Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Muhammad Dandy

Pasal 222 UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal
22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan
Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.8] Bahwa Pemohon dalam petitum permohonannya meminta putusan
provisi agar Mahkamah memprioritaskan pemeriksaan dan memutus
perkara a quo sebelum tahapan Pendaftaran Pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Terhadap
permohonan provisi tersebut Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan yang kuat untuk mempertimbangkannya sebab mekanisme yang
mengatur hal itu telah tersedia sesuai dengan tahapan Pemilu 2019,
khususnya mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan di lain
pihak tahapan pemeriksaan permohonan a quo sesuai dengan hukum
acara yang berlaku juga tidak memungkinkan hal tersebut dikabulkan.
Oleh karena itu Mahkamah berpendapat permohonan provisi Pemohon
tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menjadi
objek permohonan a quo telah beberapa kali dilakukan pengujian oleh
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-
XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017, dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 222
UU Pemilu, sekalipun terdapat dua hakim konstitusi mempunyai pendapat
berbeda (dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi
Saldi Isra), Mahkamah telah secara komprehensif mempertimbangkan
konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dimaksud, termasuk menegaskan
kembali pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan
sebelumnya, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008, yang semua pertimbangan tersebut telah dikemukakan
kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XVI/2018, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang telah diucapkan
sebelumnya;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang
menyatakanmengalami kerugian konstitusional karena tingginya angka
ambang batas pengajuanpasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
(presidential threshold) mengakibatkan terbatasnya pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang dapat dipilih, Mahkamah berpendapat
bahwa hal demikian merupakan konsekuensi dari sistem presidensial yang
dipilih bangsa Indonesia sebagai sistem pemerintahan sebagaimana
dituangkan dalam UUD 1945, yang penguatan terhadap sistem tersebut
membutuhkan kecukupan dukungan dari suara partai politik dan secara
bersamaan penyederhanaan jumlah partai politik.

Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum terhadap presidential
thresholdserta upaya penyederhanaan partai politik melalui berbagai
putusan sebagaimana secara komprehensif dituangkandalam Putusan
Nomor 53/PUU-XV/2017 mengenai Pengujian UU Pemilu…

[3.14] Menimbang bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 secara mutatis mutandis
berlaku pula terhadap dalil Pemohon dalam perkara a quo.

[3.15] Menimbang bahwa permasalahan kedua yang didalilkan Pemohon
adalah tidak logisnya penentuan angka presidential threshold Pemilihan
Umum Tahun 2019 jika menggunakan hasil Pemilihan Umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014. Terhadap dalil tersebut, dalam
kaitannya dengan penguatan sistem presidensial sekaligus
penyederhanaan partai politik, Mahkamah berpendapat bahwa konsep
penguatan sistem presidensial serta penyederhanaan partai politik tidak
dapat dilakukan tanpa salah satunya melalui pembatasan hak partai
politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,
mengingat hanya partai politik atau gabungan partai politik yang diberi
hak oleh UUD 1945 untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden [vide Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945];

[3.15] Pembatasan untuk penyederhanaan demikian memerlukan angka,
yang dapat berupa persentase maupun jumlah tertentu, sebagai syarat
yang harus dipenuhi oleh partai politik maupun gabungan partai politik
yang ingin mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Mahkamah belum menemukan adanya metode penentuan besaran angka
presidential threshold demikian, baik secara teoritis maupun praktik.
Dengan demikian menurut Mahkamah penentuan angka demikian
menjadi legal policy pembentuk undang-undang untuk menentukan, tentu
saja melalui undang-undang.

Pertimbangan demikian telah dikemukakan Mahkamah dalam Putusan
Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, yang
meskipun merupakan putusan dalam perkara pengujian undang-undang
yang berbeda yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, namun secara substansial
norma yang dimohonkan pengujian mengatur hal yang sama dengan
perkara a quo yaitu mengenai besaran angka persentase presidential
threshold dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008 pun telah dijadikan salah satu pertimbangan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XVI/2018, serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018. Pertimbangan Putusan Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008 yang dijadikan rujukan putusan-putusan tersebut…

[3.16] Menimbang bahwa pertimbangan hukum dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 tersebut mutatis mutandis
berlaku pula terhadap dalil Pemohon dalam perkara a quo.

