Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-05-2018

Muhammad Hafidz

Pasal 57 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (2) UNDANG-UNDANG
NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1) Bahwa terhadap Pasal 59 ayat (2) UU MK yang menjadi objek
permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dan telah
menjatuhkan putusan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober
2011, dengan amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan
Pemohon dalam perkara dimaksud dengan pertimbangan, antara lain:

“Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum
(erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan
Mahkamah sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh
negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang
ada. Norma Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 tidak jelas dan menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena DPR dan Presiden hanya akan
menindaklanjuti putusan Mahkamah jika diperlukan saja. Padahal putusan
Mahkamah merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang
harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan
sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai
konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional.

Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 mengandung kekeliruan,
yaitu frasa “DPR atau Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945, setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Karena itu, DPR atau
Presiden tidak berdiri sendiri dalam membahas rancangan Undang-
Undang, sehingga frasa “DPR atau Presiden” bertentangan dengan Pasal
20 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para
Pemohon a quo beralasan menurut hukum;”

2) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena terhadap
Pasal 59 ayat (2) UU MK oleh Mahkamah telah dinyatakan
inkonstitusional, maka permohonan Pemohon terhadap pasal a quo telah
kehilangan objek.

3) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 57 ayat (3)
UU MK menghilangkan kepastian hukum karena terhadap putusan yang
amar putusannya mengabulkan hanya dimuat dalam Berita Negara yang
merupakan media resmi Pemerintah yang berfungsi untuk mengumumkan
adanya sebuah peraturan perundang-undangan yang baru, Mahkamah
berpendapat bahwa pemuatan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Berita Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 57 ayat (3) UU MK
telah cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara
negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan
melaksanakan lagi materi yang telah dinyatakan inkonstitusional tersebut
karena berdasarkan Pasal 47 UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.

Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi putusan MK
adalah sifat putusannya yang final dengan kata mengikat (binding).
Karena putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang
terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus
harus melaksanakan putusan tersebut. Namun demikian, norma dalam
undang-undang adalah satu kesatuan sistem dan pelaksanaan putusan
yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu bergantung pada substansi
putusan. Dalam hal ini terdapat putusan yang dapat dilaksanakan
langsung tanpa harus dibentuk peraturan perundangundangannya dalam
bentuk pergantian atau perubahan dan ada pula yang memerlukan
pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu sepanjang hal tersebut ditegaskan
dalam putusan yang bersangkutan. Namun demikian, sesuai dengan Pasal
47 UU MK, semua putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan
mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum. Terkait dengan hal tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September 2017, dinyatakan,
“selama dan sejauh ini, baik dalam tataran teoritis maupun tataran
praktis, keberlakuannya bersifat erga omnes. Dengan sifat konstitutifnya
putusan pengujian undang-undang bersifat final sehingga di dalamnya
termuat makna mengikat yang menimbulkan beban atau kewajiban bagi
semua pihak untuk patuh dan melaksanakan putusan Mahkamah
Konstitusi. Kondisi demikian juga berlaku dalam putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi di berbagai negara”.

Ihwal dalil Pemohon yang menyatakan bahwa semua putusan Mahkamah
Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan pembentukan atau perubahan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya sesuai
dengan hierarkinya, dalil ini tidaklah tepat. Hal demikian disebabkan
karena sifat final putusan Mahkamah Konstitusi di dalamnya memiliki
makna putusan tersebut mengikat dan oleh karenanya semua pihak
terikat untuk melaksanakannya tanpa harus menunggu atau
ditindaklanjuti dengan pembentukan atau perubahan undang-undang
atau peraturan perundang-undangan lainnya. Andaipun terdapat putusan
Mahkamah Konstitusi yang memerlukan perubahan atau pembentukan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, hal
demikian dinyatakan secara tegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi
yang bersangkutan. Dengan kata lain, dalam hal suatu putusan langsung
efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk
implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan
tersebut dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Maksudnya,
putusan tersebut terlaksana dengan sendirinya. Putusan terhadap
pengujian undang-undang yang bersifat self-executing pada dasarnya
merupakan putusan yang membatalkan norma atau ketentuan lain dalam
undang-undang yang bersangkutan, termasuk di dalamnya
penjelasannya.

Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang dikhawatirkan
Pemohon tidak dilaksanakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
105/PUUXIV/2016, bertanggal 28 September 2017 Mahkamah lebih jauh
menegaskan:
“Bahwa oleh karena putusan pengujian undang-undang bersifat
declaratoir constitutief, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi tidak
membutuhkan aparat yang akan memaksa agar putusan tersebut
dilaksanakan atau dipatuhi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah,
kesadaran dan kepatuhan hukum semua pihak untuk melaksanakan
putusan pengadilan termasuk putusan Mahkamah Konstitusi menjadi
cerminan bagaimana sesungguhnya menghormati prinsip negara hukum
dalam kehidupan bernegara.”

Berkenaan dengan kasus konkrit yang dicontohkan oleh Pemohon dan
tanpa bermaksud menilai kasus konkrit dimaksud, Mahkamah perlu
menegaskan bahwa Pasal 335 KUHP yang oleh Mahkamah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013,
bertanggal 16 Januari 2014) tidaklah mencakup seluruh materi yang
termuat dalam norma pasal dimaksud melainkan hanya terhadap frasa
“sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”.
Dengan demikian, norma Pasal 335 KUHP masih tetap berlaku selain frasa
dimaksud. Sehingga, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, jika
frasa yang telah dinyatakan inkonstitusional dimaksud masih tetap
digunakan oleh hakim sebagaimana kasus yang dicontohkan oleh
Pemohon maka pihak yang merasa dirugikan oleh putusan hakim tersebut
dapat menempuh upaya hukum yang tersedia dengan merujuk putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan sebagai dasarnya.

4) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah ternyata bahwa
tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma dalam materi muatan
Pasal 57 ayat (3) UU MK sehingga Mahkamah berpendapat permohonan
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.