Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Partai Garuda yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda) dan Yohanna Murtika (Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda), yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Desmihardi, S.H., M.H., dkk., yang tergabung dalam Tim Advokat Kantor Hukum MAD & Partners untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf q UU 7/2017

Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden di bawah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil permohonan a quo, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023 sebagaimana telah diucapkan sebelumnya, bertanggal 16 Oktober 2023. Dalam putusan a quo, Mahkamah telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa selanjutnya dalam kaitannya dengan perkara a quo, apakah terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mengecualikan norma persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang meskipun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun merupakan persoalan konstitusional, sehingga penentuannya tidak diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, pengaturan persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, termasuk mengenai batas usia minimal sebagaimana telah diuraikan risalah pembahasan persyaratan Presiden dalam Sub-Paragraf [3.18.2] di atas, di mana telah disepakati oleh pengubah UUD bahwa ihwal persyaratan dimasukkan dalam bagian materi yang akan diatur dengan undang-undang [vide Pasal 6 ayat (2) UUD 1945]. Sehingga, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan materi undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pilihan pengaturan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Kedua, jika norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 didalilkan para Pemohon bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sebab diskriminatif terhadap warga negara Indonesia yang berusia kurang dari 40 (empat puluh) tahun maka dengan menggunakan logika yang sama, dalam batas penalaran yang wajar, menurunkannya menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun tentu dapat juga dinilai merupakan bentuk pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi bagi yang berusia di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun atau batasan-batasan usia tertentu di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun, terutama bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih, yaitu warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin [vide Pasal 198 ayat (1) UU 7/2017]. Oleh karena itu, dalam hal ini, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Selain itu, jika Mahkamah menentukannya maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, norma pengaturan persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam perkembangannya sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-Paragraf [3.18.1] di atas berbeda-beda pengaturannya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari waktu ke waktu terutama sejak dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Sebelum perubahan UUD 1945 atau pada waktu dipilih MPR, syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan harus telah berusia 40 (empat puluh tahun), sedangkan setelah perubahan UUD 1945 untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, tahun 2009, dan tahun 2014 ditentukan sekurangkurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019, syarat usia bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan menjadi paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, terlepas dari perbedaan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam beberapa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pilihan kebijakan lembaga yang berwenang menentukan batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak pernah menimbulkan problematika kelembagaan kepresidenan. Artinya, pemilihan umum calon Presiden dan calon Wakil Presiden tetap dapat dilaksanakan, tidak terjadi kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga kepresidenan hingga menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Keempat, tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat dipersamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Dalam hal ini, misalnya tidak dapat dipersamakan dengan persyaratan batas minimal usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perubahan norma batas minimal usia calon pimpinan KPK telah ternyata menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif terhadap seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, sehingga Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 memberi alternatif persyaratan lain, yakni “atau berpengalaman” dengan mempertimbangkan bahwa subyek dan jabatan yang akan diikuti dalam proses seleksi nantinya berada dalam jabatan yang sama. Oleh karenanya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUUXX/2022, Mahkamah memutuskan secara alternatif tanpa mengubah ketentuan syarat usia yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga tidak dapat dikatakan sebagai norma yang bersifat diskriminatif sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena norma yang bersifat diskriminatif adalah apabila norma tersebut membuat perlakuan berbeda yang semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan perkembangan pengaturan persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden, original intent terhadap Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta putusan-putusan Mahkamah terkait dengan batas usia bagi jabatan publik, persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Bagi Mahkamah yang penting penentuan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak boleh menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara yang dalam penalaran wajar potensial diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal tersebut, keinginan DPR dan Presiden sebagaimana tersurat dalam keterangannya mengharapkan agar tolok ukur batasan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden disesuaikan dengan dinamika perkembangan usia produktif, menurut Mahkamah hal demikian menjadi ranah kewenangan DPR dan Presiden untuk membahas dan memutuskannya dalam pembentukan undangundang. Terlebih lagi, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan syaratsyarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undangundang, dalam hal ini batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden termasuk syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sepenuhnya merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Oleh karena itu, dalil permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13.2] Bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023, antara lain terkait batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden maka pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023 di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum permohonan a quo.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden bertentangan dengan Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan “memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara” seharusnya menjadi pengecualian persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan pengertian penyelenggara negara, terdapat sejumlah pengaturan dalam beberapa undang-undang, sebagai berikut:
Pertama, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/1999) mendefinisikan penyelenggara negara sama dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara Negara menurut UU 28/1999 meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang dimaksud dengan pejabat lainnya dalam Penjelasan UU a quo misalnya Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Kedua, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mendefiniskan penyelenggara negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apatur Sipil Negara menggunakan istilah pejabat negara yaitu, Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; Gubernur dan wakil gubernur; Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan pengaturan di beberapa undang-undang di atas baik dari pengertian maupun jenis penyelenggara negara sangat beragam, namun demikian bukan berarti tidak dapat dibedakan. Salah satu cara membedakannya yakni dilihat dari bagaimana jabatan tersebut diisi. Terdapat beberapa penyelenggara negara yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials) seperti presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati, serta anggota lembaga perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Selain itu, terdapat pula penyelenggara negara yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan diangkat atau ditunjuk (appointed officials) oleh presiden, seperti menteri serta penyelenggara negara yang proses pengisiannya melibatkan presiden dan DPR, seperti komisioner beberapa lembaga negara. Dengan demikian, tidak semua penyelenggara negara dapat dipersamakan karena adanya perbedaan salah satunya berkenaan dengan cara pengisian jabatan tersebut.

[3.14.2] Bahwa apabila dihubungkan dengan permohonan Pemohon, persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dikecualikan bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara justru akan menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Karena, jenis penyelenggara negara sangat beragam, dan sebagai jabatan puncak/tertinggi kekuasaan eksekutif maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden memiliki karakteristik berbeda bahkan tanggung jawab lebih besar dibandingkan dengan penyelenggara negara lainnya. Dengan tidak memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama menurut Mahkamah bukanlah suatu bentuk diskriminasi. Terlebih lagi permohonan Pemohon tidak membedakan jabatan yang dipilih dan diangkat, namun hanya menyatakan bagi penyelenggara negara tanpa kecuali, sehingga apabila disamakan justru akan menimbulkan ketidakadilan.
Bahwa dengan beragamnya jenis/karakteristik penyelenggara negara seperti diuraikan di atas, Mahkamah harus membatasi dirinya untuk tidak menentukan jabatan penyelenggara negara mana saja yang dapat menjadi konversi dari batasan usia minimal untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Terlebih lagi konversi dimaksud dapat dipandang sebagai upaya untuk mensiasati batasan usia minimal dimaksud yang telah sejak lama dinilai sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Dengan demikian, upaya konversi yang dimohonkan oleh Pemohon harus pula diserahkan kepada pembentuk undangundang, sehingga Mahkamah konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, termasuk Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 29/PUU-XXI/20023 yang diucapkan sebelumnya.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dikecualikan bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara” telah ternyata tidak melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.