Partai Buruh yang diwakili oleh Ir. H. Said Iqbal, M.E (Presiden) dan Ferri Nuzarli, S.E., S.H. (Sekretaris Jenderal), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Said Salahudin, M.H., dkk. selaku kuasa hukum/advokat yang tergabung dalam Tim Hukum Partai Buruh, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
pengujian formil UU 6/2023
pengujian formil UU 6/2023
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap argumentasi Pemohon dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli Pemohon, dan Presiden, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis Pemohon dan Presiden, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon.
[3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak sesuai dengan syarat formil yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU 13/2022. Terhadap dalil a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa syarat formil yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52
UU 13/2022 berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah syarat yang mengatur mengenai limitasi waktu penetapan undang-undang. Isu konstitusional yang didalilkan Pemohon berkaitan dengan norma ini adalah bahwa penetapan UU 6/2023 tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang ditetapkan oleh Presiden harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut
dan harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Berkenaan dengan isu tersebut dalam proses pembentukan UU 6/2023, Mahkamah telah menilai dan mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 2 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo
adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR
dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.2] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan syarat yang diatur oleh Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU 13/2022 maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan penetapan UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan penetapan UU 6/2023 tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa para Pemohon mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Februari 2010. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, pasca perubahan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan oleh MPR semata, melainkan dilaksanakan menurut undang-undang dasar [vide Pasal 1 ayat (2) UUD 1945], sehingga kekuasaan negara dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat terdistribusi kepada masing-masing cabang kekuasaan lembaga negara yang saling mengawasi dan mengimbangi antara satu sama lain berdasarkan prinsip “checks and balances” sesuai dengan fungsinya masing-masing yang mengacu pada tujuan negara yang termuat dalam konstitusi. Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara, sehingga diperlukan proses legislative review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang-undang atau ditolak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang. Artinya, ketika sebuah perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang. Sehingga, ruang penilaian terhadap parameter kegentingan yang memaksa hanya ada di DPR dan telah selesai ketika DPR memberikan persetujuannya. Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022 [vide Konsiderans Menimbang huruf f Perppu 2/2022], hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil permohonan para Pemohon yang mempersoalkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.2] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan tidak terpenuhinya syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam penetapan UU 6/2023 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selain itu, menurut Pemohon pembentukan UU 6/2023 tidak sesuai dengan syarat partisipasi yang bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 a quo. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa berkenaan dengan isu anggapan penetapan Perppu 2/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU 6/2023 tidak sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah telah menilai dan mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.3] Bahwa persoalan selanjutnya yang disampaikan oleh para Pemohon adalah terkait dengan metode revisi UU 11/2020 dengan menggunakan bentuk hukum perppu. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah, perppu merupakan kewenangan konstitusional dan eksklusif yang melekat pada jabatan Presiden. Meskipun kewenangan konstitusional Presiden, namun kewenangan menerbitkan perppu tetap terdapat syarat konstitusional yang harus diperhatikan oleh Presiden dalam menggunakan kewenangan konstitusionalnya yaitu adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada sub-Paragraf [3.14.1] di atas. Artinya, norma konstitusi memang memberikan pilihan kebijakan hukum (diskresi) kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (presidential leadership legal policy) apakah akan menggunakan perppu atau tidak dalam merevisi UU 11/2020. Apabila langkah yang diambil Presiden adalah dengan menggunakan perppu, maka penilaian subjektivitas Presiden terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa, selanjutnya harus mendapatkan persetujuan DPR. Persetujuan DPR tersebut adalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasarkan fakta dalam persidangan, terungkap bahwa pertimbangan Presiden untuk mengambil langkah dengan menetapkan Perppu 2/2022 dilakukan terlebih dahulu untuk merevisi UU 11/2020 adalah karena terjadinya krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19 yang menerpa dunia termasuk Indonesia dan tidak diketahui kapan berakhirnya [vide keterangan tertulis DPR hlm. 11 dan keterangan Ahli Presiden dalam persidangan tanggal 23 Agustus 2023]. Sementara di sisi lain juga harus melakukan ikhtiar untuk mempertahankan performa perekonomian negara agar tidak jatuh sebagaimana negara-negara lainnya, sehingga perlu bauran kebijakan yang antisipatif dan solutif sekaligus memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan UU 11/2020 [vide keterangan tertulis Presiden hlm. 17]. Latar belakang demikian kemudian menjadikan perbaikan UU 11/2020 tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara luar biasa melalui penerbitan perppu oleh Presiden. Dalam hal perbaikan UU 11/2020 dilakukan dengan membuat undang-undang secara biasa (as usual), maka momentum antisipasi atas dampak krisis global yang tidak menentu dan berubah secara cepat, serta kepastian hukum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dapat hilang atau setidak-tidaknya berkurang, sehingga upaya pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis akan terlambat dan ujungnya berisiko bagi perekonomian negara. Hal demikian justru malah akan membawa Indonesia ke dalam situasi krisis dalam negeri yang akan berdampak terjadinya penurunan tingkat perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu, serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akibat selanjutnya dapat menimbulkan masalah sosial dan politik. Bahkan situasi tersebut juga akan berdampak langsung tidak hanya pada kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan kelompok masyarakat rentan lainnya karena mereka akan berhadapan langsung dengan dampak ketidakpastian situasi global, tetapi juga pada investor yang merasakan urgensi dalam mencari kepastian hukum untuk mengevaluasi kembali peluang investasi mereka di Indonesia setelah masa sulit yang panjang pasca Covid-19. Selain itu, untuk menghindari timbulnya stagnasi pemerintahan setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan terlebih dahulu pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta pengambilan kebijakan yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang membatasi ruang gerak pemerintah dalam melakukan antisipasi terhadap situasi dan kondisi tersebut.
