untuk melakukan penilaian pada jenjang jabatan tersebut.
Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permendikbud 92/2014, yang pada pokoknya menentukan penilaian kenaikan jabatan akademik dosen perguruan tinggi negeri dilakukan oleh Tim Penilai Jabatan Akademik Dosen Perguruan Tinggi yang ditetapkan oleh Rektor/Ketua/Direktur. Sedangkan, untuk dosen perguruan tinggi swasta dilakukan oleh Tim Penilai Jabatan Akademik Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh Kepala/Ketua Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi; dan untuk dosen perguruan tinggi non Kementerian dilakukan oleh Tim Penilai Lembaga yang ditetapkan oleh pimpinan lembaga yang bersangkutan. Sedangkan, untuk penilaian jabatan akademik Lektor Kepala dan Profesor merupakan wewenang yang bersifat berbagi oleh satuan pendidikan tinggi dan Kementerian. Dalam hal ini, pimpinan perguruan tinggi dengan persetujuan senat perguruan tinggi mengusulkan penetapan angka kredit ke dalam jabatan Profesor atau pangkat dalam lingkup jabatan-jabatan tersebut kepada Direktur Jenderal. Proses ini dilakukan oleh perguruan tinggi secara berjenjang melalui program studi, fakultas, perguruan tinggi, dan selanjutnya diajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Untuk menghindari kemungkinan adanya perbedaan penilaian antara perguruan tinggi dan kementerian, perlu diintegrasikan tim penilai antara tim penilai perguruan tinggi dan tim penilai kementerian. Di samping untuk tetap mempertahankan kualitas dosen yang dapat diangkat sebagai guru besar atau profesor, pengintegrasian demikian juga dimaksudkan untuk menyederhanakan tahapan atau proses pengusulan.
Sementara itu, bagi dosen yang akan loncat jabatan, pimpinan perguruan tinggi dengan persetujuan senat mengusulkan penetapan angka kredit kenaikan pangkat bagi dosen yang akan loncat jabatan ke Lektor Kepala dan Profesor kepada Direktur Jenderal, proses inipun dilakukan secara berjenjang. Selanjutnya, Direktur Jenderal menetapkan angka kredit usul kenaikan jabatan akademik ke Lektor Kepala atau Profesor dan/atau pangkat dalam lingkup jabatan-jabatan tersebut setelah berkas unsur pelaksanaan kegiatan penelitian terlebih dahulu dinilai layak oleh Tim Penilai Pusat atau Tim Penilai Pusat yang telah diintegrasikan dengan Tim Penilai Perguruan Tinggi. Selanjutnya, Direktur Jenderal mengusulkan pengangkatan jabatan akademik Lektor Kepala atau Profesor dan/atau pangkat dalam lingkup jabatan-jabatan tersebut kepada Menteri [vide Pasal 4 dan Pasal 5 Permendikbud 92/2014]. Seluruh mekanisme dan proses tersebut harus dilakukan secara transparan dan mudah diakses oleh setiap calon yang diusulkan kenaikan jenjang jabatannya.
[3.14.3] Bahwa Pemohon juga mendalilkan penilaian oleh Tim Penilai Pusat untuk jabatan akademik profesor yang diatur melalui Peraturan Menteri tersebut telah menghambat Pemohon dalam memperoleh jabatan akademik profesornya. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo terungkap fakta dalam persidangan bahwa pengusulan dari perguruan tinggi Pemohon untuk jabatan akademik profesor (guru besar) dilakukan 27 (dua puluh tujuh) hari sebelum batas usia pensiun Pemohon, dalam hal ini Pemohon lahir pada 25 Oktober 1954 [vide bukti P-5], sehingga batas usia pensiun Pemohon pada 1 November 2019. Sementara itu, dalam Peraturan Kepala badan Kepegawaian Negara Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, dinyatakan batas usia pensiun telah diberitahukan sejak 15 (lima belas) bulan sebelum pensiun. Lebih lanjut berkenaan dengan waktu dalam proses pengusulan jenjang jabatan akademik, proses dilakukan sesuai norma layanan SLA (Service Level Agreement) di dalam standar operasional prosedur. Untuk penilaian Lektor Kepala maksimal 45 (empat puluh lima) hari kerja di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Sedangkan layanan penilaian profesor selama 55 (lima puluh lima) hari kerja sejak usulan diterima, sampai ditetapkan angka kreditnya. Dengan merujuk pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1142 Tahun 2016 tanggal 9 Mei 2016, disampaikan edaran agar pengusulan kenaikan jabatan akademik minimal 2 (dua) tahun sebelum batas usia pensiun. Selanjutnya diterbitkan pula Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 166/E.E4/K8/2020 tanggal 28 Februari Tahun 2020 yang berlaku sejak Januari 2021 menyatakan bahwa usulan kenaikan jabatan akademik ke Lektor Kepala dan Profesor maksimal 1 (satu) tahun sebelum batas usia pensiun. Namun demikian, dalam persidangan terungkap fakta bahwa walaupun pengusulan tersebut dilakukan 27 (dua puluh tujuh) hari sebelum batas usia pensiun Pemohon, yakni diajukan pada 4 Oktober 2019 [vide bukti P-8]. Terhadap pengusulan tersebut tetap dilakukan proses penilaian yaitu pada 22 Oktober 2019, 25 Februari 2020, dan 26 sampai dengan 27 Februari 2020, yang hasilnya belum merekomendasikan usulan atas nama Pemohon untuk diajukan sebagai profesor [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 bertanggal 10 Januari 2022, hlm. 7]. Dalam kaitan ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, merujuk pada fakta-fakta tersebut maka persoalan tidak diperolehnya rekomendasi jabatan akademik profesor Pemohon tersebut merupakan persoalan implementasi atas berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditentukan dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.

[3.15] Menimbang bahwa terlepas persoalan Pemohon a quo merupakan persoalan implementasi atau penerapan norma, berkaitan dengan jenjang jabatan akademik khususnya profesor atau guru besar menurut Mahkamah keberadaan Permendikbud 92/2014 serta PO PAK 2014 dan kini PO PAK 2019 merupakan instrumen yuridis sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 dan Pasal 72 ayat (6) UU 12/2012 yang bersifat teknis operasional untuk memastikan standarisasi penilaian dan prosedur penilaian, sehingga mutu dosen sebagai pemegang jabatan akademik dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Dalam hal ini Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun terdapat delegasi dan kewenangan dalam membentuk Peraturan Menteri, delegasi dan kewenangan dimaksud tidak dibenarkan mengurangi dan menambah substansi undang-undang yang menjadi dasar pembentukan peraturan menteri dimaksud.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 mengenai keadilan, kepastian hukum, perlindungan atas pekerjaan dan pengembangan diri dalam suatu negara hukum sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 10-03-2022

Ricki Martin Sidauruk yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 30 C huruf h UU Kejaksaan Republik

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan Republik Indonesia dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah telah menerima permohonan bertanggal 9 Januari 2022, yang diajukan oleh Ricky Martin Sidauruk, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 11 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 5/PUU/PAN.MK/AP3/01/ 2022, bertanggal 11 Januari 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 17 Januari 2022 dengan Nomor 9/PUU-XX/2022 mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 9/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 9.9/PUU/TAP.MK/Panel/01/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 9/PUUXX/2022, bertanggal 17 Januari 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 9.9/PUU/TAP.MK/HS/01/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 9/PUU-XX/2022, bertanggal 17 Januari 2022;
c. Bahwa pada 23 Februari 2022 Mahkamah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda menerima Perbaikan Permohonan Pemohon. Dalam persidangan yang terbuka untuk umum tersebut, Pemohon tidak memperbaiki permohonan Pemohon. Pemohon juga menyatakan menarik kembali permohonan Pemohon, yaitu permohonan yang diajukan dan telah diterima Kepaniteraan berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 5/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022, yang telah diregistrasi sebagai Perkara Nomor 9/PUU-XX/2022, bertanggal 17 Januari 2022 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 9/PUU-XX/2022 tanggal 23 Februari 2022];
d. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 24 Februari 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Dr. Musa Darwin Pane, S.H., M.H. yang memberikan kuasa kepada Dr. Sahat Maruli T. Situmeang, S.H., M.H. dkk. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 ayat (1) huruf b dan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU 7/2017

Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan dalam permohonan a quo adalah Pasal 21 ayat (1) huruf b dan Pasal 117 ayat (1) huruf b yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21 ayat (1) huruf b
Pada saat pendaftaran berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota KPU, berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk calon anggota KPU Provinsi, dan berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota KPU Kabupaten atau Kota.

Pasal 117 ayat (1) huruf b
Pada saat pendaftaran berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota BAWASLU, berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk calon anggota BAWASLU Provinsi, dan berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota BAWASLU Kabupaten atau Kota dan paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon PANWASLU kecamatan, PANWASLU kelurahan atau Desa dan Pengawas TPS.
2. Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara indonesia, yang memiliki kualifikasi sebagai Advokat, Dosen dan Profesional muda serta sebagai peserta bakal calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022-2027 sebagaimana dengan bukti pendaftaran nomor: CP-KPU-00306 [vide bukti P-3 = bukti P-4]. Selanjutnya, Tim Seleksi calon anggota KPU dan calon anggota Badan Pengawas Pemilhan Umum (Bawaslu) masa jabatan 2022-2027 menerbitkan pengumuman hasil penelitian administrasi seleksi bakal calon anggota KPU dan Bawaslu masa jabatan tahun 2022-2027 Nomor: 139/TIMSEL/XI/2021 tertanggal 17 November 2021 [vide bukti P-6], yang pada pokoknya tidak terdapat nama Pemohon dalam lampiran hasil pengumuman tersebut sebagai daftar nama bakal calon seleksi anggota KPU yang dinyatakan lulus ketentuan administrasi.
3. Bahwa menurut Pemohon hasil penelitian administrasi tersebut, tanpa adanya penjelasan apapun, perihal alasan tidak lolosnya Pemohon dalam seleksi administrasi sebagai bakal calon anggota KPU. Selanjutnya, Pemohon menduga alasan tidak lulusnya Pemohon dalam tahap seleksi administrasi bakal calon anggota KPU ini, adalah berkaitan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017, oleh karena, batasan usia paling rendah pada saat mendaftar untuk bakal calon anggota KPU adalah 40 (empat puluh) tahun, sedangkan pada saat pendaftaran calon anggota KPU, usia Pemohon adalah 39 (tiga puluh sembilan) tahun 7 (tujuh) bulan. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena diberlakukannya ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017 yang dijadikan dasar oleh tim seleksi KPU dan Bawaslu dalam menentukan batasan paling rendah usia pendaftar calon anggota KPU. Sedangkan, dalam menentukan batasan paling rendah usia pendaftar calon anggota Bawaslu didasarkan pada ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU 7/2017.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, Pemohon pada pokoknya hanya menguraikan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya berkenaan batasan usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota KPU pada Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017. Padahal dalam permohonan a quo, Pemohon memohon pengujian untuk seluruh materi muatan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017, lagi pula materi muatan pada Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017 tidak hanya mengatur berkenaan dengan batasan usia pendaftar calon anggota KPU saja, tetapi juga mengatur mengenai batasan usia pendaftar anggota KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Menurut Mahkamah, uraian anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut tidak secara spesifik sebagai akibat berlakunya seluruh materi muatan pada Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017, karena, Pemohon hanya mempersoalkan kerugian hak konstitusional kepada batasan usia pendaftar calon anggota KPU saja, namun tidak menjelaskan keterkaitan logis dan sebab-akibat (causal verband) berkenaan materi muatan batasan usia pendaftar calon anggota KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, selain batasan usia pendaftar calon anggota KPU sebagaimana diatur bersamaan dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017. Oleh karena itu, Mahkamah tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan keseluruhan norma Pasal 21 ayat (1) huruf b UU 7/2017 dengan kerugian yang dialami oleh Pemohon berkaitan dengan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Selanjutnya, terkait dengan uraian Pemohon yang menyatakan sebagai peserta seleksi calon anggota KPU periode 2022-2027, menurut Mahkamah, Pemohon tidak serta merta memiliki kedudukan hukum kaitannya dengan perihal isu konstitusional batasan usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun sebagai pendaftar calon anggota KPU, Pemohon akan memiliki kedudukan hukum apabila mendasarkan permohonannya hanya kepada kerugian hak konstitusional sepanjang batasan usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota KPU sebagaimana yang dialami oleh Pemohon. Sedangkan, berkenaan batasan usia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk calon anggota KPU Provinsi, dan batasan usia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota KPU Kabupaten atau Kota, sudah tidak lagi terdapat keterkaitan logis dan causal verband bahwa ketentuan tersebut mengakibatkan kerugian hak konstitusional bagi Pemohon, karena usia Pemohon pada saat melakukan pendaftaran untuk calon anggota KPU telah berusia 39 (tiga puluh sembilan) tahun 7 (tujuh) bulan. Dengan demikian, tidak diperoleh adanya hubungan kausal antara uraian anggapan kerugian yang dijelaskan oleh Pemohon dengan seluruh materi muatan pasal a quo.

[3.7] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum Pemohon berkenaan dengan pengujian Pasal 117 ayat (1) huruf b UU 7/2017, oleh karena Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas dan rinci apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang menurut anggapannya dialami dengan berlakunya ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU 7/2017, yang pada pokoknya menyatakan batasan usia paling rendah bagi pendaftar calon anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota, serta calon Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kecamatan, Panwaslu kelurahan atau desa dan Pengawas TPS. Menurut Mahkamah, Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia, tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo, serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Pemohon tidak secara spesifik mengaitkan dengan kerugian aktual yang telah/pernah atau berpotensi dialami oleh Pemohon ketika berhadapan dengan implementasi norma a quo. Dengan demikian, Pemohon tidak mempunyai kepentingan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung dengan materi muatan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU 7/2017.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILU TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Ikhwan Mansyur Situmeang, yang selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara seksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017. Dalam mengajukan permohonan a quo, Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga berprofesi sebagai ASN pada sekretariat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang mendalilkan memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
[3.6.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain menyatakan:
[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon.
[3.6.3] Bahwa berdasakan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih sehingga merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo karena membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan calon alternatif Presiden dan Wakil Presiden, menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah beralasan, karena Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.
Adapun berkenaan dengan uraian argumentasi Pemohon terkait adanya anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon sebagai ASN in casu PNS Sekretariat Jenderal DPD RI [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 24 Januari 2022] yang menurut Pemohon secara spesifik atau aktual atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya Pasal 222 UU 7/2017. Mahkamah tidak dapat meyakini Pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya pasal a quo, terlebih lagi, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan alat bukti lain terkait dengan dukungan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik serta tidak terdapat bukti yang berkenaan dengan syarat pencalonan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon, seandainya Pemohon didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden maka semestinya Pemohon menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Lieus Sungkharisma yang berprofesi Wiraswasta, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa norma yang diajukan Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dalam memperoleh kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum;

[3.7.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-
XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain menyatakan:

[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.

Dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon;

[3.7.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, terkait dengan kualifikasi Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia, yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah menikah, Pemohon harus membuktikan bahwa Pemohon benar benar ikut serta dalam pemilihan umum sebagai pemilih dan telah menggunakan hak pilihnya yang dibuktikan dengan dokumen seperti kartu pemilih dan nama yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jikapun bukti itu ada, quod non, berkenaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019, pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dalam waktu bersamaan (pemilu serentak), mekanisme dan sistem penentuan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu tahun 2019. Menurut Mahkamah, Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam pemilu;

[3.7.4] Bahwa terkait dengan argumentasi Pemohon bahwa partai politik hanyalah kendaraan bagi para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara termasuk Pemohon, hal tersebut adalah bukan persoalan yang mendasar dalam permohonan a quo. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat”, yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui Pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung.
Selanjutnya, sistem pemilu bangsa Indonesia merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya dapat menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara (one person, one vote, one value). Sementara, yang dimaksud dengan peserta pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (vide Pasal 1 angka 27 UU 7/2017). Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh Pemohon tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma a quo, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohoan a quo.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, S.H.,M.H., dan Fahira Idris, S.E.,M.H. dalam hal ini membeikan kuasa kepada Dr. Ahmad Yani, S.H., M.H, dkk, Advokat dari kantor hukum SAY & Partners law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan para Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) namun tidak mewakili lembaga DPD. Para Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional untuk memilih, untuk 50 ikut serta dalam menentukan pemerintahan dan mendapatkan banyak alternatif calon Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945;

[3.6.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, terkait dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pemillu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional para Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, 52 juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional para Pemohon sebagai pemilih dalam Pemilu. Demikian juga dalam kualifikasi para Pemohon sebagai anggota DPD, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian konstitusional para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan para Pemohon dalam menyerap aspirasi masyarakat daerah, karena pemberlakuan norma Pasal 222 UU 7/2017 tidak mengurangi kesempatan putra-putri terbaik daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Para Pemohon juga tidak memenuhi kualifikasi perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih sehingga dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 222 UU 7/2017, karena tidak terdapat bukti adanya dukungan bagi para Pemohon untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu atau setidak-tidaknya menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan para Pemohon.

Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILU TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Ferry Joko Yuliantono, S.E.,A.K., M.Si, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Refly Harun & Partners, yang selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2) dan alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
a. perseorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon yang pada pokoknya, sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 222 UU 7/2017, yang rumusan adalah sebagai berikut:
Pasal 222 UU 7/2017
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
2. Bahwa Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) maka Pemohon memiliki hak untuk dipilih (right to be a candidate) sebagai Presiden atau Wakil Presiden;
3. Bahwa Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebanyak paling sedikit perolehan kursi 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya telah terbukti mengurangi atau membatasi hak konstitusional Pemohon untuk memilih (right to vote) dan untuk dipilih (right to be a candidate) dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan karenanya harus dipandang sebagai sebuah kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial;
4. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah menempatkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat) maka pemberlakuan presidential threshold potensial mengebiri/membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan calon alternatif Presiden dan Wakil Presiden, karena besar kemungkinan hadirnya calon tunggal (satu pasangan calon); 5. Berdasarkan seluruh uraian di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara seksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam mengajukan permohonan a quo, Pemohon berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia meskipun Pemohon menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tetapi tidak dapat dikatakan mewakili Partai Gerindra.
[3.6.2] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, Mahkamah dalam Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 telah menegaskan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.6] ... Oleh karena itu, dalam terminologi yang demikan, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, maka subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dan oleh karenanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Hal ini telah secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, di dalam Putusan a quo, Mahkamah telah pula menegaskan berkenaan dengan perbedaan mekanisme dan sistem penentuan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.6.2] ... Mekanisme dan sistem penentuan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Tahun 2014 berbeda dengan Pemilu Tahun 2019, di mana pada Pemilu Tahun 2014 pemilih belum mengetahui bahwa hasil pemilihan anggota legislatif akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sehingga berkenaan hal tersebut Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum bagi pemilih perseorangan, sedangkan hasil Pemilu Tahun 2019 pemilih telah mengetahui bahwa hasil pemilihan anggota legislatif tersebut akan dipakai untuk menentukan ambang batas dalam menentukan pengusungan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Tahun 2024.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah, bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih. Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
[3.6.4] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih meskipun Pemohon menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tetapi tidak dapat dikatakan mewakili Partai Gerindra. Pemohon di dalam permohonannya merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal a quo karena membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan calon alternatif Presiden dan Wakil Presiden, karena besar kemungkinan hadirnya calon tunggal (satu pasangan calon), menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah beralasan, karena Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pemilu legislatif Tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan Presiden pada Pemilu Tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017, karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam Pemilu. Adapun berkenaan dengan kedudukan Pemohon sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sehingga memiliki hak untuk dipilih, Pemohon di dalam persidangan pendahuluan tanggal 6 Januari 2022 menyatakan diri bukan sebagai pihak yang mewakili Partai Gerindra sehingga tidak melampirkan surat izin dari partai [vide risalah persidangan tanggal 6 Januari 2022, hlm. 7], selain itu Pemohon tidak pula menjelaskan sebagai pihak yang mendapat dukungan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden dari Partai Gerindra atau gabungan partai lainnya serta tidak terdapat bukti yang berkenaan dengan syarat pencalonan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon, seandainya Pemohon didukung oleh Partai Gerindra atau gabungan partai lainnya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden maka semestinya Pemohon menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Gatot Nurmantyo dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. dkk, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara seksama uraian Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Dalam mengajukan permohonan a quo, Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia.

[3.6.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain menyatakan:

[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilihan Umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.

Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.

Dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta HakimKonstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon.
[3.6.3] Bahwa berdasakan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, terkait dengan kualifikasi Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, menurut Mahkamah Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam Pemilu.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

H. Bustami Zainudin, S. pd., M.H., dan H. Fachrul Razi, M.I.P., yang memberikan kuasa kepada Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M dan Muh. Salman Darwis, S.H., M.H.Li., yang tergabung dalam kantor hukum REFLY HARUN & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (2), Pasal 6A Ayat (3), Pasal 6A Ayat (4), dan Pasal 6A Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan para Pemohon berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan sebagai anggota DPD yang tidak mewakili lembaga DPD. Para Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional untuk memilih dan untuk dipilih, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hak untuk memperoleh jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan termasuk dalam mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945;

[3.6.2] Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUUXIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain menyatakan:

[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.

Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.

Dalam putusan tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan Pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat Pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan Pemohon.

[3.6.3] Bahwa berdasakan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 tersebut, terkait dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemillu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional para Pemohon. Persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional para Pemohon sebagai pemilih dalam Pemilu. Demikian juga dalam kualifikasi para Pemohon sebagai anggota DPD, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian konstitusional para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat dengan pelaksaaan tugas dan kewenangan para Pemohon dalam menyerap aspirasi masyarakat daerah, karena pemberlakuan norma Pasal 222 UU 7/2017 tidak mengurangi kesempatan putra-putri terbaik daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Para Pemohon juga tidak memenuhi kualifikasi perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih sehingga dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 222 UU 7/2017, karena tidak terdapat bukti adanya dukungan bagi para Pemohon untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu atau setidak-tidaknya menyertakan partai politik pendukung untuk mengajukan permohonan bersama dengan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-01-2022

Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, drh Jeck Ruben Simatupang, drh. Dwi Retno Bayu Pramono, Deddy Fachruddin Kurniawan, drh.H, drh. Oky Yosianto Christiawan, dan Desyanna, dalam hal ini diwakili oleh Putu Bravo Timothy, S.H. ,M.H. dkk., kesemuanya adalah advokat/konsultan hukum yang tergabung dalam They Partnership, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 34 Angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 Angka 17 ayat (1) UU 11/2020

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 34 Angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 Angka 17 ayat (1) UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan permohonan a quo, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang 105 tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
8. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab 106 UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.

[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon prematur maka terhadap pokok permohonan dan hal-hal lain dari permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DITERIMA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-01-2022

Jovi Andrea bachtiar, S.H., dkk. Yang selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 1 angka 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 UU 16/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 7B ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 21 ayat (1) huruf j dan Pasal 117 ayat (1) huruf j UU a quo dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa dalam pokok permohonan, Pemohon mengajukan permohonan pengujian norma yang terdapat dalam UU 16/2004. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan hal-hal berkenaan dengan undang-undang yang menjadi objek permohonan tersebut sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa Pemohon mengajukan pengujian terhadap norma Pasal 1 angka 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 UU 16/2004 melalui permohonan bertanggal 11 November 2021 sebagaimana diuraikan pada bagian duduk perkara putusan ini. Terhadap undang-undang tersebut, pada 31 Desember 2021 pemerintah ternyata telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755, selanjutnya disebut UU 11/2021). Dalam hal ini, UU 11/2021 diundangkan sebagai perubahan terhadap UU 16/2004 yang merupakan objek permohonan a quo.

[3.7.2] Bahwa sejak diundangkannya UU 11/2021, maka sebagian materi norma dalam UU 16/2004 telah mengalami perubahan dan sebagian norma lagi dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, undang-undang yang dimohonkan oleh Pemohon, yaitu undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia selengkapnya disebut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, UU 16/2004 yang dijadikan objek permohonan oleh Pemohon adalah telah berbeda dengan UU 16/2004 yang berlaku, karena undang-undang yang dijadikan objek seharusnya UU 16/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU 11/2021 sebagai satu kesatuan, sehingga objek permohonan yang diajukan Pemohon adalah tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, bahkan sebagian besar norma pasal yang diajukan oleh Pemohon telah diubah dalam UU 11/2021. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum yang telah dipertimbangkan tersebut di atas Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon telah kehilangan objek.

[3.8] Menimbang bahwa walaupun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, dan Pemohon I memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon telah kehilangan objek, maka permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-01-2022

Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Eliandi Hulu, S.H., dkk untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Kepolisian

Pasal 28G ayat (1), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Kedudukan Hukum Pemohon
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan apakah dengan tidak dibatasinya kewenangan Kepolisian untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan diperiksa identitasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 akan mengakibatkan aparat Kepolisian menjadi sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya, yang seringkali menyebabkan kehormatan dan martabat seseorang yang dilindungi oleh Pasal 28G ayat (1), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, menjadi terabaikan. Terhadap dalil pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa kewenangan aparat Kepolisian untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002, merupakan norma yang sama isinya dengan norma dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu mengatur wewenang penyelidik untuk melaksanakan tugas dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam konteks permohonan para Pemohon, aparat Kepolisian yang melakukan patroli terutama pada malam hari dengan melakukan pemeriksaan seseorang yang dicurigai sesungguhnya akan memberikan rasa aman dan perlindungan pada masyarakat. Keberadaan aparat Kepolisian di jalan pada malam hari diharapkan akan meningkatkan keamanan dan ketertiban wilayah, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat dari orang-orang yang berniat jahat ataupun orang-orang yang mengganggu ketertiban umum. Namun, yang menjadi permasalahan pokok permohonan a quo adalah kegiatan aparat Kepolisian yang sedang melakukan tugas memberhentikan orang yang dicurigai di jalan dan melakukan pemeriksaan identitas tersebut direkam dan ditayangkan di media televisi atau media lainnya.
Bahwa saat ini, semakin marak tayangan di media televisi dan platform digital lainnya yang menayangkan kegiatan aparat Kepolisian yang sedang menjalankan tugasnya baik kegiatan sederhana seperti mendisiplinkan lalu lintas, memeriksa orang yang mencurigakan di jalan, membubarkan kerumunan, maupun kegiatan penangkapan dan penggeledahan atas kejahatan berat seperti narkoba dan prostitusi. Bagi sebagian orang, tayangan di media televisi dan media sosial yang menayangkan kegiatan aparat Kepolisian sangat menarik untuk disaksikan. Tingginya minat masyarakat menonton tayangan demikian juga dapat dipahami karena orang-orang yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum itu berhasil diamankan oleh aparat Kepolisian.
Bahwa bagi Kepolisian, penayangan aktivitas aparat Kepolisian di berbagai media selain bertujuan sebagai bentuk keterbukaan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan tugas penegakan hukum dari Kepolisian, juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat menggunakan tayangan dari aksi nyata, di mana masyarakat dapat mengetahui aturan-aturan yang ada, kejahatan yang seringkali terjadi di jalan, sehingga masyarakat dapat lebih peduli dan waspada dengan lingkungan sekitarnya. Tayangan-tayangan seperti ini sesungguhnya juga menjadi pengetahuan hukum terutama hukum pidana bagi masyarakat, yang diharapkan akan memberikan efek jera kepada pelaku yang tertangkap sedang melakukan hal yang melanggar hukum ataupun mengganggu ketertiban umum. Selain itu, bagi masyarakat luas agar dapat lebih memperhatikan keluarga dan lingkungan sekitar sehingga menjauhi perilaku melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum;
Bahwa di pihak lain, media masa baik itu televisi dan platform digital yang bekerjasama dengan Kepolisian untuk menayangkan kegiatan Kepolisian memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, akurat dan benar kepada masyarakat. Namun sebaliknya, media masa dengan semua tayangannya dapat menjadi pembentuk opini masyarakat. Oleh karenanya, meskipun kemerdekaan pers dijamin oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU 40/1999), namun Pasal 5 UU 40/1999 membatasi kebebasan pers dengan kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

[3.10.2] Bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon tayangan kegiatan aparat Kepolisian yang memberhentikan orang yang dicurigai dengan melakukan tindakan yang melanggar kehormatan dan martabat seseorang, Mahkamah mendasarkan pada Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kehormatan, martabat, dan derajat manusia. Dalam suatu negara hukum, perlindungan terhadap kehormatan, martabat, derajat, serta nama baik seseorang harus dilindungi oleh hukum yang berlaku. Dalam hukum, berlaku asas praduga tak bersalah, yang dalam butir 3 huruf c Penjelasan Umum KUHAP dinyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeroleh kekuatan hukum tetap.” Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penerapan asas praduga tak bersalah seseorang harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan itulah yang menjadi objek pemeriksaan. Oleh karena itu, seseorang harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah menyatakan kesalahannya dan berkekuatan hukum tetap.
Bahwa dalam konteks permohonan a quo, menurut Mahkamah setiap tayangan di media manapun yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas akan membentuk opini publik, karena memang itulah tugas media dan pers sebagaimana telah disebutkan pada Paragraf [3.10.1] di atas. Oleh karena itu, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa dengan tayangan tersebut persepsi penonton yang berasal dari berbagai kalangan akan terbentuk dan tidak bisa dibendung dan dibatasi, yang terkadang akan menyudutkan seseorang dan menimbulkan stigma yang tidak baik. Padahal orang yang diberhentikan di jalan yang ditayangkan di media belum tentu terbukti melakukan pelanggaran, sedangkan opini masyarakat telah terlanjur terbentuk. Di sinilah pentingnya penerapan asas praduga tak bersalah, di mana orang yang dicurigai dan diberhentikan petugas seharusnya diperlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun demikian, seandainyapun terjadi tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia saat aparat Kepolisian menjalankan kewenangannya yang diatur Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 dan kemudian ditayangkan di media, apakah dapat dikatakan norma a quo inkonstitusional karena tidak memberi batasan? Hal inilah yang menjadi persoalan utama yang harus dijawab.

[3.10.3] Bahwa untuk menjawab persoalan utama permohonan para Pemohon, maka Mahkamah akan melihat kembali pada norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 yang tidak dapat dilepaskan dengan norma Pasal 13 UU 2/2002 mengenai tugas pokok Kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Mahkamah sebagai sebuah norma, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 telah jelas rumusannya, dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda. Norma-norma yang mengatur tugas dan kewenangan demikian menurut Mahkamah tidaklah harus dijelaskan lebih lanjut karena sudah cukup jelas. Kewenangan memberhentikan orang yang dicurigai merupakan langkah awal dilakukannya pemeriksaan untuk menemukan tindak pidana atau pelanggaran hukum dalam suatu peristiwa. Kewenangan demikian, adalah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian di negara manapun.
Bahwa dengan tidak adanya batasan yang tersurat dalam norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 yang menyebutkan kalimat “untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta tidak melakukan perekaman atau pengambilan video yang bertujuan untuk ditayangkan di televisi dan/atau youtube dan/atau media lainnya tanpa izin dari orang yang diperiksa”, sebagaimana permintaan para Pemohon, bukan berarti norma a quo melanggar hak atas jaminan perlindungan harkat dan martabat apalagi merendahkan derajat manusia yang telah dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Batasan-batasan dari kewenangan a quo dalam teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana, yang tidak mungkin kesemuanya tertuang dalam undang-undang. Selain itu, semua kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 UU 2/2002 tetap tunduk pada batasan-batasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, dalam Pasal 19 ayat (1) UU 2/2002 diatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 34 UU 2/2002 juga menegaskan bahwa sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bahwa selain itu Kepolisian juga memiliki Standar Operasional Prosedur, aturan disiplin, dan Peraturan Kapolri dalam pelaksanaan tugas, di mana setiap aparat Kepolisian terikat pada semua peraturan tersebut, dan jika melanggar peraturan maka aparat yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkannya baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. Sebagai pedoman hidup Kepolisian juga memiliki Tri Brata dan Catur Prasatya yang merupakan sumber nilai Kode Etik Profesi Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga harus tercermin pada aparat Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komitmen untuk memperhatikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas Kepolisian disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 2/2002 pada pokoknya menyatakan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia sangat penting karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Selain itu, setiap anggota Kepolisian wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dan Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, aparat Kepolisian juga harus memerhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya antara lain KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka telah jelas terdapat batasan-batasan yang berlaku dalam pelaksanaan norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 meskipun tidak tersurat dalam norma a quo. Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran maka hal itu adalah persoalan implementasi dari norma dimaksud, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma.

[3.11] Menimbang bahwa terlepas dari tidak adanya persoalan inkonstitusionalitas norma terhadap Pasal a quo, Mahkamah mengingatkan agar masyarakat selalu mendukung pelaksanaan tugas Kepolisian dengan menyeimbangkan perlindungan hak asasi yang dimilikinya dengan cara tidak segan-segan untuk mengingatkan kepada aparat Kepolisian dan mengajukan keberatan apabila dalam pelaksanaan tugasnya Kepolisian melanggar hak asasinya.
Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan pelaksanaan norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 Mahkamah menegaskan agar diimplementasikan dengan selalu menjunjung prinsip due process of law yang berdampingan dengan asas praduga tak bersalah sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa tidak adanya batasan kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 bukanlah menjadi penyebab oknum Kepolisian melakukan tindakan yang merendahkan martabat dan kehormatan orang lain. Persoalan yang para Pemohon dalilkan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi dari norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002. Persoalan implementasi norma terkait dengan tayangan kegiatan Kepolisian yang marak di media masa menurut Mahkamah telah memiliki batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, serta peraturan pelaksana lainnya. Oleh karena itu, baik aparat Kepolisian maupun media masa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya, agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 adalah norma yang konstitusional. Sehingga, kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan adanya tindakan merendahkan harkat dan martabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan kekhawatiran akan diperlakukan semena-mena sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, merupakan persoalan implementasi norma a quo, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-01-2022

Muhtar Said, S.H., M.H., yang memberi kuasa kepada Eliadi Hulu, S.H., M.H., dkk., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian UU 7/2021 karena dalam proses pembentukannya menggunakan sistem Omnibus Law yang tidak memiliki ketentuan atau standar baku pembentukan Peraturan Perundang-undangan baik dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 tentunya menjadi Praktik Ketatanegaraan yang tidak dapat dijelaskan secara akademik oleh Pemohon.


Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian UU 7/2021 karena dalam proses pembentukannya menggunakan sistem Omnibus Law yang tidak memiliki ketentuan atau standar baku pembentukan Peraturan Perundang-undangan baik dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 tentunya menjadi Praktik Ketatanegaraan yang tidak dapat dijelaskan secara akademik oleh Pemohon.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian secara formil proses pembentukan UU 7/2021 dengan menggunakan sistem Omnibus Law dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon perihal Pencabutan Perkara Nomor 61/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021, bertanggal 23 Desember 2021, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada 23 Desember 2021, pukul 14.12 WIB;
b. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 10 Januari 2022, namun Pemohon tidak hadir walaupun sudah dipanggil dengan sah dan patut dengan surat Nomor 484.69/PUU/PAN.MK/PS/12/2021, bertanggal 29 Desember 2021, perihal Panggilan Sidang dan Mahkamah juga telah melakukan konfirmasi melalui media Whatsapp (WA) kepada Pemohon pada 7 Januari 2022 dan mendapatkan jawaban bahwa Pemohon tidak akan ada yang hadir karena perkaranya dicabut, sudah dimasukkan surat pencabutan. Adapun maksud surat pencabutan tersebut adalah untuk mencabut permohonan dengan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 61/PUU/PAN.MK/ AP3/12/2021 yang telah diregistrasi dengan Perkara Nomor 69/PUU-XIX/2021, bertanggal 23 Desember 2021;
c. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
d. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 13 Januari 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 69/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Calvin Bambang Hartono, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Agoes Soeseno, S.H., M.M., dkk., selaku para advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab dalil Pemohon yang mempersoalkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, sebagai debitor, Pemohon telah diberikan waktu yang cukup oleh kreditor untuk menyelesaikan utangnya sehingga adanya putusan pernyataan pailit yang menurut Pemohon telah menyebabkan kerugian konstitusional adalah upaya maksimal untuk menyelesaikan permasalahan utang antara Pemohon dan kreditor yang telah diputus oleh badan peradilan. Selain itu, menurut Mahkamah putusan pailit merupakan putusan yang masuk dalam kategori putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terdapat upaya hukum (uitvoerbaar bij voorraad). Dengan kata lain, sebagai putusan serta merta di mana putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun putusan tersebut belum memeroleh kekuatan hukum tetap sebagaimana telah diatur dalam Pasal 8 ayat (7) UU 37/2004 yang menyatakan “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum” dan Pasal 16 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan, “Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.” Dalam konteks demikian, pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) UU 37/2004 dan Pasal 16 ayat (1) UU 37/2004 sesungguhnya masih dalam perspektif dapat dilakukannya sita umum terhadap harta milik debitor yang dilakukan atas permintaan Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas untuk dilakukan pengamanan guna ditindaklanjuti dengan verifikasi terhadap pengelompokkan kreditor yang melekat pada harta debitor pailit. Lebih lanjut, terhadap sita umum tersebut dapat dilakukan pembagian pelunasan utang debitor terhadap para kreditor sesuai dengan sifatnya sebagaimana diuraikan di atas dan secara pari passu pro rata parte. Oleh karena itu, sesungguhnya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 yang dimohonkan Pemohon berkenaan dengan sita umum telah sejalan dengan asas pari passu pro rata parte, yakni secara bersama-sama memeroleh pelunasan sesuai dengan sifat kreditor masing-masing yang mempunyai piutang. Oleh karena itu, kegunaan dari kepailitan ini membenarkan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang memberikan perlindungan pada kreditor konkuren atau kreditor bersaing dan membedakan dengan kreditor separatis dan kreditor preferen. Sementara berkaitan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan sita umum harta kekayaan debitor pailit tidak dapat dilakukan jika masih ada perkara perdata dengan subjek dan objek yang sama, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang kemudian pengurusan dan pemberesan atas harta tersebut dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas merupakan esensi dari kepailitan [vide Pasal 1 angka 1 UU 37/2004]. Dengan adanya sita umum tersebut maka akan mengesampingkan sita khusus lainnya berkenaan dengan harta tersebut misalnya sita jaminan, sita eksekusi atau sita harta perkawinan. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya tumpang-tindih antara jenis sita yang ada dan berpotensi adanya perebutan harta kekayaan debitor pailit oleh para kreditor serta menghentikan tindakan debitor pailit yang beriktikad tidak baik dan berpotensi merugikan para kreditornya. Meskipun terhadap hal demikian berlaku asas actio pauliana yaitu pengadilan dapat membatalkan semua tindakan hukum debitor yang merugikan kreditor [vide Pasal 1341 KUH Perdata).
[3.15.2] Bahwa apabila terhadap harta debitor pailit baik sebelum maupun setelah pernyataan pailit diletakkan sita pidana, maka akan terjadi konflik antara kepentingan publik dengan kepentingan keperdataan. Dalam Pasal 39 KUHAP dinyatakan bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana. Oleh karenanya, terhadap dalil demikian maka kepentingan publik yang harus didahulukan. Dengan demikian, sita dalam kaitan dengan perkara pidana karena berkaitan dengan kepentingan umum, oleh karenanya negara harus hadir untuk melindungi kepentingan umum dimaksud.
[3.15.3] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan kedudukan sita umum, Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa sita umum mempunyai kedudukan yang lebih diutamakan. Dengan demikian, melalui sita umum inilah dapat dipenuhi kewajiban debitor pailit kepada kreditornya secara proporsional dan maksimal, yaitu sebatas harta milik debitor pailit yang tercakup dalam sita umum dan harta-harta lain debitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Oleh karena itu, penafsiran atau pemaknaan lain terhadap Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 justru akan mengenyampingkan keadilan dan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945 dalam penanganan perkara kepailitan dan PKPU. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 sebagaimana yang didalilkan Pemohon di atas.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 telah memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh karenanya dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2019 TENTANG SISTEM NASIONAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Heru Susetyo, S.H., L.LM., M.Si., Ph.D., dalam hal ini memberi kuasa kepada Prof. Dr. Zaenal Arifin Hoesein, S.H., M. H., Dr. Wasis Susetio, S.H., M.H., dan Agus Susanto, S.H., Penasehat Hukum yang tergabung pada kantor SANS & Partners untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

kata “terintegrasi” dalam ketentuan Pasal 121 UU 11/2020 yang memuat perubahan Pasal 48 ayat (1) UU 11/2019 dan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 121 UU 11/2020 yang memuat perubahan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU 11/2019

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 46/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian kata “terintegrasi” dalam ketentuan Pasal 121 UU 11/2020 yang memuat perubahan Pasal 48 ayat (1) UU 11/2019 dan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 121 UU 11/2020 yang memuat perubahan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU 11/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden, namun dalam persidangan DPR menyampaikan permohonan penundaan penyampaian keterangannya [vide Risalah Sidang tanggal 15 November 2021] dan Presiden telah mengirimkan surat permohonan nomor PPE.PP.06.02-1978 bertanggal 10 November 2021 perihal permohonan jadwal sidang yang pada intinya memohon agar penyampaian keterangannya ditunda pada persidangan selanjutnya. Oleh karena UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian formil UU 11/2020 pada 25 November 2021, dengan amar yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

[3.10] Menimbang bahwa berkenaan dengan telah diputusnya permohonan pengujian formil terhadap UU 11/2020, maka Mahkamah dalam persidangan [vide Risalah Sidang tanggal 7 Desember 2021] dengan agenda Pemeriksaan Persidangan Lanjutan dan Penjelasan Mahkamah, telah meminta konfirmasi kepada Pemohon mengenai kelanjutan permohonan a quo, apakah akan mencabut/menarik permohonan a quo atau menyerahkan kelanjutan permohonan a quo kepada Mahkamah. Terhadap konfirmasi yang dilakukan oleh Mahkamah tersebut, Pemohon menyatakan menyerahkan kelanjutan permohonan a quo kepada Mahkamah.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah dinyatakan UU 11/2020 adalah inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Oleh karena itu, terhadap permohonan pengujian materiil yang diajukan oleh Pemohon a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 54 UU MK tidak terdapat lagi urgensi bagi Mahkamah untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Oleh karenanya, terhadap permohonan pengujian materiil UU 11/2020 harus dinyatakan kehilangan objek.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Alvin Lim, S.H., M.Sc., La Ode Surya Alirman, S.H., Jaka Maulana, S.H., Pestauli Saragih, S.H., dan Franziska Martha Ratu Runturambi, S.H., yang kesemuanya merupakan Advokat/Konsultan Hukum berkedudukan hukum di Law Firm LQ, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 77 huruf a UU 8/1981

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU UU 8/1981 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas
norma Pasal 77 huruf a KUHAP pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan perihal Pasal 77 huruf a KUHAP pernah diajukan pengujiannya beberapa kali kepada Mahkamah, sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP pernah diujikan dalam Perkara Nomor 102/PUU-XI/2013, Perkara Nomor 67/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 35/PUUXIII/2015 dan Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015, terhadap perkara-perkara tersebut, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon, yang dapat diuraikan selengkapnya sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 102/PUU-XI/2013, telah diputus pada tanggal 20 Februari 2014, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
2. Perkara Nomor 67/PUU-XII/2014, telah diputus pada tanggal 21 Januari 2015, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
3. Perkara Nomor 35/PUU-XIII/2015, telah diputus pada tanggal 20 Oktober 2015, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
4. Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015, telah diputus pada tanggal 26 Mei 2015 dimana Pemohon menarik permohonannya.

[3.7.2] Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP pun pernah diajukan dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019, di mana terhadap 2 (dua) perkara tersebut Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon a quo, yang dapat diuraikan selengkapnya sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 telah diputus pada 28 April 2015, dengan dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 dengan alasan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Perkara tersebut telah diputus dengan salah satu amar putusannya adalah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
2. Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019 telah diputus pada 15 April 2019 perihal pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP yang normanya telah diubah atau dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 sehingga selengkapnya berbunyi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dasar pengujian yang digunakan dalam Perkara Nomor 9/PUUVII/2019 tersebut adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memohon Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai termasuk penghentian penyelidikan. Menurut Pemohon karena penyelidikan dan penyidikan merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan sehingga penghentian penyelidikan harus diartikan sama dengan penghentian penyidikan yang merupakan objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a KUHAP. Terhadap perkara tersebut telah diputus oleh Mahkamah dengan amar putusan yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
[3.7.3] Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP yang normanya telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 sehingga selengkapnya berbunyi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;

[3.7.4] Bahwa walaupun objek permohonan dan alasan Pemohon sama dengan
Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019, namun perkara a quo memiliki dasar pengujian
yang berbeda yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, oleh karenanya dengan adanya
perbedaan sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.7.2] dan Subparagraf [3.7.3] di atas, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan

[3.8] Menimbang bahwa karena permohonan Pemohon dapat diajukan kembali karena secara formal telah memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;

[3.9] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 77 huruf
a KUHAP, Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut Pemohon, terhadap laporan polisi nomor LP/1860/IV/YAN.2.5/2021/SPKT PMJ tanggal 7 april 2021 yang dilaporkan oleh Pemohon terhadap dugaan tindak pidana penipuan, Pemohon melalui kuasa hukumnya telah mengajukan saksi untuk kepentingan pemeriksaan laporan;
2. Bahwa menurut Pemohon, terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Pemohon telah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dengan nomor B/2817/VIII/RES.1.11/2021/ Ditreskrimum bertanggal 16 Agustus 2021 yang pada intinya menyatakan dugaan tindak pidana penipuan yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana dan penyelidikan telah dihentikan;
3. Bahwa menurut Pemohon, terhadap penghentian penyelidikan tersebut, Pemohon mengajukan keberatan dengan surat nomor 124/ASK/PIDLQICTR/IX/2021 tanggal 20 November 2021 kepada Polda Metro Jaya yang salah satunya isinya menyatakan keberatan terhadap penghentian penyelidikan karena telah dipenuhinya 2 alat bukti berupa keterangan saksi dan bukti surat yang telah diajukan oleh Pemohon serta meminta untuk diadakan gelar perkara khusus secara terbuka, namun surat tersebut tidak mendapatkan balasan dan Pemohon tidak mendapatkan haknya dalam hal mendapatkan kepastian hukum yang adil;
4. Bahwa menurut Pemohon, berdasarkan definisi penyidikan dan tugas penyelidik dapat diketahui bahwa penyelidikan dan penyidikan adalah satu kesatuan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai termasuk penghentian penyelidikan karena menurut Pemohon penyelidikan dan penyidikan merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan sehingga penghentian penyelidikan harus diartikan sama dengan penghentian penyidikan yang merupakan objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a KUHAP.
5. Bahwa menurut Pemohon, dengan dimasukannya penghentian penyelidikan sebagai objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf a UU 8/1981 merupakan bentuk pelaksanaan check and balance system atau fungsi kontrol yang dapat meminimalisir tindakan sewenang-wenang penyelidik. Sehingga, hak konstitusional baik tersangka maupun pelapor dalam hal memperjuangkan haknya dan mendapatkan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dapat terpenuhi.
6. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penghentian penyelidikan atau penyidikan atau penghentian penuntutan atau penetapan tersangka“.

[3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti
P-11.

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon telah jelas maka
dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK menurut Mahkamah tidak terdapat urgensi untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK tersebut.

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama
permohonan Pemohon, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah penghentian penyelidikan dapat diartikan sama dengan penghentian penyidikan sehingga dapat dimasukkan sebagai objek dalam pengujian praperadilan, terhadap isu tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dengan isu konstitusional dimaksud, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019, yang pada pokoknya sebagai berikut:

[3.14] ......pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.
Lebih jauh apabila dikaitkan dengan sejarah yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah untuk memberikan pengawasan atau kontrol atas tindakan pejabat penegak hukum sebelum adanya proses peradilan agar dalam hal ini penyidik dan penuntut umum tidak melakukan tindakan sewenang- wenang. Di samping hal itu, esensi lain yang harus dipertimbangkan adalah pengawasan tersebut juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas hak asasi manusia. Dengan demikian hal tersebut sudah sejalan dengan tujuan praperadilan itu sendiri yaitu baru dapat “bekerja” setelah terdapat kemungkinan adanya tindakan upaya paksa yang berimplikasi adanya perampasan kemerdekaan dan hal tersebut baru dimulai pada tahap penyidikan yang wilayahnya berada setelah proses penyelidikan selesai. Dengan kata lain, memberikan kewenangan hasil tindakan penyelidikan untuk dapat dilakukan pengujian pada lembaga praperadilan sebagaimana yang didalilkan Pemohon, sama halnya memasukkan “nyawa” ke dalam tubuh penyelidikan untuk mempunyai karakter dibenarkannya indakan upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang. Jika dilakukan, hal tersebut akan membuat kabur indaka antara indakan penyelidikan dengan penyidikan. Bahkan lebih dari itu, sepanjang KUHAP sebagai hukum positif masih secara tegas memisahkan indakan penyelidikan dengan penyidikan maka sebagai konsekuensi logisnya, tidak akan dibenarkan hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam indakan penyelidikan. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya maka hal-hal yang berkaitan dengan penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan.

Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan a quo, Mahkamah telah menegaskan bahwa penghentian penyelidikan sebagai salah satu proses dalam kegiatan penyelidikan tidaklah dapat dimasukkan sebagai salah satu objek pengujian dalam praperadilan. Hal tersebut dikarenakan penyelidikan dan penyidikan walaupun keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun keduanya merupakan dua tindakan dengan karakteristik serta memiliki implikasi yang berbeda. Tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik belum masuk pro justitia sehingga tidak dapat dimasukkan sebagai objek pengujian dalam praperadilan karena di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa yang menyebabkan terjadinya perampasan hak-hak asasi manusia seseorang. Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan Pemohon dalam perkara a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 77 huruf a KUHAP sepanjang dimaknai termasuk penyelidikan adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Dr. Ir. H. M. Budi Djatmiko, SK., M.Si., M.E.I. yang dalam hal ini diwakili Didi Cahyadi Ningrat, S.H., Fanny Fauzie, S.H., M.H., Guntur Abdurrahman, S.H., M.H., dan Khairul Abbas, S.H., S.Kep., M.K.M. yang tergabung dalam kantor Hukum DIDI CAHYADI NINGRAT & REKAN Advocates & Legal Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU 36/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil permohonan Pemohon selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut Pemohon, frasa “secara nasional” dalam norma Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 membuka ruang kemandirian-otonomi-kemerdekaan masingmasing perguruan tinggi akan “dikebiri” dengan adanya upaya untuk menarik kembali sebagian kewenangan masing-masing perguruan tinggi dalam hal pelaksanaan uji kompetensi ke pemerintah pusat;
2. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 membuka ruang penyelenggaraan uji kompetensi mahasiswa tenaga kesehatan diatur ulang ataupun diubah hanya dengan “Peraturan Menteri” tanpa harus mengubah undang-undang yang menjadi dasar hukum sebelumnya, padahal pelaksanaan uji kompetensi tersebut sebelumnya merupakan bagian integral dari kewenangan yang telah diberikan kepada perguruan tinggi kesehatan;
3. Bahwa menurut Pemohon, frasa “secara nasional” pada Pasal 21 ayat (1) dan ketentuan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 tidak mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi kesehatan, tidak membawa iklim yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan tenaga kesehatan, telah mengerdilkan keberadaan Perguruan Tinggi yang notabene mempunyai kemandirian dan otonomi dalam membentuk manusia Indonesia yang berpendidikan, sehingga pemaknaan yang demikian haruslah ditinjau kembali dan dengan segera harus diluruskan sejalan dengan semangat konstitusi;
4. Bahwa berdasarkan dalil permohonan di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan:
a. Frasa “secara nasional” pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga bunyi ketentuan norma pada Pasal 21 ayat (1) yang konstitusional adalah “(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi”;
b. Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

[3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-12 yang telah disahkan dalam persidangan.
[3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, dengan berlandaskan pada Pasal 54 UU MK, oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk meminta keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK;
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai pengujian norma Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 yang sebelumnya pernah diajukan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, bertanggal 14 Desember 2016 dengan amar, antara lain, menolak permohonan para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap pengujian norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Bahwa ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 masingmasing menyatakan sebagai berikut: Pasal 60 UU MK (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian norma Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun dalam Perkara Nomor 82/PUU-XIII/2015, para Pemohon mengajukan pengujian, antara lain, norma Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 36/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Sehingga, dengan adanya penambahan dasar pengujian dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak, namun secara formal berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 membuka ruang kemandirian-otonomi-kemerdekaan masing-masing perguruan tinggi akan “dikebiri” dengan adanya upaya untuk menarik kembali sebagian kewenangan masing-masing perguruan tinggi dalam hal pelaksanaan uji kompetensi ke pemerintah pusat. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, bertanggal 14 Desember 2016, Paragraf [3.12] yang menyatakan:
[3.12] Menimbang bahwa dalam menghadapi tuntutan perkembangan bidang kesehatan, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik, hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A UUD 1945. Pelayanan kesehatan yang diatur oleh Pemerintah melalui pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya harus mendasarkan kepada hakhak warga Negara dan tujuan Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 …” Mendasarkan pada pertimbangan Mahkamah tersebut, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Artinya, setiap orang memiliki hak yang sama dalam memeroleh akses pelayanan kesehatan termasuk juga kualitas pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu. Berkenaan dengan hal itu, kompetensi tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya erat kaitannya dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta merupakan landasan utama bagi tenaga kesehatan untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga mutu tenaga kesehatan adalah dengan melakukan uji kompetensi. Bahwa Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 mengatur keharusan bagi mahasiswa bidang kesehatan untuk mengikuti uji kompetensi secara nasional pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi. Uji kompetensi secara nasional merupakan kebijakan Pemerintah sebagai upaya menjamin mutu tenaga kesehatan secara terpadu, baik dari sektor pendidikan maupun pelayanan yang dimulai dari penjaminan kualitas lulusan pendidikan tinggi kesehatan. Persoalan selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah frasa “secara nasional” pada norma Pasal 21 ayat (1) UU a quo membuka ruang pengebirian kemandirian masing-masing perguruan tinggi dikarenakan adanya upaya untuk menarik kembali sebagian kewenangan masing-masing perguruan tinggi dalam hal pelaksanaan uji kompetensi ke pemerintah pusat sebagaimana dalil Pemohon.
Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, uji kompetensi secara nasional merupakan salah satu cara efektif untuk meningkatkan proses pendidikan dan menajamkan pencapaian relevansi kompetensi sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan masyarakat. Tujuan uji kompetensi secara nasional di antaranya adalah untuk menyaring tenaga kesehatan Indonesia yang kompeten guna memberikan pelayanan kesehatan secara paripurna kepada masyarakat, dengan prinsip utama keselamatan pasien. Selain itu, uji kompetensi secara nasional diharapkan dapat mendorong perbaikan kurikulum dan proses pembelajaran di setiap institusi pendidikan. Dengan jaminan kualitas pendidikan yang lebih baik maka masyarakat sebagai pengguna lulusan akan mendapatkan jaminan bahwa lulusan perguruan tinggi memang memiliki kompetensi untuk mengelola dan melayani pasien di tatanan kesehatan. Hal tersebut justru lebih memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum baik kepada tenaga kesehatan maupun kepada masyarakat umum.
Bahwa terkait dengan penyelenggaraan uji kompetensi, Pasal 21 ayat (2) UU 36/2014 menyatakan, “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi”. Artinya, penyelenggara uji kompetensi tersebut adalah Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Sehingga, tidaklah benar jika kemudian dengan keberlakuan uji kompetensi secara nasional telah mengebiri kemandirian perguruan tinggi kaitan dengan penyelenggaraan uji kompetensi dimaksud. Apalagi, dalam rangka penjaminan mutu lulusan, sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UU 36/2014 penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional, sehingga uji kompetensi secara nasional menjadi bagian tidak terpisahkan dalam rangka memenuhi standar nasional pendidikan tenaga kesehatan.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 36/2014 telah mengebiri kemandirian masing-masing perguruan tinggi khususnya terkait penyelenggaraan uji kompetensi adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 membuka ruang penyelenggaraan uji kompetensi mahasiswa tenaga kesehatan diatur ulang ataupun diubah hanya dengan “Peraturan Menteri” tanpa harus mengubah undang- undang yang menjadi dasar hukum sebelumnya. Padahal, pelaksanaan uji kompetensi tersebut sebelumnya merupakan bagian integral dari kewenangan yang telah diberikan kepada perguruan tinggi kesehatan.
Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pembentukan Peraturan Menteri yang didasarkan karena adanya pendelegasian kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, in casu UU, diperkenankan sepanjang substansi yang diatur dalam Peraturan Menteri tersebut bersifat pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena tidak semua substansi dapat diatur dalam UU, termasuk juga UU 36/2014. Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 memberikan delegasi kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk membentuk Peraturan Menteri mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi. Peraturan Menteri a quo menjadi penting keberadaanya karena selain menjalankan perintah pendelegasian yang diberikan oleh UU 36/2014, Peraturan Menteri ini juga diperlukan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal teknis yang terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi secara nasional agar memiliki standar dan tata cara pelaksanaan yang sama sehingga menimbulkan kepastian hukum. Meskipun demikian, materi muatan dalam Peraturan Menteri a quo juga haruslah selaras dan tidak boleh bertentangan dengan UU 36/2014 atau bahkan menciptakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam undang-undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Menteri dimaksud.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, andaipun terdapat Peraturan Menteri yang oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan UU 36/2014, khususnya terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana diatur dalam norma Pasal 21 UU 36/2014, persoalan tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 membuka ruang penyelenggaraan uji kompetensi mahasiswa tenaga kesehatan diatur ulang ataupun diubah hanya dengan “Peraturan Menteri” sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, frasa “secara nasional” dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (7) UU 36/2014 tidaklah melanggar prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Gunawan A. Tauda, S.H., LL.M (Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun - PNS) dan Abdul Kadir Bubu, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun - PNS), untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 46/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh ihwal kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah perlu menegaskan hal-hal sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 bertanggal 13 Oktober 2016, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait dengan siapa pihak yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan urusan pemerintahan daerah sebagai berikut:
“... apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.”

Pertimbangan Mahkamah demikian kemudian antara lain ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2020 yang dalam pertimbangannya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 ini menegaskan bahwa terhadap persoalan yang kewenangannya dipegang secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pihak yang dirugikan dengan berlakunya UU terkait dengan daerah adalah Pemerintahan Daerah. Selain itu juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah sebagai satu kesatuan dengan DPRD. Penegasan mengenai hal ini pun termaktub dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Selain itu, Pasal 57 UU 23/2014 juga menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Atas dasar itu maka yang dapat mengajukan permohonan mewakili daerah adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk pemerintahan daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;”

Oleh karena itu, menjadi jelas pendirian Mahkamah terkait dengan pihak yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan pemerintahan daerah adalah kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (provinsi atau kabupaten/kota);

[3.6.2] Bahwa terkait dengan hal tersebut, oleh karena yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 adalah berkenaan dengan penetapan administratif Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara yang berkaitan erat dengan pemerintahan daerah, maka yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk mengajukan pengujian ketentuan dimaksud adalah pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal itu, saat Persidangan Pendahuluan secara daring pada 25 Oktober 2021, Majelis Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum Pemohon dengan melibatkan pemerintahan daerah, karena persoalan yang dimohonkan oleh para Pemohon berkaitan langsung dengan pemerintahan daerah [vide Berita Acara Persidangan Perkara 54/PUU-XIX/2021 tanggal 25 Oktober 2021]. Namun demikian, para Pemohon dalam perbaikan permohonannya tidak dapat mengikutsertakan pemerintahan daerah sebagai pemohon. Dalam Persidangan Pendahuluan dengan acara perbaikan permohonan yang juga dilakukan secara daring pada 8 November 2021, para Pemohon menjelaskan kepada Majelis Panel Hakim bahwasanya Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara menyikapi positif upaya para Pemohon, namun pemerintah daerah tidak ikut serta. Sedangkan untuk Pemerintah Kota Tidore Kepulauan memutuskan akan mengajukan diri sebagai Pihak Terkait [vide Berita Acara Persidangan Perkara 54/PUU-XIX/2021 tanggal 8 November 2021];
Dengan demikian, walaupun para Pemohon telah menjelaskan adanya hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945, namun sesuai dengan asas yang berlaku universal dalam gugatan di pengadilan, yaitu point d’interet point d’action, tanpa kepentingan tidak ada suatu tindakan, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.7] Menimbang bahwa oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XIX/20201 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

H. Armansyah, S.E., M.M. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada M. Husni Chandra, S.H., M.Hum. dkk., masing-masing para advokat dari Tim Advokasi Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Advokat Indonesia Kota Palembang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 49 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 49 ayat (2) huruf (b) UU Perbankan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Perbankan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 16 November 2021, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan pokok permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang (PMK 2/2021);
2. Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 29 November 2021 yang kemudian pada tanggal tersebut juga diperiksa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan;
3. Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat pertentangan pada bagian petitum Pemohon yaitu petitum angka 2 dan angka 3. Dalam petitum angka 2, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk memaknai frasa “Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pegawai Bank” menjadi “setiap orang” sehingga Pemohon meminta Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998 dimaknai sebagai “(1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank";
4. Bahwa selanjutnya pada petitum angka 3, Pemohon meminta pemaknaan kembali Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998 sepanjang kata “menyebabkan”, sehingga Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998 berbunyi, “(1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. membuat adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank";
5. Bahwa terhadap petitum angka 2 dan angka 3 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, petitum demikian bersifat kumulatif karena Pemohon meminta kepada Mahkamah agar memaknai dua kali Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998, sehingga permintaan demikian menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan terkait apa sesungguhnya yang diminta oleh Pemohon. Jika petitum sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar akan menimbulkan kerancuan norma sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Indah Harini yang diwakilkan Henri Kusuma, S.H., dkk selaku kuasa hukum, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 85 UU Transfer Dana

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 85 UU Transfer Dana dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 18 Oktober 2021, diajukan oleh Indah Harini, yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 Oktober 2021, memberi kuasa kepada Henri Kusuma, S.H., Chandra, S.H., M.H., Yaya Omy, S.H., dan Guffi Adriyan, S.H., para Advokat dan Konsultan Hukum pada Mastermind & Associates, yang beralamat kantor di Sahid Sudirman Center, Lantai 56 Suite 09, Jalan Jenderal Sudirman Nomor 86, Jakarta Pusat. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 18 Oktober 2021, kemudian dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 59/PUU-XIX/2021 pada 3 November 2021, perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana;
b. bahwa pokok permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 59/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 59.59/PUU/ TAP.MK/Panel/11/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 59/PUU-XIX/2021, bertanggal 3 November 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 63.59/PUU/TAP.MK/HS/11/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 59/PUU-XIX/2021, bertanggal 3 November 2021;
d. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada 17 November 2021 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;
e. bahwa Kepaniteraan Mahkamah telah menerima surat dari Pemohon bertanggal 29 November 2021, perihal Pencabutan Permohonan Uji Materil UU Transfer Dana Dalam Perkara Nomor 59/PUU-XIX/2021;
f. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada 1 Desember 2021 dan dalam persidangan tersebut Pemohon menyatakan mencabut atau menarik kembali permohonannya;
g. bahwa terhadap pencabutan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
h. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 1 Desember 2021 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 59/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo serta memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Muhammad Armand Prasetyanto, Muhammad Fikri Nur Yahya, dan Bagas Febriansyah untuk selanjutnya disebut para Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil pokok permohonan para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa menurut Mahkamah substansi pokok permohonan yang diajukan oleh para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 bertanggal 6 Januari 2020 dan diperkuat kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bertanggal 31 Agustus 2021.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkait dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.19] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, maka terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan yang menjadi pendirian Mahkamah terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dengan pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan lain dalam Undang-Undang a quo, disesuaikan dengan Putusan Mahkamah a quo;”
Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021, Mahkamah kembali menegaskan terkait dengan isu konstitusional kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dengan pertimbangan sebagai berikut:
“[3.14.2] Bahwa setelah mencermati seluruh uraian pertimbangan putusan di atas, menurut Mahkamah pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 telah mempertimbangkan secara yuridis dan menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon, khususnya berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia. Lebih jauh dalam pertimbangan hukum perkara tersebut telah pula dengan jelas dinyatakan pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia apabila berkenaan dengan cidera janji oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur masih belum diakui oleh debitur adanya cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri secara paksa melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri dan hal ini telah ternyata tidak terbukti menjadikan tidak memberikan perlidungan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon dalam perkara a quo. Sebaliknya, hal demikian justru memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian fidusia. Sebab, pada sebuah perjanjian Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak dan/atau tidak bergerak sepanjang tidak dibebani hak tanggungan dan subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian dimaksud (kreditur dan debitur), maka perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan harus diberikan terhadap ketiga unsur yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan.
[3.14.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara krediturdan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri;”
[3.8] Menimbang bahwa pertimbangan hukum sebagaimana dikutip dalam Paragraf [3.7] yang pada pokoknya berasal dari pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah cukup terang benderang menjawab isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo, sehingga menurut Mahkamah para Pemohon seharusnya bisa memahami secara utuh kedua putusan Mahkamah a quo sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi debitur ataupun kreditur pasca kedua putusan Mahkamah tersebut, tidaklah akan terjadi. Sebab, pada prinsipnya Mahkamah telah memberikan alternatif (pilihan) jika dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia apabila berkenaan dengan cidera janji oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur masih belum diakui oleh debitur adanya cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri secara paksa, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Dengan demikian, permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri merupakan alternatif (pilihan) bukan merupakan hal yang bersifat wajib sebagai satu-satunya dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon.
[3.9] Menimbang bahwa lebih lanjut, menurut Mahkamah apabila eksekusi jaminan fidusia “wajib” dilakukan hanya oleh pengadilan sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon hal tersebut justru akan menghilangkan sifat dasar dari fidusia itu sendiri yakni adanya sifat “parate eksekusi”, di mana kreditur atau penerima fidusia dengan kekuasaannya sendiri dapat melakukan penjualan dan atau melelang objek jaminan fidusia. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari sifat objek jaminan fidusia yang berupa benda bergerak sehingga tata cara pelaksanaan eksekusinya bersifat sederhana pula. Terlebih apabila yang dimohonkan oleh para Pemohon dikabulkan, hal tersebut justru akan berdampak terhadap menumpuknya jumlah permohonan pelaksanaan eksekusi fidusia kepada pengadilan negeri dan dapat menyebabkan lamanya waktu penyelesaian eksekusi tersebut dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para pihak baik pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian jaminan fidusia. Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999. Artinya, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan maka secara fundamental akan menggeser pendirian Mahkamah yang telah memaknai Penjelasan a quo dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang dipertegas kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.10] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagaimana dijelaskan dalam Paragraf [3.5] di atas. Berkenaan dengan uraian anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon telah ternyata tidak dapat menguraikan secara spesifik hubungan sebab akibat (causal verband) antara berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian yang dianggap merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagai warga negara Indonesia, in casu mahasiswa yang secara spesifik atau aktual atau setidak-tidaknya potensial akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 yang telah memaknai Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Selain itu, Mahkamah tidak dapat meyakini para Pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya pasal a quo karena yang dijadikan bukti oleh Pemohon hanya kartu mahasiswa yang menjelaskan sebagai mahasiswa yang memiliki perhatian terhadap isu ketidakpastian hukum, khususnya terkait jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021. Mahkamah juga tidak menemukan bukti lain yang dapat menunjukkan para Pemohon sebagai mahasiswa juga berperan aktif melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang mengalami kerugian konstitusional akibat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Andaipun, para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, telah ternyata dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XIX/2021PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) yang dalam hal ini diwakili oleh Sudarto dan Yayan Supyan memberi kuasa kepada Andri, S.H., M.H., Iyus Ruslan, S.H., Belly Hatorangan, S.H., Irwan Hidayat, S.H., M.H., dan Moh. Subekhi, S.H., kesemuanya adalah Advokat yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (LBH-RTMM),

Bab IV Bagian Kedua Ketenagakerjaan Pasal 154A ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I, j, k, l, m dan o dan Pasal 156 UU 11/2020

Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah dalam kualifikasinya sebagai badan hukum, berkenaan dengan pihak yang dapat mewakili FSP RTMM-SPSI di dalam dan di luar pengadilan termasuk dalam mengajukan permohonan a quo, menurut Mahkamah harus mendasarkan kepada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Anggaran Dasar FSP RTMM-SPSI dan Pasal 13 ayat (1) Anggaran Rumah Tangga FSP RTMM-SPSI yaitu diwakili oleh Pimpinan Pusat yang terdiri dari sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang dan sebanyak-banyaknya 11 (sebelas) orang yang susunannya sebagaimana tertuang dalam hasil Keputusan Musyawarah Nasional V FSP RTMM-SPSI Nomor KEP.12/MUNAS V/FSP RTMM-SPSI/V/2015 tentang Pengesahan Hasil Sidang Formatur Munas V FSP RTMM-SPSI yang dituangkan dalam Akta Notaris Nomor 17 tanggal 24 Agustus 2015 yang dibuat oleh Notaris Syafrudin, S.H. (vide bukti P-5) serta berdasarkan Keputusan RAPIMNAS VI FSP RTMM-SPSI Tahun 2020 Nomor 006/RAPIMNAS VI/FSP RTMM-SPSI/IX/2020 tentang Penetapan Waktu Serta Tempat Pelaksanaan Munas VI FSP RTMM-SPSI dan Perpanjangan Masa Bakti PP FSP RTMM-SPSI;
Berdasarkan fakta hukum tersebut, pengajuan permohonan a quo yang hanya diwakili oleh Sudarto selaku Ketua Umum dan Yayan Supyan selaku Sekretaris Umum FSP RTMM-SPSI tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam AD/ART FSP RTMM-SPSI karena diwakili oleh subjek hukum yang tidak cukup jumlah minimalnya sebagai kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif kolegial sebagaimana yang disyaratkan dalam AD/ART. Selain itu, Mahkamah juga tidak menemukan bukti adanya pelimpahan perwakilan dari Pimpinan Pusat kepada Ketua Umum dan Sekretaris Umum FSP RTMM-SPSI untuk dapat mengajukan permohonan a quo. Adapun pelimpahan kewenangan Pimpinan Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Anggaran Dasar FSP RTMM-SPSI terkait dengan pelimpahan kewenangan Pimpinan Pusat kepada Pimpinan Daerah sesuai dengan tingkatannya masing-masing yang dalam hal ini bukan secara khusus memberikan pelimpahan kewenangan kepada Sudarto selaku Ketua Umum dan Yayan Supyan selaku Sekretaris Umum FSP RTMM-SPSI;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

R Abdullah, Indra Munaswar, dkk, yang memberikan kuasa khusus kepada Ari Lazuardi, S.H., dkk., advokat yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional Tolak Undang-Undang Cipta Kerja

Pasal 42 angka 5, 6, 7, 15, 23, Pasal 81 angka 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, Pasal 82 angka 2, dan Pasal 83 angka 1 dan 2 UU 11/2020

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (4) dan (5), Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.19] Menimbang bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonan menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, namun oleh karena terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan, sehingga objek permohonan yang diajukan Pemohon a quo tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, permohonan Pemohon a quo menjadi kehilangan objek.
[3.20] Menimbang bahwa meskipun pokok permohonan Pemohon tidak seluruhnya dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, namun oleh karena terhadap permohonan pengujian formil tidak dipersyaratkan harus terpenuhinya seluruh syarat secara kumulatif maka dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan lagi mempertimbangkan syarat-syarat selain dan selebihnya yang didalilkan Pemohon a quo lebih lanjut.
Dalam Pengujian Materiil
[3.21] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan pengujian materiil, oleh karena Mahkamah melakukan pemisahan (spilitsing) pemeriksaan antara pengujian formil dengan pengujian materiil maka putusan terhadap permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian formil UU 11/2020.
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan para Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Putu Bagus Dian Rendragraha dan Simon Petrus Simbolon, yang memberikan kuasa kepada Eliadi Hulu, S.H., Himas Muhammady I. El. Hakim, S.H., dan Deddy Rizaldy Arwin Gommo, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 24 angka 4, angka 13, angka 24, dan angka 28; Pasal 61 angka 7; Pasal 81 angka 15, dan Penjelasan Pasal 55 angka 3 UU 11/2020

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonan menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek;
[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Riden Hatam Aziz, S.H., Suparno, S.H., Fathan Almadani, dan Yanto Sulistianto, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Said Salahudin, M.H., dkk, yang kesemuanya merupakan advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Formil UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, dan kesimpulan para Pemohon; keterangan DPR dan ahli yang diajukan DPR; dan keterangan Presiden beserta bukti-bukti yang diajukan, keterangan ahli dan saksi yang diajukan Presiden, dan kesimpulan Presiden, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonan menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, namun oleh karena terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan, sehingga objek permohonan yang diajukan para Pemohon a quo tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, permohonan para Pemohon a quo menjadi kehilangan objek.
[3.16] Menimbang bahwa meskipun pokok permohonan para Pemohon tidak seluruhnya dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, namun oleh karena terhadap permohonan pengujian formil tidak dipersyaratkan harus terpenuhinya seluruh syarat secara kumulatif maka dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan lagi mempertimbangkan syarat-syarat selain dan selebihnya yang didalilkan para Pemohon a quo lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh, yang bergiat di bidang pelestarian lingkungan hidup dan diwakili oleh Farwiza (Ketua), Badrul Irfan (Sekretaris), dan Kurnia Asni (Bendahara), yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Harli, S.H., M.T., M.A., dkk., masing-masing para advokat dari Kantor Hukum Nur Kholis Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 22 angka 5 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonana quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa pengujian formil atas UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar selengkapnya menyatakan:
“Dalam Provisi:
1. Menyatakan Permohonan Provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Menolak Permohonan Provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI.
Dalam Pokok Permohonan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen.
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.”

Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul;
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata UU 11/2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga terhadap permohonan pengujian materiil dalam perkaraa quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya karena objek permohonan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang ketika dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiila quo harus dinyatakan kehilangan objek;
[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 87/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang dalam hal ini diwakili oleh Deni Sunarya selaku Ketua Umum DPP FSPS dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum DPP FSPS, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 4 huruf b; Pasal 6; Pasal 81 angka 13, angka 15, angka 18, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44; dan Penjelasan Pasal 81 angka 42 UU 11/2020

Pasal 22A, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan pengesahan UU 11/2020 khususnya klaster ketenagakerjaan telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara, sehingga Pemohon memohon menunda berlakunya Pasal 81 UU 11/2020 hingga adanya putusan terhadap permohonan a quo.
Bahwa terhadap permohonan provisi tersebut, Mahkamah berpendapat alasan permohonan provisi yang diajukan Pemohon telah berkaitan erat dengan pokok permohonan Pemohon, sehingga tidak tepat dijadikan alasan permohonan provisi. Oleh karena itu, permohonan provisi yang demikian haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang selengkapnya menyatakan:
Dalam Provisi:
1. Menyatakan Permohonan Provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat
diterima;
2. Menolak Permohonan Provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan
Pemohon VI.
Dalam Pokok Permohonan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan
Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak
putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku
sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang
waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan
perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini
diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan
perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional
secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk
undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi
muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat
strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan
peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut
terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul;
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 103/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Elly Rosita Silaban, Dedi Hardianto yang memberikan kuasa khusus kepada khusus kepada Harris Manalu, S.H., dkk., advokat yang berkantor dalam Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH KSBSI), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61, Pasal 61A, Pasal 66, Pasal 88, Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, Pasal 88E, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 90B, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 92A, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 151, Pasal 151A, Pasal 152, Pasal 154, Pasal 154A, Pasal 155, Pasal 156, Pasal 157, Pasal 157A, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 162, Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, Pasal 171, Pasal 172 dan Pasal 191A Bagian Kedua, serta Pasal 1, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57 dan Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV UU 11/2020.

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam pengujian Formil
[3.19] Menimbang bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonan menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, namun oleh karena terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan, sehingga objek permohonan yang diajukan Pemohon a quo tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, permohonan Pemohon a quo menjadi kehilangan objek.
[3.20] Menimbang bahwa meskipun pokok permohonan Pemohon tidak seluruhnya dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, namun oleh karena terhadap permohonan pengujian formil tidak dipersyaratkan harus terpenuhinya seluruh syarat secara kumulatif maka dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan lagi mempertimbangkan syarat-syarat selain dan selebihnya yang didalilkan Pemohon a quo lebih lanjut.

Dalam Pengujian Materiil
[3.21] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan pengujian materiil, oleh karena Mahkamah melakukan pemisahan (spilitsing) pemeriksaan antara pengujian formil dengan pengujian materiil maka putusan terhadap permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian formil UU 11/2020.
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang- undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 105/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI) yang diwakili oleh Roy Jinto Ferianto, S.H. (Ketua Umum) dan Moch. Popon, S.H. (Sekretaris Umum), Rudi Harlan, Arie Nugraha, Wahyu Tri Prabowo, Doni Purnama, Rahmat Saepudin, Agus Darsana, Caska, Guruh Hudhyanto, Jayadi Prasetya, Wagiyanto dan Pradana Koswara, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Andri Herman Setiawan S.H., M.H.,dkk para Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Buruh Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (TAB FSP TSK - SPSI), untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 81 angka 1 Pasal 13 ayat (1) huruf c, angka 2 Pasal 14 ayat (1), angka 3 Pasal 37 ayat (1) huruf b, angka 4 Pasal 42, angka 12 Pasal 56 ayat (3) dan ayat (4), angka 13 Pasal 57, angka 14 Pasal 58 ayat (2), angka 15 Pasal 59, angka 16 Pasal 61 ayat (1) huruf c, angka 20 Pasal 66, angka 23 Pasal 79 ayat (2) huruf b, angka 24 Pasal 88, angka 25 Pasal 88A ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C, angka 30 Pasal 92, angka 37 Pasal 151, angka 38 Pasal 151A, Angka 42 Pasal 154A, dan angka 44 Pasal 156 ayat (4) huruf c UU 11/2020.

Pasal 27, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Pengujian Formil
[3.21] Menimbang bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonan menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, namun oleh karena terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan, sehingga objek permohonan yang diajukan Pemohon a quo tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, permohonan Pemohon a quo menjadi kehilangan objek.
[3.22] Menimbang bahwa meskipun pokok permohonan para Pemohon tidak seluruhnya dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, namun oleh karena terhadap permohonan pengujian formil tidak dipersyaratkan harus terpenuhinya seluruh syarat secara kumulatif maka dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan lagi mempertimbangkan syarat-syarat selain dan selebihnya yang didalilkan para Pemohon a quo lebih lanjut.
Dalam Pengujian Materiil
[3.23] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan pengujian materiil, oleh karena Mahkamah melakukan pemisahan (splitsing) pemeriksaan antara pengujian formil dengan pengujian materiil maka putusan terhadap permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian formil UU 11/2020.
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan para Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek.
[3.25] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diwakili oleh Dewan Eksekutif Nasional KSPI yang dipimpin Ir. H. Said Iqbal, M.E. selaku Presiden KSPI dan Ramidi selaku Sekretaris Jenderal KSPI, dkk, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Hotma P.D. Sitompoel, S.H., M.Hum., dkk yang tergabung dalam Tim Hukum Buruh Menggugat Undang-Undang Cipta Kerja (THBM CIPTA KERJA), dan untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 81 angka 1, Pasal 81 angka 3, Pasal 81 angka 4, Pasal 81 angka 12, Pasal 81 angka 13, Pasal 81 angka 15, Pasal 81 angka 16, Pasal 81 angka 17, Pasal 81 angka 18, Pasal 81 angka 19, Pasal 81 angka 20, Pasal 81 angka 21, Pasal 81 angka 22, Pasal 81 angka 23, Pasal 81 angka 24, Pasal 81 angka 25, Pasal 81 angka 26, Pasal 81 angka 27, Pasal 81 angka 28, Pasal 81 angka 29, Pasal 81 angka 30, Pasal 81 angka 32, Pasal 81 angka 33, Pasal 81 angka 35, Pasal 81 angka 36, Pasal 81 angka 37, Pasal 81 angka 38, Pasal 81 angka 42, Pasal 81 angka 44, Pasal 81 angka 45, Pasal 81 angka 46, Pasal 81 angka 50, Pasal 81 angka 51, Pasal 81 angka 52, Pasal 81 angka 53, Pasal 81 angka 54, Pasal 81 angka 55, Pasal 81 angka 56, Pasal 81 angka 58, Pasal 81 angka 61, Pasal 81 angka 62, Pasal 81 angka 63, Pasal 81 angka 65, Pasal 81 angka 66, Pasal 82 angka 1, Pasal 82 angka 2, Pasal 83 angka 1, dan Pasal 83 angka 2 UU 11/2020.

Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18 ayat (7), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal-Pasala quo UU 11/2020 dalam permohonana quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14B yang telah disahkan dalam persidangan.

[3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonana quo, meskipun telah dilakukan persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden [vide Risalah Sidang tanggal 18 Januari 2021] namun oleh karena DPR dan Presiden belum siap menyampaikan keterangan maka dengan mendasarkan ketentuan Pasal 54 UU MK, tanpa keterangan DPR dan Presiden dimaksud, Mahkamah telah dapat memutus perkaraa quo karena dipandang persoalannya telah jelas.

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonannya menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiila quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undangundang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiila quo harus dinyatakan kehilangan objek.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 107/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Serikat Petani Kelapa Sawit, Perkumpulan Pemantau Sawit/Perkumpulan Sawit Watch, Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS), Indonesia For Global Justice (Indonesia untuk Keadilan Global), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Budi Laksana, Yayasan Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRUHA),yang memberikan kuasa khusus kepada Jonas E. Sihaloho, S.H, dkk, advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Gugat Omnibus Law, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan ahli DPR, keterangan ahli dan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang dalam pokok permohonan menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, namun oleh karena terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan diucapkan, sehingga objek permohonan yang diajukan para Pemohona quo tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Dengan demikian, permohonan para Pemohona quo menjadi kehilangan objek.

[3.16] Menimbang bahwa meskipun pokok permohonan para Pemohon tidak seluruhnya dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, namun oleh karena terhadap permohonan pengujian formil tidak dipersyaratkan harus terpenuhinya seluruh syarat secara kumulatif maka dengan demikian menurut Mahkamah tidak relevan lagi mempertimbangkan syarat-syarat selain dan selebihnya yang didalilkan para Pemohona quo lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 108/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Ignatius Supriyadi, S.H., LLM, Sidik, S.H.I, M.H dan Janteri, S.H (advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 6, Pasal 17 angka 16, Pasal 24 angka 44, Pasal 25 angka 10, Pasal 27 angka 14, Pasal 34 angka 2, Pasal 41 angka 25, Pasal 50 angka 9, Pasal 52 angka 27, Pasal 82 angka 2, Pasal 114 angka 5, Pasal 124 angka 2, Pasal 150 angka 31, Pasal 151, Pasal 175 angka 6 UU 11/2020.

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa berkaitan dengan pengujian formil UU 11/2020 telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar Dalam Pokok Permohonan menyatakan:

Dalam Pokok Permohonan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Dalam putusan berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata terhadap UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. Sehingga, terhadap permohonan pengujian materiil a quo tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya, karena objek permohonan yang diajukan para Pemohon tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman], maka terhadap permohonan pengujian materiil a quo harus dinyatakan kehilangan objek.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon dipandang tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

PT. Sainath Realindo yang diwakili oleh Vikash Kumar Dugar selaku Direktur utama yang memberikan kuasa kepada Eddy Christian, Konsultan Pajak dan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak pada Kantor EC Consulting

Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002

Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI

[3.11] Menimbang bahwa terkait dengan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama telah ternyata Pemohon tidak menguraikan alasan permohonannya yang didasarkan pada independensi kekuasaan kehakiman dikaitkan dengan pemberlakuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 sehingga Mahkamah menilai tidak terdapat relevansi untuk mengaitkan dengan dasar pengujian dimaksud.

[3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan rumusan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tidak terdapat kriteria yang dijadikan sebagai pedoman bagi Hakim Pengadilan Pajak berkaitan dengan penerapan asas ne bis in idem, sehingga hal ini, menimbulkan kesewenang-wenangan oleh Hakim Pengadilan Pajak dalam menerapkan ketentuan Pasal a quo serta tidak mencerminkan penegakan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa dalam rangka memenuhi prinsip negara hukum yang demokratis, diperlukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak [vide Pasal 2 UU 14/2002]. Artinya, dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa pajak, hakim Pengadilan Pajak harus bebas dan tidak memihak (imparsial) guna menegakan hukum dan keadilan. Dalam menegakan hukum dan keadilan diperlukan penerapan asas-asas hukum sebagai syarat yang memuat aturan atau kaidah hukum dalam pembentukan putusan hakim sebagai pembentuk hukum. Salah satu asas dasar yang sering digunakan dalam bidang hukum adalah asas ne bis in idem. Secara doktrinal, dalam sistem hukum pidana yang dianut di Indonesia, asas ne bis in idem mengandung arti orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap [vide Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)], sedangkan pada ranah hukum perdata, asas ne bis in idem mengandung arti kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama, tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama, dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula [vide Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)]. Oleh karenanya, dalam menerapkan asas ne bis in idem terhadap suatu perkara, hakim terlebih dahulu menilai syarat-syarat dan/atau kriteria tertentu yang perlu dipenuhi terkait penerapan asas ne bis in idem. Adapun syarat-syarat dan/atau kriteria dimaksud adalah: 1) adanya putusan yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat (inkracht), 2) terdapat persoalan dan alasan tuntutan yang sama, dan 3) diajukan oleh pihak yang sama terhadap pihak-pihak yang sama pula. Dengan demikian, asas ne bis in idem merupakan salah satu asas yang fundamental dalam bidang hukum yang diterapkan oleh hakim guna menyelenggarakan peradilan yang adil dan menjamin adanya penegakan hukum.

[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan kriteria dan pedoman terhadap penerapan asas ne bis in idem, sebagaimana dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah dalam memahami penerapan asas ne bis in idem tidak dapat dilepaskan dan sangat erat relevansinya dengan ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP dan Pasal 1917 KUH Perdata sebagaimana uraian pada Sub-paragraf [3.12.1]. Pengadilan Pajak selaku pelaksana kekuasaan kehakiman harus cermat dalam memeriksa berkas perkara terkait syarat-syarat dan/atau kriteria pemberlakuan asas ne bis in idem guna memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan (justiciabelen). Oleh sebab itu, penerapan asas ne bis in idem terhadap suatu gugatan sengketa pajak diperlukan guna menciptakan kepastian hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Pajak selaku salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Pasal a quo, memberikan kewenangan kepada Hakim Pengadilan Pajak guna mewujudkan cita negara hukum yang demokratis. Hal demikian selain untuk menghindari potensi timbulnya kesewenang-wenangan oleh hakim dalam penegakan hukum di Pengadilan Pajak, yang lebih penting menurut Mahkamah adalah terwujudnya penyelenggaraan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, terkait dengan penerapan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 apabila dicermati secara saksama sesungguhnya norma a quo tidak sekadar mengatur hal yang berkaitan dengan asas ne bis in idem, akan tetapi mengatur juga terhadap gugatan yang tidak dapat diajukan kembali apabila terhadap perkara yang bersangkutan telah dicabut oleh penggugat. Artinya, terhadap sebuah perkara gugatan yang telah diajukan dan kemudian dicabut oleh penggugat, maka perkara gugatan a quo tidak dapat diajukan kembali. Dengan demikian, perkara gugatan yang telah dicabut oleh penggugat, sejatinya bukan perkara gugatan yang terkait dengan asas ne bis in idem, karena terhadap perkara gugatan yang dicabut belum dipertimbangkan oleh hakim, baik terkait syarat formil maupun alasan-alasan hukum secara materiil, sehingga belum ada putusan hakim yang berkenaan dengan pokok permohonan gugatan penggugat, baik secara formil maupun materiil dari gugatan penggugat. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, ketentuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 telah secara jelas memberikan penegasan secara limitatif, bahwa yang tidak dapat diajukan kembali adalah gugatan yang telah dicabut oleh penggugat, bukan gugatan baru yang telah dilakukan perubahan, baik pada bagian para pihaknya, posita maupun petitumnya. Oleh karena itu, apabila keinginan Pemohon untuk menegaskan ketentuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 diakomodir oleh Mahkamah, maka hal tersebut justru akan mempersempit makna dari ketentuan norma dimaksud. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tidak hanya mengatur hal yang berkaitan dengan asas ne bis in idem, akan tetapi terhadap perkara gugatan yang telah dicabut oleh penguggat dan perkara yang sama diajukan kembali. Sehingga, tanpa bermaksud menilai putusan hakim terhadap perkara gugatan yang dialami oleh Pemohon, persoalan gugatan Pemohon yang telah dilakukan perubahan baik pada bagian pihak maupun positanya, namun tetap dinyatakan tidak dapat diajukan kembali, hal tersebut sepenuhnya telah berkaitan dengan persoalan penerapan norma. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai pertentangan norma ketentuan Pasal a quo menimbulkan kesewenangan-wenangan Hakim Pengadilan Pajak dan tidak mencerminkan kepastian hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;

[3.13] Menimbang bahwa Pemohon a quo juga mendalilkan ketentuan norma pada Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tidak memuat penjelasan mengenai kriteria kesamaan dan perbedaan antara gugatan yang sudah dicabut dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali khususnya berkaitan dengan implementasi asas ne bis in idem, sehingga ketentuan Pasal a quo menimbulkan kesewenangwenangan Hakim Pengadilan Pajak dan tidak mencerminkan kepastian hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo menurut Mahkamah ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 sebagaimana telah dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.12.2] adalah merupakan suatu keadaan sebagai akibat dari pencabutan sebuah gugatan sengketa pajak. Oleh karenanya, penggugat tidak dapat mengajukan gugatan yang sama kepada Pengadilan Pajak. Artinya, apabila penggugat akan mengajukan kembali gugatan sengketa pajak kepada Pengadilan Pajak, penggugat dibebankan untuk membuat gugatan agar dinyatakan dapat diajukan kembali ataupun tidak dinyatakan ne bis in idem, yaitu dengan melakukan perubahan, baik pada bagian para pihak, posita dan petitumnya. Dengan demikian, terhadap gugatan baru a quo selanjutnya menjadi kewenangan hakim sepenuhnya untuk memeriksa ihwal syarat-syarat dan/atau kriteria pemberlakukan asas gugatan dapat diajukan kembali ataupun asas ne bis in idem. Oleh karenanya, apabila menurut penilaian hakim berkenaan dengan gugatan baru tersebut tidak ditemukan perbedaan dengan gugatan sebelumnya maka, terhadap gugatan tersebut dimaknai sebagai gugatan yang tidak dapat diajukan kembali ataupun apabila terhadap gugatan tersebut telah terdapat gugatan yang sama dan telah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dapat diberlakukan asas ne bis in idem. Sehingga, terhadap kedua fakta hukum tersebut relevan diberlakukan ketentuan Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002. Namun demikian, melalui putusan a quo, Mahkamah menegaskan, penerapan ketentuan norma Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 tersebut, baik yang berkaitan dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali ataupun gugatan yang memenuhi asas ne bis in idem harus dilakukan secara hati-hati dan tetap melindungi kepentingan hukum antara penggugat dan tergugat serta menghindari tindakan kesewenang-wenangan Hakim Pengadilan Pajak dalam penerapannya. Terlebih, menurut Mahkamah hal yang fundamental adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, dalam kedudukannya sebagai penggugat, sedangkan tergugat adalah bagian dari pemerintah yang harus diberlakukan sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan ketentuan norma pada Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002 yang tidak memuat penjelasan mengenai kriteria kesamaan dan perbedaan antara gugatan yang sudah dicabut dengan gugatan yang tidak dapat diajukan kembali khususnya berkaitan dengan implementasi asas ne bis in idem adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai penegakan hukum dan keadlian serta kepastian hukum sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

Akhwid Kurniawan , Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan dan Subur Makmur (yang selanjutnya disebut para Pemohon).

Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 tidak memenuhi ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Bahwa tahapan pembentukan UU a quo yang dianggap cacat materil dan dianggap para Pemohon bertentangan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan;

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah agar mempercepat proses pemeriksaan dan memutus permohonan a quo karena terkait langsung dengan sistem pelaksanaan pemilihan umum, terutama jadwal pemilihan umum yang akan berdampak luas terhadap proses penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, meskipun permohonan a quo berkaitan erat dengan sistem pelaksanaan pemilihan umum, terutama dengan jadwal pemilihan umum yang akan berdampak luas terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024, menurut Mahkamah, sisa waktu menuju pentahapan Pemilihan Umum 2024 masih cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya menuju pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 dimaksud. Oleh karena itu, tidak relevan mengaitkan permohonan provisi para Pemohon dengan jadwal Pemilihan Umum 2024. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;

Dalam Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara
saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR RI, keterangan Presiden, keterangan tambahan Presiden, keterangan KPU RI, keterangan tambahan KPU RI, keterangan ahli para Pemohon, bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, kesimpulan tertulis Presiden, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon;

[3.14] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah pilihan untuk menggabungkan antara pemilihan umum nasional (Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD) dengan pemilihan umum lokal (anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dalam penyelenggaran pemilihan umum serentak sebagaimana ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Namun berkenaan dengan hal itu, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020, yang masing-masing dalam amarnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.15] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:

Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan sebelumnya karena dalam permohonan a quo, para Pemohon lebih menitikberatkan pada beratnya beban kerja yang akan dialami oleh petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc apabila tetap digunakan metode pemilihan lima kotak secara bersamaan pada gelaran pemilihan umum serentak tahun 2024 mendatang. Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian atau alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.16] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah pilihan untuk menggabungkan antara pemilihan umum nasional (Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD) dengan pemilihan umum lokal (anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dalam penyelenggaran pemilihan umum serentak sebagaimana ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusionalitas tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu menegaskan kembali pendiriannyamengenai sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dalam Paragraf [3.16], sebagai berikut:
Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum;

Bahwa pilihan model keserentakan pemilihan umum dalam putusan Mahkamah tersebut adalah merupakan hasil penelusuran kembali original intentperubahan UUD 1945 yang dikaitkan dengan politik hukum untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial serta penelusuran makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014. Beberapa pilihan tersebut merupakan panduan bagi pembentuk undang-undang dalam menyusun desain penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak dan sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, semua pilihan model/desain keserentakan tersebut adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional). Dengan posisi dan pendapat hukum demikian, Mahkamah menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan model pemilihan mana yang akan digunakan. Selain itu, Mahkamah juga telah menegaskan setidaknya terdapat 5 (lima) hal yang harus dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Pertimbangan tersebut didesain untuk memberi ruang kepada pembentuk undang-undang dalam memilih model keserentakan pemilihan umum yang tetap harus dalam batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan seperti politik hukum dalam pembentukan undang-undang pemilihan umum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik bagi kontestan, pemilih maupun penyelenggara, pengawas, dan keamanan serta pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak. Karena pada prinsipnya, kebebasan untuk memilih model keserentakan bukanlah sesuatu yang dipilih tanpa dasar oleh pembentuk undang-undang, melainkan harus memiliki dasar, tujuan, rasionalitas yang jelas, serta kebutuhan konstitusional dalam menentukan dan memutuskan pilihan-pilihan tersebut. Dengan demikian, menjadi jelas pilihan model yang akan dipilih oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;
[3.17] Menimbang bahwa terkait dengan beban petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc yang tetap akan berat jika opsi menggabungkan pemilihan umum nasional dengan pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak dibatasi atau dipisah, para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menelusuri atau meninjau ulang opsi keserentakan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 a quo. Dalam permohonnya, para Pemohon menawarkan opsi pemilihan umum sebagai berikut:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
2. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/kota dan memilih bupati dan walikota
4. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakkan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden, dan tidak menyerentakkan pelaksanaan pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan anggota DPRD, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden (vide permohonan para Pemohon halaman 20-21).
Tidak hanya menawarkan opsi pemilihan umum serentak, para Pemohon sekaligus juga menawarkan desain waktu sebagai konsekuensi logis dari perubahan desain dimaksud, yaitu sebagai berikut:
1. Pemilihan umum Nasional (DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan di tahun 2024;
2. Pemilihan umum DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan di tahun 2026, dengan penyesuain masa jabatan, dimana DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diperpanjang masa jabatannya hingga tahun 2026;
3. Gubernur, Bupati/Walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun 2022 dan tahun 2023, tetap dilaksanakan pemilihan, dengan masa jabatan sampai tahun 2026;
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun 2024, diperpanjang hingga tahun 2026, dengan hitungan, jika kelanjutan masa jabatan tersebut lebih dari 2,5 tahun, dihitung menjadi 1 periode;
5. Pemilihan umum Tahun 2026 dilaksanakan untuk memilih Gubernur, Bupati, Walikota bersamaan dengan Pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
6. Skenario lain, sepanjang tidak menyerentakkan pemilihan umum DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum nasional (vide permohonan para Pemohon halaman 21-22);

[3.18] Menimbang bahwa terhadap keinginan atau desain baru keserentakan
dan sekaligus desain waktu tersebut, menurut Mahkamah, keinginan para Pemohon untuk memisahkan pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah tertampung dalam opsi pilihan model keserentakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas. Apabila dilihat dari pilihan model dalam putusan a quo, model keempat dan kelima sebenarnya telah sejalan dengan keinginan para Pemohon. Setidak-tidaknya, opsi yang ditawarkan (diinginkan) para Pemohon telah tertampung dalam opsi keenam, yaitu “pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”. Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salahsatu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yangditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi;

[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan pemilihan umum lima kotak menyebabkan beban kerja petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc yang sangat berat, tidak rasional dan tidak manusiawi. Menurut Mahkamah, beban kerja yang berat, tidak rasional dan tidak manusiawi sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon sangat berkaitan dengan manajemen pemilihan umum yang merupakan bagian dari implementasi norma. Mahkamah menilai hal tersebut berkaitan dengan teknis dan manajemen atau tata kelola pemilihan umum yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan pemilihan umum serentak. Sehingga, apa pun pilihan model keserentakan yang dipilih oleh pembentuk undang-undang, sangat tergantung pada bagaimana manajemen pemilihan umum yang didesain oleh penyelenggara pemilihan umum, tentu dengan dukungan penuh dari pembentuk undang-undang beserta stakeholders terkait. Secara teknis, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dengan struktur yang dimiliki saat ini justru lebih memiliki kesempatan untuk melakukan evaluasi dan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilihan umum, sehingga masalah-masalah teknis yang berkaitan dengan petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc dapat diminimalisasi dan diantisipasi. Misalnya, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilihan umum anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD serta pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Atau, desain teknis lainnya yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara pemilihan umum ad hoc sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, dengan telah semakin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024 maka melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Bagi Mahkamah, hal penting dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak adalah tetap terjaminnya penerapan asas dan prinsip penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Bangunan argumentasi yang demikian semakin meneguhkan pendirian Mahkamah, penentuan pilihan model keserentakan, baik dengan pemilihan umum lima kotak atau dengan memisahkan antara pemilihan umum nasional dan pemilihan umum lokal merupakan wilayah pembentuk undang-undang untuk memutuskannya
dengan berbagai pertimbangan dan batasan konstitusional sebagaimana telah
dijelaskan pada Paragraf [3.16] di atas. Terlebih lagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah telah mempertimbangkan penyelenggaraan pemilihan umum serentak harus memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum (Dosen), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Dr. Zaenal Arifin Hossein, S.H., M.H., Dr. Wasis Susetio, S.H., M.H, dan Agus Susanto, S.H., Advokat pada Kantor Pengacara Susetio, Arifin, Nasir, Susanto and Partners (SANS & P) (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 13 huruf a UU KY

Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU KY dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli Pemohon, keterangan ahli Pihak Terkait Komisi Yudisial, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan tertulis Pihak Terkait Komisi Yudisial sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah penambahan frasa “dan hakim ad hoc” dalam norma Pasal 13 huruf a UU 18/2011 bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan tersebut menjadi sangat relevan dikemukakan karena telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Dalam batas penalaran yang wajar, selain untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum masyarakat, perubahan tersebut juga mempunyai desain baru politik hukum eksistensi Komisi Yudisial dalam desain besar kekuasaan kehakiman Indonesia. Tidak hanya pengaturan dalam undang-undang, sejak awal pembentukannya, Mahkamah Konstitusi pernah memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU 22/2004), yaitu: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, bertanggal 7 Oktober 2015 yang berkelindan dengan kewenangan Komisi Yudisial.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya, sejumlah ketentuan dalam UU 22/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional tersebut, yaitu: Pasal 1 angka 5 sepanjang frasa “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), sepanjang frasa “dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25 ayat (3), sepanjang frasa “dan/atau Mahkamah Konstitusi”; dan Pasal 25 ayat (4) sepanjang frasa “dan/atau Mahkamah Konstitusi”.
[3.15] Menimbang bahwa salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang terkait dengan permohonan a quo adalah:
“Menimbang bahwa dengan uraian dan alasan di atas maka Pasal 24B aya (1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai “kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja, dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) untuk mewujudkan hakim agung –dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA– yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud “kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung”.
Setelah membaca secara saksama pertimbangan hukum tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sepanjang mengenai “kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” hanya dimaknai sebagai pengawasan etik eksternal yang terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 untuk mewujudkan hakim agung –dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Selain penegasan itu, frasa “kewenangan lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dinilai Mahkamah Konstitusi tetap terkait erat dengan kewenangan utama Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung. Artinya, penegasan perihal frasa “kewenangan lain” tersebut bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi sepanjang tetap memiliki kaitan dengan pengangkatan hakim agung.
[3.16] Menimbang bahwa setelah UU 22/2004 diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU 18/2011), pembentuk undang-undang melakukan perubahan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Dalam hal ini, sekalipun sebagian dari pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU 22/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat (inkonstitusional), sementara itu berkenaan dengan kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 22/2004 belum pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangan berikutnya, wewenang tersebut lebih didetailkan pembentuk undang-undang dalam UU 18/2011. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 13 UU 18/2011 menyatakan Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

[3.17] Menimbang bahwa sebagaimana dikemukakan di atas, sebelum permohonan yang diajukan Pemohon a quo, terhadap wewenang Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 18/2011 belum pernah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya. Namun demikian, Mahkamah telah pernah memutus Permohonan Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang berkelindan dengan wewenang Komisi Yudisial tersebut. Dalam hal ini, paling tidak, kelindan tersebut dapat ditelusuri dari pertimbangan hukum yang termaktub dalam Paragraf [3.9] dan Paragraf [3.10] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan:

“[3.9] Menimbang bahwa frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk memperluas kewenangan KY;

[3.10] Menimbang bahwa meskipun dalam Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 24 telah secara tegas menyatakan ketiga Undang-Undang yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung lagipula dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah, seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung”

Setelah membaca secara saksama pertimbangan hukum tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 memang menyatakan frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. Namun, apabila diletakkan dalam konteks substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, pertimbangan hukum tersebut lebih dimaksudkan ihwal keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi calon hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, terutama seleksi calon hakim pada pengadilan tingkat pertama. Artinya, pertimbangan hukum dimaksud hanyalah membatasi kewenangan Komisi Yudisial dalam proses seleksi calon hakim pada pengadilan tingkat pertama dan bukan dalam seleksi calon hakim agung.

[3.18] Menimbang bahwa sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, salah satu alasan perubahan UU 22/2004 menjadi UU 18/2011 adalah pembentuk undang-undang memiliki desain politik hukum terhadap Komisi Yudisial. Salah satu 157 politik hukum tersebut dapat dilacak dalam konsiderans “Menimbang” huruf b UU 18/2011 yang menyatakan:

Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Wujud konkret politik hukum dimaksud dapat dilacak, antara lain termaktub dalam Pasal 1 angka 5 UU 18/2011 yang menyatakan, “hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan”. Dalam batas penalaran yang wajar, salah satu arah politik hukum dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 UU 18/2011 dimaksudkan tidak membedakan antara hakim dan hakim ad hoc. Karena tidak membedakannya, khusus pengangkatan hakim agung, Pasal 13 huruf a UU 18/2011 secara eksplisit mengatur, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan”.

[3.19] Menimbang bahwa dengan adanya politik hukum pembentuk undang-undang yang tidak membedakan antara hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung sepanjang berkaitan dengan wewenang perekrutan. Hal demikian dapat ditempatkan sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang untuk memenuhi kebutuhan hukum di tengah masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, wewenang perekrutan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung berkaitan erat dengan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan. Sebab, dengan adanya hakim ad hoc pada Mahkamah Agung diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas putusan di Mahkamah Agung melalui keahlian khusus yang dimiliki hakim ad hoc. Terlebih lagi, dengan melacak tugas, fungsi, dan tanggung jawab terhadap perkara, tidak terdapat perbedaan antara hakim agung dengan hakim agung ad hoc di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, apabila diletakkan dalam kerangka Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yaitu dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka serta guna menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat sebagaimana makna hakiki Pasal 24A UUD 1945, hakim agung sebagai jabatan tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman di lingkungan Mahkamah Agung, keperluan terhadap proses yang independen dan imparsial menjadi sebuah keniscayaan, termasuk dalam hal ini proses seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung. Secara universal, pentingnya independensi dan imparsialitas hakim guna terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain, dapat dilacak dalam Angka 2 dan Angka 10 Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang disahkan dengan Resolusi PBB Nomor 40/32, pada 29 November 1985; dan Resolusi PBB Nomor 40/146, pada 13 Desember 1985, yang menegaskan:

2. The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason.

10. Persons selected for judicial office shall be individuals of integrity and ability with appropriate training or qualifications in law. Any method of judicial selection shall safeguard against judicial appointments for improper motives. In the selection of judges, there shall be no discrimination against a person on the grounds of race, colour, sex, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or status, except that a requirement, that a candidate for judicial office must be a national of the country concerned, shall not be considered discriminatory.

Merujuk pertimbangan tersebut, telah jelas betapa mendasar diperlukannya perisai untuk menegakkan independensi dan imparsialitas hakim guna mewujudkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks itu, seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial, harus dilaksanakan secara profesional dan objektif. Menurut Mahkamah, sampai sejauh ini proses seleksi yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung masih diperlukan dan sepanjang ada permintaan dari Mahkamah Agung.

[3.20] Menimbang bahwa secara konstitusional, UUD 1945 telah menentukan desain pengisian hakim agung sebagai jabatan/posisi hakim tertinggi di lingkungan Mahkamah Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dengan merujuk politik hukum pembentukan UU 18/2011, terutama dengan memosisikan hakim ad hoc merupakan hakim di Mahkamah Agung, maka proses seleksi hakim ad hoc yang dilakukan Komisi Yudisial masih dapat dibenarkan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, proses seleksi yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang didesain oleh konstitusi tidaklah bertentangan dengan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

Partai Beringin Karya, dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc, dkk yang tergabung pada Tim Kuasa Hukum Partai Politik Non Parlemen (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama permohonan para Pemohon, permohonan a quo berkenaan dengan verifikasi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, yang mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang.
[3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.
[3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan;
d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
[3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.13] Menimbang bahwa dari pertimbangan hukum tersebut Mahkamah telah memutuskan yang tertuang dalam amar putusannya bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
[3.14] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian yang digunakan oleh para Pemohon dalam perkara a quo berbeda yaitu Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD Tahun 1945, namun esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, maka pertimbangan hukum dalam perkara a quo mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

dr. H. Ludjiono, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

penggunaan Huruf/Abjad/Aksara Tanpa Nama pada Salinan Lampiran Permendikbud PUEBI

Pasal 36 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 17 Agustus 2021 dan 10 September 2021, yang diajukan oleh dr. Ludjiono, Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 6 September 2021 dan 22 September 2021, kemudian dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 52/PUU-XIX/2021 pada 23 September 2021, perihal Perbaikan dan Melengkapi Persyaratan Bukti-Bukti Yudisial [sic!] Review/Uji Materi Penggunaan Huruf/Abjad/Aksara Tanpa Nama Pada Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 36 yang berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia;

b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 52/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 52.52/PUU/ TAP.MK/Panel/09/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 52/PUUXIX/2021, bertanggal 23 September 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 56.52/PUU/TAP.MK/HS/9/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 52/PUU-XIX/2021, bertanggal 23 September 2021;

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada 11 Oktober 2021 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada 25 Oktober 2021 dan dalam persidangan tersebut Pemohon menyatakan mencabut atau menarik kembali permohonannya;

e. bahwa terhadap penarikan permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi telah pula menerima surat dari Pemohon melalui aplikasi WhatsApp kepada bagian Pengadministrasi Registrasi, bertanggal 27 Oktober 2021, dan surat tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 November 2021, perihal Penarikan/Pencabutan Yudicial [sic!] Review Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, dengan alasan karena peraturan tersebut tidak sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi;

f. bahwa terhadap pencabutan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 2 November 2021 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 52/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo serta memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-11-2021

Tuti Atika. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Akhmad, dan untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) KUHP

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan berkenaan dengan sistematika permohonan Pemohon mengenai syarat formal dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi. Terhadap persoalan tersebut, setelah Mahkamah memeriksa dan mencermati sistematika permohonan Pemohon, telah ternyata bahwa permohonan Pemohon tidak memenuhi Pasal 51A ayat (2) huruf c UU MK dan Pasal 10 ayat (2) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) yaitu, belum memuat alasan permohonan (posita) yang menjelaskan mengenai alasan-alasan norma yang dimohonkan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah dapat memahami persoalan hukum yang dipermasalahkan oleh Pemohon yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya, sebagaimana penjelasan kedudukan hukum yang telah diuraikan oleh Pemohon. Oleh karena itu Mahkamah tetap akan mempertimbangkan substansi permohonan Pemohon, sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa terkait persoalan hukum Pemohon berkenaan konstitusionalitas Pasal 11 UU 20/2001. Terhadap hal tersebut Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIX/2021, bertanggal 29 September 2021, yang pada Paragraf [3.12] menyatakan,
[3.12] ... rumusan delik korupsi dalam Pasal 11 UU Tipikor sebenarnya adalah hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 418 KUHP yang merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam BAB XXVIII KUHP tentang Kejahatan Jabatan. Dalam rumusan tersebut, terdapat dua jenis delik korupsi, yaitu: (1) delik korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya; dan (2) delik korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya. Dengan demikian, dapat diuraikan unsur-unsur dari Pasal 11 UU Tipikor a quo, adalah: (i) pegawai negeri atau penyelenggara negara; (ii) menerima hadiah atau janji; dan (iii) padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
Berdasarkan uraian unsur-unsur dalam Pasal 11 UU Tipikor di atas, menurut Mahkamah, unsur utama yang merupakan objek norma (normgedrag) dalam pasal a quo adalah “menerima hadiah atau janji” yang apabila diuraikan lebih lanjut terdiri atas 2 (dua) bentuk perbuatan, yaitu menerima hadiah atau menerima janji. Penggunaan kata “atau” dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa kedua perbuatan tersebut bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu perbuatan tersebut terpenuhi maka objek norma dalam Pasal 11 UU Tipikor a quo telah terpenuhi. Sedangkan frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” merupakan salah satu kondisi norma (norm-conditie) yang tidak menetapkan perilaku atau perbuatan apa yang diminta atau dilarang untuk dilakukan. Frasa a quo menghendaki adanya sikap batin dari subjek norma (pegawai negeri atau penyelenggara negara) yang menerima hadiah atau janji tersebut agar mengetahui atau patut menduga tentang sikap batin dari pihak pemberi bahwa hadiah atau janji yang diberikan berhubungan dengan jabatannya. Dalam hal ini maka tidak dipersoalkan apakah subjek norma tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya sepanjang objek atau perbuatan yang dilarang (menerima hadiah atau janji) tersebut telah terjadi. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 11 UU Tipikor telah jelas dan tegas menetapkan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara hanya dapat dipidana karena melakukan perbuatan menerima “hadiah atau janji” yang padahal diketahui atau patut diduga diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran si pemberi ada hubungannya dengan jabatannya. Penjatuhan pidana melalui putusan oleh hakim tentu didasarkan pada pembuktian unsur-unsur delik atau tindak pidana, termasuk penilain terhadap sikap batin seorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum..
Berdasarkan kutipan uraian pertimbangan hukum tersebut telah jelas berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 11 UU 20/2001 Mahkamah telah berpendirian bahwa keterlibatan penyelenggara negara di dalam menerima hadiah atau janji ada atau tidaknya keterkaitannya dengan kekuasaan atau kewenangannya adalah sangat tergantung pada penilaian hakim yang didasarkan pada hasil pembuktian, termasuk sikap batin seorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 11 UU 20/2001 tersebut.
[3.7.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 12 huruf c UU 20/2001, menurut Mahkamah tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon termasuk menilai putusan hakim yang mengadilinya, ketentuan norma Pasal 12 UU 20/2001 harus dibaca sebagai satu kesatuan yaitu dari huruf a sampai dengan huruf i, di mana sanksi pidana yang dapat dijatuhkan baik terhadap pelaku, pemberi, maupun penerima. Adapun hakim sebagai penyelenggara negara juga bagian yang dilarang untuk menerima hadiah atau janji yang dapat memengaruhi putusan perkara yang sedang ditangani. Hal demikian sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas dan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam norma a quo, sehingga apabila memang pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak berniat menerima suap atau terpaksa menerima gratifikasi, maka berdasarkan Pasal 12C ayat (1) dan ayat (2) UU 20/2001, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi dimaksud. Demikian halnya, dalam persoalan yang dihadapi oleh Pemohon, yaitu apabila benar Pemohon telah menerima uang dari kuasa hukum yang sedang berperkara di PN Tangerang, maka juga berlaku kewajiban untuk melaporkan berkenaan dengan gratifikasi tersebut agar terhindar dari ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya.
[3.7.3] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 55 ayat (1) KUHP, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999), setiap orang yang membantu pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang sama yang dikenakan kepada pelaku korupsi. Ketentuan ini juga berlaku untuk setiap orang yang berada di luar wilayah Indonesia yang membantu pelaku tindak pidana korupsi (vide Pasal 16 UU 31/1999). Adapun dalam rumusan Pasal 55 ayat (1) KUHP, terdapat 3 (tiga) jenis pelaku tindak pidana yang dapat dipidana yaitu: (1) mereka yang melakukan, (2) yang menyuruh melakukan, dan (3) yang turut serta melakukan perbuatan. Dalam konteks ini dikenal dengan yang disebut penyertaan (deelneming) dan frasa “turut serta” melakukan yang dalam hal ini berarti bersama-sama melakukan, dan diperlukan syarat sedikitnya harus ada 2 (dua) orang yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, dalam perspektif turut serta dengan ancaman pidana yang sama, kedua pelaku semuanya melakukan perbuatan pidana, tidak boleh hanya melakukan persiapan atau hanya bersifat menolong, sebab jika hanya demikian maka orang yang menolong tersebut tidak termasuk turut melakukan (medepleger), akan tetapi hanya diancam pidana sebagai orang yang membantu melakukan (medeplichtigheid- vide Pasal 56 KUHP). Oleh karena itu, apabila dalam tindak pidana melibatkan beberapa orang, maka pertanggungjawaban setiap orang yang bersama-sama melakukan tindak pidana itu tidaklah sama, tetapi berbedabeda menurut perbuatan atau perannya. Dengan demikian, berkaitan dengan status keterlibatan seseorang dalam terjadinya tindak pidana, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP menentukan sistem pemidanaannya, pertama, jika status keterlibatan seseorang itu sebagai pembuat delik (dader), baik kapasitasnya sebagai yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta melakukan (medepleger), maupun mereka yang memberikan atau menjanjikan sesuatu (uitloker) maka dapat dikenakan ancaman pidana yang sama dengan pelaku (dader) sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar (bertanggung jawab penuh). Kedua, jika status keterlibatan orang tersebut adalah pembantu bagi para pembuat delik (medeplichtigheid) maka hanya dapat dikenakan ancaman pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar (bertanggungjawab sebagian). Sehingga, penting untuk menjelaskan secara rinci terkait kedudukan pelaku apabila dihubungkan dengan adanya delik penyertaan, karena, hal tersebut berhubungan dengan sifat pertanggungjawaban dan ancaman pidana yang akan dikenakan kepada pelaku.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, berkenaan dengan kerugian konstitusional yang Pemohon alami, apabila Pemohon menganggap dirinya tidak turut serta dalam melakukan tindak pidana penyuapan sebagaimana yang didakwakan kepadanya, seharusnya Pemohon menjelaskan kedudukannya tersebut, khususnya jika dihubungkan dengan adanya delik penyertaan apabila Pemohon benar tidak melakukannya. Hal tersebut untuk menjadi bahan pertimbangan hukum bagi Majelis Hakim yang mengadili kasus konkretnya. Sebab, Mahkamah Konsitusi tidak berwenang turut menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, termasuk menilai putusan hakim baik pada tingkat pertama sampai tingkat terakhir.
[3.7.4] Bahwa berkenaan dengan Pasal 64 ayat (1) KUHP, menurut Mahkamah pasal a quo mengatur tentang perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) yaitu perbuatan pidana yang dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur: 1) perbuatan yang terjadi apabila kejahatan atau pelanggaran tersendiri itu adalah pelaksanaan dari suatu kehendak yang terlarang; 2) kejahatan atau pelanggaran itu sejenis; dan 3) tenggang waktu terjadinya kejahatan atau pelanggaran yang tidak terlalu lama. Perbuatan berlanjut sebagaimana yang dimaksudkan di atas adalah perbuatan yang harus dianggap hanya sebagai satu perbuatan, karena antara satu perbuatan dengan perbuatan lainnya ada hubungan yang erat, sehingga hanya dikenakan ancaman pidana dengan satu hukuman saja. Sedangkan apabila perbuatanperbuatan itu berbeda-beda maka akan dikenakan hukuman yang terberat. Terhadap ketentuan norma Pasal 64 ayat (1) KUH tersebut, jika dikaitkan dengan kasus konkret yang dialami Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonannya, bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sebab, Pemohon hanya menilai konstitusionalitas norma pasal a quo semata-mata hanya dikaitkan dengan kasus konkret yang dialaminya berdasarkan penilaian dan putusan hakim pada tingkat pertama hingga tingkat terakhir, tanpa memberikan argumentasi adanya pertentangan dengan konstitusi. Terlebih, berkenaan dengan Pasal 64 ayat (1) KUHP termasuk bagian yang telah diputus Mahkamah dan telah dinyatakan konstitusional sepanjang berkaitan dengan penuntutan dan penjatuhan pidana lebih dari satu kali dalam tindak pidana berlanjut sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 64 KUHP (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XVI/2018, bertanggal 15 April 2019).
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah tidak menemukan persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo.
[3.7.5] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pendapat Pemohon yang menyatakan Pemohon dapat dikenakan Pasal 51 ayat (1) KUHP karena atas ketidakberdayaannya terhadap perintah atasan. Terhadap hal tersebut, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, suatu perintah tidak dapat langsung dijalankan, melainkan harus dipikirkan terlebih dahulu dan jika dirasakan bertentangan dengan hukum dan kemanusiaan terlebih lagi telah diketahui adanya niat yang tidak baik, maka seharusnya perintah tersebut tidak dilaksanakan, karena walaupun seorang pejabat memiliki wewenang untuk memberikan perintah tertentu, namun haruslah dilihat dari ketentuan yang menjadi dasar hukum dari jabatan yang bersangkutan, apakah perintah tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku ataukah sebaliknya, untuk selanjutnya patut untuk dilaksanakan ataukah tidak.
[3.8] Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun terhadap hal-hal yang dikemukakan Pemohon berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian telah dijawab oleh Mahkamah, namun oleh karena Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan alasanalasan permohonan berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian (posita) dan tidak pula menguraikan alasan-alasan adanya pertentangan norma yang dimohonkan pengujian dengan dasar pengujiannya yang terdapat dalam konstitusi, namun hanya menguraikan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, maka Mahkamah tidak dapat mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon. Oleh karena itu, terhadap permohonan Pemohon a quo haruslah dinyatakan kabur (obscuur). Seandainyapun permohonan Pemohon a quo tidak kabur, quod non, sepanjang yang dapat dipahami oleh Mahkamah berkenaan dengan konstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sesungguhnya tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Oleh karenanya permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.9] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut pula.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-10-2021

PT. Sainath Realindo yang merupakan badan hukum privat yang diwakili oleh Vikash Kumar Dugar selaku Direktur utama yang memberikan kuasa kepada Eddy Christian, Konsultan Pajak dan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak pada Kantor EC Consulting, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009

Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 3/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon terkait dengan adanya permohonan pengujian norma yang sama yaitu Pasal 31A ayat (4) UU MA pada perkara pengujian undang-undang yang telah diadili oleh Mahkamah berkenaan dengan keterpenuhan syarat Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) yang masing-masing menyatakan:

Pasal 60 UU MK:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

[3.10.1] Bahwa terhadap Pasal 31A ayat (4) UU MA sudah pernah diajukan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015, bertanggal 31 Mei 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVI/2018, bertanggal 24 Januari 2019 yang masing- masing pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa dalam Permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta agar Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan, yang pemeriksaan pokok permohonan dan pembacaan putusan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum”.
2. Bahwa dalam Permohonan Nomor 85/PUU-XVI/2018, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24A ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta agar Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Proses Pemeriksaan dalam Persidangan atas Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum”.
3. Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, yaitu perkara Nomor 43/PUU- XIX/2021, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagai tenggang waktu sejak permohonan terdaftar sampai diputus”. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menambahkan atau memperluas makna norma Pasal 31A ayat (4) UU MA: “...apabila terdapat peraturan yang sedang diuji telah dicabut akan diberikan tambahan waktu peralihan (misal 90 hari sejak peraturan dicabut) sebagai tenggang waktu untuk menyelesaikan permohonan”.

[3.10.2] Bahwa setelah mencermati permohonan Pemohon a quo, dan permohonan pada perkara sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa benar ada perbedaan tentang dasar pengujian maupun alasan permohonan a quo dalam mengajukan pengujian Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015 dan permohonan Nomor 85/PUU-XVI/2018. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 sehingga dapat diajukan kembali.

[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan persoalan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah setelah memeriksa secara saksama Permohonan a quo, dalil Pemohon bermuara pada satu persoalan konstitusional apakah ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU MA mengenai tenggang waktu permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh MA bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap persoalan pokok tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali sebagian pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XVI/2018, meskipun menurut Pemohon permohonan a quo berbeda dengan Permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015 dan Permohonan Nomor 85/PUU-XVI/2018 namun menurut Mahkamah persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan dalam permohonan a quo berkaitan erat dan ada relevansinya dengan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut khususnya di dalam menjawab persoalan pokok yang didalilkan oleh Pemohon.

[3.11.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 31 Mei 2016, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon dengan pertimbangan hukum antara lain:

“[3.13] Menimbang bahwa sebagaimana yang telah diiuraikan Mahkamah dalam pertimbangan di atas, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU 48/2009 dan Pasal 40 ayat (2) UU MA maka semua persidangan dan pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang termasuk perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, tidak ada pertentangan konstitusionalitas norma antara Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan UUD 1945 karena telah jelas dan tegas bahwa Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (hak uji materiil) diberikan langsung oleh UUD 1945 maka sidang pemeriksaan dan pengucapan putusannya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Namun permasalahannya adalah apakah waktu 14 hari (sejak berkas diterima) yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan sidang secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang tidak diberikan batas waktu seperti Mahkamah Agung sehingga cukup waktu bagi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan sidang pemeriksaan pembuktian untuk mendengar keterangan saksi atau pun keterangan ahli yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam kenyataannya, perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak hanya perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang tetapi juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta perkara peninjauan kembali, yang juga membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya. Demikian juga untuk menghadirkan pihak berperkara yang berada di seluruh wilayah Republik Indonesia memerlukan waktu lebih lama, sementara Mahkamah Agung hanya diberi waktu 14 hari untuk menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung yang tidak dapat dilanggar oleh Mahkamah Agung. Alasan tersebut di atas menjadi kendala dan hambatan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan memberi kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang;

[3.14] Menimbang bahwa dengan dasar pertimbangan tersebut di atas, apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka Mahkamah Agung harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang (open legal policy) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma”.

Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XVI/2018 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 24 Januari 2019, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon dengan pertimbangan hukum antara lain:

“…Oleh karenanya apabila mencermati pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015, maka argumentasi para Pemohon tersebut juga telah dijawab dan ditegaskan oleh Mahkamah, bahwa hal tersebut terkendala dengan batas waktu pemeriksaan oleh MA yang diberikan oleh undang-undang yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Oleh karenanya meskipun para Pemohon mengajukan permohonan a quo dengan mendasarkan permohonannya yang merujuk Pasal 31A ayat (1) UU 3/2009, namun Mahkamah berkesimpulan semangat yang diinginkan oleh para Pemohon substansinya sama dengan permohonan yang telah diputus dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang tentunya tidak dapat dilepaskan dengan terkendalanya MA untuk melakukan pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dengan menghadirkan dan mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem) dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas waktu pemeriksaan yang hanya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan penegasan lain dalam pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Nomor 30/PUUXIII/2015 tersebut tidak memungkinkan bagi MA untuk melaksanakan persidangan dengan menghadirkan para pihak dan memberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti berupa saksi, ahli, serta bukti lainnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas waktu pemeriksaan yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Dengan pertimbangan hukum tersebut lebih lanjut Mahkamah menegaskan juga bahwa apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka MA harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut menurut Mahkamah telah ditegaskan merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang dan bukan konstitusionalitas norma.”

[3.12] Menimbang bahwa setelah mencermati pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah tersebut di atas, telah jelas pendirian Mahkamah bahwa tidak ada keraguan mengenai penafsiran tenggang waktu pemeriksaan hak uji materiil di MA berdasarkan Pasal 31A ayat (4) UU MA, yaitu 14 (empat belas) hari kerja. Rumusan norma Pasal 31A ayat (4) UU MA sudah tegas menyatakan bahwa Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan, sehingga tidak perlu menambahkan penafsiran sebagaimana dimaksud oleh Pemohon dalam permohonannya. Adapun persoalan di mana Pemohon mendapatkan fakta bahwa permohonan hak uji materiil yang diajukan oleh Pemohon menurut Pemohon disidangkan dan diputus telah melewati tenggang waktu sebagaimana Pasal 31A ayat (4) UU a quo, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan persoalan penerapan norma, bukan konstitusionalitas norma di mana Mahkamah tidak berwenang untuk menilainya. Menurut Mahkamah, MA sebagai lembaga yang menerapkan norma a quo memiliki kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana penerapan Pasal 31A ayat (4) UU MA dalam mengadili permohonan hak uji materiil sepanjang tidak menciderai rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan. Sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan pada Putusan sebelumnya, Mahkamah berpandangan bahwa tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal 31A ayat (4) UU MA merupakan pilihan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan norma dalam UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada kata atau frasa dalam Pasal 31A ayat (4) UU MA yang telah atau berpotensi mereduksi kewenangan MA dalam menyelenggarakan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 seperti yang diargumentasikan oleh Pemohon. Dengan demikian permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah tidak ada keraguan mengenai kejelasan maksud daripada Pasal 31A ayat (4) UU MA mengenai tenggang waktu pemeriksaan permohonan hak uji materiil. Dengan demikian, tidak terdapat pertentangan antara Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam 50 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Mahkamah menilai justru terdapat pertentangan antara petitum permohonan Pemohon, di mana pada Petitum angka (3) Pemohon meminta Pasal 31A ayat (4) UU MA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagai tenggang waktu sejak permohonan terdaftar sampai diputus”, sedangkan pada Petitum angka (4), secara kumulatif Pemohon juga meminta agar Mahkamah menambahkan atau memperluas makna norma Pasal 31A ayat (4) UU MA: “...apabila terdapat peraturan yang sedang diuji telah dicabut akan diberikan tambahan waktu peralihan (misal 90 hari sejak peraturan dicabut) sebagai tenggang waktu untuk menyelesaikan permohonan”. Jika permohonan ini dipenuhi, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan terhadap penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar pengujian menurut Mahkamah adalah tidak relevan terhadap norma a quo, karena substansi dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah mengenai kemudahan dan perlakuan khusus warga negara untuk memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sehingga tidak berkaitan langsung dengan tenggang waktu pemeriksaan permohonan hak uji materiil sebagaimana diatur Pasal 31A ayat (4) UU MA. Terlebih ketentuan tersebut dimaksudkan untuk orang-orang yang harus mendapatkan perlakuan khusus untuk memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 31A ayat (4) UU MA terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 75/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

Prof. Dr. M. Sirajuddin, dkk yang berjumlah 47 Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H., dkk, Advokat dan Pembela Umum, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil UU 2/2020 dan pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27, dan Pasal 28 Lampiran UU 2/2020

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 2/2020 dan pengujian materil Pasal a quo dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Pengujian Formil
[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”
2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:
“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.”
3. Bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi sebanyak dua kali. Pertama, permohonan pengujian formil yang diajukan pada 1 Juli 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 7 Juli 2020 yang kemudian permohonan tersebut dicabut oleh para Pemohon berdasarkan surat bertanggal 19 Agustus 2020 perihal pencabutan permohonan. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi memutus permohonan para Pemohon dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020. Kedua, para Pemohon mengajukan kembali pengujian formil UU 2/2020 dalam permohonan a quo pada 4 September 2020 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 173/PAN.MK/2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada 9 September 2020 dengan Nomor 75/PUU-XVIII/2020;
4. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 2/2020 diundangkan pada 18 Mei 2020, maka tenggat 45 hari setelah Undang-Undang a quo dimuat dalam Lembaran Negara adalah pada 2 Juli 2020. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 2/2020 yang diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan yang kedua bertanggal 4 September 2020 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil para Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maka pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, tidak dipertimbangkan.

Pengujian Materil
[3.16] Menimbang bahwa Mahkamah telah mengadili dan memutus mengenai konstitusionalitas norma pasal-pasal sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon dan oleh karena permasalahan hukum yang dijadikan alasan permohonan pengujian oleh para Pemohon mempunyai kesamaan dengan perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah pada 28 Oktober 2021, pukul 10.33 WIB, maka penting bagi Mahkamah untuk mengutip beberapa pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tersebut, sebagai berikut:
“[3.18.1] … Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal…”
“[3.18.2] Bahwa terlepas dari adanya kekhawatiran para Pemohon dan asumsi-asumsi lain berkenaan dengan persoalan penggunaan anggaran tersebut di atas, justru yang menjadi persoalan krusial adalah tidak adanya pembatasan waktu berlakunya UU 2/2020 yang berasal dari Perpu 1/2020 yang hanya difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19. Berkaitan dengan hal demikian, menurut Mahkamah kekhawatiran-kekhawatiran di atas juga akan terjawab dengan sendirinya setelah Mahkamah menilai konstitusionalitas norma Pasal 29 Lampiran UU 2/2020. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 29 a quo sebagai berikut:…”
“[3.18.3] … menurut Mahkamah dalam batas penalaran yang wajar, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi secara global memang memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang juga terdampak adanya pandemi Covid-19, Pemerintah berupaya untuk mengantisipasinya dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, oleh karena langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara maka harus dilakukan kontrol yang kuat yang salah satunya adalah dengan pembatasan waktu berlakunya UU a quo. Terlebih lagi hal demikian apabila dikaitkan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum yang demokratis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sekalipun terhadap Perppu terdapat karakteristik khusus namun bukan berarti substansi UU yang berasal dari Perpu dapat mengabaikan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, materi UU a quo bukan hanya harus memenuhi prinsip keadilan namun juga harus memenuhi prinsip kepastian, termasuk prinsip kepastian dalam pemberlakuannya.”
“Bahwa terlepas dari adanya persetujuan DPR terhadap Perpu a quo, tidak adanya pemuatan batas waktu yang tegas dalam UU a quo memberikan dampak yang cukup signifikan tentang batas waktu keberlakukan keadaan darurat yang merupakan substansi utama karena karakteristik yang dimiliki oleh UU yang berasal dari Perpu dimaksudkan untuk mengatasi kedaruratan akibat pandemi Covid-19. Terlebih substansi dalam Lampiran UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU 2/2020 yang menganulir beberapa norma pasal berbagai undang-undang, yaitu: …”
“Bahwa oleh karena itu, apabila tidak dilakukan pembatasan waktu pemberlakuan UU 2/2020, maka sejumlah norma dalam berbagai undangundang yang dianulir tersebut akan kehilangan keberlakuannya secara permanen. Bahkan ketika pandemi Covid-19 telah berakhir, dengan tidak adanya batasan waktu tersebut norma-norma yang dianulir oleh Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tetap saja tidak berlaku karena masih digunakan untuk kepentingan yang lain yaitu dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian akan batas waktu kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih, pemberlakuan undang-undang a quo berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara yang sangat memengaruhi perekonomian negara yang berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 seharusnya mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.”
“Bahwa hal utama yang juga harus ditekankan dalam hal keadaan darurat adalah batasan waktu yang jelas tentang kapan situasi darurat pandemi Covid-19 akan berakhir. Secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan darurat akan ada ujungnya sehingga hal tersebut pastinya akan menimbulkan adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut. Oleh karena itu, UU ini hanya berlaku selama status pandemi Covid19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU 2/2020 diundangkan. Namun demikian, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan demikian perlu dilakukan karena UU a quo telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai tahun 2022. Oleh karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran tersebut di atas. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD…”
[3.17] Menimbang bahwa setelah merujuk pada pertimbangan hukum putusan tersebut di atas, terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, serta Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020 yang pada pokoknya mempersoalkan masalah penggunaan keuangan negara dan perpajakan dan juga menjadi norma pengujian dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Oleh karena itu, Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.18.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya yang menyatakan pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum berlaku mutatis mutandis menjadi bagian dari pertimbangan hukum permohonan ini. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, serta Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 28 Lampiran UU 2/2020, meskipun tidak dimohonkan dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020, namun setelah Mahkamah mempelajari secara saksama permohonan para Pemohon, menurut Mahkamah isu konstitusionalitas yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut juga terkait erat (berkelindan) dengan batasan waktu keberlakuan UU a quo dalam menangani pandemi Covid-19 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.18.2] dan Sub-Paragraf [3.18.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU- XVIII/2020. Oleh karena itu, Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.18.2] dan Sub-Paragraf [3.18.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 dan telah diucapkan sebelumnya yang pada pokoknya Mahkamah memberikan pemaknaan terhadap norma yang mengatur waktu keberlakuan dari UU a quo, berlaku mutatis mutandis menjadi bagian dari pertimbangan hukum permohonan ini, sehingga segala kekhawatiran serta asumsiasumsi yang didalilkan oleh para Pemohon berkenaan dengan tidak berlakunya untuk sementara waktu sejumlah norma dalam 12 (dua belas) undang-undang yang terdapat dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tidak lagi akan terjadi. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19] Menimbang bahwa Mahkamah telah mengadili dan memutus mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.19.1] Bahwa Mahkamah dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, menyatakan sebagai berikut:
“… Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” Pasal 27 ayat (3) Lampiran UndangUndang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
4. …”
Dengan adanya Putusan Mahkamah tersebut, maka terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitasnya dan telah menyatakan syarat pemaknaan yang konstitusional terhadap norma a quo. Dengan demikian sejak putusan tersebut diucapkan, meskipun terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, maka pemaknaan yang konstitusional terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah sebagaimana Amar Putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 tersebut, sehingga bukan lagi norma lengkap sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Dengan adanya putusan tersebut, maka norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang didalilkan para Pemohon inkonstutisional menjadi kehilangan objek sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.19.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 Mahkamah telah memutus konsitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU a quo dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020, yang telah menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
“[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020…”
Oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo, maka pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28 Lampiran UU 2/2020, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum Putusan permohonan a quo sehingga permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah kehilangan objek.
[3.21] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut, serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Diterima dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTIM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONALDAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

H. Damai Hari Lubis, dalam hal ini memberikan Kuasa kepada Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020

Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU a quo dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena isu pokok pengujian materiil yang dijadikan alasan permohonan pengujian oleh Pemohon a quo mempunyai kesamaan dengan Permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020, yang putusannya telah diucapkan sebelumnya, sehingga penting bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa Mahkamah telah memutus konsitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, di mana berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Mahkamah dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 menyatakan sebagai berikut:
“Mengadili:

Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. … “

Dengan adanya Putusan Mahkamah tersebut, maka terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitasnya dan telah menyatakan syarat pemaknaan yang konstitusional terhadap norma a quo. Dengan demikian sejak putusan tersebut diucapkan, meskipun terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, maka pemaknaan yang konstitusional terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah sebagaimana Amar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tersebut, sehingga bukan lagi norma lengkap sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Dengan adanya putusan tersebut, maka norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang didalilkan Pemohon inkonstitusional menjadi kehilangan objek sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 Mahkamah telah memutus konsitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU a quo dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, yang telah menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
“[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya pertentangan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.”
Oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 a quo, maka pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat terhadap dalil Pemohon berkenaan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum Putusan permohonan a quo sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Adapun permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah kehilangan objek.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut, serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XVIII/202O PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

Ir. Iwan Sumule, dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Effendi Saman, S.H, dkk, Advokat/Konsultan Hukum Tim Advokasi ProDem, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 1 ayat (3) huruf b, Pasal 1 ayat (5), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 9, Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1, Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 3, Pasal 20 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Lampiran UU 2/2020

Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 23E ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo Lampiran UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa permohonan para Pemohon a quo diajukan ke Mahkamah Konstitusi ketika penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, semakin menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian materiil yang semakin besar yang berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat (vide konsideran “Menimbang” UU 2/2020). Berkenaan dengan pandemi Covid-19 ini pula Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional (Keppres 12/2020). Artinya, berdasarkan Keppres a quo Presiden menyatakan bencana non alam yang diakibatkan oleh Covid-19 sebagai bencana nasional. Oleh karena itu, dalam kondisi masyarakat yang tengah menghadapi ancaman Pandemi Covid-19 yang penyebarannya relatif cepat dengan tingkat fatalitas yang tinggi maka tindakan pencegahan penyebaran penting untuk dilakukan oleh semua pihak.
[3.6.2] Bahwa dalam upaya melakukan pencegahan penyebaran Covid-19 di atas dan sejalan dengan kepatuhan atas Protokol Kesehatan (Prokes) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana yang juga ditetapkan oleh WHO maka harus dihindari terjadinya kerumunan dengan cara salah satunya menjaga jarak atau melakukan pembatasan fisik (physical distancing). Oleh karena itu, guna mencegah kerumunan dalam persidangan yang dapat berakibat pada penyebaran dan/atau penularan virus tersebut, maka sesuai dengan Prokes harus ada pembatasan kegiatan yang menyebabkan terjadinya kerumunan sehingga berakibat penyebaran virus Covid-19. Dalam kaitan ini, Mahkamah telah memutuskan mengenai penyelenggaraan seluruh persidangan di Mahkamah Konstitusi dilakukan secara online atau dalam jaringan (daring) pada Rapat Permusyawatan Hakim tanggal 10 September 2020. Perihal persidangan secara daring tersebut Mahkamah telah memberitahukan kepada semua pihak, termasuk para Pemohon melalui surat undangan untuk menghadiri persidangan secara daring. Bahkan, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah ditentukan tata cara persidangan secara online (daring).
[3.6.3] Bahwa para Pemohon melalui surat yang bertanggal 8 Oktober 2020 dan 21 Oktober 2020, yang pada pokoknya menyatakan keberatan untuk menghadiri persidangan perkara a quo secara daring. Terhadap surat keberatan para Pemohon tersebut, Mahkamah telah menjelaskan dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2020 perihal Mahkamah telah memutuskan seluruh persidangan dilakukan secara daring termasuk perkara a quo yang pemeriksaannya digabungkan dengan permohonan pengujian UU 2/2020 lainnya sejumlah 7 (tujuh) perkara. Dengan demikian, para Pemohon seharusnya menaati keputusan Mahkamah terkait pelaksanaan persidangan secara daring dimaksud sesuai dengan Protokol Kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah untuk mencegah tingkat penyebaran Covid-19. Sebab, pada dasarnya persidangan melalui daring tidak mengurangi hak-hak para Pemohon dalam membuktikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan konstitusionalnya. Terlebih lagi, Pemohon pada perkara lain, tidak keberatan dengan penyelenggaraan persidangan secara daring. Namun demikian, para Pemohon tetap bersikeras untuk hadir secara offline atau luar jaringan (luring) pada setiap persidangan yang kehadirannya tersebut ditolak oleh Mahkamah sehingga para Pemohon dianggap tidak hadir. Hal ini didukung pula dengan ketidakhadiran para Pemohon pada setiap persidangan perkara a quo.
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan fakta dan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak pernah mengindahkan perintah Mahkamah untuk hadir secara sah dalam persidangan yang ditetapkan Mahkamah secara daring. Oleh karena itu, menurut Mahkamah para Pemohon tidak pernah menghadiri persidangan dan hal demikian merupakan bentuk ketidaktaatan terhadap perintah Mahkamah tentang tatacara penyelenggaran persidangan dalam masa pandemi Covid-19 secara daring;
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, oleh karena para Pemohon tidak taat terhadap penyelenggaraan persidangan secara daring, maka terhadap pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

H.Ahmad Sabri Lubis, dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada M. Kamil Pasha, S.H., M.H, dkk, para advokat dan Pemberi Bantuan Hukum pada kantor Tim Advokasi Penyelamat Anggaran Negara (TAPERA), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020

Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), 27 ayat (1), 28D ayat (1), 28G ayat (1), 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan Jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil dan materiil Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Pengujian Formil
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai kehadiran secara virtual pada rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 untuk membahas dan menyetujui Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 adalah cacat hukum karena tidak memenuhi kuorum dan dipaksakan dengan mayoritas kehadiran menggunakan virtual sehingga bertentangan dengan Tata Tertib DPR, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.16.2] … Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual.
Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.”
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa:
“Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena berkenaan dengan dalil kehadiran secara virtual dalam Rapat Paripurna DPR telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum oleh Mahkamah maka pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo.
[3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan penetapan, pembahasan, dan persetujuan Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 dilakukan pada masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 sehingga bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut mengatur mengenai batasan waktu bagi DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perpu yang ditetapkan oleh Presiden yakni dalam persidangan yang berikut. Adanya frasa “persidangan yang berikut” merupakan perintah konstitusi agar DPR dapat segera memberikan kepastian mengenai penilaian terhadap Perpu yang telah ditetapkan Presiden tersebut. Jika disetujui maka Perpu dimaksud akan menjadi undang-undang, sebaliknya jika tidak disetujui maka Perpu tersebut haruslah dicabut atau dibatalkan.
Bahwa Perpu pada dasarnya memiliki jangka waktu yang terbatas (sementara) serta mungkin saja memiliki substansi pengaturan yang berpotensi bertentangan atau melanggar konstitusi mengingat kewenangan pembentukan Perpu berada di tangan Presiden [vide Pasal 22 ayat (1) UUD 1945]. Namun demikian, meskipun pembentukan Perpu tergantung pada penilaian subjektif Presiden tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010.
Bahwa persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah penilaian DPR untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu harus dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya lagi ataukah bagaimana jika Perpu ditetapkan pada saat masa sidang DPR sedang berlangsung dan setelahnya adalah masa reses sehingga DPR baru dapat memberikan persetujuan atau tidak setelah masa reses tersebut berakhir. Faktanya, Presiden menetapkan Perpu 1/2020 pada 31 Maret 2020 dan menyampaikan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR pada 1 April 2020, yaitu pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 yang dimulai pada 23 Maret 2020 sampai dengan tanggal 14 Juni 2020. Selanjutnya DPR menyetujui RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Artinya, penetapan Perpu Covid-19 oleh Presiden dan pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR serta persetujuan DPR dilakukan dalam masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020.
Bahwa terhadap fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, frasa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 haruslah dimaknai apabila Perpu itu diajukan pada masa reses DPR. Sehingga jika Perpu diajukan pada rentang waktu pelaksanaan masa sidang DPR sebagaimana diatur dalam Tatib DPR 2020 maka frasa “persidangan yang berikut” harus diartikan sebagai persidangan pengambilan keputusan oleh DPR seketika setelah Perpu ditetapkan oleh Presiden dan diajukan kepada DPR. Artinya, meskipun Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada saat masa sidang DPR sedang berjalan (bukan masa reses), maka DPR haruslah memberikan penilaian terhadap RUU Penetapan Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan tersebut. Adapun jika Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada masa reses maka DPR harus memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir. Hal demikian penting mengingat esensi diterbitkannya Perpu adalah karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagai syarat absolut. Sehingga semakin panjang jangka waktu DPR memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan Perpu yang diajukan Presiden, hal tersebut akan menghilangkan esensi diterbitkannya Perpu dimaksud. Terlebih lagi, adanya pengaturan mengenai waktu bagi DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan terbitnya Perpu, lebih memberikan jaminan kepastian hukum baik terhadap keabsahan maupun sifat keberlangsungan Perpu, mengingat Perpu dibentuk berdasarkan adanya hal ihwal kegentingan memaksa, yang dalam hal ini adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya mengancam kesehatan namun juga keselamatan dan perekonomian nasional. Sehingga, diperlukan langkah antisipatif sebagai upaya bersama guna menghadapi pandemi tersebut. Dengan pertimbangan dan fakta demikian, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan penetapan, pembahasan, dan persetujuan DPR terkait Perpu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian formil konstitusionalitas UU 2/2020 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;

Dalam Pengujian Materiil
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.18.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.18.1] … Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma-norma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah sama dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, maka pertimbangan dalam Putusan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian materiil norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.20.1] Bahwa Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang menyatakan:
“Mengadili:

Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
4. …”
Dengan adanya Putusan Mahkamah tersebut, maka terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitasnya dan telah menyatakan syarat pemaknaan yang konstitusional terhadap norma a quo. Dengan demikian, sejak putusan tersebut diucapkan, meskipun terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, maka pemaknaan yang konstitusional terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah sebagaimana Amar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 tersebut, sehingga bukan lagi norma lengkap sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Dengan adanya putusan tersebut, maka norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang didalilkan para Pemohon inkonstutisional menjadi kehilangan objek sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.20.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.19.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya yang menyatakan:
“[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.”
Oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo, maka pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 serta Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum Putusan permohonan a quo sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Adapun permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah kehilangan objek.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut, serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-XVIII/2020 PERIHAL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

Sururudin S.H., LL.M. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU 2/2020

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena isu pokok pengujian materiil yang dijadikan alasan permohonan pengujian oleh Pemohon a quo mempunyai kesamaan dengan perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020, yang putusannya telah diucapkan sebelumnya yakni pada tanggal 28 Oktober 2021, pukul 10.33 WIB, sehingga penting bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Mahkamah telah mengadili dan memutus mengenai konsitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya, di mana berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Mahkamah dalam Amar Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 menyatakan sebagai berikut:
“…
Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
4. …”

Dengan adanya Putusan Mahkamah tersebut, maka terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitasnya dan telah menyatakan syarat pemaknaan yang konstitusional terhadap norma a quo. Dengan demikian, sejak putusan tersebut diucapkan, meskipun terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, maka pemaknaan yang konstitusional terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah sebagaimana Amar dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 tersebut, bukan lagi norma lengkap sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Dengan adanya putusan tersebut, maka norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang didalilkan Pemohon inkonstitusionalitasnya menjadi kehilangan objek sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 Mahkamah telah memutus mengenai konsitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU a quo dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
“[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.”

Oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah sama dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 a quo, maka pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 2, Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 28 angka 3 dan angka 10 Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan pula oleh Mahkamah dalam SubParagraf [3.18.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“…Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinankemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan normanorma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.”

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 angka 3 serta angka 10 Lampiran UU 2/2020 pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum Putusan perkara a quo sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Adapun permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah kehilangan objek.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XVIII/2020 PERIHAL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

21 (dua puluh satu) orang kepala desa dan 6 (enam) orang anggota Badan Permusyawaratan Desa yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Muhammad Sholeh, S.H., dkk. para Advokat yang tergabung pada kantor advokat “Sholeh and Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 28 angka (8) Lampiran UU 2/2020

Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 28 angka (8) Lampiran UU 2/2020 dalam Permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan para Pemohon; keterangan DPR; opening statement dan keterangan tertulis Presiden, serta ahli yang diajukan oleh Presiden, pokok permasalahan utama yang harus dipertimbangkan Mahkamah, yaitu: benarkah tidak berlakunya Pasal 72 ayat (2) UU Desa sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 angka 8 UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945.
[3.12] Menimbang bahwa dari permasalahan utama dan uraian dalil-dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah menyimpulkan bahwa sesungguhnya para Pemohon tidak mempersoalkan adanya penyesuaian alokasi anggaran akibat pandemi Covid-19. Karena sebagaimana disebutkan dalam halaman 17 angka 10 permohonan para Pemohon, bahwa “pada prinsipnya para Pemohon tidak mempersoalkan dilakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocussing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Nomor 2 Tahun 2020”. Lebih lanjut para Pemohon juga menyatakan sangat memahami kondisi pandemi Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan pun tidak dipermasalahkan. Menurut Mahkamah yang dikhawatirkan oleh para Pemohon adalah dengan diberlakukannya Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 72 ayat (2) UU Desa, maka dana desa yang selama ini disalurkan kepada desa di Indonesia menjadi kehilangan dasar hukumnya.
Bahwa persoalan konstitusionalitas yang menurut para Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak diberlakukannya Pasal 72 ayat (2) UU Desa akibat telah diabsorbsi (diserap) dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Terhadap hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Nomor 37/PUUXVIII/2020 menyatakan hal tersebut konstitusional. Namun demikian, karena kekhawatiran para Pemohon tersebut mengenai substansi Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 berkelindan dengan ketiadaan batas waktu berlakunya UU 2/2020 sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Lampiran UU 2/2020. Terhadap hal tersebut, Mahkamah telah mempertimbangkan ketiadaan batas waktu dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang antara lain sebagai berikut:
[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap pengujian materiil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Judul dan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, dan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran para Pemohon yang pada pokoknya, antara lain sebagai berikut (selengkapnya termuat dalam Duduk Perkara):
1. Bahwa berkaitan dengan Judul dan Pasal 1 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan UU a quo ditujukan tidak hanya untuk menangani pandemi Covid-19 tetapi juga untuk krisis ekonomi dan sistem keuangan di luar yang berkaitan dengan pandemi Covid-19.
2. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya penetapan defisit anggaran yang dilakukan sepihak oleh Pemerintah karena tidak melibatkan DPR dan pertimbangan DPD sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan.
3. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya ketidakpastian penggunaan dana abadi pendidikan.
4. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf f juncto Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai a) tidak adanya persetujuan DPR dalam penerbitan surat utang negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); b) BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana; c) penggunaan dana pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI ialah untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara.
5. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya keleluasaan pemerintah untuk menetapkan sumber-sumber pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 beserta dampaknya terhadap multiaspek secara unilateral.
6. Bahwa berkaitan dengan Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya kewenangan luas pemerintah untuk melakukan refocussing anggaran yang mereduksi pelaksanaan otonomi daerah.
7. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian insentif pajak yang diiringi dengan PHK yang berimplikasi terhadap menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
8. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 menurut para Pemohon pengaturan perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) tidak secara langsung bertautan dengan penanganan pandemi Covid-19.
9. Bahwa berkaitan dengan Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditujukan pada ruang lingkup yang sangat luas dan tidak terbatas untuk penanganan pandemi Covid-19 serta membuka jalan mengubah ketentuan pembebasan bea masuk atas barang impor berdasarkan tujuan pemakaiannya.
10. Bahwa berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai tidak adanya akun rekening khusus berpotensi adanya penyimpangan anggaran penanganan pandemi Covid-19.
11. Bahwa berkaitan dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian kewenangan yang besar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merestrukturisasi Lembaga jasa keuangan yang berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya secara tepat di tengah pandemi Covid-19 atau dengan kata lain OJK dapat memaksa bank bermasalah untuk direstrukturisasi dan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, berintegrasi dengan bank bermasalah.
Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma-norma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.
[3.18.2] Bahwa terlepas dari adanya kekhawatiran para Pemohon dan asumsi-asumsi lain berkenaan dengan persoalan penggunaan anggaran tersebut di atas, justru yang menjadi persoalan krusial adalah tidak adanya pembatasan waktu berlakunya UU 2/2020 yang berasal dari Perpu 1/2020 yang hanya difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19. Berkaitan dengan hal demikian, menurut Mahkamah kekhawatiran-kekhawatiran di atas juga akan terjawab dengan sendirinya setelah Mahkamah menilai konstitusionalitas norma Pasal 29 Lampiran UU 2/2020. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 29 a quo sebagai berikut:
[3.18.3] Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena pasal a quo sebagai penutup tidak memberikan jangka waktu keberlakuan undang-undang a quo kendati diterbitkan untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat. Oleh karena pasal a quo tidak memiliki batas waktu yang jelas perihal keberlakuan Perpu tersebut yang kemudian menjadi UU 2/2020 sehingga menurut para Pemohon akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan oleh Pemerintah khususnya dalam pengelolaan keuangan negara yang akuntabel untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk pandemi Covid-19.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah dalam batas penalaran yang wajar, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi secara global memang memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang juga terdampak adanya pandemi Covid-19, Pemerintah berupaya untuk mengantisipasinya dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, oleh karena langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara maka harus dilakukan kontrol yang kuat yang salah satunya adalah dengan pembatasan waktu berlakunya UU a quo. Terlebih lagi hal demikian apabila dikaitkan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum yang demokratis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sekalipun terhadap Perpu terdapat karakteristik khusus namun bukan berarti substansi UU yang berasal dari Perpu dapat mengabaikan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, materi UU a quo bukan hanya harus memenuhi prinsip keadilan namun juga harus memenuhi prinsip kepastian, termasuk prinsip kepastian dalam pemberlakuannya.
Bahwa terlepas dari adanya persetujuan DPR terhadap Perpu a quo, tidak adanya pemuatan batas waktu yang tegas dalam UU a quo memberikan dampak yang cukup signifikan tentang batas waktu keberlakuan keadaan darurat yang merupakan substansi utama karena karakteristik yang dimiliki oleh UU yang berasal dari Perpu dimaksudkan untuk mengatasi kedaruratan akibat pandemi Covid-19. Terlebih substansi dalam Lampiran UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU 2/2020 yang menganulir beberapa norma pasal berbagai undang-undang, yaitu:
1. Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang;
3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang;
6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Bahwa oleh karena itu, apabila tidak dilakukan pembatasan waktu pemberlakuan UU 2/2020, maka sejumlah norma dalam berbagai undang-undang yang dianulir tersebut akan kehilangan keberlakuannya secara permanen. Bahkan ketika pandemi Covid-19 telah berakhir, dengan tidak adanya batasan waktu tersebut norma-norma yang dianulir oleh Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tetap saja tidak berlaku karena masih digunakan untuk kepentingan yang lain yaitu dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian akan batas waktu kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih, pemberlakuan undang-undang a quo berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara yang sangat memengaruhi perekonomian negara yang berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 seharusnya mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Bahwa hal utama yang juga harus ditekankan dalam hal keadaan darurat adalah batasan waktu yang jelas tentang kapan situasi darurat pandemi Covid-19 akan berakhir. Secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan darurat akan ada ujungnya sehingga hal tersebut pastinya akan menimbulkan adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut. Oleh karena itu, UU ini hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU 2/2020 diundangkan. Namun demikian, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan demikian perlu dilakukan karena UU a quo telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai tahun 2022. Oleh karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan defisit anggaran tersebut di atas. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD”. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, selain terhadap ketentuan norma Pasal 72 ayat (2) UU Desa yang tidak diberlakukan lagi karena telah terabsorbsi (terserap) dalam ketentuan norma Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dan telah dinyatakan konstitusional, Mahkamah juga menegaskan berkaitan dengan UU 2/2020 harus memiliki batas waktu, sehingga sifatnya temporer yaitu sampai pandemi Covid-19 berakhir sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan sebagai berikut:
Mengadili:
Dalam Pengujian Formil:
Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
4. Menyatakan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD”.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Bahwa dengan demikian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2021 tersebut, Pemerintah harus mengumumkan kapan berakhirnya pandemi dan berakhirnya keberlakuan UU a quo, sehingga kekhawatiran para Pemohon bahwa dana desa tidak lagi akan diterima akibat dari tidak berlakunya Pasal 72 ayat (2) UU Desa yang diatur dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 menjadi tidak beralasan menurut hukum. Karena sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 ketentuan-ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku tersebut menjadi berlaku kembali setelah UU 2/2020 dinyatakan tidak berlaku.
Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 telah memberikan kejelasan sehingga tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum, maka menurut Mahkamah Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 yang berkelindan dengan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sepanjang berkenaan dengan Pasal 28 angka 8 yang berkelindan dengan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 berlaku mutatis mutandis terhadap pertimbangan hukum dalam permohonan a quo, sehingga dalil permohonan para Pemohon a quo harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai ketidakpastian hukum akibat tidak berlakunya Pasal 72 ayat (2) UU Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah bahwa ketentuan norma Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang pula tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU-XIX/2021 PERIHAL UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Partai Indonesia Pertindo, yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana (Ketua Umum) dan Abdullah Mansuri (Sekretaris Jenderal) yang memberikan kuasa kepada M. Maulana Bungaran S.H., M.H., dkk, advokat pada kantor hukum Bungaran & Co, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 5 huruf d UU 17/2014

Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 45/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 huruf d UU 17/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] …
[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, Pemohon pada pokoknya menghendaki agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ditambahkan tugas yaitu menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Pemohon dalam permohonan a quo memosisikan dirinya sebagai badan hukum partai politik yang tidak ikut membahas undang-undang yang menjadi objek permohonan yaitu UU 17/2014. Memang benar Mahkamah dalam beberapa putusannya pernah menyatakan bahwa partai politik yang telah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR atas pengesahan suatu undang-undang maka partai politik tersebut tidak dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang tersebut [vide Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUUXII/2014 bertanggal 29 September 2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XII/2014 bertanggal 24 Maret 2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XII/2014 bertanggal 29 Oktober 2014]. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa partai politik yang tidak ikut membahas undang-undang yang dimohonkan pengujian menjadi otomatis memiliki kedudukan hukum dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam menilai kedudukan hukum Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang, Mahkamah tetap harus memperhatikan ada tidaknya anggapan kerugian yang dialami Pemohon serta hubungan sebab akibatnya, sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang Mahkamah uraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4].
Adapun dalam permohonan a quo, Pemohon menyebutkan bahwa kerugian yang dialami Pemohon dengan adanya Pasal 5 huruf d UU 17/2014 adalah tidak terselenggaranya pembangunan nasional secara konsisten dan berkesinambungan akibat tidak adanya tugas MPR untuk membuat dan merumuskan PPHN. Namun, Mahkamah menilai bahwa Pemohon tidak menjelaskan dan tidak menunjukkan keterkaitan antara kedudukan Pemohon sebagai partai politik dengan kerugian Pemohon mengenai pelaksanaan tugas MPR yang sedang berlaku saat ini berdasarkan Pasal 5 UU 17/2014. Hal tersebut karena Pemohon pada saat mengajukan permohonan a quo memang tidak memiliki kursi di DPR sekaligus bukan pula merupakan anggota MPR yang melaksanakan kewenangan dan tugas lembaga MPR, sehingga kerugian yang diuraikan Pemohon tidak berkaitan langsung dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Jikapun kerugian Pemohon tidaklah terjadi saat ini, yang artinya kerugian tersebut bersifat potensial, Pemohon pun tidak menguraikan potensi kerugian apa yang akan dialami oleh Pemohon yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan adanya Pasal 5 huruf d UU 17/2014 a quo. Apalagi mengingat Pemohon dengan nama partai yang terbaru belumlah terdaftar sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum yang terdekat diagendakan pada tahun 2024.
Selain itu, Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual. Pemohon hanya menyatakan dirugikan jika MPR tidak memiliki tugas menyusun PPHN, namun Pemohon tidak menunjukkan apa kerugiannya secara spesifik dan aktual. Pemohon juga tidak menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud Pemohon dengan berlakunya Pasal 5 huruf d UU 17/2014 yang dimohonkan pengujian. Pemohon hanya menyebut bahwa dirinya tidak dapat mewujudkan dasar dan tujuan pendirian Partai Pemohon, namun Pemohon tidak menjelaskan hubungan sebab akibat antara kerugiannya dengan berlakunya Pasal 5 huruf d UU 17/2014 yang dimohonkan pengujian. Pemohon pun tidak menguraikan mengenai kemungkinan bahwa jikapun Pasal 5 huruf d UU 17/2014 rumusannya adalah sebagaimana Pemohon inginkan maka kerugian yang didalilkannya tidak akan terjadi, karena Pemohon saat ini bukan partai politik yang memiliki kursi di DPR yang sekaligus merupakan anggota MPR serta tidak sedang menjalankan kewenangan dan tugas sebagai anggota MPR.
Dengan demikian, meskipun permohonan diajukan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang berhak mewakili partai Pemohon serta dengan mendalilkan dirinya sebagai partai politik yang tidak ikut membahas UU 17/2014, namun Pemohon tidak dapat menjelaskan mengenai adanya kerugian yang dialaminya secara spesifik dan aktual maupun potensial, demikian pula hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Pasal 5 huruf d UU 17/2014 yang dimohonkan pengujian.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAAN TERBATAS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Ignatius Supriyadi, S.H.,LL.M, Sidik, S.H., M.H dan Janteri, S.H., semuanya nerupakan advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 120 ayat (2) UU PT

Pasal 1 ayat (3), Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 40/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT khususnya dengan adanya frasa “Komisaris dari pihak luar” yang ditulis dalam tanda petik. Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memberikan bukti yang cukup sehingga dapat meyakinkan Mahkamah bahwa terdapat kecenderungan para Pemohon untuk dipilih menjadi Komisaris Independen dari suatu perusahaan terbuka/publik yang kemudian menjadi terhalang hak atas pekerjaan para Pemohon tersebut akibat adanya keikutsertaan pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), maupun penyelenggara negara;
Dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) yang merupakan rujukan mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menciptakan situasi checks and balances, transparan dan akuntabel serta merealisasikan tanggung jawab sosial bagi keberlangsungan hidup perusahaan, pemilihan Komisaris Independen dalam suatu Emiten maupun Perusahaan Publik adalah berdasarkan integritas dan kualitas pribadi calon Komisaris Independen itu 47 sendiri sebagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Seorang Komisaris Independen pada perusahaan terbuka/publik selain telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK a quo selanjutnya yang menjadi bagian penting adalah diangkat berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Terhadap persyaratan untuk menjadi Komisaris Independen berdasarkan Peraturan OJK a quo, para Pemohon dalam Permohonannya telah menyatakan tidak terdapat halangan pada diri para Pemohon untuk menduduki jabatan Komisaris Independen di perusahaan terbuka/publik [vide Perbaikan Permohonan para Pemohon bertanggal 7 September 2021, hlm. 7]. Menurut Mahkamah, pembatasan terhadap pejabat negara, ASN, maupun penyelenggara negara untuk dapat menjadi Komisaris Independen tidak serta merta menjadikan para Pemohon atas dasar pekerjaannya dapat menjadi Komisaris Independen, tetapi para Pemohon ataupun Advokat lainnya harus memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana diuraikan di atas, sehingga para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai advokat tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian;
Selain itu, terkait dalil para Pemohon untuk memberikan penguatan terhadap kedudukan hukumnya dengan menggunakan kualifikasi sebagai pembayar pajak yang dihubungkan dengan Komisaris Independen sebagai suatu pekerjaan yang berkenaan dengan penghasilan dan perpajakan, hal demikian tidak dapat diterima oleh Mahkamah sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah, bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dapat diberikan kedudukan hukumnya bilamana perkara pengujian undang-undang yang diajukan berkaitan erat dengan keuangan negara, pajak, atau anggaran negara serta mampu menguraikan kerugian konstitusional yang disebabkan dari keberlakuan suatu norma yang dimohonkan pengujiannya [vide misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUUXVII/2019]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 81/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Arnoldus Belau dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili oleh Abdul manan (Ketua Umum) dan Revolusi Ariza Zulvendi (Sekretaris Jenderal) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Ade Wahyudin, S.H, dkk advokat dan asisten advokat pada Lembaga Bantuan Hukum Pers, untuk elanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 19/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya mendalilkan kewenangan pemerintah memutus akses informasi dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 bertentangan dengan prinsip negara hukum, kepastian hukum yang adil dan persamaan kedudukan hukum serta meniadakan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin oleh UUD 1945 karena tidak didahului dengan terbitnya keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara (KTUN) bersifat tertulis. Berkenaan dengan dalil-dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa para pemohon dalam mendalilkan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena menurut para Pemohon tindakan pemerintah tidak sah atau sewenang-wenang sebab tidak didasari oleh aturan yang jelas serta didahului dengan penerbitan KTUN yang tertulis, termasuk di dalamnya tidak terdapat ruang pengaduan untuk pengujian, serta pemulihan bagi pihak-pihak yang dirugikan secara langsung atas pemutusan/pemblokiran atau penapisan konten. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU a quo, sebab ihwal teknis mengenai pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana UU a quo yaitu PP 71/2019, tanpa Mahkamah bermaksud menilai PP a quo, dalam substansi PP telah diatur lebih lanjut mekanisme pemutusan akses yang merupakan bentuk penjatuhan sanksi administratif (vide Pasal 100 PP 71/2019). Pemutusan akses tersebut merupakan wujud dari peran pemerintah dalam melakukan pencegahan atas penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ihwal mengenai kategori muatan yang melanggar sebagaimana uraian pertimbangan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.12.2] dan Sub-Paragraf [3.12.3]. Artinya, PP 71/2019 telah memberikan batasan kategori dan klasifikasi mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang muatannya melanggar hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016. Sedangkan, ihwal teknis mengenai tata cara normalisasi terhadap pemutusan akses internet yang bermuatan konten ilegal, diatur lebih lanjut sesuai dengan amanat PP 71/2019 dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020), tanpa Mahkamah bermaksud pula menilai Permenkominfo a quo, dalam substansi Permenkominfo 5/2020 telah diatur lebih lanjut mekanisme pemulihan (normalisasi) yang di dalamnya memuat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola situs internet (terlapor) yang dikenakan sanksi pemutusan akses (vide Pasal 20 Permenkominfo 5/2020). Artinya, Pemerintah telah membuka ruang pengaduan untuk pengujian, dan pemulihan (normalisasi) serta telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP), baik terhadap pelaporan konten negatif maupun normalisasi situs yang bermuatan konten negatif. Berkenaan dengan permohonan a quo, telah ternyata dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, Pemerintah telah pula menyediakan dasar hukum beserta produk hukum dalam tata cara pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum serta tata cara normalisasinya. Dengan demikian, apa yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran para Pemohon atas adanya tindakan pemerintah memutus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tentu tidak akan terjadi karena tindakan tersebut hanya dilakukan jika terdapat unsur adanya konten yang memiliki muatan yang melanggar hukum, sebagaimana yang dicontohkan jenis-jenis pelanggaran hukum tersebut dalam Penjelasan Pasal 96 huruf a PP 71/2019. Oleh karena itu, dalam konteks ini negara diwajibkan hadir untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan karena adanya penyalahgunaan muatan dalam menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkannya sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalil para Pemohon mengenai pertentangan norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan perumusan norma dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, tidak dibingkai dalam konstruksi hukum yang jelas dan tegas karena tidak diikuti dengan kewajiban administrasi berupa menerbitkan KTUN secara tertulis sebelum memutus akses sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah untuk memahami lebih lanjut mengenai tindakan Pemerintah dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 penting untuk dirujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014), dalam substansi UU a quo, telah dinyatakan pengertian tindakan administrasi pemerintahan adalah perbuatan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (vide Pasal 1 angka 8 UU 30/2014). Legalitas tindakan Pemerintah tidak dapat dibedakan dengan KTUN secara tertulis. KTUN haruslah dimaknai juga penetapan tertulis yang juga merupakan tindakan faktual (vide Pasal 87 huruf a UU 30/2014). Artinya, tindakan Pemerintah pun merupakan sebuah bentuk kewajiban administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sama halnya dengan sebuah KTUN. Selanjutnya, warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan KTUN dan/atau tindakan Pemerintah dapat mengajukan upaya hukum keberatan dan banding (vide Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2014). Hal ini, sejalan dengan ketentuan Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) (PERMA 9/2019) yang pada pokoknya setiap frasa “Keputusan Tata Usaha Negara” harus dimaknai juga tindakan Pemerintah. Artinya, kewenangan Pemerintah sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 yang diwujudkan dengan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses dapat diajukan mekanisme penyelesaiannya secara hukum melalui peradilan (due process of law). Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, mengenai ketidakpastian hukum dan persamaan hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.3] Bahwa lebih lanjut para Pemohon a quo mendalilkan juga pemutusan akses dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tanpa didahului dengan menerbitkan KTUN secara tertulis merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk memperoleh informasi dan hak berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah penting untuk dijelaskan terlebih dahulu bahwa pola teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini banyak digunakan adalah internet yang merupakan wadah komunikasi digital yang dapat melibatkan siapapun dengan karakteristik penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sangat cepat, luas, dan masif dengan tidak mengenal ruang dan waktu. Apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum tersebut telah terlebih dahulu diakses, sebelum dilakukan pemblokiran maka dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif yang dalam batas penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan dan/atau mengganggu ketertiban umum. Untuk hal inilah diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh Pemerintah untuk dapat sesegera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Sebab, virtualitas internet memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan masif, yang memiliki muatan yang melanggar hukum, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebar dengan cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Oleh sebab itu, peran Pemerintah dalam menjaga dan membatasi lalu lintas dunia siber sangat diperlukan mengingat karakteristik dari internet tersebut yang mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi pemerintah untuk menerbitkan terlebih dahulu KTUN secara tertulis sebagaimana yang diminta oleh para Pemohon dalam petitumnya, baru kemudian melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelanggara eletronik untuk melakukan pemutusan akses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 PP 71/2019. Sebab, proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin akan lebih cepat dari waktu sebaran muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang. Terlebih, jika muatan/konten dilarang (ilegal) tersebut telah berada di area komunikasi privat maka sebarannya pun semakin tidak terkendali. Oleh karena itu, dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, yang sesungguhnya tidak memohon kepada Mahkamah untuk menghilangkan norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, namun memohon kepada Mahkamah agar norma a quo diberi tafsir terbatas dengan menambahkan frasa “setelah mengeluarkan keputusan administrasi atau keputusan tata usaha negara secara tertulis”. Namun, sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas bahwa karakteristik virtualitas ruang siber memiliki daya sebar yang sangat cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, maka adanya penambahan frasa di atas justru akan menghambat peran Pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan muatan/konten dilarang (ilegal). Tindakan Pemerintah melakukan pemutusan akses tidak berarti menghilangkan hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi namun penggunaan hak tersebut pun tidak boleh juga menghilangkan hak negara untuk melindungi kepentingan umum, terlebih kepentingan anak-anak dari bahaya informasi yang memiliki muatan yang dilarang (ilegal) secara cepat. Terlebih lagi, terhadap tindakan pemerintah tersebut terbuka ruang untuk dilakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tetap dijamin. Namun demikian, menurut Mahkamah sesuai dengan perkembangan teknologi digital terkait dengan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses atas konten yang memiliki muatan dilarang (ilegal) dapat saja bersamaan dengan itu Pemerintah menyampaikan notifikasi digital, berupa pemberitahuan kepada pihak yang akan diputus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektroniknya. Sehingga, dalam tindakan Pemerintah tersebut tetap terjamin asas keterbukaan sebagaimana cerminan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Namun demikian, berdasarkan pertimbangan di atas menurut Mahkamah, tidak terdapat juga persoalan konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 terhadap hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai ketidakpastian hukum dan persamaan hak serta hak untuk berkomunikasi dan hak atas informasi dalam suatu negara hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 terhadap Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016, sehingga dengan demikian permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Formil Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Kurniawan S.IP (Karyawan Swasta dan Peneliti Sinergi Kawal BUMN) dan Dr. Arif Zulkifli, S.E., M.M. (Dosen dan Konsultan Hukum Lingkungan dan Pertambangan) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Tezar Yudhistira, S.H., M.H., dk, Advokat yang tergabung dalam ART & Co. Law Firm, untuk selanjutnya baik sendiri-sendiri maupun bersama -sama disebut sebagai para Pemohon.

