Brahma Aryana untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 169 huruf q UU Pemilu
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon, yang menyatakan ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena dalam proses pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo telah terjadi pelanggaran etik sebagaimana dipertimbangkan dan disimpulkan oleh Putusan MKMK, yaitu Putusan MKMK 2/2023. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum sebelumnya, di mana terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga norma selengkapnya menjadi: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Oleh karena itu, berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan putusan badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum, maka terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 secara yuridis dan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah norma sebagaimana yang telah dilakukan pemaknaan oleh Mahkamah tersebut. Oleh karena itu, permasalahan selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung persoalan inkonstitusionalitas ataukah tidak, jika dikaitkan dengan adanya Putusan MKMK 2/2023 dan ketentuan Pasal 17 UU 48/2009, Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK, serta Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021.
[3.13.2] Bahwa terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati bagian pertimbangan Putusan MKMK Nomor 2/2023, halaman 358, yang menyatakan:
“Namun demikian, Putusan 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah berlaku secara hukum (de jure). Dalam hal ini, Majelis Kehormatan harus dan tetap menjunjung tinggi prinsip res judicata pro veritate habitur dan tidak boleh memberi komentar bahkan menilai substansi putusan dimaksud oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.”
Dari pertimbangan Putusan MKMK dimaksud, telah membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK tidak sedikitpun memberikan penilaian bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum, tetapi justru menegaskan bahwa Putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat. Oleh karena itu, hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009, adanya Putusan MKMK pada bagian kesimpulan pada halaman 380, yang menyatakan:
1. Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUUXXI/2023.
2. Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.
3. …
Hal tersebut juga membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK telah berpendirian, penilaian sah atau tidak sahnya putusan yang disebabkan adanya pelanggaran kode etik khususnya berkaitan dengan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009, tidak dapat diterapkan untuk menilai putusan dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi termasuk, in casu menilai sah atau tidak sahnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
[3.13.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan konsekuensi yuridis dari pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.13.2] di atas, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sejalan dengan pendirian MKMK dalam Putusannya Nomor 2/2023 tersebut. Oleh karena itu, jika menurut Pemohon adanya putusan MKMK yang menyatakan oleh karena salah satu Hakim Konstitusi telah terbukti melanggar etik dan berkesimpulan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 48/2009 dan Putusan MKMK No. 2/2023, ketentuan Pasal 10 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 47 UU MK serta Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 77 PMK 2/2021, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak serta merta dapat dibenarkan.
[3.13.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana pada Sub-paragraf [3.13.3] di atas, oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon dan dengan pertimbangan sebagaimana pendirian Mahkamah pada sebagian besar putusan-putusan sebelumnya yang berpendirian pada umumnya berkenaan dengan penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, terhadap persoalan dalam permohonan a quo-pun, Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai dan merumuskannya.
[3.14] Menimbang bahwa berkaitan dengan pendirian di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan beberapa hal berkenaan dengan batas usia dan alternatif untuk memenuhi syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana substansi norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan norma asli Pasal 169 huruf q UU 7/2017 maupun norma baru karena pemaknaan bersyarat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, setidaknya terdapat 3 (tiga) isu pokok terkait dengan batas syarat usia minimal 40 (empat puluh) tahun untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Pertama, ada keinginan untuk menurunkan batas usia menjadi lebih rendah dari 40 (empat puluh) tahun. Bahkan, terdapat pula keinginan atau diskursus lain perihal batas usia tersebut, yaitu menentukan batas usia maksimal untuk menjadi syarat calon presiden dan calon wakil presiden. Kedua, batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat disepadankan (dialternatifkan) dengan jabatan publik (public official) yang pernah dijabat/yang sedang dijabat seseorang yang akan dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden. Ketiga, batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat disepadankan (dialternatifkan) dengan jabatan yang pernah atau sedang diduduki yang dipilih melalui pemilihan umum (elected official).
