Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-08-2023

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang diwakili oleh Boyamin Bin Saiman (Koordinator dan Pendiri MAKI) dan Komaryono (Deputi dan Pendiri MAKI) serta Christopus Harno, dalam hal ini memberi kuasa kepada a Rizky Dwi Cahyo Putra, S.H., Marselinus Edwin Hardian, S.H., dan Syarif Ja’far Shadeek, S.H., M.Kn., para advokat di kantor Advokat Boyamin Saiman Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 34 UU 30/2002

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 34 UU 30/2002 Jo. Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya keberlakuan norma Pasal 34 UU 30/2002 sebagaimana telah dimaknai secara bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 juga bagi pimpinan KPK saat ini, maka kekhawatiran para Pemohon apabila Keputusan Presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi berakhir pada tanggal 20 Desember 2024 dapat dibatalkan, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum terhadap segala tindakan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK, menurut Mahkamah tidak beralasan. Jika benar Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini sampai dengan tanggal 20 Desember 2024 sebagaimana didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah Presiden sebagai addressat putusan Mahkamah telah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Artinya, Presiden telah benar dan saksama memahami bahwa putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, dapat saja Mahkamah memberikan perintah (judicial order) di bagian pertimbangan hukum atau dapat juga pertimbangan hukum Mahkamah menimbulkan konsekuensi yuridis yang juga harus ditindaklanjuti oleh addressat putusan Mahkamah. Dalam konteks perkara a quo, oleh karena dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah untuk menjawab masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada tanggal 20 Desember 2023, sedangkan dalam amar putusan masa jabatan pimpinan dimaknai menjadi 5 (lima) tahun maka sebagai konsekuensi yuridis, sebelum berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK saat ini (existing), dalam hal Presiden belum menerbitkan surat keputusan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini sampai dengan tanggal 20 Desember 2024 maka seharusnya Presiden segera menerbitkan Surat Keputusan dimaksud. Sehingga, pimpinan KPK yang saat ini menjabat mendapatkan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan sebagaimana diperintahkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Demikian pula halnya bagi masyarakat juga memperoleh kepastian hukum sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai pimpinan KPK saat ini tidak berprestasi, melanggar kode etik, dan nampak terpengaruh oleh kekuasaan politik sehingga tidak perlu diperpanjang masa jabatannya, bukan persoalan inkonstitusional norma sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Adapun mengenai dalil para Pemohon jika norma a quo diberlakukan pada periode kepemimpinan KPK saat ini maka pimpinan KPK yang akan datang beriringan dengan periode Presiden dan DPR sehingga tujuan menjadikan KPK independen tidak tercapai, menurut Mahkamah desain konstitusional penilaian dalam sistem rekrutmen pimpinan KPK tidak boleh dilakukan 2 (dua) kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama menimbulkan konsekuensi logis periodisasi atau masa jabatan pimpinan KPK beriringan dengan periode Presiden dan DPR, sebagaimana dipahami juga oleh para Pemohon. Namun demikian hal tersebut menurut Mahkamah tidak serta-merta menjadikan independensi KPK tidak tercapai. Independensi dimulai dari sistem seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan bahwa penilaian dalam sistem rekrutmen pimpinan KPK tidak boleh dilakukan 2 (dua) kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Karena, selain menyebabkan perlakuan yang berbeda dengan lembaga negara lainnya yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance, juga berpotensi tidak memengaruhi independensi pimpinan KPK dan beban psikologis serta benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Dalam konteks Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama dimaksud, tidaklah harus terkait dengan orang yang memegang jabatan melainkan didasarkan pada periodisasi kelembagaan Presiden dan DPR.
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 34 UU 30/2002 sebagaimana telah diubah oleh Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “ketentuan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun berlaku untuk kepemimpinan periode berikutnya", menurut Mahkamah merupakan petitum yang ambigu, bahkan tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada kepastian berkaitan dengan periode berikutnya dimaksud. Rumusan petitum “kepemimpinan periode berikutnya” tidak jelas waktunya dan dapat dimaknai kapan saja, sementara itu dalam posita permohonan disebutkan periode 2023-2028, sehingga dapat dinilai terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum permohonan oleh karenanya permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas atau kabur. Namun demikian, seandainya permohonan para Pemohon tidak kabur, quod non, terhadap pokok permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.