Drs. Martinus Nuroso, M.M.
Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa terhadap Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang menjadi objek permohonan a quo Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya dan telah menjatuhkan putusan
sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, dengan amar putusan
menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam perkara dimaksud
dengan pertimbangan, antara lain:
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil yang diajukan para Pemohon,
Mahkamah menilai pokok permasalahan para Pemohon memang
berkaitan dengan keberadaan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, bahkan seolah-olah
ditimbulkan oleh rumusan Pasal a quo. Oleh karena itu, Mahkamah
terlebih dahulu akan mengutip Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
dan Penjelasannya sebagai berikut:
Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam
program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan
pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu
uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha”.
Penjelasan Pasal 167 ayat (3) menyatakan,
“Contoh dari ayat ini adalah:
- Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh
adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan
pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah
ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh
perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus),
maka:
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha
adalah sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh
adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar
Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK
karena pensiun tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun
yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha)
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di
bayar oleh pengusaha)
- Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun
yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh)
_______________________________________________+
Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)”
Berdasarkan uraian mengenai makna “diperhitungkan” yang terdapat
dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dicontohkan dalam
Penjelasan Pasal a quo, maka kata “diperhitungkan” yang dipersoalkan
oleh para Pemohon sesungguhnya telah jelas. Dengan demikian tidak
terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada kata “diperhitungkan”
dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana didalilkan
oleh para Pemohon. Mahkamah berpendapat yang terjadi sesungguhnya
adalah persoalan implementasi norma Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan Penjelasan Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sesungguhnya para Pemohon pun
mengakui bahwa hal ini merupakan persoalan penerapan norma
sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam permohonan para
Pemohon, di antaranya dalam angka 19 permohonan para Pemohon
sebagai berikut:
19. Bahwa kebijakan perusahaan PT. Bank Negara Indonesia, Tbk.
ataupun kebijakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk tersebut juga tidak
sesuai dengan yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 167 ayat (3)
tersebut, sehingga para Pemohon telah menerima dampak kerugian
materil atas tafsiran rumus perhitungan uang pesangon tersebut. Namun
demikian, PT. Bank Negara Indonesia, Tbk dan PT. Bank Rakyat
Indonesia Tbk, mengklaim telah menerapkan Pasal 167 ayat (3) secara
benar.
Dengan uraian tersebut, dalil demikian menunjukkan dengan jelas kepada
Mahkamah bahwa para Pemohon sendiri sejak awal telah memahami
bahwa permasalahan hukum yang dihadapi para Pemohon bukan karena
multitafsir ketentuan a quo namun karena tidak dilaksanakannya
ketentuan a quo oleh perusahaan perbankan dimana para Pemohon
pernah bekerja, sehingga para Pemohon menegaskan dalam bagian lain
posita permohonannya angka 24 sebagai berikut:
24. Bahwa dapat disimpulkan, frasa “diperhitungkan” tersebut dalam
praktiknya telah menyebabkan multi-interpretasi yang salah satunya
diartikan oleh kalangan pengusaha khususnya dikalangan perbankan
dengan pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Dampaknya,
ribuan pekerja termasuk Para Pemohon telah tidak dibayarkan uang
pesangonnya atau uang pesangonnya mengalami kekurangan yang
sangat signifikan bahkan sebagian dikalkulasikan kurang atau minus atau
dengan kata lain menyebabkan pensiunan justru berutang kepada
Perusahaan. Sebaliknya, Para Pemohon berpendapat bahwa frasa
“diperhitungkan” harus diterapkan sebagaimana penjelasan pasalnya
yang berarti tidak mengurangi uang pesangon pekerja atau total hasil
kalkulasi dari perhitungan uang pesangon dan manfaat pensiun yang
diterima selalu bernilai positif atau lebih besar dari total nilai pesangon 2
x PMTK (uang penggantian hak, uang penghargaan masa kerja dan uang
pesangon yang perhitungannya didasari dengan pencapaian masa kerja
serta besaran upah sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan).
[3.13] Menimbang bahwa meskipun persoalan yang dimohonkan
para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan
penerapan norma, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa
pihak-pihak yang berkenaan langsung dengan pelaksanaan Pasal a quo
wajib untuk mengimplementasikan norma yang terkandung dalam Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal a quo.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.11] Menimbang bahwa meskipun dalam Putusan Nomor 46/PUU-
XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, substansi yang dimohonkan pengujian
adalah kata “diperhitungkan” yang terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, namun Mahkamah berpendapat bahwa meskipun
Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal yang sama dan dasar
pengujian yang juga sama yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, namun
terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945. Selain itu, Pemohon mempersoalkan seluruh ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, permohonan
Pemohon tetap dapat diperiksa oleh Mahkamah.
Setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan Pemohon,
di dalam dalil-dalilnya Pemohon lebih mempersoalkan perihal tidak
sinkronnya antara ketentuan Pasal 167 ayat (3) dengan Penjelasan Pasal
167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, di dalam petitum
permohonannya, Pemohon bukan memohon kepada Mahkamah untuk
memutus perihal ketidaksinkronan tersebut melainkan menghendaki agar:
1) dalam provisi, memohon kepada Mahkamah untuk memberlakukan
surut Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan
dan 2) dalam pokok perkara, memohon kepada Mahkamah untuk
menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan belum sejalan
dengan UUD 1945 dan perlu disempurnakan.
[3.12] Menimbang bahwa dengan uraian sebagaimana tertuang
dalam Paragraf [3.11] di atas, maka menjadi tidak jelas apa
sesungguhnya yang dimohonkan oleh Pemohon. Jika yang dimohonkan
adalah berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yang
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XVI/2018
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] sehingga tidak ada
relevansinya lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 167 ayat
(3) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian tidak ada lagi yang perlu
disempurnakan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon. Sementara itu
jika yang dimohonkan oleh Pemohon adalah memberlakukan surut
Putusan Mahkamah Konstitusi jika permohonan a quo dikabulkan,
permohonan demikian adalah tidak lazim. Selain itu jika permohonan
pemberlakuan surut demikian dikabulkan, hal itu bertentangan dengan
Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum”.
[3.13] Menimbang berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430