Johannes Rettob, S.Sos., M.M. yang memberi kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Harseto Setyadi Rajah, S.H., Melani Aulia Putri Jassinta, S.H., Alfian Akbar Balyanan, S.H., Nur Rizqi Khafifah, S.H., para Advokat dan Konsultan Hukum di Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultans, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 83 ayat (1) UU Pemda
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 83 ayat (1) UU Pemda dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk mendahulukan proses pemeriksaan dan memberikan putusan sela guna menunda pemberlakuan ketentuan norma pasal a quo terhadap Pemohon yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status Penangguhan Penahanan sampai adanya putusan Pengadilan Negeri Jayapura atas permohonan Kejati Papua a quo yang berkekuatan hukum tetap, dengan alasan untuk menjaga kondusifitas, mencegah terjadinya kerugian Pemohon yang lebih besar lagi dan tetap menjamin keberlangsungan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat serta agar tidak terabaikannya hak masyarakat Kabupaten Mimika.
Terhadap alasan permohonan provisi Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat adversarial dan bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau bukan merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga negara dan tanpa dibatasi oleh tenggat waktu tertentu. Mahkamah juga tidak menemukan alasan yang cukup untuk menunda keberlakuan norma a quo. Dalam hal ini, Pasal 58 UU MK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh Mahkamah tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan undangundang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalam perkara a quo tidak dapat dibenarkan untuk menunda keberlakuan norma yang dimohonkan pengujian. Terlebih, terhadap permohonan a quo meskipun terdapat ketentuan Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak memerlukan penyelenggaraan sidang untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Sehingga, tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan permohonan provisi Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan a quo, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan oleh Pemohon, telah ternyata yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 yang menurut Pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta tidak memberikan perlindungan atas kehormatan dan martabat bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah ataupun Plt. Kepala Daerah yang sedang menjabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “dikecualikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status penangguhan penahanan”. Terhadap masalah konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa pengaturan terkait dengan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah terus mengalami perbaikan. Tujuan perbaikan dimaksud antara lain adalah menjadikan kinerja kepala daerah/wakil kepala daerah menjadi lebih profesional sehingga mampu memberikan kemajuan bagi daerah yang dipimpinnya. Secara normatif, dalam UU 23/2014, pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 89 UU 23/2014. Dengan maksud membuat keseimbangan, selain mengatur pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah, baik pemberhentian tetap maupun pemberhentian sementara, Undang-Undang a quo juga mengatur tentang rehabilitasi serta pengaktifan kembali kepala daerah/wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara apabila dinyatakan tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
[3.11.2] Bahwa berkenaan dengan ketentuan tentang pemberhentian sementara bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana merupakan pengaturan yang dapat dinilai bersifat antisipatif karena terkait dengan keberlangsungan jalannya pemerintahan daerah. Bagaimanapun, dalam batas penalaran yang wajar, kinerja pemerintahan daerah potensial akan terganggu jika kepala daerah/wakil kepala daerah yang menjabat berada dalam status hukum tersangka atau terdakwa tetap melaksanakan tugas dan wewenang sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2006, menegaskan pemberhentian sementara merupakan realisasi dari prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Lebih jauh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 a quo halaman 39-40 mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa tindakan pemberhentian sementara terhadap pejabat publik, khususnya pejabat tata usaha negara, yang didakwa melakukan tindak pidana adalah penting untuk mendukung bekerjanya due process of law guna mencegah pejabat yang bersangkutan melalui jabatannya mempengaruhi proses pemeriksaan atau tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya. Atau sebaliknya, mencegah penegak hukum terpengaruh oleh jabatan terdakwa sebagai kepala daerah dalam budaya hukum yang bersifat ewuh pakewuh. Dengan demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, dengan adanya pemberhentian sementara terhadap seorang kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut, setiap orang secara langsung dapat melihat bahwa siapa pun yang melakukan tindak pidana atau kejahatan maka terhadapnya akan berlaku proses hukum yang sama, dalam arti bahwa jabatan yang dipegang seseorang tidak boleh menghambat atau menghalangi proses pertanggungjawaban pidana orang itu apabila ia didakwa melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena jabatan tertentu yang dipegang seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, menurut penalaran yang wajar, dapat menghambat jalannya proses peradilan pidana terhadap orang yang bersangkutan – yang dikenal sebagai obstruction of justice – maka demi tegaknya prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) harus ada langkah hukum untuk meniadakan hambatan tersebut. Dalam kaitan dengan permohonan a quo, tindakan administratif berupa pemberhentian sementara seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang didakwa melakukan suatu tindakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda justru merupakan langkah hukum untuk meniadakan potensi obstruction of justice tersebut.
[3.11.3] Bahwa pemberhentian sementara terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksudkan dalam norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 menggambarkan bagaimana hukum tata usaha negara dan hukum pidana bekerja dalam mengantisipasi kemungkinan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan kepala daerah/wakil kepala daerah. Berfungsinya 2 (dua) bidang hukum tersebut pun telah dipertimbangkan dalam halaman 38 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 yang menyatakan sebagai berikut:
Sementara itu, yang dirumuskan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, adalah keadaan yang menggambarkan bekerjanya dua proses dari dua bidang hukum yang berbeda namun berhubungan, yaitu proses hukum tata usaha negara dalam bentuk tindakan administratif (administrative treatment) berupa pemberhentian sementara terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, dan proses hukum pidana yaitu dituntutnya pejabat tata usaha negara tersebut dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu. Untuk adanya proses hukum yang disebut terdahulu, yaitu tindakan administratif pemberhentian sementara, dipersyaratkan adanya proses hukum yang disebut belakangan, yaitu telah dituntutnya seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu.
Dengan merujuk pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 tersebut, terhadap perkara a quo, perlu Mahkamah tegaskan, pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah merupakan tindakan administratif hukum tata usaha negara yang berjalan setelah bekerjanya proses hukum pidana terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah. Selain itu, syarat pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah adalah setelah suatu perkara diregistrasi di pengadilan. Hal demikian, sebagaimana tertuang dalam norma Pasal 83 ayat (2) UU 23/2014 yang menyatakan, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”. Sedangkan, terkait dengan ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penahanan terhadap seseorang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, ataupun hakim yang dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Sehingga, penahanan baru dapat dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu berupa syarat sahnya penahanan (rechtsvaardigheid) dan perlunya penahanan (noodzakelijkheid).
Sementara itu, secara doktriner, sahnya penahanan bersifat objektif dan mutlak yaitu sepanjang terpenuhinya syarat yang ditentukan di dalam undangundang tentang tindak pidana yang tersangkanya dapat dilakukan penahanan, sedangkan makna mutlak berarti pasti yang artinya tidak dapat diatur sendiri oleh penegak hukum. Sementara syarat lain adalah penahanan bersifat relatif/subjektif yang berarti tindakan penahanan merupakan pilihan dan bergantung pada penilaian pejabat yang akan melakukan penahanan kapankah suatu penahanan diperlukan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal a quo tidak dapat menghentikan bekerjanya proses hukum tata usaha negara berupa pemberhentian sementara karena ditahan atau tidaknya kepala daerah/wakil kepala daerah bukan merupakan unsur yang menentukan dikenainya tindakan administratif pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo.
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon dalam petitumnya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan Pasal 83 ayat (1) dengan mengecualikan kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak dilakukan penahanan dan tidak dalam status penangguhan penahanan. Permohonan Pemohon tersebut telah ternyata menghilangkan esensi utama dari Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 yaitu ketentuan terkait pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana. Dengan hilangnya esensi dan tujuan dari pengaturan dalam norma Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 menurut Mahkamah, hal demikian akan menyebabkan rusaknya konstruksi dari norma Pasal a quo, padahal ketentuan terkait Pasal a quo berkaitan erat dengan rumusan dari norma pasal-pasal berikutnya. Sehingga, menghilangkan esensi pemberhentian sementara kepala daerah/wakil kepala daerah yang melakukan tindak kejahatan pidana sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 akan merusak tatanan norma serta menghilangkan jaminan kepastian hukum dalam penanganan kasus hukum bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 telah ternyata memberikan kepastian hukum yang adil dan memberikan perlindungan atas kehormatan dan martabat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430