Bahrain, S.H., M.H. dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia atau dikenal dengan Centre For Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) yang diwakili oleh Moch. Luqman Hakim dan Maula Dzikril Hakim, dalam hal ini diwakili oleh Rusdiansyah, S.H., M.H., dkk., kesemuanya adalah para Advokat/Calon Advokat/Advokat Magang pada Kantor Hukum Rusdiansyah & Partners, yang selanjutnya disebut Para Pemohon.
Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017
Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum, keterangan ahli Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan Pemohon dan Presiden sebagaimana selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon;
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 bertentangan dengan konstitusi karena periodisasi masa jabatan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak mempertimbangkan adanya tahapan penyelenggaraan pemilu sehingga berpotensi menghambat penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karena itu, menurut Pemohon, masa jabatan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang berakhir bersamaan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu harus diperpanjang sampai dengan selesainya tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024.
[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, Mahkamah akan menguraikan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Negara Indonesia pertama kali menyelenggarakan Pemilu pada Tahun 1955 di bawah sistem demokrasi parlementer dengan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Pemilu Tahun 1955 diselenggarakan untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Penyelenggara Pemilu pada Pemilu Tahun 1955 terdiri atas Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat pusat yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan Panitia Pemilihan (PP) di tingkat provinsi yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Lebih lanjut, terdapat pula Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) di tingkat kabupaten, Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kecamatan, dan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP) di tingkat desa yang mana pengangkatan dan pemberhentian anggotanya dilaksanakan oleh pejabat atau kepala pemerintahan daerah yang berwenang dengan mengatasnamakan Menteri Dalam Negeri. Adapun PPI dan PP diangkat selama empat tahun sedangkan PPK tingkat kabupaten diangkat untuk waktu yang ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri [vide Pasal 17, Pasal 20 sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat];
[3.14.2] Bahwa pada masa orde baru, Pemilu diselenggarakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 oleh Lembaga Pemilihan Umum sebagai badan penyelenggara pemilu yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dengan struktur organisasi penyelenggara terdiri atas Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat Pusat, Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) untuk tingkat provinsi, dan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) untuk tingkat kabupaten/kota. Berkenaan dengan pengangkatan dan pemberhentian anggotanya, dapat dijelaskan secara umum bahwa anggota PPI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri. Di samping itu, anggota-anggota PPD I dan PPD II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I. Adapun PPI bekerja hingga selambat-lambatnya satu tahun setelah pemungutan suara diadakan. Sedangkan PPD I dan PPD II bekerja hingga selambat-lambatnya enam bulan setelah pemungutan suara diadakan [vide Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat];
[3.14.3] Bahwa pasca berakhirnya orde baru, pada tahun 1999, Lembaga Pemilihan Umum dibubarkan dan diganti dengan Komisi Pemilihan Umum dan struktur di bawahnya [vide Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum]. Selanjutnya, pada awal era reformasi, negara Indonesia memandang penting untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan memasukkan ketentuan lebih lanjut mengenai asas penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu, suatu komisi pemilihan umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu, beserta ketentuan lainnya mengenai pemilu sebagaimana yang telah dimuat dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [vide Pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD 1945];
[3.14.4] Bahwa dalam rangka penataan sistem kepemiluan sesuai konstitusi, filosofi keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan demokrasi konstitusional dan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Januari 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 26 Februari 2020, menegaskan bahwa prinsip keserentakan Pemilu merupakan wujud penguatan Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 terhadap penyelenggaran pemilu. Dengan penegasan tersebut, penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, penyelenggaraan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta penyelenggaraan pemilu untuk memilih kepala daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang pada awalnya diselenggarakan secara terpisah, menjadi dilaksanakan secara serentak.
