Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-11-2018

Albertus Magnus Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Dr. Iur. Liona N. Supriatna, S.H.,M.Hum, dkk para Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (Taken)

Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 4 ayat (4) UU BUMN sepanjang
Frasa “Ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”

Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan
Pasal 4 ayat (4) UU BUMN, Mahkamah Konstitusi memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama
keterangan para Pemohon, keterangan Presiden, bukti-bukti yang
diajukan para Pemohon beserta ahli yang diajukan oleh para Pemohon
dan ahli yang diajukan oleh Presiden, keterangan tambahan Presiden,
sebelum mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon, Mahkamah terlebih
dahulu mempertimbangkan bahwa terkait dengan keberadaan BUMN,
dasar pemikiran atau latar belakang pembentukannya, maksud dan
tujuannya, serta konstitusionalitasnya, Mahkamah telah pernah
menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVI/2018, bertanggal 1 Mei 2018.
Dalam Putusan tersebut khususnya Paragraf [3.10] angka 1 sampai
dengan angka 3, halaman 79 sampai dengan halaman 81, Mahkamah
menyatakan:

1. Bahwa dibentuknya UU BUMN didasari oleh pertimbangan bahwa
BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam
perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang mempunyai
peran penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan karenanya perannya harus
dioptimalkan melalui pengurusan dan pengawasan yang optimal (vide
Konsiderans “Menimbang” huruf a sampai dengan huruf d UU BUMN).
Dalam konteks demikian, Mahkamah dapat menerima keterangan
Presiden (Pemerintah) yang menyatakan bahwa BUMN mempunyai peran
strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-
kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha
kecil/koperasi di mana untuk mencapai tujuan itu peran BUMN harus
dioptimalkan dengan cara menumbuhkan budaya korporasi dan
profesionalisme yang, antara lain, dilakukan dengan melakukan
pembenahan pengurusan dan pengawasannya sesuai dengan prinsip-
prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Lebih jauh lagi, melalui Undang-
Undang a quo, BUMN juga dirancang untuk menata dan mempertegas
peran lembaga dan posisi wakil pemerintah sebagai pemegang
saham/pemilik modal BUMN serta mempertegas dan memperjelas
hubungan BUMN selaku operator usaha dengan lembaga pemerintah
sebagai regulator.

2. Bahwa BUMN, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU
BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara itu, yang dimaksud dengan
“kekayaan negara yang dipisahkan” adalah kekayaan negara yang berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan
terbatas lainnya (Pasal 1 angka 10 UU BUMN). BUMN dapat berupa
Perusahaan Umum (Perum) maupun Perusahaan Perseroan (Persero).

Jika suatu BUMN seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi
atas saham serta bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan maka BUMN
tersebut adalah Perum (vide Pasal 1 angka 4 UU BUMN). Adapun jika
suatu BUMN modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling
sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki Negara Republik
Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, maka BUMN
tersebut adalah Persero (vide Pasal 1 angka 2 UU BUMN). Namun
demikian, baik BUMN yang berbentuk Perum maupun Persero, maksud
dan tujuan pembentukannya tidak boleh menyimpang dari maksud dan
tujuan pembentukan BUMN, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU BUMN, yaitu:

a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
diselenggarakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Ditambahkan pula, dalam melakukan kegiatannya, BUMN harus sesuai
dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan
[Pasal 2 ayat (2) UU BUMN]. Dengan kata lain, terlepas dari apa pun
bentuknya, kegiatan suatu BUMN bukan hanya dibatasi oleh maksud dan
tujuan pembentukannya tetapi juga oleh peraturan perundang-
undangan, bahkan juga oleh ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Artinya, kegiatan BUMN bukanlah semata-mata ditentukan oleh keinginan
RUPS, Direksi, atau Komisaris (dalam hal BUMN tersebut berbentuk
Persero) atau oleh Menteri, Direksi, atau Dewan Pengawas (dalam hal
BUMN tersebut berbentuk Perum) melainkan tetap harus mengacu pada
maksud dan tujuan pembentukan BUMN.

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di
atas, dasar pemikiran pembentukan UU BUMN maupun maksud dan
tujuan BUMN itu sendiri adalah sejalan dengan salah satu tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,
khususnya tujuan memajukan kesejahteraan umum. Lebih jauh, dengan
memperhatikan secara saksama maksud dan tujuan pembentukannya
serta pembatasan terhadap kegiatannya, keberadaan BUMN sejalan pula
dengan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional tanpa
mengesampingkan hakikat perekonomian sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33
ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, secara konstitusional, dibentuknya
BUMN yang maksud dan tujuannya sebagaimana telah diuraikan di atas
tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, bahkan sebaliknya justru
merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara sebagaimana
ditegaskan baik dalam Pembukaan maupun Pasal 33 UUD 1945.

