Partai Buruh yang diwakili oleh Said Iqbal selaku Presiden Partai dan Ferri Nuzarli selaku Sekretaris Jenderal, Mahardhikka Prakasha Shatya, Wiratno Hadi dalam hal ini diwakili oleh Alghiffari Aqsa, S.H., dkk., kesemuanya adalah Advokat dan Advokat Magang pada AMAR Law Firm & Public Interest Law Office (AMAR) dan Themis Indonesia Law Firm, yang selanjutnya disebut para Pemohon.
Pasal 222 UU 7/2017
Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945
perwakilan DPR RI dihadiri oleh Tim Kuasa DPR RI yang didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma yang terdapat dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang rumusannya sebagai berikut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, terhadap Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
2. Bahwa Pemohon I menerangkan kualifikasinya sebagai Partai Politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024 yang dalam permohonan a quo diwakili oleh Presiden Partai dan Sekretaris Jenderal.
3. Bahwa Pemohon I adalah partai politik peserta Pemilihan Umum 2024 yang telah lolos proses verifikasi partai politik dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan sesuai Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tanggal 14 Desember 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024 [vide Bukti P-7] dan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 519 Tahun 2022 tanggal 14 Desember 2022 tentang Penetapan Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024 [vide Bukti P-8].
4. Bahwa menurut Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b Anggaran Dasar Partai Buruh [vide Bukti P-4], Komite Eksekutif di tingkat pusat merupakan pimpinan tertinggi Partai Buruh yang dipimpin oleh Presiden dan Sekretaris Jenderal. Selanjutnya, dalam Pasal 32 ayat (1) Anggaran Rumah Tangga Partai Buruh [vide Bukti P-4] juga ditentukan bahwa Presiden bersama Sekretaris Jenderal berwenang menandatangani seluruh surat-menyurat Partai Buruh, baik ke dalam maupun keluar.
5. Bahwa menurut Pemohon I, dirinya dirugikan dalam pemberlakuan syarat ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, karena Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi Pasal 222 UU 7/2017 tidak ada yang mencerminkan, memperjuangkan, atau memiliki tujuan yang sejalan dengan perjuangan dan gagasan Pemohon I.
6. Bahwa menurut Pemohon I, keberadaan ambang batas pencalonan presiden membuat Partai Buruh menjadi terkunci untuk bisa mendukung pasangan calon presiden karena hampir semua koalisi partai politik yang ada di DPR saat ini merupakan partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja yang ditentang oleh Pemohon I.
7. Bahwa menurut Pemohon II, dirinya pernah ditunjuk oleh Partai Buruh untuk menjadi bakal calon legislatif DPR-RI untuk Pemilihan Umum 2024 nantinya dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Tengah [vide Bukti P-17], tetapi ditolak oleh Pemohon II karena sistem pemilihan umum dengan ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 saat ini tidak bisa menghasilkan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang menolak UU Cipta Kerja dan berpihak pada kepentingan rakyat [vide Bukti P-15].
8. Bahwa menurut Pemohon II, dirinya mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon anggota legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024. Pemohon II juga berpotensi mengalami kerugian nantinya, apabila warga dalam dapil, pendukung, dan calon konstituen Pemohon II akan menanyakan apa yang menyebabkan Partai Buruh bergabung dengan koalisi gabungan partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja.
9. Bahwa menurut Pemohon III, dirinya juga ditunjuk oleh Partai Buruh untuk menjadi bakal calon anggota legislatif DPR-RI dari dapil Kalimantan Selatan II [vide Bukti P-17]. Pemohon III membatalkan niatnya menjadi bakal calon anggota legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024 [vide Bukti P-16] karena ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 akan memaksa Partai Buruh bergabung dengan koalisi gabungan partai politik jika ingin mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Sementara dengan tujuan ideologis dari Partai Buruh yang menolak UU Cipta Kerja, tidak mungkin bagi Partai Buruh untuk berkoalisi dengan partai-partai yang dapat mengusung calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