Berkenaan dengan ketiga alternatif tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1.1] Bahwa secara konstitusional, UUD 1945 tidak mencantumkan perihal syarat batas usia minimum menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Apabila diletakkan dalam norma konstitusi, berkenaan dengan syarat calon presiden dan calon wakil presiden, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil Presiden”. Perihal adanya kemungkinan untuk membuat atau menambah persyaratan lain, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Artinya, selain persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, syarat-syarat lain terbuka untuk diatur dengan undang-undang, termasuk dalam hal ini syarat batasan minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Sekalipun tidak dicantumkan secara expressis verbis dalam UUD 1945, persyaratan batas usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden pernah menjadi salah satu pembahasan dalam perubahan UUD 1945. Sekalipun menjadi salah satu masalah yang dibahas, batasan usia minimal disepakati untuk tidak diatur, sehingga diserahkan menjadi materi yang tunduk pada delegasi Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Apabila diletakkan dalam konteks perbandingan, pilihan untuk tidak mengatur secara expressis verbis dalam konstitusi adalah pilihan yang dapat diterima secara universal. Dalam hal ini, merujuk konstitusi negara lain, pada satu sisi, sejumlah negara mencantumkan syarat batasan usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dalam konstitusinya masing-masing. Sementara di sisi lain, sejumlah negara tidak mengatur batasan minimal dimaksud dalam konstitusinya. Berkenaan dengan batas usia minimal tersebut, apabila merujuk pada pengaturan dalam undang-undang setelah perubahan UUD 1945, ketika pengaturan pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih terpisah dengan pengaturan pemilihan umum anggota legislatif, yaitu pada Pemilihan Umum 2004, 2009, dan 2014 diatur batas minimum menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun. Namun, ketika pengaturan pemilihan umum presiden dan wakil presiden disatukan dengan pemilihan umum anggota legislatif dalam rezim pemilihan umum serentak antara pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang dimulai pada tahun 2019, persyaratan usia calon presiden dan calon wakil presiden dinaikkan menjadi paling rendah berusia 40 (empat puluh) tahun. Merujuk pada bentangan empirik tersebut, batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden terbuka “disesuaikan” dengan kebutuhan dinamika bernegara sepanjang penyesuaian dengan dinamika tersebut diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan penjelasan di atas, Mahkamah dapat memahami jika banyak kalangan menghendaki perubahan, termasuk untuk menurunkan, batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Misalnya, bagi yang menghendaki penurunan batas usia minimal, terdapat banyak varian batas usia minimal yang dikehendaki, seperti minimal 35 (tiga puluh lima) tahun, 30 (tiga puluh) tahun, 25 (dua puluh lima) tahun, 21 (dua puluh satu) tahun, bahkan terdapat pula keinginan dengan batas minimal 17 (tujuh belas) tahun atau lebih rendah sepanjang telah menikah sesuai dengan syarat minimal pengguna hak untuk memilih. Dengan banyaknya varian dimaksud yang disertai berbagai macam argumentasi yang melingkupinya, Mahkamah tidak dapat dan tidak mungkin akan menentukan batasan usia minimal yang mana yang dapat dikatakan konstitusional untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Oleh karena itu, perubahan batasan usia minimal termasuk kemungkinan menentukan batasan usia maksimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya.
[3.14.1.2] Bahwa berkenaan dengan batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat disepadankan (dialternatifkan) dengan jabatan publik (public official) atau penyelenggara negara yang pernah/sedang dijabat seseorang untuk dicalonkan sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Berkenaan dengan hal ini, setelah Mahkamah membaca berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa pengertian perihal “pejabat negara” atau “penyelenggara negara”. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999); dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU 40/2008) memberikan pengertian Penyelenggara Negara merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 1 angka 1 UU 40/2008). Sementara itu, Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menentukan Pejabat negara, yaitu presiden dan wakil presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; menteri dan jabatan setingkat menteri; kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang;
Berdasarkan pengertian dan pengelompokan di atas, pejabat negara atau penyelenggara negara melingkupi pengertian yang begitu luas. Artinya, menerima posisi sebagai pejabat negara atau penyelenggara negara disepadankan dengan batas usia 40 (empat puluh) tahun sebagai batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam hal ini, Mahkamah dapat memahami keinginan untuk menyepadankan atau membuat alternatif syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, karena terlalu luasnya pengertian pejabat negara atau penyelenggara negara yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, pembentuk undang-undang dapat membuat atau menentukan secara definitif pejabat negara atau penyelenggara negara yang mana saja yang dapat dialternatifkan atau disepadankan untuk menggantikan batas usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
[3.14.1.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan syarat batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dapat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dapat disepadankan atau dialternatifkan dengan jabatan yang pernah atau sedang diduduki yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official). Secara yuridis, menyepadankan atau membuat alternatif dengan batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun syarat calon presiden dan calon wakil presiden telah diterima Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Bahkan, terkait dengan keberlakuan pemaknaan baru dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, meskipun terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) sejumlah Hakim Konstitusi, sesuai dengan Pasal 47 UU MK, sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, pemaknaan baru tersebut ditegaskan dalam Paragraf [3.4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XXI/2023 dan Paragraf [3.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut selesai diucapkan. Terlebih lagi, setelah pengucapan tersebut telah terdapat peristiwa hukum baru, yaitu penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024.
Sekalipun telah terdapat pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, jika diperlukan, pembentuk undang-undang tetap memiliki wewenang untuk merevisi atau menyesuaikan lebih lanjut terkait dengan elected official tersebut untuk kemudian disejajarkan atau dialternatifkan dengan batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Penyesuaian tersebut menjadi wajar agar posisi atau jabatan presiden dan wakil presiden memiliki kesepadanan yang tidak begitu jauh dengan elected official yang akan disejajarkan dengan jabatan presiden dan wakil presiden. Sebab, jabatan Presiden merupakan jabatan tertinggi kekuasaan pemerintahan negara (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), penting dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional dengan sistem presidensial. Selain itu, posisi Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Secara konstitusional, kekuasaan Presiden diatur dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Beberapa hal yang menjadi kekuasaan Presiden, yakni: Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 5 ayat (1) UUD 1945]; Presiden menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 ayat (2) UUD 1945]; Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD 1945); Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 ayat (1) UUD 1945]; Presiden menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD 1945); Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 UUD 1945); Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi [Pasal 14 ayat (1) UUD 1945]; Presiden memberi amnesti dan abolisi [Pasal 14 ayat (2) UUD 1945]; Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain (Pasal 15 UUD 1945); Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan (Pasal 16 UUD 1945); Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 UUD 1945).
Berkenaan dengan kewenangan di atas, dalam menjalankan tugas sebagai presiden, apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya, presiden digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya [Pasal 8 ayat (1) UUD 1945]. Oleh karena itu, jabatan wakil presiden pun menjadi jabatan pokok, penting, dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional yang menganut sistem presidensial. Mengingat sebegitu pokok, penting, dan strategisnya jabatan presiden dan wakil presiden, maka syarat untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden harus lah benar-benar sesuai dengan bobot jabatannya. Meskipun tidak ada jabatan yang sepadan dengan jabatan presiden, namun setidaknya mesti dicari jabatan yang levelnya tidak jauh jaraknya dengan jabatan presiden yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official). Misalnya, pembentuk undang-undang dapat mempertimbangkan jabatan gubernur sebagai alternatif untuk disepadankan dengan syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Terlebih, provinsi ibarat sebuah miniatur negara dalam skala yang lebih rendah. Setiap provinsi memiliki wilayah (geografis), penduduk (demografis), dan pemerintahan daerah dalam hal ini gubernur bersama dewan perwakilan rakyat daerah provinsi. Bahkan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menentukan secara jelas ihwal level dan tingkatan daerah dari yang terbesar hingga yang terkecil, yakni dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian turun ke tingkat provinsi dan selanjutnya kabupaten/kota.
Oleh karena adanya hierarki dalam jenjang pemerintahan tersebut, syarat batas usia untuk menjadi presiden, gubernur, bupati/walikota pun dibuat secara berjenjang. Untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yakni berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun (Pasal 169 huruf q UU 7/2017), calon gubernur/wakil gubernur berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun, dan calon bupati/wakil bupati serta calon walikota/wakil walikota berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun [Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang]. Desain politik hukum pembentuk undang-undang membuat tingkatan batas usia seperti ini boleh jadi dimaksudkan untuk mengakomodir apabila ada kemungkinan seseorang menjalani jenjang karier sebagai kepala daerah dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yakni kota, kabupaten, dan provinsi. Artinya, saat seseorang yang menjadi bupati atau walikota di usia 25 (dua puluh lima) tahun maka dalam waktu 1 (satu) periode kepemimpinannya sebagai bupati atau walikota ia sudah berusia 30 (tiga puluh) tahun, sehingga dalam waktu hanya satu periode ia dapat mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur. Setelah 2 (dua) periode menjadi Gubernur, ia dapat mengikuti kontestasi pemilihan Presiden. Jenjang dan tahapan karier seperti ini penting untuk dibangun agar memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam memimpin suatu daerah dengan beragam permasalahannya, sehingga diharapkan tatkala seorang kepala daerah menaikan level status kepemimpinannya pada tingkat yang lebih tinggi, ia sudah sangat siap dan matang. Misal, seseorang yang semula menjabat gubernur kemudian mencalonkan diri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
Di sisi lain, tantangan sebagai presiden dan wakil presiden, lebih rumit dan kompleks di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, multi-etnik, dan multikultur dengan segudang permasalahan baik dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Terlebih lagi, dalam menghadapi tantangan global yang cepat berubah. Oleh karena itu, sosok calon presiden dan calon wakil presiden haruslah figur yang matang secara emosional, kompeten secara fisik maupun mental, dan intelek dalam pemikiran serta haruslah figur yang dapat menjadi katalisator pemersatu bangsa. Oleh karena itu, jika diperlukan perubahan terhadap rumusan alternatif syarat batas usia minimal menjadi calon presiden atau calon wakil presiden maka berdasarkan penalaran yang wajar adalah dapat dipilih pernah menjabat sebagai gubernur yang persyaratannya kemudian ditentukan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, upaya menyesuaikan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, atau upaya menyepadankan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara (public official), dan termasuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan jabatan yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official) masih tetap merupakan dan berada di ranah pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan, dalam hal pembentuk undang-undang akan menyesuaikan dengan semua pilihan tersebut, perubahan atas UU 7/2017 diberlakukan untuk Pemilihan Umum 2029 dan pemilihan umum setelahnya. Oleh karena itu, ke depan, jika pembentuk undang-undang akan melakukan perubahan terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 agar merujuk pada kriteria pembatasan-pembatasan tersebut.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak bertentangan dengan perlindungan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430