Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 2018 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Gerakan G20 Mei diwakili oleh Irwan S.IP selaku Ketua, Rahman, Jamaluddin

Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN

Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN dianggap Para Pemohon bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat
(1) UUD Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 5/PUU-XVI/2018
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN dalam
permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa menurut Mahkamah yang menjadi
persoalan utama dalam permohonan a quo adalah apakah penundaan
dan/atau pemotongan transfer dana ke daerah yang tidak memenuhi
anggaran minimal yang diwajibkan atau menunggak membayar iuran
yang diwajibkan oleh Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Untuk menjawab persoalan itu penting bagi
Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan sebagai berikut:


[3.11.1] Bahwa ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang. Sistem negara kesatuan menempatkan
Presiden dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam kedudukan
sebagai pemegang kekuasaan negara inilah Presiden memiliki
kewenangan untuk menentukan urusan pemerintahan pusat dan daerah,
serta mengawasi pelaksanaan dari urusan-urusan pemerintahan tersebut.
Sebagai konsekuensi dari adanya pembagian urusan ini timbul hubungan
kewenangan pusat dan daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah,
serta hubungan pengawasan pusat dan daerah. Untuk memberikan
jaminan kepastian implementasi hubungan dimaksud sesuai dengan
prinsip negara hukum yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, maka ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur masing-masing hubungan tersebut, sehingga dapat
memberikan kepastian sekaligus perlindungan kepentingan kepastian
sekaligus perlindungan kepentingan daerah dalam penyelenggaraan
otonomi.


[3.11.2] Bahwa berkenaan dengan hubungan keuangan pusat dan daerah
dalam konteks otonomi daerah saat ini diatur dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (UU 33/2004). Penerapan
UU 33/2004 ini tidak dapat dipisahkan dalam hubungannya dengan UU
APBN, karena penentuan anggaran daerah setiap tahun ditetapkan dalam
APBN. Sekalipun pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,
namun pemerintahan daerah tidak dapat terlepas dari pemerintah pusat
dalam mengatur pengelolaan keuangan daerah. Hal ini sejalan dengan
maksud ditetapkanya UU APBN setiap tahun sebagaimana tertera dalam
Konsiderans “Menimbang” huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017
tentang Anggaran Pendapatan dan belanja Negara Tahun Anggaran 2018
bahwa “APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam proses penyusunan Rancangan APBN setiap daerah berpartisipasi
dan berkontribusi pada pendapatan negara. Dalam penyusunan
Rancangan APBN, pemerintah daerah ikut terlibat dengan inisiasi aspirasi
di daerah yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat melalui proses
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Hasil dari proses
ini diolah sedemikian rupa untuk ditentukan program-program yang akan
diprioritaskan dalam APBN. Hal ini terlihat jelas dari bunyi Konsiderans
“Menimbang” UU APBN terkait dengan penyusunan APBN bahwa “APBN
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka
mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Atas
dasar pertimbangan tersebut disusun UU APBN yang di dalamnya
mengatur distribusi anggaran oleh pemerintah pusat kepada daerah-
daerah secara proporsional untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
membiayai pembangunan di daerah masing-masing. Pendistribusian APBN
ini berkaitan dengan fungsi distribusi APBN sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, yaitu APBN berfungsi untuk mendistribusikan
pendapatan dalam mengatasi ketidakmerataan yang diakibatkan oleh
adanya kesenjangan perekonomian antardaerah, karena itulah maka
penerimaan pemerintah disalurkan kembali kepada masyarakat. Oleh
karena itu pendapatan negara kemudian akan dialokasikan sebagai
belanja negara yang merupakan kewajiban pemerintah pusat yang terdiri
atas belanja pemerintah pusat, Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(TKDD);

Dalam era otonomi daerah saat ini, daerah diberikan kewenangan yang
lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tujuan utamanya adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah
kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan
mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan persaingan yang
sehat antardaerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan
kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu
mengelola sumber-sumber keuangannya secara hati-hati.

