Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Leonardo Siahaan, S.H. dan Ricky Donny Lamhot Marpaung, S.H. yang selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP

Pasal Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1 Bahwa para Pemohon menerangkan dirinya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (vide Bukti P-1);
2 Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP (UU 1/2023) yang secara redaksional selengkapnya menyatakan:
Pasal 100 ayat (1)
“(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.”

Pasal 237 huruf c
“Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang:

c. menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.”

Pasal 256
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
3 Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu:
Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 28D ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
4 Bahwa menurut para Pemohon hak konstitusional tersebut berpotensi dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 100 ayat (1) KUHP (UU 1/2023) karena ketentuan baru a quo, yaitu pidana mati dengan masa percobaan 10 (sepuluh) 29 tahun akan membuat hukuman mati kehilangan efek jera bagi para calon pelaku pidana.
Sementara ketentuan dalam Pasal 237 huruf c KUHP (UU 1/2023) menurut para Pemohon telah membatasi hak warga negara untuk menggunakan lambang negara, apalagi rumusan demikian sebelumnya telah diatur sebagai norma Pasal 57 huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang norma Pasal 57 huruf d a quo telah dibatalkan oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013.
Adapun Pasal 256 KUHP (UU 1/2023) menurut para Pemohon akan menghambat masyarakat dalam melakukan demonstrasi sebagai sarana penyampaian kekecewaan masyarakat kepada negara.
5. Bahwa setelah mencermati uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dan alat bukti yang diajukan, Mahkamah menilai para Pemohon memang benar Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan Bukti P-1 berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk.
6. Bahwa terkait dengan hak konstitusional para Pemohon, Mahkamah menilai Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan hak konstitusional bagi para Pemohon. Namun adanya landasan hak konstitusional demikian tidak secara langsung membuktikan adanya anggapan kerugian dan/atau potensi kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa berkenaan dengan anggapan kerugian dan/atau potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon, sebagaimana dalam Paragraf [3.4] telah dijelaskan Mahkamah bahwa “kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional” dalam konteks terpenuhinya kedudukan hukum para Pemohon harus memenuhi lima syarat yang antara lain berupa syarat “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian”. Sebab, anggapan kerugian konstitusional yang dirugikan tersebut harus bersifat kausalitas (sebab-akibat), yaitu anggapan kerugian konstitusional tersebut muncul karena disebabkan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Norma undang-undang yang menjadi objek permohonan a quo adalah Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP (UU 1/2023). Adapun KUHP dimaksud adalah KUHP baru sebagai penyebutan lain dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang pembentukannya ditujukan sebagai pengganti dari KUHP “lama” yang saat ini masih berlaku. Selanjutnya, terhadap KUHP baru atau UU 1/2023 telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Namun demikian dalam Pasal 624 BAB XXXVII mengenai Ketentuan Penutup dinyatakan bahwa UU a quo atau KUHP a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan kata lain, KUHP a quo baru akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026.
Berkaitan dengan keberlakuan KUHP (UU 1/2023) dimaksud telah dipertimbangkan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XXI/2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XXI/2023, yang semuanya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023.
Dengan uraian fakta hukum di atas, oleh karena permohonan para Pemohon dalam perkara a quo diajukan pada tanggal 28 Maret 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 April 2023, serta perbaikan permohonannnya diterima pada tanggal 26 April 2023 (vide Paragraf [2.1] Putusan a quo), sehingga pada saat permohonan ini diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, terdapat fakta bahwa UU a quo atau KUHP (UU 1/2023) a quo yang dimohonkan pengujian secara hukum belum berlaku. Dengan demikian, unsur syarat adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang dan unsur adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian belum terpenuhi karena belum berlakunya undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon mengenai anggapan kerugian dan/atau anggapan potensi kerugian yang dialami para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya merupakan dalil yang terlalu dini (prematur).
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun para Pemohon memiliki hak konstitusional terkait isi norma KUHP (UU 1/2023) yang dimohonkan pengujian namun karena norma KUHP tersebut belum berlaku maka para Pemohon tidak memenuhi syarat “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut yang oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian”. Dengan tidak dipenuhinya syarat tersebut maka Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun demikian, seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 100 ayat (1), Pasal 237 huruf c, dan Pasal 256 KUHP (UU 1/2023) merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur.

[3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo namun karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum terkait anggapan kerugian dan/atau potensi kerugian atas hak konstitusionalnya, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.

[3.7] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dinilai tidak ada relevansinya.