Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-10-2018

Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) yang diwakili oleh Minola
Sebayang, S.H., M.H dan Herwanto, S.H., M.H., dalam hal ini sebagai Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal AAMSI

Pasal 82 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun
1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c dan huruf d
KUHAP, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.10.2] Bahwa untuk menjawab isu tersebut, penting bagi Mahkamah
terlebih dahulu untuk mengemukakan kembali pertimbangan putusan
Mahkamah sebelumnya mengenai konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1)
huruf d KUHAP, yaitu sebagaimana telah diputus dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU- XIII/2015, tanggal 9 November
2016, yaitu:

“Menimbang bahwa, dalam praktik, ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1)
huruf d UU 8/1981 tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran
dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah
perbedaan penafsiran demikian bukanlah semata-mata masalah
penerapan atau implementasi norma sebab perbedaan penafsiran itu lahir
sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam
rumusan norma itu sendiri, dalam hal ini pengertian tentang “perkara
mulai diperiksa” yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan.
Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah
mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan
dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok
perkara di pengadilan negeri. Dalam praktik ternyata tidak ada
keseragaman penafsiran di kalangan para hakim praperadilan mengenai
hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara
permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara
dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di
Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih
dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula
hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara
permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan perkara
pokok sudah mulai disidangkan.

Bahwa hakikat dari perkara permohonan praperadilan adalah untuk
menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 77 UU 8/1981 dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-
XII/2014, bertanggal 28 April 2015 yang dalam pertimbangannya pada
pokoknya menyatakan, “...penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia
maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek
yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata
praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari
tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat
terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam
prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain
pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan
memutusnya....Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai
objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang
dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang
mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan
hukum” [vide Putusan Mahkamah nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28
April 2015, halaman 105-106]. Selanjutnya amar putusan Mahkamah
tersebut kemudian menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a UU 8/1981
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan, sehingga tidaklah adil apabila ada perkara
permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau
sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena berkas perkara pokok
atas nama terdakwa/pemohon praperadilan telah dilimpahkan dan telah
dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara
permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya
diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan
terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut [vide Pasal 82 ayat
(1) huruf c UU 8/1981]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 telah nyata-nyata multitafsir
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bahwa untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan
implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat
demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan
gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok
atas nama terdakwa/ pemohon praperadilan. Menurut Mahkamah,
penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan
dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat
(1) huruf d UU 8/1981.”

Selanjutnya amar putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa
Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu
perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan
gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang
pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon
praperadilan”. Melalui putusan tersebut, Mahkamah telah menegaskan
penafsiran dari Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dan membatasi bahwa
praperadilan dapat dinyatakan gugur adalah setelah perkara tersebut
telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama apapun agenda dari
sidang pertama tersebut.


[3.10.3] Bahwa ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP pada
pokoknya mengatur mengenai berapa lama proses pemeriksaan
persidangan praperadilan dapat dilakukan oleh hakim praperadilan, yaitu
bahwa suatu perkara praperadilan harus diputus 7 (tujuh) hari sejak
dimulainya sidang pemeriksaan praperadilan. Norma tersebut juga
menegaskan bahwa proses pemeriksaan praperadilan harus dilakukan
secara cepat. Pemohon dalam permohonannya juga menyatakan dalam
praktiknya pemeriksaan terhadap permohonan praperadilan acapkali
diajukan penundaan yang mengakibatkan prosesnya menjadi panjang dan
memerlukan waktu yang lama sebelum adanya pengucapan putusan dan
hal tersebut berakibat persidangan terhadap pokok perkara sudah
dimulai. Hal ini mengakibatkan permohonan praperadilan tersebut gugur
berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Menurut
Mahkamah, ketentuan yang membatasi proses pemeriksaan permohonan
praperadilan selama 7 (tujuh) hari telah mencerminkan adanya asas
peradilan cepat, mengingat hakikat permohonan praperadilan hanyalah
menguji keabsahan formal dalam proses yang dilakukan penyidik atau
penuntut umum berkaitan dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP juncto
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April
2015. Ketentuan dimaksud telah memberikan kepastian dengan secara
eksplisit membatasi lamanya permohonan praperadilan diperiksa. Jika
norma tersebut dinyatakan tidak konstitusional, atau diberikan syarat
bahwa sidang pokok perkara hanya dapat dimulai setelah adanya putusan
permohonan praperadilan justru memicu adanya ketidakpastian hukum
yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-
XIII/2015, yang menegaskan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak
dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah
dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara
atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”, telah jelas bahwa
permohonan praperadilan dinyatakan gugur pada saat sidang pertama
pokok perkara dimulai atau dengan kata lain permohonan praperadilan
dinyatakan gugur apabila pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon
praperadilan telah dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum pada
pengadilan negeri yang telah dilakukan registrasi dan kemudian dimulai
pemeriksaan sidang pertama apapun agendanya.


[3.10.4] Bahwa lebih jauh dalam pertimbangan putusan tersebut secara
eksplisit juga telah memberikan toleransi waktu yang cukup untuk
dinyatakannya gugur permohonan praperadilan dari yang semula dapat
ditafsirkan sejak berkas pokok perkara dilimpahkan dari jaksa penuntut
umum pada pengadilan negeri dan telah dilakukan registrasi, namun
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015
kemudian diberikan penegasan bahwa permohonan praperadilan gugur
setelah dilakukan sidang pertama atas pokok perkara apapun agendanya.
Dengan demikian ada tambahan rentang waktu yang cukup karena
apabila dihitung dengan waktu antara registrasi perkara sampai pada
sidang pertama pemeriksaan pokok perkara dalam praktik peradilan
selama ini tidak kurang dari 7 (tujuh) hari bahkan bisa lebih. Oleh karena
itu, seharusnya apabila terdapat permasalahan sebagaimana yang
didalilkan oleh Pemohon di mana permohonan praperadilan yang telah
dimulai pemeriksaannya, maka seharusnya tidak ada kekhawatiran bahwa
praperadilan tersebut tidak diputus sebelum sidang pertama pokok
perkaranya. Hal itu dikarenakan bahwa mengingat permohonan
praperadilan yang telah dimulai pemeriksaannya maka dalam waktu 7
(tujuh) hari permohonan praperadilan tersebut harus sudah diputus. Hal
tersebut sejalan dengan tenggang waktu yang dipergunakan oleh Majelis
Hakim untuk melaksanakan sidang pertama setelah pokok perkara
dilimpahkan oleh jaksa penutut umum kepada Pengadilan Negeri dan
telah dilakukan registrasi yang juga memerlukan waktu rata-rata tidak
kurang dari 7 (tujuh) hari bahkan ada yang lebih. Karena waktu untuk
menentukan sidang pertama sangat tergantung diantaranya dengan
domisili para saksi yang akan diperiksa pada sidang pertama tersebut
yang sangat berkaitan antara jarak tempat tinggal para saksi dengan
tenggang waktu tata cara pemanggilan para saksi untuk dihadirkan di
persidangan dengan mengikuti hukum acara pemanggilan yang berlaku.
Sementara itu, apabila pemeriksaan permohonan praperadilan dimulai
menjelang sidang pokok perkara, maka hal tersebut menjadi kewenangan
hakim permohonan praperadilan dan majelis hakim yang mengadili
perkara pokok untuk mempertimbangkan rasa keadilan tanpa
mencampuri kewenangannya masing-masing dan merugikan hak- hak
tersangka;


[3.10.5] Bahwa yang menjadi kekhawatiran Pemohon, apabila putusan
gugurnya permohonan praperadilan dapat dijatuhkan setelah sidang
pertama atas pokok perkara dapat menjadi modus para pihak khususnya
para penyidik dan penuntut umum untuk minta penundaan sidang
dengan harapan dapat mempersiapkan berkas pokok perkara untuk dapat
segera dilimpahkan dengan tujuan agar permohonan praperadilan dapat
diputus dengan dinyatakan gugur, hal tersebut semata-mata merupakan
persoalan implementasi yang memang sulit untuk dihindarkan dan semua
berpulang kepada semangat dan integritas para penegak hukumnya.
Namun dengan mencermati semangat dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut di atas, maka seharusnya tidak ada
alasan lagi bagi hakim praperadilan untuk tidak memutus permohonan
praperadilan yang sudah dimulai pemeriksaannya karena sudah sesuai
dengan tenggang waktu untuk memeriksa pokok perkara yang ditetapkan
oleh Majelis Hakim untuk persidangan pertama terhadap pokok perkara.
Demikian juga dengan Majelis Hakim yang memeriksa pokok perkaranya
seharusnya tidak segera melaksanakan sidang pertama apabila memang
mengetahui pemeriksaan praperadilan telah dimulai, karena hanya
diperlukan waktu 7 (tujuh) hari untuk menunggu permohonan
praperadilan untuk diputus dan tenggang waktu itu juga seharusnya
menjadi waktu minimal atau sekurang-kurangnya yang dipandang wajar
dan cukup yang selalu dipergunakan Majelis Hakim dalam menetapkan
persidangan pertama dalam sebuah perkara biasa. Hal ini memerlukan
adanya koordinasi dan sinergi antarpenegak hukum tanpa mencampuri
kewenangannya masing-masing. Lebih lanjut penting Mahkamah
tegaskan bahwa sulit untuk menerima setiap permasalahan yang berada
pada area praktik kemudian dipaksakan untuk dijadikan alasan pembenar
mencari-cari inkonstitusionalitasnya sebuah norma dengan cara membuat
pemaknaan-pemaknaan baru yang terkait dengan norma yang
dimohonkan inkonstitusionalitasnya yang telah diberikan pemaknaannya
oleh Mahkamah melalui putusan sebelumnya. Hal tersebut justru dapat
semakin menjauhkan hakikat dari semangat originalitas norma yang
bersangkutan, termasuk dalam hal ini apa yang dimohonkan oleh
Pemohon, yaitu memohon agar norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP
yang telah dinyatakan konstitusional bersyarat oleh Mahkamah melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 justru agar
dinyatakan inkonstitusional apabila permohonan Pemohon terkait dengan
inkonstitusionalitas norma Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP dikabulkan
oleh Mahkamah. Dengan kata lain Mahkamah tidak boleh terjebak dengan
menerima dan mengabulkan pengujian norma dari sebuah undang-
undang apabila akan berakibat berubahnya pendirian Mahkamah dalam
putusan sebelumnya tanpa adanya argumen yang kuat untuk mengubah
pendirian Mahkamah.


[3.11] Menimbang bahwa lebih lanjut penting Mahkamah tegaskan pula
berkenaan ketentuan mengenai pembatasan waktu praperadilan haruslah
dibaca secara utuh dengan ketentuan lain di dalam KUHAP di antaranya

Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang menyatakan,
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan.

Kedua norma tersebut merupakan ketentuan yang pada pokoknya
memerintahkan untuk mempercepat proses pelimpahan perkara dalam
hal proses persidangan perkara Pidana. Menurut Mahkamah hal tersebut
pada pokoknya berkaitan dengan dua hal penting, yaitu:

Pertama, merupakan pelaksanaan dari prinsip peradilan cepat, sederhana,
dan biaya ringan, yaitu salah satu prinsip peradilan yang diamanatkan
oleh Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Proses persidangan,
terutama pada perkara pidana, sudah semestinya dilakukan dengan
secepat mungkin untuk mencapai pelaksanaan asas kepastian hukum
tanpa mengorbankan asas keadilan. Dengan demikian kesegeraan dalam
proses penyelesaian perkara pidana merupakan kewajiban bagi negara, in
casu aparat penegak hukum.

Kedua, percepatan penyelesaian perkara merupakan salah satu hak
tersangka dan bertujuan untuk melindungi tersangka dari kesewenang-
wenangan penegak hukum yang menunda-nunda penyelesaian perkara.
Lamanya penyelesaian perkara berdampak pada lamanya jangka waktu
penahanan yang pada dasarnya merupakan perampasan kemerdekaan
bagi tersangka. Pemeriksaan perkara yang dilakukan berlarut-larut akan
menimbulkan berbagai akibat yang merugikan tersangka yang sedang
diperiksa. Hal ini sesuai dengan adagium umum dalam penegakan
keadilan yaitu, “Justice delayed, justice denied”, atau “keadilan yang
tertunda adalah keadilan yang diingkari”. Dengan perkataan lain,
penundaan pelaksanaan proses penegakan keadilan oleh penegak hukum
justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan sebagai dampaknya.

Bahwa pembatasan waktu praperadilan dan ketentuan yang
menggugurkan praperadilan ketika dimulainya sidang mengenai pokok
perkara pada hakikatnya berkaitan dengan implementasi terhadap asas
di atas. Pasal a quo menekankan adanya hak bagi tersangka maupun
terdakwa untuk segera dimajukan ke pengadilan dan segera diadili.
Argumentasi Pemohon yang menginginkan adanya penundaan pada
kondisi tertentu justru berpotensi memangkas hak tersebut, walaupun
Pemohon menganggap hal tersebut demi mendapatkan proses yang
ekstensif dalam persidangan praperadilan, namun justru dapat
menimbulkan persoalan konstitusionalitas yang berakibat pada
ketidakpastian dan penundaan proses peradilan terhadap
tersangka/terdakwa. Pemberian syarat tambahan terhadap Pasal 82 ayat
(1) huruf c KUHAP sebagaimana tertuang dalam petitum Pemohon justru
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan potensi penundaan
terhadap hak tersangka untuk segera diadili. Tidak segera dimulainya
persidangan terhadap pokok perkara dengan alasan menunggu putusan
praperadilan untuk semua jenis kasus pidana justru berpotensi menunda
hak tersangka dan menghambat penyelesaian perkara pokok.


[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan
pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP tidak
beralasan menurut hukum dan oleh karena itu permohonan Pemohon
selebihnya agar ketentuan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP secara
mutatis mutandis dinyatakan inkonstitusional karena merupakan akibat
dikabulkannya permohonan pengujian konstitusionlitas Pasal 82 ayat (1)
huruf c KUHAP kehilangan relevansinya untuk dipertimbangkan. Dengan
kata lain, berkenaan dengan konstitusionlitas Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP, Mahkamah tetap berpendirian sebagaimana tertuang dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.


[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil
permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1)
huruf c dan huruf d KUHAP tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-10-2018

Surya Kusmana, Siti Lidya Rahmi, S.Kom.I, dan Lilis Agus Nuryati, S.S

Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas UU
2 Tahun 2011.

Pancasila Sila Ke-1 sampai dengan Sila Ke-5 dan Pasal 29 ayat (1) dan (2)
UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas UU 2 Tahun 2011 Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.5] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum
Pemohon I sampai dengan Pemohon III (selanjutnya disebut para
Pemohon), Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:

1. Dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang diselenggarakan tanggal
5 September 2018, sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU MK, Panel
Hakim telah memberikan nasihat agar para Pemohon melakukan
perbaikan permohonannya sesuai dengan format permohonan dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan agar menjadi jelas
maksud dan tujuan diajukannya permohonan a quo. Nasihat demikian
diberikan selain dikarenakan permohonan para Pemohon belum sesuai
dengan format permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 menurut UU MK juga karena para Pemohon tidak jelas dalam
menjelaskan kedudukan hukumnya, khususnya dalam menguraikan hak
konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya UU Parpol,
serta ketidakjelasan dalam hal maksud dan tujuan diajukannya
permohonan a quo, apakah permohonan diajukan sebagai pengujian
formil ataukah pengujian materiil sebab keduanya mempunyai akibat
hukum yang berbeda;

2. Pada Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana disebut pada angka 1 di
atas, Panel Hakim telah memberikan penjelasan bahwa jika permohonan
para Pemohon diajukan sebagai pengujian formil, hal itu dibatasi jangka
waktunya, yaitu 45 (empat puluh lima) hari sejak diundangkan
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010. Dalam pertimbangan hukum
putusan dimaksud, Mahkamah antara lain menyatakan:

[3.34] Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan
a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu
atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil.
Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik
dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah
Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan
dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD
1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih
cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak,
sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal
sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh
lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara
sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap
Undang-Undang;

Dengan demikian, dalam hubungannya dengan permohonan a quo,
jangka waktu untuk mengajukan pengujian formil dimaksud telah lewat
dan para Pemohon pun menyatakan telah mengetahui hal itu;

3. Pada tanggal 18 September 2018 Mahkamah menyelenggarakan
sidang perbaikan permohonan namun ternyata permohonan para
Pemohon tetap tidak jelas. Dalam cover Perbaikan Permohonannya, para
Pemohon memberi “judul” permohonannya “Permohonan Judicial Review
Pengujian Materiil Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik/Demokrasi/Kedaulatan Rakyat/Liberalisme: Komunisme-Paham
Sekular-Sekularisasi/Memisahkan Agama Dari Negara Terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sementara itu,
dalam “Hal” permohonannya, para Pemohon menulis “Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 2 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189)”, sedangkan dalam
uraian permohonannya, para Pemohon menyatakan mengajukan
“pengujian formil” (vide Perbaikan Permohonan halaman 1) namun dalam
uraian permohonannya para Pemohon tidak menguraikan alasan-alasan
pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a
juncto Pasal 51A ayat (3) dan ayat (4) huruf b UU MK. Dalam hubungan
ini, jika uraian para Pemohon di halaman 17 Perbaikan Permohonannya
dianggap sebagai alasan pengujian formil, uraian para Pemohon
dimaksud hanya berisikan kutipan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 6/PMK/2005; Pasal 2, Pasal 3, Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan; Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945 tanpa penjelasan atau
argumentasi lebih lanjut;

4. Selanjutnya dalam petitum permohonannya para Pemohon memohon
agar Mahkamah “Menyatakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” (vide
petitum angka 2 Perbaikan Permohonan) sehingga tidak menunjukkan
sebagai petitum permohonan pengujian formil yang seharusnya berisikan
permohonan agar Mahkamah menyatakan pembentukan suatu undang-
undang, in casu UU Parpol, tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a UU MK.
Sebaliknya, jika dengan rumusan petitum demikian para Pemohon
dianggap memohonkan pengujian materiil, para Pemohon tidak
memberikan argumentasi yang cukup untuk itu, yaitu argumentasi yang
jelas perihal mengapa suatu materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang, in casu UU Parpol, dianggap bertentangan
dengan UUD 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf
b UU MK). Dalam kaitan ini, para Pemohon hanya memberi uraian sumir
dan tidak jelas maksudnya yaitu (sebagaimana tertulis di halaman 18
sampai dengan halaman 30 Perbaikan Permohonan):
….
Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas,
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon kabur.
Sebab, jika permohonan a quo dianggap dimaksudkan sebagai pengujian
formil, syarat-syarat untuk itu tidak terpenuhi, baik berkenaan dengan
syarat jangka waktu diajukannya permohonan maupun berkenaan dengan
pemenuhan alasan-alasan diajukannya pengujian formil. Sebaliknya, jika
permohonan a quo dianggap dimaksudkan sebagai pengujian materiil,
sebagaimana tercermin dalam petitum angka 2 Perbaikan Permohonan,
uraian para Pemohon dalam posita permohonannya hanya memuat
uraian-uraian sumir dan tidak jelas maksudnya.

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon kabur,
Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan baik kedudukan hukum para
Pemohon maupun pokok permohonan lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara,
Haidar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet,
Angga Dwimas, Feri Amsari, Hasan, Pengurus Pusat Pemuda
Muhammadiyah, dan PERLUDEM

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal
6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal
22E ayat (2), Pasal 22E ayat (6), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008, dalam pengujian Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
berbunyi, “Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh perseratus) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat
atau memperoleh 25% (dua puluh lima perseratus) dari suara sah
nasional dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, Mahkamah menolak
permohonan Pemohon dengan pertimbangan antara lain:

c. Bahwa Pemohon I mendalilkan Pasal 9 UU 42/2008 sangat
diskriminatif dan mematikan kesempatan untuk diusulkan oleh Partai
Politik atau gabungan partai Politik dan penerapannya menimbulkan
ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27
ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, adalah tidak benar karena
untuk menentukan Pemohon dapat diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan
lebih dahulu ditentukan oleh rakyat dalam Pemilu legislatif yang akan
datang, yang berlaku secara sama bagi semua Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden;

d. Bahwa dalil Pemohon II (Partai Bulan Bintang) yang menyatakan
bahwa Pasal 9 telah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
sebagai ketentuan yang lebih tinggi dalam hierarki perundang-undangan,
karena dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) tersebut Pemohon sebagai
Partai Politik peserta Pemilu telah dapat mengusulkan Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden, tetapi dengan Pasal 9 UU 42/2008 Pemohon
harus memenuhi syarat tambahan. Lagi pula, muatan Pasal 9 UU 42/2008
seharusnya diatur dalam UUD, dan kalau diatur dalam Undang-Undang
akan mereduksi UUD dan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) juncto
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Mahkamah tidak sependapat dengan dalil
Pemohon tersebut, karena materi muatan Pasal 9 UU 42/2008 tidak benar
merupakan materi muatan UUD 1945, karena merupakan satu norma
konkret yang merupakan penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Kebijakan syarat perolehan suara 20% (dua puluh perseratus) dari kursi
DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) perolehan suara sah nasional
dalam Pemilu DPR, sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah
dalam putusan-putusan terdahulu, merupakan kebijakan hukum (legal
policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945
yang menentukan, ”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 22E ayat
(6) UUD 1945 yang menentukan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Mahkamah juga tidak
sependapat dengan pendapat ahli Philipus M. Hadjon yang menyatakan
bahwa Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 tidak memperkenankan pembuat
Undang-Undang untuk menambah syarat ambang batas, karena menurut
ahli tersebut, delegasi wewenang hanya menyangkut tata cara pemilihan
umum. Mahkamah berpendapat tata cara sebagai prosedur Pemilihan
Presiden/Wakil Presiden dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945
sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu
adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang
diamanatkan dalam UUD 1945;

e. Bahwa terhadap dalil Pemohon III (Partai Hanura, Partai Demokrasi
Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat
Nasional, dan Partai Republik Nusantara) yang menyatakan Pasal 9 UU
42/2008 berpotensi menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu yang
demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, Mahkamah
berpendapat tidak ada korelasi yang logis antara syarat dukungan 20%
(dua puluh perseratus) kursi DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus)
suara sah secara nasional yang harus diperoleh Partai untuk mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilihan umum
yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, karena
justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses
demokrasi yang diserahkan pada rakyat pemilih yang berdaulat. Hal
demikian juga untuk membuktikan apakah partai yang mengusulkan
Calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat dukungan yang luas dari
rakyat pemilih;

f. Lagipula, syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik
yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di DPR atau 25%
(dua puluh lima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan umum
Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal; sedangkan
dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden yang
kelak akan menjadi Pemerintah sejak awal pencalonannya telah didukung
oleh rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan
tertentu melalui Pemilu;

g. Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 berbunyi, ”Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD”.
Mahkamah berpendapat bahwa dalam mengambil suatu keputusan harus
bersandar pada ukuran yang tersusun atas prinsip-prinsip, kebijakan, dan
aturan-aturan (principles, policy, dan rules). Prinsip-prinsip bermakna
nilai- nilai yang hendak diwujudkan; kebijakan adalah jenis ukuran yang
menentukan tujuan yang akan dicapai, yang pada umumnya suatu
perbaikan di bidang ekonomi, politik dan sosial di masyarakat (Ian
Mcleod, 2006: 125);

h. Kebijakan (policy) jelas tergambar pada Bagian Penjelasan Umum
UU 42/2008 yang menegaskan bahwa tujuan (doelmatigheid) Undang-
Undang a quo sesuai dengan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yakni adanya tujuan yang jelas, kelembagaan atau
organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan keberhasilgunaan, kejelasan
rumusan dan keterbukaannya. Sedangkan aturan-aturan (rules) adalah
ketentuan-ketentuan yang dipakai sebagai landasan mencapai tujuan
yang hendak diwujudkan tersebut. Keputusan atau kebijakan untuk
mencapai sasaran strategis yang dipertimbangkan oleh pembentuk
Undang-Undang adalah masalah kebijakan yang harus diuji dengan
pertanyaan apakah telah tercapai kemajuan secara keseluruhan, bukan
masalah apakah hal itu memberikan setiap warga negara suatu hak yang
harus dimiliki sebagai individu;

[3.11.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
VI/2008 dalam pengujian terhadap sejumlah ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden yang tidak mengakomodasi calon perseorangan untuk
dapat diusulkan sebagai calon presiden dan wakil presiden, Mahkamah
menolak permohonan Pemohon dengan pertimbangan antara lain:

Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 merupakan bentuk perwujudan dari kedaulatan rakyat yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 adalah benar. Akan tetapi,
pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidaklah melanggar
hak seseorang “untuk memilih dan dipilih”. Dalam pelaksanaan Pemilu
maka setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan
kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden
terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,
yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 42/2008 a quo. Dengan
demikian pembatasan dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal
13 ayat (1) UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif.
Apalagi jika dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan menurut
UUD 1945.

[3.11.3] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-
VII/2009 yang substansinya juga memuat antara lain permohonan
pengujian kembali norma Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008,
dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menegaskan kembali
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008 dan kemudian menyatakan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, Mahkamah
antara lain menegaskan kembali:

bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 9 UU 42/2008
berpotensi menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu yang demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, Mahkamah berpendapat
tidak ada korelasi logis antara syarat dukungan 20% (dua puluh
perseratus) kursi DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) suara sah
secara nasional yang harus diperoleh partai untuk mengusulkan Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilihan Umum yang
demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, karena justru
pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi
yang diserahkan pada rakyat pemilih yang berdaulat. Hal demikian juga
untuk membuktikan apakah partai yang mengusulkan calon Presiden dan
Wakil Presiden mendapat dukungan luas dari rakyat pemilih;

[3.11.4] Bahwa dalam Putusan 4/PUU-XI/2013 yang memuat
pertimbangan terhadap permohonan pengujian kembali antara lain
terhadap Pasal 9 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah menegaskan
kembali pendiriannya yang telah dituangkan dalam putusan-putusan
sebelumnya sehingga menyatakan permohonan Pemohon terhadap Pasal
9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menggunakan dasar
pengujian yang sama tidak dapat diterima. Sementara itu, permohonan
Pemohon terhadap Pasal yang sama yang menggunakan dasar pengujian
yang berbeda, oleh Mahkamah dinyatakan ditolak. Dengan kata lain,
melalui putusan ini Mahkamah secara implisit menegaskan kembali
pendiriannya bahwa norma undang-undang yang memuat persyaratan
perolehan suara (kursi) partai politik atau gabungan partai politik untuk
dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam
pemilihan umum adalah konstitusional.

[3.11.5] Bahwa dalam Putusan 46/PUU-XI/2013 yang antara lain
memuat pertimbangan mengenai permohonan pengujian kembali
terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah menolak
permohanan Pemohon meskipun menggunakan dasar pengujian yang
berbeda. Dalam putusan ini, Mahkamah mengutip kembali pertimbangan
hukumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008
yang artinya Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan untuk
mengubah pendiriannya.

[3.11.6] Bahwa dalam Putusan 108/PUU-XI/2013 antara lain memuat
substansi permohonan pengujian kembali Pasal 9 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008, Mahkamah menyatakan menolak permohonan ini
meskipun diajukan dengan menggunakan dasar pengujian yang berbeda.
Dalam pertimbangan hukum putusan ini, Mahkamah di samping mengutip
kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013, juga menegaskan dalam pertimbangan hukumnya:

[3.26] Menimbang bahwa Pasal 9 UU 42/2008 menyatakan, “Pasangan
Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta
pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua pulu persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR,
sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Menurut
Mahkamah, Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23
Januari 2014 maupun Putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008,
bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa
ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi
kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh
pembentuk Undang- Undang. Adapun dalil-dalil Pemohon yang selebihnya
terkait dengan Pasal 9 UU 42/2008 tidak relevan untuk dipertimbangkan.

[3.11.7] Bahwa dalam Putusan 49/PUU-XII/2014 yang antara lain juga
memuat permohonan pengujian kembali Pasal 9 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima
karena dianggap kabur.

[3.12] Menimbang bahwa setelah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), ketentuan tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam UU Pemilu a quo.
Terhadap ketentuan yang mengatur tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, in casu Pasal 222 UU Pemilu, yang juga menjadi objek
permohonan a quo, juga telah beberapa kali dimohonkan pengujian
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XV/2017,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017;

[3.12.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu,
sekalipun terdapat dua hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda
(dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi
Isra), Mahkamah telah secara komprehensif mempertimbangkan
konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dimaksud, termasuk menegaskan
kembali pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan
sebelumnya, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008, sebelum tiba pada amar putusan yang menolak
permohonan pemohon. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo,
Mahkamah menyatakan, pada pokoknya antara lain:

“Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah
dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya
persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau
gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi
hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu,
pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik
atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.
Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah
minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik
untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja
perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga
tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang
tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu
melalui pembicaraan intensif dengan partai- partai pengusungnya,
misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa
belum tentu partai-partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya
tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai
peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya
kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai
mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan
kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena
lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan
pemerintahan dapat direduksi.

Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan
memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai
politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya
penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai
berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti
sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah
penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak
dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan
dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-
program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih.
Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih
akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon
anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak.
Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika
memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena
setuju dengan program- program yang ditawarkannya maka secara
rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan
mendukung tercapainya program- program tersebut yang tidak lain
adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai
politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil
Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi
partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika
politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan
politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya
secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah
bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas
politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun
secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda
namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama
mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam
program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang
mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa
“sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya
diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang
selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma
Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem
Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya
keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain,
mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu
merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat
ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya
desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum
berjalannya fungsi-fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan
komunikasi politik.”

[3.12.2] Bahwa pendirian Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal
222 UU Pemilu sebagaimana dituangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut diulangi dan ditegaskan
kembali dalam Nomor 59/PUU- XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-
XV/2017, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017
yang memohonkan substansi yang sama sehingga permohonan pemohon
mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dalam putusan-putusan
Mahkamah yang disebut terakhir dinyatakan tidak dapat diterima.

[3.13] Menimbang bahwa setelah membaca semua putusan
Mahkamah yang berkenaan langsung dengan ketentuan ambang batas
pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pokoknya
Mahkamah menyatakan adalah konstitusional dan dianggap sebagai
bagian dari legal policy pembentuk undang- undang. Dengan kata lain,
Mahkamah berpendirian bahwa mendasarkan syarat perolehan suara
(kursi) partai politik di DPR dengan persentase tertentu untuk dapat
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah
konstitusional.

[3.14] Menimbang bahwa setelah melihat kembali pendirian
Mahkamah yang tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11] dan Paragraf [3.12] di atas,
maka dalam hubungannya dengan Permohonan a quo, apakah terdapat
alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya
berkenaan dengan syarat ambang batas perolehan suara partai politik
atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU
Pemilu?

Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah
pendiriannya. Sebab:

Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut
diucapkan pada tanggal 11 Januari 2018. Sementara itu, putusan
Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu a quo
didasarkan atas pertimbangan komprehensif yang bertolak dari hakikat
sistem pemerintahan presidensial menurut desain UUD 1945, bukan atas
dasar pertimbangan- pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-
peristiwa konkret. Dalam rentang waktu yang hanya beberapa bulan
tersebut tidak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan menurut UUD
1945 yang dibuktikan dengan tidak adanya perubahan undang-undang
sebagai pengaturan lebih lanjut sistem ketatanegaraan. Dengan demikian
belum ada alasan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah
pendiriannya;

Kedua, oleh karena pendirian Mahkamah didasarkan atas pertimbangan
komprehensif yang bertolak dari hakikat sistem pemerintahan presidensial
menurut desain UUD 1945 maka pada dasarnya seluruh argumentasi para
Pemohon, meskipun didalilkan menggunakan dasar pengujian yang
berbeda, telah dengan sendirinya dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU- XV/2017 tersebut:

1. argumentasi para Pemohon yang mendalilkan bahwa Pasal 222 UU
Pemilu menambahkan syarat ambang batas pencalonan yang berpotensi
menghilangkan pasangan capres dan cawapres alternatif telah
dipertimbangkan bahkan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-
52- 59/PUU-VI/2008 yang kemudian ditegaskan kembali dalam putusan-
putusan berikutnya. Pertimbangan tersebut diperkuat dengan
pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017 sebagaimana dapat dibaca khususnya dalam Paragraf [3.14]
angka 5 putusan tersebut;

2. argumentasi para Pemohon bahwa syarat pasangan calon bukan
open legal policy melainkan close legal policy telah tertolak oleh
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, yang kemudian
ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah berikutnya,
termasuk dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017;

3. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah
constitutional engineering melainkan constitutional breaching, Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya bahwa hal itu adalah constitusional
engineering, sebagaimana telah dijelaskan dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya dalam Paragraf
[3.14] angka 4, oleh karena itu Mahkamah tidak sependapat dengan para
Pemohon;

4. argumentasi para Pemohon bahwa penghitungan presidential
threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan
esensi pelaksanaan Pemilu, hal ini pun telah dipertimbangkan oleh
Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008 dan dielaborasi lebih jauh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU- XV/2017, khususnya dalam Paragraf [3.14] angka 5;

5. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu seharusnya
tidak mengatur “syarat” Capres karena Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya
mendelegasikan “tata cara”-nya, argumentasi ini pun telah dibantah oleh
Putusan Mahkamah 51-52-59/PUU-VI/2008;

6. argumentasi para Pemohon bahwa pengaturan delegasi “syarat”
Capres ke Undang-Undang ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak
terkait pengusulan Parpol, hal ini juga dengan sendirinya telah
terbantahkan oleh pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 51-52-59/PUU- VI/2008. Lagi pula, sulit untuk membangun
argumentasi yang secara konstitusional koheren ketika di satu sisi
Konstitusi secara tegas memberikan peran yang besar kepada partai
politik untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, sementara
di sisi lain persyaratan Capres itu dikatakan tidak terkait dengan
pengusulan oleh partai politik. Hal ini pun telah dipertimbangkan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya
Paragraf [3.14] angka 5;

7. argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold
menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi
menghadirkan Capres tunggal, hal demikian meskipun sekilas tampak
logis namun mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga
negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu
terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sehingga,
kendatipun diberlakukan syarat parliamentary threshold, kemungkinan
untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka, sebagaimana
terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini sejak dijaminnya
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan
perubahan UUD 1945. Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan
calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu
haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagi
partai politik yang memenuhi persyaratan terdaftar di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk menjadi peserta pemilihan umum
harus pula terdaftar sebagai peserta pemilihan umum di KPU dengan
terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang lebih berat bila dibandingkan
dengan syarat terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tidak hanya persyaratan formal, untuk menjadi peserta pemilihan umum
partai politik harus melewati verifikasi mulai dari dari tingkat pusat sampai
ke tingkat kecamatan;

8. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu berpotensi
melahirkan ketidakpastian hukum yang harus diantisipasi oleh Mahkamah,
hal demikian tidaklah beralasan sama sekali karena rumusan Pasal 222
UU Pemilu a quo tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda karena
telah sangat jelas;

9. argumentasi para Pemohon bahwa pengusulan Capres seharusnya
tidak didasarkan oleh hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya, hal ini
sesungguhnya tidak ada bedanya dengan argumentasi para Pemohon
pada angka 4 di atas, sehingga pertimbangan Mahkamah sebagaimana
disebutkan pada angka 4 di atas itu pun berlaku terhadap dalil ini;

10. argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold dalam
Pasal 222 UU Pemilu berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya adalah
irasional, juga telah terjawab dengan pertimbangan Mahkamah pada
angka 4 dan angka 9 di atas;

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, MSi, Reza Indragiri Amriel, M.Crim (ForPsych),
Khoe Seng Seng, dan Usman

Pasal 222 UU Pemilu

Pancasila yang tidak terpisahkan dengan Pembukaan UUD Tahun 1945
karena dinilai tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi Para
Pemohon dalam konteks relasinya sebagai warganegara dengan DPR-RI
sebagai lembaga Negara sehingga merugikan dan melanggar hak dan/atau
kewenangan konstitusional Para Pemohon

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama
Permohonan a quo, telah ternyata bahwa terhadap substansi materi
muatan Pasal 222 UU Pemilu telah beberapa kali dimohonkan pengujian
dan Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yaitu bahwa Pasal 222 UU
Pemilu adalah konstitusional, artinya tidak bertentangan dengan UUD
1945. Pendirian Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut tidak
berubah. Putusan dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
VI/2008; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU- VII/2009;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XI/2013;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013; Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XII/2014; Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
59/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017; dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017. Pendirian Mahkamah
tersebut ditegaskan kembali dalam dua putusan terakhir, yaitu Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-XVI/2018;

[3.11.1] bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-
XVI/2018, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan,
antara lain:

[3.14] Menimbang bahwa setelah melihat kembali pendirian Mahkamah
yang tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya
sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.11]dan paragraf [3.12]di atas,
maka dalam hubungannya dengan permohonan a quo, apakah terdapat
alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya
berkenaan dengan syarat ambang batas perolehan suara partai politik
atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU
Pemilu?

Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah
pendiriannya. Sebab:

Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut
diucapkan pada tanggal 11 Januari 2018. Sementara itu, putusan
Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu a quo
didasarkan atas pertimbangan komprehensif yang bertolak dari hakikat
sistem pemerintahan presidensial menurut desain UUD 1945, bukan atas
dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-
peristiwa konkret. Dalam rentang waktu yang hanya beberapa
bulantersebut tidak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan menurut
UUD 1945 yang dibuktikan dengan tidak adanya perubahan undang-
undang sebagai pengaturan lebih lanjut sistem ketatanegaraan. Dengan
demikian belum ada alasan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah
pendiriannya;

Kedua, oleh karena pendirian Mahkamah didasarkan atas pertimbangan
komprehensif yang bertolak dari hakikat sistem pemerintahan presidensial
menurut desain UUD 1945 maka pada dasarnya seluruh argumentasi para
Pemohon, meskipun didalilkan menggunakan dasar pengujian yang
berbeda, telah dengan sendirinya dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut:

1. argumentasi para Pemohon yang mendalilkan bahwa Pasal 222 UU
Pemilu menambahkan syarat ambang batas pencalonan yang berpotensi
menghilangkan pasangan capres dan cawapres alternatif telah
dipertimbangkan bahkan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-
52-59/PUU-VI/2008 yang kemudian ditegaskan kembali dalam putusan-
putusan berikutnya. Pertimbangan tersebut diperkuat dengan
pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017 sebagaimana dapat dibaca khususnya dalam paragraf
[3.14]angka 5 putusan tersebut;

2. argumentasi para Pemohon bahwa syarat pasangan calon bukan
open legal policy melainkan close legal policy telah ditolak oleh
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, yang kemudian
ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah berikutnya,
termasuk dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017;

3. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah
constitutional engineering melainkan constitutional breaching, Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya bahwa hal itu adalah constitutional
engineering, sebagaimana telah dijelaskan dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya dalam paragraf
[3.14] angka 4, oleh karena itu Mahkamah tidak sependapat dengan para
Pemohon;

4. argumentasi para Pemohon bahwa penghitungan presidential
threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan
esensi pelaksanaan Pemilu, hal ini pun telah dipertimbangkan oleh
Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008 dan dielaborasi lebih jauh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya dalam paragraf [3.14]angka 5;

5. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu seharusnya
tidak mengatur “syarat” Capres karena Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya
mendelegasikan “tata cara”-nya, argumentasi ini pun telah dibantah oleh
Putusan Mahkamah 51-52-59/PUU-VI/2008;

6. argumentasi para Pemohon bahwa pengaturan delegasi “syarat”
Capres ke Undang-Undang ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak
terkait pengusulan Parpol, hal ini juga dengan sendirinya telah
terbantahkan oleh pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
51-52-59/PUU-VI/2008. Lagi pula, sulit untuk membangun argumentasi
yang secara konstitusional koheren ketika di satu sisi Konstitusi secara
tegas memberikan peran yang besar kepada partai politik untuk
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, sementara di sisi lain
persyaratan capres itu dikatakan tidak terkait dengan pengusulan oleh
partai politik. Hal ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya paragraf [3.14]
angka 5;

7. argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold
menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi
menghadirkan Capres tunggal, hal demikian meskipun sekilas tampak
logis namun mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga
negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu
terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sehingga,
kendatipun diberlakukan syarat parliamentary threshold, kemungkinan
untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka, sebagaimana
terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini sejak dijaminnya
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan
perubahan UUD 1945. Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan
calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu
haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagi
partai politik yang memenuhi persyaratan terdaftar di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk menjadi peserta pemilihan umum
harus pula terdaftar sebagai peserta pemilihan umum di KPU dengan
terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang lebih beratbila dibandingkan
dengan syarat terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tidak hanya persyaratan formal, untuk menjadi peserta pemilihan
umumpartai politik harus melewati verifikasi mulai dari tingkat pusat
sampai tingkat kecamatan;

8. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu berpotensi
melahirkan ketidakpastian hukum yang harus diantisipasi oleh Mahkamah,
hal demikian tidaklah beralasan sama sekali karena rumusan Pasal 222
UU Pemilu a quo tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda karena
telah sangat jelas;

9. argumentasi para Pemohon bahwa pengusulan Capres seharusnya
tidak didasarkan oleh hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya, hal ini
sesungguhnya tidak ada bedanya dengan argumentasi para Pemohon
pada angka 4 di atas, sehingga pertimbangan Mahkamah sebagaimana
disebutkan pada angka 4 di atas itu pun berlaku terhadap dalil ini;

10. argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold dalam
Pasal 222 UU Pemilu berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya adalah
irasional, juga telah terjawab dengan pertimbangan Mahkamah pada
angka 4 dan angka 9 di atas

[3.11.2] bahwa sekalipun dalam persoalan konstitusionalitas
presidential threshold terdapat pendapat berbeda dari 2 orang Hakim
Konstitusi (Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra),
sesuai dengan putusan-putusan sebelumnya, Mahkamah tidak mengubah
pendiriannya dan dalam pertimbangan hukumnya lebih mempertegas
kembali pendiriannya mengenai hal tersebut.

[3.12] Menimbang bahwa dengan telah jelas dan tidak berubahnya
pendirian Mahkamah yang dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah
sebelumnya sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas, maka
dalam konteks permohonan a quo apakah terdapat alasan konstitusional
baru yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya
terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu? Pertanyaan demikian
muncul karena dengan telah dinyatakan konstitusionalnya Pasal 222 UU
Pemilu oleh Mahkamah maka sesungguhnya, menurut Pasal 60 ayat (1)
UU MK, terhadap Pasal 222 UU Pemilu pada dasarnya tidak lagi dapat
dimohonkan pengujian. Namun, karena para Pemohon dalam
permohonannya mendalilkan adanya alasan berbeda dari permohonan-
permohonan sebelumnya dalam menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU
Pemilu, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK
Mahkamah dapat memeriksa kembali permohonan a quo.

Dalam kaitan ini, setelah Mahkamah memeriksa secara cermat
permohonan para Pemohon, ternyata bahwa hal yang oleh para Pemohon
dianggap sebagai perbedaan permohonan a quo dengan permohonan-
permohonan sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah adalah
bahwa para Pemohon menerima jika Pasal 222 UU Pemilu dikatakan legal
policy, hanya saja para Pemohon tidak sependapat jika legal policy itu
mulai diberlakukan untuk Pemilu serentak 2019. Sebab, menurut para
Pemohon, mereka tidak mengetahui dan tidak pernah diberitahu,
khususnya oleh pembentuk undang-undang, kalau suara yang mereka
berikan dalam pemilihan anggota DPR Tahun 2014 akan dijadikan dasar
penghitungan presidential threshold perolehan suara partai politik yang
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu
2019. Dengan keadaan tersebut, para Pemohon merasa dibohongi dan
suaranya dimanipulasi. Keadaan demikian, menurut para Pemohon,
bertentangan dengan seluruh nilai dalam Pancasila, mulai dari Sila
Pertama hingga Sila Kelima, sementara Pancasila tidak dapat dipisahkan
dari Pembukaan UUD 1945.

Dengan demikian, seluruh dalil para Pemohon sesungguhnya bertumpu
pada persoalan apakah benar norma yang termuat dalam Pasal 222 UU
Pemilu mengandung pembohongan dan manipulasi? Terhadap persoalan
tersebut, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa sebagaimana telah dijelaskan pada Paragraf [3.11] di
atas, pendirian Mahkamah perihal konstitusionalnya Pasal 222 UU Pemilu
bukan bertolak dari pertimbangan-pertimbangan yang parsial dan
kasuistis melainkan secara komprehensif didasarkan atas pertimbangan
yang diturunkan dari sistem ketatanegaraan, khususnya sistem
pemerintahan presidensial, menurut desain UUD 1945. Sementara itu,
desain sistem ketatanegaraan Indonesia dalam UUD 1945 bertolak dari
amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea
keempat, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang di dalamnya termuat dasar negara
Pancasila. Oleh karena itulah ketika dilakukan perubahan terhadap UUD
1945, seluruh fraksi di MPR bukan hanya sepakat untuk tidak melakukan
perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 tetapi juga sekaligus sepakat
menjadikan Pembukaan UUD 1945 itu sebagai acuan dalam melakukan
perubahan dimaksud. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan,
MPR pada saat itu juga sepakat untuk mempertegas ciri-ciri sistem
pemerintahan presidensial dimaksud menurut desain UUD 1945. Hal-hal
itulah yang telah dipertimbangkan secara komprehensif dalam
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017 yang ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah
selanjutnya, terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-
XVI/2018.

[3.12.2] Bahwa berbicara tentang sistem pemerintahan presidensial,
kendatipun secara doktriner dapat ditemukan ciri-cirinya secara umum,
dalam praktik terdapat variasi yang beragam sesuai dengan pertimbangan
kebutuhan masing-masing negara yang mengadopsi sistem ini, sehingga
tidak ada satu negara pun menerapkan sistem ini dengan ciri-ciri yang
persis sama dengan negara lainnya di dalam praktiknya. Bahkan,
terhadap ciri yang secara doktriner dikatakan sama pun terdapat
perbedaan, misalnya ciri yang menyebutkan bahwa presiden (yang
sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan) dipilih secara
langsung. Dalam praktik, pengertian “dipilih secara langsung” tersebut
ternyata tidak selalu diartikan sebagai pemilihan secara popular vote
sebab pemilihan dengan mekanisme electoral college pun dianggap
sebagai pemilihan secara langsung, sebagaimana misalnya yang
dipraktikkan di Amerika Serikat, di mana para pemilih tidaklah memilih
kandidat presiden dan wakil presiden secara langsung tetapi hanya
memilih sejumlah electors dengan secara umum menggunakan prinsip
the winner takes all di negara bagian. Pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang memperoleh dukungan mayoritas elektoral dinyatakan
sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Dengan
mekanisme demikian kerap terjadi bahwa pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang didukung oleh mayoritas elektoral belum tentu secara
popular memperoleh suara terbanyak. Misalnya dalam pemilihan terakhir
tahun 2016, Donald Trump memperoleh 306 electoral colleges sedangkan
Hillary Clinton memperoleh 232 electoral colleges namun popular votes
Clinton unggul lebih dari 4,3 juta suara. Jika dalam mekanisme
pemenuhan ciri “pemilihan presiden secara langsung” dimungkinkan
terjadi perbedaan maka tentu dimungkinkan pula terjadinya perbedaan
dalam mekanisme pengusulan pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang akan dipilih secara langsung itu. Ketidaksamaan dalam
praktik penerapan sistem presidensial demikian adalah wajar karena
sistem ini dapat diterapkan atau diadopsi baik di negara yang berbentuk
federasi (serikat) maupun di negara yang berbentuk kesatuan; baik di
negara yang sistem kepartaiannya menganut sistem dua partai maupun
sistem banyak partai (multipartai); baik di negara yang sistem lembaga
perwakilannya menganut sistem dua kamar (bikameral) maupun di
negara yang menganut sistem satu kamar (unikameral), dan sebagainya.

[312.3] Bahwa semangat penggunaan hasil pemilihan sebelumnya
sebagai acuan, meskipun tidak persis sama, bukanlah sesuatu yang sama
sekali baru sehingga tidak beralasan apabila hal itu dikatakan sebagai
pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih. Sebagai contoh,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 dalam pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam putusan
tersebut Mahkamah pada pokoknya mengabulkan permohonan Pemohon
dengan menyatakan bahwa ketentuan yang mengatur tentang
penghitungan persentase dukungan sebagai syarat bagi calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah
(gubernur, bupati, atau walikota) yang didasarkan atas jumlah penduduk
di daerah yang bersangkutan bertentangan dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
“didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih
sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang
bersangkutan pada pemilihan umum sebelumnya.” Apakah ketentuan
demikian lantas dapat diartikan sebagai pembohongan dan manipulasi?
Sebab, jika mengikuti logika para Pemohon, penduduk yang namanya
tercantum dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum sebelumnya
di suatu daerah tentu dapat pula mengemukakan argumentasi bahwa
mereka telah dibohongi karena tidak diberitahu sebelumnya kalau
keberadaannya dalam daftar pemilih tetap dalam pemilihan umum
sebelumnya itu ternyata akan dijadikan dasar penghitungan persentase
persyaratan bagi calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah. Bila dikaitkan dengan permohonan a quo,
karena presidential threshold telah dinyatakan konstitusional oleh
Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya dan oleh karena
pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan umum anggota DPR
sebelumnya tidak dilakukan secara serentak maka pilihan yang paling
masuk akal adalah menggunakan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pilihan demikian adalah sebagai konsekuensi transisi penyelenggaraan
dari Pemilu yang terpisah menjadi Pemilu serentak. Hal demikian
dimungkinkan karena presidential threshold adalah sebagai legal policy
pembentuk undang-undang.

[3.12.4] Bahwa berkait dengan keberlakuan suatu norma hukum, di
kalangan yuris berlaku adagium ignoratia juris non exusat atau ignoratia
legis neminem exusat yaitu bahwa seseorang yang tidak mengetahui
akan keberadaan suatu hukum tidaklah membebaskan orang yang
bersangkutan dari pertanggungjawaban semata-mata karena ia tidak
tahu. Norma undang-undang sebagai kaidah hukum positif yang memiliki
sifat hakikat mengatur dan memaksa tetap berlaku terlepas dari
persoalan apakah subjek hukum yang diatur oleh norma hukum positif
tersebut setuju atau tidak. Bahkan, sesuai dengan prinsip presumption of
constitutionality, suatu norma undang-undang harus dianggap
konstitusional kecuali telah terdapat putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa norma undang-undang tersebut bertentangan dengan
konstitusi. Prinsip ini dianut pula oleh UU MK, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 58 yang menyatakan, “Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Dalam kaitan itu, konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas suatu norma
undang-undang, in casu Pasal 222 UU Pemilu, bukanlah disandarkan pada
konstruksi pemikiran yang bertolak dari peristiwa konkret di mana rakyat
atau warga negara harus tahu terlebih dahulu bahwa suara yang
diberikan kepada partai politik dalam Pemilu akan digunakan sebagai
syarat pengusulan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana
didalilkan para Pemohon, melainkan pada substansi atau materi muatan
dalam norma undang-undang itu sendiri. Artinya, konstitusional atau
tidaknya suatu norma undang-undang bukan ditentukan oleh kapan
norma undang-undang itu mulai diberlakukan. Benar bahwa Mahkamah
dalam beberapa putusannya memberikan tenggang waktu kepada
pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan undang-undang
namun konteksnya bukan sebagaimana yang dikonstruksikan dalam dalil
para Pemohon a quo. Misalnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 012-016-019/PUU- IV/2006 bertanggal 19 Desember 2006 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017 bertanggal 10
Oktober 2017. Dalam putusan-putusan itu Mahkamah memberikan
tenggang waktu kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan
perubahan undang-undang setelah terlebih dahulu menyatakan bahwa
norma undang-undang yang diperintahkan untuk dilakukan perbaikan itu
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Jadi, konstruksinya adalah
sebagai berikut: menurut Pasal 47 UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum, namun dengan pertimbangan tertentu
Mahkamah memberikan tenggang waktu kepada pembentuk undang-
undang untuk melakukan perubahan terhadap norma undang-undang
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Hal lain yang perlu ditegaskan dalam hubungan ini adalah harus
dibedakan persoalan mulai berlakunya suatu undang-undang dan mulai
berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi. Persoalan mulai berlakunya
suatu undang-undang adalah sepenuhnya merupakan kewenangan
pembentuk undang-undang, sedangkan persoalan mulai berlakunya
putusan Mahkamah Konstitusi tunduk pada Pasal 47 UU MK dengan
dimungkinkan memberi tenggang waktu kepada pembentuk undang-
undang untuk melakukan perubahan undang-undang yang dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Namun, kedua persoalan itu tidak
berkait dengan pertimbangan untuk menilai konstitusionalitas suatu
undang-undang.

[3.12.5] Bahwa oleh karena berdasarkan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada sub-paragraf [3.12.1] sampai dengan [3.12.4] di atas
telah ternyata bahwa ketentuan persentase tertentu perolehan suara
partai politik atau gabungan partai politik sebagai syarat untuk dapat
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden bukanlah suatu
bentuk pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih, maka dengan
sendirinya dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 222 UU Pemilu
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila menjadi kehilangan landasan
rasionalitasnya. Sebab, dalil para Pemohon perihal pertentangan Pasal
222 UU Pemilu didasarkan pada argumentasi bahwa Pasal 222 UU Pemilu
merupakan pembohongan dan manipulasi suara pemilih. Para Pemohon
tidak memberikan argumentasi lebih lanjut perihal mengapa Pasal 222 UU
Pemilu itu dikatakan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Padahal,
secara doktriner, pembahasan tentang nilai tidaklah cukup dengan uraian
yang sumir sebab nilai adalah penentuan penghargaan atau
pertimbangan tentang “baik atau tidak baik” terhadap sesuatu, kemudian
dijadikan dasar, alasan, atau motivasi untuk “melakukan atau tidak
melakukan” sesuatu. Nilai adalah hal ihwal yang bermakna bagi
kehidupan manusia yang didambakannya serta berusaha mewujudkannya
atau menghindarinya untuk menciptakan kepuasan dirinya. Nilai adalah
juga suatu tuntutan yang dijadikan arah untuk menentukan sikap dan
perilaku dalam kehidupan bersama manusia atau dalam kehidupan
masyarakat. Karena itu, mendalilkan sesuatu sebagai bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila haruslah disertai argumentasi yang lebih
mendalam perihal hakikat nilai dimaksud, dalam hal ini nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, yang secara analitis berkait pula dengan
persoalan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang terkandung di
dalamnya.

[3.12.6] Bahwa berkenaan dengan petitum para Pemohon yang juga
memohonkan agar Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, para Pemohon dalam posita permohonannya sama sekali tidak
memberikan alasan mengapa Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu a quo
bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan yang dalam petitumnya
memohonkan sesuatu tetapi dalam positanya tidak menguraikan alasan-
alasan yang mendasari permohonan itu adalah permohonan yang tidak
cermat sehingga mengakibatkan permohonan yang demikian menjadi
kabur. Namun dalam hal ini jika argumentasi para Pemohon perihal
inkonstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu sebagaimana dijelaskan dalam
posita permohonan a quo oleh para Pemohon sekaligus diberlakukan juga
sebagai argumentasi dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Penjelasan
Pasal 222 UU Pemilu maka pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 222
UU Pemilu sebagaimana telah diuraikan di atas dan dalam putusan-
putusan Mahkamah sebelumnya juga berlaku sebagai pertimbangan
terhadap Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu. Lagi pula, secara tekstual, apa
yang tertulis di dalam Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu tersebut tidaklah
memuat norma baru yang bertentangan dengan materi muatan Pasal 222
UU Pemilu sehingga tidak terdapat alasan bagi Mahkamah untuk
menyatakan Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu a quo bertentangan dengan
norma yang dijelaskannya sehingga dapat dijadikan dasar oleh
Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon
sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 222
UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah
berpendapat bahwa secara substantif sesungguhnya tidak terdapat alasan
konstitusional baru dalam permohonan para Pemohon a quo sehingga
permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Ferdinand Halomoan Lumban Tobing

Pasal 1 ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan 18 ayat (3) UU Pers

Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28I, Pasal 33 ayat (1)
dan Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1 ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 18 ayat (3) UU Pers, Mahkamah Konstitusi memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Pengertian Pers berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran yang tersedia.

[3.10.2] Wadah untuk menyelenggarakan pers adalah mendirikan
perusahaan pers. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 9
ayat (2) UU Pers bahwa perusahaan pers berbentuk badan hukum
Indonesia. Ketentuan tersebut dikuatkan oleh Surat Edaran Dewan Pers
Nomor 01/SE-DP/I/2014 tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar
Perusahaan Pers yang menyatakan bahwa perusahaan pers harus
berbadan hukum Indonesia berbentuk PT atau badan hukum lainnya yaitu
yayasan atau koperasi. Usaha Pers adalah usaha yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi sehingga
badan hukum perusahaan pers tidak dapat dicampur dengan usaha lain
selain di bidang pers. Dengan demikian jelas bahwa setiap orang yang
ingin mendirikan perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.

[3.10.3] Persoalannya, bagaimana dengan bentuk badan usaha
perusahaan pers yang dibentuk sebelum UU Pers berlaku. Terkait dengan
hal itu, BAB IX Ketentuan Peralihan Pasal 19 ayat (2) UU Pers
menyatakan, “Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya
undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-
undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya undang-undang ini”. Dengan demikian bagi perusahaan
pers yang belum berbentuk badan hukum Indonesia harus menjadi
perusahaan pers berbadan hukum Indonesia. Artinya, berdasarkan UU
Pers, perusahaan pers yang dibentuk baik sebelum maupun setelah
berlakunya UU Pers haruslah mengikuti ketentuan yang menyatakan
bahwa setiap perusahaan pers haruslah berbentuk badan hukum
Indonesia.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pasal 1
angka 2 juncto Pasal 9 ayat (2) UU Pers berlaku bagi setiap orang warga
negara Indonesia tanpa kecuali yang ingin mendirikan perusahaan pers.
Pilihan Pembentuk Undang-Undang bahwa perusahaan pers berbentuk
badan hukum di antaranya memberi perlindungan kepada orang yang
mendirikan perusahaan pers dan kepada wartawan yang bekerja di
perusahaan pers seperti yang termuat dalam Pasal 4 ayat (4) UU Pers
yang menyatakan, “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”; Pasal 5 ayat (2) dan
ayat (3) UU Pers yang menyatakan, “(2) Pers wajib melayani Hak Jawab;
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak”; dan Pasal 10 UU Pers yang
menyatakan, “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada
wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau
pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya”.

Sebaliknya, masalah lain yang lebih mendasar adalah UU Pers juga
memberi hak kepada seseorang atau pihak lain untuk menggugat
perusahaan pers karena sesuai dengan Pasal 12 UU Pers dinyatakan,
“Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung
jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk
penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan”. Sesuai dengan
ketentuan tersebut, arti penting keharusan perusahaan pers berbentuk
badan hukum adalah menyangkut tanggung jawab perusahaan pers
terhadap adanya kerugian baik dari aspek pidana maupun perdata yang
dialami oleh masyarakat terutama akibat pemberitaan. Oleh karena itu,
perusahaan pers haruslah berbentuk badan hukum agar dengan status
demikian dapat leluasa bertindak dengan diwakili oleh para pengurusnya
dalam melakukan perbuatan hukum yang diperlukan untuk mencapai
tujuan perusahaan dan juga dalam rangka pertanggungjawaban
perusahaan pers atas adanya tuntutan pihak lain maupun dalam upaya
perlindungan terhadap usaha dan untuk menjamin kesejahteraan para
wartawan maupun karyawannya. Dengan demikian, bentuk badan hukum
(dalam hal ini PT, Yayasan, dan Koperasi) adalah yang paling tepat bagi
suatu perusahaan pers.

Konstitusi menjamin bahwa setiap warga negara Indonesia boleh
melakukan berbagai macam usaha sebagaimana ditentukan dalam Pasal
33 UUD 1945, termasuk untuk mendirikan perusahaan pers. Namun
ketika akan mendirikan perusahaan pers maka harus tunduk pada UU
Pers. Pembatasan yang ditentukan oleh UU Pers tersebut sejalan dengan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.” Pembatasan demikian diperlukan karena
sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya
berkait dengan hak setiap orang untuk mendapatkan informasi yang
benar, sehingga pers sebagai salah satu sumber informasi penting dalam
masyarakat demokratis harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan
kecermatan sesuai dengan prinsip pers yang bebas dan bertanggung
jawab.

Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, telah terang bagi
Mahkamah bahwa pengaturan yang mengharuskan perusahaan pers
berbadan hukum Indonesia tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Namun demikian, berkenaan dengan permohonan a quo, setelah
Mahkamah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam
menjelaskan kedudukan hukumnya beserta dengan bukti-bukti yang
diajukan, telah ternyata bahwa Pemohon bukanlah perusahaan pers
sebagaimana dimaksud oleh UU Pers melainkan hanya perusahaan
penerbit (yang dalam bukti P-3 disebut “perusahaan penerbitan“). Oleh
karena itu tidak relevan untuk menggunakan logika kerugian yang dialami
oleh sebuah perusahaan pers sebagaimana diatur dalam UU Pers
terhadap perusahaan Pemohon yang bukan merupakan perusahaan pers.
Dengan demikian Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka Mahkamah
berpendapat tidak terdapat relevansi untuk mempertimbangkan
permohonan selebihnya.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo, quod non, telah ternyata bahwa pasal-pasal dalam
UU Pers yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD
1945.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Nugroho Prasetyo, yang dalam hal ini mengkuasakan kepada Heriyanto,
S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum

Pasal 222 UU Pemilu

Preambule Pembukaan UUD Tahun 1945, Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3),
Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1),
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), ketentuan tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam UU Pemilu a quo.
Terhadap ketentuan yang mengatur tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, in casu Pasal 222 UU Pemilu, yang juga menjadi objek
permohonan a quo, juga telah beberapa kali dimohonkan pengujian
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XV/2017,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017 dan semua pertimbangan tersebut
telah dirujuk kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-XVI/2018, bertanggal 25 Oktober 2018 yang telah diucapkan
sebelumnya sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu,
sekalipun terdapat dua hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda
(dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi
Isra), Mahkamah telah secara komprehensif mempertimbangkan
konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dimaksud, termasuk menegaskan
kembali pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan
sebelumnya, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU- VI/2008, sebelum tiba pada amar putusan yang menolak
permohonan pemohon. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo,
Mahkamah menyatakan, pada pokoknya antara lain:

“Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah
dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya
persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau
gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi
hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu,
pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik
atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.

Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah
minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik
untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja
perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga
tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang
tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu
melalui pembicaraan intensif dengan partai- partai pengusungnya,
misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa
belum tentu partai-partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya
tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai
peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya
kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai
mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan
kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena
lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan
pemerintahan dapat direduksi.

Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan
memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai
politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya
penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai
berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti
sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah
penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak
dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan
dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-
program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih.
Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih
akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon
anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak.
Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika
memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena
setuju dengan program- program yang ditawarkannya maka secara
rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan
mendukung tercapainya program- program tersebut yang tidak lain
adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai
politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil
Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi
partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika
politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan
politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya
secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah
bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas
politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun
secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda
namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama
mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam
program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang
mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa
“sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya
diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang
selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma
Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem
Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya
keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain,
mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu
merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat
ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya
desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum
berjalannya fungsi- fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan
komunikasi politik”.

[3.12.2] Bahwa pendirian Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal
222 UU Pemilu sebagaimana dituangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut diulangi dan ditegaskan
kembali dalam Nomor 59/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 70/PUU- XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-
XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017 yang
memohonkan substansi yang sama sehingga permohonan pemohon
mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dalam putusan-putusan
Mahkamah yang disebut terakhir dinyatakan tidak dapat diterima.

[3.12] Menimbang, berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena
terhadap Pasal 222 UU Pemilu Mahkamah telah menyatakan pendiriannya
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017 yang kemudian dikuatkan kembali oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU- XVI/2018, maka pertimbangan
Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut secara mutatis mutandis
berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo. Namun sebelum Mahkamah
mempertimbangkan pokok permohonan lebih jauh, oleh karena secara
konstitusional sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka pengusulan pasangan calon
tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan melainkan ditentukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dengan
memenuhi persentase perolehan kursi anggota DPR atau suara sah
secara nasional dengan jumlah tertentu. Oleh karenanya menurut Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 pihak yang memiliki hak konstitusional untuk
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Lagipula, di
dalam permohonannya Pemohon sama sekali tidak mengaitkan statusnya
yang telah mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden dengan
eksistensi sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan
dipilih. Dengan demikian, meskipun Pemohon telah mendeklarasikan
dirinya sebagai calon presiden, maka dalam kaitannya dengan kedudukan
hukum Pemohon, berdasarkan konstruksi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 di
atas tidak terdapat kerugian konstitusional pada diri Pemohon dalam
hubungannya dengan keberlakuan norma Pasal 222 UU Pemilu, sehingga
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon memiliki kedudukan
hukum, telah ternyata bahwa norma yang dimohonkan pengujian tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon
selebihnya tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Muhammad Dandy

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal
22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan
Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Bahwa Pemohon dalam petitum permohonannya meminta putusan
provisi agar Mahkamah memprioritaskan pemeriksaan dan memutus
perkara a quo sebelum tahapan Pendaftaran Pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Terhadap
permohonan provisi tersebut Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan yang kuat untuk mempertimbangkannya sebab mekanisme yang
mengatur hal itu telah tersedia sesuai dengan tahapan Pemilu 2019,
khususnya mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan di lain
pihak tahapan pemeriksaan permohonan a quo sesuai dengan hukum
acara yang berlaku juga tidak memungkinkan hal tersebut dikabulkan.
Oleh karena itu Mahkamah berpendapat permohonan provisi Pemohon
tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menjadi
objek permohonan a quo telah beberapa kali dilakukan pengujian oleh
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-
XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 222
UU Pemilu, sekalipun terdapat dua hakim konstitusi mempunyai pendapat
berbeda (dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi
Saldi Isra), Mahkamah telah secara komprehensif mempertimbangkan
konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dimaksud, termasuk menegaskan
kembali pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan
sebelumnya, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008, yang semua pertimbangan tersebut telah dikemukakan
kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XVI/2018, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang telah diucapkan
sebelumnya;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang
menyatakanmengalami kerugian konstitusional karena tingginya angka
ambang batas pengajuanpasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
(presidential threshold) mengakibatkan terbatasnya pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang dapat dipilih, Mahkamah berpendapat
bahwa hal demikian merupakan konsekuensi dari sistem presidensial yang
dipilih bangsa Indonesia sebagai sistem pemerintahan sebagaimana
dituangkan dalam UUD 1945, yang penguatan terhadap sistem tersebut
membutuhkan kecukupan dukungan dari suara partai politik dan secara
bersamaan penyederhanaan jumlah partai politik.

Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum terhadap presidential
thresholdserta upaya penyederhanaan partai politik melalui berbagai
putusan sebagaimana secara komprehensif dituangkandalam Putusan
Nomor 53/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian UU Pemilu…

[3.14] Menimbang bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 secara mutatis mutandis
berlaku pula terhadap dalil Pemohon dalam perkara a quo.

[3.15] Menimbang bahwa permasalahan kedua yang didalilkan Pemohon
adalah tidak logisnya penentuan angka presidential threshold Pemilihan
Umum Tahun 2019 jika menggunakan hasil Pemilihan Umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014. Terhadap dalil tersebut, dalam
kaitannya dengan penguatan sistem presidensial sekaligus
penyederhanaan partai politik, Mahkamah berpendapat bahwa konsep
penguatan sistem presidensial serta penyederhanaan partai politik tidak
dapat dilakukan tanpa salah satunya melalui pembatasan hak partai
politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,
mengingat hanya partai politik atau gabungan partai politik yang diberi
hak oleh UUD 1945 untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden [vide Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945];

[3.15] Pembatasan untuk penyederhanaan demikian memerlukan angka,
yang dapat berupa persentase maupun jumlah tertentu, sebagai syarat
yang harus dipenuhi oleh partai politik maupun gabungan partai politik
yang ingin mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Mahkamah belum menemukan adanya metode penentuan besaran angka
presidential threshold demikian, baik secara teoritis maupun praktik.
Dengan demikian menurut Mahkamah penentuan angka demikian
menjadi legal policy pembentuk undang-undang untuk menentukan, tentu
saja melalui undang-undang.

Pertimbangan demikian telah dikemukakan Mahkamah dalam Putusan
Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, yang
meskipun merupakan putusan dalam perkara pengujian undang-undang
yang berbeda yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, namun secara substansial
norma yang dimohonkan pengujian mengatur hal yang sama dengan
perkara a quo yaitu mengenai besaran angka persentase presidential
threshold dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008 pun telah dijadikan salah satu pertimbangan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XVI/2018, serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018. Pertimbangan Putusan Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008 yang dijadikan rujukan putusan-putusan tersebut…

[3.16] Menimbang bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 tersebut mutatis mutandis
berlaku pula terhadap dalil Pemohon dalam perkara a quo.

[3.17] Menimbang bahwa permasalahan ketiga yang didalilkan oleh
Pemohon adalah terlanggarnya hak konstitusional Pemohon karena
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum
Tahun 2019 diajukan oleh partai politik yang bukan pilihan Pemohon.
Terhadap dalil demikian Mahkamah berpendapat adalah benar bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih oleh
Pemohon pada Pemilu Tahun 2019 tidak diusung/diajukan oleh partai
politik pilihan Pemohon, karena Pemohon sebagai pemilih pemula belum
mengikuti Pemilu sebelumnya. Hal demikian sekilas memang terlihat
sebagai sebuah kerugian konstitusional bagi pemilih pemula, namun
pertimbangan terhadap dalil tersebut tidak dapat dijawab terpisah dari
keseluruhan konteks penerapan presidential threshold sebagaimana telah
diuraikan Mahkamah pada Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.15]
sebelumnya.

[3.17.1] Adanya konsensus pembentuk undang-undang untuk
menerapkan presidential threshold serta adanya ketentuan Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945 telah “mengatur” bahwa pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden harus telah ada sebelum Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan. Hal demikian merupakan konsekuensi
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang tentu
berbeda dengan pemilihan oleh lembaga perwakilan, sehingga selalu
terbuka kemungkinan bahkan menjadi keniscayaan ada pemilih yang baru
mendapatkan atau memiliki hak pilihnya (pemilih pemula) setelah
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan/ditetapkan.

Dalam konteks pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik, bahkan dengan pengandaian
tidak diterapkannya konsep presidential threshold di Indonesia, quod non,
adalah tidak mungkin bagi seorang pemilih pemula untuk “telah” menjadi
pemilih partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden tertentu. Lahirnya hak pilih seorang warga negara (pemilih
pemula) bisa terjadi kapan saja dalam rentang waktu antara pemilihan
umum periode sebelumnya dengan pemilihan umum periode yang akan
datang. Jika pada pemilihan umum periode sebelumnya pemilih
bersangkutan telah ikut memilih maka secara logika pemilih tersebut
bukan lagi pemilih pemula. Karakteristik pembeda demikian yang menurut
Mahkamah harus dicermati untuk menilai adakah hak konstitusional
Pemohon sebagai pemilih pemula yang dilanggar oleh Pasal 222 UU
Pemilu.

[3.17.2] Ketika pasangan calon harus diajukan sebelum Pemilu,
sebagaimana perintah UUD 1945, tentu tidak mungkin bagi seorang
pemilih pemula untuk sudah atau telah terlibat dalam pencalonan atau
pengajuan pasangan calon dimaksud, apalagi dengan posisi/status yang
dikehendaki Pemohon adalah terlibat sebagai pemilih partai politik
pengusung. Hal demikian tentu bertolak belakang dengan status yang
didalilkan Pemohon sendiri, yaitu sebagai pemilih pemula pada Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang. Apalagi jika hak pilih
Pemohon baru diperoleh mendekati hari pemungutan suara Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, meskipun dalil Pemohon
secara selintas terlihat sebagai kerugian konstitusional yang diakibatkan
oleh Pasal 222 UU Pemilu, namun menurut Mahkamah hal yang diatur
dalam Pasal 222 UU Pemilu, namun menurut Mahkamah hal yang diatur
dalam Pasal 222 UU Pemilu bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD
Tahun 1945 dan tidak terbukti menimbulkan kerugian konstitusional bagi
Pemohon. Pendapat Mahkamah demikian didasarkan juga pada
argumentasi bahwa dalam Pemilu 2019 tidak dapat dipastikan bahwa
Pemohon akan memilih yang sama antara partai politik dalam pemilihan
umum anggota DPR dan memilih partai politik yang mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

[3.18] Menimbang bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum
Pemohon, karena Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan
umum, maka hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden dimiliki oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum dan secara tidak langsung dimiliki
oleh pemilih yang telah menggunakan hak pilih pada pemilihan umum
sebelumnya, yaitu Pemilu 2014, di mana hasil perolehan suara partai
politik pada Pemilu 2014 dipergunakan sebagai rujukan
penerapan/penghitungan presidential threshold Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2019. Dalam perkara a quo karena Pemohon tidak
bertindak sebagai partai politik dan bukan pula pemilih yang telah
menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014, melainkan Pemohon
mendalilkan sebagai pemilih pemula atau dengan kata lain Pemohon
belum pernah menggunakan hak pilih pada Pemilu 2014, maka menurut
Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon ternyata tidak memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya
pun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, dalil permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Partai PERINDO yang dalam hal ini diwakili oleh Hary Tanoesoedibjo dan
Ahmad Rofiq selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai PERINDO

Pasal 169 huruf n UU Pemilu

Pasal 6A ayat (1), Pasal 7, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD
Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

e. bahwa Mahkamah telah menerima surat penarikan permohonan dari
Pemohon bertanggal 16 Agustus 2018 perihal Permohonan Perkara
Nomor 60/PUU-XVI/2018, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 16 Agustus 2018;

f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon
tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik
kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah
Konstitusi dilakukan”;

g. bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 26 September
2018 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali
Permohonan Nomor 60/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum dan
sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan kembali suatu
Permohonan mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan
kembali.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen dalam hal ini diwakili oleh
Dr. Sri. Sudarjo, S.Pd., M.Pd. selaku Ketua Umum dan Dianul Hayezi, S.E.
selaku Sekretariat Jenderal Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen

Pasal 222 dan Pasal 226 ayat (1) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2) Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), Pasal
6A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 dan Pasal 226 ayat (1) UU
Pemilu, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

a. Bahwa Pemohon dalam Permohonan a quo mendalilkan sebagai partai
politik yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 02 Tahun 2018
yang dibuat oleh Notaris Eddy Hermansyah, S.H., bertanggal 02 Juli 2018
(vide bukti P-2). Selain itu Pemohon juga menyampaikan keterangan
dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang diselenggarakan pada
tanggal 18 Juli 2018, bahwa Partai Komite Pemerintahan Rakyat
Independen adalah sebuah partai politik berbadan hukum publik yang
awalnya didirkan pada tanggal 30 Desember 2008 bernama Lembaga
Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang dibuat oleh Notaris Eddy
Hermansyah, S.H., dan turunan Akta Perubahan Anggaran Dasar
Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen menjadi Partai Komite
Pemerintahan Rakyat Independen.

b. Bahwa terhadap dalil Permohonan Pemohon tersebut diatas berkaitan
dengan kedudukan hukum Pemohon yang harus ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan partai politik adalah pengertian sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik (selanjutnya disebut UU Partai Politik), yaitu “Partai Politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sementara itu
syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan partai politik juga
ditentukan dalam Pasal 3 UU Partai Politik, secara kumulatif adalah:
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan
hukum;
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ,
Partai Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai
dengan peraturan perundangundangan;
c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang
bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e. rekening atas nama Partai Politik”.

c. Bahwa berdasarkan pada ketentuan sebagaimana diuraikan secara
imperatif tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan dalil-dalil dan alat
bukti yang diajukan Pemohon, khususnya berkenaan dengan kedudukan
hukum Pemohon yang mendalilkan organisasi Komite Pemerintahan
Rakyat Independen sebagai Partai Politik yang dibentuk sebagai badan
hukum publik berdasarkan Akta Notaris tersebut , sebagaimana yang
dipersyaratkan harus didaftarkan pada kementerian yang ditunjuk untuk
itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Partai Politik adalah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

d. Bahwa esensi dari pendaftaran badan hukum Partai Politik pada
kementerian sebagai lembaga Pemerintah adalah untuk menegaskan
adanya prinsip publisitas berkaitan dengan kelembagaan struktur
kepengurusan yang harus bersifat nasional. Sehingga dengan adanya
pengakuan secara sah oleh pemerintah, akan mendapatkan jaminan
kepastian hukum yang keberadaannya dilindungi konstitusi dalam negara
demokrasi konstitusional serta menjadikan partai politik sebagai lembaga
formal yang dapat menjadi penghubung setiap warga negara di dalam
menyampaikan aspirasi politiknya untuk berpartisipasi di dalam proses
pembangunan bangsa. Terlebih dalam perspektif sebagai lembaga formal
yang keberadaannya diakui oleh negara partai politik memiliki peran dan
posisi yang amat strategis dan oleh karenanya di dalam konteks
demokrasi prosedural maupun substansial penting menempatkan aktor
politik utamanya yang cerdas di dalam merumuskan kepentingan (interest
articulation) dan menggabungkan atau menyalurkan kepentingan
(interest aggregation).

e. Bahwa dengan uraian pertimbangan sebagaimana dimaksudkan dalam
huruf c dan huruf d tersebut di atas, mengingat salah satu syarat untuk
mendirikan partai politik harus didaftarkan pada Kementerian untuk
mendapatkan status badan hukum dan alat bukti dimaksud tidak dapat
ditunjukkan oleh Pemohon di dalam permohonan a quo, menurut
Mahkamah argumentasi Pemohon yang menganggap dirinya sebagai
Partai Politik mengalami kerugian konstitusional, sehingga dengan
berlakunya ketentuan pasal-pasal yang diajukan pengujian dalam
Permohonan a quo tidaklah beralasan menurut hukum. Apalagi
berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 untuk dapat
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden suatu partai
politik atau gabungan partai politik haruslah menjadi peserta Pemilu. Oleh
karenanya Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak
sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka pokok permohonan
Pemohon tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Muhammad Rahmani dan Marganti

Pasal 1 angka 6a UU ITE dan Pasal 157 UU LLAJ

Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28B
ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F ayat (1),
Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28H ayat (3), Pasal 28I ayat
(1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasa 28I ayat (4), Pasal 28J ayat
(1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1 angka 6a UU ITE dan Pasal 157
UU LLAJ, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.10.1] Bahwa terhadap Permohonan dengan pokok Permohonan
sebagaimana diuraikan pada paragraph [3.3] angka 1 di atas, Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan
terhadap permohonan dengan Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16
Juni 2010, yang amarnya menyatakan menolak permohonan para
Pemohon untuk seluruhnya. Dengan kata lain, Mahkamah telah
menyatakan bahwa norma yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo dalam putusan sebelumnya telah dinyatakan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tetap mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah
pada Paragraf [3.34] yang menyatakan antara lain:

dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk
memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat
diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan
mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian
materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata
cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui
dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan
dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang
perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara
sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan
Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat
waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam
Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan
pengujian formil terhadap Undang-Undang.

Oleh karena itu, dengan uraian pertimbangan tersebut, pertimbangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 mutatis mutandis
berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam mengadili permohonan a
quo.

Lebih lanjut terhadap argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon
sebagai dalil permohonan a quo, menurut Mahkamah, permasalahan
tenggang waktu pengajuan pengujian formil sebuah undang-undang
hanyalan persyaratan formil yang belum memasuki substansi pokok
sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Hakikat dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa
batasan waktu pengajuan pengujian formil sebuah undang-undang
adalah 45 (empat puluh lima) hari. Dengan kata lain terlepas ada atau
tidaknya motif politik yang dijadikan argumen para Pemohon hal tersebut
tidak ada relevansinya dengan batasan tenggang waktu sebagaimana
dimaksudkan dalam putusan tersebut.

[3.10.2] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, selebihnya
berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 157 UU LLAJ, Mahkamah
berpendapat bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan
Nomor 41/PUU-XVI/2018, di mana Mahkamah telah berpendirian bahwa
kendaraan bermotor, termasuk dalam hal ini sepeda motor, pada
hakikatnya adalah bukan kendaraan umum angkutan orang sebagaimana
yang dimaksudkan dalam Pasal 47 UU LLAJ. Oleh karena itu tidak ada
alasan bagi Mahkamah untuk memberikan perlakuan yang berbeda
bahwa Mahkamah membenarkan adanya kendaraan bermotor sebagai
angkutan umum di luar yang diatur dalam Pasal 47 UU LLAJ. Dengan kata
lain, kriteria untuk dapat dijadikannya kendaraan bermotor untuk
angkutan umum yang telah diatur dalam Pasal 47 UU LLAJ adalah
merupakan bentuk perlindungan terhadap keselamatan penumpang
maupun sesama pengguna jalan lainnya.

Lebih lanjut pengaturan tentang angkutan orang dengan kendaraan
bermotor tidak dalam trayek diatur dalam Pasal 151 sampai dengan Pasal
156 UU LLAJ, yang kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan
orang dengan Kandaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur
dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana diatur dalam
Pasal 157 UU LLAJ. Sehingga keberadaan dan kekuatan hukum mengikat
menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan adalah tidak menyalahi prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 157 UU LLAJ
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon berargumentasi bahwa peraturan
pemerintah yang lebih tinggi kedudukannya dari Permen, jika tidak
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut. Berkenaan dengan dalil dimaksud, apabila
yang dimaksudkan oleh para Pemohon adalah peraturan pemerintah
harus mendapat persetujuan DPR maka dari sistem hukum peraturan
perundang-undangan Indonesia tidak dikenal persetujuan DPR dalam
pembentukan peraturan pemerintah.

Namun demikian terlepas dari kekeliruan dalil para Pemohon yang
memosisikan peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR,
Mahkamah berpendapat bahwa ketantuan Pasal 157 UU LLAJ yang
mengatur tentang angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
tidak dalam trayek diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Apabila dicermati permohonan para Pemohon khususnya pada bagian
dalil-dalil permohonan para Pemohon yang dihubungkan dengan
permohonan para Pemohon dalam petitum ternyata ada ketidaksesuaian.
Oleh karenanya menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon menjadi
kabur (obscuur libel).

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di
atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan
dengan inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 6a UU ITE adalah mutatis
mutandis berlaku pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-VII/2009 dan permohonan para Pemohon berkenaan
Pasal 157 UU LLAJ adalah kabur (obscuur libel).

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Drs. Martinus Nuroso, M.M.

Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa terhadap Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang menjadi objek permohonan a quo Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya dan telah menjatuhkan putusan
sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, dengan amar putusan
menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam perkara dimaksud
dengan pertimbangan, antara lain:

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil yang diajukan para Pemohon,
Mahkamah menilai pokok permasalahan para Pemohon memang
berkaitan dengan keberadaan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, bahkan seolah-olah
ditimbulkan oleh rumusan Pasal a quo. Oleh karena itu, Mahkamah
terlebih dahulu akan mengutip Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
dan Penjelasannya sebagai berikut:

Pasal 167 ayat (3) menyatakan,

“Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam
program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan
pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu
uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha”.

Penjelasan Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Contoh dari ayat ini adalah:
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh
adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan
pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah
ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh
perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus),
maka:
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha
adalah sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh
adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar
Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK
karena pensiun tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun
yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di
bayar oleh pengusaha)
- Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun
yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
_______________________________________________+
Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)”


Berdasarkan uraian mengenai makna “diperhitungkan” yang terdapat
dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dicontohkan dalam
Penjelasan Pasal a quo, maka kata “diperhitungkan” yang dipersoalkan
oleh para Pemohon sesungguhnya telah jelas. Dengan demikian tidak
terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata “diperhitungkan”
dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana didalilkan
oleh para Pemohon. Mahkamah berpendapat yang terjadi sesungguhnya
adalah persoalan implementasi norma Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan Penjelasan Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sesungguhnya para Pemohon pun
mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan penerapan norma
sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para
Pemohon, di antaranya dalam angka 19 permohonan para Pemohon
sebagai berikut:

19. Bahwa kebijakan perusahaan PT. Bank Negara Indonesia, Tbk.
ataupun kebijakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk tersebut juga tidak
sesuai dengan yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3)
tersebut, sehingga para Pemohon telah menerima dampak kerugian
materil atas tafsiran rumus perhitungan uang pesangon tersebut. Namun
demikian, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk dan PT. Bank Rakyat
Indonesia Tbk, mengklaim telah menerapkan Pasal 167 ayat (3) secara
benar.

Dengan uraian tersebut, dalil demikian menunjukkan dengan jelas kepada
Mahkamah bahwa para Pemohon sendiri sejak awal telah memahami
bahwa permasalahan hukum yang dihadapi para Pemohon bukan karena
multitafsir ketentuan a quo namun karena tidak dilaksanakannya
ketentuan a quo oleh perusahaan perbankan dimana para Pemohon
pernah bekerja, sehingga para Pemohon menegaskan dalam bagian lain
posita permohonannya angka 24 sebagai berikut:

24. Bahwa dapat disimpulkan, frasa “diperhitungkan” tersebut dalam
praktiknya telah menyebabkan multi-interpretasi yang salah satunya
diartikan oleh kalangan pengusaha khususnya dikalangan perbankan
dengan pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Dampaknya,
ribuan pekerja termasuk Para Pemohon telah tidak dibayarkan uang
pesangonnya atau uang pesangonnya mengalami kekurangan yang
sangat signifikan bahkan sebagian dikalkulasikan kurang atau minus atau
dengan kata lain menyebabkan pensiunan justru berutang kepada
Perusahaan. Sebaliknya, Para Pemohon berpendapat bahwa frasa
“diperhitungkan” harus diterapkan sebagaimana penjelasan pasalnya
yang berarti tidak mengurangi uang pesangon pekerja atau total hasil
kalkulasi dari perhitungan uang pesangon dan manfaat pensiun yang
diterima selalu bernilai positif atau lebih besar dari total nilai pesangon 2
x PMTK (uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja dan uang
pesangon yang perhitungannya didasari dengan pencapaian masa kerja
serta besaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan).


[3.13] Menimbang bahwa meskipun persoalan yang dimohonkan
para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan
penerapan norma, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa
pihak-pihak yang berkenaan langsung dengan pelaksanaan Pasal a quo
wajib untuk mengimplementasikan norma yang terkandung dalam Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal a quo.


[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.11] Menimbang bahwa meskipun dalam Putusan Nomor 46/PUU-
XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, substansi yang dimohonkan pengujian
adalah kata “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, namun Mahkamah berpendapat bahwa meskipun
Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal yang sama dan dasar
pengujian yang juga sama yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, namun
terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan seluruh ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan
Pemohon tetap dapat diperiksa oleh Mahkamah.


Setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan Pemohon,
di dalam dalil-dalilnya Pemohon lebih mempersoalkan perihal tidak
sinkronnya antara ketentuan Pasal 167 ayat (3) dengan Penjelasan Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, di dalam petitum
permohonannya, Pemohon bukan memohon kepada Mahkamah untuk
memutus perihal ketidaksinkronan tersebut melainkan menghendaki agar:
1) dalam provisi, memohon kepada Mahkamah untuk memberlakukan
surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan
dan 2) dalam pokok perkara, memohon kepada Mahkamah untuk
menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan belum sejalan
dengan UUD 1945 dan perlu disempurnakan.


[3.12] Menimbang bahwa dengan uraian sebagaimana tertuang
dalam Paragraf [3.11] di atas, maka menjadi tidak jelas apa
sesungguhnya yang dimohonkan oleh Pemohon. Jika yang dimohonkan
adalah berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yang
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] sehingga tidak ada
relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 167 ayat
(3) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian tidak ada lagi yang perlu
disempurnakan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon. Sementara itu
jika yang dimohonkan oleh Pemohon adalah memberlakukan surut
Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan,
permohonan demikian adalah tidak lazim. Selain itu jika permohonan
pemberlakuan surut demikian dikabulkan, hal itu bertentangan dengan
Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum”.


[3.13] Menimbang berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI),
dan SINDIKASI untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6); Pasal`122 huruf l; dan Pasal 245 UU
MD3

Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 20A ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR-RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR-RI.

1) Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan
a quo, oleh karena undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan para Pemohon telah dimohonkan pengujian dan telah
diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, tanggal 28 Juni 2018,
maka terlebih dahulu Mahkamah akan merujuk Putusan dimaksud yang
amarnya menyatakan sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
b. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
d. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”
e. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
f. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

2) Bahwa dengan mengacu pada Putusan Mahkamah tersebut maka
dalil- dalil para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas norma
Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6),
Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, sepanjang mengenai
frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan
Dewan” ternyata telah dinyatakan inkonstitusional. Artinya, norma dalam
Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6),
Pasal 122 huruf l dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3
tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan sendirinya tidak
berlaku lagi. Dengan demikian permohonan para Pemohon mengenai
pengujian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4),
Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat
(1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” telah kehilangan objek.

3) Bahwa sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3
sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU- XVI/2018
telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan
kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak
pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menjadi,
”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” [vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018]. Dengan
demikian, sepanjang mengenai frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3, pertimbangan Mahkamah
dalam Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 tersebut mutatis mutandis
berlaku terhadap permohonan a quo.