Salah satu langkah yang diambil untuk mewujudkan kemandirian daerah
untuk mengelola keuangannya sendiri adalah dengan desentralisasi fiskal
yang dalam konteks negara kesatuan adalah penyerahan kewenangan
fiskal dari pusat kepada daerah otonom. Kewenangan fiskal paling tidak
meliputi kewenangan untuk mengelola pendapatan/perpajakan,
keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber
daya yang dimiliki daerah untuk membiayai pelayanan publik yang
menjadi tugas daerah. Dengan adanya desentralisasi fiskal ini daerah
dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi
lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya,
sehingga memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Karena ekonomi daerah yang kuat akan mempermudah proses
desentralisasi fiskal berdampak pada efisiensi, peningkatan kualitas
pelayanan publik, demokrasi yang makin matang, tata kelola
pemerintahan yang lebih baik dan bersih, sehingga sumber daya fiskal
akan mencukupi baik untuk daerah dan pusat. Jika ekonomi daerah
lemah, maka problem desentralisasi fiskal akan didominasi oleh
permasalahan kekurangan dan perebutan sumber daya, bukan pada
tujuan untuk menyediakan layanan publik yang lebih baik dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.


[3.11.3] Bahwa desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran didanai
terutama melalui transfer dana ke daerah, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 13 UU APBN bahwa “Transfer ke daerah adalah
bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang bersumber dari Dana Perimbangan, Dana
Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta”, Sedangkan Dana Desa yang dimaksud Pasal 1
angka 23 UU APBN adalah dana yang dialokasikan dalam APBN yang
diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat;

TKDD merupakan salah satu mekanisme pendanaan dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi fiskal, otonomi daerah dan pembangunan desa
yang dilakukan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan
(disparitas) pendanaan dan pelayanan publik terhadap pemerintah daerah
dan/atau ketimpangan antardaerah itu sendiri. TKDD digunakan untuk
memformulisasikan kembali struktur hubungan keuangan antara pusat
dan daerah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
alokasi dan pemanfaatan sumber daya, sebagaimana kehendak Pasal 18A
ayat (2) UUD 1945 bahwa “Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”;

TKDD merupakan salah satu bentuk pengejawantahan kehendak
Konstitusi dalam wujud penyerahan sumber keuangan kepada daerah.
Hal ini sebagai konsekuensi dari adanya penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan berdasarkan asas
otonomi daerah. Selain TKDD, daerah juga diberikan sumber keuangan
lainnya berupa Pendapatan Asli Daerah, yang antara lain berasal dari
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang dikelola sendiri oleh
daerah. Penyerahan sumber keuangan tersebut dimaksudkan agar daerah
mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di
daerahnya. Namun, pemberian sumber keuangan kepada daerah tersebut
harus seimbang dengan beban atau urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Keseimbangan sumber keuangan dimaksud
merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah tersebut.


[3.11.4] Bahwa dari keterangan tertulis pemerintah, telah ternyata
alasan munculnya ketentuan penundaan/pemotongan TKDD karena pada
praktiknya ada daerah-daerah yang tidak patuh dalam mengalokasikan
sejumlah anggaran yang diamanatkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, agar pelaksanaan hak-hak warga
negara berjalan dengan baik maka ketersediaan/pengalokasian anggaran
yang diamanatkan undang-undang tersebut wajib dipenuhi oleh daerah.
Meningkatnya dana transfer daerah tersebut tidak diimbangi dengan
kepatuhan daerah mengalokasikan anggaran yang bersifat mandatory.
Untuk mendorong agar daerah patuh terhadap pengalokasian mandatory
spending, perlu dilakukan upaya paksa, yaitu dengan mengenakan sanksi
berupa penundaan/pemotongan penyaluran TKDD. Mekanisme
pengenaan sanksi tersebut sebelumnya tidak diatur dalam UU APBN
namun untuk menguatkan penggunaan APBD sesuai dengan tujuannya
maka pengaturan mengenai sanksi tersebut dicantumkan dalam UU
APBN, Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN;

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN merupakan salah satu
ikhtiar negara untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara
terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah
daerahnya agar sesuai dengan amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 15 ayat
(3) huruf d UU APBN merupakan mandat dari ketentuan Pasal 23 ayat (1)
UUD 1945 yakni dalam rangka melaksanakan APBN secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 15
ayat (3) huruf d UU APBN menjadi instrumen yang dapat digunakan bagi
negara untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang telah
diatur dalam Konstitusi yang diimplementasikan melalui beberapa UU
yang terkait, seperti UU di bidang pendidikan dan UU di bidang
kesehatan. Sehingga negara dapat memaksa daerah untuk melaksanakan
mandat dari UU dimaksud.