[3.15] Menimbang bahwa setelah memperhatikan secara saksama hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua norma konstitusi di atas sejatinya menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democratic state), di mana terdapat dua faktor esensial, yaitu adanya kebutuhan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat di satu pihak, serta kebutuhan melindungi kepentingan masyarakat umum dan kebutuhan menjaga hak dan kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur yang melekat pada konsep negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi berdasarkan atas hukum;
Bahwa konsekuensi dianutnya negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut Mahkamah, tidak hanya mengandung makna bahwa proses pembentukan hukum dan materi muatannya (in casu undang-undang) harus mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi, juga berarti bahwa praktik demokrasi harus tunduk pada prinsip negara hukum yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (constitution as supreme law). Sebagai negara yang mengakui kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia menganut prinsip konstitusionalisme yang tidak saja memberi arah atau panduan konstitusional dalam menentukan bentuk dan penyelenggaraan pemerintahan, namun juga menjadi leitstar dan pedoman moralitas konstitusi dalam kelindan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, serta pembentukan dan penegakan hukum di berbagai bidang termasuk di bidang politik khususnya di bidang kepemiluan;
Dalam kaitan ihwal di atas, menurut Mahkamah, prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum menjadi prinsip utama dalam penyelenggaraan pemilihan umum hendaknya tidak terdistorsi dalam proses pengisian jabatan penyelenggara pemilihan umum. Prinsip tersebut seharusnya tidak saja lebih impresif tetapi juga harus merefleksikan dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu. Meskipun dalam penerapannya acapkali menimbulkan perbedaan persepsi sehingga berbeda dalam implementasinya karena harus diberi batas yang jelas bahwa penyelenggaraan pemilu tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi basic norm dan merupakan panduan moralitas konstitusi dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip tersebut bekerja secara kolaboratif, sinergis, dan tidak dapat menegasikan satu sama lain karena prinsip tersebut sejatinya sama-sama menjunjung tinggi hak konstitusional warga negara yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of human being);
[3.15.2] Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas melalui partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta berkala yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu, guna dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang pemilu yang menjadi landasan dan dasar bagi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Penyelenggaraan pemilu oleh KPU untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD, serta untuk memilih Kepala Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota secara mandiri yang dalam pelaksanaan kewenangannya tanpa campur tangan pihak manapun sehingga penyelenggaraan pemilu dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Hal ini sebagai bentuk perwujudan kemandirian penyelenggara pemilu, sehingga rakyat dalam memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD, serta memilih baik Presiden dan Wakil Presiden maupun kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan keinginan rakyat sendiri yang diharapkan mampu membawa aspirasi rakyat sebagai pemilih;
Bahwa berkenaan dengan hal di atas, ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 mengamanatkan penyelenggaraan pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Terkait dengan ketentuan tersebut dengan merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU 22/2007), yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 18 Maret 2010, menegaskan, “bahwa untuk menjamin terselenggara dan terwujudnya pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, serta yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.” Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 Maret 2022, serta putusan lainnya yang pada pokoknya menegaskan “…DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara.“ Dengan demikian, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak saja dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga termasuk oleh sebuah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu;
Terkait dengan penyelenggara pemilu, in casu KPU, secara struktural, di dalam kelembagaan KPU terdapat struktur yang bersifat permanen dan bersifat temporer (ad hoc). KPU secara struktur kelembagaan terdiri dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang bersifat permanen, serta didukung struktur kelembagaan yang bersifat temporer (ad hoc) yang terdiri dari PPK, PPS, KPPS, dan Pantarlih pada Pemilu di dalam negeri sedangkan PPLN, KPPSLN, dan Pantarlih LN pada Pemilu di luar negeri [vide Pasal 13 UU 7/2017]. Selanjutnya, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPU dilengkapi dengan Sekretariat Jenderal KPU; KPU Provinsi dilengkapi dengan Sekretariat KPU Provinsi; dan KPU Kabupaten/Kota dilengkapi dengan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, in casu KPU, seharusnya menyelenggarakan pemilu dengan menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tanpa perlu terganggu dengan pengaturan masa jabatan penyelenggara pemilu.
[3.16] Menimbang bahwa setelah uraian sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang mempersoalkan ketentuan norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 secara langsung maupun tidak langsung potensial mengganggu jalannya tahapan pemilu dan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu (rekrutmen) anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota, sehingga apabila tetap dilaksanakan potensial tidak terwujud pemilu yang jujur dan adil serta mandiri yang secara kondisional bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945.
Berkenan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa KPU merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Untuk menghasilkan pemilu yang berintegritas (electoral integrity) dapat dilaksanakan dengan menciptakan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu yang ideal, yang dibutuhkan terkait dengan mekanisme seleksi penyelenggara, yang mencakup regulasi yang mendasarinya, implementasi, dan evaluasi terhadap mekanisme yang diterapkan;
[3.16.2] Bahwa terhadap hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menyampaikan prinsip profesionalitas penyelenggara pemilu sebagaimana terdapat dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Juli 2018, sebagai berikut:
“[3.10.1.1] …
Bahwa kemandirian atau independensi penyelenggara Pemilu juga ditopang oleh aspek imparsialitas dan profesionalitas orang-orang yang diangkat sebagai penyelenggara Pemilu. Dua aspek tersebut akan sangat menentukan bagaimana kemandirian lembaga penyelenggara pemilu dijaga dan ditegakkan. Pada saat yang sama, keduanya juga sangat menentukan bagaimana Pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan.
