Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-10-2018

Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) yang diwakili oleh Minola Sebayang, S.H., M.H dan Herwanto, S.H., M.H., dalam hal ini sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal AAMSI

Pasal 82 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun
1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c dan huruf d
KUHAP, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:

[3.10.2] Bahwa untuk menjawab isu tersebut, penting bagi Mahkamah
terlebih dahulu untuk mengemukakan kembali pertimbangan putusan
Mahkamah sebelumnya mengenai konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1)
huruf d KUHAP, yaitu sebagaimana telah diputus dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU- XIII/2015, tanggal 9 November
2016, yaitu:

“Menimbang bahwa, dalam praktik, ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1)
huruf d UU 8/1981 tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran
dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah
perbedaan penafsiran demikian bukanlah semata-mata masalah
penerapan atau implementasi norma sebab perbedaan penafsiran itu lahir
sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam
rumusan norma itu sendiri, dalam hal ini pengertian tentang “perkara
mulai diperiksa” yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan.
Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah
mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan
dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok
perkara di pengadilan negeri. Dalam praktik ternyata tidak ada
keseragaman penafsiran di kalangan para hakim praperadilan mengenai
hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara
permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara
dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di
Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih
dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula
hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara
permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan perkara
pokok sudah mulai disidangkan.

Bahwa hakikat dari perkara permohonan praperadilan adalah untuk
menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 77 UU 8/1981 dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-
XII/2014, bertanggal 28 April 2015 yang dalam pertimbangannya pada
pokoknya menyatakan, “...penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia
maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek
yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata
praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari
tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat
terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam
prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain
pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan
memutusnya....Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai
objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang
dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang
mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan
hukum” [vide Putusan Mahkamah nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28
April 2015, halaman 105-106]. Selanjutnya amar putusan Mahkamah
tersebut kemudian menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a UU 8/1981
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan, sehingga tidaklah adil apabila ada perkara
permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau
sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena berkas perkara pokok
atas nama terdakwa/pemohon praperadilan telah dilimpahkan dan telah
dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara
permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya
diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan
terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut [vide Pasal 82 ayat
(1) huruf c UU 8/1981]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 telah nyata-nyata multitafsir
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bahwa untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan
implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat
demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan
gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok
atas nama terdakwa/ pemohon praperadilan. Menurut Mahkamah,
penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan
dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat
(1) huruf d UU 8/1981.”

Selanjutnya amar putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa
Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu
perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan
gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang
pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon
praperadilan”. Melalui putusan tersebut, Mahkamah telah menegaskan
penafsiran dari Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dan membatasi bahwa
praperadilan dapat dinyatakan gugur adalah setelah perkara tersebut
telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama apapun agenda dari
sidang pertama tersebut.


[3.10.3] Bahwa ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP pada
pokoknya mengatur mengenai berapa lama proses pemeriksaan
persidangan praperadilan dapat dilakukan oleh hakim praperadilan, yaitu
bahwa suatu perkara praperadilan harus diputus 7 (tujuh) hari sejak
dimulainya sidang pemeriksaan praperadilan. Norma tersebut juga
menegaskan bahwa proses pemeriksaan praperadilan harus dilakukan
secara cepat. Pemohon dalam permohonannya juga menyatakan dalam
praktiknya pemeriksaan terhadap permohonan praperadilan acapkali
diajukan penundaan yang mengakibatkan prosesnya menjadi panjang dan
memerlukan waktu yang lama sebelum adanya pengucapan putusan dan
hal tersebut berakibat persidangan terhadap pokok perkara sudah
dimulai. Hal ini mengakibatkan permohonan praperadilan tersebut gugur
berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Menurut
Mahkamah, ketentuan yang membatasi proses pemeriksaan permohonan
praperadilan selama 7 (tujuh) hari telah mencerminkan adanya asas
peradilan cepat, mengingat hakikat permohonan praperadilan hanyalah
menguji keabsahan formal dalam proses yang dilakukan penyidik atau
penuntut umum berkaitan dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP juncto
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April
2015. Ketentuan dimaksud telah memberikan kepastian dengan secara
eksplisit membatasi lamanya permohonan praperadilan diperiksa. Jika
norma tersebut dinyatakan tidak konstitusional, atau diberikan syarat
bahwa sidang pokok perkara hanya dapat dimulai setelah adanya putusan
permohonan praperadilan justru memicu adanya ketidakpastian hukum
yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-
XIII/2015, yang menegaskan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak
dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah
dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara
atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”, telah jelas bahwa
permohonan praperadilan dinyatakan gugur pada saat sidang pertama
pokok perkara dimulai atau dengan kata lain permohonan praperadilan
dinyatakan gugur apabila pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon
praperadilan telah dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum pada
pengadilan negeri yang telah dilakukan registrasi dan kemudian dimulai
pemeriksaan sidang pertama apapun agendanya.


