Ferdinand Halomoan Lumban Tobing
Pasal 1 ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan 18 ayat (3) UU Pers
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28I, Pasal 33 ayat (1)
dan Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1 ayat (2), Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 18 ayat (3) UU Pers, Mahkamah Konstitusi memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10.1] Pengertian Pers berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran yang tersedia.
[3.10.2] Wadah untuk menyelenggarakan pers adalah mendirikan
perusahaan pers. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 9
ayat (2) UU Pers bahwa perusahaan pers berbentuk badan hukum
Indonesia. Ketentuan tersebut dikuatkan oleh Surat Edaran Dewan Pers
Nomor 01/SE-DP/I/2014 tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar
Perusahaan Pers yang menyatakan bahwa perusahaan pers harus
berbadan hukum Indonesia berbentuk PT atau badan hukum lainnya yaitu
yayasan atau koperasi. Usaha Pers adalah usaha yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi sehingga
badan hukum perusahaan pers tidak dapat dicampur dengan usaha lain
selain di bidang pers. Dengan demikian jelas bahwa setiap orang yang
ingin mendirikan perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.
[3.10.3] Persoalannya, bagaimana dengan bentuk badan usaha
perusahaan pers yang dibentuk sebelum UU Pers berlaku. Terkait dengan
hal itu, BAB IX Ketentuan Peralihan Pasal 19 ayat (2) UU Pers
menyatakan, “Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya
undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-
undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya undang-undang ini”. Dengan demikian bagi perusahaan
pers yang belum berbentuk badan hukum Indonesia harus menjadi
perusahaan pers berbadan hukum Indonesia. Artinya, berdasarkan UU
Pers, perusahaan pers yang dibentuk baik sebelum maupun setelah
berlakunya UU Pers haruslah mengikuti ketentuan yang menyatakan
bahwa setiap perusahaan pers haruslah berbentuk badan hukum
Indonesia.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pasal 1
angka 2 juncto Pasal 9 ayat (2) UU Pers berlaku bagi setiap orang warga
negara Indonesia tanpa kecuali yang ingin mendirikan perusahaan pers.
Pilihan Pembentuk Undang-Undang bahwa perusahaan pers berbentuk
badan hukum di antaranya memberi perlindungan kepada orang yang
mendirikan perusahaan pers dan kepada wartawan yang bekerja di
perusahaan pers seperti yang termuat dalam Pasal 4 ayat (4) UU Pers
yang menyatakan, “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak”; Pasal 5 ayat (2) dan
ayat (3) UU Pers yang menyatakan, “(2) Pers wajib melayani Hak Jawab;
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak”; dan Pasal 10 UU Pers yang
menyatakan, “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada
wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau
pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya”.
Sebaliknya, masalah lain yang lebih mendasar adalah UU Pers juga
memberi hak kepada seseorang atau pihak lain untuk menggugat
perusahaan pers karena sesuai dengan Pasal 12 UU Pers dinyatakan,
“Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung
jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk
penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan”. Sesuai dengan
ketentuan tersebut, arti penting keharusan perusahaan pers berbentuk
badan hukum adalah menyangkut tanggung jawab perusahaan pers
terhadap adanya kerugian baik dari aspek pidana maupun perdata yang
dialami oleh masyarakat terutama akibat pemberitaan. Oleh karena itu,
perusahaan pers haruslah berbentuk badan hukum agar dengan status
demikian dapat leluasa bertindak dengan diwakili oleh para pengurusnya
dalam melakukan perbuatan hukum yang diperlukan untuk mencapai
tujuan perusahaan dan juga dalam rangka pertanggungjawaban
perusahaan pers atas adanya tuntutan pihak lain maupun dalam upaya
perlindungan terhadap usaha dan untuk menjamin kesejahteraan para
wartawan maupun karyawannya. Dengan demikian, bentuk badan hukum
(dalam hal ini PT, Yayasan, dan Koperasi) adalah yang paling tepat bagi
suatu perusahaan pers.
Konstitusi menjamin bahwa setiap warga negara Indonesia boleh
melakukan berbagai macam usaha sebagaimana ditentukan dalam Pasal
33 UUD 1945, termasuk untuk mendirikan perusahaan pers. Namun
ketika akan mendirikan perusahaan pers maka harus tunduk pada UU
Pers. Pembatasan yang ditentukan oleh UU Pers tersebut sejalan dengan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.” Pembatasan demikian diperlukan karena
sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya
berkait dengan hak setiap orang untuk mendapatkan informasi yang
benar, sehingga pers sebagai salah satu sumber informasi penting dalam
masyarakat demokratis harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan
kecermatan sesuai dengan prinsip pers yang bebas dan bertanggung
jawab.
Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, telah terang bagi
Mahkamah bahwa pengaturan yang mengharuskan perusahaan pers
berbadan hukum Indonesia tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Namun demikian, berkenaan dengan permohonan a quo, setelah
Mahkamah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam
menjelaskan kedudukan hukumnya beserta dengan bukti-bukti yang
diajukan, telah ternyata bahwa Pemohon bukanlah perusahaan pers
sebagaimana dimaksud oleh UU Pers melainkan hanya perusahaan
penerbit (yang dalam bukti P-3 disebut “perusahaan penerbitan“). Oleh
karena itu tidak relevan untuk menggunakan logika kerugian yang dialami
oleh sebuah perusahaan pers sebagaimana diatur dalam UU Pers
terhadap perusahaan Pemohon yang bukan merupakan perusahaan pers.
Dengan demikian Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka Mahkamah
berpendapat tidak terdapat relevansi untuk mempertimbangkan
permohonan selebihnya.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan a quo, quod non, telah ternyata bahwa pasal-pasal dalam
UU Pers yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430