Dengan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12/PUU-XVI/2018 tersebut beberapa hal telah menjadi terang. Pertama,
bahwa pendirian BUMN berkenaan langsung dengan upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan memiliki peran strategis sebagai pelaksana
pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta besar, serta membantu
pengembangan usaha kecil/koperasi dan karena itu BUMN harus
dioptimalkan melalui penumbuhan budaya korporasi dan profesionalisme.
Kedua, apapun bentuk BUMN tersebut, Perum ataupun Persero, maksud
dan tujuannya tidak boleh menyimpang dari Pasal 2 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf e UU BUMN serta tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU BUMN. Ketiga, bahwa
eksistensi BUMN tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal yang
berkait dengan dasar pemikiran pembentukan BUMN, pengertian BUMN,
maksud dan tujuan dibentuknya BUMN, serta konstitusionalitas BUMN,
Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon lebih lanjut.
Dari uraian panjang lebar yang dikemukakan para Pemohon sebagai
argumentasi dalam mendukung dalil- dalilnya, setelah dibaca dengan
saksama, sesungguhnya hanya ada dua isu konstitusional yang harus
dipertimbangkan oleh Mahkamah, yaitu:

• pertama: apakah maksud dan tujuan BUMN untuk mengejar
keuntungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU
BUMN bertentangan dengan Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945;

• kedua: apakah pengawasan DPR terhadap keuangan negara yang
telah dipisahkan sebagai penyertaan modal negara dalam BUMN
mencakup pula kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN sehingga sebagai konsekuensinya kegiatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN tersebut harus ditetapkan dengan
undang-undang.

Bahwa berkenaan dengan isu konstitusional pertama: apakah maksud
dan tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN bertentangan dengan Konstitusi,
dalam hal ini Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Dalam menilai konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN
tidaklah dapat dinilai secara parsial tanpa mengaitkan konteksnya secara
komprehensif baik dengan keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal
2 UU BUMN itu sendiri maupun dengan norma lainnya dalam UU BUMN
secara keseluruhan;

2. Pasal 2 UU BUMN selengkapnya menyatakan:

(1) Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:
a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan
kebutuhan hajat hidup orang banyak;
d. menjadi perintis bagi kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

(2) Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan.

Dengan demikian, maksud dan tujuan BUMN “mengejar keuntungan”
pada Pasal 2 ayat (1) huruf b di atas harus dikaitkan dengan maksud dan
tujuan lain dari pendirian BUMN dimaksud sebagaimana tertuang dalam
huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e di atas secara kumulatif. Sehingga,
jika dikaitkan dengan argumentasi dalam dalil-dalil para Pemohon, apakah
mungkin BUMN mampu mencapai maksud dan tujuan pendiriannya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d,
dan huruf e jika BUMN tidak dibenarkan mengejar keuntungan. Terlebih
lagi adanya penegasan dalam Pasal 2 ayat (2) yang memuat perintah
bahwa kegiatan BUMN tidak boleh menyimpang bukan hanya dengan
maksud dan tujuan pendiriannya melainkan juga tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
bahkan juga dengan kesusilaan. Agar BUMN tidak melakukan kegiatan
yang menyimpang dari maksud dan tujuan pendiriannya, BUMN diawasi
oleh Komisaris dan Dewan Pengawas (sesuai dengan bentuk badan
hukum BUMN yang bersangkutan) yang bertanggung jawab penuh atas
pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU BUMN. Komisaris dan
Dewan Pengawas ini dalam melaksanakan tugasnya harus patuh kepada
Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang-undangan
serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi,
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (3) UU BUMN. Sehingga, secara normatif
dan dalam batas penalaran yang wajar, sangat sulit untuk terjadi
penyelewengan oleh BUMN hanya karena adanya salah satu tujuan untuk
mengejar keuntungan sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Andaikatapun terjadi penyelewengan kegiatan BUMN maka hal itu
menjadi tanggung jawab penuh Direksi karena sesuai dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU BUMN Direksilah yang bertanggung
jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan
BUMN serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Artinya, tanggung jawab hukum jika terjadi penyelewengan demikian ada
pada Direksi dan penyebab penyelewengan itu bukanlah Pasal 2 ayat (1)
huruf b UU BUMN. Sebaliknya, justru Pasal 2 UU BUMN secara
keseluruhanlah yang menjadi rujukan untuk menilai ada atau tidak
adanya penyelewengan kegiatan BUMN dimaksud.

