Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR TAHUN 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Muhammad Hafidz dan Abda Khair Mufti

Pasal 80A UU Ormas

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 94/PUU-XV/2017
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 80A UU Ormas dalam permohonan a
quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama
permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti surat/tulisan, mendengar
dan membaca keterangan ahli, dan membaca kesimpulan yang diajukan
para Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Presiden
(Pemerintah) serta membaca dan mendengar keterangan ahli yang
diajukan oleh Presiden, maka sebelum mempertimbangkan lebih jauh
dalil-dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu
mempertimbangkan sebagai berikut:

1. bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
perbedaan dalam ajaran negara hukum menurut konsepsi rechtsstaat,
etat de droit, dan rule of law, ketiga konsepsi tersebut memuat tiga
substansi dasar yang sama yaitu: (1) substansi yang memuat gagasan
bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh hukum. Sekalipun pada
mulanya substansi ini ditujukan untuk membatasi kekuasaan penguasa (in
casu raja) yang dimaksudkan untuk menghapuskan atau mencegah
lahirnya kekuasaan yang bersifat tiranik, dalam perkembangan
selanjutnya gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh
hukum sekaligus dimaksudkan untuk menjamin dan melindungi hak-hak
dan kebebasan mendasar warga negara; (2) substansi yang memuat
gagasan tentang legalitas formal yaitu gagasan yang menekankan
keharusan adanya suatu tertib hukum (legal order) yang dibuat dan
dipertahankan oleh negara; (3) substansi yang memuat gagasan bahwa
hukumlah yang memerintah, bukan manusia [vide, antara lain, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari
2018]. Secara umum, lahirnya UU Ormas juga berpijak pada tiga
substansi dasar negara hukum di atas. Artinya, pertama, tindakan
pemerintah yang berkait dengan ormas dibatasi oleh ketentuan yang
terdapat dalam UU Ormas tersebut di mana pembatasan demikian
dilakukan demi melindungi hak-hak dan kebebasan dasar warga negara;
kedua, UU Ormas adalah salah satu bentuk tertib hukum (legal order)
yang dibuat dan dipertahankan oleh negara demi melindungi berbagai
kepentingan dalam kehidupan bernegara guna mencapai tujuan negara;
ketiga, dengan mendasarkan tindakan pada tertib hukum dimaksud, in
casu UU Ormas, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa hukumlah yang
memerintah, bukan orang

2. bahwa gagasan negara hukum yang dipraktikkan di Indonesia
adalah negara hukum yang berlandaskan prinsip supremasi konstitusi,
dalam hal ini UUD 1945. Artinya, seluruh tindakan negara maupun warga
negara tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, yaitu UUD 1945.
Sementara itu, yang dimaksud dengan UUD 1945, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, adalah terdiri
atas Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, dalam
menilai kesesuaian atau pertentangan suatu perbuatan dengan UUD 1945
bukanlah hanya berarti kesesuaian atau pertentangan perbuatan itu
dengan pasal-pasal UUD 1945 secara parsial melainkan terhadap UUD
1945 secara holistik yaitu Pembukaan dan pasal- pasal UUD 1945. Hal
demikian juga berlaku dalam menilai konstitusionalitas UU Ormas;

3. bahwa Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan fundamental
sebab merupakan jiwa dari UUD 1945 secara keseluruhan di mana dari
semangat dan amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 itulah
diturunkan pasal- pasal UUD 1945. Dari alinea keempat Pembukaan UUD
1945 diperoleh penegasan bahwa disusunnya UUD 1945 adalah
kelanjutan dari “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”, yang tiada lain
adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini dapat diketahui
dari pernyataan, “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…” Disusunnya
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yaitu UUD 1945, adalah untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang salah satu tugasnya ialah melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Adapun bentuk
susunan negara yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 adalah
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
tiada lain adalah merujuk pada dasar negara Pancasila. Oleh karena itu,
dalam menilai konstitusionalitas norma yang tertuang dalam UU Ormas
yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo juga tidak boleh
dilepaskan dari konteks ini. Terkait dengan hal itu, baik Konsiderans
“Menimbang” huruf a maupun Penjelasan Umum UU Ormas menegaskan
bahwa dibuatnya UU Ormas a quo adalah sejalan dengan semangat yang
tertuang dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam
Konsiderans “Menimbang” huruf a UU Ormas dinyatakan, “bahwa dalam
rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa.” Sementara itu, dalam Penjelasan Umum UU Ormas dikatakan,
antara lain, “Dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga dan
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar pertimbangan
tersebut, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal
10 Juli 2017. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2017 berdasarkan
ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu ditetapkan menjadi Undang-
Undang”.

[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas, selanjutnya terhadap
dalil-dalil para Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. bahwa dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
pertentangan Pasal 80A UU Ormas dengan prinsip negara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pertimbangan
Mahkamah sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas untuk
sebagian telah dengan sendirinya menjawab dalil para Pemohon a quo.
Namun, Mahkamah perlu menegaskan lebih jauh bahwa negara hukum
memang menjamin hak asasi manusia, in casu hak atas kemerdekaan
berserikat tetapi pada saat yang sama negara hukum juga membenarkan
adanya pembatasan terhadap hak asasi manusia sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,
yaitu bahwa (1) pembatasan tersebut ditetapkan dengan undang-
undang; (2) pembatasan dilakukan semata-mata dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain; (3) pembatasan dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan
tersebut dapat berbentuk larangan maupun keharusan yang disertai
dengan sanksi jika larangan dilanggar atau keharusan tersebut tidak
dilaksanakan. Namun, dalam konteks permohonan a quo, Pasal 80A
tidaklah langsung berkenaan dengan pembatasan demikian melainkan
hanya mengatur tentang konsekuensi dari dilanggarnya pembatasan yang
berupa larangan atau keharusan yang diatur dalam ketentuan lain dalam
UU Ormas.

2. bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A yang
menyekaliguskan pencabutan badan hukum Ormas dengan pembubaran
tanpa due process of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah
memiliki kekuatan hukum tetap telah mengesampingkan asas equality
before the law dan bertolak belakang dengan asas menjunjung hukum
dengan tidak ada kecualinya sehingga, menurut para Pemohon,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, Pasal 80A UU Ormas
berlaku terhadap ormas mana pun yang telah dicabut surat keterangan
terdaftar atau status badan hukumnya yang dilakukan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat
(3) huruf b UU Ormas. Pasal 80A UU Ormas tidak membedakan perlakuan
terhadap ormas tertentu melainkan diperlakukan sama secara hukum.
Setiap ormas juga wajib menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada
kecualinya, dalam hal ini menjunjung tinggi hukum sebagaimana diatur
dalam UU Ormas, khususnya menaati larangan-larangannya dan
melaksanakan keharusan-keharusan yang ditentukan. Oleh karenanya
tidak relevan untuk mendalilkan Pasal 80A UU Ormas dengan hak atas
persamaan perlakuan terhadap warga negara dalam hukum dan
pemerintahan dan kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Adapun terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 80A UU Ormas yang
menyekaliguskan pencabutan status badan hukum dengan pembubaran
ormas tanpa due process of law, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal
80A UU Ormas adalah kelanjutan dari penjatuhan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ormas. Sebagai sanksi
administratif maka yang berwenang menjatuhkannya adalah pejabat
administrasi atau tata usaha negara yang relevan. Dengan demikian
menjatuhkan sanksi administratif adalah bagian dari tindakan pejabat
administrasi atau tata usaha negara. Setiap tindakan atau perbuatan
pejabat administrasi atau tata usaha negara bersandar pada berlakunya
prinsip atau asas legalitas dalam hukum administrasi negara (yang
berbeda dengan asas legalitas dalam hukum pidana) yang mengandung
pengertian: pertama, setiap perbuatan pejabat administrasi negara
didasarkan pada ketentuan hukum yang memberikan kewenangan
kepadanya untuk melakukan perbuatan itu; kedua, dalam setiap
perbuatan pejabat administrasi negara berlaku asas praduga absah
(presumption of legality) yaitu bahwa perbuatan itu harus dianggap sah
sampai ada tindakan hukum yang membatalkan perbuatan tersebut.
Salah satu institusi yang dapat membatalkan perbuatan atau tindakan
pejabat administrasi negara adalah pengadilan, dalam hal ini pengadilan
tata usaha negara. Oleh karena itu, jika yang dimaksud oleh para
Pemohon dengan due process of law itu adalah adanya keterlibatan
pengadilan maka jika para Pemohon menganggap tindakan atau
perbuatan pejabat administrasi negara berupa penjatuhan sanksi
administrasi itu sebagai tindakan atau perbuatan yang berada di luar
kewenangan pejabat administrasi negara yang bersangkutan atau
menganggap tindakan penjatuhan sanksi itu tidak sah (meskipun
dilakukan oleh pejabat yang berwenang) maka hal itu dapat diadukan ke
pengadilan tata usaha negara;

3. bahwa di satu pihak, para Pemohon mengakui bahwa Pancasila dan
UUD 1945 yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa adalah bersifat
mutlak sehingga apabila suatu ormas yang melalui pengurus dan/atau
anggota-anggotanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 maka pelanggaran demikian tidak dapat ditolerir
dan harus dijatuhi sanksi. Karena itu, penjatuhan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan
ayat (3) huruf a dan huruf b UU Ormas, menurut para Pemohon, dapat
dibenarkan karena merupakan bentuk pembinaan sekaligus pengawasan
yang merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam menjaga
kedaulatan dan idelologi negara. Namun, di lain pihak para Pemohon
mendalilkan bahwa pemberian kewenangan kepada Pemerintah melalui
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia, menurut para Pemohon, telah melampaui
kewenangan menteri sebagai pejabat pemerintahan sekaligus pejabat
tata usaha negara yang hanya berwenang menerbitkan atau tidak
menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau
membatalkan keputusan yang diterbitkannya, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU Administrasi
Pemerintahan.

Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa
kewenangan untuk memberikan status badan hukum terhadap suatu
ormas adalah kewenangan Menteri yang menyelenggarakan urusan di
bidang hukum dan hak asasi manusia maka, sesuai dengan asas contrario
actus yang berlaku dalam hukum administrasi negara, menteri yang sama
berwenang pula untuk mencabut status badan hukum suatu ormas
apabila ditemukan pelanggaran terhadap larangan dan/atau keharusan
yang membawa akibat dapat dijatuhkannya sanksi administratif berupa
pencabutan status badan hukum dimaksud;

4. bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A UU Ormas
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan argumentasi
bahwa pembubaran ormas tidak cukup hanya berdasarkan pandangan
dan penilaian subjektif Pemerintah. Asas praduga tak bersalah
mengharuskan proses pembuktian di lembaga yudikatif yang independen
dan imparsial sehingga pembubaran ormas seharusnya diputuskan
melalui lembaga peradilan, bukan mempersamakan pencabutan status
badan hukum dengan pembubaran ormas. Karena itu, menurut para
Pemohon, Pasal 80A UU Ormas telah menghilangkan prinsip due process
of law. Ketentuan a quo telah merampas kewenangan lembaga peradilan.

Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mengatur tentang hak setiap orang
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga pertanyaannya
adalah apakah Pasal 80A UU Ormas tidak memberikan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Dalam hubungan ini, Pasal 80A UU Ormas
justru memberikan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama
di hadapan hukum terhadap setiap ormas yang melanggar larangan
sebagaimana diatur dalam ketentuan lain dalam UU Ormas sehingga
dicabut status badan hukumnya. UU Ormas mengakui, menjamin, dan
melindungi dan memberi kepastian hukum yang adil terhadap setiap
ormas yang tidak melanggar larangan sebagaimana ditentukan dalam UU
Ormas dengan memberi status badan hukum terhadap ormas dimaksud
(jika status badan hukum tersebut dimohonkan oleh para pendirinya).
Namun, ketika ormas yang telah memiliki status badan hukum tersebut
melanggar larangan yang ditentukan sehingga berakibat dijatuhkannya
sanksi berupa pencabutan status badan hukumnya maka dengan
dicabutnya status badan hukum tersebut segala tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh ormas sebagai badan hukum menjadi tidak sah. Oleh
karena itu, dengan menyatakan bahwa pencabutan status badan hukum
suatu ormas sekaligus berarti pembubaran ormas yang bersangkutan,
Pasal 80A UU Ormas justru memberikan kepastian hukum, terutama
kepada masyarakat. Sebab, dengan sekaligus menyatakan bubarnya
suatu ormas yang telah dicabut status badan hukumnya tidak akan timbul
keraguan-raguan di tengah masyarakat apakah ormas yang telah dicabut
status badan hukumnya itu masih ada atau tidak. Hal itu adalah juga adil
khususnya bagi ormas-ormas lain, baik yang memiliki status badan
hukum maupun tidak. Sebab jika ormas yang status badan hukumnya
telah dicabut tetapi tidak dinyatakan bubar dan dianggap tetap ada, hal
itu justru menjadi tidak adil sebab secara implisit berarti ormas yang
bersangkutan masih dapat melakukan perbuatan atau tindakan
sebagaimana halnya ormas- ormas lain yang tidak melakukan
pelanggaran dan tidak dicabut status badan hukumnya.

Adapun dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan due process of
law, hal itu telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10]
dan Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok
permohonan dan telah ternyata bahwa dalil-dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum namun oleh karena para Pemohon hanya
prima facie dianggap memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam
Permohonan a quo adalah Pasal 80A UU Ormas yang menyatakan,
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”;

2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan a quo dengan
mendalilkan selaku anggota masyarakat yang hendak menggunakan
haknya untuk membentuk, menjadi pengurus, dan menjalankan kegiatan
Ormas yang diberi nama “Perkumpulan Tuna Karya untuk Konstitusi
(Perak) Indonesia”;

3. Bahwa menurut para Pemohon potensi kerugian hak konstitusional
Para Pemohon tidak akan terjadi, apabila ada pengaturan due process of
law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki kekuatan
hukum tetap dalam Pasal 80A UU Ormas, sebagai bentuk kepastian
hukum yang adil bagi para Pemohon dalam memperjuangkan hak-hak
berkumpulnya di lembaga peradilan yang independen dan imparsial atas
tuduhan tindakan-tindakan Ormas para Pemohon kelak, yang secara
subjektif dianggap oleh Pemerintah melalui menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kerugian hak
konstitusionalnya di atas dikaitkan dengan alat bukti yang diajukan para
Pemohon dan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap pokok
permohonan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji
oleh para Pemohon (Pasal 80A UU Ormas) terkait dengan pembubaran
Ormas sekaligus pencabutan status badan hukum Ormas, sehingga
mereka yang secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dirugikan
dengan berlakunya norma a quo adalah Ormas yang telah berbadan
hukum ataupun warga negara Indonesia yang merupakan bagian dari
kepengurusan ataupun keanggotaan Ormas yang sudah terbentuk,
sedangkan para Pemohon telah ternyata bukan merupakan Ormas dan
bukan pula bagian dari kepengurusan atau keanggotaan suatu Ormas.
Norma UU Ormas a quo tidak menghambat, apalagi melarang,
perseorangan warga negara Indonesia untuk membentuk Ormas atau
bergabung dalam suatu Ormas, baik berbadan hukum atau tidak. Norma
UU Ormas a quo adalah mengatur tentang pencabutan status badan
hukum suatu ormas yang sekaligus sebagai pembubaran ormas yang
bersangkutan. Dengan demikian, logikanya adalah ormas dimaksud telah
ada dan berbadan hukum. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi
Mahkamah bahwa syarat adanya kerugian “potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi.
Sebab, para Pemohon tidak saja bukan ormas, apalagi ormas yang
berbadan hukum, melainkan perseorangan warga negara Indonesia. Lagi
pula, andaipun benar bahwa suatu saat nanti para Pemohon akan
membentuk Ormas, hal itu pun tidak serta-merta memberikan kedudukan
hukum kepada para Pemohon untuk menguji Pasal 80A UU Ormas
sepanjang ormas tersebut tidak berbadan hukum dan ormas dimaksud
tidak dicabut status badan hukumnya berdasarkan alasan sebagaimana
diatur dalam UU Ormas. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah
berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di
atas, telah ternyata para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun
kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa
pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga
permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan.