Associate Professor Ir. Suharto, MT.
Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen
Pasal 31 ayat (3), Pasal 31 ayat (5), Pasal 32 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Pemohon, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan Pelaksanaan
UU Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen,
MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. Bahwa dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi dimaksud,
peranan tenaga pendidik menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
Pemerintah menyusun suatu standar nasional pendidikan yang di
dalamnya juga memuat standar sistem pendidikan dan tenaga
kependidikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(selanjutnya disebut PP 19/2005). Pasal 28 ayat (1) PP 19/2005
menyatakan, “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat (2) dinyatakan, “Kualifikasi akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal
yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah
dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku”.
2. Bahwa Pasal 1 angka 9 UU Guru dan Dosen telah pula menjelaskan
mengenai kualifikasi akademik yaitu ijazah sesuai dengan jenjang
pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai
dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat
penugasan. Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 45 UU Guru dan Dosen
semakin menegaskan pentingnya kualifikasi akademik bagi dosen. Pasal a
quo menyatakan, “Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi
lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
3. Bahwa berdasarkan penjelasan di atas maka jelaslah bahwa
kualifikasi akademik merupakan syarat penting yang ditentukan melalui
kapabilitas dan ijazah. Selain itu, Pasal 49 UU Guru dan Dosen telah pula
menegaskan bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada
satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing
calon doctor dan memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya
ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan
masyarakat. Didasarkan pada bunyi Pasal 49 UU Guru dan Dosen tersebut
maka kewajiban khusus profesor jika dijabarkan adalah (i) mengajar,
menguji, membimbing (sebagai Promotor atau Co-Promotor) calon
doctor, (ii) menulis buku, (iii) menghasilkan karya ilmiah, dan (iv)
menyebarluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat. Dengan
memperhatikan logika bahwa pendidikan doktor adalah pendidikan
tertinggi, maka sangatlah wajar apabila pembimbingnya (Promotor atau
Co-Promotor) telah pula memiliki kualifikasi pendidikan yang sama,
bahkan ditambah dengan pengalaman dalam pengelolaan pembelajaran.
Dengan demikian tidaklah dapat dihindari bahwa syarat untuk menjadi
profesor haruslah melalui jenjang doktor.
4. Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa
“kualifikasi akademik” dalam Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen telah
memberikan ketidakpastian hukum bagi dosen yang memiliki kapabilitas
atau kemampuan dalam mengemban tanggung jawab sebagai lektor
kepala untuk dinaikkan jabatannya sebagai guru besar, tanpa bermakud
menilai kasus konkrit yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat
bahwa, terlepas dari minimnya argumentasi Pemohon berkenaan dengan
hal ini, secara umum, frasa itu pun sesungguhnya justru memberikan
kepastian hukum bukan hanya bagi Pemohon, tetapi juga kepada setiap
orang yang akan menduduki suatu jabatan atau tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Kualifikasi akademik menjadi syarat mutlak yang dapat dilihat
dan dinilai dari pendidikan seseorang. Dalil Pemohon a quo lebih
menekankan kebutuhan hukum bagi Pemohon yang menginginkan norma
baru dikarenakan norma dalam undang-undang yang dimohonkan
pengujian a quo kurang menguntungkan Pemohon untuk menyandang
gelar profesor. Adanya frasa “kualifikasi akademik” justru memberikan
kepastian hukum bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan
pendidikan yang berkualitas dari tenaga pendidik yang telah paripurna
jenjang pendidikannya, terlebih lagi tenaga pendidik tersebut adalah
seorang profesor, maka kualifikasi akademik doktor bagi seorang profesor
merupakan sebuah keniscayaan.
5. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah
ternyata bahwa tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam materi
muatan Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen sehingga Mahkamah
berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430