Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-08-2023

Hasanuddin Rahman Daeng Naja, S.H., M.Hum., M.Kn (Anggota Badan Wakaf Indonesia) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 56 UU Wakaf

Pasal 7, Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara lurung dan virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 56 UU Wakaf dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah pengaturan masa jabatan anggota BWI dalam norma Pasal 56 UU 41/2004 bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Dalam mempermasalahkan konstitusionalitas norma a quo Pemohon memperhadapkannya dengan masa jabatan anggota KPK yang telah diputus oleh Mahkamah dan masa jabatan lembaga yang serumpun dengan BWI, in casu BAZNAS dan BPKH. Terhadap dalil Pemohon a quo, sebelum Mahkamah menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa lembaga wakaf merupakan pranata keagamaan yang sangat penting bagi kehidupan umat yang memiliki harta benda untuk menentukan harta benda tersebut dapat dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dalam kaitan ini, UU 41/2004 telah menentukan harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Dengan mencermati jangkauan peruntukan harta benda wakaf tersebut maka dapat dikatakan wakaf memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. Untuk mengatur secara jelas perbuatan hukum wakaf tersebut maka wajib ada pencatatan yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf, didaftarkan serta diumumkan pelaksanaannya sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UU 41/2004 dan peraturan pelaksananya. Oleh karena itu, dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional agar tujuan dan fungsi wakaf dapat diwujudkan secara optimal maka dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) [vide Konsiderans Menimbang huruf a dan Penjelasan Umum UU 41/2004].
[3.10.2] Bahwa UU 41/2004 telah menentukan pranata keagamaan BWI sebagai lembaga independen [vide Pasal 1 angka 7 UU 41/2004] yang pengaturannya serumpun dengan pranata keagamaan lainnya, yaitu undang-undang yang mengatur perihal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional dan undang-undang yang mengatur perihal Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang melakukan pengelolaan keuangan haji sebagai lembaga yang mandiri. Penegasan demikian telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU 23/2011) bahwa BAZNAS merupakan lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Adapun masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan [vide Pasal 5 dan Pasal 9 UU 23/2011]. Rumusan yang sama ditentukan pula bagi kelembagaan BPKH bahwa BPKH bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Adapun masa jabatan anggota badan pelaksana BPKH diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya [vide Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU 34/2014)]. Sementara itu, jika dikaitkan dengan kelembagaan KPK ditentukan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019].
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan keberadaan lembaga-lembaga tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa pembentukan lembaga, badan, atau organ oleh negara atau pemerintah sejatinya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan bernegara yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan perdamaian dunia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap lembaga, badan atau organ baik yang telah termaktub dalam UUD 1945 maupun yang dibentuk melalui undang-undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang pada dasarnya kedudukan dan keberadaannya adalah penting (importance) sepanjang berfungsi dengan baik dan efektif. Dalam kaitan ini, terhadap lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945 diposisikan sebagai organ negara utama (main state organ), yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan demi tercapainya tujuan negara. Sementara itu, untuk lembaga negara yang pembentukannya melalui undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang selain menjalankan fungsi pemerintahan juga lembaga yang menjalankan fungsi perbantuan atau menjalankan fungsi penunjang terhadap lembaga negara utama (auxiliary state organ). Dalam praktik, istilah yang digunakan untuk penyebutan auxiliary organ dapat berupa komisi atau badan. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah telah menegaskan dalam Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanggal 8 Februari 2018, bahwa:
Dengan kata lain, lembaga-lembaga negara penunjang tersebut dibentuk dengan tetap berdasar pada fungsi lembaga negara utama yang menjalankan tiga fungsi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Artinya, baik pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dimungkinkan muncul lembaga penunjang untuk mendukung kompleksitas fungsi lembaga utama. Tujuan pembentukannya jelas, yakni dalam rangka efektifitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga utama tersebut
Sementara itu, dalam kaitan dengan lembaga independen, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terdapat beberapa lembaga independen yang menjalankan fungsi penting berkaitan dengan tugas lembaga negara yang dibentuk oleh UUD 1945. Artinya, lembaga independen itu dapat disetarakan dengan lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945, karena merupakan lembaga yang dinilai penting secara konstitusional (constitutional importance), seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan lain sebagainya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2015]. Bahkan, terkait dengan KPK, Mahkamah dalam beberapa putusannya dengan tegas menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara independen yang termasuk dalam constitutional importance [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 19 Desember 2006, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Oktober 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 Mei 2023].
[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama yang didalilkan Pemohon berkenaan dengan telah terjadi diskriminasi terhadap kelembagaan BWI karena masa jabatan anggotanya tidak sama (setara) jika diperhadapkan dengan lembaga serumpun, yaitu BAZNAS dan BPKH yang masa jabatan anggotanya adalah 5 (lima) tahun serta KPK yang telah diputus oleh Mahkamah masa jabatan anggota KPK adalah 5 (lima) tahun. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa wakaf dalam hal ini merupakan instrumen penting yang tidak hanya bertujuan menyediakan sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi memajukan kesejahteraan umum. Sehingga, untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf demi melindungi harta benda wakaf maka diperlukan lembaga/badan yang dapat melaksanakan tugas-tugas berkaitan dengan perwakafan, yaitu BWI. Pembentukan BWI tersebut tercantum dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 47 dan Pasal 49 ayat (1) UU 41/2004 yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 7 UU 41/2004
Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Pasal 47 UU 41/2004
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
(2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya.

Pasal 49 ayat (1) UU 41/2004
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas wewenang:
a melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
b melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Dengan merujuk pada Pasal 1 angka 7, Pasal 47 dan Pasal 49 ayat (1) UU 41/2004 tersebut telah jelas bahwa BWI dibentuk secara khusus untuk melaksanakan kegiatan perwakafan sesuai dengan prinsip syariah. BWI dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen dan berkoordinasi dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
[3.11.2] Bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya, BWI memiliki anggota yang proses rekrutmennya diatur dalam Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2004, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 55 (1) UU 41/2004
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2004
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.

Berdasarkan Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2004 maka dapat diketahui bahwa proses pengangkatan dan pemberhentian anggota BWI dilakukan oleh Presiden. Namun, untuk proses pengangkatan anggota BWI yang pertama kali diusulkan oleh Menteri kepada Presiden dan pengangkatan untuk selanjutnya diusulkan oleh BWI, di mana pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan tersebut ditentukan oleh BWI sendiri dalam Peraturan BWI [vide Pasal 55 ayat (3) UU 41/2004].
[3.11.3] Bahwa dengan mencermati secara komprehensif UU 41/2004, dapat dikemukakan bahwa BWI dibentuk berdasarkan undang-undang yaitu UU 41/2004, merupakan lembaga yang bersifat independen dalam melaksanakan tugas penting pemerintahan hanya di bidang perwakafan, dan proses rekrutmen anggota lembaga/badan melalui proses rekrutmen anggota dan/atau pimpinannya dilakukan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, keberadaan BWI adalah penting secara institusional dalam rangka memajukan kesejahteraan umum, khususnya di bidang perwakafan sesuai dengan tujuan, tugas, fungsi dan kewenangan yang telah ditentukan dalam UU 41/2004.
[3.11.4] Bahwa lebih lanjut terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan BWI memiliki kesamaan dengan salah satu lembaga independen, yaitu KPK sehingga sudah sepatutnya periode masa jabatan bagi anggota BWI mendapatkan perlakuan yang sama dengan KPK sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Menurut Mahkamah, ihwal tersebut tidak dapat dikomparasikan begitu saja sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Meskipun BWI oleh UU 41/2004 disebut sebagai lembaga independen [vide Pasal 1 angka 7 UU 41/2004] dan KPK juga merupakan lembaga independen, namun tugas, fungsi, dan wewenang KPK tidak dapat disetarakan dengan BWI karena KPK menjalankan fungsi yang berkaitan langsung dengan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, khususnya sebagai lembaga penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi. Artinya, KPK termasuk lembaga constitutional importance sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan isu diskriminasi karena adanya perbedaan masa jabatan anggota BWI yang tidak 5 (lima) tahun sebagaimana lembaga serumpun yaitu BAZNAS dan BPKH, serta meminta penyetaraan sebagaimana masa jabatan KPK yang telah diputus oleh Mahkamah menjadi 5 (lima) tahun [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022]. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali putusan-putusan terkait dengan diskriminasi yang sesungguhnya telah diberi batasan oleh Mahkamah, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2006 yang dikutip kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 November 2017 di antaranya menyatakan bahwa:
Diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya [vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia]. Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Article 2 International Covenant on Civil and Political Rights menyatakan, “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya “ (Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status). Mahkamah dalam putusan tersebut menegaskan bahwa benar dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi. Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUUII/2004 bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan. Dalam putusan lainnya yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.

Berkenaan dengan kutipan putusan di atas, adanya perbedaan masa jabatan keanggotaan BWI dengan BAZNAS dan BPKH menurut Mahkamah, baik BWI maupun BAZNAS dan BPKH merupakan lembaga yang secara kelembagaan penting dibentuk karena tujuan, tugas, fungsi dan kewenangan lembaga tersebut tidak dapat dilakukan oleh main state organ atau auxiliary state organ yang telah ada. Oleh karena itu, untuk menentukan berapa lama masa jabatan anggota dari lembaga yang dibentuk, sepenuhnya merupakan kewenangan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing lembaga, badan atau organ yang bersangkutan dalam peraturan pembentukannya. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma karena adanya perbedaan masa jabatan anggota di BWI dengan anggota di BAZNAS dan BPKH. Sebab, perbedaan tersebut tidak didasarkan pada alasan “agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa atau keyakinan politik”, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 56 UU 41/2004 bersifat diskriminatif tidak beralasan menurut hukum; Sementara itu, terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan hak Pemohon yang tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena masa jabatannya tidak 5 (lima) tahun, tidak ada kaitannya dengan Pasal 56 UU 41/2004 karena perbedaan masa jabatan keanggotaan di ketiga lembaga tersebut (BWI, BAZNAS, dan BPKH) tidak menghalangi setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, juga tidak membatasi pengabdian kepada negara dalam mengembangkan perwakafan nasional. Menurut Mahkamah, pengaturan tenggang waktu masa jabatan sejatinya tidak berkorelasi dengan tinggi-rendahnya tingkat kedudukan suatu lembaga, badan, atau organ, serta tidak berkaitan dengan kuantitas dan kualitas pengabdian kepada negara, sehingga tidak menghalangi setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Justru dengan adanya perbedaan tersebut memberikan pilihan kepada warga negara Indonesia tentang kepastian hukum untuk menentukan berapa lama dirinya dalam pemerintahan dalam rangka menjalankan fungsi yang telah ditentukan. Perbedaan masa jabatan di setiap lembaga seperti BWI, BAZNAS, dan BPKH tidak serta-merta dapat diartikan melanggar hak konstitusional warga negara atau bertentangan dengan UUD 1945 karena hal tersebut ditentukan sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, berdasarkan kebutuhan pengaturan masing-masing lembaga. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo yang menyatakan Pasal 56 UU 41/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berkenaan dengan Pasal 56 UU 41/2004 tidak bersifat diskriminatif sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.