[3.15.4] Bahwa pertimbangan Presiden dalam menetapkan Perppu 2/2022 tersebut kemudian telah dilakukan fungsi pengawasan dan penilaian (review) oleh DPR dan telah menempuh rangkaian proses pembentukan undang-undang di DPR hingga akhirnya mendapatkan persetujuan melalui UU 6/2023 yang merupakan bentuk akhir dari revisi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap UU 11/2020. Oleh karenanya, Mahkamah menilai, penetapan Perppu 2/2022 a quo merupakan pilihan kebijakan hukum Presiden (presidential leadership legal policy) yang sesuai dengan konstitusi dan merupakan satu kesatuan rangkaian dari upaya pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi terhadap UU 11/2020 yang pada akhirnya berujung pada diundangkannya UU 6/2023 sebagai hasil akhir perubahan terhadap UU 11/2020 sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020. Terlebih, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 11 UU 12/2011, kedudukan perppu adalah sederajat dengan undang-undang dan materi muatan perppu sama dengan materi muatan undang-undang. Artinya, perbaikan terhadap UU 11/2020 yang dituangkan ke dalam bentuk hukum Perppu 2/2022 yang kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi UU 6/2023 adalah memiliki kedudukan dan materi muatan yang sama dengan perbaikan dalam bentuk undang-undang, karena pilihan bentuk hukum, apakah dalam bentuk undang-undang atau perppu adalah domain pembentuk undang-undang dan pada dasarnya telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terlebih, menurut Mahkamah, tidak terdapat pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, dan jaminan kepastian hukum karena proses pembahasan perppu yang menjadi undang-undang justru merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat sekaligus memberikan kepastian hukum dalam negara hukum yang demokratis. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki kembali prosedural formal pembentukan UU 11/2020, bukan dengan menerbitkan perppu adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan ketidaksesuaian antara penetapan UU 6/2023 dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka pertimbangan pada Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketidaksesuaian antara penetapan UU 6/2023 dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon bahwa pembentukan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.15.5] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, berdasarkan kerangka hukum pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, sebuah perppu yang telah ditetapkan oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar tetap memiliki daya keberlakuan sebagai undang-undang. Pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR tersebut adalah dalam bentuk RUU. Namun demikian, walaupun dengan bentuk RUU (yang sama dengan undang-undang biasa), RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang memiliki karakter yang berbeda dengan RUU biasa, seperti mekanisme tahapan serta jangka waktu sebagaimana yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Karakter khusus dari RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut juga menyebabkan tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi mengikat secara absolut. Misalnya, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 telah menentukan pengertian dari asas keterbukaan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu tidak menempuh semua tahapan sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 a quo. Terlebih lagi, aspek kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat dalam penerbitan perppu menyebabkan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki keterbatasan/limitasi waktu sehingga menurut penalaran yang wajar, perlu ada pembedaan antara undang-undang yang berasal dari perppu dengan undang-undang biasa, termasuk dalam hal pelaksanaan prinsip meaningful participation. Oleh karena itu, proses persetujuan RUU penetapan perppu menjadi undang-undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena adanya situasi kegentingan yang memaksa sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat. Meskipun demikian, dalam proses pembahasan RUU penetapan Perppu menjadi UU tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, namun DPR wajib memberikan infromasi kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dan memberi masukan, seperti melalui aplikasi sistem informasi yang ada dalam laman resmi DPR.
[3.15.6] Bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan kemudian diakomodir dalam norma Pasal 96 UU 13/2022 dimaksudkan agar tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, pembentuk undang-undang memiliki kewajiban untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan kepada semua pihak, khususnya pihak yang terdampak dan yang berkepentingan atas pilihan kebijakan yang diambil atau ditetapkan tidak dapat diterapkan dalam hal pilihan kebijakan berupa perppu. Oleh karenanya, dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan, terlebih pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan. Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.4] Bahwa berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, oleh karena isu
konstitusionalitas yang dipermasalahkan Pemohon adalah berkenaan dengan penetapan UU 6/2023 dianggap tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation), maka pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk menjawab dalil dalam permohonan Pemohon a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan tidak terpenuhinya syarat partisipasi masyarakat yang bermakna dalam penetapan UU 6/2023 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai penetapan UU 6/2023 tidak sesuai dengan Pasal 42A UU 13/2022 karena menurut Pemohon, undang-undang a quo tidak ditetapkan dalam dokumen perencanaan padahal menggunakan metode omnibus, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut;
[3.17.1] Bahwa Pasal 42A UU 13/2022 pada pokoknya menyatakan penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Pemohon beranggapan pembentukan UU 6/2023 tidak melalui proses tersebut sehingga menyalahi prosedur pembentukan undang-undang. Untuk menjawab permasalahan ini, maka perlu dipahami terlebih dahulu latar belakang pembentukan UU 6/2023 a quo. UU 6/2023 pada dasarnya bukan merupakan undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan proses atau prosedur yang biasa, karena undang-undang a quo merupakan produk undang-undang yang berasal dari RUU penetapan Perppu menjadi undang-undang, sehingga latar belakang pembentukan UU 6/2023 tidak dapat dilepaskan dari pembentukan Perppu 2/2022 yang disahkan oleh undang-undang tersebut. Latar belakang dari pembentukan Perppu tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah sebagaimana pertimbangan di atas dan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang juga telah dikutip pada Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas. Dari pertimbangan tersebut telah disimpulkan bahwa penetapan Perppu 2/2022 yang kemudian menjadi UU 6/2023 menurut DPR telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Dengan perkataan lain DPR telah memberikan penilaian mengenai keterpenuhan syarat tersebut sehingga anggapan Pemohon mengenai pembentukan undang-undang a quo tidak memenuhi kriteria kegentingan yang memaksa telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.2] Bahwa penegasan mengenai penetapan Perppu 2/2022 yang kemudian disahkan menjadi UU 6/2023 dianggap memenuhi syarat kegentingan memaksa adalah penting untuk menjawab persoalan apakah pembentukan UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 42A UU 13/2022. Lahirnya perppu memang tidak melalui tahapan perencanaan, sebab perppu dibuat jika dan hanya jika terdapat unsur kegentingan yang memaksa yang secara faktual tidak setiap saat unsur tersebut ada. Dengan demikian, undang-undang yang merupakan produk hukum penetapan perppu menjadi undang-undang pun tidak akan dicantumkan dalam dokumen perencanaan sebagaimana diatur oleh Pasal 42A UU 13/2022. Hal ini berbeda halnya dengan undang-undang biasa yang harus direncanakan terlebih dahulu dalam program legislasi nasional. Pokok permasalahan yang disampaikan Pemohon berkenaan dengan hal ini lebih relevan untuk pembentukan undang-undang dengan prosedur biasa, sedangkan UU 6/2023 dibentuk sebagai produk yang melalui proses pengesahan perppu menjadi undang-undang, yaitu Perppu 2/2022 di mana keterpenuhan syarat kegentingan memaksa dari perppu tersebut telah dinilai dan disetujui oleh DPR. Sedangkan, berkenaan dengan metode undang-undang omnibus, menurut Mahkamah, baik UUD 1945 maupun UU 13/2022 tidak mengatur mengenai batasan materi apa saja atau bentuk undang-undang apa saja yang tidak dapat dibuat dalam bentuk perppu. Pasal 7 dan Pasal 11 UU 12/2011 juga menegaskan bahwa perppu baik dari segi kedudukannya maupun dari segi materi muatannya sederajat dengan undang-undang. Pembentukan perppu dan materi apa saja yang akan diatur dalam perppu tersebut merupakan hak prerogatif Presiden dalam rangka menghadapi dan menyikapi adanya kondisi kegentingan yang memaksa. Sepanjang syarat kegentingan yang memaksa tersebut telah dinilai dan disetujui oleh DPR, maka perppu tersebut kemudian harus disahkan sebagai undang-undang. Adapun mengenai substansi atau isi dari perppu yang telah disahkan menjadi undang-undang tersebut tetap merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya dalam penerapan kewenangan pengujian terhadap materi undang-undang atau pengujian materil norma undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah memandang bahwa pembentukan UU 6/2023 tidak seharusnya mengikuti syarat tercantumnya RUU dalam dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A UU 13/2022. Hal ini bukanlah pelanggaran terhadap prinsip negara hukum dan tidak melanggar perwujudan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil Pemohon a quo mengenai anggapan penetapan UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 42A UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14], Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] di atas, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Terhadap perkara a quo, keempat Hakim Konstitusi tersebut tetap memiliki pendapat yang sama sebagaimana dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430