Bahwa secara konseptual, profesionalitas merupakan salah satu dari 11 prinsip Pemilu berkeadilan yang dirumuskan oleh The United Nations Democracy Fund (UNDEF), di mana prinsip profesionalitas diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu mensyaratkan pengetahuan teknis bagi penyelenggara Pemilu yang mumpuni dan memiliki kompetensi untuk menjelaskan proses atau tahapan Pemilu. Artinya, untuk menjadi penyelenggara, seseorang haruslah memiliki pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Selain itu, beban kerja yang seimbang juga menjadi bagian penting agar kerja-kerja profesional penyelenggara dapat dilakukan secara optimal terutama untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Dalam pengertian demikian, betapapun bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari penyelenggara Pemilu namun bilamana dibebani dengan pekerjaan secara tidak seimbang atau beban yang berlebihan (overload), penyelenggara Pemilu akan sulit untuk bekerja secara profesional. Bagaimanapun, sesuatu yang dapat mengurangi profesionalitas penyelenggara secara langsung juga akan berpengaruh terhadap terwujud atau tidaknya Pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 di atas, anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diwajibkan untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilu secara profesional demi mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih, UU 7/2017 telah menentukan prinsip yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilu, in casu KPU, yaitu prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien [vide Pasal 3 UU 7/2017]. Menurut Mahkamah, penyelenggaraan pemilu dilaksanakan tidak hanya memperhatikan prinsip-prinsip pemilu yang baik tersebut di atas, namun juga harus dilakukan secara terencana dan berdasarkan wewenang penyelenggara pemilu, in casu KPU, yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga penyelenggaraan pemilu khususnya proses seleksi anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota tidak mengganggu tahapan pemilu yang telah ditentukan;
[3.16.3] Bahwa terkait dengan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu, telah diatur dalam UU 7/2017, dalam UU tersebut ditentukan bahwa seleksi untuk anggota KPU, dilaksanakan oleh tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang anggota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen), yang terdiri dari: (a) 3 (tiga) orang unsur pemerintah; (b) 4 (empat) orang unsur akademisi; dan (c) 4 (empat) orang unsur masyarakat. Proses seleksi dilaksanakan terhitung paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya keanggotaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (3), dan ayat (8) UU 7/2017;
Bahwa mekanisme seleksi keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilakukan dengan membentuk tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada setiap provinsi, di mana KPU diberikan kewenangan penuh oleh UU 7/2017 untuk mengatur mengenai tata cara pembentukan Tim Seleksi [vide Pasal 27 UU 7/2017]. Tim seleksi calon anggota KPU Provinsi dan calon anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan tokoh masyarakat yang memiliki integritas [vide Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (3) UU 7/2017];
Selanjutnya, UU 7/2017 mensyaratkan agar anggota tim seleksi calon anggota KPU Provinsi dan calon anggota KPU Kabupaten/Kota dilarang mencalonkan diri sebagai calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota [vide Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 31 ayat (5) UU 7/2017]. Terlebih, tanpa bermaksud menilai legalitas produk hukum pelaksanaan undang-undang, perlu ditegaskan bahwa calon anggota tim seleksi tidak sedang menjabat sebagai penyelenggara pemilu dan pemilihan [vide Pasal 7 huruf c Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota jo. Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut PKPU 4/2023];
Bahwa berdasarkan ketentuan norma Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 32 ayat (3) UU 7/2017, tim seleksi melaksanakan sepuluh tahapan kegiatan dalam proses pemilihan calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sebagai berikut:
Pasal 28 ayat (3) UU 7/2017:
“Untuk memilih calon anggota KPU provinsi, tim seleksi melakukan tahapan kegiatan:
a. mengumumkan pendaftaran bakal calon anggota KPU Provinsi melalui media massa lokal;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota KPU provinsi;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Provinsi;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Provinsi;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetahuan dan kesetiaan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika serta pengetahuan mengenai pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian;
f. melakukan serangkaian tes psikologi;
g. mengumumkan melalui media massa lokal daftar nama bakal calon anggota KPU provinsi yang lulus seleksi tertulis dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
h. melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi Penyelenggaraan Pemilu dan melakukan klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat;
i. menetapkan nama calon anggota KPU provinsi sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU provinsi yang berakhir masa jabatannya dalam rapat pleno; dan
j. menyampaikan nama calon anggota KPU provinsi sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU provinsi yang berakhir masa jabatannya kepada KPU.”