[3.12] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan kemudian adalah
apakah penundaan/pemotongan TKDD yang diatur dalam Pasal 15 ayat
(3) huruf d UU APBN menimbulkan kerugian konstitusional. Karena para
Pemohon dalam permohonannya menyatakan diperbolehkannya
penundaan dan/atau pemotongan secara subjektif berimplikasi pada
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat an sich di Kabupaten Kutai
Timur sebagai daerah penghasil;

Pemerintah dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa penundaan
TKDD tersebut dilakukan secara hati-hati dan selektif agar tidak
mengurangi pelayanan dasar kepada masyarakat. Penundaan tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berupa
perkiraan pendapatan dan belanja daerah, termasuk belanja pegawai dan
belanja modal. Karena bersifat penundaan, TKDD yang ditunda tersebut
tidak akan hilang/hangus, namun tetap menjadi hak daerah dan akan
dianggarkan untuk disalurkan kembali ke daerah pada tahun berikutnya.
Selanjutnya, apabila terdapat penundaan/pemotongan TKDD, daerah
perlu melakukan penyesuaian APBD sesuai dengan mekanisme
pengganggaran yang diatur dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2017
tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Tahun Anggaran 2018;

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN
merupakan suatu instrumen sanksi yang fungsinya agar daerah dapat
mematuhi ketentuan, dan hal ini merupakan bagian dari fungsi
pengawasan dari pemerintah pusat terhadap pengelolaan keuangan
daerah sekaligus salah satu strategi pengelolaan keuangan negara untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sanksi demikian
pastinya akan menimbulkan konsekuensi sebagai efek jera dalam
pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik dalam melaksanakan
urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah. Namun konsekuensi
demikian tidaklah merupakan kerugian yang bersifat konstitusional
sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, yang mengkaitkan kerugian
dimaksud dengan kerugian atas hak kepastian hukum, pembangunan,
pekerjaan, kesejahteraan, hidup dan penghidupan yang layak
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A dan 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada dasarnya adanya pemotongan dan/atau penundaan sebagai salah
satu mekanisme pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan fungsi
alokasi pemerintah daerah agar dapat secara tepat, efektif dan efisien
menyelenggarakan pelayanan publik, khususnya di bidang pendidikan,
kesehatan dan dana desa;

Instrumen sanksi kepada daerah yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3)
huruf d UU APBN merupakan salah satu bentuk dari kebijakan “hard-
budget-constraint” untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan
desentralisasi yang terlalu longgar, sehingga tujuan utama dari otonomi
daerah dapat terwujud dengan baik, yakni mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat di daerah.


[3.13] Menimbang bahwa instrumen sanksi dalam sistem keuangan
di Indonesia sudah dikenal sebelum berlakunya Pasal 15 ayat (3) huruf d
UU APBN. Misalnya aturan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selain itu
juga dikenal sanksi kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang secara
sengaja dan/atau lalai dalam menyampaikan laporan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 75 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan;

Menurut Mahkamah instrumen sanksi demikian bukanlah kebijakan yang
inkonstitusional, tetapi justru menguatkan implementasi prinsip negara
hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena ada pengaturan
secara pasti kepada daerah yang lalai dalam memberikan mandatory
spending dalam APBD, dan jaminan pasti kepada masyarakat di daerah
untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan. Sesuai dengan
desain hubungan pusat dan daerah dalam negara kesatuan, pemerintah
pusat memiliki peran untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional,
dalam hal ini melalui hubungan keuangan antara pemerintah pusat-
daerah. Hal ini menurut Mahkamah, merupakan bagian dari pengawasan
dan pembinaan pusat kepada daerah agar daerah dapat mengelola
keuangannya dengan baik, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan di
daerah. Terlebih lagi mengingat penyaluran anggaran transfer ke daerah
sangat terkait dengan kewajiban daerah untuk mengalokasikan anggaran
pendidikan dan kesehatan, termasuk iuran jaminan kesehatan,
sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3)
huruf d UU APBN. Bagi daerah yang tidak memenuhi minimal anggaran
yang diwajibkan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam
kaitan ini dengan penyelenggaraan urusan pendidikan dan kesehatan
dimaksud di atas, maka akan berdampak pada turunnya kesejahteraan
masyarakat di daerah. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu
mendapatkan jaminan kepastian bahwa urusan-urusan ini dianggarkan
dan dilaksanakan di daerah. Dengan demikian, persoalan ini tidak ada
kaitan dengan inkonstitusionalitas norma yang dipersoalkan para
Pemohon. Justru jika tidak ada ketentuan yang memberikan jaminan atas
terlaksananya urusan-urusan wajib daerah in casu pendidikan dan
kesehatan, maka akan merugikan masyarakat di daerah secara luas
sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena
tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat di daerah. Instrumen sanksi yang diatur dalam Pasal 15 ayat
(3) huruf d UU APBN menurut Mahkamah juga tidak bertentangan dengan
Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, karena pemaknaan hubungan keuangan
pusat-daerah yang diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
seharusnya diwujudkan dengan pemanfaatan TKDD secara optimal,
efektif, dan produktif untuk menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat
serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Instrumen sanksi yang
diatur dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d UU APBN justru merupakan bentuk
kontrol dan pengawasan pemerintah pusat terhadap penggunaan
anggaran di daerah;

Andaipun ada anggapan kerugian yang dialami oleh daerah, dalam hal ini
Kabupaten Kutai Timur, akibat pelaksanaan Pasal 15 ayat (3) huruf d UU
APBN, maka kerugian demikian bukanlah kerugian konstitusional dan
tidak ada kaitan dengan konstitusionalitas norma. Berkenaan dengan
adanya kekhawatiran para Pemohon terkait dengan penundaan dan/atau
pemotongan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
huruf d UU APBN berdampak pada banyaknya program dan kegiatan yang
telah dianggarkan dan dilaksanakan tidak dapat dibayarkan oleh
pemerintah daerah, menurut Mahkamah hal demikian tidak perlu
dikhawatirkan sepanjang daerah sepenuhnya melaksanakan ketentuan
UU APBN. Apalagi menurut keterangan tertulis Pemerintah yang
dibacakan dalam persidangan tanggal 27 Februari 2018 terhadap
anggaran yang ditunda dapat digulirkan ke tahun berikutnya. Hal ini
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 94 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 187/PMK.07/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke
Daerah dan Dana Desa, yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Pembayaran kembali penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa
yang ditunda dan/atau dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
ayat (2) dilakukan setelah:
a. Dicabutnya sanksi penundaan;
b. Dipenuhinya kewajiban daerah dalam tahun anggaran berjalan;
atau
c. Batas waktu pengenaan sanksi penundaan berakhir sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pembayaran kembali DBH CHT yang ditunda dilakukan bersamaan
dengan penyaluran triwulan berikutnya setelah seluruh persyaratan setiap
triwulan terpenuhi.


[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon
yang menyatakan bahwa keberlakuan norma a quo menimbulkan
ketidakpastian dan ketidakadilan karena dana bagi hasil persentasenya
telah termuat di dalam UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga, menurut para Pemohon adanya
ketidaksesuaian dana bagi hasil yang dibagikan bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Permasalahan yang
didalilkan para Pemohon terkait dengan yang dialami oleh pemerintah
Kabupaten Kutai Timur, bukan merupakan bagian dari persoalan
penundaan dan/atau pemotongan anggaran transfer ke daerah dan dana
desa tetapi terkait dengan realisasi pendapatan Dana Bagi Hasil (DBH)
pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang menurut anggapan para
Pemohon tidak sesuai dengan realisasi awal dikarenakan adanya
pengurangan jumlah Dana Bagi Hasil (DBH) yang dibagikan. Persoalan ini
tidak ada korelasinya dengan norma a quo tetapi berkaitan dengan Pasal
15 ayat (3) huruf b UU APBN yang tidak didalilkan para Pemohon. Namun
pada intinya masih berkaitan dengan TKDD yang memberikan instrumen
sanksi bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank
dalam jumlah yang tidak wajar maka dilakukan konversi penyaluran DBH
dan/atau DAU dalam bentuk nontunai. Menurut Mahkamah, sesuai
dengan amanat Konstitusi bahwa APBN, termasuk APBD, harus
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, maka jika terdapat uang kas daerah atau
simpanan/tabungan daerah di bank menumpuk dalam jumlah yang tidak
wajar, justru menghambat jalannya pembangunan di daerah dan
pelaksanaan otonomi daerah, sehingga tidak memberikan kepastian dan
perlindungan bagi masyarakat khususnya di daerah untuk dapat
menikmati hasil-hasil pembangunan. Oleh karena itu adanya ketentuan
instrumen sanksi tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut
hukum.


[3.15] Menimbang bahwa dengan demikian menurut Mahkamah dalil
para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (3) huruf d UU
APBN inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
18A ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak
beralasan menurut hukum.