Diajukan oleh Sutanto, dalam hal ini diwakili oleh Sabela Gayo, S.H., MH., Ph.D, CPCLE advokat pada Sabela Gayo & Partners berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 26 April 2018
Pasal 180A dan Pasal 427A huruf (a) UU MD3
Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) UUD Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama
permohonan Pemohon, maka terhadap dalil Pemohon yang menyatakan
bahwa ketentuan yang terdapat dalam kedua norma Pasal a quo
merugikan hak konstitusional Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu
meletakkan penilaian apakah Pemohon dalam kualifikasinya sebagai
perseorangan warga negara Indonesia mampu menerangkan “adanya hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945” dan “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya norma Undang- Undang
yang dimohonkan pengujian” ke Mahkamah Konstitusi. Penekanan atas
hal dimaksud terutama disebabkan bangunan dalil Pemohon yang
menyatakan, adanya kerugian atau potensi kerugian konstitusional
disebabkan oleh berlakunya Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a UU MD3.
Menurut Pemohon, apabila permohonan dikabulkan, potensi kerugian
konstitusional Pemohon tidak akan terjadi.
2) Menimbang bahwa terhadap dalil yang menjelaskan ihwal
kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat mengajukan permohonan
a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :
[1] Bahwa ihwal dalil Pemohon “adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945” dengan
berlakunya Pasal 180A UU MD3 dengan argumentasi telah menimbulkan
ketidakpastian hukum yang didasarkan kepada Pasal 23 UUD 1945, hal
mendasar yang harus dijelaskan oleh Pemohon adalah apakah benar
dengan berlakunya norma Pasal 180A UU MD3 telah merugikan hak
konstitusional Pemohon. Secara konstitusional, Pasal 23 UUD 1945 adalah
pengaturan yang terkait dengan pemaknaan dan tata-cara penyusunan
APBN. Khusus dalam proses penyusunan RAPBN menjadi APBN, Pasal 23
UUD 1945 lebih mengatur bagaimana pola hubungan antara DPR dan
pemerintah (dalam hal ini Presiden) dalam pengajuan, pembahasan dan
persetujuan RAPBN menjadi APBN dalam satu tahun anggaran. Dengan
pengaturan demikian dan apabila dikaitkan dengan norma yang terdapat
dalam Pasal 180A UU MD3, tidak menunjukkan terdapatnya hubungan
antara proses penyusunan APBN dengan ketidakpastian hukum yang
mungkin dialami Pemohon. Pengaturan norma dalam Pasal 180A UU MD3
lebih merupakan mekanisme internal DPR dalam membahas RAPBN.
Sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018, “posisi UU MD3 yang pada
prinsipnya berkenaan dengan pengaturan perihal susunan dan kedudukan
lembaga-lembaga perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga
pada dasarnya seharusnya memuat norma yang berlaku secara internal
terhadap lembaga tersebut” [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
16/PUU-XVI/2018, halaman 187]. Dengan karakter norma yang lebih
bersifat internal, menurut Mahkamah, terlalu jauh mengaitkan
keberlakuan norma Pasal 180A UU MD3 dengan kerugian atau potensi
kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Lagi pula, apapun bentuk
pengambilan keputusan di internal, selama produk akhirnya berupa
undang-undang, putusan finalnya akan dilakukan di tingkat forum
tertinggi, yaitu sidang paripurna. Apalagi, proses internal di DPR mesti
dibahas bersama terlebih dulu dengan pemerintah sebelum dibawa ke
level tertinggi pengambilan keputusan berupa persetujuan bersama di
sidang paripurna. Dengan demikian, tidak terdapat alasan yang cukup
untuk menerima argumentasi Pemohon bahwa dalam kualifikasi Pemohon
sebagai perseorangan warga negara Indonesia berlakunya norma Pasal
180A UU MD3 telah mengakibatkan adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 menjadi dirugikan.
[2] Bahwa ihwal dalil Pemohon “adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945” dengan
berlakunya Pasal 427A huruf a UU MD3 telah menimbulkan ketidakpastian
hukum dengan mendasarkan kepada Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2),
dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sama halnya dengan argumentasi di
atas, hal paling mendasar yang harus dijelaskan adalah apakah dengan
berlakunya Pasal 427A huruf a UU MD3 telah merugikan atau potensial
merugikan hak konstitusional Pemohon. Selain sebagai pengaturan
internal lembaga perwakilan, karakteristik pengaturan norma dalam Pasal
427A huruf a UU MD3 lebih menjelaskan keterkaitan unsur pimpinan MPR
dan unsur pimpinan DPR dengan fraksi yang menaungi partai politik di
DPR. Dengan demikian, berlakunya Pasal 427A huruf a UU MD3 tidak
dapat dinilai telah mengakibatkan hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan.
3) Menimbang bahwa berdasarkan uraian pada paragraf-paragraf di
atas, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 180A UU MD3 yang menyatakan, “Sebelum pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang tentang APBN antara Badan Anggaran dan Pemerintah pada Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, Badan Anggaran wajib mengkonsultasikan dan melaporkan hasil pembahasan atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dalam rapat pimpinan DPR”, merupakan penjelasan mengenai kewajiban bagi badan anggaran untuk mengkonsultasikan dan melaporkan terlebih dahulu hasil pembahasan atas rancangan Undang-Undang APBN dalam rapat pimpinan DPR sebelum proses pengambilan keputusan, serta Pasal 427A huruf a UU MD3 yang menyatakan “pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhirnya periode keanggotaan MPR dan DPR hasil pemilihan umum Tahun 2014”, merupakan penegasan terhadap masa jabatan Pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat pada saat undang-undang diundangkan berlaku hingga saat berakhirnya periode keanggotaan. Menurut Mahkamah, hak konstitusional Pemohon tidak menjadi hilang atau terganggu dengan berlakunya Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a UU MD3 dimaksud.
4) Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan
Pemohon adalah pemilih dalam pemilihan umum dan karenanya memiliki
hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang, menurut
Mahkamah, Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan umum tidak serta-
merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan
setiap permohonan pengujian undang-undang. Pemohon dapat memiliki
kedudukan hukum (legal standing) apabila Pemohon dapat menjelaskan
adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak
konstitusional atas berlakunya undang- undang yang diuji adalah dalam
kaitannya dengan status Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan
umum memang menunjukkan kerugian yang nyata atau potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
5) Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, tidak
terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa tidak
terdapat kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon baik yang
bersifat aktual ataupun potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal 180A dan Pasal
427A huruf a UU MD3, sehingga dengan sendirinya tidak terdapat
hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang
dimaksudkan oleh Pemohon dengan berlakunya penjelasan pasal dalam
Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian,
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
6) Menimbang, bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili
Permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo
maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan lebih
lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430