Gulfino Guevarrato yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Donny Tri Istiqomah, S.H., M.H., dkk, Advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum “DNLAW”, untuk selanjutnya disebutsebagai Pemohon.
Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017
Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah memaknai Pasal 169 huruf n UU 7/2017, dari sebelumnya rumusan Pasal a quo menyatakan, “belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, untuk ditambahkan maknanya dengan, “atau belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama”, sehingga Pasal 169 huruf n UU 7/2017 dimaknai, “belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, atau belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama.”
Permintaan pemaknaan sebagaimana diuraikan Pemohon demikian, menurut Mahkamah ternyata bukan sekadar memberikan makna baru atas rumusan norma tertentu, in casu norma dalam Pasal 169 huruf n UU 7/2017, melainkan permintaan agar memunculkan/membuat norma baru yang secara substansial (kategoris) tidak berkaitan langsung dengan norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017. Di sini, menurut Mahkamah istilah yang lebih tepat bagi permohonan Pemohon adalah permohonan agar Mahkamah membuat norma baru dan sekaligus memohon untuk menambahkan persyaratan baru, dan bukan “sekadar” memaknai atau pun memberi makna baru.
[3.11.2] Bahwa syarat pencalonan menjadi Presiden atau Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n UU 7/2017, yaitu “belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, pada dasarnya merujuk pada rumusan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak dua kali masa jabatan, atau dua periode masa jabatan, dalam jabatan yang sama.
Norma yang oleh Pasal 7 UUD 1945 ditujukan sebagai pembatasan masa jabatan, oleh Pasal 169 UU 7/2017 diambil alih kemudian dikonversi/diubah menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh calon presiden dan calon wakil presiden. Dengan kata lain, seseorang yang sudah pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dilarang untuk maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Perihal pembatasan masa jabatan yang demikian, Mahkamah telah mengadili dan memutus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 28 Februari 2023.
Dari sisi perumusan/pembentukan undang-undang, isi/makna norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 demikian menurut Mahkamah sudah cukup jelas dan tegas. Sehingga, manakala Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan makna tambahan (yang sama sekali baru dan tidak berkaitan dengan makna dari rumusan aslinya), yaitu mengenai pembatasan frekuensi/jumlah pencalonan maksimal 2 (dua) kali, permintaan demikian tidak saja membuat makna baru atas norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 namun juga menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.11.3] Bahwa selain itu, Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan terdahulu, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, telah mengambil sikap untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi pembatasan-pembatasan bagi warga negara Indonesia yang ingin menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, Pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat tertentu yang jika dikabulkan akan membatasi atau mengurangi derajat kebebasan warga negara Indonesia untuk maju sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden.
Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon yang meminta agar Pasal 169 huruf n UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, atau belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama”, adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan pengujian inkonstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017, terlebih dahulu Mahkamah mempertimbangkan bahwa objek permohonan a quo tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara itu, berkenaan dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah telah menjatuhkan Putusan atas Perkara a quo yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 16 Oktober 2023, di mana terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, terlepas dalam Putusan a quo terdapat hakim konstitusi yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion), berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan [vide Pasal 47 UU MK], bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan Pemohon. Dengan demikian, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, dalil Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon sepanjang Pasal 169 huruf n UU 7/2017 tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan terhadap permohonan Pemohon sepanjang Pasal 169 huruf q UU 7/2017, menurut Mahkamah kehilangan objek.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya.
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dissenting Opinion Hakim Suhartoyo
[6.1] Menimbang bahwa berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-XXI/2023 saya Suhartoyo, Hakim Konstitusi, memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion), dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: Bahwa sebagaimana pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 di mana saya tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada para Pemohon dengan alasan bahwa para Pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan angsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden, sehingga Pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya. Oleh karena itu, pendapat berbeda (Dissenting Opinion) saya dalam perkara a quo pun, tetap merujuk pada pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang saya jadikan rujukan dalam pendapat berbeda (Dissenting Opinion) Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 yang pertimbangan hukumnya antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon dalam Pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, sebagai Pemohon I; Anthony Winza Probowo, SH., LL.M, sebagai Pemohon II; Danik Eka Rahmaningtyas, S.Psi., sebagai Pemohon III; Dedek Prayudi, B.A., M.Sc., sebagai Pemohon IV; dan Mikhail Gorbachev Dom, S.Si., M.Si., sebagai Pemohon V, tidak dapat dilepaskan dari filosofi yang terkandung di dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 secara keseluruhan. Oleh karena itu, berkenaan dengan subjek hukum yang menjadi adressat dalam norma Pasal a quo adalah berkaitan dengan keterpenuhan syarat formal seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Bahwa oleh karena itu, apabila dicermati ketentuan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 UU 7/2017 diletakkan pada Bab II tentang peserta dan persyaratan mengikuti Pemilu dan pada Bagian Kesatu tentang persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Dengan demikian pada hakikatnya persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah merupakan persyaratan yang melekat pada diri subjek hukum yang bersangkutan yang belum dapat dikaitkan dengan persyaratan lainnya, misalnya berkaitan dengan tata cara pengusulan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, serta tata cara penentuan, pengusulan dan penetapan sebagaimana diantaranya yang dimaksudkan dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017, yang masing-masing menyatakan:
Pasal 221:
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Pasal 222:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya
3. Bahwa dengan mencermati adanya unsur pemisah antara esensi syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 dengan norma di antaranya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan norma Pasal 221 dan Pasal 222 UU 7/2017, maka sesungguhnya ketentuan-ketentuan dimaksud telah membuktikan bahwa filosofi dan esensi yang dimaksudkan dalam norma Pasal 169 UU 7/2017 adalah benar hanya diperuntukkan untuk subjek hukum yang bersifat privat guna dapat terpenuhinya syarat formal untuk selanjutnya dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, ketika seseorang yang pada dirinya bukan sebagai subjek hukum yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, maka sesungguhnya subjek hukum dimaksud tidak dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169 UU 7/2017 a quo.
4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, terhadap permohonan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang pada pokoknya memohonkan inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain adalah permohonan yang didasarkan pada tidak adanya hubungan hukum antara para Pemohon dalam perkara a quo dengan subjek hukum yang dikehendaki dalam petitum permohonannya. Dengan kata lain, tidak adanya hubungan kausalitas antara hak konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan putusan Mahkamah Konstitusin Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Dengan demikian terhadap para Pemohon tidak terdapat adanya anggapan kerugian baik aktual maupun potensial dan oleh karena itu terhadap para Pemohon tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan a quo dan oleh karenanya seharusnya Mahkamah menegaskan permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) pada perkara 29/PUU-XXI/2023 sebagaimana tersebut di atas terhadap Pemohon dalam permohonan a quo pun saya berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo “menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima“.
Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 sebagaimana tersebut di atas, terhadap Pemohon dalam permohonan a quo pun saya berpendapat pada Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo sepanjang berkaitan dengan pengujian norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430