3. Para Pemohon menjadikan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
sebagai titik tolaknya untuk mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat
(1) huruf b UU BUMN dan mendalilkan bahwa BUMN adalah amanat UUD
1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang perlu dijaga agar
tidak keluar dari semangatnya untuk mendukung tercapainya tujuan
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan karenanya, setelah
melihat perkembangan BUMN saat ini, menurut para Pemohon,
diperlukan perubahan paradigma tujuan pendirian BUMN yang berbentuk
Perusahaan Umum maupun Perusahaan Perseroan (Persero) untuk
meletakkan tujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat dibandingkan tujuan mengejar keuntungan. Dengan argumentasi
para Pemohon demikian, pertanyaan yang muncul adalah apakah
“mengejar keuntungan” yang dijadikan salah satu maksud dan tujuan
pendirian BUMN bersama-sama dengan maksud dan tujuan lainnya,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UU BUMN, berarti BUMN
telah mengabaikan tujuan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 2 di
atas telah dengan sendirinya menjawab pertanyaan ini. Sementara itu, di
satu pihak, para Pemohon sendiri mengakui bahwa BUMN merupakan
amanat UUD 1945 dan hal itu sejalan dengan konsiderans “Mengingat”
angka 1 UU BUMN. Namun, di lain pihak, para Pemohon
mempertentangkan maksud dan tujuan pendirian BUMN dengan Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, khususnya dengan tujuan mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal tujuan mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) adalah
berkait dengan amanat penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak serta penguasaan oleh negara terhadap bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat, sehingga timbul pertanyaan, apakah dengan
demikian berarti para Pemohon bermaksud mendalilkan bahwa maksud
dan tujuan pendirian BUMN untuk “mengejar keuntungan” sebagaimana
tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN bertentangan dengan
prinsip penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta
penguasaan oleh negara terhadap bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Jika benar demikian maksud para Pemohon,
menurut Mahkamah, dengan memahami maksud dan pendirian BUMN
secara keseluruhan, sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
UU BUMN, justru semangat untuk mencapai tujuan sebesar-besar
kemakmuran rakyat itu telah terumuskan secara holistik dalam Pasal 2
ayat (1) UU BUMN mulai dari huruf a sampai dengan huruf e.

Berkait dengan prinsip penguasaan oleh negara, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember
2004, menyatakan antara lain bahwa:

Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas,
maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah
diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang
bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan
melalui mekanisme pemilikan saham (share- holding) dan/atau melalui
keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana
negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara
(toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan
oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai
hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat;

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, apabila dikaitkan dengan
maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) UU BUMN, maksud dan tujuan pendirian BUMN tersebut, yang di
dalamnya termasuk mengejar keuntungan, sama sekali tidak mengurangi
apalagi menghilangkan prinsip penguasaan oleh negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

4. Hadirnya BUMN bukanlah semata-mata sebagai perpanjangan
tangan negara dalam rangka melaksanakan prinsip penguasaan oleh
negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak maupun perpanjangan tangan
negara dalam melaksanakan prinsip penguasaan oleh negara terhadap
bumi dan air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,
melainkan juga sekaligus sebagai pelaku ekonomi dalam sistem
perekonomian negara yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan
kemakmuran rakyat. Hal itu ditegaskan dalam Konsiderans “Menimbang”
huruf a dan huruf b serta dalam Penjelasan Umum angka romawi I dan II
UU BUMN. Dengan kata lain, bidang kegiatan BUMN sebagai pelaku
ekonomi nasional bukan hanya dalam bidang-bidang yang berkait dengan
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 melainkan juga bidang kegiatan
lain sepanjang tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat, sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UU BUMN secara
keseluruhan. Dengan demikian, kemakmuran rakyat sebagai maksud dan
tujuan pendirian BUMN, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UU
BUMN, bukan hanya terbatas dalam konteks melaksanakan amanat Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tetapi jauh lebih luas lagi. Hal ini
sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang
menegaskan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara
Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Salah satu
caranya adalah dengan membentuk BUMN. Tugas pemerintah untuk
memajukan kesejahteraan umum itu tentu tidak terbatas hanya dalam
konteks pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 adalah penegasan bahwa untuk hal-hal
atau bidang-bidang yang termasuk dalam kategori sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) harus dikuasai negara dan
maksud penguasaan negara itu bukan untuk kepentingan lain tetapi
semata-mata untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ihwal pengertian
yang terkandung dalam pengertian “dikuasai oleh negara” itu telah
ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya.

Berdasarkan pertimbangan pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas,
Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN adalah tidak
beralasan menurut hukum.

Bahwa berkenaan dengan isu konstitusional kedua: apakah pengawasan
DPR terhadap keuangan negara yang telah dipisahkan sebagai
penyertaan modal negara dalam BUMN mencakup pula kegiatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN sehingga sebagai
konsekuensinya kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN tersebut harus ditetapkan dengan undang-undang, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Pertama-tama harus ditegaskan apakah norma yang termuat dalam
Pasal 4 ayat (4) UU BUMN termasuk dalam atau ada hubungan dengan
aksi atau tindakan korporasi atau tidak. Sebab, konteks pelaksanaan
fungsi pengawasan oleh DPR adalah berkenaan dengan pengawasan
politik dan tidak sampai kepada pengawasan terhadap aksi korporasi yang
dilakukan oleh BUMN (setelah BUMN terbentuk). Hal ini telah ditegaskan
dalam pertimbangan Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVI/2018 Paragraf [3.11] angka 3
yang antara lain menyatakan:

Dalam hubungannya dengan BUMN, kalaupun secara implisit hendak
dikatakan ada pengawasan DPR, hal itu harus diletakkan konteksnya
dalam kerangka fungsi pengawasan politik DPR terhadap pelaksanaan
pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 UUD 1945. Misalnya ketika
Presiden mengajukan rancangan Undang-Undang tentang APBN. Pada
saat itulah DPR dapat mempertanyakan pengelolaan keuangan negara
dalam pelaksanaan pemerintahan, termasuk yang oleh Pemerintah
dialokasikan untuk BUMN.

Dengan demikian, setelah BUMN berdiri (yang modalnya sebagian atau
seluruhnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan
negara yang berasal dari APBN) maka aksi atau tindakan yang dilakukan
oleh BUMN tersebut telah sepenuhnya merupakan aksi atau tindakan
korporasi yang tidak lagi berada di bawah pengawasan DPR, lebih-lebih
BUMN yang berbentuk Persero. Hal ini pun telah ditegaskan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XVI/2018 Paragraf [3.11]
angka 2 yang antara lain menyatakan:

Sebagai Persero, BUMN juga harus tunduk pada prinsip-prinsip yang
berlaku dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) sehingga mampu menghasilkan nilai ekonomi bagi semua
pemangku kepentingan, lebih-lebih pemegang saham (in casu
Pemerintah). Apalagi kepada BUMN dibebankan maksud dan tujuan yang
sifatnya berfungsi sosial, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Intervensi eksternal terhadap aksi-aksi korporasi BUMN, lebih-lebih
intervensi politik, yang membawa dampak tidak dapatnya BUMN
melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik harus
dicegah. BUMN tidak boleh dijadikan alat politik atau dipolitisasi
sedemikian rupa sehingga keluar atau menyimpang dari maksud dan
tujuan pendiriannya.

Adapun Pasal 4 UU BUMN selengkapnya menyatakan:
(1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
(2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan
pada BUMN bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. kapitalisasi cadangan;
c. sumber lainnya.
(3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau
perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan,
termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero
atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
bagi penambahan penyertaan modal yang berasal dari kapitalisasi
cadangan dan sumber lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyertaan dan
penatausahaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan ke
dalam BUMN dan/atau perseroan terbatas yang sebagian sahamnya
dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan memperhatikan rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 4 UU
BUMN di atas jelas bahwa konstruksinya adalah telah ada persetujuan
DPR terhadap penggunaan kekayaan negara yang berasal dari APBN yang
selanjutnya oleh Pemerintah akan digunakan untuk mendirikan BUMN.
Oleh karena itu, penyertaan modal negara (yang dananya berasal dari
APBN yang telah disetujui oleh DPR) tersebut, termasuk perubahan
penyertaan modal negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN, telah sepenuhnya berada di tangan pemerintah sehingga sudah
tepat jika pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Substansi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (4) a quo sudah merupakan
rencana pelaksanaan atau penggunaan anggaran sehingga hal ini menjadi
kewenangan pemerintah. Hal demikian sejalan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013, bertanggal 22 Mei 2014,
yang menegaskan bahwa pembahasan terperinci sampai pada tingkat
kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan
implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah
kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat
terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada
saat rencana tersebut di- implementasikan (vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU- XI/2013, bertanggal 22 Mei 2014, Paragraf
[3.17], halaman 150).

Selain itu, kendatipun norma yang tertuang dalam Pasal 4 UU BUMN
tersebut belum secara langsung merupakan bagian dari aksi korporasi
namun jelas akan mempengaruhi atau berdampak terhadap aksi-aksi
korporasi yang akan dilakukan oleh BUMN dimaksud di masa yang akan
datang. Karena itu, keadaan demikian juga telah berada di luar lingkup
fungsi pengawasan DPR. Lagi pula, karena materi muatan ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bukanlah materi muatan undang-
undang melainkan materi muatan yang membutuhkan pengaturan
pelaksanaan (delegating provisio) maka, dengan mengacu pada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, pengaturan pelaksanaannya yang tepat dari
ketentuan tersebut adalah peraturan pemerintah, bukan undang-undang
sebagaimana didalilkan para Pemohon.

2. Pada bagian lain dalilnya, para Pemohon mengemukakan
argumentasi bahwa frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN menyebabkan adanya penyelewengan
dalam peraturan turunannya yang mendegradasi peran DPR dalam
melakukan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Para Pemohon kemudian merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Modal dan Penatausahaan
Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas
(PP 72/2016). Dalam kaitan ini para Pemohon menunjuk Pasal 2A ayat (1)
PP 72/2016 di mana penyertaan modal negara kepada BUMN tidak
dilakukan dengan mekanisme APBN. Keadaan demikian oleh para
Pemohon didalilkan mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/SKLN-X/2012 dan Keterangan Pemerintah dalam Perkara Nomor
62/PUU-XI/2013 tentang keharusan Pemerintah mendapatkan
persetujuan DPR untuk investasi berupa penyertaan modal negara kepada
perusahaan negara.

Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa objek keberatan
para Pemohon sesungguhnya adalah PP 72/2016. Seluruh argumentasi
yang digunakan sebagai landasan untuk mendukung dalil para Pemohon
perihal inkonstitusionalitas frasa “ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bertolak dari analisis para
Pemohon terhadap implementasi ketentuan dalam PP 72/2016 yang
dinilai mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-X/2012
dan Keterangan Pemerintah dalam Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013. Oleh
karena itu, apabila para Pemohon beranggapan bahwa PP 72/2016
dimaksud bertentangan dengan undang-undang, termasuk apabila
dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, maka hal
itu telah berada di luar kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya.
Sebab hal itu bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma
undang-undang melainkan persoalan implementasi norma undang-
undang, dalam hal ini implementasi norma Pasal 4 ayat (4) UU BUMN
yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu PP 72/2016.
Perihal benar atau tidaknya terdapat persoalan implementasi demikian
harus dibuktikan melalui proses hukum dan lembaga yang memiliki
kompetensi untuk itu bukanlah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
tidak terdapat relevansi maupun urgensinya bagi Mahkamah untuk
mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil para Pemohon sepanjang
berkenaan dengan persoalan implementasi norma Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN yang dituangkan ke dalam PP 72/2016 sebagaimana didalilkan oleh
para Pemohon. Sebab, andaipun persoalan implementasi demikian
terbukti benar, hal itu tidak serta-merta menjadikan Pasal 4 ayat (4) UU
BUMN bertentangan dengan UUD 1945. Terlepas dari setuju atau tidak,
hal ini di satu pihak adalah konsekuensi yuridis dari dipisahkannya
lembaga negara yang berwenang menguji pertentangan undang-undang
terhadap Undang-Udang Dasar dengan lembaga negara yang berwenang
menguji pertentangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang termasuk apabila dinilai bertentangan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, dan di pihak lain tidak dimilikinya
kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara
pengaduan konstitusional – yang secara doktriner maupun praktik di
sejumlah negara mencakup pula persoalan-persoalan implementasi norma
undang-undang yang dianggap inkonstitusional.

3. Hal lain yang relevan untuk dipertimbangkan oleh Mahkamah dari dalil
para Pemohon berkenaan dengan argumentasinya perihal
inkonstitusionalitas frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN adalah argumentasi para Pemohon yang
menyatakan bahwa frasa a quo telah mendegradasi fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan DPR.

Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa,
sebagaimana telah disinggung dalam pertimbangan pada angka 1 di atas,
premis yang mendasari lahirnya rumusan dalam Pasal 4 UU BUMN secara
keseluruhan adalah telah adanya persetujuan DPR untuk menggunakan
sebagian dana APBN sebagai modal untuk mendirikan BUMN. Kemudian,
sesuai dengan ilmu perundang-undangan maupun hukum positif (dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan) pengaturan lebih lanjut dari ketentuan
yang tertuang dalam undang-undang, sesuai dengan hierarkinya, adalah
dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, menolak kerangka
penalaran demikian bukan hanya berarti menisbikan ilmu perundang-
undangan tetapi juga sekaligus berarti mengingkari hukum positif, in casu
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian, tidaklah
beralasan untuk menyatakan frasa “ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN telah mendegradasi fungsi-
fungsi DPR.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum.