Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 122/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TETANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-11-2023

Asep Muhidin, S.H., M.H, Rahadian Pratama Mahpudin, S.H., CHCA, dkk yang merupakan Advokat dan Wiraswasta, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 50 ayat (1) UU MA dan Pasal 253 ayat (3) UU KUHAP

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU MA Jo. KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil-dalil permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa “hanya jika dipandang perlu” dalam norma Pasal 50 ayat (1) UU MA dan frasa ”jika dipandang perlu” dan kata ”dapat” dalam norma Pasal 253 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, isu konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon terhadap kedua norma pasal tersebut adalah proses pemeriksaan dalam persidangan di Mahkamah Agung yang tidak dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan Mahkamah Agung tidak mendengar sendiri keterangan para pihak, para saksi, terdakwa atau penuntut umum untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Terlebih lagi, Putusan Mahkamah Agung tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Bahwa untuk menjawab isu tersebut, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan Mahkamah sebelumnya mengenai pengujian konstitusionalitas norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XVIII/2020, yang mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.12] …Sebagai puncak peradilan di lingkungan MA, MA merupakan peradilan tingkat terakhir bagi semua lingkungan peradilan, yaitu mulai dari peradilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding, sebagai pengadilan judex factie, sampai dengan kasasi kepada MA sebagai peradilan judex juris. Bahwa makna judex factie adalah majelis hakim memeriksa fakta, sedangkan judex juris adalah majelis hakim memeriksa penerapan hukum. Dalam sistem peradilan di Indonesia, judex factie dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara pengambilan keputusan dalam bentuk putusan. Sistem peradilan di lingkungan MA terdiri atas peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding, dan peradilan tingkat kasasi. Peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding adalah judex factie yang memiliki kewenangan, yaitu memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara serta menentukan fakta-fakta dari suatu perkara tersebut, sedangkan peradilan tingkat kasasi, MA sebagai judex juris hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut. Peradilan tingkat pertama adalah peradilan yang menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan peradilan tingkat banding adalah peradilan yang menerima, memeriksa, dan mengadili perkara yang diputus peradilan tingkat pertama. Peradilan tingkat banding di samping memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta yang ada juga memeriksa aspek hukumnya. Sementara itu, peradilan tingkat kasasi, MA tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. Dalam hal ini, judex juris hanya memeriksa interpretasi, konstruksi, dan penerapan hukum terhadap fakta yang sudah diterapkan judex factie. Upaya hukum kasasi merupakan hak bukan kewajiban dan pengajuan permohonan kasasi merupakan upaya hukum biasa. Tujuan utama pengajuan permohonan kasasi, antara lain sebagai koreksi terhadap kesalahan penerapan hukum peradilan di tingkat bawah.
…menurut Mahkamah, MA merupakan peradilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sebagai peradilan tingkat terakhir semua lingkungan peradilan di MA, MA memeriksa dan mengadili penerapan hukum (judex juris) yang berbeda dengan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Peradilan tingkat pertama sebagai judex factie harus dimaknai bahwa majelis hakim memeriksa fakta, begitu juga dengan peradilan tingkat banding di mana majelis hakim hanya memeriksa fakta dan aspek hukumnya. Dalam sistem peradilan di Indonesia, judex factie dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan berdasarkan cara pengambilan keputusan dalam bentuk putusan. MA dalam memeriksa dan mengadili perkara baik dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali dalam proses mengambil putusan tetap mendasarkan pada fakta dan hukum sebagaimana termuat dalam berkas perkara. Secara substansial dengan kewenangan MA sebagaimana diatur dalam undang-undang diharapkan akan tercipta adanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan hukum, karena seharusnya dalam setiap putusan pengadilan sudah terkandung tentang adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat. MA sebagai puncak peradilan mempunyai fungsi mengadili dengan memeriksa hukum (judex juris) menurut peraturan perundang-undangan.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, sistem peradilan di Indonesia mengenal tiga jenis tingkatan, yakni Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan MA. Terhadap tingkatan peradilan tersebut terdapat dua jenis kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara, yakni kewenangan mengadili perkara berdasarkan fakta persidangan (judex factie), yaitu kewenangan yang dimilki oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding dan kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris), yaitu kewenangan yang dimiliki oleh MA. Adapun secara terminologi yang dimaksudkan dengan peradilan yang mengadili berdasarkan fakta hukum (judex factie) adalah kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding untuk memeriksa para pihak dengan menggali fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sementara itu kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris) adalah kewenangan peradilan (MA) yang berkaitan perkara kasasi dengan memeriksa penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim atau majelis hakim dari putusan peradilan tingkat pertama (PN) dan tingkat banding (PT).
Dengan demikian menjadi kehilangan relevansi dan esensi, apabila Pemohon menghendaki persidangan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali harus atau setidak-tidaknya dilakukan dengan cara memanggil para pihak dengan mengulang kembali menggali fakta-fakta hukum, sebagaimana yang telah dilakukan oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Di samping praktik tersebut akan mengingkari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Namun demikian, meskipun kewenangan hakim tingkat kasasi dan peninjauan kembali dibatasi untuk menilai berkaitan dengan penerapan hukum dan hanya mendasarkan surat-surat semata, namun dalam hal-hal tertentu jika hakim kasasi memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara yang sedang ditangani, maka hakim kasasi dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan kepada peradilan tingkat banding atau peradilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut untuk melakukan pemeriksaan pada persidangan dengan mendengar para pihak atau para saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum (vide Pasal 50 ayat (1) UU Mahkamah Agung).
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah jelas, pilihan undang-undang dengan tetap melekatkan kewenangan hakim kasasi untuk mengadili perkara yang diajukan dengan mendasarkan pemeriksaan pada surat-surat dan hanya dalam keadaan yang eksepsional saja dan karena keperluan yang urgen menghendaki maka dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi ataupun memerintahkan peradilan tingkat pertama atau peradilan tingkat banding untuk itu. Namun seandainyapun hakim kasasi mendengar sendiri para pihak dan saksi-saksi, hal tersebut terbatas dalam perspektif untuk menambah keyakinan hakim kasasi terhadap penilaian hasil pemeriksaan surat-surat (berkas) sebagai hakim yang mengadili penerapan hukum (judex juris). Hal demikian bukan berarti menggeser kewenangan MA menjalankan fungsi sebagai hakim yang menilai fakta persidangan (judex factie).
Bahwa sebagai penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan dalil Pemohon yang menghendaki dalam mengadili perkara peninjauan kembali, MA juga harus melaksanakan sidang dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah pemeriksaan perkara peninjauan kembali yang kewenangannya dimiliki oleh MA, meskipun sifat dari tingkatannya adalah sebagai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, namun hal ini bukan berarti MA melaksanakan fungsi sebagai peradilan yang memeriksa fakta-fakta hukum sebagaimana halnya dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding (judex factie), namun tetap saja MA menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai peradilan yang memeriksa penerapan hukum. Sebab, dalam memeriksa perkara peninjauan kembali MA memeriksa perkara yang bersifat lanjutan, yaitu perkara yang berasal dari peradilan di semua tingkatan sekalipun telah berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian selain memeriksa alasan peninjauan kembali karena adanya bukti baru (novum) atau alasan lainnya, pemeriksaan yang dilakukan hakim peninjauan kembali hanya terbatas memeriksa surat saja, yaitu berkas perkara, khususnya memori dan kontra memori peninjauan kembali. Sedangkan dalam hal memeriksa perkara peninjauan kembali dengan alasan adanya bukti baru (novum), maka bukti baru yang dibenarkan hanya terbatas pada surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan (vide Pasal 67 huruf b UU Mahkamah Agung) dan terhadap penemuan surat-surat bukti tersebut setelah diserahkan oleh pemohon peninjauan kembali kepada peradilan tingkat pertama yang memeriksa perkara tersebut. Dan selanjutnya oleh peradilan tingkat pertama yang menerima permohonan peninjauan kembali tersebut dilakukan penyumpahan terhadap pihak yang menemukan bukti baru tersebut pada persidangan yang terbuka untuk umum, untuk selanjutnya berkas permohonan peninjauan kembali a quo diserahkan kepada MA untuk dilakukan pemeriksaan.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang menghendaki agar persidangan perkara peninjauan kembali di MA dengan dihadiri para pihak dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Terlebih Mahkamah tidak dapat menerima alasan Pemohon yang berpendapat pemeriksaan perkara peninjauan kembali dapat menghasilkan validitas di dalam memeriksa bukti baru (novum) apabila diverifikasi oleh para pihak dan publik. Sementara kewajiban hadir di persidangan perkara peninjauan kembali selain berdampak adanya beban biaya yang sangat berat bagi pencari keadilan yang harus hadir di MA, juga akan berdampak semakin menumpuknya jumlah perkara dan terhambatnya penyelesaian perkara di MA. Bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan, pemeriksaan persidangan perkara pada peradilan tingkat banding untuk dilakukan dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Mahkamah berpendapat, bahwa keinginan Pemohon sebagaimana yang didalilkan tersebut, sebenarnya telah terakomodir dalam norma undang-undang yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding, maupun praktik yang telah dilakukan di Indonesia selama ini. Sebagaimana diuraikan dan dibenarkan Pemohon dalam permohonannya, bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang berlaku untuk Wilayah Jawa dan Madura dan secara mutatis mutandis berlaku untuk daerah Indonesia lainnya, di mana norma tersebut pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pengadilan tinggi dengan menegaskan bahwa, “Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga Hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi.” Oleh karenanya dalam pemeriksaan perkara banding esensi mendasar adalah melakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara yang telah diputus oleh peradilan tingkat pertama dengan memeriksa fakta-fakta dan aspek hukumnya. Dengan demikian oleh karena pada dasarnya hanya melakukan pemeriksaan ulang maka sepanjang pemeriksaan fakta-fakta dan aspek hukumnya dengan memeriksa surat-surat dipandang telah cukup untuk diambil putusan, sehingga tidak ada relevansinya lagi untuk melakukan pemeriksaan perkara dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi. Namun demikian apabila keperluan demi keadilan, undang-undang telah memberikan instrumen dengan memberikan pilihan kepada hakim tingkat banding untuk dapat melaksanakan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah telah jelas, tanpa mewajibkan pada pemeriksaan peradilan tingkat banding dengan menghadirkan para pihak dan saksi-saksi jika telah dipandang cukup oleh hakim banding yang bersangkutan dan telah dapat memutus perkara secara adil maka tidak ada urgensi untuk mengakomodir dalil Pemohon yang berkaitan dengan mewajibkan pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi. Terlebih hal tersebut justru akan mengingkari asas peradilan, cepat dan biaya ringan, sebagaimana juga yang diinginkan Pemohon berkaitan dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Selanjutnya dengan berdasar pada kutipan pertimbangan hukum tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas norma Pasal 50 ayat (1) UU MA pada pokoknya adalah sama, sehingga pertimbangan hukum di atas secara mutatis mutandis berlaku untuk menilai isu konstitusionalitas permohonan a quo. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan tidak ada permasalahan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, sehingga norma pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa meskipun norma Pasal 50 ayat (1) UU MA tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma, namun penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terhadap proses pemeriksaan perkara dan persidangan di Mahkamah Agung, Mahkamah berpendirian, sebagai pengadilan judex juris, Mahkamah Agung tidak mewajibkan para pihak, penuntut umum, terdakwa dan saksi-saksi untuk hadir dalam pemeriksaan perkara kasasi dan peninjuan kembali. Apabila Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan para pihak dan saksi-saksi dalam perkara perdata maupun penuntut umum, terdakwa dan saksi-saksi dalam perkara pidana untuk memeriksa perkara secara pendelegasian yang sesungguhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung, hal tersebut sesungguhnya merefleksikan asas peradilan cepat dan biaya ringan, bukan berarti Mahkamah Agung melaksanakan fungsi sebagai judex facti.
[3.12.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil permohonan, yakni frasa “hanya jika dipandang perlu” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “wajib” dalam norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, menurut Mahkamah, kehendak Pemohon tersebut justru tidak sinkron dan menimbulkan inkonsistensi karena di satu sisi mewajibkan Mahkamah Agung untuk mendengar secara langsung keterangan para pihak, saksi, penuntut umum, atau terdakwa. Namun di sisi lain, Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tinggi Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi, sebagaimana tertulis dalam petitum permohonan [vide perbaikan permohonan Perkara Nomor 122/PUU-XXI/2023, hlm. 28]. Adanya frasa “wajib” dan “atau memerintahkan” dalam petitum permohonan dimaksud justru mengaburkan permohonan itu sendiri. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon terhadap norma Pasal 50 ayat (1) UU MA adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa terhadap isu konstitusionalitas norma Pasal 253 ayat (3) KUHAP, terutama frasa “jika dipandang perlu” dan kata ”dapat”, menurut Mahkamah, isu konstitusionalitas norma pasal tersebut adalah sama dengan norma Pasal 50 ayat (1) UU MA, di mana Mahkamah telah mempertimbangkannya pada Paragraf [3.12] di atas. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah terhadap norma Pasal 50 ayat (1) UU MA berlaku pula terhadap norma Pasal 253 ayat (3) KUHAP, sehingga Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut.
[3.14] Menimbang bahwa berkaitan dengan sidang pengucapan putusan Mahkamah Agung, menurut Mahkamah, untuk memudahkan masyarakat menjangkau dan mendapat keadilan (access to court and access to justice), Mahkamah Agung perlu membuka akses kepada para pihak, terutama pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Agung. Terlebih lagi, Pasal 40 ayat (2) UU MA menentukan bahwa “Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Jika tidak, maka Putusan Mahkamah Agung batal menurut hukum sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (2) UU MA. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, Mahkamah Agung dapat memberikan kesempatan kepada para pihak, terutama pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Agung, untuk menghadiri persidangan putusan secara daring tanpa perlu mendatangi gedung Mahkamah Agung.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, frasa “hanya jika dipandang perlu” dalam Pasal 50 ayat (1) UU MA, serta frasa “jika dipandang perlu” dan kata “dapat” dalam Pasal 253 ayat (3) KUHAP telah ternyata tidak melanggar persamaan kedudukan di dalam hukum dan tidak pula melanggar jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.