pengujian formil UU 3/2020

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, permohonan tidak melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil dan Pemohon I dan Pemohon II (selanjutnya disebut para Pemohon) memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

[3.16] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena isu pokok pengujian formil yang dijadikan alasan permohonan pengujian a quo adalah mengenai tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembentukan UU 3/2020 yang mempunyai kesamaan dengan perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020, yang putusannya telah diucapkan sebelumnya, sehingga penting bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XVIII/2020 ihwal pelibatan DPD tersebut, sebagai berikut:
[3.17.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sehingga merupakan pelanggaran terhadap UU 12/2011, UU 17/2014, dan Tatib DPR. Menurut para Pemohon, tidak terlibatnya DPD dalam pembahasan RUU Minerba bertentangan dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Berkenaan dengan dalil a quo, DPD telah menyampaikan keterangan tertulis dan telah disampaikan pula pada persidangan Mahkamah yang pada pokoknya DPD menyatakan telah dilibatkan mulai dari tahapan perencanaan penyusunan Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019 yang dilanjutkan dengan Prolegnas 2020-2024 dan penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan, termasuk Prioritas Tahun 2020 sesuai dengan mekanisme dan prosedur serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DPD juga menerangkan bahwa penyusunan Pandangan dan Pendapat terhadap RUU Minerba oleh Komite II dilaksanakan berdasarkan Surat Ketua DPR Nomor LG/04430/DPR RI/III/2020 tertanggal 16 Maret 2020 perihal: Pembahasan RUU Minerba yang disampaikan kepada Pimpinan DPD. Surat tersebut disertai lampiran RUU dari DPR dalam bentuk matriks DIM yang pada intinya mengagendakan pada 8 April 2020 Komisi VII akan mengundang DPD dalam Rapat Kerja Komisi VII dengan Kementerian terkait namun dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan disebabkan merebaknya pandemi Covid-19 sehingga Menteri ESDM selaku leading sector dari pihak pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk menunda agenda tersebut. Bahwa pada 22 April 2020, Pimpinan DPR menyampaikan surat No. LG/05225/DPR RI/2020 perihal Undangan Rapat yang ditujukan kepada Pimpinan Komite II DPD. Agenda Pembahasan berupa Rapat Panja Minerba mendengarkan Pandangan dan masukan DPD RI atas RUU tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan undangan tersebut, Panja Minerba Komisi VII DPR dengan Pimpinan Komite II DPD pada 27 April 2020 pukul 11.00 WIB melaksanakan rapat secara virtual. Rapat tersebut dihadiri oleh seluruh jajaran Pimpinan Komite II DPD.
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa DPD terlibat mulai tahap perencanaan RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009), yaitu dalam Rapat Penetapan Prolegnas Tahun 2015-2019, Rapat Penetapan Prolegnas Tahun 2020-2024, dan Rapat Penyusunan Kembali Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang di dalamnya terdapat RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009). Pemerintah berpandangan bahwa keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU Minerba telah dilakukan secara proper dan komprehensif, di antaranya dibuktikan dengan:
a. Adanya persetujuan DPD atas carry over RUU Minerba sebagaimana tercermin dalam Surat Keputusan DPR Nomor 1/DPRRI/II/2019-2020 tanggal 22 Januari 2020;
b. Adanya musyawarah/rapat pembahasan RUU Minerba sesuai dengan undangan DPR RI sebagaimana dibuktikan dalam Laporan Singkat Rapat Panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI dengan Pimpinan Komite II DPD RI; dan
c. Adanya pandangan tertulis dari Komite II DPD terhadap RUU Minerba pada 27 April 2020.
Setelah mencermati keterangan DPD, Keterangan Presiden dan Keterangan DPR, beserta lampiran dan bukti-buktinya tersebut didapatkan fakta hukum bahwa DPD telah dilibatkan dalam pembahasan RUU Minerba, hal ini khususnya dibuktikan dengan adanya Keputusan DPD RI Nomor 32/DPD RI/III/2019-2020 tentang Pandangan dan Pendapat DPD RI Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bertanggal 12 Mei 2020. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pembahasan UU 3/2020 tidak melibatkan DPD adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 3/2020, di mana pada saat yang sama telah diperiksa pula perkara lain yakni perkara Nomor 60/PUUXVIII/2020 yang juga menguji formil konstitusionalitas pembentukan UU 3/2020, yang diajukan oleh Pemohon yang berbeda. Dengan demikian, karena substansi permohonan pengujian formil yang diajukan para Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan konstitusionalitas pembentukan UU 3/2020, maka pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XVIII/2020 yang telah diucapkan sebelumnya, dan Mahkamah telah menyatakan pembentukan UU 3/2020 tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis menjadi bagian dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUUXVIII/2020 a quo, sepanjang berkenaan dengan dalil Pemohon terkait dengan keterlibatan DPD;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah prosedur
pembentukan UU 3/2020 sesuai dengan UUD 1945, maka permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 3/2020 harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah bahwa pembentukan UU 3/2020 telah memenuhi ketentuan pembentukan undangundang berdasarkan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka terhadap hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Siti Warsilah, S.E., M.Si. (PNS), dan Evarini Uswatun Khasanah, S.E. (PNS) yang memberikan Kuasa kepada Waway Warsiman, S.H., dkk., Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum pada LPKBHI Garuda Keadilan, untuk selanjutnya baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 21 ayat (1) huruf j dan Pasal 117 ayat (1) huruf j UU 7/2017

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 21 ayat (1) huruf j dan Pasal 117 ayat (1) huruf j UU a quo dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 21 ayat (1) huruf j dan Pasal 117 ayat (1) huruf j UU 7/2017, yang rumusan adalah sebagai berikut:
Pasal 21 ayat (1) huruf j UU 7/2017
(1) Syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah:
a. …
j. mengundurkan diri dari jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan/atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pada saat mendaftar sebagai calon;


Pasal 117 ayat (1) huruf j UU 7/2017
(1) Syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, serta Pengawas TPS adalah:
a. …
j. mengundurkan diri dari jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan/atau di badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pada saat mendaftar sebagai calon;
2. Bahwa para Pemohon menjelaskan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3 dan bukti P-4], selaku Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda DKI Jakarta dan PNS di Ditjen Keuangan Daerah sebagaimana dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Pegawai selaku ASN [vide bukti P-5 dan bukti P-6];
3. Bahwa menurut anggapan para Pemohon, ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf j dan Pasal 117 ayat (1) huruf j UU 7/2017 menimbulkan diskriminatif, tidak proporsional, dan tidak memenuhi rasa keadilan bagi calon yang berasal dari ASN, Pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan mendaftarkan dirinya sebagai calon Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)/Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sehingga tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4. Bahwa menurut para Pemohon, bila mengikuti seleksi sebagai calon anggota KPU/Bawaslu dan tidak terpilih maka mereka harus kehilangan jabatannya kemudian menjadi Pelaksana (staf). Padahal untuk dapat menduduki jabatannya kembali seperti sebelum mengundurkan diri para Pemohon telah melalui beberapa tahapan masa kerja maupun penilaian kinerja serta harus melalui proses panjang dan menunggu waktu yang cukup lama. Bahkan proses menunggu waktu untuk menduduki jabatan tersebut dapat hilang apabila jabatan yang dilepaskan telah diduduki oleh ASN lain;
5. Bahwa selanjutnya menurut para Pemohon, dengan dikabulkannya permohonan agar Pasal 21 ayat (1) huruf j dan Pasal 117 ayat (1) huruf j UU 7/2017 dimaknai mundur dari jabatan di pemerintahan bila terpilih sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, dan Panwaslu Lapangan, maka kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon, tidak akan atau tidak lagi terjadi;
6. Bahwa berkaitan dengan permohonan para Pemohon, Mahkamah dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 1 September 2021, berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim karena kewajibannya telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukum sehingga Mahkamah dapat menyakini para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dalam menguji atau menilai konstitusionalitas norma a quo. Selain itu, untuk membuktikan kedudukan hukum dimaksud Mahkamah juga memberikan nasihat agar para Pemohon menyertakan bukti yang mendukung penjelasan perihal kedudukan hukumnya;
7. Bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 13 September 2021 tetapi tidak menguraikan dalam perbaikan permohonannya khususnya bagian kedudukan hukum mengenai jabatan yang dijabat oleh para Pemohon;
8. Bahwa terkait dengan kualifikasi para Pemohon sebagai ASN yang memiliki jabatan di pemerintahan, meskipun dalam sidang perbaikan permohonan menyampaikan bahwa jabatan para Pemohon adalah sebagai kepala seksi [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 39/PUU-XIX/2021 bertanggal 14 September 2021, hlm. 5], namun tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah ASN yang memiliki jabatan di pemerintahan. Secara yuridis, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU 5/2014, jabatan kepala seksi merupakan jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas yang merupakan kelompok Jabatan Administrasi. Seandainya pun para Pemohon memang benar pejabat dalam jabatan pengawas, mestinya selain para Pemohon menunjukkan bukti sebagai ASN juga melampirkan Surat Keputusan mengenai kedudukannya sebagai pejabat di pemerintahan. Terlebih lagi para Pemohon dalam permohonannya tidak pernah menguraikan bahwa para Pemohon akan mencalonkan diri sebagai anggota KPU/Bawaslu. Dengan demikian, berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG–UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Dr. H. Alirman Sori, S.H., M. Hum., M.M (Anggota DPD RI sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang), Tamsil Linrung (Anggota DPD RI/Komite II), Dr. H. Erzaldi Rosman Djohan, S.E., M.M. (Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H, dkk , para Advokat dan/atau Pendamping Hukum yang tergabung dalam “Tim Hukum Uji Formil UU Minerba”, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

pengujian formil UU 3/2020

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan menunda keberlakuan UU 3/2020, sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo. Selama penundaan, undang-undang yang digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) dengan alasan yang pada pokoknya demi penyelamatan sumber daya alam Indonesia yang sangat eksploitatif dan penghentian atas kerusakan lingkungan yang demikian masif di sebagian wilayah di Indonesia yang menjadi sentral kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Terhadap permohonan provisi a quo, Mahkamah berpendapat bahwa alasan permohonan provisi yang diajukan para Pemohon adalah berkaitan dengan potensi kerugian konstitusional para Pemohon dan tidak serta merta berkaitan dengan kepentingan umum yang mendesak. Selain itu, dugaan adanya keterkaitan antara permohonan Pemohon dengan upaya penyelamatan sumber daya alam dan penghentian kerusakan lingkungan adalah berkaitan dengan materi atau substansi dari UU 3/2020, sedangkan permohonan para Pemohon adalah mempermasalahkan mengenai proses pembentukan UU 3/2020 atau pengujian secara formil sehingga alasan permohonan provisi tersebut menjadi tidak relevan dengan pokok permohonan. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.17] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil-dalil para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan RUU Minerba yang kemudian menjadi UU 3/2020 tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali Pasal 71A UU 15/2019 yang menyatakan:
“Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.”
Tanpa bermaksud menilai substansi atau materiil dari norma Pasal 71A UU a quo, menurut Mahkamah perlu terlebih dahulu dirinci unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 71A UU a quo untuk menilai suatu RUU memenuhi syarat-syarat untuk dilanjutkan pembahasannya (carry over) oleh DPR periode berikutnya, yaitu:
a. RUU telah memasuki pembahasan DIM pada periode masa keanggotaan DPR saat itu (2015-2019);
b. Hasil pembahasan RUU disampaikan kepada DPR periode berikutnya (2020- 2024); dan
c. Berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.
Bertolak dari unsur-unsur di atas penting bagi Mahkamah untuk mencermati keterangan DPR berkenaan dengan syarat RUU telah memasuki pembahasan DIM pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, in casu untuk RUU Minerba sebagai berikut:
1. DPR menerangkan bahwa Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah adalah masuk ke dalam tahapan pembahasan Undang-Undang pembicaraan tingkat I.
2. DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 151 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (Tatib DPR 2020), Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau rapat tim sinkronisasi (sebelumnya diatur dalam Pasal 153 Tatib DPR 2014). Rapat Kerja tersebut merupakan rapat antara komisi, gabungan komisi, Badan Legislatif, panitia khusus, atau Badan Anggaran bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden untuk terlebih dahulu menyepakati jadwal rapat Pembicaraan Tingkat I pembahasan RUU serta waktu penyusunan dan penyerahan DIM (vide Pasal 153 Tatib DPR 2020).
3. DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan telah disepakatinya jadwal pembahasan DIM tersebut dalam rapat kerja, maka kegiatan pembahasan DIM telah dimulai pelaksanaannya.
4. DPR menerangkan bahwa berdasarkan Risalah Rapat Kerja pada 18 Juli 2019 dengan agenda Pembahasan DIM (vide Lampiran XII Keterangan DPR), Pemerintah menyampaikan mengenai jumlah DIM sebanyak 884 poin. Pemerintah menerangkan pula bahwa frasa “pembahasan DIM” dapat dimaknai sebagai forum untuk melakukan pembahasan DIM.
5. DPR menerangkan bahwa selain Rapat Kerja tanggal 18 Juli 2019 tersebut, tercatat pula telah dilakukan beberapa kali rapat kerja dengan agenda pembahasan DIM bersama dengan Pemerintah pada periode keanggotaan DPR sebelumnya, yaitu tanggal 12 dan 25 September 2019 (vide Lampiran XIII dan Lampiran XIV Keterangan DPR);
Selanjutnya, berkenaan dengan syarat sesuai unsur kedua dan ketiga di atas mengenai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over) pada periode berikutnya berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan DPD, penting bagi Mahkamah untuk mencermati keterangan DPR mengenai RUU Minerba sebagai berikut:
1. DPR menerangkan bahwa dalam Rapat Kerja Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan HAM dan Panitia Perancangan UU DPD RI pada 5 Desember 2019 dengan agenda Penetapan Prolegnas Prioritas Tahunan (vide Lampiran III Keterangan DPR), telah disepakati bahwa Pembahasan RUU Perubahan UU 4/2009 dapat dilanjutkan pada periode keanggotaan DPR berikutnya, sehingga DPR, Presiden, dan DPD telah menyetujui/menyepakati untuk menjadikan RUU Perubahan UU 4/2009 masuk dalam Prolegnas 2020-2024 sebagai RUU Carry Over.
2. DPR menerangkan bahwa Prolegnas tahun 2020-2024 telah ditetapkan pada 17 Desember 2019 berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 yang di dalamnya memasukkan RUU Perubahan UU 4/2009 sebagai RUU Carry Over nomor urut 57 (vide Lampiran XVI Keterangan DPR).
3. DPR menerangkan bahwa pada 16 Januari 2020 telah dilaksanakan rapat kerja Baleg DPR dengan Menteri Hukum & HAM RI dan Panitia Perancang UU DPD RI yang menyepakati RUU Perubahan UU 4/2009 untuk tetap menjadi RUU carry over dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 (vide Lampiran IV Keterangan DPR)
4. Bahwa berdasarkan uraian fakta di atas, maka DPR, Presiden, dan DPD telah menyepakati RUU Perubahan UU 4/2009 sebagai RUU carry over karena telah memenuhi ketentuan Pasal 71A UU 15/2019.
Berkenaan dengan RUU Minerba sebagai RUU carry over, Pemerintah telah menerangkan bahwa carry over dilakukan terhadap suatu rancangan undang-undang yang telah masuk dalam pembicaraan/pembahasan pada Tingkat I dan memiliki DIM pada masa keanggotan DPR periode sebelumnya (2015-2019). Hal ini berarti bahwa carry over memberikan hak sepenuhnya kepada anggota DPR periode berikutnya apakah akan menyetujui untuk melanjutkan rancangan undang-undang yang di-carry over dari anggota DPR periode sebelumnya tanpa atau dengan pembahasan ulang atas seluruh materi RUU Minerba. Sekali lagi, tanpa Mahkamah bermaksud menilai substansial atau materiil Ketentuan Pasal 71A UU 15/2019, menurut Mahkamah, adanya ketentuan ini adalah untuk memperjelas status suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas periode sebelumnya dan telah pula ditetapkan sebagai prioritas tahunan serta telah disiapkan DIM untuk RUU tersebut, sehingga perlu ada kepastian bagaimana keberlanjutan RUU tersebut supaya tidak lagi terkatung-katung atau diulangi lagi seluruh proses yang telah berjalan mulai dari awal, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 15/2019 bahwa “Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang yang sudah dibahas oleh DPR bersama Presiden dalam suatu periode untuk dibahas kembali dalam periode selanjutnya untuk memastikan keberlanjutan dalam pembentukan Undang-Undang;”
Dalam kaitan ini, Pemerintah dan DPR berpandangan bahwa carry over dilakukan terhadap suatu RUU yang telah masuk dalam Pembicaraan Tingkat I dan memiliki DIM pada masa keanggotaan DPR periode sebelumnya. Bahwa faktanya penyusunan RUU Perubahan UU 4/2009 telah dimulai sejak tahun 2015 dan masuk dalam Prolegnas Tahun 2015-2019, merupakan usul inisiatif DPR yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna tanggal 10 April 2018 untuk kemudian disampaikan kepada Presiden pada 11 April 2018. Terdapat fakta pula bahwa pada Rapat Kerja Badan Legislatif DPR dengan agenda Pengambilan Keputusan Prolegnas Tahun 2020- 2024 dan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada 5 Desember 2019 dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM dan Pimpinan Panitia Perancangan UU DPD. Dalam rapat tersebut telah ditetapkan jumlah RUU dalam Prolegnas Tahun 2020-2024 sebanyak 248 RUU, yang salah satunya adalah RUU Perubahan UU 4/2009 sebagai RUU carry over. Artinya, DPR, Presiden, dan DPD telah menggunakan haknya untuk bersikap menyepakati sebagaimana unsur dari ketentuan Pasal 71A UU 15/2019 bahwa RUU Perubahan UU 4/2009 dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai RUU Minerba yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2020 tidak memenuhi syarat RUU carry over berdasarkan Pasal 71A UU 15/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan, pembahasan UU 3/2020 melanggar prinsip keterbukaan. Menurut para Pemohon hampir seluruh Pembahasan RUU Minerba yang kemudian disahkan dilakukan secara tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR, hal ini melanggar asas keterbukaan.
Berkenaan dengan asas keterbukaan, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 menjelaskan yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah:
“bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sepanjang tidak adanya hambatan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut melanggar asas keterbukaan. DPR dalam keterangannya menerangkan bahwa ketentuan Pasal 254 ayat (3) Tatib DPR 2020 menyatakan “semua jenis rapat DPR dilakukan di gedung DPR, kecuali ditentukan lain, rapat dapat dilakukan di luar gedung DPR atas persetujuan Pimpinan DPR”. Berdasarkan ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi DPR untuk melakukan rapat di luar gedung DPR sebagaimana telah dilaksanakannya untuk beberapa rapat Panja RUU Minerba dengan Pemerintah dari tanggal 20-26 Februari 2020. Rapat-rapat tersebut dilakukan sesuai dengan jadwal acara rapat DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2019-2020 yang telah diputuskan dalam Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Badan Musyawarah DPR RI antara Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Fraksi tanggal 16 Desember 2019 (vide Lampiran XXVI Keterangan DPR). Dengan demikian, pelaksanaan rapat pembahasan RUU Minerba tetap dapat diadakan walaupun di luar gedung DPR untuk memaksimalkan dan mendukung efektivitas tugas dan fungsi legislasi.
Setelah mencermati keterangan dan bukti-bukti yang dilampirkan oleh para Pemohon, asas keterbukaan tidak semata-mata berkaitan dengan bentuk rapat dan pertemuan yang dilakukan oleh DPR, namun lebih kepada bagaimana masyarakat umum mendapatkan akses atau kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, tidak ada bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa telah terjadi pelanggaran dalam hal tidak diberikannya akses atau kesempatan masyarakat dalam memberikan masukan dalam proses pembahasan RUU Minerba. Pemerintah dan DPR telah membuktikan bahwa pada masa perancangan telah dilaksanakan sosialisasi dan diskusi publik untuk sebagai perwujudan asas keterbukaan untuk menampung tanggapan publik dan stakeholder terhadap RUU a quo. Lagipula, anggapan para Pemohon bahwa pengesahan RUU Minerba dilakukan secara tertutup tidak terbukti, karena dari bukti para Pemohon sendiri, justru para Pemohon dapat menunjukkan video rekaman Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 dengan salah satu agenda pengesahan RUU Minerba yang menurut para Pemohon bersumber dari TV Parlemen (bukti P-27). Berdasarkan fakta tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai pembahasan RUU Minerba yang tidak memenuhi asas keterbukaan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.3] Bahwa selanjutnya, para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba menjadi UU 3/2020 tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder serta tidak ada uji publik oleh DPR sehingga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 96 UU 12/2011. Hal ini menurut Pemohon juga merupakan pelanggaran atas Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”;
Terhadap dalil tersebut Pemerintah menerangkan bahwa pada kenyataannya ketiga Pemohon dalam permohonan a quo, yaitu Pemohon VI (Ir. Budi Santoso), Pemohon VII (Ilham Rifki Nurfajar), dan Pemohon VIII (M. Andrean Saefudin) sudah pernah diundang dan hadir dalam forum yang diadakan Pemerintah sehubungan dengan pembahasan RUU Minerba (vide Bukti pemerintah PK-1, PK-43, PK-44, PK-45, PK-46, PK-47 dan PK-48). Partisipasi publik terhadap RUU Minerba telah dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 2018 sampai tahun 2020 dengan melibatkan berbagai unsur terdiri dari perguruan tinggi, organisasi pengamat pertambangan, masyarakat sipil, pelaku usaha pertambangan, mahasiswa, dan wahana lingkungan hidup. Selain itu, Pemerintah mengadakan road show ke 7 (tujuh) kota besar di Indonesia untuk memetakan permasalahan-permasalahan yang timbul dari undang-undang mineral dan batubara yang lama (UU 4/2009) dan solusi yang ditawarkan dalam RUU Minerba melalui rapat-rapat pelaksanaan konsultasi publik di kota Jakarta, Palembang, Balikpapan, Makassar, Medan, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bandung.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, tidak ada bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah mengenai tidak terdapat adanya partisipasi publik dan pelibatan stakeholder dalam pembentukan RUU Minerba. Sebaliknya, Presiden dan DPR telah membuktikan melalui bukti-buktinya mengenai kegiatan-kegiatan sosialiasi dan diskusi publik yang menunjukkan adanya upaya Presiden dan DPR untuk mendorong partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Minerba. Berdasarkan hal tersebut, dalil Pemohon mengenai pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan partisipasi publik adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sehingga merupakan pelanggaran terhadap UU 12/2011, UU 17/2014, dan Tatib DPR. Menurut para Pemohon, tidak terlibatnya DPD dalam pembahasan RUU Minerba bertentangan dengan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Berkenaan dengan dalil a quo, DPD telah menyampaikan keterangan tertulis dan telah disampaikan pula pada persidangan Mahkamah yang pada pokoknya DPD menyatakan telah dilibatkan mulai dari tahapan perencanaan penyusunan Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019 yang dilanjutkan dengan Prolegnas 2020-2024 dan penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan, termasuk Prioritas Tahun 2020 sesuai dengan mekanisme dan prosedur serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DPD juga menerangkan bahwa penyusunan Pandangan dan Pendapat terhadap RUU Minerba oleh Komite II dilaksanakan berdasarkan Surat Ketua DPR Nomor LG/04430/DPR RI/III/2020 tertanggal 16 Maret 2020 perihal: Pembahasan RUU Minerba yang disampaikan kepada Pimpinan DPD. Surat tersebut disertai lampiran RUU dari DPR dalam bentuk matriks DIM yang pada intinya mengagendakan pada 8 April 2020 Komisi VII akan mengundang DPD dalam Rapat Kerja Komisi VII dengan Kementerian terkait namun dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan disebabkan merebaknya pandemi Covid-19 sehingga Menteri ESDM selaku leading sector dari pihak pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk menunda agenda tersebut. Bahwa pada 22 April 2020, Pimpinan DPR menyampaikan surat Nomor LG/05225/DPR RI/2020 perihal Undangan Rapat yang ditujukan kepada Pimpinan Komite II DPD. Agenda Pembahasan berupa Rapat Panja Minerba mendengarkan Pandangan dan masukan DPD RI atas RUU tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan undangan tersebut, Panja Minerba Komisi VII DPR dengan Pimpinan Komite II DPD pada 27 April 2020 pukul 11.00 WIB melaksanakan rapat secara virtual. Rapat tersebut dihadiri oleh seluruh jajaran Pimpinan Komite II DPD.
Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa DPD terlibat mulai tahap perencanaan RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009), yaitu dalam Rapat Penetapan Prolegnas Tahun 2015-2019, Rapat Penetapan Prolegnas Tahun 2020-2024, dan Rapat Penyusunan Kembali Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang di dalamnya terdapat RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009). Pemerintah berpandangan bahwa keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU Minerba telah dilakukan secara proper dan komprehensif, di antaranya dibuktikan dengan:
a. Adanya persetujuan DPD atas carry over RUU Minerba sebagaimana tercermin dalam Surat Keputusan DPR Nomor 1/DPRRI/II/2019-2020 tanggal 22 Januari 2020;
b. Adanya musyawarah/rapat pembahasan RUU Minerba sesuai dengan undangan DPR RI sebagaimana dibuktikan dalam Laporan Singkat Rapat Panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI dengan Pimpinan Komite II DPD RI; dan
c. Adanya pandangan tertulis dari Komite II DPD terhadap RUU Minerba pada 27 April 2020.
Setelah mencermati keterangan DPD, Keterangan Presiden dan Keterangan DPR, beserta lampiran dan bukti-buktinya tersebut didapatkan fakta hukum bahwa DPD telah dilibatkan dalam pembahasan RUU Minerba, hal ini khususnya dibuktikan dengan adanya Keputusan DPD RI Nomor 32/DPD RI/III/2019-2020 tentang Pandangan dan Pendapat DPD RI Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bertanggal 12 Mei 2020. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pembahasan UU 3/2020 tidak melibatkan DPD adalah tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, maka berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon I dan Pemohon II yang meletakkan kerugian konstitusionalnya pada ketidakterlibatan DPD dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba menjadi tidak terbukti karena DPD secara institusional telah dilibatkan dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba. Walaupun Pemohon I dan Pemohon II sebagai anggota DPD memiliki keterkaitan dengan proses pembahasan dan penyusunan RUU Minerba, namun argumentasi Pemohon a quo berkenaan dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan dan pengesahan RUU Minerba yang kemudian menjadi UU 3/2020 adalah tidak terbukti. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemohon I dan Pemohon II menurut Mahkamah tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.17.5] Bahwa lebih lanjut, para Pemohon mendalilkan pembahasan RUU Minerba menjadi UU 3/2020 tidak melibatkan dan/atau menerima aspirasi pemerintah daerah. Menurut para Pemohon tidak adanya penerimaan aspirasi, sosialisasi dan proses dialog dengan pemerintah daerah dalam pembahasan RUU Minerba bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Pemerintah menerangkan bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan dalil-dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembahasan RUU Minerba harus melibatkan pemerintah daerah, karena apabila mengacu pada Pasal 65 sampai dengan Pasal 74 UU 12/2011 yang mengatur mengenai pembahasan rancangan undang-undang dan pengesahan rancangan undang-undang, tidak terdapat satupun kewajiban yang melekat pada pembentuk undang-undang untuk turut melibatkan pemerintah daerah, baik dalam proses pembahasan dan pengesahannya. Ketentuan Pasal 65 UU 12/2011 secara tegas mengatur bahwa pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Seandainya memang benar ada kewajiban yang melekat pada pembentuk undang-undang untuk melibatkan pemerintah daerah dalam setiap tahapan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba, quod non, karena faktanya pemerintah telah melibatkan unsur pemerintah daerah dalam proses pembentukan RUU Minerba dan sekaligus dalam melakukan evaluasi terhadap UU 4/2009. Keterlibatan tersebut dilengkapi dengan daftar kehadiran dan tanda tangan dari masing-masing peserta [vide bukti Presiden PK-17 sampai dengan PK-28];
Berkenaan dengan dalil tersebut, menurut Mahkamah, tidak ada ketentuan mengenai kewajiban pembentuk undang-undang untuk melibatkan pemerintah daerah dalam pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang. Pasal 18A ayat (2) yang menyatakan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang, tidak serta merta dapat diartikan bahwa proses pembahasan dan pengesahan suatu rancangan undang-undang wajib menyertakan pemerintah daerah secara terpisah dari unsur pemerintah pusat. Dalam pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang, kepentingan unsur daerah telah diwakilkan kepada DPD yang merupakan perwujudan perwakilan masing-masing daerah di mana anggota DPD telah dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan daerah dalam proses legislasi. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pembahasan RUU Minerba yang kemudian disahkan menjadi UU 3/2020 tidak ada keterlibatan dan penerimaan aspirasi pemerintah daerah adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.6] Bahwa para Pemohon mendalilkan, rapat dan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat karena dalam pengambilan keputusan Tingkat I pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang mewakili Pemerintah pada 11 Mei 2020 dilakukan secara virtual dan pengambilan keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna pada 12 Mei 2020 juga dilakukan secara virtual, yaitu tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik anggota DPR dilakukan secara perwakilan fraksi. Hal ini tampak pada siaran TV Parlemen bahwa ruang sidang paripurna sangat lengang karena hanya dihadiri oleh sedikit anggota DPR;
Terhadap dalil tersebut, Pemerintah menerangkan bahwa kegiatan rapat pembahasan RUU Minerba Tingkat I oleh Komisi VII DPR berlangsung bersamaan dengan saat terjadinya penyebaran virus Covid-19 yang dikualifikasi sebagai kondisi pandemi, sehingga memberikan dispensasi kepada anggota Komisi VII DPR untuk menyelenggarakan rapat secara virtual sesuai ketentuan dalam Tatib DPR 2020. Walaupun rapat pembahasan RUU Minerba dilangsungkan secara virtual, namun dalam menetapkan kehadiran dan proses pengambilan keputusan dalam rapat kerja Panja RUU Minerba Komisi VII DPR dengan Pimpinan Komite II DPD tetap memperhatikan kuorum anggota DPR dan tata tertib yang berlaku. Bahwa rapat virtual pembahasan RUU Minerba Tingkat I yang dilaksanakan pada 11 Mei 2020 telah dihadiri oleh perwakilan dari seluruh fraksi DPR. Bahwa masing-masing fraksi telah menyampaikan pendapat mini fraksinya dalam rapat Tingkat I dengan hasil bahwa 8 (delapan) fraksi menyatakan setuju untuk dilanjutkan dalam rapat paripurna (Pembicaraan Tingkat II) dan ada 1 (satu) Fraksi yang menyatakan tidak setuju, yaitu Fraksi Demokrat. Namun demikian, pada pembicaraan Tingkat II dalam rapat paripurna pengambilan keputusan tanggal 12 Mei 2020, seluruh Fraksi DPR telah memberikan persetujuan tanpa ada catatan atau interupsi terhadap persetujuan RUU Minerba menjadi UU. DPR menerangkan bahwa dalam praktiknya, sebelum pengambilan keputusan atas suatu rancangan undang-undang dilakukan dengan mekanisme voting, masing-masing fraksi menyepakati untuk melakukan berbagai diskusi dan lobby sebagai usaha semaksimal mungkin agar persetujuan atas RUU Minerba tersebut diambil secara mufakat dalam musyawarah, bukan voting. Meskipun dalam pandangan mini fraksi pada Pengambilan Keputusan Tingkat I terdapat 1 fraksi yang menyatakan tidak setuju, namun dalam pengambilan keputusan pada Pembicaraan Tingkat II semua fraksi pada akhirnya telah memberikan persetujuannya tanpa adanya catatan atau interupsi (vide Lampiran XXIV Keterangan DPR). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan persetujuan atas penetapan RUU Minerba (Perubahan UU 4/2009) tersebut pada dasarnya telah disetujui oleh seluruh fraksi.
Lebih lanjut, berkaitan dengan dalil para Pemohon bahwa dalam sidang paripurna pengambilan keputusan tidak memenuhi syarat kuorum karena tidak hadir secara fisik, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 yang antara lain mempertimbangkan:
“…Mahkamah perlu menegaskan bahwa kehadiran secara fisik dalam proses pembentukan undang-undang termasuk dalam persetujuan bersama adalah sebuah keharusan. Kehadiran demikian diperlukan dalam proses pembentukan undang-undang, yaitu: (1) sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan konsep perwakilan rakyat; (2) untuk memberikan kesempatan bagi anggota legislatif yang sejak semula tidak ikut membahas pembentukan suatu undang-undang karena mekanisme internal lembaga legislatif yang membagi pembentukan undang-undang berdasarkan komisi dan/atau gabungan komisi tertentu; dan (3) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengambilan putusan akhir melalui voting.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah kehadiran fisik dalam rapat paripurna pengambilan keputusan adalah suatu keharusan, namun untuk terpenuhinya syarat tersebut haruslah dipertimbangkan secara kasuistis dengan melihat secara keseluruhan kondisi pada saat pembahasan dan pengesahan RUU dilakukan. Dalam hal syarat rapat paripurna pengesahan RUU Minerba, para Pemohon mencoba membuktikan dalilnya dengan bukti P-27 berupa rekaman video persidangan paripurna yang menurut para Pemohon merupakan rekaman Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 yang disiarkan melalui TV Parlemen yang menunjukkan sedikitnya anggota DPR yang hadir secara fisik pada saat pengesahan RUU tersebut. Setelah Mahkamah memeriksa bukti yang diajukan Pemerintah dan bukti Lampiran DPR berupa Risalah Rapat Paripurna DPR RI dan Daftar Hadir Pejabat Kementerian/Lembaga/Instansi Pemerintah dan Undangan Dalam Acara Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 12 Mei 2020 ditemukan fakta bahwa kehadiran yang tercatat pada Risalah Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 tersebut adalah sejumlah 83 anggota DPR RI hadir secara fisik dan sejumlah 355 anggota hadir secara virtual. Dalam keterangannya, DPR menyatakan kehadiran DPR secara virtual tersebut dilakukan karena pada 12 Mei 2020 adalah bagian dari masa penanggulangan Pandemi Covid-19 sehingga DPR harus memenuhi protokol kesehatan (Prokes) yang telah ditetapkan pemerintah untuk mencegah tingkat penyebaran Covid-19.
Berkenaan dengan kehadiran rapat dan sidang secara virtual dikaitkan dengan kondisi pada saat RUU Minerba dibahas dan disahkan, pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan penyebaran Covid-19 tersebut semakin menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar yang berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan pandemi Covid-19 ini pula, secara legal formal sejak tanggal 13 April 2020, Presiden telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional (Keppres 12/2020). Secara faktual Mahkamah juga mengetahui bahwa pada saat Keppres 12/2020 tersebut diterbitkan, masyarakat tengah menghadapi ancaman Pandemi Covid-19 yang penyebarannya relatif cepat dan dengan tingkat fatalitas yang tinggi sehingga tindakan pencegahan penyebaran penting untuk dilakukan oleh semua pihak. Sehubungan dengan kondisi tersebut, ketentuan mengenai rapat DPR pada keadaan tertentu juga diakomodir dalam Pasal 254 ayat (4) Tatib DPR 2020 yang menyatakan:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Berkenaan dengan pertimbangan hukum di atas meskipun Mahkamah dalam putusan sebelumnya menegaskan kehadiran secara fisik dalam proses pembentukan undang-undang termasuk dalam persetujuan bersama adalah sebuah keharusan, namun hal tersebut harus pula memperhatikan bahwa Rapat Paripurna pengesahan RUU Minerba tersebut dilaksanakan pada 12 Mei 2020 atau setelah tanggal ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam. Oleh karenanya, pelaksanaan rapat secara virtual merupakan wujud sikap kehati-hatian semua pihak yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus tersebut yang di antaranya dengan cara menjaga jarak atau melakukan pembatasan fisik (physical distancing) serta mengurangi pertemuan di dalam ruangan tertutup. Hal ini tidak hanya dilakukan untuk kegiatan Rapat Paripurna DPR RI, namun pada seluruh kegiatan resmi kenegaraan lainnya, termasuk dalam pelaksanaan kewenangan eksekutif maupun judikatif. Di tengah agenda pengesahan RUU Minerba, terdapat kebijakan nasional yang penting untuk dilakukan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19, oleh karena itu pelaksanaan rapat secara virtual sebagai pengganti kehadiran secara fisik di dalam ruang rapat dapat dikatakan merupakan pilihan terbaik dalam menyelesaikan pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang, termasuk RUU Minerba. Selain itu, tidak terdapat bukti adanya keberatan dari para peserta Rapat yang tidak dapat hadir secara fisik, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa keikutsertaan anggota DPR secara virtual dalam pengesahan RUU Minerba pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 tersebut telah menyebabkan tidak terpenuhinya syarat kuorum untuk mengesahkan RUU a quo. Menurut Mahkamah, kehadiran secara fisik dalam pengesahan RUU adalah tetap mutlak sepanjang tidak ada alasan yang kuat untuk menyimpangi syarat tersebut. Dengan demikian, pengesahan RUU Minerba pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, yang mendasarkan pada alasan yang dikemukakan di atas, maka kehadiran anggota secara virtual haruslah dipersamakan dengan kehadiran secara fisik sehingga tetap memenuhi kuorum. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai pengesahan RUU Minerba dalam Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.17.7] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 3/2020 seharusnya dalam bentuk undang-undang penggantian, bukan undang-undang perubahan karena pasal yang berubah sebanyak 83 pasal, pasal tambahan/baru sebanyak 52 pasal, pasal dihapus sebanyak 18 pasal. Jumlah total pasal 209 pasal (sebelumnya 175) atau telah mengalami perubahan lebih kurang 82% dari undang-undang sebelumnya yaitu UU 4/2009.
Terhadap dalil tersebut, Poin 237 Lampiran II UU 12/2011 menentukan sebagai berikut:
“Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah;
b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c. esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.”
Menurut Mahkamah frasa “lebih baik” dalam ketentuan di atas bermakna suggestion yaitu dalam konteks memberikan saran dan bukan suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian, tidak terpenuhinya syarat teknis seperti itu tidak dapat dijadikan alasan bahwa penyusunan suatu undang-undang mengalami cacat formil. Oleh karena itu, dalil para Pemohon berkenaan dengan UU 3/2020 seharusnya dibuat dalam bentuk undang-undang penggantian, bukan undang-undang perubahan adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil lain dan hal-hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut, serta dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Herifuddin Daulay (Guru Honorer) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a dan Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006

Alinea I Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dan UU 12/2006 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon terkait dengan adanya permohonan pengujian norma yang sama yaitu Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 pada perkara pengujian undang-undang yang telah diputus oleh Mahkamah berkenaan dengan keterpenuhan syarat Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021) yang masing-masing menyatakan:
Pasal 60 UU MK:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.1] Bahwa terhadap Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 sudah pernah diajukan pengujiannya dan telah diputus oleh Mahkamah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Mei 2018, yang masing-masing pada pokoknya:
1. Bahwa dalam Permohonan Nomor 33/PUU-XVI/2018, Pemohon mengajukan pengujian Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 dengan dasar pengujian Pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Pemohon dalam petitumnya meminta agar frasa “bakal Pasangan Calon” dalam Pasal 227 UU 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “masing-masing bakal calon telah mendapatkan restu dari 50%+1 anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia” dan menyatakan Pasal 229 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “surat restu dari 50%+1 anggota Dewan Perwakilan Daerah hasil sidang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap masing-masing bakal calon”.
2. Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, yaitu perkara Nomor 50/PUUXIX/2021, Pemohon mengajukan Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 dengan dasar pengujiannya Alinea I Pembukaan UUD 1945, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan juga ketentuan yang terdapat dalam Pasal 169 huruf b UU 7/2017 dan Pasal 2 serta Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006. Pemohon dalam petitumnya meminta agar frasa “Warga negara Indonesia” dalam Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Warga Negara Indonesia Berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” dan Pasal 2 UU 12/2006 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Warga Negara Indonesia yang kelahiran sukunya berasal dari teritori Nusantara”.
[3.10.2] Bahwa setelah mencermati permohonan Pemohon a quo, dan permohonan pada perkara sebelumnya, Mahkamah berpendapat adalah benar ada perbedaan tentang dasar pengujian maupun alasan permohonan a quo dalam mengajukan pengujian Pasal 227 dan Pasal 229 UU 7/2017 dengan permohonan Perkara Nomor 33/PUU-XVI/2018. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 sehingga dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 sebagaimana didalilkan Pemohon serta setelah membaca dan mempelajari secara saksama Permohonan Pemohon, inti persoalan permohonan a quo bertumpu pada keberatan Pemohon berkenaan dengan tidak adanya frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” pada norma-norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
[3.12] Menimbang bahwa terkait dengan keinginan Pemohon menyatakan tanpa memaknai/menambahkan frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” dimaksud, Mahkamah perlu mengemukakan beberapa hal berikut:
[3.12.1] Bahwa merujuk sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia, frasa “berkebangsaan Indonesia Asli Nusantara” yang dimohonkan oleh Pemohon sangat terkait dengan frasa “orang Indonesia Asli” sebagai persyaratan konstitusional yang harus dipenuhi oleh seorang Presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan masalah kewarganegaraan dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan konstitusi 1999-2002;
[3.12.2] Bahwa berkenaan dengan persyaratan dimaksud, setelah menelusuri Risalah Pembahasan UUD 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para Pendiri Negara berupaya mencarikan jalan keluar perihal siapa yang akan menjadi warga negara Indonesia setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan sebagai sebuah negara merdeka. Rancangan awal UUD 1945 menentukan bahwa warga negara akan diberikan kepada “orang-orang bangsa Indonesia asli”. Dalam sidang BPUPK, terdapat pandangan yang sama bahwa orang-orang peranakan harus diakomodasi menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Karena itu, muncul usulan agar ketentuan mengenai kewarganegaraan cukup memuat frasa “orang-orang bangsa Indonesia” tanpa menggunakan kata “asli”. Namun sebelum menjadi norma Konstitusi, salah seorang Pendiri Negara, yaitu Soepomo mengingatkan akan terdapat masalah yuridis dalam hukum internasional apabila orang-orang peranakan langsung memperoleh status warga negara Indonesia. Sebab pada saat itu, di antara orang-orang peranakan masih ada yang mempunyai status sebagai warga negara lain sesuai Nederlandsch Onderdaan. Dengan demikian, Soepomo ingin mencegah agar tidak terjadi permasalahan dubbele nationaliteit di kemudian hari (AB Kusuma 2004: 388). Karena itu, Soepomo mengusulkan orang-orang yang untuk pertama kalinya dapat langsung menjadi warga negara Indonesia adalah “mesti ada satu group yang lebih terang”. Sedangkan, peranakan lainnya secara de jure akan disahkan menjadi warga negara dengan undang-undang.
[3.12.3] Bahwa setelah catatan dan usulan yang disampaikan oleh Soepomo tersebut, akhirnya norma Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 dirumuskan menjadi, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”;
[3.12.4] Bahwa secara konstitusional, syarat “orang Indonesia asli” tersebut tidak hanya berkenaan dengan status kewarganegaraan sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tetapi juga menjadi syarat sebagai Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan yang menyatakan, “Presiden ialah orang Indonesia Asli”. Adanya persyaratan “orang Indonesia asli” tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran bahwa tanpa menambah syarat tersebut terbuka kesempatan bagi orang Jepang untuk menjadi Presiden;
[3.12.5] Bahwa menelusuri perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia selanjutnya, syarat “orang Indonesia asli” untuk menjadi Presiden tersebut tidak lagi dipergunakan dalam Konsitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dalam hal ini, Pasal 69 ayat (3) KRIS 1949 menyatakan, “Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun; beliau tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam/atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih”. Sementara itu, Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden harus warga-negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak-pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih”.
[3.13] Menimbang bahwa setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang dihasilkan para Pendiri Negara, frasa “orang-orang Indonesia asli” dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tidak dilakukan perubahan. Namun demikian, syarat dimaksud telah diubah dan tidak lagi menjadi persyaratan untuk menjadi Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan. Setelah perubahan UUD 1945, norma Pasal 6 ayat (1) diubah menjadi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.
[3.14] Menimbang bahwa dengan diubahnya persyaratan untuk menjadi Presiden dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan dihapusnya frasa “orang Indonesia asli” bermakna telah terjadi perubahan fundamental mengenai syarat menjadi Presiden (termasuk Wakil Presiden) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sekalipun telah diubah tidak berarti syarat menjadi Presiden menjadi longgar karena Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan menambah syarat lain terutama “harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri”;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 justru akan bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945, serta semangat perlindungan dalam Pasal 28B ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf b, Pasal 227 huruf a, Pasal 229 ayat (1) huruf g UU 7/2017 serta Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU 12/2006 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Lee Yang Hun yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Sunggul Hamonangan Sirait, dkk, para Advokat pada kantor SHS Law Office, dan untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 76 KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 mengandung asas ne bis in idem, yang merupakan asas universal dan berlaku pada setiap sistem hukum termasuk di Indonesia. Dalam hukum Perdata asas ne bis in idem dapat dikenal dengan sebutan res judicata atau exceptie van gewijsde zaak yang pada intinya adalah pada perkara dengan objek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan dan diadili kembali untuk kedua kalinya. Dasar filosofi asas ne bis in idem adalah salah satunya untuk menghindari rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan juga untuk menjaga kepastian hukum. Dengan demikian, berdasarkan filosofi asas ne bis in idem, dalam lingkup hukum pidana asas tersebut untuk memberi kepastian hukum kepada terdakwa yang diputus dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tidak dapat didakwakan dengan substansi perbuatan pidana yang sama baik locus maupun tempus-nya.

[3.11] Menimbang bahwa substansi ketentuan norma Pasal 76 KUHP maupun Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 mengatur terkait dengan perkara pidana yang diputus oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat diadili kembali untuk kedua kalinya. Hal itu berarti bahwa terhadap perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut sudah tidak dapat dilakukan lagi upaya hukum (banding dan kasasi atau peninjauan kembali) yang mengubah putusan pengadilan dimaksud dan membawa kosekuensi hukum terhadap terdakwa tidak dapat dituntut untuk perkara yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, ketika putusan pengadilan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka terhadap terdakwa tersebut terbuka kemungkinan atau berpotensi untuk dilaporkan, dijadikan tersangka dan didakwa kembali oleh aparat penegak hukum dalam perkara yang berbeda ataupun perkara yang sama, meskipun untuk kepastian ada atau tidaknya pelanggaran asas ne bis in idem baru akan diketahui setelah adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bahwa apabila dikaitkan dengan kasus Pemohon a quo, sesuai bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, maka tanpa bermaksud menilai dan mengaitkan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, telah ternyata Mahkamah tidak menemukan bukti, bahwa terhadap Pemohon perkaranya telah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebab, berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan Mahkamah tidak menemukan satu pun alat bukti yang membuktikan bahwa perkara yang dialami oleh Pemohon sudah memiliki putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Karena dari bukti-bukti yang diajukan dipersidangan, khususnya pengakuan Pemohon sendiri dalam permohonannya telah ternyata perkara yang dialami Pemohon telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kota Bekasi Nomor 583/Pid.B/2020/PN.Bks. tanggal 12 April 2021 yang saat ini masih diajukan upaya hukum kasasi. Sementara itu terhadap perkara kedua yang didalilkan oleh Pemohon sebagai perkara yang sama dengan Perkara Nomor Register 583/Pid.B/2020/ PN.Bks, juga ternyata saat ini sedang memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi (vide risalah sidang Perkara Nomor 31/PUU-XIX/2021, tanggal 22 Juli 2021). Oleh karena itu, sesungguhnya terhadap dua perkara tersebut belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan uraian pertimbangan fakta hukum demikian sulit bagi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitas norma pasal yang dilakukan pengujian oleh Pemohon benar ada relevansinya dengan dalil Pemohon, norma a quo telah mengandung adanya ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, perkara Pemohon tidak dapat diterapkan atau diberlakukan terhadap Pasal 76 KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999. Namun demikian, persoalan yang harus ditegaskan oleh Mahkamah selanjutnya adalah apakah frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat di dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberi jaminan hak kepada setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Oleh karena itu, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum juga terdapat dalam norma Pasal 76 KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999. Sebab, dengan adanya frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat di dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat di dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 justru memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada seseorang yang menjadi terdakwa untuk tidak dituntut kedua kalinya terhadap dugaan peristiwa pidana yang tempus delicti, locus delicti dan substansi perbuatan pidana yang didakwakan sama, karena telah adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum lagi untuk diubahnya.

[3.12] Menimbang bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, apabila argumentasi Pemohon yang didalilkan diikuti oleh Mahkamah, yaitu dengan menyatakan frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi terdakwa. Sebab, ketika perkara telah diputus dan putusan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap maka apabila terdakwa kemudian dilaporkan, ditersangkakan dan diterdakwakan kembali dengan tempus delicti, locus delicti, dengan substansi perbuatan pidana yang diduga sama, hal tersebut jelas melanggar hak konstitusional setiap orang yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas maka hal yang terjadi pada Pemohon menurut Mahkamah, bukan persoalan konstitusionalitas norma yang berkenaan dengan frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999, melainkan jikalaupun hal tersebut benar terjadi tindakan demikian adalah merupakan hal yang berkaitan dengan penerapan hukum yang bisa saja terjadi dalam konteks implementasi sebuah norma. Pertimbangan Mahkamah a quo, sekaligus untuk menjawab dalil Pemohon yang berpendapat tindakan penegak hukum yang menjadikan Pemohon sebagai tersangka untuk kedua kalinya dengan substansi perbuatan pidana yang sama, baik tempus delicti maupun locus delicti serta pelapor yang sama adalah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak relevan dengan konstitusionalitas norma a quo.

[3.14] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon selebihnya yaitu berkaitan dengan frasa a quo memberikan peluang kepada penyidik untuk “memutilasi” pasal-pasal yang menjadi dasar pelaporan oleh pelapor dan hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 63 ayat (1) KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 65 ayat (2) KUHP, menurut Mahkamah, hal itupun juga tidak berkaitan dengan konstitusionalitas frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999. Sebab, jika yang diasumsikan Pemohon tersebut benar, di samping hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya, juga bila ada pertentangannya dengan norma Pasal 63 ayat (1) KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 65 ayat (2) KUHP, maka apabila yang didalilkan oleh Pemohon dimaksud benar, hal tersebut dapat dilakukan pengujian tersendiri sepanjang ditemukan adanya alasan tidak harmonisnya antara undang-undang satu dengan yang lainnya dan Pemohon dapat mendalilkan adanya pertentangan dengan UUD 1945.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, frasa “dengan putusan yang menjadi tetap“ yang termuat dalam norma Pasal 76 ayat (1) KUHP dan frasa “bila putusan menjadi tetap” yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) KUHP, serta frasa “putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap“ yang termuat dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 14 ayat (1) huruf i dan Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995

Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 12/1995 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 dan Penjelasannya bersifat multitafsir dan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap narapidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Terhadap konstitusionalitas norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 pada Sub-paragraf [3.8.5] dan Sub-paragraf [3.8.7], sebagai berikut:
[3.8.5] Bahwa apabila dibaca dan ditelaah ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995, hak-hak narapidana sebagaimana termaktub di dalam huruf a sampai dengan huruf m termasuk hak atas remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat- syarat tertentu. Dengan demikian, berarti, hak-hak tersebut, termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights). Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi (human rights) pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan diatur dengan undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, dikaitkan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa norma a quo diskriminatif, Mahkamah telah berulang kali mengemukakan bahwa suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminatif apabila norma undang-undang tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya [vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia]. Hal demikian sama sekali tidak terkandung dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995.
[3.8.7] Bahwa rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995, secara khusus Pasal 14 ayat (1) huruf i, telah sangat jelas sebab isinya hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo, lebih-lebih untuk ditafsirkan atau didalilkan diskriminatif. Secara teknik perundang-undangan, Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 telah memenuhi asas kejelasan rumusan maupun asas kejelasan tujuan. Dikatakan demikian, sebab, norma a quo secara jelas memerinci hak-hak apa saja yang dapat diberikan kepada narapidana sesuai dengan filosofi pemasyarakatan yang dianut oleh undang-undang a quo.
Pendapat Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 pada Sub-paragraf [3.12.1], sebagai berikut:
Lebih lanjut, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 pada sub-paragraf [3.8.5] di atas, telah pula ditegaskan bahwa remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Artinya, remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian jelas bahwa pembatasan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang narapidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat dan memperoleh remisi untuk narapidana tidaklah melanggar hak narapidana. Namun dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa penilaian atas syarat-syarat untuk memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat untuk narapidana dimulai sejak narapidana yang bersangkutan memperoleh status sebagai narapidana dan menjalani masa pidana.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU 12/1995 tidak bersifat diskriminatif karena hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana, termasuk hak untuk mendapatkan remisi (huruf i), tanpa disertai kondisi atau persyaratan terpenuhinya hak tersebut. Pengaturan mengenai hak narapidana merupakan bentuk kehadiran negara dalam upaya untuk melindungi warga negaranya sekalipun berstatus sebagai narapidana. Artinya, negara bersikap pro-aktif untuk memberikan kebebasan dan keistimewaan tertentu yang ditetapkan dan ditegakkan oleh seperangkat aturan hukum. Kebebasan atau keistimewaan demikian tidak bersifat mendasar (asasi) dan berada di luar dari hak warga negara yang telah ditentukan dalam konstitusi. Oleh karenanya, pengaturan mengenai subjek, objek, persyaratan hingga perubahan dan pencabutan terhadapnya ditentukan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, pemberian hak hukum (legal rights) kepada sebagian kelompok masyarakat, secara logis dapat dinilai diskriminatif dari kacamata orang lain yang tidak memperoleh hak tersebut, sedangkan bagi si penerima (subjek) hak, penilaian mengenai timbulnya diskriminasi adalah ketika terdapat materi norma yang menentukan kondisi dan persyaratan tertentu atau dalam implementasi norma tersebut yaitu terkait dengan pemenuhan hak yang telah diberikan. Oleh karena Pemohon dalam hal ini merupakan subjek hak, in casu hak remisi, maka rumusan norma yang isinya hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana (termasuk Pemohon) menurut Mahkamah tidak mungkin ditafsirkan lain selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo. Dengan demikian, Mahkamah kembali menegaskan bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 tidak bersifat multitafsir dan diskriminatif sehingga dalil Pemohon yang menyatakan norma a quo bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.14] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 bersifat multitafsir dan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap narapidana sehingga bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 hanya memuat tafsir resmi atas norma yang diatur dalam batang tubuh dan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh. Penjelasan a quo lebih menegaskan bahwa (hak) remisi dapat diberikan setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, karena pada saat UU 12/1995 ditetapkan, telah berlaku terlebih dahulu setidaknya 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang lebih teknis mengatur mengenai remisi di Indonesia, yaitu Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 tentang Ampunan Istimewa dan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjadi Donor Organ Tubuh Dan Donor Darah. Oleh karena itu, uraian lebih lanjut mengenai pemberian hak remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 adalah merujuk pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih teknis mengatur mengenai remisi yang juga masih berlaku setelah diundangkannya UU 12/1995. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan bahwa akibat dari berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 yang bersifat multitafsir telah membuka ruang adanya campur tangan pihak lain dalam penentuan pemberian (hak) remisi bagi narapidana yang lebih ketat dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, permasalahan demikian bukanlah dikarenakan inkonstitusionalnya norma dalam UU 12/1995 yang dimohonkan pengujian, melainkan merupakan persoalan implementasi norma yang dialami oleh Pemohon, yaitu terkait dengan mekanisme pemberian remisi sebagaimana diatur dalam UU 12/1995 yang dikaitkan dengan salah satu peraturan pemerintah yang mensyaratkan bahwa setiap narapidana tindak pidana korupsi harus mendapatkan predikat sebagai justice collaborator untuk mendapatkan hak remisi. Terhadap hal demikian, Mahkamah perlu mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 pada Sub-paragraf [3.8.6], sebagai berikut:
[3.8.6] Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang a quo, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Kemudian PP a quo direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Secara substansial berkenaan dengan remisi Pemerintah menunjukkan kecenderungan untuk memperketat syarat pemberian remisi terhadap tindak pidana atau kejahatan khusus, termasuk korupsi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, Pemerintah berwenang untuk mengatur syarat pemberian remisi tersebut.
Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana telah dikutip di atas, telah jelas bahwa Pemerintah diberikan wewenang secara delegasi oleh Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995 untuk mengatur lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Pertanyaan kemudian adalah, apa saja pedoman atau batasan bagi Pemerintah dalam menyusun substansi norma peraturan pelaksana tersebut. Karena setelah Mahkamah mencermati beberapa permohonan yang pernah diajukan ke Mahkamah terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma yang berkenaan dengan hak-hak narapidana, khususnya dalam hal ini adalah hak remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi, selalu mempermasalahkan adanya perlakuan diskriminasi dan melanggar hak-hak narapidana dalam pelaksanaan pemberian remisi yang diatur dalam peraturan pelaksananya dan bukan pada undang-undang induknya. Oleh karena itu, Mahkamah sebagai pelindung hak konstitusional warga negara sekaligus pengawal demokrasi juga memiliki tanggung jawab untuk memperkuat hak dan kewajiban dalam hukum publik yang demokratis sehingga meskipun permasalahan yang dialami dan didalilkan oleh Pemohon merupakan implementasi norma yang bukan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya, Mahkamah memandang perlu menyampaikan pertimbangan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, telah berkembang pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar memenjarakan pelaku tindak pidana agar pelakunya jera, akan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Perkembangan pemidanaan ini sejalan dengan model hukum yang dikenal dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki). Narapidana bukan saja sebagai objek, melainkan juga merupakan subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan warga binaan agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai [vide Penjelasan Umum UU 12/1995]. Oleh karena itu, sistem pemasyarakatan yang diselenggarakan harus dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak warga binaan serta meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, tidak sekedar mendasarkan pada konsep penjeraan dan pembalasan;
[3.15.2] Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan dan arah perkembangannya tersebut di atas, maka substansi rumusan norma yang terdapat pada peraturan pelaksana dari UU 12/1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang mengakomodir dan memperkuat pelaksanaan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan. Penegasan mengenai hak warga binaan dalam sistem pemasyarakatan ini sangat penting, karena menurut Mahkamah, penahanan atas diri pelaku tindak pidana, termasuk dalam hal ini menempatkan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan sekalipun, pada dasarnya merupakan perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karenanya, selama menjalani penahanan seseorang tersebut harus tetap diberikan hak-hak yang bersifat mendasar dengan prinsip satu-satunya hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas sebagaimana halnya orang lain yang tidak sedang menjalani pidana. Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights) sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.13] di atas. Namun, persyaratan yang ditentukan tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan, selain juga harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas yang juga menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/1995. Sebab, pada dasarnya segala fakta dan peristiwa hukum yang terjadi berkaitan dengan suatu tindak pidana yang disangkakan maupun didakwakan kepada seseorang harus diperiksa di persidangan untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan. Termasuk misalnya terdakwa yang dinilai tidak mau mengakui perbuatannya maupun tidak secara jujur mengakui keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana yang dimaksud, tentu akan menjadi salah satu hal yang memberatkan hukuman pidana. Oleh karenanya, sampai pada titik tersebut segala kewenangan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan, sehingga hal-hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi bagi narapidana. Terlebih, kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak-belakang dengan semangat pembinaan warga binaan. Artinya, lembaga pemasyarakatan di dalam memberikan penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan hak remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan, dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, apapun jenis tindak pidana yang dilakukan seorang terdakwa maupun hal-hal yang meliputi dengan perbuatan yang dilakukan, seharusnya sudah selesai ketika secara komprehensif telah dipertimbangkan secara hukum dalam putusan pengadilan yang berakhir pada jenis dan masa pidana yang dijatuhkan (strafmaat) oleh hakim. Selanjutnya, bagi seorang terdakwa yang telah menerima jenis dan masa pidana tersebut yang berakibat putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap maka bagi terpidana yang menjalani pidana sebagai warga binaan akan memasuki babak kehidupan baru untuk menjalani pidana dalam rangka proses untuk dikembalikan di tengah masyarakat dengan hak-haknya yang harus dipenuhi tanpa ada pengecualian, sepanjang syarat-syarat pokok sebagaimana ditentukan dalam UU 12/1995 terpenuhi. Dalam konteks penjelasan suatu norma, penjelasan sebuah undang-undang juga tidak boleh menambahkan norma baru, apalagi menambah persyaratan yang tidak sejalan dengan norma pokok yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-III/2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 serta angka 176 dan angka 177 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan];
[3.15.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995, Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana putusan-putusan sebelumnya. Namun, berkaitan dengan penegasan Mahkamah pada pertimbangan hukum sebelumnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi di dalam melindungi hak konstitusional dan demokrasi warga negara, meskipun segala hal yang berkaitan dengan pertimbangan hukum di atas merupakan ranah implementasi norma yang bukan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 terhadap Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 dan Penjelasannya, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB, yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Janses E. Sihaloho, S.H., dkk., advokat dan konsultan hukum pada Sihaloho & Co. Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 77 huruf c dan d UU 19/2003

Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 19/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama dalil-dalil Pemohon, inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan: benarkah jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan negara kehilangan “hak menguasai negara”. Dalam hal ini, ketiadaan larangan tersebut menyebabkan negara menjadi kehilangan hak menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap dalil pokok/inti permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah telah memutus dalam putusan-putusan sebelumnya terkait dengan sumber daya alam, yaitu dalam Pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Mineral dan Batubara, UU tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU tentang Sumber Daya Air. Kesemua pengujian tersebut telah menafsirkan frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara”, frasa “dikuasai negara”, dan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang mana oleh Pemohon dijadikan dasar pengujian dalam permohonannya. Selanjutnya, dalam mempertimbangkan permohonan a quo Mahkamah perlu mencermati kembali putusan Mahkamah sebelumnya yang terkait dengan isu konstitusional dalam permohonan Pemohon a quo.
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, bertanggal 15 Desember 2004. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi makna pada frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara”, yaitu:
“Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak…;
Bahwa dalam Putusan ini, Mahkamah membuat 3 (tiga) kategorisasi cabang produksi” yang harus dikuasai oleh negara, yaitu, pertama, cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua, cabang produksi yang penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga, cabang produksi yang tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga kategorisasi cabang produksi inilah yang kesemuanya harus dikuasai oleh negara. Akan tetapi, Mahkamah menyerahkan kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai manakah cabang produksi yang masuk ke dalam 3 (tiga) kategorisasi cabang produksi yang penting bagi negara sehingga harus semuanya dikuasai oleh negara. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga kategorisasi cabang produksi inilah yang kesemuanya harus dikuasai oleh negara.
Sementara itu frasa “dikuasai oleh negara” memiliki makna sebagai berikut:
“…perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertanggal 21 Desember 2004. Dalam putusan a quo terkait pengujian Undang-Undang Migas, Mahkamah kembali menafsirkan frasa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” dan frasa “dikuasai oleh negara”. Namun, karakteristik pengelolaan ketenagalistrikan berbeda dengan pengelolaan minyak dan gas bumi seperti yang dikemukakan di atas. Menurut Mahkamah, pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai berikut:
“…jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dalam putusan ini pula Mahkamah memaknai Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yakni:
“…untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak ide privatisasi dan juga tidak menolak ide kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara. Kepemilikan privat dalam badan usaha juga bersifat relatif dan negara c.q. pemerintah tidak harus memiliki saham 100%. Dengan perkataan lain, apabila pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, maka sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bertanggal 16 Juni 2011. Dalam Putusan a quo Mahkamah mempertimbangkan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam Putusan a quo, Mahkamah berpendapat penguasaan oleh negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur, membuat kebijakan, mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan ukuran konstitusional yaitu “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 a quo, kebebasan negara untuk mengatur dan membuat kebijakan atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dibatasi dengan prinsip “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
“Menurut Mahkamah untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu.”

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertanggal 13 November 2012. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberikan makna yang lebih mendalam terkait Pasal 33 UUD 1945. Hal inilah yang membedakan putusan ini dengan putusan-putusan sebelumnya. Dalam putusan ini Mahkamah memaknai frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
“...dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” (vide paragraf [3.15.4] hal. 158 putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010). Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak tepat. Artinya, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”;
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka frasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dari frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sehingga kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Karena boleh jadi negara menguasai sumber daya alam, dalam hal ini minyak dan gas bumi, tetapi tidak mendatangkan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebab negara mengalami keterbatasan dalam mengelolanya. Oleh karena itu, hak menguasai negara harus mempertimbangkan betul makna dan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam putusan ini pula Mahkamah memaknai peringkat hak menguasai negara. Peringkat pertama adalah negara melakukan penguasaan secara langsung atas sumber daya alam. Kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan, ketiga, negara melakukan fungsi pengaturan dan pengawasan. Berikut pendapat Mahkamah selengkapnya.
“Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945 seperti diungkapkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding leaders Indonesia yang mengemukakan, “... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah... Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”... (Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 202 s.d. 203, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa pemberian kesempatan kepada asing karena kondisi negara/pemerintah belum mampu dan hal tersebut bersifat sementara. Idealnya, negara yang sepenuhnya mengelola sumber daya alam;
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bertanggal 18 Februari 2015. Dalam putusan a quo, Mahkamah menyatakan pengelolaan atas sumber daya air berdasarkan sifat dan karakteristik yang khas, karena terdapat sisi hak asasi atas air (right to water) yang sangat mendasar dalam pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan yang ketat untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa. Pendapat Mahkamah dalam Putusan a quo pada pokoknya sebagai berikut:
“…air adalah salah satu unsur yang sangat penting dan mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia atau menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia yang menguasai hajat hidup orang banyak, air haruslah dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam pengusahaan air harus ada pembatasan yang sangat ketat sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa [vide Pasal 33 ayat (4) UUD 1945];
[3.19] Menimbang bahwa pembatasan pertama adalah setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
[3.20] Menimbang sebagai pembatasan kedua adalah bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebagaimana dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri maka Pasal 28I ayat (4) menentukan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
[3.21] Menimbang bahwa sebagai pembatasan ketiga, harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
[3.22] Menimbang bahwa pembatasan keempat adalah bahwa sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
[3.23] Menimbang bahwa pembatasan kelima adalah sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah;
[3.24] Menimbang bahwa apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat;
Kelima batasan pengelolaan SDA tersebut mengindikasikan pengelolaan SDA bersifat mutlak diselenggarakan oleh negara, sedangkan swasta hanya mendapatkan peran sisa (residu) tatkala pengusahaan atas air yang dilakukan oleh BUMN/BUMD sebagai perusahaan prioritas yang diberi amanat untuk melakukan pengusahaan atas air oleh negara, tidak dapat melakukan fungsinya tersebut.

Berdasarkan uraian di atas pertimbangan tentang pengelolaan sumber daya alam, sebagai implementasi atas prinsip hak dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan dimaknai oleh Mahkamah sebagai kekuasaan untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudenaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat antar-tiap jenis pengelolaan sumber daya alam memiliki karakteristik berbeda yang disesuaikan dengan sifat yang khas dari sumber daya alam dimaksud. Namun demikian, syarat absolut yang harus dipenuhi dan harus diperhatikan oleh negara dalam pengelolaan semua jenis sumber daya alam adalah pengelolaan harus dilakukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh negara apakah sudah dilakukan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat atau belum. Dalam menjelaskan perihal fungsi pengelolaan (beheersdaad), Mahkamah mempertimbangkan, “…dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, melalui negara, cq. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon memberikan gambaran perihal stuktur perusahaan PT Pertamina dan sub holding/holding company/anak perusahaan yang dikembangkan dalam rangka peningkatan pendapatan perusahaan serta adanya dorongan dari Menteri BUMN untuk menyegerakan anak perusahaan BUMN melakukan initial public offering (IPO) sebagai salah satu bentuk privatisasi, merupakan penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Dalam hal ini, sebagaimana telah berkali-kali ditegaskan Mahkamah, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, privatisasi tidak perlu dikhawatirkan sepanjang bertahan dengan prinsip “tidak menyebabkan hilangnya penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih lagi, anak perusahaan yang berada di bawah persero yang dikelola BUMN akan tetap berada di “bawah kendali” persero BUMN yang terikat dengan prinsip “privatisasi tidak meniadakan penguasaan negara”, salah satunya dengan cara pengaturan penjualan saham yang tetap dapat mempertahankan prinsip penguasaan oleh negara.
Bahwa jikalau diletakkan dalam konteks permohonan a quo, privatisasi dapat dimaknai, BUMN merupakan badan usaha yang modalnya sebagian besar adalah berasal dari keuangan negara. Dalam hal BUMN melakukan privatisasi, modal yang berasal dari perusahaan induk untuk membentuk anak perusahaan tidaklah serta-merta dapat dianggap sebagai keuangan negara karena berasal dari portofolio keuangan yang terpisah. Dengan demikian, anak perusahaan yang dibentuk oleh perusahaan BUMN tidak dapat dikatakan sebagai BUMN karena modalnya tidak berasal dari keuangan negara namun dari keuangan perusahaan induk yang pengelolaannya terpisah dari keuangan negara yang ditempatkan pada BUMN perusahaan induk.
Bahwa berkenaan dengan anak perusahaan BUMN yang sejatinya bukanlah BUMN, tanpa dilakukan privatisasi pun dengan sendirinya bentuk usahanya yang dikelola menggunakan prinsip business judgement rules. Terhadap anak perusahaan BUMN yang jenis usahanya strategis, privatisasi tidak dilarang namun perlu dikendalikan dan dilakukan pengawasan/kontrol dari negara. Bentuk pengendalian oleh negara dapat dilaksanakan di antaranya dengan tidak membuka peluang untuk penjualan saham secara keseluruhan kepada publik dalam IPO. Fungsi kontrol tetap dapat dilakukan dengan adanya kepemilikan saham mayoritas dari perusahaan induk (BUMN) dapat menjaga agar tetap dimilikinya voting control (kontrol atas suara terbanyak karena kepemilikan saham mayoritas) dalam menghasilkan keputusan-keputusan dan kebijakan terkait pengelolaan perusahaan. Hal ini dapat menjadi perwujudan peran negara dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan BUMN.
Bahwa menurut Mahkamah kekhawatiran Pemohon dengan adanya privatisasi anak perusahaan menyebabkan norma Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berorientasi untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang atau berkurang karena dikaitkan dengan holding. Dalam hal ada “holdingisasi” di antara BUMN dan anak perusahaan BUMN, maka hal ini tidak dapat dikatakan antara induk dengan anak atau antara anak dengan anak perusahaan menjadi terpisah-pisah dan bahkan saling bersaing dalam menjalankan kegiatan bisnis. Sekalipun misalnya kemudian sebagian saham pada anak perusahaan dialihkan ke pihak swasta sehingga saham pada BUMN induk menjadi berkurang, tetapi negara selalu bisa menggunakan hak kepemilikan saham yang disebut sebagai golden share. Adapun golden share ini dapat menentukan bahwa negara atau induk perusahaan BUMN mempunyai hak veto untuk tujuan mengamankan posisi negara dalam mengendalikan anak perusahaan BUMN agar tidak menyimpang dari tujuan usaha demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di sisi lain, dalam hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal yang tidak dapat dihindarkan akan terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan, dan efisiensi yang pada praktiknya telah banyak dijalankan.
Bahwa kebijakan politik hukum pemerintah yang saat ini dilakukan, meskipun nantinya akan ada saham swasta dalam anak perusahaan BUMN, anak perusahaan BUMN tersebut masih dalam penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tanpa bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana, prinsip tersebut telah diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) dan ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa (saham dwiwarna/golden share) dalam anak perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN tersebut tetap diperlakukan sama dengan BUMN agar mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum.

[3.14] Menimbang bahwa kekhawatiran lain Pemohon mengenai ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan status karyawan dari perusahaan dan anak perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi tentunya menjadi sesuatu yang harus mendapat perhatian. Namun demikian, sebagai salah satu aset penting yang dimiliki perusahaan, meskipun privatisasi salah satunya bertujuan untuk melakukan efisiensi, sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan privatisasi sejauh mungkin perlu diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (vide Penjelasan Pasal 74 UU 19/2003). Apabila dalam penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN harus terjadi PHK maka hal itu merupakan upaya terakhir, dan harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Bahwa hal tersebut sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, dalam hal ini berkaitan dengan PHK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2012 bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai
upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya lain dalam rangka efisiensi tersebut. Selain itu Mahkamah dalam putusan a quo juga menegaskan bahwa pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.
Bahwa mengenai status karyawan BUMN, Pasal 87 ayat (1) UU 19/2003 telah menentukan bahwa karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian, hal ini berkaitan erat dengan perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja bersama dimaksud dibuat antara pekerja dengan pemberi kerja yaitu manajemen BUMN. Oleh karenanya dalam penyusunan perjanjian kerja prinsip-prinsip hubungan kerja yang saling menguntungkan antara pemberi kerja dengan pekerja harus menjadi perhatian utama, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Demikian juga dengan status karyawan anak perusahaan BUMN yang diprivatisasi, seperti halnya karyawan BUMN keduanya sama-sama tunduk pada aturan yang ditentukan dalam UU 13/2003.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, ketiadaan larangan untuk melakukan privatisasi perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidaklah menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara. Terlebih lagi, sejumlah peraturan perundang-undangan serta putusan Mahkamah telah memberi koridor hukum bahwa langkah tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara untuk menjadi penentu utama dan pengendali kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, sejauh dan sepanjang dilakukan dalam koridor dimaksud, norma dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

Martondi, M. Gontar Lubis, dan Muhammad Yasid (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon).

Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa dalam menyusun satu permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah telah membuat pedoman yang dijadikan sebagai syarat keterpenuhan formalitas suatu permohonan. Berkenaan dengan hal dimaksud, Pasal 10 ayat (2) huruf b dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), yang antara lain menyatakan:
b. Uraian yang jelas mengenai:
1. Kewenangan Mahkamah, yang memuat uraian penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. Kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. Alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan /atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
d. Petitum, yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia; atau
4. Dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[3.3.2] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, Mahkamah mendapatkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Pendahuluan, pada 7 September 2021, dengan agenda persidangan memeriksa permohonan para Pemohon. Dalam persidangan tersebut, antara lain Mahkamah telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya terutama terkait dengan objek permohonan dan kejelasan posita serta petitum. Sesuai dengan ketentuan hukum acara, para Pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonan a quo (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021 tanggal 7 September 2021);
2. Bahwa sesuai dengan tenggang waktu tersebut di atas, para Pemohon telah memperbaiki permohonannya dengan mengubah beberapa bagian, termasuk memperbaiki objek permohonan, posita dan petitumnya. Selain termaktub dalam Perbaikan Permohonan dengan agenda sidang memeriksa perbaikan permohonan, pada 20 September 2021, para Pemohon pun menyampaikan bagian-bagian yang telah diperbaiki dimaksud (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021, 20 September 2021);
[3.3.3] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan mencermati secara saksama perbaikan permohonan, para Pemohon memohonkan pengujian Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017. Namun dalam menguraikan alasan permohonan, para Pemohon lebih banyak merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VIII/2009 dibandingkan menguraikan pertentangan norma yang diuji in casu Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 dengan norma UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian konstitusionalitasnya, yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Padahal, masalah utama yang harus diuraikan para Pemohon adalah alasan atau argumentasi hukum mengapa Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Keharusan tersebut tidak berarti para Pemohon tidak boleh mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang relevan dengan substansi permohonan. Kewajiban menjelaskan pertentangan dengan UUD 1945 tersebut diatur secara eksplisit dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b angka 3 PMK 2/2021 yang menyatakan, “Alasan permohonan, …bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945”;
[3.3.4] Bahwa selain ketidakjelasan di atas, di dalam posita permohonannya secara terang benderang para Pemohon mengakui hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah hak partai politik (vide perbaikan permohonan hlm. 14 sampai dengan hlm. 23). Namun, para Pemohon mempersoalkan mekanisme penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden oleh partai politik sebagaimana ditentukan Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan, “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan”.
[3.3.5] Bahwa selain ketidakjelasan alasan-alasan mengajukan permohonan (posita), petitum para Pemohon juga tidak jelas dan tidak lazim. Dalam hal ini, dapat ditemukan dalam Petitum Angka 2 yang berbunyi, ”Menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai Hak Konstitusi untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, termasuk rakyat warga negara Indonesia di luar rakyat warga negara Indonesia kelompok partai politik atau yang disebut sebagai Rakyat Kelompok Non Partai Politik“ tidak dijelaskan asal-muasal sampai ke petitum demikian, dan terlebih lagi tidak jelas pertentangannya dengan norma dalam UUD 1945. Begitu pula dengan Petitum Angka 3 yang berbunyi, ”Menyatakan norma Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang norma yaitu tidak mencantumkan “terbuka untuk diikuti oleh setiap Rakyat Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Undang-undang ini” para Pemohon sesungguhnya tidak jelas apa yang dimintakan kepada Mahkamah untuk mencantumkan norma baru tanpa disertai klausul ”konstitusional bersyarat”. Begitu pula petitum angka 4 yang berbunyi, “Menyempurnakan norma Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) sehingga berbunyi sebagai berikut: “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka untuk diikuti oleh setiap Rakyat Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan undang-undang ini”, juga tidak lazim. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah petitum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
[3.3.6] Bahwa oleh karena itu, dengan merujuk Pasal 10 ayat (2) huruf b dan huruf d PMK 2/2021, terdapat ketidakjelasan posita permohonan karena ketiadaan argumentasi yang memadai dari para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 serta adanya ketidaksesuaian antara posita yang satu dengan posita lainnya dan ketidaksesuaian antara alasan permohonan dengan petitum permohonan. Terlebih lagi, petitum permohonan para Pemohon tidak lazim dalam permohonan pengujian undang-undang. Terhadap hal-hal dimaksud, Mahkamah telah memberi nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, akan tetapi dalam perbaikan permohonan para Pemohon tetap dengan pendiriannya.
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon a quo adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

Hj. Nursanah, S.H., M.H., dan H. Khoerul Huda, S.T., M.M dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Zul Armain Aziz, S.H., M.H. dkk., Advokatyang tergabung pada Kantor “ZWA Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan” dalam Pasal 53 ayat (1) UU 21/2011 dan frasa “dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis” dalam Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 merupakan bentuk ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena frasa tersebut menyebabkan subjektifitas dari OJK yang dapat serta-merta melakukan abuse of power karena frasa tersebut tidak mengatur ukuran dan maksud yang jelas mengenai makna perbuatan mengabaikan, tidak memenuhi dan/atau tidak melaksanakan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa dalam rangka memenuhi prinsip negara hukum, negara mengakui dan menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam hukum pidana yang dianut di Indonesia, pengakuan dan jaminan tersebut tercermin melalui asas legalitas yang menjadi prinsip untuk membatasi kekuasaan negara dalam melindungi warga negara dari ketidakadilan atas nama penegakan hukum. Oleh karenanya, dalam merumuskan setiap perbuatan dalam hukum pidana harus memenuhi prinsip-prinsip dalam asas legalitas, yaitu harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), tidak multitafsir (lex certa), dan tidak berlaku surut (non-retroactive). Dengan demikian, rumusan norma pasal atau ayat yang memuat ketentuan pidana tidak boleh bersifat multitafsir, karena norma yang multitafsir selain dapat digunakan untuk menjerat siapapun yang melakukan suatu perbuatan pidana, juga potensial untuk disalahgunakan sehingga sangat berpotensi melanggar hak konstitusional warga untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan atas kepastian hukum yang adil;

[3.11.2] Bahwa Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 merupakan ketentuan pidana yang dirumuskan untuk menjamin dilaksanakannya wewenang OJK yang diberikan oleh undang-undang dalam rangka fungsi pengawasan OJK terhadap kegiatan jasa keuangan. Apabila diuraikan unsur perbuatan kesengajaan (opzet) yang terdapat dalam norma kedua pasal a quo adalah mengabaikan, tidak memenuhi, menghambat, serta tidak melaksanakan. Terdapat perbedaan di antara keempat bentuk perbuatan yang dilarang dalam norma a quo, yaitu dalam perbuatan mengabaikan, tidak memenuhi, dan tidak melaksanakan, pelaku telah melakukan perbuatan tertentu untuk tidak mengindahkan pelaksanaan kewenangan OJK. Sedangkan, dalam perbuatan menghambat, pelaku telah melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan agar proses pelaksanaan kewenangan OJK yang sedang berlangsung terhalang untuk dilaksanakan. Rumusan kedua norma yang dimohonkan pengujian a quo merupakan kategori delik formil yang menekankan pada perbuatan yang dilarang, sehingga suatu delik dianggap telah selesai meskipun pelakunya belum menyelesaikan perbuatan yang dilarang tersebut atau belum menimbulkan sesuatu akibat. Di sini nampak kehendak pembentuk undang-undang adalah untuk memastikan kewenangan OJK dapat dilaksanakan dan mencegah timbulnya gangguan atau tidak terlaksananya kewenangan tersebut yang muncul dari suatu perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, perumusan perbuatan yang dilarang tersebut tanpa perlu menitikberatkan pada akibat dari perbuatan sebagaimana halnya delik materiil;

[3.11.3] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, para Pemohon mendalilkan bentuk perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 a quo dikecualikan terhadap perbuatan dalam bentuk ucapan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah daya jangkau atau cakupan dari perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya, karena dalil para Pemohon a quo sudah merupakan implementasi norma. Sebagai contoh, perbuatan menghambat dapat diaktualisasikan melalui berbagai tindakan, misalnya menyembunyikan atau melenyapkan suatu dokumen atau keterangan, menghalang-halangi, mengulur-ulur waktu, hingga mengeluarkan ucapan yang bersifat memengaruhi, memprovokasi atau mengarahkan agar orang lain melakukan suatu perbuatan untuk menghambat pelaksanaan wewenang OJK sesuai dengan ketentuan Pasal 9 UU 21/2011. Namun demikian, penegakan hukum atas kedua norma pasal a quo harus dilakukan secara hati-hati dan tetap melindungi kepentingan hukum pelaku karena tidak menutup kemungkinan perbuatan pelaku tidak bertentangan dengan hukum sehingga pelaku perlu membuktikan bahwa perbuatannya adalah tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Jaminan perlindungan atas kepentingan hukum seseorang yang sedang menjalani proses pidana, mulai dari tahap penyelidikan hingga di pengadilan telah diatur dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan mulai dari Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, faktor penegakan hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Posisi penyidik, penuntut umum dan hakim serta advokat menjadi sentral dalam menyeimbangkan antara perlindungan atas kepentingan umum yang hendak dilindungi dari perbuatan yang dilarang dalam norma pidana dengan kepentingan individu pelaku. Sementara itu, terhadap kekhawatiran para Pemohon yang mengaitkan dalilnya dengan kewenangan OJK yang menurut para Pemohon dapat menimbulkan abuse of power, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali pertimbangan hukum dalam Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVI/2018 bertanggal 18 Desember 2019 yang telah mempertimbangkan kewenangan OJK dalam melakukan penyidikan tindak pidana sektor jasa keuangan agar tidak menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan (abuse of power), sebagai berikut:
“[3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata-mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas-batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.”
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah sebagaimana telah dikutip di atas, kewenangan OJK dalam melakukan proses penyidikan harus berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Hal demikian selain untuk menghindari potensi timbulnya kesewenang-wenangan dan tumpang tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu, yang lebih penting menurut Mahkamah adalah terwujudnya perlindungan dan jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, sekalipun ia dalam posisi sebagai tersangka. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

[3.12] Menimbang bahwa para Pemohon dalam menguraikan alasan permohonannya juga mempertanyakan apabila suatu korporasi dianggap tidak melaksanakan kewenangan OJK berdasarkan Pasal 9 huruf d dan/atau huruf f UU 21/2011, apakah kedua pasal yang dimohonkan pengujian konstitusonalitasnya tersebut juga dapat dikenakan kepada korporasi? Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah penggunaan frasa “setiap orang” baik dalam Pasal 53 ayat (1) maupun Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 menunjukkan bahwa addressaat norm dari kedua ketentuan pidana tersebut adalah meliputi orang perseorangan (natural person) atau korporasi [vide Pasal 1 angka 24 UU 21/2011]. Hal demikian juga telah sesuai dengan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang memberikan pedoman perumusan ketentuan pidana yaitu apabila ketentuan pidana berlaku bagi siapapun (baik natural maupun legal person) maka subyek hukum dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang, namun apabila ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, maka subjek tersebut dirumuskan secara tegas, misalnya orang asing, pegawai negeri, saksi [vide angka 119 dan angka 120 Lampiran II UU 12/2011]. Terlebih lagi, Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (2) UU 21/2011 juga telah menentukan secara spesifik bahwa korporasi juga dapat dipidana karena melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011. Oleh sebab itu, dalam hal pertanggungjawaban pidana diberlakukan bagi korporasi, menurut Mahkamah, secara universal hanya dapat dilakukan apabila terdapat kaitan erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di dalam suatu korporasi dengan tindak pidana yang terjadi. Artinya, terdapat unsur kesalahan korporasi jika terpenuhi syarat: (i) korporasi tidak menjadikan dapat dihindarinya tindak pidana sebagai bagian kebijakan menjalankan kegiatan/usahanya (standard of care); (ii) korporasi tidak memiliki kebijakan yang harus dipedomani “pengurus”, “pegawai” atau “orang-orang yang dapat dipersamakan dengan hal itu” dalam melaksanakan kegiatan untuk dan atas nama korporasi (strandard operating procedure); dan (iii) korporasi dalam kenyataanya kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tingkat pengamanan dalam mencegah dilakukannya tindak terlarang oleh “pengurus”, “pegawai” atau “orang-orang yang dapat dipersamakan dengan hal itu” (standard of liability);

[3.13] Menimbang bahwa para Pemohon dalam petitum permohonannya meminta agar Mahkamah menyatakan yang pada pokoknya keberlakuan Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 dikecualikan bagi setiap orang yang melaksanakan kewajiban hukumnya yang sah (petitum selengkapnya termuat dalam bagian duduk perkara). Terhadap petitum permohonan yang demikian, menurut Mahkamah sangat berkaitan dengan unsur melawan hukum sebagai bagian dari syarat pemidanaan yang meliputi penilaian terhadap aspek perbuatan maupun sikap batin pelakunya. Dari aspek perbuatan (actus reus), disyaratkan bahwa perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan tersebut. Sebagai salah satu unsur mutlak dari suatu delik, maka unsur melawan hukum ini tidak perlu dirumuskan sebagai unsur tertulis dari tindak pidana kecuali pembentuk undang-undang menghendaki suatu perbuatan yang dilarang boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan melakukan perbuatan tersebut berdasarkan undang-undang. Oleh karenanya, yang dikehendaki para Pemohon dalam petitum permohonannya tersebut sebenarnya telah terakomodir dalam alasan penghapusan pidana dalam KUHP sebagai hukum pidana umum, khususnya mengenai alasan pembenar dalam hal ini karena melaksanakan hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP. Dalam doktrin ilmu pidana, alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar. Lebih lanjut, dari aspek teori hukum acara dan pembuktian, apabila unsur melawan hukum merupakan unsur yang tidak tertulis dalam suatu rumusan delik, maka beban pembuktian ada pada terdakwa. Hal demikian berarti apabila terdakwa berhasil membuktikan bahwa unsur melawan hukumnya suatu perbuatan yang didakwakan tidak terpenuhi maka terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karenanya, menurut Mahkamah perumusan delik dalam Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011 a quo telah mengakomodir maksud dari permohonan para Pemohon. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan pada paragraf di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1) UU 21/2011, sehingga dengan demikian dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

H. Patrice Rio Capella, S.H., M.Kn. dalam hal ini memberikan kuasa kepada Janses E. Sihaloho, S.H., M. Yasin Djamaludin, S.H., M.H., dkk, advokat dan asisten advokat pada kantor hukum SIHALOHO & CO. Law Firm , untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 11 UU Tipikor

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Tipikor dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon sebagaimana dalam Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah serius yang tidak hanya dihadapi bangsa Indonesia, melainkan hampir semua bangsa di dunia. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam resolusi “Corruption in government" di Havana (Cuba) tahun 1990 yang menegaskan antara lain bahwa; 1) korupsi di kalangan pejabat publik dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah; 2) dapat mengganggu atau menghambat pembangunan; dan 3) menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat. Hal ini menjadi alasan tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang sangat serius (most serious crime). Atas dasar tersebut juga, PBB pada kongres tahun 1995 di Kairo, Mesir kembali menegaskan bahwa korupsi merupakan masalah yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, serta membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Lebih lanjut dalam UN Convention Against Corruption tahun 2003, antara lain dinyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilai-nilai dan lembaga-Iembaga demokrasi, membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum serta mengancam stabilitas politik. Oleh sebab itu, masyarakat dunia menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan menyepakati perbuatan korupsi telah melukai rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Problem demikian yang oleh para pembentuk undang-undang sebagai representasi dari rakyat ingin diatasi dengan cara menyusun UU Tipikor yang memuat desain pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan tidak sekedar bertujuan untuk memberikan suatu batasan mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan dalam delik korupsi serta akibat yang harus diterima atas perbuatan tersebut (social order), namun juga untuk menumbuhkan sikap, mental dan perilaku masyarakat yang anti korupsi secara terstruktur, sistematis dan massif (social engineering). Oleh karenanya, dalam memahami norma pasal-pasal dalam UU Tipikor harus diletakkan dalam kerangka politik hukum pemberantasan korupsi, baik dalam fungsinya as a tool of social order, maupun as a tool of social engineering. Dalam konteks demikian maka hukum diposisikan mendahului kondisi sosial yang senyatanya, sehingga masyarakat makin bergerak mendekati kondisi ideal yang didesain melalui hukum. Oleh sebab itu, semangat rumusan norma dalam UU Tipikor memuat aturan yang sifatnya antisipatif terhadap peristiwa hukum yang akan terjadi di kemudian hari, sehingga dapat dijangkau oleh norma dalam undang-undang a quo dengan cara memperluas jangkauan dan ruang lingkup perbuatan yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi;
[3.11.2] Bahwa sasaran utama pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor adalah pegawai negeri dan penyelenggara negara. Hal demikian dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari secara profesional dan berkualitas. Dengan demikian, hak-hak asasi warga negara dapat terpenuhi serta tujuan penyelenggaraan negara dan pemerintahan untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dapat tercapai. Dalam orientasi desain demikian, apabila dikaitkan dengan politik hukum pembentukan UU Tipikor sebagaimana telah diuraikan di atas, maka setiap pejabat publik, penyelenggara negara, aparat penegak hukum dan setiap orang yang menjalankan fungsi publik, harus menjaga sikap dan perilaku/tindakan secara ekstra hati-hati. Termasuk dalam menerima pemberian suatu barang dalam bentuk apapun, karena sebagai pejabat publik dan penyelenggara negara terdapat takaran etis yang mengatur dan membatasi hak yang bersangkutan dalam lingkup sosial kemasyarakatan. Terhadap bentuk pembatasan hak yang demikian menurut Mahkamah merupakan bagian dari pengamalan nilai Pancasila yang menghendaki manusia yang menjadi sasaran setiap norma hukum adalah makhluk individual sekaligus sosial. Sebagai mahkluk individual, manusia memiliki kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Namun setiap individu membutuhkan interaksi dengan individu-individu lain di luar dirinya, sehingga kebebasan individual tersebut kemudian berhadapan dengan kebebasan sosial yang idealnya berasal dari masyarakat. Dengan perkataan lain, ia terikat dan amat bergantung pada masyarakatnya, sehingga kebebasan individu akan selalu dibatasi oleh kebebasan sosial. Konsep pembatasan hak atau kebebasan individu demikian yang mendasari perlunya pembatasan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang menyatakan frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya“ dalam Pasal 11 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945, khususnya hak atas jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, norma tersebut memiliki substansi yang tidak logis sehingga menimbulkan inkonsistensi terhadap asas-asas hukum pidana yang berlaku dan diakui di Indonesia yang menyatakan dengan tegas seseorang hanya dapat dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan. Terhadap dalil permohonan Pemohon a quo, menurut Mahkamah, hukum pidana disusun adalah dalam rangka melindungi setiap orang, tidak terkecuali pelaku suatu tindak pidana. Oleh karenanya, dalam perumusan suatu delik harus dilakukan secara cermat dan sangat hati-hati, karena akan menimbulkan suatu pembebanan atau penderitaan, termasuk pembatasan atau pengabaian hak-hak tertentu bagi seseorang yang perbuatannya memenuhi unsur-unsur dalam suatu rumusan delik. Terkait hal tersebut, rumusan delik korupsi dalam Pasal 11 UU Tipikor sebenarnya adalah hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 418 KUHP yang merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam BAB XXVIII KUHP tentang Kejahatan Jabatan. Dalam rumusan tersebut, terdapat dua jenis delik korupsi, yaitu: (1) delik korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya; dan (2) delik korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya. Dengan demikian, dapat diuraikan unsur-unsur dari Pasal 11 UU Tipikor a quo, adalah: (i) pegawai negeri atau penyelenggara negara; (ii) menerima hadiah atau janji; dan (iii) padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
Berdasarkan uraian unsur-unsur dalam Pasal 11 UU Tipikor di atas, menurut Mahkamah, unsur utama yang merupakan objek norma (norm-gedrag) dalam pasal a quo adalah “menerima hadiah atau janji” yang apabila diuraikan lebih lanjut terdiri atas 2 (dua) bentuk perbuatan, yaitu menerima hadiah atau menerima janji. Penggunaan kata “atau” dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa kedua perbuatan tersebut bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu perbuatan tersebut terpenuhi maka objek norma dalam Pasal 11 UU Tipikor a quo telah terpenuhi. Sedangkan frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” merupakan salah satu kondisi norma (norm-conditie) yang tidak menetapkan perilaku atau perbuatan apa yang diminta atau dilarang untuk dilakukan. Frasa a quo menghendaki adanya sikap batin dari subjek norma (pegawai negeri atau penyelenggara negara) yang menerima hadiah atau janji tersebut agar mengetahui atau patut menduga tentang sikap batin dari pihak pemberi bahwa hadiah atau janji yang diberikan berhubungan dengan jabatannya. Dalam hal ini maka tidak dipersoalkan apakah subjek norma tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya sepanjang objek atau perbuatan yang dilarang (menerima hadiah atau janji) tersebut telah terjadi. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 11 UU Tipikor telah jelas dan tegas menetapkan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara hanya dapat dipidana karena melakukan perbuatan menerima “hadiah atau janji” yang padahal diketahui atau patut diduga diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran si pemberi ada hubungannya dengan jabatannya. Penjatuhan pidana melalui putusan oleh hakim tentu didasarkan pada pembuktian unsur-unsur delik atau tindak pidana, termasuk penilain terhadap sikap batin seorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan hak atas jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan Pemohon. Menurut Mahkamah, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah memberikan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada seluruh warga negara Indonesia. Pemenuhan atas hak demikian, dalam implementasinya bertumpu pada dua komponen, yaitu kepastian dalam substansi atau orientasi norma hukum itu sendiri dan kepastian dalam proses hukum (due process of law). Dalam konteks kepastian substansi atau orientasi sebuah norma, in casu frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” dalam Pasal 11 UU Tipikor menurut Pemohon menyebabkan seseorang dapat dihukum karena pikiran orang lain yang belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, rumusan pasal a quo harus dipahami dalam kerangka politik hukum UU Tipikor sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas yang menghendaki adanya keseimbangan antara hak individu dan sosial. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius sehingga tolok ukur ketercelaan dari perilaku koruptif dipandang perlu untuk ditetapkan secara luas dalam peraturan perundang-undangan agar tingkat kejahatan korupsi tidak massif, lintas-sektor, dan sistematis. Dalam kondisi demikian, titik berat frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” dalam Pasal 11 UU Tipikor adalah untuk memperluas jangkauan pengertian perbuatan koruptif yang tidak dapat dipisahkan dari semangat untuk menyelamatkan keuangan negara dalam rangka untuk memastikan rasa keadilan serta norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat itu dapat dipulihkan kembali guna mencapai kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.14] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” dalam Pasal 11 UU Tipikor telah menimbulkan masalah dalam hal pembuktian, karena menurut Pemohon tidak ada satu orangpun yang dapat mengetahui secara pasti untuk memberikan keterangan atau membuktikan mengenai apa yang dipikirkan orang lain sehingga hal demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, rumusan norma Pasal 11 UU Tipikor yang dalam unsur kondisinya memuat “padahal diketahui atau patut diduga” adalah menghendaki agar subjek norma, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara, selalu dapat memperkirakan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi atau timbul sebagaimana unsur kealpaan dalam suatu rumusan delik. Dalam unsur kealpaan, pelaku harus dapat membayangkan bahwa akan dimungkinkan terjadi hal-hal yang kemungkinan menimbulkan suatu yang dapat menyebabkan terpenuhinya unsur suatu delik, in casu pemberian hadiah atau janji, yang pemberian janji atau hadiah tersebut tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat jabatan yang sedang diembannya. Oleh karena itu, frasa “yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya” dalam Pasal 11 UU Tipikor sama sekali tidak menghalangi pemenuhan atas hak warga negara untuk mendapatkan proses hukum yang baik, benar dan adil (due process of law). Seorang tersangka, maupun terdakwa, berhak untuk didengar keterangannya tentang bagaimana peristiwa yang didakwakan padanya serta mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyusun dan mengajukan pembelaannya dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum. Berdasarkan seluruh fakta dan bukti yang diajukan dalam persidangan, hakim akan menilai apakah seseorang bersalah menurut hukum dan memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan, in casu Pasal 11 UU Tipikor. Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas. Mahkamah menilai, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap Pasal 11 UU Tipikor, sehingga dengan demikian dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

Rosiana Simon dan Kok An (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU ITE dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati permohonan para Pemohon, Mahkamah berpendapat pokok permasalahan yang diajukan para Pemohon adalah Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE dianggap:
1) menghalangi bahkan berpotensi memidanakan Pemohon I yang mengambil (memindah dan menyimpan secara pribadi) data elektronik hasil pekerjaan Pemohon I pada perusahaan tertentu; dan
2) berpotensi memidanakan Pemohon II (in casu suami Pemohon I) yang membantu mengingat password akun elektronik milik Pemohon I, di mana akun elektronik tersebut dipergunakan Pemohon I sebagai wahana menyimpan data elektronik hasil kerja Pemohon I pada suatu perusahaan;
[3.12] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 32 UU ITE yang berada dalam Bab VII “Perbuatan Yang Dilarang”, pada intinya berisi hal-hal yang dilarang dilakukan oleh orang perorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, serta badan hukum, terhadap suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Sementara Pasal 48 UU ITE yang berada dalam Bab XI “Ketentuan Pidana” berisi ancaman pidana bagi jenis pelanggaran yang diatur dalam Pasal 32 UU ITE;
Bahwa dalam perkara a quo Mahkamah akan berfokus pada makna Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE yang berkaitan langsung dengan perkara konkret yang dihadapi para Pemohon, namun hal demikian bukan berarti Mahkamah menguji perkara konkret yang bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah merujuk pada kasus konkret yang dihadapi para Pemohon semata agar dapat menemukan permasalahan spesifik mengenai konstitusionalitas norma yang dihadapi para Pemohon, mengingat ketentuan yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon terutama Pasal 32 UU ITE mempunyai wilayah pengaturan yang sangat kompleks;
[3.12.1] Bahwa menurut Mahkamah, setelah mencermati permohonan para Pemohon, permasalahan yang dihadapi para Pemohon sehubungan keberadaan Pasal 32 UU a quo adalah larangan untuk “melakukan transmisi”, “memindahkan”, “menyembunyikan”, dan/atau “mentransfer” informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain, yang kemudian mengakibatkan terbukanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia. Informasi dan/atau dokumen elektronik demikian, menurut Pemohon I dalam kasus a quo, merupakan hasil kerja Pemohon I sebagai pekerja pada suatu perusahaan. Sedangkan permohonan pengujian atas Pasal 48 UU ITE menurut Mahkamah merupakan konsekuensi dari Pasal 32 UU ITE di mana Pasal 48 UU ITE berisi pengaturan sanksi pidana bagi pelanggaran atas larangan yang ditentukan dalam Pasal 32 UU ITE;
Bahwa Mahkamah dapat memahami semangat UU ITE yang melindungi hak setiap orang, baik orang maupun badan hukum, atas kerahasiaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik miliknya. Dalam era teknologi di mana hampir semua data pribadi warga negara ditulis dalam bentuk dokumen elektronik, atau setidaknya disimpan dalam suatu sistem elektronik, maka memang diperlukan bentuk perlindungan hukum yang lebih spesifik dibandingkan perlindungan atas data-data konvensional terutama dalam hal cara pengambilan, pemindahan, dan/atau penyimpanan data dimaksud;
[3.12.2] Bahwa hal demikian telah pula ditegaskan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XVII/2019 pada Paragraf [3.16], hlm. 182-183, yang menyatakan “… norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 secara jelas ditujukan untuk melarang suatu perbuatan tertentu yang berdampak pelanggaran terhadap hak orang lain. Norma a quo tidak lain dimaksudkan agar negara memberikan perlindungan terhadap hak seseorang atas informasi atau dokumen elektronik yang dimilikinya”;
Bahwa perlindungan atas data pribadi merupakan hak konstitusional yang diatur Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 terutama secara eksplisit terdapat pada norma “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi”. Dari perspektif perlindungan data pribadi, secara umum Mahkamah tidak menemukan adanya permasalahan konstitusionalitas norma dalam larangan yang dirumuskan oleh Pasal 32 UU ITE, baik di ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Artinya larangan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, mentransfer, atau menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baik milik orang atau milik publik, menurut Mahkamah memang diperlukan demi melindungi hak atau kepentingan warga negara pada umumnya;
[3.13] Menimbang bahwa dalam permohonan para Pemohon, Mahkamah menemukan isu hukum yang sedikit berbeda konteks dengan isu perlindungan informasi atau data elektronik pribadi. Isu hukum demikian adalah mengenai data elektronik atau informasi elektronik yang dihasilkan dari suatu hubungan kerja;
Mahkamah menemukan adanya kekhawatiran pada diri Pemohon I bahwa hak Pemohon I untuk memeroleh pengakuan secara proporsional dari perusahaan tempatnya bekerja atas hasil kerjanya akan hilang manakala Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE diterapkan. Hal demikian karena Pasal 32 UU ITE, menurut para Pemohon, dapat ditafsirkan sebagai larangan bagi Pemohon I untuk memindahkan/menyimpan salinan data digital milik perusahaan yang mana setidaknya sebagian dari data digital tersebut turut dihasilkan atau dibuat oleh Pemohon I;
Kekhawatiran juga muncul pada diri Pemohon II terkait potensi dipergunakannya Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE sebagai dasar hukum untuk menjatuhkan pidana kepada Pemohon II dengan alasan Pemohon II telah membantu Pemohon I (yaitu istri Pemohon II) menyimpan/mengingat password akun sistem elektronik yang dipergunakan Pemohon I sebagai sarana menyimpan data perusahaan yang disalinnya;
Dari permasalahan para Pemohon demikian, persoalan utama yang akan dijawab Mahkamah adalah apakah ketentuan Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE menjadi inkonstitusional manakala ditafsirkan sebagai pelarangan bagi Pemohon I yang menyalin data perusahaan dalam rangka membuktikan kinerjanya. Serta, apakah kondisi inkonstitusionalitas juga terjadi manakala Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE ditafsirkan sebagai larangan bagi Pemohon II untuk membantu mengingat-ingat password akun sistem elektronik Pemohon I yang sistem elektronik tersebut dipergunakan untuk menyimpan data milik pihak lain;
[3.13.1] Bahwa permasalahan para Pemohon dalam kaitannya dengan Pasal 32 UU ITE tersebut erat bertalian dengan status Pemohon I sebagai (mantan) pekerja suatu perusahaan yang seluruh atau setidaknya sebagian hasil pekerjaannya dituangkan dalam bentuk data dan/atau dokumen digital. Sebagai pekerja yang terikat hubungan kerja secara kontraktual dengan perusahaan (sebagai pemberi kerja), tentu saja hasil pekerjaan Pemohon I baik berupa data dan/atau dokumen maupun hasil pekerjaan lainnya adalah milik perusahaan;
Pemberi kerja (baik perorangan maupun badan hukum) berhak untuk meminta bahkan mewajibkan pegawai/karyawan merahasiakan segala sesuatu hasil pekerjaan yang berkaitan dengan bisnis perusahaan, kecuali secara khusus diatur berbeda oleh peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap hak pemberi kerja yang dilakukan pekerja merupakan perbuatan wanprestasi yang dapat berakibat hukum secara keperdataan, bahkan dimungkinkan pelanggaran demikian menjadi dasar bagi pelaporan dan pengenaan pidana tertentu bagi pekerja yang membocorkan rahasia pemberi kerja. Namun demikian, batas antara informasi yang bersifat rahasia dan yang bukan rahasia tentunya harus djelaskan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebelum pekerja memulai pekerjaannya. Hal demikian dari perspektif pekerja akan memberikan kejelasan akan hak dan tanggung jawabnya, serta dari perspektif pemberi kerja akan memudahkan untuk melakukan pengawasan;
[3.13.2] Kewajiban pekerja untuk merahasiakan informasi vital perusahaan, yang di sisi lain merupakan hak bagi pemberi kerja, menurut Mahkamah tetap ada batas-batasnya. Batas yang utama adalah sepanjang kerahasiaan tersebut tidak melanggar hukum, dan batas lainnya adalah sepanjang kerahasiaan demikian tidak memutus sama sekali hubungan antara pekerja dengan hasil kerjanya;
Hubungan demikian menurut Mahkamah adalah hubungan atau ikatan batin antara pekerja dengan hasil kerjanya; kemudian berlanjut menjadi pengakuan pemberi kerja akan kontribusi pekerja bagi suatu hasil kerja; dan atas dasar pengakuan hasil kerja itulah pekerja akan memperoleh upah, gaji, atau penghasilan lain secara proporsional sesuai dengan perjanjian kerja. Hubungan antara pekerja dengan hasil kerja yang demikian menurut Mahkamah tidak boleh diputus atau dihilangkan dengan alasan apapun, termasuk alasan terkait rahasia perusahaan;
[3.13.3] Dalam dunia kerja terutama industri, terputus atau terasingnya pekerja dari hasil kerjanya merupakan hal yang lazim terjadi terutama karena diterapkannya sistem atau mekanisme kerja ban berjalan yang menuntut spesialisasi pekerja, di mana pada akhirnya karya seorang pekerja hanya menyumbangkan sebagian saja dari bentuk utuh suatu produk. Keterputusan hubungan demikian merupakan kondisi psikologis yang terjadinya “tidak disengaja” dan dengan demikian hukum tidak perlu mencampurinya. Negara perlu ikut campur dalam rangka mencegah keterputusan hubungan yang disengaja, apalagi jika kesengajaan tersebut menimbulkan kerugian bagi pekerja yang memang secara riil berkontribusi atas hasil kerja tersebut;
Dalam kaitannya dengan hal demikian, menurut Mahkamah pekerja berhak untuk mengetahui dan memeroleh akses yang layak atas hasil kerjanya, meskipun hasil kerjanya merupakan bagian dari rahasia perusahaan. Hak pekerja demikian bukan berarti membebaskan yang bersangkutan untuk membuka serta menyebarkan rahasia perusahaan, apalagi dengan motivasi memeroleh keuntungan dari perbuatan tersebut, melainkan hak demikian menurut Mahkamah muncul semata-mata untuk kepentingan pembuktian kinerja bagi pekerja bersangkutan;
[3.13.4] Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, bagi Mahkamah, mengetahui dan mengakses hasil kerja semata-mata demi pembuktian kinerja merupakan hak pekerja yang dilindungi oleh UUD 1945. Konteks perlindungan demikian diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;
Lebih lanjut, frasa “perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dalam Pasal 28D ayat (2) a quo menurut Mahkamah adalah perlindungan bagi dua pihak sekaligus yaitu pemberi kerja dan pekerja. Hak pemberi kerja dalam hal ini adalah untuk meminta pekerja menjaga rahasia perusahaan demi kepentingan bisnis perusahaan, serta di sisi lain menjamin hak pekerja untuk mengakses setidaknya mengetahui hasil kerjanya sepanjang untuk kepentingan pembuktian kinerja;
[3.14] Menimbang bahwa Pasal 32 UU ITE merupakan ketentuan pidana yang terdiri dari tiga ayat mengatur larangan sebagai berikut:
"(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.”
Larangan dalam Pasal a quo kemudian dikuatkan dengan ancaman pidana yang dirumuskan dalam Pasal 48 UU ITE. Selengkapnya Pasal 48 UU ITE mengatur bahwa:
"(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
[3.15] Menimbang bahwa anggapan hak konstitusional para Pemohon berpotensi dilanggar oleh ketentuan Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE akan dijawab oleh Mahkamah dengan menguraikan unsur-unsur delik terutama Pasal 32 UU ITE;
Secara doktrinal terdapat unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea) untuk menjatuhkan pidana. Terhadap unsur objektif, salah satu unsur yang esensial adalah unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, dalam menjatuhkan pidana harus didasarkan pada unsur tersebut. Tidak terbuktinya salah satu unsur tersebut membawa konsekuensi seseorang (terdakwa) tidak dapat dijatuhi pidana. Hal demikian berlaku umum bagi semua ketentuan pidana dan pemidanaan, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk di antaranya UU ITE;
Ayat-ayat dalam Pasal 32 UU ITE itu sendiri terdiri dari delik formil dan delik materiil. Ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik formil yang melarang dilakukannya suatu perbuatan/tindakan, sementara ayat (3) merupakan delik materiil yang mengatur bahwa suatu perbuatan atau tindakan menjadi terlarang jika menimbulkan akibat tertentu;
Setelah Mahkamah mencermati Pasal 32 ayat (1) UU ITE, unsur delik dalam pasal a quo adalah:
1. setiap orang;
2. dengan sengaja;
3. tanpa hak atau melawan hukum;
4. dengan cara apa pun;
5. mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan;
6. suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik; dan
7. milik orang lain atau milik publik.
Dari unsur-unsur tersebut Mahkamah berpendapat unsur delik yang berkenaan dengan akses atas hasil kinerja dalam suatu hubungan kerja adalah unsur delik “tanpa hak atau melawan hukum”. Unsur delik “tanpa hak atau melawan hukum” inilah yang menurut Mahkamah berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon, di mana para Pemohon dihadapkan pada kasus konkret yaitu diperiksa sebagai saksi dalam dugaan pencurian data perusahaan (vide pertimbangan Mahkamah atas kedudukan hukum para Pemohon);
Unsur delik “tanpa hak atau melawan hukum” dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang juga terdapat dalam ayat (2), dalam kaitannya dengan isu hubungan kerja perlu dipertimbangkan lebih khusus. Hal demikian karena karakteristik suatu hubungan kerja berbeda dengan karakteristik hubungan biasa, sehingga ketentuan pemidanaan antara kedua bidang tersebut sangat dimungkinkan akan berbeda;
[3.15.1] Bahwa hukum Indonesia mengenal adanya asas hukum mengenai kebebasan berkontrak yang menempatkan perjanjian keperdataan antara dua orang, atau lebih, sebagai hal yang berkekuatan hukum atau mengikat bagi para pihak agar memenuhi kewajiban masing-masing dengan itikad baik (pacta sunt servanda). Asas tersebut kemudian dituangkan sebagai norma hukum pada Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”;
Bahwa muatan atau isi dari kesepakatan, kontrak, atau perjanjian yang bersifat privat demikian tidak dicampuri negara selama memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.
Bahwa 4 (empat) syarat tersebut menjadi pembatas agar suatu perjanjian keperdataan tidak bersifat eksploitatif dan semena-mena yang dapat menindas bahkan mencelakakan salah satu pihak dalam perjanjian. Syarat demikian pula yang menjadi pembatas wilayah hukum privat dengan wilayah hukum publik, yang artinya ketika terjadi manipulasi atas syarat sahnya suatu perjanjian, maka negara mempunyai hak untuk melakukan intervensi terhadap wilayah hukum privat khususnya kontrak/perjanjian;
Bahwa konteks perkara a quo menunjukkan adanya pertentangan antara hak pemberi kerja untuk merahasiakan suatu hasil kerja dengan hak pekerja untuk mengakses hasil kerja, yang bertalian erat dengan asas kebebasan berkontrak. Hal demikian memunculkan pertanyaan bagaimana cara pekerja membuktikan kinerja mereka ketika suatu hasil kerja dilarang untuk diakses pemberi kerja. Atau, bolehkah pekerja mengakses suatu hasil kerja yang menurut kontrak/perjanjian kerja adalah hal yang rahasia;
[3.15.2] Bahwa dalam suatu skema hubungan kerja terlihat Pasal 32 UU ITE berada di tengah tarik-menarik antara kebutuhan pemberi kerja untuk merahasiakan hasil kerja, di sisi lain kebutuhan pekerja untuk membuktikan kontribusinya atas suatu hasil kerja. Kehendak pemberi kerja agar hasil kerja dirahasiakan, bahkan oleh pekerja yang ikut mengerjakan hal tersebut, dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan pemberi kerja untuk, antara lain, merumuskan strategi maupun inovasi dalam menghadapi dan bertahan dalam persaingan bisnis. Di sisi pekerja, ketatnya kerahasiaan hasil kerja demikian dapat mengakibatkan kesulitan manakala pekerja dituntut secara ketat membuktikan kinerjanya sebagai pekerja;
Sebaliknya, tidak adanya kerahasiaan atas suatu hasil kerja akan memudahkan bagi pekerja untuk membuktikan kinerjanya. Namun dari sisi pemberi kerja, terutama jika pemberi kerja adalah badan usaha yang profit oriented, ketiadaan rahasia atas hasil kerja dapat mengakibatkan kegagalan strategi dan inovasi sehingga pemberi kerja kehilangan daya kompetisinya;
Kondisi tarik-menarik antara kebutuhan pemberi kerja dengan pekerja semakin kompleks karena acapkali hasil kerja tersebut berada dalam penguasaan sepenuhnya pemberi kerja, dan kemudian sifat kerahasiaannya diperjanjikan secara hukum antara pemberi kerja dengan penerima kerja dalam sebuah kontrak kerja atau perjanjian yang sejenis. Sehingga, jamak muncul pemahaman bahwa ketika pekerja mengakses hasil kerjanya, sementara di saat yang sama hasil kerja demikian merupakan rahasia perusahaan/pemberi kerja, lantas pekerja yang bersangkutan dianggap melanggar hak pemberi kerja dan karenanya pekerja bersangkutan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum;
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 48 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Seandainya petitum demikian dikabulkan oleh Mahkamah, maka Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE akan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, atau dengan kata lain tidak lagi berlaku sebagai hukum. Konsekuensi hukum yang kemudian mengikuti adalah perbuatan atau tindakan yang sebelumnya dilarang oleh Pasal 32 UU ITE, dan pelanggaran terhadapnya diancam dengan pidana, akan menjadi perbuatan atau tindakan yang tidak lagi terlarang;
Bahwa apabila petitum para Pemohon dikabulkan, akan berakibat setiap orang dapat melakukan, tanpa harus khawatir dipidana, berbagai perbuatan atau tindakan antara lain mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, atau menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik, serta dapat pula memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.
Meskipun masih ada berbagai peraturan perundang-undangan lain selain UU ITE yang melarang perbuatan atau tindakan tersebut, namun menurut Mahkamah dihapuskannya larangan dan pemidanaan dalam Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE akan menimbulkan potensi kerugian yang besar bagi warga negara pada umumnya. Kerugian demikian terutama berkaitan erat dengan kepastian hukum akan kepemilikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik serta jaminan akan keaslian isinya;
Bahwa di satu sisi potensi kerugian para Pemohon memang dapat hilang seiring hapusnya kekuatan mengikat norma Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE. Akan tetapi di sisi lain, pada kasus berbeda, informasi dan/atau dokumen elektronik yang dimiliki atau dibuat oleh para Pemohon justru berpotensi tidak terlindungi manakala Pasal 32 dan Pasal 48 tidak ada. Hal demikian karena, sekali lagi, konstruksi Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE adalah perlindungan atas hak seseorang atas informasi atau dokumen elektronik yang dimilikinya;
Bahwa Mahkamah menilai ketentuan Pasal 32 UU ITE merupakan ketentuan yang dirumuskan sebagai respon atas perkembangan teknologi informasi/komunikasi, terutama ketika teknologi menciptakan kebutuhan akan berbagai dokumen elektronik sekaligus mempermudah akses setiap orang pada berbagai informasi dan/atau dokumen elektronik milik orang/pihak lain. Oleh karena itu, menurut Mahkamah keberadaan Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE sangat penting untuk menjamin keamanan data pribadi, sekaligus menjamin agar transaksi atau pertukaran informasi elektronik berjalan dengan baik tanpa merugikan siapapun penggunanya. Jaminan keamanan data pribadi serta jaminan terselenggaranya pertukaran informasi secara valid dan jujur merupakan prakondisi bagi terpenuhinya hak-hak konstitusional para Pemohon dan seluruh warga masyarakat;
[3.17] Menimbang bahwa setelah memberikan pertimbangan hukum atas permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE, Mahkamah perlu mengemukakan pendapat bahwa penentuan/penilaian apakah suatu perbuatan termasuk kategori yang dalam perkara a quo dinyatakan sebagai perbuatan pidana menurut Pasal 32 UU ITE, hal demikian sudah merupakan wilayah penerapan norma;
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, Mahkamah menilai menyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

Muhammad Helmi Kamal (wiraswasta), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Iwan Gunawan, S.H., M.H., dkk., advokat dan/atau konsultan hukum pada Sugiharto, Gunawan & Partner (SGP) Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 6 ayat (1) UU 15/2006 dan frasa “lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara” dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 15/2006

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 15/2006 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa sesungguhnya persoalan inti dari permohonan a quo adalah apakah BPK berwenang melakukan audit investigasi terhadap DP Pertamina, yang pada akhirnya berdasarkan hasil audit tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena telah dijadikan sebagai terpidana dalam kasus korupsi;
[3.10.2] Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh Pemohon, oleh karena terhadap permasalahan yang serupa telah pernah dimohonkan pengujian sebelumnya oleh Muhammad Helmi Kamal Lubis dalam Perkara Nomor 59/PUU-XVI/2018 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang diakui dalam Persidangan oleh Kuasa Pemohon adalah orang yang sama dengan orang yang mengajukan permohonan a quo (Muhammad Helmi Kamal). Di samping itu, Mahkamah telah pernah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 mengenai pengujian sepanjang frasa “kekayaan pihak lain” dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan pengujian sepanjang frasa “Badan Usaha Milik Negara” dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan sepanjang frasa “Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah” dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Pasal 23 ayat (1), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dimohonkan oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara, dkk. Oleh karenanya, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa setelah mencermati dasar pengujian yang digunakan oleh Pemohon pada permohonan a quo, dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan sebelumnya adalah Pasal 23 ayat (1), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sementara untuk permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, oleh karena pasal yang dijadikan dasar pengujian dalam perkara a quo berbeda dengan dasar pengujian yang digunakan dalam perkara sebelumnya maka terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali.
[3.10.3] Bahwa berkaitan dengan perkara a quo Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait dengan pengertian keuangan negara sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, bertanggal 18 September 2014, khususnya dalam Paragraf [3.23] dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVI/2018, bertanggal 21 Mei 2019 dalam Paragraf [3.18] yang menyatakan:
[3.18] …
[3.18.1] …
[3.23] Menimbang bahwa Pasal 6 ayat (1) UU BPK mengandung materi muatan dua norma: Pertama, norma yang menentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kedua, norma yang menentukan keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan BPK adalah keuangan negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
Bahwa kedua norma tersebut merupakan tindak lanjut dari Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945. Dengan perkataan lain, ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU BPK merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang diberikan oleh UUD 1945 kepada pembentuk Undang-Undang sepanjang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Menurut Mahkamah, subjek hukum yang dapat menjadi objek pemeriksaan oleh BPK adalah semua lembaga yang mengelola keuangan negara, baik keuangan negara yang dikelola secara langsung maupun keuangan negara yang dipisahkan;
Pertanyaannya adalah apakah kekayaan negara yang telah dipisahkan, yang kemudian menjadi modal usaha BUMN dan BUMD tersebut adalah tetap sebagai keuangan negara dan dengan demikian BPK berwenang memeriksanya. Pertanyaan lainnya, apakah dengan demikian secara umum berlaku sistem dan mekanisme Pasal 23 UUD 1945, padahal BUMN atau BUMD tersebut adalah entitas usaha, yang dengan demikian kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut bertransformasi menjadi bukan lagi keuangan negara, yang secara konstitusional BPK tidak lagi berwenang memeriksa pengelolaannya, tapi pemeriksa (internal audit) yang berwenang;
Bahwa, menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara. Terkait dengan kewenangan BPK untuk memeriksa, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD sesungguhnya adalah milik negara dan, sebagaimana dipertimbangkan di atas, adalah juga kepanjangan tangan negara maka tidak terdapat alasan bahwa BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Meskipun demikian, supaya BUMN dan BUMD dapat berjalan sesuai dengan prinsip good corporate governance, pengawas internal, selain Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas masih tetap relevan;
Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU BPK, sesungguhnya memuat norma yang mengenai kewenangan BPK meminta keterangan dan/atau dokumen, yang dengan demikian memuat pula norma yang mewajibkan kepada lembaga yang diperiksa untuk menyerahkannya, menurut Mahkamah, merupakan konsekuensi hukum dari tugasnya yang diatur dalam Pasal 6, yaitu memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, yang juga merupakan tindak lanjut dari Pasal 23E UUD 1945;
Bahwa Pasal 11 huruf a UU BPK yang di dalamnya memuat norma mengenai kewenangan BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, lembaga pemerintah dan lembaga lainnya. Pendapat BPK merupakan produk dari proses pemeriksaan, sehingga norma tersebut sesungguhnya merupakan hal yang harus ada karena BPK memiliki kewenangan memeriksa. Selain itu, mengenai kewenangan memberi pendapat tersebut ditentukan oleh Undang-Undang karena secara hukum dianggap menjadi keperluan lembaga/organ yang menyelenggarakan fungsi negara dan/atau fungsi pemerintahan;
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN atau nama lain yang sejenisnya, karena pemisahan kekayaan negara hanyalah untuk memudahkan pengelolaan usaha (bisnis). Badan usaha dapat saja menjalankan usaha bisnisnya untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan asalkan mempedomani prinsip “duty of care” yang di dalamnya termuat unsur kehati-hatian dan itikad baik, sehingga kebijakan badan usaha yang dijalankan oleh pimpinannya tetap berpedoman kepada business judgement rule. Namun berdasarkan Pasal 1 angka 13 dan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan ditegaskan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XI/2013 tersebut bahwa yang dapat menjadi objek pemeriksaan BPK adalah semua lembaga yang mengelola keuangan negara, baik keuangan negara yang dikelola secara langsung maupun keuangan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu sepanjang lembaga yang mengelola keuangan negara diduga melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara maka BPK berwenang melakukan pemeriksaan dan salah satu jenis pemeriksaannya adalah audit investigatif yang mana hasil pemeriksaannya disebut Pemeriksaan Penghitungan Kekayaan Negara (PPKN). Pemeriksaan oleh BPK jenis ini dilakukan atas permintaan dari Kejaksaan Agung. Oleh karena itu kewenangan PPKN ini adalah kewenangan atribusi BPK dalam proses penegakan hukum.
Lebih lanjut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, Paragraf [3.24] menegaskan pula:
“[3.24] Menimbang bahwa Pasal 10 ayat (1) pada pokoknya memuat norma mengenai kewenangan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara pengelola lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan penilaian dan penetapan jumlah kerugian negara tersebut, norma pada ayat (3) menentukan kewenangan BPK memantau penyelesaian dan pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah, baik yang ditetapkan oleh Pemerintah, BPK, maupun pengadilan. Menilai dan menetapkan jumlah ganti kerugian merupakan kewenangan yang menurut hukum dapat dibenarkan, karena ujung dari suatu penilaian, terlebih lagi terkait dengan kerugian negara, adalah penetapan berapa jumlah kerugiannya. Secara hukum hal tersebut dapat dikonstruksikan sebagai tindak lanjut dari kewenangan konstitusional pemeriksaan yang dimiliki oleh BPK…”
Oleh karenanya berkenaan dengan pengertian “keuangan negara” sesungguhnya sudah tidak terdapat lagi persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon.
[3.10.4] Bahwa terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan frasa “Lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” dalam Pasal 6 ayat (1) juncto frasa “lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara” dalam Pasal 10 ayat (1) UU 15/2006 apabila dikabulkan oleh Mahkamah hal tersebut justru akan membatasi kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan terhadap lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara termasuk kewenangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian yang dilakukan oleh bendahara pengelola lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya, apabila norma a quo diubah maka akan berakibat tidak utuhnya, bahkan berubahnya konstruksi hukum tugas dan kewenangan BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk dalam pelaksanaan audit keuangan terhadap lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dalil Pemohon dalam permohonan a quo adalah bentuk kekhawatiran Pemohon atas keterlibatan BPK dalam pemeriksaan terhadap keuangan Dana Pensiun yang pendirinya adalah BUMN sebagaimana kasus konkret yang dihadapi Pemohon. Dalam kaitan ini, Mahkamah tidak berwenang menilai suatu kasus konkret. Kewenangan Mahkamah adalah menguji norma suatu undang-undang terhadap UUD 1945, yang mana Putusan Mahkamah atas pengujian tersebut bersifat final dan mengikat serta berlaku dengan prinsip erga omnes.
Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVI/2018, karena ihwal yang dipersoalkan oleh Pemohon sejatinya tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut bahwa BPK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap semua subjek hukum apa pun sepanjang di dalamnya terdapat pengelolaan keuangan negara, baik langsung maupun tidak langsung. Terlebih lagi jika ada dugaan perbuatan penyalahgunaan keuangan negara maka BPK berwenang melakukan pemeriksaan (audit).
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, oleh karena secara substansial tidak terdapat alasan konstitusional baru yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan norma a quo sehingga Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya yang telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.10.3] di atas. Oleh karenanya, berkenaan dengan pengertian keuangan negara dan ruang lingkup kewenangan BPK dalam memeriksa keuangan negara, tidak ada relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas norma dimaksud.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari dalil Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya sehingga sesungguhnya dalil yang tidak dipertimbangkan tersebut adalah dalil yang dengan sendirinya sudah tercakup dalam persoalan pokok permohonan a quo yang pada hakikatnya merupakan pengertian keuangan negara dan kewenangan BPK untuk memeriksa (audit) pengelolaan keuangan negara yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan ditegaskan kembali dalam putusan a quo. Sedangkan, dalil-dalil lain yang berkaitan dengan kasus konkret yang dialami maupun yang dijadikan contoh oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah bukan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, Mahkamah menilai menyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 10 ayat (1) UU 15/2016 justru akan bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlindungan hukum dalam pemeriksaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 10 ayat (1) UU 15/2016 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Ir. Sri Bintang Pamungkas, MSISE, PhD, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 21 UU 4/1996

Pasal 1 ayat (3), Pasal 14, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 21 UU 4/1996 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon, oleh karena terhadap norma Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 21 UU 4/1996 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai objek hak tanggungan yang akan dilakukan eksekusi lelang karena adanya perbuatan wanprestasi dari debitor, maka Mahkamah akan mempertimbangkan substansi norma-norma yang dimohonkan pengujian tersebut secara bersamaan.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 yang telah memberikan kedudukan dan kekuasaan yang mutlak kepada kreditor sehingga bisa bertindak sewenang-wenang dengan hak menjual objek tanggungan melalui pelelangan umum dengan serta merta tanpa memerlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah berpendapat bahwa dalam Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Mahkamah telah mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hak tanggungan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain [vide Pasal 1 ayat (1) UU Hak Tanggungan]. Secara universal perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutang. Adapun sifat accessoir mengandung arti perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang tergantung pada perjanjian pokoknya, yang dalam hal ini termasuk perjanjian yang berkaitan dengan Hak Tanggungan. Lebih lanjut dalam konteks perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian accessoir yang dimaksudkan adalah perjanjian pinjam-meminjam atau utang piutang, yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan, dengan tujuan agar perjanjian accessoir tersebut dapat menjamin keamanan kreditor;
Berkenaan dengan sifat accessoir yang berkaitan dengan hak tanggungan ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah menyatakan:
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya;
2. Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada;
3. Hak Tanggungan selalu melekat asas spesialitas dan publisitas yang dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
4. Hak Tanggungan memberi kemudahan dan kepastian di dalam pelaksanaan eksekusinya;
Lebih lanjut secara doktriner dan universal dapat dijelaskan, bahwa selain sebagai jaminan kebendaan, Hak Tanggungan selain mempunyai ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas, juga mempunyai sifat-sifat sebagai hak kebendaan yang selalu melekat, yaitu:
1. Sifat Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi atau dengan kata lain Hak Tanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Hak Tanggungan, yang selanjutnya membawa konsekuensi yuridis, bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Oleh karenanya dengan telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Dengan demikian, meskipun telah ada pelunasan sebagian dari hutang debitor tidak menyebabkan terbebasnya dari sebagian objek Hak Tanggungan;
2. Hak Tanggungan mengandung sifat royal parsial sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan yang merupakan penyimpangan dari sifat Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi;
3. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapa pun berada. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang menyatakan, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji;
4. Hak Tanggungan mempunyai sifat bertingkat (terdapat perintah yang lebih tinggi di antara kreditor pemegang Hak Tanggungan). Dengan sifat ini, maka pemberi jaminan atau pemilik benda yang menjadi objek Hak Tanggungan masih mempunyai kewenangan untuk dapat membebankan lagi benda yang sama yang telah menjadi objek Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu lainnya, sehingga akan terdapat peringkat kreditor pemegang Hak Tanggungan;
5. Hak Tanggungan membebani hak atas tanah tertentu (asas spesialisitas) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 juncto Pasal 8 UU Hak Tanggungan. Asas spesialisitas ini mengharuskan bahwa Hak Tanggungan hanya membebani hak atas tanah tertentu saja dan secara spesifik uraian mengenai objek dari Hak Tanggungan itu dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);
6. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas), artinya pemberian Hak Tanggungan harus atau wajib diumumkan atau didaftarkan, sehingga pemberian Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui secara terbuka oleh pihak ketiga dan terdapat kemungkinan mengikat pula terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT. Hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan dengan atau tanpa disertai dengan janji-janji tertentu, bila disertai dengan janji, maka hal itu dicantumkan di dalam APHT;
[3.11.2] Bahwa selain defenisi, asas, ciri-ciri, serta sifat-sifat Hak Tanggungan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11.1] tersebut di atas, secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Artinya, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dengan demikian, kreditor dalam hal ini memiliki hak privilege sebagai konsekuensi “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan tersebut. Selain itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, Hak Tanggungan menurut sifatnya juga merupakan perjanjian ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga Hak Tanggungan menjadi hapus karena hukum, apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya menjadi hapus. Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.
Bahwa dengan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas yang secara tegas telah menguraikan prinsip-prinsip, ciri-ciri dan sifat dari hak tanggungan, maka sudah jelas secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu (yang mempunyai kedudukan berbeda sesuai dengan ketentuan hukum hak tanggungan) terhadap kreditor-kreditor lain. Oleh karena itu, lembaga keuangan seperti bank yang memberikan fasilitas pinjaman kredit kepada debitor adalah juga kreditor yang sarat akan risiko, maka bank wajib menerapkan manajemen dan metodologi risiko dengan cara mengelola atau melakukan mitigasi risiko tersebut yaitu dengan mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank. Sehingga, dalam konteks ini undang-undang sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum baik bagi pemberi hak tanggungan, penerima hak tanggungan serta pihak lain yang terkait dan berkepentingan dengan adanya perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak tersebut. Dengan demikian, adanya klausul dalam perjanjian kredit yang telah disepakati antara debitor dan kreditor termasuk pihak ketiga sebagai penjamin bahkan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut menempatkan hak kepada kreditor jika debitor cidera janji (wanprestasi) dengan hak yang melekat pada kreditor sebagai pemegang hak tanggungan untuk menjual melalui pelelangan umum terhadap tanah atau bangunan (benda tidak bergerak) yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun hak yang melekat pada kreditor pemegang hak tanggungan tersebut adalah sebagai kreditor separatis yang di dalamnya terkandung sifat kekhususan yaitu dengan hak yang melekat mendahului dari pada kreditor-kreditor yang lain, di samping hal tersebut juga disebabkan karena adanya titel “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan itu sendiri, sehingga hal ini yang semakin memberikan hak privilege (hak yang didahulukan) terhadap kreditor pemegang hak tanggungan dibanding hak kreditor-kreditor lainnya.
Bahwa dalam hal bank sebagai kreditor pemegang hak tanggungan yang mempunyai hak privilege untuk menjual objek hak tanggungan melalui lelang atas titel “kekuatan eksekutorial” yang disebabkan adanya debitor yang wanprestasi, menurut Mahkamah dalam menjalankan haknya tersebut bank juga tidak boleh secara sewenang-wenang melakukan pelelangan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, termasuk di antaranya harus diketahui oleh pemberi hak tanggungan dan penjaminnya (jika ada). Bahwa selain itu apabila terdapat debitor yang wanprestasi, maka mekanisme yang ditempuh bank adalah mengirimkan surat peringatan kepada debitor agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya dilakukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat debitor telah dapat dinyatakan wanprestasi. Meskipun secara tegas peringatan 3 (tiga) kali tersebut tidak diatur dalam undang-undang maupun dalam klausul perjanjian namun oleh karena peringatan semacam ini sudah lazim dilakukan maka hal tersebut dapat menjadi dasar untuk terpenuhinya syarat wanprestasi (vide Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan, “persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”) Selanjutnya apabila telah diperingatkan secara patut tetapi debitor tidak juga melakukan pembayaran kewajibannya maka bank baru bisa menggunakan haknya dengan menggunakan ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU 4/1996 yaitu melakukan proses lelang. Bahkan terhadap eksekusi hak tanggungan yang dimintakan bantuan melalui ketua pengadilan negeri, maka debitor yang telah dinyatakan wanprestasi terlebih dahulu diberi peringatan (aanmaning) terlebih dahulu agar memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah diperjanjikan dan dalam peringatan yang dilakukan di hadapan ketua pengadilan negeri tersebut pihak penjamin (jika ada) turut dihadirkan. Dengan demikian eksekusi lelang tersebut baru dapat dilaksanakan setelah hari ke-8 (delapan) apabila debitor tetap tidak mengindahkan peringatan dari ketua pengadilan negeri (vide Pasal 196 HIR/207 RBg).
Bahwa pada tahapan eksekusi lelang pengadilan negeri atau kantor lelang atas permintaan kreditor pemegang hak tanggungan juga harus memenuhi tahapan-tahapan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Bahkan pemberi hak tanggungan (debitor) dapat membuat kesepakatan kepada penerima hak tanggungan (kreditor) untuk melakukan penjualan benda jaminan secara di bawah tangan, sepanjang diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (vide Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996). Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, maka apabila terdapat persoalan proses pelelangan yang dialami oleh Pemohon sebagai penjamin dalam perjanjian kredit antara debitor dan kreditor sebagaimana yang diuraikan Pemohon dalam dalil permohonannya, khususnya adanya kesewenang-wenangan, maka menurut Mahkamah hal tersebut bukan pada persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU 4/1996 akan tetapi hal tersebut berkaitan dengan implementasi dalam tataran praktik yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, berkenaan dengan norma Pasal 6 UU/1996 telah cukup tegas memberikan kepastian hukum dengan memberikan perlindungan jaminan kepastian kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian hak tanggungan. Terlebih, apabila ada tahapan dari eksekusi lelang yang dilakukan oleh kantor lelang bersama-sama pengadilan negeri atas permintaan kreditor penerima hak tanggungan yang ditemukan telah melanggar hukum, maka kepada siapapun yang merasa dirugikan dapat menggunakan upaya hukum melalui mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 6 UU 4/1996 memberikan kedudukan dan kekuasaan kreditor yang mutlak sehingga berbuat sewenang-wenang dalam menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 14 ayat (3) UU 4/1996 hanya memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak tanggungan (kreditor dan bankir) secara berlebihan dan mengabaikan perlindungan hukum kepada debitor dan kepada pemberi hak tanggungan, serta frasa “mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” juga bertentangan dengan paham negara hukum. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, juga antara lain, dalam Paragraf [3.12.1] dan Paragraf [3.12.3] telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.12.1] … bahwa secara universal Hak Tanggungan adalah salah satu jenis jaminan kebendaan yang bersumber dari adanya perjanjian. Dengan demikian konsekuensi yuridisnya, maka para pihak terikat dengan substansi yang telah dituangkan dalam klausul-klausul perjanjian, termasuk segala hal yang tidak terbatas dapat dimasukkan dalam materi perjanjian, sepanjang tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum, dan tidak melanggar undang-undang. Oleh karena itu dalam perspektif perjanjian jaminan Hak Tanggungan, esensi yang mendasar adalah pihak debitor telah sepakat untuk menyerahkan benda berupa tanah miliknya kepada kreditor sebagai jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan, sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Namun lazimnya dalam sebuah perjanjian tentunya diikuti dengan syarat-syarat lain yang melengkapi perjanjian dimaksud secara utuh yang menyesuaikan dengan ciri dan sifat dari obyek perjanjian itu sendiri. Dalam konteks jaminan Hak Tanggungan tentunya perjanjian dimaksud menyesuaikan dengan ciri, sifat, dan karakteristik jaminan Hak Tanggungan pada umumnya, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang;
….
[3.12.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, sebenarnya tanpa harus mengubah konstruksi dan/atau dengan pemaknaan secara bersyarat terhadap norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan, khususnya terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” untuk diberlakukan secara bersyarat dengan pemaknaan ”terhadap jaminan Hak Tanggungan yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi), karena debitor mengalami keadaan memaksa (overmacht/force majeure), sebenarnya debitor oleh undang-undang telah dijamin haknya untuk membuktikan, baik pada tahap musyawarah (non-litigasi) maupun upaya hukum perlawanan/gugatan di pengadilan sebelum eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan menggunakan instrumen Pasal 1865 KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan demikian telah jelas, bahwa apabila debitor merasa mengalami adanya peristiwa atau keadaan yang bersifat memaksa (overmacht/force majeure) dan hal tersebut diyakini sebagai alasan tidak dapat memenuhinya kewajiban yang ada dalam perjanjian, meskipun tidak dimasukkan dalam klausul perjanjian, maka undang-undang menjamin kepada siapapun untuk membuktikan, baik pada tahap musyawarah (non-litigasi) maupun melalui upaya hukum perlawanan/gugatan;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, sesungguhnya telah jelas pula, bahwa norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan a quo tidak menghilangkan hak konstitusional debitor. Sebab, unsur-unsur yang menjadi sifat dan ciri dalam Hak Tanggungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan karakteristik yang melekat dalam Hak Tanggungan adalah merupakan syarat formal yang bersifat fundamental dan absolut Hak Tanggungan. Sementara itu, pemberlakuan pemaknaan secara bersyarat pada frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang diinginkan oleh para Pemohon adalah syarat yang bersifat tambahan yang berada dalam ruang lingkup implementasi yang dapat diakomodir dalam bingkai kebebasan berkontrak yang menjadi salah satu syarat ”kesepakatan” sahnya sebuah perjanjian. Artinya, ada atau tidak adanya kesepakatan antara debitor dengan kreditor tentang adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) di dalam perjanjian, sesungguhnya tidak mengurangi hak konstitusional debitor untuk menempuh upaya hukum dengan mengajukan perlawanan atau gugatan di pengadilan dengan mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) dan hal tersebut sekaligus dapat menjadi dasar/alasan kreditor, atau eksekusi yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang untuk menunda pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan dimaksud;
Bahwa dengan argumentasi Mahkamah demikian, akan memperjelas, bahwa kekhawatiran para Pemohon dan debitor pada umumnya, dapat diakomodir dalam tataran implementasi untuk dimasukkan ke dalam substansi kesepakatan sebelum para pihak membuat perjanjian. Sebab dengan menambahkan klausul dalam syarat-syarat perjanjian dan sepanjang telah disepakati oleh para pihak, yang merupakan bentuk aktualisasi prinsip kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian [vide Pasal 1320 KUH Perdata], maka sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang [vide Pasal 1337 KUH Perdata], perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya atau dengan kata lain perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya [asas pacta sunt servanda, vide Pasal 1338 KUH Perdata]. Dengan demikian, apabila ada persoalan yang muncul kemudian dan demi kepastian hukum, maka para pihak yang merasa dirugikan haknya dapat menyelesaikan persoalan tersebut hingga sampai pengadilan yang ruang lingkupnya luas di dalam menyelesaikan sengketa perdata. Sehingga dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, sebelum ada rencana pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan para pihak khususnya debitor dapat mendapatkan kepastian dan keadilan hukum dengan penyelesaian baik musyawarah hingga upaya hukum perlawanan/gugatan untuk mendapat putusan pengadilan sebelum eksekusi Hak tanggungan dilaksanakan. Demikian halnya apabila debitor dengan kreditor tidak membuat klausul keadaan memaksa (overmacht/force majeure) sebagai salah satu klausul dalam perjanjian, bukan berarti debitor kehilangan haknya untuk mendapatkan kesempatan menggunakan haknya tersebut hingga mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan. Dengan demikian proses “pembelaan diri” dari debitor tersebut, terlebih apabila hingga sampai pada upaya hukum perlawanan/gugatan, maka hal tersebut sekaligus dapat menjadi dasar untuk ditundanya pelaksanaan eksekusi oleh kreditor, termasuk yang melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang;
Bahwa di samping argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, sebenarnya dalam tataran empirik, sekalipun perjanjian antara debitor dengan kreditor tidak memperjanjikan secara khusus tentang keadaan memaksa (overmacht/force majeure), lembaga yang akan melakukan eksekusi lelang atas Hak Tanggungan, baik oleh kreditor yang akan melakukan “parate eksekusi” (menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum maupun yang meminta bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang), akan selalu menggunakan mekanisme tahapan-tahapan yang bukan serta-merta kreditor menggunakan kewenangan tunggalnya untuk melaksanakan eksekusi dengan mengabaikan hak-hak debitor. Dengan kata lain, secara faktual apabila kreditor akan menggunakan haknya untuk melaksanakan eksekusi langsung terhadap benda jaminan Hak Tanggungan yang dapat dilaksanakan dengan cara “parate eksekusi”, harus melewati proses yang berisi tahapan-tahapan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, seperti halnya melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau pelelangan melalui kantor lelang. Dan, di sanalah tahapan-tahapan itu akan dimulai, di antaranya seperti teguran/peringatan (aanmaning), kemudian tahapan sita eksekusi dan lain-lain yang setiap tahapan itulah debitor dan kreditor mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai kesepakatan terhadap adanya persoalan yang ada, termasuk apabila debitor mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure), dapat menjadi alasan untuk ditundanya eksekusi terhadap jaminan Hak Tanggungan, hingga debitor dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan perlawanan/gugatan di pengadilan;
Selanjutnya dapat dijelaskan juga, selain cara eksekusi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, sesungguhnya pelelangan terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan juga dapat dilakukan secara di bawah tangan sepanjang disepakati kreditor dan debitor, jika dengan cara tersebut dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak [vide Pasal 20 ayat (2) UU Hak Tanggungan], meskipun pilihan lelang dengan cara terakhir ini tidak berkaitan langsung dengan adanya sengketa dengan alasan adanya cidera janji yang disebabkan karena keadaan memaksa (overmacht/force majeure);
Bahwa dengan uraian penjelasan di atas, maka akan tampak jelas eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditor dengan cara parate eksekusi, baik yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6, maupun yang berkaitan dengan Pasal 14 ayat (3), serta Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan, menunjukkan bahwa kreditor pemegang obyek Hak Tanggungan tidak dapat secara sewenang-wenang melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan Hak Tanggungan tanpa melibatkan pihak lain. Terlebih dalam setiap tahapan, debitor selalu dilibatkan terutama pada tahap awal sebelum dilaksanakannya eksekusi, di mana debitor akan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk melakukan “pembelaan diri” sebelum pada akhirnya akan dilakukan eksekusi baik melalui bantuan ketua pengadilan negeri dan/atau kantor lelang;
Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana ditegaskan di atas, kekhawatiran para Pemohon atau debitor dengan tidak adanya pemaknaan yang mengatur kewenangan eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor atau dengan cara parate eksekusi, yang dapat merugikan kepentingan debitor apabila frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, diberlakukan secara bersyarat, sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan. Terlebih dengan uraian pertimbangan tersebut, sekaligus juga memperjelas, bahwa persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, sesungguhnya bukan terletak pada konstitusionalitas norma dari Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan. Namun, persoalan sebenarnya terletak pada upaya antisipasi akan penerapan klausul perjanjian yang dibuat debitor dengan kreditor, dengan merujuk prinsip kebebasan berkontrak [vide Pasal 1320 KUH Perdata] dan prinsip perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya [asas pacta sunt servanda, vide Pasal 1338 KUH Perdata]. Di samping upaya hukum maksimal yang dapat dipilih oleh debitor sekalipun tidak diperjanjikan, dengan mendasarkan pada Pasal 1865 KUH Perdata, sebagaimana telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas;
Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tersebut di atas dan juga telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.12] pada putusan a quo sudah cukup jelas bahwa dalam pelaksanaan eksekusi lelang, penerima hak tanggungan tidak bisa secara langsung begitu saja melakukan lelang terhadap objek hak tanggungan jika debitor melakukan wanprestasi. Semua pelaksanaan eksekusi lelang harus melalui proses yang telah diketahui oleh kedua belah pihak terlebih dahulu sebagaimana pertimbangan Mahkamah sebelumnya dan didahului dengan memberikan kesempatan yang cukup kepada debitor untuk memenuhi prestasinya. Bahkan, pihak debitor dan kreditor dapat bersepakat untuk dilakukan penjualan di bawah tangan, apabila terhadap hal itu akan diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak. Sementara itu, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” hanya memberikan perlindungan hukum kepada kreditor serta tidak sesuai dengan paham negara hukum. Terhadap hal ini Mahkamah berpendapat, bahwa ketentuan dalam Pasal 14 ayat (3) UU 4/1996 sebenarnya merupakan konsekuensi yuridis dari sifat perjanjian hak tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial dan dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kekhususan yang dimiliki oleh hak tanggungan memang sudah menjadi keinginan bersama para pihak yang terlibat dalam perjanjian yang merupakan implementasi asas kebebasan berkontrak sebagaimana kehendak para pihak di dalam mengaktualisasikan hak-hak privatnya yang dilindungi oleh undang-undang, bahkan konstitusi, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan ketertiban umum (vide Pasal 1320 KUH Perdata). Oleh karena itu, adanya kesepakatan secara sukarela yang dituangkan dalam perjanjian sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah tersebut menjadi undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya (Asas pacta sunt servanda- vide Pasal 1338 KUH Perdata). Dengan demikian, penegasan sifat kekuatan eksekutorial dan dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah sejalan dengan bentuk perlindungan dan kepastian hukum baik bagi debitor dan kreditor serta pihak lain yang terlibat di dalam perjanjian hak tanggungan dimaksud. Terlebih sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah, bahwa proses eksekusi lelang harus dilakukan setelah debitor benar-benar dalam keadaan wanprestasi dan telah diberikan kesempatan untuk memenuhi prestasinya dengan waktu yang cukup dan pemberitahuan yang patut serta pelaksanaan eksekusi lelang telah memenuhi tahapan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, maka tidaklah terdapat alasan, bahwa ketentuan norma Pasal 14 ayat (3) UU 4/1996 memberikan hak kesewenangan yang melampaui batas kepada kreditor dalam melakukan proses eksekusi lelang dan tidak sesuai dengan paham negara hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa lebih lanjut Pemohon mendalilkan hak eksekutorial pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek hak tanggungan dengan cara pelelangan umum dalam Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 adalah tidak manusiawi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dengan mengutip kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.2] … secara universal esensi Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Artinya, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dengan demikian, kreditor dalam hal ini memiliki hak privilege sebagai konsekuensi “kekuatan eksekutorial” yang melekat pada sifat hak tanggungan tersebut. Selain itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, Hak Tanggungan menurut sifatnya juga merupakan perjanjian ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga Hak Tanggungan menjadi hapus karena hukum, apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya menjadi hapus. Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.
Ditambah dengan penegasan kembali sebagaimana pada pertimbangan hukum putusan perkara a quo dalam Paragraf [3.12] dan Paragraf [3.13] menurut Mahkamah eksekusi lelang terhadap objek hak tanggungan adalah tidak dilakukan secara tiba-tiba atau mendadak oleh pemegang hak tanggungan (kreditor). Eksekusi lelang atas objek hak tanggungan sebagaimana amanat norma Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 sudah menentukan bahwa penjualan objek hak tanggungan dilakukan apabila pemberi hak tanggungan/debitor melakukan wanprestasi atau ingkar janji terhadap perjanjian kreditnya. Oleh karena itu, konsekuensi pelelangan terhadap objek hak tanggungan tentunya sudah diketahui oleh kedua belah pihak yakni kreditor dan debitor/pemberi hak tanggungan yang dituangkan dan disepakati dalam perjanjian kredit oleh semua pihak sejak semula. Oleh karena itu, justru dengan pelelangan secara umum dan dilakukan secara transparan maka akan diperoleh harga penawaran tertinggi atas objek hak tanggungan. Dengan demikian, baik kreditor maupun debitor tidak akan mengalami kerugian bahkan akan mendapatkan keuntungan, yaitu bagi kreditor memperoleh pelunasan atas pinjaman yang macet dan terhadap debitor mendapatkan sisa dari hasil pelelangan atas objek hak tanggungan tersebut. Terlebih undang-undang juga memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditor untuk bersepakat agar terhadap objek hak tanggungan untuk dilakukan penjualan di bawah tangan apabila untuk itu diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak [vide Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996]. Oleh karenanya dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penjualan objek hak tanggungan oleh kreditor di bawah kekuasaannya adalah tidak manusiawi adalah dalil yang tidak terbukti kebenarannya. Bahkan, kreditor di dalam melaksanakan eksekusi penjualan secara lelang atas objek hak tanggungan tidak dilakukan sendiri, akan tetapi dapat meminta bantuan kantor lelang dan atau pengadilan negeri serta melibatkan appraisal independen di dalam menentukan harga lelang yang wajar.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan hak eksekutorial pemegang hak tanggungan atas kekuasaan untuk menjual objek hak tanggungan dengan cara pelelangan umum tidak manusiawi dalam norma Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pada pokoknya menyatakan frasa “di bawah tangan” dalam Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 memiliki arti kesepakatan dilakukan secara diam-diam dan tidak ada keterbukaan. Demikian pula adanya unsur harga tertinggi yang mengandung ketidakpastian hukum, memancing polemik atau perdebatan yang tidak perlu, dan tidak memberikan manfaat melainkan mudarat, sehingga Pemohon menginginkan harga tertinggi itu diganti dengan kata “harga kesepakatan”. Terhadap dalil Pemohon a quo menurut Mahkamah dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 sudah sangat jelas telah menentukan sebagai berikut, “Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan objek Hak Tanggungan dengan harga penjualan tertinggi.” Berdasarkan Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 tersebut sebenarnya telah sangat jelas bahwa penjualan objek hak tanggungan dengan cara di bawah tangan dapat dilakukan jika ada kesepakatan antara pemberi dan penerima/pemegang hak tanggungan serta sepanjang diperoleh harga tertinggi dan menguntungkan para pihak. Oleh karena itu, unsur-unsur esensial yang harus dipenuhi dalam penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan adalah:
1) adanya kesepakatan antara debitor dan kreditor, 2) penjualan atas objek hak tanggungan tersebut diperoleh harga tertinggi, 3) pilihan tersebut menguntungkan semua pihak. Dengan demikian, apabila mencermati syarat-syarat esensial tersebut, maka sesungguhnya tidak ada relevansinya mengkhawatirkan bahwa penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan akan berakibat adanya kesepakatan diam-diam dan mendatangkan mudarat sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Sebab, dengan adanya klausul kesepakatan antara debitor dengan kreditor sebagai salah satu syarat esensial untuk dapat dilakukannya penjualan atas objek hak tanggungan secara di bawah tangan, maka hal tersebut membuktikan bahwa tidak boleh ada hal-hal yang disembunyikan dan tidak transparan, karena hal tersebut apabila benar terjadi dapat menjadi alasan salah satu pihak tidak sepakat untuk dilakukan penjualan atas objek hak tanggungan secara di bawah tangan. Demikian halnya dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan akan mendatangkan mudarat. Hal tersebut juga tidak terlepas dari adanya kesepakatan yang telah dilakukan oleh para pihak serta ada atau tidaknya hal-hal yang menguntungkan bagi semua pihak. Oleh karena itu, apabila hal-hal yang menguntungkan bagi semua pihak tidak diperoleh, maka hal demikian berakibat tidak terpenuhinya salah satu unsur esensial untuk dapat dilakukannya penjualan secara di bawah tangan atas objek hak tanggungan, sehingga hal-hal yang bersifat mudarat menjadi tidak akan terjadi.
Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon penjualan di bawah tangan atas objek hak tanggungan akan berakibat adanya kesepakatan diam-diam dan mendatangkan mudarat adalah tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Demikian halnya dengan dalil Pemohon yang menginginkan agar kata “harga tertinggi” pada norma Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 dimaknai sebagai “harga kesepakatan” menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo justru akan menggeser tujuan daripada penjualan di bawah tangan itu sendiri, yaitu untuk mendapatkan keuntungan semua pihak. Sebab, dengan harga tertinggi yang diperoleh dari hasil penjualan di bawah tangan saja nilai keuntungan yang diperoleh oleh semua pihak masih belum dapat dipastikan nilainya, apalagi dengan harga kesepakatan yang bisa jadi akan diperoleh harga yang lebih rendah. Dengan penegasan demikian maka sekali lagi tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, jika di dalam pelaksanaan lelang atas objek hak tanggungan ada kesepakatan untuk dilakukan penjualan di bawah tangan dan dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat-syarat esensial sebagaimana dipertimbangkan di atas, maka hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma dari undang-undang, bukan disebabkan oleh persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang menyatakan frasa “di bawah tangan” dalam Pasal 20 ayat (2) UU 4/1996 memiliki arti kesepakatan dilakukan secara diam-diam dan mendatangkan mudarat serta frasa “harga tertinggi” agar dimaknai “harga kesepakatan” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 21 UU 4/1996 memberikan perlindungan yang berlebihan kepada kreditor selaku pemegang hak tanggungan dengan mengabaikan perlindungan kepada debitor dan pemberi hak tanggungan. Terhadap dalil Pemohon tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 21 UU 4/1996 yang menentukan “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini”. Maka, esensi yang dapat diperoleh dari ketentuan tersebut adalah adanya debitor pemberi hak tanggungan yang dinyatakan pailit dan kreditor penerima hak tanggungan tidak kehilangan haknya untuk tetap melakukan tindakan hukum terhadap objek hak tanggungan. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa sebagaimana sifat dari kreditor penerima atau pemegang hak tanggungan adalah didahulukan (privilege), sebagai kreditor separatis. Oleh karena itu, adanya putusan pengadilan yang menyatakan debitor dalam keadaan pailit, tidak akan menghilangkan hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk kehilangan hak yang melekat atas pelunasan utang debitor pailit terhadap kreditor. Sebab, sesuai dengan sifatnya kreditor pemegang hak tanggungan adalah kreditor separatis yang mempunyai hak untuk didahulukan (privilege), maka pada saat kurator sebagai pihak yang melakukan verifikasi atau pemberesan seluruh harta pailit termasuk terhadap objek hak tanggungan yang telah dibebani dengan titel kekuatan eksekutorial harus dikeluarkan dan tidak lagi menjadi bagian dari harta (boedel) pailit yang dilakukan pemberesan untuk pemenuhan hutang kreditor-kreditor lainnya. Dengan demikian, sudah jelas berkaitan dengan perlindungan hukum kreditor pemegang hak tanggungan terhadap adanya debitor pemberi hak tanggungan yang dinyatakan pailit, tidak akan terganggu haknya untuk tetap mendapat jaminan pemenuhan piutangnya dari debitor meskipun debitor dinyatakan pailit. Bahkan hal tersebut dikuatkan dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan, “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Sebab, hal tersebut karena sifat kekhususan dari hak tanggungan itu sendiri, yaitu privilege, separatis dan adanya titel eksekutorial yang sejak awal juga telah disepakati dalam perjanjian kredit dengan hak tanggungan yang dilakukan oleh debitor, kreditor dan penjamin (jika ada) serta pihak-pihak lain yang terlibat. Oleh karena itu, adanya anggapan Pemohon terhadap kreditor pemegang hak tanggungan mendapat perlindungan yang berlebihan adalah tidaklah terbukti kebenarannya. Terlebih munculnya hak yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak tanggungan yang demikian juga datang dari adanya kesepakatan secara sukarela di antaranya dari debitor pemberi hak tanggungan sendiri.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan norma Pasal 21 UU 4/1996 berlebihan di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang hak tanggungan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari dalil Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya, dan sesungguhnya dalil-dalil yang tidak dipertimbangkan tersebut adalah persoalan implementasi norma yang tidak ada keterkaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma. Oleh karenanya, apabila dalil-dalil dimaksud benar adanya maka upaya-upaya hukum dapat ditempuh oleh Pemohon sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 6, Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 21 UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Joshua Michael Djami, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., dan Dora Nina Lumban Gaol, S.H., baik bersama-sama atau sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebagaimana telah diubah pemaknaannya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan permohonan dalam perkara a quo berdampak juga terhadap berbagai pihak seperti perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, sesama kolektor, konsumen maupun asosiasi kolektor karena berkaitan dengan tindakan hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia sehingga perkara a quo perlu dilakukan hingga tahap pembuktian yang dapat memanggil pihak-pihak sebagai saksi maupun Pihak Terkait untuk didengar keterangannya. Terhadap alasan permohonan provisi Pemohon tersebut, menurut Mahkamah oleh karena terhadap pokok perkara a quo akan diputus tanpa dilanjutkan dengan sidang lanjutan dengan agenda pembuktian dan mendengar pihak-pihak sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 54 UU MK, maka alasan permohonan provisi yang diajukan oleh Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan. Sebab, alasan pemanggilan pihak-pihak dan sidang pembuktian lanjutan yang dikhawatirkan Pemohon akan berdampak pada lamanya perkara a quo akan diputus oleh Mahkamah tidak akan terjadi. Dengan demikian, alasan permohonan Provisi Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;

Dalam Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkaitan dengan substansi baik semangat maupun alasanalasan yang dijadikan dasar permohonan sebagaimana dalil permohonan Pemohon yang termuat dalam Paragraf [3.8] tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan a quo memiliki relevansi dengan substansi baik semangat maupun alasan-alasan sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, bertanggal 6 Januari 2020. Namun sebelum sampai pada kesimpulan apakah ada persamaan substansi dari perkara yang dimohonkan Pemohon a quo dengan perkara-perkara sebelumnya, penting bagi Mahkamah mengutip pokok-pokok pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut, yaitu:

[3.14] Menimbang bahwa untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap dalam menilai ada atau tidaknya permasalahan yang berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihakpihak yang terikat dalam perjanjian fidusia termasuk juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, maka tidak dapat dilepaskan dari esensi dasar norma yang mengatur tentang sifat perjanjian Jaminan Fidusia terutama terhadap norma pasal yang dipersoalkan oleh para Pemohon yaitu Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Norma yang termuat dalam pasal a quo merupakan norma yang bersifat fundamental. Sebab, dari norma yang termuat dalam pasal tersebutlah terbit kekuatan eksekusi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemegang jaminan fidusia (kreditur) yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun implementasi.
Bahwa berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” terhadap sertifikat fidusia dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” di dalamnya terkandung makna bahwa sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekusi tanpa disyaratkan adanya putusan pengadilan yang didahului oleh adanya gugatan secara keperdataan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari kandungan makna sebagaimana yang tersirat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tersebut di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa sertifikat fidusia memberikan hak yang sangat kuat kepada penerima fidusia, dalam hal ini kreditur, karena sertifikat fidusia langsung dapat bekerja setiap saat ketika pemberi fidusia, dalam hal ini debitur, telah dianggap cidera janji. Argumentasinya adalah karena, secara hukum, dalam perjanjian fidusia hak milik kebendaan sudah berpindah menjadi hak penerima fidusia (kreditur), sehingga kreditur dapat setiap saat mengambil objek jaminan fidusia dari debitur dan selanjutnya menjual kepada siapapun dengan kewenangan penuh ada pada kreditur dengan alasan karena kekuatan eksekusi dari sertifikatnya telah dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bahwa dalam perspektif kandungan makna sebagaimana diuraikan tersebut di atas nampak jelas dan terang benderang bahwa aspek konstitusionalitas yang terdapat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 di atas tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan. Sebab, dua elemen mendasar yang terdapat dalam pasal a quo, yaitu “titel eksekutorial” maupun “dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, berimplikasi dapat langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah-olah sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia (kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi. Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan pertimbangan perihal tidak adanya perlindungan hukum yang seimbang kepada kreditur dan debitur dalam perjanjian fidusia sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan sebelumnya, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan hal tersebut dengan prinsip adanya penyerahan hak milik objek jaminan fidusia dari debitur selaku pemberi fidusia kepada kreditur selaku penerima fidusia. Prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan. Dengan kata lain, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamental bagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).
Bahwa dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah ternyata dapat berdampak pada adanya tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur yaitu kreditur melakukan eksekusi sendiri terhadap objek jaminan fidusia dengan alasan telah berpindahnya hak kepemilikan objek fidusia tanpa melalui proses eksekusi sebagaimana seharusnya sebuah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Sebagai konsekuensi logisnya, tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur. [vide hlm. 116-119]
[3.17] Menimbang bahwa tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg selengkapnya adalah:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.
Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan oleh Mahkamah, tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur).
Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.
[3.18] Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas telah cukup alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo;
Bahwa pendirian Mahkamah sebagaimana yang akan ditegaskan dalam amar putusan perkara a quo tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.
[3.19] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, maka terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan yang menjadi pendirian Mahkamah terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dengan pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan lain dalam UndangUndang a quo, disesuaikan dengan Putusan Mahkamah a quo; [vide hlm. 120-123]

[3.14.2] Bahwa setelah mencermati seluruh uraian pertimbangan putusan di atas, menurut Mahkamah pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 telah mempertimbangkan secara yuridis dan menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon, khususnya berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia. Lebih jauh dalam pertimbangan hukum perkara tersebut telah pula dengan jelas dinyatakan pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia apabila berkenaan dengan cidera janji oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur masih belum diakui oleh debitur adanya cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri secara paksa melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri dan hal ini telah ternyata tidak terbukti menjadikan tidak memberikan perlidungan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon dalam perkara a quo. Sebaliknya, hal demikian justru memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian fidusia. Sebab, pada sebuah perjanjian Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak dan/atau tidak bergerak sepanjang tidak dibebani hak tanggungan dan subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian dimaksud (kreditur dan debitur), maka perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan harus diberikan terhadap ketiga unsur yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan.

