Yadi Supriyadi, Rahmat Kusaeri, Sudirman, Sidiq Permana, Dian, Asep Sobarna, Zamzam Aqbil Raziqin, Didin Saepudin, Cepi Sopandi, Hikmat Rohendi, Sachrial, Cecep Supriatna, Erik Roeslan Fauzi, Tatang Gunawan, Atin Nurhayati, Yuyu Yuningsih, Firmansyah, dan Dadan Ramdani
Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Pasal 18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
[3.5] Berdasarkan seluruh uraian di atas, permasalahan para Pemohon
pada pokoknya adalah mengenai norma dalam UU 33/2004 yang
mengatur angka pembagian DBH dari Penerimaan Pertambangan Panas
Bumi kepada provinsi. Menurut para Pemohon aturan ini menyebabkan
kurangnya anggaran pemerintah kabupaten yang bersumber dari
pertambangan panas bumi, sehingga berdampak pada tidak efektifnya
pemerintah kabupaten dalam menanggulangi bencana alam yang terjadi
karena kegiatan pertambangan panas bumi.
Terhadap uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum
tersebut, menurut Mahkamah, norma Pasal 21 ayat (2) huruf a UU
33/2004 yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon adalah norma
yang mengatur mengenai hak daerah, sebagaimana dinyatakan oleh
ketentuan norma a quo bahwa “Dana Bagi Hasil dari Penerimaan
Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dibagi dengan rincian: a. 16% (enam
belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan…”. Daerah yang
dimaksud dalam ketentuan ini dapat berarti daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota. Oleh karena hal ini merupakan hak daerah, lebih khusus
lagi adalah hak pemerintah provinsi, maka yang seharusnya dapat
mempersoalkan konstitusionalitas norma a quo adalah pemerintah
provinsi, bukan perorangan warga negara.
Berdasarkan uraian di atas, oleh karena substansi permohonan a quo
adalah berkenaan dengan hak daerah, baik daerah provinsi maupun
kabupaten/kota, apabila berkenaan dengan hak tersebut terdapat norma
yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka sesungguhnya
yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah
pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu
menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait
dengan hak pemerintah daerah telah diputuskan oleh Mahkamah dalam
putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, bertanggal 21 Februari
2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015,
bertanggal 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
136/PUU-XIII/2015, bertanggal 11 Januari 2017. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah
mempertimbangkan antara lain:
Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan
Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan
dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan
DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota
bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota”. [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
87/PUU-XIII/2015, hlm.59]
Walaupun permohonan pengujian dalam putusan-putusan Mahkamah di
atas bukan terkait dengan norma dalam UU 33/2004 tetapi terkait dengan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah (in casu Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut UU
23/2014) namun secara substansi adalah menyangkut hak dan/atau
urusan yang menjadi kewenangan daerah, sehingga terlepas dari soal
apakah yang dipersoalkan itu adalah UU 23/2014 ataupun UU 33/2004
sepanjang menyangkut hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan
daerah maka yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan pengujian adalah pemerintahan daerah. Urusan-urusan
pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah baik
berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, atau tugas pembantuan tidak
akan dapat dilaksanakan tanpa diikuti dengan pembagian keuangan pusat
dan daerah. Hal ini pun dapat dipahami dari Konsiderans “Menimbang”
huruf c UU 33/2004 yang menyatakan “untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber
pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa
sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan,
tugas, dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan”.
Dengan demikian, oleh karena substansi permohonan a quo adalah
berkenaan dengan pembagian dana bagi hasil di mana persoalan dana
bagi hasil tersebut merupakan hak daerah sehingga merupakan bagian
dari persoalan hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah.
Oleh karena itu, sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas,
maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma yang
dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah Pemerintahan Daerah,
bukan orang perorangan. Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
a quo.
[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
Permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, Mahkamah tidak
mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430