Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Dr. H. Marion, S.H., M.H. (advokat), untuk sselanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 UU 31/1999

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU LLAJ dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada tanggal 5 Juli 2023, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021;
[3.3.2] Bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana diterima Mahkamah pada tanggal 12 Juli 2023 dan tanggal 17 Juli 2023, yang pada pokoknya substansi kedua permohonan a quo adalah sama, serta telah diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 24 Juli 2023. Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Alasan-Alasan Permohonan, dan Petitum;
[3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Sub-paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, namun pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Pasal 21 UU 31/1999. Uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tugas dan fungsinya antara lain sebagai pembentuk dan pembuat undang-undang. Adapun DPR dalam menjalankan tugas, fungsi, dan perannya yang diisi oleh sumber daya manusia dianggap terdapat kecenderungan untuk melakukan penyimpangan terhadap produknya. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai institusi/lembaga hukum yang mampu melakukan penilaian terhadap hasil produk legislasi DPR. Selain itu, Pemohon belum menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas berlakunya UU 31/1999 yang dimohonkan pengujian dan yang dianggap merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku Advokat yang berkaitan dengan pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon;
Selain itu, pada bagian alasan-alasan permohonan (posita), Pemohon sama sekali tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon lebih fokus menguraikan masalah konkret yang dialami oleh saudara Dr. Stefanus Roy Rening, S.H., M.H. selaku Advokat yang ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan dalam perkara korupsi dengan tersangka atau terdakwa saudara Lukas Enembe (Gubernur Provinsi Papua Non Aktif), sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian tidak ada relevansinya bagi Mahkamah untuk menilainya.
Selanjutnya permintaan Pemohon sebagaimana termaktub dalam petitum, sekalipun telah diberi nasihat oleh Majelis Panel, dapat ditemukan Petitum angka 2, “Menyatakan Pasal 21 UU.RI.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut Menabrak Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 31 Jo Pasal 16 UU.RI.No.18 Tahun 2003 tentang Advokat Indonesia Negara Hukum, Bertentangan bukan hanya dengan pasal 28D ayat (1) melainkan juga Bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) dan ayat (4) dan ayat (5) Jo Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan Petitum angka 3, “Menyatakan Pasal 21 UU.RI.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Yang Mengikat Khusus Terhadap Advokat sebagai Status Penegak Hukum Yang Setara atau Sejajar Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya di Indonesia Negara Hukum”. Menurut Mahkamah, rumusan kedua petitum a quo adalah rumusan petitum yang tidak lazim. Karena, di satu sisi Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 21 UU 31/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sementara di sisi lain, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 21 UU 31/1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Dalam batas penalaran yang wajar, rumusan kedua petitum tersebut saling bertentangan satu sama lainnya dan Mahkamah tidak mungkin mengabulkannya secara bersamaan. Petitum yang demikian hanya dapat dibenarkan sepanjang satu sama lainnya dirumuskan secara alternatif.
Terlebih lagi, ditemukan Petitum angka 4, “Menyatakan Advokat Sebagai Profesi Terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan Profesinya Berada dibawah Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang dan Kode Etik, memiliki Kebebasan yang didasarkan kepada Kehormatan dan Kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan”, Petitum angka 5, “Menyatakan Profesi Advokat adalah Selaku Penegak Hukum Yang Sejajar Dengan Aparat Penegak Hukum Lainnya harus Saling Menghargai antara Sesama Penegak Hukum lainnya”, Petitum angka 6, “Menyatakan Advokat Tidak Boleh Ditetapkan Secara Langsung oleh APH KPK atau Penegak Hukum Lainnya yang Sejajar atau Setara Sebagai Tersangka Subyek Pidana Sebelum Terlebih Dahulu (Lex Pra evia) Dikenakan Tindakan oleh Keputusan Dewan Kehormatan Profesi Advokat sebagaimamestinya Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Indonesia Negara Hukum”, dan Petitum angka 7, “Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya Tiga Puluh hari Kerja Sejak Putusan Diucapkan”. Seluruh rumusan petitum tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian undang-undang. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada Pemohon pada saat sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 24 Juli 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 64/PUU-XXI/2023, Senin, tanggal 24 Juli 2023, hlm. 11-12] dan Pemohon tetap pada pendiriannya. Secara formal, petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021;

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena adanya ketidakjelasan kedudukan hukum, posita yang tidak relevan, serta petitum tidak lazim sehingga menyebabkan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Oleh karena itu, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Dengan demikian, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.5] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil, hal-hal lain, dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.