Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
RESUME PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan SINDIKASI untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6); Pasal`122 huruf l; dan Pasal 245 UU
MD3

Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 20A ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Perwakilan DPR-RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR-RI.

1) Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan
a quo, oleh karena undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan para Pemohon telah dimohonkan pengujian dan telah
diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, tanggal 28 Juni 2018,
maka terlebih dahulu Mahkamah akan merujuk Putusan dimaksud yang
amarnya menyatakan sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
b. Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
d. Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya
menjadi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”
e. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
f. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

2) Bahwa dengan mengacu pada Putusan Mahkamah tersebut maka
dalil- dalil para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas norma
Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6),
Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, sepanjang mengenai
frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan
Dewan” ternyata telah dinyatakan inkonstitusional. Artinya, norma dalam
Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6),
Pasal 122 huruf l dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3
tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan sendirinya tidak
berlaku lagi. Dengan demikian permohonan para Pemohon mengenai
pengujian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4),
Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat
(1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” telah kehilangan objek.

3) Bahwa sementara itu, terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3
sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU- XVI/2018
telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan
kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak
pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menjadi,
”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” [vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, bertanggal 28 Juni 2018]. Dengan
demikian, sepanjang mengenai frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3, pertimbangan Mahkamah
dalam Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 tersebut mutatis mutandis
berlaku terhadap permohonan a quo.

4) Menimbang bahwa, sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
sepanjang berkenaan dengan Pasal 245 ayat (2) UU MD3, para Pemohon
ternyata tidak memberikan argumentasi yang spesifik melainkan
disatukan dengan argumentasi mengenai inkonstitusionalitas Pasal 245
ayat (1) UU MD3 sehingga secara implisit berarti para Pemohon juga
menganggap Pasal 245 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD
1945. Padahal, materi muatan norma yang terkandung dalam Pasal 245
ayat (2) UU MD3 berbeda dengan materi muatan norma yang terkandung
dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Oleh karena itu, persoalan
konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah
apakah benar Pasal 245 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD
1945. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah berpendapat, dengan
pendirian Mahkamah terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3, sebagaimana
tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 di
atas, yaitu bahwa norma dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah:

Pertama, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan
dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” sepanjang tidak
dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga
melakukan tindak pidana, sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3
selengkapnya menjadi, ”Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”; dan
Kedua, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan”, maka secara a contrario berarti Mahkamah
berpendirian bahwa adanya persetujuan tertulis dari Presiden dalam
konteks Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah konstitusional atau tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Namun, persetujuan tertulis dari
Presiden dimaksud tidak berlaku terhadap hal-hal sebagaimana diatur
dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3. Artinya, jika dinarasikan lebih jauh,
pengertian yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3 adalah
bahwa untuk memanggil dan meminta keterangan terhadap anggota DPR
yang: (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; (b) disangka
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang
cukup; atau (c) disangka melakukan tindak pidana khusus (yang menurut
Penjelasan Pasal 245 ayat (2) huruf c UU MD3 mencakup tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, tindak pidana
perdagangan orang, tindak pidana penyalahgunaan narkotika), tidak
dibutuhkan persetujuan tertulis dari Presiden. Pendirian Mahkamah
perihal konstitusionalnya persetujuan tertulis dari Presiden dalam konteks
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah sejalan dengan pendirian Mahkamah
sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya
[vide, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU- IX/2011,
bertanggal 26 September 2012, dan Nomor 76/PUU-XII/2014, bertanggal
22 September 2015]. Hal demikian juga termuat dalam sejumlah
ketentuan dalam berbagai undang-undang, misalnya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat tidak
terdapat alasan untuk menyatakan Pasal 245 ayat (2) UU MD3
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalil permohonan para
Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 245 ayat (2) UU MD3
adalah tidak beralasan menurut hukum.

5) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan a quo sepanjang berkenaan dengan
pengujian konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah kehilangan
objek, sementara itu permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 245
ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” mutatis mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, sedangkan
permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal
245 ayat (2) UU MD3 adalah tidak beralasan menurut hukum.

6) Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
a. Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon;
b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo;
c. Terhadap pokok permohonan para Pemohon mengenai Pasal 73
ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 73 ayat (5), Pasal 73 ayat (6), Pasal 122
huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “setelah
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” kehilangan
objek;
d. Terhadap pokok permohonan para Pemohon mengenai Pasal 245
ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak
pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden” mutatis mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018;
e. Pokok permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas
Pasal 245 ayat (2) UU MD3 tidak beralasan menurut hukum.