[3.14.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri;
Bahwa selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon, yaitu petitum angka 2 yang pada pokoknya meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai kembali ke Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebelum diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menurut Pemohon justru dengan adanya Putusan Mahkamah, eksekusi melalui pengadilan telah menyulitkan Pemohon selaku kolektor atau perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, dan konsumen terhadap pelaksanaan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya karena penafsiran norma dalam frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” sudah tepat dan memberikan sebuah bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian fidusia;
Bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo antara lain proses eksekusi lama, biaya eksekusi lebih besar dibanding pendapatan barang fidusia, dan berpotensi hilangnya objek jaminan di tangan debitur, sesungguhnya lebih kepada persoalanpersoalan konkret. Hal tersebut dapat saja terjadi dalam hubungan hukum antarprivat yang sifatnya sangat spesifik dan kompleks. Dalam batas penalaran yang wajar, hal-hal tersebut tidak dapat diakomodir dengan selalu menyelaraskan norma dari undang-undang yang bersangkutan. Terlebih lagi, terhadap norma yang memang tidak terdapat persoalan konstitusionalitasnya. Apalagi norma yang dimohonkan Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari dalil Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya, dan sesungguhnya dalil-dalil yang tidak dipertimbangkan tersebut adalah persoalan implementasi norma yang tidak ada keterkaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma. Oleh karenanya, apabila dalil-dalil dimaksud benar adanya maka upaya-upaya hukum dapat ditempuh oleh Pemohon sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Muhamad Taufiq, S.Kom, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

sebagian frasa dan kata dalam Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945

Pancasila sila pertama, sila kedua, dan sila kelima.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 12 Februari 2021 dari Muhammad Taufiq, S.Kom. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 12 Februari 2021 serta telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 18/PUU-XIX/2021, bertanggal 28 Mei 2021 perihal Pengujian Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945 terhadap Pancasila, yaitu Sila Pertama, Sila Kedua dan Sila Kelima;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 18/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 18.18/PUU/TAP.MK/Panel/5/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Nomor 18/PUU- XIX/2021, bertanggal 28 Mei 2021.
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
22.18/PUU/TAP.MK/HS/5/2021 tentang Penetapan Hari
Sidang Pertama untuk Perkara Nomor 18/PUU-XIX/2021,
bertanggal 9 Juni 2021;
c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan sidang pemeriksaan pendahuluan pada 9 Juni 2021. Dalam persidangan tersebut, pokok permasalahan yang diajukan oleh Pemohon adalah pasal-pasal UUD 1945 yang diajukan pengujian oleh Pemohon tidak dapat menjangkau perbuatan perusakan alam yang terjadi di Indonesia, dan hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila;
d. bahwa terhadap permasalahan sebagaimana diuraikan pada huruf c di atas, Mahkamah telah memberi nasihat kepada Pemohon yang pada pokoknya agar Pemohon menentukan norma Undang-Undang yang diuji untuk mengakomodasikan permohonan Pemohon guna membuktikan kerugian hak konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK, sehingga dengan demikian menjadi jelas norma Undang-Undang yang menjadi objek permohonan;
e. bahwa dalam sidang perbaikan permohonan pada 26 Juli 2021, Pemohon tetap pada pendiriannya yaitu mengajukan permohonan pengujian Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 37 UUD 1945 terhadap Pancasila, yaitu Sila Pertama, Sila Kedua dan Sila Kelima dan tidak melakukan perbaikan permohonan sebagaimana dinasihatkan Mahkamah pada sidang pemeriksaan pendahuluan;
f. bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
g. bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak berkenaan dengan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana termuat pada huruf c, huruf d, dan huruf e di atas, maka Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon a quo. Sementara itu, Pasal 48A ayat (1) huruf a UU MK, menyatakan, ”Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal: a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan”;
h. bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan ketetapan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Herifuddin Daulay (Guru Honorer), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 60 ayat (1) UU MK

Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 60 ayat (1) UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai persoalan konstitusionalitas norma Pasal 60 ayat (1) UU MK sebagaimana didalilkan Pemohon, Mahkamah perlu menjelaskan terlebih dahulu latar belakang norma a quo;
Bahwa dalam mengadili perkara pengujian undang-undang, ketentuan Pasal 60 UU MK telah mengalami perkembangan berkenaan dengan pengujian muatan ayat, pasal, dan atau bagian dalam undang-undang yang belum pernah diajukan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi. Sejalan dengan dinamika dan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat, ketentuan Pasal 60 UU MK dari yang semula merupakan norma tunggal yang menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”, kemudian diubah menjadi: “(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; dan (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”. Bahkan, dengan pertimbangan mengikuti perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat tersebut, sebelum dilakukannya perubahan atas UU MK (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) Mahkamah pun telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005), in casu Pasal 42, yang selengkapnya menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian undang-undang terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005 yang kemudian semangatnya diadopsi dalam Pasal 60 ayat (2) UU MK (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) tersebut telah memberi peluang atau kesempatan kepada setiap warga negara Indonesia, termasuk persoalan yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan a quo sepanjang memenuhi syarat konstitusionalitas adanya dasar pengujian dan alasan permohonan yang berbeda. Semangat tersebut ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) untuk mengakomodasi kedua syarat pengujian kembali materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dalam undang-undang.
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan permohonan Pemohon maka Pemohon telah keliru dalam memahami ketentuan norma a quo secara utuh atau lengkap karena persyaratan untuk mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (1) UU MK bukanlah norma yang berdiri sendiri karena norma dimaksud harus dibaca dan dipahami bersamaan dengan norma yang termuat dalam Pasal 60 ayat (2) UU MK serta Pasal 78 PMK 2/2021. Oleh karena itu, dengan memahami secara utuh ketentuan dimaksud, maka tidak ada halangan bagi Pemohon untuk mengajukan pengujian materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji di Mahkamah Konstitusi dalam rangka Pemohon hendak menggunakan hak konstitusionalnya yaitu upaya bela negara sepanjang permohonan tersebut memenuhi norma a quo. Bahkan, pengujian berulang dengan alasan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan tersebut telah berulang kali diputuskan oleh Mahkamah. Dengan demikian, sebenarnya tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 60 ayat (1) UU MK, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Hendry Agus Sutrisno, S.S, S.I.Pem, S.H, M.Pd, M.H, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 36 ayat (1) huruf b, UU 37/2008

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XV/2017, bertanggal 20 Maret 2018. Adapun dalam permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2). Sementara itu, Pemohon a quo menggunakan dasar pengujian dalam permohonannya adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 adalah mengenai keberadaan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 yang dianggap menghalangi kepastian hukum, keadilan dan kebenaran substansial/materiil akan tindakan maladministrasi. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 dianggap oleh Pemohon telah membatasi laporan yang diterima dari aspek formil saja tetapi tidak termasuk aspek materiil sebagaimana kewenangan lembaga praperadilan. Dengan adanya perbedaan dasar pengujian maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 dengan dasar pengujian maupun alasan konstitusional permohonan a quo, terlebih lagi Perkara Nomor 46/PUU-XV/2017 tidak mempertimbangkan pokok permohonan, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, dapat diajukan kembali;
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara seksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan oleh Pemohon, telah ternyata yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 yang menurut Pemohon tidak memberikan perlindungan dan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Ombudsman menolak Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal: … b. substansi Laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan/atau menyangkut tindakan Maladminstrasi pada tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan”. Terhadap permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 37/2008, Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Adapun tugas Ombudsman salah satunya adalah menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan publik dengan hasil pemeriksaan dapat berupa menolak atau menerima laporan dan memberikan rekomendasi (vide Pasal 7 dan Pasal 35 UU 37/2008). Dengan demikan, terhadap penyelenggara negara yang dianggap melakukan dugaan maladministrasi maka warga negara dapat mengajukan laporan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI);
2. Bahwa terkait dengan laporan yang ditolak, secara lengkap ditegaskan dalam Pasal 36 Undang-Undang a quo yaitu terhadap hal (a) Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan, (b) Substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan, (c) Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu yang patut, (d) Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan, (e) Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman, (f) Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau (g) Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi, Ombudsman dapat menolak laporan yang diajukan. Oleh karena itu, salah satu alasan penolakan ORI menolak laporan yang diajukan oleh pelapor adalah karena adanya dugaan maladministrasi namun dalam hal susbtansinya telah diperiksa pengadilan, maka ORI dapat menolak laporan tersebut, kecuali pelapor dapat membuktikan adanya tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan.
3. Bahwa pemeriksaan di pengadilan dipandang menjadi salah satu alasan untuk ditolaknya laporan ke ORI, sebab pengadilan sebagai badan penyelenggara negara di bidang yudikatif mempunyai tugas pokok menyelesaikan sengketa para pihak baik “sengketa” privat maupun publik dengan kewenangan yang dimiliki yaitu mengadili suatu perkara, di mana amar putusan badan peradilan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana halnya kekuatan berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, esensi dari alasan penolakan oleh ORI dengan alasan tersebut di atas, adalah bentuk penghormatan terhadap putusan badan peradilan yang tidak dapat dipertentangkan dengan putusan badan penyelenggara negara/pemerintahan lainnya, sebab hanya badan peradilanlah yang mempunyai putusan yang bersifat eksekutorial, sebagaimana melaksanakan suatu perintah dari undang-undang.
4. Bahwa upaya mendapatkan keadilan melalui praperadilan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Pemohon adalah juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa/perkara yang menjadi kewenangan badan peradilan, sebab, praperadilan pada hakikatnya merupakan salah satu pranata dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Pengaturan Lembaga Praperadilan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) tercantum dalam Pasal 1 angka 10, Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Kemudian dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 bertanggal 28 April 2015. Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan dan sah tidaknya penetapan tersangka. Dengan demikian, lembaga praperadilan yang merupakan bagian dari proses pemeriksaan pengadilan yang bertujuan sebagai sarana kontrol yuridis atas tindakan aparat penegak hukum (penyidik atau penuntut umum) adalah juga merupakan bagian dari kewenangan penyelenggara negara yang diberi wewenang khusus, yaitu melakukan penyidikan dan penuntutan yang merupakan bagian dari proses peradilan dengan tujuan tegaknya hukum, kepastian hukum serta perlindungan hak asasi manusia;
5. Bahwa proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana yang dimohonkan Pemohon agar dijadikan alasan sebagai pengecualian tidak dibenarkannya ORI menolak laporan dan menjadikannya satu rumpun dengan pemeriksaan pengadilan sama halnya dengan mencampurkan antara tahapan yang menjadi kewenangan penyelenggara negara/pemerintahan pada umumnya dengan tahapan yang menjadi kewenangan badan peradilan yang keduanya mempunyai akibat hukum yang berbeda. Sebab, tahapan yang menjadi kewenangan penyelidik dan penyidik adalah proses yang mendahului pemeriksaan perkara sebelum dilimpahkannya ke pengadilan. Oleh karenanya, semua tindakan penyelidik maupun penyidik adalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara/pemerintahan yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang dalam bidang penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian, semua tindakan yang dilakukan penyelidik dan penyidik sebagai penyelenggara negara dapat dijadikan objek sengketa di pengadilan atau juga objek laporan di ORI, hal tersebut sangat tergantung pada upaya atau pilihan yang ditempuh oleh subjek hukum yang merasa/menganggap tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atas laporan/kepentingan yang diajukannya. Dalam konteks kasus konkret yang dialami Pemohon, Pemohon yang telah menjadi pelapor terhadap tindak pidana yang dialaminya yaitu sebagai korban penipuan/penggelapan sesungguhnya dapat melaporkannya kepada ORI sepanjang ditemukan unsur maladministrasi selama penyelidik maupun penyidik tersebut menangani proses perkara yang diajukan oleh pelapor ataupun mengajukan penyelesaian kepada pengadilan. Namun, dalam hal ini Pemohon memilih mengajukan permohonan praperadilan kepada pengadilan dan telah diputus dengan ditolak permohonan praperadilan dimaksud. Oleh karena itu tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, perkara praperadilan yang telah ditempuh oleh Pemohon adalah merupakan bagian dari “telah adanya pemeriksaan pengadilan” sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008. Sebab, perkara praperadilan adalah bagian dari jenis perkara yang menjadi kewenangan pengadilan untuk diperiksa dan diadili untuk selanjutnya mendapatkan putusan pengadilan. Bahwa adanya putusan pengadilan tersebut selanjutnya dijadikan alasan ORI menolak laporan Pemohon dengan alasan adanya ketentuan norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008, meskipun sesungguhnya masih terbuka kesempatan pelapor untuk melaporkan penanganan perkara praperadilan oleh pengadilan, apabila pelapor dapat menunjukkan bukti adanya maladministrasi pada saat pemeriksaan di pengadilan dan hal tersebut menjadi kewenangan ORI untuk memeriksanya.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas dalam hal setiap warga negara yang mengalami adanya tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh semua penyelenggara negara/pemerintahan maupun swasta yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dapat mengajukan laporan kepada ORI sesuai peraturan perundang-undangan. Adanya pembatasan terhadap beberapa hal yang dilakukan oleh ORI atas laporan yang diajukan, Mahkamah dapat memahami bahwa pembatasan tersebut sejatinya bertujuan untuk menghormati kewenangan pihak/lembaga lain yang sedang atau telah melakukan proses pemeriksaan, khususnya badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang mempunyai kewenangan menyelesaikan semua sengketa, baik yang bersifat privat maupun publik termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan penyelenggara negara/pemerintahan. Terlebih amanat Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 telah dengan tegas ditujukan untuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan, khususnya lembaga peradilan yang merupakan lembaga yang berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh setiap warga negara pencari keadian karena adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara/pemerintahan ataupun pihak lain. Dengan kata lain, di samping memberikan kesempatan kepada masyarakat dan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa sesuai mekanisme hukum yang berlaku, juga untuk menghindari adanya tindakan mencampuri urusan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi dari pihak pengadilan, terkecuali ditemukan adanya maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Dengan demikian, rumusan norma pasal a quo tidak hanya telah memenuhi rasa keadilan bagi para pihak pencari keadilan, tetapi sekaligus juga memberikan kepastian hukum bagi pelapor dan terlapor.
Bahwa selanjutnya penting ditegaskan, mengenai permasalahan yang diajukan Pemohon sebagai dasar untuk mengajukan permohonan a quo, di mana ketentuan norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 khususnya pada frasa “proses pemeriksaan di pengadilan” dimaknai dengan diperluas atau ditambahkan frasa “dan/atau menyangkut tindakan Maladminstrasi pada tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan”. Terhadap hal tersebut Mahkamah menegaskan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon adalah sebagai hal yang berlebihan, sebab secara a contrario hal tersebut tanpa dimohonkan oleh Pemohon sesungguhnya adanya tindakan maladminstrasi pada tingkat penyelidikan dan/atau penyidikan sudah termaktub dari bagian tindakan penyelenggara negara/pemerintahan yang apabila melakukan maladministrasi dapat dilaporkan kepada ORI [vide Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 UU 37/2008]. Oleh karena itu, apabila keinginan Pemohon tersebut diakomodir maka hal tersebut justru akan mempersempit ruang lingkup objek pihak yang dapat dilaporkan kepada ORI apabila diduga telah melakukan maladministrasi, termasuk dalam hal ini hilangnya penyelidik dan penyidik untuk menjadi salah satu subjek hukum yang dapat dilaporkan kepada ORI apabila dikecualikan dari rumpun penyelenggara negara/pemerintahan. Di samping alasan tersebut, memasukkan perbuatan maladministrasi yang dilakukan penyelidik dan penyidik menjadi bagian dari pengecualian pada Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 juga akan menjadikan adanya ambiguitas terhadap laporan yang dapat menjadi pilihan bagi calon pelapor yang diakibatkan adanya 2 (dua) norma yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 UU 37/2008 dengan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008, yang sesungguhnya saling bertentangan dan mempunyai sifat yang berbeda, di mana ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 UU 37/2008 adalah mengatur berkenaan dengan kewenangan ORI untuk menerima setiap laporan, sementara ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 mengatur kewenangan ORI untuk dapat menolak laporan. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, selain sekedar mengakomodir kasus konkret yang dialami Pemohon yang sebenarnya tidak ada relevansinya dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008, juga akan menimbulkan persoalan lain dengan munculnya penafsiran baru terhadap penerapan norma pasal a quo.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon mengenai permasalahan konstitusional Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 37/2008 berkenaan dengan kewenangan ORI terhadap laporan adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Yayasan Auriga Nusantara yang diwakili oleh Timer Manurung (Ketua Pengurus), Syahrul Fitra (Sekertaris Pengurus), Triana Ramdani (Bendahara Pengurus) dan Perkumpulan Kaoem Telapak yang diwakili oleh Mardi Minangsari (Ketua Pengurus) dan Wisnu Trta Setiadi (Wakil Ketua Pengurus), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 74 UU TPPU dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Kuasa Hukum para Pemohon bertanggal 1 Juli 2021 perihal Pencabutan Perkara Nomor 22/PUU-XIX/2021, yang diterima pada 23 Juli 2021;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 22/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 22.22/PUU/TAP.MK/Panel/6/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 22/PUU-XIX/2021, bertanggal 7 Juni 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 26.22/PUU/TAP.MK/HS/6/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 22/PUU-XIX/2021, bertanggal 7 Juni 2021;
c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada 28 Juli 2021 secara daring (online). Pada Sidang Panel tersebut, setelah Mahkamah melakukan klarifikasi kepada para Pemohon berkaitan dengan surat pencabutan atau penarikan permohonan perkara a quo, selanjutnya baik prinsipal maupun Kuasa Hukum para Pemohon menyampaikan adalah benar para Pemohon mengajukan penarikan kembali terhadap Permohonan a quo dikarenakan pokok materi yang sama dengan Permohonan para Pemohon telah diputus dan dikabulkan oleh Mahkamah;
d. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 4 Agustus 2021 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 22/PUUXIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Moch. Ojat Sudrajat S. (Wiraswasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 18 Juni 2021, dari Moch. Ojat Sudrajat S., beralamat di Kp. Narimbang Pasir, RT 002, RW 003, Ds. Narimbang Mulya, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 21 Juni 2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 30/PUU-XIX/2021 pada 28 Juni 2021, perihal Permohonan Pengujian Pasal 175 angka 6 Pasal 53 ayat (5) yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden” Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap permohonan Nomor 30/PUUXIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 30.30/PUU/ TAP.MK/Panel/6/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 30/PUU-XIX/2021, bertanggal 28 Juni 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 34.30/PUU/TAP.MK/HS/6/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 30/PUU-XIX/2021, bertanggal 28 Juni 2021;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut dalam Sidang Panel pada 22 Juli 2021 secara daring (online) dan pada Sidang Panel tersebut Pemohon menjelaskan pokok-pokok permohonannya dan Panel Hakim memberikan nasihat berkenaan dengan permohonan Pemohon;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon bertanggal 26 Juli 2021, perihal Pencabutan Perkara Nomor 30/PUU-XIX/2021, yang diterima pada 27 Juli 2021;
e. bahwa dalam upaya menjalankan prinsip kehati-hatian dan kecermatan, terhadap surat pencabutan atau penarikan kembali permohonan dari Pemohon yang diterima Mahkamah Konstitusi pada 27 Juli 2021, Mahkamah Konstitusi memandang perlu untuk melakukan klarifikasi kepada Pemohon dalam persidangan berkenaan dengan kebenaran permohonan pencabutan atau penarikan kembali dimaksud dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 3 Agustus 2021;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan, “penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali”;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 4 Agustus 2021 berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 30/PUU-XIX/2021 beralasan menurut hukum dan permohonan Pemohon tidak dapat diajukan kembali serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Muhammad Yusuf Sahide, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Iwan Gunawan, S.H., M.H, dkk, advokat/konsultan hukum pada kantor SGP Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019

dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa salah satu pertimbangan mendasar dibentuknya UU 5/2014 adalah perlunya dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pelaksanaan cita-cita bangsa serta mampu mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 [vide konsiderans “Menimbang” huruf a UU 5/2014]. Pertimbangan tersebut juga ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU 5/2014 [vide Penjelasan Umum UU 5/2014].
2. Bahwa ASN dalam melaksakan tugas dan tanggung jawab profesinya juga memiliki kewajiban dalam mengelola dan mengembangkan dirinya dan juga wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya. ASN secara filosofis dan ideologis memiliki kewajiban untuk setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah yang dalam pelaksaaanya juga harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik serta tunduk dan taat kepada peraturan perundang-undangan.
3. Bahwa ASN dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya juga terikat dengan asas, prinsip, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku sebagaimana diatur dalam UU 5/2014 yang pada akhirnya akan berujung pada kewajiban utama sebagai ASN yakni setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah. Hal tersebut juga menjadi landasan filosofis adanya kewajiban ASN untuk mengucapkan sumpah dan janji setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU 5/2014.
4. Bahwa Mahkamah dalam putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, telah mempertimbangkan dan memutus mengenai konstitusionalitas norma Pasal 24 UU 19/2019 yang memiliki isu konstitusional yang sama dengan apa yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo. Untuk itu, sebelum mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang mengenai norma Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 tersebut, penting bagi Mahkamah untuk kembali menegaskan beberapa pertimbangan Mahkamah dalam putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 sebagai berikut:
1. Bahwa mengenai isu konstitusionalitas terjadinya potensi pembatasan kesempatan terhadap pegawai KPK, Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Jika dipelajari secara saksama substansi Pasal 24 UU 19/2019 sama sekali tidak mengandung aspek pembatasan kesempatan yang sama untuk menjadi ASN bagi pegawai KPK, terlebih lagi dalam pelaksanaan proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN masih harus didasarkan pada Ketentuan Peralihan UU 19/2019 yang muatannya berkenaan dengan penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan undang-undang yang lama terhadap undang-undang yang baru, di mana tujuan adanya Ketentuan Peralihan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan undang-undang, mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara (vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011)”.
2. Bahwa mengenai isu konstitusionlitas adanya potensi perlakuan berbeda yang ditujukan kepada pegawai KPK akibat adanya peralihan status sebagaimana diatur dalam UU 19/2019, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Ketentuan mengenai pegawai ASN ini sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi pegawai di KPK tetapi juga sejak lama telah diberlakukan bagi pegawai-pegawai dari lembaga-lembaga negara yang juga menjalankan fungsi penegakan hukum, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di mana pegawai di kedua lembaga negara tersebut adalah pegawai ASN dan tidak berpengaruh terhadap independensi dari kedua kelembagaan tersebut dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum”.
Selain itu, Mahkamah juga memberikan penegasan terkait dengan batas usia dan adanya potensi terlanggarnya hak berserikat dan berkumpul serta potensi akibat adanya peralihan status pegawai KPK, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Lebih lanjut, berkenaan dengan status sebagai pegawai ASN bagi pegawai KPK sama sekali tidak menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk berserikat dan berkumpul sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dimaksudkan untuk semata-mata mencapai tujuan KPK dalam desain pemberantasan korupsi. Selanjutnya, berkaitan dengan persoalan usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun sehingga dikhawatirkan para Pemohon akan kehilangan kesempatan jika pegawai KPK nantinya menjadi pegawai ASN karena adanya ketentuan yang menyatakan, “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. usia paling rendah 18 (delapan belas) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat melamar” [vide Pasal 23 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajamen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017)]. Ketentuan yang dirujuk para Pemohon tersebut memang benar adanya namun diberlakukan bagi setiap warga negara Indonesia yang akan melamar sebagai PNS atau pegawai ASN. Sementara, bagi pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN karena berlakunya UU 19/2019. Oleh karenanya dalam UU 19/2019 ditentukan waktu untuk dilakukannya penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK adalah paling lama 2 (dua) tahun sejak UU berlaku. Berkaitan dengan mekanisme penyesuaian tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (PP 41/2020), yang secara substansial desain pengalihannya telah ditentukan mulai dari: pemetaan ruang lingkup pegawai KPK (apakah berstatus pegawai tetap atau pegawai tidak tetap); tahapan pengalihannya dengan melakukan penyesuaian jabatan pada KPK saat ini; identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK; pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai dengan jabatan ASN yang akan diduduki; pelaksanaan pengalihan pegawai apakah akan menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK); serta menetapkan kelas jabatannya (vide Pasal 4 PP 41/2020). Dengan demikian, sekalipun pegawai KPK tersebut telah berusia 35 tahun atau lebih tidak berarti mereka akan kehilangan kesempatan untuk dilakukan penyesuaian apakah menjadi PNS atau PPPK. Untuk mengatur lebih lanjut mekanisme kerja pengalihan tersebut agar lebih cepat diwujudkan sesuai dengan kondisi faktual, PP 41/2020 menyerahkan pengaturannya dalam Peraturan KPK. Dalam Peraturan KPK inilah telah ditentukan penghitungan terhadap masa kerja dalam jenjang pangkat sebelum pegawai KPK menjadi ASN (vide Pasal 7 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara). Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan”.
3. Bahwa mengenai isu konstitusionalitas adanya potensi dualisme pengawasan terhadap pegawai KPK akibat berlakunya UU 19/2019, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Selanjutnya, dalam kaitan dengan pengalihan status pegawai KPK sebagai pegawai ASN, para Pemohon tanpa memberikan argumentasi persoalan konstitusionalitas norma namun mengkhawatirkan akan terjadinya dualisme pengawasan, yaitu pengawasan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan oleh Dewan Pengawas KPK sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Berkenaan dengan apa yang dikhawatirkan para Pemohon ini, penting pula bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu ihwal KASN, bahwa KASN ini adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa (vide Pasal 27 UU 5/2014). Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN agar dapat dijamin terwujudnya sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN. Sistem merit ini menjadi salah satu “spirit” diubahnya UU kepegawaian yang lama sehingga dengan bekerjanya sistem tersebut benar-benar dapat diwujudkan kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan (vide Pasal 1 angka 22 dan Penjelasan Umum UU 5/2014). Lebih dari itu, pengawasan oleh KASN berlaku untuk seluruh pegawai ASN yang ada di lembaga/institusi manapun tanpa terkecuali, termasuk di lembaga negara yang melaksanakan fungsi penegakan hukum. Oleh karenanya tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai ASN dengan pengawasan ASN oleh KASN dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas karena keduanya dapat saling melengkapi”.
4. Bahwa Mahkamah juga telah mempertimbangkan ketentuan peralihan yang secara spesifik terkait dengan peralihan status pegawai KPK dalam Pasal 69B dan Pasal 69C sebagai berikut:
“ ... Ketentuan Peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 telah menentukan bagaimana desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena dampak apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK sebagaimana didalilkan para Pemohon. Karena, bagi penyelidik atau penyidik KPK dan bagi pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN maka dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU 19/2019 mulai berlaku dapat diangkat sebagai ASN, dengan ketentuan untuk penyelidik atau penyidik KPK telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bagi pegawai KPK pengangkatan dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud tunduk pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) berikut peraturan pelaksananya”.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas, dalam mempertimbangkan permohonan a quo tidak mungkin dilepaskan konteksnya dari pertimbangan mendasar dibentuknya UU 5/2014 sebab dalam diri ASN melekat tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Selain itu, dalam mempertimbangkan permohonan a quo, tidak mungkin dilepaskan dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang secara garis besar telah memberikan pertimbangan secara saksama berkenaan dengan permasalahan alih status pegawai KPK tersebut.
[3.12] Menimbang bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah dalam putusan 70/PUU-XVII/2019, Mahkamah juga harus menegaskan kembali tentang makna “ ... tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut”, sebagai berikut:
1) Bahwa makna “tidak boleh merugikan” dalam konteks individu pegawai KPK, mengandung arti bahwa dalam pelaksaanaan alih status dari pegawai KPK ke pegawai dengan status ASN, semua pegawai KPK mempunyai kesempatan yang sama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus tetap mengedepankan sumber daya manusia pegawai KPK yang bukan hanya profesional tapi juga berintegritas, netral dan bebas dari intervensi politik, serta bersih dari penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pegawai KPK;
2) Bahwa makna “tidak boleh merugikan” dalam konteks lembaga, mengandung arti tidak boleh merugikan bagi lembaga KPK sendiri yang dalam hal ini terkait dengan teknis penegakan hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang fokus pada pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3) Bahwa makna “tidak boleh merugikan” dalam konteks sebagai Aparatur Sipil Negara adalah mengandung arti agar menjadi Aparatur Negara yang loyal dan tunduk kepada politik negara yang patuh untuk menjalankan segala produk peraturan perundang-undangan yang berlaku sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) Bahwa makna “tidak boleh merugikan” dalam konteks negara adalah dalam arti merugikan untuk kepentingan bangsa dan negara sehingga ASN diharapkan dapat menjadi alat pemersatu bangsa dan negara yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3.13] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon dalam perkara a quo, penting bagi Mahkamah untuk kembali menegaskan bahwa pada saat Mahkamah memeriksa dan memutus norma Pasal 24 UU 19/2019 dalam perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019, terkait dengan status peralihan pegawai KPK, Mahkamah tidak dapat melepaskan dari adanya fakta bahwa ada rangkaian keterkaitan antara Pasal 24 dengan ketentuan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019, sehingga dalam pertimbangan Mahkamah terkait dengan konstitusionalitas norma Pasal 24 UU 19/2019, Mahkamah telah pula mempertimbangkan Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019.
Begitupun sebaliknya pada saat Mahkamah memeriksa dan memutus norma Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara a quo, Mahkamah juga menjadikan pertimbangan Mahkamah saat memutus norma Pasal 24 UU 19/2019 sehingga menurut Mahkamah, pertimbangan Mahkamah dalam perkara 70/PUU-XVII/2019 khususnya terkait norma Pasal 24 menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat Mahkamah memutus norma Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 dalam perkara a quo.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan uraian pada Paragraf [3.11] sampai dengan Paragraf [3.13] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan peralihan pegawai KPK termasuk penyelidik dan penyidik untuk menjadi ASN seakan-akan menggunakan hukum untuk membenarkan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum (rule by law) sehingga melanggar konsep negara yang berdasarkan hukum (rule of law) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon adanya fakta bahwa Pimpinan KPK menggunakan hasil dari TWK sebagai dasar hukum seseorang untuk diangkat atau tidak diangkat sebagai ASN yang berawal dari adanya penafsiran yang menurut Pemohon digantungkan terhadap makna yang terkandung dalam frasa “dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) UU 19/2019 dan frasa “dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69C UU 19/2019 sehingga makna frasa “peraturan perundang-undangan” sendiri menurut Pemohon dapat ditafsirkan segala peraturan yang berlaku sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Artinya, syarat tersebut bisa jadi diatur dalam peraturan di bawah undang-undang yang ternyata materi muatannya telah ditafsirkan secara keliru oleh KPK dan BKN dengan menggunakan hasil dari TWK sebagai dasar untuk menentukan seseorang diangkat atau tidak diangkat menjadi ASN. Hal demikian menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil a quo, menurut Mahkamah, Pemohon telah keliru menafsirkan konsep negara hukum hanya dalam tataran praktis desain pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Menurut Mahkamah, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 bahwa ketentuan perundangan-undangan dimaksud adalah peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan ASN yang dalam hal ini adalah UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya. Mahkamah juga mencermati terkait dengan adanya kekhususan bagi pegawai KPK dalam desain peralihan pegawai KPK ke ASN sebagaimana diatur dalam PP 41/2020. Menurut Mahkamah, hal tersebut adalah bentuk kekhususan yang justru bertujuan untuk memperkuat independensi KPK dengan tanpa menafikan adanya aturan lain terkait ASN yakni UU 5/2014 yang mengikat seluruh korps ASN. Menurut Mahkamah, seharusnya hal ini juga menjadi pusat perhatian Pemohon, bahwa desain yang ada memang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang merupakan bentuk perwujudan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan sebagai bentuk adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal utama yang juga harus dipahami oleh Pemohon adalah bahwa pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 pemaknaannya tidak bisa dilepaskan atau harus dimaknai sebagai satu kesatuan dengan norma yang dijamin dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Hakikat hak asasi manusia adalah kebebasan, tetapi kebebasan bukan berarti kebebasan yang tanpa batas, melainkan kebebasan itu harus terhenti ketika mulai memasuki wilayah kebebasan orang lain, sebagai pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Sementara itu, terhadap dalil bahwa pemberlakuan TWK telah mengakibatkan terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidaklah secara langsung berhubungan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik in casu penyidik dan/atau penyelidik KPK atau hak untuk turut serta dalam pemerintahan melainkan lebih pada konteks due process of law dalam negara hukum yang demokratis. Artinya dalil Pemohon tersebut baru dapat dipertimbangkan dapat diterima apabila dalam rangka due process of law terdapat norma yang menyebabkan Pemohon tidak memperoleh kepastian hukum yang adil dan diperlakukan secara berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya yang berstatus sama dengan Pemohon in casu sebagian pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Menurut Mahkamah, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk menjamin seseorang yang telah menduduki jabatan apapun tidak dapat diberhentikan dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dalam arti setiap pegawai yang mengalami alih status mempunyai kesempatan yang sama menjadi ASN dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 bukan hanya berlaku bagi Pemohon in casu pegawai KPK yang tidak lolos TWK melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK. Oleh karena itu menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi. Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai NGO yang concern terhadap kinerja KPK. Menurut Pemohon, ada potensi kerugian konstitusional yang akan dialami akibat adanya alih status pegawai KPK yang dalam pelaksanaan proses alih status telah didahului oleh TWK sehingga menyebabkan beberapa pegawai KPK tidak lolos, sehingga menurut Pemohon, hal tersebut berakibat hilangnya hak pegawai KPK untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Equal Remuneration Convention 1951 dan terlanggarnya hak untuk mendapatkan pekerjaan, penghidupan yang layak, hak mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN tidaklah dapat disamakan dengan penerimaaan pegawai baru ASN maupun proses promosi jabatan dalam sistem ASN dengan merujuk pada UU 5/2014 dan PP 11/2017.
Terhadap dalil a quo, menurut Mahkamah, Pemohon tidak tepat mengutip dan menyandingkan permasalahan a quo yang dikaitkan dengan hak untuk mendapatkan imbalan yang layak sebagaimana diatur dalam Equal Remuneration Convention 1951 oleh karena konvensi tersebut lebih fokus kepada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam persoalan remunerasi yang mencakup upah atau gaji.
Selain itu, sebagaimana yang telah Mahkamah jelaskan dalam pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.15] di atas, bahwa dalil utama permohonan Pemohon adalah terkait dengan dimasukannya syarat TWK yang menurut Pemohon menjadi bagian syarat utama dalam hal peralihan pegawai KPK menjadi ASN yang menyebabkan beberapa pegawai KPK tidak secara otomatis menjadi ASN, menurut Mahkamah, uraian dalil Pemohon a quo telah mencampuradukan antara persyaratan untuk menjadi ASN in casu persyaratan untuk menjadi ASN di lingkungan KPK dengan persyaratan untuk mendapatkan pekerjaan.
Meskipun benar bahwa dalam pengertian sehari-hari kedua hal tersebut tidak dibedakan, namun dalam pengelompokan hak asasi manusia sebagai bagian dari hak konstitusonal, keduanya berada dalam kelompok yang berbeda. Hak warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk menduduki jabatan publik adalah bagian dari hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) sedangkan pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah bagian dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social, and cultural rights). Oleh karena itu, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 yang mengatur tentang alih status pegawai KPK menjadi bertentangan dengan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah tidak tepat.
Selain itu, terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa mekanisme TWK juga telah melanggar Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah analogi Pemohon tersebut tidak tepat adanya, oleh karena hak untuk bekerja sangat berkaitan langsung dengan hak untuk mencari nafkah, sangat erat dengan hak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk hidup sejahtera lahir batin. Hak-hak tersebut tidak hanya dimiliki oleh segolongan orang saja, yang karena hal-hal tertentu diuntungkan dalam mendapatkan pekerjaan tetapi hak-hak tersebut juga dimiliki oleh setiap orang tanpa dibedakan-bedakan. Adanya fakta bahwa untuk pekerjaan tertentu diberikan syarat khusus yang tertentu pula, tidaklah ditafsirkan sebagai upaya untuk menghilangkan hak seseorang untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, adanya kekhususan syarat dalam sebuah pekerjaan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) sepanjang dilakukan berdasarkan alasan dan melalui prosedur yang adil, rasional dan sah. Hal yang dilarang oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah apabila ketentuan undang-undang telah menghilangkan secara mutlak hak seseorang untuk bekerja.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan adanya peralihan status pegawai KPK termasuk penyelidik dan penyidik menjadi ASN yang tidak secara otomatis berpotensi menghalangi hak konstitusional pegawai KPK untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Menurut Pemohon, penerapan persyaratan lolos TWK untuk alih status ASN sebagai akibat tidakpastinya materi muatan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019, yang akan menghilangkan hak konstitusional pegawai KPK jika pegawai KPK yang tidak lolos TWK diberhentikan. Hal tersebut akan menutup kesempatan untuk mengabdi dan bekerja di dalam KPK padahal bekerja di KPK adalah salah satu bentuk kesempatan dalam berpartisipasi dalam Pemerintahan yang merupakan hak yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Terhadap dalil a quo, Mahkamah berpendapat bahwa pemenuhan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan tidaklah meniadakan kewenangan negara untuk mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, terlebih jika kesempatan yang sama dalam pemerintahan tersebut menyangkut pengisian jabatan publik yang membutuhkan kepercayaan dari masyarakat. Sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam putusan perkara 70/PUU-XVII/2019, bahwa secara substansial desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN telah ditentukan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan in casu UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya dan salah satu ukuran umum yang telah diterima sebagai ukuran objektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan tersebut adalah wawasan kebangsaan yang juga menjadi syarat saat seleksi ASN dan saat pengembangan karier PNS sebagaimana diatur dalam UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, persyaratan demikian tidaklah tepat apabila dinilai sebagai ketentuan yang menghalangi hak seseorang warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan juga tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang mengandung perlakuan diskriminasi.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 bertentangan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, regulasi manajemen ASN yang saat ini sudah berlaku telah mengedepankan adanya pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang bukan hanya profesional, namun juga memiliki nilai dasar, memiliki etika profesi, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Proses dan mekanisme seleksi ASN yang transparan dan akuntabel juga menjadi bagian integral dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia ASN yang berkualitas. Selain itu, proses pendidikan dan pelatihan untuk para ASN juga telah dilakukan secara terintegrasi dengan tujuan untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, membangun karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang. Hal tersebut tentunya diberlakukan bagi seluruh pegawai ASN tanpa terkecuali sebagai upaya untuk menjaga marwah ASN agar ASN bukan hanya profesional tapi benar-benar dapat menjadi contoh dan teladan di masyarakat sehingga pada saat menjalankan tugas jabatannya akan menjunjung etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Menurut Mahkamah, upaya untuk mewujudkan ASN yang profesional, berintegritas dan memiliki moralitas, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan stakeholder terkait namun juga menjadi tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat dengan tetap mengedepankan asas, prinsip, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku sebagaimana diatur dalam UU 5/2014.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil Pemohon berkenaan dengan inkonstitusional norma Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION)
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi a quo, empat Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memiliki alasan berbeda (concurring opinion) sebagai berikut:
[6.1] Menimbang bahwa Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “…memenuhi ketentuan 1. Bersedia menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), dan 2. Belum memasuki batas usia pensiun sesuai ketentuan perundang-undangan”. Argumentasi yang dibangun Pemohon untuk sampai pada petitum tersebut karena menurut Pemohon pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN bukanlah karena kehendak pegawai KPK tetapi karena hukum, in casu UU 19/2019 yang menghendaki penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus pegawai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak UU 19/2019 berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 69B UU 19/2019). Demikian juga dengan pegawai KPK diperlakukan dengan ketentuan yang sama dengan Pasal 69B untuk menjadi pegawai ASN (vide Pasal 69C UU 19/2019). Kedua ketentuan yang dipersoalkan Pemohon ini merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan UU 19/2019 yang tidak dapat dipisahkan dari norma pokoknya yang terdapat dalam Pasal 24 UU 19/2019 yang telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 adalah konstitusional.
[6.2] Menimbang bahwa berkenaan dengan Permohon a quo, kami perlu menegaskan beberapa hal berikut:
[6.2.1] Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pasal 24 UU 19/2019 a quo telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUUXVII/2019 yang antara lain menyatakan Pasal 24 UU 19/2019 sama sekali tidak mengandung aspek pembatasan kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai ASN bagi pegawai KPK. Oleh karena itu, Ketentuan Peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 menentukan desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena dampak apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK sebagaimana didalilkan para Pemohon. Karena, bagi penyelidik atau penyidik KPK dan bagi pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN maka dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU 19/2019 mulai berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN, dengan ketentuan penyelidik atau penyidik KPK telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan bagi pegawai KPK pengangkatan dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[6.2.2] Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 dalam Paragraf [3.22., hlm 339] secara tegas (expresis verbis) menyatakan, bagi pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN karena berlakunya UU 19/2019. Oleh karenanya dalam UU 19/2019 ditentukan waktu untuk dilakukannya penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK adalah paling lama 2 (dua) tahun sejak UU berlaku. Artinya, bagi pegawai KPK, menjadi pegawai ASN bukan atas keinginan sendiri, tetapi merupakan perintah undang-undang, in casu UU 19/2019. Lebih tegas lagi, berdasarkan UU 19/2019 peralihan status menjadi pegawai ASN merupakan hak hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK.
[6.2.3] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan tersebut, dalam putusan yang sama Mahkamah pun menegaskan, dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019, dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi pegawai ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan.
[6.3] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 tersebut, “status peralihan” bagi penyelidik atau penyidik KPK dan bagi pegawai KPK bukanlah proses seleksi calon pegawai baru atau seleksi ASN baru yang mengharuskan untuk dapat dilakukan berbagai bentuk seleksi sehingga sebagiannya dapat dinyatakan “memenuhi syarat” dan sebagian lagi dapat dinyatakan “tidak memenuhi syarat”. Tetapi ketentuan Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 harus dipandang, dimaknai dan diposisikan sebagai peralihan status bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK menjadi pegawai ASN sehingga desain baru institusi KPK tetap memberikan kepastian hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK.
[6.4] Menimbang bahwa dengan merujuk ketentuan peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 dan memaknai secara tepat tujuan dan maksud norma dalam “Ketentuan Peralihan” dalam sistem peraturan perundang-undangan, perubahan status tersebut harus dipandang sebagai sesuatu peralihan status, bukan seleksi calon pegawai baru. Secara hukum, apabila diletakkan dalam konstruksi Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019, proses peralihan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu. Kemudian, setelah penyelidik, penyidik dan pegawai KPK mendapat status pegawai ASN, institusi KPK dapat melakukan berbagai bentuk test untuk menempatkan mereka dalam struktur organisasi KPK sesuai dengan desain baru KPK. Posisi hukum kami, karena peralihan status tersebut sebagai hak, peralihan dilaksanakan terlebih dahulu dan setelah dipenuhi hak tersebut baru dapat diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah lain, termasuk kemungkinan melakukan promosi dan demosi sebagai pegawai ASN di KPK.
[6.5] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada kepastian hukum, norma dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 seharusnya semangatnya secara sungguh-sungguh dimaknai sebagai pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, in casu hak konstitusional penyelidik, penyidik dan pegawai KPK untuk dialihkan statusnya sebagai pegawai ASN sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dalam konteks demikian, sekalipun permohonan a quo ditolak namun pertimbangan hukumnya dapat dijadikan momentum untuk menegaskan pendirian Mahkamah ihwal peralihan status penyelidik, penyidik dan pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN sebagai hak yang harus dipenuhi sebagaimana semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Oleh Pemohon Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2021

Moch. Ojat Sudrajat S (wiraswasa), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 75 ayat (1) UU 30/2014

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 75 ayat (1) UU 30/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 18 Juni 2021, dari Moch. Ojat Sudrajat S. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 21 Juni 2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 35/PUU- XIX/2021 pada 16 Juli 2021, perihal Permohonan Pengujian Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada frasa yang berbunyi “warga masyarakat yang dirugikan” yang dimaknai dengan “kerugian dan/atau kepentingan yang dialami harus secara langsung dan harus nyata/riil dan/atau dimaknai sama dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara” terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap permohonan Nomor 35/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 35.35/PUU/ TAP.MK/Panel/7/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XIX/2021, bertanggal 16 Juli 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 39.35/PUU/TAP.MK/HS/7/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama perkara Nomor 35/PUU-XIX/2021, bertanggal 16 Juli 2021;

c. bahwa bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Pemohon, bertanggal 26 Juli 2021, perihal Permohonan Pencabutan Uji Materiil;
d. bahwa dalam rangka menjalankan prinsip kehati-hatian dan kecermatan, terhadap surat pencabutan atau penarikan kembali permohonan dari Pemohon yang diterima Mahkamah Konstitusi pada 27 Juli 2021, Mahkamah Konstitusi memandang perlu untuk melakukan klarifikasi kepada Pemohon di persidangan berkenaan dengan kebenaran permohonan pencabutan atau penarikan kembali dimaksud dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada hari Selasa, 3 Agustus 2021;
e. bahwa Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada Selasa, 3 Agustus 2021 dan dalam persidangan tersebut Mahkamah Konstitusi telah melakukan klarifikasi kepada Pemohon berkaitan dengan surat pencabutan atau penarikan permohonan perkara a quo. Dalam persidangan tersebut, Pemohon membenarkan telah mencabut atau menarik kembali permohonannya serta tetap pada pendiriannya;
f. bahwa terhadap pencabutan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada Rabu, 4 Agustus 2021 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 35/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo serta memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-07-2021

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang diwakili oleh Boyamin Bin Saiman (Koordinator dan Pendiri MAKI) dan Komaryono, S.H. (Deputi MAKI); Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) yang diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. (Ketua LP3HI), dan Kurniawan Adi Nugroho, S.H. (Wakil Ketua LP3HI); dan Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) yang diwakili oleh Marselinus Edwin Hardian, S.H., (Ketua KEMAKI) dan Roberto Bellarmino Raynaldi Hardia, S.H. (Sekretaris KEMAKI), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian kata “dapat” dan frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian kata “dapat” dan frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 31 Mei 2021, dari Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam hal ini diwakilil oleh Boyamin Bin Saiman selaku Koordinator dan Pendiri MAKI serta Komaryono, S.H., selaku Deputi MAKI, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) dalam hal ini diwakili oleh Arif Suhadi, S.H., M.H., selaku Ketua LP3HI dan Kurniawan
Adi Nugroho, S.H., selaku Wakil Ketua LP3HI, dan Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) dalam hal ini diwakili oleh Marselinus Edwin Hardian, S.H., selaku Ketua KEMAKI dan Roberto Bellarmino Raynaldi Hardia selaku Sekretaris KEMAKI. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 31 Mei 2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor
25/PUU-XIX/2021 pada 7 Juni 2021, perihal Permohonan Pengujian kata “dapat” dan frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) serta dalam Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK). Terhadap Permohonan Nomor 25/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah
menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 25.25/PUU/TAP.MK/Panel/6/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 25/PUU-XIX/2021, bertanggal 7 Juni 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 29.25/PUU/TAP.MK/HS/6/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 25/PUU-XIX/2021, bertanggal 7 Juni 2021;
c. bahwa sebelum pelaksanaan sidang Pemeriksaan Pendahuluan, yang semula diagendakan pada 21 Juni 2021 Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari para Pemohon, bertanggal 21 Juni 2021, perihal Penarikan Kembali Permohonan Pengujian Undang-Undang Dalam Perkara Nomor 25/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian kata “dapat” dan frasa “ketentuan peraturan
perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) serta dalam Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Guna meminta konfirmasi kepada para Pemohon perihal pencabutan dimaksud, oleh karena adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro maka sidang ditunda pada 24 Juni 2021 dan karena PPKM Mikro diperpanjang maka sidang ditunda kembali pada 22 Juli 2021.
d. bahwa pada persidangan 22 Juli 2021 Majelis Hakim Panel telah menerima konfirmasi dari para Pemohon yang membenarkan penarikan permohonan a quo, dengan alasan yang pada pokoknya sebagaimana tersebut dalam surat pencabutan a quo;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 26 Juli 2021 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 25/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum;
g. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali dan oleh karenanya memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-07-2021

Hotma Tambunan, S.T., MBA., Rasamala Aritonang, S.H., M.Hum., March Falentino, S.H., MTCP., Novariza, S.T., S.H., Andre Dedy Nainggolan, Lakso Anindito, S.H., LL.M., Faisal, Benydictus Siumlala M.S., dan Tri Artining Putri, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

frasa “dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019

Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa frasa “dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 9 Juni 2021, dari Hotman Tambunan, S.T., MBA, Rasamala Aritonang, S.H., M.Hum., March Falentino, S.H., MTCP., Novariza, S.T., S.H., Andre Dedy Nainggolan, Lakso Anindito, S.H., LL.M., Faisal, Benydictus Siumlala, M.S., dan Tri Artining Putri. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 2 Juni 2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 28/PUU-XIX/2021 pada 14 Juni 2021, perihal permohonan pengujian frasa “dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 28/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 28.28/PUU/TAP.MK/Panel/6/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 28/PUUXIX/2021, bertanggal 14 Juni 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 32.28/PUU/TAP.MK/HS/6/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama perkara Nomor 28/PUU-XIX/2021, bertanggal 14 Juni 2021;
c. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari para Pemohon, bertanggal 18 Juni 2021, perihal Permohonan Pencabutan Pengujian Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Nomor Perkara 28/PUU-XIX/2021);
d. bahwa dalam rangka menjalankan prinsip kehati-hatian dan kecermatan, terhadap surat pencabutan atau penarikan kembali permohonan dari para Pemohon yang diterima Mahkamah Konstitusi pada 21 Juni 2021, Mahkamah Konstitusi memandang perlu untuk melakukan klarifikasi kepada para Pemohon di persidangan berkenaan dengan kebenaran permohonan pencabutan atau penarikan kembali dimaksud dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada hari Kamis, 22 Juli 2021;
e. bahwa Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada Kamis, 22 Juli 2021 dan dalam persidangan tersebut Mahkamah Konstitusi telah melakukan klarifikasi kepada para Pemohon berkaitan dengan surat pencabutan atau penarikan permohonan perkara a quo. Dalam persidangan tersebut, para Pemohon, yang dihadiri oleh 3 (tiga) orang Pemohon membenarkan telah mencabut atau menarik kembali permohonannya serta tetap pada pendiriannya;
f. bahwa terhadap pencabutan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 26 Juli 2021 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 28/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo serta memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Rega Felix, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UUPA

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan inkonstitusionalitas norma kata “pengalihan” dalam Pasal 23 ayat (1) dan frasa “serta sahnya peralihan” dalam Pasal 23 ayat (2) UUPA yang menurut Pemohon seharusnya pengalihan hak milik atas tanah yang dimaksud oleh kedua norma tersebut tidak diberlakukan secara letterlijk untuk perbankan syariah sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma a quo, Pemohon mengaitkannya dengan pemberlakuan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (vide bukti P-14) dan Buku Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah (vide bukti P-10), namun tanpa menunjukkan pada bagian mana yang dikutip dari kedua bukti tersebut yang menyatakan bahwa “bukti kepemilikan cukup dengan bukti transaksi tanpa diharuskan adanya bukti legal administrasi”. Selain itu, Pemohon juga mengaitkannya dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau PERMA KHES (vide bukti P-12) tetapi Pemohon juga tidak menunjukkan secara pasti pada bagian mana yang dirujuk dari bukti tersebut namun menyatakan “izin penjual kepada pembeli untuk menyerahkan di lokasi” cukup sebagai bukti penyerahan. Dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang Pemohon jadikan bukti tersebut, menurut Pemohon terdapat pertentangan antara ketentuan-ketentuan yang menjadi bukti Pemohon dengan UUPA berikut peraturan pelaksanaanya. Menurut Pemohon dengan adanya ketentuan mengenai Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana bukti-bukti Pemohon di atas maka semestinya ketentuan tersebut menjadi yang bersifat lex specialis dari UUPA dan peraturan pelaksana pendaftaran tanah. Oleh karenanya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pengalihan hak milik atas tanah di perbankan syariah tidak perlu dilakukan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA; Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut pendapat Mahkamah Pemohon telah keliru menafsirkan kewenangan Mahkamah dalam UUD 1945 dan UU MK yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Permohonan Pemohon pada prinsipnya mempersoalkan atau mempertentangkan ketentuan pada peraturan teknis mengenai Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang ditentukan dalam SEOJK dan PERMA KHES terhadap UUPA dan peraturan pelaksananya. Hal tersebut bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Andaipun benar terdapat persoalan pada tataran teknis mengenai Produk Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan UUPA, quod non, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XVI/2018 bertanggal 26 November 2018, putusan tersebut telah berkali-kali juga dikutip oleh Pemohon, Mahkamah telah menyatakan dalam pertimbangannya bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA sesuai dengan pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.10] sebagai berikut:

Jika dikaitkan ketentuan pasal a quo dengan penjelasan di atas, intinya pasal a quo bertujuan untuk memberikan dasar kepastian hukum dalam pendaftaran tanah. Rumusan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA menegaskan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanan hak atas tanah harus didaftarkan, dan pendaftaran dimaksud menjadi alat pembuktian hapusnya dan sahnya peralihan dan pembebanan tersebut. Sebagai benda yang kepemilikannya dapat beralih dan terhadapnya dapat dibebankan berbagai hak dan kewajiban, maka pendaftaran menjadi sangat penting untuk dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dengan kepemilikan hak atas sebidang tanah. Selain itu, pendaftaran juga penting sebagai bentuk jaminan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas sebidang tanah atau hak-hak lain yang terdaftar agar dapat dengan mudah membuktikan pihak yang sesungguhnya sebagai pemegang hak. Pendaftaran tanah juga penting untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan atas sebidang tanah termasuk pemerintah dalam upaya tertib administrasi pertanahan. Menurut Mahkamah, norma a quo justru merupakan salah satu norma pokok yang menjadi jantung UUPA karena berkaitan dengan pasal-pasal lainnya, terutama Pasal 19 UUPA mengenai prinsip pokok dalam pendaftaran tanah. Oleh karenanya jika dihilangkan justru akan muncul permasalahan mendasar terkait dengan legalitas dari peralihan hak, penghapusan hak, dan pembebanan hak atas tanah, yang pengaturan demikian menjadi sangat penting sebagai bagian dari jaminan kepastian dan perlindungan hukum atas hak milik pribadi sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;
Jika permohonan Pemohon diikuti yang berakibat inkonstitusionalnya Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA justru akan menyebabkan hilangnya dasar hukum yang memerintahkan untuk melakukan pendaftaran, peralihan, penghapusan, dan pembebanan hak atas tanah. Hal ini jelas kontraproduktif dengan upaya penataan agraria karena hilangnya kepastian hukum sehingga berpotensi menimbulkan konflik pertanahan di masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA.

