Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Muhammad Rahmani dan Marganti

Pasal 1 angka 6a UU ITE dan Pasal 157 UU LLAJ

Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28B
ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F ayat (1),
Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28H ayat (3), Pasal 28I ayat
(1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasa 28I ayat (4), Pasal 28J ayat
(1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1 angka 6a UU ITE dan Pasal 157
UU LLAJ, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.10.1] Bahwa terhadap Permohonan dengan pokok Permohonan
sebagaimana diuraikan pada paragraph [3.3] angka 1 di atas, Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan
terhadap permohonan dengan Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16
Juni 2010, yang amarnya menyatakan menolak permohonan para
Pemohon untuk seluruhnya. Dengan kata lain, Mahkamah telah
menyatakan bahwa norma yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo dalam putusan sebelumnya telah dinyatakan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tetap mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah
pada Paragraf [3.34] yang menyatakan antara lain:

dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk
memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat
diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan
mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian
materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata
cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui
dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan
dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang
perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara
sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan
Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat
waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam
Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan
pengujian formil terhadap Undang-Undang.

Oleh karena itu, dengan uraian pertimbangan tersebut, pertimbangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 mutatis mutandis
berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam mengadili permohonan a
quo.

Lebih lanjut terhadap argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon
sebagai dalil permohonan a quo, menurut Mahkamah, permasalahan
tenggang waktu pengajuan pengujian formil sebuah undang-undang
hanyalan persyaratan formil yang belum memasuki substansi pokok
sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Hakikat dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa
batasan waktu pengajuan pengujian formil sebuah undang-undang
adalah 45 (empat puluh lima) hari. Dengan kata lain terlepas ada atau
tidaknya motif politik yang dijadikan argumen para Pemohon hal tersebut
tidak ada relevansinya dengan batasan tenggang waktu sebagaimana
dimaksudkan dalam putusan tersebut.

[3.10.2] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, selebihnya
berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 157 UU LLAJ, Mahkamah
berpendapat bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan
Nomor 41/PUU-XVI/2018, di mana Mahkamah telah berpendirian bahwa
kendaraan bermotor, termasuk dalam hal ini sepeda motor, pada
hakikatnya adalah bukan kendaraan umum angkutan orang sebagaimana
yang dimaksudkan dalam Pasal 47 UU LLAJ. Oleh karena itu tidak ada
alasan bagi Mahkamah untuk memberikan perlakuan yang berbeda
bahwa Mahkamah membenarkan adanya kendaraan bermotor sebagai
angkutan umum di luar yang diatur dalam Pasal 47 UU LLAJ. Dengan kata
lain, kriteria untuk dapat dijadikannya kendaraan bermotor untuk
angkutan umum yang telah diatur dalam Pasal 47 UU LLAJ adalah
merupakan bentuk perlindungan terhadap keselamatan penumpang
maupun sesama pengguna jalan lainnya.

Lebih lanjut pengaturan tentang angkutan orang dengan kendaraan
bermotor tidak dalam trayek diatur dalam Pasal 151 sampai dengan Pasal
156 UU LLAJ, yang kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan
orang dengan Kandaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur
dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana diatur dalam
Pasal 157 UU LLAJ. Sehingga keberadaan dan kekuatan hukum mengikat
menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan adalah tidak menyalahi prinsip pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 157 UU LLAJ
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon berargumentasi bahwa peraturan
pemerintah yang lebih tinggi kedudukannya dari Permen, jika tidak
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut. Berkenaan dengan dalil dimaksud, apabila
yang dimaksudkan oleh para Pemohon adalah peraturan pemerintah
harus mendapat persetujuan DPR maka dari sistem hukum peraturan
perundang-undangan Indonesia tidak dikenal persetujuan DPR dalam
pembentukan peraturan pemerintah.

Namun demikian terlepas dari kekeliruan dalil para Pemohon yang
memosisikan peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR,
Mahkamah berpendapat bahwa ketantuan Pasal 157 UU LLAJ yang
mengatur tentang angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
tidak dalam trayek diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung
jawab di bidang sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Apabila dicermati permohonan para Pemohon khususnya pada bagian
dalil-dalil permohonan para Pemohon yang dihubungkan dengan
permohonan para Pemohon dalam petitum ternyata ada ketidaksesuaian.
Oleh karenanya menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon menjadi
kabur (obscuur libel).

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di
atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan
dengan inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 6a UU ITE adalah mutatis
mutandis berlaku pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-VII/2009 dan permohonan para Pemohon berkenaan
Pasal 157 UU LLAJ adalah kabur (obscuur libel).