Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 17 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman
DPR-RI, Pemerintah, Pemohon.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang
pada pokoknya meminta kepada Mahkamah untuk menunda keberlakuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dibuat oleh Mahkamah melalui Putusan 90/PU-XXI/2023, mempercepat jalannya perkara dengan tanpa meminta keterangan DPR, Presiden, serta Pihak Terkait, serta mengajukan hak ingkar agar perkara a quo diperiksa, diadili, dan diputus dengan tidak melibatkan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang memiliki benturan kepentingan.
Bahwa terhadap permohonan provisi tersebut, penting bagi Mahkamah
untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat
adversarial dan bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau
merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku erga omnes bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, setelah Mahkamah mencermati secara saksama 3 alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon telah ternyata lebih berkaitan erat dengan materi pokok permohonan yang berkenaan dengan benar atau tidaknya terdapat inkonstitusionalitas substansi yang dipersoalkan para Pemohon yang baru dapat diketahui setelah mempertimbangkan secara hukum pokok permohonan, oleh karena itu, prematur jika menunda pemberlakuan sebuah norma undang-undang yang belum diketahui terdapat persoalan inkonstitusionalitasnya dimaksud. Terlebih lagi, Mahkamah tidak menemukan adanya dampak yang luas jika ketentuan norma Pasal dimaksud tetap diberlakukan dibanding jika ditunda pemberlakuannya. Di samping itu,
Mahkamah juga telah mengadili perkara a quo dengan mendasarkan ketentuan Pasal 54 UU MK yaitu tanpa melalui agenda pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR, Presiden dan juga Pihak Terkait. Sedangkan terkait dengan hak ingkar untuk Hakim Konstitusi Anwar Usman, Mahkamah juga telah mempertimbangkan bahwa dalam mengadili permohonan a quo dengan tidak menyertakan Hakim Konstitusi Anwar Usman.Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.15] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil-dalil permohonan yang
diajukan oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan
mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang juga telah dipertimbangkan oleh
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 November 2023 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 131/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 21 Desember 2023 sebagai berikut:
“… Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUUXXI/2023 di atas, dan juga putusan-putusan Mahkamah Konstitusi pada umumnya, berdasarkan ketentuan norma Pasal 10 ayat (1) UU MK, merupakan Putusan yang diputuskan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Di samping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU MK dan Pasal 77 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
[3.12.2] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut, jika dikaitkan dengan
ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 PMK 2/2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang 4 putusannya bersifat final yang mengandung makna terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk “upaya hukum”. Demikian halnya dengan sifat daripada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal tersebut juga menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berlaku dan mengikat serta harus dipatuhi oleh semua warga negara termasuk lembaga negara sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanpa adanya syarat apapun. Oleh karena itu, dengan berlakunya ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, sebagai konsekuensi yuridisnya, jika ada subjek hukum atau pihak tertentu yang berpendapat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat hal-hal yang masih dirasakan adanya persoalan konstitusionalitas norma terhadap isu konstitusionalitas yang telah diputuskan atau dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka dapat mengajukan pengujian inkonstitusionalitas norma dimaksud kepada Mahkamah Konstitusi sepanjang tidak terhalang oleh ketentuan Pasal 60 UU MK maupun Pasal 78 PMK 2/2021, atau dapat meminta untuk dilakukan legislative review dengan cara mengusulkan perubahan kepada pembentuk undang-undang.”
