Dr. Fahru Bachmid,S.H.,M.H yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Viktor Santotso Tandiasa,S.H.,M.H., Agustiar,S.H., dan Nur Rizqi Khafifah,S.H., yang merupakan advokat dan konsultan hukum pada Firma Hukum ”VST and Partners, Advocates & Legal Consultants”, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa dalil utama permohonan a quo adalah agar norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 yang berbunyi “berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “selain dari yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo”. Permohonan Pemohon demikian, yaitu agar norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 dimaknai sebagaimana yang secara eksplisit tersurat dalam rumusan norma yang bersangkutan. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, permohonan a quo meminta penegasan agar tidak mengubah substansi yang telah diatur secara tegas dalam norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Dengan demikian, seandainya petitum Pemohon dikabulkan tidak akan mengubah esensi atau makna apapun norma a quo. Begitu pula sebaliknya apabila tidak dikabulkan oleh Mahkamah dengan sendirinya tidak akan mengubah esensi atau makna norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Dari perspektif interpretasi atau penafsiran hukum, suatu norma yang ditafsirkan sebagaimana rumusan eksplisitnya disebut sebagai penafsiran secara gramatikal atau penafsiran secara tata bahasa yang merujuk pada bahasa yang digunakan oleh pembentuk undang-undang. Penafsiran secara gramatikal adalah penafsiran yang paling utama dalam upaya memahami isi norma suatu undangundang. Apabila penafsiran secara gramatikal tidak mampu memberikan kejelasan, antara lain ketika terdapat norma yang ambigu, kabur, atau usang, barulah metode penafsiran lain dapat dipergunakan untuk membantu menemukan makna yang lebih sesuai. Bertolak dari konteks penafsiran demikian, norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 yang berbunyi “berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun” menurut Mahkamah adalah norma yang rumusannya telah terang, jelas dan tegas, sehingga tidak dimungkinkan untuk ditafsirkan lain selain yang termaktub dalam norma a quo.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun secara maknawi tidak ada kemungkinan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 diberi penafsiran lain. Namun, Mahkamah dapat memahami kekhawatiran Pemohon karena sering diubahnya syarat usia minimal menjadi hakim konstitusi, sehingga menempatkan Pemohon (yang berkeinginan menjadi hakim konstitusi) dalam kondisi ketidakpastian terutama mengenai kapan Pemohon memenuhi syarat untuk mengajukan diri menjadi calon hakim konstitusi. Perubahan syarat usia demikian juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon jikalau Pemohon kelak terpilih menjadi hakim konstitusi, yaitu di tengah masa jabatan potensial akan tidak memenuhi syarat usia minimal karena ada perubahan aturan berupa kenaikan syarat usia minimal. Terkait dengan hal demikian, penting untuk menegaskan bahwa Mahkamah tidak ingin terjebak dalam conflict of interest dalam memutus perkara a quo;
[3.14] Menimbang bahwa selama ini telah menjadi pendirian Mahkamah, pada dasarnya penentuan batasan usia bagi jabatan tertentu, baik usia minimal maupun usia maksimal, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) atau wilayah pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Akan tetapi tentu saja kebijakan hukum terbuka bukanlah kebijakan yang seluas-luasnya atau sebebas-bebasnya karena kebijakan hukum terbuka tetap saja dapat dibatasi. Dalam hal ini, merujuk sejumlah yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, batasan suatu rumusan norma undang-undang yang berkategori kebijakan hukum terbuka harus memenuhi syarat, antara lain:
1) tidak bertentangan dengan atau tidak mencederai UUD 1945 (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-VII/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XIII/2015);
2) bukan ketidakadilan yang intolerable (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008);
3) tidak bertentangan dengan hak politik (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 10/2008);
4) tidak dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUUVII/2009);
5) tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUUVII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-VII/2009);
6) tidak melanggar moralitas (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52- 59/PUU-VI/2008);
[3.15] Menimbang bahwa terkait dengan wacana perubahan UU MK, termasuk wacana perubahan yang berkaitan dengan syarat-syarat jabatan hakim konstitusi khususnya syarat usia minimal, usia pensiun, dan masa jabatan, Mahkamah menilai secara umum perubahan undang-undang merupakan sesuatu yang wajar karena hukum memang dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Perubahan hukum merupakan suatu yang niscaya demi tercapainya tujuan hukum, yaitu mengatur perihal lalu lintas hubungan antarmanusia demi melindungi kepentingan bersama. Oleh karena itu, dalam setiap upaya perubahan hukum harus selalu terkandung semangat untuk menciptakan kondisi yang lebih baik dibandingkan kondisi sebelumnya. Hal ini tidak lain karena hakikat perubahan hukum adalah mengubah, bahkan meniadakan atau mengganti tata aturan lama, untuk memunculkan tata aturan baru yang bermuara pada terciptanya kondisi baru yang lebih baik.
Berkenaan dengan hal tersebut, norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam kaitannya dengan perubahan hukum, in casu undang-undang, keberadaan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 antara lain menghendaki bahwa setiap perubahan hukum harus menjaga tegaknya kepastian hukum yang adil. Artinya, dalam setiap proses perubahan undang-undang maupun peraturan perundang-undangan, undangundang yang baru wajib menghargai, menjamin, serta menjaga status/kondisi terdahulu yang telah secara sah diraih/dicapai seseorang.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap permohonan a quo Mahkamah tidak menemukan persoalan sebagaimana yang dicontohkan dalam putusan-putusan di atas maka tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 karena merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undangundang. Bilamana pembentuk undang-undang benar akan mengubah undangundang yang sedang berlaku, termasuk perubahan UU MK, Mahkamah perlu menegaskan, setidaknya terdapat batasan atau rambu-rambu yang harus dijadikan pedoman oleh pembentuk undang-undang, yaitu antara lain perubahan undangundang tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang dimaksud. Khusus berkenaan dengan UU MK, terutama berkenaan dengan persyaratan usia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan Hakim Konstitusi yang sedang menjabat. Artinya bilamana pembentuk undangundang berkehendak untuk mengubah persyaratan, selain persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 termasuk perubahan masa jabatan (periodisasi), perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi Hakim Konstitusi yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah. Manakala ketentuan mengenai persyaratan dan masa jabatan diubah dan diberlakukan langsung kepada mereka yang sedang menjabat, maka dapat dikatakan perubahan demikian berdampak kepada yang sedang menjabat. Dalam kaitannya dengan dampak dari suatu perubahan undangundang yang demikian, UU 12/2011 telah menegaskan jaminan atau perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak perubahan ketentuan peraturan perundangundangan [vide Bagian C.4 angka 127 Lampiran II UU 12/2011]. Terlebih, apa yang dikhawatirkan Pemohon belum merupakan fakta hukum. Selain itu, apabila diletakkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, perubahan yang sering kali dilakukan, termasuk dengan mengubah syarat usia dan masa jabatan, jelas hal tersebut akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman dimaksud.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 apabila tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430