[3.17] Menimbang bahwa permasalahan ketiga yang didalilkan oleh
Pemohon adalah terlanggarnya hak konstitusional Pemohon karena
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum
Tahun 2019 diajukan oleh partai politik yang bukan pilihan Pemohon.
Terhadap dalil demikian Mahkamah berpendapat adalah benar bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih oleh
Pemohon pada Pemilu Tahun 2019 tidak diusung/diajukan oleh partai
politik pilihan Pemohon, karena Pemohon sebagai pemilih pemula belum
mengikuti Pemilu sebelumnya. Hal demikian sekilas memang terlihat
sebagai sebuah kerugian konstitusional bagi pemilih pemula, namun
pertimbangan terhadap dalil tersebut tidak dapat dijawab terpisah dari
keseluruhan konteks penerapan presidential threshold sebagaimana telah
diuraikan Mahkamah pada Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.15]
sebelumnya.

[3.17.1] Adanya konsensus pembentuk undang-undang untuk
menerapkan presidential threshold serta adanya ketentuan Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945 telah “mengatur” bahwa pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden harus telah ada sebelum Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan. Hal demikian merupakan konsekuensi
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang tentu
berbeda dengan pemilihan oleh lembaga perwakilan, sehingga selalu
terbuka kemungkinan bahkan menjadi keniscayaan ada pemilih yang baru
mendapatkan atau memiliki hak pilihnya (pemilih pemula) setelah
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan/ditetapkan.

Dalam konteks pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik, bahkan dengan pengandaian
tidak diterapkannya konsep presidential threshold di Indonesia, quod non,
adalah tidak mungkin bagi seorang pemilih pemula untuk “telah” menjadi
pemilih partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden tertentu. Lahirnya hak pilih seorang warga negara (pemilih
pemula) bisa terjadi kapan saja dalam rentang waktu antara pemilihan
umum periode sebelumnya dengan pemilihan umum periode yang akan
datang. Jika pada pemilihan umum periode sebelumnya pemilih
bersangkutan telah ikut memilih maka secara logika pemilih tersebut
bukan lagi pemilih pemula. Karakteristik pembeda demikian yang menurut
Mahkamah harus dicermati untuk menilai adakah hak konstitusional
Pemohon sebagai pemilih pemula yang dilanggar oleh Pasal 222 UU
Pemilu.

[3.17.2] Ketika pasangan calon harus diajukan sebelum Pemilu,
sebagaimana perintah UUD 1945, tentu tidak mungkin bagi seorang
pemilih pemula untuk sudah atau telah terlibat dalam pencalonan atau
pengajuan pasangan calon dimaksud, apalagi dengan posisi/status yang
dikehendaki Pemohon adalah terlibat sebagai pemilih partai politik
pengusung. Hal demikian tentu bertolak belakang dengan status yang
didalilkan Pemohon sendiri, yaitu sebagai pemilih pemula pada Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang. Apalagi jika hak pilih
Pemohon baru diperoleh mendekati hari pemungutan suara Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, meskipun dalil Pemohon
secara selintas terlihat sebagai kerugian konstitusional yang diakibatkan
oleh Pasal 222 UU Pemilu, namun menurut Mahkamah hal yang diatur
dalam Pasal 222 UU Pemilu, namun menurut Mahkamah hal yang diatur
dalam Pasal 222 UU Pemilu bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD
Tahun 1945 dan tidak terbukti menimbulkan kerugian konstitusional bagi
Pemohon. Pendapat Mahkamah demikian didasarkan juga pada
argumentasi bahwa dalam Pemilu 2019 tidak dapat dipastikan bahwa
Pemohon akan memilih yang sama antara partai politik dalam pemilihan
umum anggota DPR dan memilih partai politik yang mengusulkan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

[3.18] Menimbang bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum
Pemohon, karena Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan
umum, maka hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden dimiliki oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum dan secara tidak langsung dimiliki
oleh pemilih yang telah menggunakan hak pilih pada pemilihan umum
sebelumnya, yaitu Pemilu 2014, di mana hasil perolehan suara partai
politik pada Pemilu 2014 dipergunakan sebagai rujukan
penerapan/penghitungan presidential threshold Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2019. Dalam perkara a quo karena Pemohon tidak
bertindak sebagai partai politik dan bukan pula pemilih yang telah
menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014, melainkan Pemohon
mendalilkan sebagai pemilih pemula atau dengan kata lain Pemohon
belum pernah menggunakan hak pilih pada Pemilu 2014, maka menurut
Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon ternyata tidak memiliki
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya
pun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, dalil permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.