4) Menimbang bahwa, sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
sepanjang berkenaan dengan Pasal 245 ayat (2) UU MD3, para Pemohon
ternyata tidak memberikan argumentasi yang spesifik melainkan
disatukan dengan argumentasi mengenai inkonstitusionalitas Pasal 245
ayat (1) UU MD3 sehingga secara implisit berarti para Pemohon juga
menganggap Pasal 245 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD
1945. Padahal, materi muatan norma yang terkandung dalam Pasal 245
ayat (2) UU MD3 berbeda dengan materi muatan norma yang terkandung
dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Oleh karena itu, persoalan
konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah
apakah benar Pasal 245 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD
1945. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah berpendapat, dengan
pendirian Mahkamah terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3, sebagaimana
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 di
atas, yaitu bahwa norma dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah:

Pertama, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” sepanjang tidak
dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga
melakukan tindak pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3
selengkapnya menjadi, ”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”; dan
Kedua, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan”, maka secara a contrario berarti Mahkamah
berpendirian bahwa adanya persetujuan tertulis dari Presiden dalam
konteks Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah konstitusional atau tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Namun, persetujuan tertulis dari
Presiden dimaksud tidak berlaku terhadap hal-hal sebagaimana diatur
dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3. Artinya, jika dinarasikan lebih jauh,
pengertian yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3 adalah
bahwa untuk memanggil dan meminta keterangan terhadap anggota DPR
yang: (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; (b) disangka
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang
cukup; atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus (yang menurut
Penjelasan Pasal 245 ayat (2) huruf c UU MD3 mencakup tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, tindak pidana
perdagangan orang, tindak pidana penyalahgunaan narkotika), tidak
dibutuhkan persetujuan tertulis dari Presiden. Pendirian Mahkamah
perihal konstitusionalnya persetujuan tertulis dari Presiden dalam konteks
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah sejalan dengan pendirian Mahkamah
sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya
[vide, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU- IX/2011,
bertanggal 26 September 2012, dan Nomor 76/PUU-XII/2014, bertanggal
22 September 2015]. Hal demikian juga termuat dalam sejumlah
ketentuan dalam berbagai undang-undang, misalnya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat tidak
terdapat alasan untuk menyatakan Pasal 245 ayat (2) UU MD3
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalil permohonan para
Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 245 ayat (2) UU MD3
adalah tidak beralasan menurut hukum.

5) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan a quo sepanjang berkenaan dengan
pengujian konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah kehilangan
objek, sementara itu permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 245
ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” mutatis mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, sedangkan
permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal
245 ayat (2) UU MD3 adalah tidak beralasan menurut hukum.

6) Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
a. Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon;
b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo;
c. Terhadap pokok permohonan para Pemohon mengenai Pasal 73
ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6), Pasal 122
huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” kehilangan
objek;
d. Terhadap pokok permohonan para Pemohon mengenai Pasal 245
ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” mutatis mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018;
e. Pokok permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas
Pasal 245 ayat (2) UU MD3 tidak beralasan menurut hukum.


RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG - UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG – UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

Diajukan oleh Sutanto, dalam hal ini diwakili oleh Sabela Gayo, S.H., MH.,
Ph.D, CPCLE advokat pada Sabela Gayo & Partners berdasarkan Surat Kuasa
Khusus bertanggal 26 April 2018

Pasal 180A dan Pasal 427A huruf (a) UU MD3

Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama
permohonan Pemohon, maka terhadap dalil Pemohon yang menyatakan
bahwa ketentuan yang terdapat dalam kedua norma Pasal a quo
merugikan hak konstitusional Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu
meletakkan penilaian apakah Pemohon dalam kualifikasinya sebagai
perseorangan warga negara Indonesia mampu menerangkan “adanya hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945” dan “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya norma Undang- Undang
yang dimohonkan pengujian” ke Mahkamah Konstitusi. Penekanan atas
hal dimaksud terutama disebabkan bangunan dalil Pemohon yang
menyatakan, adanya kerugian atau potensi kerugian konstitusional
disebabkan oleh berlakunya Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a UU MD3.
Menurut Pemohon, apabila permohonan dikabulkan, potensi kerugian
konstitusional Pemohon tidak akan terjadi.

2) Menimbang bahwa terhadap dalil yang menjelaskan ihwal
kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat mengajukan permohonan
a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :

[1] Bahwa ihwal dalil Pemohon “adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945” dengan
berlakunya Pasal 180A UU MD3 dengan argumentasi telah menimbulkan
ketidakpastian hukum yang didasarkan kepada Pasal 23 UUD 1945, hal
mendasar yang harus dijelaskan oleh Pemohon adalah apakah benar
dengan berlakunya norma Pasal 180A UU MD3 telah merugikan hak
konstitusional Pemohon. Secara konstitusional, Pasal 23 UUD 1945 adalah
pengaturan yang terkait dengan pemaknaan dan tata-cara penyusunan
APBN. Khusus dalam proses penyusunan RAPBN menjadi APBN, Pasal 23
UUD 1945 lebih mengatur bagaimana pola hubungan antara DPR dan
pemerintah (dalam hal ini Presiden) dalam pengajuan, pembahasan dan
persetujuan RAPBN menjadi APBN dalam satu tahun anggaran. Dengan
pengaturan demikian dan apabila dikaitkan dengan norma yang terdapat
dalam Pasal 180A UU MD3, tidak menunjukkan terdapatnya hubungan
antara proses penyusunan APBN dengan ketidakpastian hukum yang
mungkin dialami Pemohon. Pengaturan norma dalam Pasal 180A UU MD3
lebih merupakan mekanisme internal DPR dalam membahas RAPBN.
Sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018, “posisi UU MD3 yang pada
prinsipnya berkenaan dengan pengaturan perihal susunan dan kedudukan
lembaga-lembaga perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga
pada dasarnya seharusnya memuat norma yang berlaku secara internal
terhadap lembaga tersebut” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018, halaman 187]. Dengan karakter norma yang lebih
bersifat internal, menurut Mahkamah, terlalu jauh mengaitkan
keberlakuan norma Pasal 180A UU MD3 dengan kerugian atau potensi
kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Lagi pula, apapun bentuk
pengambilan keputusan di internal, selama produk akhirnya berupa
undang-undang, putusan finalnya akan dilakukan di tingkat forum
tertinggi, yaitu sidang paripurna. Apalagi, proses internal di DPR mesti
dibahas bersama terlebih dulu dengan pemerintah sebelum dibawa ke
level tertinggi pengambilan keputusan berupa persetujuan bersama di
sidang paripurna. Dengan demikian, tidak terdapat alasan yang cukup
untuk menerima argumentasi Pemohon bahwa dalam kualifikasi Pemohon
sebagai perseorangan warga negara Indonesia berlakunya norma Pasal
180A UU MD3 telah mengakibatkan adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 menjadi dirugikan.

[2] Bahwa ihwal dalil Pemohon “adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945” dengan
berlakunya Pasal 427A huruf a UU MD3 telah menimbulkan ketidakpastian
hukum dengan mendasarkan kepada Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2),
dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sama halnya dengan argumentasi di
atas, hal paling mendasar yang harus dijelaskan adalah apakah dengan
berlakunya Pasal 427A huruf a UU MD3 telah merugikan atau potensial
merugikan hak konstitusional Pemohon. Selain sebagai pengaturan
internal lembaga perwakilan, karakteristik pengaturan norma dalam Pasal
427A huruf a UU MD3 lebih menjelaskan keterkaitan unsur pimpinan MPR
dan unsur pimpinan DPR dengan fraksi yang menaungi partai politik di
DPR. Dengan demikian, berlakunya Pasal 427A huruf a UU MD3 tidak
dapat dinilai telah mengakibatkan hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan.

3) Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf-paragraf di
atas, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 180A UU MD3 yang menyatakan, “Sebelum pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang tentang APBN antara Badan Anggaran dan Pemerintah pada Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, Badan Anggaran wajib mengkonsultasikan dan melaporkan hasil pembahasan atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dalam rapat pimpinan DPR”, merupakan penjelasan mengenai kewajiban bagi badan anggaran untuk mengkonsultasikan dan melaporkan terlebih dahulu hasil pembahasan atas rancangan Undang-Undang APBN dalam rapat pimpinan DPR sebelum proses pengambilan keputusan, serta Pasal 427A huruf a UU MD3 yang menyatakan “pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhirnya periode keanggotaan MPR dan DPR hasil pemilihan umum Tahun 2014”, merupakan penegasan terhadap masa jabatan Pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat pada saat undang-undang diundangkan berlaku hingga saat berakhirnya periode keanggotaan. Menurut Mahkamah, hak konstitusional Pemohon tidak menjadi hilang atau terganggu dengan berlakunya Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a UU MD3 dimaksud.

4) Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan
Pemohon adalah pemilih dalam pemilihan umum dan karenanya memiliki
hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang, menurut
Mahkamah, Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan umum tidak serta-
merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan
setiap permohonan pengujian undang-undang. Pemohon dapat memiliki
kedudukan hukum (legal standing) apabila Pemohon dapat menjelaskan
adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak
konstitusional atas berlakunya undang- undang yang diuji adalah dalam
kaitannya dengan status Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan
umum memang menunjukkan kerugian yang nyata atau potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

5) Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, tidak
terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa tidak
terdapat kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon baik yang
bersifat aktual ataupun potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal 180A dan Pasal
427A huruf a UU MD3, sehingga dengan sendirinya tidak terdapat
hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang
dimaksudkan oleh Pemohon dengan berlakunya penjelasan pasal dalam
Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian,
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

6) Menimbang, bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
Permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo
maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan lebih
lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

oleh Dra. Indryana, dkk, dalam hal ini diwakili oleh Haris Azhar, S.H., M.A.,
dkk.

Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
sepanjang frase “diperhitungkan”, Mahkamah Konstitusi memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa terhadap dalil yang diajukan para Pemohon,
Mahkamah menilai pokok permasalahan para Pemohon memang
berkaitan dengan keberadaan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, bahkan seolah-olah
ditimbulkan oleh rumusan Pasal a quo.

2) Bahwa berdasarkan uraian mengenai makna “diperhitungkan” yang
terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dicontohkan
dalam Penjelasan Pasal a quo, maka kata “diperhitungkan” yang
dipersoalkan oleh para Pemohon sesungguhnya telah jelas. Dengan
demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata
“diperhitungkan” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Mahkamah berpendapat
yang terjadi sesungguhnya adalah persoalan implementasi norma Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan
Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sesungguhnya para
Pemohon pun mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan penerapan
norma sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para
Pemohon, diantaranya dalam angka 19 permohonan para Pemohon
sebagai berikut :

19. Bahwa kebijakan perusahaan PT. Bank Negara Indonesia, Tbk.
ataupun kebijakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk tersebut juga tidak
sesuai dengan yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3)
tersebut, sehingga para Pemohon telah menerima dampak kerugian
materil atas tafsiran rumus perhitungan uang pesangon tersebut. Namun
demikian, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk dan PT. Bank Rakyat
Indonesia Tbk, mengklain telah menerapkan Pasal 167 ayat (3) secara
benar.

3) Bahwa dengan uraian tersebut, dalil demikian menunjukkan dengan
jelas kepada Mahkamah bahwa para Pemohon sendiri sejak awal telah
memahami bahwa permasalahan hukum yang dihadapi para Pemohon
bukan karena multitafsir ketentuan a quo namun karena tidak
dilaksanakannya ketentuan a quo oleh perusahaan perbankan dimana
para Pemohon pernah bekerja, sehingga para Pemohon menegaskan
dalam bagian lain posita permohonannya angka 24 sebagai berikut :

24. Bahwa dapat disimpulkan, frasa “diperhitungkan” tersebut dalam
praktiknya telah menyebabkan multi-interpretasi yang salah satunya
diartikan oleh kalangan pengusaha khususnya dikalangan perbankan
dengan pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Dampaknya
ribuan pekerja termasuk Para Pemohon telah tidak dibayarkan uang
pesangonnya atau uang pesangonnya mengalami kekurangan yang
sangat signifikan bahkan sebagian dikalkulasikan kurang atau minus atau
dengan kata lain menyebabkan pensiunan justru berutang kepada
Perusahaan. Sebaliknya, Para Pemohon berpendapat bahwa frasa
“diperhitungkan” harus diterapkan sebagaimana penjelasan pasalnya
yang berarti tidak mengurangi uang pesangon pekerja atau total hasil
kalkulasi dari perhitungan uang pesangon dan manfaat pensiun yang
diterima selalu bernilai positif atau lebih besar dari total nilai pesangon 2
x PMTK (uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja dan uang
pesangon yang perhitungannya didasari dengan pencapaian masa kerja
serta besaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan).

4) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA TERAKHIR TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

Yayasan Bonaparte Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Ridha Sjartina, S.H.
dan Jundi Jaadulhaq, S.H., masing-masing adalah Advokat dan Konsultan
Hukum pada Kantor SAMUEL BONAPARTE.

Pasal 1 angka 3 huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 50, Pasal 51 ayat (1) huruf
a, Pasal 51 ayat (3) huruf a, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 58, Pasal 59
dan Pasal 60 Pasal 51 ayat (1) huruf a dan Pasal 56 UU MK, dan Pasal 31A
UU MA

dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28A, dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun
1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1 angka 3 huruf a, Pasal 30 huruf
a, Pasal 50, Pasal 51 ayat (1) huruf a, Pasal 51 ayat (3) huruf a, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 56, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Pasal 51 ayat (1)
huruf a dan Pasal 56 UU MK, dan Pasal 31A UU MA, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo adalah permohonan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), in casu
pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4958, selanjutnya disebut UU MA), dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), sehingga berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), prima facie
Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun terlebih
dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pasal 39 ayat (1) dan ayat
(2) UU MK menyatakan: (1) bahwa sebelum mulai memeriksa pokok
perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan
dan kejelasan materi permohonan; dan (2) bahwa dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib
memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari;

2. Bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU MK tersebut,
Mahkamah telah menjadwalkan pelaksanaan Sidang Pemeriksaan
Pendahuluan pada hari Rabu, 11 Juli 2018, pukul 14.00 WIB dan
Pemohon telah dipanggil secara sah dan patut oleh Mahkamah dengan
Surat Panitera Mahkamah Konstitusi Nomor 511.57/PAN.MK/7/2018,
bertanggal 6 Juli 2018, perihal Panggilan Sidang. Namun demikian, pada
hari sidang yang telah ditentukan Pemohon tidak hadir tanpa pemberitahuan sama sekali. Kemudian Kepaniteraan Mahkamah mencoba
menghubungi Pemohon melalui telepon, namun Pemohon tidak
menjawab meskipun terdengar nada sambung. Bahkan Mahkamah telah
membuka sidang dengan agenda Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan
pada saat itu telah diperintahkan kepada petugas untuk memanggil
Pemohon secara patut di luar ruang sidang akan tetapi yang
bersangkutan tidak hadir. Berdasarkan fakta tersebut Mahkamah menilai
bahwa Pemohon tidak menunjukkan kesungguhan untuk mengajukan
permohonan a quo. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam rangka
memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan maka
permohonan Pemohon haruslah dinyatakan gugur;

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 86 TAHUN 1958 TENTANG NASIONALISASI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MILIK BELANDA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat
(Yayasan BPSMK-JB), yang diwakili oleh Ketua Yayasan yaitu Soekendra
Mulyadi, Sekretaris Yayasan yaitu Toto Lukito Sairoen, dan Bendahara
Yayasan yaitu Lili Junaedi, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya
yaitu Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M., Muh. Salman Darwis, S.H.,
M.H.Li., Violla Reininda, S.H., Gunawan Simangunsong, S.H., yang
kesemuanya adalah Konsultan Hukum/Advokat pada Kantor Hukum
REFLY HARUN & PARTNERS

Pasal 1 UU No. 86 Tahun 1958

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian pasal a quo, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima surat penarikan
permohonan dari Pemohon bertanggal 5 Juli 2018 perihal Pencabutan
Permohonan Pengujian kata “bebas” dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik
Belanda terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6
Juli 2018;

2) Menimbang bahwa terhadap permohonan pencabutan atau
penarikan kembali tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan,
“Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama
pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”;

3) Menimbang bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 9
Juli 2018 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali
Permohonan Nomor 27/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum dan
sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan kembali suatu
Permohonan mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan
kembali.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 REPUBLIK INDONESIA / 23-07-2018

Komite Pemantau Legislatif., dkk

Pasal 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l serta Pasal 245 UU MD3

Bahwa Pasal 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l, Pasal 245 ayat (1) UU MD3
dianggap Para Pemohon bertentangan dengan UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal a quo, MK memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan
bertanggal 27 April 2018 dari 1) Komite Pemantau Legislatif (KOPEL)
Indonesia; 2) Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemintraan
Masyarakat Indonesia (YAPPIKA); 3) Lardo Surya Dharma; 4) Sam
Timisela; 5) Feryana Dwi Lhaksitasari; 6) Lady Esther Pussung; 7) Yoshua
Sarow Pitoyo; 8) S.R Permata Citra Tahir; 9) Anastasya Tanti Bintari; 10)
Cindy Kurniawan; 11) Adhitya Perdana Putra; 12) Maria Immaculatta
Merah; 13) Satria Nugroho; 14) Uthary Maladhika; 15) Widya Puspa
Lestari; 16) Deti Nurlisa; 17) Amandia Wahyu Nugrahani; 18) Douglas
Febrianto S.; 19) Robin Mariyanto; 20) Jessica Christiana Nugroho; 21)
Hamdan; 22) Dinda Amelia; 23) Taufika; 24)Alamsyah Milee; 25) Achmad
Soim; 26) Agus Hermawan; 27) Ilham Penta; 28) Rossi Ullyl Azmi; 29) M.
Imam Firdaus; dan 30) Ai Siti Sofiah, yang masing-masing berdasarkan
Surat Kuasa Khusus, bertanggal, 20 Maret 2018, 23 Maret 2018, 25 Maret
2018, 27 Maret 2018, 29 Maret 2018, 30 Maret 2018, 26 April 2018, dan
tanggal 29 April 2018 memberi kuasa kepada: 1)Veri Junaidi, S.H., M.H.;
2) Jamil Burhan, S.H.; 3) Muh. Salman Darwis, S.H., M.H.Li.; 4) Agil
Oktaryal S.H, M.H.; dan 5) Slamet Santoso, S.H., kesemuanya adalah Tim
Advokasi/ Konsultan Hukum Koalisi Mayarakat Sipil Untuk UU MD3, yang
beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam VIII Q Nomor 1, Tebet, Jakarta
Selatan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 27 April 2018 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 37/PUU-XVI/2018 pada tanggal 30 April 2018,
perihal Permohonan Pengujian Formil dan Materil Pasal 73 ayat (3), Pasal
122 huruf l serta Pasal 245 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Bahwa terhadap permohonan Nomor 37/PUU-XVI/2018 tersebut,
Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:

a. Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 87/TAP.MK/2018
tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor
37/PUU-XVI/2018, bertanggal 30 April 2018;
b. Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
88/TAP.MK/2018 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk
memeriksa perkara Nomor 37/PUU-XVI/2018, bertanggal 2 Mei 2018;

3) Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon
tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik
kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah
Konstitusi dilakukan”;

4) Bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 9 Juli 2018
telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali
permohonan Nomor 37/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum dan
sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU MK, penarikan kembali suatu
Permohonan mengakibatkan Permohonan tersebut tidak dapat diajukan
kembali;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA JO UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1969 TENTANG PERNYATAAN BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 23-07-2018

Asep Saepudin SAG, Siti Masitoh, Faridz Mahmud Ahmad, Lidia Wati, Hapid,
Drs. Iyep Saprudin, Anisa Dewi, Erna Rosalia, Tazis dalam hal ini diwakili oleh
Fitria Sumarni, S.H., dkk

Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU No. 1/PNPS/1965

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1),
Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I, Pasal 29 ayat (2) UUD
Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU No.
1/PNPS/1965, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut:

(16.3) Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon meminta kepada
Mahkamah agar memutuskan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai meniadakan
hak untuk menganut aliran agama yang berada di Indonesia oleh para
penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari
aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan
keagamaannya. Artinya, para Pemohon meminta agar larangan, ancaman
sanksi administrasi dan sanksi pidana bagi orang yang melakukan
penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
suatu agama sebagaimana dimuat dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai untuk
meniadakan hak untuk menganut aliran agama. Hal mana permohonan
tersebut didasarkan alasan pada tiga alasan pokok sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.

Bahwa sehubungan dengan tiga pokok persoalan yang dikemukakan para
Pemohon dalam permohonannya, pertanyaan konstitusional yang perlu
dijawab adalah:

1. Apakah berlakunya ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 mengandung ketidakpastian hukum, sehinggga
menyebabkan hilangnya hak seseorang untuk menganut aliran agama di
Indonesia?
2. Apakah berlakunya ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 telah menyebabkan hilangnya hak warga negara untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya?
3. Apakah berlakunya ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 telah menghilangkan hak seseorang untuk memeluk agama
dan beribadah sesuai keyakinannya sebagaimana dijamin dalam Pasal
28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945?

(16.4) Bahwa berkenaan dengan ketiga pertanyaan konstitusional
dalam permohonan a quo, sebagian dalil yang dikemukakan para
Pemohon sesungguhnya telah pernah dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 bertanggal 19 April 2010
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sehingga
pendirian Mahkamah tersebut tidak mungkin dilepaskan dari pendirian
Mahkamah dalam mempertimbangkan permohonan a quo. Oleh karena
itu, tidak bisa tidak, sebagian dari pertimbangan Mahkamah dalam
permohonan a quo merujuk kembali sejumlah pertimbangan hukum
dalam putusan dimaksud;

(16.5) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menilai Pasal 1, Pasal
2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa sebagaimana didalilkan para Pemohon, ketidakpastian hukum
yang dialami para Pemohon diakibatkan oleh pemberlakuan norma dalam
UU 1/PNPS/1965 melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah,
peraturan kepala daerah, dan keputusan-keputusan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota yang dijadikan dasar untuk melakukan
penyegelan bahkan perusakan terhadap masjid tempat para Pemohon
biasa beribadah. Hal mana, menurut para Pemohon, SKB dan keputusan-
keputusan pemerintahan daerah tersebut dibentuk berdasarkan norma
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 yang memiliki beragam
penafsiran.

Terhadap dalil a quo, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon pada
dasarnya telah mencampuradukan persoalan konstitusionalitas norma
dalam UU 1/PNPS/1965 dengan tindak lanjut pelaksanaan ketentuan
undang-undang a quo melalui SKB maupun peraturan dan keputusan
kepala daerah. Benar bahwa pembentukan SKB sebagai produk sebuah
penetapan (beschikking) diterbitkan berdasarkan perintah Pasal 2 UU
1/PNPS/1965. Hanya saja, jika terdapat masalah atau kerugian
konstitusional yang dialami warga negara akibat diberlakukannya SKB
atau peraturan kepala daerah yang menjadikan UU 1/PNPS/1965 sebagai
dasar pembentukannya, maka hal tersebut tidak serta-merta pula berarti
UU a quo bertentangan dengan UUD 1945. Terkait hal dimaksud, dalam
Putusan 140/PUU-VII/2009, halaman 297, Mahkamah telah
mempertimbangkan bahwa:

... Menurut Mahkamah, surat keputusan bersama (SKB) sebagaimana
diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan Agama,
bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebuah
penetapan konkret (beschikking). Tetapi terlepas dari soal apakah SKB
tersebut berupa regeling atau beschikking, substansi perintah UU
Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar
konstitusi;

Bahwa para Pemohon secara tegas menyimpulkan, terjadinya persoalan
konstitusional norma UU 1/PNPS/1965 adalah karena SKB, peraturan, dan
keputusan kepala daerah merupakan produk hukum yang telah
menafsirkan larangan melakukan penafsiran dan kegiatan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1 UU a quo. Terkait dalil dimaksud, Mahkamah berpendapat,
haruslah ditegaskan bahwa pada saat norma UU 1/PNPS/1965
ditindaklanjuti dengan mengatur secara lebih teknis bagaimana
penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama, hal itupun bukanlah sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai
bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang hal itu berkesesuaian dengan
pokok-pokok ajaran agama, benar secara metodologis dan didasarkan
pada sumber ajaran agama yang bersangkutan. Dalam konteks ini,
batasan penafsiran yang dilarang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal
1 UU 1/PNPS/1965 adalah apakah penafsiran dimaksud masih merujuk
pada pokok-pokok ajaran dan sumber ajaran agama tersebut atau tidak.

Bahwa pada dasarnya, norma UU 1/PNPS/1965 sama sekali tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama
masing-masing ketika hendak menjalankannya. Dengan adanya norma
UU dimaksud, setiap umat beragama tetap dijamin hak dan kebebasannya untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya
masing-masing. Hanya saja, ketika hendak menafsirkan ajaran agama,
seseorang terikat dengan rujukan pokok agama itu, diantaranya berupa
kitab suci. Penafsiran tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya atas dasar
hak dan kebebasan individu untuk menjalankan agama dan keyakinan.
Sebab, pada saat kebebasan menafsirkan agama dilakukan atau
diserahkan secara bebas kepada masing-masing individu, maka
kekacauan dalam menjalankan agama akan terjadi. Sehubungan dengan
batas kebebasan individu dalam melakukan penafsiran agamanya, dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU- VII/2009, halaman 288-
289, Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:

Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penafsiran terhadap suatu ajaran
atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir
dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat
mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya
kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan
bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun
penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran
agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama
yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan
melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau
absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum
diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab
suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam
keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan
di muka umum. Dalam hal demikianlah menurut Mahkamah pembatasan
dapat dilakukan. Hal itu sesuai juga dengan ketentuan Article 18 ICCPR
yang menyatakan, “Freedom to manifest one's religion or beliefs may be
subject only to such limitations as are prescribed by law and are
necessary to protect public safety, order, health, or morals or the
fundamental rights and freedoms of others.” Dengan demikian, menurut
Mahkamah pembatasan dalam hal ekspresi keagamaan (forum externum)
yang terkandung dalam Pasal 1 dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan
Agama adalah dibenarkan oleh UUD 1945 maupun standar internasional
yang berlaku.



Bahwa dengan mengacu pada Putusan tersebut, walaupun terdapat
kebebasan untuk melakukan penafsiran terhadap ajaran suatu agama,
namun kebebasan dimaksud harus tetap memperhatikan pokok-pokok
ajaran suatu agama dan itupun hanya dapat dilakukan sesuai dengan
metodologi yang telah diakui dan diterima dalam forum internum
penganut agama yang bersangkutan. Hal demikian diperlukan agar tidak
mengancam keamanan dan ketertiban umum yang pada akhirnya
berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahwa apakah dengan membatasi hak setiap orang beragama untuk
melakukan penafsiran terhadap ajaran agamanya menyebabkan
terjadinya penghilangan hak sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi pelaksanaan hak dimaksud. Menurut Mahkamah, justru
dengan tidak mengatur pembatasan bagi setiap pemeluk agama untuk
menafsirkan agama sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama itulah yang
akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kehidupan beragama.
Sebagai negara yang memilih Pancasila sebagai ideologi dan dasar
negara, di mana Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu bagian
tak terpisahkan dari ideologi dan dasar negara tersebut, maka agama
bagi negara merupakan salah satu elemen penting. Dalam hal ini, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menempatkan agama sebagai bagian tidak
terpisah dari kehidupan bernegara. Oleh karena itu, negara
berkepentingan untuk menjaga eksistensi, kerukunan, dan keberlanjutan
agama-agama yang dianut warganya.

Bahwa dalam rangka menjaga eksistensi agama-agama yang dianut
warganya, negara harus memastikan bahwa pelaksanaan hak dan
kebebasan beragama berjalan sesuai koridor agama masing-masing.
Negara perlu menentukan pembatasan-pembatasan tertentu agar
pelaksanaan hak dan kebebasan beragama tidak saling berkonflik satu
dengan yang lain maupun konflik di dalam satu agama tertentu. Peran
negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang
(forum internum), melainkan lebih dimaksudkan pada pembatasan
terhadap ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati
nurani di muka umum (forum externum) sehingga tidak menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Dalam konteks inilah
sesungguhnya kepastian hukum perlindungan hak dan kebebasan
beragama harus ditempatkan.

Kepastian hukum atas hak dan kebebasan beragama bukanlah semata
kepastian hukum bagi hak perorangan, melainkan juga kepastian hukum
yang adil dalam kerangka hak beragama dan berkeyakinan dalam tatanan
kehidupan bersama pada satu agama dan antar umat beragama.

Bahwa lebih jauh, para Pemohon juga mendalilkan keberadaan norma
Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 mengandung ketidakpastian hukum karena tidak
jelas paramater “penafsiran” yang dimaksud dalam norma tersebut.
Terkait dengan dalil tersebut, Mahkamah hendak menegaskan kembali
pendapatnya sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 140/PUU-VII/2009 halaman 289, yaitu:

Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa negara
tidak dapat menentukan tafsiran yang benar mengenai ajaran suatu
agama, Mahkamah berpendapat bahwa setiap agama memiliki pokok-
pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh
karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak
internal agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang
menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara, memiliki
Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan
berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki
organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari
internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom
menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi
hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang
bersangkutan, dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada etatisme
dalam menentukan pokok-pokok ajaran agama pada UU Pencegahan
Penodaan Agama.

Bahwa merujuk Pendapat Mahkamah terhadap penafsiran ajaran agama
sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 di atas, sangat jelas
bahwa parameter yang digunakan dalam pembatasan hak seseorang
dalam menafsirkan adalah pokok-pokok ajaran agama itu sendiri.
Penafsiran akan dikatakan atau dikategorikan menyimpang sehingga
melanggar larangan sebagaimana dimaksudkan ketentuan Pasal 1 UU
1/PNPS/1965 apabila penafsiran itu keluar dari pokok-pokok ajaran suatu
agama yang bersumber dari kitab suci.

Bahwa dalam konteks itu, batas penyimpangan dalam melakukan
penafsiran ajaran agama tersebut bersumber dari ajaran pokok agama itu
sendiri. Sementara negara tidak dapat menentukan batas penafsiran yang
terkategori menyimpang selain hanya menegaskan bahwa batas itu
merujuk pada pokok- pokok ajaran agama. Di mana, patokan atas ukuran
kebenaran penafsiran terhadap ajaran agama tersebut merujuk pada
pokok-pokok ajaran agama yang diterima secara umum pada internal
masing-masing agama. Dalam konteks itu, batasan keterlibatan negara
melalui pembentukan undang-undang untuk menentukan secara spesifik
mengenai parameter penafsiran yang menyimpang sebagaimana
dikehendaki para Pemohon tentunya tidak dimungkinkan. Sebab, hal itu
sepenuhnya menjadi otoritas agama untuk menentukannya berdasarkan
pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam kitab suci masing-masing. Batas
intervensi negara dimaksud tidak dapat dinilai sebagai ketidakjelasan atau
ketidakpastian parameter, melainkan justru merupakan wujud
penghormatan dan pengakuan negara terhadap agama-agama yang
dianut warganya.

Bahwa meskipun penafsiran terhadap suatu ajaran agama merupakan
wilayah kewenangan para penganut agama yang bersangkutan dan
negara tidak boleh campur tangan terhadapnya, namun hal itu tidak
berarti membebaskan negara dari tanggung jawab dan kewajiban
konstitusionalnya untuk melindungi setiap warga negara, apapun
keyakinannya. Negara tidak boleh membiarkan terjadinya persekusi
terhadap suatu kelompok oleh kelompok lainnya. Apabila dinilai telah
terjadi pelanggaran hukum terhadap norma undang-undang a quo maka
hanya negara yang berwenang melakukan tindakan penegakan hukum
terhadap dugaan pelanggaran tersebut untuk diajukan ke pengadilan
guna mendapatkan persidangan yang adil dan tidak berpihak sesuai
dengan prinsip- prinsip negara hukum. Selanjutnya hanya pengadilan
yang berwenang menjatuhkan putusan perihal terbukti atau tidak
terbuktinya dugaan pelanggaran dimaksud. Dengan demikian, di satu
pihak tidak ada warga negara yang merasa terlanggar atau terabaikan
hak konstitusionalnya untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan
tertentu, karena negara akan selalu hadir untuk menjaga dan melindungi
hak konstitusional dimaksud, di lain pihak setiap orang atau kelompok
orang akan berhati-hati dalam menafsirkan ajaran agama atau keyakinan
tertentu karena tahu bahwa negara juga akan hadir untuk mengambil
tindakan hukum terhadap mereka apabila mereka membuat atau
melakukan penafsiran yang menyimpang terhadap ajaran agama atau
keyakinan tertentu.

Bahwa ketika parameter menyimpang atau tidaknya penafsiran seseorang
atau kelompok orang terhadap pokok-pokok ajaran agama didasarkan
pada otoritas agama dengan merujuk pada pokok-pokok ajaran agama,
apakah hal itu kemudian akan menyebabkan hak-hak kelompok minoritas
dalam agama akan terdiskriminasi karena dominasi kelompok mayoritas.
Ihwal persoalan tersebut, dalam agama-agama yang dianut warga negara
Indonesia, terdapat banyak aliran dan organisasi keagamaan di dalamnya, mulai dari kelompok besar hingga kelompok kecil, termasuk di
dalam agama Islam. Kelompok-kelompok tersebut hingga saat ini masih
eksis dan bertahan, tetapi tidak saling berkonflik satu sama lain karena
perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama. Hal itu terjadi karena
penafsiran atau pemahaman agama dan cara beribadah yang berbeda-
beda antar kelompok-kelompok tersebut masih dalam konteks atau belum
keluar dari pokok- pokok ajaran agama. Sebaliknya, ketika terdapat
kelompok-kelompok dalam suatu agama yang menafsirkan dan
menjalankan kegiatan keagamaan secara menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama, maka hal itu akan menjadi pemicu munculnya masalah.
Masalah tersebut akan tampak karena di dalam masing- masing agama
terdapat sebuah mekanisme kontrol. Dalam konteks ini, di dalam institusi
agama sesungguhnya berjalan suatu mekanisme kontrol agar agama
masing-masing berjalan sesuai pokok-pokok ajarannya. Dengan adanya
kontrol internal tersebut, maka hak seorang pemeluk agama untuk
menafsirkan agama secara menyimpang dan mengupayakan dukungan
umum atas penafsiran dimaksud tentunya akan dibatasi dengan
sendirinya.

Bahwa pada saat mekanisme kontrol internal atas penyimpangan ajaran-
ajaran pokok agama berjalan, maka sebagai organisasi kekuasaan yang
menaungi umat-umat beragama dan juga mengakui sekaligus melindungi
hak dan kebebasan beragama, negara berkewajiban untuk ikut berperan
memastikan bahwa mekanisme kontrol di dalam agama tidak berujung
terjadinya konflik horizontal. Pada saat yang sama, negara sebagai
pelindung dan penjamin hak dan kebebasan beragama juga
berkepentingan melindungi keutuhan dan eksistensi agama-agama yang
dianut oleh warganya. Untuk tujuan itu, negara harus melakukan peran
sehingga perbedaan pandangan di dalam suatu agama tidak
menimbulkan sesuatu yang dapat merusak kehidupan beragama terutama
terhadap kemungkinan adanya penafsiran ajaran agama yang dinilai
menyimpang. Tanpa melakukan itu, maka konflik dalam pelaksanaan
ajaran agama sangat potensial terjadi sehingga dapat merugikan
kepentingan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, terlibatnya
negara melalui UU 1/PNPS/1965 dalam membatasi hak seseorang dalam
menafsirkan agama secara menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
bukanlah sebuah bentuk penyelundupan hukum yang dapat dijadikan
sebagai alat legitimasi teror, melainkan merupakan sebuah upaya untuk
mengantisipasi konflik dalam pelaksanaan hak dan kebebasan beragama
dan kebebasan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(16.6) Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang berhubungan
dengan hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara, para
Pemohon mendalilkan bahwa UU 1/PNPS/1965 telah menyebabkan hak
konstitusionalnya untuk memberi kontribusi bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan cara bergabung bersama dalam komunitas
keagamaan untuk secara kolektif turut membangun masyarakat bangsa
dan negara dilanggar, sehingga keberadaan dari Undang- Undang a quo
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Dalam konteks ini
para Pemohon mendalilkan bahwa hak tersebut terlanggar karena UU
1/PNPS/1965 gagal membedakan antara orang yang dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan
umum untuk menyebar kebencian dan permusuhan dengan orang yang
melaksanakan hak konstitusionalnya untuk beragama dan beribadah.
Bahwa terhadap dalil para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat
bahwa UU 1/PNPS/1965, khususnya Pasal 1 telah secara tegas
menentukan subjek yang dikenai larangan untuk melakukan tindakan
yang dimaksud dalam norma a quo, yaitu orang yang menceritakan,
menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tertentu.
Norma a quo sama sekali tidak melarang atau membatasi hak seseorang
untuk beragama dan beribadah menurut agamanya. Perbuatan yang
dilarang adalah melakukan penafsiran secara menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama yang hasil penafsiran itu diceritakan, dianjurkan, dan
diusahakan dukungan terhadapnya di muka umum. Dengan demikian, hal
yang didalilkan oleh para Pemohon sebagai kegagalan negara dalam
membedakan antara orang yang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk
menyebar kebencian dan permusuhan dengan orang yang melaksanakan
hak konstitusionalnya untuk beragama dan beribadah, sesungguhnya
adalah persoalan pembuktian di lapangan atau implementasi, bukan
persoalan konstitusionalitas norma Undang-Undang. Bahwa dalam
konteks itu, larangan dalam UU 1/PNPS/1965 hanya sekadar membatasi
perbuatan yang berhubungan dengan pernyataan pikiran dan sikap di
muka umum, bukan membatasi keyakinan seseorang secara individu yang
memang merupakan haknya. Terkait hal ini, sebelumnya Mahkamah pun
telah mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
140/PUU- VII/2009 halaman 288, sebagai berikut:

Menurut Mahkamah, UU Pencegahan Penodaan Agama tidak membatasi
keyakinan seseorang (forum internum), akan tetapi hanya membatasi
pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum
(forum externum) yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
yang dianut di Indonesia, mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Bahwa lebih jauh, dapat dijelaskan, pembatasan sebagaimana terkandung
di dalam norma Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 ditujukan untuk aktivitas yang
“sengaja” mempublikasikan atau mengupayakan dukungan umum atas
penafsiran yang menyimpang terhadap ajaran suatu agama. Pembatasan
dimaksud ditujukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik
horizontal dalam pelaksanaan kehidupan beragama dan beribadah. Di
mana dengan adanya upaya pencegahan konflik, UU 1/PNPS/1965 telah
berkontribusi menjamin agar setiap warga negara terlibat secara
maksimal dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
berbagai bentuknya, termasuk dalam memperjuangkan hak secara
kolektif. Terhadap hal itu, Mahkamah juga telah mempertimbangan
sebagai berikut:

Menimbang bahwa Mahkamah menilai rumusan Pasal 1 UU Pencegahan
Penodaan Agama yang memberikan larangan kepada setiap orang untuk
mempublikasikan penafsiran berbeda dari agama yang dianut di
Indonesia adalah bentuk dari tindakan pencegahan (preventive action)
dari kemungkinan terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat
Indonesia. Mahkamah memahami bahwa agama merupakan perihal yang
sakral yang amat sensitif bagi kebanyakan orang. Keberadaan agama,
bukan saja sebagai keabsolutan hubungan transenden pribadi (individu)
melainkan telah menjadi sebuah modal sosial yang berperan besar dalam
sendi-sendi kemasyarakatan. Sejarah telah membuktikan bahwa agama
mampu membangun peradaban tersendiri di Indonesia dan tidak dapat
dilepaskan dari struktur kehidupan masyarakat Indonesia (Putusan Nomor
140/PUU- VII/2009 halaman 294);

Bahwa oleh karena itu, hak seseorang untuk berkontribusi bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui organisasi keagamaan tertentu
sebagaimana didalilkan para Pemohon sama sekali tidak dilarang atau
dibatasi oleh keberadaan UU 1/PNPS/1965 a quo. Hal yang dibatasi
hanyalah hak dan kebebasan berpikir dan bersikap yang masuk dalam
kategori menafsirkan ajaran agama tertentu secara menyimpang dari
pokok-pokok ajaran suatu agama. Di mana, antara hak kebebasan
beragama dan kegiatan menafsirkan ajaran agama secara menyimpang
dengan mengupayakan dukungan umum terhadapnya haruslah dibedakan
sebagaimana juga telah dikemukakan sebelumnya. Bahwa berdasarkan
alasan hukum di atas, UU 1/PNPS/1965 tidak dapat dikualifikasi telah
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

(16.7) Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 1, Pasal 2, dan
Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 bertentangan dengan hak untuk memeluk
agama dan hak untuk beribadah sesuai keyakinan sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Terkait dengan dalil permohonan para Pemohon yang berhubungan
dengan konstitusionalitas ancaman sanksi administrasi dan sanksi pidana
dalam norma Pasal 2 dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965, segala pertimbangan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 berlaku
mutatis mutandis untuk permohonan a quo.

Bahwa lebih jauh, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Mahkamah
dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 pada pokoknya menyatakan
bahwa UU 1/PNPS/1965 perlu direvisi, namun pemerintah hingga saat ini
sama sekali tidak mengambil langkah-langkah progresif untuk
melaksanakan “pesan” Mahkamah tersebut, sehingga korban-korban
pelanggaran hak konstitusional dengan masih tetap diberlakukannya UU
1/PNPS/1965 terus bertambah. Dengan alasan demikian, para Pemohon
meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran bersyarat terhadap
konstitusionalitas UU a quo. Hal itu dimuat dalam poin kedua petitum
permohonan sebagai berikut:

2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden
dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, secara
konstitusionalitas bersyarat, bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai meniadakan
hak untuk menganut aliran agama yang berada di Indonesia oleh para
penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari
aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan
keagamaannya dan harus dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia;

Bahwa terkait dengan petitum para Pemohon tersebut, jika dikabulkan,
UU 1/PNPS/1965 justru akan mengandung ketidakjelasan serta keluar
dari tujuan diadakannya norma dimaksud. Secara rumusan, permintaan
agar Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 dinyatakan
inkonstitusional bersyarat dengan syarat yang dimohonkan oleh para
Pemohon justru akan menimbulkan ketidakpastian. Sebab, bagaimana
mungkin empat rumusan norma yang berbeda dalam tiga Pasal pada
undang-undang a quo tersebut diterapkan satu syarat “dimaknai
meniadakan hak”. Pasal 2 dan Pasal 3 misalnya, keduanya bukan norma-
norma yang berhubungan dengan pembatasan hak, melainkan hanyalah
norma yang mengatur tentang sanksi dan siapa institusi yang akan
melaksanakan sanksi dimaksud. Dalam arti, norma-norma tersebut hanya
berisi larangan dan konsekuensi yang muncul jika larangan tersebut
dilanggar. Dengan demikian, bagaimana mungkin norma tersebut
dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dimohonkan
oleh para Pemohon. Secara substansial, Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 bukanlah ketentuan yang meniadakan hak, melainkan
hanya sekadar pembatasan hak seseorang untuk melakukan penafsiran
secara menyimpang terhadap ajaran pokok agama sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon agar
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat tidak beralasan menurut hukum.



Bahwa sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menilai bahwa sejak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, Mahkamah
tetap pada pendiriannya bahwa UU 1/PNPS/1965 memang membutuhkan
revisi. Hanya saja, hal itu haruslah dilakukan melalui upaya legislasi biasa
yang memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat dalam
pembahasannya secara mendalam. Oleh sebab itu, untuk
memperbaikinya adalah merupakan kewenangan pembentuk undang-
undang melalui proses legislasi. Benar bahwa dalam beberapa putusan,
Mahkamah menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat. Namun hal itu tidak dapat diterapkan
dalam permohonan a quo karena penafsiran terhadap norma pasal yang
dimohonkan pengujian itu sendiri telah ternyata tidak bertentangan
dengan UUD 1945 melainkan lebih pada persoalan implementasi norma.
Meskipun demikian, dalam hal terdapat dugaan bahwa seseorang atau
sekelompok orang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 maka negara harus hadir dan tidak boleh
membiarkan tindakan main hakim sendiri atau persekusi yang dilakukan
oleh siapapun dengan dalih adanya dugaan pelanggaran dimaksud.
Kehadiran negara itulah yang menjadi dasar dapat atau tidaknya
dilakukan tindakan sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965.
Apabila dibaca secara saksama substansi permohonan para Pemohon,
sesungguhnya salah satu masalah mendasar yang menjadi kekhawatiran
para Pemohon tidaklah sepenuhnya terletak pada persoalan belum
direvisinya Undang- Undang a quo melainkan pada makin meluasnya
tindakan main hakim sendiri atau persekusi terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang menurut persepsi sekelompok orang lainnya
dinilai melanggar Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, termasuk para Pemohon, di
mana dalam kasus demikian negara acapkali dinilai tidak hadir atau
bahkan dinilai melakukan pembiaran. Terhadap kekhawatiran dan
penilaian demikian Mahkamah hendak menegaskan kembali bahwa
negara harus menjamin perlindungan bagi setiap warga negara yang
hendak melaksanakan hak konstitusionalnya secara damai, termasuk
dalam menganut agama dan keyakinan, dengan tidak membiarkan
adanya tindakan main hakim sendiri atau persekusi. Dengan demikian,
tanpa mengabaikan keniscayaan revisi terhadap UU 1/PNPS/1965, fakta
bahwa belum dilakukannya revisi atas UU 1/PNPS/1965 sama sekali tidak
mengurangi kewajiban negara untuk melindungi hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan setiap warga negara. Artinya, dengan
adanya peristiwa-peristiwa main hakim sendiri atau persekusi
sebagaimana diuraikan di atas, revisi terhadap UU 1/PNPS/1965 semakin
mendesak untuk dilakukan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 140/PUU-VII/2009.