[3.10.4] Bahwa lebih jauh dalam pertimbangan putusan tersebut secara
eksplisit juga telah memberikan toleransi waktu yang cukup untuk
dinyatakannya gugur permohonan praperadilan dari yang semula dapat
ditafsirkan sejak berkas pokok perkara dilimpahkan dari jaksa penuntut
umum pada pengadilan negeri dan telah dilakukan registrasi, namun
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015
kemudian diberikan penegasan bahwa permohonan praperadilan gugur
setelah dilakukan sidang pertama atas pokok perkara apapun agendanya.
Dengan demikian ada tambahan rentang waktu yang cukup karena
apabila dihitung dengan waktu antara registrasi perkara sampai pada
sidang pertama pemeriksaan pokok perkara dalam praktik peradilan
selama ini tidak kurang dari 7 (tujuh) hari bahkan bisa lebih. Oleh karena
itu, seharusnya apabila terdapat permasalahan sebagaimana yang
didalilkan oleh Pemohon di mana permohonan praperadilan yang telah
dimulai pemeriksaannya, maka seharusnya tidak ada kekhawatiran bahwa
praperadilan tersebut tidak diputus sebelum sidang pertama pokok
perkaranya. Hal itu dikarenakan bahwa mengingat permohonan
praperadilan yang telah dimulai pemeriksaannya maka dalam waktu 7
(tujuh) hari permohonan praperadilan tersebut harus sudah diputus. Hal
tersebut sejalan dengan tenggang waktu yang dipergunakan oleh Majelis
Hakim untuk melaksanakan sidang pertama setelah pokok perkara
dilimpahkan oleh jaksa penutut umum kepada Pengadilan Negeri dan
telah dilakukan registrasi yang juga memerlukan waktu rata-rata tidak
kurang dari 7 (tujuh) hari bahkan ada yang lebih. Karena waktu untuk
menentukan sidang pertama sangat tergantung diantaranya dengan
domisili para saksi yang akan diperiksa pada sidang pertama tersebut
yang sangat berkaitan antara jarak tempat tinggal para saksi dengan
tenggang waktu tata cara pemanggilan para saksi untuk dihadirkan di
persidangan dengan mengikuti hukum acara pemanggilan yang berlaku.
Sementara itu, apabila pemeriksaan permohonan praperadilan dimulai
menjelang sidang pokok perkara, maka hal tersebut menjadi kewenangan
hakim permohonan praperadilan dan majelis hakim yang mengadili
perkara pokok untuk mempertimbangkan rasa keadilan tanpa
mencampuri kewenangannya masing-masing dan merugikan hak- hak
tersangka;


[3.10.5] Bahwa yang menjadi kekhawatiran Pemohon, apabila putusan
gugurnya permohonan praperadilan dapat dijatuhkan setelah sidang
pertama atas pokok perkara dapat menjadi modus para pihak khususnya
para penyidik dan penuntut umum untuk minta penundaan sidang
dengan harapan dapat mempersiapkan berkas pokok perkara untuk dapat
segera dilimpahkan dengan tujuan agar permohonan praperadilan dapat
diputus dengan dinyatakan gugur, hal tersebut semata-mata merupakan
persoalan implementasi yang memang sulit untuk dihindarkan dan semua
berpulang kepada semangat dan integritas para penegak hukumnya.
Namun dengan mencermati semangat dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut di atas, maka seharusnya tidak ada
alasan lagi bagi hakim praperadilan untuk tidak memutus permohonan
praperadilan yang sudah dimulai pemeriksaannya karena sudah sesuai
dengan tenggang waktu untuk memeriksa pokok perkara yang ditetapkan
oleh Majelis Hakim untuk persidangan pertama terhadap pokok perkara.
Demikian juga dengan Majelis Hakim yang memeriksa pokok perkaranya
seharusnya tidak segera melaksanakan sidang pertama apabila memang
mengetahui pemeriksaan praperadilan telah dimulai, karena hanya
diperlukan waktu 7 (tujuh) hari untuk menunggu permohonan
praperadilan untuk diputus dan tenggang waktu itu juga seharusnya
menjadi waktu minimal atau sekurang-kurangnya yang dipandang wajar
dan cukup yang selalu dipergunakan Majelis Hakim dalam menetapkan
persidangan pertama dalam sebuah perkara biasa. Hal ini memerlukan
adanya koordinasi dan sinergi antarpenegak hukum tanpa mencampuri
kewenangannya masing-masing. Lebih lanjut penting Mahkamah
tegaskan bahwa sulit untuk menerima setiap permasalahan yang berada
pada area praktik kemudian dipaksakan untuk dijadikan alasan pembenar
mencari-cari inkonstitusionalitasnya sebuah norma dengan cara membuat
pemaknaan-pemaknaan baru yang terkait dengan norma yang
dimohonkan inkonstitusionalitasnya yang telah diberikan pemaknaannya
oleh Mahkamah melalui putusan sebelumnya. Hal tersebut justru dapat
semakin menjauhkan hakikat dari semangat originalitas norma yang
bersangkutan, termasuk dalam hal ini apa yang dimohonkan oleh
Pemohon, yaitu memohon agar norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP
yang telah dinyatakan konstitusional bersyarat oleh Mahkamah melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 justru agar
dinyatakan inkonstitusional apabila permohonan Pemohon terkait dengan
inkonstitusionalitas norma Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP dikabulkan
oleh Mahkamah. Dengan kata lain Mahkamah tidak boleh terjebak dengan
menerima dan mengabulkan pengujian norma dari sebuah undang-
undang apabila akan berakibat berubahnya pendirian Mahkamah dalam
putusan sebelumnya tanpa adanya argumen yang kuat untuk mengubah
pendirian Mahkamah.


