Elly Engelbert Lasut (Bupati Kapubaten Kepulauan Talaud) dan Moktar Arunde Parapaga (Wakil Bupati Kapubaten Kepulauan Talaud) dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk., kesemuanya para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Kantor IHZA & IHZA Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016
Pasal 18 ayat (4), ayat (5), dan ayat (7) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, masalah pokok yang harus dipertimbangkan dan dinilai konstitusionalitasnya adalah norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), ayat (5), dan ayat (7) UUD 1945, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo menggunakan parameter “tahun pemilihan”, in casu tahun 2018, sebagai basis penghitungan masa jabatan kepala daerah. Padahal, menurut Pemohon, perhitungan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara efektif dimulai sejak pelantikan, bukan merujuk pada tahun dilaksanakannya pemilihan, karena secara faktual waktu pelantikan dapat berbeda dengan “tahun pemilihan”;
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan masalah pokok dalam Paragraf [3.11] di atas, penting bagi Mahkamah untuk mengemukakan beberapa hal berikut:
[3.12.1] Bahwa berkaitan dengan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, sebagai bagian dari norma Pasal 201 UU Pilkada, yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon, terutama perihal penghitungan dan/atau penentuan masa jabatan kepala daerah, secara sistematis norma a quo berada dalam Bab XXVI Ketentuan Peralihan. Sebagai Ketentuan Peralihan, norma transisi tersebut pertama kalinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang kemudian menjadi Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Setelah itu, UU 1/2015 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU 1/2015 (UU 8/2015), termasuk mengubah Pasal 201. Terakhir, UU 8/2015 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 (UU Pilkada), di mana salah satu substansi yang diubah adalah norma Pasal 201.
[3.12.2] Bahwa sebagai norma transisi, substansi Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” memiliki keterkaitan dengan norma dalam Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada terutama berkenaan dengan frasa “tahun pemilihan 2018” dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dan frasa “memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan” dalam Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada. Dalam hal ini, norma Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.” Dalam hal ini, norma Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada merupakan norma umum dalam menentukan dan menghitung masa jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
[3.12.3] Bahwa perumusan norma dalam Bab XXVI perihal Ketentuan Peralihan UU Pilkada tidak dapat dilepaskan dari penataan ulang jadwal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi penyelenggaraan pemilihan secara serentak yang untuk pertama kali akan dilaksanakan pada tahun 2024. Sebagai bagian skenario dari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (8) UU Pilkada mengatur sebagai berikut:
(1) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.
(2) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017.
(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.
(4) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018.
(5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
(6) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.
(7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
(8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
[3.12.4] Bahwa berkenaan dengan perumusan norma yang termaktub dalam Bab XXVI perihal Ketentuan Peralihan dimaksud, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2022, in casu sub-Paragraf [3.13.3] antara lain mempertimbangkan desain pemilihan kepala daerah serentak telah disusun berupa penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, dan tahun 2020. Desain 4 (empat) gelombang tersebut merupakan transisi menuju penyelenggaraan pemilihan serentak secara nasional pada bulan November 2024. Ihwal norma transisi ini, Angka 127 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara”. Bahkan, berkenaan dengan norma transisi menuju penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024, dalam Sub-Paragraf [3.12.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dipertimbangkan antara lain sebagai berikut:
… penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[3.12.5] Bahwa berkenaan dengan salah satu tujuan aturan peralihan sebagaimana termaktub dalam Angka 127 Lampiran II UU 12/2011, yaitu tujuan “memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan”, bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terdampak pengurangan masa jabatan telah diatur kompensasi yang akan diterima. Ihwal ini, norma Pasal 202 UU 8/2015 tentang Perubahan Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang pada pokoknya menyatakan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak sampai menjabat 1 (satu) periode akibat norma transisi dalam ketentuan Pasal 201 UU Pilkada diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”;
[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan keberadaan norma Pasal 201, termasuk Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon yang pada intinya menghendaki norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan” sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa secara normatif, norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada merupakan bagian dari 4 (empat) gelombang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam masa transisi menuju penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024. Sebagaimana diketahui, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah masa transisi tahun 2018, pemilihan serentak diselenggarakan di 171 (seratus tujuh puluh satu) daerah, yaitu untuk memilih 17 (tujuh belas) gubernur/wakil gubernur, 115 (seratus lima belas) bupati/wakil bupati, serta 39 (tiga puluh sembilan) walikota/wakil walikota. Artinya, proses pemilihan Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati, merupakan salah satu dari 171 (seratus tujuh puluh satu) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018;
