Toyota Soluna Community yang diwakili oleh Sanjaya Adi Putra, Naldin Zen, dan Irfan, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Ade Manansyah, SH dan kawan-kawan dari Kantor Hukum Ade Manansyah,SH & Rekan
Penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa “menggunakan telepon” dan Pasal 283 UU LLAJ terhadap frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan”.
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa “menggunakan telepon” dan Pasal 283 UU LLAJ terhadap frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan”dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa untuk menilai konstitusionalitas frasa “menggunakan telepon” dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009, Mahkamah perlu menjelaskan terlebih dahulu maksud dibentuknya UU 22/2009 yang menggantikan Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU 14/1992). Dalam konsiderans “Menimbang” huruf d dinyatakan bahwa UU 14/1992 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Lebih lanjut terkait dengan alasan penggantian UU 14/1992 dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 22/2009 yang pada intinya ada kebutuhan untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas yang dirasakan semakin tinggi, sehingga perlu ada upaya pengaturan yang diarahkan salah satunya pada penanggulangan angka kecelakaan lalu lintas secara komprehensif mulai dari pencegahan hingga penegakan hukumnya. Mahkamah dapat memahami maksud tersebut karena tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan dan memberikan jaminan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas karena salah satu fungsi hukum, termasuk dalam hal ini Undang-Undang a quo, adalah sarana untuk rekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Bagaimanapun, wajah dan budaya hukum suatu negara tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam berlalu-lintas. Oleh karenanya UU 22/2009 menghendaki setiap orang yang menggunakan jalan diwajibkan untuk berperilaku tertib agar dapat dicegah segala hal ihwal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan berlalu lintas sebagaimana esensinya tertuang dalam Pasal 105 UU 22/2009. Pentingnya perilaku tertib ini dapat dimengerti jika merujuk pada data angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir yaitu tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 telah terjadi 494.313 (empat ratus sembilan puluh empat ribu tiga ratus tiga belas) kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh human error (Data IRSMS Korlantas Polri yang disampaikan sebagai keterangan tambahan Pihak Terkait yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 Mei 2018).
[3.13.2] Bahwa pengaturan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas dalam UU 22/2009 bukanlah merupakan substansi yang baru karena dalam UU 14/1992 pengaturan tersebut sudah ada, namun materi muatannya masih sederhana belum mampu menjangkau berbagai aspek yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan keselamatan berlalu lintas karena gangguan konsentrasi. Dalam hal ini, UU 22/2009 mengatur secara lebih komprehensif upaya menciptakan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas yang tidak hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan pengemudi kendaraan bermotor tetapi juga bagi pengguna jalan lainnya (termasuk pesepeda dan pejalan kaki). Oleh karena itu, dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 diatur dua kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh setiap orang yang berkendara. Pertama, wajib mengemudi dengan wajar. Istilah “wajar” memang tidak dijelaskan dalam UU 22/2009. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “wajar” dimaknai dengan “sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun; menurut keadaan yang ada; sebagaimana mestinya”. Jika dikaitkan dengan perilaku tertib berlalu lintas sebagaimana yang dikehendaki oleh UU 22/2009 maka maksud kata “wajar” adalah berkaitan dengan perilaku pengemudi kendaraan bermotor yang mengemudikan kendaraan dengan mengutamakan keselamatan pengemudi kendaraan sendiri dan pengguna jalan lainnya serta mematuhi ketentuan tentang tata cara berlalu lintas sebagaimana telah diatur dalam UU 22/2009 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengemudi tentu tidak boleh memaksakan kehendaknya atau mengemudi secara agresif (aggresive driving). Kedua, penuh konsentrasi saat berkendara. Terkait dengan maksud penuh konsentrasi tersebut diberikan penjelasan yang lengkap dalam UU 22/2009 yang menyatakan bahwa “setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan”. Artinya, pengemudi wajib mencurahkan perhatiannya selama mengemudikan kendaraannya dengan cara: (1) menghindari atau tidak melakukan kegiatan lain selain mengemudi yang dapat mengganggu konsentrasinya, misalkan menggunakan telepon termasuk di dalamnya menekan tombol telepon, atau melakukan gerakan memindahkan kursor dalam telepon genggam (seluler) untuk menelepon, SMS, chatting, atau mencari jalan dengan menggunakan GPS; (2) tidak menempatkan diri dalam keadaan yang dapat mengganggu konsentrasinya, misalnya karena sakit, lelah, mengantuk, meminum minuman beralkohol, atau obat-obatan.
Oleh karena itu, frasa “menggunakan telepon” yang terdapat dalam penjelasan harus dipahami bersama-sama dengan norma pokok dalam batang tubuh Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 yang menyatakan “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”. Norma dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 ini merupakan norma baru yang belum terdapat dalam undang-undang sebelumnya (UU 14/1992). Perlunya norma ini dibentuk bertolak dari fakta yang berkembang di lapangan bahwa angka kecelakaan lalu lintas cenderung meningkat akibat pengemudi kendaraan yang tidak penuh konsentrasi saat berkendara sehingga merugikan pengemudi sendiri dan pengguna jalan yang lain. Merujuk Keterangan DPR di persidangan Mahkamah pada tanggal 9 Mei 2018 dalam forum Rapat Tim Kecil RUU LLAJ tanggal 30 April 2009, dijelaskan perihal proses perdebatan terhadap pembahasan frasa penuh konsentrasi yang dimaksudkan untuk mengatur secara lebih komprehensif sebagai upaya mencegah kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi yang berkendara secara tidak penuh konsentrasi.
Dalam konteks inilah diperlukan penjelasan untuk memudahkan warga masyarakat memahami maksud “penuh konsentrasi” tersebut. Menggunakan telepon hanya merupakan salah satu penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan secara penuh konsentrasi. Jika merujuk pada KBBI kata “menggunakan” diartikan “memakai (alat, perkakas); mengambil manfaatnya; melakukan sesuatu dengan: tidak boleh~ kekerasan”, kata “menggunakan” bersifat aktif. Artinya, norma a quo tergolong dalam kalimat aktif, untuk menerangkan kegiatan melakukan sesuatu dengan memanfaatkan telepon, termasuk memanfaatkan fitur-fitur ketika sedang berkendara. Dengan demikian, rumusan Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 terkait dengan frasa “menggunakan telepon” telah cukup jelas.
Pembentuk undang-undang memang tidak memberikan contoh detil apa saja jenis fitur-fitur yang terdapat dalam telepon seluler karena akan mempersempit pelaksanaan undang-undang. Terlebih lagi jika hal itu terkait dengan perangkat teknologi yang selalu berkembang. Pembentuk undang-undang hanya merumuskan secara umum penjelasan terkait dengan berbagai penyebab yang dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan secara penuh konsentrasi, supaya pelaksanaan norma Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 tidak mudah tertinggal, tetapi mampu menjangkau kebutuhan hukum dalam jangka waktu yang panjang, termasuk mengantisipasi adanya perkembangan teknologi. Penjelasan demikian telah sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pada saat UU 22/2009 dibuat masih menggunakan Lampiran Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan angka 149 dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004). Esensi teknik penyusunan tersebut sama dengan Lampiran II angka 176 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011) yang menggantikan UU 10/2004.
[3.13.3] Bahwa seiring dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor, Mahkamah dapat memahami jika kini telah banyak kendaraan bermotor yang diproduksi sekaligus dilengkapi dengan teknologi peta jalan ditambah dengan fitur GPS yang sesuai dengan standar untuk membantu pengemudi mencapai lokasi tujuannya. Terhadap hal ini, ahli Sowanwitno Lumadjeng dalam keterangannya menjelaskan instrumen GPS yang merupakan bawaan produksi pabrikan, berbeda dengan pemanfaatan fitur GPS melalui telepon seluler. Perbedaan mendasar terletak pada perencanaan desain penempatan layar. Pada mobil produksi, penempatan layar berada dalam jangkauan pandangan maupun jangkauan pengoperasian yang sudah terukur dengan desain tata letak yang mempertimbangkan keamanan dan keselamatan berkendara. Pengemudi tidak perlu menoleh-noleh dan/atau meninggalkan pandangan utamanya terlalu lama dalam mengemudi apabila ingin melihat layar instrumen GPS. Sementara itu, pemanfaatan fitur GPS melalui penggunaan telepon seluler tidak ada panduannya. Bahkan fakta yang berkembang di lapangan seringkali penempatan telepon genggam (seluler) yang sudah ada fitur GPS ditempatkan dengan cara mengaitkan telepon tersebut pada bagian kaca depan kendaraan sehingga dapat mengganggu pandangan dan memperlebar ruang tak tampak (“blank spot”) bagi pengemudi yang pada akhirnya berisiko terjadinya kecelakaan. Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa menggunakan telepon dengan memanfaatkan fitur GPS dan menempatkannya tidak sesuai dengan standar pada saat mengemudi merupakan kegiatan yang dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Menurut ahli Kalamullah Ramli dalam keterangan tertulis yang diserahkan ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Juni 2018 bahwa mengemudikan kendaraan bermotor yang diiringi dengan beragam aktifitas lainnya secara paralel (multi-tasking) akan mengakibatkan penurunan kendali otak (brain drain) dan berkurangnya penguasaan menyeluruh secara visual, spasial, dan motorik atas aktivitas utama, yaitu mengemudi.
Mahkamah dapat memahami bahwa pengoperasian GPS sangat membantu pengemudi untuk sampai pada tujuannya dengan menempuh rute terbaik sesuai dengan tayangan GPS. Persoalannya, pengguna GPS dalam telepon seluler bukanlah satu-satunya pengemudi yang berada di rute jalan dimaksud. Bisa dipastikan pengemudi akan berpapasan, beriringan, atau berdampingan dengan sesama pengguna jalan, baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan lain. Pada saat yang sama GPS juga bukan satu-satunya objek yang harus diperhatikan oleh pengemudi. Di sepanjang jalan pengemudi berhadapan dengan objek-objek lainnya yang menjadi kewajiban pengemudi untuk memerhatikannya sesuai dengan ketentuan tertib berlalu lintas dalam UU 22/2009 misalnya rambu lalu lintas, bangunan, cahaya, dan lainnya. Konsentrasi pengemudi tidak boleh terganggu karena menggunakan aplikasi GPS dalam telepon seluler pada saat berkendara karena akan menyebabkan berkurangnya perhatian dan konsentrasi pengemudi yang dapat berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Menurut pendapat Mahkamah, Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 terkait dengan frasa “penuh konsentrasi” bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat dampak buruk perilaku pengemudi yang terganggu konsentrasinya pada saat mengemudikan kendaraannya.
Berdasarkan uraian di atas, menggunakan telepon seluler yang di dalamnya terdapat berbagai fitur termasuk aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut GPS pada saat berkendara, dalam batas penalaran yang wajar termasuk hal yang dapat mengganggu konsentrasi berlalu lintas yang dapat berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Dengan kata lain, penggunaan GPS dapat dibenarkan sepanjang tidak mengganggu konsentrasi pengemudi dalam berlalu lintas. Artinya, tidak setiap pengendara yang menggunakan GPS serta-merta dapat dinilai mengganggu konsentrasi mengemudi yang membahayakan pengguna jalan lainnya yang dapat dinilai melanggar hukum, sehingga penerapannya harus dilihat secara kasuistis. Oleh karena itu, tidak ada persoalan inkonstitusionalitas terkait dengan Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009. Dengan demikian dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa mengenai dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009 yang menurut para Pemohon tidak memberikan jaminan perlindungan hukum sehingga harus dinyatakan inkonstitusional, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya adalah Pasal 283 UU 22/2009 yang secara lengkap menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)”. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo, dengan telah dipertimbangkannya oleh Mahkamah konstitusionalitas Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 pada Paragraf [3.13.3] di atas bahwa penggunaan GPS dapat dibenarkan sepanjang tidak mengganggu konsentrasi mengemudi, maka para Pemohon tidak perlu khawatir dengan berlakunya ketentuan Pasal 283 UU 22/2009 sehingga pada dasarnya telah tidak relevan lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 283 UU 22/2009.
