Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 18-07-2023

Partai Berkarya yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono selaku Ketua Umum DPP Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya dalam hal ini memberikan kuasa kepada Erizal, S.H. dan Rahman Kurniansyah, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu

Pasal 7, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan telah berpotensi merugikan atau menghambat hak konstitusional Pemohon dalam mengusulkan pasangan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.

[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusional di atas, setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7], Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n dan norma Pasal 227 huruf i UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Juni 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Juni 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 November 2022, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.12] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:

Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, telah ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, adalah Pasal 7, Pasal 28C ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang sebagian dasar pengujian tersebut belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Pasal 6A ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (Perkara 36/PUU-XVI/2018), Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 (Perkara 40/PUU-XVI/2018), Pasal 7, Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945 (Perkara 101/PUU-XVI/2022), Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (Perkara 117/PUU-XX/2022), Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (Perkara 4/PUU-XXI/2023). Dengan demikian, tanpa harus memeriksa lebih jauh alasan-alasan yang berbeda dengan semua permohonan sebelumnya, adanya dasar pengujian yang berbeda tersebut telah terang dan cukup bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon dapat diajukan kembali.

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo;

[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan Pemohon, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah, yaitu apakah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak memberikan hak untuk memajukan diri secara kolektif dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 28C ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap isu tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa isu berkenaan dengan syarat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden, in casu syarat sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 telah pernah diputus oleh Mahkamah. Berkenaan dengan kedua norma tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dalam Sub-paragraf [3.19.3] mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.

Selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, dalam Sub-paragraf [3.12.1] juga telah menegaskan pertimbangan Mahkamah di atas, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya tidak jauh berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan Mahkamah tidak atau belum memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional;

Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum putusan-putusan di atas, Mahkamah pada prinsipnya telah menegaskan berkenaan dengan pembatasan masa jabatan Presiden. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa konstitusi telah memberikan batasan yang tegas mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui Pasal 7 UUD 1945, di mana Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan penerapan secara langsung dari prinsip pembatasan yang dianut oleh Pasal 7 UUD 1945 a quo. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai ketidakpastian hukum yang diakibatkan norma Pasal 169 huruf n dan norma Pasal 227 huruf i UU 7/2017, menurut Mahkamah apabila mengikuti penafsiran Pemohon mengenai norma a quo sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon, maka hal tersebut akan membuka kemungkinan adanya situasi di mana seseorang yang telah pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) masa jabatan dipilih sebagai Wakil Presiden. Hal ini akan menimbulkan persoalan konstitusional tatkala Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 harus diterapkan. Dalam hal ini, norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 pada intinya mengatur dan sekaligus memerintahkan jikalau terjadi peristiwa Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Presiden digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam kondisi di mana Wakil Presiden tersebut merupakan seseorang yang pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) masa jabatan, maka tidak terhindarkan munculnya situasi di mana jikalau terjadi peristiwa sebagaimana dimaksudkan oleh norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 maka menjadi kewajiban konstitusional bagi Wakil Presiden tersebut untuk diangkat sebagai Presiden. Jikalau kondisi tersebut terjadi, maka Wakil Presiden yang sebelumnya pernah menjadi Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan/periode akan menjadi Presiden untuk masa jabatan ketiga. Pada satu sisi, situasi ini justru akan menimbulkan pelanggaran prinsip pembatasan dalam konstitusi yang diatur oleh Pasal 7 UUD 1945, sementara di sisi lain apabila Wakil Presiden tersebut tidak diangkat sebagai Presiden, jelas-jelas melanggar kewajiban konstitusional sehingga bertentangan dengan norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945. Sebagai pemaknaan dan sekaligus penafsiran terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang dirumuskan oleh norma undang-undang, norma yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mampu mencegah permasalahan konstitusional tersebut. Alasan Pemohon untuk membedakan konsekuensi konstitusional antara Presiden yang dipilih dengan Presiden yang diangkat karena menggantikan Presiden yang berhalangan tetap justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak terhadap ketidakpastian konstitusionalitas pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden serta terhadap legitimasi Presiden tersebut. Dengan demikian, dalil Pemohon bahwa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14.3] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 menyebabkan terhalangnya hak Pemohon untuk memajukan diri secara kolektif sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah hak-hak tersebut apabila dikaitkan dengan hak untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden tetap harus tunduk pada pembatasan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sepanjang pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, maka tidak dapat dikatakan bahwa pembatasan tersebut telah melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya dalam hal ini hak untuk memajukan diri secara kolektif maupun hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Norma a quo yang mengatur mengenai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana telah diputus isu konstitusionalitasnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan telah ditegaskan kembali oleh Mahkamah pada Sub-paragraf [3.14.1] dan [3.14.2] di atas adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, pembatasan yang diimplementasikan oleh Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bukanlah pembatasan yang inkonstitusional karena merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak melanggar hak-hak sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak melanggar hak untuk memajukan diri secara kolektif, tidak bertentangan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.