Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dan Arkaan Wahyu Re A. yang memberikan kuasa kepada Utomo Kurniawan, S.H., dkk, selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7.2] Bahwa terhadap sistematika Perbaikan Permohonan para Pemohon, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah memeriksa secara saksama bagian alasan-alasan permohonan (posita) permohonan a quo dan petitum para Pemohon, Mahkamah menemukan fakta bahwa undang-undang yang dimohonkan pengujiannya adalah UU 16/2004. Sedangkan, petitum yang dimohonkan oleh para Pemohon kepada Mahkamah adalah kata “korupsi” pada Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "korupsi termasuk kolusi dan nepotisme”. Padahal, kata “Korupsi” yang dimohonkan para Pemohon dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 adalah bagian dari judul atau nama Undang-Undang yang pada pokoknya menyatakan “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU 20/2001) jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002)”. Artinya, undang-undang yang disebut dalam penjelasan tersebut hanya merupakan contoh kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, kolusi dan nepotisme yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya adalah substansi yang tidak bersesuaian dengan judul dan batasan cakupan materi tindak pidana yang diatur dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 dan UU 30/2002. Terlebih, dalam positanya para Pemohon tidak menerangkan bahwa terdapat ketentuan yang mengatur tentang unsur-unsur pidana dari kata kolusi dan nepotisme.
[3.7.3] Bahwa lebih lanjut, petitum yang dimohonkan para Pemohon merupakan rumusan petitum yang tidak lazim karena nomenklatur dalam nama atau judul undang-undang pada prinsipnya haruslah menggambarkan isi dari undang-undangnya, sebagaimana hal ini diatur dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), Bagian Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, di mana pada angka 3 menyatakan, “Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan”. Oleh karenanya, jika permohonan dikabulkan, maka nama UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam batas penalaran yang wajar menjadi UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Demikian juga dengan UU 30/2002 menjadi tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Padahal, isi dari kedua undang-undang a quo sama sekali tidak membahas mengenai substansi tindak pidana kolusi dan nepotisme. Dengan menambahkan frasa “kolusi dan nepotisme” dalam nama atau judul UU 31/1999 dan UU 30/2002 menyebabkan ketidakjelasan undang-undang a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permintaan para Pemohon dalam petitumnya tidak bersesuaian dengan posita yang didalilkan. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak jelas atau kabur.
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena adanya ketidaksesuaian antara posita yang didalilkan dengan petitum yang dimohonkan dalam permohonan, serta petitum para Pemohon yang tidak jelas maka menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur). Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan para Pemohon lebih lanjut. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430