Pasal 32 ayat (3) UU 7/2017:
“Untuk memilih calon anggota KPU Kabupaten/Kota, tim seleksi melakukan tahapan kegiatan:
a. mengumumkan pendaftaran bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota melalui media massa lokal;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota KPU Kabupaten/ Kota;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama tentang pengetahuan dan kesetiaan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika serta pengetahuan mengenai pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian;
f. melakukan tes psikologi;
g. mengumumkan melalui media massa lokal daftar nama bakal calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang lulus seleksi tertulis dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
h. melakukan tes kesehatan dan wawancara dengan materi Penyelenggaraan Pemilu dan melakukan klarifikasi atas tanggapan dan masukan masyarakat;
i. menetapkan nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatan-nya dalam rapat pleno; dan
j. menyampaikan nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatannya kepada KPU.”
Bahwa setelah pelaksanaan seluruh tahapan di atas oleh tim seleksi, KPU kemudian bertugas untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diajukan oleh tim seleksi. Setelah itu, KPU akan menetapkan sejumlah nama calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota terpilih berdasarkan peringkat [vide Pasal 30 dan Pasal 34 UU 7/2017];
Bahwa terhadap pembagian tugas antara KPU dan tim seleksi dalam proses seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tersebut, Mahkamah menilai bahwa sebagian besar tugas yang ada dalam tahapan seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh tim seleksi yang keanggotaannya tidak berasal dari unsur KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dalam tahap seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, KPU masih mempunyai tugas untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, KPU masih dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dalam tahapan penyelenggaraan pemilu sekalipun adanya seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di saat yang bersamaan dikarenakan adanya porsi tugas dalam proses seleksi yang lebih besar yang dimiliki oleh tim seleksi yang berasal dari luar unsur KPU. Hal itu juga ditegaskan dalam keterangan Pihak Terkait KPU mengenai tahapan seleksi dan pembagian tugas antara tim seleksi dan KPU dalam proses seleksi [vide Keterangan Pihak Terkait KPU, tertanggal 21 Februari 2023, angka 6 sampai dengan angka 9, hlm. 4-5]. Dengan demikian, berdasarkan penalaran yang wajar, tahapan penyelenggaraan pemilu tidak akan terganggu sekalipun dilakukan proses seleksi keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan secara bersamaan dengan seleksi calon anggota KPU dimaksud sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon.
[3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan keberlakuan ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 memberikan ketidakpastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak Pemohon untuk terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan demokratis, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Berkaitan dengan dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu merupakan salah satu institusi demokratis yang menentukan legalitas dan legitimasi terpilihnya pemimpin dan wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan asas pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penyelenggaraan pemilu menuntut kapabilitas, profesionalitas, dan integritas dari penyelenggara pemilu, in casu KPU, dalam menjalankan tugasnya baik sebagai penyelenggara pemilu tetap (KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota) maupun sebagai penyelenggara pemilu bersifat ad hoc (PPK, PPS, dan KPPS). Pemilu yang berkualitas dapat terlaksana, salah satunya dengan integritas dan kemandirian penyelenggara pemilu melalui tahapan pelaksanaan pemilu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun tahapan dimaksud sebagaimana telah diatur dalam Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, sebagai berikut:
Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017:
“Tahapan Penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu;
b. pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih;
c. pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu;
d. penetapan Peserta Pemilu;
e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f. pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
g. masa Kampanye Pemilu;
h. Masa Tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil Pemilu; dan
k. pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
[3.17.2] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terkait ketentuan periodisasi masa jabatan anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dalam norma Pasal 10 ayat (9) yang memberikan ketidakpastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak-hak Pemohon, menurut Mahkamah norma Pasal 10 ayat (9) yang sedang diujikan konstitusionalitasnya oleh Pemohon, perlu dipahami norma a quo tidak hanya sebagai dasar hukum pengaturan mengenai masa jabatan keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota pada Pemilu 2024, melainkan juga telah berlaku dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan penyelenggaraan pemilu-pemilu di masa yang akan datang. Artinya, apabila pasal a quo ditafsirkan sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, maka secara yuridis ketentuan pasal a quo hanya dapat digunakan untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2024, dan tidak dapat digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu di masa yang akan datang;
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, keberadaan norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 merupakan salah satu wujud kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang sejatinya menjamin adanya pengakuan terhadap kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Artinya, penyelenggara pemilu, in casu KPU, seharusnya tetap menyelenggarakan Pemilu dengan menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat, kepastian dan perlindungan hukum secara transparan dan akuntabel.
[3.18] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan rekrutmen penyelenggara pemilu, in casu anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota, juga harus mulai dibangun agar dapat dilakukan secara serentak, di luar tahapan Pemilu dan Pemilihan, sehingga tidak mengganggu jalannya tahapan Pemilu dan Pemilihan. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden didesain secara serentak sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan putusan-putusan lainnya yang menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak. Terkait hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pada Paragraf [3.17], hlm. 83-84, menegaskan sebagai berikut:
“… Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan. Menurut Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur ketatanegaraan dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk menghindari penafsiran yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis.”
Selanjutnya, dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, menegaskan sebagai berikut:
“2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.”
[3.18.2] Bahwa penyelenggaraan pemilu didesain untuk dilaksanakan secara serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak. Terkait hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, pada Paragraf [3.16], hlm. 323-324, menegaskan sebagai berikut:
[3.16] Menimbang bahwa merujuk pada pertimbangan di atas, sebagai bagian dari penguatan sistem pemerintahan presidensial, pemilihan umum serentak dengan cara menyerentakan pemilihan umum anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden masih terbuka kemungkinan ditinjau dan ditata kembali. Peninjauan dan penataan demikian dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintahan presidensial, yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan demikian, baik secara doktriner maupun praktik, didasarkan pada basis argumentasi bahwa keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial;
Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;
Bahwa sekalipun Mahkamah telah menyatakan beberapa alternatif model keserentakan penyelenggaraan pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, pilihan salah satu model keserentakan pemilu tersebut diserahkan kepada pembentuk undang-undang guna dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Namun, pada faktanya pembentuk undang-undang sampai sejauh ini belum melakukan revisi atas UU 7/2017. Karena fakta tersebut, segala desain hukum kepemiluan masih menggunakan model yang diatur dalam UU 7/2017 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, termasuk dalam hal ini, belum diikuti dengan pengisian secara bersamaan seluruh anggota penyelenggara pemilu terutama penyelenggara pemilu di daerah. Oleh karena itu, dalam konteks permohonan a quo, seharusnya KPU menyesuaikan pemilihan anggota KPU provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota sehingga sesuai dengan desain penyelenggaraan pemilu secara serentak. Namun, karena tahapan penyelenggaraan pemilu telah berjalan dan bahkan sebagian anggota KPU di daerah telah terpilih sesuai dengan akhir masa jabatan masing-masing, sehingga tidak memungkinkan dilakukan proses pengisian jabatan anggota penyelenggara pemilu di daerah secara serentak;
[3.19] Menimbang bahwa sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang telah ditegaskan kembali dalam Paragraf [3.18] di atas, secara hukum, pemilu secara serentak merupakan pilihan yang tidak dapat dihindari. Bahkan, secara faktual pemilu secara serentak tersebut telah dimulai sejak penyelenggaraan Pemilu 2019, dan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 keserentakan dilaksanakan juga dengan pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, agar makna keserentakan dimaksud tidak hanya dimaknai keserentakan dalam pemungutan suara namun juga keserentakan semua unsur penting dalam tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu dimaksud. Salah satu, unsur penting dalam tahapan penyelenggaraan pemilu adalah pengisian penyelenggara pemilu. Oleh karena telah diadopsinya model pemilu secara serentak, sehingga tidak ada pilihan lain selain melakukan pengisian penyelenggara pemilu secara serentak. Namun demikian, oleh karena permohonan pengujian diajukan oleh Pemohon ketika tahapan penyelenggaraan pemilu telah dimulai, sehingga pengisian penyelenggara pemilu di daerah secara serentak tidak mungkin dilaksanakan pada pemilu secara serentak tahun 2024. Dengan telah dimulainya tahapan tersebut, menjadi tidak relevan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan penyelenggara pemilu di beberapa daerah.
[3.20] Menimbang bahwa dalam hal pembentuk undang-undang melakukan penyesuaian terhadap UU 7/2017, beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk menyesuaikan rekrutmen penyelenggara pemilu dengan prinsip keserentakan penyelenggaraan pemilu, antara lain: (1) rekrutmen penyelenggara pemilu harus dilakukan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilu; (2) rekrutmen hendaknya didesain dengan lebih baik, sehingga menghasilkan penyelenggara pemilu yang mampu melaksanakan atau mewujudkan asas-asas penyelenggaraan pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, proses rekrutmen dapat menghasilkan penyelenggara pemilu yang berkompeten serta memiliki integritas dan mampu menjaga independensi terhadap semua peserta pemilu; (3) penyelenggara pemilu dibekali secara memadai melalui pelatihan, workshop, dan/atau bimbingan teknis pelaksanaan tugas kepemiluan yang dilaksanakan sebagai penyelenggara dalam pemilihan umum secara serentak.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 10 ayat (9) UU 7/2017 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.22] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430