Muhammad Hafidz untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 56 ayat (3) UU MK
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian frasa “dikabulkan” dalam Pasal 56 ayat (3) UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada Paragraf [3.10] di atas, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon apakah ganti kerugian dan rehabilitasi dapat diterapkan pada perkara pengujian materil di Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan dalil a quo, Mahkamah perlu mengemukakan bahwa Pasal 10 ayat (1) UU MK memberikan wewenang kepada Mahkamah, antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan ini, maka putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final berarti, Pertama, secara langsung memperoleh kekuatan hukum; kedua, karena telah memperoleh kekuatan hukum, maka putusan tersebut memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak yang berperkar; Ketiga, Mahkamah konstitusi sebagai pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak upaya hukum lain yang dapat ditempuh, berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan memperoleh kekuatan mengikat.
Berkenaan dengan hal di atas, pasal 51 UU MK mengatur tentang hak konstitusional yang dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang, di mana kerugian tersebut dapat berasal dari pembentuk undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/atau kerugian yang berasal dari materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa kerugian hak konstitusional yang dianggap merugikan Pemohon bukan semata berasal dari kasus konkret yang dialaminya, melainkan karena adanya norma yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sehingga kerugian konstitusional tersebut tidak bersifat privat dan dapat dialami oleh seluruh warga negara Indonesia.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat erga omnes. Artinya, putusan tersebut mengikuti tidak hanya terhadap Pemohon saja akan tetapi seluruh warga negara Indonesia, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat diberlakukan terhadap perkara-perkara privat, terlebih menuntut negara untuk memberikan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada pihak tertentu saja. Disamping itu, Pasal 56 ayat (3) UU MK juga sudah jelas dan tegas (expressis verbis) sehingga tidak memerlukan tafsir lain. Adapun keinginan Pemohon untuk memberikan makna baru pada kata “dikabulkan” dalam Pasal a quo, justru akan mempersempit makna dari norma tersebut, karena norma a quo berlaku untuk semua perkara bukan hanya perkara tertentu saja, termasuk, in casu, hanya berkaitan dengan ganti rugi.
Sekalipun terhadap persoalan konstitusi Pemohon yang khawatir jika putusan Mahkamah Konstitusi diputus melewati tenggang waktu pengajuan permohonan ke PHI akan merugikan haknya sebagai pekerja dalam menerima uang kompensasi pesangaon. Hal tersebut haruslah dilihat dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, sehingga harus dipahami bahwa kerugian tersebut juga dapat berlaku terhadap pekerja manapun selain Pemohon, sehingga jika permohonan dikabulkan oleh Mahkamah, maka sesungguhnya tidak menghilangkan hak-hak keperdataan Pemohon. Adapun kerugian Pemohon saat tidak menerima uang kompensasi pesangaon, hal demikian lebih menitikberatkan kepada persoalan implementasi. Artinya, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dapat berlaku pada pemohon saat itu, namun karena sifatnya yang erga omnes maka berlaku pada pihak lain. Tidak diterimanya kompensasi pesangon tersebut bukan merupakan kerugian hak konstitusional, tetapi merupakan kerugian yang bersifat privat, sehingga dalam hal ini, terdapat mekanisme lain untuk mengajukan upaya ganti rugi dan/atau rehabilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil sebagaimana yang Pemohon uraikan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menilai menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap kata “dikabulkan” dalam norma Pasal 56 ayat (3) UU MK justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian kata “dikabulkan” dalam norma Pasal 56 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430