10. Bahwa menurut Pemohon III, dirinya mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum tahun 2024.
[3.6] Menimbang bahwa untuk menilai kedudukan hukum para Pemohon a quo, Mahkamah perlu mengaitkan dengan petitum para Pemohon dalam permohonannya yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 dimaknai, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU dan/atau Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki perolehan suara paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat mengusulkan sendiri pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terhadap adanya petitum para Pemohon demikian dan dikaitkan dengan kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum para Pemohon dalam perkara pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.6.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, mempertimbangkan bahwa, “... pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan”;
[3.6.2] Bahwa selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, Mahkamah telah pula memutus perihal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 yang diajukan oleh Pemohon Partai Politik yaitu, antara lain, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022. Mahkamah dalam putusan sebelumnya, memberikan kedudukan hukum kepada partai politik sebagai pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 karena pemohon tersebut adalah partai politik yang mempermasalahkan perihal jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Demikian pula terhadap Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Januari 2018, yaitu Partai Islam Damai Aman (IDAMAN), Mahkamah juga memberikan kedudukan hukum meskipun partai tersebut tidak mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya pada saat mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, namun yang dipersoalkannya pada saat itu adalah mengenai besaran ambang batas, dan bukan mengenai pengusulan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden. Adapun Pemohon I dalam perkara a quo tidak mempermasalahkan jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan memohon kepada Mahkamah agar dirinya sebagai partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak mengikuti Pemilu pada periode sebelumnya menjadi dapat turut serta mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3.6.3] Bahwa selain itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, adalah dimaksudkan untuk mengatur jumlah minimum (ambang batas minimum) perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, oleh karena Pemohon I adalah partai politik yang tidak mengikuti pemilihan umum pada Pemilu sebelumnya, sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU 7/2017 adalah diberlakukan terhadap partai politik yang telah mengikuti Pemilu anggota DPR sebelumnya dan telah memperoleh dukungan suara tertentu, maka menurut Mahkamah, batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon I.
[3.6.4] Bahwa berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon II dan Pemohon III yang dalam perkara a quo mengkualifikasikan dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menurutnya mengalami kerugian karena batal menjadi bakal calon legislatif dari Partai Buruh untuk Pemilihan Umum Tahun 2024. Selain itu, Pemohon II dan Pemohon III juga menyebutkan bahwa dirinya sejak lama telah berpartisipasi untuk demokrasi dan terdaftar sebagai pemilih untuk Pemilihan Umum tahun 2024. Terhadap kedudukan hukum Pemohon II dan Pemohon III yang merupakan perseorangan warga negara tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Februari 2022, telah menegaskan pendiriannya terkait dengan pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 sebagai berikut:
[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pecalonan presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu, menjadi jelas pendirian Mahkamah terkait dengan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 a quo adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, tidak terdapat bukti yang meyakinkan Mahkamah apakah Pemohon II dan Pemohon III merupakan perseorangan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024. Berkenaan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai kedudukan hukum perseorangan warga negara yang mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, dalam hal ini Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menyatakan seharusnya Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada perseorangan warga negara Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Mahkamah, Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III (selanjutnya disebut para Pemohon) tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Meskipun demikian, tanpa bermaksud mempertimbangkan pokok permohonan, menurut Mahkamah sekalipun para Pemohon dalam petitumnya tidak meminta mengubah besaran ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) yang telah diputus oleh Mahkamah sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy), namun meminta kepada Mahkamah agar partai politik yang tidak mengikuti pemilihan umum pada Pemilu sebelumnya tetap dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam kaitan ini Mahkamah tetap dalam pendiriannya bahwa ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang menentukan persyaratan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah dengan mendasarkan pada perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, di mana ihwal demikian tidaklah berarti menghalangi hak konstitusional para Pemohon sebagai partai politik untuk turut serta mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang setelah Pemilu 2024, karena para Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
[3.9] Menimbang bahwa tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra tetap pada pendiriannya sebagaimana pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan-putusan sebelumnya.
[3.10] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430