(3.17) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR LLAJ TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Yudi Arianto, Rusli, Faisal, Eddy Budiyanto, Agus Satriadi Arifin, Ade
Abdurahman, Arief Budi Kurniawan, Enong Yuminar, M. Basori Bin
Sumanta, Fauzan Zidni Haris, Krista Hasiolan, Mulyadi, Nurhasan,
Olazatule Gea, Muhammad Fahrozi Muharram, Randy Nugraha, M.
Syamsu Rizal, Mistur, Imam Sukristna, Ferry Heryanto, Yahya Suraya
Herudin, Ir Said Iqbal. M.E., Judy Winarno, Slamet Riyadi, Heriyanto, H.
Muhamad Yadun Mufid, S.E., Iswady, Nu’man Fauzi, Denis Firgahandi,
Nurdjaini, Drs Syawal Harahap, Rosalina Karamoy, Hanipah, Agus Suyadi,
Sutrisno, Siti Alfiah, Nani Kusmaeni, Rohman, Mundiah, S.H., Septian,
Sayed Masykur, Agustina Syukur, Hendra Ismawan, Astuti Noor Tjiptiani,
Agus Saprudin, Jajat Sudrajat, Sarmin, M. Iqbal Lubis, Meilani Widyastuti,
Siti Hanifa Aulina, Evi Ristiasary, Aan Suherlan, Didi Johandi, Hasan, S.T.

Pasal 47 ayat (3)

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1) Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan cermat
permohonan para Pemohon dan keterangan para Pemohon dalam
persidangan, sebagaimana disampaikan oleh kuasa hukumnya, serta
memeriksa bukti-bukti yang diajukan, maka terhadap dalil para Pemohon
tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

a. Bahwa dasar filosofis dari UU LLAJ sebagaimana termuat dalam
Konsiderans Menimbang huruf a dan huruf b menyatakan:

a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis
dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian
dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu
lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi dan pengembangan wilayah;

Sesuai dengan dasar filosofis tersebut, angkutan jalan bertujuan untuk
mendukung pembangunan dan integrasi nasional guna memajukan
kesejahteraan umum, oleh karena itu sebagai sistem transportasi nasional
maka angkutan jalan harus mewujudkan keamanan dan keselamatan.
Berdasarkan hal tesebut maka diaturlah kriteria jenis angkutan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ, yaitu kendaraan
bermotor perseorangan dan kendaraan bermotor umum. Menurut
ketentuan umum UU LLAJ Pasal 1 angka 10 memberi pengertian bahwa
kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan
untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
Dengan konstruksi dasar filosofis Konsiderans Menimbang huruf b
kemudian dihubungkan dengan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ maka jenis
kendaraan bermotor umum harus mewujudkan keamanan dan
keselamatan terlebih yang diangkutnya adalah orang. Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan maupun kendaraan bermotor umum. Sementara Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak ada kaitannya sama sekali dengan kendaraan bermotor karena Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah berkait dengan kedudukan yang sama setiap warga negara ketika terjadi pelanggaran hukum maka harus diperlakukan sama tidak ada perbedaan dan kedudukan yang sama setiap warga negara ketika akan duduk dalam
pemerintahan. Sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan tidak
dimasukkannya sepeda motor dalam Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan
menurut hukum. Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tersebut justru memberikan
perlindungan kepada setiap warga negara ketika menggunakan angkutan
jalan baik angkutan jalan dengan jenis kendaraan bermotor umum
maupun perseorangan. Demikian pula kaitannya dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tidak menghalangi para Pemohon untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, karena faktanya ojek motor tetap dapat berjalan meskipun Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tidak mengatur mengenai sepeda motor dalam pasal a quo. Dalam membaca Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ juga tidak dapat dibaca secara berdiri sendiri melainkan harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 serta Pasal 47 ayat (2) huruf a UU LLAJ yang menyatakan:

Pasal 1 angka 20
“Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau
tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping… dst”;

Pasal 47 ayat (2) huruf a
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor;

Dengan menggunakan konstruksi berpikir UU LLAJ maka sepeda motor
memang tidak dikategorikan sebagai kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud Pasal 47 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d juncto Pasal 47
ayat (3) UU LLAJ. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) memperjelas kriteria
angkutan jalan bagi barang dan/atau orang, yaitu:

Huruf b
Yang dimaksud dengan “mobil penumpang” adalah Kendaraan Bermotor
angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang,
termasuk untuk Pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500
(tiga ribu lima ratus) kilogram.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “mobil bus” adalah Kendaraan Bermotor angkutan
orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk
untuk Pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima
ratus) kilogram.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “mobil barang” adalah Kendaraan Bermotor yang
digunakan untuk angkutan barang.

Pengaturan yang demikian dimaksudkan agar terwujud angkutan jalan
yang aman dan selamat bagi pengemudi, penumpang, juga pengguna
jalan. Dengan perkataan lain sepeda motor bukanlah angkutan jalan yang
diperuntukkan mengangkut barang dan/atau orang dihubungkan
konteksnya dengan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ.

Selanjutnya terhadap pertentangan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah, tidak terdapat
korelasi antara hak para Pemohon atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum karena Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah berkait
dengan hak setiap warga negara ketika berhadapan dengan hukum,
misalnya ketika para Pemohon diperiksa oleh penyidik dalam suatu
perkara pidana atau ketika para Pemohon bersengketa di pengadilan.
Sehingga menurut Mahkamah Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah tidak
menutup mata adanya fenomena ojek, namun hal tersebut tidak ada
hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstitusionalnya norma
Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ karena faktanya ketika aplikasi online yang
menyediakan jasa ojek belum ada atau tersedia seperti saat ini, ojek
tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan Pasal 47 ayat (3) UU
LLAJ.

b. Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menjelaskan
adanya perlakuan berbeda antara sepeda motor dengan kendaraan
bermotor lainnya adalah tidak tepat. Sepeda motor bukanlah tidak diatur
dalam UU LLAJ, sepeda motor diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a UU
LLAJ, namun ketika berbicara angkutan jalan yang mengangkut barang
dan/atau orang dengan mendapat bayaran, maka diperlukan kriteria yang
dapat memberikan keselamatan dan keamanan. Kriteria kendaraan
bermotor yang diperuntukkan mengangkut barang dan/atau orang pun
telah ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d
juncto Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ sebagaimana telah diuraikan dalam
pertimbangan Mahkamah pada paragraf [3.9.1] di atas. Menurut
Mahkamah perlakuan berbeda adalah ketika memperlakukan hal berbeda
untuk hal yang sama dan memperlakukan sama untuk hal yang berbeda.
Dalam konteks yang dipersoalkan para Pemohon memang merupakan hal
yang berbeda antara kendaraan sepeda motor dengan kendaraan
bermotor umum untuk mengangkut barang dan/atau orang sehingga
ketika Mahkamah memperlakukan sama untuk hal yang berbeda maka
Mahkamah melanggar UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2).

2) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan
inkonstitusionalitas Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ tidak beralasan menurut
hukum;

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Banua Sanjaya Hasibuan, SH., Song Young Seok, Pitra Romadoni Nasution,
SH. dan Achmad Kurnia

Pasal 172 UU Ketenagakerjaan

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian
permohonan dan dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang
diajukan berkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
menurut Mahkamah, walaupun permohonan awal diajukan oleh empat
orang karyawan PT. Manito World, yaitu Banua Sanjaya Hasibuan, S.H.,
Achmad Kurnia, Song Young Seok, dan Pitra Romadoni Nasution, namun
setelah Mahkamah mencermati uraian dalam kedudukan hukum
Pemohon, ternyata yang merupakan Pemohon prinsipal dalam
permohonan ini adalah PT. Manito World yang menurut surat kuasa
bertanggal 2 April 2018 diwakili oleh Kim Nam Hyun selaku President
Direktur, yang kemudian memberi kuasa kepada 4 (empat) karyawan PT.
Manito World tersebut di atas. Berdasarkan fakta tersebut maka
sebenarnya kedudukan hukum Pemohon menurut Pasal 51 ayat (1) UU
MK adalah sebagai badan hukum dan bukan selaku perorangan pekerja
PT. Manito World. Dengan demikan untuk dapat mengajukan
permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah, Pemohon terlebih
dahulu harus membuktikan tentang status badan hukum Pemohon dan
pihak yang dapat mewakili kepentingan Pemohon dalam berperkara di
pengadilan. Dengan kata lain terhadap pihak yang berwenang mewakili
kepentingan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, hal
tersebut secara tegas harus dinyatakan dalam anggaran dasar, sebab
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditegaskan bahwa Direksi adalah
Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam
maupun di luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Bahwa bukti yang menjelaskan mengenai status badan hukum Pemohon
dalam hal ini hanyalah pada bukti P-5 dan bukti P-6, di mana bukti P-5
berupa Salinan Akta Notaris & PPAT Daniel Parganda Marpaung, S.H.,
M.H., Nomor 51, tanggal 26 Maret 2018, yang pada pokoknya
menerangkan mengenai hasil Rapat Umum Pemegang Saham PT. Manito
World tanggal 26 Maret 2018, sedangkan bukti P-6 berupa Salinan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C-10700
HT.01.01.TH.2005, bertanggal 19 April 2005 tentang Pengesahan Akta
Pendirian Perseroan Terbatas. Menurut Mahkamah, bukti P-5 tersebut
hanya membuktikan kedudukan Kim Nam Hyun sebagai Direktur Utama
PT. Manito World dan bukti P-6 hanyalah berupa kutipan SK Kementerian
Hukum dan HAM terhadap pengesahan Akta Pendirian PT. Manito World.
Tidak terdapat pada bukti Pemohon yaitu dokumen yang berupa
Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga atau bukti lain yang dapat
membuktikan secara sah bahwa Kim Nam Hyun dapat bertindak atas
nama PT. Manito World baik di dalam maupun di luar pengadilan,
termasuk untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang a quo ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian bukti yang
diajukan oleh Pemohon menurut Mahkamah tidak dapat membuktikan
dan meyakinkan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Bahwa berdasarkan
seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) selaku
Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo.

2) Menimbang bahwa walaupun Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, namun karena Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka
Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Aryo Fadlian dan Syaiful Bahari., S.H.

Pasal 169 huruf n UU Pemilu

Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Penjelasan Pasal 169 huruf n UU
Pemilu, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa terhadap Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang
menjadi objek permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan
merupakan penjelasan mengenai persyaratan seseorang untuk dapat
menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Berdasarkan Penjelasan
Pasal 169 huruf n UU Pemilu tersebut, hal paling mendasar yang harus
dijelaskan adalah apakah memang terdapat hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang
dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo. Dalam hal ini,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XVI/2018, bertanggal 28
Juni 2018, pada pokoknya telah memberikan penegasan, yaitu “secara
konstitusional”, UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara,
yang telah memenuhi persyaratan, untuk menggunakan hak pilih mereka
dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Berkenaan dengan
model/cara pemilihan dimaksud, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 secara
eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan konstruksi konstitusional yang
demikian, warga negara yang memiliki hak pilih baru dapat dinilai menjadi
kehilangan hak konstitusionalnya bilamana terdapat pasal atau pasal-
pasal atau bagian tertentu dalam UU Pemilu (termasuk penjelasannya)
atau undang-undang lain yang menghilangkan hak konstitusional warga
negara untuk menggunakan hak pilih mereka”. Dengan menggunakan
substansi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam batas penalaran
yang wajar, keberadaan Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu sama
sekali tidak menghilangkan hak para Pemohon untuk menggunakan hak
untuk memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Artinya, hak konstitusional para Pemohon tidak menjadi hilang atau
terganggu dengan berlakunya Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu
dimaksud.

2) Terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan para Pemohon
adalah pembayar pajak (taxpayer), dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 36/PUU-XVI/2018 yang telah diucapkan sebelumnya, secara
substansial pun telah ditegaskan: Ihwal dalil causal verband, para
Pemohon harus dapat menjelaskan adanya hubungan sebab dan akibat
bahwa berlakunya kedua norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227
huruf i UU Pemilu telah menimbulkan kerugian konstitusional yang
bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Dengan logika
demikian, dalam batas penalaran yang wajar pula, setelah membaca
konstruksi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu hanya
mungkin dapat dinilai telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi
seseorang yang pernah atau sedang menjadi presiden atau wakil presiden
selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama tetapi tidak
secara berturut-turut dan memiliki keinginan untuk mengajukan diri
kembali sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Bahkan jika
hendak dimaknai dengan lebih longgar, kerugian atau potensi kerugian
yang di dalamnya dapat menunjukkan adanya causal verband, pihak yang
mungkin dapat dinilai mengalami kerugian konstitusional dengan
berlakunya norma a quo adalah partai politik yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Bahkan,
mengikuti sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan
kedudukan hukum (legal standing) partai politik dalam pengujian undang-
undang, kesempatan hanya dimungkinkan bagi partai politik peserta
pemilihan umum yang tidak ikut dalam membahas UU Pemilu di DPR.
Dengan terbatasnya kemungkinan pihak yang memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk menjadi Pemohon dalam pengujian substansi
norma a quo, sulit diterima oleh penalaran yang wajar untuk menjelaskan
adanya causal verband antara kerugian hak konstitusional para Pemohon
dengan berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

3) Bahwa ihwal substansi Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, hak
konstitusional para Pemohon yang secara langsung berpotensi dirugikan
dengan berlakunya Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, sebagaimana
ditegaskan dalam substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-XVI/2018 adalah seseorang yang pernah menjabat atau sedang
menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama secara tidak berturut-turut. Dalam
permohonan a quo, para Pemohon bukanlah orang yang pernah menjabat
atau sedang menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua
kali masa jabatan dalam jabatan yang sama secara tidak berturut-turut.

4) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah nyata bahwa
dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak
akan mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Muhammad Hafidz dkk.

Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu

Pasal 6A ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i
UU Pemilu, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “diberikan hak
konstitusional para Pemohon yang menjadi dasar argumentasi yaitu Pasal
28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; dan Pasal
28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Hal mendasar yang
harus dijelaskan oleh para Pemohon adalah: apakah benar dengan
berlakunya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU
Pemilu telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Secara
konstitusional, UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara,
yang telah memenuhi persyaratan, untuk menggunakan hak pilih mereka
dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Berkenaan dengan
model/cara pemilihan dimaksud, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 secara
eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan konstruksi konstitusional yang
demikian, warga negara yang memiliki hak pilih baru dapat dinilai menjadi
kehilangan hak konstitusionalnya bilamana terdapat pasal atau pasal-
pasal atau bagian tertentu dalam UU Pemilu (termasuk Penjelasannya)
atau undang-undang lain yang menghilangkan hak konstitusional warga
negara untuk menggunakan hak pilih mereka. Dalam hal ini, keberadaan
norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama
sekali tidak menghilangkan hak para Pemohon untuk menggunakan hak
pilih mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Artinya, hak konstitusional para Pemohon tidak menjadi hilang atau
dirugikan dengan berlakunya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal
227 huruf i UU Pemilu. Selain itu, pemberlakuan kedua norma dalam UU
Pemilu tersebut tidaklah dapat dinilai telah menghilangkan hak setiap
orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Sementara itu, terkait dengan Pemohon I yang mendalilkan memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing)
dengan alasan karena memiliki hak untuk dipilih sebagai calon presiden
atau calon wakil presiden yang didasarkan pada Pasal 28D ayat (3) UUD
1945. Berkenaan dengan dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
hak tersebut hanya dapat dipenuhi bilamana seorang warga negara
diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden oleh partai
politik peserta pemilihan umum sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, pemberlakuan Pasal 169 huruf n
dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak menghalangi hak
Pemohon I untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden
sepanjang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum. Dengan demikian, tidak terdapat relevansinya Pemohon
I mengaitkan dalil tersebut untuk menjelaskan bahwa yang bersangkutan
memiliki kerugian konstitusional sebagai akibat dari diberlakukannya
norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.



2. Bahwa dengan berlakunya norma dalam ketentuan Pasal 169 huruf
n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, para Pemohon sama sekali tidak
menjadi kehilangan hak konstitusionalnya untuk “memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan “hak setiap orang
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selama dan
sepanjang masih terdapat pasangan calon presiden dan wakil presiden,
para Pemohon sama sekali tidak kehilangan hak pilihnya untuk memilih
pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Dalam logika sistem
ketatanegaraan Indonesia, siapapun pasangan calon yang terpilih
menjadi presiden dan wakil presiden tentunya memiliki tanggung jawab
memenuhi janji yang disampaikan dalam visi dan misi yang diajukan
ketika mendaftar sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tidak hanya sekadar memenuhi janji dalam visi dan misi, presiden dan
wakil presiden yang dipilih oleh rakyat memiliki tanggung jawab
mewujudkan tujuan bernegara seperti yang tertuang dalam Tujuan
Bernegara dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.


3. Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “kerugian
konstitusional tersebut mempunyai causal verband dengan norma
pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu”. Ihwal dalil
causal verband, para Pemohon harus dapat menjelaskan adanya
hubungan sebab dan akibat bahwa berlakunya kedua norma dalam Pasal
169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah menimbulkan kerugian
konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya
potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Dengan logika demikian, dalam batas penalaran yang wajar pula, setelah
membaca konstruksi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu
hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan kerugian konstitusional
bagi seseorang yang pernah atau sedang menjadi presiden atau wakil
presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama tetapi
tidak secara berturut-turut dan memiliki keinginan untuk mengajukan diri
kembali sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Bahkan jika
hendak dimaknai dengan lebih longgar, kerugian atau potensi kerugian
yang di dalamnya dapat menunjukkan adanya causal verband, pihak yang
mungkin dapat dinilai mengalami kerugian konstitusional dengan
berlakunya norma a quo adalah partai politik yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Bahkan,
mengikuti sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan
kedudukan hukum (legal standing) partai politik dalam pengujian undang-
undang, kesempatan hanya dimungkinkan bagi partai politik peserta
pemilihan umum yang tidak ikut dalam membahas UU Pemilu di DPR.
Dengan terbatasnya kemungkinan pihak yang memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk menjadi Pemohon dalam pengujian substansi
norma a quo, sulit diterima oleh penalaran yang wajar untuk menjelaskan
adanya causal verband antara kerugian hak konstitusional para Pemohon
dengan berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

4. Bahwa berkenaan dalil para Pemohon “apabila permohonan
dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan
terjadi”. Terkait dengan dalil tersebut, para Pemohon mengaitkan dengan
program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf
Kalla. Dalam hal ini, para Pemohon manyatakan bahwa Program Nawacita
dengan salah satu programnya adalah “kerja layak melalui pemenuhan
lapangan kerja yang layak dan berkeadilan” yang diusung oleh Joko
Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode
2014-2019 tidak akan dapat dilanjutkan apabila Joko Widodo tidak
berpasangan dengan Jusuf Kalla yang sebelumnya telah menjabat
sebagai Wakil Presiden pada Periode 2004-2009. Terhadap argumentasi
tersebut, menurut Mahkamah, adalah kekhawatiran yang sama sekali
tidak relevan dikaitkan dengan kedudukan hukum (legal standing) dalam
mengajukan permohonan a quo. Lagi pula, sepanjang program-program
pemerintahan sebelumnya dinilai baik dan dapat mewujudkan tujuan
bernegara sebagaimana termaktub di dalam Alinea IV Pembukaan UUD
1945, siapa saja dapat menjadikan bagian dari tawaran visi dan misi
pasangan calon presiden dan wakil presiden.

5. Bahwa menelaah substansi norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227
huruf i UU Pemilu dalam pemohonan a quo telah menjadi terang bagi
Mahkamah bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan dalilnya yang
terkait dengan kedudukan hukum yang pada pokoknya harus memenuhi
hal-hal sebagai berikut: (1) diberikan hak konstitusional oleh UUD 1945;
(2) potensial akan dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan
Pasal 227 huruf i UU Pemilu; (3) kerugian konstitusional tersebut
mempunyai causal verband dengan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal
227 huruf i UU Pemilu yang dimohonkan pengujian; dan (4) apabila
permohonan dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon
tidak akan terjadi. Ketika persyaratan pengujian dalam menjelaskan
kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan tidak dapat dijelaskan
secara meyakinkan maka tidak ada keraguan sama sekali bagi Mahkamah
untuk menyatakan bahwa berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal
227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak merugikan hak konstitusional
para Pemohon.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 17/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 28-06-2018

Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dalam hal ini diwakili oleh Grace Natalie
Louisa, S.H., dkk , (Selanjutnya disebut Pemohon)

Pasal 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l, Pasal 245 ayat (1) UU MD3

Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal
20A ayat (2), Pasal 20A ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), 28l ayat (2), 28J ayat (1) UUD NRI Tahun
1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l, Pasal
245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:

1) Menimbang bahwa setelah dicermati ternyata substansi
permohonan a quo telah diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, tanggal
28 Juni 2018, yang telah diucapkan sebelumnya, maka dalam
mempertimbangkan pokok permohonan a quo, Mahkamah harus terlebih
dahulu merujuk putusan dimaksud. Amar putusannya Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tersebut menyatakan:


Mengadili
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Oleh karena itu setelah merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi diatas
terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon yang berkaitan dengan
pengujian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), Pasal 122 huruf l UU
MD3 telah ternyata merupakan bagian yang dinyatakan inkonstitusional.
Dengan kata lain terhadap norma Pasal tersebut telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga dengan sendirinya telah dinyatakan tidak berlaku lagi,
maka permohonan Pemohon telah kehilangan objek.
Sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah telah
memutuskan bahwa sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga
melakukan tindak pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3
selengkapnya menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”. Dengan
demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUU-
XVI/2018 tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon
mengenai Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dalam permohonan a quo
sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
Adapun terhadap frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018,
bertanggal 28 Juni 2018], sehingga permohonan Pemohon berkenaan
dengan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah kehilangan
objek.

2) Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo mengenai Pasal
73 ayat (3), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang
frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan
Dewan” dinyatakan kehilangan objek, sementara itu Pasal 245 ayat (1)
UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan
kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang
tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagimana dimaksud
dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”
telah dinyatakan mutatis mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, oleh
karena itu terhadap pokok permohonan Pemohon selebihnya tidak
dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 18/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERDAHAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins

Penjelasan Pasal 122 huruf l UU MD3

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Penjelasan Pasal 122 huruf l UU MD3,
MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:


1) Bahwa ternyata pokok permohonan para Pemohon telah diputus
oleh Mahkamah yaitu sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 bertanggal 28 Juni 2018 yang telah
diucapkan sebelumnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan
permohonan a quo Mahkamah merujuk pada putusan dimaksud. Amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Juni
2018 antara lain menyatakan:

1. ...
2. ...
3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
....


2) Bahwa dengan merujuk pada Putusan Mahkamah tersebut maka
terhadap dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian
konstitusionalitas norma Pasal 122 huruf l UU MD3 ternyata merupakan
norma yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, norma Pasal 122
huruf l UU MD3 tidak berlaku lagi, sehingga permohonan para Pemohon
telah kehilangan objek.

3) Bahwa oleh karena permohonan para Pemohon telah dinyatakan
kehilangan objek, maka pokok permohonan selebihnya tidak
dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 28-06-2018

Agus Mulyono Herlambang, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu
La Radi Eno, S.H., M.H.

Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf l, Pasal 245
ayat (1) UU MD3

Pasal 1 yat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 28D ayat
(1), Pasal 20A ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal
28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a
dan c, Pasal 122 huruf l, Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:


1) Menimbang bahwa setelah dicermati ternyata substansi
permohonan a quo telah diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 bertanggal
28 Juni 2018 yang telah diucapkan sebelumnya, maka dalam
mempertimbangkan pokok permohonan a quo, Mahkamah harus terlebih
dahulu merujuk putusan dimaksud. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018 tersebut menyatakan:


Mengadili
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.


3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.


4. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada angota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:

“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis Presiden.”

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Oleh karena itu setelah merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi diatas
terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon yang berkaitan dengan
pengujian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan
c, Pasal 122 huruf l UU MD3 telah ternyata merupakan bagian yang
dinyatakan inkonstitusional. Dengan kata lain terhadap norma Pasal
tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan sendirinya telah
dinyatakan tidak berlaku lagi, maka permohonan Pemohon telah
kehilangan objek.

Sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah telah
memutuskan bahwa sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum emngikat sepanjang
tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga
melakukan tindak pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3
selengkapnya menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”. Dengan
deikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 16?PU-XVI/2018
tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon mengenai
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dalam permohonan a quo sepanjang frasa
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” 2.
Adapun terhadap frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018,
bertanggal 28 Juni 2018], sehingga permohonan Pemohon berkenaan
dengan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah kehilangan
objek.

2) Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo mengenai Pasal
73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat
(1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan kehilangan objek, sementara
itu Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan
terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan
persetujuan tertulis dari Presiden” telah dinyatakan mutatis mutandis
berlaku pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018, oleh karena itu terhadap pokok permohonan
Pemohon selebihnya tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 28-06-2018

Soelianto Rusli dkk.

Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a, Pasal 122 huruf l dan Pasal
245 ayat (1) UU MD3

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4)
huruf a, Pasal 73 ayat (4) huruf c, Pasal 122 huruf l, Pasal 245 ayat (1)
UU MD3, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa setelah dicermati ternyata substansi permohonan a quo
telah diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, tanggal 28 Juni 2018
yang telah diucapkan sebelumnya, maka dalam mempertimbangkan
pokok permohonan a quo, Mahkamah harus terlebih dahulu merujuk
putusan dimaksud. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018 tersebut menyatakan:
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Bahwa Oleh karena itu setelah merujuk Putusan Mahkamah di atas maka
terhadap dalil permohonan para Pemohon yang berkaitan dengan
pengujian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a
dan huruf c, Pasal 122 huruf l UU MD3 telah ternyata merupakan bagian
yang oleh Mahkamah dinyatakan inkonstitusional. Dengan kata lain
terhadap norma Pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
tidak berlaku lagi. Oleh karena itu permohonan para Pemohon telah
kehilangan objek.

Bahwa Sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah
telah memutuskan bahwa sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga
melakukan tindak pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3
selengkapnya menjadi, ”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”. Dengan
demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUU-
XVI/2018 tersebut mutatis mutandis berlaku pula terhadap dalil para
Pemohon mengenai Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
Bahwa Adapun terhadap frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018], sehingga permohonan para
Pemohon berkenaan dengan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 telah
kehilangan objek.

2) Bahwa oleh karena permohonan a quo mengenai Pasal 73 ayat (3)
dan ayat (4) huruf a dan huruf c, Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat
(1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan kehilangan objek, sementara
itu Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan
terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan
persetujuan tertulis dari Presiden” telah dinyatakan mutatis mutandis
berlaku pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 16/PUU-XVI/2018, oleh karena itu terhadap pokok permohonan
Pemohon selebihnya tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR NOMOR 26/PUU- XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAHTERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia Cabang Jakarta Timur, Pengurus Dewan Pimpinan
Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang
Jakarta Utara, Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Jakarta Barat, Pengurus
Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia Cabang Jakarta Selatan, Kosmas Mus Guntur, Andreas Joko,
Elfriddus Petrus Muga, Heronimus Wardana dan Yohanes Berkhmans
Kodo

Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan
Pasal 245 ayat (1) UU MD3

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3) dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan
c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok
permohonan a quo, oleh karena pokok permohonan para Pemohon telah
dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018, tanggal 28 Juni 2018, yang telah diucapkan sebelumnya, maka
menjadi penting bagi Mahkamah untuk mengutip amar Putusan
Mahkamah Konstitusi dimaksud yang menyatakan sebagai berikut:

Mengadili

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Bahwa dengan mengacu pada Putusan Mahkamah tersebut maka
terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian
konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan
huruf c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU
MD3 telah ternyata merupakan bagian yang dinyatakan inkonstitusional.
Dengan kata lain terhadap norma Pasal tersebut telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga dengan sendirinya tidak berlaku lagi, maka dengan
demikian permohonan para Pemohon mengenai norma Pasal 73 ayat (3),
Pasal 73 ayat (4) huruf a dan huruf c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf
l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” telah kehilangan
objek.

Bahwa sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang
frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks
semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak pidana,
sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menjadi,
”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” [vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018]. Dengan
demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUU-
XVI/2018 tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil para Pemohon
mengenai Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dalam permohonan a quo
sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.

2) Bahwa oleh karena permohonan a quo sepanjang berkenaan
dengan Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan huruf c, Pasal 73
ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dinyatakan
kehilangan objek, sementara itu Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang
frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” telah dinyatakan mutatis
mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, maka pokok permohonan selebihnya
tidak perlu dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

PT Fidzkarana Cipta Media (diwakili oleh Muhammad Hafidz selaku direktur)
dan Abda Khair Mufti (selanjutnya disebut Para Pemohon).

Pasal 122 huruf l dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 122 huruf l dan Pasal 245 ayat
(1) UU MD3, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut tentang pokok
permohonan para Pemohon, Mahkamah memandang penting untuk
mengaitkan dalil permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, tanggal 28 Juni 2018,
yang telah diucapkan sebelumnya, dengan amar putusannya
menyatakan:

Mengadili,

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.


2) Bahwa terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon yang
berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 122 huruf l
dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” telah ternyata
merupakan bagian yang dinyatakan inkonstitusional. Dengan kata lain
terhadap norma Pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
dengan sendirinya telah dinyatakan tidak berlaku lagi, maka dengan
demikian permohonan para Pemohon terhadap norma Pasal 122 huruf l
dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” telah kehilangan
objek.

3) Bahwa sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3
sepanjang frasa “persetujuan tertulis dari Presiden” telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks
semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak pidana,
sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menjadi,
”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” [vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU- XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018]. Dengan
demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUU-
XVI/2018 tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap Pasal 245 ayat (1)
UU MD3 sepanjang frasa “persetujuan tertulis dari Presiden”.

4) Bahwa permohonan a quo mengenai Pasal 122 huruf l dan Pasal
245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat pertimbangan
dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan kehilangan objek,
sementara itu Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “persetujuan
tertulis dari Presiden” dinyatakan mutatis mutandis berlaku pertimbangan
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-
XVI/2018, dan oleh karena itu terhadap pokok permohonan selebihnya
tidak perlu dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 78/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK / 31-05-2018

PT Autoliv Indonesia, yang diwakili oleh Junior M. S. Tampubolon, selaku
Direktur Utama PT Autoliv Indonesia, dalam hal ini mengkuasakan kepada
Muhammad Adiguna Bimasakti dkk para Advokat dan Paralegal pada
Yayasan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Umat Muslim Indonesia
(LKBH UMMI).

Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU PENGADILAN PAJAK

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI TAHUN 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada
paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon dalam permohonan a quo yang mendalilkan sebagai berikut:
Pemohon adalah badan hukum yang bergerak di bidang Manufaktur Seat
Belt Mobil;

a. Adanya kerancuan mengenai perhitungan jangka waktu
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU
Pengadilan Pajak menyebabkan Pemohon mengalami kerugian karena
permohonan banding pajak Pemohon telah diputus dengan amar “Tidak
Dapat Diterima”. Akibatnya peluang Pemohon memperoleh selisih
perhitungan PPh badan lebih bayar yakni sebanyak Rp1.258.978.250
(satu milyar dua ratus lima puluh delapan juta sembilan ratus tujuh puluh
delapan ribu dua ratus lima puluh) menjadi hilang;

b. Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tidak
memberikan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

2. [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.5]
dikaitkan dengan paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] di atas, menurut
Mahkamah berdasarkan bukti P-2, Pemohon merupakan perseroan yang
telah tercatat dalam Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Daftar Perseroan Nomor AHU-
3536139.AH.01.11.TAHUN 2015 tanggal 30 Juli 2015. Pencatatan
tersebut didasarkan pada Akta Notaris Nomor 36, tanggal 28 Juli 2015
yang dibuat oleh Notaris Siti Safarijah, S.H. mengenai perubahan Direksi
dan Komisaris PT Autoliv Indonesia, yang memutuskan, antara lain,
mengangkat Junius Tulus Manota Tampubolon sebagai Direktur PT
Autoliv Indonesia. Selanjutnya berdasarkan surat kuasa khusus Pemohon
bertanggal 8 September 2017, menyebutkan bahwa Junius T.M.
Tampubolon menjabat sebagai Direktur Utama PT Autoliv Indonesia yang
berhak bertindak untuk dan atas nama PT Autoliv Indonesia. Terhadap
kedua hal tersebut, terdapat ketidaksesuaian antara jabatan Junius Tulus
Manota Tampubolon yang tertera dalam surat kuasa dengan yang tertera
dalam akta notaris sebagaimana bukti P-2 tersebut di atas. Hal ini
menjadi penting dikarenakan menyangkut siapa yang berhak mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

3. Bahwa Mahkamah, dalam persidangan Pemeriksaan Pendahuluan
bertanggal 16 Oktober 2017, telah mengingatkan kepada Pemohon untuk
melampirkan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
PT Autoliv Indonesia, namun hingga rangkaian persidangan perkara a quo
berakhir Pemohon tidak juga melampirkan AD/ART perseroan dimaksud
sehingga Mahkamah tidak dapat memastikan siapa sebenarnya yang
berwenang untuk mewakili PT Autoliv Indonesia baik di dalam maupun di
luar pengadilan, apakah direktur ataukah presiden direktur (direktur
utama) karena berdasarkan akta notaris [vide bukti P-2], jajaran direksi
dibedakan menjadi presiden direktur dan direktur. Dalam hal ini,
Pemohon, sesuai dengan akta notaris tersebut adalah berkedudukan
sebagai direktur, bukan presiden direktur atau direktur utama, sehingga
Mahkamah tidak memperoleh keyakinan berdasarkan bukti yang cukup
perihal siapa sesungguhnya yang secara hukum berhak bertindak untuk
dan atas nama PT Autoliv Indonesia, khususnya di dalam dan di luar
pengadilan.

4. Bahwa Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas menyatakan, “Direksi adalah Organ
Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jamak dipahami bahwa dalam praktik,
jajaran direksi dibedakan menjadi direktur utama (presiden direktur) dan
direktur atau beberapa direktur. Biasanya, di dalam AD/ART akan
ditentukan tugas dan kewenangan masing-masing dari jajaran direksi
tersebut, termasuk siapa yang berwenang mewakili perseroan dalam
masalah-masalah hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ihwal
siapa yang sesungguhnya memiliki kewenangan dalam masalah-masalah
hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan itulah yang tidak dapat
dibuktikan oleh Pemohon. Dengan demikian, Pemohon tidak dapat
membuktikan bahwa Junius Tulus Manota Tampubolon memiliki
kewenangan untuk mewakili PT Autoliv Indonesia untuk mengajukan
permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Pemohon adalah
benar merupakan perseroan namun Pemohon tidak dapat membuktikan
bahwa Junius Tulus Manota Tampubolon memiliki kewenangan untuk
mewakili PT Autoliv Indonesia untuk mengajukan permohonan a quo.
Dengan demikian menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

5. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo
maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2018

oleh Etty Afiyati Hentihu, Agung Prastio Wibowo, Mahestu Hari Nugroho,
Dodi Ilham, dan Lucky Rachman Fauzi, yang dikuasakan kepada Ferdian
Sutanto, S.H., C.L.A., dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Tim
Advokasi Hukum dan Pengendara Online Nasional “TIMAH PANAS” Advocates
& Legal Consultant, beralamat di Rawa Kepa Utama Nomor 22 C, Tomang,
Grogol Petamburan Jakarta Barat - DKI Jakarta.

Pasal 151 huruf a UU LLAJ

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 151 huruf a UU LLAJ, Mahkamah
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa tidak lengkapnya pengaturan undang-undang atau
tertinggalnya undang-undang dalam menghadapi laju perkembangan
sosial kemasyarakatan tidak dengan sendirinya menyebabkan undang-
undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Suatu undang-undang
tidaklah dapat mengatur segala sesuatunya secara sempurna, terlebih jika
hal tersebut merupakan suatu perkembangan yang baru ada setelah
undang-undang tersebut dibuat. Undang-undang sebagai aturan hukum
yang bersifat tertulis acapkali mengandung kelemahan-kelemahan,
misalnya tidak dapat mengikuti perkembangan sosial dan
mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang
bersifat dinamis. Pengaturan yang demikian tidak dengan sendirinya
dapat dinyatakan inkonstitusional sepanjang materi muatannya memang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih, masih terdapat ruang
penafsiran yang dapat dilakukan, atau pengaturan terhadap hal yang
tidak ada tersebut dapat dilakukan dalam peraturan pelaksana dari
undang-undang dimaksud;

2. Bahwa masalah sesungguhnya yang dipersoalkan oleh para
Pemohon adalah berhubungan dengan terjadinya kondisi yang dinilai oleh
para Pemohon sebagai kekosongan hukum. Dalam hal ini, sekalipun
terjadi kekosongan hukum, quod non, akibat tertinggalnya hukum dari
perkembangan masyarakat, namun Mahkamah tidak sepenuhnya
berwenang melakukan pengisiannya jika hal itu melibatkan perumusan
norma secara positif yang merupakan kewenangan pembentuk undang-
undang. Dalam hal ini, pembentuk undang-undanglah yang seharusnya
melakukan perubahan melalui proses legislasi. Bagaimanapun,
pemenuhan terhadap kebutuhan hukum dalam masyarakat adalah tugas
pembentuk undang-undang. Pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat
merupakan salah satu alasan bagi pembentuk undang-undang untuk
mengubah ataupun membentuk undang- undang baru. Adapun
Mahkamah hanya dapat memberikan putusan dalam rangka mengisi
kekosongan hukum dalam hal norma suatu undang-undang saling
bertentangan, multitafsir atau mengandung ketidakpastian hukum melalui
penafsiran;

3. Bahwa terkait dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 151 huruf
a UU LLAJ mengandung ketidakpastian hukum, para Pemohon sama
sekali tidak menjelaskan ketidakpastian hukum seperti apa yang terjadi
akibat keberlakuan norma a quo. Apabila norma dalam Pasal 151 huruf a
UU LLAJ dibaca secara saksama, sama sekali tidak terdapat ketidakjelasan
dan ketidakpastian hukum. Rumusan normanya jelas, maksud dan
tujuannya juga jelas, dalam arti, tidak terdapat sesuatu yang terkait
angkutan orang dengan taksi yang tidak tercakup dalam norma tersebut.
Begitu pula, pada saat yang bersamaan, norma tersebut juga tidak
mengandung pertentangan dengan norma lain yang potensial
menyebabkan ketidakpastian hukum;

4. Bahwa dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah
menyatakan Pasal 151 huruf a UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945
secara bersyarat. Terhadap masalah tersebut, Mahkamah sesungguhnya
telah menyatakan pendiriannya terkait permohonan pengujian undang-
undang yang berhubungan dengan permintaan agar Mahkamah
menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat (conditionally unconstitutional). Mahkamah hanya menjatuhkan
putusan demikian dalam hal terdapat ketidakjelasan atau multitafsir,
ketidakpastian hukum, dan potensial menimbulkan pertentangan dengan
norma lainnya. Selain itu, juga mungkin terjadi apabila suatu norma
belum mencakup keadaan lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
norma itu, namun tidak terumuskan secara jelas dalam norma tersebut.
Bahwa merujuk pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 132/PUU- XIII/2015, bertanggal 5 April 2017, halaman
51-52, Pasal 151 huruf a UU LLAJ sama sekali tidak menimbulkan
penafsiran berbeda ketika dilaksanakan. Sebab, maksud norma tersebut
jelas ditujukan bagi angkutan orang menggunakan taksi. Selain itu,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, juga tidak berpotensi untuk
bertentangan dengan UUD 1945 maupun norma undang-undang lainnya.
Oleh karena itu, tidak terdapat alasan hukum bagi Mahkamah untuk
menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon;

5. Bahwa selain dua alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
para Pemohon juga mendalilkan bahwa menjadi pengemudi “taksi aplikasi
berbasis teknologi” merupakan pekerjaan untuk penghidupan yang layak
bagi para Pemohon, sementara para Pemohon mendapatkan perlakuan
yang menghambat berjalannya pekerjaan dimaksud. Menurut Mahkamah,
Pasal 151 UU LLAJ sama sekali tidak mengandung substansi ketentuan
yang menghambat siapapun untuk bekerja atau berusaha di sektor
angkutan umum. Bahkan sebaliknya, substansi ketentuan Pasal 151 UU
LLAJ justru telah membuka kesempatan bagi siapapun untuk bekerja dan
berusaha di sektor angkutan umum. Bahwa selain itu, kalaupun misalnya
para Pemohon sebagai pengemudi “taksi aplikasi berbasis teknologi”
merasa pekerjaannya terhambat, dalam batas-batas tertentu, hal
demikian bukan disebabkan oleh keberadaan Pasal151 huruf a UU LLAJ.
Sebab, sesuatu yang baru tentu tidak selalu akan diterima secara mulus
atau mudah. Akan terjadi dinamika dalam dunia transportasi dengan
hadirnya taksi dengan aplikasi berbasis teknologi. Dalam konteks ini,
dibutuhkan pengaturan sedemikian rupa agar kebutuhan transportasi
masyarakat tetap dapat terpenuhi secara baik dan perlu diatur agar
terjadi persaingan yang sehat antar angkutan yang ada. Di sinilah peran
negara untuk mengatur agar angkutan orang tidak dibiarkan berjalan
dalam ruang yang sangat bebas, sehingga dibutuhkan campur tangan
negara untuk mengaturnya. Proses pengaturan tersebut merupakan
ranah atau kewenangan Pemerintah dan/atau pembentuk undang-
undang. Sementara Mahkamah sama sekali tidak dapat ikut campur
terkait apa yang menjadi ranah kewenangan Pemerintah maupun
pembentuk undang-undang tersebut; dan

6. Bahwa berdasarkan uraian argumentasi tersebut di atas,
keberadaan Pasal 151 huruf a UU LLAJ yang memang belum atau tidak
memuat norma tentang “taksi aplikasi berbasis teknologi” sebagaimana
yang dikehendaki oleh para Pemohon, akan tetapi menurut Mahkamah
tidak serta-merta pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab,
ketika suatu norma tidak/belum mengakomodir aspirasi atau
perkembangan masyarakat yang begitu dinamis, norma dimaksud tetap
tidak dapat dengan sendirinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA / 31-05-2018

H. Yan Herimen, S.E dan kawan-kawan.

Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU BUMN

Pasal 20A ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun
1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU
BUMN, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa pertanyaan konstitusional yang harus dimunculkan dari
proposisi para Pemohon tersebut adalah apakah benar pengambilan
keputusan dalam RUPS dari suatu BUMN yang berbentuk Persero
mengenai perubahan anggaran dasar dan hal-hal lain sebagaimana
didalilkan para Pemohon tersebut mempersyaratkan adanya persetujuan
DPR. Sebelum menjawab pertanyaan konstitusional tersebut, Mahkamah
terlebih dahulu perlu menekankan kembali bahwa, Pasal 14 ayat (2) dan
ayat (3) UU BUMN bukan mengatur tentang perubahan anggaran dasar
dan hal-hal sebagaimana didalilkan para Pemohon melainkan mengatur
tentang pemberian kuasa dengan hak substitusi oleh Menteri kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Ketentuan a quo memang menyinggung atau berkait dengan perubahan
anggaran dasar dan hal-hal sebagaimana didalilkan para Pemohon,
namun konteksnya justru memberikan pembatasan kepada penerima
kuasa dalam mengambil putusan dalam RUPS, yaitu bahwa jika RUPS itu
hendak mengambil keputusan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3), yaitu pengambilan keputusan mengenai perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar; rencana
penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
pemisahan serta pembubaran Persero; investasi dan pembiayaan jangka
panjang; kerja sama Persero; pembentukan anak perusahaan atau
penyertaan; dan pengalihan aktiva, maka penerima kuasa yang mewakili
Menteri dalam RUPS tersebut tidak boleh bertindak langsung mengambil
keputusan melainkan harus mendapatkan persetujuan dari Menteri
terlebih dahulu sebagai pemberi kuasa. Logika yang terkandung dalam rumusan Pasal 14 ayat (3) UU BUMN adalah bahwa RUPS dari BUMN yang berbentuk Persero berhak membuat keputusan mengenai: perubahan jumlah modal; perubahan anggaran dasar; rencana penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; investasi dan pembiayaan jangka panjang; kerja sama Persero; pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; serta pengalihan aktiva. Keputusan mengenai hal-hal tersebut dapat langsung dilakukan jika Menteri hadir dalam RUPS dimaksud. Namun, jika Menteri tidak hadir dalam RUPS tersebut melainkan memberikan kuasa dengan hak substitusi (entah kepada perorangan atau badan hukum) maka penerima kuasa dengan hak substitusi ini harus mendapatkan persetujuan Menteri terlebih dahulu (selaku pemberi Kuasa) jika RUPS hendak mengambil keputusan mengenai soal-soal demikian. Pertanyaannya kemudian, mengapa RUPS dari BUMN yang berbentuk Persero memiliki kewenangan demikian. Dalam hubungan ini, Pasal 11 UU BUMN menyatakan, “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip- prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Dengan kata lain, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas berlaku pula bagi BUMN yang berbentuk Persero. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU 1/1995) telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007). Hal itu ditegaskan dalam Pasal 160 UU 40/2007 yang menyatakan, “Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” Oleh karena itu, dengan
merujuk Pasal 11 UU BUMN, berarti terhadap BUMN yang berbentuk
Persero mutatis mutandis juga berlaku ketentuan dalam UU 40/2007.
Namun demikian, peraturan pelaksana dari UU 1/1995 tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti berdasarkan UU 40/2007 ini. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 159
UU 40/2007. Dengan demikian, peraturan pelaksana UU 1/1995 berlaku
pula sebagai peraturan pelaksana UU 40/2007 sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan UU 40/2007,
sehingga peraturan pelaksana ini pun berlaku pula terhadap BUMN yang
berbentuk Persero. Sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam perseroan terbatas, tindakan yang berkenaan dengan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) UU BUMN tersebut adalah tergolong ke dalam atau merupakan tindakan atau aksi korporasi yang baru dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan atau penetapan RUPS. Hal itu sesuai dengan eksistensi RUPS sebagai organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan
memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau
Komisaris, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13 UU BUMN.
Secara a contrario, dengan berpegang pada hakikat RUPS sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 13 UU BUMN, maka keputusan mengenai hal-
hal yang disebut dalam Pasal 14 ayat (3) UU BUMN adalah termasuk
tindakan atau aksi korporasi yang kewenangannya tidak diserahkan
kepada Direksi atau Komisaris. Artinya, meskipun menurut Pasal 5 UU
BUMN Direksi bertanggung jawab penuh dalam pengurusan BUMN, yang
berarti dia berwenang melakukan aksi-aksi korporasi sesuai dengan
maksud dan tujuan BUMN yang bersangkutan, namun kewenangan itu
tidak serta-merta dapat dilaksanakan sendiri oleh Direksi meskipun telah
ada pengawasan oleh Komisaris jika berkenaan dengan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) UU BUMN melainkan harus
mendapat persetujuan atau keputusan RUPS. Sementara itu, untuk
tindakan atau aksi korporasi lainnya, baik menyangkut kebijakan
pengurusan maupun jalannya pengurusan pada umumnya, tunduk pada
pengawasan Dewan Komisaris. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 108 UU
40/2007. Sebagai Persero, BUMN juga harus tunduk pada prinsip-prinsip yang berlaku dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) sehingga mampu menghasilkan nilai ekonomi bagi semua
pemangku kepentingan, lebih-lebih pemegang saham (in casu Pemerintah). Apalagi kepada BUMN dibebankan maksud dan tujuan yang
bukan sekadar mengejar keuntungan tetapi justru lebih banyak maksud
dan tujuan yang sifatnya berfungsi sosial, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya. Intervensi eksternal terhadap aksi-aksi korporasi BUMN,
lebih-lebih intervensi politik, yang membawa dampak tidak dapatnya
BUMN melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik
harus dicegah. BUMN tidak boleh dijadikan alat politik atau dipolitisasi
sedemikian rupa sehingga keluar atau menyimpang dari maksud dan
tujuan pendiriannya.

Dengan demikian, tidak ada relevansinya melibatkan DPR dalam aksi atau
tindakan korporasi yang dilakukan oleh BUMN Persero sebab DPR
bukanlah bagian dari RUPS maupun Dewan Komisaris. Dalam
hubungannya dengan BUMN, kalaupun secara implisit hendak dikatakan
ada pengawasan DPR, hal itu harus diletakkan konteksnya dalam
kerangka fungsi pengawasan politik DPR terhadap pelaksanaan
pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD 1945. Misalnya ketika
Presiden mengajukan rancangan Undang-Undang tentang APBN. Pada
saat itulah DPR dapat mempertanyakan pengelolaan keuangan negara
dalam pelaksanaan pemerintahan, termasuk yang oleh Pemerintah
dialokasikan untuk BUMN.

Dalam sistem presidensial, bahkan tidak seluruh tindakan pemerintah
tunduk pada pengawasan DPR, misalnya terhadap hal-hal yang
berdasarkan Konstitusi maupun praktik ketatanegaraan sepenuhnya
merupakan bagian dari atau berada dalam ruang lingkup kewenangan
diskresional Pemerintah atau hal-hal yang sepenuhnya merupakan hak
prerogatif Presiden. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

2) Bahwa para Pemohon mendalilkan, investasi yang dilakukan
pemerintah harus melalui persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN
pemerintah dapat membentuk anak perusahaan BUMN tanpa melalui
mekanisme APBN di mana hal itu berarti menghilangkan pengawasan DPR
yang mengakibatkan kewenangan pemerintah selaku pemegang saham
akan menjadi kewenangan induk BUMN di mana peran pemerintah dalam
BUMN sebagai pemegang saham akan berubah menjadi BUMN penerima
pengalihan saham.

Terhadap dalil para Pemohon tersebut, untuk membuat lebih terang,
Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa harus dibedakan antara
tindakan memberikan modal untuk mendirikan BUMN atau menambah
modal BUMN dan tindakan BUMN itu sendiri. Tindakan memberikan modal
untuk mendirikan BUMN atau menambah modal BUMN memerlukan
keterlibatan DPR sebab modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari APBN. Sesuai
dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, APBN sebagai wujud pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pertama, secara implisit
pada dasarnya tidak akan ada pemberian modal untuk membentuk BUMN
atau menambah modal BUMN tanpa persetujuan DPR karena modal
BUMN itu berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu dari APBN.
Artinya, jika DPR tidak menyetujui suatu rancangan Undang-Undang
tentang APBN, yang sebagian darinya akan digunakan untuk membentuk
atau mendirikan BUMN, maka tidak mungkin akan ada BUMN; kedua,
karena sebagian modal BUMN berasal dari APBN, sementara APBN itu
diajukan setiap tahun dalam bentuk undang- undang, maka setiap tahun
terbuka kesempatan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasannya
yang dalam hal ini dilaksanakan secara bersama-sama dengan fungsi
budgeter atau fungsi anggarannya, yaitu ketika Presiden (Pemerintah)
mengajukan rancangan Undang-Undang tentang APBN. Misalnya,
sebelum menyetujui anggaran (baru) yang diajukan oleh Presiden
(Pemerintah), DPR tentu akan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan
keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah, apakah sudah
dilaksanakan untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat
atau belum. Artinya, konteks pengawasan DPR dalam hal ini adalah
pengawasan politik terhadap pengelolaan keuangan negara dalam
struktur APBN sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945
yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahannya yang sama sekali berbeda dengan pengawasan yang
dilakukan oleh Komisaris terhadap Direksi suatu BUMN Persero dalam
menjalankan kepengurusan Persero, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 UU BUMN.

Sementara itu, setelah BUMN itu terbentuk, BUMN tersebut telah menjadi
subjek hukum, dalam hal ini subjek hukum berupa badan hukum
(rechtspersoon atau legal person). Sebagai subjek hukum, sebagaimana
halnya subjek hukum berupa orang (naturlijke persoon), BUMN adalah
pemegang hak dan kewajiban menurut hukum dan berhak melakukan
perbuatan hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum, BUMN diwakili
oleh Direksi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 UU BUMN. Perbuatan
hukum BUMN dapat berupa perbuatan hukum pada umumnya maupun
perbuatan hukum dalam rangka aksi atau tindakan korporasi. Sebagai
subjek hukum berupa badan hukum (rechtspersoon), maka terhadap
BUMN pada dasarnya juga berlaku seluruh ketentuan sebagaimana yang
berlaku terhadap subjek hukum alamiah yaitu orang (naturlijke persoon).
Namun, terhadap BUMN, baik yang berbentuk Persero maupun Perum,
UU BUMN menegaskan bahwa terhadap BUMN berlaku ketentuan dalam
UU BUMN, anggaran dasar, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU BUMN.
Adapun terhadap BUMN yang berbentuk Persero, Pasal 11 UU BUMN
menegaskan bahwa terhadap Persero juga berlaku segala ketentuan dan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas yang diatur dalam
UU 1/1995 (yang telah diganti dengan UU 40/2007).
Tindakan pembentukan anak perusahaan atau penyertaan yang dirujuk
oleh Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN, adalah bagian dari tindakan
atau aksi korporasi yang artinya tindakan itu baru ada setelah BUMN
terbentuk. Dalam hal ini tindakan atau aksi korporasi yang berkenaan
dengan pengurusan Perseroan. Oleh karena itu, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 31 UU BUMN juncto Pasal 108 ayat (1) UU 40/2007,
pengawasannya dilakukan oleh Komisaris, bukan oleh DPR. Dengan
demikian, mendalilkan adanya pengawasan DPR dalam tindakan korporasi
yang dilakukan oleh BUMN secara tidak langsung para Pemohon berarti
hendak menempatkan DPR seolah-olah sebagai Komisaris BUMN.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak
beralasan menurut hukum.

Bahwa para Pemohon selanjutnya mempersoalkan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas (PP 72/2016) yang oleh para Pemohon diyakini
bahwa PP tersebut sebagai salah satu perangkat untuk memprivatisasi
BUMN tanpa terkecuali, termasuk BUMN yang produksinya menyangkut
hajat hidup orang banyak sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal, di mana menurut para Pemohon dalam Lampiran
halaman 32 dan halaman 33 Peraturan Presiden ini pembangkit listrik,
transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki
saham 95% - 100%.

Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah berpendapat
andaikatapun anggapan para Pemohon itu benar, quod non, hal itu bukan
merupakan yurisdiksi Mahkamah untuk mengadilinya. Lagi pula, dalam
persidangan terungkap bahwa terhadap PP 72/2016 tersebut telah
diajukan pengujian ke Mahkamah Agung melalui Perkara Nomor
21P/HUM/2017 dan oleh Mahkamah Agung telah dinyatakan ditolak,
sebagaimana diterangkan Pemerintah dalam persidangan tanggal 28
Maret 2018 yang tidak dibantah oleh para Pemohon.

3) Bahwa para Pemohon mendalilkan, BUMN bukan merupakan tempat
untuk berinvestasi tetapi memiliki fungsi strategis sebagai alat negara
untuk menjalankan fungsi negara terutama pada sektor strategis.
Peleburan atau penggabungan BUMN akan menyebabkan berakhirnya
perseroan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) dan Peraturan Pelaksana
namun para Pemohon tidak jelas menyebut peraturan pelaksana yang
mana. Para Pemohon kemudian menyatakan bahwa berakhirnya
perseroan menyebabkan dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja
dengan mengutip ketentuan dalam Pasal 163 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa
peleburan atau penggabungan BUMN, sebagaimana telah
dipertimbangkan sebelumnya, adalah bagian dari tindakan korporasi.
Selain itu, menyatakan BUMN bukan sebagai tempat berinvestasi tidaklah
rasional. Sebab, penggunaan uang negara yang dipisahkan guna
membentuk BUMN itu sendiri adalah sebuah investasi. Bedanya dengan
investasi lainnya, misalnya yang dilakukan oleh perorangan dalam
mendirikan suatu perusahaan, adalah bahwa investasi dalam wujud
pembentukan atau pendirian BUMN itu maksud dan tujuannya bukanlah
sekadar mengejar keuntungan, bahkan justru lebih banyak fungsi
sosialnya. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 UU BUMN yang menyatakan:

(1) Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:
a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

(2) Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan pemutusan hubungan kerja
(PHK), Mahkamah perlu menegaskan bahwa PHK tidaklah serta-merta
mengandung persoalan konstitusional. PHK baru menjadi persoalan
konstitusional, khususnya yang berkait dengan pelanggaran terhadap
hak-hak konstitusional warga negara, apabila norma undang-undang
yang mengatur tentang PHK itu sendiri bertentangan dengan UUD 1945.
Selama norma undang-undang yang mengatur tentang PHK itu tidak
bertentangan dengan UUD 1945 maka peristiwa konkrit berupa terjadinya
PHK tidaklah merupakan persoalan konstitusional yang menjadi
kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya. Apabila dalam praktik
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan PHK (yang norma undang-
undangnya konstitusional itu) maka hal itu merupakan kewenangan
Pengadilan Hubungan Industrial sebagai bagian dari pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung
untuk mengadilinya. Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

4) Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah terang
bagi Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 14
ayat (2) dan ayat (3) UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945 adalah
tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN / 31-05-2018

Abdul Hakim dan rekan.

Pasal 59 ayat (1) huruf UU Ketenagakerjaan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan pada
Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003 adalah mengenai tidak adanya kewajiban
pencatatan perjanjian kerja waktu tertentu yang terdapat pada norma a
quo beserta penjelasannya. Bahwa pada pokoknya Pasal 59 ayat (1) UU
13/2003 merupakan norma yang mengatur mengenai “syarat perjanjian
kerja untuk waktu tertentu (PKWT)”, yang berkenaan dengan jenis atau
sifat kegiatannya, yaitu: a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang
sementara sifatnya; b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c)
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d) Pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan. Bahwa mengenai PKWT, khususnya
yang diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003 telah diputuskan
konstitusionalitasnya melalui Putusan Mahkamah, yaitu Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, bertanggal 17 Januari
2012, yang pertimbangannya menyatakan antara lain:

“Dalam praktik, ada beberapa jenis pekerjaan yang termasuk kriteria
disebut di atas dengan alasan efisiensi bagi suatu perusahaan dan
keahlian suatu pekerjaan tertentu lebih baik diserahkan untuk dikerjakan
oleh perusahaan/pihak lain, antara lain pekerjaan bangunan, buruh karet,
penebang tebu (musiman), konsultan, ataupun kontraktor. Terhadap jenis
pekerjaan yang demikian, bagi pekerja/buruh menghadapi resiko berakhir
masa kerjanya, ketika pekerjaan tersebut telah selesai, dan harus mencari
pekerjaan baru. Pada sisi lain, bagi pengusaha pemilik pekerjaan akan
lebih efisien dan tidak membebani keuangan perusahaan apabila jenis
pekerjaan demikian tidak dikerjakan sendiri dan diserahkan kepada pihak
lain yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tersebut, sehingga
perusahaan hanya fokus pada jenis pekerjaan utamanya (core business).
Bagi pengusaha atau perusahaan yang mendapatkan pekerjaan yang
memenuhi kriteria tersebut dari perusahaan lain, juga menghadapi
persoalan yang sama dalam hubungannya dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya dalam jenis pekerjaan yang sifatnya sementara dan
dalam waktu tertentu. Sehubungan dengan jenis pekerjaan yang
demikian, wajar bagi pengusaha untuk membuat PKWT dengan
pekerja/buruh, karena tidak mungkin bagi pengusaha untuk terus
memperkerjakan pekerja/buruh tersebut dengan tetap membayar gajinya
padahal pekerjaan sudah selesai dilaksanakan. Dalam kondisi yang
demikian pekerja/buruh tentu sudah harus memahami jenis pekerjaan
yang akan dikerjakannya dan menandatangani PKWT yang mengikat para
pihak. Perjanjian yang demikian tunduk pada ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata, yang mewajibkan para pihak yang menyetujui dan
menandatangani perjanjian untuk menaati isi perjanjian dalam hal ini
PKWT. Untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan
lemah karena banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah
menjadi sangat penting untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan
ketentuan Pasal 59 Undang-Undang a quo , misalnya melakukan PKWT
dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat pekerjaannya tidak
memenuhi syarat yang ditentukan Undang-Undang. Lagi pula, jika terjadi
pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu merupakan
persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma
yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan
demikian menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan
dengan UUD 1945;” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-
XI/2011, bertanggal 17 Januari 2012, halaman 38].

Dengan demikian, PKWT dapat dibenarkan selama memenuhi syarat
dalam Pasal 59 UU 13/2003, bukan hanya syarat mengenai jenis
pekerjaan sebagaimana diatur oleh Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003, namun
juga syarat lainnya pada keseluruhan undang-undang tersebut, yaitu
syarat Pasal 57, Pasal 58 dan keseluruhan Pasal 59 UU 13/2003. Pasal 59
ayat (7) UU 13/2003 menyatakan, “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.” Sedangkan Penjelasan Pasal 59
ayat (1) menyatakan, “Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.”

2) Bahwa selanjutnya Pasal 59 ayat (8) UU 13/2003 menyatakan
bahwa hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri. Norma ini pada pokoknya telah
memberikan pendelegasian kepada Menteri yang kewenangannya
berkaitan dengan norma a quo untuk mengatur lebih lanjut mengenai
PKWT, dan dengan demikian syarat yang akan diatur oleh Menteri
tersebut mengikat pula sebagai syarat PKWT. Terkait dengan hal ini,
syarat pencatatan PKWT telah diatur oleh Pasal 13 Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/VI/2004, yang
menyatakan, “PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
penandatanganan”. Dengan adanya Pasal 59 ayat (7) dan ayat (8) UU
13/2003, menurut Mahkamah telah jelas mengenai kewajiban pencatatan
PKWT dan akibat hukum dari tidak tercatatnya PKWT tersebut, yaitu
bahwa undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah, in
casu Menteri yang terkait, untuk mengatur lebih jauh mengenai aturan
pelaksanaan terhadap norma a quo , selain itu norma yang ada, yaitu
Pasal 59 UU 13/2003 termasuk Penjelasannya, telah menjadi dasar yang
cukup bahwa PKWT wajib dicatatkan dan tidak dicatatkannya PKWT
sampai dengan batas waktu yang ditentukan demi hukum berubah
menjadi PKWTT.

3) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya memohon agar frasa
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 59 ayat (1) UU
13/2003 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu wajib dicatatkan oleh pengusaha ke instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, yang terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan atas terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat
pembuatan perjanjian kerja dimaksud oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Sesuai
dengan pertimbangan di atas, kewajiban pencatatan tersebut telah ada
pada Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003, di mana penjelasan
tersebut juga mengikat sebagai syarat dengan akibat hukum yang diatur
oleh Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003. Kejelasan mengenai siapa yang
berkewajiban untuk mengajukan PKWT tersebut ke instansi yang
berwenang telah secara prinsip terdapat dalam Pasal 53 UU 13/2003 yang
menyatakan, “Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab pengusaha.” Hal ini pun telah ditegaskan melalui
Keputusan Menteri sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas.
Sedangkan pemeriksaan mengenai substansi perjanjian kerja,
sebagaimana yang dikehendaki para Pemohon, hal itu merupakan
substansi yang menjadi kesepakatan para pihak pada waktu dibuatnya
perjanjian tersebut dengan merujuk pada ketentuan Pasal 59 UU 13/2003
serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dan tidak boleh
bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga hal tersebut
bukan merupakan kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan
sebagaimana dikehendaki para Pemohon, karena pada dasarnya hal itu
merupakan kesepakatan para pihak pada waktu perjanjian itu dibuat.
Adapun tugas dari pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan
Pasal 176 - Pasal 181 UU 13/2003 terbatas pada pelaksanaan undang-
undang ketenagakerjaan, termasuk pengawasan dan penegakan terhadap
pelaksanaan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak.

4) Bahwa persoalan di mana para Pemohon mendapatkan kerugian
atau ketidakadilan dari pelaksanaan PKWT yang terjadi karena tidak
diajukannya pencatatan oleh pengusaha kepada instansi sebagaimana
dikehendaki oleh Undang-Undang a quo dan adanya substansi PKWT
yang merugikan para Pemohon, hal tersebut merupakan permasalahan
pada implementasi norma a quo , bukan permasalahan konstitusionalitas
norma. Pada tingkatan tertentu, pemerintah bertanggung jawab untuk
melakukan pengawasan PKWT yang pada prinsipnya berorientasi pada
menciptakan keseimbangan hak antara pekerja dan pengusaha serta
melindungi pekerja dari pelaksanaan perjanjian kerja yang tidak adil atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk
permasalahan dalam pelanggaran pembentukan perjanjian kerja yang
berkait dengan PKWT para Pemohon dapat merujuk pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014. Adapun sengketa
ketenagakerjaan lainnya merupakan kewenangan dari pengadilan yang
berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN / 23-05-2018

Drs. Sukardja, Ir Abas Ts, H.J. Sutiarjo, Ir. S. Bratahalim, Surya Sofian, J.
Hanifah Tiono, Nelam PS, Surya Wardhani, Ir, Imam Jusuf, Dahlia.

Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB,
MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa oleh karena perihal dalil yang didasarkan pada alasan
kekurangmampuan atau ketidakmampuan membayar PBB telah
dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-
XVI/2018, maka pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan
dimaksud berlaku pula terhadap permohonan a quo. Oleh karena itu,
dalil Pemohon selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah,
apakah pengenaan PBB yang didasarkan atas nilai jual objek pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya dengan hak-hak
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1),
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

2) Bahwa, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, filosofi
pengenaan pajak terhadap bumi dan bangunan adalah karena adanya
manfaat atau kenikmatan yang dinikmati oleh mereka yang menguasai
bumi dan/atau bangunan tersebut. Sementara itu, menurut Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dengan demikian, mereka yang memperoleh
manfaat atau kenikmatan dari sesuatu yang berada di bawah penguasaan
negara adalah wajar jika menyerahkan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan itu kepada negara yang pada akhirnya akan dikembalikan
kepada rakyat melalui pelaksanaan pembangunan yaitu untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang menjadi pertanyaan kemudian,
bagaimana cara menentukan atau menghitung pengenaan pajak terhadap
bumi dan bangunan itu secara objektif dan sekaligus proporsional. Sebab,
manfaat atau kenikmatan itu adalah sesuatu yang bersifat kualitatif.
Dalam konteks demikian maka argumentasi yang paling rasional untuk
digunakan sebagai dasar perhitungan adalah dengan cara menghitung
secara kuantitatif nilai manfaat atau kenikmatan itu yaitu dengan
mempertimbangkan nilai jual dari objek yang memberi manfaat atau
kenikmatan kepada pemilik atau pihak yang menikmatinya, yaitu nilai
jualnya yang pengertiannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka
3 UU PBB. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
penghitungan pengenaan PBB yang didasarkan pada nilai jual objek pajak
sebagai khayalan adalah tidak benar karena nilai jual objek pajak itu tetap
ada setiap waktu di daerah yang bersangkutan. Adapun hal-hal teknis
yang berkait dengan cara penghitungan tidak mungkin dinilai
konstitusionalitasnya oleh Mahkamah. Sebab, di samping sangat
bergantung pada ruang dan waktu juga bergantung pada kemampuan
dan kondisi daerah masing-masing, khususnya menyangkut PBB-P2 yang
telah diserahkan kepada daerah. Mahkamah hanya mungkin menyatakan
bahwa pembebanan berupa pungutan yang bersifat memaksa, lebih-lebih
pajak, sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 jika hal itu
dilakukan tanpa penghitungan yang jelas dan tanpa didasarkan atas
Undang- Undang.

3) Bahwa negara memang berkewajiban menjamin hak-hak
konstitusional warga negara, baik hak-hak konstitusional yang termasuk
dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak konstitusional
yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Khusus terhadap hak-hak konstitusional yang tergolong ke dalam hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana juga telah dipertimbangkan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, bertanggal
9 Mei 2018, pemenuhannya dilakukan melalui campur tangan pemerintah
melalui pelaksanaan pembangunan, di mana hal itu sangat bergantung
pada kemampuan negara. Dengan kata lain, pelaksanaan pembangunan
adalah bagian dari upaya negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional
warga negara. Oleh karena itu, pengenaan pajak, termasuk PBB, tidaklah
dapat dipertentangkan dengan hak- hak konstitusional warga negara
sepanjang hal itu didasarkan atas undang- undang dan tidak dilakukan
secara sewenang-wenang. Dengan demikian, jika dasar penghitungan
pengenaan suatu pajak telah jelas, maka hal itu pun tidak dapat
dipertentangkan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal
PBB, dasar penghitungan itu adalah nilai jual objek pajak. Ada pun perihal
besaran atau persentasenya, termasuk perubahannya yang didasarkan
atas perkembangan keadaan, hal itu adalah persoalan teknis dan
sekaligus praktik atau penerapan undang-undang yang tidak mungkin
ditetapkan secara baku karena akan tunduk pada perubahan dari waktu
ke waktu.

4) Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, apabila
terhadap pengenaan PBB tersebut Pemohon keberatan, hal itu telah
disediakan mekanismenya melalui Pasal 107 ayat (2) UU PDRD. Namun,
dimungkinkannya diajukan keberatan demikian bukanlah berarti bahwa
norma yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB
bertentangan dengan UUD 1945 melainkan semata-mata sebagai jalan
hukum (legal remedy) yang diberikan oleh undang- undang, in casu UU
PDRD. Apabila Pemohon, sebagaimana dijelaskan dalam Permohonannya,
telah mengajukan keberatan dimaksud dan ternyata hal itu tidak
mendapatkan tanggapan pemerintah, in casu Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Mahkamah tidak berwenang untuk menilai hal demikian
sebab sudah berada di wilayah kebijakan pemerintah dengan
mempertimbangkan kemampuan dan kondisi daerah. Artinya, apabila di
suatu daerah keberatan demikian dikabulkan, hal itu bukanlah sebagai
bukti bahwa norma Undang-Undang a quo inkonstitusional melainkan
semata-mata kebijakan pemerintah daerah yang bersangkutan yang
diambil setelah mempertimbangkan kemampuan atau kondisi pemerintah
daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mungkin
mengabulkan Permohonan Pemohon yang meminta Mahkamah untuk
menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan
UUD 1945 sembari mengusulkan kepada Pemerintah untuk menjadikan
nilai jual objek pajak tahun 2013 sebagai dasar pengenaan PBB, sebab:
pertama, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Pasal 6 ayat (1)
dan ayat (2) UU PBB tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945; dan
kedua, usul sebagaimana dimohonkan Pemohon substansinya sudah
berada di wilayah kebijakan pemerintah sehingga tidak mungkin
dituangkan dalam amar putusan Mahkamah. Dalam kaitan ini, Mahkamah
hanya dapat mendorong agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah,
untuk memperhatikan keberatan Pemohon dalam hubungannya dengan
pengenaan PBB, in casu yang tergolong ke dalam PBB-P2 karena hal itu
sepenuhnya bergantung pada kebijakan masing- masing daerah.

5) Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah
terang bagi Mahkamah bahwa dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 6
ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan UUD 1945 adalah
tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 23-05-2018

Martinus Butarbutar, S.H. dan Risof Mario, S.H.

Pasal 227 dan Pasal 229 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017
TENTANG PEMILIHAN UMUM

Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 26
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1) Menimbang bahwa kedudukan para Pemohon dalam kapasitasnya
sebagai perseorangan warga negara telah dibuktikan dengan identitas diri
berupa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) atas nama Martinus P.H.
Butar Butar dan Risof Mario. Terhadap dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa norma dalam kedua pasal a quo merugikan hak
konstitusional para Pemohon, Mahkamah menilai terlebih dahulu para
Pemohon harus dapat menerangkan dan membuktikan “adanya hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945” dan “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian” ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, para
Pemohon tidaklah merupakan pihak yang dirugikan dengan berlakunya
Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu karena norma Pasal 227 UU Pemilu
adalah merupakan persyaratan yang harus dipenuhi bakal pasangan
calon, yaitu bakal pasangan presiden dan wakil presiden. Sementara itu,
Pasal 229 UU Pemilu terkait dengan kelengkapan administrasi yang harus
diserahkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik yang akan
mendaftarkan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden ke KPU.
Melihat substansi norma dalam kedua pasal a quo, menjadi terang bahwa
para Pemohon tidak mampu membuktikan “adanya hak dan/atau
kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945”
dan “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya norma dalam Pasal 227 dan
Pasal 229 UU Pemilu yang dimohonkan pengujian” sebagaimana
dipersyaratkan dalam menjelaskan kedudukan hukum dalam mengajukan
permohonan. Dengan demikian, tidak ada keraguan sama sekali bagi
Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberlakuan norma dalam kedua
pasal tersebut sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para
Pemohon.

2) Menimbang bahwa untuk maksud agar pasangan calon presiden
dan wakil presiden mampu menjaga jati diri Indonesia dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, para Pemohon menghendaki agar
ketentuan Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu dimaknai agar masing-
masing pasangan calon telah mendapatkan restu dari 50% + 1 anggota
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, menurut Mahkamah,
pemaknaan demikian kian menguatkan bukti bahwa para Pemohon tidak
memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo. Selain
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 bahwa Dewan Perwakilan
Daerah tidak memiliki wewenang apapun dalam proses pengajuan bakal
pasangan calon presiden dan wakil presiden, para Pemohon dalam
perkara a quo bukan anggota DPD, melainkan perseorangan warga
negara, yang karenanya bukan subjek hukum pemilik/pemegang hak
konstitusional yang diatur oleh Pasal 22D UUD 1945. Berdasarkan
pertimbangan tersebut Mahkamah menilai para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a
quo.

3) Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, tetapi dikarenakan para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo
maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-05-2018

Muhammad Hafidz

Pasal 57 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (2) UNDANG-UNDANG
NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa terhadap Pasal 59 ayat (2) UU MK yang menjadi objek
permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan telah
menjatuhkan putusan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober
2011, dengan amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan
Pemohon dalam perkara dimaksud dengan pertimbangan, antara lain:

“Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum
(erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan
Mahkamah sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh
negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang
ada. Norma Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 tidak jelas dan menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena DPR dan Presiden hanya akan
menindaklanjuti putusan Mahkamah jika diperlukan saja. Padahal putusan
Mahkamah merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang
harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan
sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai
konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional.

Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 mengandung kekeliruan,
yaitu frasa “DPR atau Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945, setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Karena itu, DPR atau
Presiden tidak berdiri sendiri dalam membahas rancangan Undang-
Undang, sehingga frasa “DPR atau Presiden” bertentangan dengan Pasal
20 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para
Pemohon a quo beralasan menurut hukum;”

2) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena terhadap
Pasal 59 ayat (2) UU MK oleh Mahkamah telah dinyatakan
inkonstitusional, maka permohonan Pemohon terhadap pasal a quo telah
kehilangan objek.

3) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 57 ayat (3)
UU MK menghilangkan kepastian hukum karena terhadap putusan yang
amar putusannya mengabulkan hanya dimuat dalam Berita Negara yang
merupakan media resmi Pemerintah yang berfungsi untuk mengumumkan
adanya sebuah peraturan perundang-undangan yang baru, Mahkamah
berpendapat bahwa pemuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Berita Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU MK
telah cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara
negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan
melaksanakan lagi materi yang telah dinyatakan inkonstitusional tersebut
karena berdasarkan Pasal 47 UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.

Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi putusan MK
adalah sifat putusannya yang final dengan kata mengikat (binding).
Karena putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang
terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus
harus melaksanakan putusan tersebut. Namun demikian, norma dalam
undang-undang adalah satu kesatuan sistem dan pelaksanaan putusan
yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu bergantung pada substansi
putusan. Dalam hal ini terdapat putusan yang dapat dilaksanakan
langsung tanpa harus dibentuk peraturan perundangundangannya dalam
bentuk pergantian atau perubahan dan ada pula yang memerlukan
pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu sepanjang hal tersebut ditegaskan
dalam putusan yang bersangkutan. Namun demikian, sesuai dengan Pasal
47 UU MK, semua putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan
mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum. Terkait dengan hal tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September 2017, dinyatakan,
“selama dan sejauh ini, baik dalam tataran teoritis maupun tataran
praktis, keberlakuannya bersifat erga omnes. Dengan sifat konstitutifnya
putusan pengujian undang-undang bersifat final sehingga di dalamnya
termuat makna mengikat yang menimbulkan beban atau kewajiban bagi
semua pihak untuk patuh dan melaksanakan putusan Mahkamah
Konstitusi. Kondisi demikian juga berlaku dalam putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi di berbagai negara”.

Ihwal dalil Pemohon yang menyatakan bahwa semua putusan Mahkamah
Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan pembentukan atau perubahan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya sesuai
dengan hierarkinya, dalil ini tidaklah tepat. Hal demikian disebabkan
karena sifat final putusan Mahkamah Konstitusi di dalamnya memiliki
makna putusan tersebut mengikat dan oleh karenanya semua pihak
terikat untuk melaksanakannya tanpa harus menunggu atau
ditindaklanjuti dengan pembentukan atau perubahan undang-undang
atau peraturan perundang-undangan lainnya. Andaipun terdapat putusan
Mahkamah Konstitusi yang memerlukan perubahan atau pembentukan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, hal
demikian dinyatakan secara tegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersangkutan. Dengan kata lain, dalam hal suatu putusan langsung
efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk
implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan
tersebut dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Maksudnya,
putusan tersebut terlaksana dengan sendirinya. Putusan terhadap
pengujian undang-undang yang bersifat self-executing pada dasarnya
merupakan putusan yang membatalkan norma atau ketentuan lain dalam
undang-undang yang bersangkutan, termasuk di dalamnya
penjelasannya.

Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang dikhawatirkan
Pemohon tidak dilaksanakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
105/PUUXIV/2016, bertanggal 28 September 2017 Mahkamah lebih jauh
menegaskan:
“Bahwa oleh karena putusan pengujian undang-undang bersifat
declaratoir constitutief, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi tidak
membutuhkan aparat yang akan memaksa agar putusan tersebut
dilaksanakan atau dipatuhi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah,
kesadaran dan kepatuhan hukum semua pihak untuk melaksanakan
putusan pengadilan termasuk putusan Mahkamah Konstitusi menjadi
cerminan bagaimana sesungguhnya menghormati prinsip negara hukum
dalam kehidupan bernegara.”

Berkenaan dengan kasus konkrit yang dicontohkan oleh Pemohon dan
tanpa bermaksud menilai kasus konkrit dimaksud, Mahkamah perlu
menegaskan bahwa Pasal 335 KUHP yang oleh Mahkamah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013,
bertanggal 16 Januari 2014) tidaklah mencakup seluruh materi yang
termuat dalam norma pasal dimaksud melainkan hanya terhadap frasa
“sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”.
Dengan demikian, norma Pasal 335 KUHP masih tetap berlaku selain frasa
dimaksud. Sehingga, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, jika
frasa yang telah dinyatakan inkonstitusional dimaksud masih tetap
digunakan oleh hakim sebagaimana kasus yang dicontohkan oleh
Pemohon maka pihak yang merasa dirugikan oleh putusan hakim tersebut
dapat menempuh upaya hukum yang tersedia dengan merujuk putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan sebagai dasarnya.

4) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah ternyata bahwa
tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma dalam materi muatan
Pasal 57 ayat (3) UU MK sehingga Mahkamah berpendapat permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA / 23-05-2018

Sutarjo, SH.MH.

Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata Penahanan, Pasal 11 sepanjang
kalimat; kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP

Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun
1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf d
sepanjang kata Penahanan, Pasal 11 sepanjang kalimat; kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik, dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa lebih lanjut dapat Mahkamah jelaskan meskipun
penahanan pada hakikatnya adalah salah satu bentuk perlindungan
terhadap hak masyarakat secara tidak langsung, namun terhadap pejabat
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan juga
dipersyaratkan untuk bertindak secara sangat hati-hati. Oleh sebab itu,
sebenarnya kata kunci tindakan penahanan dalam sistem peradilan
pidana termasuk di Indonesia adalah suatu tindakan yang baru dapat
dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu. Secara teoritis,
dibedakan antara sahnya penahanan (rechtsvaardigheid) dan perlunya
penahanan (noodzakelijkheid). Secara doktriner sahnya penahanan
bersifat objektif dan mutlak. Makna mutlak artinya sepanjang terpenuhi
syarat yang ditentukan di dalam undang-undang tentang tindak pidana
yang tersangkanya dapat dilakukan tindakan penahanan, sedangkan
makna mutlak harus pasti yang artinya tidak dapat diatur-atur oleh
penegak hukum. Sementara itu syarat lain yang juga tidak kalah
pentingnya adalah penahanan bersifat relatif (subjektif) yang maknanya
bahwa tindakan penahanan merupakan pilihan dan yang menentukan
kapan dipandang perlu diadakan penahanan tergantung penilaian pejabat
yang akan melakukan penahanan. Sebagaimana telah dijelaskan pada
paragraf sebelumnya, ketentuan Pasal 20 KUHAP berkorelasi dengan
Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 11 KUHAP, yang merupakan norma
yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, antara lain menentukan: (1)
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas
perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang
melakukan penahanan; (2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut
umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan; (3)
Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan. Dalam Pasal 20 KUHAP
tersebut ditentukan pejabat yang berwenang melakukan penahanan dan
adapun pejabat yang dimaksud adalah penyidik atau penyidik pembantu
atas perintah penyidik, penuntut umum dan hakim pada masing masing
tingkatannya.

2) Bahwa meskipun secara tegas dalil Pemohon hanya terbatas
mempermasalahkan tindakan penahanan yang dilakukan oleh penyidik
pembantu atau penyidik dan penuntut umum, namun menurut Mahkamah
hal tersebut tetap saja mempersoalkan roh atau hakikat tindakan
penahanan itu sendiri khususnya yang dilakukan pejabat penyidik atau
penyidik pembantu dan penuntut umum yang menurut pemohon
merupakan tindakan sewenang-wenang yang tidak dilandasi adanya
fungsi kontrol oleh pejabat penegak hukum. Terhadap hal tersebut
sebenarnya Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan adanya
syarat yang sangat ketat dan sikap hati-hati yang dilakukan oleh pejabat
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan pada
masing-masing tingkatan, maka asumsi Pemohon tersebut hanyalah
kekhawatiran yang berlebihan dan kalaupun ada praktik-praktik
transaksional sebagaimana yang juga didalilkan Pemohon, hal itu adalah
persoalan implementasi yang masing-masing sangat tergantung kepada
integritas pejabatnya yang tentu saja tidak relevan apabila kemudian
Pemohon mengaitkan dengan inkonstitusionalnya norma dari pasal-pasal
tersebut di atas. Terlebih sebenarnya mekanisme kontrol yang
dikhawatirkan oleh Pemohon tersebut bukanlah tidak ada sebab secara
yuridis undang-undang telah menyediakan sarana untuk itu, yaitu
mekanisme yang diatur dalam Pasal 77 juncto Pasal 79 KUHAP juncto
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April
2015 tentang Praperadilan.

3) Bahwa lebih lanjut perlu Mahkamah tegaskan, meskipun
permohonan Pemohon hanya berkaitan dengan sebagian dari norma
Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata “penahanan”, Pasal 11 sepanjang
kalimat, “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, namun dengan uraian pertimbangan sebagaimana tersebut di
atas, hal tersebut sesungguhnya telah terjawab oleh pendirian
Mahkamah, bahwa hakikat yang dipermasahkan Pemohon adalah esensi
penahanan yang dilakukan oleh penyidik pembantu, penyidik dan
penuntut umum yang tidak ada mekanisme kontrolnya yang oleh
Mahkamah telah ditegaskan bahwa hal tersebut adalah dalam rangka
menyeimbangkan kepentingan seorang tersangka atau terdakwa dan
kepentingan umum, khususnya korban tindak pidana. Meskipun di sisi lain
Mahkamah dapat memahami argumentasi Pemohon yang berpendapat
penahanan adalah penempatan seorang tersangka atau terdakwa
bagaikan dalam sebuah lorong gelap, akan tetapi menurut Mahkamah
permasalahan tersebut adalah semata-mata karena minimnya fasilitas
dan inftastruktur yang rata-rata kurang memadai dan hal ini juga
seharusnya menjadi perhatian pemerintah, mengingat esensi penahanan
sangat berbeda dengan pemidanaan, dimana penahanan seharusnya
menempatkan seseorang pada suatu tempat tertentu dan didasarkan
pada prinsip praduga tidak bersalah dengan disertai pertimbangan akan
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
dan atau mengulangi tindak pidana. Dari dasar pemikiran inilah timbul
gagasan bahwa seorang tersangka atau terdakwa dapat dilakukan
tindakan penahanan ke dalam ketiga jenis penahanan, yaitu penahanan
di rumah tahanan negara (Rutan), tahanan rumah, dan tahanan kota,
sehingga menempatkan seorang tersangka atau terdakwa untuk
dilakukan penahanan ke dalam jenis penahanan tersebut menjadi pilihan
atau diskresi masing-masing pejabat yang melakukan tindakan
penahanan. Hal ini yang membedakan dengan pemidanaan yang harus
menempatkan seorang narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan.

4) Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pendapat lain Pemohon yang
berpendapat untuk tindakan penyitaan saja ada fungsi kontrol sementara
tindakan penahanan yang kandungannya adalah berupa pembatasan
kemerdekaan orang dan sangat sensitif dengan hak asasi manusia justru
tidak ada mekanisme kontrol, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan
penyitaan yang wajib didahului dengan persetujuan oleh Ketua
Pengadilan Negeri adalah tindakan penyitaan terhadap benda tidak
bergerak, sedangkan untuk tindakan penyitaan terhadap benda bergerak
dapat dilakukan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan
Negeri [vide Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP]. Adapun salah satu
alasan yang cukup mendasar bahwa tindakan penyitaan terhadap benda
tidak bergerak mutlak harus ada persetujuan/ijin Ketua Pengadilan Negeri
adalah karena terhadap benda yang bersifat tidak bergerak ada hak-hak
keperdataan yang melekat pada benda tersebut yang belum tentu hak
tersebut adalah membuktikan kepemilikan dari seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana. Sementara itu terhadap
benda yang bergerak tidak wajib diperlukan persetujuan terlebih dahulu
dari Ketua Pengadilan Negeri, hal tersebut karena terhadap benda
bergerak dapat diberlakukan prinsip Pasal 1977 KUH Perdata, yaitu
“Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau
piutang yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai
pemiliknya sepenuhnya”. Dengan demikian argumentasi Pemohon yang
memperbandingkan tindakan penahanan dan tindakan penyitaan adalah
tidak relevan. Sebab, sekali lagi Mahkamah tegaskan bahwa terhadap
adanya tindakan penahanan oleh penyidik pembantu, penyidik, dan
penuntut umum adalah bukan tidak ada mekanisme kontrolnya akan
tetapi jelas ada, yaitu lembaga praperadilan, yang di dalamnya termasuk
menguji keabsahan penyitaan.

5) Bahwa gagasan yang ditawarkan Pemohon yaitu tindakan
penahanan harus ada persetujuan pengadilan sebenarnya juga bukan
merupakan konsep yang tidak mengandung permasalahan, mengingat
prinsip independensi yang dimiliki oleh pengadilan sebagaimana yang
didalilkan oleh Pemohon adalah terbatas pada ketika lembaga pengadilan
atau hakim sedang menjalankan fungsi yudisial terhadap perkara yang
sedang menjadi kewenangannya. Oleh karena itu relevansi tindakan
penahanan yang perkaranya masih dalam tingkat penyidikan dan
penuntutan pada hakikatnya yang lebih mengetahui karakter tersangka
serta dimensi tindak pidana yang dilakukan oleh seorang tersangka
sebenarnya adalah pejabat pada tingkat penyidikan dan penuntutan itu
sendiri, sehingga adanya syarat subjektif dan objektif yang harus
dipenuhi untuk dapat dilakukannya tindakan penahanan bagi seorang
tersangka dapat dipenuhi oleh pertimbangan penyidik maupun penuntut
umum yang sedang menangani perkaranya. Adapun terhadap gagasan
Pemohon yang menghendaki agar tindakan penahanan yang merupakan
bagian dari upaya paksa yang dilakukan oleh pejabat penegak hukum
seharusnya tunduk di bawah pengawasan Pengadilan (judicial scrutiny)
sebagaimana praktik di Perancis dan Amerika Serikat dengan alasan
bahwa menurut Pemohon semestinya tak ada satupun upaya paksa yang
dapat lepas dari pengawasan Pengadilan sehingga upaya paksa yang
dilakukan oleh aparat pejabat penegak hukum tersebut tidak dilakukan
secara sewenang-wenang yang berakibat pada terlanggarnya hak–hak
dan kebebasan sipil dari seseorang, hal itu haruslah dikembalikan kepada
pembentuk undang-undang sesuai dengan sistem peradilan pidana yang
hendak dibangun. Dengan demikian keinginan tersebut sesungguhnya
berkait erat dengan politik hukum berkenaan dengan ruang lingkup
kewenangan hakim dalam konsep kemandirian sistem peradilan pidana.

6) Bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas dalil Pemohon
yang menyatakan tindakan penahanan yang dilakukan oleh penyidik dan
penuntut umum yang tidak mendapat persetujuan pengadilan sebagai
bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sementara itu adanya kekhawatiran dari Pemohon terhadap tidak adanya
pihak yang harus bertanggung jawab apabila setelah melalui proses
persidangan ternyata terdakwa dibebaskan, terhadap kekhawatiran
Pemohon tersebut sebenarnya undang-undang juga telah menyediakan
mekanisme untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, sepanjang
memenuhi syarat sebagimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum
poin 3 huruf d KUHAP.
“Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat
penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau
dikenakan hukuman administrasi.”
Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dan penjelasan
ketentuan di atas, menurut Mahkamah telah jelas bahwa kekhawatiran
Pemohon hanyalah didasarkan pada asumsi belaka dan oleh karena itu
argumentasi tersebut haruslah dikesampingkan.

7) Menimbang bahwa dari seluruh uraian pertimbangan tersebut di
atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon yang menyatakan
norma Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata “penahanan”, Pasal 11
sepanjang kalimat, “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan
ayat (2) KUHAP bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 tidaklah beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU- XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN MENJADI UNDANG- UNDANG / 09-05-2018

E. Fernando M. Manullang

Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 8 UU 9/2017

Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23A, Pasal
28D, dan Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945

DPR-RI, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Pemohon

1. Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 bertentangan dengan aturan umum perpajakan yang merupakanturunan dari Pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” dan mencampuradukkan yurisdiksi hukum antar tata hukum dan hukum internasional yang tidak menggambarkan maksud perjanjian internasional, sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [3.7] huruf a angka 1) dan angka 2, Mahkamah berpendapat:

Pertama, terhadap argumentasi Pemohon bahwa Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 bertentangan dengan ketentuan KUP yang menurut Pemohon merupakan turunan langsung dari Pasal 23 UUD 1945 dan karenaitu dianggap pula bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945, dalam permohonannya Pemohon merujuk kepada Pasal 1 angka 29 UU KUP yang memberikan pengertian atau definisi hukum Pembukuan menurut UU KUP. Pasal 29 UU KUP menyatakan, “Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.” Terminologi “informasi keuangan” dalam ketentuan ini kemudian dihubungkan oleh Pemohon dengan Pasal 2 ayat (3) Lampiran UU 9/2017 yang menyatakan, “Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
(1) identitas pemegang rekening keuangan;
(2) nomor rekening keuangan;
(3) identitas lembaga jasa keuangan;
(4) saldo atau nilai rekening keuangan; dan
(5) penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.”

Dengan memperbandingkan kedua ketentuan tersebut Pemohon lalu berkesimpulan bahwa Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 tidak konsisten dan menyimpang karena, menurut Pemohon, objek informasi keuangan dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP berbeda dengan objek informasi keuangan dalam Pasal 1 Lampiran UU 9/2017.

Dalam kaitan ini, perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa yang diatur dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP adalah pengertian tentang Pembukuan yang di dalamnya memuat ketentuan tentang “data dan informasi keuangan.” Kalaupun jalan pikiran Pemohon dianggapdapat diterima bahwa kedua norma yang diperbandingkan tersebutmengatur tentang informasi keuangan, quod non, secara ekspisit keduaketentuan di atas bukan mengatur tentang objek informasi keuanganmelainkan ruang lingkup informasi keuangan. Maka, pertanyaan konstitusional yang timbul, apakah perbedaan ruang lingkup pengertian informasi keuangan dalam konteks pemberlakuan undang-undang di bidang perpajakan dengan pengertian informasi keuangan dalam konteks pertukaran informasi keuangan dalam rangka pemenuhan kewajiban hukum internasional menjadikan salah satu dari ketentuan dimaksud bertentangan dengan UUD 1945? Pertanyaan ini berkenaan dengan metode penafsiran kontekstual terhadap suatu istilah atau terminologi yang digunakan dalam perumusan suatu kaidah hukum.

Sesuai dengan asas Noscitur a Sociis, asas Ejusdem Generis, dan asas Expressio Unius Exclusio Alterius yang berlaku dalam penafsiran kontekstual, pengertian “informasi keuangan” yang digunakan dalam konteks tertentu tidaklah serta-merta sama jika digunakan untuk konteks yang lain. Sama halnya dengan pengertian “perbuatan melawan hukum” dalam hukum perdata tidak serta-merta sama dengan pengertian “perbuatan melawan hukum” dalam hukum pidana dan hukum adminstrasi negara. Inkonsistensi baru dapat dikatakan ada atau terjadi manakala suatu pengertian yang berada dalam konteks yang sama diberlakukan atau diterapkan secara berbeda-beda.

Dalam hubungannya dengan kasus a quo, kebutuhan akan kejelasan pengertian perihal informasi keuangan dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP adalah ditujukan dalam rangka menegakkan UU KUP yang sudah pasti berbeda dengan pengertian kebutuhan perihal informasi keuangan yang dimaksud dalam UU 9/2017 karena adanya tuntutan pemenuhan kewajiban internasional yang lahir dari perjanjian (international contractual obligation) yang dalam hal ini tidak membutuhkan ruang lingkup atau cakupan informasi keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP melainkan cukup sebatas cakupan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU 9/2017.

Lagi pula, sebagaimana telah dinyatakan di atas, yang diatur dalam Pasal 1 angka 29 UU KUP sesungguhnya bukanlah pengertian tentang informasi keuangan melainkan pengertian tentang Pembukuan yang memuat perihal “data dan informasi keuangan” sehingga sudahpasti berbeda ruang lingkupnya dengan pengertian “informasi keuangan”. Oleh sebab itu, keduanya sesungguhnya tidak relevan untuk dipersamakan, apalagi digunakan sebagai landasan argumentasi untuk menilai konstitusionalitas salah satu dari kedua norma tersebut.

Selain itu, Pemohon telah keliru merujuk ketentuan UUD 1945 yang mengatur tentang pajak dan pungutan lain yang bersifatmemaksa untuk kepentingan negara. Sebab Pasal 23 UUD 1945 tidak mengatur hal sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon melainkan Pasal 23A UUD 1945. Namun, kalau yang dimaksud oleh Pemohon adalah Pasal 23A UUD 1945, dalil Pemohon yang menyatakan seolah-olah hanya UU KUP yang merupakan turunan dari Pasal 23A UUD 1945 tidak juga tepat. Sebab Pasal 23A UUD 1945 hanyalah menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Artinya, bukan hanya UU KUP tetapi setiap undang-undang yang mengatur tentang pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara adalah diturunkan dari Pasal 23A UUD 1945.

Kedua, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 mencampuradukkan yurisdiksi hukum antar tata hukum nasional dan hukum internasional yang tidak menggambarkan maksud perjanjian internasional, Mahkamah berpendapat,Pemohon tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan “hukum antar tata hukum nasional” dalam dalil Pemohon dimaksud. Sepanjang yang dapat dipahami berdasarkan uraian dalam permohonan Pemohon, tampaknya Pemohon bermaksud menyatakan bahwa Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 mencampuradukkan yurisdiksi hukum nasional dengan yurisdiksi hukum internasional. Sebab, menurut Pemohon, landasan hukum MCAA adalah Pasal 6 Konvensi di mana pasal ini merupakan dasar pertimbangan dan Penjelasan UU 9/2017 sehingga Pemohon berkesimpulan bahwa setiap kesepakatan kerangka kerja harus dilaksanakan dengan merujuk pada seluruh dan setiap ketentuan Konvensi. Sementara itu, menurut Pemohon, Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 tidak merumuskan dengan pasti bahwa hanya informasi keuangan yang terindikasi masalah penghindaran dan penggelapan pajak sebagaimana diatur dalam AEOI yang dapat diberikan kepada otoritas asing. UU 9/2017, menurut Pemohon,tidak sekalipun menyebutkan kriteria penghindaran dan penggelapanpajak sebagaimana diamanatkan Konvensi. Karena itu Pemohon berkesimpulan, informasi keuangan Pemohon, bahkan informasi keuangan milik seluruh orang dan badan yang berada di Indonesia menjadi objek yang dapat diserahkan kepada pihak asing, tanpa mempedulikan apakah terindikasi masalah penghindaran dan penggelapan pajak atau tidak.

Jika benar demikian yang dimaksud Pemohon, Mahkamah berpendapat hal itu di samping tidak logis juga tidak pula tampak apa yang oleh Pemohon disebut mencampuradukkan yurisdiksi antara hukum nasional dan hukum internasional. Dikatakan tidak logis sebab diundangkannya UU 9/2017 adalah dalam rangka melaksanakan AEOI di mana AEOI itu merupakan tindak lanjut dari Pasal 6 Konvensi,sementara maksud dan tujuan Konvensi adalah dalam rangka memberantas penghindaran dan pengelakan pajak. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan dalil Pemohon, pertanyaan logis yang muncul: apa relevansi, kepentingan dan keuntungannya jika Indonesia menyerahkan informasi keuangan seseorang atau suatu badan yang berada di bawah yurisdiksi hukum Indonesia kepada pihak asing yang tidak ada sangkut-pautnya dengan penghindaran atau pengelakan pajak? Sebab tidak ada sangkut-pautnya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh Konvensi.

Bahkan, pihak asing itu pun akan bertanya-tanya untuk apa iadiberikan informasi yang tidak ada relevansinya dengan kebutuhan akanpelaksanaan atau penerapan yurisdiksinya. Pihak asing baru memilikikepentingan terhadap informasi keuangan seseorang atau suatu badan yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia apabila terdapat indikasi penghindaran atau pengelakan pajak yang ada sangkut-pautnya dengan pelaksanaan yurisdiksi pihak (negara) asing itu.

Sementara itu, dikatakan tidak ada pencampuradukan yurisdiksi hukum nasional (Indonesia) dengan yurisdiksi hukum internasional, in casu Konvensi, sebab diundangkannya UU 9/2017 adalah justru sebagai wujud pentaatan terhadap kewajiban internasional yang lahir dari Konvensi sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai negara pihak (state party) dalam Konvensi. Sebagai akibat keikutsertaan Indonesia dalam suatu perjanjian internasional, lebih-lebih yang berbentuk konvensi (convention), khususnya jika bertolak dari pendapat bahwa Indonesia menganut ajaran dualisme dalam konteks isu hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, maka keikutsertaan dalam perjanjian internasional itu memerlukan tindakan national implementing legislation, yaitu dengan menjadikan hukum internasional itu (in casu Konvensi) sebagai bagian dari hukum nasional melalui pengundangan ke dalam hukum nasional agar mengikat seluruh warga negara. Dengan demikian, pengundangan UU 9/2017 adalah wujud national implementing legislation dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi, apalagi manakala Konvensi nyata-nyata mengharuskan dilakukannya tindakan demikian sehingga national implementing legislation itu merupakan bagian dari kewajiban hukum internasional yang harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda. Ketika suatu hukum internasional (in casu Konvensi) telah diadopsi ke dalam hukum nasional melalui national implementing legislation itu (in casu UU 9/2017) maka hukum internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional. Dengan demikian, bagaimana mungkin dikatakan terjadi pencampuradukan antara hukum nasional dan hukum internasional. Bahkan proses demikian justru memperkuat kedudukan hukum nasional.

Dengan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum.

2. Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 merupakan penyerahan mandat kewenangan yang bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] huruf b angka 1) dan angka 2) di atas, Mahkamah berpendapat, apabila diringkas, Pemohon bermaksud menyatakan bahwa, menurut UU Perbankan dan UU OJK, yang berwenang untuk meminta membuka rekening bank jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang perpajakan adalah Menteri Keuangan. Sehingga, menurut Pemohon, Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 yang memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan adalah bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945. Alasan Pemohon adalah karena mandat konstitusional untuk penyelenggaraan pemerintahan diberikan kepada Presiden dengan dibantu Menteri, bukan Direktur Jenderal.

Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah berpendapat, kewenangan Dirjen Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan yang diatur dalam Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 adalah dikaitkan dengan Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 yang berbunyi, “Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.” Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 adalah berkait langsung dengan atau sebagai konsekuensi logis dari Pasal 1 Lampiran UU 9/2017. Konstruksi logika yang diperoleh setelah membaca secara saksama terhadap keseluruhan ketentuan dalam Pasal 2 dikaitkan dengan Pasal 1 Lampiran UU 9/2017 adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional, Pemerintah (melalui Dirjen Pajak) berhak mendapatkan akses informasi keuangan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai dengan standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional dibidang perpajakan [Pasal 1 juncto Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU 9/2017];

Kedua, untuk mencapai maksud sebagaimana diuraikan pada poin Pertama di atas maka kepada lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan tersebut diwajibkan untuk menyampaikan laporan informasi keuangan yang berada di bawah pengelolaannya kepada Dirjen Pajak yang isinya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 9/2017;
Ketiga, dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada poin Kedua di atas, lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan tersebut, oleh Pasal 2 ayat (4) Lampiran UU 9/2017, diwajibkan melakukan prosedur indentifikasi rekening keuangan sesuai dengan standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan yang paling sedikit meliputi kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Lampiran UU 9/2017;

Keempat, untuk mencapai keseluruhan maksud di atas, kepada lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan dilarang untuk melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) Lampiran UU 9/2017;

Kelima, apabila lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan tersebut memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia maka, jika diminta oleh Dirjen Pajak, harus memberikan terjemahan dokumentasi dimaksud ke dalam Bahasa Indonesia; dan

Keenam, lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas yang dikategorikan sebagai Lembaga keuangan tersebut terikat oleh kewajiban merahasiakan maka kewajiban tersebut tidak diberlakukan oleh Undang-Undang a quo.

Berdasarkan uraian di atas, secara kontekstual, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam perumusan norma Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 sebab konteksnya masih dalam rangka pemenuhan kewajiban internasional, khususnya dalam hal ini yang lahir dari Konvensi, di mana Indonesia menjadi salah satu negara pihak di dalamnya. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah pemberian kewenangan kepada Dirjen Pajak yang diatur dalam Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 tersebut bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945. Argumentasi Pemohon dalam hal ini bahwa karena yang merupakan pembantu Presiden adalah menteri, sementara Presiden adalah penanggung jawab Pemerintahan, maka seharusnya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 tersebut ada di tangan menteri, in casu Menteri Keuangan, bukan Dirjen Pajak.

Terhadap pertanyaan dan argumentasi Pemohon tersebut, pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab adalah apakah ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 tersebut merupakan “penyerahan mandat”, sebagaimana diasumsikan oleh Pemohon, ataukah bagian dari pelaksanaan kewenangan Dirjen Pajak sesuai dengan tugas dan fungsinya yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan? Apabila ternyata bahwa hal itu merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan sesuai dengan tugas dan fungsi Dirjen Pajak maka dalil Pemohon menjadi tidak relevan sebab persoalannya bukan persoalan “penyerahan mandat” sebagaimana didalilkan Pemohon.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.01/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, tugas Direktorat Jenderal Pajak adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan sejumlah fungsi, yaitu:
a) Perumusan kebijakan di bidang perpajakan;
b) Pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perpajakan;
e) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang perpajakan;
f) Pelaksanaan administrasi Direktoral Jenderal Pajak; dan
g) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan.

Dengan demikian, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 telah ternyata bersesuaian dengan tugas Direktorat Jenderal Pajak dalam penyelenggaraan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan di bidang perpajakan sehingga masih berada dalam batas-batas kewenangannya. Lebih-lebih, dalam hubungan ini, pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan tersebut berkait langsung dengan pemenuhan kewajiban internasional negara yang lahir dari perjanjian internasional. Oleh karena itu, apabila Pemohon berasumsi terdapat persoalan pelampauan kewenangan Dirjen Pajak dalam norma Undang-Undang a quo maka persoalannya adalah terletak pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inskonstitusionalitas Pasal 2 Lampiran UU 9/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum.

3. Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 8 Lampiran UU 9/2017 bertentangan dengan hak privasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G UUD 1945, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] huruf c angka 1) sampai dengan angka 3) di atas, Mahkamah berpendapat bahwa pertama, hak privasi tidak termasuk ke dalam kelompok non-derogable rights sehingga tunduk pada pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; kedua,bahkan terhadap hak yang tergolong non-derogable rights-pun dalam batas-batas tertentu tetap dapat diberlakukan pembatasan terhadapnya,misalnya jika hal itu bersangkut-paut dengan pelanggaran berat hak asasi manusia [vide antara lain Putusan Mahkamah Nomor 065/PUU- II/2004]. Dengan demikian, pertanyaan konstitusional sehubungan dengan dalil Pemohon a quo adalah, apakah pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Lampiran UU 9/2017 memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945?

Terhadap pertanyaan ini Mahkamah berpendapat, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, hak asasi manusia dapat dibatasi sepanjang: pertama, pembatasan tersebut ditetapkan dengan undang-undang dan kedua, pembatasan itu dilakukan semata-mata dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dalam konteks dalil Pemohon a quo, syarat pertama jelas telah terpenuhi sebab pembatasan dilakukan dengan undang-undang,in casu UU 9/2017. Sementara itu, dalam kaitannya dengan syarat kedua pertama-tama perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud hak privasi oleh Pemohon, sebagaimana tertuang dalam permohonannya, adalah berkenaan dengan:
(i) kerahasiaan data dan informasi berkait dengan perpajakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU KUP; keterangan mengenai Nasabah dan simpanannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU Perbankan;
(ii) kerahasiaan mengenai rekening Efek nasabah, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU Pasar Modal; dan
(iii) informasi posisi keuangan serta kegiatan usaha Anggota Bursa Berjangka, informasi posisi keuangan serta kegiatan usaha Anggota Kliring Berjangka, data dan informasi mengenai Nasabah, klien, atau peserta Sentra Dana Berjangka, sebagaimana diatur dalam Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 55 Undang-Undang tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 8 UU 9/2017 yang menyatakan tidak berlakunya kerahasiaan yang diatur dalam ketentuan sebagaimana diterangkan pada angka (i) sampai dengan angka (iii) di atas tidak bertentangan dengan syarat kedua dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, karena:

pertama, hal itu hanya diberlakukan dalam terjadi dugaan penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion). Sementara itu, penghindaran maupun pengelakan pajak adalah tindak pidana atau kriminal sehingga bahkan jika tidak ada ketentuan Pasal 8 Lampiran UU 9/2017 itu pun rahasia demikian dapat dibuka untuk kepentingan penegakan hukum. Hal demikian telah menjadi prinsip yang berlaku universal. Jaminan Konstitusi terhadap hak asasi setiap orang tidak dimaksudkan sebagai tameng atau dalih bagi seseorang untuk melakukan perbuatan pidana atau kriminal;

kedua, pajak adalah sumber pendapatan negara paling penting yang akan digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tujuan akhirnya adalah untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, terlepas dari soal bahwa hal itu belum sepenuhnya dapat dicapai. Dengan demikian, pembukaan data dan informasi milik seseorang atau suatu badan yang bersangkut-paut dengan dugaan terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak adalah langsung berkait dengan upaya pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak-hak yang termasuk ke dalam kelompok hak- hak ekonomi, sosial, dan budaya yang pemenuhannya mengharuskan campur tangan pemerintah/negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yaitu dalam hal ini melalui pelaksanaan pembangunan di mana pajak adalah salah satu sumber utama pembiayaannya;

ketiga, pengeculian kerahasiaan data dan informasi yang berkait dengan adanya dugaan penghindaran dan pengelakan pajak jelas tidak bertentangan dengan prinsip pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan maupun ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis;

keempat, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 8 Lampiran UU 9/2017 adalah sebagai bagian dari langkah pentaatan terhadap kewajiban internasional yang lahir dari perjanjian internasional yang mengharuskan dilaksanakannya isi perjanjian dengan itikad baik sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda, in casu Konvensi yang mewajibkan dilakukannya implementasi ketentuan Konvensi di tingkat nasional untuk memungkinkan tercapainya maksud dan tujuan Konvensi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) Konvensi. Selain itu,ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal yang dimohonkan Pemohon a quo juga merupakan kebutuhan negara untuk penyelenggaraan pembangunan demi pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945;

Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 8 Lampiran UU 9/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum.

4. Terhadap dalil Pemohon bahwa pertimbangan dibentuknya UU 9/2017 adalah tidak benar karena melahirkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945, dengan argumentasi sebagaimana telah diuraikan pada paragraf [3.7] huruf d angka 1) dan angka 2) di atas, Mahkamah berpendapat bahwa sesungguhnya dalil Pemohon a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan sebab pertimbangan dibentuknya UU 9/2017 tidak turut dimohonkan kepada Mahkamah untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, guna mencegah timbulnya keragu-raguan dalam pelaksanaan Undang-Undang a quo, Mahkamah memandang penting untuk menyatakan pendiriannya berkenaan dengan isu ini.

Inti dari dalil Pemohon dalam kaitan ini adalah bahwa,menurut Pemohon, Konvensi sesungguhnya telah disahkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 tentang Pengesahan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan) sehingga, menurut Pemohon, tidak perlu lagi ada UU 9/2017 yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dibentuknya Undang-Undang a quo adalah untuk melaksanakan ketentuan Konvensi. Sebab, menurut Pemohon, hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dengan alasan setiap pihak, termasuk Pemohon, di samping akan terkena ketentuan dalam UU 9/2017 juga akan terkena ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 tersebut.

Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah keliru memahami duduk persoalan eksistensi dan keberlakuan Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 di satu pihak dan keberlakuan UU 9/2017 di pihak lain. Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 adalah kelanjutan dari pernyataan persetujuan untuk terikat (consent to be bound) dalam suatu perjanjian internasional, in casu Konvensi, sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional.

Pasal 11 Konvensi Wina 1969 menyatakan, “The consent to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance,approval or accession, or by any other means if so agreed.” Dengan demikian, menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969, tindakan atau bentuk persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional ada bermacam-macam, yaitu: penandatanganan (signature), pertukaran dokumen yang melahirkan perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), pengesahan atau ratifikasi (ratification), penerimaan atau akseptasi (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi/pernyataan turut serta (accession), atau cara-cara lain yang disepakati (any other means if so agreed). Hal itu tergantung pada kesepakatan pihak-pihak peserta perjanjian internasional yang bersangkutan, yang lazimnya dinyatakan secara tegas dalam perjanjian itu. Jadi, ratifikasi atau pengesahan adalah salah satu di antara bentuk persetujuan untuk terikat tersebut. Berkenaan dengan ratifikasi/pengesahan, Konvensi Wina 1969 tidak mengatur perihal bagaimana ratifikasi atau pengesahan tersebut harus dilaksanakan sebab hal itu tergantung pada sistem hukum nasional masing-masing negara. Dalam konteks Indonesia, ratifikasi perjanjian internasional diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU 24/2000). Pasal 3 UU 24/2000 mengatur ketentuan yang persis sama dengan Pasal 11 Konvensi Wina 1969. Selanjutnya, dalam Pasal 10 dan Pasal 11 UU 24/2000 diatur tentang bentuk hukum pengesahan perjanjian internasional, yaitu dengan Undang-Undang untuk perjanjian internasional yang termasuk dalam kategori sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU 24/2000 dan dengan Keputusan Presiden untuk perjanjian internasional yang tidak termasuk atau di luar kategori Pasal 10 UU 24/2000. Kemudian, sejalan dengan terjadinya perubahan dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengesahan perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori Pasal 10 UU 24/2000 tidak lagi dilakukan dengan Keputusan Presiden melainkan dengan Peraturan Presiden. Dengan demikian telah menjadi terang bahwa Peraturan Presiden Nomor 159 Tahun 2014 adalah bagian pelaksanaan dari UU 24/2000 sebagai konsekuensi keturutsertaan Indonesia dalam Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (Konvensi) yang mengharuskan persetujuan untuk terikat (consent to be bound)-nya dilakukan melalui ratification, acceptance, atau approval [vide Pasal 28 Konvensi].

Sementara itu, suatu perjanjian internasional acapkali juga memuat kewajiban kepada negara-negara pihak (state parties) dalam perjanjian tersebut untuk melakukan tindakan tertentu yang perlu dituangkan ke dalam hukum nasional negara-negara pihak dimaksud. Hal inilah yang terjadi dalam kaitannya dengan Konvensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Konvensi dengan penekanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) Konvensi yang menyatakan, “Each Party shall take such measures and implement such procedures as are necessary to ensure that information described in paragraph 1 will bemade available for transmition to another Party.” UU 9/2017 adalah wujud implementasi dari ketentuan ini. Oleh karena itu jika pertimbangan dibentuknya Undang-Undang a quo merujuk pada Konvensi, hal itu bukan hanya benar tetapi memang seharusnya demikian.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN / 09-05-2018

Richard Christoforus Massa, oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. A. Muhammad
Asrun, S.H., M.H

Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 53 ayat (5) UU 30/2014

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat
(4) UUD NRI Tahun 1945

DPR, Kemenkumham, Pemohon dan Kuasa Pemohon

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, dan Pasal
53 ayat (5) UU 30/2014, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

1) Bahwa kasus konkrit yang dihadapi dan dikemukakan Pemohon
sehubungan dengan adanya putusan Fiktif Positif PTUN-Denpasar terkait
pembatalan atau pencabutan “Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN
Provinsi Bali Nomor 0196/Pbt/BPN.51/2013, tanggal 29 Oktober 2013,
tentang Pembatalan Pendaftaran Peralihan Hak Terhadap Sertifikat Tanah
atas Tanah Hak Guna Bangunan” yang didalilkan telah merugikan
Pemohon karena PTUN-Denpasar tidak memberikan kesempatan kepada
Pemohon untuk menjadi Pihak Intervensi, menurut Mahkamah tanpa
bermaksud menilai kasus konkrit yang dialami Pemohon, hal tersebut
bukanlah dikarenakan keberadaan Pasal 53 ayat (5) UU 30/2014 yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945, melainkan merupakan penerapan
hukum acara dalam pemeriksaan permohonan Fiktif Positif dalam
peradilan TUN.

2) Berdasarkan pertimbangan di atas bahwa persoalan kerugian yang
didalilkan oleh Pemohon bukanlah persoalan kerugian konstitusional
karena dalil pokok kerugian konstitusional yang diuraikan oleh Pemohon,
yang terletak pada tidak diberikannya kesempatan kepada Pemohon
untuk menjadi Pihak Terkait atau “Tergugat II Intervensi” dalam perkara
di PTUN-Denpasar dengan adanya penolakan majelis hakim PTUN-
Denpasar, sehingga tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband)
dengan berlakunya norma yang diuji. Pokok kerugian tersebut lebih
kepada persoalan implementasi bagaimana hukum acara peradilan tata
usaha negara dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara in casu
perkara Pemohon di PTUN-Denpasar.

3) Bahwa penyusunan norma Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UU
30/2014 merupakan norma yang terdapat di dalam “Bagian Ketujuh”
terkait dengan “larangan Penyalahgunaan Wewenang” pada Bab tentang
“Kewenangan Pemerintahan”. Dalam hal ihwal, khusus untuk Bagian
Larangan Penyalahgunaan Wewenang, terdapat lima Pasal (yaitu Pasal 17
sampai dengan Pasal 21) yang pada pokoknya mengatur empat hal, yaitu
(1) tindakan yang dilarang beserta uraiannya; (2) konsekuensi atau
akibat hukum pelanggaraan terhadap larangan; (3) pengawasan terhadap
penyalahgunaan wewenang; dan (4) upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian konstruksi
hukum yang dibangun dalam norma yang termuat dalam Bagian
Larangan Penyalahgunaan Wewenang tersebut adalah berkenaan dengan
pembatasan terhadap penggunaan wewenang oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan beserta konsekuensi atau akibat hukum yang
ditimbulkannya.

4) Bahwa Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo merupakan bagian norma yang
mengatur uraian tentang tindakan melampaui wewenang. Dalam hal ini,
Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 merupakan penguraian terhadap larangan
bagi badan atau pejabat pemerintahan untuk bertindak sewenang-
wenang. Di mana, bentuk dari tindakan sewenang- wenang tersebut
adalah mengeluarkan keputusan atau tindakan tanpa dasar kewenangan
dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Dengan demikian, Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 hanyalah
norma yang mengatur rincian atau detail mengenai bentuk dari tindakan
sewenang-wenang yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c UU
30/2014. Dengan keberadaan Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 tersebut,
lingkup tindakan sewenang-wenang menjadi jelas dan terukur.

5) Bahwa adapun Pasal 19 UU 30/2014 memuat norma terkait
konsekuensi pelanggaran terhadap larangan penyalahgunaan wewenang
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Dalam pasal a quo diatur dua konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, pelanggaran terhadap
“larangan melampaui wewenang” dan “larangan bertindak sewenang-
wenang”. Terhadap kedua larangan itu akan menimbulkan akibat hukum
berupa tidak sahnya keputusan dan/atau tindakan setelah melalui
pengujian dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Artinya, keputusan/tindakan yang melampaui wewenang dan
sewenang-wenang tersebut akan dinyatakan tidak sah setelah terbukti
bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Kedua, pelanggarannya akan menimbulkan
akibat hukum berupa keputusan tersebut dapat dibatalkan setelah diuji
dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

6) Bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan
yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding
atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah
upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) tidak tersedia lagi atau
apabila yang bersangkutan tidak menggunakan hak untuk itu Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan
kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali sebagai upaya hukum
luar biasa justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan sudah tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa berupa banding
atau kasasi termasuk jika yang bersangkutan tidak menggunakan hak
untuk mengajukan upaya hukum biasa. Bahkan, permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut.

7) Bahwa terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum di atas,
perlu ditegaskan kembali bahwa Pasal 18 dan Pasal 19 UU 30/2014 sama
sekali tidak mengatur dan berhubungan dengan upaya hukum. Pasal 18
dan Pasal 19 Undang-Undang a quo hanya mengatur tentang
konsekuensi hukum dari keputusan badan/pejabat pemerintahan yang
dikeluarkan atau dilakukan secara bertentangan dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mengenai apakah
terhadap putusan tersebut kemudian oleh pihak-pihak diajukan upaya
hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, hal itu sama sekali tidak
mempengaruhi maksud yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (3) dan
Pasal 19 UU 30/2014.

8) Bahwa Menimbang bahwa oleh karena Pasal 53 ayat (5), Pasal 18
ayat (3), dan Pasal 19 UU 30/2014 sama sekali tidak berhubungan
dengan masalah upaya hukum luar biasa dan juga tidak berhubungan
dengan pembatasan orang yang berkepentingan untuk menjadi pihak
dalam pemeriksaan permohonan Fiktif Positif sesuai Pasal 53 UU 30/2014
pada Pengadilan Tata Usaha Negara, maka dalil sebagaimana
dikemukakan Pemohon sama sekali tidak relevan sehingga harus
dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

9) Bahwa seandainyapun, misalnya, norma tersebut tetap hendak
dikaitkan dengan upaya hukum luar biasa dan kesempatan untuk menjadi
pihak dalam pemeriksaan permohonan Fiktif Positif, norma-norma a quo
sama sekali tidak menghalangi hak pihak-pihak berkepentingan untuk
masuk sebagai Pihak Terkait atau Tergugat Intervensi atau untuk
menempuh upaya hukum luar biasa. Oleh karena itu, dalil Pemohon agar
norma a quo dinyatakan bertentangan atau bertentangan secara
bersyarat dengan UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN / 09-05-2018

JUSTIN JESTIAN, AGUS PRAYOGO, DAN NUR HASAN

Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)

Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945

Para Pemohon, Pemerintah dan DPR

1. Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU
PBB, MK memberikan pertimbangan hukum hukum terkait dengan apakah
benar Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan UUD
1945, khususnya dengan hak untuk bertempat tinggal sebagaimana
diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945sebagai berikut:

a. Bahwa secara doktriner, baik berdasarkan ajaran ilmu negara umum
maupun hukum tata negara, kewenangan negara untuk memungut pajak
adalah diturunkan dari ajaran tentang hak-hak istimewa negara sebagai
organisasi kekuasaan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan hal
itu telah diterima secara universal. Namun, sesuai dengan prinsip dasar
yang berlaku dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum, agar
pelaksanaannya tidak sewenang-wenang, kewenangan negara untuk
memungut pajak tersebut harus diatur dengan dan didasarkan atas
undang-undang. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 secara jelas
menegaskan hal itu dalam Pasal 23A yang menyatakan, “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-Undang”. Undang-undang adalah salah satu perwujudan
kehendak rakyat. Dengan kata lain, meskipun negara berdasarkan hak
istimewa yang dimilikinya berwenang memungut pajak (dan pungutan
lain yang bersifat memaksa), sesungguhnya kewenangan itu diberikan
atas persetujuan rakyat dan hanya digunakan untuk keperluan Negara.

b. Bahwa pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara
disamping sumber-sumber pendapatan lainnya yang akan digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan guna mewujudkan cita-
cita atau tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan oleh Alinea
Keempat Pembukaan UUD 1945. Sebagai kewenangan yang diturunkan
dari konsepsi tentang hak, negara tentu tidak wajib menggunakan haknya
untuk memungut pajak, termasuk dalam hal ini Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), jika sumber-sumber pendapatan lainnya mencukupi kebutuhan
dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan guna mencapai cita-cita
atau tujuan negara dimaksud. Namun faktanya, hingga saat ini, pajak
masih menjadi sumber utama pendapatan negara. Meskipun demikian,
dalam memungut pajak, negara tentu harus mempertimbangkan
kemampuan subjek pajak dalam membayar pajak sesuai dengan asas
ability to pay (kemampuan membayar) yang merupakan salah satu asas
penting yang berlaku dalam bidang perpajakan.

c. Bahwa pengenaan pajak atas bumi dan bangunan bukanlah suatu
hal yang baru. Sebagai bagian dari property, khususnya tanah,pengenaan pajak terhadapnya bahkan tergolong yang paling tua di dunia. Di Indonesia, pengenaan pajak atas tanah (bumi) sudah berlangsung
berabad-abad, sejak masa kolonial. Namun, hal itu bukan berarti
landasan filosofis pengenaan pajak atas tanah (bumi) didasarkan atas
hubungan antara penjajah dengan yang dijajah. Landasan filosofis
pengenaan pajak atas tanah (bumi) adalah adanya manfaat atau
kenikmatan yang diperoleh dari tanah (bumi) tersebut yang kemudian
menjadi salah satu asas pengenaan pajak yaitu benefit- received
principle.

d. Bahwa, pengundangan UU PBB, dengan landasan konstitusional
Pasal 23A UUD 1945, adalah salah satu upaya pembaruan sistem
perpajakan dengan menyederhanakan macam-macam pungutan atas
bumi (tanah) dan bangunan serta tarif dan cara pembayarannya. Sebelum diundangkannya UU PBB, terdapat bermacam-macam
pengaturan tentang pungutan atas tanah dan/atau bangunan, di
antaranya Undang-Undang Nomor 11/Prp/1958 untuk tanah yang tunduk
pada hukum adat, Ordonansi Vervonding Indonesia 1923 dan Ordonansi
Vervonding Indonesia 1928 untuk tanah yang tunduk pada hukum Barat,
Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, dan lain-lain pengaturan yang
berkenaan dengan pungutan daerah atas tanah dan bangunan.

e. Bahwa sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan
kewenangan seluas-luasnya kepada Daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga atau pemerintahannya sendiri, di mana untuk
kebutuhan tersebut kepada Daerah juga diberikan kewenangan memungut pajak sebagai salah satu sumber pendapatan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Daerah, pada tahun 2009 diundangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dalam Konsiderans
“Menimbang” UU PDRD dikatakan, antara lain, bahwa pajak dan retribusi
daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting
guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah; bahwa dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah,
perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan
pemberian diskresi dalam penetapan tarif; dan bahwa kebijakan pajak
dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi,
pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas
dengan memperhatikan potensi daerah (vide Konsiderans “Menimbang”
huruf c, huruf d, dan huruf e UU PDRD).

f. Bahwa salah satu perubahan mendasar yang terjadi setelah
diundangkannya UU PDRD adalah dialihkannya Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan (PBB-P2) dari pajak pusat menjadi pajak daerah. Melalui
UU PDRD, seluruh pengelolaan PBB-P2 sepenuhnya dilakukan oleh
Daerah. Adapun yang masih tetap menjadi pajak pusat adalah PBB sektor
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dasar pemikiran dan alasan
pokok dialihkannya PBB-P2 kepada Daerah, sebagaimana diterangkan
oleh Presiden (Pemerintah) dalam persidangan tanggal 14 Februari 2018
adalah:

1. berdasarkan teori, PBB-P2 lebih bersifat lokal (local origin),
visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat
hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak
tersebut (the benefit tax-link principle);

2. pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan sekaligus memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD);

3. untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public service),
akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan PBB-P2; dan

4. berdasarkan praktik di banyak negara, PBB-P2 atau Property Tax
termasuk jenis local tax.


2. Bahwa terhadap dalil para Pemohon terhadap Pasal 4 ayat (1) dan
ayat (2) UU PBB, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa norma UU PBB yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo adalah berkenaan dengan subjek pajak dan kewajiban
membayar pajak dari subjek pajak tersebut. Subjek pajak untuk PBB
adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas
bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan [Pasal 4 ayat
(1) UU PBB] dan kepada mereka dikenakan kewajiban pajak sebagai
Wajib Pajak [Pasal 4 ayat (2) UU PBB]. Dengan konstruksi demikian,
maka telah menjadi jelas dasar pengenaan PBB adalah orang atau badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas bangunan dan negara berwenang untuk memungut pajak
terhadap orang atau badan tersebut. Dengan demikian kewenangan itu
tidak dilakukan secara sewenang-wenang karena sudah diatur secara
tegas dalam undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23A
UUD 1945.

b. Bahwa para Pemohon mengaitkan kewenangan negara memungut
PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB
tersebut dengan hak untuk bertempat tinggal sebagaimana diatur dalam
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan kemudian mendalilkannya sebagai
ketentuan yang inkonstitusional. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah
berpendapat, harus dibedakan antara persoalan kewenangan negara
untuk memungut pajak dan persoalan kewajiban negara untuk memenuhi
hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, kewenangan negara untuk memungut
pajak, termasuk PBB, adalah kewenangan yang sah bukan saja karena
legitimate secara doktriner tetapi terutama karena secara konstitusional
memperoleh landasannya dalam Konstitusi, in casu Pasal 23A UUD 1945.
Sementara itu, hak untuk bertempat tinggal adalah hak konstitusional
yang diturunkan dan merupakan bagian dari kelompok hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya dalam konsepsi hak asasi manusia. Negara memang
wajib menjamin pemenuhan hak-hak ini. Namun, jaminan konstitusional
terhadap hak untuk bertempat tinggal dan kewajiban negara untuk
memenuhi hak tersebut tidaklah meniadakan kewenangan negara untuk
memungut pajak, termasuk PBB dalam kasus a quo. Pemenuhan hak-hak
konstitusional warganya, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak
sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, adalah
persoalan yang berbeda karena bersangkut-paut dengan kewajiban
negara. Dalam kaitan ini Mahkamah penting untuk menegaskan kembali
bahwa berbeda halnya dengan hak asasi manusia yang tergolong ke
dalam hak-hak sipil dan politik di mana pemenuhannya dilakukan dengan
cara negara sebesar mungkin meminimalkan campur tangan
terhadapnya, pemenuhan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
justru menuntut keterlibatan negara di dalamnya sesuai dengan
kemampuannya. Oleh karena itu, pemenuhan jenis hak ini berbeda-beda
derajat atau kualitasnya antara negara yang satu dan negara yang lain
terutama sangat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi atau finansial
masing-masing negara di samping faktor-faktor lainnya, misalnya ideologi
yang dianut oleh suatu negara. Salah satu faktor penting yang
mempengaruhi kemampuan finansial negara adalah justru diperoleh dari
pemungutan pajak. Kalau suatu ketika negara mampu menjamin
pemenuhan hak tersebut dengan cara membebaskan warganya dari
kewajiban membayar pajak, hal itu bukanlah dikarenakan bahwa negara
tidak berhak memungut pajak melainkan semata-mata karena diskresi
negara.

c. Bahwa selain itu, dalam kaitannya dengan PBB, sebagaimana telah
dipertimbangkan pada paragraf [3.10] angka 6 di atas, tidak semua objek
pajak yang berada dalam ruang lingkup PBB diserahkan kepada Daerah,
melainkan hanya yang tergolong ke dalam PBB-P2, sedangkan untuk PBB
yang berkenaan dengan sektor perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan tetap menjadi kewenangan Pusat. Adapun yang menjadi
objek permohonan a quo adalah tergolong ke dalam PBB-P2. Oleh
karena itu, jika Pasal 4 ayat dan ayat (2) UU PBB dinyatakan
inkonstitusional, quod non, sebagaimana didalilkan para Pemohon, maka
tindakan negara memungut PBB untuk sektor perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan menjadi hapus karena turut dinyatakan
inkonstitusional. Hal demikian jelas tidak dapat dibenarkan karena sama
artinya dengan pengingkaran terhadap kewenangan negara untuk
memungut pajak yang bukan hanya memperoleh legitimasi secara
doktriner melainkan juga legitimasi konstitusional sebagaimana
ditegaskan oleh Pasal 23A UUD 1945.

d. Bahwa dalam hubungannya dengan gagasan atau paham negara
kesejahteraan, tidak terdapat relevansinya mengaitkan Pasal 4 ayat (1)
dan ayat (2) UU PBB dengan gagasan negara kesejahteraan (welfare
state). Secara historis maupun ideologis, paham negara kesejahteraan
lahir adalah sebagai reaksi terhadap paham liberalisme dan kapitalisme
klasik serta “turunannya” yaitu negara penjaga malam
(nachtwachtersstaat) yang mengidealkan prinsip “pemerintah yang baik
adalah yang memerintah sesedikit mungkin” (the best government is the
least government). Pada saat yang sama, paham negara kesejahteraan
juga merupakan kritik terhadap sosialisme, khususnya sosialisme yang
kemudian berkembang menjadi “kolektivisme totaliter” yang mengancam
kebebasan atau kemerdekaan individu. Dalam perkembangannya, negara
kesejahteraan mewujudkan dirinya ke dalam beragam bentuk atau model,
di antaranya pengelompokan ke dalam tiga model: social democratic
welfare state (atau disebut juga Scandinavian welfare state), conservative
welfare state, dan liberal welfare state. Dari tiga model negara
kesejahteraan tersebut, tak ada satu pun yang meniadakan kewenangan
negara untuk memungut pajak, lebih-lebih terhadap pajak atas kekayaan
(property tax), di mana PBB termasuk di dalamnya. Hal yang
membedakan ketiga model negara kesejahteraan tersebut, terutama,
adalah luas ruang lingkup jaminan sosial dan cara pendistribusian
kesejahteraan yang ditujukan bagi warganya serta intensitas keterlibatan
negara dalam proses distribusi kesejahteraan tersebut.

e. Bahwa tidak semua warga negara mampu membayar pajak, hal itu
adalah fakta sosial atau kenyataan empirik yang tidak dapat digunakan
sebagai dasar argumentasi untuk menyatakan kewenangan negara
memungut pajak adalah bertentangan dengan UUD 1945. Mengatasi
persoalan ketidakmampuan warga negara membayar pajak merupakan
problem kebijakan pemerintahan dalam mengatasinya. Dalam hal ini
negara (pemerintah) berwenang mengeluarkan kebijakan atau diskresi
tertentu, salah satunya adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
107 ayat (2) UU PDRD yang akan diuraikan dalam pertimbangan
selanjutnya. Sementara itu terhadap dalil para Pemohon perihal adanya
unsur upeti dalam pajak, pertimbangan perihal landasan filosofis pajak
sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya dengan sendirinya telah
menjawab dalil para Pemohon a quo.


3. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah tidak menemukan
adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam rumusan maupun materi
muatan yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB.


