Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-10-2018

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan William Aditya Sarana

Pasal 1 angka 2, Pasal 43A ayat (3) huruf b dan huruf c, Judul Bagian Ketiga,
Pasal 43C ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Judul Bagian Keempat, Pasal
43D ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), Pasal
43F huruf c, Pasal 43G huruf a dan Penjelasan Umum alinea ke-6 UU
Terorisme

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas pasal-pasal a quo, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa terorisme merupakan salah satu kejahatan yang termasuk
“serious crime” sehingga membutuhkan pula “serious measures”. Hal ini
karena terorisme adalah “hostis humanis generis” atau musuh umat
manusia. Upaya negara melawan terorisme tak ubahnya seperti melawan
pelaku tindak kejahatan dengan strategi yang tidak mudah diketahui dan
ditebak. Oleh karena itu, perlu pengaturan terorisme secara tersendiri dan
khusus dalam peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya
pendefinisian terorisme secara tegas dan jelas. Pasal 1 angka 2 UU
5/2018 mendefinisikan terorisme sebagai, “Perbuatan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang
bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik,
atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan
keamanan”.

Bahwa definisi terorisme di atas memang tidak menegaskan dan
mengeksplisitkan perbuatan terorisme bertentangan dengan Pancasila,
namun telah memasukkan ideologi sebagai salah satu motif atau tujuan
perbuatan terorisme, dalam hal ini ideologi yang bertentangan dengan
Pancasila, sehingga meski tanpa disebutkan secara jelas dan eksplisit,
perbuatan terorisme sudah jelas dan pasti bertentangan dengan
Pancasila.

Selain itu, Pancasila juga telah menjadi landasan filosofis pembentukan
UU 5/2018. Bagian “Menimbang” huruf a UU 5/2018 menyatakan, “Bahwa
tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan
kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan
negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas
negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan
tertentu sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus,
terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun
1945”. Penempatan Pancasila sebagai landasan filosofis undang-undang
dikarenakan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm sehingga
menjadikan pembentukan dan pelaksanaan undang-undang tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, oleh karena
Pancasila telah digunakan sebagai landasan filosofis pembentukan
Undang-Undang a quo maka pasal-pasal dalam UU 5/2018 termasuk
mengenai definisi terorisme dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018 telah
dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, sehingga jika suatu perbuatan yang
menurut definisi terorisme dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018 termasuk
dalam perbuatan terorisme maka dengan sendirinya perbuatan tersebut
juga bertentangan dengan Pancasila.

[3.10.2] Bahwa tidak ditambahnya kata “terorisme” di belakang frasa
“kontra radikalisasi” dan “deradikalisasi” dalam Undang-Undang a quo
karena yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang sudah jelas yakni
mereka yang rentan dan telah terpapar paham radikal terorisme. Baik
kontra radikalisasi maupun deradikalisasi telah dijelaskan dalam
Penjelasan Umum Alinea Keenam UU 5/2018 dan telah pula dirumuskan
dalam Pasal 43C ayat (1) dan Pasal 43D ayat (1) UU 5/2018. Penjelasan
Umum Alinea Keenam UU 5/2018 menjelaskan bahwa, “Dalam
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme aspek pencegahan secara
simultan, terencana dan terpadu perlu dikedepankan untuk
meminimalisasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme. Pencegahan secara
optimal dilakukan dengan melibatkan kementerian atau lembaga terkait
serta seluruh komponen bangsa melalui upaya kesiapsiagaan nasional,
kontra radikalisasi, dan deradikalisasi yang dikoordinasikan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme”. Selanjutnya Pasal 43C ayat (1) UU
5/2018 merumuskan kontra radikalisasi sebagai suatu proses yang
terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan
terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal
terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham
radikal terorisme. Adapun Pasal 43D ayat (1) UU 5/2018 merumuskan
deradikalisasi sebagai suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis,
berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau
mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah
terjadi. Berdasarkan hal tersebut telah jelas bahwa yang dimaksud kontra
radikalisasi dan deradikalisasi dalam UU 5/2018 adalah hanya terkait
dengan terorisme.

Bahwa menafsirkan istilah “kontra radikalisasi” dan “deradikalisasi” dalam
Undang-Undang a quo tidak cukup hanya dilakukan secara tekstual
melainkan harus pula dilakukan secara kontekstual. Dengan mengingat
judul Undang-Undang a quo, yaitu “Undang-Undang 5 Tahun 2018
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-Undang”, maka secara kontekstual yang dimaksudkan dengan
istilah “kontra radikalisasi” dan “deradikalisasi” dalam Undang-Undang a
quo adalah kontra radikalisasi dan deradikalisasi dalam tindak pidana
terorisme. Dengan demikian tanpa perlu menambahkan kata “terorisme”
di belakang kedua istilah tersebut telah dengan sendirinya mencakup apa
yang dikehendaki para Pemohon, sehingga secara teknik perundang-
undangan jika ditambahkan dengan kata “terorisme” rumusan demikian
justru menjadi sangat berlebihan dan overbodig.

[3.11] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum.