Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-10-2018

Nugroho Prasetyo, yang dalam hal ini mengkuasakan kepada Heriyanto, S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum

Pasal 222 UU Pemilu

Preambule Pembukaan UUD Tahun 1945, Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3),
Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1),
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), ketentuan tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam UU Pemilu a quo.
Terhadap ketentuan yang mengatur tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, in casu Pasal 222 UU Pemilu, yang juga menjadi objek
permohonan a quo, juga telah beberapa kali dimohonkan pengujian
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XV/2017,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017 dan semua pertimbangan tersebut
telah dirujuk kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-XVI/2018, bertanggal 25 Oktober 2018 yang telah diucapkan
sebelumnya sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu,
sekalipun terdapat dua hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda
(dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi
Isra), Mahkamah telah secara komprehensif mempertimbangkan
konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dimaksud, termasuk menegaskan
kembali pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan
sebelumnya, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU- VI/2008, sebelum tiba pada amar putusan yang menolak
permohonan pemohon. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo,
Mahkamah menyatakan, pada pokoknya antara lain:

“Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah
dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya
persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau
gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi
hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu,
pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik
atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.

Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah
minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik
untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja
perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga
tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang
tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu
melalui pembicaraan intensif dengan partai- partai pengusungnya,
misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa
belum tentu partai-partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya
tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai
peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya
kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai
mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan
kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena
lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan
pemerintahan dapat direduksi.

Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan
memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai
politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya
penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai
berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam
mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti
sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah
penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak
dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan
dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-
program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih.
Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih
akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon
anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak.
Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika
memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena
setuju dengan program- program yang ditawarkannya maka secara
rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan
mendukung tercapainya program- program tersebut yang tidak lain
adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai
politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil
Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi
partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika
politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan
politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya
secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah
bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas
politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun
secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda
namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama
mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam
program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang
mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa
“sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya
diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang
selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma
Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem
Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya
keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain,
mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu
merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat
ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya
desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum
berjalannya fungsi- fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan
komunikasi politik”.

[3.12.2] Bahwa pendirian Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal
222 UU Pemilu sebagaimana dituangkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut diulangi dan ditegaskan
kembali dalam Nomor 59/PUU-XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 70/PUU- XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-
XV/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017 yang
memohonkan substansi yang sama sehingga permohonan pemohon
mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dalam putusan-putusan
Mahkamah yang disebut terakhir dinyatakan tidak dapat diterima.

[3.12] Menimbang, berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena
terhadap Pasal 222 UU Pemilu Mahkamah telah menyatakan pendiriannya
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-XV/2017 yang kemudian dikuatkan kembali oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU- XVI/2018, maka pertimbangan
Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut secara mutatis mutandis
berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo. Namun sebelum Mahkamah
mempertimbangkan pokok permohonan lebih jauh, oleh karena secara
konstitusional sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka pengusulan pasangan calon
tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan melainkan ditentukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dengan
memenuhi persentase perolehan kursi anggota DPR atau suara sah
secara nasional dengan jumlah tertentu. Oleh karenanya menurut Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 pihak yang memiliki hak konstitusional untuk
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Lagipula, di
dalam permohonannya Pemohon sama sekali tidak mengaitkan statusnya
yang telah mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden dengan
eksistensi sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan
dipilih. Dengan demikian, meskipun Pemohon telah mendeklarasikan
dirinya sebagai calon presiden, maka dalam kaitannya dengan kedudukan
hukum Pemohon, berdasarkan konstruksi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 di
atas tidak terdapat kerugian konstitusional pada diri Pemohon dalam
hubungannya dengan keberlakuan norma Pasal 222 UU Pemilu, sehingga
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon memiliki kedudukan
hukum, telah ternyata bahwa norma yang dimohonkan pengujian tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon
selebihnya tidak dipertimbangkan.