4. Menimbang bahwa dengan membaca dan memahami secara
saksama permohonan a quo, sebenarnya yang menjadi keberatan para
Pemohon adalah berkait dengan tarif pajak yang dikenakan yang menurut
para Pemohon berada di luar kemampuan mereka untuk membayar.
Mahkamah dapat memahami keberatan yang dihadapi para Pemohon.
Namun, jalan keluar terhadap keberatan itu bukanlah dengan
mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB
yang nyata-nyata tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap
permasalahan atau keberatan para Pemohon demikian, UU PDRD
sesungguhnya telah memberikan jalan keluar, yaitu Pasal 107 ayat (2) UU
PDRD menyatakan:
“Kepala Daerah dapat:

a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa
bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan
perundang- undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;

b. Mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,
SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;

c. Mengurangkan atau membatalkan STPD;

d. Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang
ditentukan; dan

e. Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak”


Dengan demikian, secara hukum, keberatan para Pemohon terhadap
kewajiban membayar PBB yang didasari oleh alasan kekurangmampuan
finansial dapat menggunakan saluran atau mekanisme di atas, khususnya
sebagaimana yang disediakan oleh Pasal 107 ayat (2) huruf e UU PDRD.
Terkait dengan hal ini, beberapa daerah telah mengeluarkan kebijakan
berupa pengurangan atau bahkan penghapusan kewajiban membayar
PBB terhadap objek pajak dengan nilai tertentu.


5. Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah
terang bagi Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan UUD 1945,
khususnya dengan hak untuk bertempat tinggal sebagaimana diatur
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, adalah tidak beralasan menurut
hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 09-05-2018

Yahya Karomi, S.H, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu
Hendrayana, S.H., M.H., Herry Suherman, S.H., Wiwin Taswin, S.H., dan
Sugeng Susilo, S.H., M.H.

Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2011 dan Pasal 24 UU
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU No. 2
Tahun 2008)

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon 23 ayat (2)
dan Pasal 23 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2011, Pasal 24 UU No. 2 Tahun
2008, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

1) Bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian permohonan dan
dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan berkait
dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, menurut Mahkamah
Pemohon telah membuktikan sebagai anggota partai politik, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan yang dibuktikan melalui bukti P-6 berupa Tanda
Anggota Partai Persatuan Pembangunan, bertanggal 1 September 2012
atas nama Pemohon. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah dalam
beberapa putusan sebelumnya telah mempertimbangkan dan memutus
mengenai kedudukan hukum partai politik maupun anggota/pengurus
suatu partai politik yang partai politiknya memiliki anggota di DPR dan
turut serta dalam pembahasan pembentukan undang-undang sebagai
Pemohon dalam pengujian undang-undang.

2) Bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-
XIII/2015, bertanggal 21 Juni 2016, telah mempertimbangkan sebagai
berikut:
“...bahwa, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum pada huruf b
sampai dengan huruf j di atas, dan dengan mengetengahkan pula fakta
putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah sebagaimana telah
diuraikan pada huruf k di atas, Mahkamah, dalam perkara a quo, perlu
menegaskan kembali bahwa terkait pembatasan pemberian kedudukan
hukum bagi anggota partai politik baik yang menjadi Anggota DPR,
Anggota DPRD, Caleg DPR atau DPRD, maupun yang berstatus hanya
sebagai anggota atau pengurus partai politik, untuk mengajukan
pengujian Undang-Undang, adalah dalam kaitannya untuk menghindari
terlanggarnya etika politik atau mencegah terjadinya konflik kepentingan
yang terkait langsung dengan adanya hak dan/atau kewenangan yang
melekat pada DPR secara institusi untuk membentuk Undang-Undang
dan/atau Anggota DPR untuk mengusulkan rancangan Undang-Undang
sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor
20/PUU-V/2007, serta yang terkait pula dengan hak dan/atau
kewenangan lainnya yang dimiliki oleh DPR dan/atau Anggota DPR yang
diatur dalam UUD 1945 yang oleh Mahkamah, beberapa di antaranya,
telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 dan
Putusan Nomor 38/PUU-VII/2010. Adapun terhadap persoalan
konstitusionalitas lainnya khususnya yang terkait dengan kedudukan
hukum mereka sebagai warga negara Indonesia yang mempersoalkan
konstitusionalitas Undang-Undang apa pun yang dikaitkan dengan hak-
hak konstitusionalitas selaku warga negara Indonesia baik perorangan
dan/atau kelompok orang - kecuali terhadap Undang-Undang yang
mengatur kedudukan, wewenang, dan/atau hak DPR secara institusi
dan/atau Anggota DPR – Mahkamah akan memeriksa dengan saksama
dan memberikan pertimbangan hukum tersendiri terhadap kedudukan
hukum mereka dalam perkara tersebut sesuai dengan kerugian
konstitusional yang didalilkan;” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 7/PUU-XIII/2015, bertanggal 21 Juni 2016, halaman 47-48]

3) Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-
XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017, telah mempertimbangkan sebagai
berikut:
“bahwa permasalahan yang dikemukakan para Pemohon adalah adanya
konflik internal mengenai kepengurusan DPP PPP, yang menurut para
Pemohon disebabkan oleh ketidakjelasan Pasal 23 dan Pasal 33 UU
2/2011. Mahkamah menilai bahwa sebagai perorangan warga negara
Indonesia para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum untuk
mengajukan permohonan pengujian ketentuan a quo. hal demikian
karena, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 23 dan Pasal 33 UU 2/2011
adalah ketentuan yang secara spesifik mengatur partai politik, dan bukan
mengatur hak perorangan warga negara Indonesia. [vide Putusan MK
Nomor 35/PUU-XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017, halaman 97]

4) Bahwa berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 45/PUU-XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017, telah
mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa dengan fakta PPP ikut terlibat dalam pembentukan norma yang
dimohonkan pengujian, meskipun Pemohon mendalilkan dirinya sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang juga tidak dapat dilepaskan
dari statusnya sebagai anggota dan/atau pengurus PPP, telah jelas bagi
Mahkamah bahwa jikalaupun ada kerugian yang dialami akibat
berlakunya norma dimaksud, bukanlah terjadi pada diri Pemohon
sebenarnya merupakan persoalan institusional partai politik.” [vide
Putusan MK nomor 45/PUU-XIV/2016, bertanggal 25 Januari 2017,
halaman 97]

5) Bahwa berdasarkan pertimbangan pada putusan-putusan
Mahkamah di atas, karena Pemohon mendalilkan sebagai anggota partai
politik yaitu PPP, di mana partai tersebut terlibat dalam pembahasan dan
persetujuan bersama RUU menjadi undang-undang, dalam hal ini UU
2/2011 dan UU 2/2008, maka menurut Mahkamah Pemohon tidak
memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang a quo, baik secara perorangan
maupun mewakili DPC PPP Kabupaten Cilacap. Selain itu tidak ada
kejelasan mengenai apakah dalam kasus konkrit Pemohon, terdapat
persoalan tentang kejelasan status keanggotaan Pemohon dalam partai a
quo, karena sebagaimana diungkapkan oleh Pemohon sendiri, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan keputusan
mengenai pengesahan kepengurusan PPP, sehingga menurut Mahkamah
tidak ada uraian yang jelas mengenai hubungan sebab akibat antara
norma yang diajukan untuk diuji dengan kerugian atau potensi kerugian
Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.

6) Menimbang bahwa terkait dengan putusan-putusan Mahkamah di
atas, Mahkamah juga telah membuat pengecualian dengan memberikan
kedudukan hukum (legal standing) terhadap anggota DPR dalam
pengujian Undang-Undang dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VIII/2010, bertanggal
12 Januari 2011, yang dalam pertimbangannya menyatakan pada
pokoknya:
“...Menimbang bahwa terkait dengan kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon sebagai anggota DPR dalam Permohonan ini, Mahkamah
berpendapat bahwa objectum litis permohonan para Pemohon adalam
Pasal 184 ayat (4) UU27/2009 yang menentukan batas minimum jumlah
quorum adalah 3/4 dari jumlah anggota DPR dan untuk pengambilan
keputusan harus disetujui oleh paling sedikit 3/4 dari anggota DPR yang
hadir sebagai syarat agar secara instutisional DPR dapat menggunakan
hak menyatakan pendapat. Menurut Mahkamah “hak menyatakan
pendapat” dalam ketentuan a quo terkait dengan hak konstitusional yang
melekat hanya pada anggota DPR dan tidak merupakan hak warga
negara yang lainnya. Dengan kata lain, DPR sebagai institusi dapat
menggunakan hak tersebut, hanya dengan persetujuan para anggota
DPR yang masing-masing memiliki hak yang dijamin oleh konstitusi untuk
mengontrol jalannya pemerintahan negara. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, para Pemohon selaku anggota DPR di samping memiliki hak
yang secara tegas diatur dalam Pasal 20A ayat (3) dan Pasal 21 UUD
1945 juga memiliki hak-hak konstitusional yang melekat pada hak DPR
sebagai institusi. Konstruksi ini menjadi sangat wajar apabila dikaitkan
dengan prinsip bahwa jabatan anggota DPR adalah jabatan majemuk
yakni jabatan dalam suatu institusi yang keputusannya harus ditetapkan
secara kolektif melalui mekanisme dan quorum tertentu. Dalam kaitan
dengan permohonan ini, hak konstitusional untuk ikut memutuskan
penggunaan “hak menyatakan pendapat” sebagai mekanisme kontrol DPR
atas suatu kebijakan pemerintah, dapat terhalang atau tidak dapat
dilaksanakan dengan adanya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU a quo.
Apalagi jika dikaitkan dengan posisi para Pemohon sebagai anggota DPR
yang jumlahnya minoritas dalam kaitan dengan hal-hal tertentu yang
harus diputuskan oleh DPR seperti dalam hak menyatakan pendapat
menjadi tidak mungkin diloloskan dengan persetujuan 3/4 anggota DPR,
padahal hak menyatakan pendapat adalah dalam rangka berjalannya
sistem demokrasi yaitu check and balance antara lembaga DPR dan
Pemerintahan. Jika demikian maka tidak akan ada suatu mekanisme
untuk meluruskan jalannya sistem demokrasi melalui lembaga DPR
karena syarat persetujuan dan quorum menjadi sangat tinggi (mayoritas
mutlak yaitu 3/4 anggota DPR). Dengan demikian, dalam kasus ini, posisi
anggota DPR berbeda dengan posisi anggota DPR dalam Putusan
Mahkamah Nomor 20/PUU-V/2007, bertanggal 17 Desember 2007 dan
Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009, bertanggal 3 Juni 2010, karena dalam
perkara ini yang dipersoalkan adalah hak eksklusif yang hanya dimiliki
oleh para anggta DPR. Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, para
Pemohon sebagai anggota DPR khusus dalam permohonan ini memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;” [vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VIII/2010, bertanggal 12 Januari
2011, halaman 90-91]

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XIII/2015, bertanggal
21 Juni 2016, yang pada pertimbangannya menyatakan:
“...bahwa, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum pada huruf b
sampai dengan huruf j di atas, dan dengan mengetengahkan pula fakta
putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah sebagaimana telah
diuraikan pada huruf k di atas, Mahkamah, dalam perkara a quo, perlu
menegaskan kembali bahwa terkait pembatasan pemberian kedudukan
hukum bagi anggota partai politik, untuk mengajukan pengujian Undang-
Undang, adalah dalam kaitannya untuk menghindari terlanggarnya etika
politik atau mencegah terjadinya konflik kepentingan yang terkait
langsung dengan adanya hak dan/atau kewenangan yang melekat pada
DPR secara institusi untuk membentuk Undang-Undang dan/atau Anggota
DPR untuk mengusulkan rancangan Undang-Undang sebagaimana telah
dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 20/PUU-V/2007, serta
yang terkait pula dengan hak/dan atau kewenangan lainnya yang dimiliki
oleh DPR dan/atau Anggota DPR yang diatur dalam UUD 1945 yang oleh
Mahkamah, beberapa di antaranya, telah dipertimbangkan dalam Putusan
Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 38/PUU-VIII/2010.
Adapun terhadap persoalan konstitusionalitas lainnya khususnya yang
terkait dengan kedudukan hukum mereka sebagai warga negara
Indonesia yang mempersoalkan konstitusionalitas Undang-Undang apa
pun yang dikaitkan dengan hak-hak konstitusionalitas selaku warga
negara Indonesia baik perorangan dan/atau kelompok orang – kecuali
terhadap Undang-Undang yang mengatur kedudukan, wewenang,
dan/atau hak DPR secara institusi dan/atau Anggota DPR – Mahkamah
akan memeriksa dengan saksama dan memberikan pertimbangan hukum
tersendiri terhadap kedudukan hukum mereka dalam perkara tersebut
sesuai dengan kerugian konstitusional yang didalilkan;” [vide Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XIII/2015, bertanggal 21 Juni 2016,
halaman 47-48]

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, bertanggal
7 September 2016, yang pada pokoknya menyatakan:
“... Dari pertimbangan hukum putusan Mahkamah tersebut [Putusan
Mahakamah Nomor 7/PUU-XIII/2015], maka warga negara Indonesia
yang juga menyandang status sebagai anggota DPR-RI akan
dipertimbangkan tersendiri terhadap kedudukan hukumnya sesuai dengan
kerugian konstitusional yang didalilkan...Bahwa dengan mendasarkan
pada uraian tersebut di atas, Pemohon selaku warga negara Indonesia
yang juga merupakan anggota DPR-RI memiliki hak konstitusional yang
ditentukan dalam UUD 1945 yang secara aktual dirugikan oleh berlakunya
frasa “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan
Pasal 26A UU Tipikor, Kejaksaan Agung telah menggunakan alat bukti
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik untuk melakukan
penyelidikan dan pemanggilan terhadap Pemohon, padahal alat bukti
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dilakukan oleh
orang atau lembaga yang tidak berwenang untuk itu. Kerugian
konstitusional Pemohon tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan
berlakunya frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 44 huruf b UU ITE dan
Pasal 26A UU Tipikor. Apabila permohonan Pemohon tersebut dikabulkan
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.”
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, bertanggal
7 September 2016, halaman 88-89]

7) Bahwa berdasarkan putusan tersebut diatas, pengecualian
pemberian legal standing kepada Pemohon-Pemohon tersebut
mempunyai alasan yang spesifik dan Pemohon dalam perkara a quo tidak
termasuk dalam salah satu spesifikasi dalam putusan-putusan Mahkamah
di atas. Terlebih lagi permohonan a quo berkenaan dengan Undang-
Undang Partai Politik yang sejak dari awal Mahkamah tidak pernah
memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada anggota atau
pengurus partai politik karena enyangkut adanya konflik kepentingan
(conflict of interest) partai politik yang ikut membahas dan menyetujui
Undang-Undang a quo.

8) Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-
Undang a quo.

9) Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN, PEMBUDI DAYA IKAN, DAN PETAMBAK GARAM / 09-05-2018

Gerakan Poros Maritim (GEOMARITIM).

Pasal 37 ayat (3)

Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Badan Keahlian DPR RI.

1) Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU
MK dan putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing)
serta dikaitkan dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh
Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut

2) Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum berbentuk
perkumpulan bernama Gerakan Poros Maritim Indonesia (Geomaritim
Indonesia) yang dibentuk pada tanggal 28 Oktober 2017 berdasarkan
Akta Nomor 52 yang dibuat oleh Notaris Rakhmat Mushawwir Rasyidi,
S.H., M.K.N., dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum oleh
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-
0015583.AH.01.07. Tahun 2017 tentang Pengesahan Pendirian Badan
Hukum Perkumpulan Badan Gerakan Poros Maritim Indonesia (vide bukti
P-6) diwakili oleh Ketua Umum dan Wakil Sekretaris Jenderal dalam
mengajukan permohonan a quo;

3) Bahwa dalam Pasal 8 (Struktur Kepengurusan) Anggaran Dasar
Geomaritim Indonesia, menyatakan “Dewan Pimpinan Pusat dipimpin
oleh/dan disebut Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, dan Bendahara
Umum”. Kemudian dalam Anggaran Rumah Tangga Geomaritim
Indonesia, Bab II Dewan Pimpinan, Pasal 7 ayat (1) huruf f, menyatakan
“Tugas dan Wewenang Dewan Pimpinan: 1.Ketua Umum dan atau Ketua
Provinsi/Ketua Kabupaten/Ketua Kota/dan Ketua Kecamatan: ... f.
Menandatangani Surat Organisasi ke luar dan ke dalam”. (vide bukti P-7);

4) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Perkumpulan Geomaritim Indonesia sebagaimana
tersebut pada angka 3 di atas, menurut Mahkamah kewenangan yang
dimiliki oleh Ketua Umum dan atau Ketua Provinsi/Ketua
Kabupaten/Ketua Kota/dan Ketua Kecamatan, yaitu “Menandatangani
Surat Organisasi ke luar dan ke dalam” tidak bisa dimaknai sebagai orang
yang dapat mewakili kepentingan Pemohon untuk bertindak baik ke
dalam maupun ke luar pengadilan, dalam hal ini ke Mahkamah sebagai lembaga Peradilan Konstitusi. Selain itu ketentuan Anggaran Rumah Tangga tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian karena memberikan kewenangan kepada seluruh Dewan Pimpinan Perkumpulan Geomaritim Indonesia, baik Ketua Umum dan atau Ketua Provinsi/Ketua Kabupaten/Ketua Kota/dan Ketua Kecamatan untuk menandatangani
surat organisasi baik ke dalam maupun ke luar. Pemberian kewenangan
kepada seluruh Dewan Pimpinan pada setiap tingkatan tersebut dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum siapa yang berhak mewakili atau
bertindak hukum baik ke dalam maupun ke luar, hanya bersifat
administratif bukan secara tegas memberikan kewenangan untuk
bertindak secara hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan,
termasuk dalam hal ini pengajuan permohonan pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perkumpulan
Geomaritim Indonesia tidak menyatakan secara tegas ketentuan
mengenai siapa yang berwenang mewakili Perkumpulan Geomaritim
Indonesia “baik ke dalam maupun ke luar pengadilan” apabila terdapat
permasalahan hukum yang dialami oleh badan hukum perkumpulan
dengan menggunakan nama Geomaritim Indonesia.

5) Bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada angka 4 di atas,
Mahkamah perlu menegaskan bahwa setiap Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga perkumpulan atau organisasi harus menyatakan
secara tegas mengenai siapa yang diberikan kewenangan dalam
melakukan tindakan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan
guna memperoleh kepastian hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;

6) Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, Mahkamah tidak
mendapatkan keyakinan akan adanya kebenaran kerugian konstitusional
sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon untuk dapat dijadikan dasar
bagi Mahkamah dalam menilai bahwa Pemohon mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 26-04-2018

Ahmad Ridha Sabana dan Abdullah Mansuri, dalam hal ini diwakili oleh M.
Maulana Bungaran, S.H., dkk.

Pasal 414 ayat (1)

Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1)

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang – Undang
Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 414 ayat (1) UU PEMILU, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa pengujian norma parliamentary threshold yang diatur dalam
Pasal 208 UU 8/2012 terakhir adalah melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 56/PUU-XI/2013, bertanggal 7 Mei 2014, dalam
permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 208 UU 8/2012, dengan
dasar pengujian adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22B, Pasal 22E ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (3) UUD 1945, dengan amar putusan menyatakan menolak
permohonan Pemohon. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah
menyatakan bahwa terhadap pasal atau ayat dari UUD 1945 yang telah
dijadikan dasar pengujian dalam permohonan sebelum permohonan a
quo, pertimbangan dalam permohonan tersebut mutatis mutandis
menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo. Dengan demikian
masih terdapat dasar pengujian yang berbeda yakni Pasal 6 ayat (2),
Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22B, Pasal 22E
ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Terhadap dasar pengujian
yang berbeda tersebut, Mahkamah antara lain menegaskan kembali
dalam pertimbangan hukumnya bahwa ketentuan PT 3,5% merupakan
kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang sebagai politik
penyederhanaan kepartaian yang tidak bertentangan dengan UUD 1945;

2) Bahwa meski undang-undang yang diuji dalam permohonan a quo
berbeda, akan tetapi norma yang diuji secara substansi tidak berbeda
dengan norma yang telah dinilai oleh Mahkamah melalui putusan-putusan
yang diuraikan di atas, khususnya putusan yang berkenaan dengan
parliamentary threshold untuk keanggotaan DPR, di mana Mahkamah
telah menegaskan pendiriannya bahwa hal tersebut berkaitan dengan
politik penyederhanaan kepartaian dengan menyatakan open legal policy
sepanjang tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan
rasionalitas. Demikian juga dengan dasar pengujian yang dipergunakan
dalam permohonan a quo yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, telah dijadikan dasar pengujian dalam
permohonan- permohonan sebelum permohonan a quo yang telah
diputus melalui putusan-putusan sebagaimana diuraikan di atas. Selain
itu, alasan-alasan permohonan a quo juga tidak didasarkan pada alasan-
alasan konstitusionalitas yang berbeda dengan permohonan-permohonan
sebelum permohonan a quo dan telah pula dipertimbangkan dalam
putusan-putusan sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian
berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan Pemohon adalah
ne bis in idem.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 99/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA / 26-04-2018

Nina Handayani, dalam hal ini diwakilkan oleh kuasa hukumnya yaitu Dr.
Youngki Fernando, SH., MH.

Penjelasan Pasal 2 angka ke-1

Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1),
Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (3)

Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang
Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Penjelasan Pasal 2 angka ke-1 UU
Peradilan Agama, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa setelah Mahkamah mempelajari dengan seksama
permohonan Pemohon, khususnya bukti-bukti yang diajukan Pemohon,
ternyata tidak ditemukan adanya bukti yang dapat memperkuat dalil
Pemohon, khususnya yang terkait dengan kedudukan hukum (legal
standing) bahwa Pemohon adalah pihak yang dirugikan dengan adanya
Putusan Pengadilan Agama Cibadak Nomor 101/Pdt.G/2007/PA.Cbd
tanggal 26 Februari 2008 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Bandung Nomor 89/Pdt.G/2008/PTA.Bdg tanggal 30 Oktober 2008 juncto
Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/AG/2009 tanggal 17 Juli 2009,
maupun Akta Cerai Nomor 139/AC/2010/PA.Cbd tanggal 10 April 2010,
padahal bukti-bukti tersebut sangat penting untuk membuktikan dalil
Pemohon terkait dengan anggapannya perihal kerugian hak
konstitusionalnya, sehingga Mahkamah sulit menemukan adanya
hubungan hukum antara Pemohon dengan WNA yang bernama Mohd
Zuki bin Daud (warga Negara Malaysia). Demikan juga hubungan
Pemohon dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang
disebabkan oleh berlakunya norma sebagaimana yang dimaksud dalam
Penjelasan Pasal 2 angka 1 UU Peradilan Agama, karena Mahkamah
hanya menemukan dua bukti dari Pemohon masing-masing berupa
fotokopi UUD 1945 dan fotokopi UU Peradilan Agama.

2) Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, Mahkamah tidak
mendapatkan keyakinan akan adanya kebenaran kerugian konstitusional
sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon untuk dapat dijadikan dasar
bagi Mahkamah dalam menilai bahwa Pemohon mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

3) Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili perkara a quo,
namun oleh karena Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing), maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 1964 TENTANG DANA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN / 26-04-2018

Maria Theresia Asteriasanti

Pasal 4 ayat (1) UU 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat “Yang mendapatkan
jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di
luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”.

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 34 Tahun 1964
sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-
undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang
menyebabkan kecelakaan”, MK memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut:

1) Bahwa masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yaitu sepanjang frasa “Yang
mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang
berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”.
Penjelasan dimaksud dianggap telah menyebabkan terjadinya ketidak-
pastian hukum terhadap Pemohon untuk mendapatkan dana santunan
kecelakaan tunggal suaminya. Pada saat yang sama, menurut Pemohon,
keberadaan frasa di dalam penjelasan itu pun telah menyebabkan
terjadinya diskriminasi terhadap warga negara. Dengan alasan itu,
Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 terlanggar
dan/atau potensial terlanggar. Karena itu, untuk mengakhiri atau
menghindari kerugian konstitusional atau potensi kerugian yang
dialaminya, Pemohon meminta agar frasa “Yang mendapatkan jaminan
berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar
alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945.

2) Bahwa menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang a quo hanya menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan
frasa “setiap orang” dan menjelaskan frasa “disebabkan oleh alat
angkutan” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, bukan menambah norma
baru. Sebab memang seperti itulah maksud dibuatnya Undang-Undang a
quo. Dalam hal ini, frasa “setiap orang” dimaksudkan sebagai bukan tiap-
tiap orang, melainkan hanya mereka yang berada di jalan. Frasa “oleh
alat angkutan” dijelaskan dengan frasa “di luar alat angkutan”, yang
berarti sebagai faktor eksternal yang menyebabkan seseorang mati atau
cacat tetap. Artinya hanya orang yang mengalami kecelakaan di jalan
yang disebabkan oleh alat angkutan sebagai faktor eksternal saja yang
diatur sebagai subjek yang akan menerima dana kerugian akibat
kecelakaan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964
sama sekali tidak mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) melainkan hanya
memperjelas atau membuat terang saja, yang justru menjamin bahwa
Undang-Undang a quo sejalan dengan maksud pembentukannya.

3) Bahwa kesan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo
mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) sebagaimana didalilkan Pemohon
timbul jika tidak memperhatikan hubungan sistematis semua norma
Undang-Undang a quo, mulai dari konsideran, batang tubuh dan
penjelasannya. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya sekadar memperjelas
maksud yang dikehendaki Pasal 4 ayat (1), sehingga ia tidak dapat
dianggap atau dinilai telah membuat peraturan lebih lanjut atau
mencantumkan rumusan yang berisi norma baru. Demikian pula apabila
dihubungkan dengan paradigma jaminan sosial dalam UU 34/1964, dalil
bahwa penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo telah
mempersempit maksud norma Pasal 4 ayat (1) juga tidak beralasan.
Sebab, penjelasan Pasal 4 ayat (1) justru bertujuan untuk mempertegas
konsistensi Pasal 4 ayat (1) dengan filosofi atau paradigma dan tujuan
dibentuknya UU 34/1964. Dengan penjelasan itu, makin terang bahwa
pertanggungan yang diatur dalam UU 34/1964 adalah untuk orang yang
menjadi korban kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan dan
orang itu berada di luar alat angkutan dimaksud. Bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.

4) Bahwa sebelum lebih jauh memberikan pendapat terkait dalil a quo,
perlu dipertegas, dalam sejumlah putusan terdahulu Mahkamah telah
memberikan pembatasan terhadap apa yang dimaksud dengan
diskriminasi. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-
V/2007, bertanggal 11 Desember 2007, yang menyatakan bahwa
diskriminasi sebagai sesuatu yang dilarang dalam rangka perlindungan
hak asasi manusia adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya”. [vide Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Article 2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political
Rights]. Berdasarkan pengaturan tersebut, diskriminasi adalah berbeda
dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak
asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan
hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan
undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.

5) Bahwa dalil Pemohon, yaitu ihwal siapa subjek yang dapat
menerima dana pertanggungan dari sistem pertanggungjawaban wajib
kecelakaan lalu-lintas jalan dalam Undang-Undang a quo telah
menyebabkan terjadinya diskriminasi, menurut Mahkamah tidaklah tepat.
Sebab, pertama, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasannya, UU
34/1964 memang membatasi hak sejumlah orang untuk dapat menjadi
subjek penerima pembayaran dana pertanggunggan kecelakaan. Di
mana, hanya orang atau mereka yang berada di jalan di luar alat
angkutan saja yang berhak mendapatkan jaminan. Hanya saja,
pembatasan dimaksud sama sekali bukan pembatasan untuk tujuan
memberikan perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pembatasan hanya
dilakukan atas dasar jenis korban kecelakaan. Pembatasan yang demikian
sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif.
Lebih-lebih, kebijakan atau aturan tersebut berlaku secara umum bagi
semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kedua,
bahwa sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana
disinggung sebelumnya, pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat
dilakukan dengan undang-undang sepanjang sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis. Dalam hubungannya dengan pokok
permohonan a quo, paradigma pembentukan UU 34/1964 adalah
berangkat dari paradigma perlindungan bagi masyarakat lain yang
menjadi korban kecelakaan lalu lintas, di mana kecelakaan terjadi bukan
karena kesalahannya, tidak bertentangan dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, dan juga ketertiban umum. Masyarakat yang menjadi
korban kecelakaan lalu lintas memang selayaknya mendapatkan jaminan
dari negara dan dibayarkan dari iuran wajib yang dibebankan kepada
setiap pemilik atau pengusaha angkutan umum. Oleh karena itu,
penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak dapat dinilai
telah mengandung diskriminasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon.

6) Bahwa lebih jauh, sehubungan dengan kasus konkret yang dialami
oleh Pemohon, di mana suami Pemohon yang mengalami kecelakaan
tunggal akibat mengantuk sehingga motor yang dikendarainya menabrak
pembatas jalan sehingga jatuh dan berujung dengan meninggal dunia,
termasuk jenis kecelakaan tunggal yang memang tidak dapat ditanggung
sesuai dengan UU 34/1964. Meski demikian, sebagaimana diterangkan
Pihak Terkait, kepada keluarga yang bersangkutan telah diberikan
santunan secara ex-gratia sebagai kebijakan perusahaan sesuai dengan
Keputusan Direksi Nomor KEP/205.2/2013, tanggal 31 Oktober 2013.
Secara sepintas, kebijakan tersebut terkesan telah bertentangan dengan
pembatasan subjek yang berhak menerima jaminan berdasarkan Pasal 4
ayat (1) UU 34/1964, namun kebijakan tersebut masih dalam kerangka
perlindungan terhadap masyarakat dalam kecelakaan lalu-lintas. Lebih
jauh, sepanjang santunan secara ex-gratia tidak diposisikan dan tidak
dimaksudkan sebagai bagian dari jaminan kecelakaan sesuai Undang-
Undang a quo, maka diskresi itu sama sekali tidak keluar dari apa yang
diatur Undang-Undang dimaksud.

7) Bahwa, sebaliknya, pemberian santunan secara ex-gratia justru
semakin mempertegas bahwa regulasi terkait jaminan sosial kecelakaan
yang diatur dalam UU 34/1964 sama sekali tidak mengandung
diskriminasi. Santunan ex-gratia merupakan wujud kepedulian negara
terhadap korban kecelakaan tunggal yang memenuhi syarat-syarat
tertentu, salah satunya korban merupakan kepala keluarga. Dalam hal ini,
negara tidak serta-merta diam saja dalam kasus kecelakaan tunggal,
melainkan telah mengambil bagian melalui jalur yang bukan merupakan
bagian dari jaminan sosial yang diatur UU 34/1964. Perihal belum adanya
pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang
santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu
tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab
memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini.
Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan
bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan
sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang
karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan
“menyalahkan” undang-undang a quo.

8) Bahwa terkait asuransi yang dapat diterima suami Pemohon sebagai
korban kecelakaan tunggal, sebagaimana diterangkan Pemerintah, hal itu
dapat ia peroleh dari asuransi kecelakaan kerja sesuai Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam
konteks ini, kesempatan pemohon untuk memperoleh asuransi terkait
kecelakaan yang dialami sama sekali tidak tertutup, melainkan terdapat
sarana lain yang lebih sesuai. Sehubungan dengan itu, dalil Pemohon
berkenaan dengan keberadaan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964
telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

9) Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang frasa “Yang
mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang
berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”
tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN / 28-03-2018

oleh Dasrul dan Hanna Novianti Purnama, dalam hal ini diwakili oleh kuasa
hukumnya yaitu Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dkk.

Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 dan Pasal 39 ayat (3) UU
14/2005

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Para Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1)
UU 35/2014 dan Pasal 39 ayat (3) UU 14/2005, MK memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014
mengatur mengenai perlindungan anak dari tindak kekerasan atau
kejahatan lainnya yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Perlindungan tersebut diperlukan karena suasana pendidikan harus
merupakan proses pemuliaan bakat, minat dan kemampuan peserta didik
yang bebas dari kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, dan bentuk kekeraasan lain yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain
yang dapat mengurangi makna pendidikan sebagai proses pemuliaan.
Definisi kekerasan itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 15a UU 35/2014
adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 merupakan wujud
konkret Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada setiap
orang, terutama kepada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Sejalan dengan UUD
1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang telah
diratifikasi oleh negara Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child
(Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) tidak memberikan ruang pengecualian
kepada siapapun untuk melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk
kekerasan yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik walaupun
dengan dalih untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan
peserta didik. Proses pendisiplinan peserta didik harus dimaknai sebagai
upaya sistemik untuk meningkatkan kematangan moral peserta didik
melalui proses yang bersifat mendidik dan mencerdaskan. Adapun
pemberian sanksi kepada peserta didik seharusnya merupakan bimbingan
dan pengarahan pelaku serta pengendaliannya dengan kasih sayang.
Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan
ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan.
Pendidik perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan
menghukum peserta didik saat peserta didik melakukan kesalahan. Untuk
mendukung hal tersebut dibutuhkan kesiapan dan kapasitas pendidik dan
institusi pendidikan dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
terkait metode disiplin positif terhadap para peserta didik yang tidak
mengandalkan hukuman fisik. Metode disiplin positif tersebut terbukti
secara ilmiah lebih efektif dalam meningkatkan rasa hormat pada guru,
tanggung jawab atas partisipasi mereka di sekolah, dan kemampuan
peserta didik menyerap pelajaran yang diberikan. Pendidik dituntut
berperan sebagai orangtua yang dapat merasakan apa yang dirasakan
anak didiknya. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 6 ayat (1) huruf f Kode
Etik Guru Indonesia menyatakan, “Guru menjalin hubungan dengan
peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri
dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”.
Kekerasan sebagai alat untuk mendidik pada masa sekarang ini sudah
tidak relevan, hukuman dalam proses pendidikan harus digunakan dalam
rangka mendidik, membimbing, dan mencerdaskan peserta didik. Dengan
demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1a)
dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 bertentangan dengan UUD 1945
adalah tidak beralasan menurut hukum;

2) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang berkenaan dengan Pasal
39 ayat (3) UU 14/2005, Mahkamah berpendapat, sesuai dengan pokok
pikiran yang terkandung dalam Konsiderans “Menimbang “ UU 14/2005,
pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia
Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat
strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Dalam
hal ini, Pasal 1 angka 1 UU 14/2005 menyatakan, “Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasarr, dan
pendidikan menengah”. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional
berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai
agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Terkait denngan peran strategis tersebut, negara dan semua wajib
memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas mulia
mereka. Pasal 39 ayat (3) UU 14/2005 merupakan ketentuan yang
mengatur mengenai perlindungan hukum bagi guru yang mencakup
perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik,
orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Perlindungan kepada guru tersebut merupakan pengejawantahan dari
tujuan pembentukan Negara Indonesia yakni melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Adanya kasus banyak guru yang
dilaporkan oleh peserta didik ataupun oleh orangtua peserta didik kepada
kepolisian dikarenakan memberikan sanksi guna penegakan disiplin
kepada peserta didik tidaklah dapat diartikan bahwa Pasal 39 ayat (3) UU
14/2005 belum memberikan perlindungan kepada guru dan oleh
karenanya bertentangan dengan UUD 1945. Pada hakikatnya guru
memiliki sisi insani yang membutuhkan kenyamanan dan rasa aman, tidak
hanya lingkungan fisik tetapi juga emosi. Koreksi terhadap tindakan guru
tetap dibutuhkan namun jangan sampai mengakibatkan demotivasi
massal.

3) Bahwa sebagai langkah konkret Pemerintah dalam komitmennya
memberikan perlindungan terhadap guru, Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2008 tentang Guru sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (selanjutnya
disebut PP tentang Guru) serta Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (selanjutnya disebut Permendikbud 10/2017)
memberikan perlindungan kepada guru yang meliputi: kesatu,
perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (vide Pasal
41 ayat (1) PP tentang Guru juncto Pasal 2 ayat (3) Permendikbud
10/2017); kedua, perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan
kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam
menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan
atau pelarangan lain yang dapat menghambat Guru dalam melaksanakan
tugas (vide Pasal 41 ayat (2) PP tentang Guru juncto Pasal 2 ayat (4)
Permendikbud 10/2017); ketiga, perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja dari satuan pendidikan dan penyelenggara satuan
pendidikan terhadap risiko gangguan kemanan kerja, kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja
dan/atau risiko lain (vide Pasal 41 ayat (3) PP tentang Guru juncto Pasal 2
ayat (5) Permendikbud 10/2017); dan keempat, perlindungan dalam
melaksanakan hak atas kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, yakni terhadap hak cipta dan/atau hak
kekayaan intelektual industri (vide Pasal 42 PP tentang Guru juncto Pasal
2 ayat (6) Permendikbud 10/2017). Semua bentuk perlindungan yang
diberikan kepada guru tersebut merupakan kewajiban Pemerintah,
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, satuan pendidikan,
organisasi profesi, dan/atau masyarakat. Adapun terkait dengan
Pemerintah, perlindungan terhadap guru tersebut dilakukan oleh
kementerian yang menangani urusan Pemerintahan bidang pendidikan
atau kementerian lain yang menyelenggarakan urusan Pemerintah di
bidang pendidikan yakni dalam bentuk advokasi nonlitigasi berupa
penyelesaian perkara di luar pengadilan yang meliputi konsultasi hukum,
mediasi, dan/atau pemenuhan dan/atau pemulihan hak Pendidik dan
Tenaga Kependidikan. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa Pasal 39 ayat (3) UU 14/2005 belum memberikan
jaminan perlindungan kepada guru khususnya perlindungan hukum
terhadap guru dari tindakan kriminalisasi dalam melaksanakan tugas
adalah tidak beralasan menurut hukum;

4) Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalam kaitannya
dengan tindak pidana, baik yang dilakukan oleh pendidik terhadap
peserta didik maupun oleh peserta didik terhadap pendidik, hal itu tetap
merupakan tindak pidana yang dapat diterapkan kepada kedua belah
pihak baik pendidik maupun peserta didik dengan tetap mengedepankan
prinsip-prinsip restorative justice dan/atau penyelesaian secara
kekeluargaan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan oleh akibat
yang timbul karena adanya tindak pidana baik yang dilakukan oleh
pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi,
ataupun pihak lain. Dalam konteks demikian, keberadaan dan peran
Dewan Kehormatan Guru haruslah dioptimalkan. Sehingga dalam hal
terdapat indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pendidik, sebelum
dilakukan tindakan hukum oleh penegak hukum terlebih dahulu haruslah
diberikan kesempatan kepada Dewan Kehormatan Guru untuk
menyampaikan pendapat dan rekomendasinya, hal ini sesuai dengan
fungsi dan peran Dewan Kehormatan Guru sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 ayat (3) UU 14/2005 yang menyatakan, “Dewan Kehormatan
Guru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk untuk mengawasi
pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian
sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru”. Dengan cara demikian,
penegakan hukum pidana benar-benar berfungsi sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium);

5) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah
berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH / 28-03-2018

PT. Harapan Sinar Abadi yang diwakili oleh Henny Victoria

Pasal 9 ayat (2a), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (3) huruf c UU KUP dan
Pasal 9 ayat (9) UU PPNBM

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) UUD 1945

Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan
UU Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 9 ayat (2a), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 13 ayat (3) huruf c UU KUP dan Pasal 9 ayat (9) UU PPNBM, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa perbaikan mendasar yang disarankan Mahkamah dalam
permohonan adalah berkenaan dengan alasan-alasan mengajukan
permohonan (posita). Ternyata, Pemohon tetap saja tidak menjelaskan
alasan-alasan dimaksud terutama memberikan penjelasan mengapa
keberlakuan Pasal 9 ayat (2a), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (3)
huruf c UU KUP, serta Pasal 9 ayat (9) UU 42/2009 mengurangi hak
konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Padahal,
penjelasan dan dasar argumentasi mengaitkan keberlakuan norma dalam
pasal-pasal Undang-Undang a quo menjadi roh untuk menilai dasar
argumentasi Pemohon.

2) Bahwa dalam mengemukakan alasan-alasan mengajukan
permohonan (posita) sebagaimana diuraikan pada halaman 7 sampai
dengan halaman 12 Perbaikan Permohonan, Pemohon sama sekali tidak
menguraikan alasan bahwa dengan berlakunya Pasal 9 ayat (2a), Pasal
13 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (3) huruf c UU KUP, serta Pasal 9 ayat (9)
UU 42/2009 bertentangan dengan norma dalam pasal UUD 1945 yang
dijadikan sebagai dasar pengujian dalam mengajukan permohonan a quo.
Bahkan, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya
sama sekali tidak disentuh dan tidak dibahas pada bahagian alasan-alasan
mengajukan pengujian. Setelah membaca dengan cermat semua alasan
permohonan yang diuraikan pada halaman 7 sampai dengan halaman 12,
Pemohon hanya menguraikan beberapa ilustrasi peristiwa transaksi
keuangan yang terkait dengan beban pembayaran pajak. Dengan ilustrasi
demikian, disadari atau tidak, Pemohon telah mendorong Mahkamah
untuk mengadili kasus konkrit yang terkait dengan beban pembayaran
pajak. Padahal sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945, pengujian undang-undang di Mahkamah bukanlah
dimaksudkan untuk menilai kasus konkret, tetapi untuk menilai
konstitusionalitas keberlakuan norma undang-undang terhadap UUD
1945. Hal ini telah diingatkan kepada Pemohon selama berlangsungnya
sidang pemeriksaan pendahuluan.

3) Adapun uraian Pemohon yang pada intinya berisikan analisis
Pemohon perihal bagaimana seharusnya ketentuan undang-undang di
bidang perpajakan diberlakukan terhadap Pemohon, menurut versi
Pemohon, lebih tepat diajukan sebagai alasan untuk mengajukan
keberatan terhadap otoritas perpajakan, bukan alasan untuk
membuktikan inkonstitusionalnya norma undang-undang perpajakan.
Lagipula, kalkulasi Pemohon tentang bagaimana seharusnya undang-
undang di bidang perpajakan itu diterapkan terhadap Pemohon justru
bertolak dari logika norma undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Kalaupun perhitungan pajak yang Pemohon uraikan dalam permohonan
Pemohon ternyata benar, quod non, hal itu tidak menjadi alasan
inkonstitusionalnya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian
sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK / 28-03-2018

Habiburokhman, S.H., M.H., dan Asma Dewi.

Pasal 28 ayat (2), Pasal 45A ayat (2)

Pasal 1 ayat (3), 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1)
UUD NRI 1945

Para Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap konstitusionalitas Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3,
Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:


Bahwa setelah permohonan Pemohon diperiksa dalam persidangan
bersama-sama dengan permohonan lainnya yang sejenis, telah ternyata
Pemohon tidak pernah hadir di sidang pleno pemeriksaan perkara,
terlebih berusaha untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya yang
menjadi kewajibannya sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak
bersungguh-sungguh dengan permohonannya. Oleh karena itu, pokok
permohonan tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 87/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-03-2018

Associate Professor Ir. Suharto, MT.

Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen

Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (5), Pasal 32 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan
UU Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen,
MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi dimaksud,
peranan tenaga pendidik menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
Pemerintah menyusun suatu standar nasional pendidikan yang di
dalamnya juga memuat standar sistem pendidikan dan tenaga
kependidikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(selanjutnya disebut PP 19/2005). Pasal 28 ayat (1) PP 19/2005
menyatakan, “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat (2) dinyatakan, “Kualifikasi akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal
yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah
dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku”.

2. Bahwa Pasal 1 angka 9 UU Guru dan Dosen telah pula menjelaskan
mengenai kualifikasi akademik yaitu ijazah sesuai dengan jenjang
pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai
dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat
penugasan. Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 45 UU Guru dan Dosen
semakin menegaskan pentingnya kualifikasi akademik bagi dosen. Pasal a
quo menyatakan, “Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi
lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

3. Bahwa berdasarkan penjelasan di atas maka jelaslah bahwa
kualifikasi akademik merupakan syarat penting yang ditentukan melalui
kapabilitas dan ijazah. Selain itu, Pasal 49 UU Guru dan Dosen telah pula
menegaskan bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada
satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing
calon doctor dan memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya
ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan
masyarakat. Didasarkan pada bunyi Pasal 49 UU Guru dan Dosen tersebut
maka kewajiban khusus profesor jika dijabarkan adalah (i) mengajar,
menguji, membimbing (sebagai Promotor atau Co-Promotor) calon
doctor, (ii) menulis buku, (iii) menghasilkan karya ilmiah, dan (iv)
menyebarluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat. Dengan
memperhatikan logika bahwa pendidikan doktor adalah pendidikan
tertinggi, maka sangatlah wajar apabila pembimbingnya (Promotor atau
Co-Promotor) telah pula memiliki kualifikasi pendidikan yang sama,
bahkan ditambah dengan pengalaman dalam pengelolaan pembelajaran.
Dengan demikian tidaklah dapat dihindari bahwa syarat untuk menjadi
profesor haruslah melalui jenjang doktor.

4. Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa
“kualifikasi akademik” dalam Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen telah
memberikan ketidakpastian hukum bagi dosen yang memiliki kapabilitas
atau kemampuan dalam mengemban tanggung jawab sebagai lektor
kepala untuk dinaikkan jabatannya sebagai guru besar, tanpa bermakud
menilai kasus konkrit yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat
bahwa, terlepas dari minimnya argumentasi Pemohon berkenaan dengan
hal ini, secara umum, frasa itu pun sesungguhnya justru memberikan
kepastian hukum bukan hanya bagi Pemohon, tetapi juga kepada setiap
orang yang akan menduduki suatu jabatan atau tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Kualifikasi akademik menjadi syarat mutlak yang dapat dilihat
dan dinilai dari pendidikan seseorang. Dalil Pemohon a quo lebih
menekankan kebutuhan hukum bagi Pemohon yang menginginkan norma
baru dikarenakan norma dalam undang-undang yang dimohonkan
pengujian a quo kurang menguntungkan Pemohon untuk menyandang
gelar profesor. Adanya frasa “kualifikasi akademik” justru memberikan
kepastian hukum bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan
pendidikan yang berkualitas dari tenaga pendidik yang telah paripurna
jenjang pendidikannya, terlebih lagi tenaga pendidik tersebut adalah
seorang profesor, maka kualifikasi akademik doktor bagi seorang profesor
merupakan sebuah keniscayaan.

5. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah
ternyata bahwa tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam materi
muatan Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen sehingga Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) / 20-03-2018

Khaeruddin, S.H., S.Sy. dkk,

Pasal 70 ayat (1) KUHAP

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

DPR-RI

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 70 ayat (1) KUHAP, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa terkait dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 70 ayat (1)
KUHAP, khususnya frasa “setiap waktu” yang menurut Para Pemohon
menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat multitafsir serta tidak
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan
menghilangkan hak-hak para Pemohon, menurut Mahkamah, frasa “setiap
waktu” tidak dapat dimaknai menghilangkan hak-hak para Pemohon
sebagai Penasihat Hukum, namun haruslah diartikan lebih pada upaya
menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam hal kunjungan terhadap
para tahanan. Frasa “setiap waktu” seyogianya difahami bahwa
pendampingan tersangka/terdakwa yang dilakukan oleh Penasihat Hukum
di rumah tahanan negara seharusnya menyesuaikan dengan waktu yang
telah ditentukan oleh masing-masing rumah tahanan negara (RUTAN)
demi menghormati hak-hak para petugas dan tahanan lainnya, tanpa
mengurangi hak-hak penasihat hukum untuk dapat memberikan
konsultasi kepada tersangka/terdakwa sepanjang hari kerja dan jam
kerja. Hal ini karena masing-masing RUTAN memiliki standard operating
procedure (SOP) dalam hal kunjungan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan serta untuk memberikan jaminan keselamatan dan
keamanan bagi para tahanan. Persoalan yang dialami oleh para Pemohon
hakikatnya bukan bersumber dari inkonstitusionalitas norma a quo, justru
dengan norma a quo telah memberikan peluang bagi Penasihat Hukum
untuk menemui dan mendampingi kliennya, namun harus mempertimbangkan SOP yang berlaku di masing-masing instansi yang
berwenang. Dengan adanya norma a quo dibuatlah peraturan internal
yang memberikan kesempatan bagi pihak-pihak yang berkepentingan
untuk mengunjungi para tahanan. Jika Pasal a quo dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 maka tidak ada lagi regulasi yang
mengatur pertemuan antara Penasihat Hukum dengan kliennya yang
ditahan dan instansi yang berwenang akan kehilangan pijakan yang
berakibat pada tidak teraturnya waktu pertemuan antara Penasihat
Hukum dengan kliennya yang ditahan di RUTAN.

2) Bahwa selain itu frasa “setiap waktu” pada hakikatnya haruslah
dimaknai “at any reasonable time”, sebagai contoh di Irlandia. Dalam
Prison Rule Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Minister of Justice, Equality
and Law Reform Irlandia perihal jadwal kunjungan penasihat hukum yang
dikaitkan dengan keperluan pembelaan perkara termasuk persidangan
dinyatakan, “A prisoner shall be entitled to receive a visit from his or her
legal adviser at any reasonable time for the purposes of consulting in
relation to any matter of a legal nature in respect of which the prisoner
has a direct interest, and any such visit shall take place within the view
of, but out of the hearing of, a prison officer” yaitu waktu yang masuk
akal atau logis atau waktu yang layak menurut penalaran yang wajar.
Reasonable time bermakna bahwa kuasa hukum tetap dapat
mendampingi tersangka/terdakwa sepanjang sesuai dengan batas-batas
waktu yang menurut akal sehat beralasan dan dalam batas-batas
kewajaran serta telah ditentukan oleh peraturan yang berlaku, yaitu SOP
instansi yang bersangkutan. Sejatinya kepentingan pembelaan yang
dimaksudkan adalah tidak harus dimaknai Penasihat Hukum dapat
berkonsultasi dengan tersangka/terdakwa dalam rentang waktu 24 jam
setiap harinya, akan tetap lebih kepada kebijakan RUTAN dalam membagi
waktu konsultasi yang lebih dan dibedakan dengan kunjungan dari pihak
selain Penasihat Hukum. Apabila frasa “setiap waktu” dimaknai sebagai
kapan saja tanpa ada batasan waktu maka hal tersebut justru akan
menimbulkan ketidaktertiban hukum dan pertimbangan keamanan dalam
pengaturan kunjungan ke RUTAN. Jika kunjungan ke RUTAN tanpa
pembatasan atau pengaturan waktu kunjungan maka dalam waktu dua
puluh empat jam atau hari-hari libur Penasihat Hukum dapat menemui
tersangka/terdakwa tentu akan berakibat terlanggarnya hak-hak
konstitusional warga negara, yaitu penghuni lainnya terutama petugas
RUTAN, dalam hal memastikan keamanan RUTAN dengan kunjungan
yang tanpa batas waktu tersebut. Menurut Mahkamah, dengan
dicantumkannya frasa “setiap waktu” telah memberikan keleluasaan
waktu bagi Penasihat Hukum sebagaimana yang telah diberikan oleh
instansi yang berwenang. Dengan demikian kewenangan diberikan
kepada instansi berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, dan RUTAN) untuk
mengatur waktu kunjungan di RUTAN berdasarkan peraturan internal
RUTAN tanpa mengurangi hak-hak konstitusional bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Jadi Penasihat hukum dapat menemui kliennya di luar
batas waktu yang ditentukan oleh instansi yang bersangkutan apabila
diperlukan demi kepentingan hukum tersangka/terdakwa sesuai dengan
ketentuan undang-undang, misalnya dalam hal pemenuhan kebutuhan
hukum yang mengharuskan Penasihat Hukum bertemu langsung dengan
kliennya di luar pengaturan waktu yang telah ditentukan oleh RUTAN
untuk pengunjung lainnya.

3) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan, hak untuk
berkunjung, hak untuk menghubungi, serta hak untuk bertemu dan
berbicara dengan tersangka/terdakwa merupakan hak Penasihat Hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP, tidak memberikan
jaminan pertimbangan dan kepastian hukum apabila frasa “setiap waktu”
tidak dimaknai “kapanpun yang tidak memiliki batas waktu termasuk hari
libur asalkan guna kepentingan atau pembelaan perkaranya”, menurut
Mahkamah, tidak mengandung ketidakpastian hukum dan tidak
menimbulkan multitafsir sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon
karena pada dasarnya tidak dapat dimaknai hanya sebatas peristiwa
konkret semata yang dialami oleh Para Pemohon. Ketidakpastian hukum
ditimbulkan dari kondisi pertentangan antara norma undang-undang
terhadap norma Konstitusi, sedangkan multitafsir adalah kondisi dimana
sebuah norma berpotensi memiliki makna beragam. Sejalan dengan
pertimbangan di atas, frasa “setiap waktu” telah menunjuk pada waktu
tertentu sebagaimana ditentukan oleh instansi yang bersangkutan
sebagai pengelola RUTAN, melalui peraturan pelaksana dari norma a quo.

4) Bahwa permohonan para Pemohon sejatinya bertolak dari peristiwa
konkret berkenaan dengan pelaksanaan norma a quo di mana setiap
instansi yang melakukan penahanan memiliki peraturan atau tata tertib
jadwal kunjungan terhadap warga tahanan. Hal inilah yang kemudian
menurut Para Pemohon dianggap sebagai sebuah kerugian di mana para
Pemohon tidak dapat secara bebas melakukan pendampingan dan
pembelaan terhadap tersangka. Menurut Mahkamah, norma a quo telah
memberikan kepastian kepada penasihat hukum untuk menghubungi
tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang a
quo. Para Pemohon tentunya telah mendapatkan hak-haknya untuk
membela kliennya sesuai dengan waktu kunjungan yang telah ditentukan.
Namun, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, demi kepentingan
pembelaan klien yang mengharuskannya bertemu langsung, Penasihat
Hukum dapat menemui kliennya di luar batas waktu kunjungan yang
ditentukan untuk pengunjung lainnya. Dengan demikian, norma dalam
Pasal a quo telah sejalan dengan jaminan yang diberikan oleh UUD 1945
kepada warga negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENJADI UNDANG-UNDANG / 20-03-2018

Eggi Sudjana dan Damai Hari Lubis, dalam hal ini diwakili oleh kuasa
hukumnya yaitu Arvid Martdwisaktyo, S.H., M.Kn., dkk.

atas Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat
(1) dan ayat (2) UU Ormas

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa dalam Sidang Panel Perbaikan Permohonan pada hari Selasa,
tanggal 27 Februari 2018, Para Pemohon menyatakan menarik
permohonannya dengan alasan, salah satu pemohon masuk rumah sakit
karena terkena serangan jantung dan pemohon II sedang menjalankan
ibadah umroh. Penarikan permohonan yang disampaikan dalam
persidangan tanggal 27 Februari 2018 tersebut, kemudian dipertegas
melalui surat yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 20
Maret 2018.

2) Bahwa terhadap permohonan penarikan sebagaimana tersebut di
atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari Selasa, tanggal 20 Maret
2018, telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali
permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XVI/2018 a quo beralasan menurut
hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA / 20-03-2018

Dr. Edi Priyanto, S.H., M.M.

Pasal 36 ayat (1) huruf b UU Ombudsman

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I Ayat (1) dan (2) UUD
NRI Tahun 1945

Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan
UU Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3,
Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:


Bahwa setelah permohonan Pemohon diperiksa dalam persidangan
bersama-sama dengan permohonan lainnya yang sejenis, telah ternyata
Pemohon tidak pernah hadir di sidang pleno pemeriksaan perkara,
terlebih berusaha untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya yang
menjadi kewajibannya sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak
bersungguh-sungguh dengan permohonannya. Oleh karena itu, pokok
permohonan tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG- UNDANG / 20-03-2018

Dani Muhammad Nursalam bin Abdul Hakim Side, yang dikuasakan kepada
Effendi Saman, S.H., Nandang Wirakusumah, S.H.

Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 7 ayat (2) huruf i, Pasal 42 ayat (3) UU
Pemilukada

28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945

Kuasa Hukum Para Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 7 ayat
(2) huruf i, Pasal 42 ayat (3) UU Pemilukada, MK memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas
Undang-Undang dan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo;

2. Bahwa terlepas dari ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas
norma dari undang-undang yang dimohonkan pengujian, Mahkamah
berpendapat Pemohon tidak jelas menguraikan kerugian hak
konstitusionalnya dengan berlakunya norma Undang-Undang a quo,
karena Pemohon sama sekali tidak menjelaskan apakah yang
bersangkutan akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah/wakil
kepala daerah. Sehingga Mahkamah tidak menemukan relevansi Pemohon
mempersoalkan konstitusionalitas norma Undang-Undang a quo. Dengan
demikian uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya
menjadi kabur.

3. Bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama posita dan
petitum telah ternyata bahwa tidak terdapat kesesuain. Dalam posita
permohonan, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal-Pasal a quo
bertentangan dengan batu uji UUD Tahun 1945. Sementara dalam
petitum angka 2 dan angka 3, Pemohon memohon penegasan kepada
Majelis Hamik Konstitusi atas Pasal 7 ayat (2) huruf g dan huruf i Undang-
Undang a quo untuk dinyatakan sebagai ketentuan hukum yang
berpotensi dapat merugikan hak-hak politik Pemohon dan memberikan
kejelasan dan kepastian substansi hukum secara adil agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap norma hukum konstitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun
1945. Selain itu, Pemohon juga memohon penegasan kepada Majelis
Hakim Konstitusi atas Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang a quo. Dan
Mahkamah berpendapat telah terang bahwa terdapat ketidaksesuaian
antara posita dan petitum permohonan.

4. Bahwa Pemohon dalam rumusan petitumnya juga tidak sesuai
dengan format petitum yang berkenaan dengan pengujian norma
undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Padahal dalam sidang
Pemeriksaan Pendahuluan Mahkamah telah memberi nasihat supaya
Pemohon memperbaiki permohonannya, khususnya berkaitan dengan
kesesuaian antara posita dengan petitum permohonan Pemohon. Namun,
setelah diberi waktu untuk memperbaiki permohonan ternyata Pemohon
tidak melakukan perbaikan sebagaimana dinasihatkan Mahkamah. Oleh
karena itu, permohonan Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur
(obscuur libel).

5. Bahwa oleh karena permohonan Pemohon kabur, maka Mahkamah
tidak mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.

RESUME KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN AKTA PERSETUJUAN DAN KUASA BERIKUT PERNYATAAN KESEPAKATAN BERSAMA NOMOR 06, 07, 08, DAN 09 DI BIDANG WARIS SEBAGAI UNDANG-UNDANG BAGI PARA PIHAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-03-2018

Haryanti Susanto (Pemohon I) dan Victorina Arif (Pemohon II) yang dikuasakan kepada JJ Amstrong Sembiring, S.H. M.H., Yupiter Djami Ga, S.H., dan Iffen Yermias, S.H.

Akta Persetujuan dan Kuasa

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

BBahwa terhadap permohonan pengujian a quo, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1) Bahwa menurut Para Pemohon konstruksi hukum yang bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan asas konstitusionalitas (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), pemberlakuan atas Akta dapat dipersamakan dengan Undang-Undang pada umumnya dengan argumentasi bahwa prinsip Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”;
2) Bahwa oleh karena Akta tidak termasuk dalam kualifikasi Undang-Undang dalam arti sebenarnya, baik proses pembentukannya maupun kekuatan mengikatnya, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan oleh karena juga sebuah perjanjian atau kesepakatan sebagaimana didalilkan Para Pemohon hanya dibuat oleh para pihak yang bersifat privat, baik kepentingan maupun kekuatan mengikatnya, sehingga hal ini sangat berbeda dengan Undang-Undang.
3) Bahwa terhadap permohonan Para Pemohon, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara a quo dan berdasarkan Pasal 48A ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan “Mahkamah Konstitusi mengeluarkan ketetapan dalam hal: a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan”.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI / 28-02-2018

Krisna Murti, S.H. dan Khaeruddin, S.H., S.Sy.

Pasal 21 UU PTPK

Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Para Pemohn, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 21 UU PTPK
menyebabkan Advokat terancam kriminalisasi dan membelenggu Advokat
dalam menjalankan profesinya meskipun mempunyai niat menegakkan
hukum dan keadilan, pertimbangan Mahkamah pada sub-paragraf
[3.10.3] dengan sendirinya telah menjawab dalil ini. Sepanjang tidak
terbukti seorang Advokat secara sengaja melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 UU PTPK maka tidak terdapat
alasan apapun untuk menyatakan bahwa Pasal 21 UU PTPK
mengkriminalkan dan membelenggu Advokat dalam menjalankan
profesinya. Lagi pula, jika benar, sebagaimana dalil Pemohon, bahwa
tindakan seorang Advokat tujuannya adalah untuk menegakkan hukum
dan keadilan maka tujuan itu sendiri telah membantah dalil kriminalisasi
dan belenggu sebagaimana diutarakan Pemohon sebab hal itu telah
dengan sendirinya menunjukkan tidak adanya niat jahat (mens rea) dari
perbuatan itu. Selain itu, sebagaimana telah dipertimbangkan pada sub-
paragraf [3.10.2] di atas, Undang-Undang a quo adalah bersifat dan
berlaku umum, bukan ditujukan untuk kelompok tertentu, termasuk
Advokat.

2) Bahwa terhadap dalil Pemohon terkait dengan hak imunitas
Advokat, Mahkamah berpendapat, Pasal 21 UU PTPK tidak menghilangkan
hak imunitas Advokat. Pasal 16 Undang-Undang Advokat (Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003) yang dirujuk Pemohon sebagai landasan
dalil ini berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik
untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Kata kunci
dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada
“kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya,
secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala
unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. Sehingga, jika dihubungkan
dengan norma dalam Pasal 21 UU PTPK, seorang Advokat yang dengan
sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa yang sedang dibelanya
jelas tidak dapat dikatakan memiliki itikad baik. Oleh karena itu, tidaklah
beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan
mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma
Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak
imunitas dimaksud.

3) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketiadaan tolok
ukur dalam Pasal 21 UU PTPK dapat membuat penegak hukum bertindak
sewenang- wenang bahkan menjadikannya alat politik untuk
mengkriminalisasi Advokat, Mahkamah berpendapat oleh karena perihal
dalil tentang ketiadaan tolok ukur dalam Pasal 21 UU PTPK tersebut telah
ternyata tidak terbukti, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka
dalil Pemohon a quo dengan sendirinya menjadi kehilangan landasan
argumentasinya. Sebab, menurut Mahkamah, tolok ukur dimaksud sudah
sangat jelas yaitu adanya unsur kesengajaan (dalam Pasal 21 UU PTPK),
sehingga andaipun dihubungkan dengan keberadaan hak imunitas
Advokat, Pasal 16 UU Advokat pun telah jelas memberikan tolok ukur
bahwa hak imunitas hilang ketika tidak ada itikad baik.

4) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 21 UU PTPK
bersifat subjektif, Mahkamah berpendapat bahwa seluruh pertimbangan
sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf [3.10.1] sampai dengan
[3.10.6] telah dengan sendirinya membantah dalil Pemohon ini. Lagipula
oleh karena Pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi
berkenaan dengan dalil ini maka Mahkamah tidak perlu
mempertimbangkannya lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA (KUHP) / 28-02-2018

organisasi Barisan Advokat Bersatu yang diwakili oleh Herwanto Nurmansyah
dan Ade Manansyah yang dikuasakan kepada Victor Santoso Tandiasa SH.,
MH.

Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa dalam Sidang Panel Perbaikan Permohonan pada hari Senin,
tanggal 19 Februari 2018, Para Pemohon menyatakan menarik
permohonannya dengan alasan, permohonan Para Pemohon baik secara
pasal yang dimohonkan pengujian maupun substansi permohonannya
sama dengan perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018, sehingga Para Pemohon
menyepakati untuk menyerahkan sepenuhnya kepada perkara Nomor
7/PUU-XVI/2018. Penarikan permohonan yang disampaikan dalam
persidangan tanggal 19 Februari 2018 tersebut, kemudian dipertegas
melalui surat yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 20
Februari 2018.

2) Bahwa terhadap permohonan penarikan sebagaimana tersebut di
atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari Selasa, tanggal 20
Februari 2018, telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan
kembali permohonan Perkara Nomor 8/PUU-XVI/2018 a quo beralasan
menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 74/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA / 28-02-2018

Ir. Emir Moeis, MSc, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Prof.
Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., MS.c., dkk.

Pasal 162 KUHAP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa berdasarkan dalil Pemohon yang mengkonstruksikan bahwa
dirinya menderita kerugian konstitusional yaitu dipidananya Pemohon
semata-mata karena berlakunya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
adalah tidak benar. Sebab, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon sendiri, Pemohon dijatuhi pidana adalah karena terbukti adanya
persesuaian sejumlah alat bukti yang membuat hakim yakin bahwa
Pemohon terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
oleh penuntut umum. Fakta atau peristiwa aktual bahwa seseorang,
termasuk Pemohon, dijatuhi pidana oleh hakim atau pengadilan tidaklah
serta-merta berarti telah terjadinya kerugian hak konstitusional
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK.

2) Bahwa berdasarkan pertimbangan dan fakta-fakta hukum tersebut,
tanpa bermaksud menilai hasil pembuktian kasus konkret yang dilakukan
oleh hakim Tipikor, Mahkamah berpendapat tidaklah terdapat alasan hak
konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Pasal 162 ayat (1) dan
ayat (2) KUHAP karena majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta tidak
hanya menyandarkan putusannya kepada kesaksian Pirooz Mohammad
Sharafi yang keterangannya dibacakan di persidangan oleh Jaksa
Penuntut Umum tetapi adanya kesesuaian antara kesaksian saksi-saksi
yang lain dengan keterangan saksi Pirooz Mohammad Sharafi dan
ditambah dengan keyakinan hakim. Oleh karena itu, tidak terbukti bahwa
dengan berlakunya Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP telah
membuat hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta hanya menyatakan
Pemohon bersalah semata-mata berdasarkan kesaksian Pirooz
Mohammad Sharafi yang keterangannya hanya dibacakan di depan
persidangan. Berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum tersebut,
menurut Mahkamah, oleh karena tidak terdapat kerugian hak
konstitusional Pemohon maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo

3) Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN / 28-02-2018

Muhammad Hafidz, yang dikuasakan kepada Eep Ependi, S.H.

Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 4 huruf b UU 8/1999, MK
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Dari makna dan tujuan perlindungan konsumen yang dimaksudkan
dalam UU 8/1999 tersebut, menurut Mahkamah hal yang demikian adalah
sesuatu yang mempertegas adanya bentuk upaya pemerintah dalam
memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dalam menjamin
atau memberikan kepastian hak-hak konsumen dalam hal kemungkinan
diserahkannya kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai
dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-
undang, serta diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang
tidak adil yang menyangkut perilaku produsen dalam memproduksi dan
mengedarkan produknya, dari mulai kegiatan promosi hingga layanan
purnajual, yang mengakibatkan adanya kerugian pada pihak konsumen;

2. Bahwa selain mengenai perlindungan konsumen sebagaimana
tercantum dalam paragraph [3.9.2] di atas, UU 8/1999 juga mengatur
mengenai hak-hak konsumen yang merupakan tindakan yang dapat
diambil atau dipilih oleh konsumen apabila terdapat perbuatan atau
perlakuan yang dirasakan tidak adil terhadap konsumen, sehingga secara
konstitusional konsumen bisa bertindak lebih jauh dalam
memperjuangkan hak-hak dimaksud. Atau dengan kata lain, konsumen
dapat dengan bebas melakukan pilihan untuk menghindari kerugian hak
konstitusional yang dimilikinya apabila ada anggapan atau dugaan bahwa
tindakan dari pelaku usaha atau penyedia jasa dapat merugikan
konsumen;

3. Bahwa merujuk ketentuan Pasal 4 huruf b UU 8/1999 tersebut di
atas yang menyatakan “Hak konsumen adalah hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta jaminan yang dijanjikan”, maka hal ini telah dengan
tegas memberikan pilihan kepada konsumen untuk menggunakan hak
konstitusionalnya di dalam menentukan pilihan barang dan/atau jasa
yang dikehendakinya termasuk pilihan untuk mendapatkan barang
dan/atau jasa yang dikehendakinya tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Dengan kata lain, bahwa pilihan
yang menjadi kehendak antara konsumen dengan pelaku usaha adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pemenuhan dari
sebuah adanya komitmen atau perjanjian yang secara diam-diam
sebenarnya telah disepakati. Lebih jauh lagi dapat dijelaskan bahwa
terhadap konsumen boleh memilih tidak bersepakat dan menghindari
untuk tidak melakukan transaksi untuk mendapatkan barang dan/atau
jasa yang disediakan oleh pelaku usaha apabila konsumen merasa
keberatan dengan itu;

4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut
Mahkamah Pasal 4 huruf b UU 8/1999 sebagai bentuk perlindungan
kepada konsumen telah memberikan kepastian hukum kepada konsumen
dan tidak bersifat diskriminasi sebagaimana telah dijamin dalam UUD
1945 khususnya pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2).

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL / 21-02-2018

Paustinus Siburian, S.H., M.H.

Diktum menimbang huruf b, Pasal 1 angka 2, Pasal 3 huruf a, Pasal 4 juncto
Pasal 1 angka 1, Pasal 18 ayat (2) UU JPH

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H UUD
NRI Tahun 1945

Pemohon, Pemerintah dan Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa Mahkamah telah membaca dengan cermat Permohonan
Pemohon serta melakukan sidang pemeriksaan terhadap permohonan dan
perbaikan permohonan yang diajukan Pemohon. Setelah mencermati dan
memeriksa dalam persidangan, Mahkamah mengetahui obyek
permohonan pengujian undang-undang yang diajukan Pemohon adalah
UU JPH, yang pada pokoknya adalah masalah kewajiban sertifikasi halal.

namun Mahkamah tidak dapat memahami apa sesungguhnya yang
diinginkan oleh Pemohon. Sebab, meskipun terdapat rumusan petitum
dalam permohonan tersebut namun rumusan petitum tersebut tidak lazim
dan membingungkan. Terlebih lagi, petitum dimaksud tidak sejalan
dengan posita permohonan Pemohon. Padahal posita dan petitum
permohonan merupakan hal yang sangat fundamental bagi Mahkamah
dalam menilai dan memutus tiap perkara.

2) Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah berpendapat
permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur libel) dan
karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI / 21-02-2018

Setya Novanto, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Dr.
Fredrich Yunadi, S.H., LL.M., MBA.,dkk.

Pasal 46 ayat (1) UU KPK

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 20A ayat (3) UUD NRI Tahun
1945

Kuasa hukum Pemohon, Pemerintah dan Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Ketentuan Pasal 245 ayat (1) dan Pasal 224 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) tidak dapat
dipisahkan dengan ketentuan Pasal 245 ayat (3) UU MD3, di mana di
dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 245 ayat (1)
UU MD3 tidak berlaku apabila anggota DPR: a) tertangkap tangan
melakukan tindak pidana; b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan
negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c) disangka
melakukan tindak pidana khusus. Oleh karena itu sudah sangat jelas
bahwa semua prosedur pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, sebagaimana diatur
dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menjadi tidak berlaku ketika
anggota DPR tersebut diduga melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 245 ayat (3) UU MD3.

2) Oleh karena itu argumentasi Pemohon yang mendalilkan bahwa
Pasal 46 ayat (1) UU KPK tidak dapat diterapkan terhadap anggota DPR
termasuk Pemohon dengan alasan bahwa pasal a quo inkonstitusional
apabila tidak dipersyaratkan harus ada izin dari Presiden ketika
melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota
DPR untuk kepentingan penyidikan oleh KPK dan menurut Pemohon hal
tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon adalah hal yang tidak
beralasan, mengingat sesuai fakta yang ada di persidangan, pemanggilan
dan permintaan keterangan oleh KPK terhadap Pemohon adalah terkait
dengan penyidikan perkara dugaan adanya tindak pidana korupsi
pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis
nomor induk kependudukan secara elektronik (e-KTP) untuk Tahun
Anggaran 2011-2012 [vide bukti P-9], di mana hal tersebut jelas masuk
dalam ruang lingkup tindak pidana khusus, sebagaimana diatur dalam
Pasal 245 ayat (3) huruf c UU MD3 dan oleh karena itu sesungguhnya
tidak ada persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 46 ayat (1)
UU KPK.

3) Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas,
mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian undang-
undang a quo.

4) Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 96/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI / 21-02-2018

Setya Novanto, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Dr.
Fredrich Yunadi, S.H., LL.M., MBA., dkk.

1. frasa “seseorang” dalam klausa Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK
2. frasa “seseorang dalam tahapan penyelidikan” dalam klausa Pasal 12
ayat (1) huruf b UU KPK tidak dapat dilarang bepergian ke luar negeri.

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun
1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah dan Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa setelah Mahkamah membaca dengan cermat permohonan a
quo ternyata permohonan Pemohon diajukan setelah status Pemohon
menjadi tersangka, bahkan saat ini telah berstatus menjadi terdakwa
yang sedang menjalani sidang pada Pengadilan Tipikor Jakarta. Oleh
karena itu menurut Mahkamah, Pemohon telah kehilangan relevansinya
untuk mempermasalahkan adanya anggapan telah mengalami kerugian
konstitusional, terhadap ketentuan Pasal a quo.

2) Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut,
Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-
Undang a quo.

3) Bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN / 21-02-2018

Desy Puspita Sari , dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu para
Advokat pada Lembaga Advokasi & Bantuan Hukum Riau (LABH-R).

Pasal 59 ayat (7) sepanjang frasa “demi hukum”, Pasal 86 ayat (1) huruf b
sepanjang frasa “moral dan kesusilaan” dan Pasal 86 ayat (1) huruf c
sepanjang frasa ”perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama” UU Ketenagakerjaan.

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan
frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 bertentangan
dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum, Mahkamah
berpendapat bahwa makna “demi hukum” yang terkandung dalam Pasal
59 ayat (7) UU 13/2003, sesungguhnya telah jelas dan tegas karena
berkait dengan norma yang tertuang dalam ayat-ayat sebelumnya dari
Pasal 59 UU 13/2003, yang rumusan lengkapnya telah dikutip pada
paragraf [3.5] di atas, yaitu bahwa:

Pertama, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak boleh dibuat atau
diberlakukan untuk semua jenis pekerjaan melainkan hanya untuk
pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu;

Kedua, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak boleh diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap;

Ketiga, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu boleh diperpanjang atau
diperbaharui;

Keempat, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh diadakan untuk
jangka waktu paling lama dua tahun dan meskipun dapat diperpanjang
namun perpanjangan itu hanya boleh dilakukan satu kali untuk waktu
paling lama satu tahun;

Kelima, apabila pengusaha bermaksud memperpanjang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu tersebut, maksud itu harus sudah diberitahukan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan paling lambat tujuh hari sebelum waktu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu itu berakhir;

Keenam, terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu meskipun dapat
diadakan atau dilakukan pembaharuan namun pembaharuan itu hanya
dapat diadakan atau dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu
tiga puluh hari berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lama, di
mana pembaharuan tersebut hanya boleh dilakukan satu kali dan paling
lama dua tahun;

Ketujuh, apabila keempat persyaratan atau keadaan sebagaimana
disebutkan di atas tidak terpenuhi maka, menurut Pasal 59 ayat (7) UU
13/2003, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu itu, demi hukum, menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.

2) Dengan demikian, telah terang bahwa tidak terdapat alasan apa pun
untuk menyatakan bahwa norma hukum yang termuat dalam Pasal 59
ayat (7) UU 13/2003 tersebut tidak memberikan kepastian hukum.
Sebaliknya, justru dengan adanya frasa “demi hukum” itu norma a quo
tegas menjamin kepastian hukum. Dengan kata lain, dengan frasa “demi
hukum” (by law atau ipso jure) tersebut, Undang-Undang a quo
memerintahkan bahwa apabila terdapat suatu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu tidak memenuhi syaat sebagaimana dikemukakan di atas maka
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu. Hal itu bahkan diakui dan disadari oleh Pemohon sendiri
sebagaimana tertuang dalam posita permohonannya dengan menyatakan,
“Bahwa ketika undang-undang telah menyatakan secara tegas perubahan
status seorang pekerja, yakni tersurat dalam frasa ‘demi hukum’, maka
tidak ada alasan hukum apa pun lagi untuk tidak melaksanakannya,
sehingga tidak lagi terjadi perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu
yang tidak berujung”

3) Dengan rumusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 59 ayat (7) UU
13/2003 tersebut tidak ada satu celah pun yang memberi kemungkinan
untuk ditafsirkan berbeda selain sebagaimana yang telah secara tegas
dan jelas dirumuskan dalam norma a quo. Adanya fakta bahwa dalam
praktik terjadi pelanggaran terhadap norma dimaksud, sebagaimana
dikatakan dialami oleh Pemohon, hal itu bukanlah disebabkan oleh
inkonstitusionalnya Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003. Oleh karena itu, jika
Pemohon menganggap telah terjadi pelanggaran terhadap norma
dimaksud, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah dengan mempersoalkannya kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang a quo dan bukan ke Mahkamah Konstitusi.

4) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “moral dan
kesusilaan” dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b dan frasa “perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”dalam
Pasal 86 ayat (1) huruf c UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945,
Mahkamah berpendapat bahwa norma Undang-Undang a quo justru
menegaskan perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh. Oleh karena
itu sungguh ganjil dan tidak dapat diterima oleh nalar kalau norma a quo,
yang hendak memberikan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh,
justru didalilkan bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, secara a
contrario, dengan mendalilkan norma yang termuat dalam Pasal 86 ayat
(1) huruf b dan huruf c bertentangan dengan UUD 1945 berarti Pemohon
tidak menghendaki adanya perlindungan atas hak-hak dimaksud. Padahal,
hak-hak tersebut, khususnya hak atas perlindungan moral dan kesusilaan
serta hak atas perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama, justru merupakan hak-hak mendasar
yang harus dilindungi bukan hanya dalam konteks hubungan kerja tetapi
dalam seluruh aspek kehidupansehari-hari. Adanya peristiwa konkrit
berupa dugaan pelecehan seksual yang dialami Pemohon, jika benar
terjadi, adalah bukti pelanggaran terhadap hak-hak tersebut bukan bukti
inkonstitusionalnya norma Undang-Undang a quo. Tidak adanya sanksi
yang dijatuhkan terhadap pelaku yang diduga melakukan pelecehan
seksual, sebagaimana didalilkan Pemohon, adalah persoalan penerapan
norma undang-undang yang sepenuhnya merupakan kewenangan aparat
penegak hukum karena telah menyangkut persoalan pidana.

5) Bahwa persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan
dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang. Tidak
efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma
undang-undang itu bertentangan dengan Konstitusi. Dalam konteks
permohonan a quo, jika Pemohon berpendapat bahwa norma undang-
undang yang dimohonkan pengujian tidak efektif karena tidak adanya
sanksi, baik pidana maupun administratif, hal itu merupakan kewenangan
penuh pembentuk undang-undang untuk menilainya. Terkait hal ini
Mahkamah tidak berwenang merumuskan atau menambahkan sanksi
tertentu terhadap suatu norma undang-undang yang diuji
konstitusionalitasnya, sebagaimana dimohonkan Pemohon dalam petitum
permohonannya.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA / 21-02-2018

Oltje J.K Pesik, yang dikuasakan kepada Dr. Youngki Fernando, S.H., M.H.

Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA

Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1),
Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat
Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap frasa “karena
hukum” dalam Pasal 21 ayat (3) dan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA
menimbulkan multitafsir, Mahkamah berpendapat bahwa, terlepas dari
tidak adanya argumentasi yang dibangun Pemohon untuk mendukung
dalil tersebut, frasa “karena hukum” – yang sama artinya dengan “demi
hukum” – dalam kedua Pasal UUPA tersebut telah jelas. Frasa demi
hukum, yang dalam istilah Latin disebut “ipso jure” (atau “by law” dalam
Bahasa Inggris) adalah frasa yang telah lazim diterapkan secara universal
untuk menunjukkan hukum memerintahkan demikian adanya sehingga
tidak mungkin ditafsirkan lain. Dengan demikian, dalam hubungannya
dengan permohonan a quo, maka:

1. Dalam hubungannya dengan Pasal 21 ayat (3) UUPA, frasa “karena
hukum” dalam norma a quo mengandung pengertian bahwa apabila ada
orang asing yang setelah berlakunya UUPA memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya
wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus “karena hukum memerintahkan demikian” dan
tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak-
pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Yang perlu ditegaskan
di sini adalah bahwa sekalipun hak dimaksud telah hapus dan tanahnya
jatuh ke tangan negara, hal itu tidak menghilangkan keberadaan hak-hak
pihak lain yang membebani hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain,
hak-hak pihak lain tersebut tetap dilindungi;

2. Dalam hubungannya dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA, frasa “karena
hukum” dalam norma a quo mengandung pengertian bahwa setiap jual-
beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga
negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang
ditetapkan oleh Pemerintah termasuk dalam Pasal 21 ayat (2), “hukum
memerintahkan bahwa perbuatan hukum demikian adalah batal” dan
tanahnya jatuh kepada negara,dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran
yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Batalnya
perbuatan hukum sebagaimana disebutkan dalam norma a quo tidak
memerlukan tindakan pembatalan karena sejak semula telah dianggap
sebagai perbuatan yang tidak sah. Secara a contrario, orang-orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana disebutkan dalam norma a
quo oleh hukum sejak semula sudah dianggap mengetahui bahwa
perbuatan demikian menurut hukum adalah tidak sah. Hal itu pun telah
merupakan prinsip yang diterima secara universal sebagaimana tercermin
dalam istilah Latin void ab initio atau dalam Bahasa Inggris “to be treated
as invalid from the outset” (telah dianggap tidak sah sejak semula). Hal
penting yang perlu ditegaskan, sebagaimana halnya dalam Pasal 21 ayat
(3) UU PA, bahwa batal demi hukumnya perbuatan-perbuatan hukum
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut tidak
turut membatalkan keberadaan hak-hak pihak lain yang membebani
tanah itu, bahkan semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tanah itu tidak dapat dituntut kembali. Hal lainnya adalah bahwa batal
demi hukumnya perbuatan-perbuatan hukum yang disebutkan dalam
Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut tidak berlaku terhadap badan-badan
hukum yang oleh Pemerintah ditetapkan dapat mempunyai hak milik
dengan syarat-syarat yang ditentukan, sebagaimana diatur dalam Pasal
21 ayat (2) UUPA.

2) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap frasa “perbuatan
lain yang dimaksudkan untuk langsung maupun tidak langsung” dalam
Pasal 26 ayat (2) UU PA multitafsir, Mahkamah berpendapat bahwa,
sekali lagi terlepas dari minimnya argumentasi Pemohon dalam hubungan
ini, frasa itu pun tidak multitafsir sebagaimana didalilkan Pemohon.Frasa
yang dipersoalkan oleh Pemohon itu telah jelas konteksnya sebab
merujuk pada maksud “memindahkan hak milik kepada orang asing,
kepada seorang warga yang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada badan hukum, kecuali
yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2)”.
Dengan kata lain, secara a contrario, norma yang termuat dalam Pasal 26
ayat (2) UUPA tersebut sesungguhnya melarang dilakukannya:

1. Jual beli, penukaran,penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsungmemindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2);

2. Jual beli, penukaran,penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk tidak langsungmemindahkan hak
milik kepada orang asing, kepada seorang warga yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2).

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH Dan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945. / 08-02-2018

Horas A.M Naiborhu

Penjelasan Pasal 79 ayat (3)

Pasal 1 ayat (3) Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)

Pemerintah dan Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU
Badan Keahlian DPR RI

Bahwa setelah permohonan Pemohon diperiksa dalam persidangan
bersama-sama dengan permohonan lainnya yang sejenis, telah ternyata
Pemohon tidak pernah hadir di sidang pleno pemeriksaan perkara,
terlebih berusaha untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya yang
menjadi kewajibannya sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak
bersungguh-sungguh dengan permohonannya. Oleh karena itu, pokok
permohonan tidak dipertimbangkan.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2018

Dwi Maryoso, S.H., dan Feryando Agung Santoso, S.H., M.H.

Pasal 92 ayat (4) sepanjang frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dan
Pasal 107 sepanjang frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” UU ASN.

Pasal 23A, 28H ayat (3) dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945

Para Pemohon, Pemerintah dan Pejabat dan Pegawai dari Pusat Pementauan
Pelaksanaan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI

1) Bahwa terkait dengan iuran dalam jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian yang diatur dengan peraturan pemerintah yang
dipersoalkan oleh Pemohon, ternyata tidak hanya dibuat untuk Pegawai
ASN akan tetapi juga untuk pekerja swasta, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, hal itu menunjukan
bahwa pengaturan yang demikian bukan sesuatu yang bertentangan
dengan UUD 1945.

2) Bahwa berdasarkan hal tersebut maka MK berpendapat
Permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa
“diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal a quo tidak beralasan
menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 82/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN TERHADAP UNDANG_UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2018

Kamaluddin Harahap, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu
Muhammad Ainul Syamsu, S.H., dkk.

Pasal 14 ayat (1) huruf i, huruf k dan ayat (2) UU Pemasyarakatan.

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah dan Pejabat dan Pegawai dari Pusat
Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI

1) Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai inkonstitusional Pasal 14
ayat (2) UU 12/1995, yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan
tidak memenuhi fungsi peraturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk menjamin penegakan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia, yang
menurut Pemohon disebabkan tidak adanya penegasan tentang fungsi
pemasyarakatan untuk menjamin dilaksanakannya fungsi peraturan
perundang-undangan, Mahkamah berpendapat hal tersebut terkait
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 yang
menyatakan “dalam konteks permohonan a quo, merujuk pada prinsip
delegasi tersebut dan berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang secara lebih
detil memberikan panduan pelaksanaan pemberian remisi. Karena diberi
landasan yuridis oleh Undang-Undang, Pemerintah berwenang
menentukan syarat dan tatacara pemberian remisi.” Sehingga dengan
demikian, maka pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 54/PUU-
XV/2017 berlaku secara mutatis mutandis dalam permohonan a quo.

2) Bahwa Pemerintah memiliki kewenangan delegasi untuk mengatur
syarat dan tata cara pemberian hak-hak narapidana antara lain hak remisi
dan pembebasan bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU
12/1995. Kewenangan delegasi tersebut menurut MK tidak bertentangan
dengan konstitusi karena bertujuan untuk memperjelas hal-hal yang
bersifat teknis dalam pelaksanaan dari suatu norma Undang-Undang.
Materi muatan peraturan pelaksanaan telah didelegasikan oleh Undang-
Undang menjadi kewenangan Pemerintah selaku pelaksanaan Undang-
Undang. Oleh karena itu dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA (KUHP) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 / 31-01-2018

Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for
Criminal Justice Reform), dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu
Supriyadi Widodo Eddyono, S.H dkk.

Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan
Pasal 140 KUHP sepanjang memuat frasa “makar ”.

Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1)

Kuasa Hukum Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai dari Pusat
Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI

1) Bahwa MK tidak menemukan konsep rumusan yang ditawarkan
Pemohon untuk mengubah konstruksi pasal-pasal yang dinyatakan
inkonstitusional, kecuali semata-mata memaknai kata “makar” sebagai
“serangan” dalam pasal a quo. Apabila kata “makar” begitu saja dimaknai
sebagai “serangan” tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain pada
pasal a quo yang diminta pemohon, terutama pasal 87 KUHP, justru akan
menimbulkan ketidakpastian hukum karena penegak hukum baru dapat
melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana “makar” apabila orang yang bersangkutan telah melakukan
tindakan “serangan” dan telah nyata timbul korban. Misalnya dalam hal
tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 104 KUHP, dimana
Presiden dan Wakil Presiden telah mati terbunuh dan baru dapat
dilakukan tindakan hukum terhadap pelaku. Hal ini yang dikhawatirkan
mahkamah apabila rumusan “serangan” harus dimaknai telah ada
perbuatan serangan yang nyata dilakukan/ terjadi.

2) Bahwa Mahkamah menilai tidak terdapat koherensi yang dapat
diterima oleh penalaran yang wajar untuk mendalilkan bahwa norma
pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang makar bertentangan
dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang berada dibawah kekuasaan seseorang,
serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,
sebagaimana diatur dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA (KUHP) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 / 31-01-2018

Hans Wilson Wader dkk, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya yaitu
Latifah Anum Siregar dkk.

Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP.

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat
(3)

Kuasa Hukum Para Pemohon, Peerintah, dan Pejabat dan Pegawai pada
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang di Badan Keahlian DPR RI

1) Bahwa sepanjang berkenaan dengan Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal
107 KUHP, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan memutus
konstitusionalitas Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal 107 KUHP dalam
Putusan MK sebelumnya yaitu Putusan No. 7/PUU-XV/2017 tanggal 31
Januari 2018. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah sebagaimana
tertuang dalam Putusan MK No. No. 7/PUU-XV/2017 mutatis mutandis
berlaku terhadap dalil permohonan Pemohon sepanjang berkenaan
dengan Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal 107 KUHP.

2) Bahwa sepanjang berkenaan dengan Pasal 108 KUHP,
ketidakjelasan frasa “pemberontakan” harus dipahami dalam satu
kesatuan norma, bukan hanya memaknai satu penggalan kata secara
berdiri sendiri/terpisah dari kata-kata lain sehingga tidak beralasan
menurut hukum. Sedangkan sepanjang berkenaan dengan Pasal 110
KUHP, ketentuan tersebut hanya mempertegas pemberlakuan ancaman
pidana yang sama dengan ancaman yang diberlakukan terhadap
kejahatan yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan pasal
108 KUHP sehingga tidak beralasan menurut hukum.

← Sebelumnya 1 2 3 4 5 6 Selanjutnya →