Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA JO UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1969 TENTANG PERNYATAAN BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 23-07-2018

Asep Saepudin SAG, Siti Masitoh, Faridz Mahmud Ahmad, Lidia Wati, Hapid, Drs. Iyep Saprudin, Anisa Dewi, Erna Rosalia, Tazis dalam hal ini diwakili oleh Fitria Sumarni, S.H., dkk

Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU No. 1/PNPS/1965

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1),
Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I, Pasal 29 ayat (2) UUD
Tahun 1945

Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU No.
1/PNPS/1965, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut:

(16.3) Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon meminta kepada
Mahkamah agar memutuskan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai meniadakan
hak untuk menganut aliran agama yang berada di Indonesia oleh para
penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari
aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan
keagamaannya. Artinya, para Pemohon meminta agar larangan, ancaman
sanksi administrasi dan sanksi pidana bagi orang yang melakukan
penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
suatu agama sebagaimana dimuat dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai untuk
meniadakan hak untuk menganut aliran agama. Hal mana permohonan
tersebut didasarkan alasan pada tiga alasan pokok sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.

Bahwa sehubungan dengan tiga pokok persoalan yang dikemukakan para
Pemohon dalam permohonannya, pertanyaan konstitusional yang perlu
dijawab adalah:

1. Apakah berlakunya ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 mengandung ketidakpastian hukum, sehinggga
menyebabkan hilangnya hak seseorang untuk menganut aliran agama di
Indonesia?
2. Apakah berlakunya ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 telah menyebabkan hilangnya hak warga negara untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya?
3. Apakah berlakunya ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 telah menghilangkan hak seseorang untuk memeluk agama
dan beribadah sesuai keyakinannya sebagaimana dijamin dalam Pasal
28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945?

(16.4) Bahwa berkenaan dengan ketiga pertanyaan konstitusional
dalam permohonan a quo, sebagian dalil yang dikemukakan para
Pemohon sesungguhnya telah pernah dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 bertanggal 19 April 2010
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sehingga
pendirian Mahkamah tersebut tidak mungkin dilepaskan dari pendirian
Mahkamah dalam mempertimbangkan permohonan a quo. Oleh karena
itu, tidak bisa tidak, sebagian dari pertimbangan Mahkamah dalam
permohonan a quo merujuk kembali sejumlah pertimbangan hukum
dalam putusan dimaksud;

(16.5) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menilai Pasal 1, Pasal
2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa sebagaimana didalilkan para Pemohon, ketidakpastian hukum
yang dialami para Pemohon diakibatkan oleh pemberlakuan norma dalam
UU 1/PNPS/1965 melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah,
peraturan kepala daerah, dan keputusan-keputusan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota yang dijadikan dasar untuk melakukan
penyegelan bahkan perusakan terhadap masjid tempat para Pemohon
biasa beribadah. Hal mana, menurut para Pemohon, SKB dan keputusan-
keputusan pemerintahan daerah tersebut dibentuk berdasarkan norma
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 yang memiliki beragam
penafsiran.

Terhadap dalil a quo, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon pada
dasarnya telah mencampuradukan persoalan konstitusionalitas norma
dalam UU 1/PNPS/1965 dengan tindak lanjut pelaksanaan ketentuan
undang-undang a quo melalui SKB maupun peraturan dan keputusan
kepala daerah. Benar bahwa pembentukan SKB sebagai produk sebuah
penetapan (beschikking) diterbitkan berdasarkan perintah Pasal 2 UU
1/PNPS/1965. Hanya saja, jika terdapat masalah atau kerugian
konstitusional yang dialami warga negara akibat diberlakukannya SKB
atau peraturan kepala daerah yang menjadikan UU 1/PNPS/1965 sebagai
dasar pembentukannya, maka hal tersebut tidak serta-merta pula berarti
UU a quo bertentangan dengan UUD 1945. Terkait hal dimaksud, dalam
Putusan 140/PUU-VII/2009, halaman 297, Mahkamah telah
mempertimbangkan bahwa:

... Menurut Mahkamah, surat keputusan bersama (SKB) sebagaimana
diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan Agama,
bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebuah
penetapan konkret (beschikking). Tetapi terlepas dari soal apakah SKB
tersebut berupa regeling atau beschikking, substansi perintah UU
Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar
konstitusi;

Bahwa para Pemohon secara tegas menyimpulkan, terjadinya persoalan
konstitusional norma UU 1/PNPS/1965 adalah karena SKB, peraturan, dan
keputusan kepala daerah merupakan produk hukum yang telah
menafsirkan larangan melakukan penafsiran dan kegiatan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1 UU a quo. Terkait dalil dimaksud, Mahkamah berpendapat,
haruslah ditegaskan bahwa pada saat norma UU 1/PNPS/1965
ditindaklanjuti dengan mengatur secara lebih teknis bagaimana
penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama, hal itupun bukanlah sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai
bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang hal itu berkesesuaian dengan
pokok-pokok ajaran agama, benar secara metodologis dan didasarkan
pada sumber ajaran agama yang bersangkutan. Dalam konteks ini,
batasan penafsiran yang dilarang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal
1 UU 1/PNPS/1965 adalah apakah penafsiran dimaksud masih merujuk
pada pokok-pokok ajaran dan sumber ajaran agama tersebut atau tidak.

Bahwa pada dasarnya, norma UU 1/PNPS/1965 sama sekali tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk menafsirkan ajaran agama
masing-masing ketika hendak menjalankannya. Dengan adanya norma
UU dimaksud, setiap umat beragama tetap dijamin hak dan kebebasannya untuk beragama dan beribadah menurut keyakinannya
masing-masing. Hanya saja, ketika hendak menafsirkan ajaran agama,
seseorang terikat dengan rujukan pokok agama itu, diantaranya berupa
kitab suci. Penafsiran tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya atas dasar
hak dan kebebasan individu untuk menjalankan agama dan keyakinan.
Sebab, pada saat kebebasan menafsirkan agama dilakukan atau
diserahkan secara bebas kepada masing-masing individu, maka
kekacauan dalam menjalankan agama akan terjadi. Sehubungan dengan
batas kebebasan individu dalam melakukan penafsiran agamanya, dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU- VII/2009, halaman 288-
289, Mahkamah telah mempertimbangkan sebagai berikut:

Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penafsiran terhadap suatu ajaran
atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir
dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat
mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya
kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan
bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun
penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran
agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama
yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan
melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau
absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum
diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab
suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam
keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan
di muka umum. Dalam hal demikianlah menurut Mahkamah pembatasan
dapat dilakukan. Hal itu sesuai juga dengan ketentuan Article 18 ICCPR
yang menyatakan, “Freedom to manifest one's religion or beliefs may be
subject only to such limitations as are prescribed by law and are
necessary to protect public safety, order, health, or morals or the
fundamental rights and freedoms of others.” Dengan demikian, menurut
Mahkamah pembatasan dalam hal ekspresi keagamaan (forum externum)
yang terkandung dalam Pasal 1 dan Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan
Agama adalah dibenarkan oleh UUD 1945 maupun standar internasional
yang berlaku.



Bahwa dengan mengacu pada Putusan tersebut, walaupun terdapat
kebebasan untuk melakukan penafsiran terhadap ajaran suatu agama,
namun kebebasan dimaksud harus tetap memperhatikan pokok-pokok
ajaran suatu agama dan itupun hanya dapat dilakukan sesuai dengan
metodologi yang telah diakui dan diterima dalam forum internum
penganut agama yang bersangkutan. Hal demikian diperlukan agar tidak
mengancam keamanan dan ketertiban umum yang pada akhirnya
berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahwa apakah dengan membatasi hak setiap orang beragama untuk
melakukan penafsiran terhadap ajaran agamanya menyebabkan
terjadinya penghilangan hak sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi pelaksanaan hak dimaksud. Menurut Mahkamah, justru
dengan tidak mengatur pembatasan bagi setiap pemeluk agama untuk
menafsirkan agama sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama itulah yang
akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kehidupan beragama.
Sebagai negara yang memilih Pancasila sebagai ideologi dan dasar
negara, di mana Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu bagian
tak terpisahkan dari ideologi dan dasar negara tersebut, maka agama
bagi negara merupakan salah satu elemen penting. Dalam hal ini, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menempatkan agama sebagai bagian tidak
terpisah dari kehidupan bernegara. Oleh karena itu, negara
berkepentingan untuk menjaga eksistensi, kerukunan, dan keberlanjutan
agama-agama yang dianut warganya.

