Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, MSi, Reza Indragiri Amriel, M.Crim (ForPsych), Khoe Seng Seng, dan Usman
Pasal 222 UU Pemilu
Pancasila yang tidak terpisahkan dengan Pembukaan UUD Tahun 1945
karena dinilai tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi Para
Pemohon dalam konteks relasinya sebagai warganegara dengan DPR-RI
sebagai lembaga Negara sehingga merugikan dan melanggar hak dan/atau
kewenangan konstitusional Para Pemohon
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama
Permohonan a quo, telah ternyata bahwa terhadap substansi materi
muatan Pasal 222 UU Pemilu telah beberapa kali dimohonkan pengujian
dan Mahkamah telah menyatakan pendiriannya yaitu bahwa Pasal 222 UU
Pemilu adalah konstitusional, artinya tidak bertentangan dengan UUD
1945. Pendirian Mahkamah dalam putusan-putusan tersebut tidak
berubah. Putusan dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
VI/2008; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU- VII/2009;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-XI/2013; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XI/2013;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013; Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XII/2014; Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
59/PUU-XV/2017; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XV/2017;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XV/2017; dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XV/2017. Pendirian Mahkamah
tersebut ditegaskan kembali dalam dua putusan terakhir, yaitu Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-XVI/2018;
[3.11.1] bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-
XVI/2018, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan,
antara lain:
[3.14] Menimbang bahwa setelah melihat kembali pendirian Mahkamah
yang tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya
sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.11]dan paragraf [3.12]di atas,
maka dalam hubungannya dengan permohonan a quo, apakah terdapat
alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya
berkenaan dengan syarat ambang batas perolehan suara partai politik
atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU
Pemilu?
Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah
pendiriannya. Sebab:
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut
diucapkan pada tanggal 11 Januari 2018. Sementara itu, putusan
Mahkamah mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu a quo
didasarkan atas pertimbangan komprehensif yang bertolak dari hakikat
sistem pemerintahan presidensial menurut desain UUD 1945, bukan atas
dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-
peristiwa konkret. Dalam rentang waktu yang hanya beberapa
bulantersebut tidak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan menurut
UUD 1945 yang dibuktikan dengan tidak adanya perubahan undang-
undang sebagai pengaturan lebih lanjut sistem ketatanegaraan. Dengan
demikian belum ada alasan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah
pendiriannya;
Kedua, oleh karena pendirian Mahkamah didasarkan atas pertimbangan
komprehensif yang bertolak dari hakikat sistem pemerintahan presidensial
menurut desain UUD 1945 maka pada dasarnya seluruh argumentasi para
Pemohon, meskipun didalilkan menggunakan dasar pengujian yang
berbeda, telah dengan sendirinya dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut:
1. argumentasi para Pemohon yang mendalilkan bahwa Pasal 222 UU
Pemilu menambahkan syarat ambang batas pencalonan yang berpotensi
menghilangkan pasangan capres dan cawapres alternatif telah
dipertimbangkan bahkan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-
52-59/PUU-VI/2008 yang kemudian ditegaskan kembali dalam putusan-
putusan berikutnya. Pertimbangan tersebut diperkuat dengan
pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017 sebagaimana dapat dibaca khususnya dalam paragraf
[3.14]angka 5 putusan tersebut;
2. argumentasi para Pemohon bahwa syarat pasangan calon bukan
open legal policy melainkan close legal policy telah ditolak oleh
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, yang kemudian
ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah berikutnya,
termasuk dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017;
3. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah
constitutional engineering melainkan constitutional breaching, Mahkamah
telah menyatakan pendiriannya bahwa hal itu adalah constitutional
engineering, sebagaimana telah dijelaskan dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya dalam paragraf
[3.14] angka 4, oleh karena itu Mahkamah tidak sependapat dengan para
Pemohon;
4. argumentasi para Pemohon bahwa penghitungan presidential
threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan
esensi pelaksanaan Pemilu, hal ini pun telah dipertimbangkan oleh
Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-
VI/2008 dan dielaborasi lebih jauh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya dalam paragraf [3.14]angka 5;
5. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu seharusnya
tidak mengatur “syarat” Capres karena Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya
mendelegasikan “tata cara”-nya, argumentasi ini pun telah dibantah oleh
Putusan Mahkamah 51-52-59/PUU-VI/2008;
6. argumentasi para Pemohon bahwa pengaturan delegasi “syarat”
Capres ke Undang-Undang ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak
terkait pengusulan Parpol, hal ini juga dengan sendirinya telah
terbantahkan oleh pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
51-52-59/PUU-VI/2008. Lagi pula, sulit untuk membangun argumentasi
yang secara konstitusional koheren ketika di satu sisi Konstitusi secara
tegas memberikan peran yang besar kepada partai politik untuk
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, sementara di sisi lain
persyaratan capres itu dikatakan tidak terkait dengan pengusulan oleh
partai politik. Hal ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, khususnya paragraf [3.14]
angka 5;
7. argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold
menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi
menghadirkan Capres tunggal, hal demikian meskipun sekilas tampak
logis namun mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga
negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu
terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sehingga,
kendatipun diberlakukan syarat parliamentary threshold, kemungkinan
untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka, sebagaimana
terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini sejak dijaminnya
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan
perubahan UUD 1945. Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan
calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu
haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagi
partai politik yang memenuhi persyaratan terdaftar di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk menjadi peserta pemilihan umum
harus pula terdaftar sebagai peserta pemilihan umum di KPU dengan
terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang lebih beratbila dibandingkan
dengan syarat terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tidak hanya persyaratan formal, untuk menjadi peserta pemilihan
umumpartai politik harus melewati verifikasi mulai dari tingkat pusat
sampai tingkat kecamatan;
8. argumentasi para Pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu berpotensi
melahirkan ketidakpastian hukum yang harus diantisipasi oleh Mahkamah,
hal demikian tidaklah beralasan sama sekali karena rumusan Pasal 222
UU Pemilu a quo tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda karena
telah sangat jelas;
9. argumentasi para Pemohon bahwa pengusulan Capres seharusnya
tidak didasarkan oleh hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya, hal ini
sesungguhnya tidak ada bedanya dengan argumentasi para Pemohon
pada angka 4 di atas, sehingga pertimbangan Mahkamah sebagaimana
disebutkan pada angka 4 di atas itu pun berlaku terhadap dalil ini;
10. argumentasi para Pemohon bahwa presidential threshold dalam
Pasal 222 UU Pemilu berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya adalah
irasional, juga telah terjawab dengan pertimbangan Mahkamah pada
angka 4 dan angka 9 di atas
[3.11.2] bahwa sekalipun dalam persoalan konstitusionalitas
presidential threshold terdapat pendapat berbeda dari 2 orang Hakim
Konstitusi (Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra),
sesuai dengan putusan-putusan sebelumnya, Mahkamah tidak mengubah
pendiriannya dan dalam pertimbangan hukumnya lebih mempertegas
kembali pendiriannya mengenai hal tersebut.
[3.12] Menimbang bahwa dengan telah jelas dan tidak berubahnya
pendirian Mahkamah yang dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah
sebelumnya sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11] di atas, maka
dalam konteks permohonan a quo apakah terdapat alasan konstitusional
baru yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya
terhadap konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu? Pertanyaan demikian
muncul karena dengan telah dinyatakan konstitusionalnya Pasal 222 UU
Pemilu oleh Mahkamah maka sesungguhnya, menurut Pasal 60 ayat (1)
UU MK, terhadap Pasal 222 UU Pemilu pada dasarnya tidak lagi dapat
dimohonkan pengujian. Namun, karena para Pemohon dalam
permohonannya mendalilkan adanya alasan berbeda dari permohonan-
permohonan sebelumnya dalam menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU
Pemilu, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK
Mahkamah dapat memeriksa kembali permohonan a quo.
