Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam hal ini diwakili oleh Elly Rosita Silaban (Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI) dan Dedi Hardianto (Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional KSBSI), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
pengujian formil UU 6/2023
pengujian formil UU 6/2023
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil UU 6/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan persetujuan UU 6/2023 oleh DPR tidak dalam masa persidangan berikutnya setelah Perppu 2/2022 ditetapkan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait “persidangan yang berikut” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 2 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.14.6] Bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, dalam tataran implementasi, proses pembentukan undang- undang yang berasal dari perppu memiliki beberapa perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal demikian disebabkan karena karakter masing-masing perppu yang menjadi substansi undang-undang a quo memiliki perbedaan terkait dengan materi muatan yang berimplikasi pada terbitnya pengaturan yang luar biasa (extraordinary rules) yang disebabkan adanya perbedaan kondisi krisis atau situasi yang genting serta cara untuk mengantisipasi situasi dan kondisi tersebut sebagaimana telah diuraikan dalam sub-Paragraf [3.14.3] di atas. Pada kenyataannya, dalam perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Oktober 2021 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 2/2020), kondisi kegentingan yang dihadapi adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga membahayakan perekonomian nasional sehingga diperlukan tindakan dan pengaturan yang luar biasa untuk menangani kegentingan yang terjadi sekaligus memulihkan kondisi ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Fokus pengaturan dalam UU 2/2020 adalah memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo, Mahkamah memahami kebutuhan waktu yang sangat mendesak yang diperlukan oleh Presiden untuk dapat segera menangani kondisi pandemi serta memulihkan kondisi perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Sehingga Mahkamah berpendirian semakin cepat proses pembentukan UU 2/2020 maka Pemerintah memiliki landasan hukum yang jelas dan fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian, sehingga dapat segera menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dalam rangka mempercepat keadaan negara keluar dari krisis dan memburuknya perekonomian nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo menyatakan bahwa dalam hal jangka waktu persetujuan RUU yang berasal dari perppu disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang adalah pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan atau pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir apabila diajukan oleh Presiden pada masa reses.
[3.14.7] Bahwa berbeda halnya dengan pembentukan UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022 yang memiliki cakupan substansi pengaturan lebih luas yaitu mencakup 78 undang-undang yang meliputi berbagai sektor dan berisikan berbagai isu hukum dengan tujuan untuk mengatasi konflik (disharmonisasi) peraturan perundang-undangan serta menciptakan model pengurusan perizinan yang lebih terpadu, efektif, dan efisien dalam rangka menunjang ekosistem perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah dapat memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan oleh DPR dalam melakukan pembahasan dan pengkajian yang lebih mendalam yang berujung pada penilaian atas RUU 6/2023 yang diajukan oleh Presiden di penghujung berakhirnya Masa Persidangan II DPR Tahun 2022-2023. Terlebih, berdasarkan Pasal 52 UU 12/2011, sebenarnya Presiden memiliki waktu untuk mengajukan RUU tentang penetapan perppu menjadi undang- undang dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penetapan perppu atau dilakukan sampai dengan berakhirnya satu masa persidangan DPR setelah perppu ditetapkan. Faktanya, Presiden mengajukan RUU 6/2023 pada penghujung masa persidangan II DPR (9 Januari 2023). Hal demikian menurut Mahkamah menunjukkan adanya itikad baik (good faith) dari Presiden untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap perppu yang telah ditetapkan. Sementara, tenggang waktu yang disediakan oleh UU 12/2011 untuk mengajukan RUU a quo adalah sampai dengan berakhirnya masa persidangan III DPR, karena perppu dimaksud harus terlebih dahulu diajukan oleh Presiden ke DPR dalam persidangan yang berikut [vide Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011]. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis dalam proses pembentukan UU 6/2023 yang telah diuraikan pada sub-Paragraf [3.14.5] di atas. Adanya penambahan jangka waktu pembahasan sampai dengan pengambilan keputusan menyetujui atau menolak RUU 6/2023 yang memerlukan 2 (dua) Masa Sidang setelah penetapan Perppu 2/2022, yaitu pada Masa Sidang IV DPR tahun 2022-2023 dan tidak terdapat adanya upaya untuk membuang-buang waktu (wasting time) dalam membahas dan memberikan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 serta tidak melampaui atau masih dalam tenggang waktu masa sidang IV bagi undang-undang a quo sehingga memiliki dasar alasan yang kuat, rasional dan adil serta masih dalam pengertian “persidangan yang berikut” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon yang menyatakan proses persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang- undang pada tanggal 21 Maret 2023 yang terkait dengan “persidangan yang berikut” tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, yakni mempersoalkan terkait “persidangan yang berikut”. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan a quo.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan UU 6/2023 baru mendapat persetujuan DPR dalam masa sidang ke-2 (dua) setelah Perppu 2/2022 ditetapkan, sehingga Pengesahan Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengambilan keputusan persetujuan DPR atas RUU tentang Penetapan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022 –2023, yang dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2023 tidak memenuhi jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat (kuorum);
Terhadap dalil tersebut, Pemohon mengajukan alat bukti P-12 untuk menguatkan dalilnya yaitu, rekaman rapat paripurna yang menurut Pemohon merupakan rekaman Rapat Paripurna DPR RI tanggal 21 Maret 2023 yang disiarkan melalui TV Parlemen dan menunjukkan rapat paripurna dimaksud dengan memperlihatkan rapat paripurna hanya dihadiri oleh sejumlah 285 anggota DPR RI dengan keterangan hadir sejumlah 75 anggota DPR RI secara fisik, hadir sejumlah 210 anggota DPR RI secara virtual, dan sejumlah 95 anggota DPR RI izin. Terhadap dalil yang dikemukakan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk memeriksa bukti lampiran secara saksama baik yang disampaikan oleh Pemohon maupun yang diajukan oleh DPR, in casu Laporan Kehadiran Anggota Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kepala Bagian Persidangan Paripurna, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2023. Setelah mencermati dengan saksama, ditemukan fakta hukum bahwa kehadiran yang tercatat pada Laporan Kehadiran Anggota Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Selasa 21 Maret 2023 tersebut adalah sejumlah 111 anggota DPR RI hadir secara fisik, sejumlah 237 anggota DPR RI hadir secara virtual, dan sejumlah 155 anggota DPR RI izin [vide lampiran 7 Keterangan DPR RI]. Sehingga, didapati sejumlah 348 anggota DPR RI hadir baik secara fisik maupun virtual dalam rapat paripurna pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2023, dengan agenda yang di antaranya adalah berkenaan dengan Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Dalam keterangannya, DPR menyatakan jumlah final penghitungan kehadiran sidang-sidang paripurna DPR RI, merupakan kewenangan dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI, selaku unit kerja yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penghitungan jumlah kehadiran anggota DPR RI dalam persidangan paripurna di DPR RI. Sehubungan dengan hal tersebut, kewenangan Setjen DPR RI dalam melakukan penghitungan jumlah kehadiran anggota DPR RI dalam sidang diatur dalam Pasal 279 ayat (3) dan ayat (7) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR RI 1/2020) yang menyatakan:
“(3) Ketidakhadiran Anggota dalam rapat harus mendapat izin dari Pimpinan Fraksi dan diberitahukan secara tertulis dengan disertai alasan, serta disampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR;
(4).....;
(5) dst;
(7) Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Bahwa berkenaan dengan hasil akhir penghitungan jumlah kehadiran anggota DPR RI dalam sidang, selanjutnya dilaporkan secara periodik kepada pimpinan Fraksi, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 280 Tatib DPR RI 1/2020. Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, menurut Mahkamah perhitungan jumlah akhir kehadiran anggota DPR RI yang memenuhi jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat (kuorum) merupakan suatu keharusan. Oleh karenanya, pelaksanaan konfirmasi dan verifikasi keabsahan dari anggota DPR RI secara periodik melalui Setjen DPR RI, merupakan wujud sikap kehati-hatian yang perlu dilakukan guna mencegah terjadinya potensi pelanggaran terhadap Tatib DPR RI 1/2020, khususnya berkenaan dengan kuorum. Selain itu, tidak terdapat bukti lain yang diajukan oleh Pemohon berkenaan adanya keberatan maupun interupsi dari para peserta rapat yang hadir baik secara fisik maupun virtual berkenaan dengan jumlah anggota DPR RI yang tidak memenuhi kuorum dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 21 Maret 2023 tersebut. Adapun, dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang telah disepakati oleh 7 (tujuh) Fraksi dan ada 2 (dua) Fraksi yang menyatakan tidak setuju, yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam hal ini, keberatan tersebut hanya berkenaan dengan persetujuan tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa rapat paripurna dengan agenda Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang tidak terpenuhinya syarat kuorum untuk mengesahkan RUU a quo. Terlebih, berdasarkan ketentuan Tatib DPR RI 1/2020 Pasal 313 ayat (1) yang pada pokoknya pengambilan keputusan suara terbanyak adalah sah apabila dihadiri oleh anggota dan unsur Fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (1) dan disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Anggota yang hadir. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan jumlah anggota yang tercatat hadir oleh Setjen DPR RI dalam kegiatan rapat paripurna Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang berjumlah 348 anggota DPR RI dan dikurangi dengan jumlah 2 (dua) Fraksi yang keberatan yaitu, Fraksi Demokrat sejumlah 31 anggota dan Fraksi PKS sejumlah 30 anggota maka, total Anggota DPR RI yang menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang adalah sejumlah 285 Anggota DPR RI, sehingga tetap memenuhi kuorum karena Keputusan suara terbanyak adalah sah apabila dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi serta disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Anggota yang hadir [vide Pasal 313 ayat (1) Tatib DPR RI 1/2020]. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon mengenai pengambilan keputusan persetujuan DPR atas RUU tentang Penetapan Perppu 2/2022 menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022–2023, yang dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2023 tidak memenuhi jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat (kuorum) adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, serta asas kejelasan rumusan, sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf c, dan huruf f, UU 12/2011, Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam hal pengujian formil pembentukan undang-undang pada umumnya berbeda dengan pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu. Sementara itu, Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan serta asas kejelasan rumusan. Oleh karena UU 6/2023 adalah undang-undang yang berasal dari perppu dan pengujian permohonan a quo adalah pengujian formil, sedangkan dalil Pemohon adalah berkenaan dengan pengujian materiil, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang berkenaan dengan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas keterbukaan karena minimnya keterlibatan partisipasi masyarakat termasuk Pemohon. Bahwa berkaitan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah memberikan penilaiannya terkait “pemenuhan asas keterbukaan dalam UU 6/2023” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011, yang telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, yang telah diucapkan sebelumnya, khususnya dalam pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15.5] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, berdasarkan kerangka hukum pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu, sebuah perppu yang telah ditetapkan oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar tetap memiliki daya keberlakuan sebagai undang-undang. Pengajuan perppu oleh Presiden kepada DPR tersebut adalah dalam bentuk RUU. Namun demikian, walaupun dengan bentuk RUU (yang sama dengan undang-undang biasa), RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang memiliki karakter yang berbeda dengan RUU biasa, seperti mekanisme tahapan serta jangka waktu sebagaimana yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Karakter khusus dari RUU tentang penetapan perppu menjadi undang-undang tersebut juga menyebabkan tidak semua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU 12/2011 menjadi mengikat secara absolut. Misalnya, Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 telah menentukan pengertian dari asas keterbukaan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mekanisme pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu tidak menempuh semua tahapan sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 a quo. Terlebih lagi, aspek kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat dalam penerbitan perppu menyebabkan proses pembentukan undang-undang yang berasal dari perppu memiliki keterbatasan/limitasi waktu sehingga menurut penalaran yang wajar, perlu ada pembedaan antara undang-undang yang berasal dari perppu dengan undang-undang biasa, termasuk dalam hal pelaksanaan prinsip meaningful participation. Oleh karena itu, proses persetujuan RUU penetapan perppu menjadi undang-undang di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) secara luas karena adanya situasi kegentingan yang memaksa sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat. Meskipun demikian, dalam proses pembahasan RUU penetapan Perppu menjadi UU tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, namun DPR wajib memberikan infromasi kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dan memberi masukan, seperti melalui aplikasi sistem informasi yang ada dalam laman resmi DPR.
[3.15.6] Bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan kemudian diakomodir dalam norma Pasal 96 UU 13/2022 dimaksudkan agar tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian, pembentuk undang-undang memiliki kewajiban untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan kepada semua pihak, khususnya pihak yang terdampak dan yang berkepentingan atas pilihan kebijakan yang diambil atau ditetapkan tidak dapat diterapkan dalam hal pilihan kebijakan berupa perppu. Oleh karenanya, dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan, terlebih pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan. Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh Presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum.
Setelah membaca secara saksama pertimbangan hukum tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023, oleh karena isu konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam permohonan a quo, pada intinya tidak berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana yang telah diucapkan sebelumnya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum terhadap dalil Pemohon dalam permohonan a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 6/2023 tidak memenuhi asas keterbukaan karena minimnya keterlibatan partisipasi masyarakat termasuk Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.17] di atas, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Terhadap perkara a quo, keempat Hakim Konstitusi tersebut tetap memiliki pendapat yang sama sebagaimana dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang telah diucapkan sebelumnya.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata proses pembentukan UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 6/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430