Bahwa dalam rangka menjaga eksistensi agama-agama yang dianut
warganya, negara harus memastikan bahwa pelaksanaan hak dan
kebebasan beragama berjalan sesuai koridor agama masing-masing.
Negara perlu menentukan pembatasan-pembatasan tertentu agar
pelaksanaan hak dan kebebasan beragama tidak saling berkonflik satu
dengan yang lain maupun konflik di dalam satu agama tertentu. Peran
negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang
(forum internum), melainkan lebih dimaksudkan pada pembatasan
terhadap ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati
nurani di muka umum (forum externum) sehingga tidak menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Dalam konteks inilah
sesungguhnya kepastian hukum perlindungan hak dan kebebasan
beragama harus ditempatkan.

Kepastian hukum atas hak dan kebebasan beragama bukanlah semata
kepastian hukum bagi hak perorangan, melainkan juga kepastian hukum
yang adil dalam kerangka hak beragama dan berkeyakinan dalam tatanan
kehidupan bersama pada satu agama dan antar umat beragama.

Bahwa lebih jauh, para Pemohon juga mendalilkan keberadaan norma
Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 mengandung ketidakpastian hukum karena tidak
jelas paramater “penafsiran” yang dimaksud dalam norma tersebut.
Terkait dengan dalil tersebut, Mahkamah hendak menegaskan kembali
pendapatnya sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 140/PUU-VII/2009 halaman 289, yaitu:

Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa negara
tidak dapat menentukan tafsiran yang benar mengenai ajaran suatu
agama, Mahkamah berpendapat bahwa setiap agama memiliki pokok-
pokok ajaran yang diterima umum pada internal agama tersebut, oleh
karena itu yang menentukan pokok-pokok ajaran agama adalah pihak
internal agama masing-masing. Indonesia sebagai sebuah negara yang
menganut paham agama tidak dipisahkan dari negara, memiliki
Departemen Agama yang melayani dan melindungi tumbuh dan
berkembangnya agama dengan sehat, dan Departemen Agama memiliki
organisasi serta perangkat untuk menghimpun berbagai pendapat dari
internal suatu agama. Jadi dalam hal ini negara tidak secara otonom
menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, akan tetapi
hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang
bersangkutan, dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada etatisme
dalam menentukan pokok-pokok ajaran agama pada UU Pencegahan
Penodaan Agama.

Bahwa merujuk Pendapat Mahkamah terhadap penafsiran ajaran agama
sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 di atas, sangat jelas
bahwa parameter yang digunakan dalam pembatasan hak seseorang
dalam menafsirkan adalah pokok-pokok ajaran agama itu sendiri.
Penafsiran akan dikatakan atau dikategorikan menyimpang sehingga
melanggar larangan sebagaimana dimaksudkan ketentuan Pasal 1 UU
1/PNPS/1965 apabila penafsiran itu keluar dari pokok-pokok ajaran suatu
agama yang bersumber dari kitab suci.

