Dr. Husdi Herman, S.H.,M.M. dan Viktor Santoso Tandiasa, S.H.,M.H.
Pasal 31A ayat (1) dan Pasal 31A ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2009 serta
Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Nomor 48 Tahun 2009
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang
[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan persoalan pokok
permohonan para Pemohon, Mahkamah setelah memeriksa secara
saksama Permohonan a quo, seluruh dalil para Pemohon bermuara pada
satu persoalan konstitusional apakah ketentuan Pasal 31A ayat (1) UU
3/2009 mengenai permohonan pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung
oleh Pemohon atau kuasanya kepada MA bertentangan dengan UUD
1945. Terhadap persoalan pokok tersebut, sebelum mempertimbangkan
lebih jauh dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk
mengutip kembali sebagian pertimbangan Mahkamah dalam Putusan
Nomor 30/PUU-XIII/2015, meskipun menurut para Pemohon permohonan
a quo berbeda dengan Permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015, namun
menurut Mahkamah persoalan konstitusionalitas permohonan a quo
berkaitan erat dan ada relevansinya dengan pertimbangan hukum dalam
putusan perkara tersebut khususnya di dalam menjawab persoalan pokok
yang didalilkan para Pemohon.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 perihal
pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, bertanggal 31 Mei 2016, Mahkamah menolak permohonan para
Pemohon dengan pertimbangan hukum antara lain:
"[3.12] Menimbang bahwa dalam hukum acara yang berlaku, ada
perbedaan antara proses persidangan di pengadilan tingkat pertama
dengan proses persidangan di tingkat banding, tingkat kasasi, dan dalam
acara peninjauan kembali. Persidangan di pengadilan tingkat pertama,
kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang, pemeriksaannya
terbuka untuk umum dan dihadiri pihak-pihak berperkara. Akan tetapi
pada pengadilan tingkat banding, tingkat kasasi, maupun peninjauan
kembali, persidangan tidak dihadiri pihak-pihak, kecuali pengadilan
menghendaki, oleh karena itu, hakim hanya membaca berkas perkara
yang berasal dari pengadilan tingkat pertama;
Oleh karena perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir
seyogianya hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang
mengakomodir pemeriksaan dan pengucapan putusannya dihadiri oleh
pihak-pihak dan setiap orang boleh menghadiri jalannya persidangan. Hal
tersebut sejalan pula dengan asas audi et alteram partem, yaitu memberi
kesempatan yang sama kepada para pihak untuk didengar dalam
persidangan termasuk menghadirkan saksi dan ahli.
Permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketika
pada praktiknya Mahkamah Agung baik sebagai judex facti sekaligus
judex juris dalam melakukan pemeriksaan perkara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang tidak dihadiri oleh pihak-
pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk
umum, maka Pasal 31A ayat (4) UU MA menjadi bertentangan dengan
UUD 1945 sehingga harus ditafsirkan “Permohonan pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan, yang pemeriksaan pokok permohonan dan
pembacaan putusan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum”
sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon dalam permohonannya;
[3.13] Menimbang bahwa sebagaimana yang telah diiuraikan Mahkamah
dalam pertimbangan di atas, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) dan ayat
(2) UU 48/2009 dan Pasal 40 ayat (2) UU MA maka semua persidangan
dan pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk
umum kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang termasuk perkara
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
Dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, tidak ada pertentangan
konstitusionalitas norma antara Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan UUD
1945 karena telah jelas dan tegas bahwa Mahkamah Agung sebagai
pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang (hak uji materiil) diberikan langsung
oleh UUD 1945 maka sidang pemeriksaan dan pengucapan putusannya
dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Namun
permasalahannya adalah apakah waktu 14 hari (sejak berkas diterima)
yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Mahkamah Agung untuk
menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang merupakan waktu yang cukup untuk
melaksanakan sidang secara terbuka seperti yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang tidak
diberikan batas waktu seperti Mahkamah Agung sehingga cukup waktu
bagi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan sidang pemeriksaan
pembuktian untuk mendengar keterangan saksi atau pun keterangan ahli
yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam kenyataannya,
perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak
hanya perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang tetapi juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta
perkara peninjauan kembali, yang juga membutuhkan waktu untuk
penyelesaiannya. Demikian juga untuk menghadirkan pihak berperkara
yang berada di seluruh wilayah Republik Indonesia memerlukan waktu
lebih lama, sementara Mahkamah Agung hanya diberi waktu 14 hari
untuk menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang sejak permohonan diterima oleh Mahkamah
Agung yang tidak dapat dilanggar oleh Mahkamah Agung. Alasan tersebut
di atas menjadi kendala dan hambatan bagi Mahkamah Agung untuk
melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan memberi
kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk
umum dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang;
[3.14] Menimbang bahwa dengan dasar pertimbangan tersebut di atas,
apabila para Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang
terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka Mahkamah Agung
harus diberikan waktu yang cukup serta sarana dan prasarana yang
memadai. Hal tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang (open legal policy) dan bukan merupakan
konstitusionalitas norma”.
[3.12] Menimbang bahwa setelah mencermati pertimbangan hukum
dalam putusan Mahkamah tersebut di atas, persoalan konstitusional yang
dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara tersebut berkenaan
langsung dengan ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU MA, yaitu mengenai
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang- undang dilakukan oleh MA paling lama
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan, yang oleh para Pemohon dimohonkan agar pemeriksaan
oleh MA dilakukan dengan pemeriksaan dan putusan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum dan tentunya dalam persidangan dengan
pemeriksaan yang terbuka untuk umum pula dengan agenda pada
hakikatnya memberikan kesempatan para pihak untuk mengajukan alat-
alat bukti berupa saksi, ahli, dan bukti lainnya dan terkait dengan hal
tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009
adalah konstitusional dan dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum
pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah berpendirian
bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009 mengenai permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang oleh
MA dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan adalah konstitusional;
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, permohonan yang diajukan oleh para
Pemohon dalam permohonan a quo adalah berkenaan dengan
konstitusionalitas Pasal 31A ayat (1) UU 3/2009 yang secara substansi
juga dimohonkan para Pemohon agar Mahkamah menyatakan norma
Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai
“Proses Pemeriksaan dalam Persidangan atas Permohonan Keberatan Hak
Uji Materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum” dan menyatakan
secara mutatis mutandis Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009 bertentangan
dengan Konstitusi (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat karena menjadi tidak relevan untuk dipertahankan
keberadaannya. Terhadap dalil dan permohonan para Pemohon a quo,
Mahkamah berpendapat bahwa sebenarnya esensi persoalan
konstitusionalitas yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam perkara a
quo adalah sama dengan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan
dalam permohonan yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam
Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015, yaitu berkaitan dengan
pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang- undangan di
bawah undang-undang di MA dilakukan dengan dihadiri oleh para pihak
dengan memberi kesempatan para pihak untuk mengajukan alat bukti
berupa saksi, ahli maupun bukti lainnya dan dilaksanakan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Oleh karenanya apabila
mencermati pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Nomor
30/PUU-XIII/2015, maka argumentasi para Pemohon tersebut juga telah
dijawab dan ditegaskan oleh Mahkamah, bahwa hal tersebut terkendala
dengan batas waktu pemeriksaan oleh MA yang diberikan oleh undang-
undang yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Oleh karenanya
meskipun para Pemohon mengajukan permohonan a quo dengan
mendasarkan permohonannya yang merujuk Pasal 31A ayat (1) UU
3/2009, namun Mahkamah berkesimpulan semangat yang diinginkan oleh
para Pemohon substansinya sama dengan permohonan yang telah
diputus dalam Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang
tentunya tidak dapat dilepaskan dengan terkendalanya MA untuk
melakukan pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dengan
menghadirkan dan mendengar kedua belah pihak (audi et alteram
partem) dalam persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas
waktu pemeriksaan yang hanya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana
yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan penegasan lain dalam
pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015
tersebut tidak memungkinkan bagi MA untuk melaksanakan persidangan
dengan menghadirkan para pihak dan memberi kesempatan untuk
mengajukan alat bukti berupa saksi, ahli, serta bukti lainnya dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dalam batas waktu pemeriksaan
yang hanya 14 (empat belas) hari kerja. Dengan pertimbangan hukum
tersebut lebih lanjut Mahkamah menegaskan juga bahwa apabila para
Pemohon mengharapkan sidang perkara pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang dilakukan dalam sidang terbuka
untuk umum dan dihadiri oleh para pihak maka MA harus diberikan waktu
yang cukup serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut
menurut Mahkamah telah ditegaskan merupakan kewenangan pembentuk
Undang-Undang dan bukan konstitusionalitas norma.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya penting bagi Mahkamah untuk
menjawab dalil lainnya para Pemohon berkaitan dengan anggapan para
Pemohon yang ada dalam permohonan yaitu adanya kondisi hukum baru
melalui Putusan Mahkamah Nomor 93/PUU-XV/2017 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa kewenangan MA dalam uji materiil berbeda dengan
kewenangan mengadili perkara pada tingkat kasasi, dan kewenangan uji
materiil bukanlah bagian dari peran MA sebagai judex juris. Menurut para
Pemohon hal tersebut berbeda dengan pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya
menyatakan tidak ada pertentangan konstitusionalitas norma antara Pasal
31A ayat (4) UU 3/2009 dengan UUD 1945 karena telah jelas dan tegas
bahwa MA sebagai pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
diberikan langsung oleh UUD 1945 maka sidang pemeriksaan dan
pengucapan putusannya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat penegasan
fungsi dan kewenangan MA yang diuraikan dalam pertimbangan dua
Putusan tersebut sebenarnya hanya memberikan ilustrasi kepada para
Pemohon dalam permohonan perkara-perkara tersebut tentang fungsi
dan kewenangan MA yang penekanannya pada persidangan dan
pemeriksaan terhadap perkara apapun, termasuk pembacaan putusan,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang harus dilakukan dengan
persidangan yang terbuka untuk umum, bukan pada pemeriksaan yang
terbuka untuk umum dengan agenda persidangan mendengar keterangan
para pihak dan memberi kesempatan para pihak mengajukan alat-alat
bukti, berupa saksi, ahli maupun bukti lainnya.
Dengan demikian telah jelas jawaban dan sikap Mahkamah terhadap
permohonan para Pemohon a quo dan oleh karenanya meskipun para
Pemohon mempersoalkan adanya keterkaitan pendirian Mahkamah dalam
Putusan Nomor 30/PUU-XIII/2015 dengan Putusan Nomor 93/PUU-
XV/2017 berkenaan dengan eksistensi MA dalam menjalankan fungsi dan
kewenangannya dalam memeriksa perkara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang menurut para
Pemohon hanya terbatas berkaitan dengan waktu pemeriksaan bukan
mengenai pemeriksaan yang harus dihadiri oleh para pihak untuk
memenuhi prinsip mendengar keterangan kedua belah pihak (audi et
alteram partem), namun terhadap hal ini Mahkamah tidak sependapat
dengan dalil para Pemohon tersebut, mengingat persoalan waktu 14
(empat belas) hari kerja dengan memberi kesempatan para pihak untuk
dihadirkan di persidangan dan mengajukan alat bukti yang cukup serta
persidangan dilakukan dengan terbuka untuk umum adalah satu
rangkaian proses yang terintegrasi. Proses demikian merupakan satu
kesatuan tahapan hukum acara yang saling berkorelasi antara waktu
pemeriksaan yang cukup dengan memberi kesempatan para pihak untuk
hadir dan didengar keterangannya serta menerima pembuktian para
pihak dengan mengajukan saksi, ahli dan bukti lainnya dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu argumentasi
para Pemohon a quo haruslah dikesampingkan dan Mahkamah tetap
berpendirian bahwa persoalan waktu dan memberi kesempatan para
pihak untuk hadir dan didengar di persidangan serta mengajukan alat-alat
bukti baik saksi, ahli dan bukti lainnya dalam persidangan yang terbuka
untuk umum adalah persoalan konstitusionalitas norma yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan hal tersebut tepat diajukan
kepada pembentuk undang-undang. Dengan demikian telah jelas bahwa
apabila ada persidangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan manapun
yang tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain atau harus tertutup, maka hal tersebut adalah persoalan
implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma.
Sedangkan permasalahan persidangan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di MA yang
oleh para Pemohon didalilkan harus dilakukan dengan pemeriksaan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dan menghadirkan, mendengar,
dan memberi kesempatan para pihak mengajukan alat bukti berupa,
saksi, ahli dan bukti lainnya, dalam hal ini Mahkamah menegaskan hal
tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, mengingat
persoalan pokok yang dipersoalkan oleh para Pemohon berkaitan erat dan
satu kesatuan dengan persoalan waktu pemeriksaan yang dimiliki oleh MA
yang hanya 14 (empat belas) hari kerja dan telah diputus dalam perkara
sebelumnya.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, Mahkamah berpendapat bahwa pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 30/PUU-XIII/2015 mutatis mutandis berlaku
terhadap pertimbangan hukum dalam putusan permohonan a quo dan
oleh karenanya permohonan para Pemohon selebihnya berkaitan dengan
norma Pasal 31A ayat (4) UU 3/2009 yang meminta agar Mahkamah
menyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak relevan lagi untuk
dipertimbangkan. Sehingga oleh karena itu norma Pasal 31A ayat (4) UU
3/2009 tetap konstitusional.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430