Adapun perihal dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa norma Pasal 283 UU 22/2009 multitafsir, Mahkamah berpendapat bahwa norma ini merupakan bagian dari Bab XX Ketentuan Pidana UU 22/2009. Merujuk pada Lampiran Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan huruf C.3 UU 10/2004 (yang berlaku ketika UU 22/2009 disusun), pembentuk undang-undang telah memberikan panduan teknik terkait dengan perumusan ketentuan pidana dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan di antaranya adalah:
85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang- Undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut.
Esensi terkait dengan teknik menyusun atau merumuskan ketentuan pidana dalam UU 10/2004 di atas sama dengan yang terdapat dalam Lampiran II UU 12/2011. Merujuk pada panduan teknik tersebut pada prinsipnya tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat mengatur ketentuan pidana karena ketentuan pidana merupakan hal yang terkait dengan perampasan hak sehingga harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Oleh karena itu hanya undang-undang dan peraturan daerah yang dapat mencantumkan ketentuan pidana. Lebih lanjut, secara doktriner perumusan ketentuan pidana harus memenuhi asas-asas hukum pidana yaitu Lex Scripta (nullum crimen nulla poena sine lege scripta), rumusan ketentuan pidana harus dituangkan secara tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan, Lex Certa (nullum crimen nulla poena sine lege certa), rumusan tindak pidana yang dimaksud harus diuraikan unsur-unsurnya secara jelas dan lengkap, dan Lex Stricta (nullum crimen poena sine lege stricta), rumusan ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat.
[3.14.2] Bahwa perumusan norma ketentuan pidana dalam Pasal 283 UU 22/2009 telah sesuai dengan asas-asas perumusan norma dalam hukum pidana dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk memahami norma tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemahaman yang utuh terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 yang menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”. Norma ini berisi norma perintah yang mewajibkan setiap orang mengemudikan kendaraannya secara wajar dan penuh konsentrasi sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Dalam rangka menciptakan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas terhadap pelanggaran norma wajib dimaksud perlu diberikan ancaman sanksi pidana yang perumusannya ditempatkan pada bagian akhir sebelum ketentuan penutup.
Berkenaan dengan persoalan pokok yang dipermasalahkan oleh para Pemohon terkait dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang mana frasa ini memang tidak terdapat dalam rumusan norma Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 tetapi terkandung dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009, Mahkamah berpendapat bahwa merujuk pada Lampiran huruf E angka 149 UU 10/2004 disebutkan bahwa “Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh”. Tafsir resmi dari norma Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 adalah:
Yang dimaksud dengan ”penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan.
Sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam Paragraf [3.13.2] di atas bahwa esensi pokok yang hendak dijelaskan dalam Pasal 106 ayat (1) UU 22/2009 adalah mengenai wajibnya pengemudi mencurahkan konsentrasinya secara penuh pada saat sedang mengemudikan kendaraan atau berkendara. Oleh karena itu pengemudi tidak boleh melakukan kegiatan lain jika kegiatan lain tersebut dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi.
Berdasarkan uraian di atas Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (smartphone)” adalah tidak beralasan menurut hukum
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “menggunakan telepon” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009, tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430