Bahwa dalam konteks itu, batas penyimpangan dalam melakukan
penafsiran ajaran agama tersebut bersumber dari ajaran pokok agama itu
sendiri. Sementara negara tidak dapat menentukan batas penafsiran yang
terkategori menyimpang selain hanya menegaskan bahwa batas itu
merujuk pada pokok- pokok ajaran agama. Di mana, patokan atas ukuran
kebenaran penafsiran terhadap ajaran agama tersebut merujuk pada
pokok-pokok ajaran agama yang diterima secara umum pada internal
masing-masing agama. Dalam konteks itu, batasan keterlibatan negara
melalui pembentukan undang-undang untuk menentukan secara spesifik
mengenai parameter penafsiran yang menyimpang sebagaimana
dikehendaki para Pemohon tentunya tidak dimungkinkan. Sebab, hal itu
sepenuhnya menjadi otoritas agama untuk menentukannya berdasarkan
pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam kitab suci masing-masing. Batas
intervensi negara dimaksud tidak dapat dinilai sebagai ketidakjelasan atau
ketidakpastian parameter, melainkan justru merupakan wujud
penghormatan dan pengakuan negara terhadap agama-agama yang
dianut warganya.

Bahwa meskipun penafsiran terhadap suatu ajaran agama merupakan
wilayah kewenangan para penganut agama yang bersangkutan dan
negara tidak boleh campur tangan terhadapnya, namun hal itu tidak
berarti membebaskan negara dari tanggung jawab dan kewajiban
konstitusionalnya untuk melindungi setiap warga negara, apapun
keyakinannya. Negara tidak boleh membiarkan terjadinya persekusi
terhadap suatu kelompok oleh kelompok lainnya. Apabila dinilai telah
terjadi pelanggaran hukum terhadap norma undang-undang a quo maka
hanya negara yang berwenang melakukan tindakan penegakan hukum
terhadap dugaan pelanggaran tersebut untuk diajukan ke pengadilan
guna mendapatkan persidangan yang adil dan tidak berpihak sesuai
dengan prinsip- prinsip negara hukum. Selanjutnya hanya pengadilan
yang berwenang menjatuhkan putusan perihal terbukti atau tidak
terbuktinya dugaan pelanggaran dimaksud. Dengan demikian, di satu
pihak tidak ada warga negara yang merasa terlanggar atau terabaikan
hak konstitusionalnya untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan
tertentu, karena negara akan selalu hadir untuk menjaga dan melindungi
hak konstitusional dimaksud, di lain pihak setiap orang atau kelompok
orang akan berhati-hati dalam menafsirkan ajaran agama atau keyakinan
tertentu karena tahu bahwa negara juga akan hadir untuk mengambil
tindakan hukum terhadap mereka apabila mereka membuat atau
melakukan penafsiran yang menyimpang terhadap ajaran agama atau
keyakinan tertentu.

Bahwa ketika parameter menyimpang atau tidaknya penafsiran seseorang
atau kelompok orang terhadap pokok-pokok ajaran agama didasarkan
pada otoritas agama dengan merujuk pada pokok-pokok ajaran agama,
apakah hal itu kemudian akan menyebabkan hak-hak kelompok minoritas
dalam agama akan terdiskriminasi karena dominasi kelompok mayoritas.
Ihwal persoalan tersebut, dalam agama-agama yang dianut warga negara
Indonesia, terdapat banyak aliran dan organisasi keagamaan di dalamnya, mulai dari kelompok besar hingga kelompok kecil, termasuk di
dalam agama Islam. Kelompok-kelompok tersebut hingga saat ini masih
eksis dan bertahan, tetapi tidak saling berkonflik satu sama lain karena
perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama. Hal itu terjadi karena
penafsiran atau pemahaman agama dan cara beribadah yang berbeda-
beda antar kelompok-kelompok tersebut masih dalam konteks atau belum
keluar dari pokok- pokok ajaran agama. Sebaliknya, ketika terdapat
kelompok-kelompok dalam suatu agama yang menafsirkan dan
menjalankan kegiatan keagamaan secara menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama, maka hal itu akan menjadi pemicu munculnya masalah.
Masalah tersebut akan tampak karena di dalam masing- masing agama
terdapat sebuah mekanisme kontrol. Dalam konteks ini, di dalam institusi
agama sesungguhnya berjalan suatu mekanisme kontrol agar agama
masing-masing berjalan sesuai pokok-pokok ajarannya. Dengan adanya
kontrol internal tersebut, maka hak seorang pemeluk agama untuk
menafsirkan agama secara menyimpang dan mengupayakan dukungan
umum atas penafsiran dimaksud tentunya akan dibatasi dengan
sendirinya.

