Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-01-2019

Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim

Pasal 1 angka 35 UU Pemilu

Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 35 UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbngkan substansi atau pokok permohonan a quo, oleh karena normapasal undang-undang yang dimohonkan pengujian telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 48/PUU-XVI/2018, bertanggal 24 Januari 2019, maka terlebih dahulu Mahkamah akan merujuk putusan dimaksud yng berkenaan dengan pengujian norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa mengenai dalil Pemohon berkenaan dengan frasa “dan/atau citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu, di mana menurut Pemohon perumusannya mengandung ketidakjelasan, multitafsir atau karet, serta bercampur-baur dengan makna sosialisasi dan pendidikan politik, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa untuk menjelaskan frasa di atas, perlu dirujuk kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang di antaranya mengatur perihal makna penting kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang- undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Terkait dengan rujukan tersebut, masalah mendasar yang perlu dikemukakan: apakah frasa “citra diri” merupakan frasa yang tidak jelas, sehingga dapat dikualifikasi tidak memenuhi asas kejelasan rumusan.

[3.10.2] Bahwa secara gramatikal, dalam KBBI kata “citra” dimaknai sebagai rupa; gambar; gambaran pribadi, organisasi atau produk; kesan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat; data atau informasi. Ketika kata dimaksud digunakan untuk mendefinisikan kampanye Pemilu, maka citra diri Peserta Pemilu dapat dipahami sebagai gambaran pribadi, produk atau program peserta Pemilu, atau visualisasi diri berupa frasa, kalimat, gambar atau data yang disampaikan kepada pemilih. Artinya, ketika peserta Pemilu menampilkan gambaran positif tentang dirinya dalam segala bentuk, maka hal tersebut merupakan citra diri Peserta Pemilu itu sendiri.

[3.10.3] Bahwa dalam menilai maksud frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu tidak dapat dilepaskan dari pemaknaannya dalam Bahasa Indonesia. Makna atau arti dalam bahasa-lah yang pertama- tama mesti dijadikan patokan atau ukuran untuk menilai apakah kata atau frasa tersebut mengandung ketidakjelasan atau malah sebaliknya. Ketika suatu kata dimaknai atau diartikan sesuai maksudnya secara bahasa hal itu tidak dapat dikatakan bahwa kata tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan. Sebab, apa yang dimaksud dengan kata tersebut sudah sangat jelas dan tidak multitafsir. Dengan memahami frasa “citra diri” sesuai konteks bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia, maka saat kata tersebut digunakan dalam UU Pemilu, khususnya dalam definisi kampanye kata tersebut pun mesti dipahami sebagaimana adanya menurut bahasa tersebut. Dengan demikian, frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sama sekali tidak mengandung ketidakjelasan. Sebab, maksudnya akan dipahami sebagai gambar, suara, data, atau grafik yang menggambarkan diri Peserta Pemilu. Pada saat peserta Pemilu menampilkan gambaran dirinya melalui gambar, suara, data atau grafik, maka kegiatan tersebut termasuk dalam apa yang dimaksud dengan frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu.

[3.10.4] Terhadap anggapan Pemohon bahwa keberadaan frasa a quo telah menyebabkan bercampuraduknya antara kegiatan pendidikan politik dengan kampanye dimaksud perlu dipertimbangkan bahwa kampanye pada hakikatnya adalah juga bagian dari pendidikan politik, sehingga bagaimana mungkin membuat batas demarkasi antara keduanya sebagaimana hendak dikonstruksi oleh Pemohon. Dalam konteks itu, ketika kegiatan kampanye Pemilu dibatasi dan diatur sedemikian rupa, maka dipastikan bahwa pendidikan politik yang dilakukan peserta Pemilu dalam masa kampanye juga akan turut menyesuaikan dengan pengaturan dimaksud. Oleh karena itu, tidaklah tepat sesungguhnya untuk menilai bahwa frasa “dan/atau citra diri” dianggap mengandung ketidakjelasan rumusan karena bercampuraduknya kegiatan pendidikan politik dengan kampanye.

[3.10.5] Bahwa lebih jauh, dari aspek sejarah perumusan definisi kampanye, frasa “citra diri” baru muncul dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam undang-undang pemilu sebelumnya, baik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012) maupun Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 48/2008), kampanye hanya didefinisikan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 29 UU 8/2012
“Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.“

Pasal 1 angka 22 UU 42/2008
“Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon.”

Bahwa dengan definisi yang sangat sederhana di atas, kegiatan kampanye pemilu tidak dapat dikendalikan dan diawasi secara maksimal dalam kerangka pemilu yang jujur dan adil. Berbagai kegiatan peserta pemilu yang sesungguhnya merupakan kampanye, tidak dapat diklasifikasikan sebagai kampanye. Kegiatan-kegiatan yang secara materiil merupakan kampanye pemilu, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak dapat dijangkau melalui proses pengawasan kampanye. Untuk menghindari tuduhan pelanggaran kampanye, peserta pemilu berdasarkan UU tersebut cukup mengampanyekan diri dengan menampilkan citra dirinya tanpa mencantumkan visi, misi, atau programnya, atau dengan cara tidak mencantumkan visi, misi dan program secara akumulatif, sehingga ia terhindar dari pengawasan penyelenggara pemilu. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, citra diri yang ditampilkan melalui gambar, suara, visual ataupun data sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai kampanye pemilu, dan oleh karenanya juga mesti diawasi oleh pengawas pemilu.

[3.10.6] Bahwa dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam regulasi Pemilu sebelumnya, UU Pemilu mengadopsi frasa “citra diri” dan dirumuskan dengan rumusan alternatif menggunakan frasa “dan/atau” dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Dengan dimasukkannya frasa tersebut melalui penggunaan rumusan alternatif, maka tidak ada lagi kegiatan yang pada intinya merupakan kampanye pemilu namun tidak dapat diatur dan diawasi sebagai kegiatan kampanye pemilu. Dalam konteks ini, regulasi pemilu sesungguhnya hendak menjaga agar kampanye berjalan secara adil dan dapat diawasi sehingga dapat menopang berjalannya pemilu secara jujur dan adil. Dengan demikian, tidak ada lagi peserta atau pihak lain yang mencoba untuk memanfaatkan celah hukum yang ada untuk berkampanye secara terselubung karena semuanya akan terjangkau oleh lembaga pengawas pemilu dengan segala kewenangan yang dimilikinya.

[3.10.7] Bahwa apabila permohonan Pemohon untuk menyatakan frasa “dan/atau citra diri” bertentangan dengan UUD 1945 diterima, maka kelemahan yang terdapat dalam regulasi pemilu sebelumnya tidak akan dapat diatasi. Selain itu, pembatalan frasa a quo juga akan mengembalikan proses kampanye pemilu ke keadaan sebelumnya, di mana kampanye pemilu tidak dapat diawasi secara maksimal. Pada gilirannya, pengalaman pelaksanaan kampanye di bawah UU 8/2012 maupun UU 42/2008 akan sangat potensial terulang kembali. Pada saat yang sama, upaya untuk menempatkan kampanye pemilu sesuai kondisi materiilnya guna menjaga agar pemilu berjalan secara jujur dan adil, tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, upaya memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu melalui pembaharuan rumusan definisi kampanye dalam UU Pemilu merupakan suatu kebutuhan sehingga tidak ada lagi celah hukum yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menghindar dari pengawasan pelanggaran pelaksanaan kampanye.

[3.10.8] Bahwa, keberadaan frasa “citra diri” sesungguhnya juga tidak membuka ruang untuk adanya tindakan sewenang-wenang penyelenggara pemilu. Dalam arti, penyelenggara pemilu tidak dapat menafsirkan frasa tersebut secara lentur, di mana, pada satu kondisi tertentu, frasa tersebut diartikan dalam makna tertentu, sementara dalam kondisi lain, ia akan ditafsirkan dengan makna lain lagi. Hal tersebut akan sangat sulit terjadi, sebab maksud yang dikandung frasa “citra diri” sudah sangat jelas dan mencakup segala tindakan peserta pemilu terkait pencitraan dirinya. Kalaupun dalam pelaksanaannya penyelenggara pemilu menerapkan norma tersebut secara berbeda kepada peserta pemilu, hal itu lebih sebagai pelanggaran terhadap prinsip profesionalitas penyelenggara pemilu, bukan masalah konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon terkait Pasal 1 angka 35 sepanjang frasa “dan/atau citra diri” tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon terkait Pasal 1 angka 35 sepanjang frasa “dan/atau citra diri” tidak beralasan secara hukum.

[3.9] Menimbang bahwa sekalipun para Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo lebih dikarenakan oleh kepentingan pemilih untuk dapat mengetahui visi dan misi peserta pemilu termasuk dalam hal ini Pasal 1 angka 35 UU Pemilu adalah untuk memberikan pembatasan ihwal kampanye, maka menyatakan norma pasal a quo inkonstitusional sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon adalah bertentangan dengan Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa perubahan pengertian kampanye merupakan suatu kebutuhan untuk menjawab kekurangan pengertian kampanye dalam beberapa undang-undang pemilu sebelumnya. Oleh karena alasan mendasar perumusan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVI/2018 maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan a quo.