Dalam kaitan ini, setelah Mahkamah memeriksa secara cermat
permohonan para Pemohon, ternyata bahwa hal yang oleh para Pemohon
dianggap sebagai perbedaan permohonan a quo dengan permohonan-
permohonan sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah adalah
bahwa para Pemohon menerima jika Pasal 222 UU Pemilu dikatakan legal
policy, hanya saja para Pemohon tidak sependapat jika legal policy itu
mulai diberlakukan untuk Pemilu serentak 2019. Sebab, menurut para
Pemohon, mereka tidak mengetahui dan tidak pernah diberitahu,
khususnya oleh pembentuk undang-undang, kalau suara yang mereka
berikan dalam pemilihan anggota DPR Tahun 2014 akan dijadikan dasar
penghitungan presidential threshold perolehan suara partai politik yang
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu
2019. Dengan keadaan tersebut, para Pemohon merasa dibohongi dan
suaranya dimanipulasi. Keadaan demikian, menurut para Pemohon,
bertentangan dengan seluruh nilai dalam Pancasila, mulai dari Sila
Pertama hingga Sila Kelima, sementara Pancasila tidak dapat dipisahkan
dari Pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, seluruh dalil para Pemohon sesungguhnya bertumpu
pada persoalan apakah benar norma yang termuat dalam Pasal 222 UU
Pemilu mengandung pembohongan dan manipulasi? Terhadap persoalan
tersebut, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa sebagaimana telah dijelaskan pada Paragraf [3.11] di
atas, pendirian Mahkamah perihal konstitusionalnya Pasal 222 UU Pemilu
bukan bertolak dari pertimbangan-pertimbangan yang parsial dan
kasuistis melainkan secara komprehensif didasarkan atas pertimbangan
yang diturunkan dari sistem ketatanegaraan, khususnya sistem
pemerintahan presidensial, menurut desain UUD 1945. Sementara itu,
desain sistem ketatanegaraan Indonesia dalam UUD 1945 bertolak dari
amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea
keempat, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang di dalamnya termuat dasar negara
Pancasila. Oleh karena itulah ketika dilakukan perubahan terhadap UUD
1945, seluruh fraksi di MPR bukan hanya sepakat untuk tidak melakukan
perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 tetapi juga sekaligus sepakat
menjadikan Pembukaan UUD 1945 itu sebagai acuan dalam melakukan
perubahan dimaksud. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan,
MPR pada saat itu juga sepakat untuk mempertegas ciri-ciri sistem
pemerintahan presidensial dimaksud menurut desain UUD 1945. Hal-hal
itulah yang telah dipertimbangkan secara komprehensif dalam
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-
XV/2017 yang ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah
selanjutnya, terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-
XVI/2018.
[3.12.2] Bahwa berbicara tentang sistem pemerintahan presidensial,
kendatipun secara doktriner dapat ditemukan ciri-cirinya secara umum,
dalam praktik terdapat variasi yang beragam sesuai dengan pertimbangan
kebutuhan masing-masing negara yang mengadopsi sistem ini, sehingga
tidak ada satu negara pun menerapkan sistem ini dengan ciri-ciri yang
persis sama dengan negara lainnya di dalam praktiknya. Bahkan,
terhadap ciri yang secara doktriner dikatakan sama pun terdapat
perbedaan, misalnya ciri yang menyebutkan bahwa presiden (yang
sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan) dipilih secara
langsung. Dalam praktik, pengertian “dipilih secara langsung” tersebut
ternyata tidak selalu diartikan sebagai pemilihan secara popular vote
sebab pemilihan dengan mekanisme electoral college pun dianggap
sebagai pemilihan secara langsung, sebagaimana misalnya yang
dipraktikkan di Amerika Serikat, di mana para pemilih tidaklah memilih
kandidat presiden dan wakil presiden secara langsung tetapi hanya
memilih sejumlah electors dengan secara umum menggunakan prinsip
the winner takes all di negara bagian. Pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang memperoleh dukungan mayoritas elektoral dinyatakan
sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Dengan
mekanisme demikian kerap terjadi bahwa pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang didukung oleh mayoritas elektoral belum tentu secara
popular memperoleh suara terbanyak. Misalnya dalam pemilihan terakhir
tahun 2016, Donald Trump memperoleh 306 electoral colleges sedangkan
Hillary Clinton memperoleh 232 electoral colleges namun popular votes
Clinton unggul lebih dari 4,3 juta suara. Jika dalam mekanisme
pemenuhan ciri “pemilihan presiden secara langsung” dimungkinkan
terjadi perbedaan maka tentu dimungkinkan pula terjadinya perbedaan
dalam mekanisme pengusulan pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang akan dipilih secara langsung itu. Ketidaksamaan dalam
praktik penerapan sistem presidensial demikian adalah wajar karena
sistem ini dapat diterapkan atau diadopsi baik di negara yang berbentuk
federasi (serikat) maupun di negara yang berbentuk kesatuan; baik di
negara yang sistem kepartaiannya menganut sistem dua partai maupun
sistem banyak partai (multipartai); baik di negara yang sistem lembaga
perwakilannya menganut sistem dua kamar (bikameral) maupun di
negara yang menganut sistem satu kamar (unikameral), dan sebagainya.
