Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo selaku Ketua Umum dan Dea Tunggaesti selaku Sekretaris Jenderal untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon I, Anthony Winza Probowo, S.H., LL.M untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon II, Danik Eka Rahmaningtyas, S. Psi. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon III, Dedek Prayudi, B.A., M.Sc. untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV dan Mikhail Gorbachev Dom, S.SI, M.SI., warga negara Indonesia, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V. Yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Francine Widjojo, S.H., M..H., dkk yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Partai Solidaritas Indonesia (LBH PSI), untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
Pasal 169 huruf q UU 7/2017
Pasal 6A ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa untuk menjawab dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah merunut terlebih dahulu pengaturan tentang syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945, berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) hingga pemilihan umum pertama di bawah rezim Orde Baru pada tahun 1971. Dalam kaitan ini, telah ternyata dalam UUD 1945 yang disusun oleh para pendiri negara tidak mengatur perihal batas minimum usia untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Untuk itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum Perubahan UUD 1945 berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (TAP MPR II/1973). Berkenaan dengan syarat orang Indonesia asli telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sedangkan, selain mengatur perihal syarat orang Indonesia asli tersebut untuk Presiden dan Wakil Presiden, mengenai batas usia untuk dapat dipilih oleh MPR sebagai Presiden dan wakil Presiden telah berusia 40 (empat puluh) tahun diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b TAP MPR II/1973. Selanjutnya, berdasarkan Konsiderans Menimbang huruf b, karena TAP MPR II/1973 dipandang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan demokrasi maka TAP MPR II/1973 diganti dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/1999 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (TAP MPR VI/1999). Sekalipun terjadi pergantian, berkenaan dengan syarat usia minimal Presiden dan Wakil Presiden tidak mengalami perubahan pengaturan, yakni orang Indonesia asli yang telah berusia berusia 40 (empat puluh) tahun [vide Pasal 1 ayat (1) huruf b TAP MPR VI/1999].
Bahwa setelah perubahan UUD 1945, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden untuk pertama kalinya dilaksanakan secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004. Untuk itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 UUD 1945 sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan, pembentuk undang-undang menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 23/2003) sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004. Berkenaan dengan syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, norma Pasal 6 huruf q UU 23/2003 menyatakan calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus memenuhi syarat berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Dalam perkembangannya, UU 23/2003 diganti dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dan tahun 2014. Dalam kaitan ini, pengaturan persyaratan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak mengalami perubahan. Norma Pasal 5 huruf o UU 42/2008 menyatakan, berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Pengaturan mengenai syarat minimum usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden baru mengalami perubahan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, karena dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 ditentukan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden salah satunya berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
[3.18.2] Bahwa para Pemohon dalam mendalilkan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menyatakan norma tersebut bertentangan dengan original intent UUD 1945. Terhadap dalil a quo, penting pula bagi Mahkamah untuk melacak risalah perdebatan dalam pembahasan perubahan UUD 1945, terutama perdebatan sekitar persyaratan Presiden sebagaimana tertuang dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002”, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I, Penerbit: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (2010)”.
Bahwa persyaratan Presiden yang mengkaitkan dengan usia mengemuka pertama kali pada Rapat PAH I BP MPR Ke-19, 23 Februari 2000, dengan agenda Dengar Pendapat dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Anton Reinhart dari UKI mengemukakan:
“Kemudian perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 40 tahun dan telah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal dalam negara Republik Indonesia.” [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 142].
Masih dalam rangkaian agenda dengar pendapat, pada Rapat PAH I Ke26, tanggal 3 Maret 2000, Irma Alamsyah dari Kowani mengusulkan agar syarat Presiden telah berumur minimal 40 tahun. Dalam usia tersebut, baik pria maupun wanita dianggap sudah cukup matang dalam kepemimpinan, baik dari segi fisik maupun pikiran [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 156].
Berikutnya, pada Rapat PAH I Ke-34, tanggal 24 Mei 2000, dengan agenda membahas usulan Fraksi, F-PDIP melalui juru bicaranya, Soewarno, mengusulkan:
.. “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya tiga puluh lima tahun.” Bukan empat puluh, sekurang-kurangnya [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 159].