Selain itu, Mahkamah juga telah mempertimbangkan terkait dengan norma Pasal 17 UU 48/2009 sebagai berikut:“ … Secara faktual Pasal 17 UU 48/2009 merupakan ketentuan yang mengatur tentang pengejawantahan sistem peradilan yang terpadu, baik Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Demikian
halnya Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, masing-masing badan
peradilan, baik peradilan yang berada di Mahkamah Agung dan lingkungan peradilan di bawahnya, dan juga Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas wewenang yudisialnya bertumpu pada hukum acara yang mengatur tata cara beracara pada masing-masing peradilan yang bersifat khusus, yang masing-masing mempunyai karakter dan akibat hukum yang berbeda-beda apabila hukum acara dimaksud tidak dipenuhi. Dengan demikian, khusus ketentuan norma Pasal 17 UU 48/2009, jika dicermati memuat ketentuan- ketentuan yang bersifat umum yang tidak seluruh ketentuan yang ada dalam pasal dimaksud dapat diterapkan dalam praktik peradilan Mahkamah Konstitusi. Sebagai contoh pada ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 yang masing-masing menyatakan:
…
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap
5 hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi
administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa
kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Artinya, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 PMK 2/2021, maka jelas ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tersebut tidak dapat diterapkan untuk menilai adanya akibat hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi jika benar ada peristiwa hukum sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan lain yang terdapat dalam ketentuan Pasal 17 UU 48/2009. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Demikian halnya berkenaan dengan amanat Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 yang meminta agar perkara dapat kembali diperiksa dengan susunan majelis hakim yang berbeda adalah ketentuan yang juga tidak mungkin dapat diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalam setiap pengambilan putusan harus didasarkan pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) UU MK dan Pasal 66 ayat (3) PMK 2/2021, yang mewajibkan Putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang, yang mengandung makna setiap perkara harus diputus oleh 9 (sembilan) atau sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi. Dengan demikian, pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi.Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus dan hal ini sejalan dengan asas “lex specialis derogat legi generali”, yaitu ketentuan yang lebih khusus mengesampingkan ketentuan yang umum karena kedua ketentuan dimaksud mempunyai kesederajatan yang sama, meskipun tetap pula mempertimbangkan ketentuan Pasal 17 UU 48/2009 sepanjang ada relevansinya, in casu Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009 berlaku secara umum bagi pemegang kekuasaan kehakiman. Sedangkan, terhadap Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, norma pasal tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap Mahkamah Konstitusi yang sifatnya sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Terlebih, jumlah Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi adalah 9 (sembilan) orang, yang dalam pengambilan keputusannya harus dilakukan oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi atau sekurang-kurangnya oleh 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.”
6
Untuk menegaskan perihal konstitusionlitas norma Pasal 17 UU 48/2009
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 131/PUU-XXI/2023 menyatakan sebagai berikut:
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan persoalan
konstitusionalitas ketentuan norma Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU
48/2009, sebagaimana juga telah dipertimbangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023, yang pada pokoknya
menegaskan antara lain ketentuan norma Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diterapkan pada hukum acara Mahkamah Konstitusi dikarenakan sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah serta berakibat hukum putusan tersebut harus dilakukan pemeriksaan kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda. Sebab, dalam setiap pengambilan putusan harus didasarkan pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) UU MK dan Pasal 66 ayat (3) PMK 2/2021, di mana perkara di Mahkamah Konstitusi diputus oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi atau sekurang-kurangnya oleh 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi. Dengan demikian, pada Mahkamah Konstitusi tidak dikenal adanya hakim/majelis lain yang dimungkinkan dapat memeriksa kembali/ulang jika ada putusan yang disebabkan adanya dugaan pelanggaran sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan norma Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 48/2009. Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023, Mahkamah juga telah menegaskan bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang diduga mengandungpersoalan adanya dugaan pelanggaran sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan norma Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 48/2009, terhadap objek permohonan dapat diajukan pengujian kembali isu konstitusionalitasnya sepanjang tidak terhalang dengan ketentuan norma Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 atau dilakukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU- XXI/2023 sepanjang berkaitan dengan konstitusionalitas norma a quo mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum dalam menilai konstitusionalitas norma Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa lebih lanjut berkaitan dengan dalil Pemohon
yang mempersoalkan ketentuan norma Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU
48/2009 perihal hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau
anggota DPR dapat diberlakukan hak ingkar untuk Pemohon dalam
perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Terhadap dalil
Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah
dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUUXXI/2023 dan ditegaskan kembali pada pertimbangan hukum sebelumnya 7 dalam putusan a quo, bahwa ketentuan norma Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 48/2009 dapat diterapkan untuk hukum acara di Mahkamah Konstitusi, namun bukan berarti hak ingkar Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat serta merta diterapkan. Sebab, apabila dicermati ketentuan norma Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU 48/2009 merupakan ketentuan yang mengatur pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya, dan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Oleh karena itu, addresat yang dimaksudkan dalam hak ingkar yang terdapat pada ketentuan norma Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU 48/2009 adalah ditujukan untuk hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan, bukan pada materi atau objek yang menjadi substansi permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karenanya objek permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan pengujian terhadap norma secara materiil dan pengujian terhadap pembentukan undang-undang secara formil, maka hak ingkar sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pemohon dalam perkara a quo dapat saja dikecualikan untuk dapat diterapkan sepanjang terhadap permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang dimohonkan pengujian terdapat relevansi atau irisan dengan kasus konkret yang dijadikan alasan Pemohon dalam menjelaskan adanya kedudukan hukum Pemohon yang dalam permohonan bersangkutan terkait dengan anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki dengan berlakunya norma yang diajukan pengujian. Dengan demikian, pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas sekaligus menjawab dalil Pemohon berkenaan dengan keinginannya untuk menggunakan hak ingkarnya jikalau terdapat adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR terhadap hakim yang mengadili undang-undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi, 9 (sembilan) hakim konstitusi adalah 3 (tiga) diajukan oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) diajukan oleh DPR, dan 3 (tiga) diajukan oleh Presiden, di mana hal tersebut apabila dikaitkan dengan adanya potensi konflik kepentingan hal demikian tidak jauh berbeda dengan kekhawatiran sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Di samping itu, dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Mahkamah telah berkali- kali menegaskan pendiriannya, bahwa kewenangan Mahkamah adalah menguji norma abstrak suatu undang-undang terhadap UUD 1945 yang putusannya bersifat erga omnes, sehingga putusan Mahkamah tidak hanya berlaku bagi Pemohon, tetapi juga berlaku secara luas bagi masyarakat dan lembaga negara [antara lain vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XVI/2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVIII/2020]. Hal tersebut berbeda dengan Putusan Mahkamah Agung dan lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, yang memeriksa perkara yang bersifat konkret dan individual, sehingga putusannya hanya berlaku bagi pihak-pihak tertentu yang terkait erat dengan perkara. Dengan demikian, hak ingkar Pemohon terhadap hakim yang mengadili perkaranya harus mempertimbangkan apakah 8 keberatannya terhadap hakim yang mengadili perkaranya berkaitan erat dengan kepentingan hakim terhadap perkaranya tersebut. Dalam konteks perkara pengujian undang-undang, apabila Pemohon mengajukan hak ingkar terhadap hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR, Pemohon perlu mempertimbangkan bahwa hakim konstitusi yang bersangkutan adalah memeriksa norma abstrak yang tidak berkaitan dengan peristiwa konkret yang dialami oleh Pemohon, sehingga kepentingan hakim konstitusi tersebut tidak ada relevansinya dengan penerapan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. [3.13] Menimbang bahwa selain pertimbangan tersebut di atas, terdapat perbedaan syarat antara hakim konstitusi dengan hakim lainnya, yang diatur di dalam konstitusi. Menurut Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, dikatakan bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sedangkan syarat untuk menjadi hakim agung yang diatur di dalam Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 berbunyi bahwa hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Dari kedua ketentuan tersebut, terdapat satu syarat pembeda, yaitu syarat sebagai hakim konstitusi haruslah seorang negarawan. Secara harfiah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Sumber yang lain (kamus Merriam-Webster), menyebutkan bahwa negarawan atau statesman adalah one versed in the principles or art of government especially: one actively engaged in conducting the business of a government or in shaping its policies; atau dapat juga diartikan sebagai a wise, skillful, and respected political leader. Berkenaan dengan hal tersebut, Manuel L. Quezon (Presiden Persemakmuran Filipina, 1935-1944) menyatakan “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” Dengan demikian, meskipun tidak ada definisi yang baku mengenai arti egarawan, seorang negarawan dapat diartikan sebagai sosok yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dan mengabdikan sepenuh hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negaranya.”Hal lain yang juga dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 adalah terkait isu konstitusionalitas bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena dalam proses pengambilannya telah terjadi pelanggaran etik sebagaimana dipertimbangkan dan disimpulkan oleh Putusan MKMK. Terkait hal tersebut Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: 9 “ … Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, di mana terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga norma selengkapnya menjadi: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Oleh karena itu, berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan putusan badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum, maka terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 secara yuridis dan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah norma sebagaimana yang telah dilakukan pemaknaan oleh Mahkamah tersebut. Oleh karena itu, permasalahan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah
apakah ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah
dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
mengandung persoalan inkonstitusionalitas ataukah tidak, jika dikaitkan
dengan adanya Putusan MKMK 2/2023 dan ketentuan Pasal 17 UU
48/2009, Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK, serta Pasal
66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021.
[3.13.2] Bahwa terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati
bagian pertimbangan Putusan MKMK Nomor 2/2023, halaman 358, yang
menyatakan:
“Namun demikian, Putusan 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah berlaku
secara hukum (de jure). Dalam hal ini, Majelis Kehormatan harus dan tetap menjunjung tinggi prinsip res judicata pro veritate habitur dan tidak boleh memberi komentar bahkan menilai substansi putusan dimaksud oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.”
Dari pertimbangan Putusan MKMK dimaksud, telah membuktikan dan
menegaskan bahwa MKMK tidak sedikitpun memberikan penilaian bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat
hukum, tetapi justru menegaskan bahwa Putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat. Oleh karena itu, hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009, adanya Putusan MKMK pada bagian kesimpulan pada halaman 380, yang menyatakan:
1. Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah
Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
2. Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan
dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
oleh Mahkamah Konstitusi.
3. Hal tersebut juga membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK telah
berpendirian, penilaian sah atau tidak sahnya putusan yang disebabkan
adanya pelanggaran kode etik khususnya berkaitan dengan Pasal 17 ayat
(1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009, tidak dapat diterapkan untuk
menilai putusan dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah
10 Konstitusi termasuk, in casu menilai sah atau tidak sahnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
[3.13.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan konsekuensi yuridis dari
pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.13.2] di atas, tidak ada pilihan lain
bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat
sejalan dengan pendirian MKMK dalam Putusannya Nomor 2/2023
tersebut. Oleh karena itu, jika menurut Pemohon adanya putusan MKMK
yang menyatakan oleh karena salah satu Hakim Konstitusi telah terbukti
melanggar etik dan berkesimpulan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik
kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian
hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan
kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka dengan berpedoman pada
ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009 dan
Putusan MKMK No. 2/2023, ketentuan Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK serta Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021,
Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi
dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum,
menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran
prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak
serta merta dapat dibenarkan.
[3.13.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana
pada Sub-paragraf [3.13.3] di atas, oleh karena Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat, maka sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas
norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon dan dengan
pertimbangan sebagaimana pendirian Mahkamah pada sebagian besar
putusan-putusan sebelumnya yang berpendirian pada umumnya
berkenaan dengan penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan
pembentuk undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan
moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.
Oleh karena itu, terhadap persoalan dalam permohonan a quo-pun,
Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk
undang- undang untuk menilai dan merumuskannya.”[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum yang dikutip di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan “pembentukan” Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUUXXI/2023 sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dibuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengalami kecacatan formalitas dalam 11 penyusunan dan pemberlakuan sebuah norma, sehingga menjadikan Putusan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menjadi tidak sah sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU 48/2009. Terhadap dalil para Pemohon a quo, sebagaimana telah Mahkamah tegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 131/PUU-XXI/2023 yang sebagiannya telah diuraikan dalam Paragraf [3.15] di atas, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan yang dilakukan oleh para hakim konstitusi terbukti bahwa salah seorang hakim yang ikut memutus perkara tersebut melanggar etik. Hal tersebut tidak serta- merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal.
Mahkamah juga telah menegaskan bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang diduga mengandung persoalan adanya dugaan pelanggaran sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan norma Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 48/2009, terhadap objek permohonan dapat diajukan pengujian kembali isu konstitusionalitasnya sepanjang tidak terhalang dengan ketentuan norma Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 atau dilakukan melalui legislative review kepada pembentuk undang-undang. Di
samping itu, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
6.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo. Namun berkaitan dengan substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada pokoknya telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, meskipun Mahkamah berwenang mengadili perkara a quo, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum, dan menyatakan menolak Permohonan Pemohon.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430