Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Suryadin untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Pasal 92 ayat (2) huruc dan d dan Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 92 ayat (2) huruf c dan d dan Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo dapat diajukan kembali, setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan Pemohon, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa berkaitan dengan norma yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya adalah mengenai inkonstitusionalitas norma yang mengatur jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dan anggota Panwaslu Kecamatan serta norma yang mengatur mengenai syarat domisili anggota Bawaslu Kabupaten/Kota secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum Permohonan Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU XVII/2018, yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2019 yang dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.14.1] sampai dengan Sub-paragraf [3.14.3] serta Paragraf [3.16] sampai dengan Paragraf [3.18] menyatakan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon perihal penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang sebagai pilihan kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena hanya mendasarkan pada faktor perbedaan geografis, menurut Mahkamah, perlu dicermati bahwa suatu kebijakan hukum merupakan ranah kebebasan pembentuk undang-undang, sehingga ketika suatu kebijakan hukum yang berisi norma yang tidak dimuat secara eksplisit dalam UUD 1945 ditetapkan maka tidak serta merta hal itu dapat dinilai tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan Konstitusi. Batasan sebuah kebijakan yang dibentuk merupakan kebijakan hukum terbuka adalah kesesuaiannya dengan moralitas, rasionalitas, dan tidak mengandung ketidakadilan yang intolerable. Dengan demikian, sepanjang kebijakan hukum terbuka dimaksud tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan tidak mengandung ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi maka kebijakan hukum dimaksud tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang merupakan bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Apabila kebijakan hukum tersebut hendak diuji maka pertanyaannya adalah apakah penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang merupakan sebuah kebijakan yang rasional dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu kabupaten/kota.
[3.14.2] Bahwa selanjutnya apakah kebijakan pembentuk undang-undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang bertentangan dengan moralitas. Dalam hal ini Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran moralitas apapun dari kebijakan demikian. Tidak ada ukuran atau standar moral apapun yang dilanggar atau terganggu oleh kebijakan hukum demikian, baik jika moralitas dimaksud semata-mata sebagai kebaikan (goodness) maupun kebenaran (rightness) maupun jika moralitas dimaksud dikaitkan dengan kepantasan (properness) dan ketidakpantasan (improperness). [3.14.3] Bahwa kemudian apakah kebijakan pembentuk undang undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima orang mengandung ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Dalam hal ini pun Mahkamah tidak melihat adanya keadaan demikan. Bahkan jika dilihat semata-mata dari kepentingan (atau tepatnya) keinginan para Pemohon, pun Mahkamah tidak melihat adanya ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dimaksud. Artinya, tidak terakomodasinya kepentingan atau keinginan para Pemohon oleh kebijakan pembentuk undang-undang dalam kasus a quo dengan berlakunya norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu beserta penjelasan dan lampirannya tidaklah menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
[3.16] Menimbang bahwa, lebih jauh, secara faktual, penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota sesungguhnya bukan menyangkut teknis pelaksanaan, melainkan lebih pada tugas penyelesaian masalah hukum pemilu yang muncul. Artinya, tanpa penambahan jumlah anggota sekalipun, Bawaslu kabupaten/kota masih dapat menjalankan tugasnya secara maksimal. Setidaknya hal itu didasarkan pada dua alasan, pertama, dalam melakukan pengawasan, Bawaslu kabupaten/kota memiliki perangkat pengawas kecamatan sampai dengan pengawas lapangan; dan kedua, peran serta masyarakat dalam mengawasi pemilu juga akan turut meringankan beban kerja pengawasan yang dimiliki Bawaslu kabupaten/kota. Berdasarkan UU Pemilu, masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi dalam pemilu, termasuk mengawasi pemilu dan melaporkan dugaan-dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu di semua tingkatan. Dalam konteks ini, pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Bawaslu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Bawaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Dengan demikian, dalam konteks beban kerja penegakan hukum, bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan secara berlebihan. Sebab, terjadinya masalah-masalah hukum sangat bergantung pada kemampuan KPU termasuk KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan tahapan pemilu secara profesional dan juga faktor kesadaran hukum setiap pemangku kepentingan dalam pemilu. Dalam konteks ini, beban kerja penegakan hukum bukan sesuatu yang selalu dipastikan terjadi dalam setiap tahapan pemilu. Oleh karena itu, penambahan tugas untuk penegakan hukum pemilu tidak dapat dianggap sebagai beban berat yang mengharuskan dilakukan perubahan kebijakan dengan menjadikan jumlah anggota Bawaslu secara sama lima orang untuk semua kabupaten/kota. Namun demikian, kekhawatiran para Pemohon perihal keterbatasan personil dalam penanganan sengketa, terutama berkenaan dengan persyaratan kuorum dalam pengambilan putusan, hal demikian dapat diantisipasi dengan cara menguatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Bahkan kekhawatiran tersebut dapat diatasi dengan cara berkoordinasi dan melibatkan Bawaslu secara berjenjang [vide Pasal 89 ayat (3) UU Pemilu].
[3.17] Menimbang bahwa dalam kaitan dengan penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota terkait dengan kewenangan penyelesaian sengketa proses dan penyelesaian masalah hukum pemilu lainnya yang juga telah terjawab dengan kebijakan pembentuk undang-undang yaitu dengan menjadikan Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (4) UU Pemilu. Padahal, dalam penyelenggaraan pemilu sebelumnya, Bawaslu kabupaten/kota tidaklah bersifat tetap. Dengan kebijakan pembentukan undang-undang yang memosisikan Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap, hal ini dapat dinilai sebagai penguatan mendasar atas kelembagaan Bawaslu kabupaten/kota. Oleh karena itu, Bawaslu kabupaten/kota diberikan kewenangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai lembaga yang bersifat tetap sehingga sifat tetap tersebut sebanding dengan penambahan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota dengan jumlah personil yang disesuaikan dengan kriteria yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hal ini, kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu tidak dapat dinilai sebagai beban kerja baru bagi Bawaslu kabupaten/kota melainkan sebagai konsekuensi ditetapkannya Bawaslu kabupaten/kota sebagai lembaga yang bersifat tetap.
[3.18] Menimbang bahwa selain berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah apabila dilihat dari sejarah kebijakan penentuan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota, yaitu ketika Bawaslu kabupaten/kota masih menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Pasal 72 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu hanya mengatur jumlah anggota Panwaslu adalah tiga orang. Kebijakan jumlah anggota dimaksud juga didasarkan atas beban kerja sesuai dengan tugas dan wewenang yang ditentukan undang-undang. Artinya, ketika Bawaslu kabupaten/kota dijadikan lembaga yang bersifat tetap, pembentuk undang-undang menyesuaikan komposisi keanggotaannya yaitu tidak lagi berjumlah tiga orang untuk seluruh kabupaten/ kota, melainkan kabupaten/kota tertentu yang memenuhi syarat memiliki anggota sebanyak lima orang. Sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja dimaksud, kebijakan tersebut dapat diterima dan dinilai sebagai kebijakan hukum yang rasional dan proporsional. Sebab, semakin banyak jumlah penduduk dan semakin luas wilayahnya maka tugas pengawasan dan peluang terjadinya masalah hukum pemilu makin banyak, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, bagi kabupaten/kota yang jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah daerah kecamatannya besar menjadi masuk akal jika anggota Bawaslunya berjumlah lima orang. Sebaliknya, bagi kabupaten/kota yang jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah daerah kecamatannya kecil [vide Penjelasan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu], menjadi masuk akal pula jika anggota Bawaslunya berjumlah tiga orang. Dengan demikian, kebijakan terkait kelembagaan dan komposisi anggota Bawaslu di tingkat kabupaten/kota dapat dinilai sebagai bagian dari agenda setting rasionalisasi beban kerja penyelenggara pemilu sesuai dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing lembaga.
[3.13.2] Bahwa meskipun Pemohon dalam permohonannya mengungkapkan Permohonan yang diajukan Pemohon, in casu adalah mengenai jumlah anggota Panwaslu Kecamatan, namun demikian dalam alasan permohonannya dan Petitum angka (2), Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 yang mengatur mengenai jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 di atas, ternyata pertimbangan tersebut telah dapat menjawab semua dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 yang esensinya sama yakni memohon agar jumlah anggota Bawaslu yang berjumlah 3 (tiga) orang di beberapa kabupaten/kota ditambah 2 (dua) orang sehingga jumlahnya menjadi 5 (lima) orang. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum putusan a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.3] Bahwa selain norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017, Pemohon juga mempermasalahkan ketentuan mengenai jumlah anggota komisioner Panwaslu Kecamatan yang diatur dalam Pasal 92 ayat (2) huruf d UU 7/2017 dengan alasan yang pada pokoknya: jumlah anggota Panwaslu Kecamatan yang hanya 3 (tiga) orang ketika harus mengawasi kinerja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang personilnya sebanyak 5 (lima) orang akan mengakibatkan tugas pokok Panwaslu Kecamatan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, Pemohon menambahkan, Panwaslu yang notabene tugasnya mengawasi pekerjaan PPK yang sangat teknis penuh dengan risiko karena berhubungan langsung dengan masyarakat. Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, substansi pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU XVII/2018 antara lain menyatakan:
… pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Bawaslu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Bawaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Dengan demikian, dalam konteks beban kerja penegakan hukum, bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan secara berlebihan. Sebab, terjadinya masalah-masalah hukum sangat bergantung pada kemampuan KPU termasuk KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan tahapan pemilu secara profesional dan juga faktor kesadaran hukum setiap pemangku kepentingan dalam pemilu. Dalam konteks ini, beban kerja penegakan hukum bukan sesuatu yang selalu dipastikan terjadi dalam setiap tahapan pemilu. Oleh karena itu, penambahan tugas untuk penegakan hukum pemilu tidak dapat dianggap sebagai beban berat yang mengharuskan dilakukan perubahan kebijakan dengan menjadikan jumlah anggota Bawaslu secara sama lima orang untuk semua kabupaten/kota. Namun demikian, kekhawatiran para Pemohon perihal keterbatasan personil dalam penanganan sengketa, terutama berkenaan dengan persyaratan kuorum dalam pengambilan putusan, hal demikian dapat diantisipasi dengan cara menguatkan koordinasi baik secara internal maupun eksternal. Bahkan kekhawatiran tersebut dapat diatasi dengan cara berkoordinasi dan melibatkan Bawaslu secara berjenjang... [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018, paragraf (3.16)]
Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 di atas, bagaimana pun, pada batas penalaran yang wajar, beban tugas pengawasan pemilu yang dimiliki Panwaslu Kecamatan pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata-mata dijalankan Panwaslu melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Artinya, Panwaslu dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum dapat dikatakan elemen inti karena akan dibantu oleh masyarakat dan peserta Pemilu. Selain itu, jikalau dibandingkan luas wilayah yang menjadi jangkauan pengawasan Panwaslu yang hanya merupakan bagian dari wilayah kabupaten/kota, anggota Panwaslu yang terdiri dari 3 (tiga) orang tentu saja cukup memadai untuk menjalankan tugas tugas pengawasan penyelenggaraan pemilu di kecamatan. Terlebih lagi, bilamana jumlah anggota Panwaslu kecamatan ditambah 2 (dua) orang sehingga jumlahnya menjadi 5 (lima) orang, jumlah tersebut menjadi tidak logis karena dengan tetap dipertahankan dan dinyatakan tetap konstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XVII/2018 jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota dalam norma Pasal 92 ayat (2) huruf c UU 7/2017 adalah tetap 3 (tiga) atau 5 (lima) orang [vide Lampiran II UU 7/2017]. Artinya, seandainya dalil permohonan dikabulkan, quod non, di beberapa kabupaten/kota jumlah anggota Panwaslu kecamatan akan melebihi jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon untuk menyatakan frasa “3 (tiga) orang” dalam Pasal 92 ayat (2) huruf d beserta penjelasan dan lampiran UU 7/2017, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan mengenai inkonstitusionalitas secara bersyarat Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 karena tidak mengatur mengenai syarat domisili calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan dan Desa, dan Calon Anggota Pengawas TPS. Menurut Pemohon, tanpa adanya ketentuan tersebut, norma a quo menjadi kabur atau tidak jelas. Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa oleh karena kinerja penyelenggara pemilu adalah bekerja penuh waktu yaitu 24 (dua puluh empat) jam sesuai dengan sumpah jabatan dan tentu saja penyelenggara harus benar-benar memahami kondisi daerah setempat baik secara geografis maupun sosiologis masyarakat setempat. Terhadap dalil a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 adalah norma yang mengatur mengenai salah satu syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu Provinsi, dan calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, di mana undang-undang mensyaratkan agar calon anggota Bawaslu Provinsi haruslah berdomisili di provinsi tempat Bawaslu Provinsi tersebut akan bertugas dan calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota haruslah berdomisili di kabupaten/kota tempat Bawaslu Kabupaten/Kota tersebut akan bertugas. Ketentuan ini tidak mengatur mengenai syarat domisili calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS. Menurut Mahkamah, tidak diaturnya syarat domisili ini tidak serta merta berpotensi menimbulkan ketidakjelasan norma sebagaimana didalilkan Pemohon. Tanpa adanya syarat ini, maka secara terang benderang telah dapat dipahami bahwa setiap warga negara sepanjang telah memenuhi syarat lainnya yang ditentukan dalam Pasal 117 ayat (1) UU 7/2017 berhak menjadi calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS. Artinya, meskipun tidak diatur berdomisli di kecamatan dan kelurahan/desa, syarat domisili di Kabupaten/Kota sudah cukup mewadahi syarat anggota Panwaslu kecamatan dan kelurahan/desa sepanjang calon tersebut berdomisili di kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah kecamatan dan kelurahan/desa/dusun dimaksud. Dalam penalaran yang wajar, cakupan wilayah administrasi kecamatan, kelurahan/desa dan TPS berada dalam cakupan wilayah kabupaten/kota, sehingga tidak perlu menambah persyaratan sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Terlebih lagi, syarat yang terdapat pada Pasal 117 ayat (1) UU 7/2017 telah cukup mempersempit kriteria warga negara yang dapat menjadi anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa serta TPS. Setiap calon anggota Panwaslu haruslah memenuhi kriteria usia (huruf b), integritas (huruf d), kemampuan dan keahlian (huruf e), pendidikan (huruf f), kemampuan jasmani dan rohani (huruf h), bukan anggota partai politik (huruf i), bukan ASN, pejabat politik atau pejabat BUMN (huruf j), tidak pernah dipidana (huruf l), dan tidak dalam ikatan perkawinan dengan penyelenggara Pemilu (huruf o). Berlakunya serangkaian syarat tersebut telah mempersempit pilihan dalam menentukan calon anggota pengawas kecamatan, kelurahan/desa dan Pengawas TPS yang memiliki kapasitas. Tidak diberlakukannya syarat domisili untuk pengawas di tingkatan ini bertujuan untuk memberikan pilihan yang lebih luas mengenai siapa saja yang dapat menjadi calon pengawas. Apabila syarat domisili sebagaimana didalilkan Pemohon diberlakukan untuk calon anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa dan TPS, maka terdapat potensi proses rekrutmen Panwaslu di tingkatan tersebut tidak dapat terlaksana karena terhambat oleh kondisi sumber daya yang terbatas.
[3.14.2] Bahwa sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan sebelumnya, tugas pengawasan Pemilu pada dasarnya tidak dapat dinilai sebagai hanya semata mata dijalankan Bawaslu, Panwaslu, dan pengawas TPS sebagai elemen inti melainkan juga dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini masyarakat dan juga peserta pemilu. Pelaksanaan tugas pengawasan pun dapat dilakukan secara terkoordinir dan berjenjang sehingga persoalan beban pengawasan, baik geografis maupun sosiologis tidak sepenuhnya menjadi faktor penghambat dalam pengawasan Pemilu. Dengan pertimbangan demikian, maka dalil Pemohon bahwa anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa dan Pengawas TPS haruslah orang yang memahami kondisi daerah setempat baik secara geografis maupun sosiologis tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan untuk membatasi syarat domisili calon anggota Panwaslu a quo. Berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 secara bersyarat adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 92 ayat (1) huruf c dan huruf d serta Pasal 117 ayat (1) huruf g UU 7/2017 tidak bertentangan dengan asas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menimbulkan perlakuan diskriminatif sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.