Bertolak pada pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, mengingat pentingnya kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah, in casu hak milik, maka setiap perbuatan hukum yang menyangkut peralihan atau pembebanannya menjadi tidak sah jika tidak dilakukan pendaftaran pada instansi yang berwenang untuk itu. Hal ini bukanlah merupakan bentuk penafsiran atau pemahaman secara letterlijk terhadap norma Pasal 23 UUPA sebagaimana dalil Pemohon tetapi merupakan suatu keharusan yang mesti dilewati sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan demi memperoleh kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah tersebut. Sementara, kuitansi yang didalilkan oleh Pemohon sudah cukup menjadi bukti kepemilikan adalah tidak tepat karena pada hakikatnya kuitansi hanyalah merupakan bukti pembayaran atau transaksi, bahkan akta jual beli yang dibuat di hadapan PPAT pun belum dapat disebut sebagai bukti kepemilikan tetapi baru sebagai salah satu syarat adanya peralihan hak. Oleh karena itu, berkaitan dengan bukti kepemilikan yang sah atas tanah adalah sertifikat hak atas tanah (vide Pasal 3 huruf a, Pasal 4 ayat (1) PP 24/1997), karena melalui pendaftaran tanah dimaksud akan dapat diketahui tentang siapa sesungguhnya pemegang hak atas tanah, kapan diperalihkannya hak atas tanah tersebut serta siapa pemegang hak yang baru termasuk juga jika tanah tersebut dibebani hak tanggungan. Dalam kaitan ini jika kuitansi saja yang dijadikan dasar kepemilikan hak atas tanah sebagaimana dalil Pemohon maka hal tersebut justru dapat mengaburkan esensi kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah, yang pada akhirnya justru merugikan perbankan/ kreditor, in casu perbankan syariah sebagai pihak yang memberikan pinjaman atau kredit. Oleh karena itu, dalil Pemohon yang menyatakan proses dan prosedur peralihan serta pendaftaran hak atas tanah yang memerlukan waktu lama dan berbiaya mahal karena dibutuhkan beberapa dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Dengan demikian, dalil Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, jika tidak dikecualikan untuk perbankan syariah adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.2] Bahwa selanjutnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU 21/2008 berkenaan dengan hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah. Permintaan Pemohon ini bukan merupakan objek permohonan Pemohon (objectum litis) yang dinyatakan baik dalam perihal permohonan dan kewenangan Mahkamah. Sementara, dalam menguraikan kerugian konstitusional Pemohon hanya disinggung sekilas tentang keberadaan UU a quo namun tidak menguraikan apa sesungguhnya hak konstitusional Pemohon yang menurut anggapan Pemohon dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Terlebih-lebih dalam uraian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menjelaskan pertentangan norma UU 21/2008 dengan UUD 1945 sehingga Mahkamah sulit untuk memahami apa sesungguhnya yang dipersoalkan oleh Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma UU 21/2008 sehingga dalil Pemohon a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Penarikan Kembali Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Elok Dwi Kadja, S.H., dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Muhammad Sholeh, S.H., dkk. yang seluruhnya adalah para advokat pada “Sholeh and Partners,” untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008

Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan
bertanggal 8 Januari 2021, yang diajukan oleh Elok Dwi Kadja, S.H., yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 Januari 2021 memberi kuasa kepada Muhammad Sholeh, S.H., Runik Erwanto, S.H., Muhammad Saiful, S.H., Farid Budi Hermawan, S.H., Fitriana Kasiani, S.H., Iko Prihartino, S.H., Totok Surya, S.H., dan Yusuf Andriana, S.H., seluruhnya adalah para advokat pada “Sholeh and Partners”, yang beralamat di Jalan Ngagel Jaya Indah B Nomor 29, Surabaya, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 8 Januari 2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 21 April 2021 dengan Nomor 13/PUU-XIX/2021 mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 13/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 13.13/PUU/TAP.MK/Panel/4//2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 13/PUU-XIX/2021, bertanggal 21 April 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 17.13/PUU/TAP.MK/HS/4/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 13/PUU-XIX/2021, bertanggal 21 April 2021;

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada tanggal 28 April 2021 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telahmemberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya;

d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat pencabutan permohonan dari Pemohon bertanggal 24 Mei 2021, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Mei 2021 melalui surat elektronik (e-mail) dan surat fisiknya diterima pada tanggal 24 Mei 2021;

e. bahwa pada Sidang Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal 25 Mei 2021, Mahkamah mengonfirmasi mengenai surat pencabutan permohonan tersebut kepada Pemohon dan kuasa Pemohon membenarkan mengenai pencabutan permohonan tersebut;

f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 9 Juni 2021 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 13/PUU-XIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Hendry Agus Sutrisno, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

[3.11.1] Bahwa Pemohon pada pokoknya mendalilkan adanya keharusan penggunaan jasa advokat dalam perkara kepailitan dan PKPU dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 telah menimbulkan ketidakadilan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu bahwa perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan perkara yang hanya dapat diselesaikan oleh Pengadilan Niaga [vide Pasal 1 angka 7 dan Pasal 300 ayat (1) UU 37/2004]. Dalam perkembangannya tidak semua lingkungan peradilan umum memiliki pengadilan niaga. Saat ini, di Indonesia hanya terdapat 5 (lima) pengadilan negeri yang memiliki pengadilan niaga. Proses beracara di pengadilan niaga bersifat khusus sehingga diperlukan keahlian khusus bagi orang-orang yang beracara di pengadilan niaga, tidak hanya para pihak yang berperkara, bahkan hakim yang menangani perkara kepailitan dan PKPU adalah hakim yang secara khusus dipilih setelah memenuhi salah satu syarat yaitu telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus [vide Pasal 302 ayat (2) huruf d UU 37/2004]. Terlebih lagi, setelah undang-undang kepailitan dan PKPU dilakukan perubahan dengan undang-undang yang berlaku saat ini yaitu UU 37/2004, muatannya memiliki cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian, untuk dapat menjangkau perkembangan dan kebutuhan dalam penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif [vide Penjelasan Umum UU 37/2004]. Oleh karena itu, dalam permohonan perkara kepailitan dan PKPU yang ditentukan dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 UU 37/2004 harus diajukan oleh seorang advokat, kecuali jika permohonan tersebut diajukan oleh kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan [vide Pasal 7 UU 37/2004]. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “harus oleh seorang advokat” dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU a quo, namun dengan memperhatikan bahwa perkara kepailitan dan PKPU ini termasuk perkara yang bersifat khusus maka keberadaan advokat pun diperlukan. Karena, advokat adalah subjek hukum yang dipandang mempunyai kapabilitas dalam beracara di pengadilan dan secara ex-officio (jabatan) oleh undang-undang telah ditentukan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang advokat [vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU 18/2003)]. Di samping itu, status advokat adalah bagian dari penegak hukum [vide Pasal 5 ayat (1) UU 18/2003]. Adanya ketentuan norma Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi para pihak secara seimbang sebagaimana esensi asas keseimbangan yang dikandung dalam Undang-Undang a quo yakni mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur dan kreditor yang tidak beritikad baik. Sementara, Undang-Undang a quo memberikan ruang yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif agar tetap melangsungkan usahanya sesuai dengan esensi asas kelangsungan usaha [vide Penjelasan Umum UU 37/2004]. Oleh karena sifat kekhususan dan dalam rangka menjamin terwujudnya asas-asas dimaksud maka dalam proses beracara perkara kepailitan diperlukan keterlibatan pihak-pihak, in casu advokat yang memahami dan memiliki keahlian dalam proses beracara dalam perkara a quo. Dalam kaitan ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa alasan keberadaan advokat atau kuasa hukum dalam praktik di pengadilan merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap setiap orang sebagaimana prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di hadapan hukum. Keharusan menggunakan advokat justru memperkuat posisi Pemohon dalam proses beracara perkara kepailitan karena memang sifat perkaranya yang khusus. Dengan adanya advokat yang dipandang memahami hukum acara kepailitan dan PKPU maka Pemohon akan terbantu secara maksimal dalam proses beracara di pengadilan. Adanya anggapan Pemohon yaitu materi kepailitan dan PKPU dapat dipelajari oleh siapapun, termasuk sarjana hukum bukan hal yang salah, namun tidak berarti semua sarjana hukum mampu beracara dalam peradilan khusus, in casu perkara kepailitan dan PKPU, di samping tidak ada pula justifikasi dari undang-undang bahwa sarjana hukum adalah dipandang memenuhi syarat beracara di peradilan.

Adapun terhadap dalil Pemohon yang mempersoalkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 menyebabkan Pemohon harus mengeluarkan sejumlah dana (fee) untuk advokat yang tidak sedikit jumlahnya, hal tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan. Dengan demikian, dalil Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 telah menimbulkan ketidakadilan dengan membatasi hak Sarjana Hukum untuk beracara pada perkaranya sendiri karena materi kepailitan dan PKPU, menurut Pemohon, dapat dipelajari oleh siapapun adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.11.2] Bahwa lebih lanjut dalam mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 Pemohon mengaitkan dengan ketidakselarasan dan adanya pertentangan norma antara UU 37/2004 dengan undang-undang yang lain dalam hal kewajiban menggunakan jasa advokat yaitu dalam undang-undang terkait dengan perpajakan, pidana, perdata, tata usaha negara, militer, dan peradilan anak. Terhadap hal tersebut menurut Mahkamah, masih berkaitan dengan sifat kekhususan dari perkara kepailitan dan PKPU sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan sebelumnya pada Sub-Paragraf

[3.11.1]. Pengaturan yang berbeda antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya dapat disebabkan karena urgensi dan sifat hal yang diatur tersebut memang berbeda sehingga tidak dapat mempersamakan hal yang berbeda dalam proses berperkara di pengadilan niaga khususnya dalam perkara kepailitan dan PKPU dengan berperkara di lingkungan peradilan umum lainnya. Adanya perbedaan dengan peradilan pidana, militer, dan peradilan anak, hal tersebut tidak dapat dipersamakan karena sifat hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili perkara-perkara tersebut adalah menggunakan paradigma hukum publik (khususnya dalam peradilan pidana) yang memerlukan pendampingan atau bantuan hukum. Sementara itu, dalam peradilan perdata dan tata usaha negara, para pihak dapat beracara sendiri ataupun menunjuk kuasa hukum (advokat) dikarenakan sifatnya lebih universal dan tidak memerlukan kekhususan sebagaimana pada peradilan niaga. Namun demikian, dalam hal pihak yang berperkara tidak mampu secara finansial sesungguhnya negara dapat hadir sebagai perwujudan akses terhadap keadilan (access to justice) dengan memberikan bantuan untuk melakukan pendampingan atau bantuan hukum berupa jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum (yaitu lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum secara cuma-cuma) kepada penerima bantuan hukum (yaitu orang atau kelompok orang miskin) sebagaimana pengaturannya ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU 16/2011). Dalam ketentuan Undang-Undang a quo dinyatakan pula bahwa bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik penyelesainnya secara litigasi maupun non-litigasi, yang meliputi bantuan berupa menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan penerima bantuan hukum [vide Pasal 4 UU 16/2011]. Pengaturan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi pencari keadilan yang tidak mampu yaitu orang atau kelompok orang miskin ini juga di atur dalam Pasal 22 UU 18/2003.

Sementara itu, terkait dengan dalil Pemohon yang membedakannya dengan peradilan pajak, meskipun tidak diwajibkan menggunakan advokat namun demikian ketika wajib pajak menunjuk advokat/kuasa lainnya maka advokat/kuasa lainnya tersebut adalah pihak yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa wajib pajak. Advokat/kuasa lainnya tersebut pun harus memiliki sertifikat pelatihan perpajakan [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017 bertanggal 26 April 2018]. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan adanya ketidakselarasan aturan hukum yang berkaitan dengan advokat adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) UU 37/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME KETETAPAN PENARIKAN KEMBALI PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG DIKABULKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Herman Dambea, dalam hal ini bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 33 UU 11/2020

Pasal 28D, Pasal 28 huruf (f) dan huruf (j) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 33 UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan
bertanggal 12 November 2020 dari Herman Dambea, yang
berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 29 Oktober 2020
memberi kuasa kepada Riyan Nasaru, S.H., dan Rovan
Panderwais Hulima, S.H., yang tergabung pada kantor Riyan
Nasaru & Partners, beralamat di Jalan Sun Ismail, Perum Griya
Kayubulan Permai Blok A Nomor 4, Limboto, Gorontalo, yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13
November 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 9/PUU-XIX/2021
pada tanggal 20 April 2021, perihal Permohonan Pengujian Pasal
33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK), terhadap permohonan Nomor 9/PUUXIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
(1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 9.9/PUU/
TAP.MK/Panel/4/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 9/PUU-XIX/2021 bertanggal 20 April 2021;
(2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 13.9/PUU/TAP.MK/HS/4/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 9/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2021; Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 9/PUUXIX/2021, bertanggal 20 April.

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK Mahkamah telah
melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan
tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 27 April 2021 secara
daring (online), namun karena terdapat kendala jaringan
telekomunikasi maka persidangan ditunda dan dilanjutkan
kembali pada tanggal 25 Mei 2021. Pada Sidang Panel
tersebut, kuasa hukum Pemohon menjelaskan pokok-pokok
permohonannya dan Panel Hakim memberikan nasihat
berkenaan dengan permohonan Pemohon;

d. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan Sidang
Panel untuk memeriksa Perbaikan Permohonan pada tanggal
7 Juni 2021 secara daring (online). Pada Sidang Panel
tersebut, kuasa hukum Pemohon menyampaikan belum siap
menyerahkan perbaikan permohonan serta akan menarik
kembali permohonannya dan secara resmi akan menyampaikan
surat penarikan kembali permohonan Pemohon kepada
Mahkamah;

e. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima surat dari Kuasa
Pemohon bertanggal 9 Juni 2021 perihal Pencabutan Perkara
Nomor 9/PUU-XIX/2021, yang diterima pada tanggal 9 Juni 2021;

f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon
tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat
menarik kembali Permohonan sebelum atau selama
pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat
(2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali
mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan
kembali;

INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DAPAT DITERIMA DAN/ATAU DITOLAK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Wielfried Milano Maitimu SH., M.Si (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914 dan Pasal 916 KUHPERDATA

Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914 dan Pasal 916 KUHPERRDATA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon yang pada pokoknya memohon agar ketentuan norma Pasal 832, Pasal 849, Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 857, Pasal 914, dan Pasal 916 KUH Perdata yang kesemuanya mengatur mengenai pewarisan dalam KUH Perdata yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah dapat memahami permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon yang merasa bahwa norma dalam KUH Perdata a quo telah menegasikan norma hukum adat mengenai pewarisan yang berlaku di masyarakat adat Passo (Ambon-Lease), sehingga menurut Pemohon hal demikian bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Terhadap hal demikian, menurut Mahkamah, Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 memang telah memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan terhadap identitas dan hak-hak masyarakat adat beserta konsep pluralitas hukum dalam kerangka hukum nasional sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas. Namun demikian, permohonan Pemohon justru tidak sejalan dengan konsep pluralitas hukum di Indonesia yang menghendaki adanya hubungan kolaboratif dan harmonis antar sub-sistem hukum nasional tersebut. Dalam konteks hukum pewarisan yang berlaku di Indonesia, hingga saat ini terdiri atas hukum waris Islam, hukum waris perdata barat (KUH Perdata), dan hukum waris adat secara bersamasama. Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Dalam keadaan yang demikian muncul ide untuk melakukan unifikasi hukum demi terwujudnya satu sistem hukum nasional mengenai pewarisan. Namun, unifikasi hukum pewarisan yang disusun tersebut harus menjamin terserapnya semua aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan perbedaan latar belakang budaya, agama dan kebutuhan hukum masyarakat. Unifikasi hukum pewarisan di Indonesia apabila tidak hati-hati malah justru menimbulkan konflik dalam masyarakat karena para ahli waris yang tunduk kepada hukum pewarisan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam praktik, apabila tidak terjadi sengketa waris maka masyarakat diberikan hak untuk memilih hukum waris yang akan digunakan (choice of law) dalam sebuah kesepakatan para pihak. Dalam hal terjadi sengketa yang bermuara di pengadilan, maka hakim yang akan menentukan hukumnya. Pilihan hukum dalam hal pewarisan ini menjadi penting dalam rangka pembangunan hukum nasional di tengah masyarakat yang pluralistik, karena dengan memberikan pilihan sub-sistem hukum yang sama bagi masyarakat yang berbeda dan terlebih lagi menegasikan sub-sistem hukum yang lain malah akan memperlebar jarak antara hukum dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;

[3.13] Menimbang bahwa sejalan dengan pluralitas hukum pewarisan di Indonesia dalam tataran praktiknya, tidak berarti menjadikan hukum adat dalam posisi inferior. Meskipun secara historis, sejak berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara PengadilanPengadilan Sipil yang secara yuridis menghapuskan keberadaan peradilan pribumi/peradilan adat (inheemsche rechtspraak) dan peradilan swapraja (zelfbestuur rechtspraak), hukum adat tetap berlaku dan nilai-nilainya tetap diakomodasi dalam putusan-putusan pengadilan sehingga akses untuk mencapai keadilan (access to justice) bagi masyarakat adat tetap terbuka. Dalam pengertian yang demikian maka hukum adat merupakan sub-sistem dari sistem hukum nasional. Begitu pula, dalam sistem peradilan Indonesia, hukum adat menjadi salah satu sumber hukum dalam memutus perkara. Oleh karena itu, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan masih dipelihara baik di tengah-tengah masyarakat (living customary law), salah satunya nilai-nilai adat istiadat yang masih terpelihara secara baik terutama di tempat di mana kasus hukum konkret tersebut terjadi. Secara normatif, kebebasan hakim tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Namun berdasarkan ketentuan a quo pula, jika dalam praktik peradilan ternyata hukum adat yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat, maka hakim juga dapat menjatuhkan putusan yang berbeda dengan hukum adat yang berlaku, sehingga muncul putusan-putusan hakim yang secara tidak langsung berisikan norma hukum baru yang lebih mencerminkan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam konteks demikian, maka tidak terdapat hubungan yang bersifat paradoksal antara keberlakuan hukum adat dengan pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur pewarisan. Terlebih apabila para pihak sepakat untuk menggunakan sepenuhnya KUH Perdata, hal tersebut dapat dibenarkan. Oleh karenanya tidak ada relevansinya mengadopsi hukum adat dalam KUH Perdata atau sebaliknya sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal-pasal mengenai pewarisan dalam KUH Perdata sebagaimana yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Rowindo Hatorangan Tambunan (selanjutnya disebut Pemohon).

Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan

Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa terlebih dahulu Mahkamah akan menguraikan definisi kedaruratan kesehatan dan PSBB yang dapat dikatakan sebagai inti dari permohonan a quo. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 2 UU 6/2018 menyatakan, “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara”. Selanjutnya Pasal 1 angka 11 UU 6/2018 menyatakan, “PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”. Kemudian, Pasal 59 UU 6/2018 menyatakan, “PSBB merupakan bagian dari respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu, yang paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum”. Dengan demikian, PSBB baru dapat dilaksanakan setelah adanya pernyataan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat oleh pemerintah.

[3.10.2] Bahwa berkenaan dengan pihak yang dibebani tanggung jawab dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan, Pasal 4 UU 6/2018 menyatakan, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 menyatakan bahwa perihal penetapan atau pencabutan kedaruratan kesehatan adalah kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut Pasal 10 ayat (3) UU 6/2018 menegaskan sebelum menetapkan kedaruratan kesehatan dimaksud, pemerintah pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kemudian berkenaan dengan hak dan kewajiban, pada intinya ketentuan Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU 6/2018 menyatakan setiap orang berhak memeroleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, dan setiap orang wajib mematuhi dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Berdasarkan norma-norma sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah memang sudah tepat bahwa Pemerintah Pusat merupakan pihak yang berwenang untuk menetapkan atau mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dalam suatu negara demokrasi, secara postulat telah diterima kebenaran bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam konteks itu pula, Pemerintah mendapatkan mandat dari rakyat untuk memimpin penyelenggaraan bernegara termasuk dalam kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, tidaklah terdapat persoalan bilamana Pemerintah yang menetapkan atau mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Hal demikian sekaligus tidaklah dapat membenarkan dalil atau penilaian Pemohon bahwa kekuasaan pemerintah di atas kedaulatan rakyat.

[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan pelanggaran hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang didalilkan Pemohon, menurut Mahkamah, secara konstitusional, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sementara itu, terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah untuk menguji atau menilainya. Dengan demikian, apabila Pemohon mempersoalkan selain dari undang-undang termasuk 22 hierarki suatu peraturan perundang-undangan, in casu Pergub 33/2020, hal demikian bukanlah ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Sementara itu, berkenaan dengan dalil yang menurut Pemohon tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap dalil demikian baru dapat diketahui apabila terhadap pembentukan dimaksud dapat dilakukan pengujian secara formil sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Siti Warsilah yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Waway Warsiman, S.H., Erwan Suryadi, S.H., Hariyanta, S.H., dkk yang merupakan Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Lembaga Pelayanan Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LPKBHI) (selanjutnya disebut sebagai Pemohon).

Frasa “mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan pada saat mendaftar sebagai calon” dalam Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU 15/2011

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlain DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Frasa “mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan pada saat mendaftar sebagai calon” dalam Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU 15/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) telah menerima permohonan bertanggal 11 Mei 2021, yang diajukan oleh Siti Warsilah, berdasarkan Surat Kuasa Nomor 46/SK/LPKBHIGK/V/2021, bertanggal 11 Mei 2021, memberi kuasa kepada Waway Warsiman, S.H., Erwan Suryadi, S.H., Hariyanta, S.H., Sri Harini, S.H., dan Tedi Rohaedi, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada Lembaga Pelayanan Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia beralamat di Jalan Pondok Kopi Timur Blok G9, Nomor 6, Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur. Permohonan a quo diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 11 Mei 2021 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 3 Juni 2021 dengan Nomor 19/PUUXIX/2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang 2 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), terhadap Permohonan Nomor 19/PUU-XIX/2021 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 19.19/PUU/TAP.MK/Panel/6/2021 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 19/PUU-XIX/2021, bertanggal 3 Juni 2021;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 23.19/PUU/TAP.MK/HS/6/2021 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 19/PUU-XIX/2021, bertanggal 3 Juni 2021;

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 15 Juni 2021. Sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim memberikan nasihat kepada Pemohon mengenai permohonannya. Pada Sidang Pendahuluan dimaksud, ketika menyampaikan pokok-pokok permohonan, ternyata pokok-pokok permohonan yang disampaikan Pemohon berbeda antara yang tertulis dalam permohonan Pemohon dengan yang disampaikan secara lisan dalam persidangan. Perbedaan dimaksud tidak hanya menyangkut uraian, tetapi juga menyangkut undang-undang dan pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya;

d. Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah menjadi kehilangan relevansi untuk memberikan nasihat karena permohonan yang disampaikan Pemohon berbeda antara yang tertulis dalam permohonan Pemohon dengan yang disampaikan secara lisan dalam persidangan. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan dimaksud, Mahkamah 3 menasihatkan Pemohon untuk mempertimbangkan kelanjutan permohonan a quo;

e. bahwa oleh karena Pemohon menyadari perbedaan materi dimaksud sehingga Pemohon menyatakan menarik kembali permohonan a quo. Kemudian pernyataan dalam persidangan tersebut diikuti dengan penegasan tertulis seperti tertuang dalam surat Pemohon bertanggal 17 Juni 2021 perihal Pencabutan Permohonan Uji Materi UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu terhadap UUD 1945, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Juni 2021;

f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan terhadap penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 23 Juni 2021 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 19/PUUXIX/2021 adalah beralasan menurut hukum dan memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DAPAT DITERIMA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 109/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. (selanjutnya disebut ((K)SBSI) selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 81 angka 15, Pasal 81 angka 18, Pasal 81 angka 19, Pasal 81 angka 26, Pasal 81 angka 27, Pasal 81 angka 37, Pasal 151 dan Penjelasan Pasal 81 angka 42 (Pasal 154A ayat (1) dan ayat (2) UU 11/2020

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon dalam permohonannya menerangkan selaku Badan Hukum Perkumpulan yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., selaku Ketua Umum DPP (K)SBSI dan Vindra Whindalis selaku Sekretaris Jenderal berdasarkan hasil Kongres ke-6 (K)SBSI. Dalam kualifikasinya tersebut, Pemohon menganggap hak konstitusionalnya yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menjadi dirugikan dengan berlakunya norma a quo;

2. Bahwa berdasarkan Pasal 47 ayat (2) dan ayat (4) Anggaran Dasar (K)SBSI dan Pasal 12 ayat (7) Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI menyatakan Ketua Umum berwenang bertindak untuk dan atas nama organisasi baik ke dalam maupun ke luar organisasi, serta Pasal 12 ayat (8) huruf a Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI menyatakan Sekretaris Jenderal berwenang bertindak untuk dan atas nama organisasi terkait dengan administrasi organisasi baik ke dalam maupun keluar organisasi, dengan demikian yang dapat bertindak untuk mewakili Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI adalah Ketua Umum untuk mewakili organisasi secara umum dan Sekretaris Jenderal terbatas pada administrasi organisasi. Oleh karena itu, dalam konteks permohonan pengujian undang-undang di Mahkkamah Konstitusi yang berwenang mengajukan permohonan secara absolut harus ketua umum;


3. Bahwa dalam persidangan pada tanggal 21 April 2021 dengan agenda sidang pemeriksaan perbaikan permohonan, Mahkamah meminta penjelasan terkait dengan meninggalnya Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H. selaku Ketua Umum (K)SBSI yang bertindak mewakili Pemohon dalam persidangan. Berkenaan dengan hal tersebut, kuasa hukum membenarkan terkait dengan telah meninggalnya Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., selaku Ketua Umum DPP (K)SBSI setelah yang bersangkutan memberikan kuasa untuk mengajukan permohonan a quo. (vide risalah sidang Perkara Nomor 109/PUU- XVIII/2020 tanggal 21 April 2021);

4. Bahwa di samping menjelaskan sebagaimana terurai pada angka 5 tersebut di atas, kuasa hukum Pemohon dalam persidangan juga menerangkan, bahwa berdasarkan Keputusan Kongres Ke-6 (vide bukti P-6) nama Vindra Whindalis adalah Sekretaris Jenderal organisasi. Namun, setelah dicermati terhadap bukti tersebut tidak ditemukan nama Vindra Whindalis sebagai Sekretaris Jenderal justru tercantum nama Bambang Hermanto sebagai Sekretaris Jenderal Pemohon. Di samping fakta hukum tersebut, Mahkamah juga tidak menemukan alat bukti lain yang dapat membuktikan bahwa memang benar nama Vindra Whindalis merupakan Sekretaris Jenderal (K)SBSI periode 2018-2022 sebagaimana yang tercantum dalam permohonan Pemohon;

5. Bahwa setelah mencermati bukti serta fakta hukum dalam persidangan sebagaimana diuraikan tersebut di atas, oleh karena Ketua Umum Pemohon telah meninggal dunia dan berkaitan dengan kerugian hak konstitusional harus ada ketegasan tentang masih dilanjutkan atau tidak permohonan a quo (berbeda dengan hak keperdataan yang dapat dialihkan kepada ahli waris). Sementara itu berkenaan dengan nama Vindra Whindalis Mahkamah juga tidak mendapatkan keyakinan akan kebenaran yang bersangkutan adalah Sekretaris Jenderal Pemohon. Bahwa seandainya benar bahwa nama Vindra Whindalis adalah Sekretaris Jenderal, quod non, hal tersebut juga tidak serta merta dapat mewakili kepentingan umum organisasi. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (8) Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI, Sekretaris Jenderal hanya berwenang bertindak untuk dan atas nama organisasi terbatas terkait dengan administrasi organisasi. Oleh karenanya Pemohon selaku Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI tidak diwakili oleh pihak yang berhak bertindak untuk dan atas nama Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI sebagaimana dimaksudkan Pasal 47 ayat (2) dan ayat (4) Anggaran Dasar (K)SBSI serta Pasal 12 ayat (7) dan ayat (8) Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI;

Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, oleh karena Pemohon tidak diwaliki oleh pihak yang berhak bertindak untuk dan atas nama Pemohon sebagaimana dimaksudkan Pasal 47 ayat (2) dan ayat (4) Anggaran Dasar (K)SBSI serta Pasal 12 ayat (7) dan ayat (8) Anggaran Rumah Tangga (K)SBSI, dengan demikian Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun karena Pemohon selaku Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI tidak diwakili oleh pihak/orang yang berhak bertindak untuk dan atas nama Badan Hukum Perkumpulan (K)SBSI maka permohonan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (persona standi in judicio) untuk mengajukan permohonan, oleh karenanya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Sholikhah, dkk. (selanjutnya disebut para Pemohon).

pengujian formil UU 19/2019 dan pengujian materiil Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK

Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pengujian Formil
[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, pada saat yang bersamaan dengan pemeriksaan perkara a quo telah diperiksa pula beberapa perkara lain yang mempermasalahkan hal yang sama, yakni mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, yang diajukan oleh pemohon berbeda, di mana putusan atas perkara-perkara tersebut telah diucapkan sebelumnya. Dengan demikian, karena substansi permohonan pengujian formil yang diajukan para Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, maka pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada tanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB, dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, sehingga pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU- XVII/2019 a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 tersebut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yang pendapat berbeda tersebut berlaku juga untuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVII/2019;
Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, yang pada pokoknya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU 19/2019 telah bersesuaian dengan UUD 1945, maka permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;
Pengujian Materiil
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan keberadaan Dewan Pengawas berpotensi mengurangi independensi dan melemahkan KPK, sehingga Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas ketentuan tersebut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 16.47 WIB Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum. Pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVII/2019 tersebut secara mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 59/PUU-XVII/2019 a quo;
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah menilai permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas prosedur pembentukan UU 19/2019 dalam pengujian formil dan inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 19/2019 dalam pengujian materiil adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XVIII/2019 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, Dora Nina Lumban Gaol, Leon Maulana Mirza Pasha, Aisyah Shafira, Marco Hardianto, Nurfuady Bakir, Agam Gumelar, dan Satria Adhitama Sukma, (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 6 huruf e, Pasal 12 ayat (1), Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 29 huruf i, Bab VA, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40, Pasal 47, Pasal 69A, dan Pasal 69D UU KPK

Pasal 28C ayat (2) dan 28D ayat (1) UUD NRI 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

[3.13.1] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon mengenai KPK yang tidak diberikan kewenangan menangani perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena tidak ditegaskan dalam Pasal 6 huruf e UU 19/2019, Mahkamah perlu terlebih dahulu menegaskan pengaturan TPPU dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010) menyebutkan, “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Salah satu yang dikualifikasikan sebagai hasil tindak pidana dalam UU 8/2010 adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi [vide Pasal 2 ayat (1) huruf a UU 8/2010]. Dengan demikian, meskipun tindak pidana korupsi dan TPPU merupakan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang berbeda atau terpisah, namun keduanya memiliki keterkaitan karena salah satu tindak pidana asal dari TPPU adalah tindak pidana korupsi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Pasal 74 UU 8/2010 secara tegas juga menyatakan, “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.”, yang selanjutnya dalam Penjelasannya menjelaskan penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, salah satunya, penyidik KPK dalam hal apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU saat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Demikian pula dalam ketentuan Pasal 75 UU 8/2010 dinyatakan, “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.” Oleh karena itu, sesungguhnya tidak ada alasan bahwa penyidik KPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan TPPU sepanjang masih ada keterkaitan dengan tindak pidana asal (korupsi) yang sedang ditangani yang secara teknis kemudian digabungkan dengan TPPU.
Bahwa berdasarkan ketentuan dan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalam kaitannya dengan TPPU meskipun tidak disebutkan secara tegas dalam Pasal 6 huruf e UU 19/2019, namun dengan sendirinya KPK memiliki kewenangan untuk menangani perkara TPPU sepanjang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. TPPU sebagai tindak pidana lanjutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan, lebih dari itu kewenangan KPK dalam menangani TPPU tidak hanya dalam penyidikan namun juga penuntutan. Hal demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 bertanggal 12 Februari 2015 yang menyatakan jaksa pada KPK mempunyai kewenangan melakukan penuntutan TPPU karena penuntut umum merupakan suatu kesatuan sehingga penuntut umum yang bertugas di kejaksaan atau yang bertugas di KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat dari pada harus dikirim lagi ke Kejaksaan Negeri. Hal tersebut menegaskan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 huruf e UU 19/2019 sebagaimana didalilkan para Pemohon. Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa selanjutnya perihal dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 19 ayat (2) UU 19/2019 yang dikaitkan dengan keberadaan perwakilan KPK di daerah yang telah dihapus, menurut Mahkamah hal tersebut tidak menyebabkan terkuranginya ataupun terhalanginya pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di daerah. Sekalipun tidak diatur pembentukanperwakilan KPK di daerah, tidak berarti mengurangi posisi KPK sebagai extra-ordinary body dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Apalagi, sejak dari awal salah satu tujuan pembentukan KPK adalah sebagai pemicu dan pemberdaya institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). Terlebih lagi, dengan adanya ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) yang memberikan peran serta kepada masyarakat untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan memberikan hak kepada masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi perihal adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Dalam konteks itu, sekalipun kemungkinan membentuk perwakilan KPK di daerah tidak lagi diatur dalam UU 19/2019, KPK berpeluang membangun kerjasama dengan kelompok masyarakat atau perguruan tinggi yang ada di daerah untuk berpartisipasi aktif mencari, memperoleh, dan memberikan informasi perihal adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi yang kemudian melaporkannya kepada KPK. Tidak hanya itu, KPK berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf b dan huruf d UU 19/2019 berpeluang untuk mengoptimalkan kewenangan koordinasi dan supervisi terhadap instansi negara lainnya di daerah. Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.3] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Dewan Pengawas KPK lebih superior dari Pimpinan KPK dan keanggotaan Dewan Pengawas KPK yang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden akan menjadikan tugas dan wewenang KPK sangat terpusat pada Presiden. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah perlu menegaskan bahwa posisi Dewan Pengawas KPK dan Pimpinan KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) UU 19/2019 bukanlah struktur yang hierarkis, sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi namun saling bersinergi menjalankan fungsi masing-masing. Apalagi, beberapa kewenangan Dewan Pengawas KPK telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 bertanggal 4 Mei 2021. Adapun mengenai komposisi dan tata cara pengangkatan Dewan Pengawas KPK yang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden tidaklah menjadikan KPK harus bertanggung jawab kepada Presiden karena dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002) telah dinyatakan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan”. Apalagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 bertanggal 8 Februari 2018 telah ditegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas yudisialnya KPK bersifat independen dan tidak dapat diintervensi oleh kekuasan manapun. Begitu pula, perihal pengangkatan Dewan Pengawas KPK, UU 19/2019 hanya membenarkan pengangkatan untuk pertama kalinya dilakukan oleh Presiden. Artinya, pengangkatan selanjutnya akan dilakukan melalui proses sebagaimana proses pengisian pimpinan KPK [vide Pasal 37E UU 19/2019]. Oleh karena itu kekhawatiran para Pemohon perihal kemungkinan pengaruh yang besar dari Presiden terhadap independensi KPK adalah hal yang berlebihan. Demikian pula halnya ketika para Pemohon mengaitkan dalilnya dengan ketentuan transisi dalam Pasal 69A dan Pasal 69D UU 19/2019, menurut Mahkamah berdasarkan Lampiran II angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru yang bertujuan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengatur hal-hal bersifat transisional atau bersifat sementara, karena adanya penggantian Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.4] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil para Pemohon mengenai Pasal 29 huruf i UU 19/2019 yang dikaitkan dengan masih adanya pimpinan KPK yang belum melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya. Terhadap hal tersebut seandainya yang didalilkan para Pemohon adalah benar, Mahkamah berpendapat persoalan tersebut merupakan kasus konkret. Namun demikian, karena sifat independensi yang dimiliki KPK, syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 UU 19/2019 termasuk ketentuan huruf i yang menyatakan, “melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi anggota KPK” harus dipenuhi oleh pimpinan KPK. Sekiranya terdapat pimpinan KPK yang masih rangkap jabatan, hal tersebut menjadi kewenangan Dewan Pengawas KPK untuk menindaklanjuti pelanggaran dimaksud. Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.5] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon berkaitan dengan Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 telah dipertimbangkan dan diputus Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 pukul 16.22 WIB dengan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Demikian juga dengan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 12C ayat (2), Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (1) juga telah dipertimbangkan dan diputus Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 dengan menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, secara bersyarat.
Bahwa oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang dimuat kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK, dan selain itu juga bersifat erga omnes yang artinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 berlaku umum, mengikat seluruh warga negara, termasuk para Pemohon maka permohonan para Pemohon terhadap Pasal 12B, Pasal 12C ayat (2), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 19/2019 telah kehilangan objek. Terkait pengujian pasal-pasal tersebut, petitum para Pemohon memohon inkonstitusionalitas Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 40, dan Pasal 47 secara keseluruhan, sehingga masih terdapat materi/muatan ayat dari pasal-pasal tersebut yang belum dipertimbangkan dan diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, yakni terkait dengan Pasal 12C ayat (1), Pasal 12D, Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) UU 19/2019. Namun demikian, setelah Mahkamah mempelajari secara saksama permohonan para Pemohon telah ternyata tidak terdapat uraian terhadap pasal-pasal tersebut dalam posita permohonan para Pemohon a quo, oleh karenanya menurut Mahkamah permohonan para Pemohon terhadap pasal-pasal a quo menjadi kabur.
Bahwa mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU 19/2019 yang juga dimohonkan para Pemohon, Mahkamah telah memberikan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 bertanggal 19 Desember 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 bertanggal 24 Februari 2011 yang kemudian dikutip kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021 Sub-paragraf [3.21.1], bahwa menurut Mahkamah pada pokoknya tindakan penyadapan merupakan perbuatan yang melawan hukum yang dapat melanggar hak asasi manusia (hak privasi), namun tindakan ini dapat dibenarkan secara hukum ketika hal tersebut diamanatkan oleh undang-undang dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 12 ayat (1) UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 12B, Pasal 12C ayat (2), Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 19/2019 adalah kehilangan objek. Sementara itu, berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 12C ayat (1), Pasal 12D, Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 47 ayat (3) dan ayat (4) UU 19/2019 adalah kabur. Adapun berkenaan dengan pengujian Pasal 6 huruf e, Pasal 12 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 29 huruf i, Pasal 69A, dan Pasal 69D UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 62/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Gregorius Yonathan Deowikaputra, S.H. yang memiliki profesi sebagai pengacara/advokat (selanjutnya disebut sebagai Pemohon).

dalam permohonannya mengujikan tahapan pembentukan UU a quo yang dianggap cacat formil dan Pemohon mengujikan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 sepanjang frasa “dan/atau” dan Pasal 29 huruf e UU 19/2019

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 19/2019 dan pengujian materiil Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 sepanjang frasa “dan/atau” dan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi

[3.8] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan keberlakuan UU 19/2019 telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang kontra mendesak Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) agar membatalkan keberlakuan UU 19/2019. Sebaliknya, pihak yang pro mengingatkan Presiden untuk tidak gegabah menerbitkan Perppu. Polemik yang timbul tersebut sebaiknya haruslah dihentikan dengan menyerahkan proses penyelesaiannya melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Provisi selama proses pemeriksaan permohonan a quo berlangsung dan memerintahkan Presiden untuk tidak menerbitkan Perpu terkait dengan keberlakuan UU 19/2019. Terhadap alasan permohonan provisi Pemohon tersebut, menurut Mahkamah tidak relevan untuk dipertimbangkan karena persoalan pro-kontra atas keberlakuan suatu undang-undang yang jamak terjadi dalam suatu negara demokratis. Terlebih permasalahan adanya pro-kontra tidak ada relevansinya dengan implikasi konstitusionalitas undang-undang a quo. Oleh karena itu pro-kontra yang dijadikan alasan Pemohon dalam pengajuan provisi tidak dapat dijadikan alasan bagi Mahkamah untuk memenuhi permohonan Provisi Pemohon. Dengan demikian alasan permohonan Provisi harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
Pengujian Formil

[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, pada saat yang bersamaan dengan pemeriksaan perkara a quo telah diperiksa pula beberapa perkara lain yang mempermasalahkan hal yang sama, yakni mengenai pengujian formil konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, yang diajukan oleh pemohon berbeda, di mana putusan atas perkara-perkara tersebut telah diucapkan sebelumnya. Dengan demikian, karena substansi permohonan pengujian formil yang diajukan Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019, maka pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada tanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB, dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, sehingga pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUUXVII/2019 a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 tersebut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yang pendapat berbeda tersebut berlaku juga untuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019 a quo;
Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, yang pada pokoknya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU 19/2019 telah bersesuaian dengan UUD 1945, maka permohonan Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;

Pengujian Materiil
[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang merasa dirugikan oleh berlakunya kata “dan/atau” dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 yang seharusnya kata “atau” dihilangkan dan berubah menjadi “dan” sehingga ketentuan Pasal 11 bersifat kumulatif, berkenaan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan hal sebagai berikut:
1. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006 telah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan kata “dan/atau” dalam Pasal 11 UU 30/2002 yang menyatakan sebagai berikut:
“bahwa Mahkamah sama sekali tidak bermaksud menafikan kalau ketidakmudahan dalam menentukan ukuran tentang hal, peristiwa, perbuatan, atau keadaan “yang meresahkan masyarakat” mempunyai potensi untuk disalahgunakan. Maksud Mahkamah adalah, jika hanya dengan dalil demikian tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 huruf b UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, jika dibaca secara utuh Pasal 11 UU KPK yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”, maka sangat jelas bahwa adanya kata “dan/atau” setelah kalimat “mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat” harus ditafsirkan bahwa syarat yang tak dapat ditiadakan agar KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi ada pada Pasal 11 huruf a yang dikumulatifkan dengan huruf b atau c atau keduanya (b dan c). Dengan kata lain, syarat pada huruf a bersifat mutlak, sedangkan syarat pada huruf b dan pada huruf c boleh terpenuhi salah satu atau keduanya. Sedangkan jika hanya terpenuhi salah satu dari huruf b atau huruf c, atau huruf b sekaligus huruf c, namun syarat pada huruf a tidak ada maka KPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, lebih-lebih penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian, jika seseorang yang terhadapnya telah dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau bahkan penuntutan oleh KPK padahal syarat yang terpenuhi hanya syarat pada huruf b atau c (atau keduanya) namun syarat pada huruf a tidak terpenuhi, maka sudah tentu orang yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan dalam persidangan (karena KPK tidak berwenang menerbitkan SP3) agar hakim menyatakan bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan atas tindak pidana yang bersangkutan. Keberatan yang sama pun dapat diajukan oleh seseorang jika, misalnya, KPK merasa berwenang karena menurutnya syarat pada huruf a dan huruf b terpenuhi sedangkan menurut orang yang bersangkutan syarat pada huruf b itu justru tidak terpenuhi, misalnya dengan mengajukan saksi ahli untuk membuktikannya. Dalam hal keadaan demikian terjadi maka hal itu sepenuhnya merupakan kompetensi hakim atau pengadilan di lingkungan peradilan umum untuk memutusnya. Dengan demikian, dalil Pemohon II yang menyatakan bahwa Pasal 11 huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak sepenuhnya benar. Sebab, kepastian hukum tetap dijamin meskipun kepastian itu baru diperoleh setelah adanya putusan hakim yang akan memberikan penilaian apakah syarat “yang meresahkan masyarakat” itu terpenuhi atau tidak;
2. Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon, Mahkamah perlu mengutip secara utuh ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2019 yang berbunyi “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”.
3. Bahwa penggunaan kata dan/atau dalam merumuskan norma suatu peraturan perundang-undangan lazim digunakan ketika hendak merumuskan peraturan yang bersifat kumulatif sekaligus alternatif, dan terhadap penggunaan kata “dan/atau” tersebut telah diatur dalam angka 264 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bahwa berkenaan dengan uraian di atas, menurut Mahkamah adanya rumusan kata “dan/atau” sebagai kata penghubung pada Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 setelah akhir kalimat “melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara” harus ditafsirkan bahwa syarat pada huruf a dan huruf b boleh terpenuhi salah satu atau keduanya. Adanya persyaratan dalam huruf a dan huruf b tersebut memberikan kejelasan kepada KPK dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana amanat Pasal 6 huruf e UU 19/2019. Dengan adanya rumusan kata “dan/atau” tersebut KPK dapat menerapkan secara “kumulatif” atau dapat pula secara “alternatif”. Namun, jika persyaratan yang ada dalam norma Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 diakhiri hanya dengan menggunakan kata “dan” sebagaimana dalil Pemohon maka KPK baru dapat menjalankan kewenangan Pasal 6 huruf e UU 19/2019 jika kedua unsur tersebut terpenuhi semua atau kumulatif (Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf b), yakni perbuatan/tindak pidana tersebut harus ada unsur “melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara” dan harus pula ada unsur “menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Hal demikian justru akan menyebabkan berkurangnya kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebab, apabila ada pelaku tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara baru dapat dilakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan jika nilai kerugian negara yang diakibatkan minimal Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Sehingga, apabila kurang dari nilai tersebut akan menjadi kewenangan lembaga lain.
Hal demikian berimplikasi pada peran KPK dalam agenda pemberantasan korupsi sehingga tidak dapat berjalan secara optimal. Adanya kata “dan/atau” justru akan mempermudah bagi KPK dalam menjerat pelaku tindak pidana korupsi karena ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a dapat diterapkan secara bersama-sama maupun berdiri sendiri (kumulatif-alternatif) dengan huruf b, sehingga parameternya jelas karena perumusan norma pidananya memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, lex stricta.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan sepanjang kata “dan/atau” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada ketentuan peralihan padahal pada saat UU 19/2019 berlaku ada anggota KPK terpilih berdasarkan syarat dalam UU lama (UU 30/2002) sehingga dengan berlakunya Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang bersangkutan menjadi belum memenuhi syarat usia 50 (lima puluh) tahun dan akan berakibat dilakukannya seleksi ulang.
Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 memang telah mengubah syarat usia minimum untuk menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang semula dalam UU 30/2002 menyatakan “berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” berubah menjadi yaitu “berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. Terkait dengan norma yang mengatur mengenai batasan usia, Mahkamah dalam beberapa putusan menyatakan pada pokoknya mengenai batasan usia minimum merupakan ranah pembentuk undang-undang.
Bahwa terkait dengan perubahan persyaratan usia minimum apakah akan mengakibatkan dilakukannya proses seleksi ulang sehingga negara harus menyediakan anggaran untuk itu lagi sebagaimana dalil Pemohon. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat persoalan yang didalilkan Pemohon sudah berkaitan dengan implementasi norma sehingga bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Termasuk dalam hal ini, apabila benar ada salah satu calon pimpinan KPK yang tidak memenuhi usia minimum yang dipersyaratkan dalam UU a quo hal tersebut sudah merupakan kasus konkrit, bukan berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 29 huruf e UU 19/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas prosedur pembentukan UU 19/2019 dan inkonstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) huruf a dan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dalam pengujian materiil adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK DITERIMA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Ricky Martin Sidauruk dan Gregorius Agung (selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon).

Pasal 43 ayat (1) huruf a UU KPK

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pengujian materiil Pasal 43 ayat (1) huruf a UU a quo dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon sebagaimana dalam Paragraf [3.7] di atas, maka permasalahan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah kata ‘dapat’ dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 dapat bermuatan “Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, internal Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau khalayak umum”. Namun, sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa menurut Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;

[3.10.2] Bahwa sebagaimana Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, bertanggal 23 Oktober 2012, salah satu pertimbangan yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Penjelasan UU KPK adalah sebagai berikut, “Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan”;

[3.10.3] Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, bertanggal 20 Juni 2011, telah menegaskan KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta melakukan supervisi atas penanganan perkara- perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan;

[3.10.4] Bahwa pemberantasan korupsi merupakan agenda penting di Indonesia, karena praktik korupsi yang semakin mengkhawatirkan, bukan hanya merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan, melemahkan institusi-institusi, dan nilai-nilai demokrasi, namun juga merusak mentalitas bangsa. Semakin maraknya tindak pidana korupsi yang melibatkan segala lapisan masyarakat, membuat penanganan korupsi harus semakin dioptimalkan, berkejaran dengan semakin berkembangnya modus dan perilaku korup di masyarakat;

Bahwa dalam sejarahnya KPK hadir sebagai ikhtiar bangsa untuk memerangi korupsi dengan perangkat hukum yang diharapkan dapat lebih efektif dan optimal dalam pemberantasan korupsi. Hal ini sejalan dengan maksud Konsiderans Menimbang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250, selanjutnya disebut UU 30/2002) yang menyatakan:

a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bahwa menurut Penjelasan UU 19/2019, meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana Korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan dengan cara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa;

Dari Konsiderans dan Penjelasan Umum UU 19/2019 tersebut nampak bahwa KPK hadir sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta bertugas menangani kejahatan yang luar biasa, karena itu harus didukung dengan instrumen hukum yang tidak konvensional yang disiapkan untuk mendukung KPK agar dapat bekerja lebih optimal;

[3.10.5] Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-X/2012, bertanggal 23 Oktober 2012, telah menegaskan kedudukan KPK sebagai lembaga yang constitutionally important:
“bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutional important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945”;

Sebagai lembaga yang secara konstitusional penting maka KPK diberikan kekhususan dalam menjalankan tugasnya, karena diharapkan batasan- batasan yang konvensional tidak lagi mempersulit langkah KPK dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK disebut sebagai lembaga yang dianggap penting secara konstitusional, namun KPK tetaplah merupakan lembaga yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dalam menjalankan kewenangannya. Meskipun tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, hal ini tidaklah serta-merta menyebabkan KPK menjadi lembaga yang superbody. Kendatipun dalam hal-hal tertentu KPK diberi kekhususan oleh Undang-Undang;

Dalam konteks ini, penting ditegaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana di Indonesia merupakan rangkaian keterkaitan antara lembaga penegak hukum yang ada dengan perangkat hukum pendukungnya. KPK adalah lembaga independen namun tidak dapat berdiri sendiri dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Demikian juga dengan lembaga penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, upaya penguatan lembaga penegak hukum, baik KPK maupun lembaga penegak hukum lain menjadi penting. Selain itu, upaya penguatan dimaksud tidak hanya dari segi instrumen hukum pendukungnya, namun juga dari sumber daya aparat penegak hukum yang melaksanakan fungsi lembaga dimaksud.

[3.11] Menimbang bahwa secara yuridis, tindak pidana korupsi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan lembaga dan nilai-nilai demokrasi, merusak etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum, sehingga perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Oleh karena itu, dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa” tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra ordinary);

Berdasarkan uraian tersebut, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara luar biasa karena korupsi dapat membahayakan negara, sehingga pengaturannya harus diatur secara khusus. Sebagaimana dalam sistem pembentukan undang-undang, undang-undang dibuat selain berdasarkan asas- asas yang bersifat umum juga dapat dibuat berdasarkan asas-asas yang sifatnya khusus, seperti lex specialis derogat legi generalis (undang-undang yang sifatnya khusus mengesampingkan undang-undang yang sifatnya umum);

Apabila dilihat dari original intent pembentukan UU 19/2019 memang dimaksudkan kedudukan UU 19/2019 sebagai lex specialis terhadap KUHAP. Dengan kedudukan demikian sebagaimana yang dikehendaki pembentuk Undang- Undang, Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 merupakan ketentuan yang mengatur sendiri penyelidik yang ada di KPK. Kedudukan UU 19/2019 sebagai lex specialis menunjukkan rasionalitas hukum bahwa KPK memang diberi instrumen khusus dalam menjalankan tugas memberantas korupsi.

[3.12] Menimbang bahwa penyelidik dan penyidik dalam proses penegakan hukum memiliki peran sentral dan strategis, terlebih-lebih bagi KPK. Dalam upaya penguatan lembaga penegak hukum, lini penyelidikan dan penyidikan menjadi titik sentral untuk mendapat perhatian agar diperkuat, baik sumber daya aparat penegak hukumnya maupun instrumen hukum pendukungnya. Demikian juga sebaliknya, upaya pelemahan sebuah lembaga penegak hukum, dalam hal ini KPK, yang paling mudah adalah dengan cara melemahkan lini penyelidikan. KPK sebagai lembaga penegak hukum tidak akan berjalan jika lini penyelidikan lumpuh akibat kekurangan sumber daya. Minimnya jumlah penyelidik yang tidak sebanding dengan beban kerja yang harus diselesaikan akan menghambat kinerja KPK sebagai lembaga yang diharapkan dapat bekerja profesional secara optimal.

[3.13] Menimbang bahwa dalam konteks permohonan para Pemohon, permasalahan yang harus dijawab adalah apakah Penyelidik KPK yang hanya diperbolehkan berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 adalah inkonstitusional. Sebab, menurut para Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019, menyatakan:
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi;

Dan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, menyatakan:
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;

Oleh karena itu menurut para Pemohon berdasarkan ketentuan di atas tidak terbuka kemungkinan untuk dapat diangkat menjadi penyelidik dari khalayak umum atau orang di luar sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 dan Pasal 1 angka 4 KUHAP. Sementara syarat untuk dapat diangkat menjadi penyelidik diatur dalam ketentuan Pasal 43A UU 19/2019, yang menyatakan:
Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;
b. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan;
c. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
d. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi;

Terhadap dalil para Pemohon tersebut di atas, Mahkamah mempertimbangkan, ketentuan 43 ayat (1) UU 19/2019 di atas mengatur bahwa Penyelidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi. Norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 memberikan pembatasan bahwa penyelidik KPK hanya dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Hal tersebut menegaskan bahwa penyelidik KPK tidak dapat diisi dari lembaga/instansi di luar sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019. Oleh karena itu kata ‘dapat’ dalam ketentuan tersebut bukan ditujukan untuk subjek hukum di luar sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal a quo, akan tetapi merupakan bentuk pilihan bahwa penyelidik KPK hanya dapat dibenarkan direkrut dari subjek hukum yang berasal dari lembaga/instansi sebagaimana secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 tersebut.

Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan keterkaitan norma Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019 dengan norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019, sebagaimana yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon, adalah ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019 merupakan syarat lanjutan untuk dapat diangkat menjadi penyelidik KPK setelah terpenuhinya syarat utama, yaitu bahwa subjek hukum yang diusulkan menjadi penyelidik KPK adalah berasal dari lembaga/instansi sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019. Dengan kata lain, bahwa untuk dapat diangkat menjadi penyelidik KPK haruslah terpenuhi syarat komulatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 dan sekaligus Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019. Dengan demikian, apa yang dikehendaki oleh para Pemohon dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019, penyelidik KPK seolah-olah dapat direkrut dari khalayak umum hanya sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019 tersebut adalah dalil yang tidak berdasar;

Bahwa pertimbangan penyelidik KPK secara limitatif dibatasi hanya berasal dari lembaga/instansi sebagaimana telah ditentukan tersebut di atas, hal tersebut tidak dapat dipisahkannya dengan ketentuan bahwa penyelidik adalah merupakan jabatan yang melekat pada status kepegawaian yang bersangkutan. Oleh karena itu, pegawai yang akan diangkat menjadi penyelidik harus terlebih dahulu berstatus sebagai pegawai pada salah satu lembaga/instansi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019. Dengan demikian, setelah yang bersangkutan menjadi pegawai salah satu dari lembaga/instansi tersebut baru dapat diangkat menjadi penyelidik KPK sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019. Hal demikian menegaskan bahwa tidak terbuka ruang/kesempatan bagi pihak dari luar selain yang disebutkan di atas dapat menjadi penyelidik KPK hanya sekedar karena memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019, kecuali yang bersangkutan terlebih dahulu diterima sebagai pegawai pada salah satu lembaga/instansi tersebut di atas.

[3.14] Menimbang bahwa, sementara itu mengenai dalil para Pemohon yang mengaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP yang menyatakan bahwa Penyelidik hanya berasal dari pejabat polisi negara. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP adalah norma yang mengatur tentang ketentuan yang bersifat umum sebagaimana sifat dari KUHAP yang berlaku secara lex generalis derogat legi specialis, sedangkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 bersifat lex specialis derogat legi generalis. Di mana pemberlakuan UU 19/2019 adalah bersifat khusus yang di dalamnya terkandung adanya kewenangan yang diberikan secara khusus untuk lembaga KPK sebagai extra ordinary organ. Oleh karena itu, dalam konteks tersebut mengingat kewenangan KPK yang mempunyai peran sentral sebagai salah satu lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi diberikan kewenangan secara khusus berkenaan dengan perekrutan penyelidik KPK yang dapat berasal baik dari dalam maupun luar kepolisian, tidak terbatas pada sebagaimana yang diberikan Pasal 1 angka 4 KUHAP.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah jelas bahwa penyelidik KPK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 harus hanya berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, intansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019, dan menurut Mahkamah, KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri pegawainya untuk menjadi penyelidik di samping pegawai dari lembaga/instansi lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43A ayat (1) UU 19/2019;

Bahwa terkait dengan keinginan para Pemohon agar ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 tersebut dapat mengakomodir khalayak umum tanpa ada pembatasan, hal tersebut tidak serta-merta menutup kesempatan khalayak umum termasuk para Pemohon untuk menjadi penyelidik pada KPK. Sebab, keinginan para Pemohon untuk dapat menjadi penyelidik pada KPK dapat saja terpenuhi sepanjang para Pemohon terlebih dahulu menjadi pegawai KPK dan hal tersebut sangat tergantung pada terpenuhi atau tidak syarat sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalil para Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 43 ayat (1) UU 19/2019 terhadap Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 Selanjutnya →