Bahwa pada saat mekanisme kontrol internal atas penyimpangan ajaran-
ajaran pokok agama berjalan, maka sebagai organisasi kekuasaan yang
menaungi umat-umat beragama dan juga mengakui sekaligus melindungi
hak dan kebebasan beragama, negara berkewajiban untuk ikut berperan
memastikan bahwa mekanisme kontrol di dalam agama tidak berujung
terjadinya konflik horizontal. Pada saat yang sama, negara sebagai
pelindung dan penjamin hak dan kebebasan beragama juga
berkepentingan melindungi keutuhan dan eksistensi agama-agama yang
dianut oleh warganya. Untuk tujuan itu, negara harus melakukan peran
sehingga perbedaan pandangan di dalam suatu agama tidak
menimbulkan sesuatu yang dapat merusak kehidupan beragama terutama
terhadap kemungkinan adanya penafsiran ajaran agama yang dinilai
menyimpang. Tanpa melakukan itu, maka konflik dalam pelaksanaan
ajaran agama sangat potensial terjadi sehingga dapat merugikan
kepentingan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, terlibatnya
negara melalui UU 1/PNPS/1965 dalam membatasi hak seseorang dalam
menafsirkan agama secara menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
bukanlah sebuah bentuk penyelundupan hukum yang dapat dijadikan
sebagai alat legitimasi teror, melainkan merupakan sebuah upaya untuk
mengantisipasi konflik dalam pelaksanaan hak dan kebebasan beragama
dan kebebasan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(16.6) Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang berhubungan
dengan hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara, para
Pemohon mendalilkan bahwa UU 1/PNPS/1965 telah menyebabkan hak
konstitusionalnya untuk memberi kontribusi bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan cara bergabung bersama dalam komunitas
keagamaan untuk secara kolektif turut membangun masyarakat bangsa
dan negara dilanggar, sehingga keberadaan dari Undang- Undang a quo
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Dalam konteks ini
para Pemohon mendalilkan bahwa hak tersebut terlanggar karena UU
1/PNPS/1965 gagal membedakan antara orang yang dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan
umum untuk menyebar kebencian dan permusuhan dengan orang yang
melaksanakan hak konstitusionalnya untuk beragama dan beribadah.
Bahwa terhadap dalil para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat
bahwa UU 1/PNPS/1965, khususnya Pasal 1 telah secara tegas
menentukan subjek yang dikenai larangan untuk melakukan tindakan
yang dimaksud dalam norma a quo, yaitu orang yang menceritakan,
menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama tertentu.
Norma a quo sama sekali tidak melarang atau membatasi hak seseorang
untuk beragama dan beribadah menurut agamanya. Perbuatan yang
dilarang adalah melakukan penafsiran secara menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama yang hasil penafsiran itu diceritakan, dianjurkan, dan
diusahakan dukungan terhadapnya di muka umum. Dengan demikian, hal
yang didalilkan oleh para Pemohon sebagai kegagalan negara dalam
membedakan antara orang yang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum untuk
menyebar kebencian dan permusuhan dengan orang yang melaksanakan
hak konstitusionalnya untuk beragama dan beribadah, sesungguhnya
adalah persoalan pembuktian di lapangan atau implementasi, bukan
persoalan konstitusionalitas norma Undang-Undang. Bahwa dalam
konteks itu, larangan dalam UU 1/PNPS/1965 hanya sekadar membatasi
perbuatan yang berhubungan dengan pernyataan pikiran dan sikap di
muka umum, bukan membatasi keyakinan seseorang secara individu yang
memang merupakan haknya. Terkait hal ini, sebelumnya Mahkamah pun
telah mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
140/PUU- VII/2009 halaman 288, sebagai berikut:

Menurut Mahkamah, UU Pencegahan Penodaan Agama tidak membatasi
keyakinan seseorang (forum internum), akan tetapi hanya membatasi
pernyataan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya di depan umum
(forum externum) yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
yang dianut di Indonesia, mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Bahwa lebih jauh, dapat dijelaskan, pembatasan sebagaimana terkandung
di dalam norma Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 ditujukan untuk aktivitas yang
“sengaja” mempublikasikan atau mengupayakan dukungan umum atas
penafsiran yang menyimpang terhadap ajaran suatu agama. Pembatasan
dimaksud ditujukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik
horizontal dalam pelaksanaan kehidupan beragama dan beribadah. Di
mana dengan adanya upaya pencegahan konflik, UU 1/PNPS/1965 telah
berkontribusi menjamin agar setiap warga negara terlibat secara
maksimal dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
berbagai bentuknya, termasuk dalam memperjuangkan hak secara
kolektif. Terhadap hal itu, Mahkamah juga telah mempertimbangan
sebagai berikut:

Menimbang bahwa Mahkamah menilai rumusan Pasal 1 UU Pencegahan
Penodaan Agama yang memberikan larangan kepada setiap orang untuk
mempublikasikan penafsiran berbeda dari agama yang dianut di
Indonesia adalah bentuk dari tindakan pencegahan (preventive action)
dari kemungkinan terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat
Indonesia. Mahkamah memahami bahwa agama merupakan perihal yang
sakral yang amat sensitif bagi kebanyakan orang. Keberadaan agama,
bukan saja sebagai keabsolutan hubungan transenden pribadi (individu)
melainkan telah menjadi sebuah modal sosial yang berperan besar dalam
sendi-sendi kemasyarakatan. Sejarah telah membuktikan bahwa agama
mampu membangun peradaban tersendiri di Indonesia dan tidak dapat
dilepaskan dari struktur kehidupan masyarakat Indonesia (Putusan Nomor
140/PUU- VII/2009 halaman 294);

Bahwa oleh karena itu, hak seseorang untuk berkontribusi bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui organisasi keagamaan tertentu
sebagaimana didalilkan para Pemohon sama sekali tidak dilarang atau
dibatasi oleh keberadaan UU 1/PNPS/1965 a quo. Hal yang dibatasi
hanyalah hak dan kebebasan berpikir dan bersikap yang masuk dalam
kategori menafsirkan ajaran agama tertentu secara menyimpang dari
pokok-pokok ajaran suatu agama. Di mana, antara hak kebebasan
beragama dan kegiatan menafsirkan ajaran agama secara menyimpang
dengan mengupayakan dukungan umum terhadapnya haruslah dibedakan
sebagaimana juga telah dikemukakan sebelumnya. Bahwa berdasarkan
alasan hukum di atas, UU 1/PNPS/1965 tidak dapat dikualifikasi telah
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

(16.7) Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 1, Pasal 2, dan
Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 bertentangan dengan hak untuk memeluk
agama dan hak untuk beribadah sesuai keyakinan sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Terkait dengan dalil permohonan para Pemohon yang berhubungan
dengan konstitusionalitas ancaman sanksi administrasi dan sanksi pidana
dalam norma Pasal 2 dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965, segala pertimbangan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 berlaku
mutatis mutandis untuk permohonan a quo.

Bahwa lebih jauh, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Mahkamah
dalam Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 pada pokoknya menyatakan
bahwa UU 1/PNPS/1965 perlu direvisi, namun pemerintah hingga saat ini
sama sekali tidak mengambil langkah-langkah progresif untuk
melaksanakan “pesan” Mahkamah tersebut, sehingga korban-korban
pelanggaran hak konstitusional dengan masih tetap diberlakukannya UU
1/PNPS/1965 terus bertambah. Dengan alasan demikian, para Pemohon
meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran bersyarat terhadap
konstitusionalitas UU a quo. Hal itu dimuat dalam poin kedua petitum
permohonan sebagai berikut:

2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden
dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, secara
konstitusionalitas bersyarat, bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai meniadakan
hak untuk menganut aliran agama yang berada di Indonesia oleh para
penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari
aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan
keagamaannya dan harus dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia;

Bahwa terkait dengan petitum para Pemohon tersebut, jika dikabulkan,
UU 1/PNPS/1965 justru akan mengandung ketidakjelasan serta keluar
dari tujuan diadakannya norma dimaksud. Secara rumusan, permintaan
agar Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 dinyatakan
inkonstitusional bersyarat dengan syarat yang dimohonkan oleh para
Pemohon justru akan menimbulkan ketidakpastian. Sebab, bagaimana
mungkin empat rumusan norma yang berbeda dalam tiga Pasal pada
undang-undang a quo tersebut diterapkan satu syarat “dimaknai
meniadakan hak”. Pasal 2 dan Pasal 3 misalnya, keduanya bukan norma-
norma yang berhubungan dengan pembatasan hak, melainkan hanyalah
norma yang mengatur tentang sanksi dan siapa institusi yang akan
melaksanakan sanksi dimaksud. Dalam arti, norma-norma tersebut hanya
berisi larangan dan konsekuensi yang muncul jika larangan tersebut
dilanggar. Dengan demikian, bagaimana mungkin norma tersebut
dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dimohonkan
oleh para Pemohon. Secara substansial, Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU
1/PNPS/1965 bukanlah ketentuan yang meniadakan hak, melainkan
hanya sekadar pembatasan hak seseorang untuk melakukan penafsiran
secara menyimpang terhadap ajaran pokok agama sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon agar
Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat tidak beralasan menurut hukum.



Bahwa sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menilai bahwa sejak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, Mahkamah
tetap pada pendiriannya bahwa UU 1/PNPS/1965 memang membutuhkan
revisi. Hanya saja, hal itu haruslah dilakukan melalui upaya legislasi biasa
yang memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat dalam
pembahasannya secara mendalam. Oleh sebab itu, untuk
memperbaikinya adalah merupakan kewenangan pembentuk undang-
undang melalui proses legislasi. Benar bahwa dalam beberapa putusan,
Mahkamah menyatakan suatu norma undang-undang bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat. Namun hal itu tidak dapat diterapkan
dalam permohonan a quo karena penafsiran terhadap norma pasal yang
dimohonkan pengujian itu sendiri telah ternyata tidak bertentangan
dengan UUD 1945 melainkan lebih pada persoalan implementasi norma.
Meskipun demikian, dalam hal terdapat dugaan bahwa seseorang atau
sekelompok orang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 maka negara harus hadir dan tidak boleh
membiarkan tindakan main hakim sendiri atau persekusi yang dilakukan
oleh siapapun dengan dalih adanya dugaan pelanggaran dimaksud.
Kehadiran negara itulah yang menjadi dasar dapat atau tidaknya
dilakukan tindakan sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 1/PNPS/1965.
Apabila dibaca secara saksama substansi permohonan para Pemohon,
sesungguhnya salah satu masalah mendasar yang menjadi kekhawatiran
para Pemohon tidaklah sepenuhnya terletak pada persoalan belum
direvisinya Undang- Undang a quo melainkan pada makin meluasnya
tindakan main hakim sendiri atau persekusi terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang menurut persepsi sekelompok orang lainnya
dinilai melanggar Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, termasuk para Pemohon, di
mana dalam kasus demikian negara acapkali dinilai tidak hadir atau
bahkan dinilai melakukan pembiaran. Terhadap kekhawatiran dan
penilaian demikian Mahkamah hendak menegaskan kembali bahwa
negara harus menjamin perlindungan bagi setiap warga negara yang
hendak melaksanakan hak konstitusionalnya secara damai, termasuk
dalam menganut agama dan keyakinan, dengan tidak membiarkan
adanya tindakan main hakim sendiri atau persekusi. Dengan demikian,
tanpa mengabaikan keniscayaan revisi terhadap UU 1/PNPS/1965, fakta
bahwa belum dilakukannya revisi atas UU 1/PNPS/1965 sama sekali tidak
mengurangi kewajiban negara untuk melindungi hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan setiap warga negara. Artinya, dengan
adanya peristiwa-peristiwa main hakim sendiri atau persekusi
sebagaimana diuraikan di atas, revisi terhadap UU 1/PNPS/1965 semakin
mendesak untuk dilakukan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 140/PUU-VII/2009.

(3.17) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum.