Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Deprecated: explode(): Passing null to parameter #2 ($string) of type string is deprecated in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 61

Warning: Undefined array key 1 in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 64

Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 150/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-01-2024

Lamria Siagian, S.H., M.H. (advokat), dkk.

169 huruf q UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

DPR-RI, Pemerintah, Pemohon.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon a quo, terhadap permohonan pengujian Pasal 55 UU Peratun, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma a quo yang pada pokoknya mengatur mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan atas KTUN, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 12 Maret 2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 November 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 22 November 2018. Oleh karena itu, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali. Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang 3 telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, telah ternyata dalam Perkara Nomor 1/PUU-V/2007 dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Perkara Nomor 57/PUU-XIII/2015 dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Perkara Nomor 76/PUU-XIII/2015 dasar pengujiannya adalah Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 serta perkara Nomor 22/PUU-XVI/2018 dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, Pemohon a quo menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 28H ayat (2) UUD 1945; Selanjutnya, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan dalam Perkara Nomor 57/PUU-XIII/2015 adalah ketentuan Pasal 55 UU Peratun menyebabkan diskriminasi terhadap Pemohon yang akan mengajukan gugatan TUN yang berdomisili di kabupaten/kota hasil pemekaran di wilayah timur Indonesia namun harus mengajukan sengketa ke provinsi induk. Kemudian dalam Perkara Nomor 76/PUU-XIII/2015 adalah ketentuan a quo telah menghalangi pengajuan gugatan atas kasus pemutusan hubungan kerja yang terjadi sebelum adanya pengaturan ketentuan a quo dan dalam Perkara Nomor 22/PUU-XVI/2018 adalah terhalanginya hak bagi pihak ketiga yang tidak menjadi tujuan tetapi berkepentingan terhadap terbitnya KTUN untuk mengajukan gugatan dalam kasus izin peralihan hak. Adapun dalam Perkara Nomor 1/PUU V/2007 Mahkamah belum mempertimbangkan pokok permohonan. Sedangkan, alasan dalam permohonan a quo adalah terhalanginya hak bagi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap terbitnya KTUN untuk mengajukan gugatan dalam kasus KTP dan Akta Kematian ganda; Berdasarkan uraian di atas, meskipun terdapat persamaan dalam dasar pengujian permohonan a quo dengan Perkara Nomor 76/PUU-XIII/2015 namun ditemukan perbedaan alasan konstitusional antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIII/2015, Nomor 76/PUU-XIII/2015 dan Nomor 22/PUU-XVI/2018 dengan alasan pengujian permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, secara formal meskipun terdapat persamaan dalam dasar pengujian, namun terdapat perbedaan alasan antara permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga keberadaan permohonan a quo dapat diajukan 4 kembali; [3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut. [3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon, telah ternyata yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan konstitusionalitas bersyarat norma Pasal 55 UU Peratun yang menurut Pemohon tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 secara bersyarat dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai sebagaimana termaktub dalam Petitum permohonan a quo. Terhadap permasalahan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Peratun, KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan diterbitkannya suatu KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN, akan menimbulkan akibat hukum baik kepada pihak yang dituju maupun pihak yang tidak dituju oleh KTUN tersebut. Pihak yang dituju adalah orang atau badan hukum privat (individu) yang disebut atau dicantumkan/dilampirkan dalam KTUN tersebut, sedangkan pihak yang tidak dituju adalah pihak ketiga yang terkait dengan terbitnya KTUN tersebut. Bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dapat melakukan upaya hukum dengan cara menguji keabsahan KTUN yang merugikan tersebut ke PTUN. Pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan dilakukan melalui gugatan untuk mengoreksi atau meluruskan tindakan yang telah dilakukan oleh badan atau pejabat TUN yang dianggap merugikan orang atau badan hukum perdata. KTUN yang diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara yang merugikan tersebut dapat menimbulkan sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Oleh karena itu, sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat tata usaha negara terhadap KTUN yang diterbitkan disebut dengan sengketa tata usaha negara atau Sengketa TUN [vide Pasal 1 angka 10 UU Peratun]. Selanjutnya, seseorang atau badan hukum perdata tersebut dapat mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabiilitasi. Sehubungan hal tersebut, dalam kaitan dengan persoalan yang dihadapi oleh Pemohon, sebenarnya, Pemohon telah menempuh upaya hukum untuk 5 menggugat KTUN, in casu yang berkaitan dengan adanya KTP ganda, surat kematian ganda, dan akta waris ganda sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui KTUN yang merugikan kepentingannya. Terlebih, sebagaimana diuraikan dalam perbaikan Permohonan, telah ternyata proses gugat menggugat tersebut sudah dilaksanakan sejak tahun 2010 misalnya dengan terbitnya Putusan Pengadilan Agama Tasikmalaya Nomor 1699/Pdt.G/2009/PA/Tsm yang membatalkan perkawinan Yetty Susna dengan Robert Soetanto tanggal 15 Mei 1993. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Pemohon sudah mengetahui adanya KTUN tersebut sejak tahun 2010. [3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan atas KTUN sebagaimana termaktub dalam Pasal 55 UU Peratun dimaksud, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada tanggal 16 November 2015, telah mempertimbangkan antara lain yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.12.8] ... Pembatasan sampai kapan keputusan/penatapan tata usaha negara dapat digugat di pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU Peradilan TUN merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia, sehingga tidak bersifat diskriminatif karena pasal a quo tidak memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Bahwa masih berkenaan dengan norma yang sama dalam ketentuan a quo, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU/XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada tanggal 22 November 2018 pun kembali mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: [3.9] … 1. … 3. Bahwa UU PERATUN memberikan batasan waktu pengajuan gugatan KTUN ke pengadilan tata usaha negara bagi orang atau badan hukum perdata, yaitu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN (vide Pasal 55 UU PERATUN). Penjelasan Pasal 55 menyebutkan: “Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan: a Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan; b Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilanpuluh hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. 6 Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.” Di samping itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, mahkamah menegaskan pula bahwa ketentuan Pasal 28H ayat (2) merupakan hak yang dijamin oleh UUD 1945 berkenaan dengan affirmative action yang secara doktriner dipahami sebagai cara yang banyak dipilih oleh nehara dalam menjawab kondisi sosial yang diskriminatif karena dia antaranya terdapat ketidaksetaraan akibat marginalisasi struktural dalam masyarakat. Struktur ini melahirkan kelompok sosial tertentu yang tidak memiliki akses untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik sebagaimana masyarakat pada umumnya. Untuk itulah diperlukan intervensi negara demi terwujudnya tatanan yang lebih adil dan menjamin setiap orang dapat berpartisiasi dalam kehidupan bersama. Dengan demikian tidak terdapat relevansi mengaitkan permohonan a quo dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Apabila kata “orang atau badan hukum perdata” dalam Pasal 53 ayat (1) dihubungkan dengan kata “pihak yang namanya tersebut dalam KTUN” seperti dalam Penjelasan Pasal 55 UU PERATUN, menurut Mahkamah, terdapat korelasi yang erat di antara keduanya terkait dengan persoalan siapa yang dapat menggugat keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, yakni orang/individu atau badan hukum perdata yang dituju langsung oleh keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Persoalannya adalah apakah pembatasan waktu 90 hari dalam Pasal 55 UU PERATUN bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada tanggal 12 Maret 2007 halaman 49, telah mempertimbangkan sebagai berikut: ”... bahwa setiap undang-undang yang menyangkut keputusan/penetapan tata usaha negara (beschikking), selalu ditentukan mengenai tenggang waktu tersebut. Hal dimaksud justru untuk memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) atas keputusan/penetapan tersebut sampai kapan keputusan/penetapan (beschikking) dapat digugat di pengadilan...”. Dalam putusan yang lain, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIII/2015, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada tanggal 16 November 2015, khususnya sub Paragraf [3.12.8] Mahkamah juga mempertimbangkan: Pembatasan sampai kapan keputusan/penetapan tata usaha negara dapat digugat di pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU Peradilan TUN merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia, sehingga tidak bersifat diskriminatif karena pasal a quo tidak memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Berdasarkan kedua Putusan Mahkamah tersebut, maka pembatasan waktu pengajuan gugatan ke PTUN dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU PERATUN, menurut 7 Mahkamah, sejatinya dalam rangka memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) baik terhadap orang atau badan hukum perdata, maupun terhadap badan atau pejabat tata usaha negara, hakim PTUN dalam menilai tenggang waktu pengajuan gugatan di PTUN. Di samping itu, norma tenggang waktu pengajuan gugatan tersebut tidak mengandung unsur diskriminatif, ketidakadilan, dan tidak melanggar hak asasi manusia. Terlebih, penentuan dan pembatasan norma dimaksud merupakan ranah pembentuk undang-undang. Apalagi, Pemohon dalam permohonan a quo tidak menilai norma a quo inkonstitusional, namun tetap konstitusional meskipun dengan kehendak untuk menambahkan tafsir baru yang menurut Pemohon penting untuk diberikan. Akan tetapi, jika mengikuti kehendak Pemohon untuk memberikan tambahan tafsir terhadap norma yang konstitusional, maka justru akan membuat norma a quo bersifat temporer dan akan mempersempit ruang lingkup bekerjanya norma a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 55 UU PERATUN adalah konstitusional. Persoalan berikutnya adalah jika kemudian dihubungkan dengan pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN apakah tenggang waktu 90 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU PERATUN bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, waktu 90 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU PERATUN tidak dapat dilepaskan dengan Pasal 1 angka 9 juncto Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN, sehingga jelas bahwa yang dapat mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara adalah “orang/individu atau badan hukum perdata” yang dituju langsung oleh KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Hal itu bersesuaian dengan Penjelasan dari Pasal 55 UU PERATUN, dengan demikian, tidak dapat diartikan lain bahwa waktu 90 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU PERATUN berlaku hanya untuk “orang/individu atau badan hukum perdata” yang dituju langsung oleh KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara; Sementara itu, berkaitan dengan pengajuan gugatan pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVI/2018, telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: [3.9] … 5. Bahwa apabila pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN diberi kesempatan untuk menggugat ke peradilan tata usaha negara dengan memperluas makna ketentuan Pasal 55 UU PERATUN maka hal itu justru mengakibatkan terjadi ketidakpastian hukum (legal uncertainty/rechtsonzekerheid), dan hal itu juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-V/2007 bertanggal 12 Maret 2007 sebagaimana yang telah dipertimbangkan di atas karena tanpa ada batasan waktu kedaluwarsa pihak ketiga untuk mengajukan gugatan ke peradilan tata usaha negara; Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN yang merasa kepentingan keperdataannya dirugikan dapat memperjuangkan hak- 8 haknya melalui mekanisme hukum yang berlaku, termasuk dalam hal ini Pemohon (vide keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung RI, tanggal 25 April 2018, hal. 11). Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum putusan tersebut, jelas bahwa diterbitkannya suatu KTUN dapat saja menimbulkan akibat hukum tidak hanya bagi pihak yang dituju secara langsung, namun juga pihak yang tidak dituju in casu adalah keluarga. Jika dibaca secara sistematis, Pasal 53 ayat (1) UU Peratun sebenarnya telah memberikan rambu-rambu bahwa akibat hukum KTUN tidak hanya bagi pihak yang dituju secara langsung, yakni adanya frasa “seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan…”. Sehingga, orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan berpotensi untuk mengajukan gugatan KTUN tersebut ke PTUN. Frasa tersebut juga menunjukkan bahwa pihak yang merasa kepentingannya dirugikan mencakup juga pihak yang dituju secara langsung dan pihak yang tidak dituju secara langsung. Terlebih, apabila KTUN yang dikeluarkan telah ternyata bertentangan dengan undang-undang atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum dengan menggugat ke PTUN. Bahwa berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, secara substantif dan urgensi kepastian hukum yang adil terkait tenggang waktu pengajuan permohonan di PTUN, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam putusan-putusan Mahkamah tersebut di atas telah menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Lebih jauh dalam pertimbangan hukum perkara-perkara tersebut telah pula menyatakan dengan jelas bahwa pembatasan tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari pengajuan gugatan dihitung sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara adalah berlaku hanya untuk “orang/individu atau badan hukum perdata” yang dituju langsung oleh KTUN. Sementara itu, perluasan batas waktu pengajuan gugatan terhadap kedudukan pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan demikian, pertimbangan hukum Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas Pasal 55 UU Peratun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVI/2018 mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap permohonan a quo. [3.13] Menimbang bahwa selain pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo antara lain SEMA yang menurut Pemohon merupakan penjelasan dari Pasal 55 UU Peratun sebab mengatur mengenai penerapan atas pelaksanaan pasal a quo bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh KTUN. Dalam kaitan ini, berkenaan dengan hal tersebut melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVI/2018, Mahkamah 9 telah berpendirian bahwa Pasal 55 UU Peratun adalah konstitusional maka segala macam bentuk perluasan batas waktu pengajuan gugatan, termasuk bagi pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Ihwal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas SEMA 2/1991, di mana SEMA dimaksud menyatakan, “Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu keputusan tata usaha negara tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak ia merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut”. Demikian pula dalam SEMA 3/2015 menyatakan, “Tenggat waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung ‘sejak yang bersangkutan merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tata usaha negara tersebut’ diubah menjadi dihitung ‘sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya’.”, hal demikian tidak dapat memengaruhi keberlakuan Pasal 55 UU Peratun sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVI/2018 sebagai peraturan yang lebih tinggi serta berkekuatan hukum mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia. Bahwa selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon, yaitu petitum angka 2 dan angka 3 yang pada pokoknya meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Mahkamah berwenang untuk menguji SEMA a quo dan memaknai Pasal 55 UU Peratun sebagaimana tercantum dalam SEMA a quo menurut Mahkamah, bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Lebih jauh, seandainya permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah sebagaimana dalam petitum permohonan, quod non, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, selain sekedar mengakomodir kasus konkret yang dialami Pemohon merupakan implementasi norma yang sebenarnya tidak ada relevansinya dengan konstitusionalitas norma Pasal 55 UU Peratun, juga akan menimbulkan persoalan lain dengan munculnya penafsiran baru terhadap penerapan norma pasal a quo. Dengan demikian, meskipun permohonan a quo, Pemohon mengaitkan dengan SEMA, namun oleh karena esensi yang dimohonkan oleh Pemohon berkaitan dengan tenggang waktu pengajuan gugatan atas KTUN berdasarkan ketentuan Pasal 55 UU Peratun dan dengan mempertimbangkan permohonan ex aequo et bono maka Mahkamah dapat memahami yang dimohonkan oleh Pemohon sesungguhnya berkaitan dengan konstitusionalitas Pasal 55 UU Peratun dimaksud. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah ketentuan dalam Pasal 55 UU Peratun telah ternyata 10 memberikan kepastian hukum yang adil serta kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, sehingga permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya; [3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 150/PUU-XXI/2023 yang menyatakan menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya mengandung arti bahwa ketentuan penjelasan pasal UU a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.