Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 114/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-06-2023

Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Sururudin, S.H., L.LM, dkk, para advokat dan penasihat hukum dari kantor hukum DIN LAW GROUP, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara langsung oleh Tim Kuasa dengan didampingi oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil-dalil para Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut para Pemohon, sistem proporsional dengan daftar terbuka dapat membahayakan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, karena sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka dianggap membuka ruang bagi seseorang untuk berusaha menjadi populer, menimbulkan kebebasan tanpa batas, dan merusak ideologi bernegara;
2. Bahwa menurut para Pemohon, meskipun Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 tidak disebutkan apakah pemilihan umum dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka atau tertutup, namun sejarah pemilihan umum dari tahun 1955 sampai 2004 pemilihan umum dilakukan dengan sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilihan umum saat itu berjalan dengan baik dan menghasilkan proses demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan kebersamaan masyarakat melalui saluran partai politik.
3. Bahwa menurut para Pemohon, dengan adanya Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017 telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi dan pengurus partai politik. Oleh karena itu, pasal-pasal tersebut harus dibatalkan untuk mengembalikan perintah konstitusi bahwa peserta pemilihan umum calon anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, menegaskan calon anggota DPR/DPRD adalah utusan partai politik, dan meningkatkan semangat untuk menjadi pengurus partai politik.
4. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menempatkan pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dengan peranan partai politik sebagai pesertanya, sehingga masuk dalam sistem representasi kepartaian bukan dengan mengarahkan pada mandat bebas, yakni wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya.
5. Bahwa menurut para Pemohon, model penetapan calon anggota DPR dan DPRD menurut Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 menganut model sistem proporsional dengan daftar terbuka, sebagai konsekuensi logisnya lahirlah Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017. Sistem ini telah menggeser makna peserta pemilihan umum dari partai politik menjadi perseorangan. Sebab, dalam penentuan calon terpilih, partai politik telah kehilangan kedaulatan. Sistem “proporsional terbuka/suara terbanyak perseorangan” pada pokoknya telah menempatkan individu sebagai “peserta pemilihan umum sebenarnya”. Oleh karenanya sudah tidak ada bedanya pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dengan pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pesertanya adalah calon perseorangan atau wakil dari provinsi. Dengan demikian, menurut para Pemohon, sistem pemilihan umum proporsional berbasis suara terbanyak telah dibajak oleh calon anggota DPR/DPRD pragmatis yang hanya bermodalkan “populer dan menjual diri” tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur partai politik, serta tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
6. Bahwa menurut para Pemohon, hak konstitusional terhadap “kepastian hukum yang adil” menekankan pada konsistennya struktur-struktur ketatanegaraan agar konstitusi dijalankan. Sementara itu, Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menekankan pada partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, bangunan ketatanegaraan menghendaki sistem proporsional dengan daftar tertutup yang memberikan keleluasaan kepada partai politik. Sedangkan, sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik, dan telah mengenyampingkan peranan partai politik di dalam sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum.
7. Bahwa menurut para Pemohon, sistem proporsional dengan daftar terbuka menyebabkan:
i. kerumitan dalam pelaksanaan pemilihan umum, bukan hanya kepada pemilih namun juga bagi penyelenggara pemilihan umum;
ii. peningkatan penggunaan anggaran negara yang sangat besar namun tidak berkorelasi dengan kualitas anggota DPR dan DPRD yang terpilih;
iii. politik uang (money politics) dan mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Penentuan caleg terpilih berdasarkan jumlah nilai suara terbanyak, telah menjadikan pemilihan umum anggota DPR/DPRD sebagai “perang terbuka” antarcalon dan antarpartai politik serta bahkan antarcalon intra partai politik, sehingga menjadikan pemilihan umum sebagai “pasar bebas” kompetisi politik yang sangat rentan terhadap konflik sosial dan masifnya politik uang;
iv. pelemahan pelembagaan partai politik karena yang menentukan terpilihnya bukan melalui kampanye yang diorganisir oleh partai politik melainkan karena mengkampanyekan diri sendiri;
v. masalah multidimensi, seperti masalah psikologi calon anggota DPR/DPRD yang gagal dan timbulnya konflik internal antar anggota partai politik.
8. Bahwa menurut para Pemohon, sistem proporsional dengan daftar terbuka juga menyebabkan calon anggota legislatif perempuan kurang mendapatkan kursi, karena kuota 30% (tiga puluh per seratus) perempuan dalam daftar calon tetap di surat suara dan setiap tiga daftar calon terdapat satu calon anggota legislatif perempuan (zipper system) tidak berguna, sebab calon anggota legislatif dipilih berdasarkan suara terbanyak, dan bukan dengan nomor urut.
9. Bahwa menurut para Pemohon, permohonan ini memiliki kaitan erat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang selama ini telah digunakan sebagai acuan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Apabila dikaitkan dengan perspektif living constitution maka hal tersebut tentunya dapat saja diubah guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Karena, sistem pemilihan umum harus adaptif dan responsif terhadap hal-hal baru sejalan dengan pengalaman bangsa yang terus berkembang.
10. Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 168 ayat (2) khususnya kata “terbuka” dan tindak lanjut operasionalnya yaitu pada frasa “jumlah nilai terbanyak” dalam Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3), serta penempatan nama calon legislatif pada Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, dan Pasal 386 ayat (2) huruf b UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang tidak pernah menyebutkan pemilihan umum anggota DPR dan DPRD dilakukan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
11. Bahwa berdasarkan dalil-dalil di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan:
i. kata “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
ii. kata “proporsional” pada Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sistem proporsional tertutup”;
iii. frasa “nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan” pada Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 berbunyi, “Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik”;
iv. frasa “dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” pada Pasal 353 ayat (1) huruf b UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 353 ayat (1) huruf b UU 7/2017 berbunyi, “Pemberian suara untuk Pemilu dilakukan dengan cara: mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik”;
v. frasa “dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berada pada kolom yang disediakan” pada Pasal 386 ayat (2) huruf b UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 386 ayat (2) huruf b UU 7/2017 berbunyi, “Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila: tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik”;
vi. frasa “jumlah nilai terbanyak” pada Pasal 420 huruf c UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut”;
vii. Pasal 420 huruf d UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
viii. frasa “ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masingmasing calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara” pada Pasal 422 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 422 UU 7/2017 berbunyi, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan”;
ix. frasa “berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya” pada Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 426 ayat (3) UU 7/2017 berbunyi, “Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut”;
[3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.9.1] Bahwa terhadap keterangan DPR yang di dalamnya terdapat pandangan berbeda yang disampaikan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Mahkamah mempertimbangkan pemberi keterangan dalam perkara pengujian undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah lembaga negara. DPR merupakan salah satu lembaga negara, dalam hal ini sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah, DPR secara kelembagaan dapat diminta oleh Mahkamah untuk memberi keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Mahkamah. Dengan demikian, keterangan DPR sejatinya merupakan keterangan yang diberikan lembaga perwakilan rakyat sebagai satu kesatuan pandangan lembaga, bukan pandangan fraksi. Karena, pada dasarnya materi keterangan DPR berkaitan dengan kesepakatan DPR pada waktu membentuk suatu undang-undang termasuk di dalamnya materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang ternyata di kemudian hari diajukan pengujiannya ke Mahkamah, sehingga sudah sepantasnya tidak ada perbedaan pandangan. Berdasarkan hal tersebut, sepanjang perbedaan pandangan dari F-PDIP dalam keterangan DPR, lebih merupakan persoalan internal lembaga DPR, sehingga yang akan Mahkamah pertimbangkan adalah keterangan DPR secara kelembagaan.
[3.9.2] Bahwa terhadap adanya keberatan dari beberapa Pihak Terkait mengenai indikasi perbedaan tanda tangan pada permohonan dan perbaikan permohonan para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan seharusnya keberatan tersebut disampaikan sejak awal dalam keterangan Pihak Terkait karena hal tersebut merupakan bagian dari permohonan yang dapat ditanggapi oleh Pihak Terkait. Namun demikian, faktanya beberapa Pihak Terkait mengajukan keberatan setelah menyampaikan keterangannya, sehingga menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk mempermasalahkan hal tersebut ke Mahkamah. Hal tersebut bukan berarti Mahkamah memperbolehkan adanya perbedaan tanda tangan permohonan dan perbaikan permohonan, namun menurut Mahkamah kesempatan untuk mempersoalkannya seharusnya digunakan bersama-sama dengan pemberian keterangan terhadap permohonan para Pemohon. Sehingga, oleh karena tidak disampaikan bersamaan dengan keterangan terhadap permohonan para Pemohon maka persoalan tersebut menurut Mahkamah lebih tepat diselesaikan oleh organisasi advokat kuasa hukum para Pemohon. Terlebih, berdasarkan pencermatan Mahkamah, tidak terdapat adanya bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah terkait dengan perbedaan tanda tangan dimaksud. Berdasarkan hal tersebut, keberatan terhadap perbedaan tanda tangan dalam permohonan dan perbaikan permohonan para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

[3.10] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-28 dan mengajukan 4 (empat) orang ahli bernama Fritz Edward Siregar dan Agus Riwanto yang menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 29 Maret 2023 dan telah didengar keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 5 April 2023 serta Hafid Abbas dan Mada Sukmajati yang menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 10 April 2023 dan telah didengar keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 12 April 2023. Para Pemohon juga telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 30 Mei 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.11] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 24 Januari 2023 dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2023 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis tambahan yang diterima Mahkamah pada tanggal 23 Februari 2023. DPR juga telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 6 Juni 2023, namun tidak dipertimbangkan karena telah melewati batas waktu penyampaian kesimpulan yakni pada tanggal 31 Mei 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.12] Menimbang bahwa Presiden telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 16 Januari 2023 dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2023. Presiden juga telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 31 Mei 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada tanggal 17 Januari 2023 (selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara).

Putusan Mahkamah ini meniadakan standar ganda dalam penetapan calon anggota lembaga perwakilan terpilih yang semula didasarkan pada nomor urut dan suara terbanyak, menjadi hanya berdasarkan pada suara terbanyak saja. Putusan ini jelas telah memenuhi rasa keadilan di masyarakat sebab usaha setiap calon anggota legislatif berbanding lurus dengan apa yang diperolehnya kemudian. Berbeda dengan sistem nomor urut yang penetapan calon terpilihnya didasarkan pada urutan yang telah ditentukan oleh partai politik.
Namun demikian, di sisi lain, penetapan calon anggota lembaga perwakilan berdasarkan pada suara terbanyak, disadari atau tidak telah membangun ikatan emosional antara pemilih dengan wakilnya di Parlemen secara personal. Hal ini lah yang memicu kekhawatiran akan mengendurnya kepercayaan masyarakat kepada peran partai politik. Bahkan memicu semakin melemahnya peran partai politik. Sebab, narasi yang seolah dibangun adalah mengikat hubungan emosional antara calon anggota lembaga perwakilan dengan pemilihnya, bukan membangun hubungan emosional antara partai politik dengan pemilihnya. Hal ini merupakan salah satu efek negatif pemilihan dengan sistem proporsional terbuka. Oleh karena itu, N.W. Barber dalam tulisannya berjudul, “Populist Leaders and Political Parties” yang dipublikasikan di dalam German Law Journal (2019), 20. pp.129-140., menyoroti melemahnya peran partai politik karena popularitas, dalam hal ini tentu saja popularitas calon anggota legislatif. Menurut N.W. Barber,”The absence of a well-functioning party system might contribute to the rise of populism, whilst a decaying party system may become vulnerable to its temptations”. (Ketiadaan sistem partai yang berfungsi dengan baik dapat berkontribusi kebangkitan populisme, sementara sistem partai yang membusuk mungkin menjadi rentan terhadap godaannya).
Menurut hasil survey yang dirilis Indikator Politik Indonesia pada 4 Maret 2022, dari 12 (dua belas) institusi demokrasi, partai politik berada di posisi terbawah dengan tingkat kepercayaan publik hanya 54% (lima puluh empat persen). Bahkan menurut Burhanudin Muhtadi sebagaimana dikutip oleh kompas.com, partai politik memiliki tingkat kepercayaan paling rendah. (https://nasional.kompas.com/read/ 2022/04/03/19371471/survei-indikator-kepercayaan-publik-terhadap-partai-politikrendah?page=all).