Berbeda dengan pendapat F-PDIP, F-PBB melalui juru bicaranya, Hamdan Zoelva, menyampaikan usulan agar syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden minimal berusia 40 tahun [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 161]. Selanjutnya, F-UG melalui juru bicaranya, Soedijarto sepakat dengan usulan Tim Ahli yang salah satunya menyatakan Presiden dan Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya 40 tahun [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 165]. Sementara itu, Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyampaikan persoalan batasan usia sekurang-kurangnya 40 tahun menurutnya harus dicermati ulang, apakah persyaratan tersebut harus diatur dalam UUD atau cukup diatur di dalam undangundang saja [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 166].
Pembicara selanjutnya Affandi dari F-TNI/Polri memaparkan syarat keadaan diri termasuk syarat usia Presiden diatur dengan undang-undang, sebagai berikut:
… Apabila kelak kemudian hari kemungkinan di dalam dinamika ada perubahan misalnya tentang umur tadi dengan kemajuan kita mungkin barangkali sedini mungkin orang itu dimungkinkan untuk mendapat pengalaman maturitas yang tinggi, mungkin lebih dini lagi, atau mungkin mortalitasnya makin panjang, umur makin panjang juga, usia efektif makin makmur. Ini perubahan akan lebih mudah apabila ditingkat undangundang, bukan di Undang-Undang Dasar ... [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 178].
Penolakan terhadap pencantuman batasan usia di dalam UUD disampaikan kembali oleh Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP. Menurutnya tidak ada dasar yang menjamin bahwa dalam usia tertentu semua orang sudah mempunyai kematangan dalam memimpin [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 180]. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Rosnaniar dari F-PG yang menyampaikan antara lain:
… Sedangkan usia 40 tahun dan juga tentang ada tindakan-tindakan pidana, itu menurut saya juga dapat dicantumkan dalam undang-undang. [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 185].
Selanjutnya Andi Najmi Fuadi dari F-KB juga mengutarakan pendapatnya mengenai masalah usia sebagai berikut:
Ya, misalkan masalah usia. Siapa yang bisa menjamin bahwa persyaratan 40 tahun itu sesuatu patokan waktu yang sangat ideal, belum tentu. Bahwa Amerika yang mencantumkan persyaratan-persyaratan seperti tadi itu dalam Undang-Undang Dasar-nya, ternyata tidak bisa melampaui itu. Belum tentu Indonesia seperti Amerika. Bisa jadi Indonesia dalam 20 tahun ternyata seorang yang 35 tahun bisa mencalonkan diri sebagai Presiden memenuhi persyaratan yang diatur atau diminta, hanya karena umurnya kurang dua bulan dia tidak bisa menjadi Presiden. Ini kan saya kira suatu yang tidak fair juga kita. Oleh karena itu saya berpendapat persyaratan-persyaratan ini harus diatur dalam undang-undang organic [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 198].
Pada akhirnya, PAH BP MPR menyepakati dua alternatif yang kemudian dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, pada tanggal 23 Oktober 2001. Berikut kedua alternatif tersebut:
Pasal 6 Alternatif satu: Ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Ayat (2), Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Alternatif dua: Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain karena kehendaknya sendiri, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah dijatuhi hukum pidana dan mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 205].
Selanjutnya, kedua alternatif tersebut dimusyawarahkan dalam rapat Komisi A. Pada Rapat Sidang Komisi A ke-2, tanggal 5 November 2001, setelah semua fraksi menyampaikan pandangannya, Slamet Effendy Yusuf selaku ketua rapat mengatakan sebagai berikut:
… minus PDKB yang tidak ada wakilnya pada saat ini maka semua fraksi sudah menyatakan penilaiannya. Dan dari pandangan-pandangan yang ada maka kita segera mengetahui bahwa, yang berkaitan dengan syaratsyarat calon Presiden ada banyak pendapat, tetapi kemudian ada usulan mengenai formula baru, yang saya kira bisa kita kembangkan mengenai hal itu [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 214].
Pembahasan selanjutnya dilanjutkan pada Rapat Komisi A Ke-5 MPR, tanggal 8 November 2001 yang menghasilkan rancangan yang telah dirumuskan oleh tim perumus. Berkenaan dengan hal itu, Jakob Tobing selaku Ketua Komisi A mengatakan sebagai berikut:
Jadi di sini yang menjadi syarat itu adalah masalah kewarganegaraan, kemudian tidak pernah mengkhianati negara, kemudian mampu secara rohani dan jasmani untuk menjadi Presiden. Ketentuan dan syarat-syarat selanjutnya, itu diatur dengan atau dalam undang-undang. [vide Risalah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV Jilid I, hlm. 215-216].
Rumusan tersebut kemudian disampaikan pada Rapat Paripurna ST MPR 2001 Ke-6, tanggal 8 November 2001 dan disahkan menjadi salah satu materi perubahan ketiga UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 6 UUD 1945 diubah menjadi: (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dan (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, persoalan batas usia Presiden termasuk persoalan yang pengaturannya dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yakni untuk diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan penelusuran dan pelacakan kembali secara saksama risalah perubahan UUD 1945 di atas, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR pada waktu itu berpendapat usia minimal Presiden adalah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, dengan alasan antara lain persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, sehingga jangan sampai karena persoalan usia padahal telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam UUD, tidak dapat mendaftar diri sebagai Presiden maka pengubah UUD bersepakat untuk penentuan persoalan usia diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, penentuan usia minimal Presiden dan Wakil Presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon perihal Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan dengan konvensi ketatatanegaraan dengan mengambil praktik jabatan kepala pemerintahan pernah diberikan kepada Sutan Sjahrir yang pada saat itu berusia 36 (tiga puluh enam) tahun, menurut Mahkamah juga tidak tepat. Karena, hal tersebut dilakukan tidak secara berkelanjutan, sehingga tidak dapat dianggap dan dikategorikan sebagai kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) yang dapat diterima dan diakui dalam praktik penyelenggaraan negara. Apalagi dalam hal ini pengangkatan sebagai perdana menteri merupakan praktik dalam sistem pemerintahan parlementer, sedangkan para Pemohon mempersoalkan batas usia minimal bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial.
Bahwa dalil para Pemohon berikutnya menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 berpotensi melanggar kelembagaan triumvirate. Berkenaan dengan dalil tersebut, menurut Mahkamah, ketika Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan yang secara bersama-sama menempati posisi triumvirate menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden karena Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan maka kedudukan menteri-menteri triumvirate bukanlah sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang definitif namun hanya sebagai pelaksana tugas kepresidenan sampai dengan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR dalam sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 8 ayat (3) UUD 1945].
Dengan demikian, tidak terdapat korelasi mengaitkan batas minimal usia Presiden dan Wakil Presiden dengan ketiadaan pengaturan batas usia minimal menteri karena hal ihwal berkenaan dengan menteri menjadi hak prerogratif Presiden dan secara konstitusional menteri-menteri yang menempati posisi triumvirate kedudukannya tetap sebagai menteri. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan dengan original intent perubahan UUD 1945 dan tidak sejalan dengan konvensi ketatanegaraan serta berpotensi melanggar kelembagaan triumvirate adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengaturan persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden, penting pula bagi Mahkamah untuk mengutip pertimbangan hukum Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007, pertimbangan hukum Mahkamah perihal persyaratan batas minimum usia calon kepala daerah antara lain sebagai berikut:
“…yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 58 huruf d UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 juga tidak beralasan;”
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Oktober 2010, terkait dengan batas usia minimal dan maksimal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“…Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimal untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan karakteristik kebutuhan jabatan masing-masing;”
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Oktober 2011 berkenaan dengan persyaratan usia minimal hakim konstitusi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“… bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum;”
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Januari 2013, berkenaan dengan batas usia pensiun hakim Ad Hoc yang tidak sama di berbagai pengadilan, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“… UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang…”
Berdasarkan pertimbangan hukum putusan-putusan di atas, perihal persyaratan batas usia untuk menduduki jabatan publik sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Meskipun demikian bukan berarti pengaturan persyaratan batas usia bagi pejabat publik tidak dapat dinilai konstitusionalitasnya. Dalam kaitan ini, Mahkamah telah memberikan pengecualian meskipun suatu norma merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun dapat menjadi persoalan konstitusionalitas dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III-2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Mei 2005 terkait dengan dukungan minimal persyaratan pencalonan kepala daerah, Mahkamah berpendirian bahwa sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010-PUU-III-2005, hlm. 30];
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Februari 2009, Mahkamah berpendirian bahwa produk legal policy pembentuk undang-undang tidak dapat dibatalkan, kecuali jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah berikut ini:
”... bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.”
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, Mahkamah berpendirian oleh karena UUD 1945 tidak menentukan batas usia tertentu untuk menduduki semua jabatan sehingga merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang yang dapat mengubah batas usia dimaksud sesuai dengan tuntutan perkembangan. Apapun pilihannya tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang pada pokoknya tidak menimbulkan problematika kelembagaan, yaitu tidak dapat dilaksanakan, menyebabkan kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian konstitusionalitas bagi warga negara [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XI/2013, hlm. 31].
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 Mei 2023, Mahkamah berpendirian meskipun berkaitan dengan usia minimal dan usia maksimal pengisian jabatan publik tidak secara eksplisit bertentangan dengan konstitusi, namun bila secara implisit normanya menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya terkait dengan yang pernah atau sedang menjabat dan mempunyai track record yang baik berkaitan dengan integritas [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, hlm. 108].
[3.20] Menimbang bahwa selanjutnya dalam kaitannya dengan perkara a quo, apakah terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mengecualikan norma persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang meskipun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, namun merupakan persoalan konstitusional, sehingga penentuannya tidak diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Pertama, pengaturan persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, termasuk mengenai batas usia minimal sebagaimana telah diuraikan dalam risalah pembahasan persyaratan Presiden dalam Sub-Paragraf [3.18.2] di atas, di mana telah disepakati oleh pengubah UUD bahwa ihwal persyaratan dimasukkan dalam bagian materi yang akan diatur dengan undang-undang [vide Pasal 6 ayat (2) UUD 1945]. Sehingga, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan materi undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pilihan pengaturan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Kedua, jika norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 didalilkan para Pemohon bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sebab diskriminatif terhadap warga negara Indonesia yang berusia kurang dari 40 (empat puluh) tahun maka dengan menggunakan logika yang sama, dalam batas penalaran yang wajar, menurunkannya menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun tentu dapat juga dinilai merupakan bentuk pelanggaran moral, ketidakadilan, dan diskriminasi bagi yang berusia di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun atau batasanbatasan usia tertentu di bawah 35 (tiga puluh lima) tahun, terutama bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih, yaitu warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin [vide Pasal 198 ayat (1) UU 7/2017]. Oleh karena itu, dalam hal ini, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Selain itu, jika Mahkamah menentukannya maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, norma pengaturan persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam perkembangannya sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-Paragraf [3.18.1] di atas berbeda-beda pengaturannya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari waktu ke waktu terutama sejak dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Sebelum perubahan UUD 1945 atau pada waktu dipilih MPR, syarat usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan harus telah berusia 40 (empat puluh tahun), sedangkan setelah perubahan UUD 1945 untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, tahun 2009, dan tahun 2014 ditentukan sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019, syarat usia bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditentukan menjadi paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, terlepas dari perbedaan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam beberapa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pilihan kebijakan lembaga yang berwenang menentukan batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak pernah menimbulkan problematika kelembagaan kepresidenan. Artinya, pemilihan umum calon Presiden dan calon Wakil Presiden tetap dapat dilaksanakan, tidak terjadi kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga kepresidenan hingga menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Keempat, tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat dipersamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Dalam hal ini, misalnya tidak dapat dipersamakan dengan persyaratan batas minimal usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perubahan norma batas minimal usia calon pimpinan KPK telah ternyata menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif terhadap seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, sehingga Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 memberi alternatif persyaratan lain, yakni “atau berpengalaman” dengan mempertimbangkan bahwa subyek dan jabatan yang akan diikuti dalam proses seleksi nantinya berada dalam jabatan yang sama. Oleh karenanya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, Mahkamah memutuskan secara alternatif tanpa mengubah ketentuan syarat usia yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga tidak dapat dikatakan sebagai norma yang bersifat diskriminatif sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian diskriminasi menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena norma yang bersifat diskriminatif adalah apabila norma tersebut membuat perlakuan berbeda yang semata-mata didasarkan atas ras, etnik, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan perkembangan pengaturan persyaratan batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden, original intent terhadap Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta putusan-putusan Mahkamah terkait dengan batas usia bagi jabatan publik, persyaratan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Bagi Mahkamah yang penting penentuan batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak boleh menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara yang dalam penalaran wajar potensial diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal tersebut, keinginan DPR dan Presiden sebagaimana tersurat dalam keterangannya mengharapkan agar tolok ukur batasan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden disesuaikan dengan dinamika perkembangan usia produktif, menurut Mahkamah hal demikian menjadi ranah kewenangan DPR dan Presiden untuk membahas dan memutuskannya dalam pembentukan undang-undang. Terlebih lagi, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menyatakan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang, dalam hal ini batas usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden termasuk syarat yang ditentukan oleh undangundang. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah batas minimal usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sepenuhnya merupakan ranah pembentuk undangundang untuk menentukannya. Oleh karena itu, dalil permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sepanjang tidak dimaknai “berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun” telah ternyata tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430