[3.11] Menimbang bahwa lebih lanjut penting Mahkamah tegaskan pula
berkenaan ketentuan mengenai pembatasan waktu praperadilan haruslah
dibaca secara utuh dengan ketentuan lain di dalam KUHAP di antaranya

Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang menyatakan,
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan.

Kedua norma tersebut merupakan ketentuan yang pada pokoknya
memerintahkan untuk mempercepat proses pelimpahan perkara dalam
hal proses persidangan perkara Pidana. Menurut Mahkamah hal tersebut
pada pokoknya berkaitan dengan dua hal penting, yaitu:

Pertama, merupakan pelaksanaan dari prinsip peradilan cepat, sederhana,
dan biaya ringan, yaitu salah satu prinsip peradilan yang diamanatkan
oleh Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Proses persidangan,
terutama pada perkara pidana, sudah semestinya dilakukan dengan
secepat mungkin untuk mencapai pelaksanaan asas kepastian hukum
tanpa mengorbankan asas keadilan. Dengan demikian kesegeraan dalam
proses penyelesaian perkara pidana merupakan kewajiban bagi negara, in
casu aparat penegak hukum.

Kedua, percepatan penyelesaian perkara merupakan salah satu hak
tersangka dan bertujuan untuk melindungi tersangka dari kesewenang-
wenangan penegak hukum yang menunda-nunda penyelesaian perkara.
Lamanya penyelesaian perkara berdampak pada lamanya jangka waktu
penahanan yang pada dasarnya merupakan perampasan kemerdekaan
bagi tersangka. Pemeriksaan perkara yang dilakukan berlarut-larut akan
menimbulkan berbagai akibat yang merugikan tersangka yang sedang
diperiksa. Hal ini sesuai dengan adagium umum dalam penegakan
keadilan yaitu, “Justice delayed, justice denied”, atau “keadilan yang
tertunda adalah keadilan yang diingkari”. Dengan perkataan lain,
penundaan pelaksanaan proses penegakan keadilan oleh penegak hukum
justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan sebagai dampaknya.

Bahwa pembatasan waktu praperadilan dan ketentuan yang
menggugurkan praperadilan ketika dimulainya sidang mengenai pokok
perkara pada hakikatnya berkaitan dengan implementasi terhadap asas
di atas. Pasal a quo menekankan adanya hak bagi tersangka maupun
terdakwa untuk segera dimajukan ke pengadilan dan segera diadili.
Argumentasi Pemohon yang menginginkan adanya penundaan pada
kondisi tertentu justru berpotensi memangkas hak tersebut, walaupun
Pemohon menganggap hal tersebut demi mendapatkan proses yang
ekstensif dalam persidangan praperadilan, namun justru dapat
menimbulkan persoalan konstitusionalitas yang berakibat pada
ketidakpastian dan penundaan proses peradilan terhadap
tersangka/terdakwa. Pemberian syarat tambahan terhadap Pasal 82 ayat
(1) huruf c KUHAP sebagaimana tertuang dalam petitum Pemohon justru
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan potensi penundaan
terhadap hak tersangka untuk segera diadili. Tidak segera dimulainya
persidangan terhadap pokok perkara dengan alasan menunggu putusan
praperadilan untuk semua jenis kasus pidana justru berpotensi menunda
hak tersangka dan menghambat penyelesaian perkara pokok.


[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan
pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP tidak
beralasan menurut hukum dan oleh karena itu permohonan Pemohon
selebihnya agar ketentuan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP secara
mutatis mutandis dinyatakan inkonstitusional karena merupakan akibat
dikabulkannya permohonan pengujian konstitusionlitas Pasal 82 ayat (1)
huruf c KUHAP kehilangan relevansinya untuk dipertimbangkan. Dengan
kata lain, berkenaan dengan konstitusionlitas Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP, Mahkamah tetap berpendirian sebagaimana tertuang dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.


[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil
permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1)
huruf c dan huruf d KUHAP tidak beralasan menurut hukum.