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tingkat kepercayaan publik kepada partai politik mengalami penurunan, yakni:
1. Korupsi. Hingga saat ini korupsi masih menjadi permasalahan yang sering dikaitkan dengan partai politik. Korupsi yang acapkali kali dilakukan oleh pejabat pemerintah atau politisi telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
2. Janji tidak terpenuhi. Salah satu yang ditawarkan oleh partai politik pada saat kampanye adalah program kerja dan janji politiknya. Oleh karena itu, tatkala partai politik tidak mampu atau tidak mau memenuhi janji-janji kampanye mereka setelah terpilih, hal ini dapat menyebabkan kekecewaan dan menurunkan kepercayaan publik.
3. Kegagalan dalam menyelesaikan masalah. Partai politik sebagai sarana demokrasi dituntut untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti pengangguran, kemiskinan, atau ketidakadilan sosial, maka kepercayaan terhadap partai tersebut bisa menurun.
4. Konflik kepentingan. Hal yang acapkali ditunjukan oleh partai politik kepada publik, yakni seringkali partai politik terlihat lebih peduli terhadap kepentingan pribadi atau kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini tentu saja berpotensi merusak kepercayaan publik dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap tujuan partai politik.
5. Kurangnya prinsip demokrasi dan transparansi. Ketika partai politik tidak menerapkan prinsip demokrasi dalam pengelolaan partai dan kurang transparan dalam pengambilan keputusan, pendanaan kampanye, atau tindakan politik lainnya, hal ini juga dapat menimbulkan kecurigaan dan merusak kepercayaan masyarakat.
6. Skandal dan perilaku buruk politisi. Perilaku buruk, termasuk skandal pribadi, penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan tidak etis oleh politisi, bisa mengurangi kepercayaan terhadap partai politik yang mereka wakili.
7. Perbedaan ideologi dan kepentingan. Masyarakat yang memiliki beragam pandangan politik dan kepentingan mungkin merasa bahwa partai politik tidak mewakili atau tidak memperhatikan aspirasi dan kebutuhan mereka secara memadai.
Padahal peran partai politik dalam negara demokrasi bersifat penting dan strategis karena berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana mengelola konflik, sarana melakukan kontrol politik, dan sarana partisipasi politik sebagaimana telah diuraikan di atas. Sementara itu, mengusung sistem pemilu ke arah proporsional tertutup bukan lah merupakan solusi yang tepat karena berpotensi membeli kucing dalam karung dan hanya memindahkan perilaku politik transaksional antara calon anggota legislatif dengan partai politik pengusung.

[6.4] Menimbang bahwa gagasan yang ditawarkan untuk memperbaiki sistem Pemilu ke depan adalah mengusung sistem proporsional terbuka terbatas, yakni dengan memperbaiki berbagai kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem proporsional terbuka dan mengambil kelebihan-kelebihannya dan mengambil kelebihan-kelebihan yang ada pada sistem proporsional tertutup.

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas
Isu hukum mengenai sistem Pemilu merupakan Kebijakan Hukum Terbuka (Opened Legal Policy), namun tidak berarti hal tersebut menghalangi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya. Oleh karena itu, kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dapat dinilai konstitusionalitasnya apabila bertentangan dengan moralitas, bertentangan dengan rasionalitas, menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), dilakukan dengan sewenang-wenang dan bertentangan dengan UUD 1945.
Setelah 5 (lima) kali menyelenggarakan Pemilu, diperlukan evaluasi, perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah 4 (empat) kali diterapkan, yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. Peralihan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan. Sebab, dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat, adanya potensi konflik yang tajam dalam masyarakat yang berbeda pilihan, terutama diantara masing-masing calon anggota legislatif dan tim suksesnya dalam satu partai yang sama atau konflik internal antar calon anggota legislatif dalam satu partai harus berakhir di Mahkamah Konstitusi karena tidak dapat diselesaikan oleh partainya. Persaingan pun amat liberal. Berdasarkan berita yang dirilis Fadli Ramadhanil, Perludem, pada 2019 ada 14 partai yang mengajukan sengketa internal dengan rincian 94 perkara merupakan sengketa internal dari 261 permohonan keseluruhan. Artinya, sebanyak 36% perkara didominasi sengketa internal (https://news.detik.com/berita/d-4624748/perludem-14-parpol-gugatkonflik-internal-ke-mk-gerindra-terbanyak). Hal ini menjadi penanda banyaknya caleg yang tidak siap kalah dan hanya siap menang. Hal yang ironis dalam pelaksanaan kontestasi pemilu legislatif. Padahal seharusnya Pemilu harus dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dan gotong royong yang merupakan ciri khas dan karakter demokrasi kita, yakni demokrasi Pancasila.
Dalam hal ini Mahkamah sependapat dengan ahli Mada Sukmajati yang mendasarkan peralihan sistem pemilu dari proporsional terbuka perlu dilakukan karena beberapa hal, yaitu, pertama, sistem proporsional daftar terbuka telah mendorong fenomena pilihan personal (personal vote) dari para pemilih yang bisa jadi menyisakan potensi konflik horizontal pasca pemilu karena fokus pemilih adalah pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik. Kedua, dari sisi efisiensi anggaran, waktu dan tenaga, sistem pemilu tersebut juga lebih sesuai. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh keterangan tertulis pihak terkait, yaitu KPU.
Namun demikian, perubahan harus lah menggabungkan hal-hal yang baik yang ada di dalam sistem proporsional terbuka dan hal-hal yang baik yang ada pada sistem proporsional tertutup dengan konsepsi prismatis, sehingga diperoleh sistem pemilu yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Gagasan yang ditawarkan adalah melalui sistem Pemilu proporsional terbuka terbatas.
Sementara itu, terdapat beberapa alternatif dalam penetapan calon terpilih berdasarkan sistem Pemilu proporsional terbuka terbatas, yakni:
1. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara. Namun, penentuan dan penetapan calon terpilih didasarkan pada daulat partai dengan sistem nomor urut, khusus bagi penentuan kuota 30% perempuan dan berdasarkan pada suara terbanyak bagi calon anggota legislatif lainnya. Sehingga calon anggota legislatif perempuan ditempatkan di nomor urut kecil. Dengan begitu, partai politik memiliki peranan yang penting dan menentukan dalam memilih calon anggota legislatif berkualitas dan masyarakatpun tetap dapat berkontribusi untuk menjaga kualitas calon anggota legislatif.
2. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara berdasarkan nomor urut. Namun penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut yang disusun berdasarkan hasil seleksi yang objektif, partisipatif, transparan dan akuntabel dengan memerhatikan pada nilai potensi, jiwa kepemimpinan, integritas, kerjasama, komunikasi, komitmen kualitas dan perekat bangsa.
3. Mencantumkan tanda gambar partai politik dan list nama calon anggota legislatif pada surat suara berdasarkan nomor urut. Namun mekanisme yang digunakan seperti pola penentuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2004, yakni nama calon yang mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih. Sementara itu, nama calon yang tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Dengan begitu, pola ini tetap memberi ruang bagi masyarakat dalam menentukan wakilnya sepanjang mencapai angka BPP, dan tetap memberikan ruang bagi partai politik menentukan calonnya apabila tidak memenuhi angka BPP.
Selain ketiga varian di atas, ada pula varian lainnya, yakni penerapan sistem proporsional tertutup dapat diberlakukan hanya untuk memilih calon anggota DPR RI, sedangkan calon anggota DPRD Provinsi Kabupaten/Kota dipilih berdasarkan sistem proporsional terbuka.
Tiga alternatif penetapan calon anggota legislatif di atas merupakan opsi bagi penentuan calon anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka terbatas. Sementara varian keempat penetapan sistem proporsional tertutup dan terbuka secara bersamaan, namun level penerapannya dibedakan. Opsi-opsi yang nantinya dipilih diserahkan kepada legal policy pembentuk undang-undang. Selain itu, untuk menghindari kesan adanya oligarki dan politik transaksional dalam penentuan calon anggota legislatif oleh partai politik diperlukan beberapa hal, yakni:
1. Perlunya demokratisasi di dalam struktur partai politik, sehingga pola rekrutmen dan seleksi para calon anggota DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara yang objektif, partisipatif, akuntabel, dan transparan.
2. Diperlukan pula penguatan kaderisasi partai politik melalui pendidikan kader yang berjenjang selama minimal 3 (tiga) tahun untuk calon anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan 5 (lima) tahun untuk calon anggota DPR RI sehingga calon anggota legislatif yang terpilih betul-betul diusulkan dari proses kaderisasi yang matang. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari adanya fenomena “kutu loncat” dalam setiap pencalonan anggota DPR/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga kader-kader partai politik dapat menyerap ideologi partai dengan baik. Dengan demikian nantinya akan terpilih anggota legislatif yang benar-benar berasal dari kader-kader terbaik yang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat secara umum dan dapat menjalankan tugas sebagai legislator yang handal.
Berkaitan dengan perubahan posisi dan standing Mahkamah dari Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, meskipun perkara a quo hanya berkaitan dengan suatu hal yang bersifat parsial dalam UU Pemilu, khususnya hanya berkaitan dengan penetapan calon anggota legislatif terpilih, namun menurut saya, penting untuk menjelaskan perubahan posisi dan standing Mahkamah dalam beberapa kasus terdahulu, yaitu:
1. Dalam perkara Pemilu Serentak (Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dilakukan secara serentak telah mengubah posisi dan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden yang dilakukan secara terpisah merupakan konvensi ketatanegaraan oleh karenanya dinilai konstitusional).
2. Dalam perkara verifikasi Partai Politik (Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Partai Politik yang lolos Parliementary Threeshold dan memiliki perwakilan di DPR RI tidak perlu dilakukan verifikasi faktual telah mengubah posisi dan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 53/PUUXV/2017 yang menyatakan semua partai politik harus dilakukan verifikasi administrasi dan faktual).
3. Dalam perkara penghitungan hitung cepat (quick count) (Putusan Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang menilai bahwa ketentuan pidana bagi pihak yang mengumumkan hasil quick count pada masa tenang tidak bertentangan dengan UUD 1945 telah mengubah posisi dan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 yang membatalkan pasal mengenai ketentuan pidana bagi siapa saja yang mengumumkan hasil quick count pada masa tenang).
Perubahan pendirian dan posisi Mahkamah bukan lah menunjukan inkonsistensi Mahkamah terhadap putusannya sendiri. Namun, perubahan dimaksud merupakan upaya Mahkamah agar hukum itu dapat memenuhi kebutuhan manusia dan agar mewujudkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution) yang adaptif dan peka terhadap perkembangan zaman dan perubahan masyarakat. Apalagi Indonesia bukan lah negara yang menganut tradisi hukum common law yang tunduk pada doktrin stare decicis atau the binding force presedent. Meskipun di negara-negara yang menganut doktrin stare decicis seperti Amerika dan Inggris tidak pula menerapkan secara mutlak doktrin ini. Misal, Mahkamah Agung Amerika Serikat yang semula berpendapat bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas warna kulit tidaklah bertentangan dengan Konstitusi sepanjang dilaksanakan berdasarkan prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama), sebagaimana diputus dalam kasus Plessy v. Fergusson (1896), kemudian berubah dengan menyatakan bahwa pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit adalah bertentangan dengan Konstitusi, sebagaimana dituangkan dalam putusannya pada kasus Brown v. Board of Education (1954). Demikian pula ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam permasalahan hak untuk didampingi penasihat hukum bagi seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dalam proses peradilan. Semula, dalam kasus Betts v. Brady (1942), Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendirian bahwa penolakan pengadilan negara bagian untuk menyediakan penasihat hukum bagi terdakwa yang tidak mampu tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Namun, melalui putusannya dalam kasus Gideon v. Wainwright (1963), Mahkamah Agung mengubah pendiriannya dan berpendapat sebaliknya, yaitu seseorang yang tidak mampu yang didakwa melakukan tindak pidana namun tanpa didampingi penasihat hukum adalah bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusanputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan (vide Putusan Nomor 24/PUUXVII/2019).
Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. Menimbang dari keseluruhan uraian pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian.