Alungsyah, S.H., yang dikuasakan kepada Dr. A. Irmanputra Sidin, S.H., M.H., dkk para Advokat dan Konsultan Hukum pada Firma Hukum Sidin Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates, Advocates & Legal Consultants
frasa “undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut”
dalam ketentuan Pasal 55 UU MK
Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945
Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 86/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas frasa “undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut” dalam ketentuan Pasal 55 UU MK,
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5.2] Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai kerugian hak
konstitusionalnya, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan pekerjaan
Pemohon sebagai “Karyawan Swasta”, namun dalam alasan mengenai
kerugian hak konstitusionalnya Pemohon mendalilkan berprofesi sebagai
Advokat yang tergabung pada Firma Hukum Sidin Constitution, A.
IRMANPUTRA SIDIN & ASSOCIATES, Advocates & Legal Consultants. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah antara status Pemohon yang merupakan
“karyawan swasta” tidak memiliki hubungan keterkaitan langsung dengan
alasan kerugian hak konstitusional Pemohon yang mendalilkan sebagai
Advokat karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia jelas
memiliki hak konstitusional berbeda dengan Advokat.
Jika Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia kemudian
mendalilkan hak konstitusional Pemohon yang termaktub dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU
MK, hal itu telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
74/PUU-X/2012 yang dalam perkara tersebut pasal UUD 1945 yang
dijadikan dasar pengujian adalah Pasal 28D ayat (1) dan dinyatakan oleh
Mahkamah bahwa Pasal 55 UU MK konstitusional karena penghentian
pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang oleh
Mahkamah Agung menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi (vide Pasal
55 UU MK) adalah bertujuan untuk menjaga keutuhan sistem hukum.
Dengan demikian, uraian Pemohon mengenai kerugian hak konstitusionalnya dengan menyatakan bahwa Pasal 55 UU MK
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berdasarkan Pasal 60
UU MK yang menyatakan,
Ayat (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian
kembali.
Ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
maka permohonan Pemohon tidak dapat dimohonkan kembali
menggunakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar pengujian;
2. Bahwa Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya
juga menyatakan Pasal 55 UU MK bertentangan dengan Pasal 24A UUD
1945. Terhadap dalil tersebut Mahkamah juga telah memutusnya dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009, bertanggal 2
Februari 2010, yang dalam Paragraf [3.9] halaman 25 menyatakan:
Menimbang bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang
dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung
Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan
Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji
konstitusionalitas dari materi UUD 1945.
Sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK maka permohonan Pemohon tidak
dapat dimohonkan kembali dengan menggunakan Pasal 24A UUD 1945
sebagai dasar pengujian;
Selain itu, Pasal 24A UUD 1945 bukanlah mengatur mengenai hak
konstitusional karena Pasal 24A UUD 1945 mengatur mengenai
kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi untuk menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang yang oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017, bertanggal 20 Maret 2018, dinyatakan
bahwa mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan
sarana bagi rakyat melalui pelaku kekuasaan kehakiman untuk
mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-
undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dengan demikian, jelas bahwa Pasal 24A UUD 1945 khususnya ayat (1)
terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung dan tidak berkait dengan
hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, jika pun
ada keterkaitan hak konstitusional Pemohon, quod non, adalah hak untuk
mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-
undang dan itu tidak menghalangi Pemohon untuk mengontrol produk
hukum;
3. Bahwa ditundanya perkara uji materiil di Mahkamah Agung ketika
ada perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (vide
Pasal 55 UU MK) telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUUXV/2017, bertanggal 20 Maret 2018, khususnya
Paragraf [3.18] halaman 40 yang menyatakan:
…keberadaan Pasal 55 UU MK sebagaimana telah disinggung
sebelumnya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses
pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang
yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Kepastian hukum yang diinginkan dari penghentian pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
tidaklah perlu dipertentangkan dengan kepastian hukum bagi pencari
keadilan ketika mengajukan permohonan uji materiil. Para pencari
keadilan haruslah mendapatkan kepastian hukum atas permohonan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang. Kepastian tersebut dapat diperoleh dengan menghentikan
sementara proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang hingga adanya putusan
Mahkamah Konstitusi…
Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, jelas
tidak ada kerugian Pemohon selaku perseorangan warga negara
Indonesia oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU MK;
4. Bahwa persoalan berikutnya adalah jikapun Pemohon bertindak
sebagai advokat yang membela kliennya, menurut Mahkamah, selaku
Advokat yang mewakili kliennya dalam hubungannya dengan Pasal 55 UU
MK tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon selaku Advokat karena
selaku Advokat tetap dapat mengajukan permohonan uji materiil ke
Mahkamah Agung. Persoalan penundaan pengujian hak uji materiil di MA
yang tidak kunjung diputus, karena undang-undang yang dijadikan dasar
pengujian di MA terus-menerus dilakukan pengujian di MK, tanpa ada
kaitannya dengan norma yang diuji oleh klien bukan merupakan kerugian
konstitusional tetapi konsekuensi logis dari dipisahkannya kewenangan
menguji undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MK dan uji materiil
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA.
Penundaan pemeriksaan perkara oleh MA ketika undang-undang yang
menjadi dasar pengujiannya sedang diuji oleh MK justru memberi
kepastian hukum guna menjaga keutuhan sistem hukum. Di samping itu,
agar tidak terjadi pertentangan antara putusan MK yang menjadi dasar
pengujian konstitusional undang-undang dengan putusan MA. Dengan
demikian, menurut Mahkamah, baik Pemohon selaku perseorangan warga
negara Indonesia maupun selaku Advokat tidak ada hak konstitusional
yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU MK. Oleh karena
tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya
ketentuan Pasal 55 UU MK maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal
31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007,
bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya,
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo;
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430