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan kasus konkret yang dialami Pemohon, yaitu sekalipun dipilih dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018, sebagaimana dikemukakan di awal permohonan, Pemohon baru dilantik atau diambil sumpahnya sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 26 Februari 2020. Karena bentangan fakta tersebut, Pemohon menghendaki agar frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dalam norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dimaknai menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”. Sebagaimana dijelaskan dalam permohonan Pemohon, “hasil pemilihan tahun” tidak dapat dijadikan pegangan yang sah karena hanya menyangkut 2 (dua) hal, yakni pengumuman hasil perolehan suara pasangan calon peserta pemilihan; dan pengumuman hasil pasangan calon peserta pemilihan yang terpilih. Ditambahkan Pemohon, hasil pemilihan tidak terkait dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal ini, masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah berkaitan dengan peristiwa pelantikan [vide Perbaikan Permohonan, hlm. 14-15];
[3.13.3] Bahwa apabila dibaca dan dimaknai secara utuh norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada dikaitkan dengan keberadaannya sebagai norma peralihan atau norma transisi (transitional provision), menurut Mahkamah, frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” merupakan bagian yang paling esensial dari keseluruhan norma dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo. Sebagai norma transisi, memberikan pemaknaan baru terhadap frasa tersebut menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan” potensial menimbulkan implikasi yang tidak sederhana terhadap pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah lain yang diselenggarakan pada tahun 2018. Sebagaimana telah dipertimbangkan pada sub-Paragraf [3.13.1] di atas, pada tahun 2018 terdapat 171 (seratus tujuh puluh satu) daerah yang telah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara serentak. Dalam batas penalaran yang wajar, selain hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud, terdapat 170 (seratus tujuh puluh) kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mendasarkan pada pengaturan masa transisinya kepada norma yang diatur dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada. Artinya, sebagai ketentuan peralihan, bilamana frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dimaknai menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”, selain menghilangkan arti atau makna Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo sebagai norma transisi, makna baru yang dimohonkan Pemohon sekaligus akan menghilangkan keberadaannya sebagai norma penghubung dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024. Berangkat dari semangat politik hukum penyerentakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, menurut Mahkamah, periodisasi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harus dimaknai penuh selama 5 (lima) tahun. Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pilkada yang mengatur masa jabatan pasangan kepala daerah adalah 5 (lima) tahun seperti, antara lain diatur dalam Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada, dapat dikesampingkan oleh ketentuan transisi dalam norma Pasal 201 UU Pilkada;
[3.13.4] Bahwa sebagai norma transisi yang disusun secara spesifik guna mewadahi hasil pemilihan kepala daerah tahun 2018 dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional tahun 2024, memaknai frasa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” menjadi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan” dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap 170 (seratus tujuh puluh) kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih pada tahun 2018. Dalam hal ini, sebagai sebuah norma undang-undang, Pasal 201 UU Pilkada, khususnya Pasal 201 ayat (5), merupakan norma yang berlaku dan mengikat semua kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya pasangan kepala daerah lain selain Pemohon dalam perkara ini juga diatur dan tunduk pada ketentuan a quo. Dengan demikian, perubahan atas ketentuan tersebut juga akan berdampak pada pasangan kepala daerah lain selain Pemohon;
[3.13.5] Bahwa selain menimbulkan persoalan sebagaimana dipertimbangkan dalam sub-Paragraf [3.13.3] dan sub-Paragraf [3.13.4] di atas, memaknai frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”, akan mengubah norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menjadi norma umum. Selain tidak lagi secara spesifik mengantisipasi transisi hasil pemilihan tahun 2018, pemaknaan demikian juga berpotensi menimbulkan implikasi yang tidak sederhana atas norma-norma lain dalam Pasal 201 UU Pilkada, termasuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilaksanakan pada masa transisi tahun 2020. Terlebih lagi, peristiwa konkret yang dialami oleh Pemohon berkenaan dengan tertundanya jadwal pelantikan adalah merupakan persoalan implementasi norma;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian dalam Paragraf [3.12] dan Paragraf [3.13] di atas, pilihan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak tentunya akan berpengaruh pada masa jabatan. Pengaruh demikian antara lain terdapat masa jabatan kepala daerah yang dikurangi. Bahkan sebagai bagian dari skenario untuk menuju titik awal dilakukan pemilihan serentak secara nasional pada tahun 2024, dapat saja memunculkan kekosongan jabatan kepala daerah karena jarak antara selesainya jabatan kepala daerah dengan pelaksanaan pemilihan serentak terlalu singkat, sehingga jabatan kepala daerah diisi oleh penjabat, yaitu seseorang yang ditunjuk menjadi kepala daerah tanpa melalui pemilihan. Artinya, pengurangan masa jabatan dan penunjukan penjabat kepala daerah, merupakan upaya sekaligus akibat hukum yang tidak dapat dihindarkan manakala dikehendaki penyerentakan pemilihan (dan sekaligus penyerentakan periodisasi masa jabatan) dari kondisi yang sebelumnya tidak serentak;
[3.15] Menimbang bahwa sekalipun Mahkamah menyadari peristiwa pelantikan merupakan titik permulaan untuk menghitung masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun ketika Pemohon memohon kepada Mahkamah agar memaknai frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dalam norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menjadi “memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan”, pemaknaan demikian tidak hanya dapat merusak konstruksi norma transisi dalam Pasal 201 ayat (5), tetapi juga dapat merusak konstruksi norma transisi dalam Pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya;
[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430