[312.3] Bahwa semangat penggunaan hasil pemilihan sebelumnya
sebagai acuan, meskipun tidak persis sama, bukanlah sesuatu yang sama
sekali baru sehingga tidak beralasan apabila hal itu dikatakan sebagai
pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih. Sebagai contoh,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 dalam pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam putusan
tersebut Mahkamah pada pokoknya mengabulkan permohonan Pemohon
dengan menyatakan bahwa ketentuan yang mengatur tentang
penghitungan persentase dukungan sebagai syarat bagi calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah
(gubernur, bupati, atau walikota) yang didasarkan atas jumlah penduduk
di daerah yang bersangkutan bertentangan dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
“didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih
sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang
bersangkutan pada pemilihan umum sebelumnya.” Apakah ketentuan
demikian lantas dapat diartikan sebagai pembohongan dan manipulasi?
Sebab, jika mengikuti logika para Pemohon, penduduk yang namanya
tercantum dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum sebelumnya
di suatu daerah tentu dapat pula mengemukakan argumentasi bahwa
mereka telah dibohongi karena tidak diberitahu sebelumnya kalau
keberadaannya dalam daftar pemilih tetap dalam pemilihan umum
sebelumnya itu ternyata akan dijadikan dasar penghitungan persentase
persyaratan bagi calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah. Bila dikaitkan dengan permohonan a quo,
karena presidential threshold telah dinyatakan konstitusional oleh
Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya dan oleh karena
pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan umum anggota DPR
sebelumnya tidak dilakukan secara serentak maka pilihan yang paling
masuk akal adalah menggunakan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pilihan demikian adalah sebagai konsekuensi transisi penyelenggaraan
dari Pemilu yang terpisah menjadi Pemilu serentak. Hal demikian
dimungkinkan karena presidential threshold adalah sebagai legal policy
pembentuk undang-undang.
[3.12.4] Bahwa berkait dengan keberlakuan suatu norma hukum, di
kalangan yuris berlaku adagium ignoratia juris non exusat atau ignoratia
legis neminem exusat yaitu bahwa seseorang yang tidak mengetahui
akan keberadaan suatu hukum tidaklah membebaskan orang yang
bersangkutan dari pertanggungjawaban semata-mata karena ia tidak
tahu. Norma undang-undang sebagai kaidah hukum positif yang memiliki
sifat hakikat mengatur dan memaksa tetap berlaku terlepas dari
persoalan apakah subjek hukum yang diatur oleh norma hukum positif
tersebut setuju atau tidak. Bahkan, sesuai dengan prinsip presumption of
constitutionality, suatu norma undang-undang harus dianggap
konstitusional kecuali telah terdapat putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa norma undang-undang tersebut bertentangan dengan
konstitusi. Prinsip ini dianut pula oleh UU MK, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 58 yang menyatakan, “Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dalam kaitan itu, konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas suatu norma
undang-undang, in casu Pasal 222 UU Pemilu, bukanlah disandarkan pada
konstruksi pemikiran yang bertolak dari peristiwa konkret di mana rakyat
atau warga negara harus tahu terlebih dahulu bahwa suara yang
diberikan kepada partai politik dalam Pemilu akan digunakan sebagai
syarat pengusulan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana
didalilkan para Pemohon, melainkan pada substansi atau materi muatan
dalam norma undang-undang itu sendiri. Artinya, konstitusional atau
tidaknya suatu norma undang-undang bukan ditentukan oleh kapan
norma undang-undang itu mulai diberlakukan. Benar bahwa Mahkamah
dalam beberapa putusannya memberikan tenggang waktu kepada
pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan undang-undang
namun konteksnya bukan sebagaimana yang dikonstruksikan dalam dalil
para Pemohon a quo. Misalnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 012-016-019/PUU- IV/2006 bertanggal 19 Desember 2006 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017 bertanggal 10
Oktober 2017. Dalam putusan-putusan itu Mahkamah memberikan
tenggang waktu kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan
perubahan undang-undang setelah terlebih dahulu menyatakan bahwa
norma undang-undang yang diperintahkan untuk dilakukan perbaikan itu
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Jadi, konstruksinya adalah
sebagai berikut: menurut Pasal 47 UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum, namun dengan pertimbangan tertentu
Mahkamah memberikan tenggang waktu kepada pembentuk undang-
undang untuk melakukan perubahan terhadap norma undang-undang
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Hal lain yang perlu ditegaskan dalam hubungan ini adalah harus
dibedakan persoalan mulai berlakunya suatu undang-undang dan mulai
berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi. Persoalan mulai berlakunya
suatu undang-undang adalah sepenuhnya merupakan kewenangan
pembentuk undang-undang, sedangkan persoalan mulai berlakunya
putusan Mahkamah Konstitusi tunduk pada Pasal 47 UU MK dengan
dimungkinkan memberi tenggang waktu kepada pembentuk undang-
undang untuk melakukan perubahan undang-undang yang dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Namun, kedua persoalan itu tidak
berkait dengan pertimbangan untuk menilai konstitusionalitas suatu
undang-undang.
[3.12.5] Bahwa oleh karena berdasarkan pertimbangan sebagaimana
diuraikan pada sub-paragraf [3.12.1] sampai dengan [3.12.4] di atas
telah ternyata bahwa ketentuan persentase tertentu perolehan suara
partai politik atau gabungan partai politik sebagai syarat untuk dapat
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden bukanlah suatu
bentuk pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih, maka dengan
sendirinya dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 222 UU Pemilu
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila menjadi kehilangan landasan
rasionalitasnya. Sebab, dalil para Pemohon perihal pertentangan Pasal
222 UU Pemilu didasarkan pada argumentasi bahwa Pasal 222 UU Pemilu
merupakan pembohongan dan manipulasi suara pemilih. Para Pemohon
tidak memberikan argumentasi lebih lanjut perihal mengapa Pasal 222 UU
Pemilu itu dikatakan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Padahal,
secara doktriner, pembahasan tentang nilai tidaklah cukup dengan uraian
yang sumir sebab nilai adalah penentuan penghargaan atau
pertimbangan tentang “baik atau tidak baik” terhadap sesuatu, kemudian
dijadikan dasar, alasan, atau motivasi untuk “melakukan atau tidak
melakukan” sesuatu. Nilai adalah hal ihwal yang bermakna bagi
kehidupan manusia yang didambakannya serta berusaha mewujudkannya
atau menghindarinya untuk menciptakan kepuasan dirinya. Nilai adalah
juga suatu tuntutan yang dijadikan arah untuk menentukan sikap dan
perilaku dalam kehidupan bersama manusia atau dalam kehidupan
masyarakat. Karena itu, mendalilkan sesuatu sebagai bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila haruslah disertai argumentasi yang lebih
mendalam perihal hakikat nilai dimaksud, dalam hal ini nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, yang secara analitis berkait pula dengan
persoalan prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang terkandung di
dalamnya.
[3.12.6] Bahwa berkenaan dengan petitum para Pemohon yang juga
memohonkan agar Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, para Pemohon dalam posita permohonannya sama sekali tidak
memberikan alasan mengapa Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu a quo
bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan yang dalam petitumnya
memohonkan sesuatu tetapi dalam positanya tidak menguraikan alasan-
alasan yang mendasari permohonan itu adalah permohonan yang tidak
cermat sehingga mengakibatkan permohonan yang demikian menjadi
kabur. Namun dalam hal ini jika argumentasi para Pemohon perihal
inkonstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu sebagaimana dijelaskan dalam
posita permohonan a quo oleh para Pemohon sekaligus diberlakukan juga
sebagai argumentasi dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Penjelasan
Pasal 222 UU Pemilu maka pertimbangan Mahkamah terhadap Pasal 222
UU Pemilu sebagaimana telah diuraikan di atas dan dalam putusan-
putusan Mahkamah sebelumnya juga berlaku sebagai pertimbangan
terhadap Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu. Lagi pula, secara tekstual, apa
yang tertulis di dalam Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu tersebut tidaklah
memuat norma baru yang bertentangan dengan materi muatan Pasal 222
UU Pemilu sehingga tidak terdapat alasan bagi Mahkamah untuk
menyatakan Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu a quo bertentangan dengan
norma yang dijelaskannya sehingga dapat dijadikan dasar oleh
Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 222 UU Pemilu
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon
sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 222
UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah
berpendapat bahwa secara substantif sesungguhnya tidak terdapat alasan
konstitusional baru dalam permohonan para Pemohon a quo sehingga
permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430